dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi...

282

Transcript of dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi...

Page 1: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya
Page 2: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya
Page 3: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

i

Awalnya saya kira ini adalah novel politik.Menceritakan karir politik seseorang dari awal sampaiakhir. Membosankan, dalam hati saya. Ternyata sayasalah kira. Saya larut dalam cerita yang disuguhkan.Renyah. Haru. Seru. Kocak. Sesekali membuat darahmenderas tiba-tiba. Saya menikmatinya. Merasaseperti bertemu langsung dengan tokoh-tokoh didalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelini gurih. Membacanya akan sangat menghibur dantentu saja bertemu dengan nilai yang sangatberharga.

– Faisal Riza, Aktivis Sosial -

Page 4: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

ii

Ini merupakan cerita fiksi. Rekaan.Khayalan. Imajinasi.

Yang inspirasi ceritanya berdasarkandari kisah hidup Muda Mahendrawan

Page 5: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

iii

Kado sederhana ini dipersembahkanbertepatan dengan ulang tahun Muda

Mahendrawan ke-45(17 Agustus 1970 - 17 Agustus 2015)

Page 6: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

iv

Page 7: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

v

Merawat Pesan

Novel Inspiratiftentang kisah hidup Muda Mahendrawan

karya Pay Jarot Sujarwo

Page 8: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

vi

Merawat Pesan

Cetakan Pertama:Agustus 2015

Penulis:Pay Jarot Sujarwo

Editor:Amrin Zuraidi Rawansyah

Desain Cover:Irawan Kusuma

Tata Letak:Mas Awo

diterbitkan oleh:Pijar PublishingJalan Uray Bawadi, No. 43, Pontianake-mail: [email protected]

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

Sujarwo, Pay JarotMerawat Pesan. Cet, 1Pontianak,

ISBN: 978 – 602 - 72799 - 1 - 9

Page 9: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

vii

Daftar Isi

Satu: Ayah Ingin ke Makam ~ 1Dua: Senandung Lelo Ledung ~ 6

Tiga: Pamit ~ 15Empat: Tampan Seperti Dewata ~ 19

Lima: Masjid Syuhada ~ 26Enam: Di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara ~37

Tujuh: Dongeng Tentang Kakek ~ 49Delapan: Kelahiran ~ 56

Sembilan: Pertemuan ~ 68Sepuluh: Catatan Harian Wati ~ 83

Sebelas: Percakapan Dua Orang Akil ~ 89Dua belas: Mengutarakan Niat ~ 97

Tiga belas: Surat Pertama ~ 109Empat belas: Surat Kedua ~ 120

Lima belas: Arungi Bahtera ~ 129Enam belas: Rujak di Malam Kemerdekaan ~ 136

Tujuh belas: Sewaktu Kecil, Dia Dipanggil Hendy ~ 147Delapan Belas: Sekolah Islamiyah ~ 155

Sembilan belas: Silat, Karate, dan Salman ~ 161Dua puluh: Ada Kakek di Dalam Bioskop ~ 171

Dua puluh satu: Insiden Perkenalan ~ 184Dua puluh dua: Disidang Ayah ~ 191

Dua puluh tiga: Rosalina ~ 199

Page 10: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

viii

Dua Puluh Empat: Kamar Pak Rektor ~ 208Dua Puluh Lima: Berpisah Setelah Menikah ~ 216

Dua puluh enam: Titik Balik ~ 223Dua Puluh Tujuh: Mahasiswa Notariat ~ 230

Dua puluh delapan: Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohon ~ 237Dua Puluh Sembilan : Fana ~ 245

Tiga Puluh: Totalitas Bersama Orang-Orang Muda ~ 254Tiga puluh satu: Doa Istri Sholihah ~ 260

Buah dari perjuangan yang takkan pernah berakhir ~ 269Tentang Penulis: 271

Page 11: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

1

Riuh.

Orang-orang  seperti  tumpah.  Memenuhi

ruangan  tempat  bagasi  diambil.  Ban  karet  berjalan

mulai bergerak. Lambat. Selambat gerak tari bedhoyo

di Keraton Jogjakarta.

Empat  remaja  asik  memotret  diri  sambil

memiringkan kepala. Dua di antaranya memonyong-kan

mulut. Mata terkatup sebelah. Jari telunjuk menempel

di  pipi  yang  menggelembung.  Dua  yang  lain

memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

nyengir  seperti  kuda  di  pinggiran  Jalan  Malioboro.

Rambut dikuncir juga seperti ekor kuda yang mengibas

saat  membuang  kotoran.  Toh,  bagasi  yang  mereka

tunggu masih lama muncul dari balik pintu kecil itu.

Satu

Ayah Ingin ke Makam

Page 12: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

2

Seorang anak kecil menjerit histeris memanggil

mama.  Tangis  bocah  meledak.  Yang  dicari  ternyata

sibuk  dengan  smartphone  sambil  sesekali  lehernya

ditarik  keluar  di  sela  kepala  orang-orang.  Tak  sabar

menunggu bagasi muncul ke permukaan.

Juru  panggul  bergosip.  Tante-tante  bergosip.

Satu keluarga bergosip. Pelancong bergosip. Satu per

satu mereka pergi setelah menemukan bagasi miliknya.

Menuju  pintu  keluar.  Melewati  beberapa  petugas

maskapai yang sesekali juga bergosip.

Seorang  lelaki  berdiri  agak  menjauh  dari

kerumunan. Ia biarkan istri dan ketiga anaknya menanti

bagasi  yang  tak  kunjung  tiba.  Matanya  memang

melihat-lihat ke sekeliling. Tapi kepalanya penuh dengan

kenangan.

Lelaki  itu,  berperawakan  sedikit  tambun.

Tingginya  sekitar  165  cm.  Berkulit  cokelat  dengan

sebagian  rambut  berwarna  putih. Wajahnya  terlihat

lebih tua dari usia. Kelopak matanya agak besar. Sudah

pasti  sedikit  tidur.  Tapi  matanya  tajam.  Bibirnya

merekam jejak nikotin dan tar. Rautnya serius. Walau

bisa jadi jika melucu membuat orang tergelak. Lelaki

Page 13: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

3

itu, sesekali melirik jam tangan. Sesekali agak menoleh

ke  kerumunan  orang-orang  di  sekitar  ban  berjalan.

Sesekali pula, menyipitkan mata ke arah pintu keluar.

Dalam interval waktu yang acak, dia menghela nafas

panjang.

Dia  masih  melamun  saat  istri  dan  ketiga

anaknya  muncul.  Mereka  membawa  beberapa  tas

koper. Istrinya cantik sekali. Berparas Melayu. Berkulit

putih mulus. Mengenakan kerudung. Anggun. Tubuhnya

langsing  tak  setambun suaminya.  “Ayo, ayah.  semua

sudah  lengkap,”  saat  dia  menyapa  suami  dan

mengajaknya keluar ke luar, suaranya teduh. Menyihir

siapapun yang mendengar.

Pasangan suami istri ini membawa tiga orang

anak.  Dua  remaja  perempuan  kembar.  Satu  laki-laki

yang masih kanak. Berlima mereka keluar dari bandara.

Menuju pemberhentian taksi. Siap bergabung dengan

lalu lintas Jogjakarta, menuju hotel yang sudah dipesan

beberapa hari sebelumnya.

Taksi merambat pelan, meski tak sepelan tari

bedhoyo dari keraton, bergabung dengan keriuhan baru.

Keriuhan Jogjakarta di masa libur akhir tahun. Tapi isi

Page 14: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

4

kepala lelaki ini masih mengangkut kenangan.

Di Jogja, dulu dia pernah mengunjungi nenek.

Di Jogja, dulu dia pernah ikut menghadiri pernikahan

bulik. Di Jogja, dulu dia pernah kuliah. Di Jogja, dulu

dia sering naik kereta. Di Jogja, dia pernah dihormati

teman-teman kampus yang berasal dari Bali. Di Jogja,

dia  pernah  hanya  berlibur.  Di  Jogja,  dia  pernah

berziarah. Sekarang, dia dan keluarga datang berlibur

di penghujung tahun. Di sela liburan, dia mencari waktu

untuk bisa berziarah sendirian.

Jogjakarta  telah  berubah  oleh  waktu.  Mobil

beraneka warna berseliweran. Klakson beraneka suara

bersahutan. Sepeda motor merajalela. Sepeda ontel

mulai  jarang  tampak  di  jalan  raya.  Macet?  Jangan

ditanya. Jogja bukan ibukota negara. Tetapi macet, tak

jarang membuat orang Jogja bertabiat emosi seperti

perilaku manusia ibukota. Lelaki itu tak berhenti melirik

kota Jogjakarta dari balik kaca jendela mobil. Sayangnya

di dalam mobil ada alat pendingin. Lelaki itu tak bisa

turut dan larut merasakan cuaca Jogja yang panasnya

semakin menggila. Beberapa mahasiswa gila, yang tak

kunjung lulus dari kampusnya, berkata bahwa matahari

Page 15: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

5

Jogja semakin gila.

Dari  bandara,  taksi  lurus  saja  hingga

persimpangan  jalan  Gejayan.  Di  sini,  macet  tak

tertahankan.  Ini  wilayah  kampus.  Tempat  mudah

menemukan  indekos.  Tempat  orang  asing  biasanya

belajar Bahasa Indonesia. Di wilayah ini, kuliner juga

berderet di pinggir jalan. Di dekat persimpangan, pasar

tradisional ramai dikunjungi. Sepertinya orang-orang

pasar tak hirau dengan cuaca.

“Ayah,  nanti  kita  jalan-jalan  ke  Pantai,  ya,”

celetuk si bungsu Joe.

“Tapi aku ingin liat-liat Keraton,” sambar Maura.

“Kita harus ke Kaliurang juga,” sambung Mauri

tak mau kalah.

Ocha, ibu mereka cuma geleng-geleng kepala.

Lelaki menoleh. Tersenyum lebar. Mengangguk. Serta

merta si kembar Maura dan Mauri, serta si bungsu Joe

bersorak.

Di dalam hatinya, lelaki itu ingin ke makam.

Page 16: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

6

Liburan sekolah, liburan hari raya, juga liburan

akhir tahun adalah waktu di mana kota Jogjakarta penuh

dengan  pelancong.  Mahalnya  tiket  pesawat  tak

menyurutkan semangat orang-orang untuk berkunjung

kota ini. Hotel-hotel panen. Rumah makan panen. Toko

suvenir panen. Moda transportasi publik panen. Jasa

tour and travel panen.

Di jalan raya, macet sudah lumrah. Di tempat

wisata ribuan manusia berkerumun. Kota tempat mitos

Roro  Kidul  bersemayam.  Kota  tempat  Sultan  jadi

panutan.  Kebudayaan. Seni  tradisi. Gunung  merapi.

Candi.  Malioboro.  Angkringan.  Gamelan.  Andong.

Bakpia.  Gudeg.  Sejarah.  Kota  tua.  Banyak  lagi.

Dua

Senandung Lelo Ledung

Page 17: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

7

Domestik. Mancanegara. Hari libur. Jogja penuh.

Termasuk dua remaja perempuan kembar dan

adik  laki-lakinya.  Libur  akhir  tahun  sekaligus  libur

sekolah.  Melancong. Berbahagia  sebab  diajak  kedua

orang tua mengunjungi Jogjakarta. Si bungsu, Joe, ingin

ke pantai. Maura ingin belanja di Malioboro. Mauri ingin

menikmati  suasana  dingin  di  Kaliurang.  Ibu  mereka

hanya  geleng-geleng  kepala  menyaksikan  ketiga

anaknya merengek-rengek kepada ayahnya.

Ayah,  lelaki  itu,  masih  menata  rentetan

kenangan. Kepala penuh dengan bayangan masa lalu.

Ia berimajinasi seperti apa kota ini puluhan tahun silam.

Imajinasi itu berputar-putar, meliuk kelok, menelusuri

jalan raya dan gang-gang kecil, terus berjalan mundur

melampaui  dekade  demi  dekade.  Mengarah  ke  satu

titik. Satu cerita. Tentang romantisme.

***

Sumpah  pemuda  yang  diikrarkan  pada  1928

menggugah  semangat  seorang  pemuda  dari  sebuah

kampung  di  Bali  untuk  ikut  berperan  dalam

Page 18: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

8

mewujudkan  kemerdekaan.  Ia  begitu  lelah  dengan

cerita-cerita  penderitaan  tentang  leluhurnya.

Peperangan demi peperangan. Kelaparan. Kekejaman.

Kolonialisme. Merantau kemudian jadi pilihan. Toh, para

pemuda  sudah  sepakat  untuk  menjunjung  tinggi

bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Pemuda itu yakin

tak  akan  ada  kesulitan  dalam  berkomunikasi  jika  ia

menggunakan bahasa Indonesia, meski dengan dialek

yang berbeda.

Entah  apa  alasannya,  dari  Bali,  pemuda  itu

berangkat menuju Jogjakarta. Di kota ini, pemuda yang

akrab  dengan  panggilan  Nyoman  Oka,  merasa  jatuh

cinta.  Perbedaan  budaya  antara  Bali  dan  Jawa,

keramahan  masyarakatnya,  lengkung  senyum  orang-

orang yang dijumpainya meski di dalam batin penuh

dengan derita karena penjajahan. Cinta punya peran

besar untuk tetap menyulut semangatnya mewujudkan

kemerdekaan.

Pertemuan  dengan  seorang  gadis  ayu  di

Jogjakarta adalah kisah yang  lain.  Ia memperkirakan

usia  gadis  itu  masih  belasan  tahun.  Kulitnya  sawo

matang. Rambutnya panjang. Lekuk tubuhnya kencang.

Page 19: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

9

Perangainya riang. Senyumnya menantang. Perkenalan

keduanya  terjadi  tanpa  basa-basi.  Sulit  untuk

membayangkan romantisme seperti apa yang mereka

bangun saat pertempuran bisa saja pecah secara tiba-

tiba. Tapi pemuda itu terlalu cinta. Cinta kepada bangsa

ini sehingga ia merasa wajib untuk mengusir penjajah.

Cinta  terhadap gadis  Jogja sehingga  ia merasa perlu

untuk menikah. Nama gadis itu Sugiharti.

Awal  tahun  1942  upacara  sakral  itu  terjadi.

Kedua  mempelai  bersanding.  Sementara  di  bagian

dunia yang lain, Jepang takluk dengan sekutu. Memang,

menikah di masa perang bukan pilihan terbaik. Terlalu

banyak risiko. Kapan saja peluru bisa menembus dada.

Tapi  cinta,  siapa  yang  dapat  mengalahkan  cinta

sepasang  manusia?  Bayonet,  peluru,  granat,  roket,

bahkan bom atom sekalipun, kekuatannya tak ada yang

sebanding dengan kekuatan cinta.

Pada  masa  itu,  sepasang manusia  ini  merasa

menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang paling bahagia.

“Bli,  aku  hamil,”  ujar  Sugiharti.  Suaranya

bergetar.  Matanya  membinar.  Dia  mengaku  sudah

terlambat datang bulan lebih dari dua minggu. Nyoman

Page 20: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

10

Oka memeluknya begitu erat.

Berita  bahagia  kehamilan  ini  diiringi  dengan

berita  bahagia  yang  lain.  Jepang  telah  mendaratkan

pasukannya  di  Teluk  Banten,  Eretan  Wetan,  dan

Kranggan. Berita ini disambut sukacita tidak hanya oleh

pasangan  Nyoman  Oka  dan  Sugiharti,  tetapi  oleh

masyarakat  Jawa  secara  keseluruhan.  Ramalan

Joyoboyo yang begitu dipercaya oleh orang-orang Jawa

semasa  penjajahan  Belanda  akhirnya  terbukti.

Penguasa Jawa yang berkulit putih pada akhirnya akan

menyerah kepada pasukan yang datang dari kepulauan

Tembini.  Orang-orangnya  berkulit  kuning.  Kakinya

pendek.  Dan  akan  menduduki  Jawa  tapi  rentang

waktunya hanya seumur jagung.

“Dik,  apa  yang  diramalkan  Joyoboyo  terjadi.

Para menir dan nyonya berkulit putih  itu akan pergi

meninggalkan tanah ini. Kita akan merdeka. Anak kita

akan lahir secara merdeka!”

Benar. Tak lama, di beberapa titik di pulau Jawa,

Belanda  menyerah  tanpa  syarat.  Gerakan  tiga  A

menyebar kemana-mana. Jepang Cahaya Asia. Jepang

Page 21: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

11

Pelindung  Asia.  Jepang  saudara  Asia.  Orang-orang

pribumi  diangkat  dalam  struktur  pemerintahan.

Menetapkan wilayah-wilayah voorstenlanden sebagai

Kochi (daerah  istimewa), maksudnya agar pangkalan

militer yang dibangun dapat diterima oleh masyarakat.

Siasat ini berbuah manis. Orang-orang Jawa menerima

dengan sukacita.

Waktu  berselang,  ramalan  Joyoboyo  tak

seluruhnya benar. Belanda memang telah menyerah.

 Namun penderitaan belum berakhir. Setelah beberapa

pangkalan  militer  berdiri,  penderitaan  baru  terjadi.

Romusha.  Ribuan  manusia  meregang  nyawa  karena

kerja paksa. Membangun jalan baru. Menambah jalur

kereta baru. Membangun terowongan persembunyian.

Gua-gua. Benteng pertahanan. Dan pribumi, lagi-lagi

menjadi korban.

Pasangan  Nyoman  Oka  dan  Sugiharti  telah

memiliki  seorang putri. Diberi nama Sri Puspitawati.

Rasa  cinta  pasangan  Jawa-Bali  ini  semakin  menjadi.

Janji  sehidup  semati,  meski  dengan  risiko  hidupnya

akan berakhir di jeruji atau bahkan mati. Wati belum

Page 22: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

12

genap berusia tiga tahun, bayi mungil ini mendapatkan

seorang adik. Sari.

Jika  kelahiran  Wati  ditandai  dengan  rasa

bahagia karena  telah datang Saudara Asia, kelahiran

Sari adalah pertanda kebahagiaan yang lain. Indonesia

Merdeka. Saudara Asia yang ternyata lebih kejam dari

Menir berkaki panjang dan berkulit putih itu harus pergi.

Kerja paksa harus berakhir.

Kemerdekaan  Indonesia  yang  telah

diproklamirkan  di  Jakarta  membuat  Nyoman  Oka

diangkat menjadi anggota Polisi Negara.

Waktu itu, sore begitu rekah. Matahari hampir

saja  jatuh  di  wilayah  Kulonprogo.  Jingga.  Indah

menggoda.  Di utara, Merapi kokoh. Senantiasa kokoh.

Mengesankan  keagungan tanpa umpama. Di puncak

gunung  aktif  ini,  kabut  putih  tertular  warna  senja.

Nyoman  Oka  pulang  ke  rumahnya  di  wilayah

Mangkukusuman.  Di  rumah,  istri  tercinta  sedang

menyusui bayinya yang baru lahir. Sementara Wati, anak

sulung, tertidur pulas.

Nyoman  Oka  sengaja  tak  langsung masuk  ke

kamar. Ia memilih mengintip sejenak.

Page 23: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

13

“Tak lelo lelo lelo ledung. Cup menenga aja pijer

nangis. Anakku sing ayu rupane. Nek nangis ndak ilang

ayune.Tak  gadang  bisa  urip  mulyo.  Dadiyo  wanito

utomo.  Ngluhurke  asmane wong  tua.  Dadiyo

pendekaring  bangsa.”  (Tak  lelo,  lelo  lelo  ledung.

Sudahlah jangan menangis anakku. Anakku yang cantik

parasnya. Kalau menangis nanti hilang cantiknya. Kelak

bisa  hidup  mulia.  Jadilah  wanita  utama.

Mengharumkan  nama  orang  tua.  Jadilah  pendekar

bangsa).

Merdu.  Suara  Sugiharti  mengalun.  Tembang

Jawa yang entah siapa pengarangnya itu membuat Wati

begitu pulas dan Sari begitu khusuk menghisap air susu

dari  putingnya.  Darah  di  dalam  dada  Nyoman  Oka

berdesir. Bulu di kuduk berdiri. Ada kebanggaan sebagai

seorang  ayah.  Ada  kecemasan  yang  terus

menghantuinya sebagai seorang pejuang. Kakinya agak

menjinjit  saat  masuk  kamar  dan  mendekati  istrinya.

Setelah  memastikan langkahnya tak mengusik Sari yang

khusuk menyusu, ia membungkuk. Dengan takzim ia

daratkan kecupan panjang di kening istrinya.

“Dik,  aku  sudah  diangkat  menjadi  Polisi

Page 24: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

14

Negara,” bisik Nyoman Oka.

Sugiharti terus menembang. Tapi lirikan mata

kepada  sang  suami,  senyuman  yang  begitu  khas,

adalah  jawaban  kebanggaan  dan  kebahagiaan.

Sepasang suami  istri berbahagia. Usia mereka masih

begitu muda. Di luar rumah, di berbagai sudut negeri,

para pemuda yang lain merapatkan barisan. Sepakat

mengusir Jepang.

***

 ”Ayah, ayo kita  jalan-jalan.”

Imajinasi lelaki buyar. Maura, Mauri, Joe, juga

ibunya sudah bersiap menikmati pakansi di Jogjakarta.

 Lelaki bangkit dari tempat duduknya.

 ”Tujuan pertama kita adalah Masjid Syuhada

di Kotabaru. Lokasinya berada di Jalan I Dewa Nyoman

Oka.”

Page 25: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

15

“Bli, jangan tidak pulang. Ada tiga perempuan

menunggumu di rumah.”

Sugiharti tak mau melepaskan pelukan.

“Aku akan pulang.”

“Janji?”

Diam  sejenak,  cukup  lama.  Sugiharti  mulai

berdebar. Masih memeluk suaminya, dia menoleh ke

kasur tempat Wati dan Sari tertidur.

“Bli harus janji kalau akan pulang.”

Nyoman  Oka  mengangguk.  Tapi  istrinya  tak

melihat,  sebab  sejak  tadi  kepalanya  rapat  bersandar

di dada suami.

“Katakan padaku bahwa kau mencintaiku, Bli.”

Sugiharti mulai terisak.

Tiga

Pamit

Page 26: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

16

“Aku mencintaimu. Mencintai Wati. Mencintai

Sari. Mencintai  kalian  seperti  aku  mencintai  negara

ini.”

Sugiharti menangis. Pelukan semakin erat.

Nyoman  Oka  meraih  wajah  istrinya.

Mengisyaratkan  agar  berhenti  menangis.  Di  luar,

terdengar  percakapan  dari  tetangga  sekitar  rumah.

Para  pemuda.  Para  suami.  Mereka  sudah  bersiap

berangkat  ke  Kotabaru.  Nyoman  Oka  mengusap

pelupuk mata istri. Melepas pelukan. Menghampiri dua

bayi yang pulas.

Benak Sugiharti tergetar oleh firasat. Ia tak tega

melihat suaminya mengusap lembut ubun-ubun dua

buah hati mereka. Sari baru berusia dua bulan. Dua

tahun lebih muda dari kakaknya. Sugiharti menangis

lagi. Memeluk suami lagi.

“Percayalah, Dik. Kita akan menang. Kidobutai

alias tentara Jepang itu akan menyerah. Kalaupun nanti

aku tidak pulang…”

“Jangan  lanjutkan,  Bli.  Kau  harus  pulang.

Kalahkan  Nipon,  lalu  kau  harus  pulang!”  isak  yang

terasa begitu panjang.

Page 27: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

17

Waktu seperti berhenti. Kisah cinta yang mereka

bangun telah menjelma banyak peristiwa. Sugiharti tak

akan  pernah  melupakan  bagaimana  ia  menyiapkan

seragam suami sebelum berangkat kerja. Bagaimana

Nyoman  Oka  memuliakannya  di  dalam  rumah.  Juga

tentang gelak tawa lelaki Bali itu jika bercanda. Nyoman

Oka tak pernah bisa melepaskan logat Balinya. Sugiharti

tak  segan  mencandainya  jika  mendengar  kata-kata

yang terdengar lucu. Lalu mulut Nyoman Oka tertawa

lebar.

Saat  sarapan,  kerap  sepasang  suami  istri  ini

bercakap-cakap tentang masa depan. Nanti, Wati dan

Sari  akan  pergi  ke  sekolah  pemerintah  Republik

Indonesia.  Mereka  juga  berencana  membawa  kedua

anak  kesayangannya  berlibur  ke  Bali  jika  ada  waktu.

Sesekali pula, di meja makan, membayangkan suasana

Jogjakarta tanpa penjajah.

“Kelak, kalau Jepang pergi, kita akan jalan-jalan

ke pematang dengan riang,” kata Nyoman.

“Memangnya mau ngapain di pematang, Bli?”

“Ya, tidak tau. Yang penting tidak ada Jepang.”

Keduanya tertawa lepas.

Page 28: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

18

Tiga  tahun keberadaan  Jepang  telah  menjadi

ketakutan  tersendiri  bagi  pribumi.  Wajar,  ketika

proklamasi berkumandang, para pemuda bersemangat

melucuti Jepang.

Sugiharti  masih  ingin  berlama-lama

bercengkrama  dengan  kenangan.  Tapi  Nyoman  Oka

benar-benar  harus  pergi.  Ia  harus  menggantikan

temannya  yang  piket.  Sekaligus  bergabung  dengan

pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), para pemuda

dan pejuang lainnya menuju Kotabaru. Polisi Negara

itu pamit setelah benar-benar yakin air mata istrinya

tak lagi mengalir.

Page 29: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

19

Lagi pula tak ada cinta yang munculmendadak, karena dia adalah anak kebudayaan,

bukan batu dari langit

(Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia)

Sebelumnya Sugiharti tak pernah memilih siapa

yang akan menjadi pendamping hidupnya. Gadis Jawa

ini  terlalu  belia  untuk  mengerti  arti  cinta.  Yang  dia

pahami,  jika  seorang  lelaki  meminangnya,  maka  dia

akan berbakti kepada lelaki itu, suami. Apa yang ada

dalam kepala Sugiharti nyaris sama seperti perempuan

Jawa kebanyakan. Tidak perlu harus menerjemahkan

cinta yang berbelit-belit, terlebih pada masa itu perang

sedang  berkecamuk.  Negara  belum  merdeka.  Siapa

Empat

Tampan Seperti Dewata

Page 30: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

20

yang berani melamar, dia yang akan menjadi ayah dari

anak-anaknya kelak.

Lelaki pemberani itu, Nyoman Oka. Pertemuan

keluarga yang tidak memakan proses panjang. Pinang

meminang  dilakukan.  Sugiharti  resmi  menjadi  istri

Nyoman Oka. Witing tresno jalaran seko kulino. Cinta

tumbuh  karena  terbiasa  bersama.  Proses  hidup

bersama  lah  yang kemudian  menumbuhkan  cinta  di

antara mereka.

Pelan-pelan Sugiharti semakin mengenal siapa

suaminya.  Tak  hanya  pemberani  dalam  urusan

peperangan,  Nyoman  Oka  juga  lelaki  yang  begitu

mencintai keindahan. Seni.   Adiluhung. Wajar, darah

Bali bersemayam di tubuhnya.

Di luar, Nyoman Oka bisa saja berteriak garang,

memendam kebencian mendalam terhadap penjajah.

Di rumah, dia begitu lembut seperti lumut. Seperti kabut

yang  bergelayut  di  lereng  Merapi  saat  pagi  belum

sempurna. Sugiharti merasa beruntung telah memiliki

suami seperti Nyoman Oka.

Hal  serupa  juga  dialami  Nyoman  Oka.

Beruntung. Anugrah. Usia Sugiharti masih belasan saat

Page 31: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

21

Nyoman Oka meminang. Muda memang. Tapi usia wajar

bagi gadis yang hidup sebelum kemerdekaan. Menikah

muda. Punya banyak anak. Dilimpahi banyak rejeki. Bagi

Nyoman Oka, Sugiharti adalah Dewi yang sengaja turun

dari  kayangan.  Bahkan  kecantikannya  melebihi

kecantikan  yang  dimiliki  oleh  bidadari  yang

selendangnya  diambil  oleh  Jaka  Tarub. Sugiharti  tak

hanya cantik fisik. Tapi juga batin.

Jarang  menggunakan  selendang,  tapi  ketika

perempuan itu berkebaya, Nyoman Oka langsung mabuk

kepayang. Wajahnya sederhana. Bentuk tubuhnya juga

sederhana.  Jawa.  Titik.  Kesederhanaan  perempuan

Jawa  tak  ada  bandingannya.  Memikat  sekaligus

menyihir. Menggoda sekaligus berbahaya.

Di masa kolonial, pribumi adalah makhluk kelas

rendah.  Oleh  orang-orang  Belanda,  derajat  mereka

nyaris  disamakan  dengan  binatang.  Kasar.  Tidak

berpendidikan. Primitif. Layak dihina dina. Tapi orang-

orang Eropa berkulit bintik-bintik berkaki panjang itu

tetap aneh. Meski menganggap pribumi lebih rendah,

tetap  saja  sebagian  dari  mereka  tidur  dengan  para

perempuan pribumi. Meski sebagian besar diperlakukan

Page 32: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

22

dengan bejat, tak jarang pula yang dipelihara dengan

baik  selayaknya  bangsa  Eropa.  Banyak  sebutannya.

Gundik.  Selir  .Nyai.  Dan  macam-macam  lagi.  Lalu

lahirlah  Indo,  manusia  setengah  Eropa  setengah

pribumi.

Kenyataannya,  perempuan  bukan  makhluk

lemah yang hanya bisa jadi korban dominasi laki-laki.

Di  Jawa  memang  banyak  sekali  istilah  untuk

perempuan,  yang  tentu  saja  dibikin  oleh  laki-laki.

Macak,  masak,  manak  (Berdandan,  memasak,

melahirkan).  Sumur,  dapur,  kasur.  Kanca  wingking

(teman dalam mengelola urusan belakang/dapur).

Tapi sejatinya, perempuan adalah sutradara di

dalam  rumah.  Bahkan  dominasi  kekuasaan  laki-laki

pada  dasarnya  tak  sanggup  untuk  mengalahkan

perempuan.  Laki-laki  bisa  saja  sesumbar    karena

berhasil  menjadi  dominan.  Tapi  perempuan  adalah

penakluk dominasi itu.

Urusan dominan tidak dominan. Tinggi rendah.

Martabat  tidak  bermartabat.  Tidak  berlaku  bagi

pasangan Nyoman Oka dan Sugiharti. Pengkastaan yang

masih melekat di budaya Bali, tak dibawanya ke dalam

Page 33: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

23

rumah di Mangkukusuman. Sugiharti adalah orang yang

begitu  istimewa  bagi  Nyoman  Oka.  Karena

pengistimewaan  itu,  pengabdian  yang  diberikan

Sugiharti kepada suaminya,  adalah pengabdian yang

benar-benar tulus. Bukan paksaan. Istilah dominasi tak

berlaku di keluarga ini.

Terlebih  setelah  kelahiran  Wati.  Cinta  benar-

benar  tumbuh  di  keluarga  ini.  Tak  terbantahkan.

Kebiasaan-kebiasaan hidup bersama. Proses. Anak dari

kebudayaan. Indah. Tak tergambarkan. Sebelum Wati

berumur  3  tahun,  dia  memiliki  seorang  adik,  Sari.

Kebahagian tak berperi. Hingga akhirnya kejadian itu

tiba. Nyoman Oka harus pergi dari rumah.

***

Kabar kemenangan BKR dan pemuda Jogjakarta

dalam  merebut  tangsi  Jepang  di  Kotabaru  tersiar

kemana-mana.  Pukul  10  pagi,  bendera  merah  putih

berkibar di markas yang selama ini digunakan sebagai

gudang senjata dan pangkalan militer Kidobutai.

Di  rumah,  Sugiharti  mulai  gundah.  Matahari

Page 34: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

24

sudah melewati atas kepala. Mungkin Bli Oka masih

bergabung  dengan  para  pemuda  merayakan

kemenangan. Perempuan itu mencoba menenangkan

diri. Gagal. Wati tiba-tiba menangis. Meraung-raung.

Barangkali  lapar. Tidak. Wati  tak mau makan. Tangis

yang tidak biasanya.

Waktu merambat. Tik-tok  jam dinding terasa

begitu lama. Sugiharti kehilangan akal. Suaminya belum

juga  pulang.  Padahal  matahari  sudah  ke  barat.  Dia

pergi  ke  tetangga.  Mencoba  mencari  tahu  kabar

suaminya. Tak ada jawaban. Dia menemui saudara laki-

lakinya  yang  kemudian  disuruhnya  pergi  ke  markas.

Wati masih menangis. Sari ikut menangis. Air susu dari

putingnya tak mengalir.

Malam hari. Sugiharti berteriak begitu keras.

Seorang  anggota  BKR  datang  ke  rumahnya.

Mengabarkan berita kematian. Nyoman Oka telah gugur

sebagai pejuang.  Ditembak Jepang.

“Kami semua kaget dengan keberanian suami

ibu,”  anggota  BKR  itu  bercerita,  “dia  datang  dan

bergabung tanpa senjata api. Tapi ketika penyerbuan

dia maju di barisan paling depan. Teman saya, seorang

Page 35: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

25

anggota  BKR  merasa  perlu  memberikan  senjata

miliknya  kepada  Nyoman  Oka.Setelah  memegang

senjata,  kami  tak  dapat  lagi  menemukan  suami  ibu.

Dia  menyelinap,  masuk  ke  wilayah  lebih  dalam.

Merunduk, menembak, hingga akhirnya berada begitu

dekat dengan Kidobutai.”

Anggota  BKR  terbata-bata  ketika  bercerita.

Hatinya  bercabang  dua.  Bahagia  karena  berhasil

merebut tangsi Kotabaru. Berduka menyaksikan teman-

teman pejuang yang  gugur. 21 orang tewas. Nyoman

Oka tewas. Duka di hati pemuda BKR semakin menjadi

saat menyaksikan kondisi Sugiharti. Masih begitu muda

dan  harus  menanggung  beban,  membesarkan  dua

anaknya yang masih bayi seorang diri. Perang memang

biadab.  Tak ada  yang  bisa  dibanggakan  dari  perang.

Apapun alasannya.

Sugiharti tak sadarkan diri. Dalam pingsannya,

dia  melihat  suaminya  tersenyum.  Menyapa  ramah

kepadanya. Lengkap berpakaian Bali. Tampan seperti

Dewata.

Page 36: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

26

“Ayah, ayo berangkat. Anak-anak sudah siap,”

kata  Ocha  menyadarkan  suaminya  dari  lamunan.

Bukan,  bukan  lamunan.  Tapi  bayangan,  kenang,

imajinasi  yang  jauh  mengembara  tentang  kakek-

neneknya.  Lelaki  itu  tak  ingin  berpisah  dengan

kenangan.  Tetapi  dia  juga  tak  boleh  larut.  Buat  apa

melekat pada kenangan? Kenangan adalah racun. Ada

hari ini. Ada hari depan.

Mereka  berlima  berangkat  setelah  meminta

tolong resepsionis hotel memanggil taksi.

“Ke  wilayah  Kotabaru,  Pak.  Masjid  Syuhada,”

katanya kepada sopir taksi.

Dari  jalan  Gejayan,  hotel  tempat  mereka

Lima

Masjid Syuhada

Page 37: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

27

menginap, taksi meluncur menuju selatan. Tidak terlalu

kencang, sebab ini lokasi padat. Maura mengarahkan

pandang ke luar jendela. Kampus. Dia tertarik melihat

bangunan kampus. Dalam hatinya dia ingin bisa kuliah

di  Jogjakarta,  kota  tempat  berkumpulnya  kaum

terpelajar. Ratusan kampus, mulai dari D1 hingga D3,

S1 dan pascasarjana ada di sini.

Ocha,  ibunya,  bisa  membaca  apa  yang  ada

dalam  pikiran  Maura,  remaja  yang  baru  saja  duduk

Sekolah Menengah Atas.

“Pak, nanti dari pertigaan, kita belok ke kanan,”

kata Ibu kepada sopir taksi “masuk jalan Colombo, terus

lewat bundaran Bulaksumur, ya.”

Sopir taksi mengangguk. Tapi lelaki di samping

pak sopir menoleh ke belakang.

“Lho, kenapa harus belok kanan, Bu?”

Dia  merasa  yang  lebih  hafal  Jogja.  Dulu  dia

pernah bersekolah di kota ini. Kalau lurus saja, masuk

ke  jalan  Urip  Sumoharjo,  lurus  ke  jalan  Jenderal

Sudirman,  terus  menuju  Kotabaru  akan  lebih

menghemat waktu.

“Tidak  apa-apa,  Ayah.  Jalan-jalan  sedikit,

Page 38: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

28

melewati lokasi kampus, siapa tau nanti Maura, Mauri,

Joe, bisa kuliah di sana,” jelas Ibu dengan lembut. Sopir

taksi  manut.    Maura  tersenyum  tipis.  Setipis  kabut.

Sedangkan lelaki yang dipanggil “Ayah” mengangguk-

angguk, tapi jidatnya berkerut.

Setelah menunggu lampu merah berubah warna

di  pertigaan,  taksi  berbelok ke  kanan.  Ibu  bertindak

seperti  pemandu  wisata  pendidikan,  mengabarkan

kepada  ketiga  anaknya  bahwa  di  sebelah  kanan

terdapat sebuah kampus negeri yang cukup ternama.

Kampus UNY. Ketiga anaknya memalingkan wajah ke

kanan. Maura paling antusias.

UNY  lewat,  taksi  memasuki  kawasan

Bulaksumur.

“Agak diperlambat sedikit jalannya, Pak,” kata

Ibu kepada sopir taksi.

“Nah,  kalau  di  sebelah  kanan  sana,  kampus

UGM,” kata Ayah cepat dan bersemangat. Ayah berhasil

menyalib penjelasan Ibu. Tapi Ibu justru tersenyum dan

mengangguk.

“Dulu, Ayah kuliah di sana.”

“Udah tau!” sambar si bungsu yang baru kelas

Page 39: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

29

6 SD, “Ayah sudah sering cerita.” Maura dan Mauri

saling pandang dan terkikik.

“Aki  Oson  juga  kuliah  di  sana,”  kata  Ayah

melanjutkan. Ketiga anaknya saling pandang. Setelah

itu  mereka  kompak  menatap  Ayah  dengan  mata

menyipit dan jidat berkerenyit.

“Ya,  Aki  kalian  kuliah  di  sana.  Di  Fakultas

Hukum.”

Aki adalah sebutan mereka untuk kakek, ayah

lelaki itu.

“Kalau Uti kuliah di mana?” tanya Maura .

“Uti kalian tidak kuliah. Dulu dia bersekolah di

Sekolah Guru Kepandaian Putri, SGKP, sekarang disebut

SMK.  Kalau  tidak  salah,  sebelum  Uti  selesai  sekolah

sudah bertemu Aki, setamat sekolah kemudian dilamar.”

“Wah, Aki pasti ganteng banget. Jadi idola gadis

remaja,” celetuk Joe. Seisi mobil tertawa, kecuali sopir

taksi. Dia hanya mengulum senyum.

“Gimana, ingin keliling UGM dulu?” tanya sopir

taksi.

“Tidak usah, Pak. Langsung ke Masjid Syuhada

saja, nanti ketinggalan waktu sholat,” kata Ibu.

Page 40: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

30

Maura merengut.

“Tenang,” kata Ibu sambil mengusap punggung

Maura, “nanti kita sediakan waktu khusus ke UGM.”

Maura sumringah.

Tak selang berapa lama, taksi sampai ke tujuan.

Sama seperti masjid lain di  Indonesia, Masjid

Syuhada  memiliki  kubah  utama  berbentuk  bawang.

Perpaduan  arsitektur  gaya  Persia  dan  India.  Kubah

utama ini dikeliling kubah berukuran lebih kecil di empat

penjuru. Warna hijau mendominasi seluruh bangunan.

Sejuk.  Di  bagian  depan,  anak-anak  tangga  kokoh

berwarna coklat. Bisu. Dua gerbang perdu di bawah

anak  tangga  menyempurnakan  keteduhan.  Seperti

berucap selamat datang bagi siapapun yang ingin lebih

dekat dengan Sang Khalik.

Halaman masjid lumayan luas. Anak-anak kecil

bermain  riang.  Sebagian  belajar  Al-Qur’an  di  dalam.

Seorang  satpam  sesekali  sibuk membenarkan  posisi

motor  yang  terparkir  di  halaman  seraya  bercanda

dengan para bocah. Dari arah parkiran, ayah, Ibu, dan

ketiga  anaknya  memasuki  pelataran  masjid.  Mereka

berwudhu dan kemudian berangkat sholat.

Page 41: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

31

Selesai berkomunikasi dengan Sang Pencipta,

mereka kembali ke pelataran. Ibu memesan ronde. Ayah

bercakap-cakap  dengan  petugas  keamanan.  Maura,

Mauri, Joe, langsung akrab dengan keteduhan halaman.

Mereka mengambil gambar dengan kamera  telepon

seluler. Bergaya bergantian. Memperhatikan aktivitas

bocah  sekitar  masjid.  Mengernyitkan  kening  ketika

mendengar mereka bercakap-cakap dengan logat bukan

Melayu.

Ibu  memanggil  ketiga  anaknya.  Ronde  siap

disantap. Mereka berlima berkumpul.

“Kalian  tahu  sejarah  Masjid  ini?”  tanya  Ayah

membuka cerita.

Si kembar dan si bungsu menggeleng.

“Sebelum  Ayah  cerita  sejarahnya,  coba

perhatikan bangunan fisik Rumah Allah itu.”

Sambil menikmati pemandangan hijau teduh,

Ayah mulai bercerita.

“Arsitektur Masjid ini menyimpan sengkalan.”

“Sengkalan? Apa itu, Yah?” tanya Joe.

“Sengkalan adalah  pengingat  suatu  peristiwa

dalam  tradisi  Jawa.  Berupa  angka-angka  yang

Page 42: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

32

disimbolkan  dalam  bentuk  gambar,  kata-kata,  atau

benda. Coba perhatikan dengan saksama, lalu hitung

jumlah  anak  tangga  di  depan  itu.  Jumlah  tiang

gapuranya. Jumlah kubahnya.”

Kening anak-anaknya masih mengernyit. Tapi

mata mereka antusias. Sebab ini pengetahuan. Sejak

kecil mereka telah diajari untuk memiliki antusiasme

yang tinggi terhadap pengetahuan.

