DA.pdf
-
Upload
sanggithayuningtyas -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of DA.pdf
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Definisi Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis dan residitif yang sering disertai
oleh kelainan atopik lain, seperti rhinitis alergika dan asma, manifestasi klinis
dermatitis atopik bervariasi menurut usia (Bieber, 2008).
2. 2. Gambaran Epidemiologi Dermatitis Atopik
2. 2. 1. Prevalensi dan insidensi
Membuat perbandingan prevalensi DA dari beberapa negara sangat sulit
dilakukan karena begitu banyak perbedaan periode waktu dan cara dilakukan studi
DA sehingga perolehan hasil yang salah sering terjadi. Pada sebagian besar studi
epidemiologi, para peneliti merekomendasikan penggunaan pengukuran prevalensi
periode satu tahun agar merefleksikan sifat timbul yang berselang-seling DA dan
untuk mengatasi efek musiman DA (Harper dkk, 2006).
Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di
negara industri selama tiga dekade terakhir; 15 sampai 30% anak dan 2 sampai 10%
orang dewasa yang menderita dermatitis atopik. Gangguan ini seringkali merupakan
awal dari diatesis atopik yang meliputi asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis
atopik sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awal-awal dermatitis
atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6 bulan
pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5
tahun. Lebih dari 50% anak yang menderita dermatitis atopik dalam 2 tahun pertama
Universitas Sumatera Utara
6
kehidupan tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, tetapi sensitisasi IgE tetap akan
terjadi selama selama menderita dermatitis atopik. Sampai dengan 70% dari anak-
anak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat
terjadi pertama kali pada orang dewasa (akhir-onset dermatitis atopik), dan dalam
sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda IgE-mediated sensitisasi. Prevalensi
dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan
menunjukkan adanya hubungan ke "hygene hypothesis," yang mendalilkan bahwa
tidak adanya paparan anak usia dini terhadap agen infeksi meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit alergi. Konsep ini baru-baru ini dipertanyakan berkaitan dengan
dermatitis atopik (Bieber, 2008).
Data mengenai penderita dermatitis atopik di Indonesia belum diketahui
secara pasti. Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis
atopik berada pada urutan perama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum
ditemukan pada anak-anak. Di klinik Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito
Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus
dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit Rawat
Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami
peningkatan sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien
(11.05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%) (Zulkarnain I., 2009).
Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20 %, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi,
dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum tahun 2000) (Tada J., 2002).
2. 2. 2. Keparahan
Dalam hal kesehatan masyarakat, distribusi keparahan DA lebih signifikan
daripada prevalensi total DA (yang dapat mencakup banyak kasus tanpa gejala yang
ringan), karena keparahan memungkinkan untuk menentukan orang-orang yang
Universitas Sumatera Utara
7
menggunakan atau perlu menggunakan layanan kesehatan yang tersedia. Beberapa
studi telah memeriksa secara ketat distribusi keparahan DA dalam masyarakat.
Beberapa studi telah mengukur morbiditas DA, tapi kasus-kasus DA sering
mencapai skor morbiditas tertinggi pada ukuran kecacatan genetik ketika
dibandingkan dengan penyakit kulit lainnya pada studi di rumah sakit. Selain itu,
penurunan kualitas hidup sangat terkait secara langsung dengan keparahan dermatitis
atopik. Morbiditas secara psikologis diasosiasikan dengan menggaruk terus-menerus,
tidur terganggu, dan bekas yang terlihat pada kulit juga dapat mempengaruhi pasien.
2. 2. 3. Umur dan Jenis Kelamin
Dermatitis atopik merupakan penyakit yang predominan terhadap anak-anak,
dan hanya beberapa studi yang telah meneliti DA pada populasi pasien dewasa.
Perbedaan jenis kelamin yang sedikit pada DA, dengan prevalensi sedikit lebih tinggi
pada perempuan, telah dicatat sebelumnya, tapi tetap saja hal ini bukanlah penemuan
yang konsisten.
2. 2. 4. Kelas Sosial dan Banyaknya Anggota Keluarga
Dermatitis atopik yang telah dilaporkan menunjukkan gradien kelas sosial yang
sangat positif (DA lebih sering terjadi pada pasien dari kelompok sosial ekonomi
yang tinggi). Kurangnya risiko terjadinya DA juga telah diperlihatkan dari anak-anak
yang berasal dari keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga (Harper dkk,
2006).
Universitas Sumatera Utara
8
2. 3. Faktor Risiko dan Faktor Pencetus
DA merupakan proses multifaktor, yaitu sebagai hasil peran kerjasama
faktor genetik, lingkungan berupa paparan alergen, iritan atau perubahan cuaca,
stress psikologis, disfungsi sawar kulit dan abnormalitas imunologi.
