Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta ...

63

Transcript of Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta ...

Dampak Penghapusan Subsidi BBM di WilayahDKI Jakarta, Indonesia

Makalah Diskusi Final

Program Dukungan Rendah Karbon untuk Kementerian Keuangan, Indonesia

                                                                                            

  

Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Makalah Diskusi Final

 

 

 

 

 

 

April, 2015

Low Carbon Support to Ministry of Finance, Indonesia

Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia i 

 

Kata Pengantar

Makalah ini disusun oleh Dr. Kodrat Wibowo dari Universitas Padjajaran sebagai sub-konsultan dari Program Rendah Karbon dukungan pemerintah Inggris kepada Departemen Keuangan Indonesia (Low Carbon Support, LCS). Penyusunan makalah ini terlaksana sebagai hasil dari kerjasama dan bantuan dari Pusat Perubahan Iklim dan Kebijakan Pembiayaan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Syurkani Ishak Kasim sebagai Direktur, Dr. Syaifullah dan Bp Suharto Haryo Suwakhyo dari bidang pengawasan manajemen, dan mitra utama Bapak Bara Ampera didukung anggota tim: Adisti dan Vina Damayanti serta dukungan awal dan bimbingan dari Dr. Joko Tri Haryanto. Kami sangat menghargai seluruh dukungan yang kuat dan keterlibatan pejabat PKPPIM dalam melakukan penelitian ini. Manajemen dari pelaksanaan studi ini dikordinasikan oleh Bapak Paul Butarbutar dari LCS.

Disclaimer

Makalah ini disiapkan oleh Program Rendah Karbon dukungan pemerintah Inggris kepada Departemen Keuangan Indonesia (LCS) dengan tujuan pengembangan dan diskusi kebijakan. Pandangan yang disampaikan dalam makalah ini adalah murni berasal dari penulis dan sama sekali tidak harus ditafsirkan sebagai cerminan dan pandangan dari Kementerian Keuangan secara khusus atau Pemerintah Indonesia secara umum.

Peratanyaan Mengenai Makalah Ini

Setiap pertanyaan mengenai makalah ini atau laporan lain dari Program LCS dapat ditujukan langsung kepada [email protected].

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia ii  

AKRONIM

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BIA Benefit Incidence Analysis BKF Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu BKTB Bus Kota Terintegrasi Busway BRT bus rapid transit PKB Pajak Kendaraan Bermotor CO Karbon Monoksida FPL Garis Kemiskinan Makanan (Food poverty line) PDRB Pendapatan Domestik Regional Bruto GRK Gas Rumah Kaca (Green-House Gases) HC Hydrocarbons IPM Indeks Pembangunan Manusia IO Tabel Input – Output Kl kilo-liter LCS Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance Indonesia TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Juta kl Juta kilo-liter Kemenkeu Kementrian Keuangan, RI MoM month on month MRT mass rapid transit MTI Masyarakat Transportasi Indonesia NFPL Garis Kemiskinan Non-Makanan (non-food poverty line) NJKB Nilai Jual Kendaraan Bermotor NOX Nitrogen Oksida PKPPIM Pusat Perubahan Iklim dan Kebijakan Pembiayaan Multilateral, BKF,

Kemenkeu PL Garis Kemiskinan (poverty line) PM Senyawa Partikel (Particulate matter) PSO Public Service Obligation PSU Primary Sampling Unit Rp Rupiah SIM Surat Izin Mengemudi SO2 Sulfur Dioksida SUSENAS Survey Sosial Ekonomi Nasional TDL Tarif Dasar Listrik TNKB Tanda Nomor Kendaraan Bermotor USU Ultimate sampling unit YoY Year on Year

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia iii  

Ringkasan Eksekutif

Makalah (Laporan Akhir) berjudul "Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah Jakarta, Indonesia" menganalisis dampak dari usulan pengurangan dan penghapusan subsidi BBM di wilayah Jakarta terhadap biaya hidup dan daya beli masyarakatnya, terutama mereka yang berada pada Kelompok Berpendapatan Rendah. Laporan ini bertujuan untuk membantu pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam mengembangkan program-program yang sesuai guna mendukung mereka yang akan menanggung dampak negatif dari pengurangan atau penghapusan subsidi BBM. Selain itu, studi ini akan mengestimasi pula potensi penurunan beban subsidi BBM pada APBN dan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai dampak dari pelaksanaan kebijakan untuk menghapus subsidi.

Akhir-akhir ini sektor energi nasional terus menghadapi tantangan dalam penggunaan bahan bakar berbasis fosil karena meningkatnya tren yang kuat dalam konsumsi energi, terutama untuk keperluan transportasi dan mobilitas penduduk di wilayah Jakarta. Pada saat yang sama, produksi minyak bumi dalam negeri masih belum bisa memenuhi permintaan energi ini, terlebih lagi, kapasitas jalan di Jakarta telah mencapai titik jenuh, belum lagi ditambah dengan masalah polusi dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan tingkat kemacetan akut yang mengkhawatirkan.

Sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah pusat telah mengembangkan kebijakan untuk mengurangi dan bahkan lebih jauh lagi menghapuskan subsidi pada jenis bahan bakar utama seperti bensin dan solar. Namun, disadari bahwa dampak negatif dari kebijakan tersebut akan ditanggung oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya, terutama mereka yang berada dalam kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

Pemerintah Jakarta pada akhir 2013 dan awal 2014 telah mengusulkan kebijakan pengurangan sebagian atau menghapus seluruh subsidi BBM di wilayah Jakarta, dalam rangka mendorong tingkat penggunaan angkutan umum yang lebih tinggi. Dengan memotong subsidi maka pemilik kendaraan pribadi terpaksa harus membeli bahan bakar dengan harga non subsidi, sehingga meningkatkan biaya perjalanan mereka. Untuk mengurangi biaya perjalanan mereka, diharapkan mereka berpikir untuk beralih ke penggunaan transportasi umum dan meninggalkan kendaraan pribadi mereka di rumah. Pemerintah Jakarta kemudian mengusulkan juga penggunaan hasil penghematan subsidi BBM untuk diinvestasikan dalam proyek-proyek infrastruktur, seperti MRT, monorel, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), dan prioritas lainnya.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah:

1) Menilai dampak dari usulan pengurangan atau penghapusan subsidi BBM di wilayah Jakarta, dengan kemungkinan perluasan analisa dampak ke daerah sekitar Jakarta yaitu: Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek), terutama pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, untuk menganalisis dampak pengurangan atau penghapusan subsidi BBM di wilayah Jakarta pada APBN, dan mengestimasi potensi pengurangan emisi gas rumah kaca akibat potensi pengurangan penggunaan kendaraan pribadi; dan

2) Mengusulkan rekomendasi kebijakan dalam upaya meminimalkan dampak negatif dari pengurangan atau penghapusan subsidi BBM pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan potensi penggunaan dari penghematan anggaran karena kebijakan tersebut.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia iv  

Dalam hal metodologi, studi ini secara mendasar menggunakan pendekatan Benefit Impact Analysis (BIA) dari kebijakan pengurangan atau penghapusan subsidi BBM melalui pemetaan hubungan antara subsidi BBM dari Pemerintah pusat yang dialokasikan di daerah Jakarta dengan distribusi tingkat pendapatan rumah tangga berdasarkan analisis Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). SUSENAS adalah serangkaian survei sosial ekonomi tahunan berskala besar dan dapat digunakan untuk multi-tujuan yang dimulai sejak tahun 1963-1964. Sejak tahun 1993 SUSENAS telah menggunakan sampel berskala nasional yang berjumlah 200.000 rumah tangga.

Kuesioner inti SUSENAS dirancang untuk mewakili populasi hingga ke tingkat kabupaten/kota dan karenanya sangat sesuai untuk digunakan dalam analisis BIA ini sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis apakah subsidi BBM yang awalnya diklaim untuk membantu orang miskin telah sesuai dan tepat tepat sasaran, ataukah masih membutuhkan pembuktian lebih detail. Hal ini penting untuk dicatat, karena dengan alasan keterbatasan ketersediaan data dalam SUSENAS, penelitian ini terpaksa membatasi definisi bahan bakar hanya dalam bentuk bensin (premium) dengan mengecualikan konsumsi terhadap diesel/solar, minyak tanah; dan konsumsi LPG. Namun demikian, data aktual memang memperlihatkan bahwa pengeluaran BBM didominasi untuk konsumsi masyarakat terhadap bensin.

Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah:

1) Menurut klasifikasi rumah tangga di Jakarta dengan 5 tingkat kelompok pendapatan, pengeluaran per kapita untuk kelompok masyarakat berpendapatan terendah (termiskin) diestimasikan hanya kurang dari setengah juta rupiah per tahun; sementara, pengeluaran per kapita kelompok masyarakat terkaya adalah sekitar 5,5 kali lebih tinggi. Kesenjangan ini bahkan lebih lebar lagi ketika kita menggunakan perbandingan rasio pengeluaran per kapita (Rp/bulan) dengan estimasi bahwa setiap individu dari kelompok terkaya rata-rata mengkonsumsi 8,8 kali lebih banyak daripada individu dalam kelompok termiskin.

2) Jumlah konsumsi bahan bakar dari kelompok terkaya adalah sekitar 8 (delapan) kali lebih tinggi dari kelompok termiskin. Selain itu, pengeluaran bahan bakar dari rumah tangga meningkat sesuai kelompok pendapatan dalam arah yang sama dengan total pengeluaran tetapi dengan tingkat progresivitas yang lebih tinggi.

3) Porsi pengeluaran bahan bakar kelompok terkaya terhadap total pengeluaran sedikit lebih tinggi daripada kelompok termiskin karena sebagai orang kaya mereka memiliki lebih banyak akses pada kepemilikan kendaraan serta pengoperasiannya. Karena pengeluaran bahan bakar dikategorikan sebagai pengeluaran non-makanan dan kontribusi komoditas non-makanan terhadap tingkat inflasi dan kemiskinan di Jakarta akhir-akhir ini menjadi lebih besar, penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok pendapatan termiskin jelas menjadi pihak yang paling menderita kerugian akibat kenaikan inflasi.

4) Distribusi subsidi energi di Jakarta lebih dinikmati oleh kelompok terkaya, jauh di atas kelompok termiskin. Rumah tangga termiskin memang menerima jumlah subsidi secara penuh karena mereka tidak mengkonsumsi bahan bakar non-subsidi seperti pertamax. Namun, rumah tangga terkaya di Jakarta masih mendapatkan keuntungan dari subsidi lebih besar dari rata-rata subsidi premium yang dinikmati semua kelompok rumah tangga karena sebagian besar dari mereka masih mengkonsumsi premium. Besaran

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia v  

subsidi premium yang dimanfaatkan oleh kelompok terkaya terestimasi 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah subsidi yang dinikmati oleh kelompok termiskin.

5) Kelompok pendapatan termiskin menerima dampak negatif langsung dari kenaikan harga BBM karena lebih rendahnya daya beli mereka dibandingkan dengan kelompok lain. Dampak langsung yang negatif ini bahkan terlihat jauh lebih buruk karena kecenderungannya adalah regresif terhadap kelompok terkaya. Dengan membandingkan dampak kenaikan porsi belanja bahan bakar terhadap pengeluaran non-makanan, kelompok termiskin jelas lebih menanggung beban dalam hal pengeluaran non-makanan dibandingkan mereka yang lebih kaya, karena kenaikan harga BBM mengakibatkan berkurangnya porsi belanja kelompok termiskin untuk pendidikan dan kesehatan mereka.

6) Ketika tingkat inflasi diperhitungkan untuk mengestimasi dampak menengah dan jangka panjang dari kebijakan pengurangan sebagian atau penghapusan subsidi, penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok termiskin menjadi lebih tidak diuntungkan karena seperti yang digambarkan dalam analisis dampak langsung, kelompok terkaya masih akan tetap menanggung biaya yang relatif rendah dalam kaitannya dengan kapasitas belanja dan daya beli mereka.

7) Dengan asumsi semua factor lain konstan, simulasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi bahan bakar dengan cara menaikkan harga BBM akan mengurangi emisi karbon dengan potensi jumlah yang signifikan, serta menghemat besaran APBN yang tadinya dialokasikan untuk subsidi BBM di Jakarta.

8) Analisa progresivitas dari subsidi BBM pada tingkat konsumsi rata-rata rumah tangga di Jakarta memberikan gambaran yang lebih meyakinkan bahwa subsidi BBM akan tetap paling menguntungkan kelompok kaya, bahkan dengan kebijakan untuk menetapkan subsidi BBM dalam jumlah tetap per liter bahan bakar yang dikonsumsi sekalipun. Hal ini terjadi karena kelompok terkaya mengkonsumsi bahan bakar jauh lebih besar dibandingkan kelompok termiskin, subsidi BBM per liter dalam jumlah tetap masih akan menguntungkan orang kaya dimana porsi subsidi BBM yang dinikmati adalah hampir 4 (empat) kali lipat lebih besar daripada yang dinikmati oleh kelompok termiskin.

9) Harga BBM premium bersubsidi di Jakarta yang lebih tinggi akan meningkatkan angka kemiskinan dan memperburuk ketimpangan pendapatan. Namun, tingkat pertumbuhan kemiskinan yang akan terjadi tidak setinggi klaim dari berbagai pihak pendukung kebijakan subsidi BBM, diestimasikan bahwa angka kemiskinan di Jakarta hanya tumbuh kurang dari 1%. Di sisi lain, simulasi dari penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan di Jakarta (dengan simulasi koefisien Gini) pada kenyataannya, justru akan sedikit membaik jika subsidi BBM yang sebenarnya menguntungkan kelompok terkaya dikurangi atau dihilangkan sama sekali.

Rekomendasi utama dari penelitian ini adalah:

1) Solusi jangka pendek dan menengah untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM di Jakarta adalah memperbaiki dan meningkatkan sistem transportasi masal yang sudah ada (busway, KRL, dll) dan mengembangkan mode transportasi massal lain yang lebih maju, terintegrasi, terjangkau, serta ramah lingkungan Solusi ini akan lebih efektif jika dilengkapi pula dengan reformasi kebijakan energi dan pengembangan energi alternatif

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia vi  

seperti Bahan Bakar Gas Cair, Bio-Diesel, Methanol beserta fasilitas pendukung dan peraturannya.

2) Sebagai suplemen untuk rekomendasi (1), kesadaran masyarakat harus ditumbuhkan untuk mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi kepada angkutan umum. Hal ini perlu melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan berbagai elemen masyarakat mulai dari lembaga pendidikan, lembaga/organisasi masyarakat, termasuk Dewan Transportasi Jakarta, dan lain-lain untuk meningkatkan kesadaran dan kebanggaan tentang penggunaan transportasi umum.

3) Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif untuk mempengaruhi perilaku masyarakat Jakarta; baik pelaku bisnis maupun pekerja sehingga mereka akan melakukan kegiatan ekonomi mereka dengan cara yang lebih ramah lingkungan.

4) Memaksimalkan program utama pelayanan publik dasar di Jakarta: kesehatan, pendidikan, dan perumahan, yang akan mampu menyediakan jaring pengaman dari dampak negatif kenaikan harga BBM yang potensial mengurangi tingkat daya beli dan meningkatkan tingkat kemiskinan di masyarakat.

5) Mengoptimalkan kerjasama eksisting dan bekerja sama dengan daerah otonom lainnya yang berbatasan dengan area Jakarta (Jabodetabek) dalam harmonisasi peraturan dan kebijakan yang terkait dengan upaya pengendalian inflasi dan kependudukan.

6) Mengoptimalkan penerimaan pajak penghasilan pribadi di Jakarta terutama di kelompok terkaya dan tingkat penghasilan menengah; dan dari pajak pertambahan nilai yang tinggi bagi barang dan jasa yang secara langsung terkait dengan konsumsi bahan bakar, serta pajak daerah yang sangat menekankan pembebanan bagi kegiatan konsumsi atau produksi masyarakat yang menghasilkan eksternalitas negatif.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia vii  

Daftar Isi  

KATA PENGANTAR ........................................................... Error! Bookmark not defined.

AKRONIM ....................................................................................................................... ii

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................. Error! Bookmark not defined.

1. Pengantar ................................................................................................................ 1

1.1 Tujuan Studi ....................................................................................................... 2

1.2 Pendekatan dan Metode Studi ........................................................................... 2

1.3 Diskusi dan Input dari Stakeholders ................................................................... 4

2. Fakta Tentang Jakarta dan Studi Literatur .............................................................. 5

2.1 Jakarta Sekilas Pandang ................................................................................... 5

2.2 Kemacetan Jalan ............................................................................................. 15

2.3 Konsumsi Energi untuk Transportasi di Jakarta ............................................... 19

2.4 Polutan Utama yang Dihasilkan oleh Kendaraan Bermotor ............................. 22

2.5 Teori Subsidi .................................................................................................... 23

3. Pengumpulan dan Perhitungan Data .................................................................. 30

3.1 Pengumpulan Data .......................................................................................... 30

4. Hasil ....................................................................................................................... 36

4.1. Dampak Langsung ........................................................................................... 41

4.2. Dampak Jangka Menengah dan Panjang ........................................................ 42

4.3. Dampak Terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan ........................................... 46

5. Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................................................ 48

5.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 48

5.2. Rekomendasi ................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 51

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia viii  

Daftar Tabel

Tabel 1: Indeks Pembangunan Manusia Jakarta Berdasarkan Komponen (2002-2012) ............. 7

Tabel 2: Perbandingan antara Pertumbuhan Ekonomi Jakarta, Jawa & Bali, serta Nasional, 2004-2012 (dalam Persen) ............................................................................................................. 8

Tabel 3: Garis Kemiskinan, Jumlah Penduduk Miskin, dan Persentase Kemiskinan di Jakarta, September 2013, Maret 2014, dan September 2014................................................................... 11

Tabel 4: Penduduk Jakarta Berusia di atas 15 tahun Berdasarkan Kegiatan Utama, 2013-2014....................................................................................................................................................... 14

Tabel 5: Penduduk Berusia di atas 15 thn yang Bekerja Menurut Sektor, 2013 - 2014 (dalam Ribu Jiwa) ..................................................................................................................................... 15

Tabel 6: Jumlah Kendaraan Bermotor di Jakarta. 2003-2007 ..................................................... 17

Tabel 7: Jumlah Kendaraan Bermotor di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Daerah di bawah Yurisdiksi Polda Metro Jaya), 2003-2007 ......................................................................... 18

Tabel 8: Ringkasan Hasil Studi Empiris Dampak Subsidi Energy: Kasus Beberapa Negara ..... 26

Tabel 9: Data SUSENAS dan Data Makroekonomi lainnya ........................................................ 30

Tabel 10: Distribusi Energi Berdasarkan Tujuan Penggunaan di Jakarta (Kilo Liter) 2012 ........ 36

Tabel 11: Pengeluaran Rumah Tangga dan Ratio Pengeluaran terhadap Kelompok Termiskin, 2012 .............................................................................................................................................. 36

Tabel 12: Konsumsi BBM Rumah Tangga di Jakarta, 2012 ........................................................ 38

Tabel 13: Jumlah Subsidi BBM dan Kuota Premium di Tingkat Nasional ................................... 40

Tabel 14: Biaya yang ditanggung tiap Kelompok Rumah Tangga di Jakarta pada Harga Premium sebesar Rp.8,893 per liter ............................................................................................. 42

Tabel 15: Dampak Jangka Menengah dan Panjang Subsidi BBM terhadap Pengeluaran Rumah Tangga di Jakarta, Berdasarkan Tiga Skenario ........................................................................... 43

Tabel 16: Progresivitas dari Subsidi BBM .................................................................................... 46

Tabel 17: Dampak Simulasi Harga BBM Perubahan pada Indeks Kemiskinan & Gini di Jakarta....................................................................................................................................................... 47

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia ix  

Daftar Gambar

Gambar 1: Konsumsi Energi Indonesia 2005-2011 (dalam Juta Barel) ............................................ 4 

Gambar 2: Peta Daerah Khusus Ibukota Jakarta ................................................................................. 5 

Gambar 3: Indeks Pembangunan Manusia Jakarta dan Nasional, 2002-2012 ................................ 6 

Gambar 4. Komoditas Penyumbang Tingkat Inflasi Jakarta (%), Desember 2014 ......................... 9 

Gambar 5: Garis Kemiskinan (ribu Rupiah) dan Persentase Kemiskinan di Jakarta dibandingkan dengan Tingkat Nasional, 2008-2013 ................................................................................................... 11 

Gambar 6: Sepuluh Komoditas Penyumbang Utama terhadap Garis Kemiskinan Makanan (NFL) di Jakarta, September 2014 ........................................................................................................ 12 

Gambar 7: Sepuluh Komoditas Penyumbang Garis Kemiskinan Non-Makanan (NFPL) di Jakarta, September 2014 ........................................................................................................................ 13 

Gambar 8: Perbandingan antara Pertumbuhan Jumlah Kendaraan dan Jalan di Jakarta, 1994-2014 ............................................................................................................................................................ 17 

Gambar 9: Progresivitas Pengeluaran Bahan Bakar Rumah Tangga di Jakarta berdasarkan Kelompok Pendapatan, 2012 ................................................................................................................. 38 

Gambar 10: Konsumsi Pertamax dan Premium (dalam Liter), 2012 ............................................... 39 

Gambar 11: Jumlah Subsidi BBM yang dinikmati Rumah Tangga Per Bulan di Jakarta Berdasarkan Kelompok Pendapatan, 2012 ......................................................................................... 41 

Gambar 12: Tren Peningkatan Jumlah Penumpang Busway Transjakarta .................................... 45 

Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia 

Low Carbon Support Programme untuk Kementrian Keuangan, RI 1 

1. Pengantar

Pemerintah Jakarta pada akhir 2013 dan awal 2014 telah mengusulkan kebijakan pengurangan sebagian atau menghapus seluruh subsidi BBM di wilayah Jakarta, dalam rangka mendorong tingkat penggunaan angkutan umum yang lebih tinggi. Dengan memotong subsidi maka pemilik kendaraan pribadi terpaksa harus membeli bahan bakar dengan harga non subsidi, sehingga meningkatkan biaya perjalanan mereka. Untuk mengurangi biaya perjalanan, mereka diharapkan mulai berpikir untuk beralih ke penggunaan transportasi umum dan meninggalkan kendaraan pribadi mereka di rumah. Pemerintah Jakarta kemudian mengusulkan juga penggunaan hasil penghematan subsidi BBM untuk diinvestasikan dalam proyek-proyek infrastruktur seperti: MRT, monorel, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), dan prioritas lainnya.