“Bagian-bagian  penting  dalam  bangunan

Masjid  ini  adalah  simbol  dari  peringatan  hari

proklamasi. Anak tangga berjumlah 17, tiang gapura

berjumlah delapan, empat kupel bawah dan lima kupel

atas. 17-8-45. Tidak hanya itu, keseluruhan bangunan

yang  terdiri  dari  tiga  lantai  ini  dihiasi  20  jendela

sebagai perlambang dari 20 sifat Allah SWT.”

“17  Agustus  kan  hari  kelahiran  Ayah?”  tanya

Joe. Ayah tersenyum.

“Ya, hari kelahiran bangsa ini juga,” sambung

Mauri.

“Ada  yang  lebih  penting  dari  simbol-simbol

angka  yang ada  dalam  Masjid  ini,  yaitu  sejarahnya,”

ujar Ayah melanjutkan penjelasan.

Page 43: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

33

Masjid ini dibangun untuk memperingati jasa

para pahlawan yang syahid, gugur di medan perang.

Makanya kemudian diberi nama Syuhada. Dulu, di masa

penjajahan  Belanda,  orang-orang  yang  tinggal  di

wilayah Kotabaru adalah orang-orang berkulit putih,

juga  ada  orang-orang  Indonesia  kelas  atas.  Mereka

orang  kaya,  berpendidikan  tinggi.  Pendidikan  yang

dibentuk Belanda tentunya. Sampai sekarang di wilayah

ini  masih  banyak  bangunan  peninggalan  Belanda.

Kotabaru dikenal sebagai wilayah yang bersih, modern

dan sehat. Tapi pada waktu itu tidak ada satupun tempat

beribadah orang Islam.

Tahun  1942  Jepang  datang  ke  Indonesia.

Penjajahan  yang  singkat  namun  kejam.  Orang-orang

Belanda diusir dari wilayah Kotabaru. Rumah-rumah

kosong  kemudian  ditempati  orang  Jepang. Ada  juga

pribumi. Sebagian besar pribumi ini memeluk agama

Islam. Ketika itulah muncul sebuah kebutuhan tempat

beribadah.  Tapi  upaya  pembangunan  Masjid  belum

terwujud.  Orang-orang beribadah  di  rumah  masing-

masing,  langgar  atau  mushola,  juga  tak  jarang

menggunakan gereja.

Page 44: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

34

Empat  tahun  setelah  kemerdekaan,  semakin

banyak orang-orang  Indonesia yang beragama  Islam

bermukim di wilayah ini. Waktu itu pusat pemerintahan

republik  berada  di  Jogjakarta.  Akhir  tahun  1949  di

Belanda  terjadi  perundingan  antara  pihak  Indonesia

dan  Belanda,  tepatnya  di  kota  Gravenhage.  Dalam

perundingan  itu,  ada  gagasan  untuk  kembali

memindahkan ibu kota negara ke Batavia, yang sudah

berganti nama Jakarta. Sebuah kota metropolis. Tempat

segala macam ada. Kota yang tak pernah tidur.

Keputusan  memindahkan  kembali  ibukota  ke

Jakarta  inilah  yang  kemudian  memunculkan  ide

mendirikan sebuah peninggalan. Sebuah tanda mata.

Sebuah  peringatan  untuk  Jogjakarta,  ibukota

perjuangan. Kota  penting  yang  tak boleh  dilupakan.

Perlu  ada  sebuah  bangunan  untuk  memperingati

kesucian  perjuangan  bangsa,  bukan  berupa  patung,

tugu,  atau  benda  mati  lainnya.  Maka  diputuskan

membangun sebuah Masjid Jami’. Diberinama Masjid

Syuhada. Didirikan di atas sebuah tanah wakaf milik

Keraton  Ngayogyakarta.  Sultan  Hamengkubuono  IX

adalah orang yang melakukan peletakan batu pertama.

Page 45: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

35

Waktu itu dia menjabat sebagai menteri Pertahanan

Republik Indonesia sekaligus Kepala Daerah Istimewa

Jogjakarta.

“17  Agustus  1950,  garis  kiblat  Masjid  ini

ditetapkan oleh KH. Badawi.”

“Wah,  hari  kelahiran  ayah  keren.  Hari  lahir

negara. Hari penetapan kiblat masjid pula,” potong Joe

dengan mimik riang.

“Joe,  peringatan  hari  lahir  penting,”  kata  Ibu

sambil menepuk pelan pundak Joe,  “tapi lebih penting

lagi  bagaimana  kita  bisa  memaknai  peristiwa  yang

terjadi pada masa itu. Hari lahir misalnya, jika kita bisa

memaknainya, introspeksi akan terjadi. Momen-momen

penting tak hanya kita lewati dengan hura-hura saja.

Saat  itulah  kualitas  manusia  akan  terus  diuji.  Dan

pengetahuan,  Joe,  pengetahuan  penting  untuk

mengantarkan kita menjadi manusia berkualitas itu.”

“Siap Ibunda tercinta, Joe siap menjadi manusia

berkualitas.  Seperti  Soekarno,  seperti  Hatta,  seperti

Power  Renjes,”  sahut  Joe  seraya  mengambil  posisi

bersiap. Tangannya menghormat. Sedetik kemudian Joe

mengambil  sikap  seperti  tokoh  hero  yang  pernah

Page 46: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

36

dilihatnya di televisi. Semua anggota keluarga tertawa.

“Ada  satu  lagi  yang  ingin  Ayah  ceritakan.

Tentang  kakek  Ayah,  buyut  kalian.  Pejuang  pengusir

Jepang.  Meninggal  dalam  pertempuran.  Pahlawan

Negara. Namanya I Dewa Nyoman Oka.”

“Siapa, Ayah?” tanya Mauri terkesiap.

“I Dewa Nyoman Oka.”

Mauri  tiba-tiba  berlari  menuju  plang  Masjid

Syuhada. Tertera di situ nama jalan. Persis nama yang

diucapkan ayahnya.

Page 47: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

37

Selepas  membayar  tarif  taksi,  lelaki  itu  tak

langsung  memasuki  area  pemakaman.  Matanya

menatap  sekeliling.  Rerimbun  pepohonan  di  sekitar

tembok makam sedikit membantunya berlindung dari

cahaya  matahari.  Suasana  sekitar  sepi.  Ini  memang

bukan  hari  pahlawan  atau  pun  peringatan  hari-hari

tertentu, yang biasanya banyak para peziarah datang,

baik dari pihak keluarga maupun veteran perang. Taman

Makan  Pahlawan  Kusumanegara  Jogjakarta.  Ada

sebuah makam yang harus dikunjunginya. Di  sekitar

makam,  lelaki  itu  melihat  beberapa  orang  penjual

kembang. Ia menghampiri seorang perempuan tua yang

duduk bersimpuh di belakang keranjang bunga.

Enam

Di Taman Makam PahlawanKusumanegara

Page 48: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

38

“Tidak  terlalu  ramai  ya,  Mbok?”  katanya

menyapa.

“Inggih,  Pak.  Sekarang  kan  belum  waktune

ziarah,” jawab perempuan itu dengan logat khas Jogja,

“Bapak dari mana?”

“Saya dari Pontianak, Kalimantan.”

“Kalimantan? Jauh temen.”

“Iya, Mbok. Mau ke makam Mbah saya.”

Lelaki  itu  sambil  memilih-milih  kembang.

Setelah memberikan uang dan berucap terima kasih

dengan bahasa Jawa yang janggal, lelaki itu pamit untuk

masuk ke makam. Di area parkiran hanya ada beberapa

motor  yang  terparkir.  Dia  berpapasan  dengan

seseorang.

“Pak, makamnya buka?”

“Oh buka, Pak. Monggo masuk ke dalam. Jangan

lupa isi buku tamunya dulu.”

Di  pintu  makam,  lelaki  itu  disambut  oleh

seorang  anak muda.  Mereka bersalaman.  Bercakap-

cakap sejenak. Pemuda itu lalu mempersilahkan lelaki

mengisi buku tamu. Di ruangan tersebut, beberapa kursi

tunggu terlihat kosong. Lagi-lagi dia memutuskan tidak

Page 49: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

39

langsung masuk  ke  dalam.  Duduk sebentar,  menata

debar di dadanya.

Memang ini bukan kunjungan pertama. Bahkan

dia  lupa  sudah  berapa  kali  datang  ke  kompleks

pekuburan  ini.  Baik  hanya  sekadar  singgah  karena

kebetulan  berada  di  Jogjakarta, atau  sengaja  datang

jauh-jauh dari Pontianak untuk berziarah. Namun setiap

kali datang, selalu degup yang sama dia rasakan. Sama

seperti  waktu-waktu  yang  dulu.  Seketika,  dongeng

Mbah Oka menyergap kepalanya. Saat dia kanak-kanak,

simbah  selalu  bersemangat  bila  bercerita  tentang

suaminya.  Kakek  si  lelaki.  Kini  jasadnya  terbaring  di

salah satu sudut pemakaman.

Rindu menghantuinya. Rindu Mbah Oka. Rindu

kasih sayangnya. Rindu suara  lirihnya. Rindu usapan

tangannya.  Rindu  dongeng  tentang  kakek  yang  tak

pernah  sedetikpun  ia  lihat  wajahnya.  Dia  gugur

mempertahankan  kemerdekaan  di  usia  yang  begitu

muda.

Lelaki itu melangkah pelan masuk ke pelataran.

Matanya menabrak barisan nama  yang  terukir  pada

satu  bidang  tembok.  Dibacanya  satu  persatu  nama

Page 50: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

40

yang tertera. Tak sampai semenit, sepasang mata hitam

pekatnya berhenti pada sebuah nama. Cukup lama dia

menatap. Nama itulah yang menjadi alasan utama lelaki

ini merasa teramat rindu dan membuatnya berziarah

lagi. Nama itu, I Dewa Nyoman Oka.

Setelah  memandang  lamat-lamat  nama

tersebut, dia memutar balik badannya dan masuk ke

dalam komplek pemakaman. Ratusan nisan berjejer rapi

seolah  menjadi  pelengkap  sunyi.  Beberapa  pohon

cemara berjajar di sepanjang tembok makam. Juga ada

pohon  palem  dan  tanaman  bonsai  dengan  warna

dominan hijau. Ditapakinya marmer berwarna selang

seling  hitam  dan  coklat.  Di  situlah  biasanya  digelar

upacara peringatan Hari Pahlawan setiap tanggal 10

November. Di bagian tengah pekuburan, ada beberapa

makam yang teduh karena ditutupi atap sirap. Tempat

Jenderal Sudirman bersemayam. Dia melihat beberapa

lelaki  perawat  makam  beristirahat  setelah  bekerja.

Bersembunyi  dari  panas  matahari.  Ada  yang  asik

berbaring di lantai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Si lelaki menyapa mereka. Sapaan yang lembut. Dibalas

senyuman lembut pula, khas Jogjakarta.

Page 51: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

41

Lelaki itu akhirnya sampai di bagian terdepan.

Menuju nisan yang telah dihapalnya. Di nisan itu tertulis

Dewa  Njoman  Oka.  Berurutan  ke  bawah,  Angg  Pol.

Negara. Gugur 7 – 11 – 45. A-119. Di atas huruf-huruf

berwarna merah tersebut terukir lambang kepolisian.

Nyaris  air  matanya  menetes  saat  membungkukan

badan, menempelkan tangan kiri ke batu nisan.

***

I  Dewa  Nyoman  Oka  adalah  satu  dari  21

pejuang  yang  gugur  dalam  Penyerbuan  Kotabaru,

Jogjakarta pada 7 Oktober 1945. Setelah proklamasi

kemerdekaan 17 Agustus, di beberapa wilayah Republik

Indonesia tentara Jepang masih bercokol, termasuk di

Jogjakarta.  Badan  Keamanan  Rakyat  (BKR)  dan

beberapa  orang  pemuda  kemudian  melakukan

perundingan agar tentara Jepang menyerahkan senjata

dan meninggalkan kota itu.

Sebelum perundingan dilakukan, para pemuda

sudah merancang penyerbuan ke kawasan Kotabaru.

Kelompok-kelompok  pemuda  dari  Kampung  Pathuk,

Page 52: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

42

Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan akan bertemu pada

5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sederet

rencana  menguasai  markas  pasukan  Jepang.

Sebetulnya,  taktik  yang  telah  disepakati  adalah

berunding dan melucuti senjata dengan damai. Namun

jika cara itu buntu, mereka terpaksa membidas markas

Kidobutai.  Proklamasi  17  Agustus  yang  telah

dikumandangkan oleh Soekarno menjadi penyemangat

mereka. Negeri ini sudah merdeka. Penjajah seharusnya

hengkang.

Para  pemuda  berbagi  tugas.  Ada  yang

menyiapkan senjata, meski seadanya. Pemimpin dipilih

dari  masing-masing  kelompok.  Mereka  merancang

strategi  mencegat  perjalanan  kereta  api  dari  dan  ke

Jogjakarta. Demi antisipasi bila bala bantuan Kidobutai

didatangkan  dari  luar  kota.  Aliran  listrik  di  wilayah

Kotabaru diputus. Para perempuan dan anak-anak di

wilayah  sekitar  dilarang  berkeliaran  di  luar  rumah.

Tujuan sudah bulat. Jepang harus minggat.

Rencana  penyerbuan  ini  disebarluaskan  ke

wilayah luar kota Jogjakarta. Menyulut semangat para

pemuda  dari  luar  kota  untuk  bergabung.  Pemuda-

Page 53: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

43

pemuda dari Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, segera

berangkat  ke  kota  untuk  merapat.  Selain  itu,  tidak

sedikit  pemuda  dari  Desa  Sidokarto  dan  Godean  di

Kabupaten Sleman mengikutkan diri.

Markas Osha Butai di Kotabaru harus direbut.

Menyusul aneksasi di beberapa lokasi lain pada waktu-

waktu  sebelumnya.  Sebut  saja,  misalnya,  beberapa

kantor dan jawatan telah dikuasai oleh pemuda dan

rakyat  Jogjakarta.  Pada  tanggal  5  Oktober,  gedung

Cokan Kantai berhasil dirampas dan dijadikan kantor

Komite  Nasional  Indonesia  Daerah.  Gedung  Cokan

Kantai,  kini  dikenal  sebagai  Gedung  Agung,  letaknya

tepat di ujung selatan Jalan Ahmad Yani yang dahulu

dikenal  sebagai  Jalan  Malioboro,  atau  persis  di

perempatan Nol Kilometer.

6  Oktober  1945.  Saat  senja  mengambang  di

Jogjakarta, perundingan dilakukan. Para pemuda yang

tidak  ikut  berunding  harap-harap  cemas.  Mereka

berkumpul  di  sekitar  markas  yang  masih  dikuasi

Kidobutai. Perundingan berlangsung alot. Para wakil

pemuda atas nama BKR diwakili oleh Mohammad Saleh,

R.P. Sudarsono dan Bardosono. Sedangkan dari pihak

Page 54: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

44

Jepang diwakili oleh Butaico Mayor Otsuka Kenpetai

Sasaki,  Kapten  Ito  dan  Kiambuco.  Ketika  itu,  sore  di

Kotabaru adalah sore yang paling mendebarkan.

***

Nun  di  bagian  yang  lain,  di  sebuah  rumah

sederhana,  seorang  perempuan  muda  tak  berhenti

memikirkan  suaminya.  Ayu  perawakan  Jawa  yang

terukir  di  wajahnya  tak  bisa  menyembunyikan  raut

kecemasan.  Berulang  kali  perempuan  itu  mengikat

rambutnya yang panjang, mengurainya, mengikatnya

kembali. Dia menerima risiko memiliki suami seorang

pejuang  di  masa  kemerdekaan.  Perempuan  itu

mendesah. Mencoba tersenyum. Meski gundah, tapi

senyum  itu  manis  sekali.  Lengkung  senyum  di  bibir

inilah  yang  telah  membuat  seorang  pemuda  Bali

terpikat dan menikahinya.

Dia bukan suami biasa. Tapi seorang pemuda

yang mendapat mandat untuk menggunakan seragam

polisi karena telah ikut berjuang merebut kemerdekaan.

Malam sebelumnya, sang suami seharusnya berada di

Page 55: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

45

rumah. Memang dia pulang, tapi kembali berpamitan.

Katanya,  teman  yang  semestinya  mendapat  jadwal

piket sedang sakit. Di  sinilah kecemasan perempuan

Jawa itu menjadi-jadi. Dia sudah mendengar peristiwa

pendudukan oleh pemuda di beberapa wilayah pada

hari-hari  sebelumnya.  Kemungkinan  kontak  senjata

terjadi. Erat dipeluknya si suami.

“Bli pasti pulang kan?” dalam pelukan, sang istri

memohon. Yang dipeluk tidak menjawab. Pertanyaan

yang  memang  tak  seharusnya  dijawab  pada  saat

peperangan.  Suami  memilih  untuk  mencium  kening

istri.Matanya  terpejam.  Membiarkan  bibir  suami

mendarat cukup lama di keningnya. Ciuman yang begitu

lembut. Tak pernah ia merasakan ciuman selembut itu

sebelumnya. Hingga  akhirnya  sang  istri  sadar,  itulah

pelukan dan ciuman lembut terakhir yang ia rasakan

dari  suami  tercinta.  I Dewa Nyoman Oka berangkat.

Dia  tak memiliki  senjata  api.  Tapi keberaniannya  tak

tertandingi.

***

Perundingan menemui jalan buntu. Pukul tiga

Page 56: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

46

dini  hari,  sebuah  granat  yang  meledak  sekaligus

menjadi pertanda penyerbuan. 7 Oktober, pertempuran

pun pecah. Pemuda, BKR, Polisi Negara, masyarakat

Jogja dan sekitarnya yang sebelumnya telah mengambil

kata sepakat, berbahu-bahu saling membantu merebut

markas  Kotabaru.  Suara  senjata  berdesing.  Granat

meledak. Orang-orang mengendap. Parang, tombak,

parang terhunus. Beberapa orang gugur. Begitu  juga

dari pihak lawan. Seorang polisi negara yang semalam

baru  saja  mencium  lembut  kening  istrinya  maju

dibarisan  terdepan.  Tak  ada  rasa  gentar.  Berjuang

sampai titik darah penghabisan.

Apa  yang  diharapkan  terjadi.  Pukul  10  pagi

Jepang menyerah. Ratusan Kidobutai ditahan. Senjata

militer  Jepang  berhasil  dikuasai.  Bendera  matahari

terbit  diturunkan,  sang  Merah  Putih  dikibarkan.

Pengorbanan yang tak sia-sia meski kenyataan harus

diterima: ada 21 satu pejuang Indonesia gugur di medan

pertempuran. Salah satunya bernama I Dewa Nyoman

Oka.

***

Page 57: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

47

Lelaki itu masih membungkuk di depan nisan I

Dewa  Nyoman  Oka. Dia  satu-satunya  anggota  polisi

Negara  yang gugur dalam pertempuran Kotabaru. Dia

meraih  segenggam  kembang.  Ditaburnya  di  atas

makam. Kemudian dia bersimpuh. Berdoa kepada Yang

Maha  Kuasa  untuk  ketenangan  seorang  pemberani

yang telah berjuang mengusir penjajah dari negeri ini.

Suasana  sekitar  makam begitu  hening.  Cuaca  panas

tak dia hiraukan. Polisi negara yang hanya dia dengar

dari  cerita  neneknya,  menjadi  orang  yang  paling

menginspirasi  dirinya.  Tak ada  yang bisa  meragukan

betapa cinta lelaki itu pada I Dewa Nyoman Oka. Kelak,

kisah heroik Mbah Oka sang istri pejuang itu menjadi

hal yang paling berharga dalam dirinya ketika menjalani

kehidupan dewasa.

“Hendy, kakekmu sangat mencintai bangsa ini.

Mati pun akan ia hadapi. Dan ia benar-benar mati untuk

bangsa  ini.  Mbah  berharap,  kamu,  juga  saudara-

saudaramu, keturunan I Dewa Nyoman Oka, memiliki

keberanian dan kecintaan yang sama seperti kakekmu

mencintai negaranya.”

Terngiang pesan neneknya dulu. Kini, airmata

Page 58: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

48

lelaki itu benar-benar jatuh dari pelupuknya, mengalir

melewati pipi dan jatuh di tanah pemakaman.

Selesai  berdoa,  Hendy,  lelaki  itu,  beranjak.

Meninggalkan makam dengan kenangan masa lalu dan

semangat membara menghadapi masa depan.

Page 59: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

49

Pontianak, 1976.

“Mbah  Oka,  ayo  mendongeng  lagi  tentang

kakek,” kata Hendy merengek.

Bocah  kecil  itu  menggoyangkan  kedua  kaki

neneknya.  Mbah  Oka,  meskipun  sudah  tua,  namun

gerakannya masih energik. Perempuan berdarah asli

Jawa  tersebut  bernama  Sugiharti.  Menikah  dengan

seorang  pahlawan  dari  Bali  dan  tetap  bangga

menyandang nama belakang suaminya. Sugiharti Oka,

demikian dia memperkenalkan diri kepada orang-orang.

Ketika Sugiharti Oka memiliki cucu, dia  lebih senang

dipanggil”Mbah Oka”.

Tujuh

Dongeng Tentang Kakek

Page 60: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

50

“Biar keturunan keluarga ini terus menghargai

dan meniru jiwa patriot sang kakek,” katanya suatu hari.

Hendy masih sering melihat Mbah Oka menyapu

halaman, menyingkirkan daun-daun kering yang jatuh

dari  pohon.  Atau  sekali  dua  Mbah  Oka  tak  segan

membereskan  mainan  yang  berantakan  ulah  Hendy

kakak beradik. Dalam keseharian, Mbah Oka tak banyak

bicara. Tapi kalau sudah bercerita tentang almarhum

suaminya, mulut keriput itu enggan berhenti. Ingatan

tentang pujaan hatinya begitu kuat. Tetap melekat. Tak

peduli  dengan  angka-angka  almanak  yang  terus

bertanggalan. Lagipula merawat cerita tentang kakek

kepada  cucu-cucunya  adalah  salah  satu  cara  tetap

mencintai  almarhum,  sekaligus  menyayangi

keturunannya.  Sebab  dalam  darah  mereka,  juga

mengalir darah I Dewa Nyoman Oka.  Dan Hendy adalah

cucu yang paling menyukai cara Mbah Oka berkisah.

Tak mau tidur kalau Mbah Oka belum bercerita. Tak

mau makan kalau Mbah Oka belum bercerita.

Hendy dilahirkan di Kota Pontianak, anak kelima

dari  enam  bersaudara.  Dua  saudara  tertua  lahir  di

Page 61: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

51

Jogjakarta sebab waktu itu kedua orang tuanya masih

tinggal di sana. Sedangkan anak ketiga, empat,  lima,

dan enam lahir di Pontianak. Ketika orang tua Hendy

memutuskan pindah ke Pontianak, Mbah Oka ikut serta.

Ayah  Hendy  merupakan  putra  asli  daerah  di

mana  garis  khatulistiwa  dan  sungai  terpanjang

membentang. Ibunya adalah perempuan campuran Bali-

Jawa  yang  lahir  di  Jogjakarta.  Kakek  sudah  lama

meninggal.  Dia  gugur  sebagai  pahlawan  karena

pertempuran melawan Jepang. Dari mulut Mbah Oka,

Hendy banyak mendengar cerita tentang kakek.

“Kakekmu itu bukan hanya pahlawan bangsa ini,

tapi karakter dan kepribadiannya adalah penyemangat

keluarga  besar  kita,”  kata  Mbah  Oka  meraih  kepala

Hendy.  Tangannya  yang  tak  mulus  lagi  mengusap

rambut  bocah  itu.  Yang  diusap  memejamkan  mata

tetapi tidak tidur. Dia takzim mendengarkan cerita Mbah

Oka.

“Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober 1945

waktu  kakek  menjabat  polisi  negara,”  Mbah  Oka

memulai cerita. “Malam itu harusnya kakekmu pulang

Page 62: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

52

ke rumah dan tidak keluar lagi sebab jam piketnya sudah

berakhir. Tapi temannya sakit. Kakekmu orang baik. Dia

mau berkorban. Akhirnya kakek kembali pergi keluar

menggantikan  temannya,”  Mbah  Oka  membetulkan

posisi  duduk.  Kepala  Hendy  disandarkan  ke

pangkuannya.  Pada  momen-momen  seperti  inilah

Hendy selalu merasa tentram bersama Mbah Oka.  Ada

semangat  dalam  setiap  kata  yang  dituturkan.  Kelak,

kisah-kisah inilah yang menjadi inspirasi hidup Hendy.

Mbah  Oka  selalu  mengenang  peristiwa

pertempuran itu. Orang-orang hari  ini menyebutnya

Penyerbuan  Kotabaru  Jogjakarta.  “Di  antara  banyak

pejuang, ada seorang lelaki. Dia pegawai polisi biasa

bernama  I  Dewa  Nyoman  Oka,”  ujar  nenek  lirih.

Mendengar nama itu, Hendy lalu bangkit dari pangkuan

neneknya. Nama itu sudah akrab di telinga sejak lama.

Mbah Oka kerap menyebutnya setiap kali dia bercerita.

Nama I Dewa Nyoman Oka tak hanya didengar

Hendy dari Mbah Oka. Ibunya juga sering melisankan

nama yang sama. Ternyata dua perempuan kebanggaan

Hendy sampai hari kiamat itu, memiliki kecintaan yang

luar biasa besar pada kakeknya.

Page 63: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

53

Sambil meraih cangkir berisi teh poci, Mbah Oka

berdiri. Gula batu yang terhidang di meja ia abaikan.

Tidak ikut ia celupkan ke dalam gelas.

“Hidup ini udah manis, ndak perlu kita minum

yang  manis  manis,”  kata  Mbah  Oka  tersenyum

menghibur  diri.  Padahal  dokter  memang  tidak

membolehkan neneknya mengonsumsi makanan dan

minuman yang terlalu manis. Hendy yang masih kecil

juga ikut tersenyum. Mbah Oka memandang wajahnya,

kembali tersenyum. Sungguh, senyum yang manis.

Setelah berkelakar, Mbah Oka mengambil jarak

dari Hendy beberapa langkah. Dia membiarkan cucunya

melihat  dengan  takjub.  Kali  ini,  dia  seperti  bermain

drama. Raut yang renta berusaha ia sembunyikan. Ada

perangai gagah di sana. Kemudian dia menirukan suara.

Suara laki-laki. Nenek bermonolog. Mengubah warna

suara dari tenggorokan, berganti menjadi dua karakter.

Keduanya  lelaki.  Laki-laki  yang  pada  waktu  itu

menghadapi masa-masa sulit di era awal kemerdekaan

dan pengusiran tentara Jepang.

“Sukarno,  Hatta,  Syahrir  mewujudkan

kemerdekaan negara ini tidak hanya dalam satu malam.

Page 64: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

54

Mereka  bukan  tokoh-tokoh  dongeng  seperti

Sangkuriang ataupun Jaka Tarub, melainkan manusia-

manusia  yang  punya  kesungguhan  luar  biasa  untuk

membebaskan bangsa kita dari belenggu kolonialisme.

Sekarang  kemerdekaan  itu  sudah  diproklamirkan.

Banyak nyawa melayang. Darah di mana-mana. Orang-

orang  kelaparan.  Sudah  sepantasnya  kita  berjuang

dengan  kesungguhan  untuk  mempertahankan

kemerdekaan,” ucap karakter pertama yang berperan

sebagai tentara. Suara nenek terdengar berat penuh

semangat.

“Tentara Jepang masih berada di wilayah kita.

Apapun yang terjadi, kita harus mengusir Jepang,” suara

kedua  lebih  ringan  dari  sebelumnya.  Tapi  tak  kalah

tegas.  Ini adalah karakter suara kakek yang ditirukan

Mbah  Oka.  Hendy  yang  menyaksikan  pertunjukan

monolog itu menyunggingkan bibir. Bocah itu terhibur.

Diam-diam  Hendy  bertekad,  kelak  ketika  dewasa,

semangat  juang  itu  tak akan pernah  ia biarkan  lolos

dari darahnya.

“Dia  kakekku. Pejuang bangsa  ini. Namanya  I

Dewa Nyoman Oka!” teriak Hendy ikut bermain drama.

Page 65: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

55

Gantian  sang  nenek  yang  tersenyum.  Kedua  orang

tersebut berpelukan. Berbagi kasih sayang abadi.

Page 66: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

56

Pergerakan tentu lahir Toh… diberi hak-hak atau

tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi

pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat,-

tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak

boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya

bangun, pasti akhirnya menggerakan tenaganya, kalau

ia  sudah  terlalu  sekali  merasakan  celakanya  diri

teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi

manusia, jangan lagi bangsa, walau cacing pun tentu

begerak  berkeluget-keluget  kalau  merasakan  sakit!

Seluruh  riwayat  dunia  adalah  riwayat  golongan-

golongan manusia atau bangsa-bangsa yang bergerak

menghindarkan diri dari sesuatu keadaan yang celaka;

seluruh  riwayat  dunia,  menurut  perkataan  Herbert

Spencer, adalah riwayat “reactief verzet van verdrukte

Delapan

Kelahiran

Page 67: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

57

elementen”!  Kita  ingat  pergerakan  Yesus Kristus  dan

agama  Kristen  yang  menghindarkan  rakyat-rakyat

Yahudi dan rakyat-rakyat Lautan Tengah dari bawah kaki

burung  garuda  Roma;  kita  ingat  perjuangan  rakyat

Belanda yang menghindarkan diri dari bawah tindasan

Spanyol; kita ingat pergerakan-pergerakan demokrasi

kewargaan  (burgerlijke  democratie)  yang

menghindarkan rakyat-rakyat Eropa pada akhir abad ke-

18 dan awal abad ke-19 dari  tindasan autokrasi dan

absolutisme,  kita  menjadi  saksi  atas  hebatnya

pergerakan-pergerakan  sosialisme  yang  mau

menggugurkan  tahta  kapitalisme;  kita  mengetahui

pergerakan Mesir di bawah pimpinan Arabia dan Zaglul

Pasha  beserta  pergerakan  rakyat  India  di  bawah

pimpinan Tilak atau Gandhi melawan ketamakan asing;

kita  mengetahui  perjuangan  rakyat  tiongkok

menjatuhkan  absolutisme  Mancu  dan  melawan

imperialisme Barat; kita telah bertahun-tahun melihat

seluruh dunia Asia bergelora sebagai lautan mendidih

menentang imperialisme asing, – tidaklah ini memang

sudah  terbawa  oleh  hakekat  keadaan,  tidaklah  ini

memang sudah terbawa oleh nafsu mempertahankan

dan melindungi  diri  atau nafsu zelfbehoud yang ada

pada  tiap-tiap  sesuatu  yang  bernyawa,  tidaklah  ini

memang  sudah  “reactief  verzet  van  verdrukte

elemeten”  itu?  Rakyat  Indonesia  pun sekarang  sejak

Page 68: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

58

1908  sudah  berbangkit;  nafsu  menyelamatkan  diri

sekarang  sejak  1908  sudah  menitis  juga

kepadanya!(Cuplikan naskah Pledoi Indonesia

Menggugat, Ir. Soekarno)

Koesno Sosrodihardjo nama seorang bayi yang

dilahirkan di Blitar pada6 Juni 1901. Sejak lahir bayi ini

sering sakit. Bapak dari bayi ini seorang Jawa, ibunya

berasal  dari  Buleleng,  Bali.  Sebagai  orang  Jawa,

mendapati  kenyataan  anaknya  sering  sakit-sakitan,

sang Bapak merasa perlu mengganti nama. Dipilihlah

nama  seorang  ksatria.  Dengan  harapan  anak  ini

menjadi  pemberani  dan  tak  lagi  penyakitan.  Ksatria

yang  dipilih adalah  Karna.  Seorang panglima  perang

dalam kisah pewayangan Barata Yudha. Nama Karna

ditambah awalan “soe” yang dalam bahasa Jawa kuno

berarti keindahan atau kebaikan. Maka ketika Koesno

berusia lima tahun resmilah namanya berganti menjadi

Soekarna, dalam penyebutan Jawa ditulis Soekarno.

Meskipun sudah berganti nama, Soekarno masih

sesekali sakit-sakitan. Tapi apa yang diharapkan kedua

orang tuanya tetap terjadi. Soekarno tumbuh menjadi

Page 69: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

59

anak  pemberani.  Berani  belajar  banyak  hal  adalah

bukti.

Waktu  itu  Soekarno  masih  berusia  14  tahun.

Oemar  Said  Tjokriaminoto,  kawan  akrab  bapaknya,

mengajak Soekarno ke Surabaya. Dia disekolahkan di

Hoogere Burger School (H.B.S.). Di Surabaya, Soekarno

banyak  bertemu  dengan  tokoh-tokoh  Sarekat  Islam,

organisasi yang dipimpin oleh Tjokroaminoto pada saat

itu. Pertemuan dengan orang-orang penting inilah yang

kemudian membuat Soekarno memutuskan bergabung

dengan organisasi pemuda Jawa. Jong Java.

Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan

ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung,

dan  tamat  tahun  1925.  Saat  di  Bandung,  Soekarno

berinteraksi  dengan  Tjipto  Mangunkusumo  dan  Dr.

Douwes  Dekker,  yang  saat  itu  memimpin  National

Indische  Partij.  Tahun  1926,  Soekarno  mendirikan

Algemene  Studie  Club  di  Bandung.  Organisasi  ini

menjadi  cikal  bakal  Partai  Nasional  Indonesia  (PNI)

yang  didirikan  pada  1927.  Namun,  kegiatan  politik

Soekarno dianggap terlalu berbahaya. Dia mengusung

Page 70: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

60

cita-cita  kemerdekaan  sehingga  pemerintah  Hindia

Belanda memutuskan menjebloskan anak muda ini ke

penjara. Pada 29 Desember 1929, Soekarno ditangkap

di  Jogjakarta.  Keesokan  harinya  dipindahkan  ke

Bandung.  Dia  harus  mendekam  di  penjara  Banceuy.

Tahun 1930 Soekarno dioper lagi ke penjara Sukamiskin.

Di penjara inilah kemudian pemuda berbahaya tersebut

menulis  naskah  pledoi  yang  fenomenal  berjudul

Indonesia Menggugat.

Pledoi Indonesia Menggugat menggemparkan

pengadilan saat  itu. Soekarno berteriak  lantang. Dia

menuntut  kemerdekaan.  Tak  dipungkiri,  kebebasan

memang  mahal  harganya.  Ada  darah  yang  harus

tumpah. Tapi perjuangan bersama sejumlah pemuda

membuahkan  hasil.  17  Agustus  1945,  Proklamasi

dibacakan. Pembaca naskah adalah Soekarno, seorang

pemuda  dari  Blitar. Didampingi  pemuda  cerdas  dari

Bukittinggi, Mohammad Hatta.

Tak butuh waktu lama, nama Soekarno semakin

harum.  Bayi  penyakitan  ini  telah  menjelma  menjadi

Karna,  dengan  jabatan  Presiden  Republik  Indonesia

Page 71: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

61

pertama. Naskah-naskah yang ditulis Soekarno di masa

pra kemerdekaan tersebar. Pemikirannya diajarkan di

mana-mana.  Soekarno,  PNI,  Marhaenisme,  Pledoi

Indonesia Menggugat, pada waktu-waktu berikutnya

menjadi  inspirasi  dan  dikagumi  jutaan  manusia  di

seantero negeri.

Termasuk  seorang  putra  bungsu  dari  enam

bersaudara yang memiliki darah pejuang. Dia berasal

dari Darit, sebuah daerah terpencil di pelosok Borneo

bagian  barat.  Anak  ini  mengagung-agungkan  ajaran

Soekarno.  Bahkan  pledoi  Indonesia  Menggugat  ikut

mengantarkannya  menjadi  seorang  mahasiswa  di

Fakultas  Hukum,  Universitas  Gajah  Mada  (UGM)

Jogjakarta. Putra  bungsu  ini  bernama Mahmud  Akil.

Ayahnya bernama Kimas Akil.

Sungguh, sejak kecil Mahmud Akil ingin sekali

sekolah tinggi. Baginya membaca teks dan membaca

makna dalam tiap pertemuan dengan orang-orang baru

adalah pengetahuan yang tak dapat tergantikan dengan

materi.  Ketika  sebagian  saudaranya  hanya  lulusan

sekolah  dasar,  bahkan  ada  yang  tidak  mengenyam

Page 72: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

62

bangku  sekolah  formal,  Mahmud  Akil  berkeras

melanjutkan  sekolah  menengah  pertama  yang  pada

waktu itu hanya ada di Kota Pontianak.

Dia memutuskan hijrah ke Kota Pontianak. Di

kota ini sebetulnya ada kerabat yang mau menampung.

Tapi dia memutuskan indekos. Akil ingin belajar hidup

mandiri. Semakin banyak bahan bacaan yang ia temui

di Pontianak, ia semakin haus. Rasa penasaran dengan

Soekarno  membuatnya  bertekad  kembali  merantau.

Setamat  SMP,  Mahmud  Akil  menyeberang  ke  Pulau

Jawa. Kota Jogjakarta tujuannya, SMA BOPKRI nama

sekolahnya. Fakultas Hukum UGM ia pilih setelah tamat

SMA.  Di  kampus  biru  ini  Mahmud  Akil  belajar  ilmu

hukum.  Mendalami  lebih  serius  teks  Indonesia

Menggugat, Marhaenisme, dan PNI.

Di  Jogjakarta, Mahmud  Akil bertemu  dengan

seorang  dara  cantik  keturunan  Bali  –  Jogjakarta

bernama Tri Puspitawati. Romantisme hadir. Mereka

memutuskan menikah. Padahal Mahmud Akil belum

juga selesai kuliah. Ada banyak kesamaan ia temukan.

Soekarno  adalah  lelaki  keturunan  Jawa-Bali.  Tri

Puspitawati adalah keturunan Jawa-Bali. Mahmud Akil

Page 73: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

63

adalah  keturunan  pejuang  Landak  yang  namanya

diabadikan  menjadi  nama  jalan.  Puspitawati  adalah

keturunan pejuang kemerdekaan, yang namanya juga

menjadi nama jalan di wilayah Kotabaru, Jogjakarta.

Barangkali semua itu tidak ada kaitannya sama

sekali. Barangkali hanya kebetulan belaka. Tapi, darah

pejuang yang  mengalir  dalam  dirinya dan  sang  istri,

membuat Mahmud Akil ingin hidup menjadi manusia

yang  tak  pernah  berhenti  berjuang.  Hidup  dengan

sesama, berarti memperjuangkan nasib sesama. Dan

cinta  adalah  jalan  berharga  untuk  mewujudkan  itu.

Kelak, pada  suatu  masa,  seorang  anak  mereka akan

menangis haru ketika menemukan surat cinta kedua

orang tuanya.

Perjuangan dan cinta membuat Mahmud Akil

memutuskan kembali ke tanah kelahiran. Di Pontianak,

dia  bergabung  dengan  berbagai  macam  organisasi.

Termasuk  PNI  Kalimantan  Barat.  Dalam  waktu  tidak

terlalu  lama,  Ia  diangkat  menjadi  pemimpin  daerah

partai politik yang didirikan oleh Soekarno tersebut.

****

Page 74: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

64

Tanggal 17 Agustus 1970. Entah mengapa Akil

merasa  ini  adalah  hari  istimewa.  Ia  akan  menjadi

pemimpin  upacara  kemerdekaan  di  kantor  PNI

Kalimantan  Barat.  Istrinya  sedang  hamil  tua.

Sesungguhnya, keluarganya sudah mengingatkan agar

dia tidak pergi ke kantor. Anak kelimanya diperkirakan

akan  lahir.  Tapi  Mahmud  Akil  berkeras.  Hari

Kemerdekaan  harus  diperingati.  Inilah  hari  di  mana

Soekarno membacakan naskah Proklamasi. Baru dua

bulan lalu Soekarno meninggal dunia. Dan ini adalah

17  Agustus  pertama  yang  dilalui  bangsa  Indonesia

setelah sang proklamator dikebumikan. Mahmud Akil

memutuskan berangkat.

Sebelum bertolak, Akil memandangi wajah ayu

Puspita.  Tangannya  mengusap  lembut  perut

buntingnya.

“Nak,  ayah  berangkat  dulu.  Kau  baik-baik  di

dalam perut Ibu, ya. Ayah harus membacakan naskah

Proklamasi. Doakan nanti suara Ayah mirip Soekarno,

ya?”

Akil  mencium  perut  Puspita.  Lembut.

Puspitawati tersenyum. Mengusap kepala suaminya.

Page 75: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

65

Dengan motor  butut Mahmud  Akil meluncur

menuju  kantor  PNI.    Upacara  berlangsung  khidmat.

Tegas  Mahmud  Akil  membacakan  teks  Proklamasi.

Ketegasan yang tidak berbanding dengan kegundahan

hati memikirkan istri tercinta di rumah. Benar. Tak lama

setelah memimpin upacara, dari kejauhan Mahmud Akil

melihat  kakak  kandungnya,  Aliman,  tergesa-gesa

mengayuh  sepeda.  Tak peduli  dengan  keringat  yang

mengucur, Aliman berteriak: “Anakmu sudah lahir!”

Akil  gembira  bukan  buatan. Sepeda  ditinggal

saja  di  kantor  PNI.  Bersama  Aliman,  dia  buru-buru

pulang. Tidak ke rumah, tapi Rumah Sakit.

“Di  mana  anak  saya?  Di  mana  anak  saya?”

tanya Mahmud Akil tergopoh-gopoh.

“Tenang,”  kata  bidan,  “anakmu  lahir  dengan

selamat. Tangisnya begitu keras. Sekarang dia sedang

bersama ibunya. Sana masuk.”

Bidan tak mendengar jawaban Akil. Dia sudah

menghilang, buru-buru masuk ke dalam.

Gemuruh di dada Mahmud Akil begitu kencang.

Puspitawati terkulai lemah. Setelah mencium lembut

kening istri, Akil mengusap ubun-ubun jabang bayi. Tak

Page 76: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

66

seperti orang-orang Melayu kebanyakan yang memberi

nama  anak  mereka  beberapa hari  setelah  kelahiran,

Mahmud Akil, hari itu juga, pada tanggal 17 Agustus

1970 tanpa ragu menyebutkan sebuah nama. Mahmud

Akil Marhaen Putra.

Puspitawati protes. Protes lembut seorang istri.

“Ayah, apa sebaiknya Marhaen diganti saja?”

“Bu,  Anak  kita  ini  lahir  di  hari  Proklamasi.

Soekarno, Ibu. Soekarno. Anak kita ini akan mewarisi

sifat-sifat pemimpin bangsa itu.”

