dari tanah sultan menuju tanah rakya · Dan sebaliknya jika terjadi keseimbangan dalam pemi-likan...

190
dari tanah sultan menuju tanah rakya

Transcript of dari tanah sultan menuju tanah rakya · Dan sebaliknya jika terjadi keseimbangan dalam pemi-likan...

dari tanah sultanmenuju tanah rakya

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak CiptaPasal 2 :

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan ataumemperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangipembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72 :

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara palinglama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatuCiptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00(lima ratus juta rupiah).

Nur Aini Setiawati

Yogyakarta, 2011

dari tanah sultanmenuju tanah rakyat:P P , P , S T K Y

R 1917

OLA EMILIKAN ENGUASAAN DAN ENGKETA ANAH DI OTA OGYAKARTA

SETELAH EORGANISASI

DARI TANAH SULTAN MENUJU TANAH RAKYAT:POLA PEMILIKAN, PENGUASAAN, DAN SENGKETA TANAH DI KOTA

YOGYAKARTA SETELAH REORGANISASI 1917©Nur Aini Setiawati

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesiaoleh STPN Press, Desember 2011

Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, SlemanYogyakarta, 55293Tlp. (0274) 587239Faxs: (0274) 587138

Bekerjasama dengan

Sajogyo InstituteJl. Malabar 22 Bogor, Jawa Barat

Tlp/Faxs: (022) 8374048E-mail: [email protected]

Penulis: Nur Aini SetiawatiEditor: M. Nazir Salim

Pracetak: Wulan Dwi Puji Riani & Widi Hestining PuriLayout/Cover: Aqil NF

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)DARI TANAH SULTAN MENUJU TANAH RAKYAT:

POLA PEMILIKAN, PENGUASAAN, DAN SENGKETA TANAH DI KOTA

YOGYAKARTA SETELAH REORGANISASI 1917STPN Press, 2011

xviii + 171 hlm.: 14x 21cmISBN: 978-602-9824-24-4

v

PENGANTAR PENULIS

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,maka karya ini dapat diterbitkan oleh lembaga penerbitSekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN Press). Karyayang berjudul ”Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat :Pola Pemilikan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di KotaYogyakarta Setelah Reorganisasi 1917 merupakan tesis S2.Karya ini pada dasarnya untuk menganalisis dan menggam-barkan proses perkembangan dan perubahan hak penguasaandan pemilikan serta sengketa-sengketa tanah Kasultanan danfaktor-faktor yang menjadi dasar peristiwa itu di Yogyakarta.

Persoalan-persoalan tanah di Yogyakarta sering terjadihingga saat ini, sehingga memungkinkan penulis untuk mela-cak persoalan itu dalam rangka ikut memecahkan persoalantanah di Yogyakarta dengan melihat asal-usulnya. Tanahmemiliki hubungan yang penting dengan manusia karenamemiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pengaturan tentangpenguasaan dan pemilikan tanah telah disadari dan sejakberabad-abad lamanya oleh Kerajaan atau Negara Indone-sia. Penataan struktur keagrariaan dilakukan untuk mening-katkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat yang semula

vi

Nur Aini Setiawati

tidak memiliki lahan untuk didirikan bangunan sebagaitempat tinggal baik di wilayah pedesaan mapun di perkotaan.

Pada masa itu bangsawan dengan sarana yang merekamiliki menguasai tanah-tanah yang luas. Untuk mencegahagar tidak terjadi gerakan pemberontakan dalam masyarakatterutama rakyat yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahantetapi sempit, maka Sultan mengeluarkan perintah tentangpembagian lahan-lahan pekarangan di wilayah perkotaanmaupun lahan pertanian untuk petani di wilayah pedesaan.

Dilihat dari perkembangan sejarahnya dapat diketahuibahwa ketidakseimbangan pemilikan dan penguasaan tanahbanyak menimbulkan persoalan-persoalan yang menyeng-sarakan rakyatnya, sengketa-sengketa tanah terjadi dimana-mana. Dan sebaliknya jika terjadi keseimbangan dalam pemi-likan dan penguasaan tanah menyebabkan munculnya kese-jahteraan masyarakat. Itulah yang berusaha ditempuh olehSultan, pertama kali dengan perombakan struktur agraria.Meskipun demikian, persoalan-persoalan tanah di wilayahD.I Yogyakarta masih merupakan persoalan yang belumselesai hingga sekarang. Melihat keadaan seperti itu masihmemerlukan riset yang lebih dalam lagi untuk menuntaskanpersoalan-persoalan tanah khususnya di Yogyakarta.

Semoga tulisan ini dapat membantu pembaca dalam mem-buat gambaran proses perkembangan dan perubahan pemili-kan dan penguasaan tanah di DI Yogyakarta pada masa lampau.

Yogyakarta, 22 November 2011

Nur Aini Setiawati

vii

KATA PENGANTAR PENERBIT

Buku ini memberi bahan renungan yang menarik bagikita. Apa arti Reorganisasi Tanah pada masa awal abad ke-20 di Yogyakarta, tepatnya tahun 1917 itu? Penulis menun-jukkan bahwa reorganisasi tersebut merupakan “modernisasisistem pertanahan” dan ikatan-ikatan sosial-politik yang telahterbangun semula di atasnya. Di satu sisi Reorganisasi telahmampu memperkuat rakyat akan hak atas tanah denganmengubah status rakyat yang semula mengakses tanahdengan hak anggaduh (menguasai secara aktual dalam bentukgarap) berubah menjadi hak andarbe (memiliki secara formal).Di sisi lain, Reorganisasi itu—jika menggunakan istilah seka-rang—adalah tindakan “pengadaan tanah” bagi proses pem-bangunan pemerintah kolonial, perluasan kesempatan ekono-minya, dan kepentingan umum.

Secara sosial-budaya, Reorganisasi Tanah itu meruntuh-kan sistem feodal yang terbangun secara patron-klien dalamsistem apanage (lungguh). Dalam sistem ini, tanah dimiliki olehraja dan pengurusannya diserahkan kepada sentana dan parapriyayi yang mereka ini memiliki hak ke-patuh-an (pengelo-

viii

Nur Aini Setiawati

laan tanah). Pengerjaan tanah dilakukan oleh rakyat di bawahnaungan para patuh dengan sistem bagi hasil. Bagi tatananpolitik keraton, kebijakan melakukan reorganisasi ini tentulahpilihan yang sangat beresiko. Sistem sosial-politik semulayang terbangun atas dasar penguasaan tanah dan relasi kete-nagakerjaan bisa menjadi goyah. Dari perspektif ini, KeratonYogyakarta lebih banyak dirugikan.

Bukan itu saja, tatkala tanah dimiliki secara formal dandapat diwariskan secara turun temurun (erfelijk individueelgebruikrecht) dan menjadi komoditas perdagangan baik secaratemporer (sewa-gadai) ataupun permanen (jual-beli putus)sebagaimana terjadi pada era malaise global yang juga mener-pa Yogyakarta, tanah terlepas dari sendi-sendi ikatan sosial-kultural-politiknya. Terbukti, pasca Reorganisasi bermun-culanlah sengketa-konflik yang disebabkan pewarisan,penjualan tanah, dan gugatan rakyat atas priyayi akibat peru-bahan sistem tersebut, meski bukan berarti sistem penguasa-an tanah sebelumnya tanpa masalah.

Jika demikian, menarik pula melihat dari mana inisiatifReorganisasi itu muncul, untuk kepentingan siapa, serta apakonteks yang melatarinya. Di sinilah diperlukan pemahamanmenyeluruh agar peristiwa Reorganisasi itu tidak dipandangsebagai “retakan” di dalam perjalanan sejarah yang kemun-culannya tanpa sebab dan proses sehingga dianggap sebagaideviasi baik dalam pengertian positif ataupun negatif.

Penetrasi ekonomi kolonial yang berkembang melaluiperkebunan di atas tanah-tanah kerajaan di vorstenlanden padaera sebelumnya, menapaki tahapan yang berbeda memasukiabad ke-20. Di abad ini, politik etis menjadi argumen utama

ix

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

pembangunan negara lolonial. Pertumbuhan aktifitas ekonomiperkebunan disertai populasi penduduk kulit putih-Eropamembutuhkan penyediaan tanah untuk pemantapan aktifitasmereka di perkotaan berupa ketersediaan kantor, ruang so-sialita, tempat hiburan, serta pemukiman. Dibangun kantor-kantor pemerintahan, perluasan stasiun kereta api, rumahgadai, pengadilan, dan jalan. Di era kemudian, tatkala politiketis menemukan bentuknya, maka didirikanlah gedung-gedung sekolah dan rumah sakit yang luasan tanahnya,sebagaimana ditunjukkan oleh buku ini, cukup menonjoldibanding tanah peruntukan lain. Dari segi luasan, total tanahbagi peruntukan ini sebanyak 1.302.552 m2.

Dipahami secara demikian, maka praktik modernisasisistem tanah melalui Reorganisasi itu menjadi masuk akal.Bangunan politik-kekuasaan Keraton Yogyakarta yang semu-la relasi elit-rakyatnya terbangun atas penguasaan tanahmengalami perubahan drastis. Para patuh yang memilikiwewenang dan segenap hak politik serta kesempatan ekono-minya ditopang oleh bagi hasil dalam sistem apanase, beru-bah sebab didepolitisasi dengan cara diintegrasikan ke dalamsistem pemerintahan kolonial. Mereka mendapat imbalan gaji.Dengan demikian kebijakan formalisasi pemilikan tanahuntuk rakyat dan pemekaran kelurahan sebagai unit admi-nistrasi yang keseluruhannya ini membutuhkan tanah keratonseluas 6.904.133 m2, serta pengurangan kerja wajib, penge-tatan aturan sewa tanah, dan sebagainya itu, semata-mataadalah unit-unit dari kebijakan makro pemantapan negarakolonial. Membaca secara demikian, maka pemantapanbangunan negara Kolonial-lah sebenarnya yang bertindak

x

Nur Aini Setiawati

sebagai kekuatan penghela dari prose perubahan yang terjadidi Yogyakarta. Di sini Reorganisasi tanah dipandang sebagaisuatu keniscayaan yang musti ada di dalamnya.

Apakah dengan demikian era ini menjadi saksi dari ditran-sformasikannya secara utuh kekuasaan tradisional Yogyakartake dalam negara modern Kolonial Hindia Belanda? Sulitmengingkarinya. Terlebih suatu profil negara modern-kolonialselanjutnya disajikan dalam bentuk perluasan pemenuhankebutuhan publik (sembari menyadari adanya bias ras, etnis,dan kelas di hal-hal tertentu) berupa fasilitas pendidikan,kesehatan, tontonan, irigasi, dan transportasi yang ada diYogyakarta. Pengalaman menjadi warga negara Kolonial secarakultural menemukan momentumnya. Masalah pertanahanberkontribusi dalam proses menjadi negara modern ini.

Jauh dibayangkan bahwa Reorganisasi memiliki cita-citanasionalistik. Meski demikian, dengan segala keterbatasan-nya, kebijakan penataan sistem penguasaan tanah ini mendo-rong pemaknaan ulang hubungan antara pemerintah kolonial,keraton dan para priyayinya, serta rakyat di sisi yang lain.Inilah letak “masa depan” Reorganisasi tanah yang terjadidi Yogyakarta. Buku ini menunjukkan batas-batas itu sertamerangsang imajinasi kita untuk membayangkan masa depanyang sedang berproses di tahun-tahun berikutnya.

Reorganisasi tanah dalam pengalaman sejarah agrariadi Yogyakarta ini memberi bahan pelajaran kita dalam mem-baca arah transisi agraria Indonesia kontemporer yang saatini dihela oleh berbagai kekuatan. Di antara berbagai keku-atan itu yang kita saksikan sekarang adalah (mengutip DerekHall, 2011) kebijakan legalisasi tanah (regulation), pengadaan

xi

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

tanah untuk kepentingan umum yang ditengarai dapat dija-lankan menggunakan kekuatan imperatif (force), dan pasartanah sebab beralihnya tanah sebagai komoditas-spekulasi.Berbagai proses dan kebijakan ini bisa kita anggap sebagaiupaya “to make die” rakyat Indonesia (Tania Li, 2009). Diser-tai catatan bahwa kebijakan dan proses itu memiliki “doubleedge of exclusion” (ibid).

Di sisi lain, pemerintah RI saat ini mengeluarkan kebi-jakan yang dicita-citakan sebagai upaya memperbaiki ketim-pangan penguasaan tanah dengan cara mengerem spekulasitanah dan mengoptimalkan peruntukannya untuk rakyat,melalui PP No 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagu-naan Tanah Terlantar. Diindikasi, seluas 7,3 juta hektar tanahditerlantarkan sebab tidak sesuai dengan peruntukannya,diakumulasi oleh pemegang modal demi obyek spekulasi, yangbersamaan dengan itu kondisi ketunakismaan dan kemiskinanterjadi semakin akut. Jika tanah seluas itu bisa didayagunakansebagai obyek landreform, tidak terbayangkan potensikeuntungan ekonomi, sosial, kultural, dan politiknya. RUUPertanahan yang komprehensif sedang disusun yang semogamemberi ruang bagi proses “to make live” rakyat Indonesia.

STPN Pres mengucapkan terima kasih kepada Ibu NurAini yang mengizinkan karyanya untuk diterbitkan, semogabermanfaat untuk memahami persoalan dasar pertanahandi Yogyakarta. Kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pro-ses penerbitan buku ini, Wulan dan Widi yang menyiapkannaskah awalnya, terima kasih atas bantuannya.

Selamat membaca.

xii

DAFTAR ISTILAH

Abdi dakem Pengabdi rajaAfdeeling Wilayah administratif di bawah

residensiAndarbeni (hak) Hak milik individual yang bisa

diwariskanAnggaduh (hak) Hak menggarapApanage Tanah lungguhBau 7096 m², ukuran luas tanahBegrooting AnggaranBeschikking KeputusanCacah 7096 m², jumlah penduduk, luas tanahDistrik Wilayah administratif di bawah

regentschap, setingkat kawedananDomein MilikEigendom (hak) Hak milikGrondhuureglement Peraturan sewa tanahGulden Mata uang BelandaHipotik Barang sesuatu sebagai jaminan

hutang

xiii

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Jung 4 bau (28.384 m²), ukuran luas tanahKarya 7096 m², ¼ jungKasultanan Daerah yang dikepalai oleh sultanKutagara Ibukota kerajaanKawula RakyatMancanegara Daerah di luar negaragungNegaragung Daerah di sekitar kotapraja dimana

banyak terletak tanah lungguhNdalem Rumah tempat tinggal para pangeran

bersama keluarganyaOnderdistrik Wilayah administratif di bawah

distrikOpstal (hak) Hak pendirian bangunanPatuh Pemegang tanah lungguhPajeg PajakPemaosan Tanah raja yang menghasilkan pajak

(uang)Pikul 61,76 kgPengindung Orang yang menumpangPranatan PeraturanPriyayi Birokrat, pegawai pemerintah atau

kerajaan yang merupakan golonganatas dalam masyarakat Jawa

Regenstschap Wilayah adnimistratif di bawahafdeeling

Sentana dalem Kerabat kerjaTanah Kasentanan Tanah yang ditempati para

bangsawanTanah Lungguh Tanah jabatan sementara yang

xiv

Nur Aini Setiawati

diberikan sebagai gaji seorang priya-yi atau bangsawan karena merekamemiliki jabatan dalam pemerin-tahan kerajaan pada waktu tertentu

Tanah Krajan Tanah yang ditempati para pegawaikeraton

Vruchtgebruik (hak) Hak pungut hasil

xv

DAFTAR TABEL

1. Jumlah Penduduk di Yogyakarta 1900-1930 ~ 392. Jumlah Penduduk di Kota Yogyakarta 1920 dan 1930 ~ 413. Jumlah Penduduk Bangsa Eropa dan Bangsa Lainnya

pada Tahun 1920 ~ 414. Gaji Seluruh Pegawai Keraton dalam Masing-masing

Lembaga Antara Tahun 1928-1930 ~ 545. Nama dan Luas Tanah Kasentanan ~ 906. Pajak yang Diterima Patuh dan Pemerintah dari

Orang-orang Nonpribumi ~ 1007. Kekurangan (tunggakan) Pajak N.V.

Osmaatschappij “Mataram” Kepada Kasultanan ~ 1028. Pendapatan Pajak yang Diterima Kasultanan

di Kota Yogyakarta ~ 1049. Biaya yang Harus Dikeluarkan Kasultanan 1925-1930 ~ 10510.Luas Tanah Kasultanan untuk Kepentingan Umum ~ 11811.Luas Tanah Kasultanan yang Diberikan kepada

Penduduk Yogyakarta pada Tahun 1926 ~ 120

xvi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Penulis ~ vKata Pengantar Penerbit STPN Press ~ vii

BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang ~ 1B. Permasalahan ~ 9C. Kerangka Teori ~ 14D. Metode dan Sumber ~ 18E. Kajian Historiografis ~ 21

BAB II KOTA YOGYAKARTA HINGGA AWAL ABAD XXA. Ekologi Kota ~ 27B. Kepadatan Penduduk ~ 38C. Stratifikasi Sosial ~ 42D. Kehidupan Sosial Ekonomi ~ 52E. Struktur Organisasi, Birokrasi, dan Sistem Pemerin-

tahan Kasultanan ~ 57

BAB III TANAH KASULTANAN DI KOTAYOGYAKARTA AWAL ABAD XX

A. Pola Penguasaan Tanah Kasultanan ~ 64

xvii

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

B. Pola Pemilikan Tanah Kasultanan ~ 71a. Tanah Keraton ~ 73b. Tanah Kasultanan yang dipakai NISM dan SS ~ 75c. Tanah Kasultanan yang Diberikan Kepada Orang-

orang Nonpribumi (Tionghoa dan Eropa) ~ 76d. Tanah Krajan/Tanah bagi Para Pegawai Keraton ~ 82e. Tanah Kasentanan ~ 88f. Tanah Pekarangan Bupati dan Pegawai Tinggi ~ 92g. Tanah Kebonan untuk Pepatih Dalem dan

Kepentingan Umum ~ 94h. Tanah Pekarangan Rakyat Jelata ~ 95

C. Sistem Pajak, Kerja Wajib, dan Sistem Apanage atasTanah Kasultanan ~ 96

D. Pemindahan Hak Atas Tanah ~ 105

BAB IV POLA PENGUASAAN, PEMILIKAN DANSENGKETA TANAH SETELAHREORGANISASI AGRARIA DI KOTAYOGYAKARTA

A. Reorganisasi dan Pengaturan Hak Milik Tanah ~ 111a. Hak Penduduk Atas Tanah Setelah Pelaksanaan

Reorganisasi Tanah ~ 1161. Hak Pakai Secara Turun-Temurun

(Erfelijk Gebruiksrechten) ~ 1162. Hak Milik (andarbe) Atas Tanah ~ 1193. Hak Warisan ~ 1214. Hak Menyewakan ~ 1235. Hak Gadai ~ 124

B. Pencabutan Hak Atas Tanah Kasultanan ~ 124C. Sengketa Tanah Kasultanan ~ 126

xviii

Nur Aini Setiawati

a. Pengaduan Sengketa Tanah ke Pengadilan KeratonDarah Dalem ~ 130

b. Sengketa Antara Pemerintah Daerah denganKasultanan ~ 133

BAB V KESIMPULAN ~ 140

DAFTAR PUSTAKA ~ 146LAMPIRAN ~ 151TENTANG PENULIS ~ 171

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum dapat dikatakan bahwa masalah pemilikandan penguasaan tanah kota di Jawa merupakan masalah yangkompleks karena berkaitan dengan aspek politik, budaya,ekonomi, dan sosial. Di samping itu, pemilikan danpenguasaan tanah tidak semata-mata didasarkan pasa aspek-aspek itu, tetapi juga berkaitan dengana aspek ekologi dangeografi yang menambah kekomplekan perkembangan fisikkota.

Pengertian kota menurut Sartono Kartodirjo adalah suatuwilayah yang merupakan pusat pertahanan yang jugasekaligus menjadi pusat pemerintahan, tempat kediaman rajadan pusat agama. Sebagai pengganti dari perlindungankepada daerah sekitarnya, maka kota itu memungut pajakdan hasil bumi dari penduduk. Di kota-kota itu tampak jelasdaerah perdagangan, kediaman raja, prajurit dan pengra-

2

Nur Aini Setiawati

jin.1 Kondisi itu menyebabkan dibutuhkan adanya prasaranaperkotaan yang memadai. Pada umumnya, adanya kebutuhanprasarana perkotaan yang meningkat menyebabkan adanyatransformasi pemilikan dan penguasaan tanah di perkotaan.

Pergeseran pemilikan dan penguasaan tanah di kota yangdisebabkan meningkatnya kebutuhan untuk pemukiman,pemerintahan, dan prasarana perkotaan sering menimbulkanbenturan di antara kelompok yang memiliki kepentingan.Adanya benturan di antara berbagai kepentingan itu seringmenimbulkan persengketaan tanah baik antara warga kotasendiri, antara warga dengan pemerintah, maupun antarawarga dengan pihak swasta.

Salah satu faktor penyebab munculnya suatu kota ada-lah adanya krisis politik.2 Di Yogyakarta munculnya kotatradisional diawali dengan adanya krisis politik yaitu pere-butan kekuasaan antara Pakubuwono II dan pamannyaPangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi diperin-tahkan untuk menyerahkan kembali daerah Sukowati yangpernah diberikan Pakubuwono II sebagai tanda jasanya yangpernah memadamkan pemberontakan R.M Said.3 Akantetapi, P. Mangkubumi tidak mau menyerahkan daerah

1 Sartono Kartodirdjo (ed), Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelom-pok Sosial (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1977), hlm. 5.

2 Pauline Dublin Milone, Urban Areas in Indonesia: Administra-tive And Cencus Concept. Research Series, No. 10, Institute of Interna-tional Studies (Berkeley: University of California, tt), hlm. 85.

3 Pemberontakan R.M Said ini dimaksudkan untuk menghi-langkan pengaruh Kumpeni yang semakin besar atas Kerajaan Mata-ram.

3

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Sukowati dan justru menuntut untuk mempergunakan gelarsultan serta menuntut separo dari wilayah Pulau Jawa,termasuk daerah pesisiran yang telah diserahkan kepadaKumpeni oleh Paku Buwono II.4

Untuk menghindari terjadinya perang yang dapatmenghabiskan korban lebih banyak, Kumpeni yang diwakilioleh Gubernur Jawa, N. Hartingh mengadakan perjanjianGiyanti dengan P. Mangkubumi. Perjanjian Giyanti yangditandatangani pada 13 Februari 1733 membagi kerajaanmenjadi dua. Kerajaan itu adalah Kasunanan Surakarta yangtetap diperintah oleh Sunan Pakubuwono III dan KasultananYogyakarta yang diperintah Pangeran Mangkubumi. 5 Setelahadanya perjanjian itu, berdirilah Keraton Yogyakarta sebagaiibukota kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pembagian itu merupakan tanda berakhirnya perang Pa-lihan Nagari antara Pangeran Mangkubumi yang berkoalisidengan pamannya yang bernama R.M Said, melawanSusuhunan Paku Buwana III yang didukung Kumpeni.Dengan demikian, adanya Perjanjian Giyanti itu, sesungguh-nya secara de facto dan de jure Mataram adalah hak PemerintahV.O.C.6

Dengan adanya Perjanjian Giyanti itu, Kumpenimengangkat Mangkubumi sebagai Sultan yang diserahi

4 M.C. Ricklefs, Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1772:A History of Division of Java (London: Oxford University Press, 1974),hlm. 39-56.

5 Dr. Soekanto, Sekitar Jogjakarta 1755-1825: Perdjanjian Gianti-Perang Dipanegara (Djakarta: Mahabarata, 1952), hlm. 8.

6 Soekanto, op. cit., hlm. 15.

4

Nur Aini Setiawati

wilayah setengah daerah Kerajaan Jawa dan pada 7 Oktober1756, Sultan Mangkubumi mendapat gelar Sampeyan DalemIngkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono SenopatiIngalogo Ngabdurrahkhman Sayidin Panatagama Kalifatullah.Gelar ini memiliki arti bahwa sultan adalah penguasa di dunia,dan juga Senopati ing Ngalogo yang memiliki arti bahwa sul-tan adalah mempunyai kekuasaan dalam menentukanperdamaian atau peperangan dan panglima angkatan perangpada saat terjadi peperangan. Di samping itu, sultan adalahAbdurrahman Sayidin Panatagama yang berarti penataagama, sultan diakui sebagai Kalifatullah pengganti NabiMuhammad SAW.7 Dengan demikian, secara absolut sultanmemiliki anugerah dari Tuhan untuk memegang kerajaandan memiliki kekuasaan militer, politik, dan agama.

Kekuasaan Sultan yang absolut berkurang karena adanyadisintegrasi di Kerajaan Mataram, dengan ditandai terbagi-nya kekuasaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta danKasultanan Yogyakarta. Disintegrasi itu disebabkan wilayahkedua kerajaan terpencar secara tidak beraturan. Ada wila-yah Surakarta yang terletak di timur Surakarta. Dengan ada-nya disintegrasi kerajaan yang tidak dapat terbendung itu,menyebabkan situasi/wibawa Kasultanan Yogyakarta tidak“terkendali” yang berimbas pada ketidakkuasaan menolakberdirinya Kadipaten Pakualaman pada 17 Maret 1813 ataskeputusan pemerintah Inggris. Wilayah Kekuasaan Paku-alaman meliputi wilayah di sekitar istananya (onderdistrict

7 B. Schirieke, Indonesian Sociological Studies (The Hague: W. VanHoeve. Ltd, 1957), II, hlm. 13

5

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Paku Alam) di dalam Kota Yogyakarta dan KabupatenAdikarto di Kulonprogo yang meliputi distrik Galur,Tawangarjo, Tawangsoko, dan Tawangkarto.8 Pada dasar-nya dibentuknya Kadipaten Paku Alaman oleh PemerintahInggris merupakan counter balance bagi kekuasaan sultan.9

Setelah perang Diponegoro berakhir, pada 1830, wilayahKasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dipertegasoleh Belanda melalui Perjanjian Klaten pada 27 September1830 yang ditandatangani Sunan Paku Buwana VII pada 1Oktober 1830 dan Sri Sultan Hamengku Buwana V pada 24Oktober 1830. Berdasarkan perjanjian itu, wilayah Yogya-karta meliputi Mataram serta Gunungkidul dan wilayahSurakarta meliputi Pajang dan Sokowati. Batas yang diten-tukan antara kedua wilayah itu adalah jalan di Prambananmembujur ke utara sampai ke Gunung Merapi dan ke selatansampai ke Gunungkidul di kaki gunung sebelah utara. Kecualiitu Sunan masih berhak memiliki juga tanah makam di Imogiridan Kotagede beserta tanah 500 karya di sekitar makamImogiri dan Kotagede. Demikian pula, sultan masih memilikihak atas tanah makam Seselo beserta tanah seluas 12 jung disekitarnya. Kasultanan Yogyakarta itu menjadi permanenhingga Sultan Hamengku Buwana IX.10

8 Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 148-151

9 Vincent J.H Houben, Kraton and Kumpeni: Surakarta andYogyakarta 1830-1870 (Leiden: KITLV Press, 1994), hlm. 73.

10 P.J Suwarno, Hamengku Buwono IX Dan Sistem BirokrasiPemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis (Yogya-karta: Kanisius, 1994), hlm. 53

6

Nur Aini Setiawati

Kasultanan Yogyakarta merupakan kerajaan yang memi-liki wilayah administratif yang luas. Kehidupan masyarakat-nya bersifat agraris. Oleh karena itu, tanah menjadi saranalegimitasi sultan dalam kekuasaannya. Menurut konsep tradi-sional Jawa, raja merupakan pusat suatu kehidupan di duniadan pemilik tunggal atas tanah kerajaan. Sultan memiliki duajenis hak atas tanah yaitu hak politik yang merupakan hakuntuk menetapkan batas-batas luas daerah dan kekuasaannyadan hak untuk mengatur hasil kepemilikan tanah sesuaidengan adat.11

Kota Yogyakarta merupakan kota keraton yang diawasioleh pemerintah kolonial Belanda. Dengan sendirinya, duakekuatan kepentingan yaitu kekuatan tradisional dankekuatan kolonial bertemu di dalamnya. Oleh karena itu,persoalan-persoalan yang ada di wilayah Yogyakarta diatasioleh dua kekuatan itu dengan mengadakan kontrak-kontrakpolitik.12

Kota istana di kota tradisional Yogyakarta tampakmengandung makna dikotomi kognitif.13 Konseptualisasidikotomi koqnitif merupakan konsep yang mempertentang-

11 Soemarsaid Moertono, Negara Dan Usaha Bina-Negara di JawaMasa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II, Abd XVI sampai XIX(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 134.

12 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880-1930:Perkembangan Sosial (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000),hlm. 11-12

13 Suyatno Kartodirdjo, “Transformasi Sosial Dua KotaTradisional Di Jawa”, makalah pada Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora II: Bidang Linguistik dan Sejarah (Yogyakarta:Fakultas Sastra UGM, 1993), hlm. 3

7

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

kan adanya dua unsur. Hal ini terlihat dari adanya sistempembagian wilayah pusat-pinggiran yang ada pada pemba-gian wilayah Kota Yogyakarta. Sistem pembagian wilayahberkaitan dengan struktur birokrasi Mataram yang didasar-kan atas konsep kewilayahan negara dengan pusat keratondan berkembang meluas ke wilayah luar. Wilayah Kota Yog-yakarta pada waktu itu adalah Kutagara atau Kutanegara,Negara Agung, Mancanegara, dan daerah Pesisiran.

Selain hak untuk menetapkan batas-batas luas daerahkekuasaannya, sultan memiliki hak untuk mengatur kepe-milikan tanah sesuai dengan hukum adat. Pada mulanyatanah Kasultanan di wilayah Yogyakarta diatur menurutDomein Verklaring Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16. jo 1925No. 23 yang menyatakan bahwa tanah menjadi hak miliksultan.14 Akan tetapi, dalam perkembangannya tanah itu adayang diberikan kepada pihak pemerintah Hindia Belanda,kepada perorangan bangsa Belanda dan Tionghoa. Padawaktu diadakan reorganisasi hukum, tanah diberikan sebagaihak milik (bezutsrecht) kepada perorangan yang bertempattinggal di Kota Yogyakarta dan kalurahan di luar ibukota.15

Perubahan status pemilikan tanah di Yogyakarta itu disebutdengan reorganisasi tanah.16

Pada waktu dilaksanakan reorganisasi tanah oleh Sul-

14 Rijksblad Van Sultanaat Djogjakarta, No. 16 tahun 1918.15 K.P.H. Notoyudo, “Hak Sri Sultan Atas Tanah Di Yogyakarta”

(Yogyakarta: 1975), hlm. 416 C.CH. Van Den Haspel, Overwicht in Overleg: Hervormingen

van Justice grondgebruik en bestuur in de Vorstenlanden op Java 1880-1930) (Leiden: KITLV, 1985), hlm. 183-210.

8

Nur Aini Setiawati

tan, di Yogyakarta terjadi perubahan sosial, ekonomi, politik,dan budaya yang menyebabkan terjadinya keresahan dikalangan masyarakat Yogyakarta yang bericikan feodal. War-ga Yogyakarta yang terdiri atas para bangsawan (wong gedhe)dan rakyat (wong cilik) berusaha untuk mengurus surat tanahagar diakui hak kepemilikannya. Kondisi ini menyebabkanterjadinya sengketa tanah di kalangan warga Yogyakarta se-jak dilaksanakannya reorganisasi tanah, bahkan sengketa itumasih terjadi hingga sekitar tahun 1940an.

Penelitian ini mencoba memperjelas proses-proses reor-ganisasi tanah kesultanan yang dimulai pada tahun 1917,sekaligus sebagai awal penelitian ini sampai dengan 1940.tahun 1917 diambil sebagai batas awal karena pada tahunitu Kota Yogyakarta diselenggarakan perubahan penguasaantanah dan pada saat itu juga dikeluarkan suatu pernyataanmengenai “domeinverklaring” untuk seluruh wilayah Kota Yog-yakarta. Domeinverklaring yang dikeluarkan Pemerintah Kolo-nial Belanda memuat ketentuan-ketentuan bahwa semuatanah yang nyata-nyata tidak dapat dibuktikan dengan hakeigendom oleh fihak lain adalah domein dari Pemerintah HindiaBelanda.

Pengertian kata domein mengandung arti pemilikan danpenguasaan. Istilah pemilikan dapat diartikan milik per-orangan turun temurun yang sering disebut pula sebagai yoso.Istilah itu mengandung arti segala sesuatu yang diperolehdari usaha perorangan yang mengubah tanah liar dijadikanmilik sendiri. Istilah yoso itu sediri mencakup tiga pengertianyaitu membuka tanah, menguasai (menempati) tanah, danhak atas tanah itu. Dengan demikian, istilah milik menjelaskan

9

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

pada pengertian harta mutlak (property) yang dimiliki olehperorangan, sedangkan penguasaan memiliki arti kewe-nangan mengelola atau menempati atas tanah yang dikuasai-nya. Azas domein ini selanjutnya dipakai sebagai dasarpelaksanaan peraturan-peraturan agraria di Yogyakarta.17

Adapun tahun 1940 diambil sebagai batas akhir penelitianini dengan pertimbangan bahwa hingga sekitar tahun inisengketa tanah di Kota Yogyakarta masih terjadi.

