karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web...

38
PENELITIAN DAN PENULISAN SKRIPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEMBELIAN TIKET KERETA API MELALUI MEDIA ON LINE TUTUT SETIO MULAT LANGGENG FakultasHukum,UniversitasNarotamaSurabaya Pembimbing : SOEMALI, SH; M.Hum. e-mail : [email protected] Abstrak Dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line, apabila P.T, Kereta Api wanprestasi, terdapat kepastian hukum yang menjamin terhadap hak-hak konsumen yang dirugikan. Upaya hukum yang dilakukan dapat dilakukan melalui gugatan melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan, yang beban pembuktian dilakukan oleh pelaku usaha (P.T. Kereta Api). Jaminan kepastian hukum dalam hal P.T. Kereta Api wanprestasi, wajib bertanggung gugat mengganti biaya yang telah dibayar oleh konsumen yang telah membeli karcis dan/atau menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan, Tanggung gugat wanprestasi P.T. Kereta Api apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api dan apabila terjadi hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun yang disepakati. Kata kunci : Perlindungan konsumen, tiket kereta api, media online . Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa penumpang dan barang. PT. Kereta Api Indonesia dari tahun ke tahun selalu berusaha memberi pelayanan yang prima, selalu berusaha memberi inovasi baik dari dari segi operasional, prasarana, ,keamanan maupun pelayanan, khususnya di bidang pelayanan sebagai perusahaan yang mengelola bidang angkutan perkeretaapian di Indonesia. P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) telah banyak mengoperasikan kereta penumpangnya, baik kereta api utama (komersil dan non komersil), maupun kereta api lokal di Jawa dan Sumatera, yang terdiri dari : kereta api eksekutif, kereta api ekonomi

Transcript of karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web...

Page 1: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

PENELITIAN DAN PENULISAN SKRIPSIPERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PEMBELIAN

TIKET KERETA API MELALUI MEDIA ON LINE

TUTUT SETIO MULAT LANGGENGFakultasHukum,UniversitasNarotamaSurabaya

Pembimbing : SOEMALI, SH; M.Hum.e-mail : [email protected]

Abstrak

Dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line, apabila P.T, Kereta Api wanprestasi, terdapat kepastian hukum yang menjamin terhadap hak-hak konsumen yang dirugikan. Upaya hukum yang dilakukan dapat dilakukan melalui gugatan melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan, yang beban pembuktian dilakukan oleh pelaku usaha (P.T. Kereta Api). Jaminan kepastian hukum dalam hal P.T. Kereta Api wanprestasi, wajib bertanggung gugat mengganti biaya yang telah dibayar oleh konsumen yang telah membeli karcis dan/atau menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan, Tanggung gugat wanprestasi P.T. Kereta Api apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api dan apabila terjadi hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun yang disepakati.

Kata kunci : Perlindungan konsumen, tiket kereta api, media online.

Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya

P.T. Kereta Api Indonesia (persero), sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa penumpang dan barang. PT. Kereta Api Indonesia dari tahun ke tahun selalu berusaha memberi pelayanan yang prima, selalu berusaha memberi inovasi baik dari dari segi operasional, prasarana, ,keamanan maupun pelayanan, khususnya di bidang pelayanan sebagai perusahaan yang mengelola bidang angkutan perkeretaapian di Indonesia. P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) telah banyak mengoperasikan kereta penumpangnya, baik kereta api utama (komersil dan non komersil), maupun kereta api lokal di Jawa dan Sumatera, yang terdiri dari : kereta api eksekutif, kereta api ekonomi ac, kereta api bisnis, kereta api ekonomi, kereta api lokal dan kereta api listrik. Di Stasiun Surabaya Gubeng ada 19 (Sembilan belas) kereta api yang akan mengantarkan penumpang ke beberapa tempat tujuan yaitu : Kelas eksekutif Argo Wilis, dari dan tujuan Bandung via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Tasikmalaya, Bima, tujuan Jakarta via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-

Purwokerto-Cirebon dan tujuan Malang, Turangga, dari dan tujuan Bandung via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Tasikmalaya Bangunkarta , dari dan tujuan Jakarta via Jombang-Madiun-Solo-Semarang-Cirebon. Kelas campuran : Sancaka, dari dan tujuan Yogyakarta via Jombang-Madiun-Solo (eksekutif-ekonomi AC plus), Mutiara Timur, dari dan tujuan Banyuwangi (eksekutif-bisnis; khusus untuk jadwal malam bisa bersambung dari dan ke Denpasar, Bali, menggunakan armada bus kerjasama antara Damri-PT KAI), Ranggajati, tujuan Cirebon via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Purwokerto dan tujuan Jember (eksekutif-bisnis). Kelas bisnis : Mutiara Selatan, tujuan Bandung via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Tasikmalaya dan tujuan Malang. Kelas ekonomi AC plus Jayabaya, tujuan Jakarta via Surabaya Pasarturi-Semarang-Cirebon dan tujuan Malang. Kelas ekonomi AC ; Gaya Baru Malam, dari dan tujuan Jakarta via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta-Purwokerto Pasundan, dari dan tujuan Bandung via Madiun-Yogyakarta-Tasikmalaya Logawa, tujuan Purwokerto via Jombang-Madiun-Solo-Yogyakarta dan tujuan Jember, Sri Tanjung, tujuan Yogyakarta via Jombang-Madiun-Solo dan tujuan Banyuwangi, Probowangi, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Banyuwangi, Dhoho, tujuan Surabaya Kota dan

Page 2: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

tujuan Kertosono via Jombang bersambung Blitar via Kediri, Penataran, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Blitar via Malang, Tumapel, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Malang (lebih sering disebut sebagai KA Penataran juga), KRD Bojonegoro/Lokal Babat, tujuan Surabaya Pasarturi-Bojonegoro via Lamongan-Babat dan tujuan Sidoarjo, KRD Kertosono, tujuan Surabaya Kota dan tujuan Kertosono via Jombang, Komuter ekonomi Delta Ekspres (Komuter Surabaya-Sidoarjo/SuSi), tujuan Surabaya Kota dan tujuan Porong.

Kereta yang akan mengantar penumpang ke berbagai tujuan dengan berbagai harga tiket yang sangat variatif menurut jenis kereta apinya, jenis hari keberang-katannya dan jenis tempat duduk atau fasilitasnya. Di sini, bisa dilihat dari harga tiket yang tertera. Dengan inovasi baru sekarang ini, P.T.Kereta Api memberikan kemudahan bagi pengguna jasa, tiket bisa diperoleh 90 (sembilan puluh) hari sebelum kebarangkatan dan dapat juga di pesan atau dibeli di mana pun kita berada dengan mudahnya tanpa harus datang ke stasiun, tiket bisa kita peroleh lewat agen agen yang memang sudah bekerja sama dengan PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Dengan Inovasi yang dilakukan PT. KAI (Persero) tidak banyak menimbulkan kontroversial, banyak sekali pihak-pihak yang dengan sengaja mencari keuntungan dengan kemajuan teknologi sekarang ini tanpa memikirkan pihak konsumen yang sangat-sangat dirugikan, pembelian tiket melalui media online memang sangat mudah tetapi harus berhati-hati. Di sisi lain, kondisi tersebut menimbulkan fenomena bahwa konsumen menjadi obyek akti-fitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar–besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promsi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Hal ini menyebabkan kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen tidak seimbang. Konsumen berada pada posisi atau kedudukan yang lemah dalam memperoleh hak-haknya masih rendah, akibat rendahnya pendidikan konsumen di bidang teknologi informatika akan menjadi makanan empuk para pembisnis online.

Berdasarkan latar belakang uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:1. Apa prinsip-prinsip perjanjian dalam

transaksi tiket kereta api melalui media Online ?

2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan konsumen akibat P.T. Kereta Api Indonesia wanprestasi ?

