Dalam Buku Puspa Ragam Busana Pemilihan Bahan Tekstil

26
Dalam buku Puspa Ragam Busana Pemilihan Bahan Tekstil, kain merupakan suatu bahan, hasil dari pada tenunan benang. (Poespo, 2005) Adapun pengertian kain tradisional dalam buku Ragam Kain Tradisional Nuasantara menjelaskan bahwa kain yang berasal dari budaya daerah lokal yang dibuat secara tradisional dan digunakan untuk kepentingan adat istiadat ialah kain tradisional. (Kamila, 2008) Kamila, Mika. 2008. Ragam Kain Tradisional Nuasantara. Jakarta: Bee Media Indonesia. Poespo, Goet. 2005. Puspa Ragam Busana Pemilihan Ragam Bahan Tekstil. Kanisius: Yogyakarta Ardika, I wayan.1996. Dinamika kebudayaan Bali. Denpasar : Upada Sastra Sika, Wayan. 1983. Ragam Hias. Denpasar : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Geliat Kreasi Baru Tenun Bali Selasa, 19 April 2011 | 09:12 WIB Berita Terkait Cita Tenun Akan Diresmikan Ibu Negara 1 0 0 0 KOMPAS.com - Kain tenun bukan hanya buah keterampilan turun- temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata itu, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas berbasis budaya. Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa

description

busana

Transcript of Dalam Buku Puspa Ragam Busana Pemilihan Bahan Tekstil

Dalam buku Puspa Ragam Busana Pemilihan Bahan Tekstil, kain merupakan suatu bahan, hasil dari pada tenunan benang. (Poespo, 2005) Adapun pengertian kain tradisional dalam buku Ragam Kain Tradisional Nuasantara menjelaskan bahwa kain yang berasal dari budaya daerah lokal yang dibuat secara tradisional dan digunakan untuk kepentingan adat istiadat ialah kain tradisional. (Kamila, 2008)

Kamila, Mika. 2008. Ragam Kain Tradisional Nuasantara. Jakarta: Bee Media Indonesia.

Poespo, Goet. 2005. Puspa Ragam Busana Pemilihan Ragam Bahan Tekstil. Kanisius: Yogyakarta

Ardika, I wayan.1996. Dinamika kebudayaan Bali. Denpasar : Upada Sastra

Sika, Wayan. 1983. Ragam Hias. Denpasar : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Geliat Kreasi Baru Tenun BaliSelasa, 19 April 2011 | 09:12 WIBBerita Terkait

Cita Tenun Akan Diresmikan Ibu Negara

1 0 0 0

KOMPAS.com - Kain tenun bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata itu, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas berbasis budaya. 

Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa khas Bali ini.

Kehijauan alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah berundak membuat pelancong tidak terganggu dengan kecuraman tebing yang membatasi jalan-jalan sempit menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar.

Di Sidemen, Swastika merupakan salah satu toko dan usaha tenun yang menonjol. Usaha ini dimiliki oleh I Gusti Ayu Oka (50). Tempat usaha ini berupa bangunan tiga lantai yang kokoh, dengan suguhan pemandangan alam memukau yang leluasa dinikmati dari balkon lantai atas.

”Semua orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua kami dulu,” ujar

Oka. Namun, pada masa lalu sejumlah warga hanya menenun untuk keperluan keluarga sendiri berupacara. Sebagian lagi menenun untuk memenuhi permintaan warga Bali di bagian lain pulau indah ini, juga untuk keperluan upacara.

Dalam penggolongan paling sederhana, terdapat dua jenis kain tenun di Bali. Kain tenun ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, dan kremasi.

Di Swastika, endek bisa dibeli dengan harga dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per lembar. Sementara songket produksi Oka dijual dari Rp 1 juta hingga Rp 15 juta per lembar. Waktu pengerjaan setiap helai kain ini juga bervariasi, dari beberapa pekan hingga empat bulanan.

Oka mengatakan, meski sejak kanak-kanak akrab dengan tenunan, ia baru mulai menggeluti usaha ini sejak 1990. ”Sebelumnya saya jualan makanan jajan. Saya usung di atas kepala keliling desa setiap hari,” ujarnya.

