Deep Tunnel Reservoir Koreksi 2

3
BANJIR SUNGAI CILIWUNG, LAYAKKAH DIKENDALIKAN DENGAN DEEP TUNNEL RESERVOIR? Oleh: Ir.Siswoko Sastrodihardjo, Dipl.HE *) Akhir-akhir ini di berbagai media masa marak diberitakan bahwa dalam rangka mengatasi masalah banjir di DKI Jakarta akan segera dilaksanakan pembangunan deep tunnel. Masyarakat luas pasti bertanya- tanya seperti apakah deep tunnel yang diungkap Gubernur DKI Jakarta itu, dan bagaimana cara kerjanya sehingga bisa mengendalikan banjir. Penulis menduga bahwa yang dimaksud oleh Gubernur DKI Jakarta itu adalah deep tunnel reservoir (DTR) atau waduk terowongan bawah tanah, yang fungsi utamanya untuk mengendalikan banjir. Banjir adalah kejadian meluapnya air dari palung sungai, sebagai akibat debit air yang mengalir lebih besar dari kapasitas palung sungainya. Luapan air menimbulkan genangan di dataran banjir (flood plain). Sekitar 50% kawasan DKI Jakarta tumbuh dan berkembang di dataran banjir 13 sungai termasuk sungai Ciliwung, sehingga genangan akibat terjadinya luapan tersebut telah menimbulkan masalah sejak dahulu kala. Masalah tersebut semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan lahan di dataran banjir menjadi kawasan permukiman dan perkotaan yang pesat, tanpa peduli adanya resiko terjadinya genangan. Upaya untuk mengatasi masalah banjir dan genangan yang sudah populer di seluruh dunia adalah gabungan berbagai upaya yang bersifat struktur dan nonstruktur (integrated flood management), dengan tujuan untuk menekan besarnya masalah/kerugian/bencana akibat banjir (flood damage mitigation); dan tidak dapat menghilangkan masalah secara mutlak. Berbagai upaya struktur yang telah diterapkan sejak zaman Belanda untuk mengatasi masalah banjir dan genangan di DKI Jakarta antara lain berupa: banjir kanal (barat dan timur), tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur. Waduk pada umumnya berada di permukaan tanah yang terbentuk dengan dibangunnya bendungan. Waduk-waduk yang relatif besar di Indonesia pada umumnya mempunyai fungsi multi guna. Lokasi waduk sebagai pengendali banjir harus berada di hulu daerah yang terkena masalah banjir. Fungsi waduk pengendali banjir adalah untuk memperkecil/meredam debit puncak banjir, sehingga debit banjir di

description

Materi Kuliah Pa Siswoko-MPSDA 2015

Transcript of Deep Tunnel Reservoir Koreksi 2

Page 1: Deep Tunnel Reservoir Koreksi 2

BANJIR SUNGAI CILIWUNG, LAYAKKAH DIKENDALIKAN DENGAN DEEP TUNNEL RESERVOIR?

Oleh: Ir.Siswoko Sastrodihardjo, Dipl.HE *)

Akhir-akhir ini di berbagai media masa marak diberitakan bahwa dalam rangka mengatasi masalah banjir di DKI Jakarta akan segera dilaksanakan pembangunan deep tunnel. Masyarakat luas pasti bertanya-tanya seperti apakah deep tunnel yang diungkap Gubernur DKI Jakarta itu, dan bagaimana cara kerjanya sehingga bisa mengendalikan banjir. Penulis menduga bahwa yang dimaksud oleh Gubernur DKI Jakarta itu adalah deep tunnel reservoir (DTR) atau waduk terowongan bawah tanah, yang fungsi utamanya untuk mengendalikan banjir.

Banjir adalah kejadian meluapnya air dari palung sungai, sebagai akibat debit air yang mengalir lebih besar dari kapasitas palung sungainya. Luapan air menimbulkan genangan di dataran banjir (flood plain). Sekitar 50% kawasan DKI Jakarta tumbuh dan berkembang di dataran banjir 13 sungai termasuk sungai Ciliwung, sehingga genangan akibat terjadinya luapan tersebut telah menimbulkan masalah sejak dahulu kala. Masalah tersebut semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan lahan di dataran banjir menjadi kawasan permukiman dan perkotaan yang pesat, tanpa peduli adanya resiko terjadinya genangan. Upaya untuk mengatasi masalah banjir dan genangan yang sudah populer di seluruh dunia adalah gabungan berbagai upaya yang bersifat struktur dan nonstruktur (integrated flood management), dengan tujuan untuk menekan besarnya masalah/kerugian/bencana akibat banjir (flood damage mitigation); dan tidak dapat menghilangkan masalah secara mutlak. Berbagai upaya struktur yang telah diterapkan sejak zaman Belanda untuk mengatasi masalah banjir dan genangan di DKI Jakarta antara lain berupa: banjir kanal (barat dan timur), tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur.

Waduk pada umumnya berada di permukaan tanah yang terbentuk dengan dibangunnya bendungan. Waduk-waduk yang relatif besar di Indonesia pada umumnya mempunyai fungsi multi guna. Lokasi waduk sebagai pengendali banjir harus berada di hulu daerah yang terkena masalah banjir. Fungsi waduk pengendali banjir adalah untuk memperkecil/meredam debit puncak banjir, sehingga debit banjir di bagian hilir waduk menjadi lebih kecil dibanding sebelum ada waduk. Dengan debit banjir yang lebih kecil maka luapan banjir akan berkurang pula. Situ-situ yang banyak terdapat di Jabodetabek adalah merupakan waduk yang juga berfungsi sebagai pengendali banjir. Waduk-waduk pada sistem polder yang telah banyak dibangun di DKI Jakarta bukan untuk meredam puncak banjir di sungai, namun berfungsi sebagai tempat penampung air untuk dipompa ke sungai atau langsung ke laut.