Faktor resiko terjadinya DA antara lain : (Kang et al., 2003, Leung et al.,
2008, Simpson and Hanifin, 2005, Mutius, 2002)
2. 3. 1. Genetik
Pada suatu penelitian yang dilakukan pada 372 penderita DA, ditemukan
insiden alergi pernapasan perseorangan sebesar 95% dan riwayat atopi dalam
keluarga sebesar 73%. Dalam kohort tersebut, insiden asma alergik dan rinitis
alergi pada anggota keluarga penderita yang tidak mengalami alergi pernapasan
perseorangan cukup tinggi, masing-masing sebesar 73% dan 32%. Namun
insiden DA dalam keluarga penderita DA yang mengalami alergi pernafasan
atau tidak, masing-masing adalah 34% dan 27%. Hal ini menunjukkan bahwa
pewarisan DA tidak berhubungan dengan DA itu sendiri namun sangat dipengaruhi
oleh fase atopik terutama alergi pernapasan. Dari penyakit atopik, karakteristik status
atopik oleh respon uji tusuk kulit positif pada alergen yang umum. Sekitar 80%
dari bayi dengan DA memperlihatkan peningkatan level serum total IgE (fenotip
yang kira-kira 47% diturunkan). Riwayat orangtua diperkirakan mempunyai
peranan penting pada penyebab DA (dan kondisi atopik lainnya) karena risiko
penyakit pada bayi biasanya sering meskipun tidak selalu ditemukan hubungan
yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah.(Morar et al., 2006)
Universitas Sumatera Utara
9
2. 3. 2. Laktasi
Terjadi perbedaan bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) dengan yang non
ASI. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk
mendapat DA. Menyusui lebih baik daripada minuman/makanan formula untuk
nutrisi bayi oleh karena keuntungan nutrisial, imunologi dan psikologik. Yang
dkk, meneliti hubungan antara menyusui dan terjadinya DA yang menunjukkan
hasil yang tidak menentu, dimana hasilnya tidak ada pembuktian yang kuat dari
efek proteksi dari menyusui secara eksklusif paling tidak 3 bulan terhadap DA,
meskipun diantara anak-anak dengan riwayat keluarga yang positif DA (Yang et al.,
2009).
2. 3. 3. Sosioekonomi
DA lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi dibandingkan
dengan status sosial yang lebih rendah. Laporan prevalensi eksema meningkat
1.5-2 kali lebih tinggi pada sosial kelas atas I dan II. Beberapa studi
membandingkan prevalensi sosial ekonomi pada penyakit yang fatal dan tidak
fatal, hasilnya paling banyak penyakit menunjukkan prevalensi yang meningkat
diantara kelompok berpendidikan rendah. Alergi lebih sering pada kelompok
berpendidikan tinggi (Dalstra et al., 2005).
2. 3. 4. Polusi Lingkungan
Antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian
pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban
udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada
Universitas Sumatera Utara
10
kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang
tidak dibilas dengan sempurna.
2. 3. 5. Jumlah Anggota Keluarga
Kejadian DA berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah anggota
keluarga. Beberapa hipotesis yang telah ada untuk menjelaskan efek keluarga. Hal
in tampaknya tidak memungkinkan bahwa usia ibu merupakan faktor penyebab
yang mendasari. Suatu penelitian mengemukakan bahwa infeksi pada anak-anak di
tularkan oleh kerena kontak yang tidak sehat dengan keluarga lainnya atau dapatan
dari ibu yang terinfeksi dengan anak lainnya, dapat mencegah terjadinya penyakit
alergi.
Faktor pencetus terjadinya dermatitis atopik antara lain: (Boediarja, 2000)
2. 3. 5. 1. Alergen
Berbagai alergen setelah bereaksi dengan IgE mampu menimbulkan reaksi
hipersensitivitas fase I di kulit, reaksi ini disebut IgE mediated reaction.
- Alergen makanan: molekul protein yang berasal dari makanan yang
ditelan pada umumnya merupakan antigen pencetus reaksi alergi pada
DA. Pada penderita DA diduga secretory IgA di usus menurun disertai
permeabilitas usus meningkat. Reaksi di kulit dapat timbul dalam waktu
relatif cepat, 1 jam atau 2 jam setalah menelan makanan yang
mengandung antigen tersebut.
- Alergen hirup: telah diketahui bahwa debu rumah, tungau debu rumah
(TDR), serta bubuk sari merupakan alergen hirup yang 14 berkaitan erat
dengan asma bronkial pada atopi dan dapat menjadi faktor pencetus DA.
Universitas Sumatera Utara
11
2. 3. 5. 2. Bahan Iritan
Pada penderita DA lebih sering ditemukan dermatitis kontak iritan
daripada dermatitis kontak alergik, hal ini mudah terjadi oleh karena
kerusakan sawar kulit. Bahan iritan meskipun yang bersifat iritan lemah,
dapat menyebabkan DA
2. 3. 5. 3. Infeksi
Infeksi yang terjadi baik di kulit maupun organ lain terutama saluran
napas atas, oleh virus mononukleosis dapat menjadi faktor pencetus DA.
Staphylococcus aureus tidak hanya menimbulkan infeksi tetapi dapat
bertindak sebagai superantigen. Protein A pada kapsul Staphylococcus
aureus dapat berikatan langsung dengan IgE sehingga memicu pelepasa
histamin oleh sel mas dan basofil. Kolonisasi Staphylococcus aureus di
kulit DA lebih banyak daripada kulit orang normal demikian pula kolonisasi
pada lesi DA lebih banyak daripada kulit nonlesi.