B. Permasalahan

Pada awal uraian ini, telah disinggung bahwa menurutkonsep tradisional Jawa, raja merupakan pusat kehidupandunia. Oleh karena itu, dengan berbagai legitimasi yang adapadanya, raja memiliki kekuasaan mutlak mencakup seluruhkehidupan kenegaraan yaitu administrasi negara tata hukumdan peradilan.18 Dalam struktur hubungan vertikal padamasyarakat Jawa, aturan yang berlaku adalah adanya ke-taatan dan kepatuhan warga yang tergolong pada tingkatbawah kepada tingkat yang lebih tinggi dalam strukturmasyarakat. Dalam kehidupan sosial ekonomi, hal itu ter-wujud dalam struktur feodal yang tidak seimbang. Padakondisi demikian, melalui saluran feodal dengan memper-gunakan ikatan-ikatan primordial yang ada dalam masya-rakat raja dapat menikmati jaminan ekonomi yang berle-bihan. Oleh karena raja dan para bangsawan mendudukitingkat tertinggi dalam stratifikasi sosial dan memiliki hu-

17 Rijksblad van Djokjakarta tahun 1918, No. 16, pasal 1.18 Soemarsaid, op. cit., hlm. 6.

10

Nur Aini Setiawati

bungan darah dengan raja yang menjadi pusat kekuasaan,19

maka mereka berada pada peringkat status yang tinggi seba-gai tuan, dan rakyat kecil (wong cilik) berada pada peringkatterendah sebagai abdi. Dalam masyarakat feodal seperti ini,bangsawan sebagai tuan dapat mengerahkan berbagai jasayang dimiliki oleh seorang abdi dengan imbalan yang tidakseimbang. Pengerahan tenaga kerja yang dilakukan para bang-sawan dengan menggunakan tenaga rakyat kecil (abdi), antaralain adalah menjaga keamanan, membersihkan keraton,memelihara harta istana, dan sebagainya.

Masalah yang sangat penting adalah stuktur hubunganvertikal pada masyarakat Jawa sering dikaitkan dengan per-masalahan pertanahan. Tanah menunjuk status tertentu padaseseorang dalam masyarakat. (Hak milik (domein) raja atastanah-tanah di wilayah kekuasaannya telah diketahui olehrakyat sebagai suatu kesadaran hukum. Sejak kapan hukumyang mengatur pemilikan tanah di Kota Yogyakarta itu ada?Apakah hukum itu merupakan sesuatu yang baru untukdipaksakan? Apakah warga masyarakat Yogyakarta diberikesempatan untuk memiliki hak kepemilikan akan tanah yangdipakai?

Setelah Kerajaan Mataram terpecah menjadi dua yaituYogyakarta dan Surakarta, Belanda menunjuk seorang resi-den untuk mengawasi kedua kerajaan itu. Campur tanganpemerintah kolonial semakin mengarah kepada campurtangan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum.

Pemerintah kolonial membentuk pengadilan Landraad

19 Ibid., hlm. 42.

11

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

untuk menyelesaikan perkara-perkara hukum orang pribumibaik yang menyangkut perkara pidana maupun perdata.20

Pada tahun 1917 pemerintah kasultanan masih melangsung-kan lembaga pengadilan Bale-Mangu untuk mengadili per-kara-perkara tanah. Pengadilan ini merupakan pengadilanadministratif perkara tanah antara patih dan lurah denganpenduduk. Di samping itu, sultan masih mempunyai keku-asaan mengadili perkara keluarga sedarah. Dengan demikian,sultan memiliki kekuasaan mengadakan dua macam penga-dilan yaitu Pengadilan Keraton Darah Dalem untuk menanga-ni perkara warga yang masih memiliki kedekatan darahdengan keraton dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem yangmengadilan perkara-perkara yang sama terhadap keluargasedarah turunan ketiga dan keempat. Akan tetapi, denganadanya pranatan dalam Rijksblad 1927 No. 35, kedua penga-dilan itu dijadikan satu dengan diberi nama Pengadilan Kera-ton Darah Dalem yang tempat bersidangnya di Sri Manganti.Pengadilan itu dibentuk karena semakin kompleksnya perma-salahan-permasalahan dalam masyarakat termasuk perma-salahan mengenai tanah Kasultanan.21

Masalah besar yang dihadapi pengadilan Lanraad danpengadilan Keraton Darah Dalem adalah bagaimana menyele-saikan sengketa tanah yang terjadi pada para bangsawan,kerabat keraton, dan orang pribumi di wilayah Yogyakarta.Sengketa tanah itu meliputi masalah warisan, persewaan, hi-

20 Staadsblad Van Nederlandsch Indie, tahun 1909, No. 320.21 K.R.T Notoyoeda, :Sekedar Gambaran mengenai Pengadilan

di Jogjakarta’ (tanpa penerbit)

12

Nur Aini Setiawati

bah, jual-beli, dan sebagainya. Semua permasalahan itu akanpenulis coba jelaskan dalam penelitian ini.

Di samping beberapa permasalahan yang telah dipa-parkan di muka, dalam penelitian ini juga akan dijelaskan,mengapa sengketa tanah terjadi. Permasalahan lainnya yangperlu diperhatikan adalah pemberian tanah kasultanan dalambentuk hak milik pada orang nonpribumi. Apakah kasultanandapat memberikan hak atas tanah pada orang-orang nonpri-bumi? Dalam hal ini, hukum tanah adat atau hukum tanahBarat yang berlaku. Apabila hukum tanah Barat yang berlaku,bagaimanakah Kasultanan dapat memberikan hak tanah itu?Permasalahan-permasalahan seperti itu penting untuk dicarijawabannya.

Tulisan ini mengambil lingkup spasial Kota Yogyakartakarena Yogyakarta merupakan daerah Vorstenlanden yangmemiliki keistimewaan tersendiri. Sultan yang mempunyaikekuasaan di wilayahnya menguasai tanah dan pengguna-annya. Usaha Pemerintah Hindia Belanda dan masyarakatpribumi serta bangsa Timur Asing untuk memperoleh lahanmerupakan penelitian yang menarik. Disamping itu, per-kembangan Kota Yogyakarta yang pesat menimbulkankompleksitas permasalahan tanah. Sengketa tanah munculantara keluarga keraton dengan masyarakat, antara para ahliwaris sultan dan lembaga yang memakai tanah kasultanan,serta antara keraton dengan usahawan. Perkembangan pe-manfaatan tanah baik sebagai pemukiman masyarakat Eropa,kantor-kantor pemerintah, pasar, rumah penduduk, dan seba-gainya mengakibatkan perubahan pemilikan dan penguasaantanah di Yogyakarta. Kasus seperti ini merupakan kasus yang

13

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

menarik untuk diteliti.Pada awal abad XX, Kota Yogyakarta merupakan wilayah

inti (kutanegara) Kerajaan Yogyakarta yang penduduknyapadat. Kehidupan sosial ekonomis daerah ini telah berkem-bang dengan adanya pemanfaatan tanah sebagai pasar danpusat perdagangan di sepanjang Malioboro serta pusat pere-daran uang yang didorong oleh adanya sistem pajak ber-bentuk uang. Setelah adanya kekuasaan Pemerintah HindiaBelanda di Yogyakarta, Keraton Yogyakarta masih memilikihak otonomi. Pemerintah Kolonial mengakui dan menghor-mati kedudukan daerah Kasultanan dan Pakualaman(swapraja). Di daerah swapraja ditempatkan residen yangkemudian berubah menjadi gubernur beserta stafnya. Dengandemikian, Yogyakarta memiliki kedudukan yang istimewadibandingkan dengan daerah lainnya. Di Yogyakarta meski-pun terdapat kekuasaan pemerintah kolonial, raja tetap memi-liki kekuasaan Zelfbestuur status. Hubungan antara peme-rintah kolonial dan raja dilakukan melalui perantara seorangpatih, dalam hal ini patih bertindak sebagai perantara seka-ligus mata-mata residen di istana.22

Beberapa persoalan di atas sebagaimana telah diuraikansecara luas, secara kebetulan melihat Yogyakarta (Kota Yog-yakarta) sebagai ruang lingkup spasial penelitian. PemilihanKota Yogyakarta dilakukan karena Yogyakarta merupakandaerah Vorstenlanden yang memiliki perkembangan pesat. Satuanalisis yang tepat tentang periode ini diharapkan bisadigunakan untuk melihat transformasi pemilikan tanah di

22 P.J Suwarno, op. cit., hlm. 57-58.

14

Nur Aini Setiawati

Kota Yogyakarta, dan secara ideal pula dapat digunakanuntuk melihat tepat tidaknya suatu kebijakan pemerintahyang berhubungan dengan sektor agraria pada saat inimaupun proyeksi masa depan. Perencanaan pembangunanakan lebih tepat jika faktor-faktor pengalaman masa laludiperhatikan sebagai bagian dari memahami proses perja-lanan panjang sejarahnya. Untuk itu, menganalisis sebab-sebab umum dan khusus perubahan pola-pola pemilikantanah dan sengketa tanah, transformasi pemilikan, dan kaitan-nya dengan pekembangan Kota Yogyakarta menjadi perludikerjakan secara serius.

C. Kerangka Teori

Untuk memaparkan suatu kerangka konseptual lebihdahulu akan dijelaskan pengertian istilah pola pemilikan dansengketa yang dipergunakan dalam kajian sejarah ini. Menu-rut hukum adat, hubungan manusia dengan tanahnya sangatditentukan oleh intensitas de facto penggunaan atau pengga-rapan manusia atas tanah itu. semakin semangat manusiamenggarap tanah, semakin kukuh hubungan antara manusiadengan tanah yang digarapnya, sehingga semakin kukuhpula penguasaan dan pemilikan atas tanah itu. penguasaaandan pemilikan tanah perseorangan diperoleh dari membukatanah kososng dengan izin gubernur. Setiap orang yang mem-buka tanah diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah(erfelijk individueel bezitsrecht).23

23 Oloan Sitours dan Nomadyawati, Hak Atas Tanah Dan Kondomi-nium Suatu Tinjaun Hukum (Jakarta: Dasamedia Utama, 1995), hlm. 46.

15

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Dalam konsep hukum adat, arti hak milik bergantungpada hubungannya dengan hak ulayat. Hubungan orangyang membuka tanah dengan tanah yang dibuka, semakinlama semakin kuat apabila tanah itu tetap dipelihara, danpada akhirnya tanah itu menjadi hak milik si pembuka. Selan-jutnya, pemilik tanah tersebut dapat melakukan transaksiatas tanahnya. Mereka dapat menjual, memberikan, mengga-daikan, menukarkan dan sebagainya. Meskipun demikian,hak ulayat masyarakat hukum adat tetap ada. Apabila tanahyang sudah dibuka itu kemudian tidak dipelihara danditelantarkan, tanah akan kembali menjadi hak ulayat masya-rakat hukum adat.24

Hubungan masyarakat hukum adat sedemikian eratnyadengan tanah, tempat anggota masyarakat bertempat tinggal.Hubungan itu tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapi jugamenunjukkan hubungan yang bersifat magis religius. Mun-culnya hubungan yang erat itu karena tanah memiliki bebe-rapa fungsi baik sebagai harta kekayaan, tempat tinggal,kuburan, maupun sebagai tempat pertokoan. Oleh karenaitu, tanah dalam masyarakat hukum mempunyai arti danstatus tersendiri apabila dibandingkan dengan harta bendalainnya. Selain itu, tanah mempunyai kaitan yang sangat eratdengan kewenangan masyarakat hukum adat. Adapunwewenang di kalangan masyarakat hukum adat disebut “hakulayat” yang berarti hak yang dimiliki suatu masyarakathukum adat untuk menguasai seluruh tanah beserta isiya dilingkungan wilayahnya. Karena berupa hak penguasaan atas

24 Ibid., hlm. 44.

16

Nur Aini Setiawati

tanah yang tertinggi, maka semua hak-hak perorangan secaralangsung atau tidak langsung bersumber pada hak ulayatitu.25

Pemikiran hukum adat tentang hak atas tanah sepertiyang diterangkan di atas banyak ditentang oleh ilmuwansosial. Hal ini disebabkan oleh pertama, istilah bezit diartikanhak milik (ownership). Pengertian ini memungkinkan memberistatus hak milik tanah terhadap orang-orang Asing di Indo-nesia. Kedua, istilah bezit bisa dipahami sebagai orang yangmembuka tanah baru (newly opened lands) kemudian menjadipemilik tanah (ownership of land).26

Dalam membicarakan pemilikan tanah di Kota Yogya-karta, perlu dikembalikan kepada konteks kekuasaan rajayang bercirikan agraris tradisional. Konsep kekuasaan rajatidak jauh dari definisi kekuasaan pada umumnya yang padaprinsipnya bersifat absolut. Raja-raja Mataram adalah pem-buat undang-undang, pelaksana undang-undang, dan seka-ligus sebagai hakim.27 Dengan demikian, kekuasaan seorangraja terkesan begitu besar dan tak terbatas sehingga rakyatmengakui raja sebagai pemilik segala sesuatu baik harta bendamaupun rakyat yang mempergunakan tanah di wilayah keku-asaannya. Rakyat menjadi sasaran untuk memperoleh pajak

25 Hadisuprapto, Ikhtisar Perkembangan Hukum Tanah Daerah Isti-mewa Yogyakarta (Yogyakarta: Karya Kencana, 1977), hlm. 2.

26 Robert van Niel, “Rights to Land in Java”, dalam T. IbrahimAlfian (eds), Dari Babad Dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1992), hlm. 145.

27 Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 77.

17

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

karena tanah akan menghasilkan keuntungan apabila dikeloladengan baik.

Robert van Niel mengatakan bahwa sumber utama pen-dapatan raja dan rakyatnya berasal dari pengolahan tanah.Raja sebagai penguasa seluruh tanah di wilayah kekuasaannyamengambil sebagian hasil tanah dan mempergunakan tenagakerja (kawula). Tanah di Kutagara ditempati sebagai tempattinggal, pekarangan di sekitar rumah di daerah Kutagarapada umumnya ditanami pohon buah-buahan dan pohonbambu, sedangkan sawah yang letaknya agak jauh dari tem-pat tinggal ditanami padi. Demikian pula, tanah di Nega-ragung dan Mancanegara, tanah itu dikelola oleh kawulanya.Pengelolaan tanah dan tenaga kerja diatur oleh Patuh.28

Dalam perkembangannya, penguasaan dan pemilikantanah oleh raja itu mengalami transformasi terutama setelahdiadakan reorganisasi agraria. Rakyat diberi kesempatanuntuk memiliki tanah secara pribadi. Demikian pula halnyadengan bangsa Belanda dan Tionghoa mereka diberi kesem-patan untuk mengelola tanah yang mereka tempati.

Konsep hak milik berdasarkan Kitab Undang-UndangHukum Perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek) menitikberatkanpada pemilikan tanah sebagai awal pemilikan yang beradadi tangan penguasa pemerintah. Berbeda dengan konsep hu-kum adat yang menekankan pada kenyataannya (de facto)baik berupa kenyataan penguasaan, penempatan, pendu-dukan, permukiman maupun berupa pengusahaan meru-pakan permulaan munculnya hak, konsep hukum Barat

28 Robert van Niel, op. cit., hlm. 124.

18

Nur Aini Setiawati

menekankan pada aturan hukum (de jure) yang dapat menim-bulkan hak dan kekuasaan. Oleh karena itu, negara untukdapat dinyatakan menguasai tanah harus dinyatakan terlebihdahulu kepemilikannya yang disebut dengan domeinverklaring. Dengan demikian, seseorang yang tidak dapatmembuktikan bahwa tanah yang dikuasainya adalah milik-nya, maka tanah yang bersangkutan adalah tanah negara(eigendom negara). Apabila tanah dikuasai oleh negara, makanegara dapat menyewakan atau menguasainya. Oleh karenaitu, muncul berbagai macam hak tanah anatara lain hak eigen-dom, hak opstal, hak erfpacht, hak pungut hasil (Vruchtgebruik),dan hak hipotik.

Konsep pemilikan hak atas tanah yang bersumber padahukum adat yang bersifat de facto berbenturan dengan konsephukum Barat yang bersifat de jure yang bersumber padadomein verklaring. Kondisi itulah yang menyebabkan terjadinyasengketa tanah. Keberadaan hukum adat tidak dapat meng-hadapi kekuasaan pemerintah kolonial. Sengketa tanah diKota Yogyakarta merupakan sengketa tanah yang pada prin-sipnya memperebutkan ruang. Hal itu disebabkan oleh ada-nya perubahan fungsi tanah.

D. Metode dan Sumber

Untuk lebih menjelaskan permasalahan pemilikan tanahdi Kota Yogyakarta, penelitian ini “lebih dekat” mengguna-kan pendekatan sosiologis.29 Pendekatan itu dapat digunakan

29 Untuk pendekatan sosiologis lihat Neils J. Smelzer, Sociol-ogy: An Introduction (New York: John Wiley & Sons, 1967), Peter

19

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

untuk menjelaskan aspek-aspek penguasaan tanah di KotaYogyakarta, kekuasaan sultan dan pemerintah kolonial yangmemberi dampak munculnya sengketa tanah. Selain itu,faktor-faktor penyebab transformasi pemilikan dan sengketatanah dapat dipahami dengan pendekatan ini.

Walaupun pada dasarnya metode sejarah mengawalikajian penelitian ini dengan pengumpulan sumber, seleksi,kritik, sintesis, dan eksplanasi atas fenomena untuk mewu-judkan sebuah rekonstruksi sejarah agraria yang objektif.30

Penggunaan metode sejarah untuk menyusun sumber-sum-ber peninggalan atau dokumen masa lampau secara krono-logis, sehingga akan menjadi karya sejarah. Dalam mere-konstruksi sejarah, selain digunakan jenis penulisan sejarahdeskriptif, juga digunakan jenis penulisan sejarah analitis.Hal ini disebabkan suatu logika situasional, penghidupanimajinasi kembali dan pengertian-pengertian yang padadasarnya tergantung pada analisis kejadian-kejadian atasdokumen.

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah agraria. Olehkarena itu, akan menitikberatkan perhatiannya pada aspekdiakronik dan sinkronik transformasi pemilikan dan

Burke, History and Social Theory (Oxford: Polity Press, 1992), Ok.Chairuddin, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), JamesFentress and Chris Wickham, Social Memory (Oxford: Blackwell, 1992)

30 Penggunaan metode sejarah lihat antara lain Rex Martin,Historical Explanation (Ithaca: Cornell University Press, 1977), H.CHockett, Critical Method in Historical Research and Writing (New York:Macmillan & Co. 1967), Robert F. Berkhofer, Jr. A Behavioral Ap-proach to Historical Analysis (New York: Thee free Press, 1970).

20

Nur Aini Setiawati

penguasaan tanah serta sengketa tanah yang terjadi padamasyarakat Kota Yogyakarta. Dengan kata lain, dimensi wak-tu akan ditekankan pada tahun 1917 sampai dengan 1940 an,sedangkan dimensi ruangnya akan meliputi aspek-aspek eko-logi demografi, ekonomi, sosial, dan politik.

Studi sejarah yang mempelajari peristiwa-peristiwa masalampau kehidupan manusia memerlukan sumber-sumbersejarah sebagai rekaman peristiwa masa lampau. Untuk studisejarah yang berkaitan dengan pola pemilikan danpenguasaan serta sengketa tanah digunakan arsip-arsipkolonial dan arsip-arsip lokal Keraton Yogyakarta pada awalhingga pertengahan abd XX. Bahan dokumenter itu memuatdata sangat luas tentang pola pemilikan, penguasaan dansengketa tanah di Kota Yogyakarta. Disamping itu, jugadimuat data yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi,ekologi, dan geografi Kota Yogyakarta.

Arsip-arsip itu pada umumnya berupa laporan-laporanpemerintah seperti laporan residen, asisten residen, danbupati yang ditujukan kepada gubernur jendral dan jugakeputusan-keputusan. Laporan itu berupa Politik Verslag,Algemeen Verslag, sedangkan keputusan-keputusan peme-rintah Besluit, Mailrapport, dan verbaal. Politik Verslag merupa-kan laporan kegiatan sosial politik, sedangkan AlgemeenVerslag merupakan laporan rutin setiap tahun yang dikirimoleh residen kepada gubernur jendral. Adapun keputusanpemerintah yang merupakan permasalahan penting yangbersifat konfidensial terdapat pada bendel Besluit (keputusanpemerintah) dan Mailrapport merupakan laporan HindiaBelanda yang dikirimkan ke negeri Belanda secara berkala.

21

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Verbaal merupakan proses keputusan mengenai suatu masalahdan laporan lengkap serta pertimbangan dari berbagaipejabat. Bahan-bahan dokumenter itu banyak diperoleh diArsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Bahan dokumenter yang memuat sengketa-sengketatanah banyak diperoleh di Arsip Keraton Yogyakarta. Data-data sengketa tanah itu meliputi sengketa jual beli, sewa-menyewa, tanah pekarangan dan lain-lain wilayah KotaYogyakarta.

isamping sumber primer, penulis juga menggunakansumber sekunder yang berupa karya tulis sejarawan danilmuwan lainnya, serta sumber-sumber tersier yang berupadisertasi-disertasi sejarawan. Penggunaan sumber-sumber itudimaksudkan untuk mempertajam masalah-masalah yangada dalam penelitian.

Peneliti memiliki kesulitan dalam pencarian berbagai datadan sumber sejarah khususnya yang berkaitan denganperistiwa-peristiwa lokal di Kota Yogyakarta. Data jumlahpenduduk belum disusun secara lengkap. Demikian pula,sebagian data tanah dianggap masih rahasia, sehingga tidakboleh dibaca. Oleh karena itu, dalam memecahkan masalahini peneliti berusaha semaksimal mungkin untuk menemu-kannya dan melengkapinya dengan pencarian sumber-sumber itu di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)atau perpustakaan baik di wilayah Yogyakarta maupunJakarta.

E. Kajian Historiografis

Penelitian mengenai pergeseran pemilikan dan

22

Nur Aini Setiawati

penguasaan tanah di kota-kota di Jawa pada zaman kolonialyang pernah dilakukan merupakan suatu studi yang kom-prehensif, dalam arti suatu kajian yang berdiri sebagai suatulembaga dalam masyarakat secara menyeluruh. Penelitianitu kebanyakan bertitik berat pada tanah di pedesaan denganpengkhususan pada kategori tertentu seperti tanah dalamhubungannya dengan penguasaan, struktur sosial, danlandreform di pedesaan Jawa.

Studi tentang Yogyakarta yang dilakukan oleh VincentJ.H Houben31 lebih terfokus pada hubungan PemerintahKolonial Belanda dengan raja-raja di Keraton Jawa, khususnyaSurakarta dan Yogyakarta. Kajian itu lebih menitikberatkanpada kajian politik, sosial, dan ekonomi. Pada kajian sosialekonomi diuraikan aktivitas pengusaha perkebunan bangsaEropa di Yogyakarta. Bangsa Eropa menyewa tanah pararaja dan kaum bangsawan di Jawa yang dibatasi oleh politikmonopoli kolonial. Penyewaan tanah kepada bangsa Eropaterjadi pada 1816, mereka menyewa beracre-acre tanah yangsubur untuk ditanami dalam jangka panjang dan menanamidengan tanaman yang menghasilkan uang. Aktivitas itudidukung oleh Residen Yogyakarta Nahuys van Burgst yangjuga seorang penyewa tanah. Di Yogyakarta, menurut pen-dataan sewa tanah di wilayah karesidenan, pada 1821 ter-dapat 381 jung tanah yang disewakan kepada 115 penyewa.Penulisan seperti yang dilakukan oleh Vincent J.H Houbendi atas merupakan kajian yang sering dilakukan oleh seja-

31 Vincent, J.H. Houben, op.cit., hlm. 16.

23

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

rawan ataupun ilmuwan-ilmuwan sosial. Hal ini mungkindisebabkan menariknya permasalahan-permasalahan sepertiitu dan banyaknya arsip kolonial maupun lokal yang memuatlaporan-laporam umum dari segala kegiatan pemerintah danraja yang berkaitan dengan masalah-masalah agraris.

Demikian pula halnya, dengan studi G. Schwencke yangtertuang dalam karyanya Het Vorstendladsche Groundhuur-reglement in De Practijk en Het Grondrecht in Jogjakarta,32

Schwencke menguraikan praktik persewaan tanah dan pajaktanah di Yogyakarta dari periode setelah reorganisasi agrariasampai dengan krisis ekonomi dunia tahun 1930-an. Dalampenelitian ini diungkapkan permasalahan tanah yang ber-kaitan dengan onderneming-onderneming yang melakukanpersewaan tanah di Yogyakarta, G. Schwencke memfokuskanperhatiannya pada pemanfaatan dan hak-hak tanah di daerahpedesaan.

Sebuah karya yang memiliki cakupan bidang yang luasyang membahas tanah kasultanan adalah studi Rouffaer.33

Pokok penelitian Rouffaer meliputi proses penetrasi peme-rintah kolonial ke dalam masyarakat vorstenlanden bagipenanaman modal pemerintah kolonial. Dalam studiRouffaer, ditunjukan dominasi peran kolonial terhadapkekuasaan raja, struktur birokrasi kerajaan, kondisi agraria,sistem hukum di vorstenlanden, dan transformasi pemilikan

32 G. Schwencke, Het Vorstenlandsce Groundhuur Reglement inDe Practijk en Het Grondrecht in Jogjakarta (Djogja: Vh. H. Buning,1932).

33 G.P Rouffaer, “Vorstendanden”, Adatrechtbundels, 193.

24

Nur Aini Setiawati

tanah. Tidak jauh berbeda dengan studi Rouffaer adalahkarya Ter Haar yang dimuat dalam Adatrecht Bundel XXII.Ter Haar membahas tanah-tanah yang termasuk ibukotaYogyakarta yang dapat dibedakan sebagai tanah yangdipakai sendiri oleh sultan, tanah yang oleh sultan diserahkankepada Gubernemen Nederlanssch-Indische SpoorwegMaatschappij (NISM), tanah-tanah dengan hak eigendom yangdiberikan kepada orang-orang Tionghoa dan Belanda, tanahyang dipakai pejabat (tanah krajan), tanah kasentanan, dansebagainya. Kajian dalam buku ini sangat kaya akan sumber-sumber sejarah khususnya yang membahas transformasipemilikan tanah.

Penulisan tentang sejarah Kota Yogyakarta juga pernahdilakukan oleh Abdurrahman Surjomiharjo. Berbeda denganpenelitian sebelumnya sebagaimana diuraikan di atas, Ab-durrahman menitikberatkan penelitiannya pada perkem-bangan masyarakat Yogyakarta, yaitu perkembangan di bi-dang pendidikan di kalangan bangsawan hingga munculnyaelite dan organisasi modern di Kota Yogyakarta. Studi inijuga menyoroti perkembangan pemukiman pendudukpribumi, Tionghoa, dan Eropa yang merupakan ciri umumdari studi sejarah sosial kota. Oleh penulisnya, studi inidiharapkan dapat memberikan gambaran proses sejarah kotatradisional dan kolonial yang kemudian menjadi KotamadyaYogyakarta dan wilayahnya meliputi daerah kekuasaanKasultanan dan Pakualaman.34

34 Abdurrachman Surjomihardjo, op. cit., hlm. 19

25

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Abdurrachman Surjomiharjo memandang perkem-bangan Kota Yogyakarta sebagai kota tradisional yang darisudut pandang ilmu sosial sangat relevan dengan studisejarah perkotaan. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwaKota Yogyakarta merupakan petunjuk awal bagaimanaPemerintah Hindia Belanda memperkenalkan ketentuan danketetapan baru di bidang administrasi, hak tanah, susunanbirokrasi, sistem pajak, dan upah di dalam kehidupan masya-rakat Yogyakarta. Selanjutnya Abdurrachman Surjomihardjomenguraikan pemanfaatan tanah di lingkungan Yogyakarta.Setelah Perang Diponegoro, rumah residen Belanda mulaiberdiri yang dikenal sebagai loji kebon dan Benteng Vre-deburg dikenal sebagai loji besar. Kompleks keraton terketakdi sebelah bangunan Belanda dikelilingi oleh tembok besar.Orang-orang Eropa bermukim antara keraton dan bentengVredeburg, sedangkan orang Tionghoa bermukim di daerahPacinan di sebelah utara Fort Vredeburg dan pasar. DalemPakualaman terletak di sebelah timur S.Code (Kali Code)yang membelah Kota Yogyakarta. Di sebelah utara pacinandibangun tempat kediaman dan Kantor Patih Danurejo yangterletak di sebelah Barat S.Code.

Sementara kajian cukup mendalam tentang perubahan-perubahan sosial akibat adanya perubahan-perubahan eko-nomi dan politik di Yogyakarta dilakukan oleh Selo Soemar-djan.35 Kajian ini membahas perubahan sosial sejak zamanPemerintahan Hindia Belanda hingga zaman kemerdekaan

35 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1981).

26

Nur Aini Setiawati

di Yogyakarta. Kajian itu mencakup perubahan lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,termasuk nilai-nilai, sikap, dan pola tingkah laku antar kelom-pok di dalam masyarakat. Oleh karena itu, studi tersebutdapat digunakan sebagai referensi dalam melihat perkem-bangan masyarakat kota seiring dengan perkembangan tataguna tanah serta pola pemilikan tanah yang mengalamitransformasi dari masa ke masa.

27

BAB IIKOTA YOGYAKARTA

HINGGA AWAL ABAD XX

A. Ekologi Kota

Sistem pembagian wilayah Mataram berkaitan eratdengan struktur birokrasinya yang didasarkan pada konsepkewilayahan negara dengan keraton sebagai pusat dankemudian berkembang ke wilayah luar. Sistem pembagianwilayah seperti itu menunjukkan pada sistem pembagianwilayah pusat-pinggiran yang ada pada pembagian wilayahKota Yogyakarta.

Sesuai dengan konsep tradisional Jawa, wilayah Kasul-tanan Yogyakarta dibagi menjadi Kutagara atau Kutanegarayang kemudian disebut Nagari, merupakan tempat tinggalatau kediaman raja dan keluarganya. Wilayah di luarnya ada-lah Negara Agung yang masih merupakan inti kerajaan,karena di daerah ini terdapat tanah lungguh milik parabangsawan yang tinggal di Kutanegara. Daerah-daerah yang

28

Nur Aini Setiawati

termasuk dalam Negara Agung adalah Mataram (Yogya-karta), Pajang, Bangwetan atau Sukowati, Bagelen, Kedu,Bumi Gede merupakan daerah-daerah yang terletak di sebe-lah barat laut Surakarta dan barat daya Semarang. Wilayahyang paling luar adalah Mancanegara dan Pasisiran. Wilayahitu meliputi daerah-daerah Banyumas, Madiun, Kediri, Ja-pan (sebelah barat-daya Surabaya), Jipang (sebelah tenggaraRembang), Grobogan, dan Keduwang (sebelah tenggara Su-rakarta). Adapun daerah Pasisiran meliputi Demak ke baratdan timur.1

Berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755,wilayah Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua wilayah yaituwilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta,sehingga Kota Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Sul-tan.2 Dalam perjanjian itu, sultan diserahi wilayah setengahdaerah pedalaman Kerajaan Jawa. Oleh karena itu, kedu-dukan sultan sebagai raja menempatkannya sebagai pemiliktunggal atas tanah kerajaan. Setelah perjanjan Giyantiditandatangani pada 7 Oktober 1756, Pangeran Mangkubumimemindahkan pusat pemerintahannya dari Aambarketawangke Yogyakarta dan membangun Keraton yang cukup luaskurang lebih 14.000 m².3

1 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 77.

2 Soekanto, Sekitar Jogjakarta 1755-1825: Perdjandjian Gianti-PerangDiponegoro (Djakarta: Mahabarata, tt), hlm. 8.

3 K.P.H Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta (Yogyakarta:Museum Kraton Yogyakarta, 1978), hlm. 8

29

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Sebagaimana disebutkan di atas, berdasarkan PerjanjianKlaten pada 27 September 1830 wilayah Kasultanan Yogya-karta meliputi Mataram serta Gunungkidul, sedangkan wila-yah Kasunanan Surakarta meliputi Pajang dan Sokowati.Kecuali itu, sultan masih memiliki hak atas tanah makamSeselo beserta tanah seluas 12 jung di sekitarnya. Dengandemikian, wilayah Kasultanan Yogyakarta mempunyai batas-batas di sebelah barat Karesidenan Kedu, di sebelah utaraadalah Gunung Merapi, di sebelah timur adalah Surakarta,dan di sebelah selatan Lautan Indonesia sebagai pembatas.4

Dalam konteks pengembangan wilayah Hindia Belanda,pada tahun 1864 dibangun jaringan transportasi khususnyakereta api untuk memenuhi kebutuhan transportasi umumdan onderneming.5 Pada 1873, perusahaan swasta Neder-landsch Indische Spoorweg Maatscahappij (NISM) yang ber-pusat di stasiun Lempuyangan telah membangun stasiun kecildi Ngabean serta tranportasi untuk pedagang kecil dari PasarBringharjo. Selain itu, N.I.S.M juga membuka jaringantransportasi kereta api ke arah Utara dan Timur. Programini menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta diharapkan menjadipusat kegiatan ekonomi yang menjembatani hubungan-hu-bungan ekonomis yang berkembang di Kota Yogyakarta. Disamping itu, pada 1887 dibangun jalur lintas kereta api Yog-yakarta-Cilacap oleh pemerintah yang disebut Staats

4 Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (‘S Gravenhage: MartinusNijhofff, 1917), hlm. 622

5 “Algemeen Verslag der Residentie Djogjakarta 1890”, ANRI,Arsip Djogja, bundle 5.