DTR yang dimuat di berbagai media masa nampaknya sama dengan yang pernah diusulkan ke Departemen PU/Ditjen Sumber Daya Air sekitar 7 tahun

Page 2: Deep Tunnel Reservoir Koreksi 2

yang lalu oleh beberapa teman dari luar Departemen PU. Bila asumsi penulis benar maka penulis telah mengenal ide tersebut dan telah ikut membahasnya secara detail. Waduk yang berupa terowongan bawah tanah itu berdiameter 12 m dan berada 17 m di bawah permukaan tanah, memanjang dari Kalibata ( inlet) sampai Pluit (outlet) sepanjang 23 km. Untuk mengeluarkan air dari terowongan masuk ke laut harus diangkat dengan pompa. Sistem itu konon ditargetkan dapat meredam puncak banjir sungai Ciliwung sebesar 100 m3/dt sehingga debit banjir sungai Ciliwung di hilir Kalibata berkurang 100 m3/dt dan muka air banjir di hilir Kalibata akan lebih rendah sekitar 0,30 m dibanding tanpa DTR. DTR bersifat multi guna antara lain di musim kemarau atau pada saat kering juga dimanfaatkan untuk jalan bebas hambatan. Biaya pembangunannya sebesar Rp 17 triliun, dan biaya operasi dan pemeliharaannya sudah pasti amat sangat mahal dibanding waduk di permukaan tanah. Di samping itu masalah sedimen dan sampah di sungai Ciliwung memerlukan penanganan khusus agar tidak mengganggu pengoperasian DTR.

Sebagai waduk pengendali banjir, di musim hujan terowongan harus diupayakan agar selalu dalam kondisi kosong sehingga selalu siap diisi air banjir kapan pun bila diperlukan. Pengosongan tersebut dilakukan dengan pompa, sehingga terdapat kemungkinan dimana kondisi terowongan yang belum sempat dikosongkan karena telah terisi air banjir, ternyata sudah datang banjir berikutnya yang kemungkinan debitnya justru lebih besar dari debit banjir sebelumnya. Pada kondisi seperti itu DTR lumpuh tidak berfungsi dan dengan demikian tidak terjadi peredaman puncak banjir. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan sistem prakiraan banjir yang super canggih agar dapat “meramalkan” dengan tepat: kapan terjadinya puncak banjir tertinggi dan seberapa besar debit puncaknya. Dengan demikian dapat diketahui secara dini kapan terowongan harus dikosongkan untuk menyongsong datangnya banjir besar tersebut. Sebagai contoh, puncak banjir tertinggi sungai Ciliwung pada musim hujan 1995/1996 terjadi pada 10 Februari 1996, musim hujan 2001/2002 terjadi pada 2-3 Februari 2002, dan musim hujan 2006/2007 terjadi pada 3-4 Februari 2007. Selain biaya pembangunannya yang sangat mahal, pengoperasian dan pemeliharaan sistem DTR tersebut juga sangat rumit dan mahal.

Apa bila DTR tidak dibangun maka air banjir sungai Ciliwung seluruhnya mengalir ke hilir dan sebagian besar mengalir lewat Banjir Kanal Barat (BKB) dan bermuara di laut. Sebesar 50 m3/dt dialirkan ke sungai Ciliwung Lama yang diatur dengan pintu air Manggarai, seperti halnya yg sudah berjalan di lapangan sampai saat ini. Tidak adanya peredaman puncak banjir di Kalibata maka ketingian muka air banjir termasuk di BKB lebih tinggi 0,30 m dari pada apa bila dengan DTR. Dengan kata lain manfaat DTR sebagai pengendali banjir sungai Ciliwung dapat digantikan dengan meninggikan tanggul sebesar 0,30 m saja. Bila tanggul kanan dan kiri sungai Ciliwung termasuk tanggul BKB dari Kalibata sampai muara panjangnya 46.000 m, dan diasumsikan konstruksi tanggul dengan beton dengan lebar/tebal peninggian 0,30 m, maka volume beton untuk peninggian tanggul sebesar 46.000 m X 0,30 m X 0,30 m = 4.140 m3. Bila harga beton K 350 di Jakarta Rp 1000.000,- per m3, maka

Page 3: Deep Tunnel Reservoir Koreksi 2

peninggian tanggul hanya memerlukan biaya Rp 4.140.000.000,-. Sungguh amat sangat kontras apa bila dibandingkan dengan biaya pembangunan DTR yang Rp 17 triliun. Disamping itu tanpa DTR sama sekali tidak memerlukan pengoperasian yang rumit.

Tidaklah salah apa bila dengan biaya Rp 17 triliun masyarakat bermimpi dan mengharapkan DKI Jakarta menjadi “bebas banjir”. Namun dengan analisis sederhana di atas kiranya cukup untuk menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini.

*) Penulis adalah pengamat masalah banjir dan pensiunan Dirjen Sumber Daya Air (2005-2007).