DAFTAR ISI TESIS JADI - digilib.uns.ac.id... · isoflavon aglikon dan membandingkan aktivitas...

92
KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ISOFLAVON DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK TEMPE BERBAHAN BAKU BUNCIS (Phaseolus vulgaris) DAN KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus) TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Sains Program Studi Biosains oleh SRI WAHYUNI S 900208023 PROGRAM PASCA SARJANA BIOSAINS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of DAFTAR ISI TESIS JADI - digilib.uns.ac.id... · isoflavon aglikon dan membandingkan aktivitas...

KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ISOFLAVON DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK

TEMPE BERBAHAN BAKU BUNCIS (Phaseolus vulgaris) DAN KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus)

TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan

guna memperoleh gelar Magister Sains Program Studi Biosains

oleh

SRI WAHYUNI

S 900208023

PROGRAM PASCA SARJANA BIOSAINS UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

ii

KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ISOFLAVON DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK TEMPE

BERBAHAN BAKU BUNCIS (Phaseolus vulgaris) DAN KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus)

Disusun oleh

Nama : Sri Wahyuni

Nim : S 900208023

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dosen Pembimbing Nama Tanda tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Ir. Sri Handajani, M.S.,Ph.D .......................... ........ 2010 NIP: 19470729 197612 2 001

Pembimbing II Dr. Artini Pangastuti, M.Si .......................... ......... 2010 NIP: 19750531 200003 2 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Biosains

Dr. Sugiyarto, M.Si NIP. 19670430 199203 1.002

iii

KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ISOFLAVON DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK TEMPE

BERBAHAN BAKU BUNCIS (Phaseolus vulgaris ) DAN KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus)

TESIS

Oleh Sri Wahyuni

S 900208023 Telah dipertahankan di depan penguji

Dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal, 25 Januari 2010

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Ketua Dr. Sugiyarto, M.Si ..................... .......... 2010 NIP. 19670430 199203 1 002 Sekretaris Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si ..................... .......... 2010 NIP. 19601025 199702 1 001

Anggota Prof. Ir. Sri Handajani, M.S.,Ph.D ..……………. ...…… 2010 Penguji NIP. 19470729 197612 2 001 Dr. Artini Pangastuti, M.Si ……………… ……… 2010 NIP.19750531 200003 2 001

Mengetahui

Direktur Program Pascasarjana UNS Ketua Program Studi Biosains

Prof.Drs. Suranto,M.Sc.,PhD Dr. Sugiyarto, M.Si NIP.19570820 198503 1 004 NIP.19670430 199203 1 002

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :

1. Tesis dengan judul : “Karakterisasi senyawa bioaktif isoflavon dan uji

aktivitas antioksidan dari ekstrak tempe berbahan baku Buncis

(Phaseolus vulgaris) dan Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus)” ini

merupakan sebagian karya penelitian dari Prof. Ir. Sri Handayani, M.S. dan Sri

Retno Dwi Ariani, M.Si dan tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan

oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya

atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali

yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber

kutipan dan daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat

dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, maka saya bersedia Tesis beserta

gelar MAGISTER saya dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2

dan pasal 70).

Surakarta, Januari 2010

Mahasiswa

Sri Wahyuni S 900208023

v

KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ISOFLAVON DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK TEMPE BERBAHAN BAKU BUNCIS (Phaseolus vulgaris) DAN KECIPIR (Psopocarpus tetragonolobus )

Sri Wahyuni, Sri Handajani, Artini Pangastuti

Program Studi Magister Biosains, PPS-UNS Surakarta

ABSTRAK

Biji buncis dan kecipir yang tergolong leguminoceae berpotensi sebagai sumber antioksidan alami. Penelitian ini bertujuan mengetahui kandungan isoflavon aglikon dan membandingkan aktivitas antioksidan pada buncis, kecipir, kedelai kuning dengan antioksidan alami maupun antioksidan BHT (Butyl Hidroksi Toluena).

Metode untuk ekstraksi isoflavon dengan maserasi, identifikasi isoflavon dengan HPLC, uji aktivitas antioksidan dengan DPPH. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan fermentasi dan penghitungan aktivitas antioksidan dianalisis dengan General Linear model-Univariete, untuk membandingkan tingkat aktivitas antioksidannya dianalisis dengan Compare Means-One Way Annova, menggunakan program SPSS version 15.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji kedelai kuning, buncis dan kecipir mentah memiliki total isoflavon masing-masing sebanyak (0,18%), (0,15%), dan (0,21%). Pada kedelai kuning mentah tidak ditemukan isoflavon factor-2, tetapi buncis dan kecipir mentah ditemukan sebanyak (0,006%) dan (0,001%). Pada hasil fermentasi buncis, kecipir, kedelai kuning ditemukan jenis isoflavon factor-2, daidzein, glisitein, genistein. Hasil uji aktivitas antioksidan, berurutan dari tinggi ke rendah adalah tempe kecipir 0-hr (85,19%), tempe kedelai 3-hr (81,43%), BHT (81,15%), α-tokoferol (76,41%), vitamin C (75,62%), tempe buncis 0-hr (52,95%) dan β-karoten (43,25%). Aktivitas antioksidan pada tempe kecipir 0-hr signifikan lebih besar dari kedelai kuning fermentasi 3-hr maupun BHT, berarti kecipir berpotensi sebagai sumber antioksidan yang prospektif untuk digunakan sebagai pengganti kedelai kuning dan BHT. Aktifitas antioksidan pada buncis signifikan lebih rendah dari antioksidan BHT, α-tokoferol, vitamin C tetapi masih lebih tinggi dari antioksidan β-karoten.

Kata kunci : Buncis, Kecipir, Fermentasi, Isoflavon, Aktivitas antioksidan

vi

THE CHARACTERIZATION OF THE BIOACTIVE COMPOUNDS OF ISOFLAVONE AND THE TEST OF ANTIOXIDANT ACTIVITY OF EXTRACT

THE OF TEMPEH MADE OF POLE BEAN (Phaseolus vulgaris) AND WINGED BEAN (Psopocarpus tetragonolobus)

Sri Wahyuni, Sri Handajani, Artini Pangastuti Program Study of Biosains, Post Graduate Program, Sebelas Maret

University Surakarta

ABSTRACT

Pole bean and Winged bean belong to leguminoceae which have a potential as natural antioksidan resource. The aims of the research at finding out the content of the isoflavone aglikon compounds and comparing the antioxidant activity of the pole bean, winged bean, and yellow soybean with both the natural antioxidant and BHT antioxidant.

The methods used to extract the isoflavone compounds were maceration, identification of isoflavone by using HPLC, and test of antioxidant activity was done with DPPH. To know the difference between fermentation treatment and the measurement of antioksidan activity which was analized by General Linear Model-Univariete, to compare the level of antioxidant activity which was analized by Compare Means-One Way Annova using the program of SPSS version 15. The results of the research show that the whole soybean, pole bean, and winged bean seed had the total contents of the isoflavone compounds of 0.18%, 0.15%, and 0.21% respectively. The isoflavone of factor-2 was not found in the yellow soybean, but it was found in the pole bean (0.006%) and in the winged bean (0.001%). In the fermentation result of pole bean, winged bean and yellow soybean was I found kind of the isoflavone compounds of factor-2, daidzein, glisitein and genistein. The results of the antioxidant activity test show that the antioxidant activity from the highest to the lowest was owned by winged bean tempeh in the 0-day fermentation (85.19%), soybean tempeh in the 3-day fermentation (81.43%), BHT (81.15%), α-tocoferol (76.41%), vitamin C (75.62%), pole bean tempeh in the 0-day fermentation (52.95%), and ß-carotene (43.25%). Antioxidant activity in the winged bean tempeh in the 0-day fermentation was higher than and really different from the yellow soybean in the 3-day fermentation and BHT, meaning that the winged bean had the potential to be the antioxidant resource which was prospective to be used as a substitute for the soybean and BHT. The antioxidant activity of the pole bean was lower than that of BHT, α-tocoferol, and vitamin C, but was higher than that of ß-carotene. Keywords: Pole bean, winged bean, fermentation, isoflavone, antioxidant activity

vii

PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini kupersembahkan kepada Keluarga besarku, Suamiku, dan anakku yang tercinta

“Harta yang paling menguntungkan ialah sabar

Teman yang paling setia adalah amal

Pengawal pribadi yang paling waspada adalah diam

Bahasa yang paling manis adalah senyum

dan ibadah yang paling indah tentunya khusyuk”

(Harun Yahya)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, tiada daya dan upaya kecuali

kekuatan dari Allah SWT. Berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis

dapat menyelesaikan tugas akhir berupa tesis dengan judul “Karakterisasi

Senyawa Bioaktif Isoflavon dan Uji Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Etanol

Tempe Berbahan Baku Buncis (Phaseolus vulgaris) dan Kecipir (Psopocarpus

tetragonolobus)”, merupakan bagian dari penelitian yang dilaksanakan oleh

Prof. Dr. Ir. Sri Handajani, MS. dan Dra. Retno Dwi Ariani, M.Si.