2. 3. 5. 4. Faktor Psikis
Hubungan psikis dengan penyakit dapat timbal balik, demikian pula pada
DA. Akibat perjalanan penyakit yang kronik residif, pada umumnya
penderita DA mengalami gangguan emosi. Stres merangsang pengeluaran
substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa
gatal (Boediarja, 2000). Faktor psikologik memperngaruhi beberapa kondisi
dermatologi termasuk dermatitis atopik, psoriasis, alopecia areata, urtikaria
dan angioedema, and acne vulgaris. Pasien atopic dengan masalah
emosional dapat terjadi anxiety/depresi dan gejala dermatologi yang
Universitas Sumatera Utara
12
hebat.gatal yang hebat menyebabkan insomnia dan tidur yang kurang, keadaan
jiwa yang labil.(Levenson, 2008)
2. 4. Patogenesis Dermatitis Atopik
Konstituen selular utama dari sistem kekebalan kulit (SKS) adalah sebagai
berikut: sel mast, limfosit T, LC yang mengekspresikan E-kaderin, keratinosit, high
endotelial venules (HEV), dan beberapa molekul adesi. Sel-sel tersebut bersama-sama
dengan eosinofil secara ketat bertautan untuk mengatur sensitisasi alergi. Berlawanan
dengan temuan umum yang menekankan bahwa kulit normal mengandung ª 8,000 sel
mast/mm3, Irani et al telah menunjukkan bahwa pada pasien DA terdapat ª 20.000-
40.000/mm3, and 94% adalah TC (triptase dan kimase). Sel mas berpartisipasi dalam
IgE-mediated reaksi hipersensitivitas, dan telah diidentifikasi pada epidermis pasien-
pasien DA. Sel mas pada kulit manusia, telah ditemukan dapat memerintahkan
respons sekresi (histamin dan mediator lain) untuk sejumlah rangsangan imunologi
host, seperti neuropeptida, termasuk zat P (SP), vasoactive intestinal peptide (VIP),
somatostatin, tetapi tidak untuk protein eosinofil granula, dua di antaranya, MBP
(protein dasar utama) dan EPO (Eosinofil peroksidase), menghambat SP akibat
pelepasan histamin dari sel mast kulit manusia. Sel mas kulit mengandung dan
melepaskan IL, di antaranya TNF-α (tumor necrosis factor-α) yang menginduksi
endothelial leukocyte adhesion molecule 1 (CD62E) karena bersilangan dengan
reseptor afinitas tinggi untuk IgE (FcεRI). Aktivasi langsung dari sel mast oleh IgE
dan interaksi juga tidak tergantung pada CD40, dan CD40L, yang diekspresikan oleh
sel-sel metakromatis, menjadi jelas dengan induksi potensi IL4, penjelasan yang jelas
dari amplifikasi dan propagasi Th2-respons. Temuan ini menunjukkan bahwa IgE
sensitisasi adalah realitas yang jelas.
Pewarnaan imunohistokimia penyakit kulit akut dan kronis pada pasien DA
mengungkapkan jumlah yang langka dari infiltrasi limfosit yang terdiri terutama sel T
Universitas Sumatera Utara
13
(CD3, CD4, CD45RO) dan antigen permukaan HLA-DR dengan hanya sesekali CD8
+ limfosit. Hal ini memicu peneliti untuk berspekulasi bahwa beberapa imunologi dan
mungkin kesamaan fungsional antara epitel timus dan epidermis dapat menjelaskan
peran potensial kulit dalam pematangan sub-populasi tertentu limfosit: bahkan jika
limfosit SKS mengungkapkan dua fenotipe, B dan T, sebagian besar sel secara lokal
saat ini adalah limfosit T dan mungkin tidak ada pengaruh tambahan dikaitkan
dengan infiltrasi eksklusif sel T. Sebaliknya, sel B hampir tidak ada. Selain itu, ada
sirkulasi sel memori (CD45RO +), semua dengan CLA (kutaneus limfosit terkait
antigen), diekspresikan oleh 45% dari sel T kulit. CD45 diaktifkan dengan demikian
menunjukkan kontak sebelumnya dengan alergen, karena sel T „virgin‟ melokalisasi
buruk di kulit. Penelitian lain memberikan data penting tentang sel endotel vaskular
yang mengekspresikan konsentrasi tinggi sel memori skin-homing seperti CD62E,
CD54 (ICAM-1), dan CD106 (VCAM-1), dengan HEV yang juga mengekspresikan
CD62E. CD62E berfungsi sebagai skin-specific addressin utama di tempat yang
terkena peradangan kronis dan berinteraksi dengan CLA. Kontrareseptor tambahan
pada limfosit adalah α4fl1 = CD49d/CD29 untuk CD106 dan CD11a = LFA-1 untuk
CD5416. MCP-1 (monosit chemotactic protein-1) adalah kemoatraktan tambahan
yang penting untuk sel T, dan dalam kasus khusus ini adalah reseptor yang terkait
untuk Ga1 protein, sedangkan CD49d/CD29 dan CD11a/CD18 masing-masing
bertautan dengan CD106 dan CD54/102 (ICAM-2). Oleh karena molekul adesi
spesifik untuk kompartemen kulit mengikat secara istimewa dengan sel-sel T CLA +
(atau MCP-1 +), sehingga mendukung terjadinya akumulasi sel-sel tersebut di lesi
kulit yang kronis, sedangkan kelenjar getah bening regional yang mengeluarkan
jaringan limfoid sekunder menghubungkan kompartemen kulit dengan darah melalui
jalur aferen dan eferen. Secara khusus, TNF-α memiliki kapasitas untuk bertindak
pada sub-populasi selektif sirkulasi sel T, terutama CD4+CD45RO+ yang
mengekspresikan CLA atau MCP-1 yang mendukung sel T yang menempati kulit,
dan perlekatan pada endotelium. Kesimpulannya adalah bahwa semua molekul
mendukung lokalisasi CLA khususnya di bagian yang terkena pada kulit, sementara
Universitas Sumatera Utara
14
CLA negatif direpresentasikan dalam jaringan paru-paru, sehingga subset T limfosit
adalah pemicu dari disregulasi atopik pertama di jaringan kulit, dan kedua di paru-
paru, sehingga paralel dengan tidak adanya LC di paru-paru pada bulan-bulan
pertama kehidupan.