“Iya, ibu paham. Tapi kenapa harus Marhaen?”

tanya Puspitawati sambil mendesah pelan. Tubuhnya

masih  lemas.  “Bagaimana  kalau  kita  gabungkan

dengan  nuansa  Bali  juga.  Sama  seperti  saudara-

saudaranya terdahulu. Ayah tidak boleh lupa, Ibu punya

keturunan Bali. Seperti Soekarno. Bukannya Ayah sendiri

yang sering bilang begitu?”

Kedua  tangan  suami  istri  tersebut  saling

genggam. Akil luluh.

“Ibu punya ide?”

“Bagaimana  kalau  kata  Marhaen  kita  ganti

menjadi Mahendra saja? Mirip. Seperti nama Bali juga,

Page 77: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

67

kan?” usul Puspitawati sambil tersenyum.

Senyum  Puspitawati  adalah  senyum

kemenangan. Senyum  seorang  perempuan.  Senyum

seorang  istri. Senyum seorang  ibu. Akil  setuju. Anak

itu  pun  lahir  dengan  nama  Mud’A  Mahendra  Putra.

Mud’A  adalah  singkatan  dari  Mahmud  Akil.  Bayi

Proklamasi  ini  dikenal  dengan  nama  Muda

Mahendrawan. Dia dipanggil Hendy.

Page 78: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

68

Pagi  belum  sempurna.  Kota  tua  Jogja  masih

lengang.  Di  jalan,  hanya  ada  satu  dua  mobil

berseliweran. Motor juga tak banyak. Sisanya orang-

orang  bersepeda  bergegas  menuju  tempat  kerja.

Beberapa andong, juga becak, ikut serta menghiasi pagi

dengan aroma embun yang masih terasa. Matahari di

sebelah  timur  masih  ragu  muncul.  Dingin  masih

menyergap.  Kokok  ayam  masih  bersahut-sahutan.

Seperti  biasanya,  Puspitawati  bersiap.  Setelah

menyelesaikan  pekerjaan  rumah,  menanak  nasi,

memindahkan air di sumur ke bak mandi, menyapu dan

mengepel  lantai.  Untuk  pekerjaan  rumah  ini,

Puspitawati berbagi tugas dengan Sari, adiknya. Jam

Sembilan

Pertemuan

Page 79: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

69

empat subuh mereka sudah terjaga. Sholat, kemudian

melakukan rutinitas seperti biasanya.

Setamat  SMP,  Puspitawati  melanjutkan

sekolahnya di Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP).

Ia yang minta kepada ibunya agar disekolahkan di sana.

Sejak  kecil  ia  memang  sudah  tertarik  dengan  dunia

keputrian. Memasak, menjahit, juga kerajinan. Darah

Bali yang mengalir di tubuhnya ikut berpengaruh dalam

cara  pandangnya  memperlakukan  sesuatu  dengan

indah. Ia adalah anak pejuang yang juga menghargai

kesenian. Estetis. Dan SGKP adalah pilihan. Ia ingin bisa

menjahit  juga  bisa  menciptakan  berbagai  kerajinan.

Kelak, jika nanti menikah, Puspitawati  ingin memiliki

rumah  dengan  ornamen  Bali.  Ia  sendiri  yang  akan

mendesain,  merawat  pernak-perniknya.  Ia  ingin  bisa

selalu  dekat  dengan  ayahnya,  seorang Polisi  Negara

yang tewas di medan pertempuran saat usianya baru

dua tahun.

Sebagai anak yang tumbuh besar tanpa seorang

ayah,  jelas  Puspitawati  sering  disergap  rindu.  Sejak

masih kecil ia hanya akrab dengan kasih sayang seorang

Page 80: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

70

ibu.  Ayahnya  hanya  ia  kenal  lewat  cerita-cerita  ibu,

paman, juga kerabat lainnya. Setiap harinya Puspitawati

benar-benar  mendamba  seorang  ayah.  Hingga

kemudian ketika  ia remaja, mulai mengenal cinta,  ia

mendamba dinikahi lelaki yang bisa mewakili karakter

ayahnya. Pecinta dan juga pejuang.Seorang lelaki yang

melankolis,  juga  seorang  pekerja  keras.  Seorang

pendamping  yang  lembut  di  keluarga,  juga  tegas  di

tempat tugas.

Pagi itu Puspitawati berjalan menerabas cuaca

dingin  Kota  Jogja.  Dari  rumahnya  di  daerah

Mangkukusuman, Puspitawati tak ingin terburu-buru

sampai  ke  SGKP  di  wilayah  Lempuyangan.  Santai  ia

melenggang. Sesekali berhenti demi menikmati kupu-

kupu yang bercanda dengan  ilalang.  Juga membalas

sapaan simbok penjual gudeg di pinggir jalan.

Rambutnya dibiarkan tergerai panjang. Tak ada

make  up  di  wajahnya.  Tapi  wajah  itu  begitu  manis.

Gurat-gurat  ayu  wanita  Jawa  dari  darah  ibunya

mengabadi dalam paras Puspita. Beberapa kali, wajah

ayu itu sempat memaksa jejaka yang mengayuh sepeda

memutar balik lehernya 180 derajat, bahkan ada lelaki

Page 81: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

71

yang menabrak pohon akasia di pinggir  jalan. Dalam

momen-momen  seperti  ini,  Puspitawati  tak  enggan

melepas  senyum.  Digoda  beberapa  lelaki,  selama

dengan sopan, remaja cantik  jelita  ini pun berusaha

merespon dengan sopan pula.

Puspitawati  sadar,  ia  bukan  lagi  anak  kecil.

Hidungnya  yang  bangir,  matanya  yang  teduh,

rambutnya yang panjang berwarna pekat, kulit langsat,

telah  membuat  banyak  lelaki  terpikat.  Tapi  ada  satu

lelaki  yang  membuatnya  selalu  gagal  menata  degup

jantung. Sebagai remaja ia sudah sering digoda. Sebut

saja  pemuda  di  lingkungan  Kadipaten  Pakualaman,

para  lelaki  teman  sekolah,  pegawai  kereta  api

Lempuyangan,  lelaki  bersepeda  yang  lewat  di  jalan

raya, semuanya bisa dihadapi dengan tenang. Sesekali

jika ia merasa terganggu dengan lelaki usil,  juga bisa

ia  hadapi.  Tapi  tidak  dengan  lelaki  satu  ini.  Laki-laki

yang  ia  temui  ketika  langkah  kakinya  melewati  jalan

dr. Sutomo, tepatnya di depan indekos putra. Jantungnya

berdegup aneh. Darahnya berdesir aneh. Lenggangnya

menuju sekolah juga tiba-tiba menjadi aneh. Seorang

lelaki telah memikat. Puspitawati telah terpikat.

Page 82: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

72

Indekos  putra?  Padahal  sepanjang  jalan  dari

Mangkukusuman menuju Lempuyangan, Puspitawati

banyak melewati rumah-rumah besar bergaya kolonial

juga  rumah-rumah  pribumi  ningrat.  Tak  jarang  pula,

beberapa lelaki dari rumah-rumah tersebut bersiul-siul

saat ia lewat. Jelas, di tahun 60-an, hanya lelaki kaya

yang berani memproklamirkan diri sebagai pengganggu

wanita. Sisanya, yang miskin, hanya bisa pasrah. Tapi

kenapa ia justru berdebar saat melewati rumah kos yang

isinya  rata-rata  mahasiswa  dari  daerah  yang  sering

kehabisan uang sebab kiriman dari kampung belum juga

datang?

Di  situ,  di  indekos  jalan  dr.  Sutomo,  pagi  itu,

mata  Puspitawati  menabrak  mata  seorang  lelaki.

Usianya beberapa tahun lebih tua. Lelaki itu, berwajah

tirus. Matanya  tajam  menikam. Tapi  mengisyaratkan

melankolia yang dalam. Kurus tinggi namun perlente.

Peristiwa  mata  bertemu  mata  hanya  terjadi  dalam

beberapa detik. Tapi debar di dada Puspitawati terus

berlanjut hingga ia sampai sekolah.

Hari itu,  ia ingin semua pelajaran dipercepat.

Ia  mau  pulang  melewati  indekos  itu  lagi.  Sungguh

Page 83: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

73

menyiksa.  Raga  dalam  ruangan.  Tapi  pikiran  dan

perasaan  melayang  pada  pesona  sekian  detik  saat

bertatapan dengan seseorang. Ah, waktu. Detik, menit

dan jam serupa kura-kura mendaki gunung.

Begitu jam sekolah berakhir, Puspita bergegas

pulang. Ia tak mengindahkan goda rayu lelaki pegawai

kereta.  Seluruh  perhatiannya  hanya  tercurah  pada

rencana  yang  tadi  ia  susun.  Secepatnya  ke  jalan  dr.

Sutomo.  Lalu,  saat  melewati depan  indekos,  ia  akan

berjalan  dengan  sebaik-baiknya  cara  berjalan.  Ekor

matanya akan menyimak keadaan. Jika lelaki itu ada,

pada  langkah  yang  tepat,  ia  akan  menoleh  sejenak.

Akan  ia  resapi  lagi  pesona  sekaligus  aniaya  ajaib

tabrakan mata. Tadi pagi, tak terduga sama sekali. Kali

ini, Puspitawati bersiap diri.

Lewat di depan indekos putra, debar di dadanya

semakin  menggila.  Tapi  ekor  matanya  gagal

menemukan  mata  tajam  lelaki.  Bahkan  ketika  ia

bersengaja menoleh, sosok lelaki yang menggetarkan

hati tak ia jumpai.

Puspitawati pulang ke rumah dan ingin segera

esok pagi segera tiba.

Page 84: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

74

Esok  paginya,  Puspitawati  berangkat  sekolah

dengan semangat tunaikan rencana kemarin. Semangat

ingin  bertemu  mata  yang  telah  menabrak  matanya.

Mata seorang lelaki dari indekos putra. Tapi apa nyata?

Melewati jalan dr. Sutomo, lelaki tirus itu tak ada. Ia

sedikit kecewa. Tapi tetap merawat debar dada yang

berbeda.  Di  hari  ketiga,  lagi-lagi  Puspitawati

menemukan pintu indekos tertutup. Tak ada siapa-siapa

di sana. Hari kempat begitu lagi. Besoknya begitu lagi.

Lagi dan  lagi.

Puspitawati  ingin  melupakannya.  Mungkin

semua ini hanya kebetulan saja. Bisa jadi pertemuan

pertama waktu itu tak bermakna apa-apa. Barangkali

ia terlampau berharap bahwa lelaki itu bisa seseorang

yang istimewa untuknya.

Bukankah  ia  telah  sering  bertemu  dengan

banyak  lelaki  sebelum  ini?  Tapi  gadis  remaja  itu  tak

bisa lupa. Walaupun hanya beberapa detik, mata lelaki

yang dilihatnya seperti punya cerita tersendiri.

Cerita  awal  mula  yang  mengajak  berlanjut

menuju episode berikutnya. Suatu subuh, selesai sholat

wajib,  ia  berdoa  agar  kali  ini  kembali  dipertemukan

Page 85: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

75

dengan  lelaki  berwajah  tirus  dengan  mata  tajam

menikam. Menikam dalam.

Sugiharti,  ibunya,  menangkap  gelagat  aneh

Puspitawati.

“Nduk, kamu tidak apa-apa?”

“Kenapa memangnya, Ibu?” jawab Puspitawati

sembari menghindari tatap selidik ibunda tercinta.

“Sehat kamu, Nduk?”

“Sehat, Ibu.”

“Tidak sedang jatuh cinta?” tanya ibunya sambil

mengedipkan mata. Puspitawati tergamam. Beberapa

detik terdiam. Sari, adiknya, menyambar.

“Inggih ibu, Mbak Wati jatuh cinta. Masak udah

beberapa hari  ini Sari dengar di dalam kamar mandi

Mbak Wati nyanyi lagu Sepasang Mata Bola. Suaranya

merdu sekali. Seperti suara seorang yang jatuh cinta.

Pasti ibu, pasti mba Wati sedang jatuh cinta.”

“Hus, Sari. Ngomong apa kamu?” Puspitawati

mendelik  ke  arah  adiknya.  Protes.  Tapi  dalam  hati,

mengiyakan tuduhan telak itu.

“Hayo ngaku sama ibu,” desak Sari.

Ibu tersenyum. Puspitawati gugup.

Page 86: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

76

“Mboten, kok, Bu. Mboten.”

Peristiwa  dini  hari  di  rumahnya  membuat

Puspitawati malu. Dua perempuan yang dia sayangi,

ibu dan adiknya, telah mendakwanya jatuh cinta. Tak

bisa disanggah memang. Tapi Puspitawati kesal, masak

dia  jatuh cinta dengan lelaki yang hanya ditemuinya

dalam beberapa detik?

Dalam  malu  dan  kesal,  Puspitawati  kembali

melenggang  menuju  sekolah.  Dia  tak  mau  larut

memikirkan lelaki tirus yang tinggal di indekos jalan dr.

Sutomo.  Kesal.  Tak  bisa.  Lagi-lagi  ia  gagal

menyingkirkan lelaki dalam pikiran. Ia melewati tangsi

militer,  seorang  tentara  meliriknya.  Ganteng.  Gagah

perkasa.  Tapi  tetap  saja  pikirannya  ke  lelaki  tirus.

Sebuah  andong  lewat,  berpenumpang  siswa  SMA

negeri. Juga menatapnya. Ganteng. Pergi sekolah naik

andong, pasti anak orang kaya. Tapi juga gagal merebut

hati Puspita yang sedang gundah gulana.

Di lain cerita. Kali ini kisah si lelaki tirus.

Sudah beberapa hari ini dia menunggu di ruang

tamu  indekosnya. Awal kejadian, beberapa hari  lalu,

secara  tidak  sengaja  dia  melihat  seorang  gadis

Page 87: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

77

berangkat sekolah lewat di depan indekos.

Waktu itu dia akan berangkat kuliah. Dia jatuh

hati. Gadis  itu sangat njawani. Semenjak pertemuan

itu,  setiap  pagi,  dia  selalu  menunggu  di  ruang  tamu

indekos. Mengintip dari balik tirai. Guna menyaksikan

lenggang seorang perempuan cantik. Ini peristiwa yang

asik  sekali.  Setiap  pagi,  gadis  itu  selalu  menoleh  ke

arah  pintu  rumah.  Lelaki  itu  bersembunyi  dari  balik

jendela. Tirai terbuka sedikit. Dari dalam rumah, dia

tersenyum.  Dia  menyimpulkan  perempuan  itu

penasaran.  Betapa  tidak,  sudah  hampir  seminggu,

selalu kepala si gadis menoleh ke pintu rumah.

Di  kampus,  peristiwa  mendebarkan  ini

diceritakannya kepada teman-teman kuliah.

“Aku ketemu cewek cantik,” katanya suatu hari

di kantin Fakultas Hukum UGM. Sontak  saja

kawan-kawannya  mengerubungi.

“Anak mana? Anak mana?”

“Anak Hukum juga? Atau Ekonomi?”

“Aatau anak Ilmu Budaya?”

“Atau  jangan-jangan  Akil  jatuh  cinta  dengan

anak Filsafat?”

Page 88: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

78

“Wah, kalau jatuh cinta dengan anak Filsafat,

bisa  gawat.  Bisa  gila  dia.  Kasihan,  jauh-jauh  sekolah

dari Kalimantan, hanya berujung di rumah sakit jiwa

gara-gara jatuh cinta dengan anak Filsafat,” ujar satu

temannya menggoda. Yang lain terbahak-bahak.

“Bukan, bukan anak kampus, tapi anak SMA.”

Jawabnya.

“Hah? Anak SMA?”

Semua temannya terperanjat.

“Benar, tak pernah aku temukan gadis secantik

dia. Kalau mau gila,  tak perlu menunggu  jatuh cinta

dengan  anak  Filsafat.  Sekarang  pun  aku  sudah  gila.

Gadis itu begitu menggoda.”

Cerita semakin menarik. Beberapa mahasiswa

lain ikut mendekat. Dia,  lelaki itu bernama Mahmud

Akil, memang sejak semester awal terkenal memiliki

banyak teman. Wajar, jika cerita cinta di kantin kampus

membuat  orang-orang  merapat.  Ini  jarang  terjadi.

Biasanya Akil menggebu-gebu berdiskusi di kampus soal

Soekarno,  kondisi  sosial,  sosialisme,  kapitalisme,

hukum pidana, perdata ataupun beragam tema tentang

pergerakan dan politik. Tapi kali ini, tentang perempuan cantik.

Page 89: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

79

Di  kampus,  Mahmud  Akil  memang  terkenal

sebagai lelaki yang ganteng. Banyak mahasiswa yang

mencandainya, bahwa seharusnya dia tidak kuliah di

fakultas Hukum, sebab anak Hukum terkenal dengan

dunia gerakan. Seharusnya dia masuk Fakultas Ekonomi,

di sana para mahasiswi cantik dan seksi, para lelakinya

juga  rapi  dan  wangi.  Tapi  di  Fakultas  Hukum?  Siapa

laki-laki rapi dan wangi kalau bukan Mahmud seorang.

Jauh  hari  sebelum  di  kampus,  sebenarnya

Mahmud sudah menjadi idola para wanita ketika masih

berada di SMA. Lelaki ini berasal dari Kalimantan Barat.

Sejak kecil dia memang suka merantau demi mencari

ilmu. Di Kecamatan Darit, tempat asalnya, waktu itu

belum ada SMP. Orang-orang, termasuk lima kakak dan

abangnya hanya sampai di Sekolah Dasar atau Sekolah

Rakyat,  bahkan  sebagian  tidak  bersekolah.  Tapi

Mahmud  berbeda.  Tamat  SD  dia  berkeras  pergi  ke

Ibukota  Provinsi,  Pontianak.  T iga  tahun  SMP  di

Pontianak, dia ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan

yang lebih tinggi. SMA, kali ini kota Jogja yang dituju,

SMA BOPKRI yang dipilih.

Di SMA BOPKRI inilah Mahmud menjadi idola.

Page 90: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

80

Tak hanya cerdas di dalam kelas, tapi dia juga tampan.

Wajahnya menciptakan pesona tersendiri. Banyak gadis

kepincut.  Cinta  monyet  tentu  saja  terjadi  di  SMA.

Berlanjut  hingga  kemudian  dia  terdaftar  menjadi

mahasiswa  Hukum  di  UGM.  Barangkali  waktu  itu,

Mahmud adalah laki-laki dengan poling paling ganteng

sefakultas.

Kali  ini  mahasiswi-mahasiswi  kampus

sepertinya  harus  kecewa.  Sebab  Mahmud  telah

terpesona dengan gadis SMA.

“Siapa nama gadis itu?” tanya seorang teman

yang masih saja penasaran.

“Aku tidak tahu.”

“Lho, kok?”

“Ya,  aku  hanya  sekali  bertatapan  langsung

dengannya saat dia hendak berangkat sekolah.Di hari-

hari berikutnya, dia tidak pernah bertemu denganku

lagi, sebab setiap pagi aku hanya mengintip dari balik

jendela.”

Tentu  saja  pengakuan  Mahmud  kali  ini

membuat semua temannya yang tergelak. Terbahak-

bahak. Mereka tidak percaya bahwa Mahmud tak berani

Page 91: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

81

menggoda. Tapi Mahmud membela diri. Dia bukan tidak

berani, melainkan mencoba membaca situasi. Dia tidak

ingin sia-sia jika harus menyatakan cinta. Maka, jurus

mengintip  dari  balik  jendela  setiap  pagi  pun  dia

jalankan.

“Sudah, hentikan tabiatmu itu. Keluarlah dari

rumah di pagi hari. Ajak dia berkenalan. Atau paling

tidak coba tersenyum padanya.”

“Jangan  kebanyakan  nasihat  kau,”  sahut

Mahmud, “lihat saja dirimu. Sudah semester berapa

sekarang? Masih saja kalau malam minggu nongkrong

di  Bulaksumur.  Sok-sok-an  mau  demo,  padahal

menderita sebab tak ada cewek yang mau.”

Lagi-lagi para mahasiswa tertawa.

Begitulah dua orang ini pada akhirnya bertemu.

Puspitawati percaya bahwa doanya setiap usai sholat

subuh  dikabulkan.  Mahmud  percaya,  bahwa

keberaniannya muncul dari balik persembunyian bakal

bersambut.  Sebab  menyatakan  cinta  tak  semudah

berorasi saat demonstrasi dengan tangan terkepal di

udara.

Usai  pertemuan,  ada  perkenalan.  Lanjut  ke

Page 92: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

82

kunjungan  Mahmud  ke  Mangkukusuman.  Bertemu

Sugiharti, ibu Puspita. Hingga akhirnya percakapan ibu

dan anak terjadi.

“Kalau  sudah  serius,  tunggu  apa  lagi  Nak

Mahmud?”

Mahmud serius dengan Puspita. Tahun depan

dia akan sarjana. Puspita sendiri belum menamatkan

sekolahnya.  Tapi  sudah  mendapat  restu  dari  ibunda

tercinta.  Di  ruang  tengah,  Sari  menggoda  dengan

menirukan lagu Sepasang Mata Bola.

Pernikahan  Mahmud  Akil  dan  Puspitawati

dianugrahi dua orang anak. Seorang laki-laki beranama

Mud’A  Antartikawan.  Seorang  perempuan  bernama

Nova  Artika.  Setelah  dua  anak  ini  lahir,  Mahmud

memboyong  istri  dan  anaknya  pulang  ke  kampung

halaman. Di Pontianak, kemudian anak-anaknya yang

lain  lahir. Mud’A Patriawan, Mud’A Armawan, Mud’A

Mahendrawan, Mud’A Mahastrawan. Agar terdengar

bagus  di  akte  kelahiran,  Mud’A  yang  merupakan

singkatan  namanya,  Mahmud  Akil,  ditulis  sebagai

Muda.

Page 93: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

83

Asmara.  Siapa  yang  tidak  dibikin  mabuk

karenanya?  Puspitawati  kepayang.  Gadis  cantik  asal

Mangkukusuman ini mabuk berat. Baginya Mahmud Akil

adalah  segalanya.  Dia  tak  mau  kehilangan  lelaki  itu.

Tak dihiraukannya goda rayu  teman  lelaki di  sekolah

ataupun  para  pegawai  kereta  api  di  Lempuyangan.

Setiap harinya, yang ada di kepala Puspitawati hanya

Mahmud, Mahmud, dan Mahmud. Sari, adiknya, sampai

geleng-geleng kepala dibuatnya.

Setelah  mata  beradu  mata  dalam  beberapa

detik  di  depan  indekos  putra,  Mahmud  dan  Wati

berkenalan. Bertanya daerah asal dan tempat tinggal.

Berjanji untuk bertemu kembali di pagi hari saat Wati

hendak berangkat sekolah. Juga di siang hari ketika Wati

Sepuluh

Catatan Harian Wati

Page 94: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

84

pulang sekolah. Sejak kecil, Wati rajin menulis catatan

harian. Peristiwa debar dada tentang pertemuan dan

perkenalannya  dengan  Mahmud  Akil  juga  tak  luput

memenuhi halaman demi halaman di buku hariannya.

Dadaku selalu berdebar setiap pagi aku bertemu

dengannya. Apalagi kalau dia tersenyum. Duh, lengkung

bibirnya, kumis tipis di atas lengkung bibir itu, kerling

matanya, aku benar-benar terpesona. Jika dia bercakap,

aku selalu gagap. Di dalam kepala, ada banyak hal yang

ingin kuucap. Tapi kandas. Aku hanya bisa terdiam. Tak

tau harus kemana kusembunyikan semu merah di pipi.

Dia terlalu tampan.

Tapi  aku  tidak  ingin  debar  di  dalam  dada  ini

tanpa penghujung. Aku ingin mengenal dia lebih dalam.

Aku  tidak  ingin  hanya  berjumpa  dengannya  setiap

berangkat atau pulang sekolah. Kumohon, datanglah

ke  rumah.  Bukankah  sudah  kau  tanyakan  di  mana

alamat  rumahku?  Tak  usahlah  kau  khawatir  akan

dimarahi  ayahku  saat  berkunjung  ke  rumah.  Ibu

memang sering cerita kalau ayah memang orang yang

tegas. Apalagi saat menjalankan tugas. Sebenarnya aku

sangat ingin memperkenalkanmu dengan ayah, tapi dia

Page 95: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

85

telah  tiada. Dia  tewas di medan perang. Usiaku saat

itu masih dua tahun. Aku selalu bangga dengan ayah.

Sekarang ada seorang lelaki yang mengisi hari-

hariku. Sungguh, aku sangat ingin dia datang ke rumah.

Bertemu dengan ibu, meminta izin agar membawaku

jalan-jalan keluar di malam minggu.

Tapi  Wati  hanya  berani  menulis  dalam  buku

harian. Perempuan ayu ini tidak berani mengungkapkan

apa yang diinginkannya kepada si lelaki. Bukan karena

takut. Tapi lebih tepatnya gugup. Terlebih suatu hari,

ketika Mahmud tiba-tiba saja menggandeng tangannya

saat berjalan beriringan menuju sekolah Wati. Kecamuk

di  dada  Wati  semakin  menjadi-jadi.  Hatinya  riang

gembira. Akibatnya dia tak mampu berkata apa-apa.

Apakah  mereka  berpacaran?  Wati  sendiri

sebenarnya  tidak  mengetahui  bagaimana  teknisnya

sepasang remaja berpacaran. Di dalam dirinya hanya

ada rasa suka. Rasa bahagia. Susah tidur. Tersenyum

senang saat bangun tidur. Bernyanyi Sepasang Mata

Bola di kamar mandi. Diolok-olok Sari, adiknya. Di sisi

lain,  Wati  juga  mengetahui  bahwa  Mahmud  juga

menyukainya. Dengan jelas Wati dapat membaca raut

Page 96: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

86

wajah Mahmud. Juga polah tingkahnya. Mahmud pernah

bercerita kepada Wati, bahwa di kampus dia aktif di

organisasi  gerakan  dan  sering  turun  ke  jalan,

berdemonstrasi  bersama  para  aktivis  yang  lain.

Menurut Wati, seorang demonstran harusnya pandai

berbicara,  pandai  berargumen.  Tapi  ketika  mereka

berdua  bercakap-cakap  soal  asmara,  Mahmud  juga

sering  gugup.  Ya,  kedua  sepasang  remaja  ini  gugup.

Wati menunggu Mahmud bilang cinta, atau setidaknya

menawarkan diri untuk datang ke rumahnya. Mahmud

menunggu waktu yang pas untuk bilang cinta dan pada

akhirnya memberanikan diri datang ke rumahnya.

Perkenalan kami sudah cukup lama. Kami juga

sudah cukup akrab. Bahkan dia berani mengantarku

pergi ke sekolah di pagi hari jika jadwal kuliahnya agak

siang. Tidak hanya itu, dia juga berani menggandeng

tanganku. Menatap  mataku dalam  waktu  yang  agak

lama. Dia juga sering bercanda dan membuatku begitu

bungah.  Tapi  kapan  dia  akan  menyatakan  cintanya?

Apakah  cinta  tak  harus  diungkapkan?  Terus  sampai

kapan?

Dia  juga  sudah  tahu  alamat  rumahku.  Sudah

Page 97: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

87

berkali-kali  aku mengatakan  kepadanya. Tapi  kenapa

dia tak juga kunjung datang. Sudah beberapa malam

minggu aku menunggu. Duduk di teras rumah. Masuk

ke dalam ruang tamu. Mengintip dari balik tirai jendela.

Apakah aku yang harus memohon agar dia datang ke

rumah  kemudian  menemui  ibuku?  Tidak.  Aku  tidak

boleh melakukan itu. Aku ini perempuan. Aku tidak boleh

terlalu  agresif.  Seperti  yang  sering  diajarkan  ibu,

sebagai  seorang  perempuan,  aku  harus  menjaga

martabat.  Tapi  aku  mencintainya.  Duh.  Aku  harus

bagaimana?

Wati  gundah  gulana.  Suatu  hari  dia  pernah

bercerita kepada beberapa teman dekatnya di sekolah

bahwa  dia  sedang  jatuh  cinta.  Tapi  ternyata  cerita

tersebut  membuat  dia  merasa  dihantui.  Setiap  hari

teman-temannya  selalu  bertanya  tentang  lelaki  itu.

Selalu bertanya tentang pengalaman apel pertama. Juga

tentang  pendapat  ibunya.  Dihunjam  pertanyaan-

pertanyaan  seperti  itu  membuat  hati  Wati  semakin

kalut. Mahmud belum juga menunjukkan gelagat untuk

datang ke rumah.

Hari  demi  hari  dilalui  Puspitawati  dengan

Page 98: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

88

penantian.  Sembari  menanti,  Wati  menulis  catatan

harian.  Wati  suka  membaca.  Buku-buku  sastra

karangan NH. Dini, tuntas dibacanya. Rak bukunya diisi

karya-karya yang ditulis oleh Buya Hamka, Kartini, Asrul

Sani. Meskipun dia berasal dari keturunan Jawa-Bali,

tapi Wati tak menutup diri terhadap karya-karya sastra

dari  Sumatra  Barat  yang  memang  pada  zamannya

merupakan karya yang paling banyak diterbitkan oleh

Balai  Pustaka.

Kisah  cinta  dalam  roman-roman  yang  sering

dibacanya  ikut berpengaruh dalam cepat  lambatnya

debar  dada  Wati.  Persoalan  kawin  paksa  antara  Siti

Nurbaya dan Datuk Maringgih, padahal gadis Minang

itu  sangat  mencintai  Samsul  Bahri.  Puspitawati  ikut

masyuk  dalam  cerita  haru  biru  ini.  Sempat  terlintas

dalam  benak  bagaimana  kalau  Mahmud  tak  pernah

mengatakan cinta dan datang ke rumah? Lalu akhirnya

ia dipaksa kawin dengan lelaki tua renta?

Hari  demi  hari,  Puspitawati  khusuk  dengan

catatan  hariannya.  Menanti.  Berharap.  Tentang

seorang lelaki yang tak hanya tampan, tapi juga punya

perilaku yang membuatnya selalu rindu akan ayahnya.

Page 99: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

89

Seorang  pemuda  berlari  sambil  merunduk.

Butir-butir  keringat  jatuh  dari  raut  wajahnya  yang

cemas. Pakaiannya juga basah oleh keringat. Ia sudah

tidak peduli dengan alas kakinya yang tertinggal entah

di mana. Beberapa kali ia terjerembab sebab akar-akar

kayu  yang  melintang,  menghadang  langkahnya.

Matanya tajam menatap sekeliling. Wajahnya cemas.

Tapi juga gembira. Lelaki itu menemukan pohon besar.

Istirahat.  Mengatur  nafasnya.  Mengambil  reranting

untuk dijadikan alat bantu menebas semak ilalang. Ia

harus cepat sampai ke rumah. Mengabarkan sebuah

kabar gembira kepada adiknya. Tapi ia harus berhati-

hati,  sebab  jika  dilihat  Belanda,  nyawa  taruhannya.

Sebelas

Percakapan Dua Orang Akil

Page 100: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

90

Karena  itulah  warna  cemas  dan  bahagia  tercampur

aduk di wajahnya.

Pemuda ini bernama Merseb Abdurrachman.

Orang-orang  di  wilayah  Ngabang  mengenalnya.

Pemuda  ini  pemberani.  Pemuda  ini  punya  daya

pengaruh  yang  kuat  untuk  memimpin  orang-orang.

Ketika  kabar  kemerdekaan  Indonesia  terdengar  ke

telinganya, sesegera mungkin ia ingin menyampaikan

kabar ini ke kampung halamannya. Darit. Di sana, adik

kandungnya,  K imas  Akil  Abdurrachman,  harus

mengetahui  berita  ini.  Ia  sendiri  yang  akan

menyampaikannya.

“Kau tahu? Indonesia sudah merdeka!” Merseb

masih terengah-engah ketika bertemu dengan Akil. Tapi

ia tidak peduli. Para pemuda harus segera bergerak.

“Dari mana kau mengetahui kabar ini?” Kimas

Akil tidak serta merta percaya.

“Beberapa  pemuda  dari  Pontianak

mengabarkannya. Tidak hanya itu, di Sambas, mereka

mendapat  gelombang  radio  dari  Sarawak  yang

menyiarkan berita Proklamasi dari Bung Karno.”

“Kau yakin dengan berita ini?”

Page 101: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

91

“Sangat yakin.”

Kimas  Akil  berdiri  dari  tempat  duduknya.  Ia

begitu bersemangat.

“Hendak kemana kau?” Merseb bertanya.

“Kita harus mengabarkan berita ini ke seluruh

pemuda. Sudah lama kita menantikan kemerdekaan. Aku

akan memimpin pemuda-pemuda Darit untuk merebut

kekuasaan penjajah. Mereka harus pergi dari tanah kita

ini.”

“Kau harus berhati-hati. Aku paham maksudmu.

Aku juga akan memimpin pemuda-pemuda di Jantak,

kami  akan  merebut  Ngabang.  Begitu  juga  daerah-

daerah lain. Tapi kita harus melakukannya dengan hati-

hati.  Para  penjajah  itu  punya  senjata  yang  lengkap.

Jangan sampai kita terbunuh.”

Kedua kakak beradik tersebut mulai memikirkan

strategi.  Beberapa  orang  pemuda  ikut  bergabung.

Mereka  juga  sudah  mendapatkan  informasi  bahwa

pemuda  Alianyang  dari  Pontianak  juga  meluncur  ke

daerah pantai utara atas perintah dr. M. Soedarso dan

R. Sukotjo Katim. Alianyang akan memimpin persiapan

perlawanan bersenjata di Kalimantan Barat.

Page 102: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

92

Setelah  pertemuan  dengan  adiknya,  Merseb

kembali  pulang  ke  Jantak.  Bersiap  memimpin  para

pemuda untuk menaklukkan Landak. Sedangkan Kimas

Akil bergerak cepat berkoordinasi dengan para pemuda

di Darit. Kelak, dalam tahun-tahun berikutnya, disaat

Indonesia  sudah  sepenuhnya  merdeka,  nama  Kimas

Akil pun mulai disebut-sebut sebagai salah satu orang

yang berpengaruh dalam mengusir penjajahan di Darit.

Dia  menjadi  orang  yang  begitu  dihormati.  Namun

demikian, tidak membuatnya untuk tinggi hati.

Hidup  di  masa  kemerdekaan,  K imas  Akil

kemudian berkeluarga dan memiliki keturunan. Hingga

suatu hari, di sebuah sore yang tenang, salah seorang

anaknya mengusik ketenangannya.

“Ayah, kalau aku sudah selesai  sekolah, terus

apa lagi yang harus kulakukan?”

“Apa maksudmu?” Kimas Akil terkejut dengan

pernyataan salah seorang anaknya.

“Tahun depan aku sudah tamat sekolah. Usiaku

sebentar lagi dua belas tahun. Terus, apa lagi yan harus

kulakukan?”

“Mahmud,  sekolah  itu  tidak  ada  tamatnya,”

Page 103: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

93

Kimas  Akil  membetulkan  posisi  duduknya.  Meneguk

kopi, menaruh gelasnya kembali di atas meja, “Agama

kita  sudah  menerangkan  dengan  jelas,  bahwa

menuntut  ilmu  itu  harus  dilakukan  sejak kita  masih

dalam buaian sampai akhirnya kita berada di liang lahat

kelak. Ilmu berada di mana-mana. Di halaman belakang

sekolah, di hutan belantara, di negeri-negeri yang jauh,

kita bisa menuntut ilmu. Jika tahun depan kau sudah

tamat sekolah, kau masih bisa menuntut ilmu di alam

terbuka. Alam  ini  begitu  luas.  Ilmu  juga  begitu  luas.

Tak ada habisnya.”

“Begini  Ayah,”  Mahmud  yang  baru  akan

memulai  masa  remajanya  tersebut  sudah  bertindak

seperti orang dewasa, “Aku mendengar dari guruku,

bahwa  setelah  tamat  Sekolah  Dasar,  kita masih  bisa

melanjutkan sekolah di tingkat selanjutnya.”

“Itu benar. Tapi di Darit ini hanya ada Sekolah

Dasar. Setelah tamat, kau bisa ikut bergabung dengan

saudara-saudaramu yang lain untuk bekerja. Bukankah

kau  masih  bisa  menuntut  ilmu  disaat  bekerja?  Lihat

saudara-saudaramu. Bahkan ada di antara mereka yang

tidak bersekolah, tapi pengetahuan mereka juga bagus.

Page 104: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

94

Mengajinya  bagus.  Akhlaknya  bagus.  Pengetahuan

alamnya  juga bagus.”

“Tapi aku ingin melanjutkan sekolah yang lebih

tinggi Ayah. Aku ingin menuntut ilmu di sekolah. Guruku

bilang,  di  sekolah  kita  tidak  hanya  belajar  ilmu

pengetahuan.  Tapi  kita  juga  bisa  bertemu  dengan

banyak  teman.  Kita  juga  bisa  berorganisasi.  Sama

seperti yang dilakukan Sukarno, Hatta, Sjahrir.” Mahmud

berbeda dari saudara-saudaranya yang lain. Kimas Akil

bisa memahaminya.

“Terus kamu mau sekolah di mana? Di Darit sini

tidak ada sekolah lanjutan.”

“Aku bisa ke Pontianak.” Mahmud tegas.

Kimas  Akil  berpikir.  Ia  merasa  khawatir  akan

anaknya jika harus berangkat ke Pontianak. Mahmud

masih  kecil.  Tapi  di  sisi  lain,  ia  juga  tidak  boleh

melarang  keinginan  anaknya  untuk  melanjutkan

sekolah. Cukup lama Kimas Akil terdiam.

“Bagaimana  Ayah,  boleh  aku  melanjutkan

sekolah di Pontianak?”

Tiba-tiba Kimas Akil teringat saudaranya yang

tinggal  di  Pontianak.  Jika  kelak  Mahmud  harus

Page 105: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

95

bersekolah di Pontianak, dia akan meminta saudaranya

untuk  bisa  menerima  Mahmud  tinggal  di  sana.  Tapi

Mahmud protes.

“Tidak  Ayah.  Guru  sejarahku  bilang,  ketika

Sukarno sekolah di Jawa Timur, dia tinggal indekos di

rumah Tjokroaminoto. Di indekos tersebut, dia bertemu

dengan  banyak orang.  Tjokroaminoto  sendiri  adalah

bapak kos yang sekaligus menjadi guru. Bukankah Ayah

sendiri yang bilang, bahwa Sukarno itu juga manusia

biasa. Kenapa dia istimewa sehingga mampu menjadi

presiden Indonesia yang pertama, karena ia belajar. Ia

belajar di sekolah.  Ia belajar di  indekos.  Ia belajar di

berbagai macam organisasi. Aku ingin seperti Sukarno.

Aku  ingin  sekolah  lanjutan  di  Pontianak.  Aku  ingin

indekos.”

Keputusan  Mahmud  bulat.  Kimas  Akil,  salah

satu tokoh pemuda di Darit yang punya peran besar

mengumpulkan para pemuda mengusir penjajah, tak

bisa  berbuat banyak.  Meski  khawatir,  di dalam  dada

lelaki  itu  juga  ada  rasa  bangga.  Mahmud  punya

keinginan yang kuat untuk belajar. Ia berharap, anaknya

ini tak hanya mampu membanggakan keluarganya, juga

Page 106: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

96

daerah  asalnya,  bahkan  bangsa  dan  negaranya.

Setamat Sekolah Dasar, Kimas Akil merestui Mahmud

melanjutkan  sekolah  di  Pontianak.  Anak  remaja  ini

memilih tinggal indekos. Di Pontianak, ia selalu bangga

memperkenalkan nama ayahnya di belakang namanya.

Nama  seorang  pemuda  pejuang  dari  Darit.  Akil.

Mahmud Akil.

Page 107: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

97

“Nak,  Mahmud.  Kalau  memang  sudah  siap,

jangan ditunda. Wong Jowo bilang, ora ilok.”

Ruang tamu. Kali ini suasananya berbeda.

Wati bersembunyi di dalam kamar. Sekali waktu,

dia  berbaring.  Sekali  waktu  yang  lain,  dia  duduk

mematut diri depan cermin. Sekali waktu yang lain lagi,

dia memegang daun pintu dan siap keluar dari kamar,

tapi  urung.  Lalu  berbaring  lagi.  Kemudian  berdiri  di

dekat jendela. Dadanya penuh debar.

Sedangkan Sari yang menemani ibunya, berkali-

kali meremas kedua telapak tangannya sendiri. Sang

ibu  santai.  Sebagai  perempuan  dewasa  yang  dididik

dengan tata krama budaya Jawa, Sugiharti sudah teruji

Dua belas

Mengutarakan Niat

Page 108: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

98

dalam  bersikap.  Terlebih  momen  yang  sedang

dihadapinya ini adalah titik pangkal kebahagiaan. Titik

mula  penyatuan  dua  insan.  Orang  Jawa  bilang,

nembung.  Cuma  persoalannya,  lelaki  perlente  di

depannya  hanya  duduk  diam  saja.  Lelaki  tampan

dengan kumis tipis ini, hanya memegang gelas teh dan

tak kunjung meminumnya.

Sugiharti  akhirnya  berinisiatif  angkat  bicara.

Tentu  saja  dengan  nada  sedikit  bercanda.  Tapi

upayanya mencairkan suasana tak membuahkan hasil.

Jantung Mahmud malah berdetak semakin tak karuan,

saat  ditodong  langsung  oleh  -  anggap  saja  niat  ini

disetujui - calon mertua.

Ini urusan serius. Sambil memegang gelas teh,

Mahmud mengingat dilema di hatinya belakangan ini.

Di satu sisi, kuliahnya belum selesai. Tapi di sisi  lain,

ada  dorongan  dalam  dirinya  yang  sulit  dilawan.

Dorongan  untuk  meminang  Puspitawati  sesegera

mungkin. Jalan tengahnya, pikir Mahmud, ia tidak akan

menyia-nyiakan waktu di kampus. Rampungkan kuliah,

lalu  menikah.  Nah,  bukankah  pernikahan  tidak  bisa

terjadi  begitu  saja?  Ada  proses.  Harus  ada  obrolan

Page 109: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

99

mata ketemu mata antara si bujang dengan orang tua

si dara. Kalau begitu, tentu tak ada masalah. Toh, dia

sudah  sering  berkunjung.  Bertemu  dan  berbincang-

bincang  dengan  ibunya  Wati  di  beranda.  Bercanda

bersama  Sari.  Artinya  tidak  akan  muncul  kesulitan

ketika nanti berhadapan langsung dengan calon mertua

untuk ngomong persoalan pinang meminang.