Di dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi

ekstraksi isoflavon dari biji buncis dan kecipir beserta produk fermentasinya,

identifikasi isoflavon aglikon (faktor-2, daidzein, glisitein, genistein) dan uji

aktivitas antioksidan.

Nilai penting penelitian ini adalah mengetahui kandungan isoflavon dan

aktivitas antioksidan pada buncis dan kecipir dengan variasi lama waktu

fermentasi (0, 1, 2, 3, 4 hari) serta mengetahui tingkat aktivitas antioksidatifnya

bila dibandingkan dengan ekstrak etanol dari kedelai dan produk fermentasinya

serta beberapa antioksidan alami (α-tokoferol, β-karoten, vitamin C) maupun

antioksidan sintetis BHT. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kecipir memiliki

tingkat aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dan signifikan bila dibanding

dengan antioksidan sintetis BHT, sehingga kecipir dapat digunakan sebagai

sumber antioksidan alami yang bagus dan aman.

Pengembangan penelitian ini ke arah pembuatan senyawa antioksidan

untuk pengawet alami dari bahan yang murah dan melimpah serta dapat

dimanfaatkan sebagai food suplemen yang memiliki banyak khasiat pendukung

kesehatan.

ix

Penulis menyadari dengan sepenuh hati adanya kekurangan dan

keterbatasan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Surakarta, 30 Desember 2009

Penulis

x

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, tiada daya dan upaya kecuali

kekuatan dari Allah SWT, atas berkah dan inayah-Nya maka penulis dapat

menyelesaikan tesis dengan judul “Karakterisasi Senyawa Bioaktif Isoflavon

dan Uji Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Tempe Berbahan Baku Buncis

(Phaseolus vulgaris) dan Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus)”.

Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bapak

Prof. Suranto, MSc.,Ph.D sebagai Pembimbing Akademik yang telah

memberikan semua fasilitas dan dorongan semangat selama penulis

mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana, Prodi Biosains UNS

Surakarta.

2. Prof. Ir. Sri Handajani, M.S.,Ph.D selaku Pembimbing I yang senantiasa

memberikan dorongan moril dan fasilitas serta pengarahan dan bimbingan

selama menyelesaikan tesis ini.

3. Dr. Artini Pangastuti, M.Si selaku Pembimbing II yang selalu memotivasi

dan memberi arahan serta bimbingan pada saat menulis dan menyelesaikan

tesis.

4. Dra. Retno Dwi Ariani, M.Si atas semua bimbingan dan pengarahannya

dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.

5. Dr. Sugiyarto, M.Si, selaku dosen penguji yang dengan kesabarannya

memberikan bimbingan dan dorongan moril sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan dan ujian tesis dengan lancar.

xi

6. Dr. Edwi Mahajoeno, M.Si atas semua masukan dan bimbingan serta

arahannya selama ujian komprehensif sehingga penulisan tesis ini menjadi

lebih berkualitas.

7. Ketua Laboratorium Pusat MIPA UNS beserta jajarannya, terima kasih atas

dukungan dan kerjasamanya sehingga penulis dapat melaksanakan

penelitian dengan lancar.

8. Ketua Laboratorium Kimia, FKIP UNS beserta jajarannya yang telah member

kan fasilitas sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

9. Bapak Poyo, Laboran di Laboratorium Kimia organik Fakultas MIPA UGM

yang telah membantu, memberi fasilitas dan mendukung pelaksanaan

penelitian ini, semoga dibalas oleh Alloh SWT.

10. Saudari Wiji Hastuti, Yani, Yuli di FKIP UNS yang telah sangat membantu

terlaksananya penelitian ini.

11. Saudari Rini, Heni, Yurina yang merupakan teman seperjuangan dalam

suka dan duka, terima kasih atas kerjasama dan dukungannya selama tesis

ini diawali dan diakhiri sampai dinyatakan lulus.

12. Sadara M. Rosyid beserta seluruh jajaran staf administrasi Program

Pascasarjana UNS Surakarta yang dengan tulus telah membantu

memperlancar sarana administrasi penulis selama belajar di Program S2

Biosains.

13. Mbah Wagiyem, perajin dan pembuat tempe yang telah membimbing dan

membantu kami dalam proses pembuatan tempe sampai didapatkan tempe

yang memenuhi syarat untuk penelitian.

14. Anakku Tia dan Ida yang telah membantu kelancaran penulisa tesis ini.

xii

15. Suamiku, cinta dan kasih sayang serta motivasimu telah menyemangati aku

dalam menyelesaikan studi di Prodi Biosains, UNS Surakarta.

16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah

memberikan bantuan baik moril maupun materiil sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi S2.

Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan dan segala bantuan yang

telah diberikan, semoga Alloh SWT mencatat amal kebaikan saudara/i dan

membalas semua dengan kasih sayang-Nya yang lebih besar lagi.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wa barakatuh.

Surakarta, Desember 2009

Penulis

Sri Wahyuni

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING...................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. iii

PERNYATAAN ORISINILITAS TESIS............................................................. iv

ABSTRAK ....................................................................................................... v

ABSTRACT ..................................................................................................... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... vii

KATA PENGANTAR........................................................................................ viii

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... x

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..xiii

DAFTAR TABEL……………………………………………………………………..xvi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvii

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xix

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5

D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 7

A. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 7

1. Leguminoceae .............................................................................. 7

a. Kecipir ( Psophocarpus tetragonolobus ) ................................. 8

b. Buncis ( Phaseolus vulgaris ) .................................................. 10

2. Tempe ........................................................................................... 12

xiv

a. Tempe Kedelai ........................................................................ 13

b. Tempe Non Kedelai ................................................................. 13

c. Proses Pembuatan Tempe ...................................................... 14

1. Perendaman ...................................................................... 14

2. Pencucian .......................................................................... 15

3. Pengupasan ...................................................................... 16

4. Pemasakan ....................................................................... 16

5. Penirisan dan Pendinginan ................................................ 16

6. Penambahan Inokulum ...................................................... 17

7. Pemeraman ...................................................................... 17

d. Proses Fermentasi .................................................................. 18

e. Rhizopus oligosporus .............................................................. 19

3. Isoflavon ....................................................................................... 20

3.1. Isoflavon Pada Kedelai ......................................................... 22

3.2. Isoflavon Pada Tempe Kedelai ............................................. 23

3.3. Metabolisme Isoflavon Pada Proses Pengolahan Kedelai

Menjadi Tempe ..................................................................... 26

