DA.pdf

22
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Definisi Dermatitis Atopik Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis dan residitif yang sering disertai oleh kelainan atopik lain, seperti rhinitis alergika dan asma, manifestasi klinis dermatitis atopik bervariasi menurut usia (Bieber, 2008). 2. 2. Gambaran Epidemiologi Dermatitis Atopik 2. 2. 1. Prevalensi dan insidensi Membuat perbandingan prevalensi DA dari beberapa negara sangat sulit dilakukan karena begitu banyak perbedaan periode waktu dan cara dilakukan studi DA sehingga perolehan hasil yang salah sering terjadi. Pada sebagian besar studi epidemiologi, para peneliti merekomendasikan penggunaan pengukuran prevalensi periode satu tahun agar merefleksikan sifat timbul yang berselang-seling DA dan untuk mengatasi efek musiman DA (Harper dkk, 2006). Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara industri selama tiga dekade terakhir; 15 sampai 30% anak dan 2 sampai 10% orang dewasa yang menderita dermatitis atopik. Gangguan ini seringkali merupakan awal dari diatesis atopik yang meliputi asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis atopik sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awal-awal dermatitis atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5 tahun. Lebih dari 50% anak yang menderita dermatitis atopik dalam 2 tahun pertama Universitas Sumatera Utara

description

g

Transcript of DA.pdf

Page 1: DA.pdf

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis dan residitif yang sering disertai

oleh kelainan atopik lain, seperti rhinitis alergika dan asma, manifestasi klinis

dermatitis atopik bervariasi menurut usia (Bieber, 2008).

2. 2. Gambaran Epidemiologi Dermatitis Atopik

2. 2. 1. Prevalensi dan insidensi

Membuat perbandingan prevalensi DA dari beberapa negara sangat sulit

dilakukan karena begitu banyak perbedaan periode waktu dan cara dilakukan studi

DA sehingga perolehan hasil yang salah sering terjadi. Pada sebagian besar studi

epidemiologi, para peneliti merekomendasikan penggunaan pengukuran prevalensi

periode satu tahun agar merefleksikan sifat timbul yang berselang-seling DA dan

untuk mengatasi efek musiman DA (Harper dkk, 2006).

Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di

negara industri selama tiga dekade terakhir; 15 sampai 30% anak dan 2 sampai 10%

orang dewasa yang menderita dermatitis atopik. Gangguan ini seringkali merupakan

awal dari diatesis atopik yang meliputi asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis

atopik sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awal-awal dermatitis

atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6 bulan

pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5

tahun. Lebih dari 50% anak yang menderita dermatitis atopik dalam 2 tahun pertama

Universitas Sumatera Utara

Page 2: DA.pdf

6

kehidupan tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, tetapi sensitisasi IgE tetap akan

terjadi selama selama menderita dermatitis atopik. Sampai dengan 70% dari anak-

anak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat

terjadi pertama kali pada orang dewasa (akhir-onset dermatitis atopik), dan dalam

sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda IgE-mediated sensitisasi. Prevalensi

dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan

menunjukkan adanya hubungan ke "hygene hypothesis," yang mendalilkan bahwa

tidak adanya paparan anak usia dini terhadap agen infeksi meningkatkan kerentanan

terhadap penyakit alergi. Konsep ini baru-baru ini dipertanyakan berkaitan dengan

dermatitis atopik (Bieber, 2008).

Data mengenai penderita dermatitis atopik di Indonesia belum diketahui

secara pasti. Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis

atopik berada pada urutan perama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum

ditemukan pada anak-anak. Di klinik Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito

Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus

dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit Rawat

Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami

peningkatan sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien

(11.05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%) (Zulkarnain I., 2009).

Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20 %, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi,

dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum tahun 2000) (Tada J., 2002).

2. 2. 2. Keparahan

Dalam hal kesehatan masyarakat, distribusi keparahan DA lebih signifikan

daripada prevalensi total DA (yang dapat mencakup banyak kasus tanpa gejala yang

ringan), karena keparahan memungkinkan untuk menentukan orang-orang yang

Universitas Sumatera Utara

Page 3: DA.pdf

7

menggunakan atau perlu menggunakan layanan kesehatan yang tersedia. Beberapa

studi telah memeriksa secara ketat distribusi keparahan DA dalam masyarakat.

Beberapa studi telah mengukur morbiditas DA, tapi kasus-kasus DA sering

mencapai skor morbiditas tertinggi pada ukuran kecacatan genetik ketika

dibandingkan dengan penyakit kulit lainnya pada studi di rumah sakit. Selain itu,

penurunan kualitas hidup sangat terkait secara langsung dengan keparahan dermatitis

atopik. Morbiditas secara psikologis diasosiasikan dengan menggaruk terus-menerus,

tidur terganggu, dan bekas yang terlihat pada kulit juga dapat mempengaruhi pasien.

2. 2. 3. Umur dan Jenis Kelamin

Dermatitis atopik merupakan penyakit yang predominan terhadap anak-anak,

dan hanya beberapa studi yang telah meneliti DA pada populasi pasien dewasa.

Perbedaan jenis kelamin yang sedikit pada DA, dengan prevalensi sedikit lebih tinggi

pada perempuan, telah dicatat sebelumnya, tapi tetap saja hal ini bukanlah penemuan

yang konsisten.