30

Nur Aini Setiawati

Spoorwegen (SS) dengan stasiuannya di sebelah selatan Tugu.Fungsi utama dibangunnya jaringan kereta api itu adalahuntuk kepentingan transportasi pabrik-pabrik gula.6

Pada 1903, Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi 3afdeeling oleh Pemerintah Hindia Belanda yaitu afdeelingMataram di bawah asisten residen dengan ibukota Yogya-karta yang terdiri atas Yogyakarta, Sleman, Kalasan, dantanah-tanah susuhunan, Pasar Gede dan Imogiri, serta Bantul.Kedua, afdeeling Kulon Progo di bawah asisten residendengan ibukota Pengasih (Wates) yang terdiri atas KabupatenNanggulan, Kalibawang, dan Sentolo. Pengasih (Wates)termasuk tanah sultan sedangkan Kabupaten Adikarto milikPakualaman. Ketiga, afdeeling Gunungdikul dengan ibukotaWonosari.7

Untuk Kota Yogyakarta yang dikuasai oleh kasultanan,batas-batas wilayah ditetapkan dengan surat ketetapanPemerintah Hindia Belanda 24 Juli 1923 nomer 21 yang terdiriatas pertama, sebelah utara sejak batas paal no. 40 sepanjangbatas selatan Kelurahan Jombor sampai batas selatan kelu-rahan Kutu, sisi utara jalan dari Desa Blambangan sampaiDesa Karangwaru hingga batas paal no. 43, melewati bataspaal no. 44 hingga no. 61 di aliran barat Kali Code, dari batas

6 Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 (Yogyakarta: PAU-UGM, 1989), hlm. 113. Lihat juga Tim TelagaBakti Nusantara dan Asosiasi Perkeretaapian Indonesia (APKA),Sejarah Perkeretaapian Indonesia, Jilid 1 (Bandung: Angkasa, 1997), hlm.66.

7 Staatsblad Van Nederlandsch Indie, tahun 1903, no. 134.

31

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

paal no. 62 sepanjang batas selatan Kelurahan Demanganmelalui batas paal no. 63 sampai batas paal no. 70; Kedua,sebelah timur dari batas paal no. 70 sepanjang barat KelurahanDemangan dan Muja Muju melewati batas paal no. 71 hinggano. 90 dan kemudian sepanjang sisi barat dari Desa Tem-pelwirogunan sampai Desa Golo hingga batas paal no.91,dari batas paal no. 91 sepanjang batas barat kelurahan Semaki,Warungboto, dan Sorosutan hingga batas paal no. 100 aliranbarat Kali Code dan kembali ke batas paal no. 1; Ketiga, disebelah selatan, dari batas paal no. 1 sepanjang batas utaraDesa Wojo sampai no. 10 di sisi barat jalan dari Yogya menujuKretek, dari batas paal no. 10 sepanjang batas utara kelurahanKrapyak melalui paal no. 11 sampai dengan no. 17 sampaialiran barat Kali Winongo; Keempat, sebelah barat dari bataspaal no. 17 sepanjang batas timur Kelurahan Padokan danNitipuran, aliran barat Kali Winongo sampai batas paal no.26 di sisi selatan jalan dari Yogyakarta sampai Gamping, daribatas no. 26 sepanjang batas timur Kelurahan Sutopadan sam-pai batas paal no. 35 di aliran air timur Trinil, dari batas paalno. 35 sepanjang batas timur Kelurahan Kembang, aliran timursaluran Trinil sampai batas paal no. 36 terletak di sisi timurjalan dari Yogya ke Godean, dari batas paal no. 36 hinggano. 39 dan dari sana sepanjang aliran barat saluran Trinilhingga batas barat no. 40.8

Secara singkat batas-batas wilayah Kota Yogyakarta ter-diri atas sebelah utara Kampung Jetis hingga Sagan dan Sami-rono, sebelah Timur dari Kampung Samirono hingga Kam-

8 Staatsblad Van Nederlandsch Indie, tahun 1923, no. 377.

32

Nur Aini Setiawati

pung Lowano, sebelah selatan mulai dari Kampung Lowanosampai ke Kampung Bugisan. Sebelah Barat dari KampungBugisan sampai Kampung Tegalrejo. Adapun nama-namaonderdistrik yang ada dalam Kota Yogyakarta tercatat ada14 yaitu onderdistrik Jetis, Tegalrejo, Wirobrajan, Mantri-jeron, Ngampilan, Keraton, Gondomanan, Danurejan, Gon-dokusuman, Gedong Tengen, Pakualaman, Mergangsan,Umbulharjo, dan Kotagede.9

Pada 1927, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengubahnama wilayah administratif. Pada mulanya, wilayah Kasul-tanan Yogyakarta terdiri atas enam kabupaten yaitu Kulon-progo, Mataram/Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kalasan, danGunungkidul. Setelah naik tahta, Sultan Hamengku BuwonoIX mengeluarkan Rijksblad van Jogjakarta 1940 no. 13 yangmembagi wilayah Kasultanan Yogyakarta menjadi 4 kabu-paten yaitu pertama, Kabupaten Yogyakarta yang terdiri atasdua distrik yaitu Distrik Kota dan Distrik Sleman. Kedua,kabupaten Bantul yang terdiri atas Distrik Bantul, DistrikGodean, Distrik Kotagede, Distrik Pandah. Ketiga, Kabupa-ten Kulonprogo yang terdiri atas Distrik Sentolo dan DistrikNanggulan. Keempat, Kabupaten Gunungkidul yang terdiriatas Distrik Wonosari, Distrik Playen, dan Distrik Semanu.10

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam studi ini akandilihat proses pemilikan dan penguasaan tanah kasultananyang hanya mencakup kota wilayah Kasultanan Yogyakarta

9 Buku Kenang-kenangan Peringatan 200 Tahun KotaYogyakarta 1756-1956 (Yogyakarta: tp, 1956), hlm. 23-24.

10 Ibid, hlm. 54-55.

33

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

yang dikuasai Kasultanan. Batas-batas kota wilayah Kasul-tanan adalah wilayah Kota Yogyakarta dikurangi onderdistrictPakualaman yang menjadi kekuasaan Kadipaten Pakualaman.Kota Yogyakarta memanjang ke utara, terdapat sungai Wi-nanga dan Code yang mengapit keraton, kedua-duanyamenembus ibu kota dari jurusan utara ke selatan. Selain itu,Kota Yogyakarta dilintasi oleh sungai besar yaitu SungaiGajah Wong. Aliran ketiga sungai itu ternyata paralel denganbentuk peta Kota Yogyakarta yang mirip belah ketupat, yangmemiliki pengaruh pada pola jalur jalan raya yang ada. polajalur jalan raya yang saling tegak lurus antara yang satudengan yang lain ini juga berpengaruh terhadap pola per-mukiman masyarakat di Kota Yogyakarta.11

Daerah-daerah pemukiman Kota Yogyakarta berse-belahan dengan poros besar Utara-Selatan melintasi istanadari ujung ke ujung dan alun-alun utara, Jalan Malioborohingga Tugu. Daerah pemukiman itu diberi nama sesuaidengan nama kelompok pekerjaan yang pernah menem-patinya.12

Keberadaan Kota Yogyakarta merupakan hinterland

11 Penelitian Awal Kota Jogjakarta (Yogyakarta: Fakultas TeknikArsitektur UGM dan Dit. Tata Kota dan Daerah Ditjen Tjipta Karja,1971), hlm. 1.

12 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jilid 3, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm 111.Dinamakan Kampung Surakarsan karena semula menjadi tempattinggal Prajurit Surakarsa, Kampung Dagen karena semula ditem-pati oleh golongan Undagi (tukang kayu), kampung Kumendamankarena ditempati oleh Komandan Angkatan perang.

34

Nur Aini Setiawati

dengan daerah-daerah di karesidenan lain, dan merupakanjaringan utama yang menghubungkan ke arah Barat denganKota Purworejo, kota yang terletak di Jawa Tengah, ke arahTimur dengan Kota Solo, ke arah utara dengan Kota Mage-lang, dan daerah regenschap seperti Bantul, Gunungkidul,Sleman, dan Kulonprogo.13

Luas wilayah Kota Yogyakarta mengalami proses peru-bahan. Pada 1756 luas wilayah Kota Yogyakarta adalah 9,7km², pada 1790 luas wilayah 12,5 km², dan pada tahun 1827luas wilayah 13,5 km². Selanjutnya, luas wilayah itu menga-lami perubahan hingga 32,50 km².14

Menurut teori jalur konsentrik yang dikemukakan olehE.W Burgess kota terbagi menjadi tiga lingkaran dalam yangterletak di pusat kota terdiri atas bangunan-bangunan kantor,bank, bioskop, pasar, toko. Selanjutnya, di lingkaran tengahterdapat rumah-rumah, rumah sewaan dan perumahan peng-rajin. Pada lingkaran luar terdapat kawasan perumahan yangluas untuk penduduk kelas menengah. Di luar lingkaranterdapat jalur perdagangan, pemukiman golongan menengahdan atas.15 Pada awal abad XX Kota Yogyakarta pada umum-nya mempunyai rumah-rumah yang mengelompok ataumerupakan pemukiman terpusat. Suatu kota yang tidakterencana berkembang dipengaruhi struktur kota semakinke tengah semakin rapat.

13 Algemeen Verslag der Residentie Djogjakarta1870 dan 1871, ANRI,Arsip Djogja bundel 5.

14 Penelitian Awal Kota Yogyakarta, loc. cit.15 Johara T Jayadinata, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pede-

saan, Perkotaan dan Wilayah (Bandung: Penerbit ITB, 1986), hlm. 102.

35

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Dalam program pengembangan wilayah Kota Yogya-karta, dibangun ke arah utara berupa pasar, benteng kompeni,tempat tinggal residen, dan patih, serta kampung-kampungyang mengelilingi istana sebagai tempat tinggal para bang-sawan dan pegawai istana. Demikian pula, perkampunganorang Belanda dan Tionghoa berkembang ke arah utara yangterletak di luar tembok benteng keraton.

Letak istana yang berada di pusat Kota Yogyakarta dike-lilingi benteng. Daerah ini biasanya dikenal sebagai jerobeteng yang terdiri atas Alun-alun Utara, Teratag, Pagelaran,Sitihinggil Kidul, dan Alun-alun Kidul. Istana yang terletakdi pusat Kota Yogyakarta itu merupakan tempat tinggal raja.

Permukiman golongan bangsawan yang merupakankerabat keraton dan para abdi dalem, pada umumnya beradadalam kompleks istana (jero Beteng) dengan masing-masingtugas mereka seperti Kampung Kemitbumen merupakankampung para abdi dalem kemit bumi, yang memiliki tugasmembersihkan keraton, Kampung Siliran yang merupakantempat tinggal hamba silir, yang memiliki tugas menguruslampu-lampu istana, Kampung Gamelan merupakan kam-pung tempat tinggal abdi dalem yang memiliki tugas meme-lihara kuda istana. Kampung Pesinden merupakan kampungpara wiraswara istana, Kampung Langenastran dan Kam-pung Langenarjan merupakan kampung prajurit pengawalistana, Kampung Patehan merupakan tempat tinggal merekayang bertugas mengurusi minuman, Kampung Nagan meru-pakan tempat tinggal para pemukul gamelan, serta KampungSuronatan yang merupakan tempat tinggal golongan ulamaistana. Kampung tempat tinggal para pangeran dan bang-

36

Nur Aini Setiawati

sawan tinggi lainnya diambilkan dari nama bangsawannyasendiri seperti Pakuningratan, Jayakusuman, Ngadikusuman,Panembahan, Mangkubumen, dan sebagainya.16

Kampung-kampung yang tumbuh di luar benteng (jabaBeteng), selain merupakan tempat permukiman hamba istana,juga merupakan kelompok seprofesi dalam bidang peme-rintahan, militer, pertukangan, pengrajin, serta golonganbangsawan. Nama-nama kampung itu adalah KampungPajeksan yang merupakan tempat kediaman para jaksa,Kampung Gandekan merupakan tempat tinggal pesuruhistana. Kampung Dagen merupakan tempat kediaman tukangkayu, Kampung Jlagran merupakan tempat pengrajin penatabatu, Kampung Gowongan sebagai tempat tinggal paratukang kayu ahli bangunan, Kampung Menduran merupakantempat kediaman orang-orang Madura, Kampung Wirobra-jan, Patangpuluhan, Daengan, Jogokaryan, Orawirotaman,Ketanggungan, Mantrijeron, Nyutran, serta Surokarsan danBugisan merupakan tempat tinggal para pasukan istana.17

Kampung Mergangsan merupakan tempat tinggal paratukang kayu bangunan. Kampung Keparakan merupakantempat tinggal pelayan istana. Kampung Gerjen merupakantempat tukang jahit. Kampung Kauman merupakan tempattinggal kaum ulama istana, kampung Gedong Tengen meru-pakan kampung hamba istana yang mengurusi kepentingan

16 Djoko Soekiman (ed), Sejarah Kota Yogyakarta (Jakarta: Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan NilaiTradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Na-sional, 1986), hlm. 8

17 Ibid.

37

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

bagian luar istana, sedangkan Kampung Gedong Kiwo meru-pakan tempat tinggal para hamba yang mengurusi harta ista-na. Selain itu terdapat kampung tempat tinggal bangsawandi luar istana seperti Kampung, Timuran, Ngabean, Pugeran,Notoprajan, Notoyudan, dan sebagainya. Dengan demikian,kelompok-kelompok yang tinggal di luar keraton memilikibeberapa macam profesi baik profesi kriya, jabatan peme-rintahan, kelompok prajurit keraton, kompleks pemukimangolongan etnis, maupun pemukiman orang-orang bangsawanserta pembesar kerajaan.18

Adanya perkebunan swasta menyebabkan meningkat-nya jumlah penduduk Eropa dan Tionghoa di Yogyakarta.Pada umumnya, mereka bermukim di daerah perkotaanterutama sejak kaum bangsawan istana menyewakan tanahjabatan mereka di sekitar Benteng Vredeburg yang dikenaldengan Kampung Loji Kecil dan Loji Besar. Golongan Eropaini kemudian mengembangkan permukiman mereka di utarakota, dan wilayah itu kemudian dikenal dengan nama Kota-baru. Perkembangan permukiman itu menyebabkan mun-culnya dorongan modernisasi Kota Yogyakarta dalampengembangan infrastruktur seperti jalan umum, jembatan,dan sebagainya.19

Permukiman orang-orang Tionghoa berada di sekitarPasar Bringharjo, hal ini disebabkan mata pencaharian orang-orang Tionghoa pada umumnya sebagai pedagang. Dengandemikian, pekerjaan orang-orang Tionghoa yang selalu ber-

18 Ibid.19 Ibid, hlm. 19.

38

Nur Aini Setiawati

kaitan dengan kegiatan ekonomi mengakibatkan meluasnyapermukiman Tionghoa ke arah utara Kota Yogyakarta yaitudi daerah Kranggan, sesuai dengan munculnya jaringantransportasi kereta api antara Yogyakarta dengan Semarang.

B. Kepadatan Penduduk

Pertumbuhan dan kepadatan penduduk Kota Yogya-karta pada mulanya tidak dapat diketahui secara tepat karenatidak ada catatan mengenai hal itu. Baru pada masa Peme-rintah Kolonial Belanda di Jawa pada 1925 perhitungan cacahjiwa mulai menjadi perhatian. Pemerintah Belanda mem-peroleh angka-angka penduduk melalui kerja sama pamong-praja dengan berbagai perkebunan untuk kepentinganpenarikan pajak. Angka-angka penduduk yang diperoleh ituternyata menyimpang dari kenyataan karena kurang telitinyadalam pencarian data, sehingga muncul kelebihan jumlah ataukekurangan jumlah.20

Dalam laporan tentang penghitungan penduduk 1900-1930 disebut adanya kenaikan dan penurunan jumlah pen-duduk di Yogyakarta dapat dilihat pada tabel 1 sebagaiberikut:

20 J.C Breman, “Java’S Bevolking en Demografisch Structur”,dalam Tijdschrift K.N.A.G. vol LXXX/3, 1963, hlm. 314-315.

39

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Tabel 1Jumlah Penduduk di Yogyakarta 1900-1930

Sumber: Widjojo Nitisastro, Population Trends in Indonesia (Ithaca:Cornell University Press, 1970), hlm. 6

Dari tabel di atas tampak bahwa dalam perkembangankurun waktu hampir tiga puluh tahun kemudian, kenaikanjumlah penduduk Yogyakarta cukup tinggi, meskipun antaratahun 1917 hingga 1920 terjadi penurunan sebanyak 91.350jiwa. Angka kenaikan penduduk dari tahun 1900-1905 se-banyak 34.378 jiwa, dari tahun 1900-1917 sebanyak 289.838jiwa, sedangkan dari tahun 1920 hingga tahun 1930 mengalamikenaikan sebanyak 276.212 jiwa. Jumlah kenaikan secarakeseluruhan penduduk Yogyakarta sejak tahun 1900-1930sebesar 474.700 jiwa. Dalam perkembangan selanjutnya, per-tambahan penduduk Yogyakarta antara tahun 1920 hingga1961 adalah 2,7 %.21 Jumlah penduduk yang tinggi di Yog-yakarta itu disebabkan di Yogyakarta berdiri suatu kerajaanyang sebagian wilayahnya merupakan daerah perkotaandengan penduduk relatif padat.

Menurut sensus 1930 yang diadakan oleh pemerintahkolonial, jumlah penduduk Yogyakarta 1930 sebanyak

21 N. Daldjoeni, Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka(Bandung: Penerbit Alumni, 1980), hlm. 125.

Tahun Jumlah Penduduk

1900 1.084.327

1905 1.118.705

1917 1.374.165

1920 1.282.815

1930 1.559.027

40

Nur Aini Setiawati

1.559.027 orang terdiri penduduk pribumi 794.544 orang laki-laki dan 789.324 orang wanita; penduduk bangsa Eropa 3.757orang laki-laki dan 3.560 orang wanita, penduduk Tionghoa6.980 orang laki-laki dan 5.660 orang wanita, serta pendudukTimur Asing lainnya 109 orang laki-laki dan 93 orang wanita.22

Di antara penduduk pribumi di Yogyakarta, terdapatpenduduk yang berasal dari luar Jawa antara lain: pendudukSunda berjumlah 359 orang laki-laki dan 213 orang wanita;penduduk Madura berjumlah 319 orang laki-laki dan 125 wa-nita; orang-orang Banjar berjumlah 134 orang laki-laki dan126 orang wanita, dan orang-orang Manado berjumlah 152orang laki-laki dan 80 orang wanita, suku lainnya ada 413orang laki-laki dan 216 orang wanita. Dengan demikian, menu-rut Pauline D. Milone pada tahun 1930 jumlah pendudukYogyakarta itu yang berstatuskan Indonesia (89,27%), Eropadan keturuannya (4,09%), Tionghoa (6,52%), dan lain-lain(1,12%).23

Suatu wilayah dapat disebut kota apabila penduduk yangpadat dengan jumlah 2.500 jiwa atau lebih.24 Pada tahun 1920penduduk kota Yogyakarta telah melebihi 2.500 jiwa. Jumlahpenduduk itu dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut:25

22 Volkstelling 1930, Deel VIII, Overzicht voor Nederlandsch-Indie(Batavia: Landsdrukkerij, Department van Economisch Zaken,19360, hlm. 65.

23 Pauline D. Milone, Urban Areas in Indonesia Administrativeand Cencus Concepts (Berkeley: Institute of International StudiesUniversity of California, 1966), hlm. 124.

24 Noel P Gist and L. A. Halbert, Urban Society (New York:Thomas Y Crowell Company, 1950), hlm. 4.

25 Pauline D. Milone, op. cit., hlm. 116-138.

41

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Tabel 2Jumlah Penduduk di Kota Yogyakarta 1920 dan 1930

Sumber: Volkstelling 1930, deel 1, Voorloopige Uitkomsten le GedelteJava en Madoera, Preliminary Results of the Cencus of 1930 in theNetherlands East Indies Part 1 Java anda Madura. Batavia: Landsdruk-kerij, Department van Landbouw, Nijverheid en Handel, 1933.

Penduduk Kota Yogyakarta yang memiliki komposisisangat pluralis meliputi etnik Asia, Eropa dan bangsa lainnya.Perincian jumlah penduduk bangsa Eropa dan bangsa lainnyadapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini:

Tabel. 3Jumlah Penduduk bangsa Eropa dan bangsa Lainnya

Pada tahun 1920

No. Penduduk dan Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Pribumi 1920 45.171 49.083 94.254

1930 57.843 64.050 121.893

2. Eropa 1920 2013 1717 3730

1930 2813 2790 5603

3. Tionghoa 1920 3185 2458 5643

1930 4857 4037 8894

4. Asia lainnya 1920 52 32 84

1930 89 75 164

Total 1920 50.421 53.290 103.711

Total 1930 65.602 70.592 136.554

No Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan

1. Nederlandsh Indie 1.977 2.333

2. Nederland 664 362

3. Belgia 12 3

4. Jerman 39 14

5. Perancis 1 2

6. Inggris 2 5

7. Austria 2 2

8. Swiss 3 2

42

Nur Aini Setiawati

Sumber: Volkstelling 1930. Deel VI, European In Nederlandch Indie;Cencus of 1930 In Nederlandsch Indie Vol VI Europeans In NederlandsIndie. Batavia: landsrukkerij, Departement van landbouw,nijverheid en handel, 1933.

Penduduk Bangsa Eropa dan bangsa lainnya (nonpribu-mi) pada umumnya memiliki pekerjaan di bidang keamanan,perkebunan, birokrasi pemerintah dan leveransir kebutuhanhidup masyarakat Eropa di sekitar pemukiman masyarakatEropa (Loji Besar). Mereka bertempat tinggal di daerah LojiKecil dan Loji Besar, Kotabaru, dan Sagan. Kedua, etnik Arabdan Tionghoa yang dikenal sebagai orang-orang TimurAsing. Mereka pada umumnya memiliki aktivitas di bidangperekonomian seperti pedagang, pemungut cukai pasar,rumah gadai, rumah candu, serta menjadi perantara masya-rakat Eropa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Merekabertempat tinggal di Pecinan, Sayidan, Kranggan, dan LojiKecil. Ketiga, penduduk pribumi terdiri atas raja dan parakawulanya. Para kawula raja itu adalah prajurit-prajurit istana.

C. Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial terjadi disebabkan adanya sesuatu yangdihargai dalam suatu masyarakat. Marx dalam pembahasan-nya tentang klas yang didasarkan pada modal, membedakankelompok sosial dalam tiga tingkatan yaitu pemilik tanah,

9. Malaya 1 -

10. Jepang 69 18

11. Nederlansch West Indie 11 5

12. Amerika Serikat 3 1

13. Bangsa Asing lainnya 32 28

14 Penduduk lainnya - 2

Total 2.816 2.777

43

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

pemilik modal, dan pekerja yang hanya memiliki tenaga.26

Dengan demikian, pembagian kelas dalam suatu masyarakatdibedakan menurut tingkat yang mereka miliki. Akibatnya,tingkatan dalam masyarakat mewujudkan adanya hubungan-hubungan perintah dan hubungan-hubungan ketergantunganantara individu yang satu dengan individu yang lainnya.27

Hubungan antara klas atas dan bawah di Jawa khususnyadi Yogyakarta merupakan hubungan kawula-gusti (hamba dantuan) sesuai dengan tradisi klasik Jawa. Hubungan Kawula-Gusti merupakan suatu ikatan antar perintah dan kepatuhan,tetapi juga merupakan ikatan saling ketergantungan di antaramereka. Keterikatan orang Jawa khususnya Yogyakartakepada konsep kawula-gusti mewujudkan interaksi sosial yangrumit karena orang harus menjaga posisi mereka sendiri ter-hadap orang lain. Konsep kawula-gusti diwarnai oleh pemi-kiran yang sudah ditakdirkan, dan tidak tergoyahkan akannasib. Tempat wong cilik dan wong gedhe dalam stratifikasimasyarakat Yogyakarta tidak hanya didasarkan pada segikekayaan ekonomis atau keunggulan kelahiran. Tetapi darisegi pertuanan (patron) dan perhambaan (client) yang hakserta kewajibannya dianggap telah ditakdirkan.28

26 Jorge larrain, Konsep Ideologi. Terj. Ryadi Gunawan(Yogyakarta: LKPSM, 1996), hlm. 55.

27 Stanislan Ossoski, “Interpretations of Class Structure in His-torical Perspective” dalam William E. Connolly dan Glean Gor-don, Social Structure and Political Theory (Masachusetts: D.C Heathand Company, 1974), hlm. 249.

28 Soemarsaid Moertono, Negara Dan Usaha Bina-Negara di JawaMasa Lampau; Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 134.

44

Nur Aini Setiawati

Kota Yogyakarta sebagai pusat kerajaan “masyarakatnya”memiliki budaya feodal. Oleh karena itu, stratifikasi masya-rakat Yogyakarta terbagi menjadi empat lapisan besarberdasarkan hak atas tanah serta kewajiban mereka yaitu lapisanpertama, sultan sebagai penguasa wilayah Kota Yogyakarta yangtinggal di keraton, sedangkan lapisan kedua, terdiri atas kerabatkeraton atau bangsawan keturunan raja dan pejabat-pejabattinggi kerajaan, mereka mendapat tanah apanage.29 Kedua lapisanitu yang disebut dengan wong gedhe. Selanjutnya, menyusullapisan ketiga yang merupakan golongan menengah yang terdiriatas abdi dalem atau para priyayi, mereka mempunyai rumahdan pekarangan sendiri. Akan tetapi, ada pula abdi dalem yangtempat tinggalnya magersari yaitu mereka yang tidak memilikitanah atau pekarangan sendiri, tetapi memiliki rumah. Merekamemiliki kerja wajib memelihara wilayah keraton. Lapisankeempat, adalah lapisan bawah yang disebut dengan wong cilik(kawula alit), rakyat jelata. Golongan ini memiliki jumlah yanglebih besar daripada golongan atas dan menengah danmerupakan golongan yang diperintah. Mereka tinggal di dekatkomunitas keraton. Lapisan bawah terdiri atas pekerja kerajinan,yang merupakan pekerja tidak terdidik atau sedikit mendapatlatihan kerja di perusahaan kecil. Pada umumnya, mereka tidakmemiliki tanah atau pekarangan maupun rumah dan bertem-pat tinggal di daerah pinggiran.30 Keadaan struktur masyarakat

29 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di PedesaanSurakarta 1830-1920 (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), hlm. 33

30 Abdurrachman Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan SosialKota Yogyakarta 1880-1930 (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,

45

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

tradisional ini telah mendasari pola pemukiman masyarakattradisional di wilayah Yogyakarta.

Melihat bentuk stratifikasi sosial yang ada di Yogyakartaitu, maka pelapisan sosial di Yogyakarta selain didasarkankepada tanah atau kekayaan, juga didasarkan pada kede-katan seseorang kepada pusat kekuasaan yang berkuasa.31

Mereka yang bekerja pada kantor pemerintah tanpa meman-dang kedudukan mereka dipandang sebagai lapisan tinggi.Mereka itu pada umumnya adalah golongan priyayi.

Golongan priyayi di Yogyakarta selalu berusaha mem-pertahankan kemurnian darah mereka dengan mengikutipembatasan yang kaku dalam identitas sosial mereka, mes-kipun mulai tahun 1900 pembatasan itu memudar. Golonganpriyayi dibedakan menurut asal keturunan mereka yaitu pri-yayi luhur dan priyayi kecil. Priyayi luhur merupakan priyayiyang dilihat dari jabatan ayahnya, asal keturunan ibunya danasal keturunan istrinya, sedangkan priyayi kecil adalah pri-yayi yang dilihat dari jabatan pada administrasi pemerin-tahan.32

Dengan mengetahui perbedaan priyayi sebagaimanadiuraikan di atas, maka ternyata priyayi memiliki nilai-nilaikultural yang berbeda dengan rakyat jelata. Akan tetapi, seba-

2000), hlm. 33. Lihat juga F.A. Sutjipto (ed), Sejarah Nasional Indo-nesia, Jilid IV(Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 23-25

31 Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Terj. ZaharaDeliar Noer (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 39.

32 Sartono Kartodirdjo (eds.) Perkembangan Peradaban Priyayi(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 7. Lihatpula Leslie H Palmier, Social Status and Power in Java.

46

Nur Aini Setiawati

gai kelompok sosial, priyayi kecil merupakan kelompok yanglonggar, yang tidak harus berasal dari keturunan sultan.Mereka dapat berasal dari rakyat jelata yang dekat denganpenguasa karena jabatan, kedudukan dan kesetiaannya. Apa-bila seseorang dapat mencapai kedudukan tinggi dan menye-suaikan gaya hidup serta nilai-nilai yang dimiliki priyayi,maka ia dan anak-anaknya akan diterima menjadi seorangpriyayi.33 Kaum terpelajar yang telah memperoleh kedudukandalam birokrasi, hidup dengan gaya priyayi dan dengansendirinya memperoleh status terhormat.34

Golongan priyayi merupakan kelompok sosial yangmenguasai jabatan-jabatan pada administrasi pemerintahan,sehingga mereka memonopoli jabatan-jabatan itu. merekamerupakan bagian dari administrasi pemerintahan yangmenjadi pegawai dalam rangka sistem pemerintahan tidaklangsung. Akan tetapi, terhadap rakyat, mereka memperta-hankan hubungan yang bersifat patrimonal karena merasamenjadi pewaris penguasa tradisional yang bersifat feodal.35

Disamping kedudukan, jabatan, dan status keturunanyang menentukan golongan priyayi sebagai kelompok sosial,terdapat pula ciri-ciri tertentu untuk membedakan kelompokpriyayi dengan rakyat jelata. Ciri-ciri itu adalah bentuk rumah

33 Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Terj.Sunarto (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 66

34 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: SejarahPergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid II(Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 83.

35 D.H Burger, Perubahan-perubahan Struktur Dalam MasyarakatJawa (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), hlm. 10.

47

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

tempat kediaman, pakaian resmi, gelar, dan gaya hidup seo-rang priyayi. Dari ciri-ciri itu dapat diketahui tingkat atauderajat kebangsawanan yang ada pada golongan setiappriyayi.36

Bentuk rumah sebagai tempat kediaman priyayi menjadisimbol tingkat kepangkatan dan jabatan seorang priyayi padapemerintahan. Tempat tinggal priyayi di Yogyakarta beruparumah yang megah, meskipun tidak semegah istana SultanYogyakarta. Berdasarkan adat sopan santun Jawa, rakyatjelata (wong cilik) tidak akan membangun rumah menyamaiseorang priyayi yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Ru-mah tempat tinggal priyayi berkaitan dengan kegiatan ru-tin, peran, kedudukan, dan fungsi-fungsi lainnya dalammasyarakat.

Rumah-rumah tinggal priyayi pada dasarnya digunakanuntuk menunjukkan perangai baik mereka di satu pihak dandi pihak lain untuk menunjukkan kewibawaan mereka kepa-da masyarakat. Dalam rumah priyayi, hal ini terungkap padabagian depan rumah induk, yang sering terpisah dengan ru-mah induk yang disebut dengan pendopo.37

Status kepriyayian orang Yogyakarta juga ditunjukandengan gelar yang digunakan di depan nama seseorang.Gelar kepriyayian ini, selain didasarkan pada asal keturunan,juga didasarkan pada jabatan seseorang dalam pemerintah,

36 Sartono Kartodirdjo (eds), op. cit., hlm. 26.37 Arya Ronald, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan

Rumah Jawa (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atmajaya), hlm.208.

48

Nur Aini Setiawati

sehingga tidak tertutup kemungkinan gelar yang dipakai diJawa tahun 1925 mulai mendapat perhatian dalam perhi-tungan cacah jiwa. Pemerintah Belanda menemukan ada duajenis gelar di depan nama seorang priyayi yaitu gelar ketu-runan dan gelar jabatan. Seorang priyayi yang bernama Ra-den Tumenggung merupakan gelar jabatan dalam pemerin-tahan pada umumnya masih keturunan raja. Seorang bangsa-wan yang memiliki gelar Bandara Raden Mas merupakangelar keturunan dari raja. Adapun seorang priyayi yanghanya memiliki gelar jabatan seperti tumenggung, ngabehipada umumnya berasal dari rakyat jelata (wong cilik).38

Berbeda dengan golongan priyayi, golongan rakyat jelata(wong cilik) memiliki ciri-ciri tersendiru dalam kehidupannya.Ciri yang menandai pola hidup mereka secara tidak langsungdipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal dan bagaimanacara mereka mendapat status sosial dalam masyarakat. Padadasarnya mereka memiliki gaya hidup yang sederhana dantidak berlebihan sebagaimana yang terjadi pada golonganatas (wong gedhe). Lingkungan rakyat kebanyakan tampakpolos dan terbuka. Di samping itu, lingkungan ini juga ditan-dai oleh rendahnya tingkat pendidikan. Pada umumnya go-longan ini memiliki profesi sebagai petani, pekerja kerajinan,buruh, dan budak. Oleh karena itu, mereka mudah berbaurdengan pendatang.39

Status sosial masyarakat Yogyakarta mengalami peru-bahan selama adanya penetrasi Pemerintahan Belanda di

38 Sartono, op. cit., hlm. 46.39 Selo Soemardjan, Ibid, hlm. 40.

49

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Yogyakarta. Wertheim mengatakan bahwa pada abad XIXhingga akhir kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda, penet-rasi Pemerintah Belanda semakin menguat disertai dengannaiknya kedudukan sosial mereka.40 Kondisi ini menyebab-kan munculnya perubahan kelas dalam masyarakat Yogya-karta yaitu orang Belanda yang kehadirannya mencolok karenaperbedaan ras, warna kulit, kekayaan materi, dan kebuda-yaan mereka. Kekuasaan mereka melebihi kekuasaan sultandan menduduki status sosial di tingkat paling atas. Merekamemiliki jabatan tinggi dalam dinas sipil dan militer Belanda.41

Proses interaksi antara penguasa Belanda dengan go-longan priyayi telah melahirkan jaringan hubungan baru. Parapriyayi yang semula menjadi alat kekuasaan sultan berubahmenjadi alat perantara sultan dengan penguasa Belanda. Parapriyayi memiliki tugas baru dalam mengadakan aktivitas per-dagangan dengan Belanda. Kondisi ini memungkinkan Peme-rintah Belanda memonopoli komoditas di wilayah keraton.Kedudukan orang-orang Belanda untuk memonopoli komo-ditas itu kuat karena aktivitas perekonomiannya mendapatbantuan dari pedagang Tionghoa yang pada saat itu kebe-radaannya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah Belanda un-tuk menjadi perantara dengan masyarakat pribumi.