Oka mulai dengan mengerjakan sendiri seluruh proses membuat kain tenun. Kini ia mengupah sekitar 50 perajin di desanya. Sebagian besar pembuatan kain tenun itu dikerjakan di masing-masing rumah perajin.

Di rumah para perajin ini, anggota keluarga yang lain juga dapat membantu. Putu Wijaya (11), siswa kelas V SD di Sidemen, misalnya, sudah menguasai teknik ikat. Teknik ini adalah bagian penting dari produksi kain tenun Bali.

Proses menghasilkan sehelai kain tenun ikat akan dimulai dengan memintal benang. Kemudian benang dibentangkan di alat perentang, dan helaiannya diikat dengan tali rafia sesuai pola ragam hias dan warna yang diinginkan.

Setelah pengikatan berpola tersebut, benang dicelup atau diwarnai. Benang yang sudah diwarnai kemudian di-gintir atau dipilah, lalu baru ditenun menjadi kain.

Pada tenun songket, kain ditenun dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga, atau benang warna di atas lungsin yang mendasari. Penempatan tambahan benang ini membentuk corak yang diinginkan dan adakalanya dipadu pula dengan teknik ikat.

Kreasi baruBagi kalangan yang ingin menggunakan kain tenun sebagai produk fashion,

bukan demi kepentingan upacara, persoalan klasik menyangkut kain ini adalah ketebalan dan keka

kuannya. Akibatnya, pada waktu lalu, kain songket tidak mudah digunakan dalam beragamModel busana.

Merespons persoalan itu, Cita Tenun Indonesia (CTI) bekerja sama dengan Garuda Indonesia membentuk tim pembinaan perajin tenun di beberapa daerah, termasuk di Bali. Dalam tim ini, antara lain terdapat desainer tekstil, Ratna Panggabean, dan desainer fashion, Priyo Oktaviano.

”Dulu penenun memakai benang rangkap dua. Kain jadi tebal dan kaku. Sekarang kita perkenalkan tenunan dengan benang satu. Pengerjaannya makan waktu dua kali lipat lebih lama. Harga juga jauh lebih mahal, tetapi hasilnya, kain yang halus dan lembut,” ujar Ratna.

Kreasi baru juga diterapkan dalam pengaturan motif, ragam hias ikat dan songket, serta pewarnaan.

”Untuk upacara ritual, corak menjadi sakral kalau sudah diberkati, itu tidak diganggu. Namun, pada dasarnya orang Bali sangat terbuka dengan corak-corak baru yang diambil dari alam di sekitarnya, misal corak bunga dan daun,” ujar Priyo.

Warna dasar tenun bali umumnya warna cerah. Oleh karena itu, dikembangkan pula kreasi warna baru yang lebih natural, warna pastel, dengan bahan pewarnaan alam.

Oka dan para perajin lain yang dibina CTI di Sidemen, antara lain Ni Nyoman Suryasih dan I Wayan Suartana, merasakan bahwa kreasi baru tersebut memperluas pasar kain tenun produksi mereka. ”Selama saya buat tenun, penjualan pada 2010 lalu yang paling melonjak,” ujar Suryasih.

Ridwan Edi, pengelola program tanggung jawab sosial perusahaan Garuda Indonesia yang bekerja sama dengan CTI, menjelaskan, pelatihan dilakukan antara lain dengan memberi ”PR” bagi para perajin untuk membuat kain dengan metode baru pewarnaan, motif, atau teknik penenunan. Bila dikerjakan dengan baik, hasilnya dibeli oleh tim dengan harga tinggi. Sebaliknya, tidak akan dibeli jika tak sesuai pesanan dengan kreasi baru itu.

Setelah teknik dan corak kreasi baru dikuasai, mitra binaan mendapat pinjaman modal untuk mengembangkan usaha. Mitra ini digandeng pula untuk berpameran, bahkan hingga ke luar negeri.

Berpameran tidak hanya dapat mempromosikan karya para perajin, tetapi juga menyadarkan bahwa kreasi adalah proses yang tidak boleh berhenti.

(Nur Hidayati)

CONTOH Arifin, Mushallin. 2013. "Rahasia Sukses Menjadi IB Forex". KOMPAS, 2 Juni 2013.