2. 2. 4. Kelas Sosial dan Banyaknya Anggota Keluarga

Dermatitis atopik yang telah dilaporkan menunjukkan gradien kelas sosial yang

sangat positif (DA lebih sering terjadi pada pasien dari kelompok sosial ekonomi

yang tinggi). Kurangnya risiko terjadinya DA juga telah diperlihatkan dari anak-anak

yang berasal dari keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga (Harper dkk,

2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: DA.pdf

8

2. 3. Faktor Risiko dan Faktor Pencetus

DA merupakan proses multifaktor, yaitu sebagai hasil peran kerjasama

faktor genetik, lingkungan berupa paparan alergen, iritan atau perubahan cuaca,

stress psikologis, disfungsi sawar kulit dan abnormalitas imunologi.

Faktor resiko terjadinya DA antara lain : (Kang et al., 2003, Leung et al.,

2008, Simpson and Hanifin, 2005, Mutius, 2002)

2. 3. 1. Genetik

Pada suatu penelitian yang dilakukan pada 372 penderita DA, ditemukan

insiden alergi pernapasan perseorangan sebesar 95% dan riwayat atopi dalam

keluarga sebesar 73%. Dalam kohort tersebut, insiden asma alergik dan rinitis

alergi pada anggota keluarga penderita yang tidak mengalami alergi pernapasan

perseorangan cukup tinggi, masing-masing sebesar 73% dan 32%. Namun

insiden DA dalam keluarga penderita DA yang mengalami alergi pernafasan

atau tidak, masing-masing adalah 34% dan 27%. Hal ini menunjukkan bahwa

pewarisan DA tidak berhubungan dengan DA itu sendiri namun sangat dipengaruhi

oleh fase atopik terutama alergi pernapasan. Dari penyakit atopik, karakteristik status

atopik oleh respon uji tusuk kulit positif pada alergen yang umum. Sekitar 80%

dari bayi dengan DA memperlihatkan peningkatan level serum total IgE (fenotip

yang kira-kira 47% diturunkan). Riwayat orangtua diperkirakan mempunyai

peranan penting pada penyebab DA (dan kondisi atopik lainnya) karena risiko

penyakit pada bayi biasanya sering meskipun tidak selalu ditemukan hubungan

yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah.(Morar et al., 2006)

Universitas Sumatera Utara

Page 5: DA.pdf

9

2. 3. 2. Laktasi

Terjadi perbedaan bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) dengan yang non

ASI. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk

mendapat DA. Menyusui lebih baik daripada minuman/makanan formula untuk

nutrisi bayi oleh karena keuntungan nutrisial, imunologi dan psikologik. Yang

dkk, meneliti hubungan antara menyusui dan terjadinya DA yang menunjukkan

hasil yang tidak menentu, dimana hasilnya tidak ada pembuktian yang kuat dari

efek proteksi dari menyusui secara eksklusif paling tidak 3 bulan terhadap DA,

meskipun diantara anak-anak dengan riwayat keluarga yang positif DA (Yang et al.,

2009).

2. 3. 3. Sosioekonomi

DA lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi dibandingkan

dengan status sosial yang lebih rendah. Laporan prevalensi eksema meningkat

1.5-2 kali lebih tinggi pada sosial kelas atas I dan II. Beberapa studi

membandingkan prevalensi sosial ekonomi pada penyakit yang fatal dan tidak

fatal, hasilnya paling banyak penyakit menunjukkan prevalensi yang meningkat

diantara kelompok berpendidikan rendah. Alergi lebih sering pada kelompok

berpendidikan tinggi (Dalstra et al., 2005).

2. 3. 4. Polusi Lingkungan

Antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian

pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban

udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada

Universitas Sumatera Utara

Page 6: DA.pdf

10

kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang

tidak dibilas dengan sempurna.

2. 3. 5. Jumlah Anggota Keluarga

Kejadian DA berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah anggota

keluarga. Beberapa hipotesis yang telah ada untuk menjelaskan efek keluarga. Hal

in tampaknya tidak memungkinkan bahwa usia ibu merupakan faktor penyebab

yang mendasari. Suatu penelitian mengemukakan bahwa infeksi pada anak-anak di

tularkan oleh kerena kontak yang tidak sehat dengan keluarga lainnya atau dapatan

dari ibu yang terinfeksi dengan anak lainnya, dapat mencegah terjadinya penyakit

alergi.

Faktor pencetus terjadinya dermatitis atopik antara lain: (Boediarja, 2000)

2. 3. 5. 1. Alergen

Berbagai alergen setelah bereaksi dengan IgE mampu menimbulkan reaksi

hipersensitivitas fase I di kulit, reaksi ini disebut IgE mediated reaction.

- Alergen makanan: molekul protein yang berasal dari makanan yang

ditelan pada umumnya merupakan antigen pencetus reaksi alergi pada

DA. Pada penderita DA diduga secretory IgA di usus menurun disertai

permeabilitas usus meningkat. Reaksi di kulit dapat timbul dalam waktu

relatif cepat, 1 jam atau 2 jam setalah menelan makanan yang

mengandung antigen tersebut.

- Alergen hirup: telah diketahui bahwa debu rumah, tungau debu rumah

(TDR), serta bubuk sari merupakan alergen hirup yang 14 berkaitan erat

dengan asma bronkial pada atopi dan dapat menjadi faktor pencetus DA.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: DA.pdf

11

2. 3. 5. 2. Bahan Iritan

Pada penderita DA lebih sering ditemukan dermatitis kontak iritan

daripada dermatitis kontak alergik, hal ini mudah terjadi oleh karena

kerusakan sawar kulit. Bahan iritan meskipun yang bersifat iritan lemah,

dapat menyebabkan DA

2. 3. 5. 3. Infeksi

Infeksi yang terjadi baik di kulit maupun organ lain terutama saluran

napas atas, oleh virus mononukleosis dapat menjadi faktor pencetus DA.