Pada tahun 2013 Pemerintah Jakarta menyediakan lebih dari 300 bus baru yang akan digunakan sebagai bus rapid transit (BRT); sejumlah bus tersebut mulai beroperasi pada Januari 2014 dan pada tahun tersebut direncanakan untuk melakukan pengadaan 1.000 bus.tambahan Tambahan bus baru tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan BRT, sehingga akan lebih banyak orang untuk bersedia beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum.

Efek langsung yang diharapkan dari kebijakan ini adalah pengurangan jumlah kendaraan pribadi yang beroperasi di jalan, sehingga dapat mengurangi kemacetan lalu lintas, yang berarti pula pengurangan penggunaan bahan bakar serta penurunan emisi GRK. Kebijakan pengurangan sebagian atau penghapusan subsidi BBM akan membantu pula pada upaya mengurangi tekanan pada APBN.

Saat ini tidak ada informasi yang tersedia tentang dampak kebijakan tersebut terhadap biaya hidup masyarakat Jakarta, terutama mereka yang berada pada kelompok berpendapatan rendah. Oleh karena itu, diperlukan sebuah studi untuk mengevaluasi dampak dari kebijakan pengurangan dan penghapusan subsidi BBM pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, sehingga pemerintah dapat memberikan dukungan dan kebijakan suplemen yang diperlukan oleh masyarakat berpendapatan rendah pada saat kebijakan tersebut dilaksanakan.

Untuk menyediakan informasi tersebut, Pusat Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kebijakan (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan (BKF, Kemenkeu) mengusulkan penelitian dengan topik ini sebagai bagian dari program kegiatan dalam mengembangkan kebijakan fiskal dan pola pembiayaan yang tepat untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

Konsultan yang ditunjuk oleh LCS untuk studi ini bekerjasama secara intensif dengan: (i) Pusat Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kebijakan (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu; dan (ii) anggota inti dari LCS, Program Rendah Karbon Bantuan Pemerintah Inggris kepada Kementerian Keuangan, RI. Sebuah acara sosialisasi hasil penelitian kepada para pemangku kepentingan publik telah diselenggarakan pada Januari 2015.

Penelitian ini difokuskan pada penilaian dampak pengurangan dan penghapusan subsidi BBM yang diusulkan di wilayah Jakarta terhadap biaya hidup masyarakat Jakarta, terutama mereka yang berada dalam kelompok berpendapatan rendah, sehingga Pemerintah dapat mengembangkan program dan kegiatan yang tepat dan sesuai untuk menopang kehidupan mereka. Selain itu, studi ini juga mengestimasi potensi penurunan beban anggaran pemerintah

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 2  

akibat pengurangan dan penghapusan subsidi BBM serta pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai dampak dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

1.1 Tujuan Studi

i. Untuk menilai dampak dari usulan pengurangan sebagian dan penghapusan subsidi BBM di Jakarta, dengan kemungkinan perluasan analisis ke daerah sekitar Jakarta: Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) terutama dampak kepada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, untuk menganalisis dampak pada APBN, dan untuk menganalisis potensi pengurangan emisi gas rumah kaca akibat potensi penurunan penggunaan kendaraan pribadi; dan

ii. Mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk mengurangi dampak dari pengurangan sebagian dan penghapusan subsidi BBM pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan potensi penghematan penggunaan anggaran yang dihasilkankan dari kebijakan pengurangan sebagian dan penghapusan subsidi BBM di Jakarta, dengan kemungkinan perluasan analisis ke daerah Bodetabek.

1.2 Pendekatan dan Metode Studi

Penelitian ini didukung oleh PKPPIM yang bekerja sama dengan konsultan dalam penyediaan informasi dan data yang diperlukan. Tim yang ditugaskan berkonsultasi secara luas di bidang yang relevan dengan para pemangku kepentingan dan Pemerintah Indonesia.

Dalam hal metodologi, studi ini secara mendasar menggunakan pendekatan Benefit Impact Analysis (BIA) dari kebijakan pengurangan atau penghapusan subsidi BBM melalui pemetaan hubungan antara subsidi BBM dari Pemerintah pusat yang dialokasikan di daerah Jakarta dengan distribusi tingkat pendapatan rumah tangga berdasarkan analisis Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). SUSENAS adalah serangkaian survei sosial ekonomi tahunan berskala besar dan dapat digunakan untuk multi-tujuan yang dimulai sejak tahun 1963-1964. Sejak tahun 1993 survei Susenas telah menggunakan sampel berskala nasional yang berjumlah 200.000 rumah tangga. Kuesioner inti terdiri dari data rumah tangga, data jenis kelamin, usia, status perkawinan, dan tingkat pendidikan anggota rumah tangga, dilengkapi dengan modul yang mencakup sekitar 60.000 rumah tangga yang diulang dari waktu ke waktu untuk mengumpulkan informasi tambahan seperti perawatan kesehatan dan gizi, pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, serta angkatan kerja.

Tujuan survei SUSENAS1 antara lain untuk memperkirakan pengeluaran rumah tangga guna penghitungan pendapatan nasional; untuk mempelajari struktur umum pendapatan / pengeluaran rumah tangga; untuk mempelajari pola pendapatan/pengeluaran kelompok yang kurang beruntung, termasuk rumah tangga pensiunan, rumah tangga dengan status orang tua tunggal, dan lain-lain, serta mempelajari perbedaan pendapatan/pengeluaran antara kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan strata sosial-ekonomi; kemiskinan umum, dan/atau studi tentang distribusi pendapatan

Cakupan geografis SUSENAS adalah nasional kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang berada dalam situasi dan kondisi konflik. Data Primer, Sekunder dan Ultimate Sampling Unit adalah enumerasi per daerah kabupaten / kota, blok, dan masing-masing sampel rumah tangga. Survei ini dikelompokkan berdasarkan wilayah geografis: provinsi, pedesaan/perkotaan,

                                                            1 Diskusi ini berdasarkan pada deskripsi mengenai SUSENAS pada halaman web ILO http://www.ilo.org

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 3  

dan kabupaten administratif. Unit Konsumsi Rumah Tangga, Unit Pendapatan, Unit Keluarga dikelompokkan dengan menggunakan kriteria berdasarkan kelompok pengeluaran rumah tangga.

Kerangka penentuan sampel untuk Unit sampling tahap pertama (Primary Sampling Unit, PSU) dan unit sampling tahap kedua (Ultimate Sampling Unit, USU) adalah, masing-masing, daftar blok Sensus dan daftar penerapan terpisah (separate listing exercise). Primary Sampling Unit terpilih melalui pendekatan probabilitas proporsional terhadap ukuran dan Ultimate Sampling Unit terpilih melalui pendekatan systematic random sampling. Ukuran sampel adalah 62.720 rumah tangga atau unit lain. Tingkat respon keseluruhan untuk survei adalah 99%. Kesalahan / bias diminimalkan dengan menggunakan kerangka sampling yang diperbarui (updated sampling frame), penambahan jumlah sampel, dan meningkatkan metode pelatihan pada para enumerator.

Kuesioner inti SUSENAS dirancang untuk mewakili populasi hingga tingkat kabupaten / kota sehingga akan sesuai untuk digunakan dalam analisis BIA. Untuk mengestimasi jumlah orang atau pengguna yang merupakan penerima manfaat dari pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM, berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan. Dalam setiap langkah tersebut, secara eksplisit perlu dinyatakan dan dijelaskan asumsi-asumsi yang digunakan. Langkah-langkah utama adalah:

i. Menghitung jumlah subsidi BBM yang dialokasikan oleh pemerintah di daerah Jakarta (dalam Rupiah);

ii. Menghitung jumlah rumah tangga berdasarkan metodologi SUSENAS dan mengelompokkan rumah tangga berdasarkan kelompok pendapatan, yaitu 5 (lima) kelompok mulai dari yang terendah sampai kelas tertinggi (paling miskin sampai yang paling kaya);

iii. Komputasi "biaya unit" subsidi BBM dengan membagi jumlah subsidi BBM terhadap jumlah rumah tangga;

iv. Mengalikan biaya per unit dengan jumlah rumah tangga di masing-masing kelompok pendapatan; dan

v. Melakukan analisis berdasarkan hasil.

Langkah terakhir adalah langkah yang memungkinkan kita untuk mengetahui apakah subsidi BBM yang diklaim bertujuan untuk membantu orang miskin sudah tepat sasaran atau masih perlu dikaji efektifitasnya. Hal ini penting untuk dicatat, karena dengan alasan keterbatasan ketersediaan data dalam SUSENAS, dalam penelitian ini dibatasi definisi bahan bakar hanya dalam bentuk bensin (premium) dengan mengecualikan konsumsi terhadap diesel / solar, minyak tanah, dan konsumsi LPG. Namun demikian, data aktual dari tahun 2005 sampai dengan 2011 memang memperlihatkan bahwa belanja bahan bakar masyarakat untuk keperluan transportasi didominasi untuk konsumsi terhadap bensin (Gambar 1).

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 4  

Sumber: Kementrian ESDM, Statistik Minyak Bumi, 2011

Gambar 1: Konsumsi Energi Indonesia 2005-2011 (dalam Juta Barel)

Karena terdapat variasi dalam konsumsi bahan bakar untuk setiap kelompok rumah tangga, kami melakukan modifikasi pengukuran biaya satuan untuk menghitung jumlah konsumsi bensin (dalam liter). Oleh karena itu, biaya satuan dalam penelitian ini adalah sama dengan jumlah subsidi BBM keseluruhan dalam setahun dibagi dengan jumlah bensin yang dikonsumsi, tanpa melihat tingkatan pengeluaran rumah tangga. Kemudian, dalam melakukan langkah 4 dari analisis ini, kami dapat memetakan distribusi subsidi BBM dengan mengalikan biaya unit yang disesuaikan dengan jumlah rumah tangga di setiap kelompok pendapatan, dan kemudian mengalikannya kembali dengan jumlah bahan bakar yang dikonsumsi oleh setiap rumah tangga di setiap kelompok pendapatan.

1.3 Diskusi dan Input dari Stakeholders

Selama konsultan melakukan studinya, diadakan satu acara diskusi dengan pemangku kepentingan publik, acara ini secara luas diumumkan dan terbuka untuk semua pemangku kepentingan, baik dari pemerintah maupun non pemerintah.

189,20 178,96 181,33 190,67 189,40 196,85 190,12

101,87 99,46 105,94 114,80129,26

148,58165,31

67,4059,41 58,67 46,84

31,19 18,09 12,725,91 3,31 1,79 1,21 1,06 1,01 0,870,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Avture Premium Minyak Tanah Solar/Diesel

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 5  

2. Fakta Mengenai Jakarta dan Studi Literatur

2.1 Jakarta Sekilas Pandang

DKI Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia yang memiliki ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12' Lintang Selatan dan 106°48' Bujur Timur. Luas wilayah DKI Jakarta sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Propinsi No. 171/2007 adalah 662,33 km2 dan wilayah laut seluas 6.977,5 km2. DKI Jakarta memiliki tidak kurang dari 110 pulau yang tersebar di Kabupaten Kepulauan Seribu, dan sekitar 27 sungai / kanal / saluran yang digunakan sebagai sumber air minum, perikanan, dan usaha perkotaan.

Gambar 2: Peta Daerah Khusus Ibukota Jakarta

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 6  

2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Berdasarkan pengetahuan umum, tujuan utama pembangunan adalah untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang untuk menikmati hidup dalam jangka panjang, memperoleh pengetahuan, dan memiliki standar hidup yang layak. Orientasi pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir pembangunan dan bukan sebagai alat pembangunan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator universal yang digunakan untuk mengklasifikasikan apakah suatu daerah berada dalam status telah berkembang, masih dalam proses berkembang, atau belum berkembang, dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Perkembangan pembangunan manusia di Jakarta dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang menunjukkan kecenderungan meningkat selama lima tahun terakhir. Secara nasional, IPM Jakarta menempati peringkat ke-1 di antara propinsi lainnya. IPM Jakarta pada tahun 2007 adalah sebesar 76,6 dan meningkat menjadi 77,6 pada tahun 2010. Pada tahun 2011 IPM Jakarta mencapai 77,97, angka yang jauh lebih tinggi daripada tingkat rata-rata IPM nasional yang hanya sebesar 72,60. Pada tahun 2012, IPM Jakarta meningkat kembali menjadi 78,33; menunjukkan bahwa kualitas pembangunan manusia di Jakarta lebih unggul dibandingkan dengan provinsi lain.

Sumber: Bappeda DKI, Jakarta

Gambar 3: Indeks Pembangunan Manusia Jakarta dan Nasional, 2002-2012

Kinerja IPM Jakarta yang mengesankan, pencapaiannya didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang unggul di daerah perkotaan, terutama tercermin dari angka harapan hidup, rata-rata tingkat pendidikan, dan tingkat melek huruf yang angka capaiannya lebih tinggi dari rata-rata nasional. Situasi ini dapat dimengerti mengingat Jakarta memiliki posisi yang unik sebagai ibukota negara dan juga sebagai pusat pembangunan ekonomi di Indonesia. Jakarta juga merupakan pusat kegiatan sosial dan budaya dengan berbagai fasilitas terbaik di Indonesia di bidang pendidikan, kebudayaan, olahraga, dan fasilitas kesehatan.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 7  

Tabel 1: Indeks Pembangunan Manusia Jakarta Berdasarkan Komponen (2002-2012)

Variabel Komposit 2010 2011 2012

Angka Harapan Hidup 73,2 73,35 73,49

Tingkat Melek Huruf 99,13 99,15 99,21

Rata-rata Lama Sekolah 10,93 10,95 10,98

Pengeluaran Per Capita (dalam Ribu Rupiah) 628,67 632,17 635,29

IPM 77,6 77,97 78,33

Short Reduction Fall 1,66 1,6

Sumber: Bappeda DKI, Jakarta

Angka Harapan hidup warga Jakarta meningkat dari 73,35 tahun pada 2011 menjadi 73,49 tahun pada tahun 2012. Peningkatan angka harapan hidup menunjukkan adanya peningkatan tingkat kesehatan masyarakat di Jakarta. Keunggulan IPM Jakarta dicapai pula dalam variabel lain dalam tahun yang sama: Angka Melek Huruf meningkat dari 99,15% menjadi 99,21% dan Rata-rata lama sekolah meningkat dari 10,95 tahun menjadi 10,98 tahun. Berbagai kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, selain kebijakan meningkatkan fasilitas pendidikan di Jakarta, kebijakan lain seperti implementasi wajib belajar 9 tahun, penyediaan Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) juga memberikan kontribusi besar untuk prestasi ini, terutama dalam meningkatkan fasilitas edukasi di Jakarta.

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia

Pertumbuhan ekonomi di Jakarta selain didorong oleh kinerja investasi, juga ditopang oleh tingkat konsumsi masyarakat yang tetap kuat. Tingkat keamanan dan kondisi politik yang relatif stabil adalah dua faktor yang telah mampu menciptakan kondisi yang kondusif untuk bisnis dan investasi di Jakarta. Jakarta pada tahun 2012 mengalami pertumbuhan PDRB sebesar 6,5%, sedikit lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan di tahun 2011. Berdasarkan harga konstan, PDRB Jakarta tahun 2012 adalah sebesar Rp 499,8 triliun, atau meningkat Rp 77,6 triliun dibandingkan dengan 2011 yang hanya Rp 422,2 triliun. Sementara PDRB Jakarta (harga nominal) pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 1.103,7, naik Rp 121,2 triliun dibandingkan Rp 982,5 triliun di tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada tahun 2013 mengalami perlambatan dimana capaian sebesar 6.11% adalah lebih rendah dibandingkan target pertumbuhan yang diproyeksikan sebesar 6,9%. Perlambatan ini dipengaruhi oleh masih "belum pulih sepenuhnya" kondisi ekonomi global. Di sisi lain, produktivitas ekonomi nasional juga melemah karena tekanan dari kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga secara umum, termasuk harga bahan baku dan barang setengah jadi.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 8  

Tabel 2: Perbandingan antara Pertumbuhan Ekonomi Jakarta, Jawa & Bali, serta Nasional, 2004-2012 (dalam Persentase)

Sumber: Bappeda DKI Jakarta, 2014

Jakarta jelas merupakan kota jasa, tercermin dari struktur ekonominya berdasarkan sektor (kegiatan) pada PDRB-nya. Sekitar 71,5% dari PDRB di Jakarta di tahun 2012 berasal dari sektor tersier (perdagangan, keuangan, jasa, dan transportasi), 28%-nya berasal dari sektor sekunder (manufaktur, konstruksi, dan listrik - gas - air); sedangkan hanya sekitar 0,5% yang berasal dari sektor primer (pertanian dan pertambangan). Jakarta dengan posisinya yang unik sebagai ibukota negara dan juga pusat pembangunan ekonomi di Indonesia secara nyata mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dari pertumbuhan rata-rata Provinsi di Jawa-Bali dan ekonomi nasional seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Melihat distribusi PDRB Jakarta menurut Penggunaan untuk tahun 2012, komponen terbesar adalah dari konsumsi rumah tangga yang menyumbang 56,9%, sedikit turun dari angka 57% pada tahun 2011, dan lebih rendah daripada yang telah ditargetkan sebesar 57,4% pada RKDP tahun 2012. Kontribusi terbesar kedua adalah dari komponen ekspor 56,2%, meningkat dari angka 55,1% pada tahun sebelumnya. Terakhir, kontribusi terkecil sebesar 9,5% adalah konsumsi pemerintah yang juga lebih rendah dibandingkan pada tahun 2011 dengan angka 9,9%. PDRB Jakarta (harga nominal) telah meningkat, dari USD 62,5 juta pada tahun 2007 menjadi USD 110,46 juta pada tahun 2012.