Wajah Merona Tenun BaliSelasa, 26 Agustus 2014

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGKepala Desa Tenganan, Karangasem, Bali, Putu Yudiana (kanan) dan istrinya Ni Nyoman Sudewi, dengan bangga menunjukkan kain Geringsing warisan keluarganya. Kain geringsing kerap digunakan untuk upacara adat di Tenganan. Proses pengerjaan tenun kain Geringsing yang rumit dan lama membuat nilai jual kain tersebut tinggi.

Berita Terkait

Pulang Kantor Langsung Pelesir ke Karangasem Melihat Bali Sesungguhnya di Desa Tenganan Pembuatan Tenun Grinsing Perlu Empat Tahun Menonton Perang Pandan di Desa Tenganan Karnaval Endek Buleleng Promosikan Kain Tenun Tradisional

0 16 0

0TENUN tradisi Bali seperti bangkit dari puing. Kaum muda tak takut dicap ”kampungan” gara-gara mengenakan busana dari endek. Endek kini menjadi ekspresi kecintaan terhadap kebudayaan.

Dalam balutan tenun Bali, AA Istri Kusuma Sari (23) menatap mesra wajah calon suaminya, I Made Suardana (26). Bersandar di tembok dan gapura dalam kompleks Museum Bali, mereka berpose untuk foto pranikah. ”Sedang ngetren songket sama endek. Sekarang makin baik kombinasinya, pilihannya makin colorful,” kata Kusuma Sari atau Riri.

Riri menyewa songket buatan perajin Bali dari bahan sutra. Selembar songket dibanderol dengan harga sewa Rp 300.000, lebih murah dibandingkan dengan harga beli, Rp 1 juta. Riri memakai songket sebagai kamen (bawahan). Adapun Suardana memakai kamen dari prada dan udeng dari endek.

Pada pesta pernikahan yang akan digelar di Tabanan, awal September mendatang, mereka juga menyewa kain songket untuk payas agung, busana tradisional pernikahan Bali. Songket dan prada yang tergolong ke dalam wastra kebesaran memang cocok dipakai pada gelaran pesta.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGSeniman gamelan Bali, I Made Bandem (kiri), dan istrinya, Suasthi Widjaja, seorang penari dan koreografer, mengenakan tenun Bali.

Songket Bali memang tampil cantik dengan hiasan benang emas, benang katun, ataupun benang sutra. Sementara prada tampil mewah dengan hiasan serbuk emas atau irisan lembaran tipis di atas kain katun ataupun sutra.

Geliat endek

Kain tradisional Bali lain yang tergolong wastra kebesaran, tetapi cocok dipakai sehari-hari, adalah endek. Endek yang dihiasi dengan teknik ikat pakan ini kian populer di Bali. Dari awalnya hanya menjadi milik bangsawan, endek, songket, dan prada kini bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat.

Geliat endek terjadi merata di seluruh Bali. Suatu pagi, di awal Juli lalu, los Pasar Klungkung yang masih sepi pembeli justru menunjukkan pesonanya. Ke mana pun mengayun muka, pastilah mata berserobok pada tumpukan kain, hampir seluruhnya tenunan khas Bali.

”Semua tenunan di sini khas Bali,” ujar Putu Suaryani, pedagang kain tenun di Pasar Klungkung. ”Endek, ya? Mau mencari endek motif apa? Sekarang endek yang paling diminati pembeli adalah endek perajin Sidemen, bermotif khas Karangasem. Harganya mulai dari Rp 300.000 per lembar,” kata Suaryani sambil menyodorkan beragam motif kain endek beraneka warna.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGPakar musik gamelan Bali, I Made Bandem, menunjukkan salah satu koleksi kain tradisional Bali.

”Sekarang endek yang paling diminati justru endek yang memakai motif kain tenun lain, terutama endek yang memakai motif kain tenun gringsing,” ujar Ayu, pedagang yang lain, menunjukkan kain warna menyala, sama sekali berbeda dari kecenderungan warna klasik endek Denpasar, Klungkung, ataupun Singaraja. ”Ini bukan warna klasik tenun gringsing khas Desa Tenganan Pegringsingan. Ini kreasi baru,” kata Ayu.