Penjelasan Judul Judul penelitian dan penulisan skrisip ini tentang “Perlindungan Konsumen Da-lam Transaksi Tiket Kereta Api Melalui Media Online”. Guna memahami dan membatasi terhadap judul yang diteliti, maka perlu adanya penjelasan terhadap judul yang dimaksud seperti dipaparkan di bawah ini. Perlindungan berasal dari kata lindung, dalam bahasa Belanda “beschut” atau” beschermd”. Perlindungan adalah cara, proses atau perbuatan melindungi”.1 Per-lindungan dalam bahasa Belanda adalah “beschermelingschap” atau “schuilhaventje”, “hal ini terjadi bilamana seseorang dilindungi oleh suatu negara, dan merupakan asas perlindungan, di mana asas ini berlaku bagi semua kejadian yang merugikan kepen-tingan hukum seseorang”. 2

Konsumen secara harfiah adalah “pemakai barang-barang hasil produksi”.3

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Yang dimaksud konsumen dalam undang-undang tersebut adalah konsumen akhir. Perlin- dungan konsumen menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Alasan Pemilihan Judul1 ? Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indone-sia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm 5222 ? N.E. Algra et. al., Kamus Istilah Hukum, Fockema Andrea, Belanda-Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1983, hlm. 483 ? Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Loc. Cit.

Page 3: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi digunakan sebagai sarana perdagangan (electronic comers). Perdagangan melalui sistem elektronik tumbuh sangat cepat, misalnya perdagangan barang dan jasa, perdagangan obat-obat herbal, perdagangan elektronika, perdagangan automotive dan lainnya. Hampir setiap perda-gangan barang dan/atau jasa sekarang ini melalui dunia maya atau menggu-nakan elektronika, termasuk dalam transaksi pembelian tiket kereta api. Pembelian tiket kereta api sekarang ini dapat dilakukan secara on line, dengan menggunakan media on line melalui internet atau transaksi elektronika. Pembelian tiket kereta api melalaui media on line diharapkan membantu memudahkan konsu-men dalam mendapatkan atau membeli tiket kereta api sesuai jurusan yang ditempuhnya. Pembelian tiket kereta apai tidak harus datang pada stasiun untuk membeli tiket/ karcis kereta api, tetapi sekarang dapat membeli tiket melalui media on line melalui biro jasa media on line yang ditunjuk atau telah bekerja sama dengan P.T. Kereta Api Indonesia (Persero). Dalam kenyataan, kegiatan pembelian tiket/karcis kereta api tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi. Di sisi lain, pembuktian meru-pakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, dipalsukan dan dikirim kepada siapapun. Dampak yang diakibatkan bisa demikian komplek dan rumit. Namun, kenyataan tran- saksi melalui media elektronik berkembang terus dan tidak bisa dibendung, meskipun bersifat virtual dapat dikatagorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Transaksi inipun dikembangkan oleh P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) dalam perdagangan atau pembelian tiket melalui media on line.

Dalam pelaksanaan jual beli tiket kereta api melalui media online terdiri dari empat proses, yaitu, penawaran, penerimaan, pembayaran, dan pengiriman.

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal dapat diterapkan untuk menentukan keabsahan perjanjian jual beli tiket kereta api melalui melalui media on line. Tetapi dalam praktek pembelian tiket kereta api melalui media on line syarat tersebut tidak dipenuhi secara utuh, pihak media online sering kali ingkar janji atau tidak menyepakati perjanjian yang telah dibuat, setelah melakukan pembayaran harusnya konsumen mendapatkan code booking, tetapi pada kenyataannya pihak media on line melakukan pembatalan pembelian secara sepihak tanpa sepengetahuan konsemen, di sini konsumen terdiri dari banyak orang yang berbeda latar belakang usia, pendidikan, pengetahuan dan pengalaman, ada beberapa konsumen yang memang tidak jeli setelah melakukan pembayaran tetapi alangkah baiknya jika kita melakukan pekerjaan yang halal tanpa harus merugikan banyak pihak, tidak mengecewakan konsumen, dan juga membuat citra buruk untuk P.T. Kereta Api. Di sini PT. Kereta Api berharap hendaknya para pelaku bisnis benar-benar memperhatikan aturan main yang berlaku, bekerja secara propesional memperhatikan benar-benar isi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, sehingga berlakunya Undang-undang tersebut dapat berfungsi dengan baik. PT. Kereta Api juga berharap media on line yang berlaku curang bisa di telusuri dengan cepat keberadaannya dan menidak tegas menghukum pihak-pihak yang berlaku curang, sehingga memberi efek jera pada pelakunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlin-dungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta system perekono-mian yang sehat. Dalam kenyataan praktik di lapangan, dari pengalaman pribadi sewaktu berdinas di Stasiun Surabaya Gubeng dan bertemu dengan lima orang penumpang yang kala itu akan berangkat menggunakan Kereta Api Jaya Baya tujuan Pasar Senin, Lima calon penumpang yang sudah tua tersebut

Page 4: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

membawa bukti transaksi pembelian tiket melalui media on-line yang akan di cetak (Chek in Mandiri) di tukar menjadi tiket, tapi pada kenyataannya tiket tersebut tidak dapat di cetak karna tidak ada code bookingnya dan sudah dibatalkan oleh petugas media online,dari sini jelas terjadi kecurangan yang dilakukan pihak media on line. Konsumen tentunya hak-haknya di- rugikan, karena adanya kecurangan petugas media on line.

Tujuan Penelitian1. Untuk memahami dan menganalisis

prinsip-prinsip perjanjian dalam transaksi tiket kereta api melalui media online, baik yang menyangkut mengenai prinsip-prinsip perjanjian dalam kontrak elektronika yang dibuat melalui sistem elektronika, dan prinsip-prinsip transaksi tiket kereta api melalui media online.

2. Untuk memahami dan menganalisis terhadap upaya hukum yang dapat dila-kukan konsumen akibat P.T. Kereta Api Indonesia wanprestasi, baik menyangkut perlindungan konsumen dalam transaksi tiket kereta api melalui

online dan tanggut gugat P.T. Kereta Api akibat wanprestasi dalam transaksi tiket kereta api melalui media online.

Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis ;

Diharapkan dari tulisan ini dapat dijadikan sebagai sumber masukkan bagi para calon pengusaha baru mediaon line agar memperhatikan etikaagar tidak merugikan konsumen sepertiyang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Secara Praktis ;Diharapkan bagi masyarakat agar mampu memanfaatkan

kegunaan internet denganmaksimal untuk hal yang lebih penting, dalam hal ini melakukan transaksi pembelian tiket on line dengan sangat berhati-hati, memilih media on line yang benar-benar bisa dipercaya, ataupun agen-agen resmi yang memang bekerja samadengan PT. Kereta Api Indonesia(Persero).

Metode PenelitianPendekatan Masalah Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan “penelitian hukum doktriner, juga disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen”.4 Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normative (statute approach) , karena “penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan- peraturan yang tertulis”.5 Di sisi lain, penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach), karena menggunakan bahan-bahan hukum lain selain peraturan perundang-undangan.

Sumber Bahan Hukum Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebab- kan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Data sekunder dari perpustakaan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dimuat dalam Lembaran Negara Repu- blik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843; Undang-Undang Nomor 8 4 ? Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 135 ? Ibid., hlm 13

Page 5: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Bahan hukum sekunder berupa literature, karya-karya ilmiah, pendapat ahli baik yang berasal dari media cetak maupun media elektronik. Di sisi lain, juga meng-gunakan bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan kamus bahasa.

Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Bahan hukum berasal dari studi kepustakaan dikumpulkan dengan cara pen- catatan, foto kopi, pengadaan literature dan unduhan melalui internet. Bahan dari hasil studi perpustakaan diinvetarisasi. diklarifikasi dan dipilah-pilahkan setelah dila-kukan editing sesuai dengan rumusan masalah yang ada dan sesuai dengan bab dan sub bab yang ada.

Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah dikumpulkan dan dkelola sesuai rumusan masa- lah, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dan dideskripsikan dengan meng- gunakan pola pikir yang runtun dan runtut. Hasil dari analisa terbut guna memperoleh jawaban terhadap rumusan masalah yang ada dalam penelitian hukum berupa skripsi ini.