Sel-sel epidermis kulit terdiri dari 95% keratinosit, dan merupakan sel-sel kulit
utama yang melepaskan ILS. Keratinosit dapat bertindak sebagai transduser sinyal,
mampu mengubah rangsangan eksogen, seperti cedera lokal, iritasi mekanis, radiasi
UV, ikut serta dalam produksi ILs proinflamasi epidermis, integrin dan faktor
kemotaktik, serta LCs, dan sebagai konsekuensinya dapat memulai dan memperburuk
peradangan kutan. Sel-sel pertama yang menghadapi alergen, sekarang diyakini
memainkan peran aktif dalam memulai, dan mungkin, mengarahkan respon imun
mukosa dengan dikeluarkannya berbagai ILs. Keratinosit mengerahkan peran
pengaturan imun yang aktif dengan infiltrasi sel mononuklear darah perifer (PBMC),
sel-sel ini mengekspresikan HLA-DR kelas II dan antigen CD54, berkorelasi dengan
infiltrasi limfosit, antigen CD36, dan platelet-derived growth factor (PDGF) pada
kulit, selain itu melepaskan molekul adesi. Keratinosit kulit biasanya tidak
mengekspresikan antigen HLA-DR, tetapi dapat diinduksi untuk melakukannya pada
keberadaan limfosit T yang aktif dalam korespondensi sensitisasi primer. Namun,
kurangnya pengeluaran HLA-DR oleh keratinosit mungkin memainkan peran dalam
induksi stimulasi sel T yang menyebabkan diferensiasi allergen spesifik tertentu
limfosit Th2 dan perkembangan alergi. Penelitian lebih lanjut akan menjelaskan
apakah diferensiasi Th2 mendahului kurangnya induksi HLA-DR, atau secara
alternatif, kurangnya HLA-DR adalah faktor utama yang menyebabkan aktivasi Th2.
Sebaliknya, pada keratinosit epidermis yang mengekspresikan CD80 secara
konstitutif bisa diubah menjadi APC (antigen presenting cells), dan memainkan
peran penting dalam resolusi reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit
berdasarkan kemampuan mereka untuk menginduksi anergi klonal sel T-helper.
Universitas Sumatera Utara
15
Pengaturan yang berubah pada ekspresi gen CD80 oleh sel epidermis dapat
menjelaskan "hiperresponsif" kulit yang ditemukan pada penderita DA kronis.
Studi terbaru menunjukkan peran gangguan dan degranulasi eosinofil dalam
memodulasi kerusakan jaringan. CD40 ligan (CD154) secara fungsional
diekspresikan pada eosinofil manusia sehingga mendorong perubahan limfosit B
menjadi fenotip IgE. Eosinofil tidak hanya aktif dalam mediasi peradangan alergi,
tetapi juga campur tangan dalam jaringan selular dengan APC, sel mast, dan limfosit
T. Beberapa protein kationik yang berpengaruh dan bersifat toksik, telah diamati
dalam butiran eosinofil, termasuk MBP, eosinophil-derived neurotoxin (EDN),
eosinophil cationic protein (ECP), dan EPO. Ditemukan bahwa protein ini terlibat
dalam kerusakan jaringan yang terkait dengan peradangan kulit namun peran mereka
dalam patofisiologi DA masih belum jelas.
Hal ini menunjukkan bahwa beberapa protein ini meningkat dalam sirkulasi
perifer pasien DA. Biasanya, jumlah serum MBP meningkat pada pasien yang terkena
berbagai gangguan yang terkait dengan eosinofilia dan berkorelasi secara signifikan
dengan jumlah eosinofil darah tepi. Jumlah ECP dan MBP rendah dalam serum
dan/atau pada kulit orang sehat, dan tinggi pada pasien DA (MBP 454 ± 90 vs 687 ±
299 ng / ml). Namun, kedua peningkatan tingkat MBP dalam darah perifer dan
aktivasi perangkat eosinofil telah dibuktikan. Meskipun eosinofilia darah tepi adalah
karakteristik umum DA, akumulasi eosinofil jaringan tidak menonjol. Beberapa studi
telah menunjukkan gangguan eosinofil dan hilangnya ciri khas morfologi pada kulit
pasien DA. Baru-baru ini, telah dipelajari degranulasi eosinofil pada jaringan kulit
manusia. Pewarnaan imunofluoresensi dari lokasi kulit yang terkena menunjukkan
deposisi luas MBC tanpa adanya eosinofil jaringan banyak menunjukkan bahwa sel-
sel tersebut mengalami degranulasi di kulit. Dari sebagian besar spesimen DA yang
diperiksa, Leiferman dkk. juga menemukan deposisi MBP dalam pola butiran lebih
dalam pada dermis. Deposisi MBP Ekstraseluler jauh lebih menyebar di lokasi kulit
yang terlibat dibandingkan di lokasi kulit yang tidak terlibat. Menariknya, MBP
Universitas Sumatera Utara
16
deposisi yang luas di kulit ditunjukkan pada 2 anak yang mengalami lesi ekzim
setelah DBPCFC (double-blind, placebo-controlled food challenge), hal ini lagi-lagi
mengindikasikan peran alergi makanan (FA) dan eosinofil pada DA.