Warna-warna yang cerah dan menyala lebih disukai pelanggan Ayu. Endek bermotif gringsing jadi pilihan buat mereka yang tidak mampu membeli tenun gringsing asli. Endek memunculkan beragam corak dari pewarnaan benang pakan (benang yang disisipkan melintang di antara untai benang lungsin). Kombinasi pewarnaan ikat dan colet pada benang pakannya membuat endek klasik kaya warna ketimbang kain tenun ikat yang lain.

Merana

Berawal dari puri para bangsawan, tenun Bali mengalami pencanggihan dalam segala lingkup tradisi puri. Hingga tibanya zaman industrialisasi tenun Bali yang mengubah arah sejarah endek. Pemilik Pertenunan Berdikari di Singaraja, Bali, Ni Nyoman Sujani, menyebutkan, para penenun endek meninggalkan alat tenun tradisional Bali, cagcag, sejak tahun 1960-an.

Dengan teknik pewarnaan ikat dan colet benang pakannya, Pertenunan Berdikari merekonstruksi berbagai motif klasik tenun endek koleksi Sujani. Sejak 1960-an, penggunaan alat tenun bukan mesin (ATBM) dan pewarna kimia membuat produksi endek melimpah, tetapi baru tahun 1980-an endek berjaya. Endek memasyarakat antara lain berkat gagasan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra yang melombakan desain motif tenun endek tahun 1980.

”Berkat Gubernur Ida Bagus Mantra, endek dikenakan dalam berbagai busana nasional. Presiden Soeharto pun pernah memakai kemeja berbahan tenun endek,” ujar Sujani.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGKoleksi kain Endek milik Ida Ayu Selly Fajarini.

Kejayaan endek juga dirasakan pemilik tenun ikat sekar jepun, Etmy Kustiyah Sukarsa, yang memproduksi endek sejak 1985. Presiden Megawati Soekarnoputri pernah memesan endek sekar jepun. ”Saya tidak berambisi menerima pesanan ribuan meter. Saya jual seni,” kata Etmy sambil menunjukkan pesanan endek dari desainer Didiet Maulana.

Rona endek digenapi kreasi tenun patra desainer tekstil I Gusti Made Arsawan yang dua tahun terakhir menggarap teknik ikat, colet, dan cat semprot (air brush) dalam pewarnaan benang pakan. Dengan mempertahankan ”rancang bangun” tenun endek, I Gusti Made Arsawan mengadopsi berbagai pakem pepatra ukiran arsitektur Bali sebagai motif. Setiap motifnya yang ditenun tunggal pun naik catwalk.

”Dengan air brush, kami bisa mewarnai benang pakan dengan belasan warna, membuka kemungkinan untuk motif yang lebih rumit dan detail,” kata I Gusti Made Arsawan. Ia juga berkolaborasi dengan para desainer, seperti Edward Hutabarat, Samuel Wattimena, dan Didiet Maulana.

Endek karya Ida Bagus Adnyana, pemilik perusahaan tenun Putri Ayu di Gianyar, pun dipinang menjadi busana para pemimpin negara peserta KTT APEC. Ida Ayu Selly Fajarini, istri Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, seperti seorang ”duta endek”, getol mengenakan kain

endek untuk berbagai busana kasual rancangannya. ”Endek produksi massal kompetitif dalam harga dan nyatanya cocok diolah menjadi beragam busana sehari-hari. Sementara endek kualitas terbaik, seperti tenun patra, naik daun diburu para sosialita kita,” kata Selly.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGPara perempuan mengenakan kain tradisional saat melaksanakan upacara keagamaan di Pura Geriya Tanah Kilap, Denpasar, Bali. Kain-kain tradisional Bali menjadi bagian tidak terpisahkan dalam berbagai upacara keagamaan.

Beberapa tahun terakhir, rona endek didera persaingan harga murah, cemerlang, dan halusnya tenunan dari Troso, Jepara. Minat para penenun Troso menenun motif endek membuktikan endek tengah merona dan terus naik daun. Namun, tak terelakkan, harga kompetitif yang ditawarkan para penenun Troso membuat para penenun endek di Bali merana kehilangan pasar.

Sujani bersaksi tentang kelesuan para penenun di tengah meronanya endek di catwalk dan pasar kain di Bali. ”Para perajin saya masih menenun karena saya tidak tega menutup pabrik. Omzet kami relatif impas dengan ongkos menjalankan pabrik Berdikari,” kata Sujani.