2.1.3. Inflasi

Dalam lima tahun terakhir, laju inflasi Jakarta selalu berada di bawah tingkat inflasi nasional, kecuali pada tahun 2008 yang inflasinya sedikit lebih tinggi daripada tingkat nasional. Inflasi pada tahun 2013 adalah 8,38%, dua kali lebih tinggi dibandingkan 4,52% pada tahun 2012 (yoy). Pemerintah Propinsi telah meluncurkan beberapa kebijakan sejak tahun 2010, antara lain: kenaikan biaya surat izin mengemudi (SIM), sertifikat pendaftaran kendaraan, Kendaraan Bermotor Nomor Plat (TNKB), dan Buku kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) - yang semuanya telah mendorong tingkat inflasi Jakarta menjadi lebih tinggi. Selama periode 2010 s.d. 2013, Pemerintah Pusat juga telah menaikkan tarif dasar listrik (TDL), menaikkan batas

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Jakarta 5,7 6,01 5,95 6,44 6,23 5,02 6,5 6,71 6,5

Jawa & Bali 5,4 5,75 5,77 6,18 6,02 4,82 6,32 6,64 6,34

National 5,03 5,38 5,19 5,67 5,74 4,77 6,13 6,32 6,23

4,5

5

5,5

6

6,5

7

Persen (%)

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 9  

pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yang keduanya secara implisit menaikkan inflasi dari sisi permintaan dan penawaran. Hal lain yang juga berpengaruh terhadap inflasi adalah kondisi cuaca yang relatif buruk dan sulit diprediksi. Musim hujan dan kondisi basah / kering yang berkepanjangan menyebabkan sektor pertanian tidak dapat beroperasi secara optimal, bahkan di beberapa daerah cuaca buruk ini menyebabkan kegagalan panen, dan akhirnya makin meningkatkan biaya produksi makanan serta harga jualnya di pasar.

Data terkini menunjukkan bahwa pada bulan Desember 2014, Jakarta mengalami inflasi sebesar 2,74% (mom). Indeks pengeluaran semua keranjang barang mengalami kenaikan: Makanan olahan, minuman, rokok dan tembakau (5,01%); transportasi, komunikasi dan jasa keuangan (4,25%); bahan makanan (3,41%); perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (1,58%); pakaian (0,57%); pendidikan, rekreasi, dan olahraga (0,55%); serta kesehatan (0,14%). Komoditi lain yang memberikan sumbangan terhadap inflasi antara lain: bensin (0,4052%); transportasi di kota (0,2761%); cabai merah (0,2337%); nasi dengan lauk pauk (0,1999%); tarif listrik (0,1781%); beras (0,1308%); transportasi udara (0,1276%); mie (0,0906%); transportasi antar-kota (0,0772%); bahan bakar rumah tangga (0,0565%); dan pakaian (0,0549%). Inflasi Jakarta pada bulan Desember 2014 terutama disebabkan oleh kenaikan harga kelompok makanan olahan, minuman, rokok dan tembakau (Gambar 3).

Sumber: Bappeda DKI, Jakarta

Gambar 4. Komoditas Penyumbang Tingkat Inflasi Jakarta (%), Desember 2014

2.1.4. Koefisien Gini

Koefisien Gini Jakarta selama periode 2007-2011 relatif stabil. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat distribusi pendapatan Jakarta relatif tidak berubah sampai saat ini. Rata-rata, ketimpangan pendapatan di Jakarta berada pada kategori ketimpangan rendah: 0,38 pada

8,95

12,7711,92

8,54

2,92

4,78

3,08

10,53

0

2

4

6

8

10

12

14

Persen

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 10  

tahun 2010 dan 0,41 pada tahun 2011. Klaim ini juga didukung oleh data ketimpangan pendapatan menggunakan kriteria Bank Dunia yang menyatakan bahwa 40% penduduk yang berpendapatan terendah di Jakarta menguasai sekitar 17% dari Total PDRB Jakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa bagaimanapun, pembangunan di Jakarta telah memberikan manfaat kepada penduduknya yang berada di bawah kelompok berpendapatan menengah.

Mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan visi pembangunan Kota Jakarta. Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama yang ingin dicapai. Salah satu upaya Pemerintah Jakarta untuk mempersempit kesenjangan pendapatan adalah dengan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitas penduduk, terutama pada kaum miskin, melalui beberapa program kesehatan, pendidikan, dan pelatihan.

2.1.5. Kemiskinan

Pada tingkat makro, ukuran jumlah penduduk miskin dihitung dengan dasar garis kemiskinan (Poverty Line, PL) yang didefinisikan sebagai jumlah Rupiah yang dibutuhkan seorang individu untuk memenuhi kebutuhan minimumnya dalam pengeluaran makanan dan non-makanan, PL ini mewakili pula rata-rata pengeluaran per kapita per bulan.

Seiring dengan kenaikan laju inflasi, garis kemiskinan (PL) di Jakarta terus menunjukkan tren peningkatan. Sejak tahun 2009, PL di Jakarta mencapai lebih dari Rp 300.000 per kapita per bulan. Pada bulan September 2011, PL terhitung sebesar Rp 368.415 per kapita per bulan, yang terdiri dari garis kemiskinan makanan (Food Poverty Line, FPL) sebesar Rp 236.934 (64,31%) dan garis kemiskinan non-makanan (Non-Food Poverty Line, NFPL) sebesar Rp 131.481 (35.69%). Komoditas makanan yang memiliki dampak terbesar pada PL adalah beras, rokok, telur, mie instan, dan daging ayam. Komoditas non makanan yang memiliki dampak terbesar pada PL adalah biaya perumahan, transportasi, pendidikan, dan listrik. Sebagai respon dari besaran PL tersebut, Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan berbagai program yang terintegrasi dan berkelanjutan, sehingga sejak tahun 2009 jumlah penduduk miskin di Jakarta telah berkurang menjadi sekitar 4% dari total penduduk.

Selama periode tahun 2008 s.d. 2013, kemiskinan secara absolut di Jakarta selalu mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin di Jakarta selama periode tahun 2008-2013 selalu lebih rendah dibandingkan rata-rata persentase tingkat kemiskinan nasional. Pada tahun 2013 persentase penduduk miskin di Jakarta adalah 3,55% yang jelas masih jauh di bawah tingkat persentase penduduk miskin secara rata-rata nasional sebesar 11,37%.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 11  

Sumber: Bappeda DKI, Jakarta

Gambar 5: Garis Kemiskinan (ribu Rupiah) dan Persentase Kemiskinan di Jakarta dibandingkan dengan Tingkat Nasional, 2008-2013

Namun, data terbaru menunjukkan gambaran yang berbeda: jumlah penduduk miskin (dan persentase kemiskinan) di Jakarta justru cenderung meningkat. Pada bulan September 2014 jumlah penduduk miskin (dan persentase kemiskinan) di Jakarta berjumlah 412,79 ribu jiwa (4,09%), meningkat dari 18,81 ribu jiwa dibandingkan angka kemiskinan Maret 2014 (393,98 ribu jiwa (3,92%)), atau meningkat dari 41,09 ribu jiwa, dari angka kemiskinan September 2013 (371,70 jiwa (3,72%)).

Tabel 3: Garis Kemiskinan, Jumlah Penduduk Miskin, dan Persentase Kemiskinan di Jakarta, September 2013, Maret 2014, dan September 2014.

Bulan, Tahun

Garis Kemiskinan (Rupiah/Kapita/Bulan) Penduduk

Miskin (000

jiwa)

Persentase

Penduduk

Miskin

(dalam %) Makanan Non-Makanan Total

September, 2013 278.706 155.615 434.322 371,7 3,72

Porsi (64,17%) (35,83%) (100%)

Maret, 2014 290.030 157.776 447.797 393,98 3,92

Porsi (64,77%) (35,23%) (100%)

September, 2014 287.543 162.017 459.56 412,79 4.,09

Porsi (64,75%) (35,25%) (100%)

Sumber: SUSENAS, September 2013, Maret dan September 2014

379,6

323312

363 363 354

15,42

14,1513,33

12,4911,67 11,37

4,293,62 3,48 3,75 3,7 3,55

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

0

50

100

150

200

250

300

350

400

2008 2009 2010 2011 2012 2013

Garis kemiskinan (000 Rp.) Kemiskinan Nasional  (dalam %) Kemiskinan Jakarta (dalam %)

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 12  

Selama periode September 2013 - Maret 2014 - September 2014, PL Jakarta naik sebesar 2,63% dari bulan Maret sampai September 2014 (Rp 447.797 per kapita per bulan menjadi Rp 459.560 per kapita per bulan) dan meningkat sebesar 5,81% dari September 2013 sampai September 2014 (Rp 434.322 per kapita per bulan menjadi Rp 459.560 per kapita per bulan). Berkenaan dengan komponen Garis Kemiskinan yang terdiri dari FPL dan NFPL, terlihat bahwa peranan komoditas makanan telah menjadi lebih besar dibandingkan peran komoditas non-makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Namun, selama periode Maret-September 2014, kontribusi FPL ke PL mengalami sedikit penurunan sebesar 0,02 poin.

Sumber: BPS Jakarta, Desember 2014

Gambar 6: Sepuluh Komoditas Penyumbang Utama terhadap Garis Kemiskinan Makanan (NFL) di Jakarta, September 2014

Komoditas makanan yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras (Gambar 5). Pada bulan September 2014, kontribusi pengeluaran beras kepada FPL adalah sebesar 25,20%. Selain beras, bahan makanan pokok lainnya yang memiliki pengaruh signifikan terhadap garis kemiskinan adalah rokok kretek filter (16,05%), telur (6,19%), ayam (5,70%), mie instan (4,26%), susu bubuk (3,41%), tempe (3,11 %), tahu (3,06%), dan gula (2,48%).

Di sisi lain, perumahan merupakan komoditas non-makanan yang paling penting bagi masyarakat miskin (lihat Gambar 6). Pada bulan September 2014, kontribusi pengeluaran perumahan di NPFL mencapai 29,74%. Selain perumahan, komoditas non-makanan lainnya yang memiliki pengaruh yang besar terhadap garis kemiskinan adalah transportasi (10,66%), listrik (8.83%), bahan bakar (7,41%), pendidikan (6,8%), pakaian anak-anak (5,11%), pakaian perempuan (5,04%), pakaian laki-laki (4,02%), perlengkapan mandi (2,94%), dan alas kaki (2,5%)

2,48

2,77

3,06

3,11

3,41

4,26

5,7

6,19

16,05

25,2

0 5 10 15 20 25 30

Gula

Tepung Terigu

Tahu

Tempe

Susu Bubuk

Mie Instan

Daging Ayam

Telur

Rokok Filter

Beras

dlm persen

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 13  

Sumber: BPS Jakarta, Desember 2014

Gambar 7: Sepuluh Komoditas Penyumbang Garis Kemiskinan Non-Makanan (NFPL) di Jakarta, September 2014

2.1.6. Tingkat Pengangguran

Lebih dari 65% dari jumlah penduduk usia kerja di Jakarta (berusia 15 tahun ke atas) termasuk dalam kategori tenaga kerja selama 2009-2011. Selama periode itu, tingkat partisipasi angkatan kerja kerja (TPAK) terus meningkat, yaitu dari 66,6% menjadi 69,36%. Pada saat yang sama tingkat kesempatan kerja di Jakarta 2009-2011 juga terus meningkat. Hal ini ditandai dengan peningkatan persentase penduduk usia kerja yang meningkat dari 87,85% pada 2009 menjadi 89,2% pada tahun 2011. Tingginya persentase kesempatan kerja juga berarti bahwa tingkat pengangguran terbuka di Jakarta terus menurun, meskipun masih di atas angka 10%, yang lebih rendah dari 10,80% pada tahun 2011 atau 11,05% pada tahun 2010. Lebih dari 75% jumlah penduduk Jakarta yang bekerja berada pada jenis pekerjaan di sektor jasa dan angka ini meningkat menjadi 80,05% pada tahun 2011.

Kondisi ketenagakerjaan di Jakarta pada Agustus tahun 2014 menunjukkan gambaran yang lebih baik dari pada bulan Agustus tahun 2013, ditandai dengan penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka. Selama periode tersebut, Tingkat Pengangguran Terbuka di Jakarta turun 0,16% (8,63% pada tahun 2013 menjadi 8,47% pada tahun 2014). Selain itu, angkatan kerja Jakarta pada bulan Agustus 2014 juga mengalami penurunan sebesar 125,80 ribu pekerja, dibandingkan dengan bulan Februari 2014, dan menurun 45.460 orang dibandingkan dengan Agustus 2013. Selain itu warga Jakarta yang bekerja pada bulan Agustus 2014 mengalami penurunan sebesar 44.470 orang dibandingkan angka pekerja di Februari 2014, atau penurunan 33.870 orang dibandingkan Agustus 2013. Sedangkan jumlah pengangguran pada bulan Agustus 2014 mengalami penurunan sebesar 81.330 orang dari Februari 2014, atau penurunan sebesar 11.590 orang dibandingkan dengan Agustus 2013.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) adalah total angkatan kerja dibagi dengan penduduk usia 15 tahun ke atas. Selama periode Agustus 2013 sampai dengan Agustus 2014, TPAK Jakarta mengalami penurunan sebesar 1,18% untuk Pekerja yang bekerja di bawah jam kerja

2,57

2,94

4,02

5,04

5,11

6,8

7,41

8,83

10,66

29,74

0 5 10 15 20 25 30 35

Alas Kaki

Perlengkapan mandi

Pakaian Lelaki

Pakaian Wanita

Pakaian Anak‐anak

Pendidkan

Bahan Bakar

Listrik

Transportasi

Perumahan

dalam %

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 14  

normal (<35 jam seminggu). Selama periode ini, terdapat pula penurunan pada pekerja yang menganggur sebesar 24.720 orang (16,97%) dan pekerja paruh waktu sebanyak 9.220 orang (2,61%).

Tabel 4: Penduduk Jakarta Berusia di atas 15 tahun Berdasarkan Kegiatan Utama, 2013-2014

Indikator Satuan

2013 2014

Februari Agustus Februari Agustus

1 Angkatan Kerja ribu orang 5.127,48 5.108,94 5.189,28 5.063,48

Bekerja ribu orang 4.633,22 4.668,24 4.678,84 4.634,37

Menganggur ribu orang 494,26 440,70 510,44 429,11

- Bukan Angkatan Kerja ribu orang 2.384,58 2.427,48 2.387,41 2.537,99

- Penduduk berusia diatas

15 tahun ribu orang 7.512,06 7.536,42 7.576,69 7.601,47

2 Partisipasi Angkatan Kerja % 68,26 67,79 68,49 66,61

3 Tingkat Pengangguran Terbuka % 9,64 8,63 9,84 8,47

4 Pekerja Tidak Penuh ribu orang 533,96 499,53 517,04 465,59

Setengah Menganggur ribu orang 285,07 145,66 65,85 120,94

Pekerja Paruh Waktu ribu orang 248,89 353,87 451,19 344,65

Sumber: BPS Jakarta, Desember 2014

Struktur pekerjaan dari penduduk Jakarta yang bekerja pada bulan Agustus 2013 dan Agustus 2014 tidak berubah, di mana sektor perdagangan, pelayanan sosial, dan industri keuangan secara berurutan masih merupakan kontributor terbesar untuk lapangan pekerjaan di Jakarta. Data di bulan Agustus 2014 bila dibandingkan dengan data Agustus 2013 menunjukkan adanya penurunan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa sebanyak 70.430 orang (-5,67%), sektor perdagangan 26.840 orang (-1,63%) dan sektor keuangan 2,70 ribu orang (-0,58%).

Pada bulan Agustus tahun 2014, jumlah pekerjaan di sektor industri manufaktur meningkat, dibandingkan dengan jumlah pekerjaan pada bulan Agustus 2013. Peningkatan juga terjadi pada sektor konstruksi sebesar 39.160 orang (21,74%), sektor industri 1,07 ribu orang (0,16 %) dan sektor lainnya (pertambangan, listrik, gas dan air) sebesar 7,30 ribu orang (31,56%). Peningkatan jumlah pekerjaan yang meningkat juga terjadi pada sektor transportasi, penyimpanan, dan komunikasi.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 15  

Tabel 5: Penduduk Berusia di atas 15 tahun yang Bekerja Menurut Sektor, 2013 - 2014 (dalam Ribu Jiwa)

Sektor

2013 2014

Februari Agustus Februari Agustus

Pertanian 50,12 15,63 101,58 27,01

Industri Manufaktur 621,89 667,96 685,49 669,03

Konstruksi 166,64 180,09 199,59 219,25

Perdagangan 1.679.40 1.645,12 1.628,86 1.618,28

Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi 440,64 428,60 420,22 435,79

Keuangan 527,43 464,98 495,85 462,28

Jasa Masyarakat 1.107,54 1.242,74 1.120,98 1.172,31

Lainnya 39,58 23,13 26,26 30,43

Total 4.633,24 4.668,25 4.678,83 4.634,38

Sumber: BPS Jakarta, Desember 2014

2.2 Kemacetan Jalan

Transportasi di Indonesia didominasi oleh kendaraan pribadi seperti penggunaan sepeda motor dan mobil pribadi. Jakarta sebagai ibu kota Negara Indonesia dengan jumlah populasi yang sangat besar tidak dapat dipisahkan dari masalah kemacetan transportasi perkotaan. Rata-rata, setiap hari penggunaan kendaraan di Jakarta adalah sekitar 5,5 juta, yang terdiri dari 98% kendaraan pribadi yang melayani 44% dari total perjalanan dan 2% kendaraan angkutan umum yang melayani 56% perjalanan. Masalah kemacetan yang ada di Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1) Kemacetan disebabkan oleh penggunaan kendaraan pribadik terutama sepeda motor dan mobil pribadi;

2) Tingginya jumlah kepemilikan kendaraan pribadi karena akses yang mudah dan rendahnya biaya untuk membeli kendaraan, khususnya sepeda motor;

3) Kurangnya minat masyarakat dalam menggunakan transportasi umum, dikarenakan sistem transportasi publik dan tingkat keamanan yang rendah; dan

4) Jumlah kendaraan terlalu besar dibandingkan dengan kapasitas jalan yang ada.

Ada sekitar 747 titik kemacetan yang tersebar di seluruh Jakarta. Konsentrasi kemacetan utamanya adalah di Jakarta Pusat di mana sejumlah kantor instansi baik pemerintah maupun swasta berlokasi. Instansi-instansi tersebut berkontribusi terhadap kemacetan di Jakarta karena jumlah karyawan mereka sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi bekerja. Salah satu daerah yang mendominasi kemacetan di daerah Jakarta adalah Area Monas.

Menurut Direktorat Lalu Lintas, Kepolisian Daerah Jakarta Raya, pertumbuhan jumlah kendaraan di jakarta rata-rata meningkat sebesar 24% setiap tahun, tetapi pembangunan jalan tumbuh hanya 0,01% per tahunnya. Sedangkan jumlah perjalanan di Jakarta sampai saat ini mencapai 20,7 juta per tahun, angka yang jelas sangat tidak sebanding dengan kapasitas jalan. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dengan lebar 40,1 km atau hanya 0,26% dari total

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 16  

luas seluruh kota. Variasi jam kemacetan di Jakarta juga terjadi, pada tahun 2012 kemacetan terjadi setelah lepas jam kantor sampai jam 21.00 WIB, dan saat ini kemacetan terjadi hingga jam 22.00 WIB.

Dari sumber data yang sama pula, jumlah kendaraan di Jakarta dari Januari hingga Desember 2013 telah mencapai 16.043.689 unit. Rinciannya sebagai berikut:

a. 11.929.103 unit sepeda motor; b. 3.003.499 unit mobil; c. 360.022 unit bus; d. 617.635 unit truk/mobil angkutan; dan e. 133.430 unit kendaraan khusus.

Jumlah kendaraan meningkat sebesar 9,8% dibandingkan dengan tahun 2012 (14.618.313 unit).

Pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten / kota di Indonesia tampaknya tidak memiliki konsistensi dalam mengatasi masalah kemacetan yang ada di Jakarta. Terdapat kontradiksi baru yang belakangan terjadi, ketika Gubernur DKI Jakarta melakukan upaya-upaya yang intensif untuk menyediakan lebih banyak model reformasi angkutan umum dan meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum, di sisi lain pemerintah pusat Indonesia jutsru mengeluarkan kebijakan mengenai Mobil Murah (Low Cost Green Car, LCGC), yang kemungkinan justru akan lebih meningkatkan jumlah mobil yang beroperasi di kota Jakarta.

Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah Jakarta sampai sekarang memang bisa dikatakan tidak akan secara signifikan mampu memecahkan problem kemacetan. Berbagai model transportasi umum yang ditawarkan mulai dari Busway, Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB), dan proses pembangunan fasilitas Mass Rapid Transit yang sedang berlanjut, belum memiliki dampak yang cukup besar dalam mengurangi kemacetan jalan di Jakarta. Karena kemacetan juga disebabkan oleh banyak faktor seperti banyak keluhan dari masyarakat tentang kualitas dan kuantitas angkutan umum yang ada. Pemerintah Jakarta terus berupaya melakukan perbaikan-perbaikan dengan tetap bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan transportasi umum yang layak di Jakarta.

Bagaimanapun, masalah kemacetan di Jakarta sebenarnya tidak hanya tentang bagaimana menangani transportasi massal karena jika kita tidak membahas permasalahan di sektor lain maka semua kebijakan tentang transportasi yang diambil tidak akan dapat mencapai hasil yang optimal. Oleh karena itu, diperlukan solusi jitu yang dapat memberikan efek terobosan lebih besar untuk menangani masalah kemacetan di Jakarta. Penyebab utama kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah jumlah kendaraan bermotor, terutama kendaraan bermotor pribadi dengan tingkat penggunaan dan mobilitas tinggi dalam hal ruang dan waktu, sedangkan kondisi dan pertumbuhan jaringan jalan tidak seimbang dengan peningkatan jumlah dan mobilitas kendaraan yang tersedia. Data dari Dinas Perhubungan, DKI Jakarta tahun 2007 menunjukkan bahwa peningkatan panjang jalan kurang dari 1% per tahun, sedangkan peningkatan jumlah kendaraan adalah rata-rata 11% per tahun. Ilustrasi perbandingan antara pertumbuhan luas dalam jumlah kendaraan dan kapasitas jalan di Jakarta disajikan pada Gambar 7.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 17  

Sumber: Direktorat Lalu Lintas Polda Jaya, Februari 2008

Gambar 8: Perbandingan antara Pertumbuhan Jumlah Kendaraan dan Jalan di Jakarta, 1994-2014

Dengan rata-rata pertumbuhan 9% per tahun di Jakarta dan 12,2% di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi), jumlah kendaraan terus meningkat setiap tahun (lihat Tabel. 6 dan Tabel. 7). Dapat diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ini dapat menjadi lebih parah lagi jika kita memasukkan daerah lain seperti Bogor ke dalam perhitungan. Meskipun jumlah kendaraan baru sepanjang periode 2004 s.d. 2007 menunjukkan penurunan, namun sebenarnya jumlah kendaraan terus bertambah. Alasannya adalah karena jumlah kendaraan tua tetap harus ditambahkan dengan kendaraan baru. Dengan demikian, tingginya jumlah kendaraan saat ini, tidak lepas dari kontribusi jumlah kendaraan total secara akumulatif.

Tabel 6: Jumlah Kendaraan Bermotor di Jakarta. 2003-2007

Tahun

Jumlah Kendaraan baru

Laju

per thn

(%)

Mobil Sepeda Motor Total

Mobil

Sepeda

Motor Total

Per

Tahun

Per

Hari

Per

Tahun

Per

Hari

Per

Tahun

Per

Hari

2003 1.908.012 2.202.637 4.110.649

2004 2.016.237 2.534.480 4.550.717 108.225 297 331.843 909 440.068 1.206 10,710

2005 2.110.249 2.887.172 4.997.421 94.012 258 352.692 966 446.704 1.224 9,80

2006 2.161.653 3.242.090 5.403.743 51.404 141 354.918 972 406.322 1.113 8,10

2007 2.218.380 357.622 2.576.002 56.727 155 337.532 925 394.259 1.080 7,30

Rerata 77.592 213 344.246 943 421.838 1.156 898

Sumber: Direktorat Lalu Lintas Polda Jaya, Februari 2008

Menyikapi kondisi seperti ini, beberapa studi memperkirakan bahwa jika tidak ada perubahan dalam keseimbangan antara pertumbuhan jumlah kendaraan dan jaringan jalan di jakarta, maka pada tahun 2014 akan terjadi stagnasi lalu lintas di Jakarta karena kemacetan yang sangat akut.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 18  

Tabel 7: Jumlah Kendaraan Bermotor di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Daerah di bawah Yurisdiksi Polda Metro Jaya), 2003-2007

Tahun

Jumlah Kendaraan baru Laju

per

thn

(%)

Mobil Sepeda Motor Total

Mobil Per Hari

Per

Tahun

Per

Tahun

Per

Hari

Per

Tahun

Per

Hari

Per

Tahun

Per

Hari

2003 2.310.806 3.310.318 5.621.124

2004 2.450.219 3.940.700 6.390.919 139.413 382 630.382 1.727 769.795 2.109 13,70

2005 2.575.373 4.602.852 7.178.225 125.154 343 662.152 1.814 787.306 2.157 12,30

2006 2.657.430 5.309.261 7.966.691 82.057 225 706.409 1.935 788.466 2.160 12,30

2007 2.753.792 5.974.173 8.727.965 96.362 264 664.912 1.822 761.274 2.086 10,60

Rata2 110.747 304 665.964 1.825 776.710 2.128 12,23

Sumber: Direktorat Lalu Lintas Polda Jakarta Raya, Februari 2008.

Data terbaru dari The Castrol Magnatec-Index Stop-Start 20142 yang keluarkan oleh Castrol sebuah perusahaan pelumas mesin dari Inggris, menggunakan data GPS untuk menghitung frekuensi stop-start per tahun para pengemudi di seluruh kota di dunia. Data ini menunjukkan bahwa Pengemudi di Jakarta membuat 33.240 start-stop per tahunnya, sementara pengemudi di Surabaya membuat 29.880 per tahun. Pengemudi di Istanbul, Turki, menempati peringkat kedua di daftar ini dengan 32,520 start-stop per tahun; sementara pengemudi di Mexico City menempati peringkat ketiga dalam daftar tersebut, dengan mencatat 30.840 start-stop per tahun. Berikut adalah 9 (Sembilan) kota terburuk di dunia dalam hal frekuensi start-stop berlalu-lintas:

1. Jakarta, Indonesia (33.240); 2. Istanbul, Turki (32.520); 3. Mexico City, Meksiko (30.840); 4. Surabaya, Indonesia (29.880); 5. St. Petersburg, Rusia (29.040); 6. Moskow, Rusia (28.680); 7. Roma, Italia (28.680); 8. Bangkok, Thailand (27.480); dan 9. Guadalajara, Meksiko (24.840).

Kemacetan lalu lintas telah menyebabkan kerugian yang sangat besar, tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga non-materi. Menurut Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), kerugian akibat kemacetan di Jakarta secara rata-rata mencapai Rp 8,3 triliun per tahun, yang terdiri dari kerugian biaya operasional kendaraan sebesar Rp 3 triliun, dampak kesehatan Rp 2,8 triliun, dan biaya waktu yang hilang sebesar Rp 2,5 triliun, belum lagi biaya tambahan lain seperti dampak sosial berupa penurunan kualitas social masyarakat perkotaan. Situasi ini tentu bertentangan dengan tujuan bahwa transportasi seharusnya memperbaiki kualitas hidup rakyat, bukan malah sebaliknya dimana transportasi justru menurunkan kualitas hidup masyarakat.

                                                            2 http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/jakarta-worlds-worst-traffic-gridlock/

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 19  

Kotak 1: Pajak Progresif Kepemilikan Kendaraan Bermotor

Mulai bulan Oktober 2014, pemerintah DKI Jakarta telah menaikkan tarif pajak kendaraan bermotor (PKB)

bagi warganya. Peraturan ini telah disahkan oleh DPRD melalui PERDA No. 8/2010 tentang Tarif Pajak

Kendaraan Bermotor pada Juli 2014. Dalam PERDA tersebut terdapat 4 formula perhitungan kenaikan tarif

pajak marjinal untuk kendaraan bermotor. Pajak untuk kepemilikan kendaraan pertama yang awalnya 1,5%

dari nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) naik menjadi 2% atau meningkat sebesar 33,3%. PKB untuk

kendaraan kedua yang awalnya 2% dari NJKB naik menjadi 4% atau meningkat hampir 100%.

Untuk tariff pajak kendaraan-3 yang awalnya 2,5% dari NJKB naik menjadi 6%, meningkat sebesar 140%.

Sementara untuk kendaraan ke-4 dan seterusnya, tariff pajak yang semula 4% naik menjadi 10% dari

NJKB atau meningkat sebesar 150%. Dengan formula tersebut, Pemerintah DKI Jakarta berharap untuk

memperoleh peningkatan tambahan pendapatan asli daerah (PAD)-nya sebesar Rp 1,6 triliun hanya dalam

waktu tiga bulan (Oktober s.d. Desember 2014). Pada tahun 2012, PKB menyumbang sekitar Rp 4,6 triliun

untuk Pendapatan Asli Daerah Jakarta, dengan asumsi jumlah kendaraan bermotor saat itu sebanyakr

4.780.893 unit.

Ketua Komisi DPRD DKI Jakarta menyatakan bahwa tujuan tarif marginal pajak progresif tersebut terutama

untuk meningkatkan penerimaan PKB Jakarta. Selain itu, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk

mengurangi peningkatan tingkat kemacetan di Jakarta. Kenaikan tarif PKB progresif dikatakan menjadi

bagian dari paket program reformasi sektor transportasi seiring dengan kebijakan pembangunan Mass

Rapid Transportation (MRT), Monorail, Trans-Jakarta dan Electronic Road Pricing (ERP). Pada saat yang

sama, Pemerintah DKI Jakarta juga akan meninjau kebijakan tarif parkir dan berbagai kebijakan fiscal

daerah lainnya.

Menyadari parahnya kemacetan lalu lintas di Jakarta saat ini serta dampaknya terhadap keberadaan Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia, sangatlah perlu untuk menemukan suatu solusi yang terpadu dan komprehensif untuk memecahkan masalah kemacetan lalu lintas dalam rangka mendukung kelancaran pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, dan mewujudkan tujuan pembangunan transportasi jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan.

2.3 Konsumsi Energi untuk Transportasi di Jakarta

Pertamina mencatat bahwa warga Jakarta adalah pengguna yang paling boros dalam hal konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta Mei 2012 telah melampaui 36% dari total kuota nasional. Pertamina juga menyatakan bahwa kuota Premium bersubsidi di Jakarta pada tahun 2012 adalah 1,5 juta kilo liter. Namun, hingga Mei 2012, sudah 818,369 kilo liter yang dikonsumsi, sudah lebih dari separuh kuota telah habis dikonsumsi sementara masih ada 8 (delapan) bulan lagi tersisa di tahun itu. Secara nasional, realisasi konsumsi BBM bersubsidi tahun 2012 mencapai 14.150.000 kilo liter. Angka tersebut menunjukkan bahwa konsumsi 7,4% pada bulan April tahun 2012 sudah melebihi kuota. Tanpa tindakan pengendalian, maka total konsumsi BBM bersubsidi tahun 2015 diperkirakan akan mencapai 44.100.000 kilo liter. Sebagai catatan, APBN tahun 2012 menetapkan kuota BBM bersubsidi hanya 37,5 juta kilo liter. Namun, dalam APBN-P (APBN Perubahan) tahun 2012, kuota BBM bersubsidi direvisi dan meningkat menjadi 40 juta kilo liter.

Pelaksana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Poernama pada tahun 2013 berencana untuk membebaskan Jakarta dari BBM bersubsidi mulai tanggal 1 Januari 2015. Melalui peraturan

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 20  

daerah (PERDA), yang akan diberlakukan sesegera mungkin, semua Stasium Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang beroperasi di Jakarta akan dilarang menjual BBM bersubsidi dengan sanksi pencabutan izin operasi dari SPBU yang tidak mematuhi PERDA tersebut. Ide ini menjadi kontroversial karena muncul banyak pro dan kontra yang utamanya mengingatkan Pemerintah DKI Jakarta untuk merumuskan kebijakan yang hati-hati dan komprehensif untuk menghindari kemungkinan dampak negatif yang tidak produktif dari kebijakan seperti ini. Secara umum, pertanyaan yang sama muncul: akankah semua kendaraan yang melintas di Jakarta akan terpengaruh oleh kebijakan ini; apakah akan ada perlakuan berbeda antara kendaraan pribadi dan angkutan umum?

Kontroversi terhadap rencana pemerintah Jakarta untuk menghilangkan BBM bersubsidi sebenarnya bukanlah hal baru. Ide membebaskan Kota Jakarta dari distribusi BBM bersubsidi benar-benar dianggap sebagai satu bentuk perlawanan sejak lama terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pernah konsisten dalam menangani masalah-masalah subsidi BBM, lingkungan, dan kesehatan. Ide ini memang radikal di satu negara seperti Indonesia, dimana tidak banyak pemimpin yang berani melawan cengkeraman kebijakan subsidi energi yang sudah lama ada. Biasanya banyak pembuat kebijakan mendukung kebijakan subsidi BBM dengan dalih membela kepentingan umum atau rakyat kecil, meskipun fakta dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa justru penerima manfaat terbesar dari kebijakan subsidi BBM adalah masyarakat kelas menengah ke atas sebagai mayoritas pemilik kendaraan pribadi. Menteri Keuangan RI menyatakan dukungan untuk ide ini, tetapi menyarankan bahwa ada kebutuhan untuk mengkoordinasikan kebijakan antara pemerintah secara vertical dan horisontal, sehingga mekanisme kebijakan ini dapat dirumuskan dengan baik dan tepat. Dalam perspektif anggaran nasional, rencana Jakarta menghapus distribusi BBM bersubsidi tentu akan menyebabkan dampak yang luar biasa, mengingat sampai dengan 2013; Jakarta tercatat sebagai salah satu daerah yang paling dominan dalam penggunaan kuota BBM bersubsidi setiap tahunnya, meskipun terdapat fakta bahwa kuota nasional bahan bakar secara menerus terus terlewati. Pada tahun 2012 saja, misalnya, Provinsi DKI Jakarta terdaftar sebagai propinsi dengan konsumsi BBM tertinggi bahkan melebihi kuota yang ditetapkan sebesar 37,40%, diikuti oleh Jawa Barat dengan 24,30%, Kalimantan 20,70%, Kepulauan Riau 19,70%, Banten 16,20%, dan 16% untuk Kalimantan Selatan. Masyarakat umum juga sudah mengakui bahwa subsidi BBM memang telah menjadi beban bagi APBN setiap tahun.

Dalam APBN tahun 2013, belanja subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp 199,9 triliun, sedangkan dalam Rencana APBN tahun 2014, pemerintah pusat dan DPR telah menyetujui besaran subsidi BBM sebesar Rp 210,7 triliun; ditambah dengan subsidi listrik sebesar Rp 71,4 triliun membuat subsidi energi mencapai total Rp 282,2 triliun pada 2014. Dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang bahkan sampai serkarang masih terus terjadi, belanja subsidi menjadi masalah yang berat. Berbagai upaya juga telah dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi oleh kendaraan dinas instansi pemerintah: larangan terhadap SPBU menjual BBM bersubsidi, pengembangan bahan bakar alternatif, serta berbagai bentuk upaya lainnya, tapi kembali semuanya berakhir tanpa memberikan hasil optimal.

Mekanisme keseluruhan dari kebijakan tersebut memang belum mampu menyentuh masalah utama. Menurut peraturan, masalah subsidi BBM yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Pasal 8, ayat 2 menyatakan bahwa pemerintah harus menjamin pasokan dan distribusi bahan bakar minyak (BBM), yang merupakan komoditas vital dan mendominasi kehidupan orang-orang di seluruh wilayah Republik Indonesia. Ruang lingkup wewenang, mekanisme penetapan jenis, volume, harga

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 21  

bahan bakar, dan area bisnis komersial diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Tertentu dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2004 tentang Minyak dan Gas Hilir. Terkait masalah dan pengaturan pembatasan volume BBM, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Eceran Konsumen dan Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu dalam Pasal 5, ayat 1 dan 2 serta Pasal 6, 7 dan 8. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013, pemerintah juga diminta untuk membuat pengaturan bahan bakar bersubsidi untuk dijual secara bertahap sehingga alokasi subsidi dapat dicapai dengan volume yang tepat dan sesuai dengan target.

Jelas dengan dasar rasionalitas ekonomi dan alasan efisiensi, kebijakan subsidi BBM adalah tidak tepat sasaran, mengingat kebijakan semacam ini akan mendorong konsumsi energi yang melebihi kuota dan merugikan kapasitas fiskal nasional.

Efektif sejak tanggal 18 November 2014, pemerintah telah menerapkan kenaikan Rp 2.000 per liter untuk harga BBM. Dengan kenaikan ini, satu liter bensin bersubsidi (premium) dan solar bersubsidi, masing-masing adalah Rp 8.500 dan Rp 7.500. Selanjutnya, efektif sejak tanggal 1 Januari 2015, subsidi untuk bensin premium telah dihapus sepenuhnya dan diberlakukan subsidi tetap Rp 1.000 (kurang dari 10 sen AS) dari tiap liter solar. Sejak saat itu, harga bensin dan solar eceran, masing-masing telah turun menjadi Rp 7.600 per liter (penurunan 10,6% dari harga semula Rp 8.500) dan Rp 7.250 per liter (penurunan 3,3% dari harga semula Rp 7.500 per liter). Kebijakan yang sudah lama dinantikan ini sebenarnya bertepatan dengan momentum jatuhnya harga minyak internasional. Dari tahun 2013 hingga awal tahun 2015, harga Nymex dan Brent telah turun antara 45% sampai dengan 49%. Perlu juga dicatat bahwa konsensus pasar sekarang mayoritas mempercayai bahwa harga minyak dunia tidak akan rebound ke tingkat harga US$ 100 per barel, setidaknya sampai dengan tahun 2018.

APBN tahun 2015 menunjukkan bahwa sensitivitas keseimbangan fiskal terhadap harga minyak adalah sekitar Rp 3,5 triliun s.d. Rp 4,4 triliun untuk setiap US$ 1 penurunan minyak harga, rentang jumlah sebesar ini berasal dari jumlah penurunan yang besar di sisi pengeluaran dibandingkan dengan sisi penerimaan negara. Dengan demikian, kombinasi dari harga minyak yang lebih rendah dan penghapusan subsidi akan positif untuk revisi APBN tahun 2015. Tim ekonomi Bank Mandiri telah menghitung bahwa beban belanja subsidi BBM secara drastis akan turun menjadi Rp 25 triliun pada tahun 2015 dibandingkan target semula sebesar Rp 276 triliun; yang berarti penghematan anggaran sekitar Rp 251 triliun.3

Sebelumnya, subsidi premium terhitung mengambil rata-rata 62% dari total konsumsi BBM (rata-rata konsumsi premium adalah 26 juta kilo liter per tahun). Sementara, subsidi solar rata-rata hanya 35% dari total subsidi BBM (rata-rata penggunaan solar adalah 16 juta kilo liter per tahun). Penghematan anggaran yang dihasilkan tersebut menghasilkan peluang realokasi besar untuk belanja lain yang lebih efisien dan produktif. Dalam jangka panjang, kondisi fiskal kemungkinan akan lebih berkelanjutan karena jumlah subsidi BBM menjadi lebih mudah diprediksi. Satu-satunya variabel yang akan mempengaruhi skema subsidi tetap adalah besaran konsumsi bahan bakar, sedangkan nilai tukar dan harga minyak dunia akan menjadi tidak relevan.

Tujuan memiliki anggaran publik yang lebih sehat dengan menghapus belanja subsidi BBM adalah untuk mendukung kinerja ekonomi yang lebih baik. Belanja pemerintah merupakan                                                             3 http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/07/analysis-fuel-subsidy-removal-positive-move-begin-new-year.html 

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 22  

salah satu sumber mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (sumber utama lainnya berasal dari investasi swasta). Berbagai penelitian memperkirakan bahwa laju penyerapan anggaran nasional juga akan meningkat pada tahun 2015 dan bisa mendukung target pertumbuhan ekonomi 2015 pemerintah sebesar 5,8%.