3.4. Manfaat Senyawa Isoflavon Pada Tempe Kedelai ................ 28

4. Antioksidan ................................................................................... 29

4.1. Pengertian Antioksidan ......................................................... 29

4.2. Antioksidan Sintetik .............................................................. 32

4.3. Antioksidan Alami.................................................................. 32

4.3.a. Antioksidan Pada Kedelai ............................................ 33

4.3.b. Antioksidan Pada Tempe Kedelai ................................ 34

B. Kerangka Berpikir ................................................................................ 34

C. Hipotesis ............................................................................................. 35

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 36

A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 36

B. Alat dan Bahan ................................................................................... 36

C. Prosedur Penelitian ............................................................................. 37

1. Pembuatan Tempe Kedelai ........................................................... 37

a. Pemilihan Biji Kedelai .............................................................. 37

xv

b. Perendaman ............................................................................ 38

c. Pengupasan ............................................................................ 38

d. Pengukusan ............................................................................ 38

e. Penambahan Inokulum ............................................................ 38

f. Pengemasan ........................................................................... 39

g. Fermentasi .............................................................................. 39

2. Pembuatan Tempe Berbahan Baku Biji Buncis dan Kecipir .......... 39

3. Mengekstraksi Isoflavon dengan Metode Maserasi ....................... 40

4. Identifikasi Isoflavon ...................................................................... 40

5. Uji Aktivitas Antioksidan ................................................................ 41

a. Pembuatan Larutan DPPH ........................................................ 41

b. Pembuatan Larutan Sampel ...................................................... 42

c. Pengukuran Kadar Antioksidan ................................................. 42

D. Teknik Analisa Data ............................................................................ 43

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 44

A. Hasil Fermentasi Kedelai, Buncis dan Kecipir ..................................... 44

B. Hasil Ekstraksi Senyawa Isoflavon ...................................................... 46

C. Hasil Identifikasi Isoflavon dengan menggunakan Metode

HPLC .................................................................................................. 50

D. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan ............................................................. 60

BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 67

A. Kesimpulan ......................................................................................... 67

B. Saran ................................................................................................. 68

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 69

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Asam Amino Biji Kecipir ................................................... 10

Tabel 2. Struktur Daidzin, Genistin, Glisitin...................................................... 23

Tabel 3. Potensi Pemanfaatan Senyawa Isoflavonoid ..................................... 34

Tabel 4. Konsentrasi Isoflavon Pada Legume dan Produk Tempenya dengan

Variasi Lama Waktu Fermentasi (g/100 g sampel)............................. 53

Tabel 5. Kandungan Isoflavon Total (g) dan Aktivitas Antioksidan (%)

pada Kedelai Kuning, Buncis, Kecipir, dengan Variasi

Lama Fermentasi (hr) ......................................................................... 61

Tabel 6. Perbandingan Aktivitas Antioksidan Alami,Sintesis dan Legume (%). 65

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Kecipir ........................................................................... 9

Gambar 2. Polong Kecipir muda ..................................................................... 9

Gambar 3. Biji Kecipir ..................................................................................... 9

Gambar 4. Tanaman Buncis ........................................................................... 12

Gambar 5. Polong Buncis muda...................................................................... 12

Gambar 6. Biji Buncis...................................................................................... 12

Gambar 7. Rhizopus sp................................................................................... 20

Gambar 8. Hubungan antara metabolit primer dan metabolit sekunder........... 22

Gambar 9. Struktur dan sifat kimia Daidzein ................................................... 25

Gambar 10.Struktur dan sifat kimia Genistein.................................................. 25

Gambar 11. Struktur dan sifat kimia Glisitein................................................... 25

Gambar 12. Struktur dan sifat kimia Faktor- 2 ................................................. 26

Gambar 13.Reaksi Hidrolisis Glikosida Isoflavon menjadi Aglikon Isoflavon.... 27

Gambar 14. Massa Hasil Ekstraksi Biji Kedelai Kuning dan Produk

Fermentasinya ........................................................................... 48

Gambar 15. Massa Hasil Ekstraksi Biji Buncis dan Produk Fermentasinya ..... 48

Gambar 16. Massa Hasil Ekstraksi Biji Kecipir dan Produk Fermentasinya ..... 48

Gambar 17. Grafik Kandungan Isoflavon Faktor -2 pada Kedelai,

Buncis dan Kecipir ..................................................................... 57

Gambar 18. Grafik Kandungan Isoflavon Daidzein pada Kedelai,

Buncis dan Kecipir ..................................................................... 57

Gambar 19. Grafik Kandungan Isoflavon Glisitein pada Kedelai,

Buncis dan Kecipir ...................................................................... 57

xviii

Gambar 20. Grafik Kandungan Isoflavon Genistein pada Kedelai,

Buncis dan Kecipir ..................................................................... 57

Gambar 21. Grafik Perbandingan Aktivitas Antioksidan Alami, Sintesis dan

legume ........................................................................................ 64

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Mekanisme Kerja Pembuatan Tempe Kedelai ..................................... 74

2. Mekanisme Pembuatan Tempe berbahan Buncis dan Kecipir ............ 75

3. Mekanisme Ekstraksi Isoflavon dengan Metode Maserasi .................. 76

4. Identifikasi Isoflavon dengan Metode HPLC......................................... 77

5. a. Pembuatan Larutan DPPH............................................................... 78

b. Pembuatan Larutan Sampel dan Uji Aktivitas Antioksidannya.......... 79

6. Hasil Pengukuran dan Perhitungan besarnya Aktivitas Antioksidan

dari kedelai, buncis,, kecipir, antioksidan alami (α-tokoferol, β-karoten,

serta vitamin C) dan antioksidan sintetis BHT...................................... 80

7. Hasil Pengamatan Biji Kedelai Kuning dan produk Tempenya............. 81

8. Hasil Pengamatan Biji Buncis dan poduk Tempenya ........................... 82

9. Hasil Pengamatan Biji Kecipir dan produk Tempenya.......................... 83

10. Hasil Ekstraksi Senyawa Isoflavon dari Kedelai, Buncis, Kecipir beserta

produk Tempenya................................................................................ 84

11. Analisis Statistik SPSS dua faktor........................................................ 85

12. Aktivitas Antioksidan (%) pada Kedelai, Buncis, dan Kecipir dengan

Variasi Lama Waktu Fermentasi .......................................................... 88

13. Perbandingan Aktivitas Antioksidan alami, Sintetik, dan Legume........ 88

14. Surat Pernyataan dan Publikasi Tesis.................................................. 89

15. Biodata Mahasiswa.............................................................................. 90

xx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Tempe kedelai dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat, berbagai

umur dan berbagai status ekonomi serta sering dijumpai sebagai makanan dalam

menu sehari-hari, baik sebagai lauk pauk maupun sebagai makanan camilan.

Bahan baku untuk pembuatan tempe kedelai masih sangat tergantung

dari pasokan impor, sehingga harganya sering fluktuatif dan menjadi mahal. Hasil

penelitian Handajani et al., (1991), menyatakan bahwa Indonesia mempunyai

banyak jenis legume yang beberapa diantaranya belum dimanfaatkan secara

optimal. Salah satu jenis legume yang cocok dibudidayakan di Indonesia dan

dapat berfungsi sebagai bahan pangan tetapi produk olahannya masih jarang

dikonsumsi yaitu buncis (Phaseolus vulgaris) dan kecipir (Psophocarpus

tetragonolobus). Dalam rangka pengembangan senyawa antioksidan alami

khususnya isoflavon, maka perlu dilakukan penelitian tentang optimasi produksi

senyawa antioksidan dari buncis dan kecipir dengan produk tempenya serta

karakterisasi kandungan isoflavonnya. Buncis dan kecipir sebagai alternatif

obyek penelitian sumber isoflavon, karena isoflavon merupakan metabolit

sekunder yang banyak disintesis oleh tanaman, terutama dari kelompok

leguminoceae (Anderson, 1997). Oleh karena itu, buncis (P. vulgaris) dan kecipir

(P. tetragonolobus) yang merupakan dua spesies dari familia leguminoceae,

dimungkinkan juga mengandung senyawa bioaktif isoflavon seperti yang

dijumpai pada kedelai.