Staphylococcus aureus tidak hanya menimbulkan infeksi tetapi dapat

bertindak sebagai superantigen. Protein A pada kapsul Staphylococcus

aureus dapat berikatan langsung dengan IgE sehingga memicu pelepasa

histamin oleh sel mas dan basofil. Kolonisasi Staphylococcus aureus di

kulit DA lebih banyak daripada kulit orang normal demikian pula kolonisasi

pada lesi DA lebih banyak daripada kulit nonlesi.

2. 3. 5. 4. Faktor Psikis

Hubungan psikis dengan penyakit dapat timbal balik, demikian pula pada

DA. Akibat perjalanan penyakit yang kronik residif, pada umumnya

penderita DA mengalami gangguan emosi. Stres merangsang pengeluaran

substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa

gatal (Boediarja, 2000). Faktor psikologik memperngaruhi beberapa kondisi

dermatologi termasuk dermatitis atopik, psoriasis, alopecia areata, urtikaria

dan angioedema, and acne vulgaris. Pasien atopic dengan masalah

emosional dapat terjadi anxiety/depresi dan gejala dermatologi yang

Universitas Sumatera Utara

Page 8: DA.pdf

12

hebat.gatal yang hebat menyebabkan insomnia dan tidur yang kurang, keadaan

jiwa yang labil.(Levenson, 2008)

2. 4. Patogenesis Dermatitis Atopik

Konstituen selular utama dari sistem kekebalan kulit (SKS) adalah sebagai

berikut: sel mast, limfosit T, LC yang mengekspresikan E-kaderin, keratinosit, high

endotelial venules (HEV), dan beberapa molekul adesi. Sel-sel tersebut bersama-sama

dengan eosinofil secara ketat bertautan untuk mengatur sensitisasi alergi. Berlawanan

dengan temuan umum yang menekankan bahwa kulit normal mengandung ª 8,000 sel

mast/mm3, Irani et al telah menunjukkan bahwa pada pasien DA terdapat ª 20.000-

40.000/mm3, and 94% adalah TC (triptase dan kimase). Sel mas berpartisipasi dalam

IgE-mediated reaksi hipersensitivitas, dan telah diidentifikasi pada epidermis pasien-

pasien DA. Sel mas pada kulit manusia, telah ditemukan dapat memerintahkan

respons sekresi (histamin dan mediator lain) untuk sejumlah rangsangan imunologi

host, seperti neuropeptida, termasuk zat P (SP), vasoactive intestinal peptide (VIP),

somatostatin, tetapi tidak untuk protein eosinofil granula, dua di antaranya, MBP

(protein dasar utama) dan EPO (Eosinofil peroksidase), menghambat SP akibat

pelepasan histamin dari sel mast kulit manusia. Sel mas kulit mengandung dan

melepaskan IL, di antaranya TNF-α (tumor necrosis factor-α) yang menginduksi

endothelial leukocyte adhesion molecule 1 (CD62E) karena bersilangan dengan

reseptor afinitas tinggi untuk IgE (FcεRI). Aktivasi langsung dari sel mast oleh IgE

dan interaksi juga tidak tergantung pada CD40, dan CD40L, yang diekspresikan oleh

sel-sel metakromatis, menjadi jelas dengan induksi potensi IL4, penjelasan yang jelas

dari amplifikasi dan propagasi Th2-respons. Temuan ini menunjukkan bahwa IgE

sensitisasi adalah realitas yang jelas.

Pewarnaan imunohistokimia penyakit kulit akut dan kronis pada pasien DA

mengungkapkan jumlah yang langka dari infiltrasi limfosit yang terdiri terutama sel T

Universitas Sumatera Utara

Page 9: DA.pdf

13

(CD3, CD4, CD45RO) dan antigen permukaan HLA-DR dengan hanya sesekali CD8

+ limfosit. Hal ini memicu peneliti untuk berspekulasi bahwa beberapa imunologi dan

mungkin kesamaan fungsional antara epitel timus dan epidermis dapat menjelaskan

peran potensial kulit dalam pematangan sub-populasi tertentu limfosit: bahkan jika

limfosit SKS mengungkapkan dua fenotipe, B dan T, sebagian besar sel secara lokal

saat ini adalah limfosit T dan mungkin tidak ada pengaruh tambahan dikaitkan

dengan infiltrasi eksklusif sel T. Sebaliknya, sel B hampir tidak ada. Selain itu, ada

sirkulasi sel memori (CD45RO +), semua dengan CLA (kutaneus limfosit terkait

antigen), diekspresikan oleh 45% dari sel T kulit. CD45 diaktifkan dengan demikian

menunjukkan kontak sebelumnya dengan alergen, karena sel T „virgin‟ melokalisasi

buruk di kulit. Penelitian lain memberikan data penting tentang sel endotel vaskular