Kedudukan dan kekuasaan orang-orang Belanda di Yog-yakarta yang semakin kuat, mengakibatkan berkurangnyakekuasaan sultan, para bangsawan, dan priyayi. Meskipun

40 W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study ofSocial Change (Bandung: Sumur Bandung, 1956), hlm. 73-75.

41 Selo Soemardjan, Ibid., hlm. 36.

50

Nur Aini Setiawati

kekuasaan sultan diakui, kekuasaannya berada di bawahpengaruh nilai-nilai kolonial yang baru. Semakin intensif nilai-nilai kolonial mempengaruhi bidang sosial, ekonomi, danbudaya, semakin besar pula perubahan-perubahan yangterjadi dalam masyarakat Yogyakarta.

Kelompok orang Tionghoa bertempat tinggal di Kam-pung Pacinan yang memanjang dari alun-alun utara ke utarasampai ke Tugu, kemudian juga mendiami kampung-kam-pung di belakangnya yaitu Kampung Pajeksan, Gandekan,Beskalan, dan bagian timur jalan yaitu Kampung Ketandan.Sebagai pedagang mereka menyukai tinggal di tepi jalan besardan di dekat pasar. Dalam bidang ekonomi, mereka menda-patkan perlakuan yang lebih baik dibandingkan dengan pen-duduk pribumi, sehingga mereka dapat memonopoli sektorperdagangan. Kondisi ini membuat mereka merasa lebihunggul daripada penduduk asli.42

Meskipun orang-orang Tionghoa mendapat perlakuanyang baik dari orang-orang Belanda, dalam melakukan akti-vitas perdagangan mereka mengalami kesulitan untukberbaur dengan masyarakat pribumi. Hal ini disebabkan olehadanya kesenjangan ekonomi antara kedua golongan ini.Ketidakadilan Belanda memperlakukan pedagang pribumidan memberikan peluang kepada masyarakat Tionghoa me-numbuhkan kecemburuan sosial pada masyarakat pribumi.Oleh Pemerintah Kolonial Belanda, orang-orang Tionghoadiberi kedudukan penting, fasilitas, perlindungan, dandukungan dalam menjalankan aktivitas ekonominya. Ini

42 Ibid., hlm. 41-42.

51

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

membantu mereka memperoleh kedudukan monopolistisdalam perdagangan dan distribusi, sedangkan kesadarankelompok mereka yang kuat menyebabkan kelompok merekatertutup terhadap persaingan dari luar. Oleh karena itu,kelompok pedagang Tionghoa dapat mendominasi kehi-dupan sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta.43

Berdasarkan uraian di atas, stratifikasi sosial masyarakatYogyakarta setelah kedatangan Pemerintah Belanda diYogyakarta didasarkan pada jenis pekerjaannya dapat dibagidalam kelas yang bertingkat-tingkat. Status sosial yangbertingkat-tingkat itu selalu dipertahankan oleh masyarakatYogyakarta, meskipun sejak kedatangan penguasa kolonialterjadi kontak peradaban. Hal ini membawa perubahansistem pelapisan sosial sesuai dengan struktur yang ada.Dengan adanya proses perubahan pelapisan sosial itu, makayang menduduki strata sosial paling atas adalah golonganEropa yang terdiri atas orang-orang Belanda, Jerman, Peran-cis, dan Spanyol. Lapisan kedua diduduki oleh raja dan parabangsawan. Lapisan ketiga diduduki oleh golongan TimurAsing yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang, mandor,pemungut cukai pasar, rumah candu, dan penghubungmasyarakat pribumi dengan masyarakat Eropa untuk peme-nuhan kebutuhan di Kota Yogyakarta. Adapun golongankeempat adalah golongan pribumi. Golongan pribumi terdiriatas para kawula raja yang terdiri atas orang Jawa, Madura,Bugis, Bali, yang merupakan prajurit-prajurit istana dan telahmemiliki hubungan yang cukup lama dengan kasultanan.

43 Ibid.

52

Nur Aini Setiawati

D. Kehidupan Sosial Ekonomi

Sebagian dari tanah di Kota Yogyakarta digunakan untukindustri dan jasa, disamping untuk tempat tinggal. Dalamkehidupan ekonomi masyarakat Kota Yogyakarta, terdapatkegiatan ekonomi bukan dasar (non basic activities) yangmemproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa untukkeperluan sultan, para priyayi, serta abdi dalem.

Kehidupan perekonomian masyarakat kota dilihat darijenis-jenis mata pencaharian penduduk yang dipengaruhi olehlingkungan tempat tinggal mereka. Pada umumnya jenis matapencaharian penduduk kota meliputi pekerjaan-pekerjaan dibidang perdagangan, kepegawaian, pengangkutan, dan dibidang jasa lainnya. Pada awal abad XX, Yogyakarta sebagaikota pemerintahan sebagian besar masyarakatnya bekerjasebagai pemerintahan dan pegawai perusahaan swasta.Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar keraton bekejasebagai abdi dalem yang merupakan pekerjaan turun temurunkeluarganya.

Penghidupan masyarakat Yogyakarta selain sebagai abdidalem keraton, juga sebagai pekerja di bidang pemerintahan,militer, pertukangan, pertanian, perdagangan, dan pengrajin.Mereka bertempat tinggal di luar benteng seperti di kampungPajeksan, merupakan tempat tinggal para jaksa. KampungGowongan merupakan tempat tinggal para tukang kayu ahlibangunan.

Para sentana dan abdi dalem itu pada mulanya mendapatgaji dari sultan berupa tanah dan sawah. Akan tetapi denganadanya perjanjian antara sultan dengan Pemerintah Belnadayang ditandatangani pada tahun 1831 mengakibatkan hilang-

53

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

nya seluruh daerah mancanegara milik Kasultanan Yogyakarta.Oleh karena itu, daerah-daerah ini menjadi hak penguasaanPemerintah Hindia Belanda, konsekuensinya, para abdidalem tidak lagi digaji dengan tanah dan sawah. Gaji persatu bulan yang diterima oleh sentana dan abdi dalem padatahun 1920, pertama, sentana dan abdi dalem Siti Sewuadalah: Boepati Anom: f.221.70 (221.70 gulden), PanewuSepuh: f.84.89, Mantri: f.20, Bekel Gebayan: f.10, Carik: 6.19,Djajar Gebayan: f.3.5. Kedua, sentana dan abdi dalemkadipaten yang terdiri atas: Lurah: f.30, Noembakanjar(Bupati Najoko): f.871.22, Panewu Muda: f.30, Bupati Anom:f. 218.29, Jaksa: f.244.06, Gladag dan Krijo: f.50, Maosan:f.85.70, Penghulu: f.150, Pangeran: f.960.08, Kori: f.150.44

Adanya inflasi pada tahun 1930 menyebabkan masya-rakat Yogyakarta merasakan kehidupan perekonomian yangmengalami kemandegan (stagnasi). Inflasi terjadi bersamaandengan menurunya produksi komoditas dan kebutuhanpokok. Kondisi seperti ini menyebabkan harga-harga kebu-tuhan membubung tinggi. Para importir, pedagang telah men-jadi kaya, sedangkan buruh upahan, pegawai keraton (abdidalem), dan pegawai negeri terpukul karena tidak adanyakeseimbangan antara kenaikan harga dengan kenaikan upahdan gaji.45 Gaji seluruh pegawai keraton dalam masing-masinglembaga yang mengalami penurunan dapat dilihat pada tabel4 di bawah ini:

44 Uitgewerkte staat ter toelichting der begrooting van uitgaven enontvangsten van het Sultanaat Djogjakarta voor het dienstijaar, 1928, hlm.20-32.

45 Selo Soemardjan, op. cit, hlm. 203-204.

54

Nur Aini Setiawati

Tabel 4Gaji Seluruh Pegawai Keraton dalam Masing-masing

Lembaga antara Tahun 1928-1930

Sumber: Uitgewerkte staat tertoelichting ter toelichting der begrootingvan uitgaven en Ontvangen van Sultanaat Djokgjakarta voor hetdienstijaar, hlm.12.

46 Tidak ada keterangan lebih lanjut dengan adanya penurunangaji secara drastis seluruh pegawai di lembaga kepatihan.

No NAMA LEMBAGA GAJI

1928

f (gulden)

SATU BULAN

1929

f (gulden)

1930

f (gulden)

1 Kadipaten 5.977 5.819,79 5.762,70

2 Sitisewu 691, 85 671,85 671,56

3 Numbakanyar 1.567,75 676,53 467,56

4 Panumping 1.384,94 1.384,94 774,94

5 Bumijo 1.600,22 1.531,15 1.493,65

6 Keparak Kiwo 1.997,36 1.973,86 1.830,97

7 Keparak Tengen 762,27 696,27 788,68

8 Gedong Tengen 2.565,39 2.468,59 2.415,10

9 Gedong Kiwo 1.812,92 1.792,92 1.690,86

10 Kepatihan46 10.439,59 2.762.10 2.693,91

11 Jakso 501,06 479,43 437,44

12 Gladag dan Krijo 3.500,91 3.434,50 3.568,81

13 Mahosan 394,80 298,03 270,95

14 Pangulon 2.339,38 2.206,89 2.106,01

15 Pengabean 9.985,67 9.087,25 -

16 Kori 4.341,49 4.149,45 2.089,52

17 Pangeranan - - 7.964,33

18 Taman - - 239,09

19 Kasentanan - - 66,39

20 Sumotali, Kenek,

Kusir

- - 1.076.58

55

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Perubahan ekonomi yang drastis itu juga dirasakan olehmasyarakat Yogyakarta. Demikian pula, halnya dengangolongan bangsawan mereka sangat merasakan merosotnyakehidupan ekonomi mereka terutama ketika pemberiansubsidi jauh lebih sedikit dibandingkan subsidi yangdiberikan Pemerintah Hindia Belanda sebelumnya. Kesu-litan-kesulitan keuangan ini memaksa kaum bangsawanmenyewakan tempat kediaman mereka kepada sejumlahsekolah atau kantor untuk mendapatkan penghasilan tam-bahan. Di samping itu, mereka menjual rumah-rumah merekayang besar dan pindah ke rumah-rumah sederhana sambilmenanamkan sebagian uangnya pada berbagai perusahaandagang yang dikelola orang-orang Indonesia.

Sejak awal abad XX, semakin banyak kaum bangsawanistana menyewakan tanah jabatan mereka kepada orang-or-ang Eropa, Tionghoa, dan orang-orang Arab. Orang-orangEropa pada umumnya yang bertempat tinggal di Yogyakartabergerak dalam bidang usaha perkebunan. Di samping itu,orang Eropa dan Tionghoa, orang-orang Arab juga meme-gang posisi penting di bidang ekonomi khususnya di bidangcukai. Mereka bertempat tinggal di Kampung Sayidan.47

Dari sisi ekonomi, perkembangan Yogyakarta menga-lami perkembangan yang pesat terutama setelah munculnyapabrik-pabrik gula di sebelah selatan dan barat kota yangdimiliki oleh orang-orang asing. Di Yogyakarta terdapat 17pabrik gula yang berkembang dan dapat menyerap tenagakerja masyarakat Yogyakarta.48

47 Ibid., hlm. 24.48 Ibid., hlm. 218.

56

Nur Aini Setiawati

Dengan melihat ekologi wilayah Kota Yogyakarta yangsubur, kehidupan ekonomi masyarakat Yogyakarta tidakdapat lepas dari aktivis di bidang pertanian. Oleh karenaitu, tanah merupakan sumber pendapatan yang utama. Tanah-tanah kasultanan di daerah perkotaan yang masih diman-faatkan untuk daerah pertanian terletak di tepian Kota Yog-yakarta khususnya di kemantren-kemantren Kotagede,Tegalrejo, Umbulharjo, Mergangsan, Mantrijeron, danWirobrajan. Masyarakat di sekitar itu masih memiliki carahidup yang sama dengan penduduk desa. Petani yangmengerjakan tanah kasultanan baik milik sultan maupunpriyayi adalah golongan wong cilik sebagai kawula mereka.49

Petani diberi tanah sanggan agar dikelolanya. Merekamempunyai kewajiban memberikan hasil dalam bentukbarang atau pajak kepada penguasa dan wajib mengerjakantanah sanggan itu. Sebagai imbalannya, petani (kawula dalem)diperkenankan menempati sebidang tanah milik priyayi.Apabila mereka dapat menggarap tanah itu, mereka diwa-jibkan menyerahkan 1/5 hasil panen dari tanah keseluruhanuntuk lungguh Lurah dan Pamong, untuk pengarem-aremBekel yang diberhentikan akibat reorganisasi tidak dapatditempatkan kembali serta untuk mencukupi kebutuhankalurahan.50

Melihat pola perkampungan di Kota Yogyakarta yangtempat tinggalnya mengelompok dan memiliki hubunganerat dengan tempat kerjanya, dapat diketahui bahwa di Yog-

49 Sartono Kartodirdjo, Perkembangan. op. cit., hlm. 37.50 Rijksblad Yogyakarta, Tahun 1918, No. 16, pasal 7.

57

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

yakarta terdapat pula kelompok pedagang yang terdiri ataspengusaha batik, perak, aluminium, dan tenun. Kelompokpedagang itu bertempat tinggal di kampung-kampungKarangkajen, Prawirataman, Purbayan, Prenggan, Kauman,Suronatan, dan perkampungan di dalam benteng.

E. Struktur Organisasi, Birokrasi, dan SistemPemerintahan Kasultanan

Birokrasi dalam suatu pemerintahan sangat diperlukanguna mengatur mekanisme dan hierarki prosedur pemerin-tahan. Di samping itu, birokrasi dapat digunakan sebagaimekanisme kontrol yangs angat efisien. Apabila pemegangkekuasaan pada puncak birokrasi dipegang oleh raja, makayang menjadi obyek kekuasaan di tingkat bawah adalahrakyat.51

Birokrasi dapat diartikan sebagai: “Keseluruhan aparatpemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugasmembantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintahkarena statusnya”.52

Konsep birokrasi Kasultanan Yogyakarta tidak dapatdipisahkan dari teori dasar birokrasi yang dikembangkanMax Weber yaitu model “domination” (penguasaan). Dominasimerupakan suatu bentuk hubungan kekuasaan antarapenguasa yang memiliki kesadaran akan kewajibannya untuk

51 Peter Blau, The Dynamic of Bureucracy (Chicago: Chicago Uni-versity Press, 1963), hlm. 15.

52 Yahya Muhaimin, “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia”,dalam Prisma, No. 10 Oktober 1980, hlm. 21.

58

Nur Aini Setiawati

taat kepada penguasa. Ia juga mengaitkan model itu dengantata hubungan organisasi yang rasional. Birokrasi modernseperti yang dikonsepsikan oleh Max Weber memiliki ciri-ciri sebagai berikut:1. Memiliki aturan-aturan hukum dan konstitusi di dalam

menjalankan pemerintahan.2. Ada hierarki jabatan yang jelas.3. Menganut menejemen modern yang legal didasarkan

pada dokumen-dokumen tertulis.4. Ada menejemen yang legal yang mengatur tentang

spesialisasi jabatan para anggota staf.5. Para anggota staf harus memiliki kapasitas kerja yang

tinggi dan ditentukan secara tegas.6. Menejemen lembaga mengikuti perintah-perintah

umum.Ciri-ciri birokrasi modern yang dikonsepsikan oleh Max

Weber tersebut tercermin pada birokrasi kasultanan, mes-kipun sifat patrimonial masih terus berjalan dengan birokrasipemerintahannya.53

Menurut model patrimonial, pemerintah memiliki suatupola hubungan yang berorientasi vertikal sebagai hubunganyang umum antara patron dan klien, sedangkan hubungan-hubungan yang horisontal tidak berfungsi.54 Dalam kondisidemikian akan tumbuh sikap ketergantungan klien kepada

53 Max Weber, Economy and Society: An Outline of InterpretativeSociology, (Berkeley: University of California Press, 1978), hlm. 956.

54 G. Moejanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapan oleh Raja-rajaMataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 103.

59

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

patron yang mengakibatkan konsentrasi kekuasaan danpengawasan dalam satu tangan. Ketergantungan klien padapatron, akan menumbuhkan sikap rendahnya aspirasi dariklien dalam bidang tugas yang diemban. Artinya bahwaapapun keinginan patron akan selalu dipatuhi meskipun halitu tidak sesuai dengan aspirasi klien.

Struktur birokrasi Kasultanan Yogyakarta yang memilikiciri patrimonial itu sejak kedatangan Pemerintah HindiaBelanda, tidak dapat terlepas dari campur tangan PemerintahHindia Belanda. Pada awal abad XX campur tangan itu sema-kin intensif. Sesuai dengan gerakan politik etis PemerintahHindia Belanda memasukan birokrasi modern ke kasultanandengan alasan untuk mengejar ketinggalan dari daerah luarvorstendlanden. Di Yogyakarta ditempatkan 3 asisten residenuntuk mengawasi wilayah Kota Yogyakarta, Bantul, Sleman,Kulonprogo, dan Gunungkidul.55

Sebagai vasal (negara bagian) pemerintah kolonial, hu-bungan politiknya diatur dalam kontrak politik56 yang harusdiperbaharui setiap pengangkatan sultan yang baru. Sultanyang baru itu pada saat pengangkatannya menandatanganisebuah kontrak lagi yang disebut dengan “acte van verband”.Maksud diadakannya perjanjian itu adalah untuk menguatkan

55 P.J Suwarno, Hamengku Buwono IX Dan Sistem BirokrasiPemerintahan Yogyakarta 1942-1974; Sebuah Tinjauan Historis(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 67.

56 Kontrak politik merupakan suatu janji tertulis Sultan yangbaru diangkat yang membicarakan tentang bagaimana Sultan me-merintah daerahnya, tetapi didalamnya tidak diperinci mengenaisusunan pemerintahan, perundang-undangan dan peradilan.

60

Nur Aini Setiawati

bahwa sultan yang diangkat akan tunduk pada PemerintahHindia Belanda dengan segala ketentuannya. Kontrak politikmencakup ketentuan-ketentuan yang mengatur kasultanan,sultan, pangeran, adipati anom, (putera mahkota), patih,perundang-undangan, polisi, dan sebagainya.57 Dengandemikian, kontrak politik itu menunjukkan sejauh mananegara vasal masih mempunyai hak-hak kedaulatannya dankapan pihak yang berkuasa dapat campur tangan dalamurusan intern negara.

Dalam struktur pemerintah di Kasultanan Yogyakarta,sultan merupakan pimpinan tertinggi yang memiliki kedu-dukan sentral, khususnya berkaitan dengan kehidupan dikerajaan seperti bidang sosial dan budaya. Adapun di bidangpolitik, sebagaimana yang diuraikan di atas, kekuasaan sul-tan dibatasi oleh berbagai kontrak politik dengan PemerintahKolonial Hindia Belanda. Dalam kontrak politik yang umum-nya disebut sebagai kontrak panjang (lange contract) disebut-kan bahwa sultan diberi kedudukan lebih tinggi daripadaswapraja yang disebut dengan pernyataan pendek (korteverklaring).58 Sebagai pucuk pimpinan sultan memiliki tang-gungjawab yang diserahkan kepada pepatih dalem.

Struktur pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dibagimenjadi dua yaitu pemerintahan luar istana (paprentahannjawi) dan pemerintahan dalam istana (paprentahan lebet).Pemerintahan luar istana dijalankan oleh patih luar (patih

57 Staatsblad van Nederlandsch Indie, No. 47, Tahun 1941, hlm. 10.58 Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah istimewa

Yogyakarta (Yogyakarta: Propinsi DIY, 1990), hlm. 73.

61

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

njawi) yang berkuasa di bidang pemerintahan, sehingga ka-dang-kadang kekuasaannya melebihi kekuasaan raja. Dalammenjalankan tugasnya patih njawi dibantu oleh empat bupatiyaitu Bupati Numbakanyar dan Bupati Panumping yangmengurusi masalah pertanahan serta Bupati Bumijo danBupati Siti Sewu yang mengurusi masalah tanah. Jabatan patihnjawi ditiadakan ketika putera mahkota GRM Dorodjatunakan naik tahta menggantikan kedudukan Sri SultanHamengku Buwono VIII.59

Pemerintahan di dalam istana dikuasakan pada patihdalem yang dibantu oleh empat bupati lebet (nayoko lebet)yang bertempat tinggal di ibukota kerajaan dan merupakanpejabat istana. Mereka mendiami tanah-tanah yang luas diKota Yogyakarta. Keempat bupati itu adalah Bupati KeparakKiwa dan Keparak Tengen yang bertugas dalam bidangkeprajuritan dan pradatan atau peradilan, Bupati GedongKiwa dan Gedong Tengen yang mengurusi masalah adminis-trasi keuangan dan perbendaharaan istana.60

Pegawai rendah yang berada di bawah kekuasaan bupatiadalah kliwon (bupati anom) yang secara struktural meru-pakan pembantu bupati terutama Bupati Lebet. Kliwon yangbergelar ngabehi sering pula disebut sebagai lurah carik yangmenjadi penghubung antara pegawai tinggi dengan pegawaiyang lebih rendah yang disebut priyayi atau abdi dalem.

59 KPH. MR. Soedarisman Poerwokoesoemo, KasultananYogyakarta: Suatu Tinjauan tentang Kontrak Politik 1877-1940,(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 19850), hlm. 4.

60 Rouffaer, op. cit, hlm. 55.

62

Nur Aini Setiawati

Golongan abdi dalem terdiri atas panewu, mantri, lurah,bekel, dan jajar. Di sampaing itu, masih terdapat pegawairendah lainnya seperti kori yaitu pegawai yang menerimasurat-surat untuk sultan dan meneruskan perintah-perin-tahnya, Bupati Landheer yaitu pejabat yang bertugas padabidang persewaan tanah oleh orang-orang Barat, BupatiPolisi yang dibentuk tahun 1908. Bupati Polisi adalah pejabatyang diserahi urusan kepolisian dan berkedudukan di tanah-tanah datar di Negara-gung dengan pejabat-pejabat dibawahnya yaitu kepala-kepala distrik (ngabehi, demang, bekel).Selain itu, terdapat pengulu yang memiliki jabatan pentingyaitu mengurusi bidang keagamaan seperti memimpin upa-cara-upacara keagamaan dan berdoa untuk keselamatan rajadan kerajaan.61 Demikian, struktur dan birokrasi pemerin-tahan di Kota Yogyakarta yang berjalan sesuai dengan peru-bahan sistem pemerintahan yang ada.

Pada awal abad XX, sistem pemerintahan di Kota Yog-yakarta mengalami perubahan karena adanya reorganisasipemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Pemerintah HindiaBelanda pada waktu itu menerapkan kebijakan tentang pem-bentukan daerah otonom. Pembentukan daerah otonomdilakukan pada saat Pemerintah Kolonial Belanda member-lakukan Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatie Wet)pada 1903. Dengan adanya undang-undang itu PemerintahHindia Belanda membentuk daerah-daerah otonom yangmeliputi wilayah karesidenan dan kota. Oleh karena otonomiyang diberikan kepada pemerintah daerah sangat terbatas,

61 Ibid., hlm. 60.

63

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

maka pada 1922 Pemerintah Hindia Belanda menetapkanundang-undang perubahan susunan pemerintahan (Bestuur-shervorming Wet) yang memungkinkan pembentukan daerah-daerah otonom yang meliputi provinsi, kabupaten, dan kota.

Untuk pembentukan kota otonom disusun Staadsgeementeordonnantie Jawa en Madura 1926. Berdasarkan Stadsgemeenteordonnatie ini, wilayah Kota Yogyakarta yang terdiri ataswilayah Kasultanan dan Pakualaman diubah menjadi kotaotonom. Wilayah Pakualaman di Kota Yogyakarta menem-pati sebagian kecil wilayah di sebelah timur Sungai Code.Wilayah itu hanya terdiri atas satu onderdistrik yang jugamenjadi kediaman Paku Alam.

Sebelum reorganisasi agraria pada 1926 diadakan di KotaYogyakarta, pemerintahan Kota Yogyakarta berupa kabupa-ten kota dan setelah reorganisasi agraria pada 1926, kabu-paten Kota Yogyakarta berubah menjadi kawedanan KotaYogyakarta. Kabupaten Yogyakarta dibagi dalam tiga kawe-danan yaitu Kawedanan Sleman, Kawedanan Kalasan, danKawedanan Kota Yogyakarta. Dengan demikian, KawedananKota Yogyakarta yang beribu-kota di Kota Yogyakarta meru-pakan salah satu dari tiga kawedanan dalam wilayah Kabu-paten Yogyakarta. Kawedanan kota ini dibagi dalam bebera-pa daerah asisten wedana, yang masing-masing dipimpinseorang asisten wedana. Daerah asisten wedana dibagi lagidalam beberapa daerah kemantren yang masing-masingdipimpin oleh seorang mantri kepala kampung.62

62 Soedarisman Poerwokoesoemo, Daerah Istimewa Yogyakarta(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), hlm. 138.

64

BAB IIITANAH KASULTANAN

DI KOTA YOGYAKARTA AWAL ABAD XX

A. Pola Penguasaan Tanah Kasultanan

Secara tradisional tanah-tanah di Yogyakarta adalah haksultan, sedangkan rakyat hanya mempunyai hak pakai terusmenerus. Rakyat tidak dapat menjual tanahnya kepada pihaklain. Jika akan dilakukan pengalihan hak atas tanah kepadapihak lain, tanah yang dimiliki dengan hak pakai terlebihdahulu harus dikembalikan (dikundurake) kepada sultan.1

Teori milik raja (vorstendomein) dan hak milik raja(vorsteneigendoormsrecht) mengakar dengan kuatnya dimasyarakat. Keadaan ini mengakibatkan munculnya pahambahwa raja adalah segala-galanya. Semua tanah kerajaan ada-lah untuk raja dan milik raja.2 Kekuasaan sultan yang begitu

1 Kalawarti :Ekp.2 Kalawarti. “Ekonomi”, no. 8 Tahun V (Yogyakarta: Kepatihan,

1952), hlm. 22.

65

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

besar atas hak milik tanahnya dapat mempengaruhi rakyatuntuk mengikuti keinginannya. Untuk menunjukkan kebak-tiannya kepada raja, rakyat menyerahkan sebagian dari hasilbumi sebagai pajak. Rakyat menganggap bahwa yang memi-liki tanah adalah sultan dan dirinya hanya memakainya.

Sistem masyarakat Yogyakarta yang feodal menyebab-kan kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan sosial terpusatpada raja. Tanah dimiliki dan dikuasai oleh raja, sedangkanrakyat yang mengerjakan diwajibkan menyerahkan sebagianhasilnya. Terpusatnya kekuasaan raja diwarnai dengan kon-sep “manunggaling kawula gusti” (persatuan antara raja danrakyat/hamba dan tuan) yang menggambarkan raja sebagaiwakil Tuhan di dunia, sehingga raja melindungi rakyat dansebaliknya rakyat diwajibkan untuk mengabdi kepada raja.Hal ini dianggap sebagai kepercayaan yang sudah ditakdir-kan (titinah). Konsep “kawula gusti” tidak hanya menunjukkanhubungan antara yang tinggi dengan yang rendah, tetapilebih menunjukkan hubungan kesalingbergantungan yangerat antara dua unsur yang berbeda dan tidak terpisahkan.3

Adanya kekuasaan sultan yang absolut menyebabkansultan menjadi penguasa atas tanah yang ada di dalamwilayah kerajaannya, sedangkan rakyat (kawula dalem) hanyasekedar diperkenankan menempati sebagian tanah. Dengandemikian, rakyat hanya memiliki hak anggadhuh,4 meskipun

3 Soemarsaid Moertono, Negara Dan Usaha Bina-Negara Di JawaMasa Lampau: Studi tentang Masa Mataran II, Abad XVI sampai XIX,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 17-32.

4 Anggaduh: tanah yang diberikan kepada rakyat sebagai hakpakai untuk dikerjakan (digarap).

66

Nur Aini Setiawati

memiliki status hak anggadhuh itu turun-temurun. Status sul-tan sebagai penguasa atas tanah yang ada di dalam wilayahkerajaannya dinyatakan dalam rijksblad kasultanan sebagaiberikut:

“Sakabehing bumi kang ora ana yektine kadarbe ingliyanmawa wewenang egendom dadi bumi kangungane keratoningsun Ngajogjakarta”5.

Artinya:

“Segala tanah yang tidak ada bukti kepunyaan orang laindengan kekuasaan egindom menjadi tanah milik KeratonYogyakarta”

Untuk pengawasan terhadap tanah yang sangat luas,sultan menyerahkannya kepada kerabat sultan (sentana dalem)dan para pegawai (priyayi) yang ditunjuk oleh sultan. Dengandemikian, di Kota Yogyakarta tanah yang luas itu sebagiandikuasakan kepada keluarga sultan dan para pegawai (abdidalem)-nya. Mereka itu disebut “patuh”, sedangkan tanahyang dikuasakan kepada mereka disebut “tanah kepatuhan”atau tanah lungguh.6 Atas tanah lungguh (apanage ) itu parapatuh dapat memungut pajak sebagai penghasilan mereka.

Dalam menjalankan pengawasan terhadap tanah-tanahkasultanan, patuh menyerahkan hak-hak kekuasaan merekakepada pembantu mereka di perkotaan. Para pembantu pa-

5 Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, No. 16, pasal 1, tahun 1918.6 Tanah lungguh (apanage) adalah tanah jabatan sementara yang

diberikan sebagai gaji seorang priyayi atau bangsawan karena mere-ka memiliki abatan dalam pemerintahan kerajaan pada waktu ter-tentu. Lihat Soemarsaid Moertono, op. cit., hlm. 1.

67

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

tuh itu yaitu aparat pemerintah (lurah) memiliki kedudukansosial di bawah patuh. Pemakainya adalah kawula dalem.Terhadap tanah yang dipakainya itu, rakyat (kawula dalem)memiliki kewajiban menyerahkan sebagian dari hasiltanahnya pada patuh, tetapi mereka tidak mempunyai haksama sekali atas tanah. Hak mereka hanya mengambil hasil-nya dan memakai untuk tempat tinggal. Hak patuh adalahmendapat bagian dari hasil tanahnya, tetapi dalam praktikkekuasaannya begitu besar terhadap tanah rakyatnya, se-hingga para patuh merupakan tuan tanah besar dari rakyat-nya.

Para patih (sentana dalem, priyayi) dan pembantunyamemiliki kekuasaan yang besar atas tanah yang dikuasakankepada mereka, sedangkan rakyat tidak memiliki hak atastanah itu. Mereka hanya diizinkan untuk menggunakan danmenempatinya, dengan ketentuan yang diberikan oleh mere-ka sebagai penguasa tanah. Status tanah yang dipakai rakyatmerupakan tanah apanage bagi para birokrat kerajaan. Keten-tuan jangka waktu pemakaian tidak ada, sehingga selamarakyat yang memakai tanah tersebut dapat memenuhi kewa-jiban yang dibebankan kepadanya, maka mereka dibiarkanmemakai tanah yang telah ditentukan. Akan tetapi, apabilarakyat tidak dapat memenuhi kewajiban yang dibebankan,maka hak pakai atas tanah dicabut untuk diberikan kepadayang menginginkan memakai tanah tersebut dengan syaratbersedia memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah diten-tukan oleh patuh.

Pada umumnya, tanah-tanah apanage para bangsawankeraton terdapat di daerah Kutanegara dan Negara Agung.

68

Nur Aini Setiawati

Di daerah-daerah tanah apanage itu, bangsawan membawahiseorang kepala distrik/lurah untuk mengurusi atau menarikpajak. Adapun luas tanah-tanah apanage para pejabat tinggipemerintahan adalah sebagai berikut: Ratu Eyang, Ratu Ibu,dan Ratu Kencana masing-masing memiliki tanah apanage 1000karya. Adipati Anom 8000 karya, Patih Lebet 20.000 cacah.Wedana Lebet yang terdiri dari Wedana Keparak Kiwa,Keparak Tengen, Gedong Kiwa, Gedong Tengen masing-masing mendapat 5000 karya. Wedana Bumi 7500 karya,Wedana Bumija 6000 karya, Wedana Siti Ageng Kiwa danWedana Siti Ageng Tengen masing-masing mendapat 10.000karya, Wedana Sewu 6000 karya, Wedana Numbak Anyar10.000 karya, Wedana Penumping 10.000 karya.7

Akibat kekuasaan sultan yang besar atas tanah, di Yog-yakarta penduduk hanya memiliki hak pakai atas tanah-tanahyang mereka kelola. Hak-hak pakai itu tetap dimiliki olehpenduduk selama tidak menimbulkan ketidaksenangan bagisultan dan pemegang apanage. Penduduk dibebani pajak yangtinggi, yaitu sebesar 1/3 dari hasil tanah yang digarap. Halini mengakibatkan hutang penduduk bertambah kepada sul-tan. Di pihak lain tekanan dari pemegang apanage menye-babkan munculnya perpindahan hak-hak milik atas tanahyang digunakan kepada pemilik baru.

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, hubunganantara kasultanan dengan Pemerintahan Hindia Belandadiatur dalam suatu kontrak politik. Akibat dari perkem-

7 F.A. Sutjipto (ed.) Sejarah Nasional Indonesia: Indonesia DalamAbad 18 Dan 19. Jilid IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 13.