I Gusti Made Arsawan, pemain yang justru sedang menikmati naik daunnya endek kualitas premium, juga mengkhawatirkan nasib tenun endek klasik. ”Jika endek tenunan Bali diperlakukan sekadar tenun produksi massal, apa nilai lebihnya dibandingkan dengan tenunan Troso? Tradisi endek hanya akan

selamat jika ia dikembalikan keberadaannya sebagai warisan budaya,” ujar I Gusti Made Arsawan.(Mawar Kusuma/Cokorda Yudistira/Aryo Wisanggeni)

Bank Indonesia Angkat Pamor Tenun Ikat BaliJumat, 13 Maret 2015

KOMPAS.COM/SRI LESTARIAneka tenun khas Pulau Nusa Penida, Bali.

Berita Terkait

Pemasaran Tenun Ikat Rote Ndao Tersendat Hendar Suhendar, dari Dangdut hingga Tenun Ikat Garut Mengenal Rupa-rupa Tenun Ikat NTT Karnaval Endek Buleleng Promosikan Kain Tenun Tradisional Kehangatan Mesra Sehelai Tenun

0 34 0

0DENPASAR, KOMPAS.com - Dalam rangka menggali potensi dan melestarikan budaya adat istiadat daerah Bali khususnya Tenun Bali untuk menjadi suatu ciri khas daerah yang tidak pernah luntur dan hilang ditelan zaman, Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Provinsi Bali berinisiatif untuk mengadakan Eksebisi dan Lomba Desain Tenun Bali.

“Eksebisi dan lomba desain tenun Bali untuk menggali potensi dan melestarikan budaya, adat istiadat agar tidak hilang ditelan zaman,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Provinsi Bali, Dewi Setyowati, di Denpasar, Jumat (13/3/2015).

Menurut Dewi, penyelenggaraan lomba ini memiliki tujuan menghadirkan kembali tenun klasik dan tradisional Bali dengan corak yang lebih sesuai dengan perkembangan selera masyarakat modern dan tidak meninggalkan kaedah dan tatanan tenun sesuai kearifan lokal Bali.

“Dalam acara nantinya akan menghadirkan tenun klasik dan tradisional Bali. Tapi tetap mengikuti selera modern yang disukai masyarakat, tetap menonjolkan kearifan lokal,” katanya.

Melalui eksebisi dan lomba desain tenun, Bank Indonesia ingin mengangkat pamor kain tenun ikat khas Bali di mata dunia. Diharapkan eksistensi dan inovasi desain tenun yang dihasilkan dapat membuat kain tenun semakin dikenal dan nantinya dapat meningkatkan perekonomian daerah dan kesejahteraan perajin lokal. Untuk penyelenggaraannya masih akan dijadwalkan.

Penulis : Kontributor Denpasar, Sri LestariEditor : I Made Asdhiana

Pembuatan Tenun Grinsing Perlu Empat TahunKamis, 27 Februari 2014

KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.Tenun Grinsing di Desa Tenganan, Karangasem, Bali

Berita Terkait

Tips Wisata ke Karangasem Inilah 10 Aktivitas Wisata di Karangasem Pulang Kantor Langsung Pelesir ke Karangasem Meski Hujan, Wisatawan tetap Ramai ke Karangasem Melihat Bali Sesungguhnya di Desa Tenganan

0 0 +0 0

KOMPAS.com - Seperti mencerminkan nenek moyang nusantara yang biasa hidup mengakrabi waktu. Itulah gambaran para penenun di Desa Tenganan, Karangasem, Bali. Di desa ini, beberapa wanita terbiasa membuat kain tenun yang disebut tenun grinsing.  

Tenun ini sangat terkenal, bukan saja karena kecantikannya tetapi juga

pembuatannya yang rumit. Proses pembuatannya memakan waktu yang lama. Seakan waktu begitu akrab dengan mereka. Untuk menenun selembar kain diperlukan waktu sekitar tiga minggu sampai tiga bulan.