Pertanggungjawaban Sistematika Sistematika merupakan perangkat unsure yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas. Dalam sistematika hasil penelitian hukum ini diklasifikasikan atau digelongkan terdiri dari bab II dan bab III merupakan bab isi hasil dari pembahasan penelitian ini. Bab IV merupakan bab hasil kesimpulan dari inti sari bab isi yang terdapat dalam bab II dan bab III. Bab I merupakan pendahuluan yang memaparkan mengenai situasi-situasi yang latar belakang permasalah yang hasilnya berupa rumusan masalah. Dalam bab ini juga dipaparkan mengenai penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan dan manfaat

penelitian dan metode penelitian. Dalam metode penelitian akan dipaparkan mengenai pendekatan masalah, sumber bahan hukum, prosedur pengumpulan dan pengelolaan bahan hukum dan analisis bahan hukum. Bab ini diakhiri dengan paparan mengenai pertanggungjawaban sistematika yang memaparkan mengenai pertang- gungjawaban dalam meletakan tata urutan atau sitematika penulisan hasil penelitian hukum berupa skripsi ini. Bab II memaparkan mengenai prinsip-prinsip perjanjian jual beli tiket kereta api melalui media on lin, baik yang menyangkut mengenai prinsip-prinsip perjanjian dalam kontrak elektronika yang dibuat melalui sistem elektronika, dan prinsip-prinsip transaksi tiket kereta api melalui media online. Hasil dari paparan ini merupakan jawaban terhadap rumusan masalahan yang terdapat dalam rumusan masalah pertama penelitian ini.

Bab III memaparkan mengenai upaya hukum yang dapat dila-kukan konsumen akibat P.T. Kereta Api Indonesia wanprestasi, baik menyangkut perlindungan konsumen dalam transaksi tiket kereta api melalui online dan tanggut gugat P.T. Kereta Api akibat wanprestasi dalam transaksi tiket kereta api melalui media online. Hasil dari paparan ini merupakan jawaban terhadap rumusan masalah yang terdapat dalam rumusan kedua penelitian ini.

Bab IV memaparkan mengenai penutup berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan pertama berasal dari inti sari hasil pembahasan rumusan masalah

pertama, dan kesimpulan kedua berasal dari inti sari hasil pembahasan rumusan masalah kedua dalam penelitian ini. Hasil kesimpulan pertama kemudian diberikan rekomendasi berupa saran pertama, dan hasil kesimpulan kedua kemudian diberikan rekomendasi berupa saran kedua, yang semuanya merupakan satu kesatuan dalam penelitian dan penulisan hukum berupa skripsi ini.

PRINSIP-PRINSIP PERJANJIANDALAM TRANSAKSI

TIKET KERETA API MELALUI MEDIA ON LINE

Page 6: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

Prinsip-prinsip Perjanjian Dalam Kontrak Elektronika Perjanjian merupakan “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.6

Dari pengertian ini, unsure-unsur perjanjian adalah hubungan hukum, yang menyangkut hukum harta kekayaan, antara dua orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Dengan demikian, dalam perjanjian, merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan hukum terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lainnya menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi, satu pihak memperoleh hak dan pihak lainnya memikul kewajiban menyerahkan atau memenuhi prestasi. Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata , berjudul “Perihal Perikatan”. Buku III tersebut, menganut prinsip “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian. Prinsip ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari pasal tersebut, dapat dimaknai bahwa tiap perjanjian yang dibuat mengikat bagi ke dua belah pihak. Begitu juga dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Prinsip-prinsip kebebasan, kekuatan mengikat, kesepakatan para pihak, keseimbangan, terdapat dalam pelaksanaan perjanjian. Sistem pengolahan data secara elektronik (electronic data processing systems) berkembang sejak tahun 1996, yang diatur dalam UNCITRAL Model Law On Electronic Commerce. Dari perkembangan ini, dapatlah terlihat bahwa pengolahan data yang semula hanya dilakukan dengan tangan, dengan cara 6 ? M. Yahya Harahap, Segi-segi HUkum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6

menulis, dan yang disajikan dalam bentuk tulisan tangan, dalam perkembangannya terakhir dapat diperoleh secara systems, yaitu, dalam terminal computer, baik dalam bentuk print out atau visual display dan voice output. Semakin berkembangnya computer, maka dicari definisi mengenai computer dan electronic data processing systems. J.M. van Oorschof memberikan pengertian “computer adalah sekelompok mesin yang dalam suatu kerja sama dan koordinasi ada di bawah control program yang dimasukkan ke dalam memorinya”.7Di sisi lain, Richard W. Lort memberikan definisi “computer sebagai peralatan elektronik, yang dapat menerima data, melakukan jenis perhitungan dan keputusan di dalamnya, dan menghasilkan jawaban. Semua fungsi ini dilakukan di bawah control suatu program yang dimasukkan”.8

Komputer sebagai elektronik, dalam perkembangannya begitu pesat, digunakan sebagai sarana kontrak elektronik, karena adanya manfaat kontrak dagang elektronik (e-commerce). Dengan kontrak dagang elektronik tersebut, “diharapkan dapat menekan biaya barang dan/atau jasa, juga meningkatkan kepuasan konsumen sepanjang yang menyangkut kecepatan untuk segera mendapatkan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan dengan kualitas yang terbaik sesuai harganya”.9 Komponen dari kontrak dagang elektronika tersebut, menurut Mariam Dairus Badrulzaman, yaitu a. ada kontrak dagang; b. kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik (digital); c. kehadiran fisik dan para pihak tidak diperlukan; d. kontrak itu terjadi dalam jaringan publik; e. sistemnya terbuka, yaitu, dengan internet atau www; dan f. kontrak itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional”.10 Kontrak dagang elektronik, dalam perkembangannya dikenal

7 ? Heru Supraptomo, Hukum dan Komputer,

Alumni, Bandung, 1996, hlm. 24.8 ? Ibid.,9 ? Mariam Darus Badrulzaman, Kontrak

Dagang Elektronika, Tinjauan Dari Aspek Hukum

Perdata, dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 26910 ? Ibid., hlm. 264.

Page 7: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

dengan e-contract (electronic contrak), atau kontrak elektronik, atau kontrak online. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, secara umum telah dapat diterima yang dimaksud dengan “kontrak adalah perjanjian tertulis. Bentuk suatu perjanjian adalah bebas (vormvrij) dapat lisan atau tertulis. Dengan asas (prinsip) yang bebas ini, maka dapat diterima oleh hukum perjanjian kita, bentuk elektronik, internet, e-mail, fax, dan lain-lain”.11

Kontrak dagang elektronika terletak dalam bidang hukum perdata. Kontrak dagang elektronika sebagai subsistem dari hukum perjanjian, menurut Mariam Darus Badrulzaman, maka “kontrak dagang elektronika memiliki asas-asas (prinsip-prinsip) yang sama dengan hukum perjanjian …”.12

Kontrak elektronika merupakan perhubungan hukum, di mana para pihak yang melakukan hubungan dijamin oleh hukum atau undang-undang. Hubungan hukum ialah hubungan yang terhadapnya, hukum menekankan hak pada satu pihak dan menekankan kewajiban pada pihak lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum memaksakan agar kewajiban tadi dipenuhi. Perhubungan hukum para pihak melahirkan suatu perikatan. Menurut R. Subekti yang dinamakan perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.13 Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) istilah, yaitu, kontrak, perjanjian dan perikatan. Perikatan atau kontrak adalah “istilah untuk hubungan hukum antara para pihak, sedangkan perjanjian adalah istilah untuk peristiwa hukum yang melahirkan kontrak tersebut”.14

11 ? Ibid., 12 ? Ibid., hlm. 26213 ? R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 114 20 R. Subekti,Op,Op-cit hlm3

Perikatan dapat terjadi karena perjanjian dan arena undang-undang. Ajaran umum tentang perikatan yang bersumber pada persetujuan diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata dan seterusnya, sedangkan perikatan yang bersumberkan pada undang-undang diatur dalam Pasal 1352 KUH Perdata dan seterusnya. Pembagian tersebut belumlah selesai, karena perikatan yang bersumber pada undang-undang dibedakan lagi dalam perikatan bersumber dari undang-undang saja dan bersumber dari undang- undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang bersumber dari undang-undang, karena perbuatan manusia itu masih dibagi lagi dalam perbuatan yang rechmatig dan perbuatan yang onrechtmatig sebagaimana diatur dalam Pasal 1353 KUH Perdata. Diephuis, Asser dan Suyling mengatakan bahwa:

“pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara perikatan yang bersumber pada persetujuan dengan perikatan yang bersumber pada undang-undang, sebab semua perikatan, meskipun bersumber pada persetujuan pada hakekatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanctionering dari undang-undang”.