69

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

bangan politik itu, pemerintah kolonial mengubah sistempenguasaan dan pemilikan tanah di Yogyakarta. Kepemilikantanah yang pada mulanya berada di tangan sultan, para sentanadalem, dan abdi dalem dialihkan sedikit demi sedikit kepadaPemerintah Hindia Belanda, meskipun kedudukan sosialdalam masyarakat feodal tetap berada di tangan sultan.8

Tanah di Yogyakarta yang langsung dikuasai oleh sul-tan disebut tanah “Maosan Dalem”, sedangkan tanah lainnyadisebut “tanah kejawen/apanage” yaitu tanah yang dipergu-nakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sultan. Tanahitu oleh sultan diberikan kepada sentana dalem dan abdidalem agar mereka mengurus dan memungut pajak. Parapemungut pajak (patuh) sebagian besar bertempat tinggal dikeraton atau di kota.9 Tanah apanage digunakan untuk mendi-rikan rumah-rumah bagi putra sentana dalem dan bagi abdidalem, untuk kalurahan, dan digunakan penduduk sebagaihak pakai turun temurun.

Sultan memiliki kewenangan untuk mempergunakannyabagi kepentingan kasultanan atau untuk kepentingan pribadi.Sultan memiliki hak memakai dan hak mencabut hak-hakdari pemegangnya atau memberikan kepada pihak lain. Polapenguasaan tanah feodal semacam itu memberikan kesem-patan kepada modal asing untuk berkembang. Persil-persiltanah yang menjadi kuasa sultan disewakan kepada pihakpemerintah Gubernur Hindia Belanda, NISM, SS, dan dise-

8 Werner Rool, Struktur Pemilikan Tanah Di Indonesia (Jakarta:C.V Rajawali, 1983), hlm. 51.

9 Ibid.

70

Nur Aini Setiawati

wakan kepada perorangan bangsa Belanda serta Tionghoaseperti dokter keraton dengan hak eigendom atau hak opstal.Sultan tetap memegang hak eigendom apabila hak osptal dibe-rikan kepada mereka.10

Penguasaan tanah yang telah diuraikan merupakan ciripola penguasaan tanah sampai awal abad XX yang meman-dang sultan sebagai penguasa tunggal dan pemilik tunggaltanah di Kota Yogyakarta. Pandangan itu berangkat daripengertian bahwa sultan merupakan wakil Tuhan yang ber-kuasa di dunia. Pada waktu itu tanah dikuasai oleh parabirokrat keraton yang diberi kuasa sultan untuk mengawasidan mengurus tanah-tanah sultan. Penguasaan tanah sepertiitu menyebabkan rakyat tidak memiliki hak atas tanah.Kondisi itu menyebabkan sultan sebagai penguasa tanahmengubah nasib rakyat dengan menata kembali aturan-aturantentang tanah di wilayah Kasultanan Ngajogjakarta Hadi-ningrat. Untuk mewujudkan kehendaknya, pada 1925 ditatakembali aturan-aturan mengenai tanah di wilayah kasul-tanan. Atas kehendak para penguasa kerajaan, aturan-aturantanah yang rumit diubah dengan memberi hak atas tanahkepada rakyat dengan hak pakai secara turun temurun (erfelijkindividueel gebruikrecht). Hak atas tanah itu dapat diwariskankepada keturunannya dan menyerahkan tanah dengan sta-tus hak memiliki (andarbe) kepada kalurahan yang ada di wila-yah Kasultanan Ngajogjakarta. Tanah-tanah sultan yang dibe-rikan kepada kalurahan dengan hak memiliki (andarbe) itu

1 0 K.P.H. Notoyuda, “Hak sri Sultan Atas Tanah Di Yogya-karta” (Yogyakarta: tp, 1975), hlm. 4.

71

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

hanya meliputi tanah-tanah yang sudah jelas digunakan rak-yat sebagai tempat tinggal atau diolah (ditanami tanaman).Dengan demikian, kalurahan memiliki wewenang dan keku-asaan untuk mengatur penggunaan tanah yang menjadiwewenang dan kekuasaannya seperti menyewakan (adolsewa), memindahkan untuk digunakan turun-temurun (erfelijkgebruiksrecht), memindahkan sementara hak atas tanah(tijdelijke vervreemding).11

Dengan diberlakukannya Rijksblad no. 16 tahun 1918,maka kalurahan memiliki kekuasaan atas tanah di wilayahnya,meskipun hanya sebatas pada tanah yang digunakan. Akantetapi, sultan dapat mencabut hak tanah kalurahan itu, apabiladiperlukan.

B. Pola Pemilikan Tanah Kasultanan

Berbeda dengan penguasaan tanah sebagaimana diurai-kan pada sub bab sebelumnya, dalam hal ini pemilikan tanahmengandung pengertian memiliki tanah secara formal, yaknitanah yang dimiliki seseorang memiliki nilai ekonomi yangdapat dipindahkan oleh pemilik dengan diwariskan, dijual,disewakan, dan sebagainya.12 Konsep “pemilikan” itu denganjelas menunjukkan bahwa kedudukan seseorang yang memi-liki tanah adalah menjadi penguasa atas tanah itu dan seba-liknya orang yang menguasai tanah belum tentu menjadipemilik tanah itu. Dengan demikian, konsep pemilikan di

11 Rijksblad van Sultanaat, no. 16, tahun 1918.12 Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius,

1977), hlm. 698.

72

Nur Aini Setiawati

sini berbeda dengan konsep tradisional yang menunjukkanbahwa “pemilikan” mempunyai pengertian “penguasaan”dan sebaliknya “penguasaan” di dalamnya mengandungpengertian “pemilikan”.

Pada awal abad XX, sultan memiliki tanah yang sangatluas dan sekaligus memiliki kekuasaan yang besar atas tanah-tanah di Kota Yogyakarta. Pada waktu itu, sultan dianggapsebagai penguasa dan pemilik atas tanah yang dapat menga-tur sistem penggunaan tanah kekuasaannya. Oleh karena itu,sultan telah mengatur sistem penggunaan tanah di wilayahIbukota Yogyakarta sesuai dengan kedudukan dan fungsinyasebagai berikut:13

a. Tanah yang dipakai sendiri oleh sultan yaitu keraton.b. Tanah-tanah yang oleh sultan diserahkan dengan cuma-

cuma untuk dipakai Nederlandsch Indische SpoorwegMaatschappij (NISM), Benteng Vredeburg, kantor kare-sidenan, stasiun, dan lain-lain.

c. Tanah-tanah dengan eigendom atau opstal yang diberikankepada orang-orang Tionghoa dan Belanda.

d. Tanah yang diserahkan untuk dipakai pegawai-pega-wai sultan yang dikelola secara berkelompok (krajan/tempat tinggal pejabat) yang disebut tanah golongan.

e. Tanah yang diserahkan kepada kerabat/sentana sultandengan status hak pakai yang disebut tanah kesenta-naan.

13 Notoyudo, “Hak Sri Sultan Atas Tanah di Yogyakarta” (tp,1975), hlm. 9-10. Lihat juga Ter Haar, Adatrecht Bundel XXII, hlm.198.

73

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

f. Tanah-tanah pekarangan bupati yang semula termasuktanah golongan, tetapi lambat laun dilepaskan dariikatan golongan dan menjadi tanah pekarangan daripegawai-pegawai tinggi lainnya.

g. Tanah-tanah pekarangan dan perkebunan terletak diluar pusat ibukota yang diberikan dengan hak pakaikepada pepatih dalem yang disebut kebonan dan tanahuntuk kepentingan umum.

h. Tanah-tanah pekarangan rakyat jelata, termasuk tanahyang ada di bawah kekuasaan sultan.

i. Sawah-sawah yang diurus oleh bekel yang disebutdengan tanah maosan.14

Tanah-tanah kasultanan tersebut di atas yang berkaitandengan tanah di daerah perkotaan akan dijelaskan dibawahini.

a. Tanah Keraton

Tanah keraton adalah tanah kepunyaan sultan yangdipakai dan didiami sendiri oleh sultan dan keluarganya.Istilah keraton menunjuk pada tempat bersemayamnya ratu.Kata keraton berasal dari kata-kata ka-ratu-an yang seringdisingkat menjadi keraton. Kata itu dalam bahasa Indonesiadisebut istana, meskipun istana tidak sama dengan keraton.Keraton merupakan istana yang memiliki makna keagamaan,filsafat, dan kultural. Melihat arti keraton sebagaimana dise-butkan di atas, sudah sewajarnya apabila seluruh arsitek

14 Sawah/tanah maosan tidak ada penjelasan lebih lanjut dandata-data yang akurat belum ditemukan.

74

Nur Aini Setiawati

bangunannya memerlukan tanah luas meliputi letak bangsal-bangsalnya, ukirannya, hiasannya, dan warna-warna ge-dung-gedungnya memiliki arti tertentu.15

Kompleks keraton terletak di antara Sungai Code denganSungai Winanga yang luas tanahnya 14.000 m2, sedangkantanah keraton sendiri luasnya 4.000 m2 yang dikelilingibeberapa gedung yang mempunyai nama berbeda-beda.Keraton diapit oleh dua alun-alun di sebelah utara disebut“Alun-alun Lor” dan sebelah selatan disebut “Alun-alunKidul” atau “Alun-Alun Pengkeran”. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri masjib besar yang didirikan atas perintahSri Sultan Hamengku Buwono bersamaan dengan dibangun-nya Ibukota Ngajogjakarta-Hadiningrat.16

Di keraton terdapat beberapa bangunan, halaman, danlapangan yang meliputi kedaton, bangsal kencana, regol, dandanapratapa, sri manganti, regol srimanganti, bangsal ponconiti,regol branjanala, siti inggil, tarub agung, pagelaran, alun-alunutara, Pasar “Bringharja”, kepatihan, tugu, regol kemagangan,bangsal kemagangan, regol gadungmlati, bangsal kemandungan,regol kemandungan, siti inggil, alun-alun selatan, dan krapyak.17

Kompleks keraton itu dikelilingi oleh sebuah tembok lebar,beteng namanya. Beteng itu memiliki panjang 1 km berbentukempat persegi dan tingginya tiga setengah meter serta lebar-nya 3 sampai 4 m.

15 K.P.H. Brongtodoningrat, Arti Kraton Yogyakarta (Yogyakarta:Museum Keraton Yogyakarta, 1978), hlm. 7.

16 Kota Jogjakarta 200 Tahun: 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956 (Jogja-karta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun), hlm. 18-20.

17 K.P.H. Brongtodiningrat, loc. cit.

75

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Dengan adanya pembangunan kampung-kampung, diatas tanah di sekeliling Baluwarti keraton, dimulai dibangunperumahan atau asrama-asramanya untuk para anak buahangkatan perang dan para perwiranya. Oleh karena luasbenteng keraton tidak mencukupi hanya perwira-perwirayang terpilih sajalah yang bertempat tinggal di dalam betengkeraton. Dengan demikian, kampung-kampung di dalamKota Yogyakarta yang tertua adalah kampung-kampungyang namanya berhubungan langsung dengan resimen-resimen, atau kampung-kampung yang namanya merupakanpara ahli teknik karena cara pemberian nama kepada kam-pung-kampung itu dilakukan menurut nama pembesar ataugolongan anak buah angkatan perang atau golongan-golonganahli teknik yang menempatinya semula. Misalnya, KampungPugeran yang menempati semula adalah Pangeran Puger,Kampung Surakarsan, yang menempati semula adalah prajuritSurakarsan, dan sebagainya. Atas anjuran VOC, untuk kepen-tingan pertahanan didirikan benteng sebagai tempat prajuritdan pertahanannya. Benteng itu disebut Benteng Vredeburg.18

b. Tanah Kasultanan yang dipakai NISM dan SS

Tanah yang dipakai perusahaan swasta Nederlandssch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) dan Staats Spoor-wegen (SS) merupakan tanah milik sultan yang diserahkankepada perusahaan NISM. Tanah itu digunakan untuk men-dirikan jaringan transportasi khususnya kereta api yang ber-

18 Kota Jogjakarta..., op. cit., hlm. 22.

76

Nur Aini Setiawati

pusat di stasiun Pengok dan Lempuyangan. Luas tanah yangdigunakan itu ada 372.123 m2 yang disewa sejak tanggal 13Agustus 1909.19

Jalan kereta yang menghubungkan Kota Yogyakartadengan kota-kota di Jawa dan 4 kota kabupaten di Yogya-karta, dapat mempermudah aktivitas masyarakat Yogyakar-ta, jika akan pergi ke kota. Selain itu, juga untuk memper-mudah aktivitas di bidang perdagangan antar pusat kotadan daerah-daerah kabupaten. Jalan kereta api di Jawa itudihubungkan dari Cirebon hingga Sindanglaut, Cileduk,Songom, Bumiayu, Karangtengah, Purwokerto, Gambersari,Maos, hingga Jogja.20

Dengan adanya perkembangan aktivitas masyarakatkota, NISM mengembangkan pula jaringan transportasikereta api bagi pedagang kecil dari pasar Bringharjo danmembangun stasiun kecil di Ngabean. Di samping itu,dibangun jaringan kereta api oleh pemerintah yang disebutdengan Staats Spoorwegen (SS) dengan stasiunnya di sebelahselatan Tugu.

c. Tanah Kasultanan yang Diberikan Kepada Orang-orang Nonpribumi (Tionghoa dan Eropa)

Pada dasarnya, kasultanan merupakan suatu masyarakatadat yang memberlakukan hukum adat. Oleh sebab itu,

19 Daftar Tanah-Tanah R.V.O untuk NISM” (Yogyakarta: Direk-torat Agraria, 1978).

20 “Verslag der staatspoorwegen in Nederlandsch-Indie overhet jaar” (Batavia: Landsdrukkerij, 1909), hlm. 8.

77

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

kasultanan hanya memiliki hak-hak adat atas tanah dan hanyadapat memberikan hak-hak adat. Dengan adanya laranganpenggunaan tanah secara sewenang-wenang oleh orangnonpribumi yang terdiri atas orang-orang Eropa dan TimurAsing, kasultanan dan penduduk pribumi tidak dapat menjualtanah kepada orang-orang nonpribumi. Penduduk pribumiyang tidak mengindahkan larangan itu, akan mendapathukuman kurungan maksimal tiga bulan atau dendamaksimal f.100.21

Sebelum awal abad XX, pemberian tanah dalam bentukhak milik pernah terjadi tanpa mempertimbangkan peraturanyang ada. Pembeli tanah yang berasal dari kalangan non-pribumi seharusnya mempunyai surat izin dari patih, tetapibanyak orang Eropa yang menggunakan tanah hanya cukupsampai wedana dan politie-regent, sehingga banyak rumahorang-orang nonpribumi yang berdiri tanpa surat resmi. Sul-tan mengakhiri pembelian tanah melalui surat perintah tertulisdari patih pada tahun 1908. Adapun pemberian tanah olehpihak kasultanan yang terakhir berada di daerah Ngabeandan sekitar Tugu untuk mendirikan tiga rumah Eropa.22

Sultan dapat menjual dan memberikan hak milik tanahkepada orang nonpribumi dengan menganut dan menggu-nakan model badan hukum Eropa. Menurut hukum Peme-rintah Hindia Belanda, orang nonpribumi hanya dapat mem-punyai hak eigendom atas tanah yang telah mereka pakai.

21 Staatsblad Van Nederlandsch Indie, Tahun 1921, No. 676.22 Adatrechtbundel XIX: Java en Madoera (‘S gravenhage: Martinus

Nijhoff, 1921), hlm. 346-348.

78

Nur Aini Setiawati

Meskipun demikian, Pemerintah Hindia Belanda denganpernyataan penguasaan (domeinverklaring) dapat memberikanhak tanah Eropa maupun hak tanah adat.23

Dasar pemikiran bahwa Pemerintah Hindia Belanda da-pat memberikan hak tanah Eropa dan tanah adat adalahtanah-tanah yang jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belandakarena pernyataan penguasaan (domeinverklaring) dianggaptidak mempunyai status. Dalam hal ini, Pemerintah HindiaBelanda harus bertindak netral terhadap semua golonganpenduduk di Hindia Belanda. Mereka menganggap bahwadirinya sebagai penguasa terhadap tanah-tanah itu bukansebagai orang Eropa, tetapi sebagai suatu golongan yangberada di atas semua golongan penduduk. Kasultanan mengi-kuti jalan yang ditempuh Pemerintah Kolonial Belanda yangmenganggap tanah yang diperolehnya tanpa status, sehinggadapat diberikan kepada siapapun. Apabila tanah diberikankepada orang Eropa, maka tanah itu dikuasai hukum Eropa.Pada dasarnya, kasultanan merupakan suatu masyarakatadat, tetapi sebagai negara kasultanan harus bersikap netraldan dapat diterima oleh semua golongan penduduk.

Pemberian hak tanah kepada orang nonpribumi dapatdilakukan oleh kasultanan karena kasultanan merasa memilikikekuasaan untuk membuat undang-undang, menengahinya,dan mengeluarkan suatu peraturan hukum administratif.24

Akan tetapi, jalan yang ditempuh bukan cara menetapkan

23 Soedarisman Poerwokoesoemo, Kasultanan Yogyakarta(Yogya: Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 99.

24 Soemarsaid Moertono, op. cit., hlm. 53.

79

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

dalam kondisi sebagaimana hak tanah sultan yang secaraotomatis dapat beralih menjadi hak tanah Eropa. Dalammenyelesaikan masalah hak tanah untuk orang Eropa, justrudikeluarkan peraturan Pemerintah Hindia Belanda yangberisi tentang hak Eropa atas tanah yang dapat diperolehdengan izin residen.25

Untuk mengusahakan tanah sebagai tempat tinggalorang-orang Eropa di Yogyakarta dalam rangka menjalankanusahanya, residen meminta kesediaan Sultan HamengkuBuwono VII untuk memberikan sebagian tanah untuk di-bangun pemukiman orang-orang Eropa. Untuk itu, SultanHamengku Buwono VII memberikan izin orang-orang Eropauntuk menggunakan tanahnya sebagai hak opstal di Kota Yog-yakarta untuk didirikan tempat permukiman dan berbagaisarana kegiatan sosial serta ekonomi lainnya. Pemeberianhak bangunan (hak opstal) atas tanah kepada orang-orang non-pribumi itu tetap dengan pengertian bahwa persil-persil yangtertulis dalam hak milik bangunan harus tunduk pada pera-turan-peraturan kasultanan.26

Sultan memberikan tanah kepada orang-orang Eropa disebelah timur Sungai Code, di sebelah utara alun-alun utarayang dikenal dengan “Loji Besar” dan “Loji Kecil”, sebagaihak opstal (pendirian bangunan).27 Pemilihan lokasi pemukiman

25 Soedarisman, op. cit., hlm. 101.26 “Ontwerp-Verklaring”, 30 September 1911 no. 342, Koleksi

ANRI, bundel Binnenlandsch Bestuur, Verklaring van akte vanverlanden in Djokja.

27 Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 12, tahun 1918.

80

Nur Aini Setiawati

orang-orang Eropa yang strategis itu disebabkan tempat itudekat dengan stasiun kereta api, sehingga dapat memudah-kan mereka jika akan bepergian ke luar kota. Sultan membe-rikan lahan itu dimaksudkan agar orang-orang Eropa memi-liki tempat berlindung, sedangkan pembangunan pemu-kiman, jalan, taman, dan perawatannya diatur oleh pihakkasultanan.

Adapun permukiman orang-orang Tionghoa dan bangsaTimur Asing lainnya berada di Pacinan sepanjang jalan yangmemanjang dari alun-alun utara ke utara sampai ke Tugu,kemudian juga meliputi kampung-kampung di belakangnyayaitu Kampung Pajeksan, Gandekan, dan Beskalan dan bagiantimur jalan yaitu Kampung Ketandan. Orang-orang Arabpada umumnya bertempat tinggal di Kampung Sayidan yangkemudian dihuni oleh penduduk pribumi dan nonpribumi.Pada dasarnya tanah permukiman itu mempunyai letakgeografis yang menguntungkan bagi mereka, karena kegiatanorang-orang Tionghoa dan Arab memegang peranan di bi-dang perdagangan.28

Dalam membangun rumah tempat tinggal, orang-orangnonpribumi harus mendapat izin mendirikan bangunan.Permohonan izin bangunan diajukan secara tertulis dengandisertai rancangan gambar bangunan yang akan didirikandengan perhitungan statistika serta memberikan alasan-

28 Djoko Soekiman (ed), Sejarah Kota Yogyakarta (Jakarta:Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah DanNilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi SejarahNasional, 1986), hlm. 9.

81

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

alasan kegunaan bangunan itu. Direktur pemerintahan dalamnegeri yang diwakili oleh kepala pemerintahan di Yogyakarta(gubernur) dengan persetujuan kepala pemerintahan setem-pat dapat meminta keterangan secara jelas tentang hak meng-gunakan tanah yang akan didirikan bangunan itu.29

Izin bangunan itu dapat dicabut apabila dalam pelaksa-naan pembangunannya terdapat penyimpangan-penyim-pangan dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan. Padaumumnya, izin bangunan dicabut karena pelaksanaan pem-bangunannya tidak sesuai dengan gambar yang mendasariizin itu. Dalam peraturan, telah disebutkan bahwa luasbangunan yang didirikan bangunan tidak boleh lebih dari2/3 dari lebar halaman. Di samping itu, antara rumah huniandan kandang atau kamar kecil harus ada jarak paling sedikit5 m yang dihitung tegak lurus dari dinding luar yang terde-kat serta bagian halaman yang ditanami tidak boleh lebihdari 2/3 dari luas halaman.30

Orang-orang nonpribumi yang menggunakan tanah itudibebani pajak dan uang sewa. Untuk menangani penggunaantanah itu dibentuk Komisi Pengguna Tanah (commissie vangrondbedrijf) oleh kasultanan dan gubernemen, meskipun kelu-ar masuknya keuangan penggunaan tanah itu juga ditanganipemegang kas kasultanan. Komisi itu memiliki tugas menga-jukan anggaran tentang keluar masuknya uang penggunaantanah yang telah berjalan dan disertakan uang muka baru

29 “Vasttelling Niew Rooireglement voor het gevest Jogja-karta”, Koleksi ANRI, Bundel Binnenlandsch Bestuur, no. 2733.

30 Ibid.

82

Nur Aini Setiawati

yang harus diberikan pada pemerintah kasultanan. Setelahanggaran disetujui, uang muka diserahkan pada kasultanan.

Uang sewa tanah kasultanan yang diwajibkan bagi orangnonpribumi ditetapkan satu sen setiap meter persegi setiaptahun (uang meteran). Uang meteran ini harus dibayarkan setiapsetengah tahun dan akan dikenakan denda bagi yang me-nunggak. Mereka yang menyalahgunakan tanah persewa-annya dan melanggar hukum yang berlaku akan dikenakandenda sebesar f.100 atau dipenjara kurungan selama-lamanyatiga bulan. Setiap penyewa yang sudah membayar uangmeteran mendapat izin memakai tanah (piagem) dari patih.31

Penyewa-penyewa tanah nonpribumi oleh patih dianjur-kan agar minta hak guna bangunan atas tanah yang merekasewa. Pada umumnya, anjuran patih ini dipenuhi oleh orang-orang Eropa dan orang-orang Arab, sedangkan orang-orangTionghoa sebagian besar tidak mematuhi anjuran itu karenauang hak guna bangunan lebih mahal bila dibandingkandengan uang meteran.32

d. Tanah Krajan/Tanah bagi Para Pegawai Keraton

Sebagian tanah milik sultan diberikan kepada pegawai-pegawainya (narapraja) yang dipercaya dan sebagai tandabaktinya kepada raja, pegawai-pegawai keraton itu harusmenyerahkan sebagian hasil dari tanah dan tenaga kerjanya.Pegawai keraton yang disebut patuh harus mengantarkan

31 Memori Serah Terima Jabatan 1921-1930: Jawa Timur danTanah Kerajaan (Jakarta: ANRI, 1978), hlm. Cclxvi.

32 Ibid.

83

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

upeti (bulu bekti) yaitu bakti berupa hasil bumi seperti buah-buahan dan bahan-bahan kayu (bambu). Selain itu, pegawaikeraton menyerahkan tenaga kerjanya sebagai kewajibanyang harus dipenuhi dengan maksud untuk memberikantanda baktinya kepada raja. Pada dasarnya, kewajiban itumerupakan beban rakyat kepada raja yang sering digantidengan pajak kepala. Penyerahan tenaga kerja (heerendienst)ditetapkan umumnya 52 hari dalam satu tahun, meskipundalam praktiknya selalu lebih lama, karena tiap-tiap pegawaiuntuk kepentingan dan kehormatan mereka selalu memintatenaga rakyat lagi hingga melebihi ketentuan waktu yangditetapkan.33

Kewajiban untuk menyerahkan bakti oleh pegawai-pegawai kepada raja, pada umumnya dibebankan kepadarakyat karena pegawai-pegawai ingin mengurangi bebanberat yang ditimpakan oleh pegawai atasannya. Oleh karenaitu, pegawai paling rendah yang mengurus tanah membagi-kan beban itu kepada rakyat. Akibatnya, tanah garapan rakyatmengalami penciutan (versnippering).34

Tanah-tanah yang dipakai pegawai keraton diaturmenurut golongan pekerjaannya, sehingga kampung-kam-pung di mana mereka bertempat tinggal dikelompokkanmenurut pekerjaannya. Ada 8 golongan yang semuanya dike-palai oleh seorang Bupati Najaka (menteri) yaitu bagian dalam

33 Staatsblad Van Nederlandsch Indie, Tahun 1906, No. 83.34 Mochammad Tauhid, Masalah Agraria: Sebagai Masalah Peng-

hidupan Dan Kemakmuran Rakyat, Jilid I (Djakarta: Penerbit Tjakra-wala, 1952), hlm. 18.

84

Nur Aini Setiawati

(reh lebet) dan luar (reh djawi). Reh lebet terdiri atas GedongKiwa, Gedong Tengen, Keparak Kiwa, Keparak Tengen danReh djawi terdiri atas Panumping Kanan, Bumijo Kanan,Sitisewu Kiri, dan Numbakanyar Kiri. Empat bupati reh djawiberpangkat lurah (kepala). Mereka memimpin bagian kanandan bagian kiri, sedangkan dua lainnya berpangkat bekel.Disamping 8 golongan itu, terdapat lagi golongan lainnyayaitu kepatihan, kadipaten, pengulon, kori, taman, prajurit,jeksa, gladag, dan mahosan. Pada tahun 1921, didirikan kawe-danan baru yang bernama “Kawedanan Krija” yang terdiriatas semua golongan krija (teknisi) yang sebelumnya termasukkawedanan lainnya.35

Setiap golongan mempunyai daerah lingkungan ke-diaman dalam kota sebagai tanah golongan. Pengulon dibawah kyai penghulu, mempunyai daerah kediaman terletakdi Kampung Kauman. Di beberapa tempat dalam lingkunganbenteng yang mengelilingi keraton terdapat kampung-kam-pung penduduk yang masuk dalam golongan-golongan.Demikian pula, prajurit dan Surakarsa serta Langenastrasemuanya masuk dalam lingkungan Kawedanan AgengKemendan yang di bagi menjadi 10 bagian yaitu lima bagianberada di bawah pimpinan wedana (kepala) masing-masingdengan tingkat bupati anom di bawah Wedana AgengKemendan. Kawedanan taman memelihara taman kerajaandan mengurus bekas Waterkasteel Tamansari. Kawedanangladag mengurus urusan pekerjaan umum dan angkutankereta kebesaran raja dan para keluarga raja golongan di

35 Ibid, hlm. 137.

85

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

bawah wedana jeksa mengurus kehakiman dan pengadilan.Semua itu memiliki kampung kediaman sendiri-sendiridengan nama seperti golongannya.36

Berdasarkan surat Rijksbestuurder 1 Agustus 1913 dinya-takan bahwa seluruh abdi dalem keraton seharusnya bertem-pat tinggal dalam lingkungan golongan masing-masing(krajan, ambtserf), tetapi pada kenyataannya sebagian besarpegawai-pegawai itu berpencar-pencar kediamannya, karenasebagaian besar tanah pekarangan golongan (ambtserf) telahdidiami oleh orang lain.37

Abdi dalem yang bertempat tinggal di pekarangan jabatan-nya sendiri disebut dengan “cangkok” dengan hak untuktinggal dan menggunakan atas tanah pekarangan itu. Merekatidak membayar dengan uang untuk mendapat pekarangan-nya, tetapi selanjutnya mereka harus membayar pajak kepadakeraton. Apabila ada orang yang menumpang di tanah abdidalem, maka abdi dalem itu disebut “patuh/lurah cangkok”,sedangkan kawedanan cangkok adalah pengurus yangmengatur tanah pekarangan yang ditempati oleh seseorangyang menumpang di dalam tanah kampung golongan. Indungcangkok kawedanan (magersari) adalah orang yang mendiamipekarangan yang menjadi kepunyaan abdi dalem dari laingolongan.38 Dalam hal ini kawedanan memiliki hak untukmenarik pungutan uang atau kewajiban kerja (diensten)

36 Ibid.37 Ibid.38 Wawancara dengan KRT. Atmo, abdi dalem keraton di Kera-

ton Yogyakarta pada tanggal 12 Desember 1998.

86

Nur Aini Setiawati

sebagai pengganti pekarangan atau rumah tempat tinggalmereka. Tanah pekarangan yang sebelumnya diberikan kem-bali kepada abdi dalem tetapi masih didiami orang lain, tanahitu disebut tanah “gumantung kawedanan”.39

Lain halnya dengan indung cangkok, abdi dalem punakawantidak mempunyai kampung golongan sendiri, tetapi ia tinggaldi tanah pekarangan milik sultan dengan kedudukan sebagai“cangkok” dan bukan sebagai indung. Meskipun ia kadang-kadang disebut indung cangkok, tetapi mereka tidak mem-punyai kewajiban apa-apa kepada kawedanan.40

Abdi dalem punakawan dengan kedudukannya sebagaicangkok, tidak dapat diusir oleh abdi dalem golongan tempatdi mana ia tinggal. Tiap-tiap abdi dalem mempunyai hakmeminta tanah dalam lingkungan golongannya. Oleh karenaitu, ia dapat mengusir penduduk yang bukan golongannyadengan paksa. Berdasarkan peraturan Rijksbestuurder, abdidalem dapat menyuruh pergi orang yang menumpang denganmengganti kerugian-kerugian atas tanaman-tanaman danrumah di atas pekarangan atau memberi biaya agar merekapindah rumah. Cara seperti ini disebut “nglelang”.41

Dalam menentukan uang kerugian atas tanaman-ta-naman dan rumah atau biaya pindah rumah kadang-kadangterjadi konflik karena tidak ada kata sepakat. Oleh karenaitu, indung cangkok dapat diajukan ke pangadilan keraton

39 Mochammad Tauchid, op. cit., hlm.139.40 Ibid.41 Wawancara dengan KRT. Atmo, Abdi dalem keraton di

Keraton Yogyakarta pada tanggal 15 Desember, 1998.

87

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

(balemangu) untuk menentukan uang kerugian tanaman danrumah. Kawedanan menunjuk kepanitiaan yang bertugasmenaksir berapa besarnya uang ganti kerugian itu. Panitiaitu terdiri atas wakil “parentah” dan seorang dari polisi(pegawai yang bertugas pada urusan kepolisian pengadilan).Panitia itu dapat memutuskan bahwa indung cangkok hanyamendapat ganti kerugian atas tanaman dan ongkos pemin-dahan rumah yang disebut dengan “tukon tali” atau “tumbasantangsul” yaitu uang pembeli tali untuk pindahan yang dibe-rikan oleh cangkok. Akan tetapi, dapat pula diputuskan bahwaindung cangkok harus membeli rumah itu dengan pembayaran-nya dalam jangka tertentu sesuai dengan perjanjiannya. Kalaudalam waktu yang ditentukan indung cangkok tidak dapatmelunasi pembayarannya, indung cangkok kehilangan haknyauntuk mendapat pekarangan itu.

Abdi dalem itu dapat pula hanya mengganti karugian atastanam-tanaman saja dan mendirikan rumahnya sendiri disamping rumah penumpang itu. Oleh karena itu, ia menjadicangkok dan orang yang menumpang lebih dahulu itu menjadiindung tempel. Akan tetapi, ada pula abdi dalem yang hanyamengganti kerugian atas tanam-tanaman (tanem tinuwuh).Namun sebagai cangkok, orang-orang yang menumpang ditempatnya lebih dahulu itu, membayar kepadanya setiapbulan sekali. Pada Mei 1920, di Kampung Bumijo terdapat 24pekarangan abdi dalem, hanya 10 saja yang didiami oleh yangberhak, sedangkan 14 pekarangan lainnya menjadi tanahgumantung kawedanan yaitu tanah yang belum dipergunakandan belum dibayar oleh abdi dalem yang memiliki hak pakai.

Penumpang yang telah menanami dan mendirikan rumah

88

Nur Aini Setiawati

di atas pekarangan dengan membeli secara opstal atas perse-tujuan kawedanan dan diberi akte yang diakui, tidak diwa-jibkan membayar kerugian atas tanem tuwuh dan rumah yangditempati. Demikian pula, untuk pekarangan yang sudahdidiami oleh orang-orang Tionghoa dan Eropa, mereka jugatidak dapat diusir dari rumah yang ditempati itu.

e. Tanah Kasentanan

Tanah kasentanan merupakan tanah milik sultan yangtelah diberikan kepada keluarga raja (para pangeran) yangmemiliki jabatan di bidang pemerintahan atau ketentaraan.Di sekeliling rumah sentana, terdapat pekarangan yang dihunioleh penduduk yang memiliki luas rata-rata 50m2. Pendudukyang bertempat tinggal di tempat ini diwajibkan membayarpajak kepada keluarga raja (patuh cangkok) yang mendiamitanah kasentanan itu serta menjalankan kewajiban-kewajibanyang diperintahkannya.