Selama ini tempe kedelai yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah

tempe hasil fermentasi kedelai selama 36 – 48 jam. Lama waktu fermentasi

xxi

tersebut merupakan lama waktu fermentasi kedelai untuk menghasilkan tempe

optimum dari sisi cita rasa untuk dikonsumsi, tetapi lama waktu fermentasi

optimum untuk menghasilkan ekstrak antioksidan khususnya senyawa isoflavon

yang maksimum, belum diketahui. Dalam rangka pengembangan produk tempe

tersier, misalnya produk isoflavon dari tempe untuk pengawet alami, maka perlu

dilakukan penelitian tentang optimasi produksi isoflavon. Dalam penelitian ini

akan difokuskan pada optimasi produksi senyawa antioksidan khususnya

senyawa bioaktif isoflavon dengan variasi lama waktu fermentasi pada biji

kedelai dan produk tempenya, maupun pada biji buncis dan biji kecipir beserta

produk tempenya.

Penelitian ini menggunakan sampel tempe berbahan baku buncis dan

kecipir, karena buncis (P.vulgaris) dan kecipir (P. tetragonolobus) tergolong

spesies dari famili leguminoceae seperti halnya kedelai, dan sudah diketahui

dengan positif bahwa tempe yang berbahan baku kedelai ternyata mengandung

senyawa bioaktif isoflavon aglikon yaitu faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein

( Pawiroharsono, 1995).

Menurut hasil penelitian (Gyorgy et al., 1964 dalam Ariani 2009)

dilaporkan bahwa isoflavon faktor-2 hanya dijumpai pada kedelai rendam yang

difermentasi oleh Rhizopus sp. Isoflavon yang ditemukan dalam biji dorman

adalah daidzin, glisitin, dan genistin yang tergolong bentuk isoflavon glikosida.

Senyawa faktor-2 tidak dijumpai pada kedelai yang tidak difermentasi

oleh kapang (Laksani, 2003), oleh karena itu agar diperoleh senyawa faktor-2

harus membuat biji-biji legum menjadi tempe, melalui proses fermentasi oleh

kapang jenis Rhizopus sp. Faktor-2 mempunyai aktivitas antioksidan dan

antihemolisis yang lebih baik dari daidzein dan genistein. Selain itu, telah

xxii

ditemukan bahwa senyawa isoflavon faktor-2 lebih aktif 10 kali lipat dari senyawa

karboksi kroman (Pawiroharsono, 1995).

Studi epidemiologi di Jepang menemukan bahwa konsumsi isoflavon

bermanfaat mengurangi konsentrasi kolesterol serum pada hiperkolesterolemia,

sehingga dapat menurunkan insiden kanker payudara (Aldercreutsz, 1998).

Isoflavon juga memiliki khasiat farmakologi, sifat fisiologis aktif dari senyawa

isoflavon antara lain antifungi, antioksidan, antihemolisis dan antikanker.

Isoflavon adalah salah satu jenis fitoestrogen, merupakan suatu zat yang

memiliki khasiat mirip estrogen dan berasal dari tumbuhan. Pentingnya manfaat

isoflavon bagi kesehatan manusia, mendorong peneliti untuk melakukan studi

kandungan isoflavon pada tempe yang berbahan baku buncis (P. vulgaris) dan

kecipir (P. tetragonolobus) yang banyak terdapat dilingkungan sekitar kita. Salah

satu aktivitas fisiologis yang menonjol dari isoflavon daidzein, genistein, glisitein

dan faktor-2 adalah aktivitas antioksidan.

Pada umumnya, antioksidan yang digunakan sebagai pengawet pada

bahan makanan adalah antioksidan sintetik seperti Butylated Hydroxyanisole

(BHA), Butylated Hydroxytoluene (BHT), Propyl Gallat (PG) dan Etylene Diamine

Tetra Acetic Acid (EDTA). Pemanfaatan zat antioksidatif sintetik dapat

menimbulkan gangguan kesehatan bagi konsumen antara lain gangguan fungsi

hati, paru, mukosa usus dan keracunan (Chang et al.,1977 dalam Suryo dan

Tohari, 1995). Untuk itu perlu dicari alternatif lain untuk mengatasi permasalahan

tersebut. Salah satu cara adalah dengan mengganti pemanfaatan antioksidan

sintetik dengan antioksidan alami. Mengingat adanya kandungan isoflavon

dalam kedelai yang dapat berfungsi sebagai antioksidan, maka tempe berbahan

baku dari leguminoceae dapat direferensikan sebagai bahan baku sumber

xxiii

antioksidan alami. Dengan demikian isoflavon dari tempe berbahan baku legume

selain berkhasiat sebagai antioksidan juga mempunyai khasiat farmakologis

seperti yang sudah diuraikan diatas.

Untuk memperoleh zat antioksidan alami, dapat dilakukan dengan cara

ekstraksi menggunakan pelarut organik seperti, heksana, benzena, etil eter,

kloroform, etanol atau metanol. Metanol 90 % merupakan pelarut optimum untuk

mengekstrak isoflavon dari kedelai, namun penggunaanya untuk skala komersial

masih perlu dikaji lebih lanjut karena bersifat toksik. Penelitian dengan

menggunakan pelarut etanol 70% untuk ekstraksi diharapkan dapat mengganti

metanol untuk menghasilkan ekstrak antioksidan alami secara komersial, karena

kepolaran etanol mendekati metanol dan relatif tidak beracun (Kudou et al.,

1991, Susanto et al.,1998 dalam Ariani, 2009). Untuk selanjutnya pada

penelitian ini juga akan difokuskan pada ekstraksi dengan menggunakan pelarut

etanol 70%.

Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian tentang

karakterisasi senyawa isoflavon dan uji aktivitas antioksidan dari ekstrak tempe

berbahan baku buncis (Phaseolus vulgaris) dan kecipir (Psophocarpus

tetragonolobus).

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan

sebagai berikut :

1. Isoflavon jenis apa sajakah yang terkandung dalam biji buncis dan biji

kecipir beserta produk fermentasinya yang dibuat dengan lama waktu

fermentasi 0,1, 2, 3, dan 4 hari.

xxiv

2. Berapa lama waktu fermentasi yang optimum untuk menghasilkan ekstrak

etanol tempe buncis dan kecipir, yang mengandung isoflavon aglikon

(Faktor-2, daidzein, glisitein, genistein) dengan aktivitas antioksidan

maksimum ?

3. Bagaimana potensi biji buncis dan kecipir serta produk fermentasinya

sebagai sumber antioksidan alami khususnya isoflavon, bila dibandingkan

dengan ekstrak etanol dari kedelai dan produk fermentasinya serta

beberapa antioksidan alami ( α-tokoferol, β-karoten, vitamin C ) maupun

antioksidan sintetis (Butyl Hidroksi Toluena / BHT) dengan metode DPPH.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah :

1. Mengetahui jenis Isoflavon aglikon yang terkandung dalam biji buncis dan

kecipir beserta produk fermentasinya berdasarkan variasi lama waktu

fermentasi (0, 1, 2, 3, dan 4 hari ).

2. Mengetahui lama waktu fermentasi yang optimum untuk menghasilkan

ekstrak etanol tempe buncis dan kecipir yang mengandung isoflavon aglikon,

dengan aktivitas antioksidan yang maksimum.

3. Mengetahui potensi biji buncis dan kecipir serta produk fermentasinya

sebagai sumber antioksidan alami khususnya isoflavon bila dibandingkan

dengan ekstrak etanol dari kedelai dan produk fermentasinya serta beberapa

antioksidan alami (α-tokoferol, β-karoten, vitamin C) maupun antioksidan

sintetis Butylat Hidroksitoluena (BHT) dengan metode DPPH.

xxv

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah :

a. Dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai kandungan

isoflavon faktor-2, daidzein, glisitein, genistein, serta aktivitas antioksidatif

dari biji buncis dan kecipir beserta produk fermentasinya

b. Mengetahui sejauh mana manfaat biji buncis dan kecipir beserta produk

fermentasinya sebagai sumber antioksidan alami khususnya senyawa

bioaktif isoflavon.

c. Diharapkan dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya, untuk

mencari dan menentukan macam senyawa yang berguna sebagai

antioksidan (selain senyawa isoflavon), yang terkandung di dalam biji

buncis dan biji kecipir.

xxvi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

A.1. Leguminoceae

Legume (kacang polong) adalah jenis tanaman dikotil dan merupakan

tanaman setahun berumur pendek yang memiliki bunga kupu-kupu, tumbuh

merambat sebagai tanaman semak. Di lingkungan kita, legume sebagian besar

dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai sayuran (misalnya buncis dan

kecipir) atau untuk diambil bijinya (misalnya kedelai, kacang hijau, kacang tanah).