Deposisi EDN dipelajari oleh Leiferman pada pasien DA. Spesimen kulit pasien
DA menunjukkan deposisi EDN ekstraseluler granular yang luas pada bagian atas
dermis sehingga menghasilkan bukti lebih lanjut untuk peran EDN di DA.
Pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan degenerasi dan gangguan eosinofil
dengan banyaknya granul-granul eosinofil yang bebas di dermis, hal ini menguatkan
bukti degranulasi eosinofil di DA. Selain itu, penelitian ini tampaknya menunjukkan
bahwa EDN darah tepi dapat menjadi penanda yang lebih sensitif dari degranulasi
eosinofil daripada MBP darah tepi.
Menurut penulis lain, jumlah serum dari ECP pada anak-anak yang mengalami
DA ditemukan meningkat. Jumlah serum ECP adalah 12,2 mg / l ± 9,6 pada anak
yang mengalami DA, dan 6,6 mg / l ± 3,7 pada anak normal (p <0,001). Meskipun
tidak adanya korelasi antara tingkat serum ECP dan IgE total, dan juga antara jumlah
mutlak eosinofil darah tepi dan jumlah serum ECP, ada kemungkinan bahwa
peningkatan konsentrasi serum ECP pada pasien DA mungkin mencerminkan
aktivasi eosinofil di kulit. Namun telah dilaporkan bahwa ECP in vitro dapat
merangsang peningkatan pelepasan histamin dan dapat menekan fungsi limfosit-T
melalui mekanisme nontoksik. Oleh karena itu, hal tersebut memicu untuk
berspekulasi bahwa protein kationik eosinofil, selain efek berbahaya bagi kulit, dapat
menyebabkan kelainan imunologi yang mendalam yang digambarkan pada pasien
DA. Deteksi tingkat ECP yang meningkat dalam serum pasien DA dan berkorelasi
dengan keparahan penyakit hanya mewakili ukuran tidak langsung dari proses
patologis yang terjadi di kulit. Oleh karena itu pengukuran ECP mungkin merupakan
alat non invasif untuk menilai aktivitas klinis DA dalam kaitannya dengan
keterlibatan eosinofil di DA.
Universitas Sumatera Utara
17
LC dan Makrofag
LC = CD1a + (3-4%), merupakan kontingen epidermis milik famili sel aksesori
yang ampuh disebut DC, bertindak sebagai APC, mengekspresikan antigen HLA
kelas II, beserta antigen CD1a dan CD4. Fungsi dari butiran sitoplasma Birbeck ini
belum begitu diketahui. LC yang terletak di lapisan suprabasal dari epidermidis
mengekspresikan E-kaderin, molekul adhesi homofilik yang memodulasi perlekatan
ke keratinosit secara in vitro. LC juga mengekspresikan CD11a, CD11b, CD36 dan
HLA-DR pada lesi kronis, berbeda dengan kulit normal, selain itu LC juga
mengekspresikan CD54, CD80 dan CD8645. Sebuah terobosan besar dalam
pemahaman mengenai patogenesis DA diketahui dengan ditunjukkannya IgE yang
berikatan dengan membran pada LC epidermis. Studi dengan CD1 + telah
menunjukkan bahwa LC di DA mengikat kedua FceRI dan FceRII = CD2346, dalam
proporsi yang berbeda: 6,63 ± 1,92 vs 0,67 ± 1,12 sel, masing-masing, up regulation
FceRI tidak hadir dalam eksim kontak alergi . Namun peran fungsional untuk CD23
tidak boleh dikesampingkan, karena ekspresi CD23 diregulasi oleh IL4. Lagi pula,
antigen terfasilitasi yang prosesnya melalui CD23 telah ditemukan. Respons sel T
spesifik dapat dideteksi dengan menggunakan kadar serum alergen yang
dikompleksikan dengan IgE yang 1000 kali lipat lebih rendah. Mudde dkk. telah
menunjukkan bahwa IgE + LC mampu menyajikan alergen Der p untuk sel T
sehingga menunjukkan bahwa IgE yang terikat pada sel di LC dapat memfasilitasi
pengikatan alergen untuk LCs sebelum pengolahan dan presentasi dari LC.
Akibatnya, ekspresi IgE-bearing LC di DA mungkin memiliki hasil patogenetik
serius.