Rencana  ini  disampaikan  Mahmud  kepada

kekasihnya. Tentu saja Wati riang gembira. Dia  tidak

sabar menunggu peristiwa berharga tersebut.

“Bagaimana kalau ibu bilang tidak?” tanya Wati

dengan nada bergurau.

“Kalau Ibu bilang tidak, aku akan menculikmu.

Lalu  kabur  dan  bersumbunyi  di  pedalaman

Kalimantan?”

“Bagaimana kalau Ibu mencariku?”

“Ibumu tidak akan menemukan kita. Kita akan

menyelinap di antara pohon-pohon besar. Hidup seperti

Tarzan dan Jane di rerimba Kalimantan. Kau tahu, hutan

Kalimantan itu adalah hutan terlebat di dunia. Hijau.

Teduh. Kita akan tinggal di sana bersama keramahan

orang-orang asli.”

Page 110: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

100

“Mas Mahmud bisa saja. Aku tidak mau tinggal

di dalam hutan. Aku juga tidak mau melarikan diri dari

Ibu.”

“Kalau  tidak  mau  melarikan  diri  dari  Ibu,  itu

artinya Ibu harus setuju anaknya aku pinang,” Mahmud

tertawa. Dia merasa menang. Wati semakin senang.

Waktu  yang  ditentukan  tiba.  Sore  hari,

Puspitawati memberi tahu ibunya bahwa malam nanti

Mahmud akan datang. Kedatangan kali ini bukan apel

biasa.  Tapi  sekaligus  mengutarakan  niat  untuk

meminang. Sari yang mendengar percakapan antara ibu

dan anak tersebut, tak mau ketinggalan berita. Kakaknya

yang mau kawin, tapi malah dirinya yang pecicilan.

“Ibu  senang  kalau  Nak  Mahmud  mau  serius.

Semoga  kalian  bisa  menjadi  pasangan  yang  bahagia

sepanjang  hayat,”  ucap  Sugiharti  kepada  anaknya

sekaligus  isyarat  bahwa  orang  tua  sudah  membuka

pintu lebar-lebar.

Harusnya semua berjalan mudah. Ketika orang

tua  sudah  setuju,  apa  lagi  yang  dikhawatirkan.  Tapi

teori  tak  selalu  seiring  sejalan  dengan  praktik  di

lapangan. Seusai  sholat  isya,  Puspitawati  tidak  mau

Page 111: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

101

keluar  dari  kamarnya.  T iba-tiba  saja  dadanya

bergemuruh. Aku  akan  menikah?  Batinnya  setengah

percaya setengah tidak. Bagaimana nanti kalau sudah

menikah  rasa  cinta  Mahmud  kemudian  memudar?

Bagaimana  kalau  nanti  ternyata  Mahmud  tidak

seromantis ketika sebelum menikah? Bagaimana kalau

ini? Bagaimana kalau itu? Puspitawati gelisah. Apakah

aku sudah siap dipinang?

Kegelisahan dalam hati Puspitawati setali tiga

uang  dengan apa yang terjadi dengan Mahmud Akil.

Lelaki ini; demonstran, tukang debat, temannya begitu

banyak  di  kampus,  bicaranya  meyakinkan,  cuek,

perlente.  Siapa  saja  lawan  bicaranya  akan  dibuat

kagum. Pandai berpidato. Pandai pula bercakap-cakap

secara pribadi. Tak hanya perkara serius, urusan olok-

olok pun, dia begitu jago. Tapi semua itu tak berlaku di

hadapan Sugiharti, ibu dari kekasihnya dan jika kelak

mereka menikah, akan menjadi ibunya juga.

Mahmud kagok tiba-tiba. Kali ini dia tak banyak

bicara. Pelajaran pertama, jangan sombong-sombong

mau menaklukan negara kalau belum bisa menaklukan

calon mertua.

Page 112: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

102

Karena Mahmud tak juga angkat suara, akhirnya

Sugiharti hilang kesabaran. Toh dia sudah tahu maksud

dan tujuan.

***

Persetujuan  ibunda  Sri  Puspitawati  sudah

didapatkan.  Sekarang,  tinggal  mendapatkan  restu

keluarga di kampung halaman. Mahmud Akil tidak sabar.

Saat ada liburan semester, Mahmud tak menyia-nyiakan

waktu. Dari Jogjakarta, Mahmud Akil menuju pelabuhan

Semarang dan kemudian berangkat dengan kapal laut

ke Kalimantan.

Sesampainya  di  Pontianak,  Mahmud  Akil

langsung  mencari  kendaraan  menuju  ke  Darit.  Ia

menghabiskan  masa  liburan  dengan  bersilaturahmi.

Bercerita  tentang  ilmu  yang  sedang  dituntutnya  di

tanah  Jawa,  bersenda  dengan  teman-teman  lama.

Mahmud  Akil  menikmati  benar  masa  liburannya.

Terlebih  disaat  ia  harus  berbagi  cerita  tentang

perjuangan  mahasiswa.  Ini  bagian  yang  paling

disukainya. Meskipun sudah bertahun-tahun di tanah

Page 113: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

103

Jawa,  ia  tidak  pernah  sedikitpun  melupakan  tanah

kelahirannya. Menurutnya, tak ada yang membedakan

Jawa dengan daerah-daerah lainnya di nusantara selain

pemikiran  para  pemudanya.  Artinya,  jika  Borneo,

Selebes, Sumatra, bahkan Papua ingin setara dengan

Jawa, harus melahirkan pemuda-pemuda yang memiliki

pemikiran jauh ke depan.

Memang,  pusat  pendidikan  berada  di  Jawa.

Begitu juga dengan pusat pemerintahan. Tapi menurut

Mahmud,  itu  bukan  menjadi  kendala  bagi  pemuda-

pemuda  lokal  untuk  juga  memiliki  pemikiran  yang

setara. Sumatra Barat sudah membuktikan. Di masa-

masa  awal  kemerdekaan,  betapa  banyak  peran

pemuda-pemuda dari tanah Minang yang ikut mewarnai

gejolak politik di  tanah  Jawa. Hingga akhirnya, salah

satu putra Minang  layak untuk duduk mendampingi

Sukarno sebagai wakilnya di kursi kepresidenan.

Mahmud  Akil  sangat  mengagumi  Sukarno.

Namun itu bukan berarti ia harus mengenyampingkan

peran  Mohammad  Hatta.  Mereka  berdua  adalah

intelektual  yang  seimbang.  Sukarno  yang  berkobar

menyala  diimbangi  dengan  Hatta  yang  sabar  dan

Page 114: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

104

tenang. Penyatu mereka adalah ilmu. Tujuan mereka

Indonesia merdeka. Sehingga, dari Jogjakarta, tak hanya

buku-buku  tentang Marhaen  yang dibawa  Mahmud

sebagai hadiah untuk sanak kerabat di Kalimantan. Ia

juga  memboyong  buku-buku  karangan  Mohammad

Hatta.

Diam-diam  Kimas  Akil  mengagumi  pemikiran

anaknya.  Sejarah  perjuangan  masa  lalu  akan  terus

mengalir  turun  temurun  di  masa  ini  dan  masa

mendatang.

Masa liburan hampir berakhir.

“Ayah, beberapa hari lagi aku akan kembali ke

pulau Jawa,” Mahmud membuka cerita. Ayahnya hanya

diam,  sambil  menyeruput  kopi  bubuk  dan

memperhatikan raut wajah anaknya. Beberapa detik,

suasana ruang tamu hening. Rencana kembali ke Jawa

tak ditanggapi. Mahmud mengubah posisi duduk.

“Ada yang mau aku sampaikan,” lanjut Mahmud

sambil berusaha mengatur napas.

“Aku tahu,” jawab Kimas Akil sembari menatap

tajam mata anaknya.

 Mahmud menarik napas panjang dan sedikit

Page 115: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

105

memundurkan punggung. Tumben. Kali  ini ayah hanya

menjawab dengan dua kata. Mahmud memberanikan diri.

“Aku  bertemu  seorang  perempuan  di  Jogja,”

kata Mahmud dengan hati-hati.

Usai  dengan  ucapannya,  ia  mengalihkan

pandangannya.  Ia  khawatir  ayah  akan  terkejut  dan

marah. Ia khawatir ayah akan berpikir bahwa ia tidak

serius  menuntut  ilmu  ketika  sudah  memikirkan

perempuan. Ia khawatir. Sangat khawatir.

“Terus?”

Tadi  dua  kata.  Sekarang  Kimas  Akil  hanya

mengeluarkan satu kata dari mulutnya. Pandangannya

tidak  berubah.  Fokus  dan  serius.  Tentu  saja,  dalam

tahap ini Mahmud sudah kalah duluan. Ia memang jago

kalau bicara urusan perjuangan. Tak ada jawaban dari

Mahmud.  Ayahnya  iba.  Kimas  Akil  mengubah  raut

wajahnya. Bibirnya menyunggingkan senyum.

“Mahmud, kau tahu kalau aku mengagumimu?”

Mahmud kembali menoleh ke arah ayahnya.

“Dari  kecil,  niatmu  menempuh  pendidikan

sudah membuat aku bangga. Di usia belasan, kau sudah

mengarungi  tanah  Jawa.  Hidup  sendirian,  belajar,

Page 116: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

106

sampai  akhirnya  SMA  berhasil  kau  selesaikan.

Kemudian,  ujian  masuk  Fakultas  Hukum  universitas

ternama di negeri ini berhasil kau tempuh. Tahun demi

tahun, lewat surat-surat yang kau kabarkan, tidak hanya

aku,  tapi  seluruh  keluarga  di  kampung  ini  bangga

padamu. Sekarang kau pulang. Bertemu teman-teman

pemuda di sini. Berkobar-kobar bercerita tentang apa

yang  kau  lakukan  di  Jawa.  Kau  bilang,  seperti  yang

ditulis Chairil Anwar dalam sajaknya, perjuangan belum

selesai. Belum bisa memperhitungkan arti empat – lima

ribu nyawa. Otakmu cerdas. Bacaanmu bernas. Orang

sepertimu  yang  dicari  daerah  ini.  Putra  daerah

Kalimantan  Barat.  Ya,  tak  hanya  keluarga  dan  para

pemuda Darit yang bangga padamu, tapi Provinsi ini

juga  bangga.”

Mahmud  bingung.  Kenapa  ayahnya  malah

membicarakan soal perjuangan? Malah menyinggung-

nyinggung sajak Chairil Anwar. Tapi ia kenal betul sosok

ayahnya. Tak ingin ia memotong perkataan orang asli

Darit yang pernah menjadi pemimpin pemuda di tanah

kelahirannya.

“Aku berharap,  ilmu yang telah kau dapatkan

Page 117: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

107

di tanah Jawa, bisa kau terapkan untuk membangun

daerah  ini.  Sekali  lagi,  aku  kagum  padamu.  Tapi

sayang,”  Kimas  Akil  berhenti.  Meraih  gelas  kopi.

Senyumnya kembali hadir. Tapi kali ini agak sinis.

“Tapi  sayang,  untuk  urusan  perempuan,  kau

masih  harus banyak  belajar!”  Setelah  itu  Kimas  Akil

tertawa.  Ia  merasa  berhasil  mempermainkan

ketegangan hati anaknya. Suasana menjadi cair.

“Ya, Ayah. Aku sudah bertemu perempuan di

Jogja.  Dan  aku  ingin  Ayah  juga  menemuinya,

membantuku melamarnya. Aku ingin menikahinya.”

Setelah  mengucapkan  itu,  Mahmud  merasa

dadanya lega. Percakapan berikutnya antara ayah dan

anak  ini  adalah  perkara  tentang  Puspitawati  dan

keluarganya. Siapa dia, anak siapa, bagaimana kondisi

keluarganya.  Tadi  lega,    sekarang  Mahmud  ber-

semangat.

“Wati  adalah  anak  seorang  pejuang,  Ayah.

Bapaknya tewas di tembak Jepang saat ia masih berusia

dua tahun. Dari cerita yang kudengar, Bapaknya adalah

salah  satu  pahlawan  yang  terkenal  karena

kegigihannya. Bukan tentara. Hanya pegawai kepolisian

Page 118: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

108

biasa. Yang harusnya saat itu tidak ikut bertempur. Tapi

bapaknya terus maju. Meski dia sekarang telah gugur,

tapi  seluruh keluarganya bangga. Bapak Wati adalah

salah  satu  pahlawan  pertama  yang  dimakamkan  di

Taman Makam pahlawan Jogjakarta.”

Mendengar  penuturan  dari  Mahmud,  darah

Kimas Akil berdesir. Pejuang harus melahirkan generasi

pejuang. Begitu ia membatin.

“Jadi kapan kita melamar?”

Page 119: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

109

Syahdan. Persetujuan kedua orang tua membuat

Mahmud dan Wati begitu bergembira. Meskipun pihak

keluarga Mahmud tidak bisa berangkat ke Jogja, tapi

sepucuk surat yang datang cukuplah melegakan.

Ngabang, tgl 26 Maret 1961

Dengan segala hormat.

Dengan perasaan gembira kami menulis surat

ini untuk keluarga  di  tanah Djawa sebagai ganti  diri

kami datang berkabar. Keluarga kami di Darit, Ngabang,

Pontianak, selalu dalam lindungan Tuhan jang Maha

Esa dan semogalah keluarga di Djawa demikian pula

adanja.

Dalam pertemuan keluarga jang diadakan untuk

Tiga belas

Surat Pertama

Page 120: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

110

perpisahan  dengan  ananda  Mahmud,  dikemukakan

setjara terus terang oleh Mahmud bahwa ia bermaksud

dan  minta  persetudjuan  kami  agar  kami  sekeluarga

dapat mengabulkan permintaannja untuk mengadakan

“ikatan  jang  kuat  antar  keluarga  kita”  jang  mana

maksudnja: agar  ia diperkenankan berikatan dengan

putri ibu Sugiharti jang bernama SRI PUSPITA WATI.

Akan  maksud  dan  tudjuan  tsb.  di  atas,  kami

sekeluarga  dengan  penuh  tulus  ichlas  dapat

mengabulkan  permintaan  anaknda  Mahmud  karena

kami  menimbang  dan  penuh  pertjaja  bahwa  pilihan

Mahmud adalah pula pilihan kami.

Kami sekeluarga memandang ia sebagai anak

jang  telah  dewasa  jang  berarti:  pikirannja  adalah

pikiran  dewasa  pula.  Meskipun  kami  di  Kalimantan

belum melihat dari dekat “siapa” jang dimaksud ananda

Mahmud,  tapi  kami  pertjaja  bahwa  segala

pembitjaraan  Mahmud  tentang  putri  ibu  Sugiharti

adalah sesuai dengan keinginan kami.

Kami  menginginkan  seseorang  jang  dapat

berkenan sepenuh hati pada kami.  Dan  kepertjajaan

Page 121: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

111

kami  pada  keluarga  di  Djawa  jang  dapat  memberi

pimpinan  dan  petundjuk  jang  baik  dan  benar  pada

“putra” kita berdua.

Harapan  kami  dalam  masa2  Mahmud

menuntut peladjarannja di tanah Djawa, sudilah pihak

keluarga di Djawa memberikan pengertian  jang baik

padanja. Maklumlah karena ia masih muda dan kami

sepenuhnya  mempertjajai  dan  dapat  menerima  apa

pun keputusan keluarga di sana.

Sebenarnja kami sangat ingin bisa berangkat ke

Djawa beserta Mahmud. Tetapi karena pekerdjaan yang

tidak  bisa  kami  tinggalkan,  maka  maksud  di  atas

terpaksa kami tunda dan mudah2anlah dalam tahun

jang akan datang kami dapat datang ke Djawa.

Dan menurut pembitjaraan Mahmud, niat untuk

mengadakan silaturahmi antara kedua keluarga akan

dilakukan apabila ia telah lulus Udjian Candidat achir

tahun ini. Maksud tersebut pun dapat pula kami setujui.

Sebagai  achirul  kata –  anggaplah  surat  kami

jang pertama ini sebagai pembitjaraan jang langsung

dari  kami  pada pihak  keluarga Sri  Puspita  Wati  dan

Page 122: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

112

apabila  ada  berkenan  di  hati  serta  apabila  ada

keluangan waktu, sudilah kiranya berkirim chabar pada

kami di Kalimantan.

Doa restu kami menjertai.

Sekian

Wassalam kami (sekeluarga)

Akil Abdurrachman

Sepucuk surat dari Kalimantan datang. Mahmud

sendiri  yang menyerahkannya  langsung ke  Sugiharti.

Tak lama setelah menyerahkan surat, ia undur diri. Ia

tak mau berlama-lama berada dalam situasi dramatis.

Puspitawati  berada  di  dalam  kamar.  Harap-harap

cemas.

Setelah Mahmud pamit pulang, Sari dan Wati

langsung menghambur ke luar. Sugiharti membacakan

isi surat tersebut dengan suara terbata-bata. Hatinya

haru.  Ia  tak  menyangka,  ketulusan  Mahmud  untuk

menikahi Wati juga disambut dengan tulus oleh orang

tuanya di Kalimantan.

“Piye,  nduk?  Keluarga  Mahmud  sudah

Page 123: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

113

menyatakan  keinginannya  untuk  meminangmu.

Sekarang semuanya ibu serahkan ke kamu. Kalau kamu

memang sudah siap menikah, ibu tidak bisa mencegah.

Ibu hanya bisa berpesan. Tolong jaga marwah keluarga

kita. Taatlah kepada suami seperti apa yang diajarkan

agama.  Mahmud  itu  orang  yang  cerdas.  Gagasan-

gagasannya  cukup  gemilang.  Semangatnya  tak

terbantahkan.  Tapi  ibu  sangat  yakin,  Mahmud  juga

punya  sisi  lemah  sebagai  manusia.  Tugasmu  lah

sebagai  istri  untuk  selalu  menguatkannya.

Mendampinginya selama kalian hidup. Agar tak hanya

bisa berbahagia di dunia ini, tapi juga di akhirat kelak.

Bapakmu pasti akan bangga.”

Sugiharti  menunduk.  Menyerahkan  surat

istimewa tersebut kepada anak perempuannya.

“Kalau Ibu sudah restu, tak ada lagi yang dapat

menandingi  kebahagiaanku,”  suara  Wati  lirih.  Air

matanya jatuh. Sari merangkul kakak dan ibunya.

***

Sehari  pasca  diterimanya  surat  dari  keluarga

Kalimantan, Sugiharti tak bisa tidur. Tentu saja hatinya

Page 124: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

114

berbahagia  sebab  anak  gadisnya  akan  dilamar.  Tapi

gundah  juga  menyertainya.  Berbagai  macam

pertanyaan menyerang kepalanya. Keluarganya di Jogja

merupakan keluarga sederhana. Meskipun jika nasab

diurutkan  ke  atas  masih  ada  trah  kerabat  keraton,

begitupula  dengan  almarhum  suaminya  yang

merupakan  seorang  pejuang,  tewas  pada  saat

peperangan  dan  termasuk  generasi  pertama  yang

dimakamkan di taman makam pahlawan, tapi tak bisa

dipungkiri kehidupan Sugiharti begitu sederhana. Sifat

ini yang tidak banyak dimiliki orang. Tak jarang banyak

orang membangga-banggakan garis keturunan keluarga

namun  bobrok  di  dalam.  Hal  itu  tidak  berlaku  bagi

Sugiharti. Nama besar keluarganya merupakan beban

sekaligus  penyemangat  untuk  menjaga  kehormatan.

Menempuhnya dengan jalan kesederhanaan merupakan

suatu pilihan.

Kegundahan  Sugiharti  muncul  dengan

pertanyaan-pertanyaan yang berkelebat begitu saja di

kepala.  Bagaimana  jika  keluarga  Mahmud  di

Kalimantan, tidak bisa menerima kondisi kesederhaan

keluarga  di  Jawa?  Bagaimana  kemudian  tingkat

Page 125: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

115

perbedaan  harta  menjadi  masalah  dalam  membina

keluarga? Persoalan harta kerap menjadi ujian banyak

orang.  Surat  balasan  urung  dituliskan.  Malam  itu

Sugiharti memilih untuk  larut bercengkrama dengan

gundah. Hingga akhirnya dia tersadar. Shalat sunnah.

Tak  boleh  berlama-lama  dengan  gundah.  Iyyaka

Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in.

Sugiharti menyerahkan segalanya kepada Allah.

Berserah.  Rapat  keluarga  dilakukan.  Keluarga  besar

berkumpul. Hari demi hari lewat. Hingga akhirnya surat

balasan dituliskan. Memberi kabar yang baik tentu saja

ditulis di permulaan surat. Selanjutnya, dalam suratnya,

Sugiharti mengucapkan terima kasih atas niatan tulus

dari keluarga Mahmud di Kalimantan. Dengan bahasa

sesopan  mungkin,  Sugiharti  menyampaikan

kegembiraan keluarga di Jawa bahwa seandainya Allah

mengizinkan,  anak  gadisnya  akan  menikah  dengan

Mahmud. Restu sudah diberikan oleh keluarga besar.

Namun di dalam surat, Sugiharti juga harus jujur

mengenai  kondisi  keluarganya  di  Jawa.  Tentang

kehidupan  yang  sederhana.  Tentang  harta  yang

seadanya. Janda pejuang ini tak ingin kelak persoalan

Page 126: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

116

harta  menjadi  masalah  di  kemudian  hari.  Dan  jika

keluarga  Mahmud  di  Kalimantan  tidak  keberatan,

bolehlah kiranya ikatan keluarga ini dilanjutkan. Begitu

kira-kira isi surat balasan.

Sugiharti  sendiri  yang  mengantarkan  surat

tersebut.  Jarak Mangkukusuman menuju kantor pos

sebenarnya tidak terlalu jauh. Dari wilayah kadipaten

Pakualaman  cukup  berjalan  lurus  ke  arah  barat,

melewati jembatan sayidan, perempatan gondomanan,

tinggal  beberapa  kayuh  sepeda  sampailah  di  kantor

pos. Tapi  kali  ini Sugiharti  memilih  memutar. Tujuan

pertamanya  adalah  kota baru.  Ia  ingin  mengembara

dengan  kenangan.  Mencoba  berkomunikasi  dengan

suaminya yang telah gugur di pertempuran. Komunikasi

ini  ia  lanjutkan  ke  Yang  Maha  Kuasa.  Dzat  yang

sesungguhnya  tempat  setiap  makhluk  berserah  diri,

mengadu, dan meminta. Di halaman Masjid Syuhada

Sugiharti  memarkir  sepedanya.  Sholat.  Berdoa.

Memohon agar suaminya tenang di alam kubur dan

dapat masuk ke dalam surga-Nya. Doa yang tak kalah

penting adalah tentang anak perempuannya. Tentang

surat  balasan  yang  sebentar  lagi  akan  ia  kirim  ke

Page 127: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

117

Kalimantan.  Dalam  momen-momen  bercakap-cakap

dengan Sang Pencipta ini, Sugiharti kerap menangis.

Dari  kota  baru,  Sugiharti  menuju  jalan

Malioboro.  Jalan  yang  tak  terlalu  panjang  ini

menyimpan sejarah yang begitu panjang. Orang-orang

Jawa  tradisional  memercayai  bahwa  jalan  ini

merupakan  sumbu  imajiner  yang  menghubungkan

wilayah  utara-selatan  Jogjakarta.  Keraton  adalah

sentralnya. Gunung merapi di sebelah utara dan parang

tritis,  laut  selatan,  di  sebelah  selatan.  Tiga  titik  ini

merupakan simbol supranatural. Sugiharti pribadi tidak

terlalu memercayai hal-hal demikian. Meskipun ia lahir

dan  dibesarkan  dalam  tradisi  Jawa  yang  kuat,  tapi

syariatlah yang menjadi panduan. Hubungan horisontal

baginya  merupakan  interaksi  sosial  antar  sesama

masyarakat. Hubungan vertikal tak boleh ditujukan ke

hal  yang  lain  selain  kepada  sang  Khalik.  Tapi

bagaimanapun juga, Sugiharti senang melewati wilayah

Malioboro.  Sebab,  ada  banyak  kisah  yang  terjadi

tentang sejarah. Ya, tak boleh melupakan sejarah.

Ada berbagai cerita tentang jalan Malioboro.

Dalam bahasa sansekerta, kata ‘malioboro’ bermakna

Page 128: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

118

karangan bunga. Sebagian orang mengait-ngaitkannya

tentang  peristiwa  masa  lalu  ketika  keraton

menyelenggarakan hajatan besar, maka jalan tersebut

akan dipenuhi dengan karangan bunga. Tapi sebagian

orang yang lain memercayai bahwa di awal abad ke-

19,  seorang  kolonial  berkebangsaan  Inggris  pernah

mendiami  tempat  tersebut.  Kolonial  ini  bernama

Marlborough. Di era kolonial, tata kota yang dibangun

oleh  keraton  terganggu  oleh  Belanda  dengan

dibangunnya sebuah benteng yang lokasinya tak jauh

dari keraton. Vredeburg. Inilah bangunan pertama yang

didirikan  Belanda  yang  dibangun  tak  lama  setelah

Keraton  Jogjakarta  berdiri.  Konon  pembangunan

benteng yang berlokasi tak jauh dari keraton tersebut

sengaja  dilakukan  dengan  maksud  agar  gerak-gerik

keraton bisa diawasi dari dekat. Tepat di depan benteng

terdapat gedung keresidenan dengan kebun yang begitu

luas. Namun jangan pernah dikira bahwa pembangunan

gedung bergaya arsitektur Eropa ini dilakukan dengan

mudah.  Perang  Diponegoro  sempat  membuat

pembangunan gedung ini terhenti. Perlawanan rakyat

yang membara membuat Belanda harus hidup dalam

Page 129: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

119

kecemasan  dalam  waktu  yang  lama.  Tak  hanya  itu,

pasukan Diponegoro yang siap syahid bahkan membuat

pemerintah kolonial nyaris bangkrut.

Dua gedung awal ini kemudian merubah kondisi

wilayah  tersebut.  Warna  Eropa  mulai  bermunculan.

Tradisi pelan-pelan mulai bercampur dengan budaya

modern. Belanda mendirikan Dutch Club dan Java Bank.

Dominasi  mereka  semakin  kuat.  Untuk  melancarkan

hubungan  ke  Ratu  Belanda  di  Eropa,  mereka

membangun  Post  en  telegraafkantoor. Bangunan  ini

menghadap  ke  utara.  Membelakangi  keraton.

Berbentuk tapal kuda dan terdiri dari dua lantai. Inilah

gedung yang menjadi  tujuan Sugiharti. Mengirimkan

suratnya,  menyeberangi  lautan  dan  kelak  sampai  ke

pulau bernama Kalimantan. Di muka amplop tertulis:

Kepada jth. Akil Abdurrachman.

Page 130: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

120

Setelah menyelesaikan  urusan di  kantor pos,

Sugiharti mengayuh sepedanya ke arah timur. Masih ia

menjumpai sisa-sisa kejayaan kolonial. Ini merupakan

wilayah hunian orang-orang Belanda. Saat ini wilayah

tersebut  sudah  berubah  fungsi  menjadi  tempat

penjualan buku-buku bekas maupun baru yang dikenal

dengan  nama  Shopping  centre.  Di  tempat  ini  pula,

Mahmud sering menghabiskan waktu bersama teman-

teman mahasiswanya.

Gedung societet militair juga terletak di wilayah

ini. Tempat  para  militer  kolonial  bersosialita  setelah

lelah  menindas  anak-anak  bangsa.  Mencari

penghiburan. Menonton pertunjukan teater. Berdansa.

Empat Belas

Surat Kedua

Page 131: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

121

Tertawa  bahkan  mabuk  hingga  pagi  hari.  Tak  hirau

dengan  kondisi  pribumi  yang  semakin  menderita.

Kolonialisme  apa  pun  dan  di  mana  pun,  telah

membawa  kesengsaraan  yang  begitu  panjang.  Tak

terkecuali di Jogjakarta.

Sesampainya di rumah, Sugiharti disambut oleh

anak perempuannya.

“Ibu  dari  mana  saja?  Kenapa  begitu  lama?

Bukankah  kantor  pos  dekat  dari  sini?”  Wati  cemas.

Mengira terjadi apa-apa pada ibunya. Kecemasan yang

wajar. Ia tak mau kehilangan satu-satunya orang tuanya

di saat menjelang pernikahannya.

“Tenang, nduk. Ibu baik-baik saja. Tadi ibu jalan-

jalan dulu ke Kota Baru. Ibu kangen sama Bapakmu.”

Sugiharti  tidak  langsung  masuk.  Melihat  ibunya

beristirahat di beranda, Puspitawati bergegas ke dapur.

Ia membuat teh tubruk untuk ibunya.

“Sepertinya  ada  sesuatu  yang  ibu  sembunyi-

kan,” ujar Puspitawati membaca raut wajah ibunya.

“Tidak ada apa-apa, nduk.”

“Jangan bohong. Ayo cerita.”

“Apa yang harus ibu ceritakan?”

Page 132: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

122

“Apa  saja.”

Puspitawati  mendesak.  Sugiharti  menghela

nafas.

“Ibu takut kesepian kalau kelak kamu dibawa

Mahmud ke Kalimantan,” kata Sugiharti lirih. Matanya

kosong menatap cakrawala. Puspitawati tersenyum.

“Ibu tenang. Tak perlu khawatir. Aku dan Mas

Mahmud sudah sepakat, kalau setelah menikah kami

akan tinggal di sini. Aku ingin ibu menggendong cucu

dari rahimku kelak. Toh, kalau pun rencana berubah.

Misalnya  aku  harus  pergi  ke  Kalimantan,  ibu  akan

kubawa serta.”

Puspitawati  mendekap  ibunya.  Satu-satunya

orang tua yang begitu perkasa. Seperkasa sang suami

yang hanya ia ketahui dari cerita.

***

Dari kantor  pos,  tumpukan surat  yang sudah

disortir, dibawa ke pelabuhan  Semarang. Pada masa

kerajaan  Mataram,  lokasi  ini  merupakan  tempat

berlabuhnya  kapal-kapal  dagang  yang  datang  dari

Page 133: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

123

berbagai wilayah. Kapal-kapal ini hanya bisa berlabuh

di  lepas  pantai.  Untuk  mencapai  daratan,  barang-

barang  harus  diangkut  dengan  perahu-perahu  kecil

menuju kali Semarang. Kali Semarang pernah menjadi

satu-satunya  urat  nadi  perdagangan  yang

menghubungkan  satu  kota  ke  kota  lainnya.  Lagi-lagi

kolonial  tak mau menyia-nyiakan  situasi  ini. Terlebih

Belanda sejak dulu memang  terkenal  sebagai pelaut

ulung. Menata wilayah-wilayah di tepi laut, orang-orang

berambut pirang ini tak perlu diragukan. 1874 menara

suar didirikan oleh Belanda di wilayah ini. Benar, pasca

itu kota semarang berkembang pesat. Gudang-gudang

di  pinggir  kali  Semarang  banyak  dibangun.  Kali

Semarang  tidak  mampu  mempertahankan

kedalamannya akibat terjadinya endapan lumpur. 1886

Kolonial  memutuskan  untuk  membuat  perencanaan

pembangunan  pelabuhan  yang  lebih  besar.  Hingga

akhirnya  Pelabuhan  Semarang  pernah  menduduki

peringkat  ketiga  dalam  hal  bongkar  muat  barang

setelah  pelabuhan  Tanjung  Periok  di  Batavia  dan

Tanjung Perak di Surabaya.

Keberadaan pelabuhan ini menjadikan Belanda

Page 134: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

124

semakin rakus mengeruk hasil bumi dan menyengsara-

kan  manusia  nusantara.  Jalur  kereta  api  yang

menghubungan  pelabuhan  dan  daerah  lainnya  di

bangun. Komoditi utama pada masa itu adalah minyak,

semen, dan pupuk. Dari luar, secara kasat mata Belanda

berhasil  membangun  Semarang  sebagai  daerah

industri.  Hubungan  dagangnya  dengan  orang-orang

Tiongkok juga semakin baik. Dari dalam, para pribumi

terus menjerit. Suaranya  tak  bisa keluar. Terpendam

begitu dalam hingga ke relung hati. Kalau bukan anak

bupati  atau  berdarah  biru,  siap-siap  bekerja  secara

paksa di tanah nenek moyangnya sendiri.

Begitulah  dari  Pelabuhan  Semarang,  kapal

bergerak mengarungi laut Jawa, ke arah utara. Selain

barang  dagangan  dan  manusia,  kapal-kapal  ini  juga

membawa  tumpukan  surat  dengan  tujuan  berbeda.

Sumatra, Kalimantan, Selebes, bahkan hingga Papua.

Berlabuh di Kota Pontianak, sepucuk surat dari Sugiharti

berpindah tempat menuju daerah Ngabang. Berpindah

lagi masuk ke Darit. Hingga kemudian, setelah sekian

lama menunggu, Akil Abdurrachman dan juga keluarga

yang lain, mendapatkan surat balasan.

Page 135: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

125

Keluarga  di  Darit  tersenyum  sumringah.

Lamaran jarak jauh mereka diterima oleh keluarga di

Pulau Jawa.

Akil Abdurrachman tak mau menunggu lama.

Segera ia mengambil mesin ketik, lalu jemarinya lincah

menulis surat kedua.

Ngabang, 24 Djuni 1961

Sebagai pendahuluan, kami sekeluarga

menghaturkan salam takzim kepada keluarga di Djawa.

Keluarga Ibu Sugiharti jth. Alhamdulillah, kami

sekeluarga mengutjapkan sjukur kepada Tuhan jg. Maha

Kuasa dan sangat bergembira atas kedatangan surat

yang bertanggal 23 Mei 1961. Meskipun tjukup lama

kami menanti-nantikan surat tsb. tapi kami sekeluarga

di kalimantan sangat berbahagia.

Alhamdulillah, dan kami sekeluarga sekali lagi

mengutjapkan sjukur kepada Tuhan dan mengutjapkan

terima kasih kepada pihak Ibu Sugiharti, bahwa apa jang

Ibu kemukakan dalam surat kakak itu tjukup mendjadi

bahan kepada kami sekeluarga, jang sebelumnja kami

tidak begitu djauh dalam mengadakan perintjian segala

sesuatunja. Sjukurlah Ibu dapat menggambarkan segala

Page 136: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

126

sesuatunja itu.

Ibu jth. sungguh hati kami sangat terharu setelah

membatja tulisan jang membajangkan suatu keadaan

suatu keadaan perbedaan hidup jang menjebabkan

suatu perasaan ketjil diri dari ibu sekeluarga. Sebaliknja

kamipun merasa penuh ketjemasan bilamana hal itu

mendjadi pegangan pokok. Kepada kami sekeluarga

hanja ada kelapangan perasaan serta keichlasan hati

untuk mengikat sehubungan anak kita itu, sehingga

mendjadikan perhubungan kekeluargaan jang sedjati.

Dasar kelapangan perasaan dan keichlasan hati

itulah landasan jang kami pergunakan untuk kami

berpidjak dalam maksud kami memberanikan diri untuk

menempatkan anak kami ke dalam lingkungan keluarga

Ibu Sugiharti. Dalam hal ini semoga ibu sepaham

dengan kami.

Dengan lain kata, djika boleh kami

mengemukakan bahwa, “anak kami adalah anak Ibu

dan anak Ibu adalah anak kami.” Djika peribahasa ini

sesuai dengan isinja, maka hari depan anak kita itu

kiranja diharapkan tidak mengetjiwakan kepada kita,

lebih-lebih kepada mereka sendiri.

Page 137: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

127

Ibu jth. kami sangat senang bahwa anaknda

Mahmud dan Anaknda Puspitawati adalah dua insan

yang seiman. Dengan demikian halnja tidaklah

mendjadi persoalan yang pelik. Sebagai kesimpulan dari

isi surat Ibu, bahwa keluarga di Djawa sudah

membukakan hati, jang dengan senang hati serta ichlas

menerima hazat kami sekeluarga dalam maksud

mengadakan ikatan jang erat. Maka kesediaan serta

kerelaan dari Ibu sekeluarga jang demikian besarnja

itu, kami sekeluarga mengaturkan terima kasih kami

jang se-besar-2nja pula kepada Ibu sekeluarga di Djawa.

Tentang maksud Ibu mengharap kami

berkundjung ke Djawa, kami mengutjapkan terima kasih

semoga dapat kami usahakan. Selandjutnya, saat atau

waktu untuk menentukan hari bahagia anak kita itu,

kami mengambil keputusan waktu achir tahun udjian

kandidat. Pada saat itu sekiranja kami belum dapat

berkundjung ke Djawa kami harap keluarga di Djawa

djangan ketjil hati dan jang mengurus persoalan itu

kami sekeluarga mengirim dua orang dari keluarga kami

sebagai utusan dalam mengurus maksud di atas.

Kepadanjalah kami mewakilkan segala sesuatu urusan.

Page 138: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

128

Sebagai penjudahan pertjakapan kami

sekeluarga dalam surat ini kami sekeluarga meminta

maaf banjak-2 kapada kakak sekeluarga serta

memandjatkan dhoa se-banjak-2nja kepada Tuhan Jang

Maha Kuasa mudah-2an maksud baik kita bersama

dalam menjelesaikan perdjodohan anak kita itu penuh

berkah daripada-Nja. A m i n ! ! !

Kemudian kepada Ibu sekeluarga kami dhoakan

semoga selalu dalam keadaan sehat wal’afiat. A m i n !!!

Salam Takzim kami sekeluarga

Akil Abdurrachman

Page 139: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

129

Sugiharti tidak harus bersedih karena kesepian

sebab apa yang dijanjikan oleh anaknya benar-benar

ditepati. Setelah menikah, Mahmud tidak serta merta

memboyong  Puspitawati  ke  Kalimantan.  Lagi  pula,

Mahmud  pribadi  sudah  sangat  betah  dengan

Jogjakarta.

“Ilmu pengetahuansangat mudah di temukan

di kota ini,” kata Mahmud suatu hari. Ia berharap, kelak

ketika  harus pulang ke  kampung  halaman,  sebanyak

mungkin ia harus membawa serta ilmu pengetahuan.

Ini penting untuk perubahan. Indonesia tak hanya Jawa.

Pendidikan harus merata. Alasan selain keluarga dan

ilmu pengetahuan,  tentu saja teman-temannya. Meski

sudah  menikah,  agenda  berkumpul  dengan  teman-

Lima Belas

Arungi Bahtera

Page 140: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

130

teman tentu saja tidak bisa hilang begitu saja.

“Perjuangan seorang lelaki tidak harus berhenti

ketika sudah mendapatkan istri. Tapi lelaki sejati adalah

mereka yang mampu berbuat untuk negeri. Perjuangan

Sukarno dan teman-temannya harus kita kawal.” Kalau

sudah berkumpul dengan teman-teman seperjuangan

di kampus, Mahmud Akil adalah lelaki perlente yang

senantiasa berapi-api.

Di  Jogja,  pasangan  bahagia  Mahmud  dan

Puspita melahirkan dua orang anak. Seorang lelaki dan

seorang  perempuan.  Mud’a  Antartikawan  dan  Nova

Artika.  Inilah  dua  orang anak  yang  lahir  di  saat  usia

Indonesia  begitu  belia.  Usia  yang  masih  harus

menempuh banyak rintangan. Kemerdekaan tahun 1945

dan pengakuan kedaulatan tahun 1949 tidak serta merta

membuat  negara  ini  tentram  damai  adil  sentosa

sejahtera bahagia riang gembira.

Pemilu pertama memang berhasil diselenggara-

kan. Tetapi setahun setelahnya situasi politik semakin

buruk.  Kekacauan  terjadi  di  mana-mana.  Daerah

bergejolak.  Gejala  separatisme  terlihat.  Pemerintah

Revolusioner  Republik  Indonesia  (PRRI)  berdiri  di

Page 141: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

131

Sumatra. Di Sulawesi Utara dibentuk Perjuangan Rakyat

Semesta  (Permesta).  Para  militer  di  daerah  yang

bergabung  dengan  tokoh  masyarakat  membentuk

gerakan tersendiri. Menuntut terjadi pemerataan sebab

Indonesia tidak hanya Jawa. Ada Dewan Gajah, Dewan

Banteng,  Dewan  Manguni,  Dewan  Garuda,  Dewan

Lambung  Mangkurat  dan  lain  sebagainya.  Rakyat

semakin  panas.  Mereka  tidak  sabar.  Menuntut

pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana dalam

mengatasi kemacetan sidang konstituante. Tapi tak ada

yang dapat diharapkan dari konstituante.

Indonesia  dilanda  kekalutan  konstitusional.

Undang-undang dasar baru belum berhasil dibuat. Di

lain  sisi,  Undang-Undang  Dasar  Sementara  1950

dengan  sistem  pemerintahan  demokrasi  liberal

dianggap  tidak  sesuai  dengan  kondisi  kehidupan

masyarakat  Indonesia.  Keadaan  semakin  tidak

menentu. Sebagai presiden, Sukarno mengambil sikap.

Konsepsi Presiden menginginkan terbentuknya kabinet

berkaki empat (yang terdiri dari empat partai terbesar

seperti PNI, Masyumi NU, dan PKI) dan Dewan Nasional

yang terdiri dari golongan fungsional yang berfungsi

Page 142: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

132

sebagai penasihat pemerintah. Ketua dewan dijabat

oleh  presiden  sendiri.  Konsepsi  yang  diajukan  oleh

Presiden  Soekarno  itu  ternyata  menimbulkan

perdebatan. Berbagai argumen antara pro dan kontra

muncul. Pihak yang menolak konsepsi itu menyatakan,

perubahan yang mendasar dalam sistem kenegaraan

hanya bisa dilaksakanakan oleh Konstituante.

Sebaliknya  yang  menerima  konsepsi  itu

beranggapan  bahwa  krisis  politik  hanya  bisa  diatasi

jika konsepsi  itu dilaksanakan. Pada  tanggal 22 April

1959, di depan sidang Konstituante Presiden Soekarno

menganjurkan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai

undang-undang  dasar  negara  Republik  Indonesia.

Konstituante mengadakan sidang pemungutan suara.

Mayoritas  anggota  Konstituante  menginginkan

berlakunya kembali UUD 1945 sebagai undang-undang

dasar Republik Indonesia.

Masalah belum juga selesai. Kehadiran anggota

yang tidak mencapai dua per tiga jadi permasalahan.

Terjadi pemungutan suara ulang. Bahkan hingga dua

kali. Lagi-lagi gagal. Konstituante kemudian memutus-

kan  untuk  reses.  Larangan  segala  macam  aktivitas

Page 143: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

133

politik  dilakukan.  Negara  benar-benar  tidak  stabil.