Koro merupakan salah satu jenis legum yang dapat tumbuh di tanah yang kurang

subur dan kering. Selain untuk dimanfaatkan bijinya, tujuan penanaman koro

adalah sebagai tanaman pelindung dan pupuk hijau (Kanetro dan Hastuti, 2006).

Koro-koroan merupakan salah satu jenis legum lokal yang memiliki beragam

varietas dan biasa digunakan sebagai bahan baku pengganti kedelai dalam

pembuatan tempe. Kandungan gizi koro tidak kalah dengan kedelai yaitu

karbohidrat dan protein yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah.

Dalam Kanetro dan Hastuti (2006) disebutkan bahwa senyawa antigizi yang

sering terdapat pada legum antara lain enzim lipoksigenase, tripsin inhibitor,

asam fitat, oligosakarida, senyawa glikosida dan sianida. Pengolahan koro pada

umunya diawali dengan perendaman untuk menghilangkan sianida, karena kadar

sianida pada koro reltif tinggi. Setelah perendaman, biasanya diikuti dengan

pemasakan dan pengupasan kulit, karena kandungan karbohidarat yang tinggi

menyebabkan koro memiliki tekstur yang keras sehingga pemasakan dilakukan

agar teksturnya menjadi lunak (Handajani dan Atmaka, 1993).

xxvii

Selain bersifat sebagai senyawa antinutrisi, fitat memiliki peranan dalam

kesehatan yang dianggap positif yaitu sebagai antioksidan yang dapat

menangkal adanya radikal bebas maupun senyawa non radikal yang dapat

menimbulkan oksidasi pada biomolekuler seperti protein, karbohidrat dan lipida

(Anonim, 2007).

Anggota famili leguminoceae (polongan) diantaranya adalah :

a. Kecipir atau Winged Beans (Psophocarpus tetragonolobus )

Kedudukan tanaman kecipir dalam klasifikasi ilmiah ( taksonomi tumbuhan)

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Classis : Magnoliopsida

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Sub famili : Faboideae

Genus : Psophocarpus

Species : Psophocarpus tetragonolobus

Sumber : (Heyne, 1987 ).

Tanaman kecipir tumbuh subur didaerah tropis basah dengan curah hujan

lebih besar dari 1600 m di atas permukaan laut. Tanah-tanah yang baik untuk

kecipir adalah tanah dengan bahan organik yang rendah, berpasir atau lempung.

Tanaman kecipir tahan terhadap kekeringan. Kecipir disebut juga kacang botol

(Malaysia), sirahu avarai (Thailand), dragon bean (Vietnam), jaat (Sunda) dan

sigarillas (Tagalog) termasuk tanaman setahun, mempunyai keunggulan

dibandingkan dengan kedelai, karena seluruh bagian tanaman dapat

xxviii

dimanfaatkan. Daun, buah dan umbi kecipir memiliki kadar protein yang tinggi,

bahkan rata-rata melampaui kadar protein biji-bijian atau umbi-umbian lainnya

sepert beras, ubi jalar, ketela pohon dan kentang.

Dibawah ini disajikan gambar tanaman, buah, dan biji kecipir yang biasa

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar 1. Tanaman Kecipir

Gambar 2. Polong Kecipir muda

Gambar 3. Biji-biji Kecipir

Buah kecipir berbentuk persegi empat siku yang masing-masing segi

bersayap dan bergelombang. Panjang polong antara 6-20 cm dan bijinya putih,

kuning hitam, sawo matang atau coklat muda. Berat bijinya rata-rata 30-64 gr

tiap 100 butir (Handajani, 1992 ).

Biji tanaman kecipir mengandung protein, lemak yang cukup tinggi, setara

dengan kedelai (Salunkhe and Kadam, 1990). Kadar mineral dalam bentuk zat

kapur, fosfor dan zat besinya juga lebih unggul. Selain itu, biji kecipir juga

mengandung sejumlah asam amino esensial dan asam lemak esensial, setara

dengan kedelai atau kacang tanah (Handayani, 1993 ). Komposisi asam amino

xxix

dari biji kecipir hampir sama dengan biji kedelai. Secara lengkap kandungan

asam amino yang menyusun protein dalam kecipir dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 1. Komposisi asam amino biji kecipir (%) Jenis Asam

Amino Kandungan ( % ) Jenis Asam Amino Kandungan ( % )

Alanin

Arginin

Asam aspartat

Asam glutamat

Glisin

Histidin

Prolin

Serin

Tryptophan

296

283

751

1080

268

176

449

360

104

Tirosin

Isoleusin

Leusin

Lisin

Methionin

Fenil alanin

Threonin

Valin

Sistein

281

263

506

488

58

321

294

265

54

Sumber : (Haryoto, 1996).

Biji kecipir belum dimanfaatkan secara optimal, karena memiliki bau langu

yang kuat dan kulit biji yang keras (Kanetro, 2001). Kulit biji yang keras

menyebabkan daya serap air sangat rendah sehingga membutuhkan waktu yang

lama dalam pengolahannya.

b. Buncis ( Phaseolus vulgaris )

Buncis adalah sayuran dari genus Phaseolus yang paling dikenal.

Umumnya sistem perakaran berbagai jenis buncis tidak ekstensif, percabangan

lateralnya dangkal. Daun buncis beranak daun tiga dan menyirip. Bunga

berukuran besar, berwarna putih, merah jambu atau ungu. Bunganya sempurna

memiliki 10 benangsari, 9 diantaranya menyatu berbentuk tabung yang

xxx

melingkupi batang, buah panjang. Bunga menyerbuk sendiri dan umumnya

jarang terjadi persilangan .

Kedudukan tanaman buncis dalam klasifikasi ilmiah (taksonomi tumbuhan)

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Classis : Magnoliopsida

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Sub famili : Faboideae

Genus : Phaseolus

Species : Phaseolus vulgaris

Sumber: ( Heyne, 1987 )

Panjang polong berkisar 8 hingga 20 cm atau lebih, dengan lebar 1 cm.

Ketika biji telah matang sempurna, polong akan membelah terbuka. Sebagian

polong buncis tidak berbulu, sedikit diantaranya berbulu halus. Buncis tidak

memiliki kelopak daun yang persisten sebagaimana yang dimiliki kapri (Heyne,

1987 ).

Sebagian besar kultivar buncis berbiji 3 hingga 5. Tipe buncis bijian atau

buncis segar cenderung berbiji banyak. Panjang biji berkisar 5 mm hingga 20 mm

dan bobot biji tunggal kultivar berkisar dari 0,15 hingga lebih dari 0,80 gram. Biji

dapat berbentuk bundar, ovoid, lonjong dan seperti ginjal. Warna kulit biji sangat

khas menurut kultivarnya, dan dapat muncul dalam berbagai macam warna dan

kombinasi warna (Rubatzky and Yamaguchi, 1998).

xxxi

Dibawah ini disajikan gambar tanaman, buah polong muda, dan biji buncis yang

sering dijumpai dilingkungan sekitar kita.

Gambar 4. Tanaman Buncis

Gambar 5. Polong Buncis

Gambar 6. Biji Buncis

A.2. Tempe

Tempe secara luas dikenal sebagai makanan khas Indonesia, dikonsumsi

oleh semua lapisan masyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa.