Kontrak dalam bahasa Belanda “contract”, berarti perejanjian; dalam kata sehari-hari yang bukan arti menurut hukum hukum juga aktanya sendiri”.15 Perjanjian berasal dari kata janji, dalam istilah Belanda, yaitu, “belofte, overeenskomst, afspraak”:, dan dari kata tersebut, istilah yang paling sering digunakan adalah “overenskomst”. Arti dari “overeenskomst”, adalah persetujuan, persetujuan kehen-dak antara dua pihak atau lebih (KUH Perdata, Pasal 1313). Biasanya digunakan untuk menunjukkan apa yang dinamakan obligatoire of verbintenis-scheppende overeenskomst, yaitu, persetujuan yang bertujuan menimbulkan atau mengubah perikatan (verbintenis)”.16 Perikatan berasal

? E dmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 21515 ? N.E.Algra, Kamus Istilah Hukum, Fockema Andreae, Belanda-Indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1983, hlm. 81.16 ? Ibid., hlm. 378

Page 8: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

dari bahasa Belanda “verbintenis”, berarti perikatan, menurut hukum, khusus kewajiban dalam bidang harta kekayaan dan kekeluargaan terhadap seseorang atau lebih, di mana pihak mereka berhak menuntut pemenuhannya”.17

Kontrak elektronik merupakan perjanjian, yang melahirkan perikatan, karena perikatan dapat lahir karena perjanjian dan berdasarkan undang-undang. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1233 KUH Perdata bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Dalam istilah per- setujuan, dalam banyak literasi yang menggunakan istilah perjanjian. Perjanjian me- nurut R. Subekti adalah “suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untu melaksanakan sesuatu hal”.18 Dari peristiwa itu, menurut R. Subekti, “timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya”.19 Kontrak elektronik adalah suatu perjanjian, dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang ditulis. Kontrak elektronik merupakan perjanjian, yang menerbitkan perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa “dua perikatan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak adalah lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis”.20 Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian yang di- maksud dalam pasal tersebut merupakan obligatoir atau perjanjian timbal balik di mana satu pihak harus melakukan kewajiban dan pihak lain memperoleh hak. Selain itu, pada praktiknya masyarakat akan mengatakan

17 ? Ibid., hlm. 60918 ? Ibid.,19 ? Ibid.,20 ? Ibid.,

bahwa suatu perjanjian harus tertulis dan bertanda tangan di atas materai atau kertas segel serta harus asli. Perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan yang dalam kehidupan sehari-hari diwujudkan dalam janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Hubungan hukum yang lahir dalam perjanjian bukanlah hubungan hukum yang lahir dengan sendirinya, tetapi hubungan itu tercipta karena adanya tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan untuk menimbulkan hubungan hukum tersebut. Menurut Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa “hukum B.W., tetap memandang suatu perjanjian sebagai perhubungan hukum, di mana seorang tertentu, berdasar suatu janji, berwajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang lain tertentu berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu”.21

Kontrak elektronik adalah perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika bahwa “kontrak elektronika adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronika”. Sistem elektronika dalam Pasal 1 angka 5 dinyatakan bahwa “sistem elektronika adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronika yang berfungsi menyiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisa, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronika”. Kontrak elektronik merupakan perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan computer, jaringan computer, dan/atau media elektronik lainnya. Kontrak elektronik dilakukan dengan menggunan sistem elektronika, berupa informasi elektronika. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dinyatakan bahwa : “Informasi elektronika adalah satu atau

sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat eletronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau

21 ? Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hlm. 12

Page 9: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.

Kontrak elektronik adalah perjanjian, secara umum tunduk pada Buku III tentang Perikatan. Perjanjian merupakan salah satu penyebab lahirnya perikatan, di samping undang-undang. Dalam perjanjian terdapat sistem terbuka, karena mengandung prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract). Sistem terbuka dan prinsip kebebasan berkontrak tersebut mengandung suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Di dalam istilah kata semua, terkandung suatu prinsip yang dikenal dengan partij autonomie. Partij autonomie merupakan wewenang para pihak untuk mengatur kepentingannya sebagai yang dikehendaki. Wewenang para pihak untuk mengatur kepentingannya sebagai yang dikehendaki merupakan prinsip kebebsan berkontrak. Prinsip tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan para pihak, yang merupakan prinsip konsensualisme (prinsip kesepakatan atau consensus). Menurut R. Subekti, dengan menekankan pada perkataan semua, maka “pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang”.22 Kekuatan mengikat tersebut timbul setelah perjanjian tersebut sah menurut hukum. Perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum mempunyai kekuatan mengikat, yang dalam perjanjian merupakan prinsip kekuatan mengikat. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa “kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesemua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian”.23 Prinsip ini

22 ? Ibid., hlm 1423 ? Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1996, hlm 113.

sangat erat hubungannya dengan prinsip atau asas kebebasan mengadakan perjanjian. Dengan mendasarkan pada pasal dan pendapat tersebut, maka dalam perjanjian mengandung prinsip kebebasan berkontrak, prinsip kekuatan mengikat, dan adanya prinsip kepastian hukum. Prinsip kekuatan mengikat dan kepastian hukum terdapat bahwa perjanjian yang dibuat harus mengandung unsure sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengandung bahwa semua perjanjian harus dibuat secara sah. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal”. Dalam ketentuan pasal tersebut bahwa perjanjian mengandung prinsip konsensualisme, karena harus adanya sepakat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian, berarti dua pihak sudah sah apabila sudah sepakat atau setuju mengenai sesuatu hal. Kesepakatan tersebut terjadi karena adanya konsesus para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam perjanjian tersebut mengandung prinsip konsensualisme. Prinsip-prinsip Transaksi Tiket Kereta Api Melalui Media Elektronika

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dinyatakan bahwa “kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perekeretaapian lainnya yang akan atau sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api”. Perkeretaapian dalam ayat (1) adalah “satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma, kreteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api”.Tujuan perkeretaapian sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa :“Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk

Page 10: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional”. Berdasarkan pengertian ketentuan tersebut, jelas bahwa kereta api sebagai sarana pengangkutan untuk pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api. H.M.N. Purwosutjipto, memberikan pengertian tentang pengangkutan menyatakan “pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.24 Pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan tertentu. Inti dari pengangkutan orang, yang terdapat dalam inti perjanjian adalah pengangkut berkewajiban untuk mengangkut orang/penumpang dengan cara aman atau selamat sampai ke tempat tujuan. Kewajiban pengirim atau penumpang adalah membayar uang angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut. Dengan membayar uang angkutan tersebut, pengirim atau penumpang diberi alat bukti berupa karcir atau tiket. Menurut sistem hukum Indonesia, “pembuatan perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persetujuan kehendak (consensus}”.25 Ini merupakan prinsip yang bersifat keperdataan dalam pengangkutan dengan kereta api adalah prinsip konsensualisme, kesepakatan kehendak, dan terjadi karena kebebasan berkontrak, serta prinsip keseimbangan atau proporsional

24 ? H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pengang-kutan, Jilid 3, Djambatan, Jakarta, 1995, hlm 225 ? Ibid., hlm. 10

para pihak dalam perjanjian pengangkutan dengan kereta api, Pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik, menyangkut kewajiban dan hak para pihak, yang dilakukan dengan prinsip proporsional (prinsip keseimbangan), merupakan prinsip bahwa harus ada keseimbangan tertentu antara penimbulan kerugian dari tata hukum dan pembela- annya terhadap itu oleh tata hukum itu. Dalam penyelenggaraan angkutan kereta api, sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 bahwa “penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis”. Karcis sesuai ayat (3) merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang”. Dalam penjelasan ayat (3) tersebut dinyatakan bahwa ‘yang dimaksud dengan “karcis” adalah tanda bukti pembayaran pengguna jasa yang berbentuk lembaran kertas, karton, atau tiket elektronik”. Dalam penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, penyelenggara sarana perkeretaapian salah satunya wajib mrngumumksn jadwal perjalanan kereta api dan tariff angkutan kepada masyarakat. Pengumuman jadwal dan tariff angkutan kepada masyarakat dapat dilakukan di stasiun atau media cetak atau elektronik sebagaimana telah diatur dalam Pasal 133. Transaksi pada umumnya berkaitan dengan perjanjian jual beli antar para pihak yang bersepakat untuk itu. Dalam kamus Bahasa Indonesia, transaaksi diartikan sebagai “persetujuan jual beli (dalam perdagangan) antara dua pihak; pelunasan (pemberesan) pembayaran (seperti dalam bank)”.26Dalam istilah Belanda, kata transaksi adalah “transactie”, berarti “pada umunta adalah perjanjian (overeens-komst), perbuatan (hukum) dalam perkara perdata atau penyelesaian secara damai”.27Dalam lingkup hukum, transaksi adalah “keberadaan suatu perikatan ataupun hubungan hukum yang terjadi antara para pihak”.28 Dengan demikian, berkaitan dengan transaksi, yang dibahas berhubungan dengan aspek materiil hubungan hukum yang disepakati oleh para