Beberapa  tokoh  politik  mendekati  Soekarno.  Dekrit

untuk  kembali  memberlakukan  UUD  1945  harus

dilakukan. Presiden harus punya sikap. Konstituante

dibubarkan. 5 Juli 1959 Dekrit Presiden dibacakan.

Situasi  politik  yang  centang  perenang  ini

berdampak  dengan  semakin  dewasanya  pandangan

politik  Mahmud  Akil.  Sebagai  mahasiswa  fakultas

hukum,  Mahmud  akil merasa  perlu  untuk  ikut  serta

mengawal  perjuangan  Sukarno.  Jangan  sampai

kemerdekaan  yang  didapatkan  dirampas  begitu  saja

dengan  berbagai  propaganda  dari  luar.  Dua  tahun

setelah Dekrit Presiden, Mahmud Menikah.

“Istriku yang manis,” kata Mahmud suatu hari.

Merayu.  Seperti  yang  dilakukan  tokoh-tokoh  novel

angkatan Balai Pustaka.

“Ada apa, Mas suamiku yang juga manis,” balas

Puspita dengan wajah ceria.

“Aku ingin, kelak, kita punya anak yang banyak.”

“Oh, kalau itu aku juga ingin.”

“Aku ingin di antara anak kita yang banyak itu, ada

yang melanjutkan trah keluarga kita. Menjadi pejuang.”

Page 144: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

134

“Kalau itu tentu saja aku setuju,” Puspitawati

sumringah. Tidak sedikitpun menyesali pernikahannya.

Inilah suami, yang tak hanya akan menjaga martabat

keluarga,  tapi  juga  negara.  Perempuan  Jawa  ini

membatin.  Bayangan  ayahnya  berkelebat.  Matanya

berkaca.

Dua  anak  lahir  di  Jogja,  setelah  itu  Mahmud

memutuskan  untuk  memboyong  keluarganya  ke

kampung  halaman.  Situasi  politik  di  pusat  kembali

bergejolak.  Sukarno  mendapat  tekanan  dari  banyak

pihak. Tahun 60-an, negara ini punya cerita yang begitu

kelam. Bagi Mahmud Akil, membawa istri dan kedua

anaknya pulang ke Kalimantan Barat bukan berarti lari

dari perjuangan. Melainkan sebaliknya. Menurutnya,

harus ada yang melakukan sesuatu di tanah tempat ia

lahir. Generasi ke depan haruslah menjadi generasi yang

kritis.  Orang-orang  dari  mana  saja  harus  punya

kesempatan mengenyam bangku pendidikan setinggi-

tingginya.

Puspitawati  taat  saat  diajak  merantau  ke

Kalimantan.  Sari  dan  Sugiharti  juga  dibawa.  Bahkan

beberapa tahun setelahnya, sepupu Wati dan Sari, Tuti

Page 145: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

135

juga  ikut  menjejaki  tanah  rawa  di  khatulistiwa.  Di

Pontianak, Mahmud menjadi orang yang begitu sibuk.

Pengalaman organisasi dengan keinginan kuat untuk

terus  belajar  membuat  ia  bergabung  dalam  partai

politik terbesar di negara ini. Partai Nasional Indonesia.

Tak  lama  berkiprah,  menjabat  sebagai  ketua  PNI

Kalimantan Barat. Ilmu yang didapatkan diaplikasikan-

nya dalam pekerjaan. Mahmud bekerja di Biro Hukum

Kalimantan Barat. Di pendidikan, Mahmud ikut andil.

Menjadi  dosen,  dekan,  bahkan  kesuksesannya  ini

mengantarkannya  di  jabatan  tertinggi  di  Universitas

Tanjungpura.  Sempat  pula  menjadi  calon  gubernur

sebab dianggap sebagai pelopor terangkatnya derajat

putra daerah meskipun harus kalah dengan dominasi

militer yang menjadi alat utama orde baru. Tapi nama

Mahmud Akil, tentu saja tak bisa dilupakan begitu saja.

Dari rahim istrinya, empat orang anak menyusul

kelahiran  dua  kakaknya  terdahulu.  Dari  ilmu

pengetahuan  dan  gagasan  cemerlangnya,  pemuda-

pemuda  generasi  penerus  di  Kalimantan  Barat

bermunculan.

Page 146: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

136

Saat mengandung anak kelimanya, Puspitawati

merasa  perlu  bantuan  seseorang  untuk  tinggal

bersamanya  di  rumah.  Terlebih  Mahmud  Akil  pada

waktu  itu begitu  sibuk. Mendampingi seorang ketua

Partai Politik bukanlah perkara mudah bagi Puspitawati.

Tapi  perempuan  ini  jarang  mengeluh.  Seperti  apa

keperkasaan seorang suami di luar rumah tergantung

seperti apa kebijaksanaan seorang istri di dalam rumah.

Puspitawati tak hanya menjadi istri dari Mahmud Akil,

tapi dia juga berperan sebagai sekretaris pribadi sang

suami.  Banyak  konsep-konsep  pemikiran  Mahmud

dicatat  oleh  Puspitawati.  Para  tamu  yang  kemudian

menjadi  akrab  dengan  keluarga  besar  ini  pun,  ikut

Enam belas

Rujak di Malam Kemerdekaan

Page 147: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

137

takjub akan kesetiaan Puspitawati mendampingi.

Lalu apakah ketika sibuk berperan sebagai istri

dan  mendampingi  suami  bekerja,  Puspitawati

melupakan  perannya  sebagai  ibu  di  dalam  rumah?

Tidak. Anak-anaknya lahir dan besar dalam pendidikan

yang  ia  berikan. Semua anaknya  segan. Hormat  dan

patuh kepada ibu tak hanya sebatas kewajiban, tetapi

merasuk  menjadi  pengabdian  yang  begitu  pasrah.

Karena  kesibukannya,  Mahmud  jarang  berbicara

dengan anak-anaknya. Di sinilah kejelian Puspitawati

sebagai  Ibu.  Kesibukan  sang  ayah  tak  sedikit  pun

membuat anak-anaknya ini berjarak. Aan, Tika, Ndut,

Wawan, empat orang penerus generasi I Dewa Nyoman

Oka dan Kimas Akil Abdurrachman ini sejak kecil sudah

akrab dengan cerita-cerita masa lalu.

Tak hanya ibunya, sang nenek pun punya peran.

Sugiharti yang ikut ke Pontianak, menjadi orang yang

paling  dihormati  di  rumah.  Ia  tetap  memilih

menyandang nama suaminya. Mbah Oka ia dipanggil

oleh  cucu-cucunya.  Di  tengah  keluarga,  Mbah  Oka

menjadi orang yang tegas.

“Negara  ini  dibangun  oleh  orang-orang  yang

Page 148: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

138

tegas.  Kakek  kalian  adalah  orang  yang  tegas.  Dan

keluarga ini pun sudah harus dibangun dengan tradisi

tegas. Tegas bukan berarti keras. Tegas menggunakan

akal  pikiran.  Tegas  memerlukan  tingkat  kedisiplinan.

Tegas melahirkan kewibawaan. Seandainya kalian bisa

berjumpa dengan almarhum, kalian akan mengagumi

ketegasannya.  Kewibawaannya.  Dan  tentu  saja

kelembutannya.”

Wejangan Mbah  Oka  tak  pernah disepelekan

oleh cucu-cucunya. Terlebih jika wejangan itu  masuk

ke wilayah cerita tentang I Dewa Nyoman Oka. Mereka

selalu  rindu  mendengarkan  cerita  sang kakek.  Salah

satu  sifat  Nyoman  Oka  yang  menitis  ke  Puspitawati

adalah  kecintaanya  terhadap  kesenian.  Berpisah

semenjak usia dua tahun membuat Puspitawati selalu

ingin menghadirkan ayahnya ke dalam rumah. Ornamen

Bali seperti hal wajib yang harus ada di dalam rumah.

Barang-barang kesenian, pajangan, atau hiasan yang

hanya  bersifat  biasa  saja,  harus  tertata  rapi  bahkan

tidak  boleh  berpindah  dari  tempatnya.  Ke  empat

anaknya sudah hapal dengan hal yang satu ini. Empat

anak  yang  masih  kecil-kecil  tersebut  dipersilahkan

Page 149: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

139

untuk berpolah nakal, karena memang itulah sifat anak-

anak,  tapi  jangan  sampai  merusak  atau  memindah

barang-barang  kesenian  yang  menjadi  koleksi  ibu

mereka. Di hal yang lain, Puspitawati adalah ibu yang

begitu lembut. Tak pernah lelah menceritakan tentang

jerih payah ayahnya meniti kesuksesan.

“Agar  kelak,  kalian  tidak  lupa  atau  pongah,

keluarga  ini  dibangun  dari  ilmu  pengetahuan,  kerja

keras,  kedisiplinan,  juga  keramahan.  Ayah  kalian,

adalah lelaki terbaik yang pernah ibu kenal,” nasihat

sang ibu.

Lengkap  sudah  keluarga  ini.  Kepala  keluarga,

Mahmud Akil dengan karir gemilang menjadi teladan

bagi anak-anaknya. Tak banyak menghabiskan waktu

bersama anak-anak, tetapi tetap menjadi kebanggaan

keluarga.  Puspitawati,  lembut,  anggun,  indah,

mengajarkan anak-anaknya tentang etika. Mbah Oka.

Tak  diragukan  lagi  perannya  di  dalam  keluarga.

Perempuan ini tegas. Tapi tidak beringas

Tapi  tiga  orang  ini  dirasa  kurang  ketika

kehadiran  anak kelima  sudah  mulai  dirasakan. Perut

Puspitawati sudah membesar selama delapan bulan.

Page 150: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

140

Tinggal  sebulan  lagi  seorang  anak  akan  lahir.

Puspitawati dan ibunya bercakap-cakap.

“Ibu,  gimana  kalau  kita  bawa  dik  Tuti  ke

Pontianak?”

“Memangnya kenapa?” jawab Mbah Oka

“Sebentar lagi, bayi di perut ini kan akan lahir.

Kalau  ada  dik Tuti,  mungkin  dia  bisa  bantu-bantu  di

sini.  Mas  Mahmud  semakin  sibuk.  Dan  ibu,  kan  tau

sendiri, Mas Mahmud itu tidak bisa apa-apa kalau tidak

ada  aku,”  ujar  Puspitawati  membanggakan  dirinya.

Tentu saja dengan nada bergurau. Tapi untuk hal satu

ini, Mbah Oka setuju. Dan kalau Puspitawati bangga,

tentu saja dia juga bangga.

“Terus  gimana  caranya?  Tuti  itu  kan  masih

muda,  tidak  mungkin  dia  berani  nyeberang  pulau

sendirian.”

“Oalah,  ibuuu...  Tentu  saja  dik  Wati  tidak

sendirian.  Mas  Mahmud  akan  ada  kongres  PNI  di

Semarang. Ketua PNI seluruh Indonesia diundang. Nah,

dari Semarang, Mas Mahmud bisa mampir ke Jogja dan

pulang ke Pontianak sini membawa dik Tuti. Aku besok

akan  menulis  surat  ke  keluarga  di  Jawa  untuk  minta

Page 151: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

141

persetujuan.”

Begitulah  Puspitawati,  merencanakan  segala

sesuatunya dengan matang.

***

Rumah kediaman Mahmud Akil bertambah satu

anggota keluarga. Tuti tak membutuhkan waktu lama

untuk beradaptasi. Di hari-hari pertama Tuti memang

sedikit canggung, terlebih rumah sepupunya ini tidak

pernah sepi. Selalu saja ada tamu. Tamu yang datang

bisa  dari  berbagai  macam  kalangan,  meski  sebagian

besar orang-orang PNI. Kelak, setelah tahun demi tahun

terlewati, Tuti semakin mafhum. Profesi apapun yang

disandang oleh  Mahmud,  selalu  ia  dikelilingi  banyak

orang.

Hari itu kediaman Mahmud begitu ramai. Malam

peringatan  hari  kemerdekaan.  Mahmud  Akil

mengundang  banyak  orang  dan  memutar  film  layar

tancap. Tuti sibuk menyiapkan hidangan. Setelah film,

orang-orang tidak langsung pulang. Mereka berdiskusi.

Tuti  sudah  paham.  Jangankan  hari  besar  seperti

Page 152: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

142

peringatan hari kemerdekaan, hari normal saja, orang-

orang biasanya  berkumpul  hingga  larut.  Tuti  kagum.

Mahmud tak pernah memperlihatkan wajah lelah saat

bercakap-cakap  dengan  para  kolega.  Entah  apakah

hanya bersenda gurau, maupun berbincang serius soal

negara. Tuti membatin, wajar jika kemudian Mahmud

disukai  banyak  orang.  Jabatan  sebagai  ketua  PNI

Kalimantan Barat pun layak ia sandang.

Hari telah larut, Tuti sedang berkemas. Masuk

dapur, bersiap-siap untuk mencuci piring dan gelas, dia

dikejutkan dengan sosok perempuan dengan perut yang

begitu besar. Puspitawati.

“Lho,  Mba  Wati  ngapain  malam-malam  di

dapur? Mba Wati perlu apa? Kan tinggal panggil aku

saja. Ndak perlu ke dapur. Ini sudah larut lho, Mba?”

“Tuti,  aku  mules.  Mules  banget.”  Puspitawati

mengelus perutnya.

“Ya,  Mba.  Kan  memang  sudah  harinya.

Sebaiknya Mba Wati kembali ke kamar. Istirahat. Nanti

kalau melahirkan di dapur, gimana?”

“Aku mau dibikinkan rujak, Dik.”

“Hah, rujak?”

Page 153: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

143

Terang  saja  pernyataan  kakak  sepupunya

membuat  Tuti  terkejut.  Para  keluarga  sedang  harap

cemas tentang kelahiran anak kelima, eeh, si ibu hamil

malah minta dibikinkan rujak.

“Mba Wati, apa aku gak salah dengar? Kan Mba

Wati mau melahirkan, kok malah minta rujak. Duh.”

“Iya,  Dik.  Aku  mau  makan  rujak,”  ujar

Puspitawati tidak main-main.

Tapi Tuti  juga tidak mau main-main. Dia tahu

bahwa  anak  kelima  sebentar  lagi  akan  lahir.  Lalu

bagaimana  jika  terjadi  apa-apa.  Bukankah  ibu  hamil

sebaiknya menghindari makan pedas? Bukankah Mba

Wati kalau makan rujak selalu pedas? Duh. Tuti tidak

segera  memenuhi  keinginan  kakak  sepupunya.  Dia

berlari keluar dapur. Membiarkan Puspitawati seorang

diri ngidam rujak.

Tuti nekat. Masuk ke kamar Mbah Oka.

“Bude... Bude... Bangun.”

Tuti berani mengambil risiko. Puspitawati yang

hamil. Tapi Tuti yang panik. Mbah Oka memang bukan

singa,  tapi membangunkannya  yang sedang  tertidur,

bisa berisiko besar.

Page 154: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

144

“Budeee... Budeeee, mbok bangun tho. Mbak

Wati, Bude....”

Tuti terus mengoyang-goyang kaki mbah Oka.

Pasrah menerima amarah yang terjadi setelah ini.

Mbah Oka terbangun. Mendengar nada bicara

Tuti yang panik menyebut-nyebut nama Puspitawati,

Mbah Oka ikut-ikutan panik.

“Kenapa, Tut, Wati sudah melahirkan? Di mana

dia? Di mana dia?”

“Mba Wati di dapur, Bude.”

“Apa? Wati mau melahirkan di dapur? Kenapa

kamu biarkan. Cepat panggil Mahmud. Cari supir. Bawa

ke rumah sakit. Jangan biarkan anakku melahirkan di

dapur.”

Mbah Oka meloncat dari ranjang. Jumlah orang

panik bertambah satu orang.

“Bude...  Bude....  Mba  Wati  belum  mau

melahirkan.”

“Lha,  terus?  Ngapain  dia  ke  dapur  segala?

Ngapain kamu bangunin aku? Ngapain wajahmu panik

begitu?”

“Itu  lho,  Bude.  Mba  Wati  minta  dibikinkan

Page 155: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

145

rujak,” kata Tuti terbata-bata.

“Oalah, Cuma minta bikinkan rujak, kamu harus

membangunkan aku. Kamu tidak tau caranya membikin

rujak? Harus suruh orang tua untuk bikin rujak?”

“Bu... bukan gitu, Bude.”

“Kalau bukan gitu, terus apa?”

“Kan Mba Wati hamil besar. Mungkin sebentar

lagi  melahirkan.  Mosok  harus  makan  yang  pedes-

pedes,” kata Tuti mencoba membela diri. Tapi hal ini

malah membuat Mbah Oka semakin marah.

“Heh, anak perawan. Kamu denger, ya. Anakku

itu sudah empat kali melahirkan. Dia  itu perempuan

tangguh. Masak harus kalah sama rujak. Sana, kamu

bikinin. Tenang wae. Habis makan rujak, dia akan tidur

nyenyak,  lalu  besok,  di  hari  kemerdekaan,  dia  akan

melahirkan. Kamu percaya saja sama aku.”

Tuti menurut, keluar kamar Mbah Oka. Di dalam

hatinya  ia  bertanya-tanya.  Apa  hubungannya  hari

kemerdekaan dengan rujak?

Keesokan  harinya.  Saat  Mahmud  Akil

mempimpin  upacara  kemerdekaan  bersama  orang-

orang PNI, seorang bayi lahir. Bayi Proklamasi.

Page 156: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

146

Wati mengelus dada. Bersyukur kepada Tuhan

yang  telah  menyelamatkan  sang  bayi  yang  diguyur

bumbu  rujak  dari  tenggorokan  sang  ibu,  semalam

sebelumnya.

Kelak, ketika bayi proklamasi ini bisa berjalan,

berlari, berbicara dan tumbuh menjadi anak yang nakal,

ia sangat akrab dengan Tuti.

Page 157: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

147

Sewaktu kecil, dia dipanggil Hendy.

Nama  lengkapnya  Muda  Mahendra  Putra.

Keturunan dari percampuran Dayak-Melayu Darit dan

Bali-Jawa Jogjakarta. Bukan orang yang banyak bicara

ketika kecil. Berambut ikal gelap. Kulitnya coklat bersih.

Hendy tak pernah memilih untuk dilahirkan dari

orang tua yang begitu sibuk. Ayahnya punya karir yang

bagus. Konsekuensinya, hampir setiap hari rumahnya

dikunjungi tamu. Tujuan para tamu beragam dan Hendy

kecil tak peduli. Dia hanya tahu bahwa ayah dan tamu-

tamunya sering terlibat pembicaraan serius. Sesekali

dia mendengar percakapan mereka. Bukan disengaja.

Tapi karena kebetulan saja dia sedang bermain-main

Tujuh belas

Sewaktu Kecil,Dia Dipanggil Hendy

Page 158: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

148

tak jauh dari ayahnya.

Ibu Hendy juga merupakan wanita yang sibuk.

Dia  banyak  terlibat  dalam  organisasi  dan  sering

mendampingi suaminya. Bahkan tak jarang, bertindak

sebagai sekretaris pribadi. Lebih dari satu kali Hendy

menyaksikan peristiwa ini: saat ayah bicara serius, ibu

dengan saksama mencatatnya. Ketika semakin besar,

Hendy  mengetahui  bahwa  catatan  ibunya  adalah

himpunan  buah  pikiran  cemerlang  sang  ayah.

Pemikiran-pemikiran yang memang harus diabadikan.

Ibu memang punya kemampuan dalam bidang menulis,

sebab sejak remaja sudah akrab dengan buku harian.

Hendy  memiliki  lima  saudara.  Empat  orang

kakak dan seorang adik. Di antara kelima saudaranya,

hanya satu yang perempuan. Artika, kakak perempuan

Hendy, lebih akrab dengan ibu. Meski demikian, bukan

berarti bahwa  Hendy dan  saudara  laki-lakinya dekat

terhadap ayah.

Proses mengenal ayah lebih banyak dialami dari

cerita-cerita ibu. Ya, ibu yang banyak bercerita tentang

ayah. Hendy juga tahu kalau ayahnya suka membaca.

Hendy  juga  tahu  kalau  ayahnya  menyukai  presiden

Page 159: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

149

pertama republik ini. Tapi tak hanya dia seorang. Wakil

presiden pun, ayah suka. Hendy pernah menemukan

buku tebal di meja kerja ayahnya. Judulnya Mohammad

Hatta, sebuah autobiografi. Hendy penasaran dengan

buku  itu.  Nanti,  setelah  Hendy  lulus  SD,  buku

Mohammad Hatta berhasil dibacanya.

Usia  enam  tahun  Hendy  masuk  sekolah.  SD

Islamiyah. Lokasinya dekat  rumah. Pagi hari,  sekolah

ini  mengajarkan  pelajaran  umum.  Sore  hari,  siswa

diwajibkan belajar pendidikan Islam. Sekolah Islamiyah

adalah sekolah tua yang memiliki tingkat kedisiplinan

tinggi.  Kepala  sekolah  disegani  orang  tua  murid,

dihormati para guru dan pegawai, ditakuti para murid.

Karena  itu,  sekolah  ini  menjadi  terkenal  di  Kota

Pontianak. Banyak dosen yang menyekolahkan anak-

anaknya  di  sekolah  ini.  Bisa  jadi,  alasan  yang  paling

umum adalah karena dekat dengan rumah yang berada

di lingkungan kampus. Tapi bagi Mahmud Akil, perkara

dekat  rumah  hanya  alasan  terakhir.  Alasan  utama

menyekolahkan  Hendy di sekolah ini, tak lain tak bukan,

mutu pendidikan umum dan pendidikan agama yang

diajarkan.

Page 160: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

150

Selain  bersama  ayah,  ibu,  dan  saudara-

saudaranya, Hendy juga tinggal bersama simbah dan

buliknya. Ayah adalah kepala keluarga. Tetapi di rumah

dan untuk kepentingan rumah, keputusan-keputusan

simbah sangat jarang tak disetujui oleh kepala keluarga.

Bagi  ayah,  simbah adalah  mertua  yang  tegas,

berkarakter, dan bernas. Bagi ibu, simbah adalah ibu

kandung yang bijaksana, lemah lembut, dan penyabar.

Bagi Hendy dan saudara-saudaranya yang lain, simbah

adalah  orang  yang  cerewet,  keras,  dan  layak  untuk

ditakuti. Tapi tak seorang pun yang tidak menyayangi

simbah  di dalam rumah. Segalak apa pun simbah, dia

cukup  memiliki  pengaruh  terhadap  perkembangan

pendidikan  cucu-cucunya.  Mbah  Oka,  panggilannya.

Janda pejuang, demikian orang-orang mengenalnya.

Satu  orang  lagi  yang  tinggal  di  rumah,  yakni

bulik. Dia bernama Tuti. Didatangkan dari Jogjakarta,

khusus untuk membantu keluarga di Pontianak jika kelak

Hendy lahir. Dan benar, setelah lahir, anak nomor lima

ini menjadi begitu akrab dengan bulik Tuti. Bulik Tutik

sangat  berperan  dalam  masa  kecil  Hendy.  Menjadi

pengasuh sekaligus teman bermain. Bulik Tutilah yang

Page 161: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

151

memandikan Hendy, baik sebelum berangkat sekolah

maupun  sebelum  pergi  tidur  di  malam  hari.  Saking

akrabnya, Hendy sering tertidur di kamar bulik Tutik.

Ketika malam  larut dan tamu sudah pulang, barulah

ayah memindahkan Hendy yang sedang terlelap. Usia

Tuti ketika berangkat ke Pontianak masih remaja. Saat

mulai  bisa  mengucapkan  sepatah  dua  patah  kata,

Hendy  lebih  senang  memanggil  sepupu  ibunya  ini

dengan sebutan “mba”. Saudara-saudaranya yang lain

juga memanggilnya demikian.

Suatu ketika, tibalah masanya Tuti menikah dan

harus berpisah rumah. Memulai hidup baru, Tuti dan

suaminya  tinggal  tak  jauh  dari  pasar  Flamboyan

Pontianak. Meski demikian, Hendy tak mau jauh dari

Mba Tuti. Kerap saat pulang sekolah, dengan berjalan

kaki atau pun bersepeda, Hendy mampir dan berlama-

lama di rumah Mba Tuti. Di rumah Mba Tuti pulalah

Hendy  kecil  bertemu  dengan  Ocha.  Anak  tetangga

sebelah  rumah.  Nanti,  ketika  Hendy  semakin  besar,

semakin  sering  dia  berkunjung  ke  rumah  Mba  Tuti.

Alasannya? Apalagi kalau bukan Ocha.

Mba Tuti dan Mbah Oka adalah keluarga Hendy

Page 162: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

152

dari garis keturunan ibu. Dari keturunan Ayah, Hendy

punya  nenek  moyang  yang  berasal  dari  Darit.

Percampuran  Dayak-Melayu,  kakek  Hendy  masih

memiliki  hubungan  kekerabatan  dengan  istana

Ngabang.  Di  zaman  bangsa  ini  sedang  terbakar

semangat kumandang kemerdekaan, Kakek Hendy dan

saudara-saudaranya  yang  lain,  termasuk  gigih  agar

daerah  perhuluan  Borneo  Barat  terbebas  dari

penjajahan. Kimas Akil. Fokus memimpin pemuda di

wilayah Darit saat kabar kemerdekaan RI tersiar.

Setelah  Indonesia  merdeka,  Kimas  Akil  fokus

di dunia usaha. Mendidik anak-anaknya untuk bertarung

langsung  dengan  kehidupan  yang  sesungguhnya.  Di

pasar, di hutan, di ladang dan di sekolah. Mahmud Akil

adalah  satu-satunya  keturunan  dari  Kimas Akil  yang

berkeras membuktikan betapa pentingnya pendidikan.

Setamat  SD  merantau  ke  Pontianak.  Lulus  SMP

merantau ke Jogjakarta. Mahmud Akil berjuang meraih

pendidikan setinggi mungkin. Mahmud Akil membuat

Kimas Akil bangga. Hingga akhirnya, ketika Mahmud

sudah  pulang  ke  Kalimantan  Barat,  mengisi

kemerdekaan  dengan  berbagai  aktivitas,  tak  hanya

Page 163: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

153

keluarganya yang bangga, orang-orang dari daerah ini

pun ikut bangga. Dari rahim istri Mahmud Akil, Hendy

lahir.

Mahmud sering membawa Hendy kakak beradik

berlibur ke Darit,  juga ke  Jogja. Agar  tak  lupa nenek

moyang. Agar selalu ingat dengan tanah kelahiran. Dari

percampuran  banyak  kebudayaan  inilah  Hendy

kemudian banyak belajar.

Kalau  di  Darit,  hal  yang  sering  dilakukannya

adalah  menceburkan  diri  ke  sungai.  Bersenda  gurau

bersama saudara. Menyatu dengan alir air. Menapak

dan menyimak nyanyi hutan. Darit punya  jasa besar

bagi  Hendy  untuk  belajar  bagaimana  akrab  dengan

alam.

Berlibur  ke  Jogjakarta  di  masa  kecil,  adalah

pengalaman  tersendiri  bagi  Hendy.  Kota  ini  terlalu

banyak menyimpan cerita. Begitu tabah mengabadikan

peristiwa.  Di  sini,  tradisi  tetap  terjaga  lestari,  meski

modernitas  tak  bisa  dihindari.  Di  Jogjakarta  begitu

banyak perantau. Begitu banyak orang menuntut ilmu.

Jogja  menjadi  inspirasi  tersendiri  bagi  Hendy  untuk

mengikuti jejak sang ayahnda. Menuntut Ilmu.

Page 164: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

154

Hendy kecil, pelan-pelan tumbuh besar. Hendy

kecil banyak belajar. Hendy kecil menjadi nakal. Hendy

kecil  punya  cerita  unik.  Bisa  menggelitik.  Bisa  juga

pelik.

Page 165: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

155

1926

Para pemuda dari berbagai penjuru nusantara

berkumpul di Batavia. Para pemuda ini semakin sadar

dengan  kebiadaban  kolonialismedan  bertekad

melawan. Persatuan diperlukan. Sebab hanya dengan

bersatu kolonialisme bisa diruntuhkan. Kondisi dunia

internasional  menegang.  Negara-negara,  besar  dan

kecil,  bersiap-siap  angkat  senjata. Tanda-tanda  akan

pecah perang besar yang kedua sudah terlihat. Orang-

orang  yang  punya  kesempatan  berpendidikan  tinggi

menganalisis dan memprediksi. Perang Dunia I belum

tuntas  hingga  ke  akar-akarnya.  Masih  tersisa  benih

konflik dan  kesumat yang sangat  potensial meledak.

Delapan Belas

Sekolah Islamiyah

Page 166: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

156

Negara-negara  yang  berseteru  akan  mengerahkan

kekuatan terbaik secara besar-besaran. Perang Dunia II.

Momen kacaunya kondisi  internasional, serta

daya  juang  yang  semakin  tinggi  untuk  melenyapkan

kolonialisme di nusantara, menjadi sebab para pemuda

berkumpul. Congres Pemoeda diselenggarakan. Batavia

jadi tuan rumah. Dua tahun kemudian, para pemuda

ini kembali berkumpul dan bersumpah.

Di  waktu  hampir  bersamaan  dengan

berkumpulnya para pemuda untuk mewujudkan mimpi-

mimpi  kemerdekaan,  seorang  petani  di  pulau

Kalimantan memiliki mimpi yang lain. Pendidikan. Ilmu.

Dalam  hatinya,  dengan  ilmulah  kemerdekaan  yang

sesungguhnya  mudah  tercapai.  Petani  ini  tinggal  di

daerah Kampung Bangka, Pontianak.

H.  Muhammad  Arief  bin  H.  Ismail.  Lelaki  ini

belajar Islam sejak kecil. Pemahamannya terhadap Al-

Qur’an sudah terjadi ketika  ia masih remaja. Paham,

bukan  sebatas  mengerti  bahasa  Arab  dan

terjemahannya  belaka.  Lebih  dari  itu. Paham  dalam

pengertian  mampu  mengaplikasikan  firman-firman

Allah  yang  terangkum  dalam  sebuah  kitab  suci

Page 167: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

157

penyempurna  kitab-kitab  sebelumnya.  Otak

Muhammad Arief penuh dengan ilmu.

Sepulang berhaji, Muhammad mengajar  ilmu

Islam kepada masyarakat di sekitar Kampung Bangka.

Tak  hanya  ilmu  tentang  berhubungan  dengan  Sang

Pencipta,  tetapi  juga  ilmu  bagaimana  berinteraksi

sosial  dengan  sesama  umat.  Islam  itu  lengkap.

Sempurna. Bukan cuma soal sholat, puasa, haji dan lain-

lain seperti  yang  terangkum  dalam Rukun  Iman dan

Rukun  Islam.  Tetapi  juga  soal  jual  beli,  menanam,

beternak dan lain-lain hingga soal bersilaturrahmi. Dari

perkara  remeh-temeh  hingga persoalan  yang begitu

kompleks,  ada  aturannya.  Siapa  yang  mengaturnya?

Allah. Di mana mempelajarinya? Qur’an. Hal inilah yang

membuat Muhammad bersemangat mengajar.

Untuk  memenuhi  kebutuhan  hidupnya,

Muhammad bertani. Aqidah  lelaki  ini  tak diragukan.

Pertaniannya subur makmur. Berkah dari Allah. Di usia

yang masih muda, Muhammad digelari hartawan. Di

sinilah  kualitas  orang  yang  aqidahnya  begitu  kokoh.

Harta  berlimpah  yang  dimiliki  Muhammad,

dibelanjakan di jalan Allah. Ia tak hanya dikenal sebagai

Page 168: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

158

hartawan, tetapi juga dermawan.

Di rumahnya, Muhammad mengajarkan anak-

anak dan orang dewasa. Ia dibantu seorang guru agama

bersuku  Minang  dari  Painan.  Semakin  hari,  semakin

ramai  orang-orang  yang  berkunjung.  Rumahnya  tak

muat  lagi  menampung orang-orang  yang  haus  ilmu.

Tempat belajar dialihkan ke rumah anaknya, M. Thahir,

sebab memiliki ruangan yang lebih besar.

Empat  tahun  sebelumnya,  di  Sambas,  sudah

berdiri  sebuah  lembaga  pendidikan  resmi.  Bernama

Madrasah  As-Sultaniyah  Sambas  yang  kemudian

berganti  nama  menjadi  Tarbiyatul  Islam.  Lembaga

pendidikan  ini  menjadi  inspirasi  Muhammad  untuk

melakukan  hal  serupa  di  Pontianak.  Tak  hanya

mengajarkan materi agama, tetapi juga mengajarkan

materi umum. Ia kemudian mewaqafkan tanahnya. Di

atas  tanah  waqaf,  dibangun  sebuah  lembaga

pendidikan bernama Perguruan Islamiyah.

Materi yang diajarkan dibagi dua. Materi umum

dan  materi  agama.  Karena  regulasi  pemerintahan

kolonial  Belanda,  perguruan  ini  harus  dibuat

berdasarkan  kelas-kelas  tertentu.  Pagi  hari  ada

Page 169: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

159

tingkatan Volk School atau Sekolah Rakyat ditempuh

dalam waktu tiga tahun. Setelah tamat dari Volk School,

bisa melanjutkan ke Vorvogh School atau Sekolah Dasar

yang ditempuh selama lima tahun. Dari sini kemudian

para siswa bisa mendapatkan ijazah negeri.

Sore  hari,  sekolah  agama  tingkat  Ibtidaiyah,

Tsanawiyah, dan Aliyah. Sekolah ini semakin terkenal.

Tak  hanya  orang-orang  dari  Kampung  Bangka  yang

berhasrat  belajar.  Tetapi  masyarakat  dari  seberang

sungai  pun  menyekolahkan  anak-anak  mereka  di

Perguruan  Islamiyah.  Jumlah  pelajar  semakin

meningkat.  Ruang  belajar  tidak  memadai.  Salah

seorang  guru,  Ustadz  Abdul  Manaf,  mendesak  H.

Muhammad  untuk  membangun  gedung  yang  lebih

besar.

Tahun  1931,  Perguruan  Islamiyah  memiliki

gedung  sekolah  yang  dapat  menampung  ratusan

pelajar. Setahun setelahnya, seluruh siswa menempati

gedung baru yang namanya berganti menjadi Sekolah

Islamiyah.  Ustadz  Abdul  menjadi  pemimpin  Sekolah

Islamiyah  di  periode-periode  awal,  dibantu  Ustadz

Mahmud Syamsudin dan H. Husein Arief.

Page 170: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

160

Begitulah  amal  jariyah  H.  Muhammad  Arief.

Orang-orang  berilmu  lahir  dari  Sekolah  Islamiyah.

Meskipun  H. Muhammad telah wafat, tapi “anak-anak

intelektual”-nya  yang  sholeh,  akan  selalu

mendoakannya.

Setelah Indonesia merdeka, Sekolah Islamiyah

semakin  maju.  Tak  jauh  dari  lokasi  sekolah,  sebuah

universitas  berdiri.  Di  wilayah  kampus  dibangun

perumahan  dosen.    Permukiman  menjadi  semakin

padat.  Ditambah  lagi  dengan  kompleks  militer  yang

juga  masih  dalam  satu  wilayah.  Sekolah  Islamiyah

menjadi sekolah favorit. Dulu, para pelajarnya hanya

berasal dari masyarakat Kampung Bangka, pinggiran

dan  seberang  sungai  kapuas  sungai  saja.  Tetapi,

semenjak berdirinya universitas, anak-anak dosen dan

karyawan  kampus  pun  disekolahkan  di  Perguruan

Islamiyah.

Di Perguruan Islamiyahlah Hendy menghabis-

kan masa enam tahun sekolahnya. Belajar tentang ilmu

pengetahuan.  Belajar  tentang  kemanusiaan.  Belajar

tentang ketuhanan. Berkenalan dengan banyak teman.

Bergurau. Berkelahi.

Page 171: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

161

Tahun keempat Hendy berada di SD Islamiyah.

Sudah 11 tahun usianya. Di tahun keempat ini, pihak

sekolah punya kebijakan menyalurkan hobi dan bakat

siswa dengan kegiatan di luar jam pelajaran. Pilihannya

banyak. Kesenian, keagamaan dan  olahraga, termasuk

beladiri.  Hendy  tertarik dengan  bela  diri.  Pilihannya

Pencak Silat atau Karate.

“Kau  pilih  bidang apa?”  tanya  Hendy  kepada

salah seorang teman.

“Sepak takraw. Ini permainan asli Melayu. Kalau

bertanding dan bisa menang terus, datukku di rumah

pernah  bilang,  ada  kemungkinan  bisa  bertanding  di

Brunei. Kalau sudah sampai di Brunei, ada kemungkinan

Sembilan belas

Silat, Karate, dan Salman

Page 172: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

162

bisa  sholat  di  masjidnya  Sultan  Brunei,”  jawab

temannya sambil tersenyum menatap langit.

Hendy tersenyum dan kemudian mengangguk-

angguk.

“Kau sendiri pilih apa?” tanya si teman sambil

menoleh ke arah Hendy.

“Masih bingung. Ingin masuk beladiri, tapi aku

masih belum tahu, pencak silat atau karate.”

“Pencak silat saja. Pencak silat itu asli Melayu

juga. Kalau kau bertanding dan menang terus, kau bisa

bertanding di Brunei. Demikian kata datukku. Di Brunei

itu ada istana yang begitu indah. Datukku juga bilang

kalau  nama  Borneo  yang  dipakai  orang  Belanda,

berasal  dari  nama  Brunei.  Pokoknya,  Brunei  itu

mantap.”

“Datukmu pernah ke Brunei?” tanya Hendy.

“Nah,  itu  yang  belum  pernah  diceritakan

datukku.”

Hendy  tersenyum  lagi.  Mengambil  sebatang

rumput. Menyelipkan ke telinga temannya.

“Nih,  pakai  rumput. Bentar  lagi  hujan  panas,

biar tidak kesurupan syaiton. Kalau sampai kesurupan,

Page 173: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

163

kau tidak bisa ke Brunei.”

Mereka saling pandang sesaat, kemudian sama-

sama tergelak.

Dalam  kepala  Hendy  ada  pencak  silat.  Tapi

ketika  mendaftar,  dia  malah  memilih  karate.  Tak

seorang pun tahu apa alasan dia memilih karate. Bisa

jadi karena Hendy tidak ingin ke Brunei.

Waktu berjalan. Tak pernah diduga sebelumnya,

para  siswa  yang  baru  naik  kelas  empat  menghadapi

sebuah  kenyataan.  Bakat  dan  hobi  ternyata menjadi

ajang persaingan gengsi. Diakui atau tidak, itulah tradisi

yang dilakukan oleh para senior. Tradisi ini menular ke

anggota  baru.  Sepakbola  adu  gengsi  dengan  sepak

takraw.  Bola  voli  adu  gengsi  dengan  bola  pingpong.

Seni  tari  adu  gengsi dengan  seni  suara.  Pencak  silat

adu gengsi dengan karate.

Hal  ini dialami Hendy. Pulang sekolah, Hendy

diajak  sepupunya,  Harsa,  menjenguk  salah  seorang

teman yang sakit. Rumah yang mereka tuju, masuk dari

Gang Busri, melewati jembatan kayu belian atau lazim

disebut  gertak di  pinggir  sungai  Kapuas.  Sepulang

menjenguk,  mereka  berpapasan  dengan  beberapa

Page 174: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

164

orang  teman  sekolah.  Harsa  tersenyum  dan  berniat

menyapa  ramah.  Tapi,  demi  melihat  orang-orang

hendak disapa ternyata berperangai tidak bersahabat,

Harsa mengurungkan niat.

“Hey, Harsa. Kau dari mana?”

Seorang di antara mereka buka suara dengan

gaya petantang-petenteng. Badannya kurus. Nafasnya

sepotong-sepotong. Kulitnya legam. Matanya jalang.

Orang-orang  se-Perguruan  Islamiyah  memanggilnya

dengan nama Ableh.

“Dari rumah Bahar. Dia sakit.”

“Kau  jangan  macam-macam.  Eh,  itu    siapa

namanya? Ehmm. Si Muda. Betul? Muda. Dia ini anak

karate, kan?” tanya Ableh dengan telunjuk menuding

ke arah jidat Hendy.

Empat teman di belakang Ableh maju selangkah

dan membusungkan dada. Harsa menoleh sebentar ke

arah sepupunya. Jantungnya mulai tidak beraturan.

Hendy tidak berkata-kata. Hanya mengangguk-

angguk pelan.

“Ayo, kita berkelahi!” tantang Ableh berkacak

pinggang.

Page 175: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

165

Detak jantung Harsa semakin tak karuan.

“Tenang,” lanjut Ableh sambil mondar-mandir,

“kami tidak akan main keroyok. Asal kalian tahu, anak

pencak silat pantang main keroyok.”

Mengetahui bahwa dirinya tidak akan dikeroyok,

Hendy  semakin  percaya  diri.  Tiba-tiba  tangannya

mengepal. Harsa cemas bukan main. Dia tak tahu apa

yang harus diceritakan ke pamannya jika kelak Hendy

pulang  dengan  wajah  babak  belur.  Harsa  menyesal.

Kenapa  mereka  harus  bertemu  dengan  Ableh  dan

rombongan.

Ableh  berhenti  mondar-mandir  dan  berdiri

sekitar tiga langkah di depan Hendy. Sepasang petarung

sekarang berhadap-hadapan. Ableh menarik napas dan

melebarkan  jarak kaki.  Kuda-kuda  terpasang.  Hendy

bersiap-siap. Kuda-kuda  juga  terpasang.  Perkelahian

antara  anak  pencak  silat  dan  anak  karate  tak  bisa

dihindarkan. Siapa yang menang, pasti mengukir nama

esok  hari  dan  jadi  cerita  membanggakan  di  sekolah.

Beberapa  detik  sebelum  adu  jotos,  Harsa  berteriak:

“Woi! Jangan berkelahi! Kalau berkelahi, nanti  kalian

tidak bisa berangkat ke Brunei!”

Page 176: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

166

***

Meskipun antara anak Pencak Silat dan Karate

jelas-jelas  terlibat  persaingan  adu  gengsi,  tapi

sesungguhnya mereka jarang melakukan kontak fisik.

Biasa. Sering terjadi di kalangan anak-anak. Ada dua

pihak yang bersitegang. Paling-paling hanya akan saling

tolak  dada,  sikut  bahu  atau  kacak  pinggang.  Kedua

belah  pihak  tidak  berani  memukul  duluan,  hingga

akhirnya ada pihak ketiga yang melerai.