yang mengekspresikan konsentrasi tinggi sel memori skin-homing seperti CD62E,

CD54 (ICAM-1), dan CD106 (VCAM-1), dengan HEV yang juga mengekspresikan

CD62E. CD62E berfungsi sebagai skin-specific addressin utama di tempat yang

terkena peradangan kronis dan berinteraksi dengan CLA. Kontrareseptor tambahan

pada limfosit adalah α4fl1 = CD49d/CD29 untuk CD106 dan CD11a = LFA-1 untuk

CD5416. MCP-1 (monosit chemotactic protein-1) adalah kemoatraktan tambahan

yang penting untuk sel T, dan dalam kasus khusus ini adalah reseptor yang terkait

untuk Ga1 protein, sedangkan CD49d/CD29 dan CD11a/CD18 masing-masing

bertautan dengan CD106 dan CD54/102 (ICAM-2). Oleh karena molekul adesi

spesifik untuk kompartemen kulit mengikat secara istimewa dengan sel-sel T CLA +

(atau MCP-1 +), sehingga mendukung terjadinya akumulasi sel-sel tersebut di lesi

kulit yang kronis, sedangkan kelenjar getah bening regional yang mengeluarkan

jaringan limfoid sekunder menghubungkan kompartemen kulit dengan darah melalui

jalur aferen dan eferen. Secara khusus, TNF-α memiliki kapasitas untuk bertindak

pada sub-populasi selektif sirkulasi sel T, terutama CD4+CD45RO+ yang

mengekspresikan CLA atau MCP-1 yang mendukung sel T yang menempati kulit,

dan perlekatan pada endotelium. Kesimpulannya adalah bahwa semua molekul

mendukung lokalisasi CLA khususnya di bagian yang terkena pada kulit, sementara

Universitas Sumatera Utara

Page 10: DA.pdf

14

CLA negatif direpresentasikan dalam jaringan paru-paru, sehingga subset T limfosit

adalah pemicu dari disregulasi atopik pertama di jaringan kulit, dan kedua di paru-

paru, sehingga paralel dengan tidak adanya LC di paru-paru pada bulan-bulan

pertama kehidupan.

Sel-sel epidermis kulit terdiri dari 95% keratinosit, dan merupakan sel-sel kulit

utama yang melepaskan ILS. Keratinosit dapat bertindak sebagai transduser sinyal,

mampu mengubah rangsangan eksogen, seperti cedera lokal, iritasi mekanis, radiasi

UV, ikut serta dalam produksi ILs proinflamasi epidermis, integrin dan faktor

kemotaktik, serta LCs, dan sebagai konsekuensinya dapat memulai dan memperburuk

peradangan kutan. Sel-sel pertama yang menghadapi alergen, sekarang diyakini

memainkan peran aktif dalam memulai, dan mungkin, mengarahkan respon imun

mukosa dengan dikeluarkannya berbagai ILs. Keratinosit mengerahkan peran

pengaturan imun yang aktif dengan infiltrasi sel mononuklear darah perifer (PBMC),

sel-sel ini mengekspresikan HLA-DR kelas II dan antigen CD54, berkorelasi dengan

infiltrasi limfosit, antigen CD36, dan platelet-derived growth factor (PDGF) pada

kulit, selain itu melepaskan molekul adesi. Keratinosit kulit biasanya tidak

mengekspresikan antigen HLA-DR, tetapi dapat diinduksi untuk melakukannya pada

keberadaan limfosit T yang aktif dalam korespondensi sensitisasi primer. Namun,

kurangnya pengeluaran HLA-DR oleh keratinosit mungkin memainkan peran dalam

induksi stimulasi sel T yang menyebabkan diferensiasi allergen spesifik tertentu

limfosit Th2 dan perkembangan alergi. Penelitian lebih lanjut akan menjelaskan

apakah diferensiasi Th2 mendahului kurangnya induksi HLA-DR, atau secara

alternatif, kurangnya HLA-DR adalah faktor utama yang menyebabkan aktivasi Th2.

Sebaliknya, pada keratinosit epidermis yang mengekspresikan CD80 secara

konstitutif bisa diubah menjadi APC (antigen presenting cells), dan memainkan

peran penting dalam resolusi reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit

berdasarkan kemampuan mereka untuk menginduksi anergi klonal sel T-helper.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: DA.pdf

15

Pengaturan yang berubah pada ekspresi gen CD80 oleh sel epidermis dapat

menjelaskan "hiperresponsif" kulit yang ditemukan pada penderita DA kronis.

Studi terbaru menunjukkan peran gangguan dan degranulasi eosinofil dalam

memodulasi kerusakan jaringan. CD40 ligan (CD154) secara fungsional

diekspresikan pada eosinofil manusia sehingga mendorong perubahan limfosit B

menjadi fenotip IgE. Eosinofil tidak hanya aktif dalam mediasi peradangan alergi,

tetapi juga campur tangan dalam jaringan selular dengan APC, sel mast, dan limfosit

T. Beberapa protein kationik yang berpengaruh dan bersifat toksik, telah diamati

dalam butiran eosinofil, termasuk MBP, eosinophil-derived neurotoxin (EDN),

eosinophil cationic protein (ECP), dan EPO. Ditemukan bahwa protein ini terlibat

dalam kerusakan jaringan yang terkait dengan peradangan kulit namun peran mereka

dalam patofisiologi DA masih belum jelas.