Para pengeran yang diberi rumah serta tanah yang cukupluas adalah mereka yang telah menikah. Akan tetapi, statustanah yang diberikan kepada para pangeran itu hanya berupahak pakai, sedangkan tanah masih tetap milik sultan. Olehkarena itu, para pangeran dan puteri sultan hanya memilikihak untuk menempati tanah kasultanan dan tidak dapat men-jual tanah itu, meskipun mereka dapat mewariskan tanahnyakepada keturunannya hingga derajat kedua (cucunya).42 Tu-runan di bawahnya (buyut dan seterusnya) dapat juga tinggal

42 Rijksblad Kasultanan 1926, no.1, Bab. 4.

89

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

di tanah itu, tetapi sultan dapat mengambil tanah tersebutuntuk diberikan kepada keluarga yang lebih berhak, denganmemberikan ganti kerugian pada waris yang bertempat ting-gal di tanah kasentanan itu. Pembelian tanah kasentanan itudilakukan oleh sultan sendiri dengan menggunakan uangyang diberikan pemerintah kepada sultan sebagai uang peng-ganti kerugian (civiele lisjt) dan uang itu diambilkan bukandari kas kasultanan.43

Tanah kasultanan yang diberikan kepada para pangeran(tanah/dalem kasentanan) terletak di tempat-tempat yangstrategis dan tidak jauh letaknya dari istana. Di tanah itudibangun rumah sebagai tempat kediaman para pangerandan pada umumnya diberi nama sesuai dengan namapangeran yang bertempat tinggal. Bahkan, nama pangeranyang menempati dalem kasentanan itu digunakan sebagainama kampung tempat tinggal penduduk. Tempat tinggalB.P.H Pujokusumo dinamakan “dalem Pujokusuman”, tempattinggal B.P.H Puger dinamakan “ dalem Pugeran”, tempattinggal B.P.H Tjondronegara dinamakan “dalem Tjondro-negaran”, dan sebagainya. Adapula nama dalem kasentananyang diberi nama sesuai dengan nama kampung golongantempat tinggal para abdi dalem keraton. Tempat tinggalB.P.H Hadiwijaya dinamakan dalem Notoprajan sesuaidengan nama kampung golongan tempat tinggal para abdidalem keraton. Luas tanah kasentanan itu adalah sebagaiberikut:

43 Mochammad Tauchid, op.cit., hlm. 144.

90

Nur Aini Setiawati

Tabel 5Nama dan Luas Tanah Kasentanan

Sumber : “Buku Daftar Hak Milik Tanah 1935-1965” KantorUrusan Tanah Pemda Kodya Yogyakarta.

Tanah kasentanan sering dibagikan kepada keduapewaris dengan persetujuan pihak yang berkuasa, sepertiKampung Pangeran Timur dipecah menjadi Jayadiningratandan Timuran, dan Kampung Mangkudiningratan dibagi men-jadi beberapa wilayah kepada pewarisnya. Meskipun padahakekatnya tanah kasentanan tidak dapat dijual, ada sajapangeran yang menjual tanahnnya dengan sepengetahuanpihak yang berkuasa, seperti yang terjadi di Kampung Lem-puyangan. Di dapat tiga tanah kasentanan yang dijual kepada

No. Letak Tanah Nama Dalem Kasentanan Nama PenghuniLuas Tanah

(m2)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

Dagen

Sosrowijayan

Yudonegaran

Ngampilan

Notoprajan

Suryowijayan

Tjondronegaran

Tjondronegaran

Gading

Ngadinegaran

Magangan

Magangan

Pujakusuman

Jl. Rotowijayan

Jl. Rotowijayan

Purbanegaran

Ngasem

Kadipaten

Wijilan

Mangkukusuman

Notoyudan

Wirabrajan

Mangkuyudan

Kumendaman

Purwodiningratan

Notoyudan

Gondomanan

Mergangsan

Ngampilan

Dalem Jayadiningratan

Dalem Sosrowijayan

Dalem Suryonegaran

Dalem Mangkudiningratan

Dalem Notoprajan

Dalem Suryowijayan

Dalem Joyokusuman

Dalem Joyokusuman

Dalem Pujakusuman

Dalem Purbanegaran

Dalem Mangkubumen

G.K.Ay. Dewi

Dalem Tjokroningratan

Dalem Purwodiningratan

Dalem Surtowinatan

Dalem Brongtokusuman

Dalem Maduretno

B.P.H. Jayaningrat

B.P.H. Suryonegara

B.P.H. Mangkudiningrat

B.P.H. Hadiwijaya

B.P.H. Suryabranta

-

-

B.P.H. Suryowijaya

-

-

-

B.P.H. Pujakusuma

B.P.H. Bintoro

B.P.H. Suryoputro

B.P.H. Mangkubumi

B.R.Ay. Mangunkusumo

6580

2581

3050

4678

15167

11456

150

520

7471

94

1245

710

11434

4688

1494

1975

5312

658

91

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

orang lain. Oleh karena itu, pemiliknya yang baru itu yangmenjadi patuh bagi penumpang di wilayah kasentanantersebut.44

Pada dasarnya patuh dan indung memiliki hubungan“patron-client”. Hubungan itu pada umumnya berkaitandengan hubungan di antara para pelaku yang menguasai sum-ber daya yang berbeda. Hubungan mereka bersifat pribadi(particularistic) dan berdasarkan asas saling menguntungkanserta saling memberi dan menerima.45 Patuh (Para Pangeran)yang menguasai tanah yang luas dan mempunyai kedudukanserta pengaruh yang kuat di kalangan masyarakat Yogyakar-ta berkewajiban memberikan pengayoman khususnyakepada para indung dan sebaliknya indung bekerja sebagaiabdi dalem di dalem kasentanan itu. Dengan demikian, in-dung mendapat keuntungan tanah pekarangan yang merekadiami, sedangkan patuh (para pangeran) menerima keuntunganjasa dari indung pada umumnya.

Hubungan antara patuh dan indung di sekeliling dalemkasentanan itu berkelanjutan menjadi hubungan yang mem-pribadi (personalized relationship). Patuh memperlihatkanperhatian dan kebutuhan indung, dan indung memperlihatkankesetiaannya kepada patuh. Hubungan ini menunjukkaneratnya ikatan antara patuh dan indung yang memberi pelu-ang bagi terbentuknya ikatan tuan dan hamba.

Hubungan tuan-hamba antara patuh dan indung meru-

44 Ibid.45 Peter Burke, History and Social Theory (Cambridge: Polity Press,

1992), hlm.72.

92

Nur Aini Setiawati

pakan hubungan yang saling menguntungkan. Patuh meneri-ma imbalan yang bersifat simbolis dan bersifat mesra. Se-dangkan keuntungan material yang berupa tanah peka-rangan jatuh ke tangan pihak indung. Tujuan utama keduabelah pihak adalah mendapatkan keuntungan baik jasa, tanah,maupun sumber-sumber lain yang dapat diperoleh denganpengorbanan. Dengan demikian, hubungan saling mengun-tungkan itu merupakan hubungan yang satu sama lain salingmengharapkan.

Patuh tidak dapat dengan sewenang-wenang mengusirindung, kecuali apabila indung tidak menepati kewajibannya.Indung tanah kasentanan yang meninggal dapat mewariskanhak-haknya seperti mendiami pekarangan kepada anak laki-lakinya yang tertua. Meskipun pada dasarnya ia harus terle-bih dahulu mendapat izin dan pengesahan dari patuh, hakitu sering dianggap melekat secara otomatis. Adapun ta-naman dan rumah diberikan kepada ahli waris yang akanmendiami pekarangan itu, dengan cara mengganti uang untukdibagikan kepada ahli waris lainnya.

f. Tanah Pekarangan Bupati dan Pegawai Tinggi

Tanah pekarangan yang didiami bupati dan pegawaitinggi pada mulanya termasuk tanah golongan, tetapi selan-jutnya terpisah dari lingkungan golongan. Di sekeliling tanahpekarangan itu terdapat pekarangan kecil-kecil yang didiamioleh penduduk sebagaimana tanah kasentanan. Pendudukitu yang tinggal di sekeliling tanah pekarangan bupati danpegawai tinggi berkelompok membentuk suatu kampungyang disebut “mager sari” atau penduduk dalam lingkungan

93

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

pagar tembok yang indah. Bupati atau pegawai tinggi memi-liki hak pakai tanah dan rumah serta memiliki hak atas ta-naman yang ada di dalam pekarangan itu. Tanah pekaranganitu dapat diberikan kepada penggantinya atau pewarisnyadengan hak pakai.46

Tanah pekarangan bupati dan pejabat tinggi diwariskankepada pewarisnya, meskipun anak turunan mereka tidakmenggantikan kedudukan orang tuanya. Oleh karena itu,pengganti bupati berikutnya mendiami tanah pekaranganyang telah dimiliki sendiri. Mereka tidak pindah ke tanahpekarangan yang didiami keluarga bupati yang lama, karenaharus mengganti kerugian yang mahal.

Tanah pekarangan Patih Danurejo di Kampung Danu-rejan didiami keluarganya setelah ia tidak menduduki jabatansebagai patih. Di sekeliling tanah pekarangan itu terdapatpara indung cangkok, sedangkan keluarga Patih menjadi patuhyang memiliki hak istimewa terhadap tanah kasultanan itu.Demikian pula, kyai penghulu di Kauman menempati tanahpekarangan kasultanan sebagai tanah apanage. Penghululandraad di Karangkajen menempati tanah pekarangan kasul-tanan sebagai tanah lungguh, tetapi pada akhir abad XIXsetelah jabatannya digantikan oleh penghulu berikutnya, iabersama pegawai-pegawai masjid menerima tanah peka-rangan satu kalurahan. Penghulu berkedudukan sebagaipatuh yang memiliki indung cangkok berhak memungutbayaran dari penghasilan penduduk.47

46 “Verslag omtrent Stand der hervorming”, no. 1921, KoleksiANRI bundel Binnenlandsch Bestuur.

47 Mochammad Tauchid, op.cit., hlm. 146.

94

Nur Aini Setiawati

g. Tanah Kebonan untuk Pepatih Dalem danKepentingan Umum

Penduduk kasultanan yang telah memiliki kekuasaan atastanah sebagai hak pakai tidak dapat bebas berbuat sewenang-wenang atas tanahnya. Penduduk dapat menggunakan danmenguasai tanah berdasar pada hukum-hukum yang berlaku.Sultan dapat mengambil hak pakai penduduk atas tanahkarena alasan-alasan tertentu seperti tanah akan digunakanuntuk kepentingan umum.

Penarikan kembali tanah-tanah yang dipergunakan pen-duduk dapat dilakukan dengan persetujuan sultan bersamaresiden yang telah mendapat informasi dari komisi ahli dansesuai dengan peraturan pepatihan kerajaan. Dalam menarikkembali tanah-tanah itu pemerintah memberi ganti kepadapenduduk yang jumlahnya sesuai dengan taksiran anggotakomisi yang mengurus permasalahan tanah.48

Tanah kasultanan yang dipakai untuk kepentinganumum digunakan misalnya untuk mendirikan bangunansekolahan, rumah sakit, kantor, dan sebagainya. Pada 1918sultan bersama residen memberi kewenangan pada sekolahguru (Normaalschool) bagi guru-guru wanita untuk menggu-nakan tanah di Jetis Yogyakarta dengan biaya penggantiansebesar f.36.285,-.49

Di samping Normaalschool, sekolah yang juga segera mem-butuhkan tanah-tanah kasultanan adalah sekolah menengahdi Jetis. Sekolah itu harus membayar biaya penggantian

48 Rijksblaad van Djogjakarta, No. 16, Tahun 1918, pasal 6.49 “Besluit”, Tjipanas, 2 September 1918. ANRI.

95

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

f.33.000,-. Di samping itu, tanah-tanah kasultanan dibutuhkanuntuk pelebaran kota dengan biaya penggantian f.112.000,-serta biaya penggantian sebesar f.42.715,- untuk pem-bangunan gudang senjata. Biaya penggantian penggunaantanah sebagai hak pakai itu disetorkan pada kas kasultananyang telah mengeluarkan uang sebesar itu untuk menyedia-kan tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan umum.50

h. Tanah Pekarangan Rakyat Jelata

Tanah penduduk yang berdiri sendiri merupakan tanahyang sejak berdirinya Kota Yogyakarta, tidak dimanfaatkan.Tanah itu berada di sepanjang tepi sungai yang terpisah dantidak mempunyai hubungan dengan salah satu tanah diwilayah kampung Yogyakarta. Tanah penduduk yang berdi-ri sendiri tidak termasuk dalam tanah golongan atau lung-guh, bahkan setelah penghapusan tanah lungguh, tanah itudiberikan kepada penduduk.51

Penduduk yang menempati tanah semacam itu diwa-jibkan membayar pajak kepala (pajeg sirah) sebagai penggantipemeliharaan jalan kepada kasultanan. Selain itu, mereka jugadiwajibkan membayar “uang penanggalan” yaitu uang peng-ganti kewajiban bekerja serta penyerahan hasil tanah peka-rangan kepada patuh. Mereka juga diwajibkan membayarpajak tanah (verponding), sedangkan bangsa asing yang men-

50 Rapport van Bijlagen: Door tusschenkomst van den Directuer vanOnderwijs en Eeredienst (Departement der Burgerlijke OpenbareWerken, 1918), ANRI.

51 Ibid., hlm. 147.

96

Nur Aini Setiawati

diami tempat itu diwajibkan membayar “uang meteran”yaitu satu sen tiap satu meter persegi.

C. Sistem Pajak, Kerja Wajib, dan Sistem Apanageatas Tanah Kasultanan

Dalam melaksanakan pemerintahannya raja dibantu olehpara birokrat. Para birokrat ini terdiri atas sentana (keluargaraja) dan narawita (pejabat tinggi keraton) yang diangkat olehraja berdasarkan status askripsi yang dimilikinya. Aparatpemerintahan yang menjalankan pemerintahannya mendapatimbalan jasa dari raja yang berupa tanah. Tanah ini dikenalsebagai tanah lungguh.52

Para pejabat yang mendapat tanah apanage dengan sendi-rinya memiliki kekuasaan untuk mengelola tanah itu. Di KotaYogyakarta tanah apanage yang diberikan oleh pejabat peme-rintah, pada umumnya di sekitar rumah pekarangan yangdidiaminya, bertempat penduduk yang berstatus sebagaiindung cangkok. Mereka diwajibkan membayar kepada pemiliktanah dengan cara menyerahkan hasil tanaman, serta men-jalankan kewajiban-kewajiban terhadapnya.

Tanah lungguh yang diserahkan raja kepada para sentanadan narawita itu dapat diwariskan kepada keturunannya atauanak sulungnya sampai dengan keturunan kedua (anak) jikaanaknya mendapat persetujuan dari raja untuk menggantikedudukan ayahnya.53

52 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di PedesaanSurakarta 1830-1920 (Yogya: P.T. Tiara Wacana, 1991), hlm. 28.

53 Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 1 tahun 1926.

97

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Tanah lungguh itu oleh indung cangkok ditanami tanamankebun seperti kelapa (gluntungan), buah-buahan (peni), danbambu, sedangkan di daerah pinggiran kota indung cangkok(petani) menanam padi dan palawija seperti ketela, jagung,kacang-kacangan, cabai, dan sebagainya. Indung cangkokmemiliki kewajiban untuk menyerahkan hasil tanamankepada patuh sebesar 1/3 hasil tanaman untuk tanah yangsubur dan 1/4 atau 1/5 hasil tanaman bagi tanah yanggersang.54

Kewajiban indung cangkok terhadap patuh (pemilik tanah)adalah: pertama penjagaan (caos) yaitu menjaga keamananrumah pekarangan yang didiami oleh patuh. Kedua, menga-wal (nderek) yaitu mengawal dan menjadi pengiring patuhketika patuh menghadiri upacara-upacara resmi. Ketiga,reresik dalem, yaitu membersihkan rumah dan halaman yangdidiami patuh. Keempat, tugur yaitu membantu jalannya upa-cara-upacara yang diadakan oleh patuh. Kelima menjaga ru-mah patuh ketika patuh bepergian dan tidak pulang.55

Pada 1924 ketika patuh dihapuskan, tanah kasultanan diKota Yogyakarta yang tidak digunakan diberikan kepadapenduduk dengan hak andarbe.56 Tanah itu diberikan olehpara bekas patuh, para abdi dalem dan para indung cangkokyang telah mempunyai hak pakai atas tanah dengan hak

54 Rouffaer, “Vorstenlanden” dalam Adatrechtbundels, jilidXXXIV seri D no. 18 (The Haque Martinus Nijhoff, 1931), hlm. 73.

55 Wawancara dengan K.R.T Atmo, abdi dalem keraton diKeraton Yogyakarta pada tanggal 18 Desember 1998.

56 Rijksblad van Djogjakarta, no. 23, tahun 1925, Bab I, hlm. 328.

98

Nur Aini Setiawati

andarbe dan mempunyai surat hak memakai atas tanah yangdimiliki itu. Hak andarbe itu dianggap sah apabila telah tercatatdalam daftar pencatatan tanah (buku mengeti siti) yang diselenggarakan di kantor pendaftaran tanah (kantor mengetisiti).57

Sejak pendaftaran tanah dilakukan, para pemiliknyadikenakan pajak verponding.58 Pajak itu diperlukan untukmembiayai kehidupan raja, bangsawan, dan abdi dalem yangmelaksanakan pemerintahan kerajaan. Di daerah kuthagarasecara politis dan ekonomis terdapat praktik-praktik eksploi-tasi tradisional yang dilakukan oleh para raja dan bangsawankepada penduduk. Hal ini dapat dipahami sehubungandengan adanya penciutan wilayah kuthagara yang menga-kibatkan krisis ekonomi di istana. Keluarga keraton sangatmemerlukan biaya hidup.

Pajak verponding harus dibayarkan di muka oleh parapenduduk dua kali dalam satu tahun yaitu pada 1 Juni dan 1November. Apabila penduduk tidak dapat membayar pajakpada waktu yang telah ditentukan, mereka akan dikenaidenda sebesar f.5,- setiap nilai pajak f.100,-. Besarnya pajakdan denda ditetapkan oleh patih dan residen Yogyakarta,serta komisi yang beranggotakan tiga orang. Dalam mene-tapkan pajak, komisi memperoleh keterangan dari parapriyayi dan pejabat-pejabat kasultanan yang di sampaikankepada residen Yogyakarta untuk menetapkan besarnya

57 Kalawarti “Ekonomi”, Majalah Ekonomi Kepatihan Yogya-karta, no. 3, tahun V, 1952, hlm. 20.

58 Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta, no. 24, tahun 1925.

99

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

pajak, harga jual, dan sewa tanah serta rumah.59

Pembayaran pajak yang berbentuk uang dilakukandengan perhitungan sebagai berikut. Untuk pekarangan-pekarangan yang ada rumahnya sebesar f.7,5,- setiap f.100,-untuk sewa rumah seharga f.120,- dengan jangka waktu satutahun. Untuk sewa rumah seharga antara f.60,- hingga f.120,-diwajibkan membayar pajak f.5,- setiap f.100,- dan apabilasewa rumah seharga kurang dari f.60,- diwajibkan membayarf.2,- setiap f.100,-. Di samping itu, adapula tanah yang adarumahnya dikenakan pajak sebesar ¾ untuk tanah yang nilaijualnya f.100,- dan untuk pekarangan-pekarangan tanparumah jika nilai jualnya antara f.600,- hingga f.1.200,- dike-nakan pajak 1/5 setiap f.100,-. Adapun pekarangan yang adarumahnya yang nilai harga sewanya dalam satu tahun, 1/10dari nilai harga jual pekarangan tanpa rumah, pajaknya sebe-sar ¾ dihitung menurut nilai harga jual pekarangan dan rumah.60

Orang-orang nonpribumi menggunakan tanah denganstatus sebagai hak opstal (pendirian bangunan) paling lama 30tahun dan untuk pekarangan tanpa hak eigendom diwajibkanmembayar ganti rugi setiap tahun f.2,-(2%) dari harga tanah.61

Hak pakai tanah itu hanya diberikan untuk tanah yang tidakluas, tetapi hanya cukup untuk mendirikan rumah. Ganti rugiyang diberikan oleh orang-orang nonpribumi kepada patuhdan kepada pemerintahan di Onderdistrik Tugu dan Kaumandapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini:

59 Rijksblad van sultanaat no. 24, tahun 1925.60 Ibid.61 Rijksblad van Djogjakarta, Tahun 1925, no.5.

100

Nur Aini Setiawati

Tabel 6Pajak yang Diterima Patuh dan Pemerintahan dari

Orang-orang Nonpribumi

Sumber:”Di bawah ini adanja bangsa Eropa dan bangsa asingjang pake tanah tidak dengan hak jang tetep” Arsip KeratonYogyakarta, Sriwandowo, H/701.

Nama Kampung dan

Nama Patuh

Jumlah Pemakai

Tanah

Hasil yang Diterima

Patuh (1 bulan) f

Hasil yang diterima

Pemerintah Pajak

Kepala (1 bl) f

Pajeksan

Tugu, Kota

P. Soedirjopoero,

Mangoenwiduri,

R.Ng.Tirtopertomo

Pajeksan

Kauman, Kota

Kaum M. Radji,

R.A. Driopoero,

M.L. Kasanpoero

R.B. Djajengtoeronggo

R. Ng. Pradotopoero

R.Ng. Darmodjopoero

Ng. Nojopangarso

M.Ng. Kromopoero

M.P. Mertopoero

Tugu, Kauman

Kota.

M.Ng. Kadaripoeri

Kauman, Kauman

Kota.

R.Ng. Reksodiporo

Pajeksan Kidul,

Kauman, Kota

M.P. Mertopoero

R.Rio Nitidipoero

-

2

7

5

3

6

8

5

18

2

3

4

9

3

5

9

17

-

2,50

9,216

14,185

1,40

5,228

8,285

4,205

9,740

2,25

5,175

24,191

8,435

9,165

7,225

4,365

21,459

-

0,25

0,75

-

0,45

0,55

-

-

-

-

-

-

-

0,25

0,75

-

0,450

101

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Perusahaan atau penduduk yang tidak mampu mem-bayar pajak diwajibkan untuk menyerahkan atau dicabut hakpakai tanahnya dan bahkan diperintahkan untuk mening-galkan (kathundung) dari tanah yang mereka tempati. Padaawal mulanya, penduduk yang memakai tanah kasultanan,tetapi tidak dapat membayar pajaknya, diperingatkan untukmembayar atau mengangsurnya. Apabila setelah mendapatperingatan mereka tetap tidak dapat membayar ataumengangsurnya, mereka akan diajukan ke pengadilan untukmemecahkan permasalahan itu.

K.A. Portman direktur N.V. Ismaatschappij “Mataram”pernah diperingatkan sebanyak enam kali agar membayaratau mengangsur kekurangan (tunggakan) uang pajak sewatanah yang berada di Kota Yogyakarta. Pada 1 Mei 1920 N.V.Ismaatschappij menyewa tanah kasultanan untuk didirikanpertokoan dan warung (omah pangedolan). Dalam suratkeputusan (kekancingan) terdapat delapan ruang pertokoanyang terletak di Tugu Kulon, Barat Dalem Tugu, timur trotoirJalan Malioboro, sebelah timur di Kampung Danurejan, utarajalan pasar, (dekat kamar bolah militer), sebagian di pasaryang letaknya di depan kantor residen (dekat pertokoanIsmaatschappij milik Wapen en Rijwill Handel Nimrod),sepanjang jalan di Kampung Ngabean (dekat pekarangankantor kabupaten kota).62

Pada 1 Maret dan 1 Desember 1922, serta 1 September

62 Sewan Tanah Boeat Berdirikan Roemah Pendjoealan ke-punjaannja N.V. Ysmaatschappij “Mataram”, Arsip Keraton Yog-yakarta, no. 270, tahun 1920.

102

Nur Aini Setiawati

1925 perusahaan itu memperluas tanah persewaannya di seki-tar wilayah Kota Yogyakarta. Selain itu, pada 29 September1925 perusahaan itu menyewa tanah seluas 4 m2 di utarapasar, dengan uang sewa f.0,50,- (lima puluh sen) untuk setiapbulannya.63

N.V. Ismaatschappij “Mataram” harus membayar pajakpaling lambat pada tanggal 15 setiap bulannya. Akan tetapi,perusahaan itu tidak dapat membayar pajak secara penuhberhubung kondisi ekonomi yang menurun secara drastisyang memuncak ketika zaman malaise pada tahun 1930.Kekurangan (tunggakan) pajak N.V. Ismaatschappij“Mataram” dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini.

Tabel. 7Kekurangan (Tunggakan) Pajak N.V. Ismaatschappij

“Mataram” Kepada Kasultanan

Sumber: Perhitoeangan dari Adanya toenggakan Padjeg Rechtvan Opstal, Arsip Keraton Yogyakarta, no. 270, Tahun 1932.

63 Lihat Lampiran 1.

Waktu Pajak Denda

Semester 1 Tahun 1929

Semester 2 Tahun 1929

Semester 1 Tahun 1930

semester 2 Tahun 1930

Semester 1 Tahun 1931

Semester 2 Tahun 1931

Total

f. 10,67

f. 64

f. 64

f. 55,79

f. 55,79

f. 55,79

f. 306,04

f. 2,67

f. 16

f. 16

f. 11,16

f. 5,58

f. 2,79

f. 54,20

103

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tunggakanpaling besar terjadi pada semester kedua tahun 1929 dansemester pertama tahun 1930 jumlah tunggakan mencapai f.64 dengan denda f. 16.

Kekurangan (tunggakan) pembayaran pajak pada kasul-tanan tidak hanya terjadi pada perusahaan, tetapi juga terjadipada penduduk secara perseorangan. Louise Apfel seorangberkebangsaan Belanda dan bertempat tinggal di KampungPengok dengan hak opstal, tidak dapat membayar pajak (uangmeteran) sejak September 1929 hingga akhir tahun 1930 sebesarf. 149,48. Demikian pula, pada tahun 1933 tunggakan pajakterjadi pada orang-orang Tionghoa seperti Lie Ing Hien(Ngadiwinatan), Pik Bing Sutie (Danurejan), Lie Kok Hien(Ngebong Bakaran Ketandan), Lie A Jong (Jetis), The DjingHay (Ngabean, Ngampilan), Liem Ngo Hok (Kranggan).64

Meskipun tunggakan pembayaran pajak di kalanganmasyarakat kepada kasultanan selalu ada pada setiap tahun-nya, pajak yang diterima kasultanan dapat digunakan untukmembiayai kebutuhan kerajaan. Pajak yang diterimakasultanan atas tanah-tanah kekuasaan yang dipakai dandisewa oleh penduduk, orang-orang nonpribumi, dan peru-sahaan di Kota Yogyakarta dapat dilihat pada tabel 7 dibawah ini:

64 “Pratelan dari adresnja orang-orang jang sama menunggakpajeknja Recht van Opstal tersebut dalam suratnja Paduka RegentPatih Kepatihan” tt. 14 Desember 1933 No. 2218/G.B.

104

Nur Aini Setiawati

Tabel 8Pendapatan Pajak yang Diterima Kasultanan

di Kota Yogyakarta

Sumber: Uitgewerkte staat ter toelichting der begrooting vanuitgaven en ontvangen van het Sltannaat Djokjakarta voor hetdientstijaar, 1925-1930.

Pendapatan pajak yang diterima kasultanan berdasarkantabel 7 di atas mengalami kenaikan dan penurunan. Pen-dapatan pajak bumi dari tahun ke tahun mengalami penurunandisebabkan tingginya pajak yang harus dibayarkan, sehinggasemakin banyak tunggakan pajak yang harus dibayarkan danpenduduk tidak mampu membayarnya. Adapun pajak ver-ponding turun disebabkan pada tahun 1930 Yogyakarta terke-na dampak krisis ekonomi (malaise) yang sedang berlangsung.Pajak recht van opstal semakin meningkat terutama mulai 1929berhubung semakin bertambahnya penduduk asing yangtinggal di Yogyakarta. Penerimaan pajak sewa rumah jugasemakin naik disebabkan semakin banyaknya persewaangedung yang digunakan untuk kantor, pertokoan, dan rumah-rumah tempat tinggal penduduk pribumi. Pendapatan kasul-tanan untuk sewa tanah juga mengalami kenaikan karena per-sewaan tanah-tanah di Kota Yogyakarta semakin tinggi pula.

Pendapatan pajak yang diperoleh kasultanan digunakan

Bentuk Pajak 1925

f

1926

f

1927

f

1928

f

1929

f

1930

f

1. Pajak Bumi

2. Verponding

3. Recht van Opstal

4. Sewa Rumah

5. Sewa Tanah

Kasultanan

723.180

43.800

56.214

28.800

723.500

43.500

48.500

12.708

19.200

680.500

43.800

23.500

12.288

19.338

553.000

43.800

48.500

12.660

19.338

209.000

43.000

122.700

19.956

20.200

219.000

30.000

123.000

18.393

22.500

105

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

untuk biaya pemeliharaaan dan pembangunan rumah-rumahpejabat keraton, rumah sakit, jembatan, dan sebagainya. Luastanah kasultanan yang digunakan untuk penduduk pribumidan nonpribumi serta kantor-kantor di Kota Yogyakarta yangmemerlukan biaya pemeliharaan dan pembangunan yangbesar, antara lain dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 9Biaya yang Harus Dikeluarkan Kasultanan 1925-1930

Sumber: Uitgewerkte staat ter toelichting der begrooting vanuitgaven en ontvangen van het Sultanaat Djokjakarta voor hetdientstijaar, 1925-1930.

D. Pemindahan Hak Atas Tanah

Masyarakaat Yogyakarta, setelah mendapatkan tanah hakpakai, berusaha mengelola tanah itu agar dapat digunakanuntuk tempat tinggal atau mengolahnya sampai turuntemurun. Akan tetapi, yang terjadi tidak selalu demikian,kadangkala dengan terpaksa mereka rela melepaskan tanahmereka karena tidak senang atau ada kepentingan umumyang lebih memerlukan tanah milik mereka. Kondisi ini

Macam-macam Pengeluaran 1925

f

1926

f

1927

f

1928

F

1929

f

1930

f

1.Pemeliharaan pekarangan

Bupati

2. Pemeliharaan rumah-

rumah negeri

3. Pemeliharaan Jalan

4. Pemeliharaan Jembatan

5. Pemeliharaan kalen

6. Pembersihan Kota

7. Pembangunan rumah

8. Pembangunan gedung

sekolahan

660

-

-

300

10.100

-

-

-

660

-

-

300

10.100

21.305

32.600

-

660

1.270

131.300

300

10.100

31.895

175.800

15.000

120

1.510

122.500

300

10.100

32.595

102.000

36.000

120

1.510

122.500

300

10.100

32.595

75.000

-

120

1.510

120.000

300

10.100

32.595

100.000

36.000

106

Nur Aini Setiawati

menyebabkan adanya perubahan pemilikan hak atas tanah,sehingga dengan sendirinya terjadi pemindahan hak milikatas tanah yang terjadi di Kota Yogyakarta seperti pewarisan,penjualan, hibah, dan sebagainya.

Apabila seorang abdi dalem yang menduduki tanahjabatannya meninggal, maka rumah dan tanaman menurutaturan yang berlaku dialihkan kepada keturunannya. Merekauntuk sementara tetap mendiami tanah itu sebagai indungkawedanan sampai dengan diangkatnya pejabat abdi dalemsebagai penggantinya. Jabatan abdi dalem dapat diturunkankepada putera sulungnya atau keluarga dekatnya, sehingga iadapat diangkat sebagai pengganti ayahnya. Dengan sendiri-nya, ia menerima hak pakai jabatan atas tanah ayahnya, dengankewajiban agar pekarangan itu dibagi di antara para ahliwarisnya. Hak waris atas jabatan dan tanah itu tidak dapatberkali-kali diturunkan kepada ahli warisnya. Dapat dikatakanbahwa waris pangkat tidak diturunkan kepada ahli warisnya,tetapi diangkat melalui seleksi atas prestasinya. Oleh karenaitu, sering terjadi beberapa kontrak atau perjanjian menimbulkanpersengketaan. Akan tetapi, jika pemilik pekarangan yang tidaktermasuk golongan meninggal di kampung golongan(pengindung kawedanan), maka hak atas tanah pekarangan jugaturun pada ahli warisnya, terutama pada anak sulungnya. Diaberkewajiban memberi bagian kepada waris yang berhaklainnya. Apabila dia tidak dapat mengganti uang bagiantersebut, ia akan kehilangan hak untuk menerima pusaka.65

65 Adatrechtbundel: Java en Madoera. S’ Gravenhage: MartinusNijhoff, 1921. Jilid XXII, hlm. 205.

107

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Tanah pekarangan jabatan sering pula dijual oleh abdidalem yang memiliki hak atas tanah pekarangan. Penjualanpekarangan di kota oleh seorang abdi dalem sejak 1887 diper-kenankan oleh Sultan Hamengku Buwono ke- VII, selamaorang melakukan penjualan tanah itu dengan syarat untukdihuni. Dalam pengadilan ditetapkan bahwa penjualan peka-rangan dalam kota diperkenankan dengan perjanjian bahwapembeli hanya berhak mendiami pekarangan itu dengan izinkawedanan. Di samping itu, pembeli juga harus mematuhikewajiban yaitu membayar pajak dan melakukan kerja untuknagari.66

Mereka harus menyetorkan upeti dan melakukan kerjabagi kawedanan cangkok, atau menebus dengan uang (duwitpenanggalan) untuk melapaskan tanah kepada kawedanansebagai ganti rugi bagi rumah dan tanaman sebesar f.0,01per meter persegi.67

Izin jual beli tanah itu disahkan melalui kawedanan dankeraton. Di samping itu, bupati polisi kota serta asisten panjijuga terlibat dalam pengaturan setiap penjualan dan penan-datanganan akta hak milik tanah. Penjual membayar 5% darijumlah harga tanah sebagai uang saksi (pilasi). Dari uang itu2/3 bagiannya disetorkan kepada kawedanan dan 1/3 bagiandisetorkan kepada keraton/nagari.68

Apabila yang membeli tanah pekarangan adalah abdi da-lem, padahal ia sudah mempunyai tanah pekarangan jabatan,

66 Rijksblad van Sultanaat Djokjakarta, 1918, no. 14.67 Adatrechtbundel, Ibid., hlm. 205.68 Ibid.

108

Nur Aini Setiawati

maka dengan pekarangannya yang baru di beli itu, ia berke-dudukan sebagai indung cangkok, disamping ia menjadi cang-kok di atas pekarangan jabatannya yang didiami. Dengandemikian, ia berkedudukan sebagai cangkok di atas peka-rangan sendiri dan menjadi indung cangkok bagi peka-rangannya yang baru dibeli. Sebagai indung cangkok peka-rangannya yang baru itu, ia memiliki kewajiban-kewajibanpada kawedanan atau kepada cangkoknya. Kewajiban-kewajiban itu dapat diganti dengan uang (duwit penanggalan).Apabila pembeli adalah orang Indonesia, mereka harusmembayar kepada kawedanan, tetapi bila pembeli itu bukanorang Indonesia, mereka harus membayar kepada keraton.Jumlah uang sebagai pengganti kewajiban yang diberikankepada pemakai pekarangan itu adalah f.0.01 tiap-tiap meterpersegi.