Nah, terjadi kondisi yang bertolak belakang jika

mereka berada di lapangan sepakbola. Kalau bermain

bola, anak-anak beladiri  ini malah bergabung. Bahu-

membahu dan saling membantu dalam satu tim. Hendy

sendiri  punya  teman-teman  akrab.  Mereka  sering

bersama-sama.  Si  kembar  Amir  Budiman  dan  Riza

Darmawan  adalah  teman  sepermainan  Hendy.  Di

sekolah, mereka sering terlihat bersama. Teman-teman

yang lain adalah Firmansyah, Fachrurrazi, Muhammad

Azmi, M. Riyadh, dan tentu saja si sepupu, Harsa Eka

Putra. Di lapangan sepakbola, Ableh dan rombongan

Page 177: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

167

sering menjadi teman mereka. Akrab. Seru. Gembira.

Setidaknya itu yang mereka pikirkan mereka. Tapi tentu

saja  anak-anak  sekolah  lainnya  boleh  berbeda

pendapat. Misalnya gelar jahil, bingal dan nakal.

Di dalam  kelas, ada seorang anak yang kerap

menjadi korban. Namanya Salman. Salman agak berbeda

dibanding  siswa  kebanyakan.  Daya  nalarnya  agak

lambat.  Di  dalam  kelas  suka  sibuk  sendiri.  Daun

telinganya agak besar. Jika diolok-olok teman-teman,

tak  pernah  melawan.  Di  dalam  kelas,  Salman  yang

paling  tua.  Masih  SD,  usianya  sudah  17  tahun.

Mentalnya  agak  terbelakang.  Walaupun  selalu  jadi

bahan candaan, seisi kelas menyayanginya.

Meski sering menjadi korban, Salman tak pernah

memperlihatkan dirinya tidak setia menjadi suporter

sepakbola.  Halaman  sekolah  menjadi  saksi  betapa

semangatnya  Salman  menyoraki  teman-temannya.

Siapapun yang menang, Salman selalu senang. Siapa

pun yang bersedih, Salman selalu berusaha menghibur.

Hari  itu  cuaca  agak  mendung. Pelajaran  olah

raga. Ustadz Qodir tidak masuk. Seperti biasanya, jika

tak  ada  ustadz,  anak-anak  bebas  bermain  apa  saja.

Page 178: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

168

Beberapa anak perempuan bermain lompat tali. Salman

sebenarnya hendak ikut bermain bersama anak-anak

perempuan, tetapi tangannya keburu ditarik oleh Ableh.

“Ayo ikut main bola!”

Salman menurut.

Sebagian  anak  laki-laki  bermain  pingpong,

sembilan anak yang lain menuju lapangan sepak takraw.

Tiga  lawan  tiga.  Sedangkan  tiga  orang  menunggu

giliran bermain jika salah satu tim kalah. Sisanya yang

lain, menuju lapangan rumput. Bermain sepak bola.

Saat Hendy dan teman-teman karib sudah siap

bermain  bola,  barulah  Ableh  dan  Salman  datang.

Kemudian datang lagi beberapa teman lain. Jumlahnya

jadi  banyak.  Para  pemain  dibagi  menjadi  dua  klub.

Dihitung-hitung, tak cukup sebelah lawan sebelas. Tak

masalah. Salman bertugas berdiri dipinggir lapangan.

Menyemangati kedua tim yang jual beli serangan. Bola

terus  bergerak.  Kaki-kaki  terus  berkejaran.  Sesekali

bertabrakan.  Sesekali  terjatuh.  Napas  ngos-ngosan.

Peluh  bercucuran.  Meski  demikian,  anak-anak

tersenyum gembira, menikmati permainan.

Tapi.

Page 179: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

169

“Praaang!!!”

Seketika  mereka  terdiam.  Musnahlah  semua

kegembiraan.  Seseorang  telah  menendang  bola.

Melambung  cantik  di  udara.  Melesat  menuju    kaca

jendela.  Menerabas  masuk  ke  dalam  ruangan  tata

usaha.  Anak-anak  ini  tahu  apa  yang  akan  terjadi

kemudian. Lutut mereka gemetar. Tertunduk. Berdegup.

Tak menunggu waktu lama, Ustadz Kepala Sekolah pun

datang. Kumisnya tipis. Tapi di mata anak-anak, kumis

itu  melintang.  Beliau  memakai  kaca  mata.  Tapi  bagi

anak-anak, itu adalah bola mata yang melotot keluar.

“Siapa pelakunya?!”

Semua  kepala  tertunduk.  Jagoan  karate  dan

pencak silat langsung ciut. Badan mereka meringkuk.

“Bapak  ulangi.  Untuk  kedua  kalinya  bapak

bertanya, siapa pelakunya?!”

Masih tidak ada  jawaban. Semua siswa tahu,

jika  sampai  tiga  kali  beliau  bertanya  dan  tidak  ada

jawaban,  itu  berarti  pembangkangan.  Itu  artinya

neraka. Hukumannya tak hanya membersihkan wc. Tapi

bisa ditambah dengan menghafal tiga juz Al Qur’an dan

membaca kitab kuning dengan tulisan arab gundul. Itu

Page 180: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

170

saja?  Tidak.  Masih.  Mereka  masih  punya  kewajiban

menyajikan apa yang telah dihafal dan dibaca di depan

semua siswa. Kalau salah, harus diulangi sambil kaki

diangkat satu. Sampai betul. Kalau masih salah, harus

diulangi sambil kaki diangkat satu dan ditambah dengan

tangan  menjewer  telinga  sendiri.  Berbahaya.  Ini

berbahaya. Tapi, meskipun sadar dengan risiko besar,

tetap saja para jagoan bungkam.

Ustadz  kepala  menarik  napas  sebelum

mengajukan pertanyaan untuk ketiga kalinya. Tiba-tiba

dari  tempat  terpisah,  seseorang  mengangkat

tangannya.  Mukanya  lugu.  Tak  ada  dosa.  Mulutnya

sedikit nyengir.

“Saya pelakunya, Ustadz.”

Para  jagoan  pencak silat  dan  karate  terkejut.

Kepala  mereka  masih  tertunduk.  Perasaan  mereka

bercampur aduk.

Salman telah menjadi pahlawan.

Page 181: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

171

Era  80-an  dan  90-an,  industri  perfilman  di

Indonesia mengalami keterpurukan. Orang-orang yang

bergerak dalam dunia film, mulai dari sutradara, penulis

naskah, pemain, crew, sampai mereka yang mengurusi

peralatan, tak bisa berbuat banyak ketika film-film dari

dunia barat menyerbu Indonesia. Film kolosal Indonesia

yang memfiksikan sejarah, seperti Saur Sepuh atau pun

Tutur Tinular, lambat laun tak lagi diproduksi. Film laga,

film  horor,  film  komedi,  bahkan  film  panas,

bertumbangan.  Lesu.  Lelah.  Kalah  pamor  dengan

Rambo dan Terminator.

Dua puluh

Ada Kakek di Dalam Bioskop

Page 182: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

172

Tidak  bergairahnya  industri  film  Indonesia,

berbanding  terbalik  dengan  bidang  usaha  bioskop.

Sebab merajalelanya film impor membuat masyarakat

semakin butuh bioskop. Sayang, orde penguasa pada

waktu itu adalah orde monopoli. Pengusaha-pengusaha

bioskop lokal pun gulung tikar. Angka 21 menjadi angka

sial bagi para pengusaha bioskop lokal.

Padahal  dulu,  di  Pontianak,  hampir  di  tiap

wilayah terdapat bioskop. Di tengah kota ada kapitol,

yang  namanya  kemudian  berubah  menjadi  bioskop

Menara.  Orang-orang  Belanda  pada  masa  kolonial

sering menonton di Bioskop ini. Kata ‘bioskop’ sendiri

merupakan  kata  serapan  dari  bahasa  Belanda,

‘bioscoop’. Ketika  itu, wilayah  ini merupakan tempat

bersantai,  berkumpulnya  para  tentara  setelah  lelah

bekerja. Orang-orang Cina dan Arab banyak membuka

lapak-lapak dagang. Para pelaut dari seluruh nusantara

yang  merapat  di  pelabuhan  Seng  Hie  dan  harus

menginap di Pontianak, pun mengidolakan bioskop ini.

Tak jauh dari Bioskop Menara, ada Bioskop Abadi yang

lokasinya terletak di persimpangan jalan Diponegoro

Page 183: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

173

dan Tanjungpura. Seiring perkembangan zaman, hadir

pula  Kapuas  Theater,  Khatulistiwa  Theater  dan

Pontianak Theater. Bioskop adalah tempat favorit orang-

orang mencari hiburan. Beberapa orang yang tidak bisa

menonton  karena  terkendala  biaya,  cukup

mendengarkan  dari  luar.  Suara  dari  dalam  bisa

menembus  dinding  papan  yang  bolong-bolong.

Pengeras  suara  ber-merk  TOA  cukup  berjaya  pada

masanya.

Meskipun industri perfilm-an Indonesia pada era

itu lemah lesu, bukan berarti tanpa produksi. Republik

ini  masih  punya  agenda  menyuntikkan  doktrin

nasionalisme  ke  dalam  tiap  batok  kepala  rakyatnya.

Usia  republik  masih  teramat  muda  dan  peluang

perpecahan  cukup  besar.  Agenda-agenda

penyeragaman  persepsi,  pemicu  semangat

kebangsaan, kesadaran kesatuan, harus ditumbuhkan.

Bahkan  kalau  perlu  lewat  jalur  pemaksaan  atau

pemutarbalikkan  sejarah.  Yang  penting  masyarakat

bangga menjadi warga negeri Indonesia yang mampu

mengusir  penjajah  Belanda  hanya  dengan  bambu

Page 184: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

174

runcing. Maka  tak heran  jika  kemudian  Muhammad

Yamin  mengarang  sandiwara  radio  berjudul

Gajahmada.  Diperdengarkan  ke  seantero  nusantara.

Mengetengahkan  gagasan  tentang  penyatuan

nusantara  lewat  sumpah  palapa.  Hingga  sampai

bertahun-tahun,  dalam  kepala  warga  terbenam

kepercayaan bahwa Majapahit adalah kerajaan besar

dengan wilayah luas. Membentang dari Sabang sampai

Merauke,  naik  ke  wilayah  Malaka  dan  Singaparna.

Mahapatih  Gajahmada  menjadi  populer  di  kalangan

anak-anak  sekolah.  Wajahnya  digambarkan  gempal

dengan mata menatap tajam. Tegas. Garang. Mirip rupa

Muhammad Yamin.

Masih dalam agenda membangkitkan semangat

nasionalisme,  negara  memproduksi  film-film

perjuangan. Peristiwa-peristiwa bersejarah dimasa lalu

diabadikan dalam bentuk visual. Aktor-aktor berbakat

dicari dan dilibatkan. Temanya tak jauh dari masalah

perang melawan Belanda atau pun Jepang. Sutradara

dibayar mahal. Arifin C. Noer adalah orang yang paling

sering  dihubungi  negara  untuk  menghasilkan  karya

Page 185: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

175

berkualitas.  Setelah  diproduksi,  film  diedarkan  ke

seluruh  bioskop  di  seluruh  Indonesia.  Melalui

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, surat edaran

masuk ke sekolah-sekolah. Isinya perintah! Anak-anak

harus menonton. Demi nasionalisme.

1982

Siang. Para siswa di Perguruan Islamiyah sudah

bersiap-siap pulang. Surah Al-‘Asr siap dibacakan. Tapi

tertunda. Ustadz Kepala Sekolah masuk ke dalam kelas.

Memberikan pengumuman.

“Anak-anak, besok kita akan pergi ke Bioskop

Abadi.  Menonton  film.  Jadi,  tolong  kasi  tau  orang

tuanya.  Jangan  sampai  ada  yang  bolos,  ya.  Ini  film

penting.”

“InsyaAllah,  Ustadz,”  para  siswa  menjawab

serempak. Kepala mereka menunduk. Bias antara patuh

dan takut.

Hendy  bersemangat.  Ia  suka  menonton  film.

Menonton  film  baginya  adalah  kesempatan

menggunakan  otak  untuk  berimajinasi.  Potongan-

potongan adegan, akting para aktor, jalan cerita yang

Page 186: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

176

disuguhkan, juga teknik pengambilan gambar, menjadi

fantasi tersendiri bagi Hendy.

Malam  hari  Hendy  tak  bisa  tidur.  Mba  Tuti

menemani.

“Sudah malam. Belum tidur?”

“Tidak bisa tidur, Mba. Besok aku diajak nonton

film di bioskop Abadi.”

“Lho, kalau besok mau nonton film, harusnya

malam ini tidur, dong. Biar seger besok hari.”

“Tidak bisa,  Mba. Aku  masih  membayangkan

betapa hebatnya film yang akan kami tonton besok.

Pasti seru. Kalau tidak seru, tidak mungkin ustadz kepala

sekolah mengajak kami semua untuk pergi. Tadi sore

aku tanya Mas Aan. Ternyata dia juga akan menonton

bersama teman-teman sekolahnya. Tetapi di hari yang

lain. Katanya gantian. Nanti bioskopnya ambruk kalau

di  serbu anak sekolah se-Pontianak.” Hendy nyengir.

Mba Tuti juga.

“Memangnya besok Mas Hendy mau nonton

film apa?”

Page 187: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

177

Hendy berhenti nyengir. Diam. Jidatnya berkerut.

Matanya  terpejam  sejenak.  Sesaat  kemudian  ia

menggeleng lemah.

“Lupa, ya? Nah, coba tidur dulu. Siapa tau besok

pagi  jadi  ingat.”

Hendy  menurut.  Bocah  dua  belas  tahun  itu

berangkat tidur.

***

Pagi-pagi. Sebuah mobil hijau tua dengan motif

loreng sudah bercokol di depan Perguruan Islamiyah.

Anak-anak  bersemangat.  Seperti  biasa  Hendy

berkumpul bersama teman-teman akrabnya, yakni Amir,

Riza, Firman, Fachrur, Azmi, Riyadh dan Harsa. Mereka

sudah sepakat akan duduk berdekatan, baik di dalam

truk tentara maupun di dalam bioskop. Jangan sampai

ada yang terpisah.

Sebelum berangkat, terjadi ribut-ribut. Salman

dijadikan  bulan-bulanan  semua  teman.  Dia  tidak

memakai sepatu. Katanya, sepatunya sudah diberikan

ke mamang pedagang rambut nyonya. Hanya dengan

menukar sepatu, bisa mendapatkan rambut nyonya dua

Page 188: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

178

genggam  dan  sesobek  kertas. Kalau  kertas  putih  itu

dimasukan ke dalam air, siapa tahu muncul angka. Nah,

kalau beruntung bisa dapat hadiah gelembus. Rambut

nyonya, gelembus. Salman senang sekali. Ternyata dia

beruntung.  Sepatu  diberikan  ke  mamang  pedagang

rambut nyonya. Dia pamerkan hadiah gelembus. Tentu

saja teman-temannya terpingkal-pingkal. Ustadz kepala

datang.  Keadaan  seketika  senyap.  Seorang  anak

melaporkan kronologis kejadian. Ustadz kepala geleng-

geleng kepala. Mendatangi Mamang rambut nyonya.

Membujuk  agar  sepatu  Salman  dikembalikan.  Tentu

saja diganti dengan uang sebesar 15 rupiah.

Mata  Salman  berbinar.  Benar-benar  hari

keberuntungan.  Bisa  makan  rambut  nyonya,  dapat

bonus gelembus dan mendapatkan sepatunya kembali.

Tak lama, ustadz kepala memerintahkan anak-

anak untuk masuk ke dalam truk tentara. Semuanya

bersemangat.  Mereka  berdesakan.  Berebut  tempat

duduk.  Meski  kenyataannya,  di  dalam  truk  mereka

berdiri.  Tapi  tak  mengapa. Yang  penting Hendy  bisa

berkumpul  dengan  teman-temannya.  Yang  penting

Page 189: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

179

Salman bisa nonton bioskop tanpa harus kehilangan

sepatu. Mobil  berjalan. Belum  terlalu  jauh,  seorang

anak  kecil  berteriak  begitu  nyaring.  Berlari  begitu

kencang. Memanggil-manggil. Ableh ketinggalan. Air

matanya  hampir  saja  berceceran.  Untung  saja  truk

tentara  berhenti.  Ableh  berterima  kasih.  Dia  bilang

tentara  baik  hati.  Lebih  baik  dibandingkan  ustradz

Kepala Sekolah.

Semua siswa sudah berada di dalam bioskop.

Ada empat orang ustadz sebagai pendamping. Ruangan

penuh. Suara para siswa seperti suara anak ayam. Riuh.

Ada yang bergurau. Ada yang lempar kertas. Ada yang

berteriak.  Ada  yang  terpingkal.  Ustadz  pendamping

hanya  geleng  kepala  dan  tak  bisa  berbuat  banyak.

Mereka  tahu,  sebentar  lagi  para  siswa  akan  diam.

Hendy dan gerombolannya mengambil bangku di tengah

bagian  kanan.  Para  pendekar  karate  berjejer  di

belakangnya. Sisi sebelah kiri, ada Ableh dan pendekar

pencak  silat.  Awalnya  mereka  saling  tatap.  Sampai

kemudian ruangan gelap. Salman duduk paling depan.

Lehernya mendongak ke atas. Tangannya meraba saku

Page 190: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

180

baju,  masih  ada  segenggam  rambut  nyonya  yang  ia

simpan sebagai teman menonton film.

Saat  ruangan  menjadi  gelap,  para  siswa

mendadak senyap.  Dari  speaker  bermerk TOA  suara

cempreng  menggema.  Musik  yang  begitu  khas.

Seberkas  cahaya  menabrak  dinding  depan.  Cahaya

tersebut menampilkan gambar dan tulisan. Sebuah logo

negara muncul. Bundar. Ada burung garuda di sisi kiri

atas  bundaran.  PPFN.  PusatProduksiFilmNegara.

DepartemenPeneranganR.I. mempersembahkan:

Suara  musik  lenyap.  Anak-anak  setia  untuk

senyap.  Tiba-tiba  layar  bioskop  berganti  backgroud

merah. Sewarna bendera negara. Dua detik kemudian,

TOA mengeluarkan suara kokok ayam jantan. Mata para

siswa kini fokus. Judul Film keluar. SERANGAN FAJAR.

Teks Serangan Fajar bergerak ke atas, disusul sinopsis

awal film.

Film ini bukan rekonstruksi sejarah, tapi sebuah

kisah manusia berlatar belakang peristiwa2 bersejarah

antara 1945-1950 di jogjakarta, saat2 Revolusi

Indonesia sedang berkobar di mana2.

Page 191: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

181

Begitu banyak tokoh dan nama dalam peristiwa

bersejarah sehingga tidak mungkin semuanya

tertampung dalam film ini.

Runningtext hilang. Gambar berganti Gunung

Merapi  berlatar  langit  cerah. Serta  merta  terdengar

suara Sukarno  membacakan Proklamasi. Bulu kuduk

Hendy  merinding.  Teringat  Ayah  yang  juga

membacakan proklamasi saat dirinya merayakan ulang

tahun.

Kemudian,  adegan  demi  adegan  dalam  film

membuat para siswa hanyut. Membuat mereka bangga

menjadi warga negara Indonesia. Ada adegan sebuah

keluarga  naik  delman.  Terjadi  adegan  anak  kecil

menangis. Terjadi adegan tembak-menembak antara

barisan  pemuda  dan  tentara  Jepang.  Ada  suara

gamelan. Anak-anak berkobar semangatnya. Ada yang

terharu.  Ada  yang  marah  dengan  penjajah.  Adegan

penyerbuan markas militer Jepang di daerah Kota Baru

Jogjakarta, sangat mendebarkan.

Page 192: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

182

Latar  waktu  subuh  hari.  Para  aktor  yang

berperan sebagai pejuang, tiarap. Mengendap. Sigap.

Di  balik  benteng,  seorang  Jepang  siaga  dengan

senapan mesin. Pintu benteng berhasil dibuka paksa.

Pribumi  masuk.  Tertembak  senjata  mesin  Jepang.

Gugur.  Hening.  Beberapa  detik  berikutnya  kembali

running text.

Tercatat dua puluh satu nama pejuang yanggugur dalam pertempuran memperebutkan senjataJepang itu. Mereka adalah:

TrimoDjoewadiSoeparmoSunaryoSurotoMoch. SarehDjasmanA. Djohar NoerhadiBagongSabirinAhmad DjasoeliOemoemAtmosukartoSoedjijonoI Dewa Njoman OkaSarwokoSoemardjoFaridan M.NotoAbubakar Ali

Moch. Mardani

Page 193: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

183

Teks nama-nama pejuang yang gugur bergerak

dari  bawah  ke  atas.  Tiba-tiba  terdengar  teriakan.

Nyaring.

“Itu  kakek!  Kakekku!!....  Ada  kakekku  di  film

itu...!!!”

Semua kepala tertuju ke asal suara. Ini teriakan

seorang  siswa.  Tapi  ruangan  bioskop  gelap.  Siapa?

Teriakan tak berhenti. Terus menyebut-nyebut nama

kakeknya.  Terpaksa  film  dihentikan  sebentar.  Lampu

ruangan  dinyalakan.  Siswa  yang  berteriak  itu  masih

berdiri dan serta-merta jadi pusat perhatian. Dia masih

memanggil-manggil kakeknya.

Muda  Mahendra  Putra,  di  rumah  dipanggil

Hendy.

Berteriak-teriak  menyebut  nama  kakeknya,  I

Dewa  Njoman  Oka.  Salah  satu  pejuang  yang  gugur

dalam film Serangan Fajar.

Page 194: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

184

Mba  Tuti  menikah.  Dia  harus  ikut  suaminya.

Mereka tinggal di kompleks perumahan yang dibangun

pemerintah untuk para pegawai. Letaknya tidak jauh

dari pasar Flamboyan. Hendy tidak rela sebenarnya jika

harus pisah rumah dengan Mba Tuti. Namun,  dia tak

punya kuasa apa-apa. Untunglah  jarak antara rumah

Mba  Tuti  dan  Mahmud  Akil  tidak  terlalu  jauh.  Jadi,

sesekali Hendy masih bisa mengunjungi Mba Tuti.

Saking seringnya Hendy berkunjung ke rumah

Mba Tuti, dia jadi akrab dengan anak-anak kompleks.

Sore hari mereka sering bermain bersama. Yang laki-

laki kadang main perang-perangan. Yang perempuan

bermain  lompat  tali. Kadang-kadang  juga,  anak  laki-

Dua puluh satu

Insiden Perkenalan

Page 195: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

185

laki itu bermain lompat tali dan anak perempuan yang

ikut  main  perang-perangan.  Kalau  musim  lebaran,

mereka  bermain  tapuk kaleng.  Setelah  hompimpah,

para  pemenang  bersembunyi.  Sedangkan  satu  anak

yang kalah mendapat tugas ganda, yaitu  menemukan

anak-anak  yang  bersembunyi  sekaligus  menjaga

sesusun kaleng. Seru. Harus pintar-pintar menemukan

tempat  persembunyian  strategis.  Bagi  anak  yang

menjaga kaleng, harus cekatan dan waspada. Dia wajib

menjaga  susunan  kalengnya  tetap  utuh.  Jika  rubuh

karena dilempar atau ditendang anak lain, dia harus

menyusunnya seperti semula. Setelah disusun ulang,

kembali  dia  harus  mencari  anak-anak  yang

bersembunyi.

Sore hari, jika tidak ada agenda belajar agama

di Sekolah Islamiyah, juga jika tidak ada janji bermain

bersama  Harsa  dan  teman-teman  lainnya,  Hendy

bermain bersama anak-anak di kompleks perumahan

Mba Tuti. Kalau di sekolah, semua teman memanggilnya

dengan nama Muda. Sedangkan  di kompleks perumah-

an Mba Tuti, teman-teman barunya memanggil dengan

nama Hendy. Persis nama panggilannya di rumah. Sebab

Page 196: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

186

Mba Tuti yang memperkenalkannya.

Saat pertama kali diperkenalkan kepada anak-

anak  kompleks,  Hendy  masih  malu-malu.  Sebentar-

sebentar, setelah tersenyum, dia menunduk. Tapi saat

ia menunduk lebih lama dari sebelumnya, telinganya

menangkap  suara  bisik-bisik.  Terdengar  juga  suara

cekikikan. Hendy mengangkat wajah. Cekikikan hilang.

Tapi Hendy yakin, cekikikan tadi bersumber dari  tiga

anak  perempuan  yang  berdiri  berdekatan.  Mereka

menutup mulut dengan sebelah tangan masing-masing.

Meski  demikian,  mulut  mereka  mendesis  saling

berbisik. Mata mereka tertuju ke arah Hendy. Tiba-tiba

saja tubuh salah seorang di antara mereka berguncang.

Sebelah tangan di mulut, sebelah tangan lagi di perut.

Sekian  detik  berikutnya  tawanya  lepas.  Terpingkal-

pingkal.  Anak-anak  yang  lain  saling  pandang dengan

jidat berkerenyit. Mereka berkumpul mendekati si anak

yang sedang tertawa.

Hendy masih berdiri di samping Mba Tuti. Posisi

mereka agak berjarak dengan anak-anak kompleks yang

sedang  berkumpul.  Bibir  Mba  Tuti  sunggingkan

senyum.  Kepalanya  mengangguk-angguk  pelan.

Page 197: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

187

Benaknya  mencerna  kejadian.  Sepertinya  telah  dan

sedang  terjadi  persekongkolan  antar  anak-anak

kompleks. Laki-laki dan perempuan. Mereka berkumpul.

Bibir mereka mengulum senyum. Sedangkan  satu di

antara  mereka,  tetap  tak  mampu  menahan  tawa.

Namanya  Ocha.  Sesekali,  di  antara  tawanya,  Ocha

mengeluh perutnya sakit.

“Ada  apa  ini?”  tanya  Mba  Wati  mencoba

mencairkan suasana, “apa yang kalian tertawakan?”

Hendy masih kikuk.

Ocha berusaha mengatur napas dan meredakan

tawanya.  Tinggal  bibirnya  yang  melengkung.  Hendy

melirik. Manis juga, batinnya. Tapi manis senyum Ocha,

tak  mampu  menghalau  kedongkolan  hatinya.  Hendy

tidak terima telah jadi bahan tertawaan.

“Ocha, ayo cerita. Kenapa kamu tertawa.”

Ocha  melirik  ke  teman-temannya.  Meminta

persetujuan. Teman-temannya mengangguk. Awalnya

ragu. Tapi karena sudah disetujui semua teman, Ocha

berani buka mulut.

“Ndak apa-apa kok, Mba Tuti. Teman-teman cuma

bilang, gigi keponakan Mba Tuti seperti gigi kelinci.”

Page 198: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

188

Seketika  tawa  anak-anak  kompleks  pecah

berderai.  Bahkan  ada  yang  rela  berguling-guling  di

rerumputan.  Mereka  tidak  peduli  kalau  nanti  harus

dijewer  oleh  Mba  Tuti  karena  sudah  mengolok-olok

keponakannya di hari pertama perkenalan. Benar-benar

tidak  peduli.  Hendy  geram.  Dadanya  menyimpan

dendam.  Tangannya  mengepal  tapi  tak  bisa  berbuat

apa-apa. Dia  tahu,  berkelahi  dengan  anak  kompleks

bukan  solusi.  Dia  bisa  hanya  sabar  sambil  berharap

Mba Tuti memarahi mereka.

Mba Tuti mendiamtenangkan anak-anak. Nah,

kini  giliran  Hendy  yang  akan  tertawa  jika  Mba  Tuti

memarahi mereka. Rasakan, kata Hendy dalam hati.

Mba  Tuti  memperhatikan  wajah  anak-anak

kompleks, satu per satu. Saat matanya tertuju ke arah

Ocha,  Mba  Tuti  menajamkan  tatapan.  Agak  lama.

Suasana menegang. Tak ada lagi tawa. Hanya tinggal

seorang  anak  yang  sakit  perutnya  dan  berbaring  di

rumput. Apakah Mba Tuti akan meledakkan amarahnya

ke Ocha?

“Ocha. Sana kamu, minta maaf,” perintah Mba Tuti.

Ocha mengangguk. Mau melangkah, tapi ragu.

Page 199: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

189

Hendy memalingkan wajah ke arah lain.

Tiba-tiba  giliran  Mba  Tuti  yang  tersenyum.

Pandangannya tertuju ke Hendy yang masih berpaling.

“Hey, Gigi  Kelinci. Tidak boleh  marah begitu,

dong. Ayo, sana. Bergabung bersama yang lain.”

Hendy  merasa  dadanya  sesak.  Bukannya

membela keponakan dengan cara memarahi anak-anak

kompleks,  Mbak  Tuti  malah  setuju  dan  ikut

memanggilnya  sebagai  Gigi  Kelinci.  Tawa  anak-anak

kompleks  kembali  pecah  berderai.  Seseorang  yang

terbaring di rumput, kembali berguling-guling. Perutnya

semakin sakit.

“Ayo, Gigi Kelinci. Bermain bersama kami,” kata

Ocha  seraya  mendekat.  Tangannya  terulur  ke  arah

Hendy. Ajakan persahabatan.

***

Selepas  magrib,  di  rumah  Mba  Tuti,  Hendy

mengomel.  Dia  protes  dengan  buliknya.  Bukannya

membela,  tetapi  malah  mendukung  anak-anak

kompleks.

Page 200: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

190

“Kan aku malu diejek kayak gitu.”

“Tidak perlu malu. Mereka itu anak-anak baik.

Wajarlah  kalau  diejek.  Kan  bercanda?  Besok-besok,

mungkin  kamu  bisa  gantian  mengejek  mereka,”  ujar

Mba Tuti sambil mengusap kepala Hendy.

“Cewek tadi itu, siapa namanya?”

“Oh,  itu  namanya  Rosalina.  Orang  tuanya

memanggilnya Ocha. Kami semua juga memanggilnya

demikian. Rumahnya pas di sebelah rumah ini,” kata

Mba Tuti sambil menunjuk ke arah luar jendela, ke arah

rumah tetangga.

“Orang  tua  Ocha  dari  Sambas.  Mereka  taat

beragama. Keturunan orang alim. Baik sekali. Ocha juga

anak yang baik. Tidak pernah rewel. Juga alim. Kalau

mengaji, suaranya merdu.”

Meskipun  Mba  Tuti  memuji-muji  keluarga

sebelah rumah, namun kejadian tadi sore belum bisa

dilupakan  Hendy.  Hatinya  masih  dongkol.  Ia  masih

sewot dengan anak-anak kompleks.

Terutama dengan anak sebelah rumah. Ocha.

Ia tidak rela dipanggil Gigi Kelinci.

Page 201: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

191

Setamat  SD  Islamiyah,  Hendy  melanjutkan

sekolah ke SMP N 1 Pontianak. Memasuki masa awal

remaja, dia tumbuh menjadi lelaki yang nakal. Teman-

temannya semakin banyak dan berasal dari beragam

kalangan. Prestasinya di sekolah menurun. Dia punya

hobi  baru.  Menunggang  sepeda  motor  trail.  Bukan

hanya  Hendy  seorang,  tetapi  ketiga  abang  dan  adik

bungsunya juga demikian. Kalau soal ngebut di jalan

raya  pada  malam  minggu,  sudahlah,  tak  perlu  lagi

diajarkan.

Tak  hanya  itu.  Masalah  khas  yang  dialami

semua remaja, Hendy pun mengalaminya. Jatuh cinta.

Bertemu dengan gadis satu sekolah. Anak-anak muda

Dua Puluh Dua

Disidang Ayah

Page 202: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

192

menyebutnya pacaran. Putus cinta. Jatuh cinta. Jelas,

ini persoalan mengkhawatirkan. Ayahnya beberapa kali

menasehati agar Hendy tidak melupakan pendidikan.

Begitu  juga  dengan  ibunya.  Oleh  sang  ibu,  Hendy

diminta  untuk  menjaga  akhlak  ketika  berada  di  luar

rumah. Silakan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Tetapi

etika,  benar-benar  harus  dijaga.  Untuk  hal  satu  ini

Puspitawati tidak mau main-main. Ia tidak mau nama

keluarga tercoreng akibat perilaku kurang baik anak-

anaknya.

Tapi, ya,  begitulah anak remaja. Banyak yang

memamah begitu saja pemeo pergaulan bahwa belum

keren kalau tidak nakal.  Termasuk Hendy remaja. Dia

merasa keren. Keren karena nakal. Dia menjadi anak

bermasalah  di  sekolah.  Beberapa  kali  orang  tua

dipanggil  oleh  Kepala  Sekolah.  Beberapa  kali  Hendy

ketahuan  tidak  masuk  kelas  padahal  dari  rumah

berangkat sekolah. Beberapa kali ibunya harus cemas

karena  Hendy  belum  pulang  padahal  sudah  larut

malam.

Mahmud Akil mengambil sikap. Hendy dipanggil

ke ruang kerjanya. Sidang.

Page 203: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

193

Dalam  obrolan  empat  mata  antara  ayah  dan

anak tersebut, Mahmud Akil bercerita tentang masa

remajanya. Diceritakan bahwa sejak tamat SD, dirinya

sudah merantau ke Kota Pontianak dan melanjutkan

perantauan ke  Jogjakarta. Merantau saat usia masih

begitu belia. Alasannya, pendidikan.

“Lalu,  apakah  selama  dalam  perantauan

ayahmu ini tidak nakal?” Mahmud berhenti sebentar.

Mematikan  rokoknya.  Mengambil  sebatang  lagi.

Membakarnya.  Suasana  ruang  kerja  menjadi  mirip

dengan  ruang  interogasi.  Menegangkan.  Tapi  tidak

demikian apa yang dirasakan Hendy. Dia malah senang

dengan kemarahan ayahnya. Dia merasa begitu dekat

dan akrab. Ini adalah peristiwa langka. Hendy banyak

diam. Mahmud melanjutkan.

“Saat  seusiamu,  semua  orang  bilang  ayah

nakal. Pihak keluarga. Pihak sekolah. Siapa saja bilang

bahwa ayah nakal. Kemudian apa yang ayah pikirkan

ketika stempel nakal melekat pada diri ayah?”

Hendy  masih  diam.  Dia  menikmati  nasihat

ayahnya.

“Pembuktian.  Kelak,  orang-orang  akan  tahu

Page 204: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

194

bahwa  Mahmud  Akil  mampu  membuat  mereka

bangga!”

Hendy terkesiap. Kata-kata itu tegas, menderas

dan  meresap  dalam  sanubarinya.  Kalimat  ayahnya

barusan  membuat  dadanya  membuncah.  Hendy

mengangguk-angguk seraya mengatur napas. Dia haru

dan bangga sebagai anak Mahmud Akil. Iya. Baik. Janji.

Dia juga harus membuktikan diri.

“Pembuktian  tidak  harus  dilakukan  dengan

kebut-kebutan di jalan. Pembuktian pun tidak dengan

memperkenalkan  banyak  pacar  ke  orang  tuamu.

Pembuktian juga tidak dengan kelakuan bolos sekolah.

Bukan itu. Tapi pendidikan! Belajar. Membaca. Bagus

pendidikanmu,  maka  bagus  hidupmu  di  masa

mendatang.”

Pintu diketuk. Ceramah sang ayah terhenti. Di

luar ada  tamu. Mahmud Akil keluar  ruangan. Hendy

ditinggal sendirian. Mumpung tidak ada orang, Hendy

remaja  menuju  meja  kerja  ayahnya.  Duduk  di  kursi.

Membayangkan diri menjadi Mahmud Akil.

Sebuah buku tebal tergeletak di atas meja kerja.

Semula, tak ada rencana Hendy untuk menyentuhnya.

Page 205: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

195

Tapi entah. Tulisan di sampul buku membuat Hendy

penasaran. Di bagian atas tertulis ‘Mohammad Hatta’.

Lalu ada gambar dua orang lelaki. Kemudian di bagian

bawah ada tulisan ‘Memoir’. Bahwa Mohammad Hatta

adalah  wakil  presiden  pertama,  Hendy  tahu  itu.

Ayahnya sering menyebut-nyebut nama Hatta. Ayahnya

kerap menggunakan kata sapaan ‘bung’. Sama seperti

ketika menyebut nama Sukarno. Masih ada satu lagi,

Syahrir. Ketiga nama ini kerap disebut-sebut Mahmud

Akil dengan sapaan bung. “Bung Karno, Bung Hatta,

Bung Syahrir adalah tiga orang yang tidak boleh kita

lupakan. Jasa mereka begitu besar terhadap republik

ini,” begitu kira-kira ucapan Mahmud Akil kepada anak-

anaknya.

Bagi  Hendy,  tak  ada  masalah  dengan  nama

Mohammad  Hatta  di  buku  itu.  Tapi  kata  ‘memoir’,

terasa asing. Baru kali ini dia menemukannya. Dalam

hatinya, jangan-jangan ini adalah kata ‘memori’ yang

salah cetak. Tapi, apa mungkin percetakan tidak teliti

dan kemudian menyebarkan buku yang salah cetak?

Hendy  tidak  percaya  begitu  saja.  Buku  tebal  itu

diraihnya. Ada 567 halaman dengan halaman terakhir

Page 206: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

196

memamerkan foto Bung Hatta, Istri, dan anaknya. Tak

ada  penjelasan  tentang  “memoir’  di halaman  paling

belakang.  Pun  di  halaman  depan.  Sampai  akhirnya

Hendy memutuskan untuk membaca paragraf awal di

halaman pertama.

Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12Agustus 1902. Bukittinggi adalah sebuah kota kecil yangterletak di tengah-tengah dataran tinggi Agam.Letaknya indah di ujung kaki gunung Merapi dan gunungSinggalang dan di sebelah utaranya kelihatan pulamelingkung cabang-cabang bukit barisan. AntaraBukittinggi dan gunung Singgalang terbentang sebuahngarai yang dalam dan bagus pemandangannya. Agakjauh dari tempat itu pada jurusan sebelah timur tampakgunung Sago. Apabila tidak ada kabut, kelihatan darijauh sebelah barat laut gunung Pasaman yang kesohordalam dongeng sebagai gunung yang mengandungemas. Ngarai dan gunung-gunung serta Bukit-BukitBarisan yang kelihatan sekitarnya itu memberikankepada kota Bukittinggi suatu pemandangan yang indahsekali. Hawanya sejuk, pada malam hari malahandingin. Berbagai jenis bunga subur tumbuhnya di sana.Orang-orang yang datang bertamasya dari daerahpesisir sering menamai Bukittinggi “Kota kebun bungamawar”. Selain dari indah pemandangannya, kota itubersih pula. Jalan-jalan raya disapu selalu oleh orang-

Page 207: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

197

orang hukuman yang mendapat hukuman berat yangdidatangkan dari tempat-tempat yang jauh. Ini muslihatpemerintah jajahan untuk mengalangi supaya merekajangan melarikan diri. Letak rumah-rumah dalam kotakecil itu tersusun baik. Tiap-tiap rumah tempat tinggalmempunyai pekarangannya. Di sebelah muka biasanyaditanami bunga-bunga, pada sebelah belakang tumbuhbeberapa pohon buah-buahan.

Takjub. Hendy terpana dengan deskripsi yang

dipaparkan.  Mohammad  Hatta  ternyata  adalah

penulisnya.  Ia mengambil kesimpulan sendiri, “Jangan-

jangan ‘memoir’ itu artinya buku harian. Jadi ini adalah

buku harian tentang kisah hidup.

Tapi Hendy segera mengabaikan kata ‘memoir’.

Paragraf pertama di halaman pertama telah menyita

perhatiannya.  Pemerian  tentang  Bukittinggi

membuatnya terkesima. Ini adalah daerah yang indah.

Gunung merapi, Singgalang dan Bukit Barisan. Ngarai.

Hendy ingin bisa ke sana. Hendy ingin bisa melihat jam

gadang dari dekat.

Hendy  memberanikan  diri  mengambil  buku

tersebut. Keluar dari ruang kerja ayah, pindah ke kamar

tidurnya.  Melanjutkan  membaca.  Inilah  perkenalan

Page 208: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

198

pertama  Hendy  dengan  pemikiran-pemikiran  Bung

Hatta. Perkenalan yang menumbuhkan motivasi dan

kesadaran.  Ya.  Kesadaran  bahwa  perjuangan  akan

menjadi begitu berat jika waktu hanya dihabiskan untuk

kebut-kebutan, pacaran atau pun bolos sekolah.

Dua  tahun  di  SMP  N  1  Pontianak,  Hendy

dipindahkan ke SMP N 13. Masih kebut-kebutan, tapi

sudah mulai rajin berangkat sekolah. Di sekolah yang

baru, bertemu teman-teman baru. Prestasi akademik

pelan-pelan  meningkat.  Selesai  berkenalan  dengan

Memoir Bung Hatta, Hendy meminjam buku-buku lain

milik ayahnya. Maka sejak masih remaja, dia pun sudah

berkenalan  pula  dengan  pemikiran-pemikiran  para

tokoh lain seperti Sukarno, Tan Malaka, dan Mahatma

Gandhi.

Page 209: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

199

Ini gambar Rosalina di usia remaja menjelang

dewasa. Punya wajah yang begitu teduh. Selalu berseri-

seri dalam berbagai macam kondisi. Punya mata begitu

syahdu. Pemalu. Moralnya masyaAllah. Kulitnya putih

mulus. Halus. Tapi hanya bisa dilihat dibagian wajah

dan pergelangan tangan. Sisanya, tertutup. Menjaga

aurat. Takut. Tunduk. Hanya kepada yang kuasa.

Setamat SMP, gadis ini melanjutkan sekolahnya

di  Sekolah  Perawat  Kesehatan  (SPK) Yayasan  Rumah

Sakit  Islam  (Yarsi)  Pontianak.  Sejak  dulu  dia  ingin

menjadi bidan.

Sewaktu  kecil,  Ocha,  panggilan  kesayangan,

sering dibawa ke Sambas oleh orang tuanya. Di Sambas,

Dua puluh tiga

Rosalina

Page 210: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

200

mereka  tidak  tinggal  di  ibu  kota  Kabupaten,  tetapi

masuk ke kecamatan. Akhir 70-an, Sambas merupakan

daerah  yang  begitu  hijau.  Ocha  senang  sekali  kalau

berada  di  Sambas.  Menghirup  udara  segar  akan

membuat tubuh sehat. Waktu itu, polusi udara adalah

barang langka.

Meskipun senang saat berada di Sambas, ada

hal  yang  membuat  Ocha  sedih.  Hatinya  teriris  jika

melihat  orang  sakit.  Fasilitas  kesehatan  yang  hanya

terletak di pusat kecamatan membuat masyarakat yang

menderita  sakit  hanya  mengandalkan  pengobatan

tradisional.  Sebagian  tertolong,  sebagian  lain  tidak.