Hal ini menunjukkan bahwa beberapa protein ini meningkat dalam sirkulasi

perifer pasien DA. Biasanya, jumlah serum MBP meningkat pada pasien yang terkena

berbagai gangguan yang terkait dengan eosinofilia dan berkorelasi secara signifikan

dengan jumlah eosinofil darah tepi. Jumlah ECP dan MBP rendah dalam serum

dan/atau pada kulit orang sehat, dan tinggi pada pasien DA (MBP 454 ± 90 vs 687 ±

299 ng / ml). Namun, kedua peningkatan tingkat MBP dalam darah perifer dan

aktivasi perangkat eosinofil telah dibuktikan. Meskipun eosinofilia darah tepi adalah

karakteristik umum DA, akumulasi eosinofil jaringan tidak menonjol. Beberapa studi

telah menunjukkan gangguan eosinofil dan hilangnya ciri khas morfologi pada kulit

pasien DA. Baru-baru ini, telah dipelajari degranulasi eosinofil pada jaringan kulit

manusia. Pewarnaan imunofluoresensi dari lokasi kulit yang terkena menunjukkan

deposisi luas MBC tanpa adanya eosinofil jaringan banyak menunjukkan bahwa sel-

sel tersebut mengalami degranulasi di kulit. Dari sebagian besar spesimen DA yang

diperiksa, Leiferman dkk. juga menemukan deposisi MBP dalam pola butiran lebih

dalam pada dermis. Deposisi MBP Ekstraseluler jauh lebih menyebar di lokasi kulit

yang terlibat dibandingkan di lokasi kulit yang tidak terlibat. Menariknya, MBP

Universitas Sumatera Utara

Page 12: DA.pdf

16

deposisi yang luas di kulit ditunjukkan pada 2 anak yang mengalami lesi ekzim

setelah DBPCFC (double-blind, placebo-controlled food challenge), hal ini lagi-lagi

mengindikasikan peran alergi makanan (FA) dan eosinofil pada DA.

Deposisi EDN dipelajari oleh Leiferman pada pasien DA. Spesimen kulit pasien

DA menunjukkan deposisi EDN ekstraseluler granular yang luas pada bagian atas

dermis sehingga menghasilkan bukti lebih lanjut untuk peran EDN di DA.

Pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan degenerasi dan gangguan eosinofil

dengan banyaknya granul-granul eosinofil yang bebas di dermis, hal ini menguatkan

bukti degranulasi eosinofil di DA. Selain itu, penelitian ini tampaknya menunjukkan

bahwa EDN darah tepi dapat menjadi penanda yang lebih sensitif dari degranulasi

eosinofil daripada MBP darah tepi.

Menurut penulis lain, jumlah serum dari ECP pada anak-anak yang mengalami

DA ditemukan meningkat. Jumlah serum ECP adalah 12,2 mg / l ± 9,6 pada anak

yang mengalami DA, dan 6,6 mg / l ± 3,7 pada anak normal (p <0,001). Meskipun

tidak adanya korelasi antara tingkat serum ECP dan IgE total, dan juga antara jumlah

mutlak eosinofil darah tepi dan jumlah serum ECP, ada kemungkinan bahwa

peningkatan konsentrasi serum ECP pada pasien DA mungkin mencerminkan

aktivasi eosinofil di kulit. Namun telah dilaporkan bahwa ECP in vitro dapat

merangsang peningkatan pelepasan histamin dan dapat menekan fungsi limfosit-T

melalui mekanisme nontoksik. Oleh karena itu, hal tersebut memicu untuk

berspekulasi bahwa protein kationik eosinofil, selain efek berbahaya bagi kulit, dapat

menyebabkan kelainan imunologi yang mendalam yang digambarkan pada pasien

DA. Deteksi tingkat ECP yang meningkat dalam serum pasien DA dan berkorelasi

dengan keparahan penyakit hanya mewakili ukuran tidak langsung dari proses

patologis yang terjadi di kulit. Oleh karena itu pengukuran ECP mungkin merupakan

alat non invasif untuk menilai aktivitas klinis DA dalam kaitannya dengan

keterlibatan eosinofil di DA.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: DA.pdf

17

LC dan Makrofag

LC = CD1a + (3-4%), merupakan kontingen epidermis milik famili sel aksesori

yang ampuh disebut DC, bertindak sebagai APC, mengekspresikan antigen HLA

kelas II, beserta antigen CD1a dan CD4. Fungsi dari butiran sitoplasma Birbeck ini

belum begitu diketahui. LC yang terletak di lapisan suprabasal dari epidermidis

mengekspresikan E-kaderin, molekul adhesi homofilik yang memodulasi perlekatan

ke keratinosit secara in vitro. LC juga mengekspresikan CD11a, CD11b, CD36 dan

HLA-DR pada lesi kronis, berbeda dengan kulit normal, selain itu LC juga

mengekspresikan CD54, CD80 dan CD8645. Sebuah terobosan besar dalam

pemahaman mengenai patogenesis DA diketahui dengan ditunjukkannya IgE yang

berikatan dengan membran pada LC epidermis. Studi dengan CD1 + telah

menunjukkan bahwa LC di DA mengikat kedua FceRI dan FceRII = CD2346, dalam

proporsi yang berbeda: 6,63 ± 1,92 vs 0,67 ± 1,12 sel, masing-masing, up regulation

FceRI tidak hadir dalam eksim kontak alergi . Namun peran fungsional untuk CD23

tidak boleh dikesampingkan, karena ekspresi CD23 diregulasi oleh IL4. Lagi pula,

antigen terfasilitasi yang prosesnya melalui CD23 telah ditemukan. Respons sel T

spesifik dapat dideteksi dengan menggunakan kadar serum alergen yang

dikompleksikan dengan IgE yang 1000 kali lipat lebih rendah. Mudde dkk. telah

menunjukkan bahwa IgE + LC mampu menyajikan alergen Der p untuk sel T

sehingga menunjukkan bahwa IgE yang terikat pada sel di LC dapat memfasilitasi

pengikatan alergen untuk LCs sebelum pengolahan dan presentasi dari LC.