Pemindahan hak atas pekarangan dapat pula dilakukandengan cara melepaskan (ngrilalake, nglintirake) kepada anakkandung atau anak angkat, berkali-kali, dengan cara pen-jualan pekarangan.69

Abdi dalem dapat pula mengalihkan sebagaian peka-rangannya kepada orang lain. Di daerah perkotaan yangpenduduknya sangat padat, tanah memiliki nilai yang cukuptinggi. Oleh karena itu, sebagaimana yang terjadi di Kam-pung Bumijo, abdi dalem terpaksa mengalihkan sebagianpekarangannya kepada orang lain. Pemegang hak awal tetapmemegang cangkok pekarangan, sedangkan mereka yang

69 Ibid.

109

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

menerima sebagian pekarangan itu menjadi indung cangkok,kecuali cangkok berbuat salah, mereka dapat diusir melaluiperantara pengadilan. Cangkok asli itu menjadi patuh cangkok(lurah cangkok). Indung cangkok berkewajiban membayarkepada patuh, sehingga indung itu dapat menjual sendiri tanahatau sebagian pekarangannya dengan persetujuan patuh dankawedanan.

Indung cangkok ini sering pula membagi tanah peka-rangannya, sehingga indung baru yang menerima sebagianpekarangan dari indung cangkok itu berkedudukan sebagaiindung cangkok kawedanan. Dengan demikian, ia tidakmenjadi indung orang yang memberikan sebagian tanahnyaitu.70

Para abdi dalem keraton sering pula mengadakan pertu-karan tanah pekarangan yang dimilikinya. Pertukaran tanahsaling terjadi di antara dua prajurit yang tidak dapat tinggaldi luar kampungnya. Masalah ini dapat menimbulkan seng-keta di antara mereka. Mereka memiliki wewenang untukmencabut kembali persetujuan yang diberikan.

Pemindahan hak lainnya dilakukan dengan cara jual gadaiyaitu pemilik tanah diberi pinjaman uang dengan jaminantanah. Pada mulanya, pemilik tanah datang kepada orangyang punya uang yang mau menggadaikan tanah. Setelahtawar-menawar dengan kata sepakat mengenai besarnyauang gadai, pemilik tanah menerima uang gadainya, selan-jutnya pemilik tanah mengembalikan jumlah uang pin-

70 Ibid., hlm. 207.

110

Nur Aini Setiawati

jamannya pada waktu yang telah ditentukan. Dengan demi-kian, secara resmi tanah digadaikan oleh pemiliknya. Praktikpenggadaian pekarangan itu tidak mendapat izin dari kawe-danan, sehingga satu-satunya cara adalah penjualan secaraumum dengan penawaran diam-diam yang menyangkutpenyewaan kepada penjual dan tawaran pembelian kembali.

Untuk keperluan bangunan-bangunan bagi kepentinganumum, keraton dapat mengambil (onteigenen) tanah peka-rangan. Keraton mengganti kerugian atas tanaman dan ru-mah, sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, yaitu atastanah pekarangan (kepunyaan raja) penduduk hanya memilikihak pakai. Hal ini juga terjadi pada perluasan kampung-kampung yang didiami orang-orang partikelir atau pembu-kaan tanah sepanjang tepi sungai. Kampung itu dimasukkandalam satu golongan. Sejak itu, mereka masuk indung kawe-danan dan seterusnya memiliki kewajiban-kewajiban kepadakawedanan. Akan tetapi, lahan itu dapat pula berdiri sendirisebagai pekarangan “patuh negari” atau “kebonan”.

111

BAB IVPOLA PENGUASAAN, PEMILIKANDAN SENGKETA TANAH SETELAH

REORGANISASI AGRARIADI KOTA YOGYAKARTA

A. Reorganisasi dan Pengaturan Hak Milik Tanah

Mengingat begitu besar arti tanah bagi kehidupan masya-rakat Yogyakarta, maka sudah sewajarnyalah apabila diada-kan pengaturan hak milik tanah. Pengaturan hak milik tanahkasultanan di Kota Yogyakarta di wujudkan dengan undang-undang, adat kebiasaan, praktik-praktik yang mengatur hakdan kewajiban, serta hubungan orang dengan tanah. Padamulanya, pengaturan hak milik tanah di Yogyakarta sangatterikat oleh adat kebiasaan yang tidak tertulis. Pemilikantanah di Kota Yogyakarta disebut hak pakai (gebruiksrechten)secara turun-temurun hak itu diperoleh dari sultan.

Pada dasarnya, kebijakan agraria di Vorstenlanden tidakdapat dilepaskan dari kebijakan Pemerintah Hindia Belanda

112

Nur Aini Setiawati

di Indonesia. Kebijakan agraria yang dilakukan pada awalabad 20 itu dikenal dengan “Reorganisasi Agraria SistemPemilikan Tanah” atau konversi tanah.1 Alasan pemerintahkolonial melaksanakan reorganisasi itu adalah untuk mening-katkan kehidupan sosial ekonomi penduduk, tetapi maksudyang sebenarnya adalah memberlakukan Undang-undangAgraria tahun 1870. Pemerintah kolonial mendesak sultanmelaksanakan reorganisasi agraria dengan tujuan agar dapatmemberikan kebebasan perusahaan swasta untuk menanammodalnya.2 Dengan adanya desakan dari Pemerintah Kolo-nial Belanda tersebut, sultan menyetujuinya dengan harapanbahwa kewibawaannya yang telah hilang dapat kembalidengan melaksanakan reorganisasi agraria.

Reorganisasi pemilikan tanah di Yogyakarta dilakukansejak 1917 hingga 1925. Tujuannya ialah menata kembalisistem pemilikan dan penguasaan tanah di Yogyakarta yangpada mulanya merupakan hak milik dan kekuasaan raja. Ta-nah itu tidak memiliki status hukum yang jelas, sehinggatidak ada peraturan yang mengatur tentang pemindahan hakpemilikan, seperti jual beli, sewa menyewa, hibah, dan seba-gainya. Oleh karena itu, dengan semakin berkembangnyaperusahaan-perusahaan perkebunan di Yogyakarta, Peme-rintah Hindia Belanda menginginkan adanya kepastianhukum bagi tanah di Yogyakarta.

1 Reorganisasi agraria sistem pemilikan tanah disebut pulakonversi tanah yang berarti proses peralihan (0mzetting) pemilikantanah dari suatu hak tertentu kepada suatu hak lain.

113

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Pemerintah kolonial memerlukan kepastian hukum bagitanah dan hak-hak serta kewajiban warga Yogyakarta sehu-bungan dengan adanya kebijakan politik etis yang dicanang-kan. Politik itu muncul dari golongan etis yang menginginkanadanya balas budi kepada rakyak Indonesia yang memilikibanyak jasa kepada Pemerintah Belanda. Golongan etismenginginkan agar kehidupan sosial ekonomi rakyat Indo-nesia meningkat. Untuk itu, mereka menuntut PemerintahBelanda agar hasil yang diperoleh dari Indonesia digunakanuntuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.3

Munculnya politis etis di Vostenlanden mengakibatkanperhatian golongan etis tercurah pada kepincangan-kepin-cangan yang diakibatkan oleh adanya sistem feodal. Padadasarnya kepincangan-kepincangan itu berasal dari adanyasistem apanage yang diterapkan di tengah masyarakat. Olehkarena itu, sistem apanage harus dihapuskan dan status pemi-likan tanah ditata kembali.

Untuk menata kembali status pemilikan tanah di KotaYogyakarta, dilakukan berbagai cara untuk membuat peru-bahan, yang bisa menjadikan status hukum tanah di KotaYogyakarta menjadi lebih jelas. Adapun tindakan yangdilakukan untuk mengadakan perubahan itu adalah peng-hapusan sistem apanage, pembentukan kalurahan sebagai unitadministrasi, pemberian hak-hak penggunaan tanah yangjelas kepada penduduk, dan penerbitan peraturan sistem se-

2 D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jilid 1,(Djakarta: Pradnjaparamita, 1962), hlm. 215.

3 Ibid., hlm. 207-208.

114

Nur Aini Setiawati

wa tanah, pengurangan kerja wajib penduduk, serta per-baikan aturan pemindahan hak atas tanah.

Penghapusan sistem apanage (lungguh) di Yogyakartadilakukan 1917. Dengan dihapuskannya sistem apanage, parapemegang tanah lungguh baik para kerabat keraton maupunpriyayi yang memiliki jabatan istana diberi gaji berupa uangdan bukan di beri tanah sebagai pengganti lungguhnya.Konsekuensi kebijakan itu adalah para pejabat istana danpara priyayi (birokrat kerajaan) pemegang tanah lungguh, kehi-langan penguasaan dan pengelolaan tanah. Mereka hanyadiberi tanah yang mereka pakai sebagai tempat tinggal,sedangkan sebagian besar tanah lungguhnya harus dise-rahkan kembali kepada sultan.4

Pada mulanya, tanah yang digunakan sebagai tempatpermukiman merupakan wilayah kekuasaan kasultanan dansecara mutlak merupakan milik sultan. Meskipun tanah itudikerjakan dan dijadikan tempat permukiman oleh pen-duduk, tetapi sebagian hasil tanah merupakan hak kasultananyang wajib diserahkan kepada sultan. Dengan demikian,penduduk hanya memiliki hak pakai dan tidak mempunyaihak milik atas tanah tersebut. Dengan diberi tanah hak pakai,penduduk dituntut untuk tetap loyal kepada sultan dan patuhsebagai pemegang lungguh yang menjadi tuannya dengankewajiban menyerahkan hasil tanah dan tenaga kerjanya.

Hak milik tanah kasultanan telah diakui oleh rakyat men-jadi kekuasaan sultan, sehingga sultan memiliki wewenang

4 Rijksblad van Djokjakarta Tahun 1918, no. 16 (Djokja: MardiMoeljo, 1918).

115

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

untuk membagi-bagi tanahnya kepada para priyayi dan abdidalem sebagai tanah lungguh guna mempermudah pengor-ganisasian administrasi wilayah kekuasaannya. Dengandemikian, penguasaan atas tanah di kota menjadi hal mono-poli elite kasultanan, dan penduduk hanya memiliki hak pakai(gebruiksrechten).

Pada 1925, Pemerintah Kasultanan Yogyakarta menga-dakan reorganisasi pemilikan dan penguasaan tanah diwilayah Kota Yogyakarta. Reorganisasi tanah itu merupakansuatu perubahan yang fundamental terhadap status hukumpemilikan tanah dari tanah milik Sultan Hamengku BuwanaVIII, para priyayi serta abdi dalem untuk dialihkan hakkepemilikannya (omzetting) kepada penduduk. Pada mula-nya, penduduk (kawula dalem) hanya memiliki hak pakaitanah, namun setelah adanya reorganisasi tanah pendudukmemiliki hak tanah yang dipakai dengan status hukum sebagaihak milik (andarbe). Penduduk yang memiliki hak milik tanahadalah mereka yang telah menempati dan mengelola tanahselama bertahun-tahun.5 Dengan demikian, pada dasarnyareorganisasi tanah di Kota Yogyakarta merupakan penga-lihan hak kepemilikan tanah sultan, priyayi, dan abdi dalemyang merupakan tanah lungguh, sebagian dari tanah diubahmenjadi hak milik penduduk (kawula dalem) di wilayah KotaYogyakarta. Setelah diadakan reorganisasi tanah itu, pendu-duk memiliki hak dan wewenang untuk menempati danmengelola tanah yang telah dipakai.

5 Rijksblad van Djogjakarta, Tahun 1925, no. 23.

116

Nur Aini Setiawati

a. Hak Penduduk Atas Tanah Setelah PelaksanaanReorganisasi Tanah

1. Hak Pakai Secara Turun-Temurun (ErfelijkGebruiksrechten)

Setelah adanya reorganisasi di Kota Yogyakarta, munculperaturan baru yang berkaitan dengan persoalan pemilikantanah dan tata cara pemindahan hak milik atas tanah di antaramasing-masing penduduk. Dasar penguasaan tanah menjadiwewenang kalurahan. Tanah menjadi milik komunal wargakampung dengan status hak pakai (gebruiksrechten). Hak pakaitanah dibagi dua yaitu hak pakai untuk penduduk asli (pri-bumi) dan untuk orang asing. Hak pakai merupakan hakuntuk menggunakan tanah untuk didirikan rumah danditanami tanaman bagi penduduk. Adapun tanah peka-rangan, tegalan, dan sawahan menjadi hak milik komunalyang wewenangnya diberikan kepada kalurahan. Pengor-ganisasian tanah diserahkan kepada lurah yang kemudianmembaginya kepada penduduk kota dengan bagian tertentu.

Tanah yang dipakai penduduk secara turun-temurundengan pemberian wewenang hak pakai memiliki statushukum yang kuat. Untuk itu sultan tidak dapat berbuat sewe-nang-wenang mengambil tanah-tanah tersebut. Meskipundemikian, sultan dapat saja mencabut hak tanah penduduktanpa memperdulikan peraturan-peraturan yang ada.

Pemilik hak pakai secara turun temurun, dapat kehi-langan haknya atas tanah yang dipakai apabila tanah ituselama 10 tahun tidak ditempati sebagai tempat tinggal atautidak ditanami tanaman. Di samping itu, hak pakai juga akan

117

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

hilang apabila pemilik hak pakai (nganggo bumi) turun-temurun itu meninggal dunia dan tidak memiliki pewarisyang legal secara hukum.6

Kalurahan dilarang menjual atau memindahkan hak atastanah kepada penduduk, kecuali mendapat izin dari pepatihdan residen Yogyakarta.7 Meskipun sebagian tanah ada yangdikuasakan kepada kalurahan, lurah tidak memiliki kewe-nangan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pen-duduk. Tanah itu menjadi hak milik komunal yang dapatdipakai untuk kepentingan umum.

Dalam sistem penguasaan tanah melalui sistem kalu-rahan, penduduk tidak memiliki kebebasan untuk menjual,menyewakan, menggadaikan atau mewariskan. Hal ini dise-babkan yang memiliki kewenangan untuk menentukan semuakebijakan atas tanah adalah kalurahan.

Pada umumnya tanah kasultanan yang dipakai untukkepentingan umum digunakan untuk mendirikan bangunan-bangunan sekolahan, kantor, rumah sakit, dan sebagainya.Luas tanah itu dapat dilihat pada tabel 9 di bawah ini:

6 Ibid., Bab I, pasal 3, dan Bab IV.

118

Nur Aini Setiawati

No Letak Tanah Tgl. Pemberian Nama Bangunan

1 Ngampilan 24/08/1901 Gedung Sekolah 635

2 Mantrijeron 24/02/1902 Rumah Gadai Kepolisian 5953 Wirobrajan idem Warung Opium 4624 Gandekan idem idem 11835 Bintaran 10/04/1902 Gedung Sekolah 1930

6 Gondomanan 28/07/1903 Gedung Pengadilan 14987 Ketandan idem Gedung Sekolah 6695

8 Tegalrejo idem Gedung Kereta Api 275509 Gondokusuman idem Gedung Sekolah 32650

10 Mantrijeron 24/05/1905 Gedung Sekolah 121511 Ngampilan 17/07/1907 Gedung Departemen Perang 1195

12 Gowongan idem Stasiun Kereta Api 9970013 Bintaran idem Rumah Untuk Direktur Penjara 2505

14 Demangan idem Departemen Perang 49980015 Mergangsan 14/07/1909 Gedung Sekolah 9930

16 Gandekan 23/10/1910 Rumah Gadai 16117 Gandekan 09/02/1912 Gedung Sekolah 1360

18 Gedong Tengen 19/07/1913 Gedung Sekolah 200619 Jogojudan 24/09/1913 Rumah Gadai 4185

20 Gondomanan 23/10/1913 Rumah Gadai 361521 Lempuyangan 23/10/1913 Rumah Gadai 4245

22 Gandekan 06/02/1914 Rumah Gadai 465023 Lempuyangan 26/03/1914 Gedung Sekolah 3915

24 Lempuyangan 13/07/1914 Gedung Sekolah 345525 Lempuyangan 05/08/1914 Gedung Sekolah 1755

26 Danurejan 15/08/1914 Gedung Sekolah 557527 Ketandan idem Lapangan Militer 82000

28 Daengan 29/09/1914 Gedung Sekolah 150129 Danurejan 08/07/1916 Gedung Sekolah 5575

30 Bintaran 17/07/1917 Gedung Tahanan 3552031 Bintaran idem Perumahan Penjaga Penjara 1864

32 Ngampilan 25/07/1917 Gedung Kepolisian 2011033 Lempuyangan 01/07/1917 Gedung Sekolah 211334 Jetis 02/03/1918 Gedung Sekolah 612535 Lempuyangan 18/05/1918 Gedung Sekolah 9210

36 Karangkajen 21/05/1918 Gedung Sekolah 197337 Jetis 11/07/1918 Gedung Sekolah 2595038 Panembahan idem Gedung Sekolah 1871

39 Gandekan 03/10/1918 Pertokoan 40840 Gondokusuman 02/09/1919 Gedung Sekolah 18300

41 Gondokusuman idem Gudang Departemen Perang 5390042 Ngampilan idem Departemen Binnenlandsch Bestur 16300

43 Gondomanan idem Departemen Pekerjaan Umum 14644 Gondokusuman 21/10/1919 Gedung Sekolah 102540

45 idem idem Rumah Sakit 8070046 Gondomanan 01/11/1919 Gedung Sekolah Anak Bangsa Eropa 6750

47 Sagan 07/04/1920 Gedung Sekolah 199148 Jetis 12/12/1928 Gedung Sekolah 89350

49 Ngampilan 18/12/1937 Departemen Pekerjaan Umum 157450 Gedong Tengen - Gudang 900

51 Lempuyangan - Gedung Sekolah 161652 Danurejan - Gedung Sekolah 11800

Luas Tanah

(m2)

1302552Total

Tabel 10Luas Tanah Kasultanan Untuk Kepentingan Umum

Sumber: Daftar Tanah-tanah Hak Gebruik 1900-1940 (Yogyakarta:Kantor Pertanahan, tt), hlm. 2-8.

119

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

2. Hak Milik (andarbe) Atas Tanah

Pada masa Reorganisasi Agraria di daerah Kota Yog-yakarta, sultan memberikan tanah kepada masyarakatdengan hak milik pribadi, tepatnya sejak 1925. Penserti-pikatannya mulai tahun 1926. Sebelum dikeluarkan sertipikattanah yang berupa “Petikan Soko Register Bab WewenangAndarbe Boemi”,8 maka terlebih dahulu dilakukan pengukuran,dan penentuan klasifikasi tanah untuk menentukan luaspemilikan masing-masing penduduk. Penetapan luas tanahyang dimiliki masing-masing penduduk dilakukan untukmenentukan besarnya pajak bumi yang wajib dibayarkanpenduduk kota yang menerima hak milik tanah.9

Pemberian hak milik tanah kepada kalurahan dilakukansetelah kalurahan-kalurahan di Kota Yogyakarta terbentuk.Tanah itu di golong-golongkan untuk selanjutnya dibagi-bagikan pada penduduk. Pada waktu diadakan reorganisasi,dinyatakan bahwa tanah yang telah dihuni oleh penduduksebagai hak milik pribumi dari kalurahan dianggap sebagaihak milik yang dapat diwariskan. Hak itu tidak mencakuptanah liar, tanah kosong, jalan, dan tanah makam.10 Dengandemikian, hak penduduk atas tanah tidak hanya merupakanhak pakai, tetapi sudah berubah statusnya menjadi hak milik

7 Ibid.8 Contoh Sertipikat lihat lampiran 2.9 Rijksblad Van Djogjakarta. Tahun 1925, no. 24.10 Mr. Soepomo, “Een Mededeeling over Adatgrondenrecht in

Jogjakarta” dalam Kolonial Tijdschrift, Twintigste Jaargang, 1931,hlm. 625.

120

Nur Aini Setiawati

(andarbeni) sehingga penduduk bebas dapat menjual ataumewariskan tanah itu. Dengan demikian, reorganisasi agrariatelah memberikan hak-hak atas tanah yang lebih kuat kepadapenduduk sebagai hak milik (andarbeni).11 Dengan hak andar-beni penduduk memiliki wewenang penuh atas tanah yangdiberikan, dan mereka dapat menjual, menyewakan kepadaorang lain, serta dapat pula mewariskan pada ahli warisnya.Luas tanah yang diberikan kepada rakyat pada tahun itudapat dilihat pada tabel 11 sebagai berikut:

Tabel. 11Luas Tanah Kasultanan yang Diberikan kepada

Penduduk Yogyakarta pada Tahun 1926

No. Nama Distrik Luas Tanah (m2)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Jetis

Gowongan

Gedongtengen

Danurejan

Ketandan

Gondomanan

Ngampilan

Wirobrajan

Daengan

Mantrijeron

Karangkajen

Mergangsan

Bintaran

Lempuyangan

Gondokusuman

350.100

336.183

467.810

199.668

46.275

232.171

382.085

628.117

1.359.318

1.205.662

737.343

976.747

172.997

325.122

745.624

121

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Sumber: Petikan Soko Register Bab Wawenang Andarbe Boemi (Yogya:Pengageng Kantor Mengeti Siti, 1926).

Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian besar pega-wai-pegawai keraton berpencar-pencar tempat tinggalnya,sebagian besar tanah pekarangan golongan (ambtserf) jatuhke tangan orang lain. Meskipun demikian, pembagiangolongan dan kampung masih tetap berlaku.

3. Hak Warisan

Dengan diberikannya atas tanah sebagai hak pakai(gebruikrechten) secara turun temurun, maka penduduk memi-liki kekuasaan untuk mewariskan tanahnya kepada ahliwaris.12 Penyerahan hak milik atau hak pakai atas tanahkepada anak merupakan suatu proses yang selalu terjadi,tidak hanya dalam peristiwa kematian. Sepanjang hidupnya,orang akan memberikan sebagian harta miliknya kepadaanak-anaknya.13 Apabila seseorang memiliki tanah, dia akan

11 Wiroboemi, “Agraria”, dalam Kalawarti Ekonomi. Jojakarta:Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

12 Rijksblad Van Jogjakarta, Tahun 1926, no. 1, Bab 3, pasal 1 (Djokja:Mardi Moeljo, 1926).

13 Hildred Geertz, Keluarga Jawa (Jakarta: Grafiti, 1983), hlm. 55.

16

17

18

19

20

Pengok

Panembahan

Langenastran

Taman

Kadipaten

742.651

61.811

232.199

214.268

52.962

Total 6904.133

122

Nur Aini Setiawati

memberikan tanah itu kepada anaknya setelah mereka dewa-sa. Segala macam pemberian itu kelak diperhitungkan apabilapada saat kematiannya harta milik yang tersisa pada akhirnyaharus dibagi-bagi. Sering pula terjadi, jika seseorang telahmenjadi terlalu tua untuk mengurus berbagai persoalannya,maka dibagi-bagikan segala harta miliknya dan hanya disi-sakan sebagian untuk menopang hidupnya di hari tua. Padaumumnya, sisa harta yang dimilikinya itu akan diberikankepada anak yang mengurusinya secara langsung.

Pada dasarnya, tanah-tanah permukiman yang diwaris-kan bagi ahli warisnya merupakan jaminan bagi kebutuhanakan rumah sebagai tempat tinggal di kota. Oleh karena sema-kin menciutnya lahan di perkotaan dan semakin padatnyajumlah penduduk kasultanan, pewarisan tanah memiliki artiyang sangat penting. Adanya pewarisan tanah seperti itumengakibatkan ahli warisnya tidak perlu mencari lagi tempatpermukiman untuk dibeli atau disewa sebagai tempat tinggal.

Pemberian tanah hak pakai kepada ahli waris harusdidaftarkan di kelurahan sesuai dengan ketentuan pasal 3PSultan Yogyakarta 8 Agustus 1918, Rijksblad no. 16 yang ber-bunyi bahwa hak pakai tanah atas tanah-tanah kalurahansetelah pemakai meninggal dunia tanah itu dapat dilimpah-kan pada ahli warisnya sesuai dengan urutan daftar keputusankalurahan, dengan pengertian bahwa warisan hak itu dapatdiberikan kepada orang-orang tertentu di antara pewaris-pewarisnya.14

14 “Verslag Omtrent Stand der Hervorming No. 1921”, KoleksiANRI, Bundel Binnenlandsch Bestuur.

123

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

4. Hak Menyewakan

Praktik sistem persewaan tanah didasarkan pada tujuan-tujuan komersial yaitu untuk memperoleh sumber-sumberkeuangan di wilayah kekuasaannya. Tanah kasultanandisewakan kepada penduduk kota yang menjadi pendudukkasultanan dan kepada yayasan atau lembaga-lembaga baikdepartemen maupun nondepartemen. Tanah yang disewakankepada penduduk luasnya tidak lebih dari 10 ha dan tanahyang disewakan itu berupa tanah pekarangan yang tidakada bangunan rumahnya.15

Harga sewa tanah pekarangan sebesar 1/20 harga jualtanah. Akan tetapi, untuk yayasan atau lembaga, harga sewatanah lebih murah, bahkan ada yang tidak membayar uangsewa tetapi justru diberikan (kaparingake) dengan hak pakaioleh sultan.

Jangka waktu penyewaan tanah kepada penduduk untukdidirikan bangunan atau ditanami tanaman paling lama 20tahun, dengan menggunakan perjanjian yang ditetapkan olehpemerintah. Perjanjian sewa tanah antara pemerintah denganpenduduk dapat pula disaksikan oleh notaris apabila dike-hendaki oleh kedua belah pihak.

Berkaitan dengan persoalan persewaan tanah, pada tahun1930 ketika terjadi krisis ekonomi pernah terjadi persainganuntuk memperebutkan tanah di pinggiran kota antara orangTionghoa dengan penduduk pribumi. Mereka saling mem-

15 Rijksblad van Jogjakarta, tahun 1926, no. 10.

124

Nur Aini Setiawati

perebutkan tanah di pinggiran kota dengan tujuan untukmendirikan pertokoan untuk kemajuan usaha dagangannya.16

5. Hak Gadai

Penduduk yang memiliki tanah dengan hak pakaidiperkenankan menggadaikan (diedol sende) tanahnya kepadapenduduk di wilayah kasultanan. Penggadaian tanah itu harusmendapat izin dari kalurahan dengan melalui perjanjian diantara kedua belah pihak yang disaksikan oleh aparat di ting-kat kalurahan, seperti kepala distrik. Perjanjian ini dibuatuntuk tanah yang telah didaftarkan pada buku register dikalurahan seperti rumah, yayasan, pekarangan, yang meng-hasilkan bukan tanaman sayuran (kitri tahun), dan tanah yangdisewakan pada orang yang bukan penduduk kasultanan.

B. Pencabutan Hak Atas Tanah Kasultanan

Pencabutan hak tanah sultan yang telah diberikan kepadapenduduk dapat dilakukan berdasarkan peraturan penca-butan tanah. Pelaksanaan pencabutan tanah itu tidak dapatdilakukan secara sewenang-wenang, tetapi harus memilikialasan-alasan yang kuat dan didasarkan ketentuan-ketentuanyang berlaku. Akan tetapi, sultan dapat mencabut hak kepe-milikan tanah penduduk tanpa didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku karena sultan mempunyai kekuasaanyang besar atas tanah-tanah itu. Pencabutan hak kepemilikantanah penduduk dapat dilaksanakan karena tanah akan

16 Soepomo., op.cit., hlm. 625.

125

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

diperlukan untuk kepentingan masyarakat dan untuk dise-wakan kepada yayasan atau orang-orang nonpribumi untuktempat tinggal.17

Pencabutan hak tanah penduduk oleh sultan menun-jukkan bahwa meskipun penduduk kasultanan telah memilikikekuasaan atas tanah sebagai hak pakai secara turun temurun,tetapi penduduk tidak dapat bebas berbuat sewenang-wenang atas tanahnya. Penduduk dapat memanfaatkan danmenguasai tanah berdasar pada peraturan-peraturan yangberlaku. Kewenangan sultan mencabut hak penduduk atastanah disebabkan asal tanah milik mereka bermula daripelepasan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh sultan, parasentana, dan abdi dalem. Oleh karena itu, meskipun telah adareorganisasi tanah yang mengakibatkan penduduk yangmendapatkan tanah mempunyai hak atas tanah yang lebihkuat dan mendapat kepastian hukum yang lebih jelas, tetapimereka harus merelakan tanahnya apabila dicabut oleh sul-tan terutama untuk kepentingan umum.

Pencabutan kembali tanah-tanah yang diberikan kepadapenduduk hanya dapat dilakukan oleh sultan bersamaresiden dengan catatan bahwa tanah akan digunakan untukkepentingan umum. Dalam mencabut tanah, sultan membe-rikan ganti kerugian kepada penduduk. Jumlahnya berdasarpada taksiran anggota komisi yang mengurus permasalahantanah. Anggota komisi itu terdiri atas pegawai pemerintahan(ambtenaar pangreh praja) yang ditentukan oleh residen, weda-

17 Rijksblad van Jogjakarta, Tahun 1931, no. 2.

126

Nur Aini Setiawati

na atau asisten wedana, kepala kampung, dan dua orangpemilik tanah yang tidak memiliki maksud tertentu terhadappencabutan hak atas tanah itu.18

C. Sengketa Tanah Kasultanan

Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kotayang padat penduduknya, sering terjadi kasus-kasus yangberkaitan dengan pemilikan dan penguasaan tanah. Kasus-kasus yang merupakan konflik atau sengketa individu menu-rut Duverger dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama,konflik yang berkaitan dengan bakat alami yang ada padamanusia. Dalam realitasnya di masyakarat, akan dijumpaiindividu yang satu ternyata memiliki bakat yang lebih unggulbila dibandingkan dengan individu lainnya. Dengan kele-bihan bakatnya tadi, individu tersebut mempunyai peluangyang lebih besar untuk memperoleh dan menduduki keku-asaaan. Jenis kedua adalah yang berkaitan dengan kecen-derungan psikologis. Di dalam masyarakat dapat dijumpaiseorang individu yang mempunyai kecenderungan untukmemerintah atau mendominasi individu yang lainnya.19

Konsep Charles Darwin mengenai bakat-bakat individ-ual dalam hubungannya dengan konflik mengatakan bahwauntuk menjamin kelangsungan hidupnya setiap individuharus bertempur melawan individu yang lainnya, dan indi-vidu yang berhasil adalah mereka yang berhasil meme-

18 Ibid., Bab III.19 Haryanto, Elit, Massa, Dan konflik: Suatu Bahasan Awal

(Yogya:PAU-Studi Sosial UGM, 1991), hlm. 61.

127

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

nangkan pertempuran tadi. Konsep Darwin itu dapat disa-makan dengan filsafat borjuis yang doktrinnya membenarkanadanya persaingan bebas di bidang kehidupan ekonomi.Orang yang memiliki “modal” paling kuat ialah yang mem-punyai kemungkinan untuk memenangkan persainganbebas.20

Di Kota Yogyakarta terdapat beberapa individu yangmempunyai bakat lebih dari anggota-anggota masyarakatlainnya. Berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat KotaYogyakarta, golongan paling atas masyarakat pribumi, mela-lui kelebihan bakatnya, berusaha untuk memperoleh danmenjalankan kekuasaannya. Sementara anggota-anggotamasyarakat kelas bawah yang tidak memiliki kelebihan bakatmelakukan berbagai upaya untuk menghalangi tindakan yangdilakukan oleh individu-individu yang berbakat lebih. Olehkarena itu, dalam masyarakat Yogyakarta muncul persainganyang tidak menutup kemungkinan bagi munculnya sengketaatau konflik atas penguasaan dan pemilikan akan tanah.

Di Kota Yogyakarta, tanah menjadi masalah utama danmerupakan dasar bagi munculnya sengketa. Sengketa itutidak hanya terjadi pada aspek ekonomi, tetapi juga padakriteria kedudukan sosial seseorang. Dengan demikianmerosotnya sumber-sumber penghasilan akibat ekonomiyang makin memburuk terutama zaman malaise tahun 1930dan semakin pentingnya keuntungan ekonomi akibat kelang-kaan sumber-sumber itu, tanah menjadi sumber utama yang

20 Ibid., hlm. 62.

128

Nur Aini Setiawati

dapat diperdagangkan dalam masyarakat perkotaan.Dengan adanya hubungan dasar antara penguasaan

tanah dengan bentuk pola-pola kekuasaan dan adanya peng-golongan masyarakat Kota Yogyakarta, maka masalah tanahmerupakan faktor yang sangat penting. Karena tanah sangatpenting bagi kehidupan, sudah sewajarnyalah apabila masya-rakat Yogyakarta kemudian memiliki semboyan “sedumukbatuk, senyari bumi”. Oleh karena itu, tanah selalu menjadipersoalan bagi munculnya sengketa. Menurut J. Aditjondroada beberapa hal yang memberikan kekuatan bertahankepada konflik-konflik tanah di Indonesia yaitu konflik-konflik antara warga negara (citizen) versus negara (state),dan konflik-konflik antara sitem-sistem hukum yang berbe-da.21 Demikian pula, halnya dengan Kota Yogyakarta padaumumnya sengketa yang muncul adalah sengketa antar tetang-ga satu kampung atau lain kampung, sengketa antar keluarga,sengketa antar bangsa, dan sengketa antar rakyat biasa.