Ada berbagai macam tempe di Indonesia seperti misalnya tempe gembus dibuat

dari ampas tahu, tempe lamtoro dibuat dari biji lamtoro, tempe benguk dibuat dari

biji koro benguk, tempe bongkrek dibuat dari ampas kelapa, tempe gude dibuat

xxxii

dari kacang gude dan tempe kedelai dibuat dari kedelai. Dari beberapa jenis

tempe tersebut yang paling banyak digemari masyarakat adalah tempe kedelai.

Tempe dibuat dengan proses fermentasi kedelai dengan kapang jenis

Rhizopus sp. Tempe bermutu tinggi bila kacang terlekat dengan jalinan miselium

putih. Jika proses fermentasi dibiarkan terlalu lama, spora hitam terbentuk di

permukaan. Spora tersebut tidak berbahaya namun mempengaruhi kenampakan

dan penerimaan konsumen.

2.a. Tempe Kedelai

Tempe kedelai tergolong sebagai makanan hasil fermentasi oleh jamur

jenis Rhizopus sp. dan merupakan produk fermentasi yang amat dikenal oleh

masyarakat. Tempe kedelai berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas,

sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit

degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker). Selain itu

tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol

darah, hipertensi, dan penyakit degeneratif lainnya (Astuti , 1995 ).

Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak

banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim

pencerna yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan

karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh

dibandingkan yang terdapat dalam kedelai.

2.b. Tempe Non Kedelai

Selain tempe berbahan dasar kacang kedelai, terdapat pula berbagai

jenis makanan berbahan bukan kedelai yang juga disebut tempe. Terdapat dua

golongan besar tempe menurut bahan dasarnya, yaitu tempe berbahan dasar

legume dan tempe berbahan dasar non-legume .

xxxiii

Dalam pembuatan tempe buncis dan kecipir, biji direndam dalam air

bersih dan dilakukan penggantian air rendaman setiap 8 jam sekali (9 kali diganti

airnya selama 3 x 24 jam) perendaman, agar kandungan HCN dapat dihilangkan.

Setelah selesai perendaman, kemudian kulit biji dikupas, dan direbus dengan

air selama satu jam, kemudian ditiriskan dan didinginkan. Proses selanjutnya,

termasuk jenis ragi yang digunakan relatif sama dengan pembuatan tempe

kedelai. Tempe berbahan dasar non-legume mencakup tempe bongkrek dari

bungkil kacang atau ampas kelapa, yang terkenal didaerah Banyumas, dan

tempe jamur merang terbuat dari jamur merang (Astawan, 2003).

2.c. Proses Pembuatan Tempe

1. Perendaman

Perendaman merupakan tahap awal dan penting dalam pembuatan

tempe secara tradisional. Menurut Kasmidjo (1990), perendaman bertujuan

memberikan kesempatan kepada biji untuk menyerap air (hidrasi) sehingga biji

menjadi lebih lunak dan dapat menurunkan pH, karena terjadi pengasaman yang

disebabkan oleh proses fermentasi oleh bakteri dan mikroorganisme lain yang

berada dalam air rendaman.

Pada kacang-kacangan, secara umum dilakukan perendaman sebelum

proses pengolahan. Perendaman ini berfungsi untuk melunakkan biji,

mengurangi bau langu dari biji yang diolah serta mereduksi lendir dan kotoran

yang menempel pada keping biji (Atikoh dan Supriyanti, 1997).

Pengasaman terjadi karena pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat

diantaranya Lactobacillus sp. Pertumbuhan bakteri yang baik ditandai oleh bau

kecut dan busa pada permukaan rendaman kedelai. Bila pertumbuhan bakteri

kurang, sehingga pH yang diperlukan tidak tercapai, rendaman kedelai perlu

xxxiv

ditambah bahan pengasaman. Asam laktat merupakan pilihan pertama sebagai

bahan pengasaman. Jika tidak mungkin memperoleh asam laktat, asam cuka

dapat digunakan (Suwahyono, 1989 )

Penggunaan bahan pengasaman menjadi keharusan pada cara cepat

pembuatan tempe, yang cocok sebagai cara industri. Pada cara cepat

perendaman cukup 2-3 jam. Pada cara tradisional perendaman berlangsung

20-30 jam karena bakteri perlu waktu panjang untuk tumbuh dan menghasilkan

asam.

Menurut Kasmidjo (1990), bakteri pembentuk asam yang banyak tumbuh

pada proses perendaman kedelai sebagian besar adalah golongan termobakteri

yang mempunyai suhu optimum 40 – 45 C, antara lain Bacillus sp, Lactobacillus

sp, Streptococcus thermopilus dan Enterobacteriaceae. Sehingga dengan lebih

banyaknya bakteri pembentuk asam yang tumbuh pada suhu tersebut, maka

semakin banyak asam laktat yang terbentuk. Besarnya pH berkorelasi dengan

kandungan asam laktat, semakin tinggi kandungan asam laktat maka semakin

rendah nilai pH nya.

2. Pencucian

Pencucian ini dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran dan

mengurangi mikroorganisme lain yang tumbuh selama perendaman, juga untuk

membuang kelebihan asam dan lendir yang terproduksi. Pencucian harus

dilakukan sampai keping biji kedelai tidak licin lagi oleh lendir dan kedelai tidak

terlalu asam. Lendir dan bakteri apabila tidak tercuci bersih akan mengganggu

pertumbuhan kapang Rhizopus sp. dan dapat menyebabkan kegagalan produksi

(Atikoh dan Supriyanti, 1997 )

xxxv

3. Pengupasan

Setelah proses hidrasi, dilakukan pengupasan yaitu melepaskan kulit ari

dari keping biji kedelai. Proses ini harus dilakukan agar terjadi penetrasi asam

dan miselium kapang ke dalam keping biji. Miselium kapang tidak dapat

menembus lapisan kulit ari kedelai karena zat tanduk (kitin) yang terkandung

dalam kulit, sehingga bila kulit tidak terlepas dari keping kedelai, produk tempe

yang dihasilkan tidak atau kurang kompak.

4. Pemasakan

Proses pemasakan dapat dilakukan dengan cara merebus atau

mengukus. Proses pemasakan dilakukan selain untuk melunakkan kedelai, juga

sebagai proses sterilisasi untuk mematikan bakteri-bakteri yang tumbuh selama

proses perendaman. Keuntungan melalui proses ini adalah tempe akan lebih

tahan lama, tidak berasa asam dan tidak pernah berlendir (Susanto et al., 1998).

Menurut Suwaryono dan Ismeini (1988) proses pengukusan dilakukan

setelah air mendidih. Pada pengukusan, kerusakan biji terjadi lebih lambat

karena biji tidak berinteraksi secara langsung dengan air panas, namun melalui

uap air panas sehingga pada proses ini suhu yang digunakan dibawah atau

sama dengan 100 o C.

5. Penirisan dan Pendinginan

Proses penirisan dilakukan, untuk menghilangkan air yang menempel

pada biji kedelai. Menurut Kasmidjo (1990), tidak adanya air pada biji kedelai

akan menghambat pertumbuhan bakteri dan mempercepat pertumbuhan

kapang. Sedangkan proses pendinginan dilakukan setelah pemasakan, untuk

menghilangkan air yang menempel pada keping biji dan juga untuk mengkondisi

suhu agar sesuai untuk pertumbuhan kapang.

xxxvi

6. Penambahan Inokulum

Secara tradisisonal inokulum tempe disebut ragi tempe atau bibit tempe.

Ragi adalah sumber mikrobia yang digunakan dalam proses fermentasi. Bibit

tempe sebenarnya spora kapang. Jumlah spora pada satu unit ukuran inokulum,

gram atau sendok, dapat diubah dengan memperbanyak bahan pembawa

berupa campuran spora kapang dengan tepung beras, tepung singkong atau

tepung terigu. Jumlah bahan pembawa yang lebih baik memudahkan

penyebaran spora yang merata, lebih menjamin pertumbuhan yang baik.