26 ? Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., hlm 107027 ? N. Algra et. al., Op. Cit., hlm. 576 28 ? Edmon Makarim, Op. Cit., hlm. 202

Page 11: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

pihak yang berkaitan dengan perjanjian, khususnya mengenai jual beli. Menurut R. Subekti menyatakan bahwa “jual beli (menurut BW) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut”.29 Dalam Pasal 1457 KUH Perdata dinyatakan bahwa “jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”. Dengan demikian, unsure pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dan adanya penjual dan pembeli. Berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata ini dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa perjanjian jual-beli itu adalah perjanjian timbal-balik, artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban sebagai akibat perjanjian yang diperbuat. Dengan demikian, pihak penjual wajib menyerahkan barang yang telah dijualnya dan sekaligus ia berhak pula atas pembayaran yang diberikan pihak pembeli. Sedangkan bagi pihak pembeli wajib membayar harga barang yang diserahkan oleh pihak penjual tadi. Perjanjian jual-beli ini terjadi sejak ada kata sepakat mengenai barang dan harga. Jadi, dengan lahirnya kata sepakat maka lahirnya perjanjian itu dan sekaligus pada saat itu menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Barang yang diperjanjikan belum pindah hak miliknya sebelum dilakukan penyerahan/lavering. Pembayaran harga barang dalam jual-beli cara yang dilakukan tidak ditentukan undang-undang. Sedangkan dapat dibayar secara tunai ataupun secara kredit dalam hal ini tergantung ketentuan perjanjian yang dibuat oleh masing-masing pihak. Jual beli terjadi setelah para pihak sepakat tentang benda dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. R. Subekti menyatakan bahwa “perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik

29 ? R. Subekti, Op. Cit., hlm. 1

tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah”.30Dalam Pasal 1458 KUH Perdata dinyatakan bahwa “jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Mendasarkan pada pengertian dan terjadinya perjanjian jual beli tersebut di atas, maka dalam jual beli terdapat prinsip konsensualisme. Jual beli terjadi karena “adanya konsesnsus antara penjual dan pembeli mengenai benda dan harganya.. Kesepakatan tercapai karena adanya kesesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak bertemu dalam sepakat tersebut”.31 Artinya bahwa dalam jual beli menganut asas (prinsip) konsensus (sepakat). Dengan adanya atau terjadinya konsensus, maka perjanjian jual beli sudah jadi dan mengikat bagi para pihak. Asas atau prinsip konsensualisme tersebut sebagaimana terdapat dalam perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Transaksi berkaitan dengan perbuatan hukum dalam perjanjian, sehingga ketentuan peraturan yang berkaitan dengan perikatan, khususnya perjanjian yang berkaitan baik dengan semua media kertas (paper based) maupun dengan media elektronika (electronic based). Transaksi dengan menggunakan media elektronika merupakan perkembangan baru akibat era globalisasi dalam perdagangan yang dikenal dengan sebutan e-commerce (electronic commerce). Electronis commerce (e-commerce) keberadaannya baru tahun 1996, yang diatur dalam UNCITRAL Model Law On Electronic Commerce with Guide to Enactment. Richard Hill dan Walden Lan memberikan definisi electronic commerce on be defined as commercial activities conducted through on exchange of information generated, stored, or communicated by electronical, optical, or 30 ? Ibid., hlm. 231 ? Ibid., hlm. 3

Page 12: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

analogues means, including EDI, E-mail, and so forth”.32 Selain itu, Nabil R. Adam et. al., memberikan definisi “electronic commerce my be defined as the entire of process that support commercial activities on a network and involve information analysis”.33EDI merupakan singkatan dari Electronic Data Interchange. Dalam Article 2 (b) UNCI-TRAL dinyatakan “”electronic data interchange (EDI) means the electronic transfer from computer to computer of information using an agreed standard to structure the information”. UNCITRAL singkatan dari United Nations Commission on International Trade, sebagai salah satu badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang bergerak dalam bidang perdagangan internasional. UNCITRAL pada tahun 1996 melakukan upaya merumuskan model hukum dalam electronics commerce. Model hukum yang diper- siapkan oleh UNCITRAL untuk merespon dan mengantisipasi terhadap teknik-teknik bisnis modern dengan menggunakan komunikasi elektronik yang berbasiskan internet. Di Indonesia, transaksi elektronik baru diatur dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika, yang disahkan pada tanggal 21 April 2008, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843. Dengan demikian, jelas bahwa dalam pengaturan mengenai transaksi melalui elektronika, peraturan perundangan mengenai hal tersebut ketinggalan selama 12 (dua belas) tahun. Transaksi melalui elektronika dalam jual beli barang dan jasa, baru kurang lebih 5 (tahun) marak atau ramai dilaksanakan dalam praktek. Transaksi tiket kereta api melalui media elektronika (media online) baru berjalan kuranglebih dalam 1 (satu) tahun.

32 ? Richard Hill and Walden Lan, The Deals UNCITRAL, Model Law for Electronic Commerce, Issue and Solutions (Teaching Materials), March, 1996, dalam Edmon Makarim,, Op. Cit., hlm. 22433 ? Nabil R. Adam, et. al., Electronic Commerce : Technical, Business, and Legal Issues, New Jersey : Prentise-Hill Inc, 1, dalam Edmon Makarim, Op. Cit., hlm 225

Transaksi melalui media elektronik merupakan hubungan hukum antar para pihak yang dilakukan dengan cara saling bertukar informasi (electronic data interchange) untuk mmelakukan perdagangan. Transaksi perdagangan melalui media elektronik penekanannya pada informasi yang disampaikan antar para pihak yang dijadikan dasar untuk terjadinya transaksi baru dapat dikatakan mengikat, apabila ia dijamin validitasnya melalui saluran ataupun sistem komunikasi yang aman. Prinsip validitas dan aman, ini terletak pada jaminan komponen dalam sistem informasi tersebut berjalan baik, yang mencakup keberadaan sistem hardware, software, brainware, procedures, dan data. Transaksi melalui media elektronik merupakan “sistem transaksi bentuk keterpaduan antara sistem manuasia dengan komputernya, di mana keberadaan sistem informasi tersebut harus dijamin sebagai “suatu sistem yang “black box”, di mana bekerja dengan asas “Garbage In Garbage Out”.34

Online contract merupakan perikatan dan/atau perjanjian melalui electronika. On line contract merupakan “hubungan hukum para pihak yang dilakukan secara elektronika dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan computer (computer based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommu-nication based)”.35 Hubungan hukum yang demikian ini selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan computer global internet (network of network). Oleh karena itu, “syarat sahnya perjanjian juga akan tergantung kepada esensi dari sistem elektronik itu sendiri”.36

Sehingga, ia hanya dapat dikatakan sah bila dapat dijamin bahwa semua komponen dalam sistem elektronik itu dapat dipercaya dan/atau berjalan sebagaimana mestinya”. Transaksi tiket kereta api melalui media elektronik atau media online merupakan suatu perjanjian jual beli, yang sama dengan perjanjian jual beli konvensional, sebagaimana diatur dalam Buku III tentang Perikatan. Prinsip-prinsip 34 ? Edmon Makarim, Op. Cit., hlm 22335 ? Ibid.,36 ? Ibid.,

Page 13: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

yang dalam transaksi tiket kereta api melalui media elektronik atau media online adalah hampir sama dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam perjanjian, dan ditambah adanya prinsip valid dan kepercayaan sistem electronic yang digunakan agar dijamin aman. Timbulnya prinsip tersebut, karena media yang digunakan dalam transaksi melalui on line atau media elektronik, yaitu, internet, sehingga kesepakatan yang tercipta atau perjanjian yang tercipta melalui on line. Prinsip konsenualisme transaksi tiket kereta api melalui media on line timbul karena adanya penawaran dan penerimaan. Penawaran dan penerimaan tersebut merupakan awal adanya kesepakatan. Penawaran tiket kereta api dilakukan oleh P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) yang bekerja sama dengan badan usaha lainnya (vendor) melakukan penjualan tiket kereta api melalui media electronic (media online). P.T. Kereta Api Indonesia (Persero) merupakan merchant atau produsen/penjual yang bekerja sama dengan badan usaha lain (sebagai agent/distributor penjual tiket kereta api) yang menjual tiketnya kepada konsumen dengan menggunakan atau memanfaatkan sarana website dalam menjual tiket. Penawaran atau penjualan tiket tersebut terbuka bagi semua orang (konsumen). Semua orang (konsumen) yang membutuhkan tiket kereta api dapat melakukan window shopping di took toko online, dan apabila terdapat konsumen yang membutuhkan dan tertarik dapat melakukan transaksi. Dari transaksi tersebut, prinsip yang ada dalam transaksi tiket kereta api melalui media elektronika adalah transparan, kepercayaan, dan konsensualisme.