Terlebih ketika ekspansi sawit dari Sumatra berpindah

ke Kalimantan.

Awal 80an, 1.400 hektar  lahan di Kecamatan

Ngabang berubah menjadi lahan sawit. Dalam waktu

tak  terlalu  lama,  wilayah-wilayah  lain  di  Kalimantan

Barat  pun  mengalami  hal  yang  sama.  Pohon  sawit

merajalela.  Sebagian  kecil  masyarakat  riang  gembira

karena  mendapat  uang  pembebasan  lahan.  Orang-

orang  tidak  menyadari,  di  musim  penghujan,  pelan-

pelan  mulai  terjadi  banjir  yang  lebih  hebat  dari

Page 211: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

201

biasanya.Sedangkan  di  musim  kemarau,  kekeringan

menjadi lebih lama. Hutan tropis semakin tidak rindang.

Penyakit tiba-tiba saja mengakrabi masyarakat.

Nenek  Ocha  adalah  seorang  bidan.  Ocha

terinspirasi meneruskan perjuangan nenek. Ocha masih

ingat  betul  betapa  sabarnya  neneksaat  menghadapi

orang-orang. Berpindah dari satu kampung ke kampung

yang lain. Tak kenal lelah meski sudah larut malam.

“Nyawa manusia memang sudah diatur sama

Allah.Tapi, kita tidak boleh pasrah begitu saja. Bukan

seperti  itu  maksudnya  tawakkal.  Manusia  wajib

berusaha. Menolong sesama Muslim adalah kewajiban

yang  lain.”

Ujaran nenek melekat kuat dalam ingatan Ocha.

Gadis  kecil  ini  pun  akan  tersenyum  dengan  mata

berkaca-kaca  jika  ada  pasien  nenek  yang  sembuh.

Baginya  nenek  tak  sekadar  bidan,  tapi  seorang

pahlawan.  Kesehatan  harus  diperjuangkan.  Nenek

adalah pejuang.

Alasan itulah yang membuat Ocha sangat yakin

mendaftar di SPK Yarsi setamatnya dari SMP. Terlebih

keluarganya pun mendukung. Mau menjadi apa pun,

Page 212: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

202

asal dibarengi dengan ilmu agama, insyaAllah diridai-

Nya. Ocha beruntung dikelilingi orang-orang religius.

Buyut, kakek, sampai orang tuanya, tak pernah lelah

mendidik Ocha dengan pemahaman agama.

“Kau tau cerita tentang Ibnu Sina?”tanya kakek

suatu hari, saat Ocha penasaran dengan ilmu kebidanan

yang dimiliki nenek.

Ocha menggeleng.

“Orang  ini  bernama  asli  Abu  Ali  Husain  bin

Abdullah  bin  Hasan  bin  Ali  bin  Sina.  Lahir  di  daerah

Bukhara. Ibnu Sina sejak kecil sudah akrab dengan ilmu

pengetahuan.  Saat  usianya  10  tahun  seluruh  isi  Al-

Qur’an dihapalnya. Ibnu Sina adalah orang yang haus

ilmu  sejak  kecil.  Filsafat,  sastra,  psikologi  dipelajari.

Mengkaji  isi  Al-Qur’an  dengan  serius.  Menemukan

banyak  hal  dalam  mengkaji  Kalamullah  terutama  di

bidang kesehatan. Di usia 15 Ibnu Sina sudah terkenal

memahami teori-teori ilmu kedokteran. Tak hanya itu,

dia  juga  banyak  membantu  kesembuhan.  Hingga

akhirnya  saat  usianya  17  tahun  seorang  Amir  yang

sedang sakit, atas izin Allah, berhasil disembuhkan Ibnu

Sina.  Amir  ini  begitu  berterima  kasih  dan  Ibnu  Sina

Page 213: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

203

diperbolehkan  membaca  buku-buku  koleksi

perpustakaan istana. Semakin hari, Ibnu Sina semakin

tersohor.  Bahkan  dunia  barat  pun  belajar  ilmu

kedokteran dari muslim yang di otaknya bersemayam

berbagai macam ilmu pengetahuan ini.”

Kegigihan nenek dan cerita tentang Ibnu Sina

dari  kakek,  membuat  Ocha  semakin  mantap

mempelajari  ilmu kesehatan. Sekolah di SPK, selama

tiga tahun tinggal di Asrama, bukan masalah bagi Ocha.

Pasca  hidup  di  asrama  sambil  menuntut  ilmu,  Ocha

diterima bekerja di Yarsi.

***

Sore hari, ba’da ashar, di beranda rumah Ocha

bersantai. Mba Tuti, tetangga sebelah rumah, datang

menyapa. Mereka berdua sudah akrab semenjak lama.

“Mba Ocha, akhir pekan ini sibuk?”

“Kebetulan akhir pekan tidak ada jadwal dinas,

Mba.  Jadi,  kemungkinan  di  rumah  saja.  Ada  apa

memangnya?”

Cuaca  cerah.  Angin  sepoi  menggoyang

Page 214: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

204

reranting akasia di halaman.

“Ndak  ada  apa-apa.  Ini,  ada  acara  kecil  di

rumah. Anak Mba ulang tahun. Kalau bisa datang, ya.

Acaranya  sore.  Tapi  kalau  ndak  keberatan,  selesai

sholat zuhur, bolehlah datang ke rumah. Bantu-bantu

siapkan makanan.”

Undangan dari Mba Tuti disetujui Ocha. Kedua

keluarga  ini  memang  sudah  sejak  lama  akrab.  Ayah

Ocha  adalah  teman  satu  kantor  Mba  Tuti  di  Dinas

Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat. Semenjak Ocha

kecil,  juga  sering  main  di  rumahnya  Mba  Tuti.  Tapi

semenjak Ocha di asrama SPK selama tiga tahun, sudah

tak pernah lagi dia main ke rumah Mba Tuti. Kebetulan

ada hajatan di akhir pekan, tentu saja Ocha setuju untuk

datang. Menjaga silaturrahim itu wajib hukumnya. Jika

ikhlas, pasti berkah.

Hari yang ditentukan tiba. Ocha diminta datang

ba’da  Zuhur,  tapi  gadis  ini  sudah  ada  di  rumah  Mba

Tuti  sejak  ba’da  dhuha.  Membantu  memasak,  juga

bercanda. Siang hari, mereka makan siang bersama.

Ocha juga sholat Zuhur di rumah Mba Tuti. Ba’da Ashar,

satu per satu tamu berdatangan. Teman di kompleks,

Page 215: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

205

teman kantor, teman sekolah. Acara dikemas dengan

konsep  yang  sederhana.  Yang  penting  silaturrahim

terjaga.

Saat tamu mulai ramai, Ocha berada di dapur

mempersiapkan hidangan. Tiba-tiba  terdengar suara

heboh  di  depan.  Keponakan  kesayangan  Mba  Tuti

datang. Semenjak dilantik menjadi wakil ketua senat

di  kampusnya,  Hendy  jarang  mengunjungi  rumah

buliknya ini. Terlebih sebentar lagi skripsi. Belum lagi

agenda-agenda  gerakan  di  kampus.  Sibuk.

Kemunculannya di rumah Mba Tuti membuat keluarga

heboh.

“Kamu ke mana saja?” tanya Mba Tuti.

“Ada, Mba.”

Hendy  tak  bisa  menjawab  panjang,  sebab

beberapa  teman  kecilnya  buru-buru  menyapanya.

Mereka  bersalaman.  Bertukar  kabar.  Berbagi  cerita

hangat.

Seorang gadis berkerudung keluar dari ambang

pintu  dapur.  Membawa  minuman.  Anggun.  Hendy

terkesima.  Dia  tersenyum.  Gadis  berkerudung

membalas senyum. Jantung Hendy rontok berguguran.

Page 216: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

206

Kelimpungan.  Seperti  di  wisuda  tanpa  skripsi.

Penasaran.  Siapa  gadis  ini.  Hendy  mencari  dan

kemudian menemukan Mba Tuti di ruang tengah.

“Mba...”  kata  Hendy  dengan  suara  serupa

bisikan.

“Kenapa?”

“Sssstttt.”

Hendy menyimpan telunjuknya di depan bibir.

Matanya mendelik.

“Ada apa, tho?”

“Itu yang pakek kerudung, yang barusan bawa

minuman itu siapa?”

“Oalah...” Mba Tuti tertawa. Agak keras. Orang-

orang melihat ke arah Mba Tuti. Hendy jadi kikuk. Dia

coba  menenangkan  buliknya.  Gagal.  Buliknya  malah

ngeloyor ke dapur,  lalu kembali  lagi ke ruang tengah

sambil menggandeng tangan seseorang. Hendy makin

kikuk.  Seseorang  yang digandeng  buliknya  adalah  si

gadis yang tadi membawakan minuman.

“Ini,  kenalkan,”  kata  Mba  Tuti  kepada  gadis

disampingnya, “keponakan Mba Tuti.”

Mba Tutik dan Si gadis sempat saling menatap,

Page 217: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

207

saling mengangguk, saling mengulum senyum. Hendy

menarik nafas seraya menyipitkan mata. Aneh, pikirnya.

Benaknya mengendus aroma persekongkolan.

Hendy mengulurkan tangannya dan berharap

bisa saling jabat. Hatinya dag dig dug. Gadis ini cantik

sekali.  Tapi  gadis  ini  tidak  membalas  uluran  tangan

Hendy. Malah pura-pura berbisik dengan suara yang

setengah dikeraskan.

“Mba Tuti, ini keponakan Mba Tuti yang giginya

kayak kelinci itu, kan?”

Tawa  Mba  Tuti  dan  Ocha  meledak.  Hendy

tersentak.  Benaknya  melayang  pada  kejadian

memalukan bertahun-tahun lalu. Saat dia masih begitu

kecil.

Page 218: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

208

Di  hari-hari  setelahnya,  melalui  Mba  Tuti,

Hendy mendapat informasi yang valid tentang Rosalina.

Lelaki  ini  tak  peduli  dengan  ejekan  masa  kecil.

Kecantikan gadis ini membuatnya mabuk kepayang.

“Kamu serius ingin menikahi Ocha?”

“Tentu, Mba. Tentu saja.”

“Mba Tuti  tidak  ingin kamu main-main. Ocha

adalah gadis dengan wajah yang memikat. Berasal dari

keluarga  terhormat.  Imannya kuat.  Gadis  seperti  dia

diidam-idamkan banyak orang. Kalau kamu memang

ingin  menikahinya,  berniatlah  karena  Allah  semata.

Muliakan  dirinya,  sebab  istri  yang  dimuliakan  akan

membuat derajat suami terangkat.”

Dua Puluh Empat

Kamar Pak Rektor

Page 219: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

209

Mba Tuti menyampaikan niat keluarga Mahmud

Akil untuk meminang Ocha. Tentu saja setelah melewati

banyak diskusi juga pertimbangan. Keluarga Mahmud

Akil  menyerahkan  semuanya  kepada  Hendy.  Jika

memang  benar  itu  pilihan  Hendy,  ayah  dan  ibunya

merestui.  Dengan  syarat,  tanggung  jawab  lelaki  tak

boleh disimpan di tepi.

Ibu Hendy, tak ingin pertunangan. Jika memang

pihak keluarga Ocha setuju, langsung saja ditentukan

tanggal  pernikahan.  Lamaran  dilakukan.  Rosalina

menerima dilamar oleh Muda Mahendra Putra.

Saat  itu,  Muda  masih  berstatus  mahasiswa.

Semester akhir. Beberapa saat lagi wisuda. Sedangkan

istri,  merupakan  tenaga  pengajar  kesehatan  di  Yarsi.

Meski merupakan anak seorang rektor, bukan berarti

Muda bisa dengan mudah melewati proses perkuliahan

hingga akhirnya sarjana.

Mahmud  Akil  membenci  nepotisme.  Semasa

karirnya, lelaki ini sering membantu para mahasiswa,

khususnya  mereka  yang  berasal  dari  wilayah  hulu

sungai  kapuas.  Sejak  lama  Mahmud  bermimpi  bisa

membantu banyak orang demi meratanya pendidikan.

Page 220: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

210

Rumahnya  di  Tanjungsari  169,  ia  relakan  menjadi

markas  berkumpulnya  para  aktivis  mahasiswa.

Beberapa  di  antara  mereka,  bisa  kuliah  gratis  atas

bantuan dari Mahmud Akil pribadi.

Mahmud Akil merupakan teladan putra daerah

yang wajib diberi penghargaan. Bantuan-bantuan yang

diberikannya,  tak  berlaku  bagi  keluarga.  Punya

hubungan  darah  dengan  Mahmud  Akil,  dilarang

merengek-rengek minta bantuan. Mahmud sadar bahwa

dia  merupakan  keturunan  pejuang.  Semangat

perjuangan ini harus tertular di keluarga.

Muda Mahendra dibiarkan berjuang lolos ujian

skripsi  atas  usahanya  sendiri.  Selama  kuliah  pun,

ayahnya  membiarkan  ia  bergaul  dengan  siapa  saja.

Mengikuti organisasi kampus. Bergabung dengan senat.

Bahkan  terpilih  menjadi  wakil  ketua. Di  rumah,  saat

para aktivis gerakan sedang menunggu giliran bertemu

Mahmud Akil, Muda sering menemani mereka. Bertukar

pikiran, mendiskusikan berbagai macam persoalan.

Muda  juga  mempelajari  pola  ayahnya  dalam

membangun  hubungan.  Betapa  tidak,  Mahmud  Akil

merupakan tokoh yang dicintai banyak orang. Karirnya

Page 221: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

211

bagus: pernah menjabat Ketua Partai Politik, menjadi

anggota parlemen, pengacara, bahkan calon gubernur

meski  ia  sadar  bukan  dari  militer.  Terakhir,  menjadi

Rektor di Universitas Tanjungpura. Saat menjadi rektor,

namanya begitu tersohor. Kampus negeri di Kalimantan

Barat  itu  seketika  naik  pamor.  Generasi-generasi

kampus  dengan  kualitas  intelektual  yang  bernas

bermunculan.

Dulu,  di  kalangan  mahasiswa  sempat  tenar

sebuah adagium, “jika belum masuk ke kamar Mahmud

Akil, berarti belum diakui sebagai aktivis mahasiswa.”

Istilah ini awalnya hanya gurau belaka, karena saking

banyaknya  tamu  yang  datang  ke  Tanjungsari  169.

Kadang-kadang, Mahmud Akil menerima para tamu di

kamar  tidurnya. Padahal  rumah  kediamannya  cukup

besar.  Berbagai  ruangan  untuk  tamu  menunggu

disediakan. Tapi  tak  ada yang bisa  mencegah  orang-

orang untuk datang. Tamu-tamu tersebut tak hanya dari

kalangan mahasiswa, tapi berbagai lapisan masyarakat.

Beberapa  kali  Mahmud  Akil  menyuruh  para

mahasiswa masuk ke dalam kamarnya. Sebab ruangan

lain sudah penuh terisi tamu. Tapi para mahasiswa ini

Page 222: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

212

menyimpulkan hal berbeda. Mereka menganggap, bisa

masuk ke kamar pribadi pak rektor adalah hal yang luar

biasa. Hanya orang-orang istimewa yang bisa masuk

ke dalam kamar pribadi.

Bemula dari gosip, rumor, berita hangat, cerita

tentang “kamar pak rektor” ini menyebar. Rosyad, salah

seorang  mahasiswa  dari  Jawa  yang  merantau  ke

Pontianak,  pernah  masuk  ke  kamar  Mahmud  Akil.

Pulangnya  dia  sesumbar.  Teman-temannya  yang  lain

iri.  Dia  merasa  paling  aktivis  di  kampus.  Mahasiswa

lain,  Kandar,  mengalami  hal  serupa.  Demikian  juga

dengan Mursal dan Usman. Empat orang mahasiswa

ini hanya sedikit dari sekian banyak mahasiswa yang

merasa direstui sebagai aktivis gerakan dari pak rektor.

Mahmud Akil pribadi senang dengan semangat anak-

anak  muda.  Mimpinya  ketika  di  Jogja  tentang

pendidikan  rasanya  terbayar.  Ia  cerdas  bukan  untuk

dirinya sendiri. Tetapi  juga  ikut mencerdaskan orang

banyak. Terutama mereka yang dari tanah kelahiran.

Sebab Indonesia, bukan hanya Jawa.

Masuk  ke  kamar  pribadi  Mahmud  Akil

barangkali hanya  jadi guyonan para mahasiswa. Tapi

Page 223: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

213

secara  tak  terduga,  nantinya,  saat  zaman  sudah

semakin canggih, para aktivis mahasiswa ini kemudian

menjadi  individu-individu  membanggakan.  Rosyad

mendapat  posisi  yang  bagus,  Ketua,  di  Komisi

Perlindungan Anak. Kandar dan Mursal menjadi jurnalis

di dua media berbeda. Bahkan Kandar, setelah lepas

dari  aktivitas  rutin  di  media,  kemudian  membuat

perusahaan sendiri dan menulis banyak buku biografi.

Sedangkan Usman menjadi sejarawan.

Dari para tamu ayahnya, Muda banyak belajar.

Sejak  mahasiswa,  ia  memahami  berbagai  macam

persoalan. Ayahnya adalah ilmu berjalan. Di samping

sang ayah, ada Ibu yang setia mendampingi. Sepasang

suami  istri  ini  seimbang, membangun keharmonisan

rumah tangga dengan ilmu pengetahuan.

***

Setelah menikah, Ocha kemudian sangat akrab

dengan  Puspitawati.  Belajar  banyak  hal  tentang

bagaimana taat dengan suami dan berperan besar bagi

pendidikan anaknya nanti.

Page 224: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

214

“Laki-laki itu mengedepankan rasionalitas. Kita

sebagai  perempuan  harus mampu  mengimbanginya

dengan  lembutnya  perasaan,”  demikian  nasihat  ibu

mertua.

Muda dan Ocha menikah dalam usia muda. Ada

cerita tersendiri di balik pernikahan ini. Ini adalah cerita

tentang keikhlasan, kepasrahan diri terhadap Allah, dan

takut kehilangan karena Allah.

Di Yarsi, Ocha adalah perempuan berprestasi.

Hampir  semua  perawat,  tenaga  pengajar,  staf,

mengenalnya  sebagai  perempuan  yang  rajin.  Oleh

Yarsi,  ia  ditawari  beasiswa  untuk  melanjutkan

pendidikan di Jakarta atau Bandung. Di satu sisi, tentu

saja  Ocha  sangat  senang.  Namun  di  sisi  lain,  dia

bimbang. Bimbang karena Muda belum  lulus kuliah,

sementara itu keluarga Mahmud Akil sudah serius untuk

mempersuntingnya.  Mba  Tuti  yang  sering  menjadi

perantara ke orang tua Ocha.

Shalat Istikharah. Minta petunjuk kepada Allah

swt.  Ocha  memohon  agar  bisa  melanjutkan  studi  di

Ibukota negara, tetapi dia juga ingin Muda Mahendra

adalah jodohnya. Tapi jika harus memilih satu di antara

Page 225: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

215

dua,  Ocha  tidak  sanggup.  Menuntut  ilmu  itu  wajib,

menikah itu menjadi pelengkap dari separuh agama.

Memohon kepada Allah solusinya.

Ocha  akhirnya  menyampaikan  perkara  ini  ke

Mba  Tuti,  dengan  harapan  disampaikan  ke  keluarga

Mahmud  Akil,  khususnya  kepada  Muda  Mahendra.

Mendengar  kabar  itu,  keluarga  besar  Mahmud  Akil

berunding. Mereka  ingin melamar  Ocha,  tetapi  juga

tidak  bisa  melarangnya  untuk  mengambil  beasiswa.

Setelah melakukan berbagai pertimbangan, keputusan

diambil.  Keputusan  itu  adalah,  melakukan  prosesi

pernikahan,  namun  tetap  mengizinkan  Ocha

melanjutkan kuliah. Risikonya adalah, pengantin baru

ini  akan  terpisah  sebentar  dan  rencana  punya  anak

tertunda.

Tapi rezeki datangnya dari Allah, manusia tak

punya kehendak memutuskan. Kadang keputusan Allah

membahagiakan, kadang hasilnya bertolak belakang.

Tapi  kita  harus  senantiasa  bersyukur.  Meningkatkan

ketakwaan, sebab Allah berjanji akan memberikan jalan

keluar  bagi  orang-orang  yang  bertakwa  dan

memberikan rezeki dari jalan yang tak disangka-sangka.

Page 226: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

216

Dua Puluh Lima

Berpisah Setelah Menikah

Mba Tuti adalah orang yang paling panik saat

mendengar kabar bahwa Ocha mendapat beasiswa di

Jakarta  dan  harus  berangkat  segera.  Dia  tidak  rela

kalau  pernikahan  dibatalkan  atau  pun  ditunda.

Menurutnya, Ocha adalah pasangan yang pas untuk

Muda. Dia kenal betul tabiat keponakannya, juga kenal

dengan akhlak anak tetangganya. Muda perlu orang

yang  mampu  benar-benar  mendampingi  dan  tugas

tersebut akan mampu diemban Ocha.

Mba Tuti berkunjung ke Tanjungsari 169.

“Hendy, pokoknya kamu harus menikahi Ocha

sebelum dia berangkat ke Jakarta.”

“Memangnya kenapa, Mba Tuti?”

Page 227: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

217

Hendy tersenyum. Berpindah duduk lebih dekat

dengan  buliknya.  Setelah  menyandarkan  punggung,

kaki  kanan  diangkat  dan  ditumpangkan  ke  lutut  kiri.

Santai.

“Aku yang mau menikah,” kata  Hendy sambil

menggoyang-goyangkan  kaki  kanan,  “kok,  Mba  Tuti

yang panik?”

“Soalnya, Ocha itu anak yang baik. Agamanya

juga baik. Keluarganya juga baik. Lengkap sudah. Jadi,

jangan sampai kamu kehilangan dia.”

“Kan,  kalau  menikahnya  setelah  dia  selesai

sekolah juga bisa, Mba.”

Hendy masih santai.

“Bisa,  sih.  Memangnya  kamu  betah

menunggu?”

“Kalau  sama-sama  setia,  kan  tidak  ada

masalah, Mba. Jodoh, kan di tangan Tuhan.”

Hendy tetap santai.

Mba Tuti mulai tidak sabar.

“Oalah, cah  lanang.... cah  lanang. Kukasi  tau,

ya.  Jakarta  itu  kota  besar.  Ini  nama  sekolah  Ocha

nantinya:  Akademi  Keperarawatan  Departemen

Page 228: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

218

Kesehatan RI. Jurusan Kimia. Ocha memberitahu Mba

Tuti kemarin. Kamu tau apa artinya?”

Mba  Tuti  benar-benar  panik. Nada  bicaranya

penuh hasutan. Persis seperti adegan opera sabun dari

Amerika  Latin. Tapi  yang diajak  bicara  malah  santai.

Tidak ada beban. Hendy menggeleng. Santai.

Di  sinilah  hasutan  Mba  Tuti  dilancarkan.

Hasutan bertujuan baik tentu saja.

“Kamu  tau,  lokasi  sekolahnya  Ocha  di  mana?

Bangunannya itu terletak pas di belakang Rumah Sakit

Cipto.  Kalau  praktik, para  mahasiswi akan  praktik di

RSCM yang tersohor itu. Dan asal kamu tahu, bangunan

itu  tembus  ke  Fakultas  Kedokteran  Universitas

Indonesia.”

“Terus?”

Hendy  benar-benar  santai.  Tak  mengendus

marabahaya yang siap menyergapnya sebentar lagi.

“Terus, mahasiswa kedokteran UI itu ganteng-

ganteng.  Terus,  dokter-dokter  muda  di  RSCM  itu

ganteng-ganteng.  Pintar-pintar.  Kaya-kaya.  Sekali

kedipan mata saja, Ocha akan klepek-klepek. Pasti hasil

diagnosanya menyatakan dada Ocha berdegup sangat

Page 229: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

219

sering.  Kalau  imannya  tidak  tahan,  siapa  yang  mau

tanggung jawab? Kalau tiba-tiba saja Ocha kirim surat

dari  Jakarta bahwa dia sudah  dilamar salah  seorang

dokter, kamu mau apa?”

Mba  Tuti  menyerang  gencar.  Tepat.  Telak  ke

sasaran. Hendy bergidik. Tak sempat menangkis. Tak

bisa bersantai. Sekarang gantian Hendy yang panik.

“Tidak bisa ini. Tidak bisa dibiarkan. Ocha tidak

boleh  menikah  dengan  dokter.  Ocha  harus  menikah

denganku.  Tidak  bisa  ini.  Tidak  bisa  dibiarkan.  Ayah

mana Ayah? Ayo kita melamar sekarang. Ibu mana?”

Hendy bangun dari duduknya. Mondar mandir

di ruangan. Melangkah cepat ke teras. Masuk lagi ke

dalam. Kalang kabut. Lebih kalang kabut dibanding saat

pertama kali dia ditantang berkelahi oleh Ableh dan

gerombolan.

“Eh,  bocah  lanang.  Mbok  kamu  itu  tenang.

Semua pasti ada solusinya.”

Mba  Tuti  sudah  cukup  dewasa dalam  urusan

satu  ini. Giliran  dia  yang  bijak. Adegannya  tidak  lagi

seperti opera sabun Amerika Latin, tapi lebih mirip ke

serial drama seri Losmen di TVRI.

Page 230: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

220

“Yang tidak perlu kamu ragukan, adalah aqidah

Ocha  yang  kuat.  Ketika  kamu  ikat  dia  dengan

pernikahan,  insyaAllah mau pergi sejauh apa pun,  ia

tetap akan amanah. Cincin yang nanti melingkar di jari

manisnya,  tak  hanya  sekadar  perhiasan  atau  tanda

bahwa  dia  adalah  perempuan  bersuami.  Tetapi

sekaligus  pengingat  bahwa  dia  telah  berikrar  di

hadapan Allah Yang Maha Esa untuk mendampingimu

selamanya. Ini janjinya, terhadap Allah. Dia tidak akan

main-main dalam urusan pernikahan.”

Dari  serial  drama  Losmen,  Mba  Tuti  beralih

beradegan seperti serial drama Rumah Masa Depan.

“Benar  juga  ya.”  Hendy  manggut-manggut.

Berusaha  tenang.  Setenang  adegan  drama  seri  Aku

Cinta Indonesia (ACI)

***

Hendy tak mau menunggu waktu lama. Keluarga

dari kedua belah pihak bertemu. Sama-sama setuju.

Pernikahan  dilangsungkan  sebelum  keberangkatan

Ocha  ke  Jakarta.  Risiko  ditinggal  istri  sekolah  tak

masalah  bagi  Hendy,  yang  jelas  cincin  pernikahan

Page 231: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

221

sudah  tersemat.  Janji  bersama  sudah  terucap.

Suasananya begitu bahagia. Haru. Bahkan ada pihak

keluarga  yang  menitikkan  air  mata.  Kejadian  itu

berlangsung tahun 1994.

***

Ocha sudah  berangkat ke  Jakarta. Dia  tinggal

di asrama tak  jauh dari Akademi. Perbedaannya  jika

dibandingkan  dengan  Yarsi,  kali  ini  kamar  asrama

pribadi. Dan tidak ada aturan dari pihak akademi bahwa

siswa dilarang menikah. Hampir tiap akhir pekan selalu

dimanfaatkan  Hendy  untuk  mengunjungi  istrinya  di

Jakarta.

Hendy sudah sarjana. Ada peluang bekerja di

Bank  Pembangunan  Daerah  Kalimantan  Barat.  Dia

ambil.  Sambil  mengunjungi  istri  setiap  akhir  pekan,

Hendy belajar berbisnis. Jual beli mobil bekas. Usianya

baru 24 tahun kala  itu. Tekadnya untuk mendiri  luar

biasa.

Tapi Hendy hanya bertahan tujuh bulan di BPD.

Saat  ia  berada  di  Jakarta,  ibunya  menelpon  dari

Pontianak. Percakapan antara anak dan ibu tersebut

Page 232: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

222

membahas  persoalan  kemungkinan  melanjutkan

pendidikan.  Hendy  masih  muda.  Sayang  kalau  tidak

lanjut sekolah. Percakapan itu menjadi pikiran dalam

diri Hendy.

Ya,  dia  menyandang  nama  besar  bapaknya.

Mud’A,  Mahmud  Akil.  Laki-laki  asli  putra  daerah

Kalimantan Barat yang betapa gigih upayanya mengejar

pendidikan. Dari sebuah kecamatan kecil bernama Darit,

sendirian  menuju  Pontianak.  Sendirian  menuju

Jogjakarta.  Pulang  lagi  ke  kampung  halaman  dan

menjadi  salah  satu  tokoh  pendidikan  yang  dimiliki

provinsi ini. Hendy membatin. Hati kecilnya menyetujui

saran ibu. Sekolah.

Page 233: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

223

Setelah mendapat telepon dari Ibu di Pontianak,

Muda berinisiatif mengajak istrinya jalan-jalan ke Jogja

dengan  kereta  api.  Dia    ingin  membicarakan  hal  ini

dengan serius di atas kereta. Di Jogja, ada Mbah Oka.

Mereka bisa berkunjung ke sana. Ocha setuju.

Rel kereta api berderit. Peluit menjerit. Stasiun

pelan-pelan mulai menjauh. Masih  terlihat satu dua

lambaian  tangan  dari  pengantar.  Sampai  akhirnya,

gerbong  Senja  Utama  meninggalkan  Stasiun  Senen

menuju Tugu Jogjakarta.

Ocha  dan  Muda  duduk  bersebelahan.  Ocha

memilih  bagian  dekat  jendela.  Dia  senang  melihat

pohon-pohon berlari ke belakang. Sedangkan pohon-

Dua puluh enam

Titik Balik

Page 234: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

224

pohon di kejauhan, sebaliknya, mengajak berkejaran

ke depan. Apalagi waktu itu kereta berangkat sore. Saat

kereta meninggalkan Jakarta, sebelum gelap, sebelum

matahari  jatuh  di  barat,  hampar  hijau  hutan  hujan

begitu  memesona.  Roda-roda    besi  terus

menggelinding  di  atas  rel.  Kereta  semakin  jauh

meninggalkan  Jakarta.  Gemuruh  mesin  kereta

menambah romantis suasana. Ocha tersenyum sambil

tatapannya terlempar ke luar jendela. Muda tersenyum

melihat istrinya yang bahagia.

Selepas  makan  malam,  Muda  mengutarakan

niatnya.

“Bagaimana kalau aku melanjutkan sekolah?”

Singkat dan tiba-tiba.

Ocha  merasa  perlu  mengambil  air  putih.

Kalimat sang suami barusan membuatnya ingin sekali

membanjiri  kerongkongannya.  Tarik  nafas  perlahan.

Tenang.

“Mimpi apa?”

“Tidak  mimpi,  tapi  memang  ingin.  Biar  bisa

pintar kayak kamu.”

“Ah, bercanda kamu.”

Page 235: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

225

“Serius, aku  ingin  sekolah  lagi.  Masih  banyak

ilmu pengetahuan yang belum kupelajari. Lagi pula, biar

aku tidak perlu  jauh-jauh mengunjungimu tiap akhir

minggu.”

“Memangnya  mau  sekolah  di  mana?”  tanya

Ocha sambil melirik suaminya.

“Kereta api ini akan mengantarkan kita ke kota

tempatku melanjutkan sekolah.”

“Oh, begitu, ya,” kata Ocha mengangguk dan

tersenyum simpul, “ngajak jalan-jalan ke Jogja, rupanya

ada udang...hehe...”

Di dalam kereta, pasangan suami istri yang baru

menikah  ini  bercanda.  Romantis.  Seperti  film  India.

Membuat  beberapa  penumpang  lain  iri.  Membuat

masinis agak segan mengecek karcis mereka.

***

Jogjakarta, 1994.

Muda  minta  izin  pada  istrinya  untuk  agak

berlama-lama  di  Stasiun  Tugu  Jogjakarta.  Dia  ingin

menikmati suasana. Membayangkan para mahasiswa

dari seantero Pulau Jawa yang keluar masuk kota ini.

Page 236: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

226

Tak  hanya  Jawa,  orang-orang  Nusantara  menjadikan

Jogja sebagai tempat favorit menimba ilmu.

Sambil  mengamati  kesibukan  stasiun,

Muda teringat ayahnya. Sewaktu kecil, ayahnya sering

bercerita  tentang  kota  ini.  Mahmud  gegap  gempita

ketika  memaparkan  aksi  demonstrasi.  Mahmud

mendayu-dayu  saat  mengisahkan  makna  tembang-

tembang Jawa. Mahmud tersedu waktu  mengenang

peristiwa lulus kuliah dan meraih gelar sarjana.

Muda  tak  pernah  tahu,  bahwa  saat  ibunya

menelpon  dan  meminta  agar  dia  berhenti  dari  BPD

untuk melanjutkan sekolah, sebenarnya itu permintaan

ayahnya. Muda tak pernah tahu, bahwa sesungguhnya

sang ayah  benar-benar  ingin  memiliki  penerus.  Dan

satu-satunya cara meneruskan estafet perjuangan ini

adalah dengan pendidikan.

Begitulah, Stasiun Tugu Jogjakarta menjadikan

darah  Muda  mendidih.  Di  sinilah  kemudian  dirinya

memahami kenapa begitu banyak tamu yang mencari

ayah  setiap  hari.  Rumahnya,  Tanjungsari  169  selalu

ramai.  Dari  berbagai  kalangan.  Ayah  adalah  orang

berilmu. Ayah dibutuhkan masyarakat. Dan hebatnya,

Page 237: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

227

ayah tak pernah lelah membantu. Tak pandang kasta.

Tak pandang rupa.

Di Stasiun Tugu, Muda menyaksikan perempuan

perempuan pedagang batik, lelaki renta penjual koran,

gadis-gadis  penjaga  cafe,  orang-orang yang  berlibur,

mahasiswa, turis mancanegara. Lengkap. Muda ingin

menjadi bagian denyut nadi Jogjakarta.

Muda  menggandeng  tangan  Ocha.  Mereka

keluar  dari  stasiun.  Mencari  becak.  Menuju

Mangkukusuman, kediaman Mbah Oka. Di atas becak,

Muda membiarkan mata istrinya bekelana menikmati

pemandangan. Menelusuri Malioboro, di perempatan,

berbelok ke arah timur, ke Gondokusuman. Muda masih

belum rela berpisah dengan kenangan. Kali  ini sosok

kakeknya yang masuk ke kepala Muda. Lelaki yang lahir

di  hari  proklamasi  ini  memang  tak  pernah  bertemu

dengan kakeknya. Tapi nama Dewa Nyoman Oka begitu

akrab di telinga. Ibunya bercerita tentang Nyoman Oka.

Neneknya  bercerita  tentang  Nyoman  Oka.  Buliknya

bercerita tentang Nyoman Oka. Bahkan, Bioskop Abadi

di Jalan Tanjungpura Pontianak, juga pernah bercerita

tentang Nyoman Oka.

Page 238: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

228

Titisan  darah  dua  lelaki  pejuang  mengalir

dalam  tubuh  Muda  Mahendra  Putra.  Kakeknya,

berjuang secara fisik. Bahkan sampai harus meregang

nyawa demi tegaknya kemerdekaan. Ayahnya, seorang

intelektual.  Berjuang dengan  pikiran.  Mencerdaskan

masyarakat  di  kampung  halaman.  Tidak,  tidak  dua

lelaki. Tapi tiga. Muda protes terhadap dirinya sendiri.

Dia tak boleh melupakan kakeknya satu lagi. Kimas Akil.

Orang  Darit.  Orang  yang  juga  berperan  memimpin

pemuda untuk mengumumkan kemerdekaan. Bukan

dua lelaki. Tetapi tiga. Di tubuh Muda Mahendra Putra,

menitis  darah  tiga  lelaki  pejuang.  Dan  estafet

perjuangan ini harus diteruskan.

Muda  dan  Ocha  akhirnya  bertemu

dengan sang nenek. Mereka bertukar rindu sejenak.

Kemudian  serius  membicarakan  rencana  ke  depan.

Mbah  Oka  setuju  jika nanti  Muda  benar-benar  mau

melanjutkan kuliah. Muda tak perlu memikirkan tempat

tinggal  sebab  ada  rumah  neneknya.  Dan  juga  jarak

Jakarta – Jogja tidak terlalu jauh untuk ditempuh dan

biaya  tentunya  tidak  terlalu mahal.  Muda  dan  Ocha

masih bisa berjumpa.

Page 239: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

229

***

Dua  per  tiga  malam.  Ocha  sengaja  bangun.

Mengambil air wudhu. Sholat dua rakaat. Setelah itu

berdoa, memohon agar Yang Maha Kuasa memudahkan

jalan suaminya.

Page 240: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Dua puluh tujuh

Berhenti dari BPD positif dilakukan Muda.

Selanjutnya lelaki ini kembali menyandang gelar

mahasiswa. Pendidikan yang ditempuhnya adalah

Sekolah Notariat yang masih merupakan bagian dari

Fakultas Hukum UGM.

Di Jogja, Muda kembali akrab dengan Mbah

Oka. Mbah Oka sendiri, meskipun sudah lanjut usia,

tetapi termasuk orang yang aktif. Dia merasa harus

tetap menjaga hubungan sosial masyarakat. Bahkan,

saat berusia di atas 60 tahun, dia mengikuti kursus

Bahasa Inggris. Muda senang bisa tinggal bersama

Mbah Oka. Dari sepupu, paman, dan pihak keluarga

yang lain, dia sering mendengar cerita tentang ayah

dan ibunya.

Mahasiswa Notariat

Page 241: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Di kampus, bisa dikatakan bahwa Muda tak

ingin menjadi mahasiswa biasa. Pertemanannya

dengan para aktivis mahasiswa Universitas

Tanjungpura, mahasiswa-mahasiswa pilihan ayahnya,

membuat pikirannya semakin terbuka. Berdiskusi

hingga larut, sudah biasa. Terlebih di Jogja, banyak

pemikiran-pemikiran baru bermunculan. Gagasan

semakin berkembang.

“Jangan lupa memberikan solusi,” kata

Mahmud Akil suatu hari. Muda selalu teringat dengan

petuah sang ayah. Berdiskusi tak boleh hanya diskusi

kosong. Harus ada gagasan yang keluar. Dan harus ada

solusi dari gagasan tersebut. Dan yang terpenting

adalah, teori, gagasan, solusi, yang sering muncul

dalam banyak diskusi, harus diwujudkan dalam

kehidupan sehari-hari.

Tak hanya bertemu dengan para aktivis di

kampus, Muda juga sering membawa teman-temannya

ke rumah mbah Oka. Saat kedatangan tamu, Mbah Oka

tentu saja menyambut dengan riang gembira. Apalagi

ketika diminta bercerita tentang masa lalu, orang tua

ini bisa lupa waktu. Tak hanya Mbah Oka yang

Page 242: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

mengalami hal demikian, tetapi banyak orang. Usia

yang semakin bertambah, membuat orang tersebut

merasa semakin sepi. Begitu juga seperti apa yang

dialami Mbah Oka. Suka melamun jika sedang sendiri.

Gegap gempita bercerita ketika sedang bersama orang

lain. Dari rangkaian cerita Mbah Oka, yang paling

sering, bahkan sudah dihapal oleh sebagaian

mahasiswa, adalah cerita tentang almarhum suaminya,

I Dewa Nyoman Oka.

Beberapa calon notariat dari Bali, begitu senang

dengan cerita ini. Ego kedaerahan muncul. Mereka ikut

bangga salah satu pahlawan yang gugur dalam

Pertempuran Kota Baru, berasal dari Bali. Di kampus,

Muda sering diperlakukan ‘istimewa’ oleh teman-

temannya ini.

“Cucu pejuang mau lewat. Awas. Yang lain

minggir,” kata salah seorang ketika Muda melewati

lorong kampus. Para mahasiswa yang kebetulan berada

di lorong, mengikuti aba-aba. Tentu saja polah tingkah

ini adalah gurauan.

Tapi Muda tidak hanya terkenal sebab sering

bercanda dengan teman-temannya persoalan “cucu

Page 243: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

pejuang”. Sebagai seorang pribadi, ternyata prestasi

akademik Muda bisa dibilang membanggakan. Dia

punya semangat untuk belajar ilmu-ilmu notariat. Tak

hanya di bidang akademik, masalah pengorganisiran,

lelaki ini juga tak bisa diremehkan.

Waktu itu republik ini, lagi-lagi dilanda krisis.

Kali ini tak hanya dalam negeri, negara-negara di Asia

mengalami krisis finansial. Bermula dari Thailand. Nilai

mata uang berpengaruh. Bursa saham, harga aset

lainnya kacau-balau. Asia panik. Demonstrasi di mana-

mana. Ekonomi internasional bergejolak. Di dalam

negeri, mulai ada gerakan untuk mencoba

menumbangkan rezim yang sudah puluhan tahun

berkuasa.

Mahasiswa bergerak. Pusatnya di pulau Jawa.

Ibu kota negara diserbu ribuan manusia. Tentara kerja

ekstra. Pedagang kaki lima, pegusaha, rakyat jelata,

berlomba-lomba mendukung gerakan besar ini. Tapi

sebagian mahasiswa notariat di Jogja memilih sikap

apatis. Tidak dipungkiri, barangkali karena usia. Tak

semua dari mereka berusia produktif, sebagian sudah

berumur dan memerlukan sertifikat untuk membuka

Page 244: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

usaha sebagai notaris. Sebagian orang ini memilih

untuk berdiam diri saja di kos atau pun kampus.

Ini membuat Muda gerah. Terlebih waktu itu

Sultan juga akan turun dan memberikan maklumat.

Warga Jogja diminta untuk berkumpul di alun-alun. Di

sinilah semangat juang Muda berkobar. Berawal dari

ajakan biasa, mempengaruhi beberapa kelompok,

sampai naik ke atas meja di dalam kelas, seperti

berorasi, menyeru kepada kawan-kawannya untuk ikut

turun ke jalan mendengarkan maklumat Sultan.

Provokasi Muda berhasil. Hanya sedikit saja

yang absen. Tapi sebagian besar sepakat untuk ikut

turun ke jalan. Menuntut perubahan.

“Tuh, lihat! Cucu orang kita,” kata seorang

mahasiswa Bali berbisik ke temannya yang juga berasal

dari Bali.