Adanya sengketa yang semakin banyak dan memintaperhatian khusus menyebabkan sultan mendirikan Penga-dilan Keraton Darah Dalem. Sultan menganggap pengadilanitu perlu diadakan karena persoalan-persoalan tanah semakinhari semakin kompleks. Pengadilan itu terdiri atas orang-orang yang ahli dalam soal hukum tanah dan mengerti ten-tang persoalan tanah dalam hubungannya dengan persoalankemasyarakatan dan penghidupan. Pengadilan tersebut me-nangani persoalan tanah apanage, perkara-perkara yang berhu-

21 Maria R. Ruwiastuti (eds), Penghancuran Hak Masyarakat AdatAtas Tanah (Bandung: KPA, 1997), hlm. 10.

129

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

bungan dengan persewaan, jual beli, gadai, dan sebagainya.Pada 1925, dengan adanya perubahan hukum tanah

(reorganisasi agraria) di Kota Yogyakarta, semakin banyakpersoalan dan perkara-perkara yang ditangani PengadilanKeraton Darah Dalem, seperti perkara-perkara antar rakyat(wong cilik) dengan kaum bangsawan (wong gedhe). Lingkuppekerjaan pengadilan dibatasi hanya untuk urusan-urusandan perkara tanah yang tidak menyangkut persoalan tanahapanage karena tanah apanage dihapuskan sejak tahun 1917.22

Sistem apanage bagi priyayi dan abdi dalem di kasultanandihapus melalui reorganisasi tanah, dan sebagai gantinyamereka diberi gaji dalam bentuk uang. Di samping dihapus-nya tanah apanage akibat lain dari reorganisasi tanah adalahterbentuknya penduduk yang mempunyai hak milik atastanah. Mereka dapat memiliki kebebasan terhadap tanahmereka. Mereka dapat memakai, menggadaikan, menghi-bahkan, mewariskan, maupun menjualnya. Pendudukmemiliki status hukum tanah yang lebih jelas dan lebih kuat,meskipun hak pemilikan tanah itu tetap diatur dalam pera-turan-peraturan kasultanan. Peraturan-peraturan itulah yangmenyebabkan penduduk memiliki keterbatasan hak atastanah, dan penyimpangan terhadap peraturan-peraturanitulah yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah di KotaYogyakarta.

Pada dasarnya, proses pelimpahan status penguasaandan pemilikan tanah melalui reorganisasi agraria dalampenanganannya banyak mengalami kesimpangsiuran.

22 Lihat lampiran 3.

130

Nur Aini Setiawati

Kekacauan dan sengketa tanah muncul karena belum jelastanah milik sultan secara pribadi atau milik kasultanan dantanah mana saja yang menjadi kekuasaan masyarakat.

a. Pengaduan Sengketa Tanah ke Pengadilan KeratonDarah Dalem

Pada dasarnya, sengketa tanah muncul karena sudahtidak ada musyawarah yang dapat ditempuh dalam penye-lesaian masalah tanah oleh kedua belah pihak yang berseng-keta. Permasalahan tanah dapat merupakan perbuatanmelawan peraturan yang berlangsung karena pendudukantanah tanpa hak, pembagian warisan yang tidak sesuaidengan jumlah pewaris, jumlah warisan yang akan dibagi,serta jual beli yang tidak mempertimbangkan pemilik tanahyang sebenarnya.

Adanya perbuatan melawan hukum dalam pemilikandan penguasaan tanah yang tidak seimbang, menyebabkanorang yang merasa dirugikan mengadukan masalahnya kepangadilan agar persoalannya dapat diselesaikan. RuswadiMurwad mengatakan bahwa sengketa tanah muncul karenaadanya pengaduan dari orang (lembaga) yang berisi kebe-ratan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah,prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapatmemperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai denganketentuan peraturan yang berlaku.23 Dengan demikian, dapat

23 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah(Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hlm. 22.

131

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

dikatakan bahwa sengketa tanah adalah tuntutan persoalantanah yang diadukan secara hukum dan menghendaki penye-lesaiannya melalui proses hukum pula.

Sengketa tanah di Kota Yogyakarta muncul karenaadanya 2 faktor utama. Pertama adanya unsur kesengajaandari salah satu pihak yang ingin mencoba untuk mendapatkeuntungan dari tetangganya atau kerabatnya dengan caramereka sendiri, seperti memutarbalikkan fakta untuk menge-labui pengadilan dengan tujuan agar tuntutan atas tetang-ganya atau kerabatnya itu dapat terwujud. Kedua, ketidak-tahuan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak terhadapperaturan-peraturan yang berlaku atas tanah yang merekamiliki.

Faktor kesengajaan terwujud dalam bentuk beberapamacam tindak pidana tertentu yang sering terjadi dalammasyarakat, seperti pembuatan laporan palsu dengan caramemutarbalikkan fakta untuk mengelabui pengadilan,penipuan-penipuan terhadap kerabat dan tetangga, sertapenyimpangan-penyimpangan terhadap peraturan. Faktorkesengajaan yang paling banyak menimbulkan kasus dalamkehidupan sehari-hari pada dasarnya berinti pada keinginanuntuk memenuhi kebutuhan pribadi atas tanah tempat tinggalyang sebenarnya bukan milik mereka sendiri.

Sengketa tanah yang disebabkan oleh faktor kesengajaandapat diketahui dari gugatan seorang rakyat biasa kepadaseorang priyayi yang telah menjual tanah dan pekarangan-nya. Pada 1937, Slamet merasa telah membeli dengan lelangsebidang tanah pekarangan dengan rumah-rumah yangterletak di Kampung Jetis, onderdistrik Tugu, distrik kota

132

Nur Aini Setiawati

seluas 2166 m2. Dengan nomor verponding 58 ia menggugatpenjualnya yang bernama R.M. Notosoedirdjo. Slamet yangtelah membeli tanah tersebut seharga f.500,- menggugat R.M.Notosoedirdjo agar meninggalkan pekarangan dan rumah-rumah yang telah ditempatinya itu. Pembelian akan tanahtersebut telah didaftarkan di dalam register kantor mempe-ringati tanah pada 31 Januari 1938. Dari perbuatan Jawab(tergugat), penggugat menggugat agar ia mendapat kerugianyang dapat ditetapkan sebulan f.5,- selama 34 bulan lamanya,sehingga penggugat mendapat kerugian 34xf.5,- = f.170,-.24

Ketika Jawab diperiksa oleh jaksa, ia mengatakan bahwaia benar-benar menempati rumah-rumah dan pekaranganyang dituntut oleh penggugat. Adapun ia menempati rumahdan pekarangan itu karena rumah dan pekarangan itu yangberhak memiliki adalah tergugat, sebagai ahli waris BendoroPengeran Hario Tjokrokoesoemo. Akan tetapi, Jawab tidakdapat memberikan keterangan yang dapat memperkuat diri-nya sebagai ahli waris yang masih memiliki hak atas peka-rangan-pekarangan dan rumah tersebut.

Di satu sisi, pembelian pekarangan dan rumah yang men-jadi perkara itu, diperkuat oleh saksi-saksi yaitu RadenNgabei Pringgosoewandi sebagai Asisten Wedono Tugu danMas Ngabei Pringgosentono sebagai mantri kepala KampungJetis yang menjalankan penjualan dan aturan-aturan saksisesuai dengan surat proses verbal penjualan lelang tertanggal16 September 1937 yang tersimpan dalam arsip pengadilan.

24 Putusan Pengadilan Keraton Darah Dalem, Arsip KeratonYogyakarta, Bh/492 Sriwandowo, 1937.

133

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

Sayangnya, Jawab tidak dapat memberikan keterangan yangdapat membatalkan gugatan penggugat serta kesaksian saksi-saksi. Oleh karena itu, pengadilan memutuskan bahwa yangberhak mempunyai pekarangan dan rumah itu adalah peng-gugat. Putusan Pengadilan Keraton Dalem itu bertanggal 24September 1936 no. 62/1936.25

Berdasarkan kasus itu, dapat diketahui bahwa sebenar-nya Jawab mengetahui bahwa ia tidak berhak bertempattinggal di rumah dan pekarangan itu karena telah keluarsurat keputusan Pengadilan Keraton Darah Dalem yangmenentukan siapa yang berhak mempunyai rumah danpekarangan itu. Namun, Jawab sengaja tidak mau pindahdari rumah dan pekarangan itu walaupun telah disuruh pin-dah oleh asisten wedono dan mantri kepala kampung ataspermintaan penggugat.

b. Sengketa Antara Pemerintah Daerah denganKasultanan

Munculnya sengketa tanah dan kesalahpahaman tentanghak atas tanah yang digunakan masyarakat mengakibatkandikeluarkannya Rijksblad Kasultanan 1918 no. 16. DalamRijksblad itu khususnya pasal 3 disebutkan bahwa hak-haktanah diberikan dengan “hak andarbe” kepada kalurahan.Tanah itu dikenal tanah “kepajegan”. Dalam pasal 4 selanjutnyaditegaskan bahwa rakyat diberi hak anganggo turun-temurun(hak memakai turun-temurun).26 Pemberian tanah dengan

25 Ibid.26 Rijksblad van Djogjakarta, no. 16, Tahun 1918.

134

Nur Aini Setiawati

hak andarbe itu sering mengakibatkan persengketaan dimasyarakat.

Persengketaan tanah kasultanan itu juga terjadi antaralembaga-lembaga negara dengan pihak kasultanan. Perseng-ketaan itu dapat dilihat pada kasus tanah yang digunakanoleh pemerintah daerah yang diartikan sebagai “hak milikpenuh”. Pengertian hak milik itu sendiri sering menimbulkankesalahpahaman. Rumah residen di Yogyakarta pada mula-nya tidak tercatat dalam register hak milik, baru kemudiandimasukkan dalam register.27

Adanya kesalahpahaman tentang pengertian hak milikatas tanah itu mengakibatkan kasultanan menetapkan bahwapelepasan tanah kasultanan kepada gubernemen bukansebagai hak milik, tetapi merupakan pelepasan untuk dipakai.Pelepasan tanah itu dimaksudkan untuk memenuhi kewa-jiban yang dibebankan kepada pemerintah daerah dalammenyediakan tanah-tanah untuk kepentingan umum sepertiyang dipakai oleh Dinas Kereta Api (Staats Spoorwegen)dengan hak sewa. Dengan demikian, tanah itu dilepaskanberdasarkan hak membangun, dan perusahaan harus meme-nuhi pembayaran sewa setiap tahun.28

Persediaan tanah-tanah di daerah kasultanan yang digu-nakan untuk benteng-benteng dan kepentingan umum lain-nya berjalan terus jika negara tidak memikirkan hak atastanah. Tanah-tanah itu diizinkan oleh sultan dipakai untuk

27 Agenda Algemeene Secretarie, Ag no. 16273, Januari 1922.28 Bijblad, no. 9005.

135

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

kepentingan umum, bahkan biaya pemeliharaannya yangmemang diperlukan oleh sultan sebagian besar menjadibeban sultan. Pada dasarnya, kepentingan sultan identikdengan kepentingan negara. Dalam kontraknya pada 1812,Raffles masih memperoleh persetujuan bahwa benteng-benteng, jembatan, dan jalan umum dibuat dan dipeliharaatas biaya sultan, tetapi berada di bawah pengawasan peja-bat-pejabat gubernemen Inggris. Pada 1830, dalam kontrakpolitik 22 Juni dinyatakan bahwa sultan dibebaskan daripemeliharaan benteng-benteng dan tanah yang dibangununtuk kepentingan umum lainnya.29 Kontrak politik itu ber-jalan hingga Pemerintahan Belanda berakhir.

Dari data-data yang dikumpulkan oleh Dewan PenasihatHindia Belanda terlihat bahwa sejak 1879 tanah-tanah sebagaihak milik gubernemen dipergunakan untuk pondokan parapekerja paksa, perumahan perwira, kantor pos, gedung-gedung sekolah, rel kereta api,dan untuk rumah residen.Dewan tidak sadar bahwa penggunaan tanah itu dapatmenimbulkan sengketa disebabkan tanah-tanah tersebuttidak memiliki status hukum yang kuat.

Pelepasan tanah-tanah kasultanan kepada pemerintahdaerah disebabkan oleh adanya permintaan negara untuktujuan-tujuan tertentu yang memerlukan pelepasan penuh,sehingga negara mendapat hak milik atas tanah. Dengandemikian, pemerintah daerah menerima pembayaran penuhsebagai ganti rugi atas hilangnya hasil pendapatan tanah itu.

29 Agenda Algeemene Secretarie, Ag no. 16273, Januari 1922.

136

Nur Aini Setiawati

Besarnya ganti rugi adalah separo dari seluruh ganti rugiatas hilangnya hasil pendapatan tanah itu. Akan tetapi,terhadap tanah-tanah tersebut baik mendapat ganti rugimaupun tidak pihak kasultanan hanya memberikan hak pakaiselama masih diperlukan. Sebagaimana terlihat pada 1903,penggunaan tanah untuk pembangunan tempat penjualancandu diizinkan, meskipun hanya di beri hak pakai.30

Pelepasan tanah-tanah kasultanan untuk negara, munculkarena adanya tuntutan dinas-dinas pemerintahan yangmenginginkan hak milik penuh atas tanah yang digunakan,dan keinginan untuk bebas dari semua beban serta pertang-gungjawaban secara hukum. Pengurus Dinas Kereta Api da-lam suratnya 30 Agustus 1919 menyatakan bahwa dinas itumempunyai cita-cita untuk mendapatkan tanah dengan sta-tus hak milik penuh, sehingga dengan kekuasaannya dinastersebut secara penuh dapat mengatur tanah-tanah tersebut.31

Meskipun biaya pemeliharaan tanah-tanah yang digu-nakan untuk kepentingan umum dibiayai oleh negara, sta-tus hak tanah itu tidak dapat ditetapkan menjadi hak miliknegara. Bahkan, dalam setiap penobatan sultan telah diten-tukan bahwa kasultanan telah meminjamkan tanah-tanahuntuk kepentingan umum dan ketetapan itu telah diterimaoleh Direktur Pemerintahan Dalam Negeri sebagai ketentuantentang “hak pakai” atas tanah-tanah kasultanan. Di sampingitu, gubernemen juga tidak dapat membuktikan adanya hak

30 Agenda Algemeene Secretarie, Ag no. 16273, Juni 1922.31 Ibid.

137

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

32 Ibid.33 Lihat Lampiran 4.

yang lebih kuat atas tanah-tanah yang digunakan untukkompleks-kompleks bangunan itu.

Status hak pakai atas tanah-tanah yang digunakan untukkepentingan umum tidak dapat disetujui secara keseluruhanoleh pihak gubernemen. Hal ini menimbulkan persengketaanyang berkelanjutan antara pihak gubernemen dengan pihakkasultanan. Gubernemen menyatakan bahwa tanah-tanahyang digunakan untuk bangunan-bangunan gubernemen itubukan sepenuhnya hak milik sultan. Negara juga memilikiandil yang besar dalam menjaga keamanan dan ketertibanjika ada kerusuhan-kerusuhan di masyarakat. Demikian pula,andil residen yang telah memiliki banyak jasa dalam menjagakestabilan tahta sultan dinilai sebagai jasa yang penting untukdipertimbangkan. Persengketaan ini menimbulkan keinginanpada Dewan Penasehat Hindia Belanda untuk pada waktupenobatan sultan diadakan perjanjian tentang pelepasantanah-tanah yang diberikan kepada negara oleh sultan.32

Apabila pada waktu penobatan sultan diadakan perjan-jian pelepasan tanah-tanah kasultanan yang digunakan untukpembangunan gedung-gedung gubernemen dan untukkepentingan umum, maka sultan tidak dapat membantah danhanya dapat menyetujuinya. Akan tetapi, pemerintah daerahberkewajiban memberi ganti rugi kepada pemegang tanahapanage atau penduduk yang memiliki kekuasaan atas tanahyang akan digunakan, sebagai pengganti tanaman dan

138

Nur Aini Setiawati

bangunan yang ada di atasnya. Selanjutnya, hak milik peme-rintah daerah hanya berlaku selama gubernemen memeliharapemerintahan sultan.33

Pelepasan tanah-tanah kasultanan kepada negara dimak-sudkan untuk menjamin penguasa tertinggi dalam menggu-nakan tanah dengan hak penuh yang dipakai untuk benteng-benteng pemerintah dan kepentingan umum. Dewan Pena-sihat Hindia-Belanda menyatakan bahwa menurut hukumtata negara tanah-tanah itu tetap menjadi bagian pemerintahdaerah, meskipun peraturan hukum tanah-tanah itu diber-lakukan di bawah perlindungan hukum adat. Penduduk yangmemiliki posisi tinggi atas tanah yang ditempatinya juga harustunduk kepada penguasa tertinggi Hindia-Belanda.34

Sengketa tanah antara kasultanan dengan pemerintahdaerah selanjutnya dapat diselesaikan pada waktu penobatanSri Sultan Hamengku Buwono IX yang menetapkan bahwapenyediaan tanah untuk dinas-dinas negara dilakukandengan cuma-cuma. Adapun ganti rugi diberikan negarakepada orang yang berkepentingan dengan pelepasan hakmereka, dan biaya pembersihan tanah, serta pengganti hasilpendapatan atas tanah-tanah itu. Besarnya ganti rugi atashilangnya hasil pendapatan itu paling tinggi separo dari hargatanah yang bersangkutan.35

Ganti rugi atas pelepasan tanah-tanah kasultanan dapatdilakukan sekali setiap tahun atau secara tunai harus segeradisetorkan pada pihak yang bersangkutan. Dengan demikian,

34 Ibid.35 Ibid.

139

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

gubernemen dapat menggunakan tanah sesuai dengan ke-inginannya. Apabila tanah itu akan dipindahkan atau dijualkepada orang lain, maka yang diutamakan untuk membeliadalah pemerintah daerah.

140

BAB VKESIMPULAN

Sebelum abad XX, penguasaan dan pemilikan tanah diKota Yogyakarta bersifat feodal. Penguasaan tanah banyakditentukan dengan sistem lungguh (apanage). Dalam sistemlungguh, tanah dimiliki dan dikuasai oleh sultan (vorstendomein), sedangkan rakyat (kawula dalem) yang tinggal sebagaipenghuni tanah itu hanya memiliki hak menggarap (nggadhuh)dan diwajibkan menyerahkan sebagian hasil garapannya.Untuk mengawasi dan mengelola tanah kasultanan, sultanmemberikan kepercayaannya kepada kerabat sultan (sentanadalem) dan para pegawai (priyayi) dengan status sebagai peng-gaduh tanah sultan. Mereka itu disebut patuh, sedangkantanah yang dikuasakan kepada mereka disebut “tanah kepa-tuhan”. Dengan haknya ini, para patuh diberi wewenang un-tuk mengelola tanah yang dikuasakan kepadanya.

Dalam mengawasi tanah-tanah yang dikuasainya parapatuh menyerahkan hak-hak kekuasaannya kepada parapembantu mereka. Para pembantu patuh ini disebut lurah.Mereka memiliki kekuasaan yang besar atas tanah-tanah

141

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

sultan sedangkan rakyat sebagai penggarapnya tidak mem-punyai hak apa-apa atas tanah yang digarapnya.

Penguasaan tanah dengan sistem apanage kepada bang-sawan dan pegawai kraton sebagai gaji itu menimbulkanadanya dua lapisan sosial dalam masyarakat yaitu wong gedhedan wong cilik. Wong gedhe merupakan lapisan sosial yangmemiliki hak-hak istimewa dari keraton, di antaranya hakmemungut pajak dan hasil dari sebagian tanah lungguhnya.Adapun wong cilik merupakan lapisan sosial di bawahnyayang tidak memiliki hak-hak istimewa, mereka hanyamemiliki hak atas tanah sebagai hak penggarap dan pemakai.

Kekuasaan sultan atas tanah-tanah di wilayah kekuasa-annya memungkinkan sultan mengatur sistem pemilikan danpenggunaan tanah sesuai dengan kedudukan dan fungsinya,di antaranya tanah keraton, tanah yang digunakan untukkepentingan umum, dan tanah yang diberikan kepada pen-duduk. Pengaturan hak milik tanah Kasultanan Yogyakartadiwujudkan dalam undang-undang, adat kebiasaan, praktik-praktik yang mengatur hak dan kewajiban, serta hubunganorang dengan tanah.

Dalam pengaturan sistem apanage, birokrat kerajaan me-miliki posisi penting sebagai pengumpul pajak dan sebagianhasil tanamannya. Di wilayah perkotaan ia menjadi perantarawong gedhe (patuh) dan wong cilik (kawula dalem). Kekuasaannyayang besar menjadikan lurah memiliki posisi yang strategisdalam menerapkan penguasaan tanah di Kota Yogyakarta.Kekuasaannya yang besar menjadikan lurah memiliki posisiyang strategis dalam menerapkan penguasaan tanah diperkotaan. Dengan demikian, patuh memiliki kekuasaan atas

142

Nur Aini Setiawati

tanah bagiannya, sedangkan para birokrat kerajaan mengatursistem penggunaan dan penarikan pajaknya.

Dalam memobilisasi tenaga kerja untuk kepentingansultan dan para patuh diterapkan peraturan kerja wajibkepada abdi dalem mereka. Kerja wajib itu berupa penjagaan(caos) yaitu menjaga keamanan rumah pekarangan yangdidiami oleh patuh; mengawal (nderek) yaitu mengawal danmenjadi pengiring patuh ketika patuh menghadiri upacara-upacara resmi, reresik dalem yaitu membersihkan rumah danhalaman yang didiami patuh, dan tugur yaitu membantujalannya upacara-upacar yang diadakan oleh patuh.

Penguasaan tanah yang terpusat pada sultan itu tam-paknya menjadi penghambat bagi berlangsungnya politikPemerintah Kolonial Belanda di Kasultanan Yogyakarta.Berdasar pada persetujuan antara Pemerintah KolonialBelanda dengan sultan, pada 1918 diberlakukan RijksbladKasultanan no. 16 tahun 1918 yang menghapuskan kekuasaanpara patuh atas tanah milik sultan. Hal ini mengakibatkanterhapusnya jaman kepatuhan. Selanjutnya, rakyat (kawuladalem) diberi kesempatan sebagai pemakai tanah dengan hakanganggo secara turun-temurun (erfelijk gebruiksrecht). Hal itu,yang dinyatakan dalam pasal 4 Rijksblad Kasultanan no. 16tahun 1918.

Setelah dihapuskan jabatan patuh, sultan melakukanperubahan sistem pemilikan tanah agar rencana menguasaiwilayah Kasultanan Yogyakarta dapat terwujud. Perubahanitu disebut dengan “Reorganisasi Agraria Sistem PemilikanTanah” yang dilaksanakan pada 1925.

Reorganisasi tanah itu merupakan suatu perubahan yang

143

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

fundamental terhadap status hukum pemilikan tanah daritanah milik sultan, para priyayi, serta abdi dalem untuk dialih-kan hak kepemilikannya (omzetting) kepada penduduk.Adapun tindakan yang dilakukan dalam reorganisasi tanahtidak hanya dilakukan dengan mengadakan perubahan sta-tus pemilikan tanah saja, tetapi juga penghapusan sistem apa-nage, pembentukan kalurahan sebagai unit administrasi,pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas kepadapenduduk, pengadaan peraturan sistem sewa tanah, pengu-rangan kerja wajib penduduk, dan perbaikan pemindahanhak atas tanah. Pelaksanaan reorganisasi yang demikian itumembuktikan bahwa Pemerintah Kolonial Belanda secaralangsung dapat menguasai seluruh wilayah perkotaanYogyakarta. Di samping itu, politik pemerintah kolonial telahberhasil memperlemah status dan kedudukan para bang-sawan pemegang lungguh.

Reorganisasi pemilikan dan penguasaan tanah yangberlangsung pada 1925 menunjukkan keberhasilan penetrasipolitik Pemerintah Kolonial Belanda di Yogyakarta. Kepen-tingan Pemerintah Kolonial Belanda dalam menerapkan pro-gram komersialisasi ekonomi di Yogyakarta dapat berjalanatas dasar dukungan pemerintahan kasultanan. Kondisi inimenyebabkan Pemerintah Kolonial Belanda dapat mengam-bil keuntungan dari besarnya pemasukan yang berasal daripajak perusahaan kereta api milik swasta asing di Yogyakarta.Di samping itu, mereka dapat mengusahakan tanah sebagaitempat tinggal orang-orang Eropa di Yogyakarta dalamrangka menjalankan usahanya baik di wilayah perkotaanmaupun di pedesaan Yogyakarta.

144

Nur Aini Setiawati

Dengan diadakannya reorganisasi agraria dan diber-lakukannya Rijksblad Kasultanan no. 25 tahun 1926, sultantelah memberikan tanah kepada penduduk dengan hak milikpribadi (andarbeni). Penduduk memiliki hak atas tanah yanglebih kuat dan memiliki kekuasaan penuh atas tanah yangdiberikan itu. Mereka dapat menjual, menyewakan kepadaorang lain, serta mewariskan tanah kepada ahli warisnya.

Meskipun penduduk memiliki status hukum tanah yangjelas dan lebih kuat, hak pemilikan tanah diatur dalamperaturan-peraturan kasultanan. Peraturan-peraturan itumenyebabkan penduduk memiliki keterbatasan hak-hak atastanahnya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya sengketatanah karena adanya penyimpangan dari pelaksanaan pera-turan-peraturan yang ada.

Di Kota Yogyakarta, tanah menjadi masalah utama dandapat memberikan dasar bagi munculnya sengketa baikkarena aspek ekonomi maupun sosial. Bahkan, ketika terjadikemerosotan sumber-sumber penghasilan akibat keadaanekonomi yang semakin memburuk pada zaman malaise tahun1930, tanah menjadi sumber utama yang dapat diperdagang-kan sehingga mudah menjadi pemicu terjadinya sengketa.

Sengketa tanah muncul karena sudah tidak ada musya-warah yang dapat ditempuh dalam penyelesaian masalahtanah oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pada umum-nya, permasalahan tanah berkaitan dengan perbuatanmelawan peraturan yang berlangsung, berupa pendudukantanah tanpa hak, pembagian warisan yang tidak sesuaidengan jumlah pewaris, dan jumlah warisan yang akan diba-gikan, jual beli yang tidak diketahui pemilik tanah yang

145

Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat

sebenarnya, dan sebagainya.Pada dasarnya sengketa tanah di Kota Yogyakarta mun-

cul karena adanya dua faktor utama yaitu pertama, adanyaunsur kesengajaan dari salah satu pihak yang ingin mencobauntuk mendapat keuntungan dari tetangganya atau kera-batnya dengan cara mereka sendiri. Kedua, ketidaktahuandari salah satu pihak atau kedua belah pihak terhadapperaturan-peraturan yang berlaku atas tanah yang merekamiliki.

146

DAFTAR PUSTAKA

ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Koleksi Binnenlands Bestuur :- Verklaring van akte van verlanden in Djokja no. 2745.- Agrarische aanggelegen heden in de vorstenlanden no.

2732.- Verslag omtrent stand der hervorming no. 1921.- Vastelling niew rooireglement voor no. 2733.Koleksi Algemeen Secretarie :- Agenda, 11 Agustus 1910 no. 11648.- Besluit, 2 September 1918 no. 33.- Brief Gouvernements Secretaris, 9 Agustus 1923, no. 1885/

IIIB.- Geheim, 7 Oktober 1920 no. 299.

BUKU, DISERTASI, ARTIKEL

Abdurrahman Surjomihardjo. “Kota Yogyakarta 1880-1930:Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Kota”.Disertasi tidak diterbitkan. Yogyakarta: UGM,

147

Daftar Pustaka

1988.Adatrechtbundel: Java en Madoera. ‘S Gravenhage: Martinus

Nijhoff, 1921.Arya Ronald, Ciri-ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan

Rumah Jawa. Yogyakarta: Penerbitan UniversitasAtmajaya, 1997.

Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa diMasa Kolonial. Jakarta: Penerbitan UniversitasAtmajaya, 1997.

Brongtodiningrat, K.P.H, Arti Kraton Yogyakarta.Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta, 1978.

Buku Kenang-kengan Peringatan 200 Tahun Kota Yogyakarta1756-1956. Yogyakarta: tp, 1956.

Burger, D.H. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta:Pradnja Paramita, 1960.

Connoly, William E. Dan Gordon, Glean. Social Structureand Political Theory. Massachusetts: D.C. Heath andCompany, 1974.

Djoko Soekiman (eds). Sejarah Kota Yogyakarta. Jakarta:Departemen Pendidikan Dan KebudayaanDirektorat Sejarah Dan Nilai Tradisional ProyekInventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional,1986.

Djoko Suryo. Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang1830-1900. Yogyakarta: PAU-UGM, 1989.

Encyclopaedie van Nederlandsche Indie I. ‘S Gravenhage:Martinus Nijhoff, 1917.

G. Moedjanto. Konsep Kekuasaan Jawa. Penerapannya OlehRaja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

148

Nur Aini Setiawati

Hadisuprapta. Ikhtisar Perkembangan Hukum Tanah DaerahIstimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Karya Kencana,1977.

Haspel, C.Ch. Van den. Overwicht in Overleg: Hervormingenvan Justitie, Grondgebruik en Bestuur in deVorstenlanden op Java 1880-1930. Dordrecht: ForisPublication, 1985.

Houben, Vincent J.H. Kraton and Kumpeni: Surakarta andYogyakarta 1830-1870. Leiden: KITLV Press, 1994.

Kota Yogyakarta 200 Tahun. Yogyakarta: Panitia PeringatanKota Yogyakarta 200 tahun, 1956.

Larrain, Jorge. Konsep dan Ideologi. Terj. Ryadi Gunawan.Yogyakarta: LKPSM, 1996.

Mochammad Tauchid. Masalah Agraria: Sebagai MasalahPenghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. JilidII. Jakarta: Tjakrawala, 1953.

Moedjanto. Konsep Kekuasaan Jawa: penerapannya Oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

N. Daldjoeni. Masalah Penduduk dalam Fakta dan Angka.Bandung: Penerbit Alumni, 1980.

Niel, Robert Van. Munculnya Elit Modern Indonesia. Terj.Zahara Deliar Noer. Jakarta: PT. Dunia PustakaJaya, 1984.

Noto Suroto. Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta:Depdikbud, 1985-1986.

Oloan Sitorus dan Nomadyawati. Hak Atas Tanah DanKondominium: Suatu Tinjauan Hukum. Jakarta:Dasamedia Utama, 1995.

Penelitian Awal Kota Jogjakarta. Yogyakarta: Fakultas Teknik

149

Daftar Pustaka

Arsitektur UGM dan Dit. Tata Kota dan DaerahDitjen Tjipta Karja.

P.J. Suwarno. Hamengku Buwono IX Dan Sistem BirokrasiPemerintahan Yogyakarta 1924-1974: Sebuah TinjauanHistoris. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Rickefs, M.C. Sejarah Modern Indonesia. Yogyakarta: GadjahMada University Press, 1991.

Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta.Sartono Kartodirdjo. Perkembangan Peradaban Priyayi.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.Schwencke, G. Het Vorstenlandsche Grondhuurreglement in

de Prectijk en het grondenrecht in Jogjakarta. Djokja:Vh. H. Buning, 1932.

Schrieke, B. Indonesian Sociological Studies I. The Hague andBandung. Van Hoeve, 1955.

Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta. Yogyakarta: PEMDA Propinsi DIYogyakarta, 1990.

Selo Soemardjan. Perubahan sosial di Yogyakarta. Yogyakarta:Gadjah Mada university Press, 1981.

Soedarisman Poerwokoesoemo. Kasultanan Yogyakarta:Suatu Tinjauan Tentang Kontrak Politik 1877-1940.Yogyakarta: University Press, 1985.

Sudarisman Purwokusumo. Kadipaten Pakualaman.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soekanto. Sekitar Jogjakarta 1755-1825: Perdjandjian Gianti-Perang Diponegoro. Djakarta: Mahabarata, tt.

Soemarsaid Moertono. Negara Dan Usaha Bina Negara diJawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II

150

Nur Aini Setiawati

Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor In-donesia, 1985.

Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Staatblad van Nederlandsch Indie.Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Surakarta

1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.Sutherland, Heather. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi.

Terj. Sunarto. Jakarta, 1983.Tjokrosumanto. Selintas Sedjarah Perkembangan Djawatan

Kereta Api. Djogjakarta: Penerbi Bersaudara, 1951.Van Niel, R. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta:

Pustaka Jaya, 1984.Wertheim, W.F. Indonesian Society in Transition: A Study

of Social Change. Bandung: Sumur Bandung,1956.

LAMPIRAN

153

Lampiran

154

Nur Aini Setiawati

155

Lampiran

156

Nur Aini Setiawati

157

Lampiran

158

Nur Aini Setiawati

159

Lampiran

160

Nur Aini Setiawati

161

Lampiran

162

Nur Aini Setiawati

163

Lampiran

164

Nur Aini Setiawati

165

Lampiran

166

Nur Aini Setiawati

167

Lampiran

168

Nur Aini Setiawati

169

Lampiran

170

Nur Aini Setiawati

171

TENTANG PENULIS

Nur Aini Setiawati, Dosen pada Jurusan Sejarah Uni-versitas Gadjah Mada. Pendidikan S1-S2 diselesaikan diJurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, melanjutkanpendidikan doktornya di Hanyang University, Seoul Ko-rea. Pemegang mata kuliah sejarah agraria sekaligus penelitimasalah/sejarah agraria di Indonesia. Selain mengajar di S1Sejarah UGM juga mengajar pada Program PascasarjanaUniversitas Gadjah Mada.