Makrofag yang menyusup ke dalam lesi kulit DA telah menunjukkan adanya
kandungan CD23 pada permukaan sel mereka yang diekspresikan sebagai respons
dari IL4 atau GM-CSF, dan direkrut oleh monocyte chemotactic protein-3 (MCP-3)
dan RANTES (regulated on activation normal T expressed and secreted) di kulit
penderita atopik. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa alergen mengaktifkan IgE-
Universitas Sumatera Utara
18
bearing makrofag secara IgE-dependent, dengan pembentukan leukotrien, PAF
(platelet activating factor), IL1, dan TNF. IgE-bearing makrofag juga dapat
diaktifkan oleh autoantibodi untuk IgE, yang hadir pada pasien DA. Secara
keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa meskipun IgE-bearing LC dan makrofag
dapat ditemukan di kondisi kulit inflamasi lain, seperti psoriasis, penyakit kulit
tersebut tidak berhubungan dengan produksi IgE spesifik alergen tertentu.
LC APC dan limfosit T
LC adalah sel-sel yang paling ampuh dalam epidermis sehubungan dengan
penyajian alergen. Penyajian alergen inhalan pada pasien dengan DA dapat
difasilitasi oleh pengikatan alergen ke LC-bound IgE. Setelah kontak dengan alergen,
beberapa LC menjadi aktif, keluar dari epidermis sehingga alergen LC-bound
ditransfer ke dermis, akhirnya LC bermigrasi ke regio sel T-dependan dari getah
bening regional yang merupakan lokalisasi pematangan LC. LC memproses antigen
protein, banyak mengekspresikan HLA kelas I dan II dan menyajikan alergen Der p
untuk sel T naif, menginduksi aktivasi sel-sel tersebut, dan untuk sel mast,
merangsang pelepasan mediator. Seperti pada patogenesis DA, aktivasi limfosit harus
dilihat sebagai reaksi-urutan yang paling signifikan. Tanpa ragu alergen spesifik sel T
yang diaktifkan oleh alergen-IgE + LC mengeluarkan IL4 dan IL5, akibatnya limfosit
B dalam kelenjar getah bening aferen mensintesis IgE dan sumsum tulang
membentuk eosinofil. Oleh karena itu, kadar serum IgE yang tinggi dan eosinofilia
darah tepi adalah fenomena penting dalam DA yang berkaitan dengan rangsangan sel
T oleh IgE-bearing LC setelah pengikatan alergen. Karena tidak ada sel B ditemukan
pada pasien DA, aktivasi limfosit T harus diterjemahkan secara sistemik bukan secara
lokal, sehingga menjelaskan serum sangat peningkatan kadar serum IgE yang sangat
tinggi dan eosinofilia darah tepi sebagai subyek. IgE yang terbentuk akan
menyediakan LC dengan IgE sel-terikat: sebagai hasilnya, LC akan merangsang
Universitas Sumatera Utara
19
alergen spesifik limfosit Th2 secara bebas bukan sel mast. Ada kemungkinan bahwa
usaha-usaha yang mendorong diferensiasi ke dalam sel Th2 pada pasien AD terkait
dengan kelainan dalam APC, seperti yang baru-baru ini dikonfirmasi oleh penelitian
tentang TAP. Amplifikasi Th2 mendukung penurunan IFN-γ dan hasil produksi IL4
yang tinggi pada DA menaikkan sintesis IgE.
Sitokin dan AD
Menyimpulkan data yang belum terakhir pada peran ILs dilepaskan oleh sel
epidermal pada patogenesis DA, kami menunjukkan asal-usul ILs kulit pada Tabel I.
TGF-β dan IL10 telah diidentifikasi sebagai inhibitor dari beberapa ILs. Selain itu
TNF-α diekspresikan oleh sel mast yang mengatur CD62E pada keratinosit,
memfasilitasi interaksi mereka dengan sel-sel CD11a/CD18-T. Produksi IL oleh klon
limfosit-T di DA diringkas dalam Tabel II (Cantani, 2001).
Tabel 2.1. Sel-sel yang Memproduksi Sitokin Kulit.
• LC: IL1, IL6, IL8, IL10, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, TNF-α;
• Keratinosit: IL1, IL3, IL6-IL8, IL10, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, PDGF, TGF-α
dan-β, TNF-α;
• Melanosit: IL1, IL6, IL8, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, PDGF, TGF-α dan-β, TNF-α
Tabel 2.2. Produksi Sitokin oleh Klon Limfosit T pada DA.
Sitokin Spesifik dpt CD4+
Penyumbang Atopik
Klon Limfosit T Pendonor
non-Atopik
IL2 + +++
IL4 +++ -
Universitas Sumatera Utara
20
IL5 +++ +
IL6 +++ ++
GM-CSF +++ +++
IFN-γ + +++
TNF-α +++ +++
2. 5. Gejala Klinis
Manifestasi klinis
Gejala utama dari DA adalah pruritus yang intens, biasanya tanpa demam atau
gejala konstitusional lainnya. Pruritis bisa begitu parah hingga dapat menyebabkan
gangguan tidur, lekas marah dan stres umum untuk pasien yang terkena dan keluarga.