Akibatnya, ekspresi IgE-bearing LC di DA mungkin memiliki hasil patogenetik

serius.

Makrofag yang menyusup ke dalam lesi kulit DA telah menunjukkan adanya

kandungan CD23 pada permukaan sel mereka yang diekspresikan sebagai respons

dari IL4 atau GM-CSF, dan direkrut oleh monocyte chemotactic protein-3 (MCP-3)

dan RANTES (regulated on activation normal T expressed and secreted) di kulit

penderita atopik. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa alergen mengaktifkan IgE-

Universitas Sumatera Utara

Page 14: DA.pdf

18

bearing makrofag secara IgE-dependent, dengan pembentukan leukotrien, PAF

(platelet activating factor), IL1, dan TNF. IgE-bearing makrofag juga dapat

diaktifkan oleh autoantibodi untuk IgE, yang hadir pada pasien DA. Secara

keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa meskipun IgE-bearing LC dan makrofag

dapat ditemukan di kondisi kulit inflamasi lain, seperti psoriasis, penyakit kulit

tersebut tidak berhubungan dengan produksi IgE spesifik alergen tertentu.

LC APC dan limfosit T

LC adalah sel-sel yang paling ampuh dalam epidermis sehubungan dengan

penyajian alergen. Penyajian alergen inhalan pada pasien dengan DA dapat

difasilitasi oleh pengikatan alergen ke LC-bound IgE. Setelah kontak dengan alergen,

beberapa LC menjadi aktif, keluar dari epidermis sehingga alergen LC-bound

ditransfer ke dermis, akhirnya LC bermigrasi ke regio sel T-dependan dari getah

bening regional yang merupakan lokalisasi pematangan LC. LC memproses antigen

protein, banyak mengekspresikan HLA kelas I dan II dan menyajikan alergen Der p

untuk sel T naif, menginduksi aktivasi sel-sel tersebut, dan untuk sel mast,

merangsang pelepasan mediator. Seperti pada patogenesis DA, aktivasi limfosit harus

dilihat sebagai reaksi-urutan yang paling signifikan. Tanpa ragu alergen spesifik sel T

yang diaktifkan oleh alergen-IgE + LC mengeluarkan IL4 dan IL5, akibatnya limfosit

B dalam kelenjar getah bening aferen mensintesis IgE dan sumsum tulang

membentuk eosinofil. Oleh karena itu, kadar serum IgE yang tinggi dan eosinofilia

darah tepi adalah fenomena penting dalam DA yang berkaitan dengan rangsangan sel

T oleh IgE-bearing LC setelah pengikatan alergen. Karena tidak ada sel B ditemukan

pada pasien DA, aktivasi limfosit T harus diterjemahkan secara sistemik bukan secara

lokal, sehingga menjelaskan serum sangat peningkatan kadar serum IgE yang sangat

tinggi dan eosinofilia darah tepi sebagai subyek. IgE yang terbentuk akan

menyediakan LC dengan IgE sel-terikat: sebagai hasilnya, LC akan merangsang

Universitas Sumatera Utara

Page 15: DA.pdf

19

alergen spesifik limfosit Th2 secara bebas bukan sel mast. Ada kemungkinan bahwa

usaha-usaha yang mendorong diferensiasi ke dalam sel Th2 pada pasien AD terkait

dengan kelainan dalam APC, seperti yang baru-baru ini dikonfirmasi oleh penelitian

tentang TAP. Amplifikasi Th2 mendukung penurunan IFN-γ dan hasil produksi IL4

yang tinggi pada DA menaikkan sintesis IgE.

Sitokin dan AD

Menyimpulkan data yang belum terakhir pada peran ILs dilepaskan oleh sel

epidermal pada patogenesis DA, kami menunjukkan asal-usul ILs kulit pada Tabel I.

TGF-β dan IL10 telah diidentifikasi sebagai inhibitor dari beberapa ILs. Selain itu

TNF-α diekspresikan oleh sel mast yang mengatur CD62E pada keratinosit,

memfasilitasi interaksi mereka dengan sel-sel CD11a/CD18-T. Produksi IL oleh klon

limfosit-T di DA diringkas dalam Tabel II (Cantani, 2001).

Tabel 2.1. Sel-sel yang Memproduksi Sitokin Kulit.

• LC: IL1, IL6, IL8, IL10, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, TNF-α;

• Keratinosit: IL1, IL3, IL6-IL8, IL10, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, PDGF, TGF-α

dan-β, TNF-α;

• Melanosit: IL1, IL6, IL8, G-CSF, GM-CSF, M-CSF, PDGF, TGF-α dan-β, TNF-α

Tabel 2.2. Produksi Sitokin oleh Klon Limfosit T pada DA.

Sitokin Spesifik dpt CD4+

Penyumbang Atopik

Klon Limfosit T Pendonor

non-Atopik

IL2 + +++

IL4 +++ -

Universitas Sumatera Utara

Page 16: DA.pdf

20

IL5 +++ +

IL6 +++ ++

GM-CSF +++ +++

IFN-γ + +++

TNF-α +++ +++

2. 5. Gejala Klinis

Manifestasi klinis

Gejala utama dari DA adalah pruritus yang intens, biasanya tanpa demam atau

gejala konstitusional lainnya. Pruritis bisa begitu parah hingga dapat menyebabkan

gangguan tidur, lekas marah dan stres umum untuk pasien yang terkena dan keluarga.