***

Sebagai mahasiswa yang sudah menikah,

Muda memanfaatkan murahnya tarif kereta api untuk

mengunjungi istri tercinta. Akhir minggu selalu dia

Page 245: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

sempatkan ke Jakarta. Bahkan sampai-sampai petugas

pengecek tiket kenal dengan dirinya. Tak hanya itu,

sebagai orang yang dilahirkan pada hari kemerdekaan,

Muda diberi kartu dari perusahaan kereta api yang

menandakan bahwa dalam priode waktu tertentu, dia

bebas naik kereta api tanpa harus membayar.

Tentu saja pertemuan suami istri tersebut tak

hanya terjadi di Jakarta. Sesekali Muda juga membawa

istrinya ke Jogja. Sekaligus refreshing. Penat dengan

kesibukan ibu kota. Dua tempat ini memang berbeda.

Jakarta merupakan pusat negara. Segala macam

kesibukan ada. Padat. Orang-orang sudah akrab untuk

melakukan segala hal dengan tergesa-gesa. Jogja lebih

santai. Tradisi dilestarikan dengan cara diterapkan

dalam kehidupan sehari-hari. Memang, ritme kehidupan

agak lambat dibanding Jakarta, tapi banyak orang betah

tinggal di Jogja. Belum lagi soal suasana yang tenang,

udara yang ramah, Muda betah.

Dalam beberapa kesempatan berkunjung ke

Jogja, Muda menyempatkan mengajak istrinya

mengunjungi Makam Pahlawan. Dia ingin memper-

kenalkan kakeknya ke Ocha. Juga jalan-jalan ke wilayah

Page 246: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

kota baru, sholat di Masjid Syuhada. Jika Mbah Oka

sedang tidak ada aktivitas, biasanya sepuh ini ikut

serta.

***

Sambil menempuh sekolah Notariat, Muda juga

menyambung Pasca Sarjana Fakultas Hukum. Kuliah di

dua jurusan. Muda sibuk dengan aktivitas akademik.

Saat ditanya sang istri, jawabannya tidak lagi “biar

pintar seperti kamu,” tapi, “biar pintar, lalu bisa

memberikan warna tersendiri bagi republik ini, sebab

perjuangan tidak akan pernah berhenti.”

Page 247: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Ocha menamatkan akademinya. Pulang ke

Pontianak. Semula, kepulangan ini direncanakan

sebentar saja, hanya untuk menghadiri pernikahan adik.

Muda juga ikut pulang. Sekolah Notariat sudah selesai,

tinggal pasca sarjana yang masih tersisa dua semester.

Sepasang suami istri akhirnya bisa tinggal satu rumah

di Pontianak. Sesekali mereka rindu dengan suasana

stasiun kereta api di akhir pekan. Tetapi, bisa tinggal

serumah tentu saja merupakan mimpi dua orang yang

saling mencinta ini.

Karena pada waktu itu Ocha sudah berada di

Pontianak, dia kemudian bekerja di YARSI. Sebenarnya

Ocha masih memiliki beasiswa untuk melanjutkan

Dua puluh delapanBuah Jatuh Tak Jauh dari Pohon

Page 248: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

pendidikan hingga jenjang strata satu. Dengan

konsekuensi kelak, ketika lulus, dia menjadi tenaga

pendidik di YARSI. Ocha senang mengajar. Namun izin

tidak diberikan oleh suami. Ocha taat. Bukan karena

takut suami, tetapi takut kepada Allah. Muslimah

solihah adalah mereka yang taat kepada sang imam

dalam rumah tangga, sebagai perwujudan taqwa

kepada Allah.

Muda sangat mencintai istrinya. Sama sekali

tak ada niat Muda untuk mengekang sang istri yang

ingin belajar. Muslimah diperbolehkan untuk menuntut

ilmu sebanyak mungkin. Muslimah juga diwajibkan

untuk merawat keluarga, mendidik, dan membina anak-

anak yang lahir dari rahimnya. Demi kewajiban ini, Ocha

memutuskan untuk tidak melanjutkan beasiswa.

Konsekuensinya dia harus mengganti biaya beasiswa

yang sudah diberikan. Tak masalah.

Benar. Doa sepasang suami istri ini dikabulkan.

Seminggu setelah berhenti bekerja di YARSI, Ocha

mengandung. Kabar gembira ini disambut Muda dengan

suka cita. Betapa tidak. Dia ingat persis ejekan teman-

temannya saat masih kuliah. Mereka bilang dirinya

Page 249: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

bukan lelaki jantan, sebab sudah bertahun-tahun

menikah tapi belum juga punya keturunan.

“Buat apa menjadi cucu pejuang kalau tidak

manjur?” olok seorang teman di sela jam perkuliahan.

“Kalian lihat saja nanti kalau sudah selesai

kuliah,” jawab Muda tak mau kalah.

“Bagaimana kami bisa melihat? Ada-ada saja

kamu. Itu, kan persoalan pribadi suami istri, masak kami

disuruh melihat?” sambut seorang teman lain yang

disusul gelak tawa seisi kelas.

Muda merengut. Gurauan “tidak manjur”

melekat di hatinya.

“Nanti, kalau aku punya anak, aku langsung

punya anak dua,” kata Muda membela diri, tapi teman-

temannya justru kembali tergelak.

Nah, ketika tahu bahwa istri Muda mengandung,

seperti kejadian semasa kuliah, kembali mereka

bercanda ria. Lewat telepon tentunya, sebab kini mereka

dipisahkan oleh jarak. Komunikasi ini membuat Muda

selalu merasa dekat dengan teman-temannya.

Sembilan bulan kemudian Ocha melahirkan. Apa yang

terjadi? Anaknya kembar!

Page 250: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Teman-teman kuliah Muda heboh. Perkataan

Muda di masa lalu mujarab.

“Itulah hebatnya kalau kita yakin,” kata Muda.

Tapi tentu saja Muda tak boleh sombong. Dia sangat

menyadari bahwa rejeki keturunan itu adalah titipan

Allah. Tentu saja dia tak boleh menyia-nyiakan titipan

tersebut. Lahirnya si kembar, semakin membuat Muda

memahami tentang nilai-nilai kasih sayang. Semuanya

datang dari Yang Mahamulia. Arrahman. Arrahiim.

Kelahiran si kembar dijalani Muda dengan rasa

syukur. Setelah diberi rejeki keturunan, Muda mendapat

rejeki yang lain, yakni keluarnya Surat Keputusan

Notaris. Muda Mahendrawan resmi menjadi notaris.

Saat memperoleh SK Notaris ini, Muda memutuskan

berhenti dari Fakultas Hukum UGM.

***

Inilah perjuangan sesungguhnya. Ilmu

pengetahuan yang didapat, teman banyak yang dimiliki,

nasehat ayah ketika kanak-kanak, buku yang dibaca,

kenakalan-kenakalan masa lalu, cerita heroik tentang

Page 251: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

generasi terdahulu, akhirnya menghantarkan Muda ke

sebuah kursi dan meja kerja. Notaris. Pejabat Pembuat

Akte Tanah.

Berkantor di daerah Sungai Raya dalam,

hubungan Muda dengan orang-orang semakin luas.

Namun demikian, Muda tak ingin menghabiskan waktu

dengan hanya bekerja sesuai profesi. Dia tetap ingin

merawat hubungan dengan para mahasiswa.

Kenapa mahasiswa? Tak lain dan tak bukan

karena ayahnya. Sejak Muda kecil, para mahasiswa

sering kali bertamu ke rumahnya. Tak sekadar bertamu.

Ada banyak hal yang dibicarakan. Muda mengagumi

energi yang dimiliki oleh ayahnya. Mahmud Akil tak

pernah lelah meladeni para mahasiswa. Kalau pukul

tiga pagi ada mahasiswa yang datang, pukul tiga pagi

pula Mahmud Akil meladeni.

Apa yang terjadi di rumah, terpatri dalam

memori Muda. Bisa dikatakan mulai dari kecil hingga

hari ini, Muda Mahendrawan tak pernah lepas dari

Mahasiswa. SD, SMP, SMA, Kuliah, Muda selalu

bersama-sama mahasiswa.

“Ayah tidak capek?” tanya Muda saat baru saja lulus SD.

Page 252: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

“Kalau untuk perubahan ke arah yang lebih baik,

tak ada kata capek,” jawab Mahmud Akil.

Tentu saja, ketika itu, Muda tidak terlalu

mengerti apa yang dimaksud ayahnya dengan

kata”perubahan”. Tapi yang jelas, kelak, saat semakin

beranjak dewasa, dia kemudian memahami bahwa

perubahan merupakan sunnatullah.

Totalitas menjalankan profesi. Itu yang Muda

Mahendrawan pelajari dari ayahnya. Ayah selalu

mampu memotivasi banyak orang untuk tetap

melanjutkan dan menyelesaikan kuliah.

“Harus sarjana!” kata Muda Mahendrawan

kepada seorang mahasiswa yang datang menemuinya.

Kata-kata “harus sarjana” sering dia dengar dari

ayahnya. Kini, saat dia berhadapan dengan mahasiswa,

kata-kata itu ditirunya.

Syahri adalah salah seorang mahasiswa yang

sering mendatangi Muda. Semula, Syahri ingin berjumpa

Mahmud Akil. Sejak kecil, dia sering mendengar nama

itu. Tapi keinginannya tak terwujud. Sebab ketika Syahri

lulus SMA, Mahmud Akil sudah tak lagi menjabat

sebagai rektor Universitas Tanjungpura.

Page 253: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Awal mula kedekatan Syahri dan Muda boleh

dibilang tak disengaja. Syahri masih mahasiswa tingkat

bawah ketika organisasinya mengadakan kegiatan di

kampus. Sebagai mahasiswa junior, seperti biasa, para

senior memberinya tugas untuk keliling membawa

proposal, meminta bantuan berbagai pihak guna

menyukseskan kegiatan.

Sudah tiga hari proposal titipan berada di dalam

tas bututnya. Dia masih bingung mencari calon donatur.

“Andai pak Mahmud masih rektor, pasti aku

sudah ke sana,” kata Syahri dalam hati. Menyudahi

kebingungan, Syahri mengikuti hati kecilnya. Hati kecil

yang ternyata memerintahkannya untuk pergi ke

tanjungsari 169, mencari Mahmud Akil, menyodorkan

proposal dan berharap dapat sumbangan.

Inilah pertama kalinya Muda bertemu dengan

seorang teman berdiskusi yang masih muda. Syahri

gagal bertemu dengan Mahmud Akil, tapi dia cukup

lama berbincang dengan Muda. Dimulai dari cerita

kegiatan di kampus, mereka berdua kemudian terlibat

pembicaraan seru tentang perubahan. Syahri

mensyukuri pertemuan pertamanya waktu itu dengan

Page 254: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Muda. Bersyukur bukan karena proposal kegiatannya

membuahkan hasil, tetapi lebih dari itu, dia kemudian

bisa akrab dengan Muda Mahendrawan. Sebagai

mahasiswa Fakultas Hukum, tentu saja dia merasa

senang jika bisa berteman dengan senior yang sudah

pasti sudah banyak makan asam garam di dunia

kampus. Terlebih orang ini adalah putra dari putra

daerah yang telah berjasa besar melahirkan intelektual

di Kalimantan Barat lewat Universitas Tanjungpura.

Begitulah, Syahri belajar banyak dengan Muda.

Mereka semakin akrab. Akhirnya Syahri berhasil

menamatkan studinya. Kelak, Syahri tidak akan pernah

bisa melupakan jasa besar Muda dalam menghantar-

kannya menjadi seorang pengacara muda.

Page 255: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Dua puluh sembilan

Fana

Muda menyeka air matanya. Ia tak ingin terlihat

sedih meski duka begitu mendalam. Orang-orang masih

ramai melayat. Sangat ramai. Muda gagal tegar.

Rasanya ia ingin pingsan. Sehingga tidak bertemu

orang-orang yang setiap mengucap bela sungkawa,

membuat dadanya sesak. Ia masih tak percaya.

Kehilangan ini begitu pedih. Sangat pedih.

11 Mei 2005. Mahmud Akil meninggal dunia.

Di rumah duka, ribuan orang melayat. Ini tak hanya

kabar duka untuk keluarga. Tapi juga untuk Kalimantan

Barat. ‘Pak Rektor’ sudah pergi, berpindah dunia.

Generasi lahir dari pendidikan. Unsur terpenting

di peradaban, bernama manusia, lahir dari konsep

Page 256: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

pendidikan. Selama menjadi dosen, dekan, hingga

akhirnya rektor di Universitas Tanjungpura, Mahmud

Akil telah membuat sejarah baru. Keakrabannya dengan

para mahasiswa, membuat banyak para pejabat, para

senior, terkejut. Tidak mudah bergaul dengan anak

muda yang punya banyak kemauan, yang terkadang

berpikir pendek, lebih mengedepankan emosi, masih

labil. Mahasiswa akrab dengan masalah. Mahmud Akil

akrab dengan mahasiswa. Berarti Mahmud Akil akrab

dengan masalah.

Tapi kenyataannya, dari proses keakraban inilah,

generasi membanggakan lahir. Orang-orang di

pedalaman Kalimantan Barat mulai sadar tentang

betapa pentingnya pendidikan. Berbondong-bondong

mereka mencari SMA, setelah itu pergi ke Kota

Pontianak, mendaftarkan diri di Universitas Tanjung-

pura. Kalau nanti sebagian mahasiswa ini kehabisan

biaya kuliah, Mahmud Akil tak pernah segan mengeluar-

kan uang dari sakunya sendiri, membiayai beberapa

mahasiswa ini hingga lulus. Ketika kemudian kabar

Mahmud Akil meninggal dunia, generasi-generasi

gemilang di Kalimantan Barat serta merta dirundung duka.

Page 257: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Dapat dibayangkan jika masyarakat berduka,

bagaimana dengan orang-orang yang tidak hanya

memiliki hubungan emosional, tetapi juga hubungan

darah? Aliran darah Mahmud Akil yang terhenti,

membuat para keluarga kelimpungan. Muda Mahen-

drawan, memilih menghindar sebentar dari kerumunan

para pelayan. Ia tidak kuat.

Terlalu banyak kenangan dengan ayahnya.

“Mandirilah. Sebab dengan mandiri, kita bisa

membantu orang lain. Jika kita mandiri, membantu

orang lain tidak setengah-setengah. Totalitas adalah

keharusan,” demikian almarhum pernah berujar. Muda

hapal di luar kepala. Motivasi luar biasa dari sang ayah

untuk generasi penerusnya.

Pelayat terus berdatangan. Muda semakin

merasa kehilangan.

Kesedihan Muda yang begitu dalam tentu saja

beralasan. Bahkan bisa dikatakan ini merupakan puncak

kesedihan. Dua tahun lalu, ia kehilangan dua orang lain

yang sangat dicintainya.

Sugiharti, akrab dengan sapaan Mbah Oka,

orang yang paling sering bercerita tentang perjuangan

Page 258: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

I Dewa Nyoman Oka, meninggal dunia. Mbah Oka

merupakan buku berjalan. Orang ini hidup menembus

batas generasi. Bisa bercerita tentang Belanda, fasih

bercerita soal Jepang, luwes bercerita kemerdekaan

serta hari-hari setelahnya.

Mbah Oka adalah kitab hidup di keluarga besar

Tanjungsari 169. Keputusannya untuk pulang ke

kampung halaman sebelum kematian dianggap tepat

oleh keluarga. Wajar, jika kemudian Mbah Oka ingin

dekat dengan mendiang suaminya. Meski demikian,

meski keluarga rela, tapi tetap kepergian tidak bisa

menyembunyikan kesedihan.

Muda Mahendrawan merupakan orang yang

betul-betul akrab dengan Mbah Oka saat ia melanjutkan

pendidikan di Jogjakarta. Mbah Oka pula yang

mengantar Muda untuk ziarah ke makam kakeknya di

Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Hingga

kemudian tempat tersebut seperti menjadi agenda

utama untuk dikunjungi setiap Muda ke Jogja. Tak

banyak yang membicarakan I Dewa Nyoman Oka, selain

salah satu pejuang yang ikut tewas bersama 20 pejuang

lainnya saat bertempur dengan Jepang di Kota Baru,

Page 259: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Jogjakarta. Itu saja. Tapi cerita hidup tentangnya, hanya

keluarga dekat yang tahu. Muda sangat ingin ada orang

yang menuliskan kisah sang kakek. Satu-satunya Polisi

Negara yang dimakamkan di antara makam para

tentara (BKR). Barangkali polisi pertama setelah

kemerdekaan yang kemudian meregang nyawa karena

ikut bertempur. Muda begitu sedih saat kehilangan ibu

dari ibunya ini.

Tak lama setelah Mbah Oka, kesedihan Muda

semakin menjadi-jadi. Ibu kandungnya. Anak kandung

dari Mbah Oka. Sri Puspitawati. Setelah divonis oleh

dokter beberapa waktu sebelumnya, kanker payudara,

akhirnya menemui ajalnya dua bulan setelah Mbah

Oka. Padahal waktu itu dokter sudah memperbolehkan

Wati untuk pulang.

Di Bandara Soekarno Hatta, tahun 2003, Wati

menaiki tangga pesawat, hendak menuju Pontianak.

Tapi malang, dia terjatuh, sebab penyakit yang

dideritanya kambuh. Sempat dirawat sebentar. Tapi ajal,

siapa yang bisa menahan. Kehendak Allah. Yang

ditinggalkan harus ikhlas.

Muda mencoba ikhlas, tapi tetap, jiwanya

Page 260: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

goncang. Tak mudah bagi siapa saja jika ditinggal

seorang ibu. Terlebih ibu tersebut adalah seorang Wati.

Seorang wanita anggun, ramah, menjaga etika, halus,

cerdas, bertanggungjawab terhadap keluarga.

Muda menyesali hidupnya saat ia masih remaja.

Tidak mendengar perintah ibu, kadang-kadang juga

membuat ibu jengkel. Jika mengingat semua itu, Muda

kerap diserang sedih. Ini adalah wanita yang

melahirkan Muda. Wanita yang kemudian mejadi

jembatan baginya untuk mengenal sosok sang ayah

lebih dekat.

Jika saja saat itu ayah yang sibuk didampingi

oleh seorang ibu yang memaksakan diri sibuk bersama

istri-istri orang sibuk lainya, barangkali kondisi rumah

dan akhlak orang-orang di dalamnya tidak demikian

adanya. Tapi itu tidak dilakukan Wati. Ia sadar, ada hal

yang begitu penting, yang sudah menjadi tanggung

jawab seorang ibu dalam mendidik makhluk yang dititipi

oleh Allah SWT.

Semaksimal mungkin Wati mencari waktu untuk

mengetahui situasi dan kondisi anak-anaknya. Mba Tuti

sebenarnya bisa melakukan itu. Mba Tuti sebenarnya

Page 261: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

bisa diperintah oleh tuan rumah mulai dari cara

memandikan anak tata sampai peraturan tentang terbit

ruang sekolah. Tapi Tuti tidak mendapat perlakuan

seperti itu. Perlakuan Wati terhadap Tuti begitu lembut.

Tuti adalah adik sepupunya, bukan pembantunya. Di

sisi lain, Wati juga berkewajiban ‘turun tangan’ dalam

mendidik anak-anaknya.

Setelah sepeninggal Mbah Oka, ibunya juga ikut

meninggal. Sampai di sini Muda semakin menyadari

artinya kefanaan. Sebenarnya kesedihan ditinggal oleh

orang yang dicinta bukan hal pertama yang dialami

Muda.

Lima belas tahun sebelum kematian ibu dan

neneknya, Muda sudah terlebih dahulu kehilangan adik

bungsunya. Usia yang masih sangat belia. Muda

Mahestrawan waktu itu terkena musibah tersengat

aliran listrik di rumahnya.

Nyawanya meregang, kemu-dian ruhnya

melayang, menghadap, menemui sang Khalik.

Kehilangan adik bungsu, teman bermain, partner in

crime, pada saat itu Muda yang masih begitu labil tidak

bisa menerima begitu saja. Duka yang begitu dalam.

Page 262: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Muda protes sama Tuhan.

Kenapa Tuhan harus mengambil orang-orang

yang dicinta begitu cepat? Tapi ‘protes’ ini terjawab

beberapa saat setelahnya. Tuhan punya hak

menghidupkan. Tuhan punya hak mematikan. Kapan

saja kejadiannya itu hak Tuhan.

Terserah apakah yang dihidupkan dan dimatikan

tersebut adalah orang yang dicinta, itu hak Tuhan.

Ketetapan Tuhan harus diimani oleh manusia. Ikhlas

beribadah adalah salah satu caranya. Sebab memang

itulah tujuan manusia dan jin diciptakan. Beribadah

kepada-Nya.

Pelajaran hidup demi pelajaran hidup

menghampiri Muda. Kehilangan adik di usia remaja

membuat Muda tumbuh dewasa sekaligus bijaksana.

Ia menyadari bahwa waktu itu Allah yang menciptakan.

Bahkan Allah bersumpah demi waktu. Manusia ini

dzalim. Bodoh. Rugi.

Mereka yang beriman adalah yang beruntung.

Mereka yang saling menasihati dalam kebenaran.

Mereka yang menasehati supaya menetapi kesabaran

adalah yang beruntung.

Muda belajar sabar. Muda yakin dalam

menapak hidupnya di hari-hari ke depan. Hingga

Page 263: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

kemudian ia kehilangan mbah Oka. Hingga kemudian

ibu yang telah mengandungnya juga meninggal dunia.

Dan puncaknya adalah kepergian sang ayah. Muda

Mahendrawan dirundung duka. Dalam. Sangat dalam.

Page 264: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Desa harus jadi kekuatan ekonomiAgar warganya tak hijrah ke kota.Sepinya desa adalah modal utama

Untuk bekerja dan mengembangkan diri

Walau lahan sudah menjadi milik kotaBukan berarti desa lemah tak berdaya

Desa adalah kekuatan sejatiNegara harus berpihak pada para petani

(Iwan Fals)

Kepergian Mahmud Akil memang membuat

orang-orang yang ditinggalkan merasa berduka.

Terlebih para keturunannya. Lebih khusus lagi Muda

Mahendrawan. Betapa tidak, ayahnya meninggal saat

apa yang menjadi cita-cita rakyat belum terwujud.

Padahal dalam hati kecil, Muda sangat berharap, jika

kelak gagasan ini terwujud, ia akan mengajak ayahnya

Tiga puluhTotalitas bersama Orang-Orang Muda

Page 265: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

merayakan pesta kecil di sawah bersama orang-orang

desa. Cita-cita rakyat itu bernama pemekaran. Gagasan

itu bernama pemekaran. Cita-cita dan gagasan ini, oleh

Muda Mahendrawan bersama sebagian masyarakat

desa Kabupaten Pontianak, diperjuangakan. Usia Muda

masih begitu muda pada waktu itu.

Begini kronologis peristiwanya.

Semenjak menjadi Notaris, Muda sering

berhubungan dengan orang-orang desa. Urusan tanah

misalnya. Komunikasi Muda dengan para Kepala Desa,

sering sekali terjadi. Sesekali Muda bersama Kepala

Desa berangkat ke Mempawah untuk menyelesaikan

urusan administrasi. Jika dari Pontianak, perjalanan ke

Mempawah bisa memakan waktu 1,5 jam atau bahkan

lebih. Awalnya tak pernah menjadi permasalahan,

karena memang begitulah peraturannya. Mempawah

merupakan ibu kota kabupaten. Segala macam urusan

ada di sana.

Tapi wilayah Kabupaten Pontianak begitu luas.

Tak hanya urusan administrasi saja yang pada akhirnya

membuat repot. Tapi banyak hal. Ya, terlalu luas. Pasca

reformasi, isu otonomi dan pemekaran wilayah,

Page 266: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

memang sempat menjadi pembahasan di beberapa

media nasional. Jumlah provinsi yang awalnya 27

mekar menjadi 35. Kabupaten baru banyak

bermunculan di daerah Jawa-Sumatra. Sama halnya

dengan daerah timur Indonesia. Landasannya adalah

Undang-undang nomor 32 tahun 2004

Tapi peristiwa pemekaran ini bukan pertama

kali terjadi. Pertama kali Republik ini berdiri, pada waktu

itu wilayahnya hanya terdiri dari delapan provinsi;

Sumatra, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada masa

pergerakan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia

mengalami perubahan wilayah akibat kembalinya

Belanda untuk menguasai Indonesia, dan sejumlah

“negara-negara boneka” dibentuk Belanda dalam

wilayah negara Indonesia. Hasil Konferensi Meja

Bundar di Den Haag tahun 1949, Belanda mengakui

Indonesia dalam bentuk serikat yang terdiri dari 15

negara bagian plus 1 Republik Indonesia. Beberapa

bulan kemudian, sejumlah negara-negara bagian

menggabungkan diri ke negara bagian Republik

Indonesia. Jumlah provinsi di Indonesia bertambah.

Page 267: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Pasca peristiwa KMB, pemekaran terus

berlangsung. Di era demokrasi terpimpin, orde lama,

orde baru, bahkan hingga reformasi. Wacana

pemekaran memang bukan wacana baru. Beberapa

analisis kenapa pemekaran perlu dilakukan muncul di

media. Orang-orang berdiskusi. Berdebat. Bahkan

sampai ada yang berkelahi. Politik praktis berlaku.

“Politik itu akibat, bukan tujuan.” Muda teringat

kata-kata almarhum ayahnya. Orang-orang yang

menjadi politik sebagai tujuan akhirnya berperilaku

pragmatis. Proses. Proses. Proses. Sering Muda

dinasehati untuk menghargai proses. Pada tahap inilah,

gagasan menjadi perlu.

Sebagai notaris, hubungan Muda dengan para

Kepala Desa, membuat dia kemudian menjadi sangat

dipercaya untuk menjadi yang terdepan dalam gagasan

pemekaran ini. Awalnya Muda tak percaya dengan

dukungan yang begitu besar ini. Usia Muda masih

begitu muda. Di republik yang sudah terjebak dengan

pemikiran asing ini, anak-anak muda sering tidak

dianggap. Psikologi pendidikan mengarahkan anak-

anak muda sebagai sebuah kelompok labil yang

Page 268: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

pemikiran-pemikirannya masih dianggap belum

matang.

Semakin hari, Muda semakin banyak dukungan.

Tak hanya dari kalangan Kepala Desa, tetapi juga dari

para aktivis sosial. Orang-orang yang ketika mahasiswa

berteman akrab dengan rektor mereka, kini menjadi

teman akrab si anak rektor.

Siang malam menggodok konsep. Mengumpul-

kan data. Menganalisis teori. Berdiskusi dengan pelaku

media. Terus menerus seperti itu. Tak kenal lelah.

Didapat kesimpulan. Desa! Desa adalah sember

kekuatan. Dan selama ini desa dilupakan.

Ical, dahulunya akrab dengan Mahmud, diajak

berdiskusi. Temanya desa. Ical teringat dengan Kandar

yang pada waktu itu menjadi pemimpin redaksi sebuah

media cetak. Tawaran konsep untuk para intelektual.

Tentang desa. Harus dituliskan. Sayembara

dikumandangakan. Gagasan pemekaran ini terus

mendapat respon dari banyak pihak.

Orang-orang mendorong agar Muda bergabung

ke dalam partai politik. Muda ragu. Tapi dorongan

masyarakat begitu kuat. Bagi Muda partai politik, jika

Page 269: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

dilakukan dengan instan, juga bukan jawaban. Muda

bertanya dengan banyak pihak. Meminta pendapat.

Keputusannya Muda masuk ke dalam partai politik.

Totalitas! Hal ini membuat orang-orang yakin

dan percaya bahwa orang muda bernama Muda ini tidak

main-main dalam berjuang. Perjuangan yang

dilakukannya sama sekali tidak instan. Gagasan-

gagasannya cemerlang. Oleh Muda, pemekaran tak

hanya sampai pada tingkat wacana, tetapi harus

diperjuangkan hingga terwujud. Lalu sendiriankah Muda

dalam memperjuangkan terwujudnya pemekaran

kabupaten ini? Tidak! Siapa orang-orang di sekitarnya?

Orang-orang muda!

Page 270: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

2007

Bangun subuh, Ocha terkejut. Orang-orang tidur

di lantai dua. Ocha mengenali wajah beberapa di

antara mereka. Para kepala desa. Ada Kepala Desa

Terentang, Kubu, Batu Ampar dan lainnya. Setelah

sholat subuh, Muda baru tidur. Sepanjang malam Muda

dan banyak orang lainnya berkumpul di rumah.

Ocha kasihan dengan kondisi suaminya.

Matanya terlihat lelah. Kondisi fisiknya apalagi. Tapi

ia heran, semangatnya tidak pernah lelah. Suatu hari

mereka pernah berdialog.

“Apa yang ayah cari?” tanya Ocha kepada

suami.

Tiga puluh satuDoa Istri Sholihah

Page 271: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

“Keridhaan Allah,” jawab Muda. Hati Ocha

bergetar. Ada kesungguhan dalam diri suaminya

tentang pemekaran. Ini bukan hanya soal kekuasaan.

Ini bukan hanya soal popularitas. Ini soal keihklasan.

Membantu orang jangan setengah-setengah. Akan

banyak hal menjadi mudah jika kabupaten ini

dimekarkan. Pemilihan nama sudah didapat. Kubu

Raya. Tapi pengesahan harus dilakukan.

Tapi Ocha masih penasaran.

“Bagaimana kalau kemudian gagasan ini tidak

terwujud? Sementara sudah banyak waktu, energi,

biaya, yang keluar. Banyak orang-orang yang stres

ketika tujuan mereka tidak berhasil, Ayah. Apalagi

politik di negara ini tidak sehat.”

“Ibu, kalau yang kita cari itu keridhaan Allah,

apa pun yang terjadi itu kehendak Allah. Dan manusia

yang lemah dan bodoh seperti kita ini, harus terus

bertakwa di jalan-Nya. Apa pun hasilnya bukan

keputusan Bupati, Gubernur, menteri, atau kepala

negara. Tapi Allah, Bu. Allah. Tentu saja barangkali

Ayah bersedih jika apa yang kita yakini benar ini tidak

terwujud. Tapi itu kesedihan yang wajar. Kesedihan yang

Page 272: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

tidak boleh berlebih-lebihan. Ibu berdoa saja, ya.

Semoga kita semua diberi kemudahan.”

Tanpa disuruh pun, Ocha setiap harinya berdo’a

untuk kemudahan suaminya. Ia mendukung penuh dan

semakin mantap ketika mengetahui yang dicari adalah

keridhaan. Banyak orang-orang yang membutuhkan

bantuan. Dan sebagai sesama muslim, membantu itu

adalah kewajiban. Posisi Muda sebagai notaris, adalah

jembatan untuk bertemu dengan akar masalah. Kepala-

kepala desa tersebut merupakan pemimpin di

wilayahnya masing-masing. Bertanggungjawab atas

ribuan masyarakat. Sementara pusat ibu kota begitu

jauhnya di Mempawah sana.

Muda optimis. Perjuangan ini tidak akan boleh

dihentikan.

Waktu merambat. Angka-angka kalender

bertanggalan. Jalan terang semakin terlihat. Pemekaran

Kabupaten Kubu Raya tak hanya isu. Muda berhasil

mengupayakannya, hingga kemudian sebagian besar

masyarakat mencapai kata sepakat. Persoalan

administrasi hampir beres. T inggal menunggu

keputusan dari Jakarta. Satu langkah lagi. Cita-cita

Page 273: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

besar masyarakat akan tercapai.

Tiket pesawat sudah dibeli. Tak hanya Muda

seorang. Tetapi puluhan Kepala Desa dari berbagai

kecamatan juga diagendakan untuk berangkat ke

Jakarta. Mendengarkan hasil keputusan tentang

pemekaran. Wajah mereka sumringah. Bangga sebab

telah berkenalan dengan orang muda yang tak lelah

berjuang bernama Muda.

“Bang Muda, nanti kalau kabupaten baru

berhasil dimekarkan, bang Muda saja yang menjadi

bupati,” kata salah seorang kepala desa. Yang lain

mengamini.

“Eh, jangan gitulah, Pak. Target kita, bagaimana

kabupaten ini bisa mekar. Bisa berhasil saja, harus kita

syukuri. Jangan dulu bermimpi jauh sampai ke sana.

Nanti kita tidak total kalau sudah berpikir yang macam-

macam sampai jauh. Soal siapa pun yang jadi bupatinya,

itu diserahkan kepada rakyat. Tugas kita berjuang. Atau

kalau ternyata Bapak Kepala Desa yang memang layak

menjadi bupati, kenapa tidak? Betul tidak, Bapak-

Bapak?” jawab Muda tersenyum. Yang lain tertawa.

“Justru saya berterima kasih kepada Bapak-

Page 274: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Bapak. Seandainya nanti kabupaten ini benar-benar

mekar, sungguh, itu bukan karena saya. Tapi karena

Bapak-Bapak sekalian. Coba bayangkan kalau saya

hanya sendirian mengerjakannya. Apa yang terjadi?

Pemekaran tidak akan pernah terwujud”Tapi selah satu kepala desa tetap ngotot.

“Pokoknya, kalau kita berhasil mekar, kita akan

usung bang Muda menjadi bupati,” katanya.

“Pak, tugas manusia hanya bertawakkal.

Berikhitiar. Berdoa. Selanjutnya ada pihak lain yang

berkehendak memutuskan, Allah Yang Maha

Berkehendak.”

Orang-orang semakin tidak sabar untuk

berangkat ke Jakarta.

Muda mendapat telepon. Ada info penting dari

Jakarta tentang keputusan atas usulan pemekaran.

Setelah menerima telepon, Muda tiba-tiba masuk ke

kamar. Meninggalkan para kepala desa yang tinggal

menunggu waktu saja untuk pergi ke bandara. Cukup

lama Muda di dalam kamar.

Di kamar, setelah menerima telepon, Muda

berbaring di pangkuan Ocha. Tangan istri membelai

Page 275: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

kepala suaminya. Memijat pelan pundaknya. Mereka

berdua tak berkata-kata. Sesekali memang Ocha

bersuara. Tapi lirih. Sangat lirih.

“Istighfar, Ayah.... Sabar...”

Terus berulang-ulang Ocha meminta suaminya

untuk istighfar. Suasana dalam kamar begitu hening.

Tiba-tiba telapak tangan Ocha merasakan ada air

mengalir di pipi suaminya. Air mata. Muda menangis.

“Bukankah yang Ayah cari adalah keridhaan?”

tanya Ocha dengan lembut.

Muda sadar dirinya sedang dilanda kesedihan.

Tetapi dia juga sadar bahwa kesedihan ini tidak boleh

berlebihan. Keridhaan Allah yang paling utama. Orang-

orang di luar menunggu. Hingga akhirnya Muda keluar

dari kamar. Istrinya mendampingi. Airmata tentu saja

sudah di seka sebelumnya.

Agak terbata, Muda bersuara.

“Bapak-Bapak sekalian, agenda keberangkatan

kita ke Jakarta di tunda. Ketok palu belum bisa

dilakukan besok.”

Seketika suasana rumah menjadi riuh. Orang-

orang yang awalnya sudah sangat begitu senang,

Page 276: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

berubah menjadi panik. Bagaimana kalau ternyata

orang pusat tidak mengabulkan gagasan pemekaran

ini? Bagaimana kalau ternyata ada orang-orang yang

berusaha menjegal? Bagaimana kalau ini? Bagaimana

kalau itu?

Ocha menggandeng tangan suaminya. Seperti

menyalurkan energi luar biasa ke diri Muda.

“Bapak-Bapak tenang. Tidak perlu panik. Jika

Allah mengizinkan, jalan keluar pasti ada.”

Muda seperti mendapat kekuatan untuk

menenangkan masa yang berkumpul. Dia tidak gusar.

Dia tidak panik. Dia percaya, segala sesuatunya sudah

ada yang merencanakan.

***

Ternyata benar. Apa yang dirisaukan orang-

orang tidak terjadi. 17 Juli 2007, pengumuman

disampaikan. Kabupaten Kubu Raya diresmikan. Orang-

orang kembali gembira. Muda Mahendrawan, dalam

harinya berucap: “Alhamdulillah.”

Muda masuk ke dalam kamar. Ia mendapati

istrinya sedang duduk menghadap kiblat. Lengkap

dengan sajadah yang terbentang. Tubuhnya tertutup

Page 277: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

mukena. Kepalanya tertunduk, tetapi kedua tangannya

tengadah. Kini giliran air mata Ocha yang mengalir

disela-sela do’a yang dipanjatkan.

***

Muda menatap foto ayah dan ibunya di ruang

tamu Tanjungsari 169. Kedua orang ini telah menjadi

inspirasi besar. Kedua orang ini telah mengajarkan

banyak hal. Tak hanya itu, cerita tentang semangat I

Dewa Nyoman Oka juga tidak boleh dikesampingkan.

Juga ada lelaki pemimpin bernama Kimas Akil

Abdurrachman. Muda tak henti berucap syukur kepada

Yang Maha Kuasa telah dilahirkan dari nasab yang

betul-betul mampu menerjemahkan dan mengaplikasi-

kan makna perjuangan.

Kabupaten Pontianak telah berhasil

dimekarkan. Lahir kabupaten baru bernama Kubu Raya.

Orang-orang dekat menyebut bahwa kabupaten ini

adalah anak keempat Muda Mahendrawan.

***

Pemilihan Kepala Daerah untuk kabupaten yang

baru lahir akan diselenggarakan tahun 2008. Orang-

orang terus mendesak Muda untuk ikut mencalonkan

Page 278: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

diri. Muda enggan sebenarnya. Baginya, bahwa

Kabupaten ini sudah bisa lahir, dia sudah cukup

bahagia. Buah dari perjuangan. Toh, Muda sendiri sudah

keluar dari partai politik. Tapi begitulah, perjuangan

takkan pernah berakhir. Dan ternyata jalan dimudahkan.

Beberapa bulan sebelum pilkada, DPR RI mensyahkan

bahwa calon independen boleh mengikuti pilkada.

Mengetahui keputusan ini, masyarakat desa bergerak.

Dukungan penuh diberikan kepada sang penggagas

pemekaran.

Page 279: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

2008 Muda Mahendrawan terpilih menjadi Bupati

Pertama di Kabupaten Kubu Raya

***

Pada masa-masa awal kepemimpinannya, Muda

Mahendrawan melakukan gebrakan di luar perkiraan

orang banyak; jatah kendaraan operasional

berupa mobil Toyota jenis Camry ditolaknya.

Pengalihan dana dari pembelian kendaraan tersebut,

menurutnya direncanakan buat menunjang kerja

pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh

para guru,kepala desa, bidan desa serta para

penyuluh-penyuluh pertanian di desa-desa

Buah dari perjuanganyang takkan pernah berakhir

Page 280: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Pada tahun 2012, Muda Mahendrawan masuk

pilihan Majalah Tempo sebagai salah satu dari ketujuh

Kepala Daerah pilihan. Bupati pilihan lain

adalah Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati

Enrekang La Tinro La Tunrung, Bupati Wonosobo Abdul

Kholiq Arif, Walikota Banjar Herman Sutrisno, Wali Kota

Sawahluto Amran Nur, dan Bupati KeeromYusuf Wally

***

Sampai hari ini Muda Mahendrawan masih dan

selalu akrab dengan anak-anak muda. Sebab ia

begitu percaya, peradaban lahir dari tangan dan otak

anak-anak Muda

Page 281: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

Tentang penulis

Pay Jarot SujarwoMerupakan salah satu penulismuda paling produktif diKalimantan Barat. Lahir diPontianak, 5 Juli 1981, selepas SMAmelanjutkan pendidikan diJogjakarta. Semenjak tahun 1999tulisannya sudah tersebar diberbagai media cetak, antaranya:Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat,Harian Bernas, Minggu Pagi,

Solopos, Lampung Post, Suara Pembaruan, MajalahAnnida, Tabloid Nyata, Majalah Bhakti, Majalah Muda,Majalah Pendapa, Pontianak Post, Equator, BorneoTrribune, dan lain-lain.

Selain mempublikasikan tulisannya di MediaCetak, penulis muda ini beberapa kali memenangkansayembara kepenulisan tingkat nasional, di antaranya:Sayembara Penulisan Cerpen yayasan Cakra Pustaka,Surakarta (2002). Salah satu cerpennya yang lain masukdalam Kumpulan Cerpen Terbaik Balairung, Yogyakarta(KCTB, 2003). Salah satu puisinya masuk dalam puisi terpujipada sayembara penulisan puisi nasional yangdiselenggarakan oleh Tabliod Nyata, Surabaya (2008).

Aktivitas lainnya adalah: Aktif di Sanggar TeaterKSP Jogjakarta. Pendiri Komunitas Sastra KalimambuJogjakarta. Pernah terlibat aktif di Forum Keluarga PelajarMahasiswa Kalimantan Barat (KPMKB) Jogjakarta, di

Page 282: dalamnya. Tiga geerasi. Begitu menginspirasi. Novelmudamahendrawan.com/file_s/merawat_pesan.pdfdi pipi yang menggelembung. Dua yang lain memamerkan jemari, membentuk angka dua. Giginya

���

bidang seni budaya. Koordinator Diskusi Wacana diorganisasi Sindikat Penyair Pinggiran (SPP) Jogjakarta.Aktif di Forum Kebudayaan Rakyat (FKR) Jogjakarta. 2004Pindah ke Jakarta, melakukan pembinaan Pekerja RumahTangga di salah satu LSM, melalui pelatihan teater danpenanaman mental. Sempat menjadi aktor di salah satuProduction House dengan program ‘Ngerjain’ yang tayangdi Televisi Pendidikan Indonesia TPI.

Pada tahun 2005, penulis muda ini pulang ke tanahkelahirannya di Pontianak. Melakukan kampanye bacatulis ke sekolah-sekolah, memotivasi siswa di seluruhKalimantan Barat untuk membaca dan menulis. Mengelolapenerbitan bernama Pijar Publishing.Lelaki yang mencintai traveling ini, pada bulan Februari –Juni 2010 bertolak ke Bulgaria. Di salah satu Negara EropaTimur tersebut, selain jalan-jalan, dia juga menulis buku.Dan kembali berangkat ke Bulgaria pada Januari – April2011 untuk melanjutkan perjalanan dan melanjutkanmenulis buku. Pada perjalanannya di Bulgaria, sempatmempresentasikan buku yang dia tulis tentang Bulgaria.Beberapa kali mengikuti pertemuan penulis Bulgaria.Akhir 2011 berkesempatan mengunjungi Belanda dan padatahun 2012 traveling ke Spanyol dan perbatasan portugal.

Beberapa bukunya, selain tersebar di Indonesia,juga menjadi koleksi Cornel University Library AmerikaSerikat dan KITLV, Leiden, Belanda, Nasional Library ofAustralia, Yale University Amerika Serikat.

e-mail: [email protected]