Terdengar cepat? Jangan lupa, proses pembuatan tenun bukan sekadar menenun saja. Apalagi jika benang yang digunakan bukan benang sintetis. Pewarna benang yang digunakan untuk tenun grinsing di Desa Tenganan menggunakan bahan alami.

KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.Seorang warga Desa Tenganan, Karangasem, Bali, tengah menenun Tenun Grinsing.

Untuk mendapatkan warna yang diinginkan perlu waktu yang lama. Misalnya warna kuning, perlu waktu tiga bulan untuk mendapatkan warna kuning yang pekat. Warna-warna lain bisa memerlukan waktu hingga tahunan. 

Warna merah didapat dari kulit kayu sunti. Sementara warna biru berasal dari daun taum. Sedangkan kuning dari buah kemiri. Kemiri yang digunakan pun harus kemiri lawas berumur 1 tahun. Warna cokelat dari warna biru yang dicampur dengan warna merah. 

Warna merah yang benar-benar matang alias warna merah pekat baru bisa didapatkan setelah dua sampai tiga tahun. Namun untuk warna yang lebih sempurna, proses pembuatan warna dibutuhkan hingga empat tahun. Hal sama

juga berlaku pada warna biru. 

Benang dari kapuk yang sudah dipintal, siap dicelupkan ke bahan pewarna. Pencelupan terjadi berulang-ulang kali. Lalu didiamkan sampai beberapa bulan dan kembali dicelupkan. Begitu seterusnya hingga berbulan-bulan. 

Harga selembar kain tenun grinsing berkisa Rp 700.000 hingga jutaan. Umumya, perempuan di Desa Tenganan sudah terampil menenun sejak remaja. Penduduk Desa Tenganan menguasai pembuatan tenun secara turun temurun.Penulis : Ni Luh Made Pertiwi FEditor : I Made Asdhiana

Menemukan Kembali Tenun yang HilangRabu, 7 Mei 2014

KOMPAS/RINI KUSTIASIH Tim Cita Tenun Indonesia (CTI) yang dipimpin Dhanny Dahlan memberikan pelatihan tenun dengan menggunakan pewarnaan alami kepada 35 perajin tenun di Kabupaten Jembrana, Bali, beberapa waktu lalu. CTI mengupayakan kebangkitan kembali tenun jembrana yang sempat meredup.

Berita Terkait

Desa Wisata Gamplong Makin Dikenal Wisatawan 

Pembuatan Tenun Grinsing Perlu Empat Tahun 

Film Dokumenter Tenun Batak Diputar di Maroko 

Catat, Empat Festival Wisata di NTT Tahun Ini Keindahan Mandar dalam Sehelai Tenun 0

  18

  0

  0

BELUM banyak orang yang mengenal tenun asal Jembrana dari Bali barat. Perang melawan kolonialisme dan pertentangan antar-kerajaan di Bali sekitar abad ke-18 membuat tradisi menenun di Jembrana luntur. Motif tenun khas daerah itu pun langka. Kendati demikian, harapan menemukan kembali tenun yang sempat tenggelam itu tidak pernah pudar.

Gairah membangkitkan kembali keelokan tenun jembrana itu menjelma dalam butir-butir keringat Komang Suliasih (40), seorang peserta pelatihan perajin tenun yang diadakan Cita Tenun Indonesia (CTI) bersama Hivos dan Uni Eropa, beberapa saat lalu. Bersama 34 peserta lain, yang semuanya perempuan, Suliasih duduk menghadap meja yang disusun memanjang di Balai Pertemuan Kelurahan Dauhwaru, Kecamatan Jembrana. Setiap peserta diminta membuat pola di kertas sesuai dengan motif tenun yang dihamparkan di meja itu.

Motif yang mesti dibuat oleh mereka ialah padma atau bunga teratai. Bentuknya seperti bintang dengan empat hingga delapan sisi lancip, yang membuatnya disebut babintangan oleh perajin Jembrana.

”Susah membuat pola ini. Saya bingung dengan titik-titik yang harus dibuat pada kotak kecil ini. Jika disuruh membuat tenun, saya bisa lebih mudah mengerjakannya. Kalau diminta membikin polanya, saya masih kesulitan,” ujar Suliasih.