UPAYA HUKUM KONSUMEN AKIBAT P.T. KERETA API

INDONESIA WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI TIKET KERETA API

MELALUI MEDIA ONLINE

Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Tiket Kereta Api Melalui Media OnLine

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normative, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normative karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah. Hukum bertugas “menciptakan kepastian hukum, karena bertujuan ketertiban masyarakat. Pelaksanaan dan penegakan hukum harus memberi manfaat dan/atau kegunaan masyarakat. Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum harus adil”.37 Soerjono Soekanto, memberikan cirri-ciri hukum bahwa “ hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan di antara kepentingan- kepentingan yang terdapat dalam masyarakat, hukum mengatur perbuatan manusia secara lahiriah; dan hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat sebagai badan pelaksana hukum “.38 Perlindungan hukum berkaitan dengan perlindungan hak. Hak ini bertumpu dan bersumber dari konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Allen merumuskan “ hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya “.39 Jhering memberikan definisi hak itu adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Holland melihat “ hak itu sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi “.40

Pengertian perlindungan hukum bagi konsumen berkaitan dengan rumusan terhadap perlindungan konsumen. Istilah konsumen mengandung pengertian setiap orang pengguna atau pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen secara yuridis, diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 37 ? Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hlm.238 ? Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 75.39 ? Ibid.,40 ? Ibid.,

Page 14: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999) dinyatakan bahwa “ konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan “. Secara spesifik, pengertian konsumen dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 menyatakan : “ Di dalam kepustakaan ekonomi

dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses pruduksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir “.

Norma-norma perlindungan terhadap konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam Pasal 1 angka 1 tentang pengertian perlindungan konsumen, adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Perlindungan konsumen berarti menjamin adanya kepastian hukum, merupakan benteng bagi konsumen untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang dari pengusaha/pelaku usaha yang merugikan konsumen. Perlindungan konsumen berkaitan dengan norma-norma atau asas-asas yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen. Prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen terdapat dalam ketentuan Pasal 2 dinyatakan bahwa “perlindungan berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa perlindungan konsumen diseleng-garakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara menyeluruh.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal sehingga konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut bila diperhatikan isinya dapat dibagi menjadi tiga asas yaitu:, asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan dan asas kepastian hukum41. Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 3 untuk ::

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan

41 ? Ahmadi dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 26.

Page 15: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.

Tujuan perlindungan konsumen yang ada tersebut adalah sasaran akhir yang harus dicapai dalam melaksanakan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Perlindungan hukum berkaitan dengan hak. Perlindungan hukum bagi konsumen berarti perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Perlindungan terhadap hak-hak konsumen berarti menyangkut upaya hukum bagi konsumen apabila hak-hak konsumen dilanggar, sehingga hal ini berkaitan dengan masalah claim (tuntutan). Hak-hak konsumen diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 undang-undang ini mengatur dan merinci hak-hak konsumen, yaitu :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Adanya suatu hak tentunya terdapat juga kewajiban, begitu juga adanya hak konsumen, tentunya terdapat kewajiban konsumen. Kewajiban konsumen dirinci dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 meliputi :a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak dan kewajiban konsumen tersebut berkaitan dengan konsumen pengguna jasa angkutan kereta api. Hak dan kewajiban berkaitan dengan kereta api diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkerataapian. Kedudukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai peraturan yang umum, yang dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 undang-undang ini adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa transaksi tiket kereta api berkaitan dengan perjanjian jual beli, di mana terdapat perbuatan yang dinamakan menjual, dan terdapat pihak yang dinamakan membeli. Pihak yang menjual (penjual) adalah P.T. Kereta Api Indonesia, sedangkan pihak yang membeli (pembeli) adalah masyarakat atau yang dinamakan konsumen. Objek yang dijadikan transaksi adalah jasa pelayanan angkutan melalui kereta api, yang

Page 16: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

diselenggarakan oleh P.T. Kereta Api Indonesia (selaku pelaku usaha), sedangkan masyarakat selaku konsumen sebagai pengguna jasa angkutan melalui kereta api, sampai ke tempat tujuan tertentu, dengan membayar sejumlah uang tertentu sesuai yang disepakti dengan pelaku usaha (P.T. Kereta Api). Dengan demikian, dalam hal tersebut prinsip kesepakatan (konsen-sualisme) dilaksanakan dalam transaksi tiket kereta api antara pelaku usaha (P.T. Kereta Api Indonesia) dengan masyarakat pengguna kereta api (konsumen). Prinsip konsensualisme itu terdapat dalam transaksi tiket kereta api sebagai salah satu bentuk perjanjian dalam jual beli. Prinsip konsensualisme jual beli tiket kereta api tersebut secara umum ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Prinsip konsensualisme tersebut merupakan syarat sahnya suatu perjanjian yang secara umum terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat sahnya perjanjian, yang unsure-unsurnya terdiri dari 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) suatu hal tertentu; dan 4) suatu sebab yang halal. Pernyataan sepakat tersebut “dinyatakan oleh ke dua belah pihak dengan mengucapkan setuju atau dengan bersama-sama nenaruh tanda tangan di bawah pernyataan tertulis sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera dalam tulisan itu”,42Oleh karena itu, dalam transaksi tiket kereta api bilamana sudah mencapai kesepakatan, maka sahlah sudah transaksi tiket kereta api antara P.T. Kereta Api Indonesia dengan konsumen, dan mengikat atau berlaku sebagai undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana dinyatakan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Dalam transaksi jual beli dengan menggunakan komunikasi teknologi (media on line) keberadaan transaksi dipahami sebagai suatu perikatan atau perjanjian, dan/atau sebagai hubungan hukum antar 42 ? R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 5

pihak yang dilakukan dengan cara bertukar informasi. Informasi yang disampaikan dijadikan dasar untuk terjadinya transaksi, seperti halnya dalam transaksi tiket kereta api melalui media online. Terjadinya kesepakatan dalam transaksi tiket kereta api melalui on line diawali dengan adanya penawaran oleh P.T. Kereta Api Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak lain, maka akan terjadi transaksi atau kesepakatan. Kesepakatan dalam perjanjian tersebut tidak diberikan secara langsung (tatap muka), melainkan melalui media elektronik (media online), dalam hal ini adalah melalui internet. Sahnya perjanjian dalam jual beli atau transaksi tiket kereta api antara penjual (P.T. Kereta Api Indonesia) dengan pembeli (konsumen), menimbulkan atau melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban P.T. Kereta Api Indonesia adalah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang sampai ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Kewajiban P.T. Kereta Api Indonesia berkewajiban mengangkut barang dan/atau orang sesuai dengan tujuan yang diberikan sesuai dengan kesepakatan. P.T. Kereta Api Indonesia berkewajiban mengangkut penumpang dan/atau barang yang telah memenuhi syarat umum angkutan. Kewajiban pokok P.T. Kereta Api Indonesia mengangkut penumpang dan/atau barang serta menerbitkan dokumen angkutan sebagai imbalan haknya memperoleh pembayaran biaya angkutan. Kewajiban P.T. Kereta Api Indonesia sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian mengadakan pengangkutan orang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan kereta sebagaimana diatur dalam Pasal 130 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkerataapian. Dalam keadaan tertentu P.T. Kereta Api Indonesia sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian dapat melakukan pengangkutan orang dengan menggunakan gerbong atas persetujuan pemerintah atau pemerintah daerah. Keadaan tertentu dimaksud adalah dalam keadaan darurat, bencana alam, atau jumlah orang yang jauh di atas jumlah rata-rata orang yang diangkut dan tidak tersedia kereta pada saat itu sesuai ketentuan Pasal 130 ayat (2). P.T.