2.4 Polutan Utama yang Dihasilkan oleh Kendaraan Bermotor

Bagian ini membahas jenis polusi yang berasal dari penggunaan kendaraan bermotor, dengan harapan bahwa pembaca akan menyadari bahwa masalah penting ini perlu segera diatasi. Polutan utama dari kendaraan bermotor adalah: Senyawa Partikel (PM), hidrokarbon (HC), nitrogen oksida (NOx), Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), polutan udara berbahaya (beracun), dan Gas Rumah Kaca.

• Senyawa Partikel (PM)

Senyawa partikel adalah campuran dari partikel padat dan cairan yang ditemukan di udara. Paparan dengan PM dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, batuk, kesulitan bernapas, menurunnya fungsi paru-paru, memperburuk penyakit asma, bronkitis kronis, denyut jantung tidak teratur, serangan jantung non-fatal, serta beberapa jenis kanker.

• Hidrokarbon (HC)

HC bereaksi dengan Nitrogen Monoksida (NO) saat terkena sinar matahari untuk membentuk ozones di di permukaan tanah, HC juga merupakan bahan utama dalam pembentukan Smog (Smoke-Fog, kabut dengan campuran asap dan polutan atmosfer lainnya). Meskipun, ozon merupakan senyawa penting di bagian atas atmosfer, namun, pada permukaan tanah, senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada sistem pernapasan, menyebabkan batuk, tersedak, dan mengurangi kapasitas paru-paru.

• Nitrogen Oksida (NOx)

Standar Kualitas Udara dari Environmental Protection Agency (EPA), Amerika Serikat menggunakan Nitrogen Dioksida (NO2) sebagai indikator adanya kandungan NOx dalam jumlah yang banyak. Hasil penelitian terbaru yang menghubungkan efek paparan jangka pendek untuk NO2, mulai dari 30 menit sampai dengan 24 jam, akan mengakibatkan efek buruk pada sistem pernapasan, termasuk pembengkakan pada saluran pernapasan pada individu yang sehat, serta menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma.

• Karbon Monoksida (CO)

CO adalah senyawa beracun yang tidak berbau dan tidak berwarna. Pada konsentrasi rendah, CO dapat menyebabkan kelelahan pada orang sehat, atau nyeri dada pada orang yang memiliki penyakit jantung. Dalam konsentrasi tinggi, CO dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan koordinasi, sakit kepala, pusing, kebingungan, dan mual. Dalam konsentrasi yang sangat tinggi CO dapat lebih fatal lagi menyebabkan kematian. Di ruang tertutup, paparan CO dapat memberikan gejala seperti flu, kondisi yang akan hilang setelah keluar ruangan.

• Sulphur Dioxide (SO2)

SO2 merupakan senyawa yang mudah bereaksi. Penelitian terbaru menghubungkan paparan jangka pendek untuk SO2, mulai dari 5 menit sampai dengan 24 jam, akan mengakibatkan

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 23  

berbagai gangguan sistem pernapasan seperti bronkhokonstriksi (penyempitan bronkus di paru-paru) dan meningkatkan gejala asma. Efek ini penting, terutama ketika pasien asma melakukan aktifitas keseharian (misalnya, berolahraga atau bermain).

• Polutan udara berbahaya (toksik/beracun)

Bahan kimia polutan tersebut telah banyak dikaitkan dengan kelahiran cacat, kanker, dan penyakit serius lainnya. Di Amerika Serikat, EPA memperkirakan bahwa udara beracun yang dihasilkan oleh mobil dan truk - termasuk benzena, asetaldehida, dan 1,3-butadin - adalah beberapa dari penyebab semua jenis kanker yang disebabkan oleh polusi udara.

• Gas Rumah Kaca (GRK)

Kendaraan bermotor juga memancarkan polutan, seperti karbon dioksida (CO2) yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Untuk mengatasi masalah kemacetan dan polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor, diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah perlu secara aktif meningkatkan pelayanan angkutan umum sehingga masyarakat semakin termotivasi untuk menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi. Di sisi lain, masyarakat juga perlu secara aktif mendukung pemerintah dengan memilih transportasi umum sebagai pilihan utama, atau menggunakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan, seperti bersepeda.

2.5 Teori Subsidi

Subsidi didefinisikan sebagai pembayaran dari pemerintah kepada seseorang atau perusahaan. Banyak subsidi memang disediakan dalam bentuk berupa hibah atau, lebih umum lagi, sebagai pembayaran langsung. Definisi World Trade Organization (WTO) tentang subsidi adalah lebih komprehensif dan menyimpulkan sebagai berikut: subsidi merupakan kontribusi keuangan oleh pemerintah, atau agen pemerintah, yang memberikan manfaat pada penerimanya. Subsidi dibedakan dalam dua bentuk, yaitu subsidi dalam bentuk uang (transfer tunai) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi yang tidak umum (in-kind).

Konteks subsidi merupakan isu penting dalam sejarah pembangunan ekonomi. Subsidi untuk barang atau jasa merubah harga dari abrang dan jasa tersebut, dan mengakibatkan perubahan jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi. Subsidi dapat diaplikasikan untuk memperbaiki beberapa kegagalan pasar (market failures) - misalnya, jika ada spillovers positif dari kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) maka mereka yang melakukan penelitian tidak memperoleh semua manfaat, maka hasil R&D mereka akan menghasilkan jumlah manfaat yang sub-optimal; subsidi dapat diberikan untuk mengkompensasi para peneliti untuk lebih giat lagi melakukan penelitian sehingga efisiensi secara social dapat tercapai (Holton, 2012).

Subsidi memang dapat menjadi kebijakan yang tepat dan berguna, namun para ekonom sangat prihatin dengan subsidi yang tidak efisien, yang menyebabkan situasi di mana harga menjadi tidak sesuai dengan beban biaya keseluruhan untuk masyarakat dalam memproduksi atau mengkonsumsi dari sebuah barang atau jasa dengan jumlah lebih besar. Subsidi dapat membuat alokasi sumber daya yang tidak efisien, karena konsumen membayar barang dan jasa lebih rendah dibandingkan harga pasar yang merupakan harga keseimbangan, dan kemudian ada kecenderungan bagi konsumen untuk tidak berhemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 24  

2.5.1. Dampak Subsidi BBM Berbasis Fosil

Kebijakan subsidi dapat dibenarkan jika kesejahteraan sosial secara keseluruhan meningkat. Situasi ini terjadi ketika keuntungan sosial atau perbaikan lingkungan melebihi biaya ekonomi. Namun, pengalaman di banyak negara memberikan bukti bahwa efek dari subsidi adalah negatif. Dengan kata lain, kesejahteraan sosial secara keseluruhan akan lebih tinggi tanpa subsidi. Hal ini mungkin terjadi jika alasan untuk subsidi tidak terlalu meyakinkan, misalnya, karena terlalu banyak penekanan tujuan dari kebijakan tertentu yang merugikan orang lain. Cara dimana subsidi diterapkan juga mungkin tidak akan efektif. Bahkan dalam situasi dimana keuntungan netto dari kebijakan subsidi energi adalah positif, subsidi energi mungkin saja bukanlah cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan.

Banyak argumen ekonomi yang gunakan untuk rekomendasi penghapusan subsidi BBM. Beberapa menyatakan bahwa kebijakan subsidi BBM tidak efisien karena kebijakan tersebut menghasilkan distorsi dalam perekonomian; dan juga sangat tidak adil karena orang-orang kaya menerima lebih banyak manfaat daripada orang miskin. Banyak hasil penelitian telah menunjukkan bahwa subsidi BBM tidak efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi atau menjamin tercapainya pemerataan pendapatan. Bahkan, sebagian besar penelitian justru menunjukkan bahwa subsidi BBM menghambat pertumbuhan ekonomi dan merusak prinsip keadilan, dan karenanya harus dikurangi jika tidak dihapuskan sepenuhnya. Bagian tulisan selanjutnya serta Tabel 8 merupakan rangkuman dari jenis dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial dari kebijakan subsidi bahan bakar berbasis fosil (Ellis, 2010).

2.5.2. Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi dari subsidi bahan bakar fosil yang terutama adalah:

Subsidi dapat meningkatkan konsumsi energi dan mengurangi insentif untuk terciptanya efisiensi energi. Subsidi yang mengurangi harga akan mendorong konsumsi energi yang lebih tinggi, serta mengurangi insentif untuk menggunakan energi secara efisien. Subsidi yang mengurangi biaya produksi bagi produsen akan menjadi disinsentif bagi produsen untuk meminimalkan biaya dan meningkatkan efisiensi-nya;

Subsidi dapat menurunkan pendapatan devisa. Subsidi yang mendorong konsumsi yang lebih besar akan mengurangi peluang ekspor bahan bakar fosil bagi negara dan pendapatan yang dihasilkan dari ekspor tersebut;

Subsidi akan menguras keuangan pemerintah melalui berkurangnya transfer langsung dari anggaran pemerintah, minimnya pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur atau penelitian dan pengembangan (R&D) serta mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak. Hal-hal ini dapat menyebabkan defisit fiskal dan akumulasi utang;

Subsidi dapat meningkatkan ketergantungan negara pada impor. Subsidi yang meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil di negara yang merupakan produsen bahan bakar non-fosil akan meningkatkan ketergantungan impor Negara tersebut;

Subsidi akan melemahkan investasi dalam pengembangan sumber-sumber energi alternatif dan teknologi energi alternatif. Dengan meningkatkan permintaan konsumen atau penurunan biaya produksi bagi produsen untuk bahan bakar fosil, subsidi akan mendistorsi pasar dan mengurangi investasi dalam pengembangan

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 25  

sumber-sumber energi alternatif atau teknologi energi alternatif yang berpotensi lebih efisien atau tidak terlalu membahayakan lingkungan;

Subsidi mendorong pola produksi yang energi-intensif dengan mengorbankan kesejahteraan buruh. Subsidi yang menyebabkan harga lebih rendah bagi konsumen dapat mengakibatkan konsentrasi kegiatan ekonomi pada produksi yang energi-intensif, mungkin dengan mengorbankan pola produksi yang lebih padat karya;

Subsidi BBM dapat menyebabkan penyalahgunaan bahan bakar untuk keperluan yang tidak dimaksudkan karena subsidi akan menurunkan harga bahan bakar tertentu;

Subsidi dapat menyebabkan kelangkaan atau sistem penjatahan yang berbiaya tinggi. Subsidi yang menyebabkan harga yang lebih rendah bagi konsumen akan juga menyebabkan pendapatan yang lebih rendah bagi produsen sehingga produsen akan memproduksi lebih sedikit atau mengekspor lebih banyak, dan pada akhirnya mengakibatkan kekurangan atau kebutuhan untuk sistem penjatahan; serta

Subsidi dapat mendorong praktik penyelundupan dan korupsi. Subsidi yang menyebabkan harga yang lebih rendah bagi konsumen, akan juga menyebabkan pendapatan yang lebih rendah bagi produsen sehingga mendorong penyelundupan bahan bakar ke Negara lain yang harganya lebih tinggi.

2.5.3. Dampak Lingkungan

Produksi bahan bakar fosil dan konsumsi memiliki berbagai dampak lingkungan. Dampak utama meliputi:

Emisi gas rumah kaca. Konsumsi bahan bakar fosil merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca global;

Polusi udara tingkat lokal. Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan polutan termasuk sulfur dioksida, nitrogen oksida dan senyawa partikel, yang dilepaskan ke atmosfer, menyebabkan dampak kesehatan jangka pendek dan panjang serta kerusakan pada struktur pertanian dan lingkungan;

Pencemaran air. Produksi dan konsumsi bahan bakar fosil dapat menyebabkan polusi air melalui banyak cara, termasuk kecelakaan kapal tanker dan tumpahan minyak, polusi air dari limpasan dan pencucian dari tailing dan pencucian batubara, serta pencemaran air dari banjir tambang tertutup yang akhirnya mencemari air tanah;

Kehancuran Landscape. Ekstraksi bahan bakar fosil sering memberikan kontribusi terhadap kehancuran landscape, terutama dalam kasus pertambangan batubara; dan

Penipisan stok bahan bakar fosil yang tidak terbarukan. Subsidi yang mendorong konsumsi bahan bakar fosil lebih tinggi akan mempercepat penurunan cadangan dari sumber daya yang tidak dapat diperbaharui.

2.5.4. Dampak Sosial

Potensi dampak sosial dari subsidi bahan bakar fosil adalah sebagai berikut:

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 26  

Subsidi dapat menguntungkan masyarakat kaya daripada orang miskin, karena orang kaya-lah yang menghabiskan lebih banyak uang pada energi dan memiliki akses yang lebih besar untuk energi. Bahkan ketika tingkat konsumsi energi meningkat sebagai akibat dari subsidi, masyarakat yang lebih kaya akan memperoleh manfaat yang lebih besar dari harga mutlak energi yang lebih rendah dibandingkan masyarakat miskin;

Subsidi dapat mengurangi energi yang tersedia untuk masyarakat miskin karena dalam harga yang rendah secara artificial (dipaksakan), produsen mungkin memiliki sedikit insentif untuk memproduksi atau memasok lebih, dengan demikian persentase yang lebih tinggi dari apa yang dipasok hanya dapat dikonsumsi oleh orang kaya;

Subsidi sering tidak menargetkan jenis energi yang akan lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin. Subsidi dapat mendukung proyek-proyek padat modal seperti bendungan atau pembangkit listrik, namun dengan mengorbankan proyek penyediaan layanan energi yang padat karya di tingkat lokal. Pembangkit listrik dan pembangunan bendungan dapat menciptakan dampak lingkungan negatif yang utamanya mempengaruhi kondisi masyarakat miskin, sementara pembangkit listrik dan bendungan tidak meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap energi;

Subsidi dapat mengalihkan uang pemerintah yang bisa lebih efektif diarahkan untuk program-program sosial, seperti kesehatan, pendidikan gratis, kupon makanan atau ditargetkan tunai; dan

Konsumsi dan produksi bahan bakar fosil menghasilkan emisi di tingkat lokal yang menyebabkan efek buruk pada kesehatan yang akan dialami masyarakat miskin khususnya, karena pilihan mereka lebih terbatas mengenai dimana mereka tinggal.

Tabel 8 berikut merangkum bukti empiris dari dampak subsidi BBM terhadap aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial, termasuk studi kasus subsidi BBM di berbagai negara (UNEP, 2003).

Tabel 8: Ringkasan Hasil Studi Empiris Dampak Subsidi Energi: Kasus Beberapa Negara

Negara/Wilayah Jenis Energi

Bersubsidi

Dampak Ekonomi Dampak

Lingkungan

Dampak Sosial

OECD Semua jenis Studi menunjukkan

bahwa menghapus

subsidi bahan bakar

fosil akan

mendorong

pertumbuhan

ekonomi dan

perdagangan.

Karena sebagian

besar subsidi

dikenakan untuk

bahan bakar fosil,

menghapus subsidi

akan mengurangi

bahaya dari

emisi CO2

.

Efek distribusi

jangka pendek

yang signifikan,

utamanya pada

lapangan kerja dan

pengeluaran

rumah tangga

untuk energi.

Republik Czech &

Slovakia

Semua Jenis Subsidi telah

menghambat

restrukturisasi

ekonomi dan

menghambat

Subsidi telah

memperburuk

lingkungan

karena efeknya

terhadap pasokan

Tidak ada studi

yang meneliti

secara rinci

mengenai dampak

sosial dari subsidi

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 27  

Negara/Wilayah Jenis Energi

Bersubsidi

Dampak Ekonomi Dampak

Lingkungan

Dampak Sosial

inovasi, sehingga

intensitas energi

menjadi tinggi dan

efisiensi energi yang

rendah.

energi dan

konsumsi,

termasuk efek

buruk pada udara,

polusi dan

emisi CO2 di

tingkat lokal dan

regional

meskipun

dukungan

terhadap

pendapatan rumah

tangga merupakan

alasan utama

untuk subsidi

energi

Rusia Pemanas Rumah Subsidi konsumen

yang besar bersama

dengan kurangnya

pengukuran dan

masalah

pembayaran

menyebabkan

limbah dan merusak

iklim investasi dan

efisiensi

Penghapusan

subsidi listrik saja

akan mengurangi

emisi CO2 sebesar

99 juta ton, setara

dengan sepertiga

dari total emisi

sektor listrik saat

ini

Penghapusan

subsidi akan

meningkatkan

biaya pelayanan

kepada konsumen,

juga akan

meningkatkan

kualitas layanan

dan meningkatkan

kemampuan

untuk memperluas

dan meningkatkan

kapasitas

India Listrik Subsidi mendorong

percemaran limbah

dan menghambat

investasi kelistrikan

yang penting dalam

pembangunan

ekonomi.

Penghapusan

subsidi akan

memangkas

permintaan dalam

jangka panjang

sebesar 34%

Penghapusan

subsidi listrik saja

akan mengurangi

emisi CO2 sebesar

99 juta ton, setara

dengan sepertiga

dari total emisi

sektor listrik saat

ini.

Penghapusan

subsidi akan

meningkatkan

biaya pelayanan

kepada rumah

tangga konsumen,

juga akan

meningkatkan

kualitas layanan

dan meningkatkan

kemampuan untuk

memperluas dan

meningkatkan

kapasitas

Indonesia Semua Jenis Biaya ekonomi netto

dari subsidi untuk

minyak tanah, solar,

bensin dan bahan

bakar minyak telah

mencapai 4 miliar

USD hanya pada

tahun 2001

Subsidi

memperburuk

polusi, terutama

senyawa

partikel dan timbal

Mengurangi

subsidi akan

memudahkan

alokasi sumber

daya untuk

membantu

masyarakat miskin

dengan cara yang

lebih efektif

Korea Semua Jenis Subsidi batubara

sekitar 500 juta USD

per tahun dan

subsidi silang yang

Subsidi untuk

batubara dan

pengguna industri

listrik dan gas telah

Mengurangi

subsidi akan

memudahkan

alokasi sumber

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 28  

Negara/Wilayah Jenis Energi

Bersubsidi

Dampak Ekonomi Dampak

Lingkungan

Dampak Sosial

besar pada listrik

dan gas, bersama-

sama dengan sistem

pajak, telah

mendistorsi pola

penggunaan energi

mendorong

konsumsi bahan

bakar fosil yang

berlebihan dan

akibatnya

meningkatkan

emisi

daya untuk

membantu

masyarakat miskin

dengan cara yang

lebih efektif.

Penghapusan

subsidi batubara

akan memiliki

dampak sosial dan

ekonomi yang

serius bagi

masyarakat dalam

sektor

pertambangan .

Iran All Types Subsidi

menyebabkan

penggunaan energi

yang tidak efisien,

terutama dalam

membebani

keuangan publik dan

telah mengakibatkan

kinerja yang buruk

pada sektor energi.

Penggunaan

energi yang

berlebihan telah

memperburuk

polusi tingkat lokal

dan regional,

terutama

memperburuk

masalah

kesehatan

masyarakat

Subsidi utamanya

menguntungkan

kelompok

masyarakat

berpendapatan

tinggi yang

mengkonsumsi

jumlah yang lebih

besar dari subsidi

energi. Namun,

menghapus

subsidi akan

memiliki dampak

yang dramatis

pada anggaran

belanja rumah

tangga

Senegal Elpiji Subsidi telah

berhasil mendorong

penggunaan LPG,

membawa beberapa

manfaat ekonomi

tetapi dengan biaya

yang signifikan

Pertumbuhan

penggunaan LPG

telah menghasilkan

penghematan

sekitar 70.000 ton

kayu bakar dan

90.000 ton karbon

per tahun,

mengurangi

deforestasi dan

polusi

Subsidi telah

meningkatkan

standar

kenyamanan dan

keamanan rumah

tangga, serta telah

meningkatkan

pendapatan

masyarakat.

Chile Minyak dan

Batubara

Penghapusan

subsidi batubara

pada tahun 1995

adalah efisien

secara ekonomi.

Menghapus subsidi

Manfaat

Lingkungan dari

reformasi subsidi

dalam kedua jenis

energi

menghasilkan

Menghapus

subsidi minyak

sepenuhnya akan

memiliki dampak

negatif yang sedikit

lebih besar pada

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 29  

Negara/Wilayah Jenis Energi

Bersubsidi

Dampak Ekonomi Dampak

Lingkungan

Dampak Sosial

minyak akan

menimbulkan biaya

ekonomi hanya

dalam jangka

pendek.

pengurangan yang

besar dalam

senyawa partikel

CO2 dan emisi

CO2.

kelompok rumah

tangga

berpendapatan

lebih tinggi.