Siang itu, kaum ibu perajin tenun mengenakan baju adat perempuan Bali berupa kebaya yang dipadu dengan kain tenun atau sarung di bagian

bawahnya. Mereka datang dari enam sentra tenun di Jembrana, mengikuti pelatihan yang ditujukan untuk membekali perajin kemampuan pewarnaan alami, yakni dengan bahan dari tetumbuhan.

Pembuatan pola di kertas itu adalah acara terakhir dari pelatihan itu. Namun, kegiatan itu agaknya merupakan salah satu yang terpenting. Nining Koestedjo, desainer tekstil dari Jakarta, mendampingi ibu-ibu itu membuat pola.

”Banyak motif tenun jembrana yang hilang. Memori akan motif itu masih dimiliki perajin tenun karena pengetahuan itu diwariskan turun-temurun. Hanya, motif itu tak banyak diproduksi karena perajin lebih memilih motif yang mudah, diminta pasar, dan cepat laku,” kata Nining. Pembuatan pola di atas kertas itu dimaksudkan agar motif khas Jembrana terdokumentasikan. Pengetahuan itu perlu dikenalkan kepada semua peserta pelatihan kendati tak semua perajin bisa membuat pola.

Menyelamatkan memori

Dalam enam kali pelatihan, tim CTI mendapati perajin tenun jembrana kesulitan menamai motif lama yang sebenarnya bentuknya masih tersimpan dalam memori mereka. Muncullah motif unik yang dinamai dengan bahasa ibu mereka, misalnya pale gunung yang berbentuk seperti gunung. Motif ini biasa di tepian kain tenun.

Desainer Didi Budiardjo, yang mendampingi peserta dalam pelatihan, senang karena menemukan kain widiadari. Kain itu tersusun dari motif padma dalam aneka warna dan bentukan. Pada tenun jembrana, Didi mencatat, warna yang kerap kali dipakai ialah warna teduh, seperti coklat, biru, dan krem, berbeda dengan warna tenun dari Bali timur, seperti dari Klungkung dan Karang Asem, yang motif dan warnanya lebih meriah.

”Widia asal kata dari vidya yang artinya ilmu pengetahuan. Dari artinya pemilik. Kain ini representasi pengetahuan atau kebajikan yang diturunkan dari ibu sebagai sang pemilik kepada anaknya yang selanjutnya menjadi penerus kebajikan tersebut,” ujarnya. Kain widiadari melambangkan suatu memori kolektif masyarakat Jembrana akan perikehidupan yang berusaha dilestarikan dari generasi ke generasi.

Namun, perikehidupan yang senantiasa berproses, beradu, dan berpadu juga tergambarkan dalam kreasi perajin tenun jembrana. Mereka, antara lain,

membuat tenun prembon sebagai perpaduan dari tenun ikat atau endek dengan songket.

Untuk menghasilkan prembon, perajin menerapkan dua teknik. Pertama, mereka membuat endek terlebih dulu, yakni dengan mencelupkan benang yang diikat pada pewarna. Saat benang yang sudah diwarnai itu ditenun dan membentuk motif tertentu, perajin menyelipkan benang-benang warna emas untuk membuat songket.

”Tak mudah membuat prembon seperti ini, tetapi nyatanya mereka bisa membuat perpaduan mulus antara motif padma yang ditenun dan teknik pewarnaan ikat dengan songket,” ungkap Didi, yang juga mendesain tiga baju menggunakan bahan kain endek dan prembon.

Upaya menemukan kembali motif asli dan khas Jembrana, menurut pempinan proyek CTI, Dhanny Dahlan, tidak sekadar membangkitkan motif lama dan tua. Namun, lebih dari itu, upaya ini adalah perjalanan menemukan jati diri Jembrana.

”Apa tenun jembrana itu? Bagaimana motifnya? Orang sulit menemukannya sekarang. Perajin tenun jembrana banyak terpengaruh dengan motif dari Bali timur, tetapi bukan berarti Jembrana tak memiliki kekhasan dan kekuatan sendiri yang membedakan dengan tenun dari daerah lain. Ini yang berusaha kami gali supaya tenun jembrana bangkit,” kata Dhanny.