Page 17: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

Kereta Api Indonesia wajib memperhatikan keselamatan dan fasilitas minimal sebagaimana ditentukan oleh Pasal 130 ayat (3). Fasilitas minimal pelayanan penumpang antara lain tempat duduk, lampu penerangan, kipas angin dan sekarang hampir semua menggunakan AC, dan toilet, dan bahkan sekarang bebas dari pedagang asongan. Kewajiban P.T. Kereta Api Indonesia sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007. Fasilitas khusus tersebut dapat berupa pembuatan jalan khusus di stasiun dan sarana khusus untuk naik kereta api atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengang-kutannya mengharuskan dalam posisi tidur. Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan tersebut, tidak dipungut biaya tambahan. Hak P.T. Kereta Api Indonesia berkaitan dengan pengangkutan barang dan/atau orang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 90 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 adalah menerima pembayaran dari penggunaan prasarana perkeretaapian. Dengan demikian, P.T. Kereta Api Indonesia dalam penyelenggaraan sarana perkeretaapian, wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 132 ayat (1). Karcis adalah tanda bukti pembayaran pengguna jasa yang berbentuk lembaran kertas, karton, atau tiket elektronik. Karci merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang sebagaiman dinyatakan dalam Pasal 132 ayat (3). P.T. Kereta Api Indonesia sebagai penyelenggara sarana kereta api, selain mempunyai hak dan kewajiban, juga mempunyai kewenangan. Kewenangan P.T. Kereta Api Indonesia sebagai ditentukan Pasal 136 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 meliputi : a. memeriksa karcis; menindak pengguna jasa yang tidak mempunyai karcis; c. menertibkan pengguna jasa kereta api atau masyarakat

yang mengganggu perjalanan kereta api, dan d. melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap masyarakat yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap perjalanan kereta api. P.T. Kereta Api Indonesia berwenang melakukan penindakan terhadap pengguna jasa yang tidak memiliki karcis dengan melakukan denda atau menurunkan penumpang di stasiun terdekat. P.T. Kereta Api Indonesia berwenang melakukan penertiban terhadap pengguna jasa atau masyarakat dilakukan bersama-sama dengan aparat keamanan. Kewajiban konsumen sebagai pengguna jasa kereta api adalah membayar uang angkutan sesuai yang ditentukan dalam kesepakatan. Kewajiban konsumen membayar uang angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan oleh P.T. Kereta Api Indonesia. Kewajiban tersebut dibuktikan dengan telah memiliki karcis, sebagai tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang. Dengan melaksanakan kewajiban tersebut, maka konsumen berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 132 ayat (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2007. Perlindungan hukum konsumen berkaitan dengan transaksi tiket kereta api melalui online diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Transaksi tiket kereta api melalui media online merupakan perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan computer, jaringan computer dan/atau media elektronik lainnya. Transaksi tiket kereta api melalui media on line merupakan perjanjian antara penumpang (konsumen) dengan pengangkut (P.T. Kereta Api) yang dibuat melalui sistem elektronik. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau tiket kereta api elektronik dan/atau hasil cetaknya, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia sebagaimana dinyatak dalam Pasal 5 ayat (2).

Page 18: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

Perlindungan konsumen transaksi tiket kereta api melalui media online berkaitan dengan kepastian dalam melakukan upaya hukum apabila konsumen dirugikan. Kepastian upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dinyatakan “setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian”. Perlindungan hukum konsumen dalam transaksi tiket kereta api melalui media online telah dijamin kepastian hukumnya berdasatrkan ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008. Dalam ketentuan pasal tersebut, diatur mengenai upaya hukum dengan mengajukan gugatan. Berkaitan dengan upaya hukum bagi konsumen dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa “pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Yang dimaksud konsumen sebagaimana Pasal 1 ayat (2) adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Dalam penjelasan pasal tersebut, pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Di sisi lain, dinyatakan “konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya”. Gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (1), dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dalam pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2). Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Di samping itu,

pemberian ganti rugi, tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidan berdasatrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (4). Perlindungan konsumen berkaitan dengan upaya hukum akibat kerugian konsumen dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line, telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2008 juncto Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 sebagaimana diurakan di atas. Kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa akibat kerugian konsumen ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 tahun 1999 dinyatakan “setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Lembaga penyelresaian sengketa konsumen tersebut, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atau tuntutan konsumen, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen adalah melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 52 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen dalam upaya hukum akibat kerugian yang diderita dalam transaksi tiket kereta api melalui media online tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Dengan tidak diaturnya upaya hukum tersebut, maka undang-undang tersebut tidak menjamin adanya kepastian hukum terhadap perlindungan konsumen. Oleh karena itu, agar kepastian hukum yang menjamin perlindungan hukum dalam upaya hukum, walaupun tidak diatur dalam

Page 19: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

Undang-Undang Nomr 23 Tahun 2007, namun kepastian hukum dalam perlindungan konsumen dalam upaya hukum dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Kedudukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

Tanggung Gugat P.T. Kereta Api Akibat Wanprestasi Dalam Transaksi Tiket Kereta Api Melalui Media OnLine

Transaksi tiket kereta api melalui media on line merupakan perkembangan dari hukum perjanjian, khususnya dengan pembuktian. Transaksi tiket melalui media online, merupakan perjanjian jual beli dengan menggunakan media elektronik. Prinsip dalam perjanjian dalam transaksi tiket kereta api melalui media online, berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, yaitu, menepati perjanjian. Menurut M. Yahya Harahap menepati /naming berarti “memenuhi isi perjanjian, atau dalam arti yang lebih tinggi melunasi (betaling) pelaksanaan perjanjian”.43 Di sisi lain, beliau mengatakan bahwa “maksud inilah tujuan dari setiap perjanjian, yaitu, memenuhi dengan sempurna segala isi, tujuan dari ketentuan sesuai dengan kehendak yang telah disetujui oleh para pihak:”.44

Tiket kereta api (karcis) diperoleh oleh konsumen dengan persetujuan dengan P.T. Kereta Api. Tiket kereta api merupakan dokumen perjanjian, baik berupa karcis atau dokumen elektronik, yang dibeli melalui media on line. Alat bukti yang demikian ini merupakan “contract binding”. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa setiap persetujuan mempunyai kekuatan undang-undang, bagi kedua belah pihak dan tidak dapat dicabut secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata bahwa “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau 43 ? M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5144 ? Ibid.,

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line, konsumen telah melaksanakan kewajibannya dengan membayar sejumlah uang yang telah disepakati sebagai ongkos angkutan melalui kereta api. Di sisi lain, P.T. Kereta Api telah menerima haknya dari konsumen (penumpang), dan tinggal melaksanakan kewajibannya mengangkut konsumen sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Artinya, P.T, Kereta Api wajib melaksanakan atau memenuhi perjanjian dengan baik sesuai dengan prestasi yang telah disepakati. Kewajiban P.T. Kereta Api wajib dilaksanakan sebagaimana ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata dinyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Konsumen tinggal menunggu haknya saja setelah dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line, karena kewajibannya telah dilaksanakan. Di sisi lain, P.T, Kereta Api harus melaksanakan atau memenuhi prestasi kepada konsumen, karena telah menerima haknya dari konsumen berupa uang atau ongkos angkutan dengan alat bukti berupa tiket atau karcis kereta api. Kewajiban P.T. Kereta Api, diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Kewajiban P.T. Kereta Api sebagaimana diatur oleh Pasal 132 ayat (1) Undang- Undang Nomr 23 Tahun 2007 adalah mengangkut orang (konsumen) yang telah memiliki karcis. Karcis tersebut merupakan tanda bukti pembayaran pengguna jasa yang berbentuk lembaran kertas, karton atau tiket elektronik. Informasi elektronika dan/atau dokumen elektronika dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika. Informasi elektronika dan/atau dokumen elektronika dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2). Informasi dan dokumen elektronika tersebut merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagaimana

Page 20: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

diatur dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 1868 KUH Perdata, di mana alat-alat bukti dalam hukum acara perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Tanggung gugat P.T. Kereta Api akibat wanprestasi, diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007. Dalam Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini dinyatakan bahwa “apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang telah membeli karcis”. Ganti rugi tersebut, dalam KUH Perdata diatur Pasal 1243 menyatakan bahwa : ‘Pergantian biaya, rugi dan bunga

karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Tanggung gugat P.T. Kereta Api dilaksanakan setelah dinyatakan lalai. Kelalaian tersebut berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya yang dinamakan dengan “wanprestasi”. Pembatan pemberangkatan kereta api merupakan bentuk wanprestasi. P.T. Kereta api dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian pengangkutan orang dengan kereta api, telah lalai, sehingga dibatalkan, dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya atau selayaknya. PT. Kereta api yang wanprestasi, tidak perlu ada teguran dari konsumen (penumpang) akibat pembatalan keberangkatan kereta api, tetapi justru P.T. Kereta api yang mengumumkan kepada konsumen (pengguna jasa kereta api). Kewajiban tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 200t dinyatakan “penyelenggara sarana perkeretaapian wajib

mengumumkan kepada pengguna jasa apabila terjadi pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan kedatangan, atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasannya”. Tanggung gugat P.T. Kereta api diatur juga dalam Pasal 134 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 menyatakan bahwa apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan yang disepakati, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib a. menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai ke stasiun tujuan, atau b. memberikan ganti kerugian senilai harga karcis. P.T. Kereta api dapat membatalkan perjalanan kereta api dalam keadaan tertentu, apabila terdapat hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan, ketertibanm dan kepentingan umum sebagaima seperti diatur dalam Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007. Hal-hal yang membahayakan keselamatan, ketertiban dan kepentingan umum bersumber pada sarana perkeretaapian dan di luar sarana perkeretaapian. Bersumber pada sarana perkeretaapian misalnya kondisi kereta api diragukan kelaikannya dioperasikan. Bersumber di luar sarana perkeretapian misalnya jalur longsor dan ancaman teror. Berdasarkan ketentuan Pasal 163 HIR tersebut, konsumen hanya membuktikan mempunyai karcis atau tiket atau dokumen tiket melalui media on line saja, yang akan mendapatkan ganti kerugian dari P.T. Kereta Api, apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api. Begitu juga sebaliknya, apabila konsumen atau penumpang yang memiliki atau membeli karcis membatalkan keberangkatan sebelum batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan melapor kepada P.T. Kereta Api, akan mendapat pengembalian sebesar 75 % (tujuh puluh lima persen) dari harga karcis sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 134 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007. Batas waktu melapor pembatalan adalah 30 (tiga puluh) menit sebelum keberangkatan. Sebaliknya, apabila konsumen atau penumpang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan dan sampai dengan batas waktu

Page 21: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

keberangkatan sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada P.T. Kereta Api, maka konsumen atau penumpang tersebut tidak mendapat penggantian biaya karcis seperti ditentukan dalam Pasal 134 ayat (2). Tanggung gugat P.T. Kerta Api lainnya apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan yang disepakati, P.T. Kereta Api wajib menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan, atau memberikan ganti kerugian senilai harga karcis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 134 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007. Prinsip pembuktian yang terdapat dalam ketentuan tersebut adalah strict liability merupakan “prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung gugat yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataanya ada atau tidak”. Prinsip strict liability merupakan prinsip pembuktian terbalik, bukan konsumen atau penumpang yang wajib membuktikan, tetapi P.T. Kereta Api yang wajib membuktikan bahwa perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai ke tempat tujuan yang disepakati. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkertaapian tidak diatur mengenai beban pembuktian yang dikenal dengan prinsip strict liability, atau beban pembuktian terbalik. Beban pembuktian terbalik tersebut diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi hukum bahwa PT. Kereta Api sebagai pelaku usaha yang dapat membuktikan kerugian bukan merupakan kesalahannya terbebas dari tanggung jawab ganti kerugian. OIeh karena itu, ada tidaknya hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat

melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan yang disepakti adalah P.T. Kereta Api, bukan konsumen atau penumpang. Dalam Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 dinyatakan bahwa penyelenggara sarana perkeretaapian dalam keadaan tertentu dapat membatalkan perjalanan kereta api apabila terdapat hal-hal yang dapat membahaya-kan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan manusia, baik yang bersumber dari sarana perkeretaapian atau di luar sarana perkeretaapian. Pasal ini mengatur tentang keadaan memaksa (force majour). Ketentuan ini sebenarnyya melahirkan prinsip bahwa ada atau tidaknya kesalahan dari P.T. Kereta Api, ia tetap bertanggung jawab terhadap keselamatan, ketertiban dan kepentingan manusia. Namun, dalam ketentuan pasal tersebut tidak diatur bahwa apabila terjadi pembatalan tersebut kompensasi yang harus ditanggung oleh P.T. Kereta Api kepada konsumen/ penumpang dalam bentuk apa, hal tersebut tidak diatur. Oleh karena itu, dalam penjelasan harus ditegaskan apabila terjadi pembatalan perjalanan kereta api yang dilakukan oleh P.T. Kereta Api, maka sesuai ketentuan Pasal 134 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2007, wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang telah membeli karcis. Permasalahannya adalah apabila konsumen atau penumpang yang telah menunggu di ruang tunggu keberangkatan kereta api, kemudian terjadi keterlambatan pemberangkatan kereta selama dua sampai dengan empat jam, tanggung jawab P.T. Kereta Api mengenai hal tersebut tidak diatur, misalnya diberi snak (makanan ringan atau makan). Oleh karena itu, mengenai hal tersebut perlu diatur dalam peraturan pelaksanaan lainnya agar lebih melindungi konsumen atau penumpang, dan meningkatkan P.T. Kereta Api dalam bertanggung jawab dan kehati- hatian dalam penyelenggaraan perkeretaapian.

Kesimpulan 1. Prinsip kontrak dalam transasksi tiket

kereta api melalui on line, tetap bertumpu dan berpijak pada prinsip-prinsip dalam hukum perjanjian yang tetrdapat dan diatur dalam Bukum III tentang Perikatan KUH

Page 22: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),

Perdata, yan fundamental dalam prinsip-prinsip kontrak tiket kereta api melingkupi prinsip kebebasan berkontrak, prinsip konsensualisme, dan prinsip kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip lain di luar dari prinsip-prinsip tersebut seperti prinsip transparansi, prinsip keseimbangan (proporsionalitas), prinsip kepastian hukum, prinsip kepercayaan, dan prinsip itikad baik (prinsip moral). Prinsip-prinsip tersebut berlaku dalam kontrak dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line, karena kontrak tersebut dilakukan dengan menggunakan elektronik, yang dinamakan kontrak elektronik yang merupakan perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.

2. Dalam transaksi tiket kereta api melalui media on line, apabila P.T, Kereta Api wanprestasi, terdapat kepastian hukum yang menjamin terhadap hak-hak konsumen yang dirugikan. Upaya hukum yang dilakukan dapat dilakukan melalui gugatan melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan, yang beban pembuktian dilakukan oleh pelaku usaha (P.T. Kereta Api). Jaminan kepastian hukum dalam hal P.T. Kereta Api wanprestasi, wajib bertanggung gugat mengganti biaya yang telah dibayar oleh konsumen yang telah membeli karcis dan/atau menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan, Tanggung gugat wanprestasi P.T. Kereta Api apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api dan apabila terjadi hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun yang disepakati.

Saran 1. Dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

belum terdapat ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa antara konsumen atau penumpang atau pengirim barang, sehingga perlu aturan tersendiri berupa peraturan pelaksana undang-undang tersebut, yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa antara konsumen atau penumpang atau pengirim barang dengan P.T. Kereta Api sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian.

2. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapin, belum mengatur mekanisme pergantian pemberian ganti rugi. Hal tersebut diperlukan pengaturannya, karena dalam transaksi tiket kereta api media online, pelaksanaannya ada yang dilakukan tidak secara langsung dengan P.T. Kereta Api, tetapi dapat melalui pelaku-pelaku usaha yang ditunjuk atau kerja sama dengan P.T. Kereta Api.

Page 23: karyailmiah.narotama.ac.idkaryailmiah.narotama.ac.id/files/PENELITIAN DAN PENULISAN... · Web viewPermasalahan : Latar Belakang dan Rumusannya P.T. Kereta Api Indonesia (persero),