Sumber: UNEP (2003)

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 30  

3. Pengumpulan dan Perhitungan Data

3.1 Pengumpulan Data

Ada dua sumber utama dari data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) untuk wilayah Jabodetabek dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) selama periode 2010 s.d. 2013. Data SUSENAS didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan APBN diperoleh dari publikasi Kementrian Keuangan.

Penelitian ini menggunakan versi modul dari panel data SUSENAS. Modul SUSENAS adalah versi terinci dari SUSENAS yang berfokus pada pengeluaran, pendidikan, atau kesehatan di setiap tahun publikasi. Terkait dengan tujuan penelitian ini, Tabel 9 berikut menyajikan data yang diambil dari SUSENAS serta data makroekonomi lainnya yang digunakan.

Tabel 9: Data SUSENAS dan Data Makroekonomi lainnya

Modul SUSENAS 2010, 2011, dan 2012 Data Makroekonomi Lain Blok I

Kode kabupaten / kota

Kode kecamatan

Kode desa / kelurahan

Status desa / kota (untuk DKI Jakarta

menggunakan perkotaan saja)

Block Nomor Sensus

Nomor blok rumah tangga

Nomor sampel rumah tangga

Blok II

Ukuran rumah tangga

Blok IV.2 (Pengeluaran Non-Makanan)

Pengeluaran untuk perumahan dari rumah tangga

Konsumsi rumah tangga untuk BBM (liter)

Pengeluaran rumah tangga untuk BBM (Rupiah)

Blok IV.3

Jumlah pengeluaran rumah tangga

Timbangan

Timbangan sampel Individu

Kementrian Keuangan

Belanja Subsidi BBM Aktual (APBN)

Subsidi per liter

BPS

Ukuran populasi Indonesia

Ukuran populasi per wilayah (Jabodetabek)

3.1.1. Perhitungan Data

Langkah 1. Menghitung jumlah subsidi BBM per kapita selama periode 2010 s.d. 2012

Jumlah subsidi BBM per kapita (Rp) diperoleh dengan cara membagi jumlah belanja aktual untuk bahan bakar (APBN) dengan ukuran populasi:

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 31  

……………………………………. (1)

dimana:

fusp: Unit subsidi BBM per kapita (Rp)

Langkah 2. Mengidentifikasi pengguna bahan bakar

Mengidentifikasi pengguna bahan bakar berguna untuk mendapatkan informasi umum tentang ukuran konsumsi bahan bakar dan pengeluaran bahan bakar di sebuah kota. Berdasarkan informasi dari Blok II dan Blok IV.3 di modul SUSENAS, jumlah pengguna bahan bakar dapat diidentifikasi berdasarkan tempat tinggal dengan menggunakan software STATA. Untuk tingkat kota, kami menghitung total konsumsi dan total pengeluaran untuk bahan bakar sebagai berikut:

, ∑ ……………………………………………………………….(2)

, ∑ ………………………..……………………………..……..(3)

Sementara itu, konsumsi bahan bakar per kapita dan pengeluaran bahan bakar per kapita adalah:

, ……………………………………..………………………………………(4)

, ……………………………………………………………………………..(6)

dimana:

cfc : konsumsi bahan bakar kota (liter):

hhfc : konsumsi bahan bakar rumah tangga (liter)

CFE : pengeluaran bahan bakar kota (Rp)

Hhfexp : pengeluaran bahan bakar rumah tangga (Rp)

Hhsize : jumlah rumah tangga

Pop : ukuran populasi

i : Kota

n : 1, ..., n masing-masing mewakili nomor rumah tangga

y : tahun

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 32  

Langkah 3. Agregasi rumah tangga berdasarkan kelompok pendapatan

Untuk menganalisis distribusi bahan bakar, Benefit Incidence Analisis dari bahan bakar dapat dilakukan. Tujuannya untuk melihat apakah bahan bakar yang dikonsumsi lebih besar pada rumah tangga miskin atau kaya.

Pertama, kami mengklasifikasikan pendapatan rumah tangga ke dalam 5 kelompok atas dasar pengeluaran. Data diperoleh dari Blok IV.3 modul SUSENAS. Kelompok 1 mewakili kelompok masyarakat berpendapatan terendah. Kemudian, untuk masing-masing kelompok, kita menghitung jumlah konsumsi bahan bakar dan pengeluaran bahan bakar sebagai berikut:

, ∑ ……………………………………………………………….(7)

, ∑ …………………...…………………….………………….(8)

, ∑ , 0 ...............………………..………………….(9)

dimana:

gfc : konsumsi bahan bakar per kelompok rumah tangga (liter)

gfe : pengeluaran bahan bakar per kelompok rumah tangga (Rp)

gf : jumlah pengguna bahan bakar (individu), jika jumlah konsumsi lebih besar dari nol

j : 1, ..., 5 masing-masing mewakili kelompok pendapatan rumah tangga

y : tahun

Langkah 4. Mengkalikan biaya per unit berdasarkan penerima manfaat

Untuk mendapatkan besaran subsidi, kita mengkalikan biaya per unit bahan bakar dengan jumlah penerima manfaat bahan bakar sebagai berikut:

, ……………………………………………………………….(10)

dimana:

bgfc : jumlah subsidi untuk masing-masing kelompok rumah tangga

j : 1, ..., 5 masing-masing mewakili kelompok pendapatan rumah tangga

y : tahun

Kami juga menggunakan ukuran lain untuk menghitung besarnya subsidi dengan mengalikan konsumsi bahan bakar dengan jumlah subsidi per liter:

, ……………………………………………………………….(11)

dimana:

sgfc : jumlah subsidi BBM untuk masing-masing kelompok rumah tangga (Rp)

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 33  

gfc : konsumsi bahan bakar per kelompok rumah tangga

fsl : jumlah subsidi per liter (Rp)

j : 1, ..., 5 masing-masing mewakili kelompok pendapatan rumah tangga

y : tahun

Langkah 5. Menghitung Progresivitas Subsidi

Progresivitas subsidi dihitung dengan membagi bahan bakar subsidi dengan pengeluaran rumah tangga.

……………...………………………………………………(12)

dimana:

progf : progresivitas subsidi (%)

Langkah 6. Menghitung porsi anggaran konsumsi bahan bakar terkait

Porsi anggaran dihitung dengan membagi pengeluaran rumah tangga pada item bahan bakar terkait dengan total pengeluaran rumah tangga.

…………………………………………………………………(12)

dimana:

hfbs : Porsi anggaran rumah tangga untuk bahan bakar (%)

Langkah 7. Mengukur dampak langsung dari pengurangan dan penghapusan subsidi

Dampak langsung dari pengurangan dan penghapusan subsidi BBM diperoleh dengan mengkalikan porsi anggaran untuk bahan bakar dengan persentase kenaikan BBM. Kemudian kami menghitung kenaikan harga BBM berdasarkan data historis untuk mendapatkan rata-rata kenaikan harga BBM.

3.1.2. Pengaturan Asumsi dan Penanganan data

Menghitung nilai-nilai besaran yang diperlukan melalui langkah 1 sampai dengan langkah 7 merupakan tantangan tersendiri bagi peneliti karena masalah ketersediaan data. Tidak ada publikasi resmi tentang berapa besaran jumlah subsidi untuk Premium dan Pertamax sebelum tahun 2013, sehingga perhitungan subsidi per orang sebagaimana tercantum pada langkah 1 harus dilakukan dengan mengambil data dari sumber-sumber terkait yang tersedia dan dengan menetapkan beberapa asumsi. Selain itu, data SUSENAS tidak membedakan besaran konsumsi Premium dan Pertamax secara terpisah. Sebaliknya, SUSENAS hanya menyediakan data jumlah total rupiah konsumsi dari dua jenis bahan bakar dalam satu bagian. Rincian lebih lanjut dari perhitungan akan dijelaskan berikut.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 34  

Untuk menghitung jumlah subsidi BBM per liter selama periode 2010-2012, kami menggunakan data subsidi untuk 2013. Berdasarkan data dari Nota Fiskal dan RAPBN 2013, nilai total subsidi untuk bahan bakar adalah Rp 199,85 triliun, yang dialokasikan untuk subsidi premium sebesar Rp 83,5 triliun. Pada saat yang sama, jumlah Public Service Obligation (PSO) dari kuota premium adalah 30.770 juta kilo liter. Kami mengasumsikan bahwa total volume subsidi premium sama dengan jumlah kuota. Kemudian, dengan membagi nilai subsidi dengan volume kuotanya, kita mendapatkan jumlah rupiah subsidi per liter yakni Rp 2,714.

Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Data break-down dari subsidi BBM menurut jenis sebelum tahun 2013 tidak dapat diperoleh, yang tersedia hanya sejumlah kesatuan dari nilai subsidi BBM yang terdiri dari premium, minyak tanah, solar dan LPG. Oleh karena itu, untuk menghitung jumlah subsidi Premium per liter, kami menambahkan perbedaan antara harga Premium selama tahun 2012 dan 2013 dengan jumlah subsidi premium pada tahun 2013. Harga bahan bakar premium masih tetap di angka Rp 4.500 dari sejak tahun 2008 hingga kuartal pertama 2013, sebelum naik menjadi Rp 6.500 pada bulan Juni 2013. Oleh karena itu, kita mengasumsikan bahwa nilai subsidi per liter untuk tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 adalah Rp 4.714 atau setara dengan subsidi Rp 2.714 ditambah perbedaan Rp 2.000 harga BBM jenis premium selama dua periode.

Selain subsidi BBM per liter, data modul SUSENAS juga tidak menyediakan jumlah konsumsi yang terpisah untuk Premium dan Pertamax yang mengartikan bahwa kita tidak bisa secara langsung mendapatkan jumlah subsidi premium yang diterima oleh masing-masing kelompok masyarakat penerima manfaat. Untuk tujuan ini, kami mempertimbangkan dua opsi perhitungan.

Pertama, menggunakan data konsumsi Premium di tingkat nasional untuk periode tertentu dari publikasi yang tersedia dan kemudian menggabungkannya dengan data SUSENAS pada tahun yang sama. Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal (BKF)4, Kementrian Keuangan, volume konsumsi bensin (Premium) selama tahun 2011 adalah 24,54 juta kl. Dengan menghitung volume konsumsi total Premium dan Pertamax dalam modul SUSENAS pada tahun yang sama dan mengadopsi jumlah 24,54 juta kl menjadi konsumsi modul, kita dapat memperoleh proporsi jumlah Premium dalam keranjang total Pertamax dan Premium. Selanjutnya kita bisa menggunakan proporsi ini untuk menghitung konsumsi premium untuk tingkat DKI Jakarta; dan

Kedua, menggunakan porsi penjualan premium terhadap total penjualan BBM pada

tahun 2011. Menurut laporan International Institute for Sustainable Development (IISD), data yang dikumpulkan dari Media Indonesia (2012) dan Kompas (2012) mengestimasikan bahwa volume Premium (RON 88) yang terjual selama tahun 2011 adalah 25,5 juta kl, Pertamax (RON 92) terjual sebanyak 1,4 juta kl dan jumlah penjualan bahan bakar lain termasuk Solar tetapi tidak termasuk Pertamax Plus (RON 95) adalah 41,4 juta kl karena volume penjualan Pertamax Plus tidak dipublikasikan. Dengan menambahkan volume Premium dan Pertamax yang terjual, kita bisa memperoleh proporsi konsumsi premium terhadap total penjualan BBM.

Ada dua kemungkinan kelemahan dari metode tersebut, angka yang terhitung bisa jadi underestimated, terutama untuk konsumsi Pertamax. Hal ini jelas karena mayoritas pengguna

                                                            4 Global Subsidies Initiative (GSI) and International Institute for Sustainable Development (IISD) bulletin, Ed.1, Vol.1, March, 2014. 

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 35  

Pertamax memang terkonsentrasi di Jakarta, terutama mereka yang berada di kelompok pendapatan tengah ke atas atau tingkat tertinggi. Oleh karena itu, menerapkan porsi nasional sama untuk setiap kelompok pendapatan dalam metode pertama dapat mengakibatkan bias dalam perhitungan. Namun, ini mungkin bukan angka porsi yang layak digunakan dalam penelitian lebih lanjut, karena akan lebih baik tentunya untuk mendapatkan komposisi yang nyata tentang proporsi konsumsi Pertamax dan Premium di Jakarta melalui kompilasi berbagai sumber publikasi. Menerapkan metode kedua juga bisa berpotensi bias karena data konsumsi Pertamax Plus tidak ikut dalam perhitungan.

Pada akhirnya, penelitian ini memang hanya membutuhkan analisis dampak langsung dari subsidi bahan bakar dan mengesampingkan analisis dampak tidak langsung yang membutuhkan data-data yang lebih komprehensif seperti tabel Input-Output (IO). Secara umum, langkah-langkah penelitian di masa depan yang akan dilakukan masih memerlukan analisis yang lebih baik, dimana kita bisa menggunakan analisis yang lebih komprehensif dengan metode yang mampu melepaskan semua asumsi yang membatasi hasil penelitian ini.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 36  

4. Hasil

Dengan menggabungkan data sekunder dari Pertamina UPMS II dan SUSENAS 2012, kami mampu mengestimasi jumlah volume konsumsi energi berdasarkan kelompok pengguna dan jenis bahan bakar energi yang dikonsumsi. Tabel 10 menunjukkan bahwa premium dan solar adalah dua jenis bahan bakar yang umum dikonsumsi untuk tujuan industri dan transportasi. Mengenai BBM bersubsidi seperti premium dan solar, di Jakarta, tercatat total konsumsi sebanyak 4.282.882 kilo liter untuk tujuan transportasi pada tahun 2012.

Tabel 10: Distribusi Energi Berdasarkan Tujuan Penggunaan di Jakarta (Kilo Liter) 2012

Jenis Bahan Bakar Rumah Tangga Industri Transportasi

Premium - 2.953.744

Minyak Tanah 131.927 5.939 -

Elpiji 2.138.353

Bio Energi 4.414

Solar - 140.364.337 1.329.138

Minyak Solar - 11.837.716

Sumber: Pertamina UPMS II dan BPS, 2012 Dari analisis data SUSENAS, kami mengestimasi pengeluaran rata-rata bulanan rumah tangga di Jakarta pada tahun 2012 adalah sekitar Rp 5,5 juta. Dengan anggota rumah tangga rata-rata 3,5 orang per rumah tangga, kami kemudian menghitung pengeluaran per kapita pada periode yang sama yaitu sebesar Rp 1,57 juta per bulan atau Rp 18,9 juta per tahun. Jumlah ini hampir sama dengan Upah Minimum Kota Jakarta tahun 2012 sebesar Rp 1.529.150 per bulan.5

Tabel 11: Pengeluaran Rumah Tangga dan Ratio Pengeluaran terhadap Kelompok Termiskin, 2012

Kelompok

Pendapatan

Total

Pengeluaran

(Rp/bln)

Pengeluaran

Makanan

(Rp/bln)

Pengeluaran

Non-Makanan

(Rp/bln)

Pengeluaran

Per Kapita

(Rp/bln)

Rasio Pengeluaran terhadap

kelompok termiskin

(%)

Rumah

Tangga

Per Kapita

1 2.281.523 1.258.265 1.023.258 477.063 100 100

2 3.155.509 1.659.293 1.496.217 728.483 138 153

3 4.008.145 1.967.538 2.040.607 1.099.715 176 231

4 5.879.725 2.360.707 3.519.018 1.679.909 258 352

5 12.537.651 3.053.943 9.483.708 3.900.772 550 818

Rata-rata 5.565.583 2.058.790 3.506.793 1.574.909

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan SUSENAS

                                                            5 http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/ekonomiumrd.php?ia=31&is=45.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 37  

Diestimasikan bahwa pengeluaran per kapita untuk kelompok berpendapatan terendah di Jakarta adalah kurang dari setengah juta rupiah per tahun, sementara, pengeluaran per kapita kelompok terkaya mencapai Rp 3,9 juta. Tabel 11 menunjukkan bahwa kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin pada tahun 2012 adalah sangat lebar. Menggunakan total pengeluaran rumah tangga, bagian pengeluaran rumah tangga terkaya adalah sekitar 5,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga termiskin. Kesenjangan ini bahkan lebih lebar lagi ketika kita menggunakan rasio pengeluaran per kapita (Rp/bulan) dimana terestimasi bahwa setiap individu dari kelompok kaya di Jakarta, rata-rata menghabiskan 8,8 kali lebih banyak dari setiap individu dari kelompok yang miskin.

Gambaran lebih buruk lagi dapat dilihat pada Tabel 11 dimana terdapat kesenjangan yang lebar antara jumlah pengeluaran non-makanan bulanan kelompok kaya dengan kelompok miskin (Rp 9.483.708 dibandingkan dengan hanya Rp 1.023.258). Karena kontribusi komoditas non-makanan terhadap tingkat inflasi dan kemiskinan di Jakarta makin besar akhir-akhir ini, kesenjangan ini menunjukkan bahwa kelompok pendapatan termiskin jelas paling menderita akibat tekanan inflasi. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2012, konsumsi rata-rata bahan bakar rumah tangga di Jakarta adalah sekitar Rp 210.452 per bulan. Dengan asumsi bahwa jumlah rumah tangga di Jakarta pada tahun 2012 adalah 2.325.973 unit6 maka kita dapat mengestimasikan bahwa jumlah bahan bakar yang dikonsumsi oleh rumah tangga di Jakarta pada tahun 2012 adalah 5.118.164.028,12 liter, jumlah yang melebihi kuota yang ditetapkan oleh Pertamina yang hanya 4.282.882.000,00 liter pada tahun itu (lihat Tabel 10). Karena penelitian ini hanya berfokus pada konsumsi premium sedangkan total kuota sudah termasuk solar didalamnya, maka terlihat seberapa besar konsumsi berlebihan terhadap energi di wilayah Jakarta.

Perlu dicatat bahwa Tabel 12 memperlihatkan pangsa pengeluaran bahan bakar terhadap total belanja untuk kelompok terkaya, lebih besar daripada kelompok miskin, meskipun pendapatan kelompok kaya juga lebih besar dari yang paling miskin. Dalam hal porsi, rata-rata konsumsi bahan bakar mendekati angka 4% dari total belanja, atau 6% dari pengeluaran non-makanan. Tabel 12 juga menunjukkan bahwa porsi rata-rata konsumsi bahan bakar terhadap total belanja mengikuti pola distribusi normal. Kelompok pendapatan menengah mengkonsumsi lebih banyak bahan bakar dibandingkan dengan kelompok kaya dan kelompok miskin.

                                                            6 World Bank (2014), Jakarta Case Study Overview, Climate Change, Disaster Risk And The Urban Poor: Cities Building Resilience For A Changing World. http://siteresources.worldbank.org/INTURBANDEVELOPMENT/Resources/336387-1306291319853/CS_Jakarta.pdf

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 38  

Tabel 12: Konsumsi BBM Rumah Tangga di Jakarta, 2012

Kelompok

Pendapatan

Pengeluaran

untuk BBM

(Liter/bln)

Pengeluaran

untuk BBM

(Rp/bln)

Porsi pengeluaran

BBM terhadap

total Pengeluaran

(% )

Porsi pengeluaran

BBM terhadap

Pengeluaran Non

Makanan (% )

1 19,41 52.653 2,31 5,15

2 25,33 117.568 3,73 7,86

3 25,46 151.278 3,77 7,41

4 40,84 268.624 4,57 7,63

5 72,33 441.813 3,52 4,66

Rata-rata 37,21 210.452 3,78 6,00

Sumber: Hasil perhitungan penulis berdasarkan SUSENAS 2012

Dari Tabel 12, terlihat bahwa jumlah Rupiah dari konsumsi bahan bakar kelompok kaya adalah sekitar 8 (delapan) kali lebih tinggi di atas kelompok miskin. Namun demikian, jumlah ini terdiri dari pengeluaran total dari Premium dan Pertamax. Sedangkan, untuk kelompok masyarakat berpendapatan terendah, jelas konsumsi Pertamax mereka adalah nol. Gambar 8 menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga di Jakarta untuk bahan bakar meningkat seiring dengan peningkatan kelompok pendapatan, dan juga dengan arah yang sama terhadap total pengeluaran, akan tetapi peningkatan pengeluaran bahan bakar berdasarkan kelompok pendapatan memiliki tingkat progresivitas yang lebih tinggi.