Perjalanan menuju kebangkitan kembali tenun jembrana itu banyak bergantung pada pelaku tradisi itu sendiri. Di Jembrana, saat ini sedikitnya ada enam sentra tenun yang penggeraknya sebagian besar perempuan. Bagi mereka, menenun adalah kegiatan sehari-hari yang tidak bisa dianggap sepele sebagai sampingan, tetapi menjadi penghidupan pula.

Ketut Karneni (49) dan Luh Swasti (40), misalnya, rata-rata mendapatkan Rp 45.000 per hari dari industri tenun rumahan Mekarsari yang mempekerjakan mereka dengan sistem borongan. Perajin bisa bekerja di rumah sembari mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka menjadi penopang kehidupan keluarga.

”Suami saya kerja serabutan. Uang dari menenun cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Kalau ada keperluan untuk upacara atau hari raya, saya bisa minta kas bon,” ujar Luh Swasti.

Pemerintah daerah

Peran pemerintah daerah masih minim untuk mendorong tenun jembrana. Namun, bukan berarti tidak ada upaya sama sekali. Kepala Seksi Wisata Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jembrana Mahendra mengatakan, saat ini ada sekitar 300 perajin tenun yang tersebar di enam sentra di daerah itu. Namun, jumlah kain tenun yang diproduksi masih terbatas.

Ari Sugianti Artha, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Jembrana, yang juga istri Bupati Jembrana I Putu Artha, mengatakan, daerahnya memang agak tertinggal dalam bidang pariwisata dan kesenian dibandingkan dengan daerah lain di Bali. Kabupaten di ujung barat Bali itu sedang menggali potensi seni dan wisata untuk menjadi penanda daerah. (Rini Kustiasih)Editor : I Made AsdhianaSumber : KOMPAS CETAK

Wujud Kreasi Baru dalam Sentuhan Kain TradisionalKamis, 14 Mei 2015 | 07:00 WIB

DNA Fashion PRKoleksi Musa Widyatmodjo Menswear yang akan ditampilkan di ajang Jakarta Fashion & Food Festival 2015 nanti.

10 8 0 0

KOMPAS.com – Jakarta Fashion & Food Festival yang merupakan acara  tahunan, digelar kembali tahun ini untuk keduabelas kalinya. Acara yang mengedepankan insan fashion dengan inovasi terbaru mereka juga dijadikan kesempatan oleh salah satu desainer senior, Musa Widyatmodjo, untuk memperkenalkan lini terbarunya lewat sebuahfashion show.

Kalau sebelumnya sang desainer cukup dikenal dengan label "M by Musa" yang ditujukan khusus untuk para wanita, kali ini Musa menyuguhkan ragam koleksi terbaru untuk pria modern. Di bawah naungan nama label yang sama, Musa Widyatmodjo Menswear

akan menghadirkan ragam busana formal hingga semi kasual seperti kemeja hingga setelan jas.

Beberapa kreasi kemeja terwujud lewat nuansa kain tradisional Indonesia yang sangat identik. Kain tenun asal Bali dan NTT serta lurik dan batik didesain dan dipadukan sedemikian rupa hingga menyatu dalam suguhan warna yang serasi. Tak lupa, aksen berupa detail kerah yang dilapis serta sulaman pada tepi atau ujung lengan menjadi sebuah sentuhan menarik.

Pengolahan material bahan yang digunakan memang menjadi kekuatan sang desainer, hingga terciptalah sebuah kreasi apik yang dapat digunakan pria modern tanpa menghilangkan garis maskulin pada setiap desainnya.

"Musa Widyatmodjo Menswear merupakan dedikasi saya untuk memajukan industri fashion di Indonesia. Jika ingin menjadi kiblatfashion di kawasan Asia Tenggara, kita harus mewujudkannnya menjadi sebuah karya, sehingga bila ditanyakan oleh industri kreatif tentang karya saya, brand ini kelak menjadi jawabannya. Saya tahu bahwa saya harus memulainya, dan momen ini merupakan saat yang tepat untuk memperkenalkan kepada masyarakat," jelas Musa.

Jika Anda berminat untuk menyarankannya pada pasangan Anda, koleksi Musa Widyatmodjo yang ditujukan untuk pria mapan berusia 25 hingga 50 tahun ini dibanderol mulai kisaran harga 2,5 juta hingga 7,5 juta rupiah. Penulis : Alvin DwipayanaEditor : Alvin Dwipayana