Salah satu presentasi yang paling umum adalah ruam persisten pada bayi usia kurang
dari 6 bulan. Hal ini biasanya dilaporkan bahwa ada kulit kering sejak lahir dan ruam
yang hilang timbul untuk beberapa bulan (Jamal, 2007).
Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papula) bersamaan dengan timbulnya
vesikel (papulovesikel) dan eritema, merupakan gambaran lesi eksematous. Prurigo
papules, lesi eksematous dan likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan
dan terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat
basah (weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut
(Kariosentono, 2007).
Temuan kulit bergantung pada stadium penyakit:
Akut - Erosi dengan eksudat serosa atau ruam papular yang sangat gatal dan
vesikel pada dasar eritematosa.
Subakut - Lesi ditandai dengan skala atau plakat di atas kulit eritematosa.
Kronis - Lesi dikenali oleh kehadiran likenifikasi dan perubahan pigmen
dengan ekskoriasi papula dan nodul. Lesi sekunder mungkin terinfeksi akibat
Universitas Sumatera Utara
21
garukan. Lesi yang terinfeksi hadir dengan krusta berwarna kuning atau
impetigo atau sekeliling karakteristik eritema selulitis.
Dermatitis atopik dapat hadir dalam manifestasi lain seperti:
1. Iktiosis vulgaris, yang muncul sebagai telapak tangan dan telapak hiperlinear
dengan skala fishlike poligonal, terutama pada kaki bagian bawah;
2. Keratosis pilaris, papula folikuler tanpa gejala terangsang pada permukaan
ekstensor dari, pantat lengan atas dan paha anterior;
3. Xerosis atau kulit kering, yang mengarah pada kecenderungan untuk retak dan
fissuring dengan rincian penghalang kulit resultan meningkatkan kerentanan
terhadap iritasi dan infeksi;
4. Keratoconus (kornea berbentuk kerucut) pada kasus berat, yang memerlukan
transplantasi kornea selanjutnya;
5. Temuan periokular, yang meliputi hiperpigmentasi periorbital, lipatan infraorbital
yang menonjol (Dennie-Morgan fold), katarak subkapsuler anterior (dalam 4
sampai 12% pasien dengan DA, sementara katarak posterior biasanya merupakan
efek samping dari kortikosteroid oral atau steroid topikal digunakan dalam daerah
periorbital).
Karakteristik terkait lainnya termasuk eritem wajah, pucat perioral, dan pitriasis alba.
Gambaran klinis dermatitis atopik:
Karakteristik mayor
• Pruritis
• Kronis atau kambuh dermatitis
• Wajah dan ekstensor keterlibatan pada bayi dan anak
• Lentur dan likenifikasi pada anak yang lebih tua dan orang dewasa
• Pribadi atau riwayat keluarga atopi
Universitas Sumatera Utara
22
Karakteristik minor
• Usia onset setelah usia 2 bulan
• Xerosis
• Iktiosis, telapak tangan hyperlinear, keratosis Palmaris
• Anaerobik
- Lipatan Dennie-Morgan infraorbital
- Katarak Subkapsuler Anterior
- Keratoconus
• Puting eksim
• Wajah pucat atau eritema
• Dermatitis nonspesifik di tangan dan kaki
• Infeksi kutaneus
DISTRIBUSI
Awitan timbulnya DA berdasarkan usia dapat terjadi pada masa bayi, anak, dan
dewasa. Pada bayi (3 bulan sampai 2 tahun), pipi, dahi, kulit kepala, pergelangan
tangan dan aspek ekstensor dari lengan dan kaki sering terlibat. Di bagian lampin siku
biasanya terhindar. Keterlibatan kulit kepala mungkin cukup parah untuk
menyebabkan alopesia. Gejala pada bayi biasanya mulai pada wajah kemudian
menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesi biasanya basah, eksudativ,
berkrustae, dan sering terjadi infeksi sekunder. Lesi DA pada anak berjalan kronis
akan berlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapat pada lipat siku,
lipat lutut, leher, dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi
eksudativ dan kadang-kadang terjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada
kulit DA akan tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi.
Perubahan pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnya lesi, menjadi
hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi bahkan depigmentasi. Pada anak-anak
usia 2 - 12 tahun pada permukaan fleksor, leher, pergelangan tangan dan pergelangan
kaki adalah tempat yang sering terkena. Lesi pada remaja dan dewasa muda adalah
Universitas Sumatera Utara
23
ruam pada daerah fleksor lengan (antecubital dan poplitea), kaki, wajah (terutama
daerah periorbital) dan leher. DA bentuk dewasa lesi mirip dengan lesi pada anak-
anak usia lanjut (8-12 tahun) dengan didapatkan likenifikasi terutama pada daerah
lipatan-lipatan dan tangan. Selain gejala utama yang telah diterangkan, juga ada
gejala lain yang tidak selalu terdapat, yang dikenal dengan kriteria minor seperti pada
criteria diagnosis dari Hanifin-Rajka. Kehadiran distribusi ekstensor pada anak yang
lebih tua dan orang dewasa menunjukkan prognosis buruk pada pengobatan utama.
Ketiak, keterlibatan selangkangan dan intergluteal jarang terjadi dan harus
meningkatkan kecurigaan dari beberapa faktor penyebab lainnya (Jamal, 2007;
Kariosentono, 2007).