Salah satu presentasi yang paling umum adalah ruam persisten pada bayi usia kurang

dari 6 bulan. Hal ini biasanya dilaporkan bahwa ada kulit kering sejak lahir dan ruam

yang hilang timbul untuk beberapa bulan (Jamal, 2007).

Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papula) bersamaan dengan timbulnya

vesikel (papulovesikel) dan eritema, merupakan gambaran lesi eksematous. Prurigo

papules, lesi eksematous dan likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan

dan terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat

basah (weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut

(Kariosentono, 2007).

Temuan kulit bergantung pada stadium penyakit:

Akut - Erosi dengan eksudat serosa atau ruam papular yang sangat gatal dan

vesikel pada dasar eritematosa.

Subakut - Lesi ditandai dengan skala atau plakat di atas kulit eritematosa.

Kronis - Lesi dikenali oleh kehadiran likenifikasi dan perubahan pigmen

dengan ekskoriasi papula dan nodul. Lesi sekunder mungkin terinfeksi akibat

Universitas Sumatera Utara

Page 17: DA.pdf

21

garukan. Lesi yang terinfeksi hadir dengan krusta berwarna kuning atau

impetigo atau sekeliling karakteristik eritema selulitis.

Dermatitis atopik dapat hadir dalam manifestasi lain seperti:

1. Iktiosis vulgaris, yang muncul sebagai telapak tangan dan telapak hiperlinear

dengan skala fishlike poligonal, terutama pada kaki bagian bawah;

2. Keratosis pilaris, papula folikuler tanpa gejala terangsang pada permukaan

ekstensor dari, pantat lengan atas dan paha anterior;

3. Xerosis atau kulit kering, yang mengarah pada kecenderungan untuk retak dan

fissuring dengan rincian penghalang kulit resultan meningkatkan kerentanan

terhadap iritasi dan infeksi;

4. Keratoconus (kornea berbentuk kerucut) pada kasus berat, yang memerlukan

transplantasi kornea selanjutnya;

5. Temuan periokular, yang meliputi hiperpigmentasi periorbital, lipatan infraorbital

yang menonjol (Dennie-Morgan fold), katarak subkapsuler anterior (dalam 4

sampai 12% pasien dengan DA, sementara katarak posterior biasanya merupakan

efek samping dari kortikosteroid oral atau steroid topikal digunakan dalam daerah

periorbital).

Karakteristik terkait lainnya termasuk eritem wajah, pucat perioral, dan pitriasis alba.

Gambaran klinis dermatitis atopik:

Karakteristik mayor

• Pruritis

• Kronis atau kambuh dermatitis

• Wajah dan ekstensor keterlibatan pada bayi dan anak

• Lentur dan likenifikasi pada anak yang lebih tua dan orang dewasa

• Pribadi atau riwayat keluarga atopi

Universitas Sumatera Utara

Page 18: DA.pdf

22

Karakteristik minor

• Usia onset setelah usia 2 bulan

• Xerosis

• Iktiosis, telapak tangan hyperlinear, keratosis Palmaris

• Anaerobik

- Lipatan Dennie-Morgan infraorbital

- Katarak Subkapsuler Anterior

- Keratoconus

• Puting eksim

• Wajah pucat atau eritema

• Dermatitis nonspesifik di tangan dan kaki

• Infeksi kutaneus

DISTRIBUSI

Awitan timbulnya DA berdasarkan usia dapat terjadi pada masa bayi, anak, dan

dewasa. Pada bayi (3 bulan sampai 2 tahun), pipi, dahi, kulit kepala, pergelangan

tangan dan aspek ekstensor dari lengan dan kaki sering terlibat. Di bagian lampin siku

biasanya terhindar. Keterlibatan kulit kepala mungkin cukup parah untuk

menyebabkan alopesia. Gejala pada bayi biasanya mulai pada wajah kemudian

menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesi biasanya basah, eksudativ,

berkrustae, dan sering terjadi infeksi sekunder. Lesi DA pada anak berjalan kronis

akan berlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapat pada lipat siku,

lipat lutut, leher, dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi

eksudativ dan kadang-kadang terjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada

kulit DA akan tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi.

Perubahan pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnya lesi, menjadi

hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi bahkan depigmentasi. Pada anak-anak

usia 2 - 12 tahun pada permukaan fleksor, leher, pergelangan tangan dan pergelangan

kaki adalah tempat yang sering terkena. Lesi pada remaja dan dewasa muda adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 19: DA.pdf

23

ruam pada daerah fleksor lengan (antecubital dan poplitea), kaki, wajah (terutama

daerah periorbital) dan leher. DA bentuk dewasa lesi mirip dengan lesi pada anak-

anak usia lanjut (8-12 tahun) dengan didapatkan likenifikasi terutama pada daerah

lipatan-lipatan dan tangan. Selain gejala utama yang telah diterangkan, juga ada

gejala lain yang tidak selalu terdapat, yang dikenal dengan kriteria minor seperti pada

criteria diagnosis dari Hanifin-Rajka. Kehadiran distribusi ekstensor pada anak yang

lebih tua dan orang dewasa menunjukkan prognosis buruk pada pengobatan utama.