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan SUSENAS 2012.

Gambar 9: Progresivitas Pengeluaran Bahan Bakar Rumah Tangga di Jakarta berdasarkan Kelompok Pendapatan, 2012

2,31

3,78 3,77

4,57

3,523,78

11,38

1,75

2,55

5,5

2,44

0

1

2

3

4

5

6Porsi Belanja BBM thdpTotal

Rasio Pengeluarandibanding KelompokTermiskin

Linear (Porsi Belanja BBMthdp Total)

Linear (Rasio Pengeluarandibanding KelompokTermiskin)

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 39  

Karena tidak ada data resmi yang lengkap mengenai jumlah masing-masing konsumsi premium dan pertamax, kami menggunakan asumsi bahwa: (i) konsumsi pertamax dari masing-masing kelompok pendapatan semakin meningkat sebesar 10; dan (ii) konsumsi kelompok termiskin untuk pertamax adalah nol liter. Berdasarkan dua asumsi tersebut, maka konsumsi untuk masing-masing kelompok pendapatan disajikan pada Gambar 9, dimana ditunjukkan bahwa konsumsi rata-rata untuk pertamax di Jakarta adalah sekitar 7 liter atau 20% dari total konsumsi pertamax dan premium; menyiratkan bahwa konsumsi BBM bersubsidi (premium dalam kasus ini) sangat jauh melebihi konsumsi Pertamax yang tidak disubsidi; bahkan kelompok kaya dapat saja memilih untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi (premium) dan bukan pertamax karena harga premium lebih murah.

Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan SUSENAS 2012

Gambar 10: Konsumsi Pertamax dan Premium (dalam Liter), 2012

Rata-rata konsumsi bulanan untuk bahan bakar dari kelompok pendapatan ke-4 adalah sekitar 34,4 liter premium dan 6,4 liter pertamax (15,7%). Sementara kelompok kaya mengonsumsi 51,2 liter premium dan 21 liter pertamax setiap bulannya (29%). Konsumsi kelompok terkaya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok termiskin karena Kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan kaya biasanya memiliki lebih dari satu mobil, dimana mobil baru mungkin menggunakan Pertamax, tapi mobil mereka yang lama biasanya mengonsumsi premium.

0 0,59 1,216,43

21,17

7,12

19,425,29 25,51

40,83

72,37

37,22

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1‐Termiskin 2 3 4 5‐Terkaya Rata‐rata

Pertamax Premium Premium+Pertamax

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 40  

Tabel 13: Jumlah Subsidi BBM dan Kuota Premium di Tingkat Nasional

2011 2012 2013 2014

Subsidi BBM Nasional (Milyar Rp) 165.161 137.000 199.850,6 194.900

Subsidi Premium Nasional (Milyar Rp) 79.780 107.250 83.500 68.800

Kuota Premium Nasional (Juta Liter 23.190,5 24.410 30.770 32.460

Harga BBM Premium (dalam Rp) 4.500 4.500 6.500* 6.500

Catatan: * mulai 1 Juni 2013

Sumber: Pertamina, berbagai publikasi, perhitungan dan estimasi penulis. Sepanjang tahun 2012, harga premium adalah Rp 4.500 per liter. Harga tersebut bertahan sampai dengan Maret, 2013. Seperti terlihat pada Tabel 13, besaran subsidi BBM nasional pada tahun 2012 adalah Rp 137 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 107 triliun dialokasikan untuk subsidi premium. Dengan PSO kuota premium yang ditetapkan sebanyak 24.410 juta liter, maka jumlah subsidi premium per liter pada tahun 2012 adalah sebesar Rp 4.393. Hal ini mengartikan bahwa harga keekonomian premium pada tahun 2012 terestimasi sebesar Rp 8.893. Jumlah subsidi per liter premium untuk setiap tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014 diperkirakan Masing-masing sebesar Rp 3.440 dari Rp 7.940 per liter, Rp 4.393 dari Rp 8.893 per liter, Rp 2.713 dari Rp 9.214 per liter, dan Rp 2.119 dari Rp 8.620 per liter. Menurunkan harga BBM premium menjadi Rp 6.500 pada bulan Januari 2015, setelah sempat dinaikkan menjadi Rp 9.800 pada Desember 2014, secara implisit menunjukkan bahwa pemerintah masih memberikan subsidi (melalui Pertamina) terhadap harga premium dengan jumlah yang signifikan, meskipun harga minyak internasional telah merosot tajam sejak semester kedua tahun 2014 sehingga jumlah subsidi yang implisit yang disediakan ikut juga berkurang.

Pada tahun yang sama, PSO volume kuota premium di Jakarta adalah 0,0997% terhadap kuota nasional. Oleh karena itu, jumlah subsidi BBM untuk DKI Jakarta untuk 2012 setara dengan Rp 10.695 triliun. Dengan mengaplikasikan jumlah subsidi BBM di Jakarta kedalam besaran rata-rata konsumsi rumah tangga di Jakarta untuk premium, penelitian ini menghasilkan estimasi bahwa rata-rata subsidi bulanan per keluarga di Jakarta pada tahun 2012 adalah Rp 132.213. Gambar 9 menunjukkan bahwa distribusi subsidi di Jakarta lebih dinikmati kelompok terkaya dibandingkan kelompok termiskin. Rumah tangga termiskin tentu menerima penuh jumlah subsidi tersebut karena mereka pada faktanya tidak mengkonsumsi pertamax. Jumlah minim dari subsidi bulanan sebesar Rp 85.289 yang dinikmati kelompok termiskin mudah untuk dipahami karena kelompok miskinlah yang sepertinya paling mungkin untuk tidak memiliki kendaraan. Sementara, rumah tangga dalam kelompok kaya di Jakarta, pada kenyataannya, secara rata-rata menikmati manfaat dari subsidi premium yang lebih besar. Besaran subsidi premium yang dinikmati oleh kelompok pendapatan terkaya adalah 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah subsidi premium yang dinikmati oleh masyarakat yang berada dalam kelompok berpendapatan rendah.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 41  

Sumber: Hasil Perhitungan

Gambar 11: Jumlah Subsidi BBM yang dinikmati Rumah Tangga Per Bulan di Jakarta Berdasarkan Kelompok Pendapatan, 2012

4.1. Dampak Langsung

Keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui akses yang mudah dan lebih baik untuk pelayanan publik serta keyakinan bahwa subsidi BBM adalah kebijakan yang kurang baik dapat membawa semangat yang lebih tinggi untuk penghapusan subsidi BBM. Hal ini adalah masalah pembangunan pertama yang dihadapi oleh Presiden terpilih Joko Widodo. Dengan menerapkan harga premium sesuai harga keekonomian tahun 2012, yakni sebesar Rp 8.893, estimasi rerata biaya bahan bakar yang ditanggung oleh rumah tangga di Jakarta adalah Rp 342.665 tiap bulan dan Pemerintahan yang baru dibawah kepemimpinan Joko Widodo berusaha untuk menghilangkan beban ini.

Menggunakan asumsi yang naif bahwa tidak terdapat efek inflasi dari subsidi, Tabel 14 menunjukkan bahwa dampak langsung dari penerapan hasil harga premium sebesar Rp 8.893 per liter akan menurunkan daya beli seluruh masyarakat secara rata-rata hampir sebesar 2,4%. Kelompok miskin secara proporsional menanggung biaya terbesar dari penurunan daya beli dibandingkan dengan kelompok pendapatan lain. Estimasi ini bahkan menjadi lebih buruk lagi karena kecenderungan dari penurunan daya beli masyarakat sebagai dampak langsung dari penerapan harga premium sebesar Rp 8.893 per liter ini bersifat regresif terhadap kelompok kaya. Dengan membandingkan biaya untuk pengeluaran non-makanan, kelompok miskin membelanjakan sekitar 13,5% dari pengeluaran non-makanan mereka untuk keperluan bahan bakar, sedangkan kelompok kaya mengeluarkan porsi sebesar 7,5%. Dengan demikian, penurunan daya beli yang lebih besar bagi kelompok masyarakat miskin akan mengurangi kapasitas mereka untuk pengeluaran kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Kelompok kaya dengan pendapatan yang jauh lebih besar justru menanggung penurunan daya beli mereka terhadap bahan bakar yang lebih rendah, yaitu hanya 7,03% dari total pengeluaran non-makanan mereka; angka penurunan daya beli yang bahkan lebih rendah daripada rata-rata penurunan daya beli seluruh kelompok masyarakat (9,77%).

85.829 

108.706  106.542 

151.205 

224.798 

132.213 

 ‐

 50.000

 100.000

 150.000

 200.000

 250.000

1‐Termiskin 2 3 4 5‐Terkaya Rata‐rata

Subsidi (Rp)

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 42  

Tabel 14: Biaya yang ditanggung tiap Kelompok Rumah Tangga di Jakarta pada Harga Premium sebesar Rp.8,893 per liter

Kelompok

Biaya BBM yang

ditanggung oleh rumah

tangga karena

pengurangan

subsidy (Rp/bln)

Rasio Biaya BBM terhadap

Pengeluaran Non Makanan

setelah Pengurangan subsidi

(% )

Pengurangan Daya Beli

akibat Pengurangan

Subsidi

(Rp/bln)

Perubahan

Daya Beli

(% )

1 137.941 13,48 2.196.234 -3,74

2 226.274 15,12 3.046.803 -3,44

3 257.821 12,63 3.901.603 -2,66

4 419.829 11,93 5.728.520 -2,57

5 666.611 7,03 12.312.853 -1,79

Rata-rata 342.665 9,77 5.433.370 -2,38

Sumber: Hasil Perhitungan

4.2. Dampak Jangka Menengah dan Panjang

Selain dampak langsung, kami juga menganalisis dampak lebih lanjut, yaitu efek jangka menengah dan panjang, karena jumlah subsidi BBM dianggap benar-benar dan secara psikologis mempengaruhi perilaku bisnis dengan cara meningkatkan harga barang dan jasa lainnya secara umum; sehingga meningkatkan laju inflasi. Ada tiga skenario yang dianalisis dalam penelitian ini:

a. Skenario 1: Harga premium Rp 8.893/lt; meningkat dari harga semula: Rp 4.493,6/lt;

b. Skenario 2: Harga premium Rp 6.500/lt; meningkat dari harga semula: Rp 2.000/lt; dan

c. Skenario 3: Harga Premium Rp 12.500/lt; Meningkat dari harga semula: Rp 8.000/lt.

Beberapa penelitian yang mengestimasi dampak harga BBM terhadap inflasi cukup bervariasi hasilnya. Penelitian ini memiliki sumber daya yang kurang memadai untuk menganalisis dampak pengurangan dan penghapusan subsidi terhadap tingkat inflasi, sehingga akan memanfaatkan hasil dari studi-studi terbaru sebagai berikut:

1. Studi Arief Anshory Yusuf dari LP3E FE Unpad (2013): kenaikan 1% harga BBM akan meningkatkan inflasi nasional sebesar 0,055%;

2. Studi Teguh Dartanto dari LPEM UI (2005): kenaikan harga BBM (kenaikan harga Premium sebesar 32,6%, dan bahan bakar lainnya berkisar antara 22,2% s.d. 39,9%) mengakibatkan kenaikan inflasi sebesar 0,9715%; dan

3. Deputi Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara (2014): kenaikan harga BBM sebesar Rp 1.000 akan menyebabkan inflasi naik 1,5%.

Mengingat bahwa makin terbaru dan canggih sebuah metodologi akan makin sesuai dengan kondisi nyata saat ini, penelitian ini memutuskan untuk menggunakan hasil skenario LP3E Unpad yang menyatakan bahwa kenaikan 1% dari harga BBM akan menyebabkan, secara rata-rata, kenaikan 0,055% pada inflasi nasional .

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 43  

Tabel 15 menampilkan hasil dari tiga simulasi dampak jangka menengah dan panjang dari kenaikan harga BBM terhadap pengeluaran rumah tangga di Jakarta. Dengan memanfaatkan hasil LP3E (2013) kita dapat menghitung perubahan persentase harga, tingkat nasional inflasi, tingkat inflasi Jakarta, penurunan pengeluaran rumah tangga, dan rasio biaya bahan bakar untuk pengeluaran non-makanan.

Tabel 15: Dampak Jangka Menengah dan Panjang Subsidi BBM terhadap Pengeluaran Rumah Tangga di Jakarta, Berdasarkan Tiga Skenario

Kelompok Perubahan

dari harga

semula

(% )

Inflasi

nasional

karena

kenaikan

harga

BBM

(% )

Efek

Inflasi

nasional

terhadap

Inflasi

Jakarta

(% )

Kenaikan

tingkat

Inflasi

Jakarta

karena

Kenaikan

Harga BBM

(% )

Total Inflasi

Jakarta

karena

Kenaikan

Harga BBM

(% )

Penurunan

Tingkat

Pengeluaran

Masyarakat

Jakarta

(Rp/bln)

Rasio Biaya

Bahan Bakar

terhadap

pengeluaran

Non makanan

di Jakarta

(% )

Skenario 1: Harga Premium Rp 8.893/lt

1

97,63 5,3 1.,04 5,56 10,08

-230.019,86 22,48

2 -318.133,93 21,26

3 -404.095,45 19,80

4 -592.785,45 16,85

5 -1.264.028,02 13,33

Rata-rata -561.114,09

Skenario 2: Harga Premium Rp 6.500/lt

1

44,44 2,44 1,04 2,53 7,05

-160.887,21 15,72

2 -222.518,53 14,87

3 -282.644,25 13,85

4 -414.623,32 11,78

5 -884.123,41 9,32

Rata-rata -392.470,81

Skenario 3: Harga Premium Rp 12.500/lt

1

177,78 9,78 1,04 10,13 14,65

-334.174,36 32,66

2 -462.187,05 30,89

3 -587.072,51 28,77

4 -861.202,58 24,47

5 -1.836.388,16 19,36

Rata-rata -815.190,21

Sumber: Perhitungan berdasarkan SUSENAS 2010, 2011, dan 2012.

Skenario 1 dimulai dengan penghapusan subsidi yang mengakibatkan peningkatan 97,63% pada harga Premium menjadi Rp 8.893/lt. Dengan menggunakan hasil dari LP3E (2013), maka inflasi nasional akan naik 5,37%. Memanfaatkan data kontribusi Inflasi Jakarta terhadap tingkat nasional dari publikasi BPS, maka tingkat inflasi Jakarta menjadi 10,08%. Kenaikan Inflasi ini akan berdampak pada penurunan pengeluaran bulanan riil rumah tangga mulai dari penurunan Rp 230.019,86 pada kelompok termiskin dan penurunan Rp 1.264.028,02 untuk kelompok terkaya, rata-rata semua pengeluaran kelompok rumah tangga per bulan menurun sebesar Rp

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 44  

561.114,09. Kelompok termiskin secara proporsional akan menanggung penurunan terbesar, sehingga rasio biaya bahan bakar terhadap pengeluaran bulanan non-makanan naik ke angka 22,48% (dibandingkan dengan kenaikan 13,48% karena pengaruh langsung) sedangkan kelompok kaya dengan jumlah pendapatan yang jauh lebih besar akan menanggung dampak dengan rasio terendah yakni hanya naik 13,33% (dibandingkan dengan 7,03% karena pengaruh langsung). Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa kelompok miskin jelas akan menanggung biaya terbesar inflasi secara proporsional karena kenaikan harga premium (pengurangan dan penghapusan subsidi BBM).

Simulasi 2 dan simulasi 3, masing-masing juga menghasilkan gambaran serupa, di mana kelompok termiskin akan menanggung penurunan -Rp 160.887,21 pada pengeluaran bulanan mereka dan meningkatkan rasio biaya bahan bakar terhadap belanja bulanan mereka untuk non-makanan menjadi 15,72% (simulasi 2); penurunan -Rp 334.174,36 pada pengeluaran bulanan mereka dan meningkatkan rasio biaya bahan bakar terhadap belanja bulanan untuk non-makanan 32,66% (simulasi 3). Sementara kelompok terkaya menanggung dampak negatif yang secara proporsional lebih rendah yaitu penurunan -Rp 884.123,41 pada pengeluaran bulanan mereka dan meningkatkan rasio biaya bahan bakar terhadap belanja bulanan untuk non-makanan sebesar 9,32% (simulasi 2); Penurunan –Rp 1.836.388,16 pada pengeluaran bulanan mereka dan meningkatkan rasio biaya bahan bakar terhadap belanja bulanan untuk non-makanan sebesar 19,36% (simulasi 3).

Perlu diperhatikan bahwa dalam ketiga simulasi, dampak inflasi adalah pengaruh alami dan akan berpengaruh di luar skenario data inflasi selama sekitar 12 s.d. 15 bulan dimana sebagian besar dampak terhadap harga akan dirasakan pada periode yang lebih panjang setelah adanya penyesuaian harga BBM. Selanjutnya, perkiraan dampak pengeluaran mengasumsikan bahwa tingkat pendapatan masyarakat tidak naik sama sekali karena dampak inflasi.

Dengan asumsi bahwa tingkat pendapatan yang tetap dan tidak ada perubahan perilaku masyarakat Jakarta dalam pengeluaran bahan bakar, maka hasil simulasi dari tiga skenario di atas dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan berapa banyak konsumsi bahan bakar bisa dihemat dengan mempertimbangkan bahwa sosialisasi yang disubsidi harga BBM memang mengurangi daya beli, terutama mengurangi porsi konsumsi bahan bakar untuk belanja bulanan non-makanan. Menggunakan volume konsumsi bahan bakar rumah tangga Jakarta pada tahun 2012 (lihat Tabel 12) dan hasil simulasi (lihat Tabel 15), maka:

jika harga premium bersubsidi naik ke Rp 6.500/liter maka estimasi jumlah bahan bakar yang berpotensi dapat dihemat di Jakarta adalah sekitar 362.203.873,55 liter;

jika harga premium bersubsidi naik ke Rp 8.893/liter, maka jumlah bahan bakar yang berpotensi dapat dihemat di Jakarta adalah sekitar 517.248.015,80 liter; dan

jika harga premium bersubsidi naik ke Rp 12.500/liter, maka jumlah bahan bakar yang berpotensi dapat dihemat di Jakarta adalah 750.835.833,05 liter.

Jumlah sebenarnya dari bahan bakar yang dapat dihemat bisa jadi akan lebih banyak lagi dengan merujuk laporan JICA (2004) yang menyatakan bahwa 4% dari pengguna Busway adalah mereka yang sebelumnya merupakan pengguna kendaraan pribadi; dan penumpang Busway juga tercatat meningkat terus secara signifikan seperti yang ditunjukkan pada gambar 11; pada akhir tahun 2010, busway telah melayani 4,2 juta perjalanan per tahun. Namun, di sisi lain permintaan untuk bahan bakar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Dunia diketahui sangat inelastis, terutama mengingat masih terbatasnya penyediaan alternatif angkutan umum

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 45  

yang menyulitkan peralihan dari penggunaan kendaraan pribadi kepada transportasi umum dalam jangka pendek, sehingga dalam jangka menengah konsumen akan menyesuaikan pola konsumsi mereka dengan mengurangi pengeluaran non-makanan lainnya untuk tetap menjaga proporsi pengeluaran yang tinggi untuk bahan bakar. Dalam hal ini estimasi penghematan bahan bakar dalam laporan ini cenderung menganalisis tingkat potensi ekstrim yang maksimum berdasarkan asumsi-asumsi yang agak sulit terpenuhi, dimana semua dampak dari kenaikan harga bahan bakar tercermin dalam pengurangan volume penggunaan bahan bakar, bukan pada penurunan bentuk konsumsi lain atau pengurangan isi tabungan mereka bagi yang mampu menabung.

