definisi Bid'ah menurut Ibn Asyur
description
Transcript of definisi Bid'ah menurut Ibn Asyur
SEPUTAR PENGERTIAN BID’AH
Menurut Ibn ‘Âsyûr yang menjadi penyebab kebanyakan orang mengira bahwa
kata Bid’ah, Muhdastât, dan munkar adalah murâdif (bersinonim) adalah karena ketiga
lapad ini sudah biasa dipakai untuk mencela. padahal dalam hadis diriwayatkan dari al-
Turmudzî “kullu bid’atin dalâlatin” berkata al-Qâdî Abû Bakar bin al-‘Arabî sebagai
pen-syarah dalam kitabnya âridatul ahwadzî ‘alâ Sunan al-Tirmidzî, sebagai berikut:
ليس المحدث والبدعة مذمومين، للفظ محدث ولف��ظ بدع��ةوال لمعناهما
Muhdats dan bid’ah bukanlah hal yang tercela, keduanya mempunyai makna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Muhdats (jamaknya Muhdatatsât) dan bid’ah sesuatu yang tidak sama1, begitupun
tidak setiap bid’ah adalah munkar, karena bid’ah seringkali hukumnya mandûb, mubâh,
makrûh misalnya ketika Umar bin al-Khattâb berkata dalam masalah Salat Tarawih
“ni’ma al-bid’ah Hâdihi. Sementara itu Munkar adalah haram, munkar adalah sesuatu
diingkari oleh Syara. diwajibkan untuk seluruh umat muslim menghindari munkar
berdasarkan ayat wal takun minkum dan man ra’a minkum munkaran falyugâdir
biyâdihî2. Jelaslah perbedaan antara mungkar, muhdas dan bid’ah baik itu dalam ranah
1 muhdatsât adalah bagian dari bid’ah sesuai dengan hadis
إياكم ومحدثات األمور، فان كل بدعة ضاللةDalâlah adalah lawan dari al hidayah, Dalâlah dikenal pula dengan maksiat. Contohnya seperti membarukan jenis i’tiqâd atau ibadah atau asal dalam syariat dan tidak ada kembali (asal) terhadap ushul syariah maka itu adalah Dalâlah.
2 Tidak perlu bagi pelaku amar ma’ruf dan nahyi munkar mengikutkan manusia terhadap hasil ijtihad dan madzhabnya, namun hal itu dilakukan sesuasai dengan bahwa hal itu sudah menjadi ijma’ akan kemungkarannya. dan syarat untuk melaksanakan amar ma’ruf adalah dengan ilmu, ketika sesuatu sudah
1
lugah atau ranah istilah, hubungan diantaranya adalah ‘Umûm khusus min wajh, maka
sebagian munkar adalah bid’ah dan muhdats, dan sebagian bid’ah dan muhdats adalah
munkar, namun tidak semua bida’h adalah munkar sampai ada dalil yang menunjukkan
akan keharamannya.
Bid’ah menjadi sebuah kata yang paling mashyur dikenal pada masa sekarang,
secara bahasa adalah “al-amr al-Jadîd alladzî lam yasbiq bi nadîrihî (sesuatu yang baru
tanpa terdahului dengan yang serupa), adapun Bid’ah dalam Islam adalah bisa terjadi
dalam dua hal pertama: sesuatu yang baru dan tidak ada contoh dalam agama, kedua:
sesuatu yang diada-adakan dalam urusan agama. Definisi awal diberikan oleh Izuddîn bin
Abî Salam
ما لم يعهد فى عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم Adapun definisi yang kedua adalah definisi dari Abû Ishaq al-Syâtibî : dalam kitabnya al-I’tisâm3
طريقة فى الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقص��د بس��لوكهاالمبالغة فى التعبد لله سبحانه
Amalan atau ucapan, yang tidak ada asalnya dalam syari’at, yang menyerupai urusan syara’ padahal bukan, dengan bermakud untuk menglebih-lebihkan dalam beribadah kepad Allah swt.