2. 6. Diagnosis
Kriteria diagnosis dermatitis atopik
Menetapkan kriteria diagnostik yang kuat dan bermanfaat untuk semua bentuk
DA adalah tugas yang sulit karena heterogenitas klinis dan patofisiologi (morfologi,
distribusi, usia, peran, iritasi atau alergi, dll).
Adapun fenotipe imunologi, Wuthrich mengusulkan dua tipe:
1. DA yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas IgE-mediated (dengan atau tanpa
penyakit respiratori atopik), „tipe ekstrinsik‟ (eDA);
2. DA tanpa penaikan serum total IgE, hasil skrining IgE negatif untuk aeroallergen
dan allergen makanan in vitro dan oleh skin prick test, dan hasil anamnesis negatif
untuk penyakit atopik lain tapi dengan disregulasi nonspesifik, „tipe instrinsik‟ (iDA).
Secara total, 20-40% pasien dengan „pure’ DA (tanpa penyakit respiratori)
dilaporkan termasuk ke tipe iDA. Masalah definisi ini adalah perubahan yang
berhubungan dengan usia dari abnormalitas imunologi, tidak memungkinkan
Universitas Sumatera Utara
24
klasifikasi yang pasti pada anak-anak seperti yang ditunjukkan oleh studi follow-up
oleh Novembre et al. Penulis mengusulkan istilah berikut:
„Early atopic’: hasil skin prick test positif pada evaluasi awal (umur 2 tahun)
(64% pada serinya);
„Late-onset atopic’: hasil skin prick test negatif pada evaluasi pertama (umur 2
tahun), tapi positif pada follow-up (umur 11 tahun)(21%);
„Non-atopic’(iDA): hasil skin prick test negatif pada evaluasi pertama dan
follow-up (15%).
Masih belum ada penanda khusus untuk DA. Dengan tidak adanya petunjuk
sederhana untuk diagnosis, itu harus disusun dari konstelasi ciri karakteristik.
Hanifin dan Rajka yang pertama kali mengupayakan pendekatan sistematis
terhadap standardisasi diagnosis DA pada tahun 1980 (Harper et al, 2006). Dari
criteria mayor, pruritus dan kronik atau DA yang mengalami remisi dengan distribusi
dan morfologi yang khas merupakan hal-hal yang penting untuk diagnosis DA
(Leung et al, 2008). Diagnosis DA dapat ditegakkan jika terdapat masing-masing
minimal tiga dari kriteria mayor dan minor. Kriteria-kriteria ini berdasarkan
pengalaman klinis dan masih disebut sebagai 'gold standard' dalam penelitian dan
pengajaran akademis (Harper et al, 2006).
Kriteria mayor
Pruritus
Distribusi dan morfologi khas:
- Wajah dan ekstensor
- Terjadi selama masa bayi dan awal masa kanak-kanak
Kronik dan kekambuhan kronis dermatitis
Riwayat atopik keluarga (asma, rinokonjungtivitis alergi, dermatitis
atopik)
Universitas Sumatera Utara
25
Kriteria minor
Xerosis
Ichthyosis/hiperlinearitas palmar/pilaris keratosis
Reaktivitas IgE (IgE meningkat, hasil skin prick test positif)
Dermatitis pada tangan dan kaki
Keilitis
Dermatitis pada kulit kepala
Kerentanan terhadap infeksi kutaneus (khususnya Staphylococcus aureus
dan virus herpes simpleks)
Aksentuasi perifolikular (khususnya pada ras yang berpigmen)
2. 7. Diferensial Diagnosis
Karena lesi kulit dermatitis atopik di dapat memiliki banyak bentuk (papula, vesikula,
plak, nodul dan ekskoriasi), diagnosis banding dermatitis atopik sangat luas. Kondisi
yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan pruritus meliputi dermatitis
seboroik, psoriasis dan neurodermatitis. Karakteristik yang membedakan kondisi ini
dan lainnya dari dermatitis atopik tercantum dalam Tabel 2 (Correale et al, 1999).
Tabel 2.3. Diferensial Diagnosis Dermatitis Atopik
Penyakit Karakter pembeda
Dermatitis seboroik Berminyak, lesi bersisik, tidak adanya
riwayat atopik pada keluarga
Psoriasis Patch terlokalisasi di ekstensor,
permukaan kulit kepala, pantat; kuku
Universitas Sumatera Utara
26
berbintik-bintik
Neurodermatitis Biasanya, petak satu di tempat yang
gatal-gatal, tidak terdapat riwayat atopik
pada keluarga
Dermatitis kontak Riwayat terpapar positif, ruam di daerah
paparan, tidak terdapat riwayat atopik
pada keluarga
Skabies Papula, keterlibatan finger web, scraping
klulit positif
Penyakit sistemik Penemuan riwayat penyakit yang
lengkap dan pemeriksaan fisik bervariasi
berdasarkan penyakit
Dermatitis herpetiformis Vesikel di daerah ekstensor dan
enteropati yang terkait
Infeksi dermatofit Plak serpiginous dengan bagian tengah
yang bersih, positif pada pemeriksaan
kalium hidroksida
Gangguan imunodefisiensi Riwayat infeksi berulang
Universitas Sumatera Utara