dapus

16
IV. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang pada umumnya sering didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misal sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya. Tonsilis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila tonsil ditekan keluar detritus. Etiologi

description

tonsilitis

Transcript of dapus

Page 1: dapus

IV. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang pada umumnya

sering didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misal sinusitis,

rhinitis, infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya.

Tonsilis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak

jarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan

membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila

tonsil ditekan keluar detritus.

2. Etiologi

Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari

Commission on Acute Respiration Disease yang bekerja sama dengan Surgeon

General of the Army, dimana dari 169 kasus didapatkan :

25 % disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang pada masa

penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam

serum penderita.

25 % disebabkan oleh Streptokokus lain yang tidak menunjukkan kenaikan

titer Sreptokokus antibodi dalam serum penderita.

Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influensa.

Ada pula yang menyebutkan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut :

1. Streptokokus β hemolitikus Grup A

2. Hemofilus influensa

Page 2: dapus

3. Streptokokus pneumonia

4. Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)

5. Tuberkulosis (pada immunocompromise)

3. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :10

1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)

2. Higiene mulut yang buruk

3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)

5. Keadaan umum (gizi jelek, kelelahan fisik)

6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

4. Patologi

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses

radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada

proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini

akan mengerut sehingga kripta akan melebar.

Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang

mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat

berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan

akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak,

proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.

5. Manifestasi Klinis

Pasien mengeluh ada penghalang di tenggorokan, terasa kering dan

pernafasan berbau, rasa sakit terus menerus pada kerongkongan dan sakit waktu

menelan.

Page 3: dapus

Pada pemeriksaan, terdapat 2 macam gambaran tonsil yang mungkin tampak :

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan

sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau

seperti keju.

2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti

terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte

yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur

jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua

tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

• T0 : Tonsil masuk di dalam fossa

• T1 : <25 % volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

• T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

• T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

• T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume nasofaring

Gambar 1. Gradasi pembesaran tonsila palatina

Page 4: dapus

6. Diagnosis

1. Anamnesa

Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting, karena hampir 50 %

diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang

dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu

menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada

demam dan nyeri pada leher.

2. Pemeriksaan Fisik

Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.

Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat

diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta

membesar, dan suatu bahan seperti keju/dempul amat banyak terlihat pada

kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil,

biasanya membuat lekukan dan seringkali dianggap sebagai “kuburan”

dimana tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis

terlihat pada kripta.

3. Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.

Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat

keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus

viridans, Stafilokokus, Pneumokokus.

7. Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah:

1. Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran

yang menutupi tonsil (tonsilitis membranosa)

Page 5: dapus

a. Tonsilitis difteri

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua

orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung

pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah

dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi

menjadi 3 golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin.

Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris,

nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan

nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak

ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan

membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga

bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat

terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan dan pada

ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)

Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi

dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan

hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil,

uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan

faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula

membesar.

c. Mononukleosis Infeksiosa

Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu

yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat

pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran

Page 6: dapus

darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar.

Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk

beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).

2. Penyakit kronik faring granulomatus

a. Faringitis tuberkulosa

Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien

buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien mengeluh nyeri hebat di

tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.

b. Faringitis luetika

Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder

atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang

sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa

mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.

c. Lepra

Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring

kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas

dan timbulnya jaringan ikat.

d. Aktinomikosis faring

Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa

mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat

mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar

jaringan granulasi yang lunak.

8. Komplikasi

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke

daerah sekitar atau secara hematogen/limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.

Page 7: dapus

1. Komplikasi sekitar tonsil

a. Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya

trismus dan abses.

b. Abses Peritonsilar (Quinsy)

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber

infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi,

menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

c. Abses Parafaringeal

Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah

bening/pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus

paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.

d. Abses retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya

terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring

masih berisi kelenjar limfe.

e. Krista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan

fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil

berwarna putih/berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan

tonsil membentuk bahan keras seperti kapur.

2. Komplikasi ke organ jauh

a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik

b. Glomerulonefritis

c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

Page 8: dapus

e. Artritis dan fibrositis

9. Penatalaksanaan

Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan

tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis

atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan

medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari

dan usaha untuk membersihkan kripta tonsillaris dengan alat irigasi gigi/oral.

Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi

kronis/berulang.

Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan

oleh Celsus dalam De Medicina (10 Masehi), tindakan ini juga merupakan

tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan oleh Lague dari

Rheims (1757).

Indikasi tonsilektomi:

a. Indikasi Absolut

Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,

disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.

Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan

drainase.

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi

anatomi.

b. Indikasi Relatif

Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi

antibiotik adekuat.

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan

pemberian terapi medis

Page 9: dapus

Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak

membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Kontraindikasi :

a. Gangguan perdarahan

leukemia

purpura

anemia aplastik

hemofilia

blood dyskrasia

b. Penyakit sistemik yg belum terkontrol

Penyakit jantung

DM

c. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.

d. Infeksi akut yang berat.

Page 10: dapus

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L. 1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring,dalam Harjanto, E.

dkk (ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke6, Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta.

Anonim. 2003. The Oral Cavity, Pharynx & Esophagus dalam Lee, K.J. (eds)

Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, McGraw Hill Medical

Publishing Division, USA.

Brodsky, L & Poje, C . 2001. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy.

Dalam : Bailey, BJ. Head & Neck Surgery Otolaryngology, Vol 1, third ed.

Lippincott Milliams & Wilkins.

Pracy, R. et al. 1974.Pelajaran Ringkas THT, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

Rusmarjono & Soepardi, E.A. 2001. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil,

dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,

FKUI, Jakarta.

Rusmarjono & Kartosoediro, S. 2001. Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta.

Snell, R.S. 1991. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.