Ketiak, keterlibatan selangkangan dan intergluteal jarang terjadi dan harus

meningkatkan kecurigaan dari beberapa faktor penyebab lainnya (Jamal, 2007;

Kariosentono, 2007).

2. 6. Diagnosis

Kriteria diagnosis dermatitis atopik

Menetapkan kriteria diagnostik yang kuat dan bermanfaat untuk semua bentuk

DA adalah tugas yang sulit karena heterogenitas klinis dan patofisiologi (morfologi,

distribusi, usia, peran, iritasi atau alergi, dll).

Adapun fenotipe imunologi, Wuthrich mengusulkan dua tipe:

1. DA yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas IgE-mediated (dengan atau tanpa

penyakit respiratori atopik), „tipe ekstrinsik‟ (eDA);

2. DA tanpa penaikan serum total IgE, hasil skrining IgE negatif untuk aeroallergen

dan allergen makanan in vitro dan oleh skin prick test, dan hasil anamnesis negatif

untuk penyakit atopik lain tapi dengan disregulasi nonspesifik, „tipe instrinsik‟ (iDA).

Secara total, 20-40% pasien dengan „pure’ DA (tanpa penyakit respiratori)

dilaporkan termasuk ke tipe iDA. Masalah definisi ini adalah perubahan yang

berhubungan dengan usia dari abnormalitas imunologi, tidak memungkinkan

Universitas Sumatera Utara

Page 20: DA.pdf

24

klasifikasi yang pasti pada anak-anak seperti yang ditunjukkan oleh studi follow-up

oleh Novembre et al. Penulis mengusulkan istilah berikut:

„Early atopic’: hasil skin prick test positif pada evaluasi awal (umur 2 tahun)

(64% pada serinya);

„Late-onset atopic’: hasil skin prick test negatif pada evaluasi pertama (umur 2

tahun), tapi positif pada follow-up (umur 11 tahun)(21%);

„Non-atopic’(iDA): hasil skin prick test negatif pada evaluasi pertama dan

follow-up (15%).

Masih belum ada penanda khusus untuk DA. Dengan tidak adanya petunjuk

sederhana untuk diagnosis, itu harus disusun dari konstelasi ciri karakteristik.

Hanifin dan Rajka yang pertama kali mengupayakan pendekatan sistematis

terhadap standardisasi diagnosis DA pada tahun 1980 (Harper et al, 2006). Dari

criteria mayor, pruritus dan kronik atau DA yang mengalami remisi dengan distribusi

dan morfologi yang khas merupakan hal-hal yang penting untuk diagnosis DA

(Leung et al, 2008). Diagnosis DA dapat ditegakkan jika terdapat masing-masing

minimal tiga dari kriteria mayor dan minor. Kriteria-kriteria ini berdasarkan

pengalaman klinis dan masih disebut sebagai 'gold standard' dalam penelitian dan

pengajaran akademis (Harper et al, 2006).

Kriteria mayor

Pruritus

Distribusi dan morfologi khas:

- Wajah dan ekstensor

- Terjadi selama masa bayi dan awal masa kanak-kanak

Kronik dan kekambuhan kronis dermatitis

Riwayat atopik keluarga (asma, rinokonjungtivitis alergi, dermatitis

atopik)

Universitas Sumatera Utara

Page 21: DA.pdf

25

Kriteria minor

Xerosis

Ichthyosis/hiperlinearitas palmar/pilaris keratosis

Reaktivitas IgE (IgE meningkat, hasil skin prick test positif)

Dermatitis pada tangan dan kaki

Keilitis

Dermatitis pada kulit kepala

Kerentanan terhadap infeksi kutaneus (khususnya Staphylococcus aureus

dan virus herpes simpleks)

Aksentuasi perifolikular (khususnya pada ras yang berpigmen)

2. 7. Diferensial Diagnosis

Karena lesi kulit dermatitis atopik di dapat memiliki banyak bentuk (papula, vesikula,

plak, nodul dan ekskoriasi), diagnosis banding dermatitis atopik sangat luas. Kondisi

yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan pruritus meliputi dermatitis

seboroik, psoriasis dan neurodermatitis. Karakteristik yang membedakan kondisi ini

dan lainnya dari dermatitis atopik tercantum dalam Tabel 2 (Correale et al, 1999).

Tabel 2.3. Diferensial Diagnosis Dermatitis Atopik

Penyakit Karakter pembeda

Dermatitis seboroik Berminyak, lesi bersisik, tidak adanya

riwayat atopik pada keluarga

Psoriasis Patch terlokalisasi di ekstensor,

permukaan kulit kepala, pantat; kuku

Universitas Sumatera Utara

Page 22: DA.pdf

26

berbintik-bintik

Neurodermatitis Biasanya, petak satu di tempat yang

gatal-gatal, tidak terdapat riwayat atopik

pada keluarga

Dermatitis kontak Riwayat terpapar positif, ruam di daerah

paparan, tidak terdapat riwayat atopik

pada keluarga

Skabies Papula, keterlibatan finger web, scraping

klulit positif

Penyakit sistemik Penemuan riwayat penyakit yang

lengkap dan pemeriksaan fisik bervariasi

berdasarkan penyakit

Dermatitis herpetiformis Vesikel di daerah ekstensor dan

enteropati yang terkait

Infeksi dermatofit Plak serpiginous dengan bagian tengah

yang bersih, positif pada pemeriksaan

kalium hidroksida

Gangguan imunodefisiensi Riwayat infeksi berulang

Universitas Sumatera Utara