Bid’ah juga terbagi dua: Pertama yang kembali kepada adat, kedua: kembali
kepada urusan agama, Bid’ah yang tercela adalah sesuatu yang membawa kepada
kesesatan dan menyalahi sunnah atau sesuatu yang ditolak dalam Qawa’id Ushul. Maka
tidak menjadi bid’ah dan bukan kesesatan sunnah Khulafa dan Umat-umat generasi awal.
menjadi kesepakatan seperti wajibnya salat dan haram nya zina. Akan tetapi masalah yang khilaf, atau hasil ijtihad tidak diwajibkan karena ijtihad akan menghasilkan sesuatu yang benar, dan sekalipun salah tidak akan berdosa, maka keluar dari khilaf adalah pilihan terbaik
3 H. 37 Abî Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ bin Muhammad al-Syâtibî (Beirtu: Dâr al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, t.th).
2
Bid’ah menjadi terlarang karena melawan (berbalikan) dengan sunnah yang
ditetapkan dan menghilangkan urusan dalam dari syara’ padahal jelas adanya. Bahkan
bid’ah adalah sebuah keniscayaan karena berubahnya sebab-sebab (konteks)4 Bi’dah
yang wâjib, mandzûb, mubâh, ataupun makruh, tidak benar kalau keempat hukum diatas
adalah sesat. Alasan menghadiahkan pahala membaca al-Qu’ran adalah sesuatu yang
bid’ah yang dolalah adalah:
1. Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan akan wajib atau istihsan (menganggap)
perbuatan banyak yang baru setelah rasul saw. Setiap hal yang telah menjadi
tradisi dikalangan Umat Islam yang di ACC oleh Syara’ dalam hal wajib, atau
sunat, atau yang telah diizinkan oleh sya’ra bahwa hal itu adalah mubah, atau
sesuatu yang tidak diancam dengan siksaan dengan dikerjakannya yakni makruh,
maka mengerjakannya bukan termasuk perilaku dolalah,perbuatan yang makruh
tanpa termasuk dolalah, sekalipun lapad bid’ah diartikan dengan mengada-adakan
yang cenderung haram dalam agama seperti perspektif al-Syatibi
2. Pesan dari ayat “al-yauma akmaltu lakum dînikum” adalah hal-hal yang bersifat
kulliyah/keseluruhan agama bukan parsialnya, seperti halnya penjelasan Abu
Ishak al-Syatibi, jika tidak demikian maka batal kaidah qiyas dan selainnya dari
sesuatu yang datang baru bermunculan demi kemaslahatan bagi umat. adapun
urusan furu’iyah allah berfirman “likullin ja’alna minkum syiratan wa minhajan
Bid’ah yang terlarang adalah jenis baru dalam perbuatan, i’tiqad ataupun ucapan
yang tidak ada sangkut paut dan kesamaan dengan syara’ yang telah berlaku seperit
ucapan, Tuhan tidak mempunyai kekuasaan, dan seperti keyakinan orang-orang jabariyah
4 Ihya Ulumuddin 2/3.
3
dan murjiah, dan keyakinan untuk mengkafirkan perbuatan dosa, karena para imam
terdahulu memvonis orang seperti ini adalah dengan ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu,
contoh dari bid’ah dalam peribadahan adalah seperti menyiksa diri dengan diam dibawah
matahari lihat juga seperti dalam hadis muwatha.
Adapun yang ada kembali dan seperti syara’ maka hal itu tidak termasuk seperti
bidah yang dilarang, baik yang kembalinya secara kulli seperti ruju’nya kaum
mutakalimin dalam beristidalal tentang hudusnya alam, karena hal itu bagian dari berpikir
yang diperintahkan dalam agama, begitu pula mendefinisikan dan mengklasifikasikan
sifat Allah terhadap sifat Nafsi, salabi, ma’ani dan ma’nawiyah, hal ini justru bagian dari
jalan dari bertauhid kepada Allah swt, karenanya Ulama Kalam tidak pernah divonis
sebagai ahli Bid’ah, begitupula seperti menruju’kan bilangan salat tarawih di Ramadhan
kepada hukum sunatnya pada malam hari, karena penentuan waktu dan bilangan yang
disertai dengan ibadah tidak termasuk bid’ah, karenanya Umar berkata terkait salat
Tarawih “ni’ma al-bid’ah hadihi”. Dan seperti menruju’kan haramnya “nabid” terhadap
asal haramnya khamar
4