Sumber: Taufik Adiwianto 20107

Gambar 12: Tren Peningkatan Jumlah Penumpang Busway Transjakarta

Dalam aspek Gas Rumah kaca (GRK), diketahui bahwa setiap liter premium menghasilkan 2,24 kg emisi CO2. Jumlah bahan bakar yang potensial bisa dihemat berdasarkan hasil dari 3 simulasi sebelumnya juga mencerminkan potensi peningkatan kualitas kondisi udara di Jakarta; potensi penghematan konsumsi BBM dari simulasi 1, simulasi 2, dan simulasi 3, masing-masing mengartikan pula adanya potensi pengurangan emisi karbon (CO2) sebesar: 811.000.000 Kg, 1.158 juta kg, dan 1.681 juta kg; Semakin mahal harga BBM, semakin rendah emisi karbon yang dihasilkan.

Pengurangan emisi karbon bukanlah satu-satunya keuntungan dari kebijakan mengurangi dan / atau menghilangkan subsidi BBM di Jakarta. Beban APBN juga dapat dikurangi secara signifikan dimana jumlah penghematan anggaran ini bisa digunakan Pemerintah Pusat untuk mengkompensasi mereka yang terkena dampak negatif paling besar dan / atau mengalokasikannya untuk program-program yang lebih bernilai, produktif, dan tepat sasaran. Dengan asumsi bahwa jumlah subsidi premium per liter pada tahun 2014 adalah Rp 2.119 (lihat

                                                            7 Transjakarta Busway; Lessons Learned Behind the Contribution to Public Transport Reform in Jakarta: How to Improve Level of Service and System Efficiency, Presented in the 5th Regional EST Forum, Bangkok August 2010.

15.926.428 

20.799.063 

38.811.134 

61.441.289 

74.619.267 

82.377.659 

183.380.940 

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2015

Potensi dengan 15 Koridor

8 Koridor

7 Koridor

3 Koridor

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 46  

Tabel 13), maka jumlah anggaran nasional yang dapat dihemat dari wilayah distribusi Jakarta saja, dengan harga premium masing-masing sebesar: Rp 6.500, Rp 8.893, dan Rp 12.500, adalah: Rp 767.5 miliar, Rp 1,1 triliun, dan Rp 1,6 triliun. Estimasi penghematan anggaran ini tentu saja pada akhirnya akan tergantung pada pergerakan harga bahan bakar internasional dan juga kurs nilai mata Rupiah terhadap USD. Pada saat ini (April 2015), penetapan harga premium menjadi Rp 8.893 per liter adalah sangat dekat dengan harga keekonomiannya dan ini mengartikan dihapuskannya subsidi BBM jika harga ini diberlakukan pada kondisi saat ini. Bila harga premium ditetapkan Rp 12,500 per liter pada bulan April 2015 maka akan terdapat sejumlah Rp 3.500 per liter kelebihan di atas harga keekonomian, dan ini tidak hanya berarti menghapuskan subsidi BBM, tetapi jika diterapkan akan mirip dengan pembebanan retribusi atau penambahan tariff pajak terhadap bahan bakar dan akan memberikan tambahan penerimaaan Anggaran yang jumlahnya signifikan.

Tabel 16: Progresivitas dari Subsidi BBM

Kelompok

Konsumsi Rumah

Tangga untuk

Premium

(Ltr)

Besaran

subsidi tetap

(Rp/ltr)

Rata-rata Subsidi

yang diterima

Rumah Tangga

(Rp/bln)

Progressivity dari

Manfaat Subsidi

(% )

1 18,46 2.000 36.923,66 10,59

2 24,09 2.000 48.188,22 13,81

3 24,21 2.000 48.425,40 13,88

4 38,85 2.000 77.690,71 22,27

5 68,79 2.000 137.586,23 39,44

Total 348.814,22

Sumber: Perhitungan berdasarkan SUSENAS 2010, 2011, dan 2012.

Selain itu, dengan memanfaatkan estimasi nilai progresivitas dari subsidi BBM kepada rata-rata tingkat konsumsi rumah tangga di Jakarta, kita menemukan bahwa subsidi BBM secara proporsional akan tetap menguntungkan kelompok kaya, bahkan dengan asumsi bahwa jumlah subsidi adalah tetap di angka Rp 2.000/liter (lihat Tabel 16). Karena kelompok kaya mengkonsumsi bahan bakar lebih banyak dibandingkan kelompok miskin, jumlah subsidi tetap sebesar Rp 2,000 masih akan tetap menguntungkan kelompok kaya, karena porsi subsidi yang dinikmati oleh kelompok kaya hampir 4 (empat) kali lebih besar dibandingkan dengan subsidi yang dinikmati oleh kelompok miskin. Kelompok termiskin hanya menerima 10,6% manfaat dari total subsidi sementara kelompok terkaya menerima 39,4%.

4.3. Dampak Terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan

Selain mengestimasi dampak langsung, dampak jangka menengah dan jangka panjang dari perubahan harga premium bersubsidi karena pengurangan dan penghapusan subsidi BBM di Jakarta, penelitiaan ini juga mensimulasikan variasi dampak perubahan harga premium bersubsidi terhadap dua aspek yang selalu digunakan sebagai alasan utama bagi pendukung kebijakan subsidi BBM di Indonesia: (i) kemiskinan dan (ii) ketimpangan pendapatan (dalam hal ini adalah koefisien Gini) di Jakarta.

Berdasarkan data SUSENAS 2012 kita dapat menghitung koefisien Gini di Jakarta pada tahun 2012. Dengan bantuan data dari garis kemiskinan (PL) yang diterbitkan oleh BPS dan distribusi

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 47  

kelompok pendapatan berdasarkan pengeluaran dari analisis data SUSENAS, maka kami juga dapat mengestimasi tingkat pertumbuhan kemiskinan di Jakarta.

Tabel 17 menyajikan hasil simulasi dari tiga skenario kenaikan harga premium bersubsidi untuk estimasi peningkatan jumlah tingkat kemiskinan dan nilai koefisien Gini. Dapat dilihat bahwa harga yang lebih mahal dari premium bersubsidi di Jakarta akan meningkatkan tingkat kemiskinan meningkat. Namun, tingkat pertumbuhan kemiskinan yang diakibatkan kenaikan harga BBM terestimasi tidak begitu besar seperti banyak klaim para pendukung kebijakan subsidi BBM. Dengan asumsi adanya satu nilai dasar tertentu dari tingkat kemiskinan, pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan naiknya harga premium bersubsidi akan mengakibatkan naiknya tingkat keparahan kemiskinan dan kesenjangan. Namun, besaran estimasi kenaikan angka kemiskinan masih di bawah angka 1%. Secara detail hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 17:

o Peningkatan harga Rp 4.500/liter menjadi Rp 6.500/liter hanya akan meningkatkan angka kemiskinan sebesar 0,38% dengan tingkat koefisien Gini sebesar 0,42871 (bandingkan dengan indeks Gini Jakarta pada tahun 2014 sebesar 0,436); dan

o Kemiskinan diestimasikan tumbuh sebesar 0,43% dan 0,66% jika harga premium bersubsidi naik masing-masing menjadi Rp 8.893/liter dan Rp 12.500/liter. sementara Koefisien Gini meningkat ke angka 0,43224 dan 0,43239.

Tabel 17: Dampak Simulasi Harga BBM Perubahan pada Indeks Kemiskinan & Gini di Jakarta

Harga Premium (Rp/liter) Pertumbuhan Kemiskinan

(%)

Koefisien Gini

Harga Semula: Rp 4.500/liter Dari Basis Tertentu Dari Basis Tertentu

6.500 0,38 0,42871

8.893 0,43 0,43224

12.500 0,66 0,43239

Sumber: Perhitungan berdasarkan SUSENAS 2012 dan data BPS dari berbagai publikasi.

Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di Jakarta pada kenyataannya, akan sedikit membaik jika subsidi energi yang sebenarnya memberi manfaat yang lebih besar pada kelompok terkaya dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Tentu saja hasil simulasi ini berdasarkan pada asumsi bahwa faktor-faktor lain yang menentukan tingkat inflasi dan pendapatan seperti nilai tukar, investasi, migrasi, pertumbuhan ekonomi, kebijakan moneter, dan lainnya dianggap konstan. Jakarta sebagai Ibu Kota dan pusat aktivitas ekonomi menjadi magnet bagi masuknya orang-orang dari luar Jakarta khususnya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk mencari penghasilan dan kehidupan yang lebih baik di Jakarta. Data BPS terbaru menunjukkan bahwa penduduk Jakarta adalah sekitar 10 juta di malam hari dan 11,2 juta pada siang hari, karena banyak warga dari daerah tetangga melakukan perjalanan pulang-pergi ke Jakarta untuk bekerja.8

                                                            8 Ibid.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 48  

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah:

i. Menurut klasifikasi rumah tangga di Jakarta dengan 5 tingkat kelompok pendapatan, pengeluaran per kapita untuk kelompok masyarakat berpendapatan terendah (termiskin) diestimasikan hanya kurang dari setengah juta rupiah per tahun; sementara, pengeluaran per kapita kelompok masyarakat terkaya adalah sekitar 5,5 kali lebih tinggi. Kesenjangan ini bahkan lebih lebar lagi ketika kita menggunakan perbandingan rasio pengeluaran per kapita (Rp/bulan) dengan estimasi bahwa setiap individu dari kelompok terkaya rata-rata mengonsumsi 8,8 kali lebih banyak daripada individu dalam kelompok termiskin.

ii. Jumlah konsumsi bahan bakar dari kelompok terkaya adalah sekitar 8 (delapan) kali lebih tinggi dari kelompok termiskin. Selain itu, pengeluaran bahan bakar dari rumah tangga meningkat sesuai kelompok pendapatan dalam arah yang sama dengan total pengeluaran tetapi dengan tingkat progresivitas yang lebih tinggi.

iii. Porsi pengeluaran untuk bahan bakar kelompok terkaya terhadap pengeluaran total, sedikit lebih tinggi daripada kelompok termiskin karena sebagai kelompok kaya mereka memiliki lebih banyak akses pada kepemilikan kendaraan serta pengoperasiannya. Karena pengeluaran bahan bakar dikategorikan sebagai pengeluaran non-makanan dan kontribusi komoditas non-makanan terhadap tingkat inflasi dan kemiskinan di Jakarta akhir-akhir ini menjadi lebih besar, penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok pendapatan rendah jelas menjadi pihak yang paling menderita kerugian akibat kenaikan inflasi.

iv. Distribusi subsidi energi di Jakarta lebih dinikmati oleh kelompok kaya, jauh di atas kelompok miskin. Rumah tangga miskin memang menerima jumlah subsidi secara penuh karena mereka jelas tidak mengkonsumsi bahan bakar non-subsidi seperti pertamax. Namun, rumah tangga kaya di Jakarta masih mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari subsidi premium karena sebagian besar dari mereka masih mengonsumsi premium. Besaran subsidi premium yang dimanfaatkan oleh kelompok terkaya terestimasi 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah subsidi yang dinikmati oleh kelompok termiskin.

v. Kelompok dengan pendapatan rendah menerima dampak negatif langsung dari kenaikan harga BBM karena lebih rendahnya daya beli mereka dibandingkan dengan kelompok lain. Dampak langsung yang negatif ini bahkan terlihat jauh lebih buruk karena kecenderungannya adalah regresif terhadap kelompok terkaya. Dengan membandingkan dampak kenaikan porsi belanja bahan bakar terhadap pengeluaran non-makanan, kelompok termiskin jelas lebih menanggung beban dalam hal pengeluaran non-makanan dibandingkan mereka yang terkaya, karena kenaikan harga BBM mengakibatkan berkurangnya porsi belanja kelompok termiskin untuk pendidikan dan kesehatan mereka.

vi. Ketika tingkat inflasi diperhitungkan untuk mengestimasi dampak menengah dan jangka panjang dari kebijakan pengurangan sebagian atau penghapusan subsidi, penelitian ini

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 49  

menunjukkan bahwa kelompok termiskin menjadi lebih tidak diuntungkan karena seperti yang digambarkan dalam analisis dampak langsung, kelompok terkaya masih akan tetap menanggung biaya yang relatif rendah dalam kaitannya dengan kapasitas belanja dan daya beli mereka.

vii. Dengan asumsi semua faktor lain konstan, simulasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi bahan bakar dengan cara menaikkan harga BBM akan mengurangi emisi karbon dengan potensi jumlah yang signifikan, serta menghemat besaran APBN yang tadinya dialokasikan untuk subsidi BBM di Jakarta.

viii. Analisa progresivitas dari subsidi BBM pada tingkat konsumsi rata-rata rumah tangga di Jakarta memberikan gambaran yang lebih meyakinkan bahwa subsidi BBM akan tetap paling menguntungkan kelompok kaya, bahkan dengan kebijakan untuk menetapkan subsidi BBM dalam jumlah tetap per liter bahan bakar yang dikonsumsi sekalipun. Hal ini terjadi karena kelompok terkaya mengonsumsi bahan bakar jauh lebih besar dibandingkan kelompok termiskin, subsidi BBM per liter dalam jumlah tetap masih akan menguntungkan orang kaya dimana porsi subsidi BBM akan dinikmati oleh kelompok terkaya dengan jumlah hampir 4 (empat) kali lipat lebih besar daripada yang dinikmati oleh kelompok termiskin.

ix. Harga yang lebih tinggi dari BBM premium bersubsidi di Jakarta akan meningkatkan tingkat kemiskinan dan memperburuk ketimpangan pendapatan. Namun, tingkat pertumbuhan kemiskinan yang akan terjadi tidak setinggi klaim dari berbagai pihak pendukung kebijakan subsidi BBM, diestimasikan bahwa angka kemiskinan di Jakarta hanya tumbuh kurang dari 1%. Di sisi lain, simulasi dari penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan di Jakarta (dengan proksi Koefisien Gini) pada kenyataannya, justru akan sedikit membaik jika subsidi BBM yang jelas-jelas menguntungkan kelompok terkaya dikurangi atau dihilangkan sama sekali.

5.2. Rekomendasi

i. Solusi jangka pendek dan menengah untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM di Jakarta adalah memperbaiki dan meningkatkan sistem transportasi masal yang sudah ada (busway, KRL, dll) dan mengembangkan mode transportasi masal lain yang lebih maju, terintegrasi, terjangkau, serta ramah lingkungan Solusi ini akan lebih efektif jika dilengkapi pula dengan reformasi kebijakan energi dan pengembangan energi alternatif seperti Bahan Bakar Gas Cair, Bio-Diesel, Metanol beserta fasilitas pendukung dan peraturannya.

ii. Sebagai suplemen untuk rekomendasi (1), kesadaran masyarakat harus ditumbuhkan untuk mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi kepada angkutan umum. Hal ini perlu melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan berbagai elemen masyarakat mulai dari lembaga pendidikan, lembaga / organisasi masyarakat, termasuk Dewan Transportasi Jakarta, dan lain-lain untuk meningkatkan kesadaran dan kebanggaan tentang penggunaan transportasi umum.

iii. Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif untuk mempengaruhi perilaku masyarakat Jakarta; baik pelaku bisnis maupun pekerja sehingga mereka akan melakukan kegiatan ekonomi mereka dengan cara yang lebih ramah lingkungan.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 50  

iv. Memaksimalkan program utama pelayanan publik dasar di Jakarta: kesehatan, pendidikan, dan perumahan, yang akan mampu menyediakan jaring pengaman dari dampak negatif kenaikan harga BBM yang potensial mengurangi tingkat daya beli dan meningkatkan tingkat kemiskinan di masyarakat.

v. Mengoptimalkan kerjasama eksisting dan bekerja sama dengan daerah otonom lainnya yang berbatasan dengan area Jakarta (Jabodetabek) dalam harmonisasi peraturan dan kebijakan yang terkait dengan upaya pengendalian inflasi dan kependudukan.

vi. Mengoptimalkan penerimaan pajak penghasilan pribadi di Jakarta terutama di kelompok terkaya dan tingkat penghasilan menengah; dan dari pajak pertambahan nilai yang tinggi bagi barang dan jasa yang secara langsung terkait dengan konsumsi bahan bakar, serta pajak daerah yang sangat menekankan pembebanan bagi kegiatan konsumsi atau produksi masyarakat yang menghasilkan eksternalitas negatif.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 51  

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda DKI Jakarta, 2014, Profil Pembangunan Provinsi DKI Jakarta, 2013.

Bappeda DKI, Jakarta, 2013, Rencana Kegiatan Pembangunan Daerah, 2014.

Black, John, 1981, Urban Transport Planning: Theory and Practice, Croom Helm Ltd., London.

Dartanto, Teguh, 2005, Gasoline price, subsidy, energy policy and poverty in Indonesia (Japan: Inovasi Vol.5/XVII/Nov 2005, http://io.ppi-jepang.org/article.php?edition=5).

Directorate of Traffic Police Jaya, February 2008.

Eger R.J.,and Hackbard M.M., 2001, State Road Fund Revenue Collection Processes: Differences and Opportunities of Improved efficiency, College of Engineering, Kentucky Transportation Centre.

Ellis, Jennifer, 2010, The Effects of Fossil-Fuel Subsidy Reform: A review of modelling and empirical studies, The Global Subsidies Initiative, Untold Billions: Fossil-Fuel Subsidies, Their Impacts And The Path To Reform, Canada and Switzerland, April 2010.

Imanuel Iman, 2013 “Solusi Mengatasi Kemacetan Jakarta”, dalam http://www.sentral-sistem.com/artikel-improvement43-Solusi-mengatasi-kemacetan-Jakarta.html. Diakses pada 9 Mei 2014.

Hagler Bailly, 1999, Potential for Fuel Taxes to Reduce Greenhouse Gas Emissions from Transport, Transportation Table of the Canadian National Climate Change Process, (http://www.tc.gc.ca/Envaffairs/subgroups1/fuel_tax/study1/final_Report/ Final_Report.htm, 1999). 

Hartshorn, Truman A., 1980, Interpreting the City: An Urban Geography, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Holton, C. J., 2012. What are the Effects of Fossil-Fuel Subsidies on Growth, the Environment and Inequality? Being a Student Dissertation presented at the School of Economics, University of Nottingham.

Jacobs, Jane, 1961, The Death and Life of Great American Cities, s, Penguin Books, New York.

Joko Tri Haryanto, 2014, Efektifitas Pajak Progresif. http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/efektifitas-pajak-progresif.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2012, Kajian Supply Demand Energi, Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, RI, 2013, Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2013, Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.

 Dampak Penghapusan Subsidi BBM di Wilayah DKI Jakarta, Indonesia

 

Low Carbon Support Programme to Ministry of Finance, Indonesia 52  

Onyishi, A. Obay, Eme O. Innocent, and Emeh I. Jeffrey, 2012, The Domestic and International Implications of Fuel Subsidy Removal Crisis in Nigeria, Kuwait Chapter of Arabian Journal of Business and Management Review, Vol. 1, No.6; February 2012.

Ortuzar, Juan de Dios, and Willumsen, Luis G., 1994, Modelling Transport, John Wiley & Sons, New York.

Soehodho, S dan Alvinsyah, 2007, Impact Assessment of Busway Implementation in Jakarta: A Case of Corridor One (Sudirman-Thamrin). Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, 7, 1584. Diambil pada tanggal 8 Februari 2015, dari https://www.jstage.jst.go.jp/article/easts/7/0/7_0_1584/_pdf.

Taufik A., 2010, Transjakarta Busway; Lessons Learned Behind the Contribution to Public Transport Reform in Jakarta: How to Improve Level of Service and System Efficiency, Presented in the 5th Regional EST Forum, Bangkok, August 2010.

The Coordinating Ministry for Economic Affairs, 2011. Revision of SITRAMP Transportation Master Plan. Version 1.2. Jakarta.

United Nations Environments Programme (UNEP), 2003, Energy Subsidies: Lessons Learned in Assessing the Impact and Designing Policy Reforms, Geneva and Osaka.

Williamson, J., 1990 "What Washington Means by Policy Reform" in John Williamson, ed. Latin American Adjustment: How Much Has Happened? Washington, DC: Institute for International Economics.

World Bank, 2014, Jakarta Case Study Overview, Climate Change, Disaster Risk and the Urban Poor: Cities Building Resilience for a Changing World. http://siteresources.worldbank.org/INTURBANDEVELOPMENT/Resources/336387-1306291319853/CS_Jakarta.pdf.

Yusuf, Arief Anshory, 2013, the Direct and Indirect Effect of Cash Transfers: The Case of Indonesia, No 201305, Working Papers in Economics and Development Studies (WoPEDS), Department of Economics, Padjadjaran University.