Inokulum yang dibuat dalam keadaan terbuka ke lingkungan

memungkinkan untuk dimasuki mikrooraganisme lain, seperti bakteri, dan

khamir. Mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan perubahan-perubahan

disaat proses fermentasi sehingga dihasilkan zat-zat berbeda (Judoamidjojo

et al.,1992).

Perubahan yang terjadi selama proses fermentasi ditimbulkan oleh enzim-enzim

yang dihasilkan kapang yaitu pengurai protein, karbohidrat, dan asam lemak.

Inokulum merupakan bahan yang paling penting pada pembuatan tempe, karena

sebagai pembawa kapang yang akan melakukan proses fermentasi. Setiap jenis

kapang mempunyai kemampuan yang berbeda dalam hal pertumbuhan,

pembentukan enzim dan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan.

7. Pemeraman

Keping-keping biji kedelai yang sudah dicampur dengan inokulum

diperam dalam kemasan pada suhu kamar (29ºC-31ºC). Kemasan diperlukan

karena kapang hanya memerlukan sedikit oksigen untuk tumbuh. Kemasan juga

berguna untuk mengkondisikan suhu agar selalu sesuai untuk pertumbuhan

kapang, bahan pengemas menggunakan daun pisang.

xxxvii

d. Proses Fermentasi

Ariani dan Hastuti (2009) melaporkan, selama fermentasi terjadi

perubahan bau dan rasa karena adanya aktivitas enzim. Selama fermentasi,

miselia jamur yang berwarna putih akan menyelubungi permukaan tempe, dan

mengeluarkan enzim protease, lipase dan amilase ke lingkungan sekitarnya.

Enzim-enzim tersebut dapat memecah komponen dalam bahan yaitu protein,

lemak dan karbohidrat menjadi bahan yang lebih sederhana. Aktivitas

mikroorganisme didalam proses pembuatan tempe secara tradisional, dapat

dibedakan menjadi 2 tahapan proses yaitu :

1) Proses Fermentasi Awal (Fermentasi I)

Proses perendaman selama 12 jam dilakukan terhadap biji-biji yang

telah disortir dan kemudian dikupas kulitnya, kemudian direndam kembali selama

12 jam, pada suhu kamar (27-300C), dengan menggunakan air tanah (sumur).

Pada proses ini terjadi proses fermentasi awal oleh bakteri pembentuk asam-

asam organik. Tujuan utama proses ini adalah untuk pengasaman kedelai. Untuk

maksud pengasaman ini, maka pada proses perendaman dilakukan inokulasi

bakteri pembentuk asam yaitu dengan menambahkan air kedalam rendaman dari

proses perendaman sebelumnya, sehingga tahapan ini disebut proses

fermentasi awal (fermentasi I). Pada biji buncis dan kecipir proses

perendamannya lebih lama yaitu 3 x24 jam, karena kulit biji kecipir itu keras

sedangkan buncis sangat berwarna biru air rendamannya sehingga untuk

membeningkan air rendaman diperlukan waktu yang lebih lama.

2) Proses Fermentasi Utama (Fermentasi II)

Mikroorganisme yang berperan utama didalam pembuatan tempe adalah

kapang Rhizopus sp. Aktivitas fisiologis kapang pada proses fermentasi tempe

xxxviii

dimulai sejak diinokulasinya inokulum (ragi tempe) pada bahan yang telah siap

difermentasikan yaitu biji kedelai, biji buncis dan kecipir masak yang telah dikuliti

dan ditiriskan. Spora kapang tersebut mulai tumbuh berkecambah dengan

membentuk benang-benang hifa yang makin memanjang membalut dan

menembus biji kedelai. Apabila benang-benang tersebut telah sedemikian padat,

maka terbentuklah tempe yang kompak, putih dan dengan aroma khas tempe.

Secara keseluruhan tahapan ini disebut sebagai proses fermentasi II, dan

berlangsung disaat pemeraman.

e. Rhizopus sp. / kapang tempe

Mikroorganisme yang berperan utama didalam pembuatan tempe, salah

satunya adalah kapang Rhizopus sp. Sebagai contoh inokulum dalam bentuk

tepung dan diproduksi skala pabrik oleh Puslitbang Kimia Terapan-LIPI Bandung,

menggunakan Rhizopus oligosporus (Lindajati, 1985). Didalam klasifikasi,

kapang ini digolongkan ke dalam genus Rhizopus, familia Mucoraceae, ordo

Mucorales, subklas Zygomicotina, dan klasis zygomycetes (Hesseltine, 1985).

Kapang yang tergolong dalam genus Rhizopus dicirikan berupa sel vegetatif

yang berupa benang dan disebut hifa/misellium yang membentuk stolon-stolon

(semacam ruas/buku) yang dilengkapi dengan rhizoid (mirip akar) yang tumbuh

bercabang-cabang masuk kedalam subtrat. Pada tempat tumbuhnya rhizoid,

terdapat sporangiospora yang tumbuh mengarah keudara (berlawanan arah

dengan rhizoid), dan dari tempat inilah terbentuk spora. Dibawah ini disajikan

gambar Rhizopus sp.

xxxix

Gambar 7. Rhizopus sp.

Rhizopus sp. sebagai kapang pemeran utama yang telah terbukti dapat

memfermentasikan kedelai dan membentuk tempe secara sempurna. Waktu

yang dibutuhkan sampai terbentuk tempe secara sempurna memerlukan waktu

24-36 jam.

Selama proses fermentasi berlangsung, kedelai berubah menjadi tempe

dan perubahan tersebut pada dasarnya dapat dibedakan sebagai perubahan

secara fisik dan secara kimia. Perubahan sifat fisik tempe dibandingkan dengan

kedelai antara lain, bertekstur kompak, warna putih dengan aroma khas tempe.

Perubahan secara kimia ditandai dengan terjadinya hidrolisa senyawa-senyawa

komplek (protein, karbohidrat, lemak, ikatan glikosida) menjadi senyawa yang

lebih sederhana dan mudah dicerna (Astuti, 1995).

A.3. Isoflavon

Flavonoid merupakan kelompok fenol dengan sebuah cincin aromatik

dan satu atau lebih gugus hidroksil yang tersebar di alam. Senyawa fenol

cenderung larut dalam air karena paling sering dijumpai bergabung dengan gula

xl

berupa glikosida dan biasanya terdapat dalam rongga sel. Flavonoid merupakan

kelompok molekul organik yang tersebar di hampir seluruh bagian tanaman.

Kurang lebih dua ribu jenis golongan flavonoid tersebar di alam (Goldberg,1996).

Penyebaran jenis flavonoid terbanyak dijumpai pada angiospermeae

(tumbuhan berbiji tertutup), dan flavonoid mempunyai potensi sebagai

antioksidan (Goldberg, 1996). Isoflavon adalah salah satu senyawa yang

termasuk dalam golongan flavonoid dan merupakan salah satu hasil metabolit

sekunder. Metabolit sekunder merupakan senyawa-senyawa yang terdapat pada

spesies tertentu dan sangat khas untuk setiap spesies. Metabolit sekunder

berperan untuk kelangsungan hidup suatu spesies dalam perjuangan

menghadapi keadaan darurat dan untuk bertahan hidup (Judoamidjojo et al.,

1992). Senyawa metabolit sekunder terbentuk pada saat tidak ada pertumbuhan

sel yang dikarenakan keterbatasan nutrien zat gizi dalam medium sehingga

merangsang dihasilkannya enzim-enzim yang berperan dalam pembentukan

metabolit sekunder dengan memanfaatkan metabolit primer untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Polisakarida, protein, lemak dan

asam nukleat merupakan penyusun utama dari makhluk hidup, karena itu disebut

metabolit primer. Proses metabolisme merupakan keseluruhan proses sintetis

dan perombakan zat-zat yang dilakukan oleh makhluk hidup untuk kelangsungan

hidupnya. Metabolit primer dari semua organisme sama meskipun sangat

berbeda genetiknya. Dibawah ini disajikan skema hubungan antara metabolit

primer dan metabolit sekunder yang disintesis oleh tumbuhan :

xli

Metabolisme Primer Metabolit Sentral Metabolit Sekunder

Gambar 8. Hubungan antara metabolit primer dan metabolit sekunder, (Muhanifa, 2000 dalam Ariani dan Hastuti, 2009)

3.1. Isoflavon Pada Kedelai

Mengingat berbagai potensi kedelai sebagai sumber gizi dan senyawa

aktif serta prospeknya untuk dikembangkannya produk-produk baru, kedelai

banyak disebut sebagai “The golden bean, the miracle bean, food for the future”.

Isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat dalam bentuk glikosida,

sedangkan yang dominan pada produk kedelai yang sudah mengalami

fermentasi adalah aglukan (Coward et al., 1993). Bentuk senyawa glikosida

dipertahankan oleh tanaman sebagai bentuk inaktif sehingga disimpan oleh

tanaman dalam keadaan yang stabil.

Polisakarida Glukosa Glikosida

Polisakarida Pentosa Tetrosa

Asam amino aromatik

Fenilpropanoid

Alkaloid

Protein

Tritosa Asam amino

alifatik Poliketida

Asam asetat Lemak

Asam mevalonat

Terpena Karotenoid

Asam Nukleat Siklus Krebs Asam - asam Tetrapirol

xlii

Bentuk aktif glikosida adalah aglikon, yang dihasilkan dari pelepasan glukosa

dari ikatan glikosida (Anderson and Carner, 1997).

Isoflavon pada kedelai terdapat dalam empat bentuk, yaitu dalam bentuk

aglikon (Faktor-2, daidzein, genistein, dan glisitein); dalam bentuk glikosida

(daidzin, genistin dan glisitin); dalam bentuk asetilglikosida dan malonilglikosida

(Wang and Murphy, 1994).

Struktur kimia senyawa isoflavon glikosida (daidzin, genistin dan glisitin) terlihat

pada tabel 2. dihalaman berikutnya :

Tabel 2. Struktur Daidzin, Genistin dan Glisitin

Nama Senyawa Struktur

Genistin O

OH

OH

O

O

O

OH

HOH

HOH

H

CH2OH

H

Glisitin

OH

O

H3CO

OO

OH

HOH

H

H

OH

H

CH 2OH

O

Daidzin

3.2. Isoflavon Pada Tempe Kedelai

Kedelai mengalami berbagai perubahan pada proses pembuatan untuk

dijadikan tempe, baik melalui proses fisik maupun proses enzimatik yang

CH2OH

H H

O H H

OH

O H

O

O

O H

O

O H

xliii

dikarenakan oleh aktivitas mikroorganisme. Keterlibatan mikroorganisme pada

proses pembuatan tempe terutama terjadi pada proses perendaman,

dikarenakan oleh bakteri-bakteri pembentuk asam dan proses fermentasi oleh

kapang khususnya Rhizopus oligosporus. Sebagai akibat perubahan-perubahan

tersebut tempe menjadi lebih enak, lebih bergizi, dan lebih mudah dicerna. Salah

satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbebasnya senyawa-

senyawa isoflavon dalam bentuk bebas (aglikon), dan teristemewa hadirnya

Faktor-2 yang terdapat pada tempe tetapi tidak terdapat pada kedelai, ternyata

berpotensi tinggi (dibanding dengan jenis isoflavon yang lainnya) sebagai

antioksidan (Gyorgy et al., 1964).

Faktor-2 (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon) merupakan senyawa yang sangat

menarik perhatian, karena senyawa ini terbentuk selama proses fermentasi oleh

aktivitas mikroorganisme. Senyawa ini mula-mula ditemukan oleh Gyorgy (1964)

pada ekstrak tepung tempe, yang merupakan senyawa konjugat/terikat dengan

senyawa karbohidrat melalui ikatan glikosida.

Selama proses pengolahan, baik melaui fermentasi maupun proses non-

fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami biokonversi, terutama melalui

proses hidrolisis sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang

disebut aglikon yang lebih tinggi aktivitasnya. Senyawa aglikon tersebut adalah

genistein, daidzein, glisitein dan faktor-2 (Purwoko et al., 2001).

Struktur dan sifat kimia daidzein, genistein, glisitein dan faktor-2 ditampilkan pada

gambar 9, 10, 11 dan 12 dihalaman berikut:

xliv

OH

OH

OOH

O

Genistein

OH

OH O

H3CO

O

Glisitein

Nama Kimia : Daidzein, 7,4’-dihidroksi isoflavon

Rumus Molekul : C15H10O4 Kelarutan: Tidak larut dalam air

Gambar 9. Struktur dan Sifat Kimia Daidzein

Nama Kimia : Genistein, 5,7,4’-trihidroksi isoflavon

Rumus Molekul : C15H10O5

Kelarutan : Larut dalam metanol dan etanol sukar larut dalam air

Gambar 10. Struktur dan Sifat Kimia Genistein

Nama Kimia : Glisitein, 6-metoksi-7,4’-dihidroksi isoflavon

Rumus Molekul : C16H12O5

Kelarutan : Tidak larut dalam air

Gambar 11. Struktur dan Sifat Kimia Glisitein

OH

OOH

O

Daidzein

xlv

OH

OH

OH

O

O

Faktor II

Nama Kimia : Faktor-2 , 6,7,4’-trihidroksi isoflavon

Rumus Molekul : C15H10O5

Kelarutan : Tidak larut dalam air

Gambar 12. Struktur dan Sifat Kimia faktor-2

3.3.Metabolisme Isoflavon pada Proses Pengolahan Kedelai menjadi Tempe

Senyawa isoflavon merupakan salah satu komponen yang juga

mengalami metabolisme. Senyawa isoflavon ini pada kedelai berbentuk senyawa

konjugat dengan senyawa gula melalui ikatan -O- glikosidik. Selama proses

fermentasi, akan berlangsung proses hidrolisis, sehingga dibebaskan senyawa

gula dan isoflavon aglukan. Senyawa isoflavon aglukan ini dapat mengalami

transformasi lebih lanjut membentuk senyawa transforman baru. Hasil

transformasi lebih lanjut dari senyawa aglukan ini justru menghasilkan senyawa-

senyawa yang mempunyai aktivitas biologi lebih tinggi. Selama proses

pengolahan, baik melalui fermentasi maupun proses non-fermentasi, senyawa

isoflavon dapat mengalami biokonversi, terutama melalui proses hidrolisis

sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut aglukan yang

lebih tinggi aktivitasnya. Hal ini terlihat pada faktor-2, yang mempunyai aktivitas

antioksidan dan antihemolisis lebih baik dari daidzein dan genistein. Selain itu,

telah ditemukan bahwa senyawa isoflavon faktor-2 lebih aktif 10 kali lipat dari

senyawa karboksikroman (Pawiroharsono, 1995).

Faktor-2 dipandang sebagai senyawa yang sangat prospektif sebagai

senyawa antioksidan (10 kali aktivitas dari vitamin A atau karboksi kroman dan

xlvi

sekitar 3 kali dari senyawa isoflavon aglukan lainnya pada tempe) serta

berkhasiat antihemolisis. Reaksi hidrolisis glikosida isoflavon menjadi aglikon

isoflavon ditampilkan pada gambar 13 dibawah ini :

Gambar 13. Reaksi Hidrolisis Glikosida Isoflavon menjadi Aglikon Isoflavon

Purwoko et al., (1993) dalam Restuhadi (2001), menyatakan bahwa 99%

isoflavon glikosida yang terdapat pada biji kedelai, selama proses perendaman,

dapat terhidrolisis menjadi aglikon isoflavon dan glukosa. Pada proses fermentasi

kedelai rendam dengan kapang Rhizopus oligosporus, daidzein dan genistein

dapat mengalami proses hidroksilasi sehingga menjadi senyawa yang memilik

O

O H O H

O

O

O

O H

H O H

H O H

H H

Genistin

O H O H

O O H

O

Genistein

+

H H

O H O H

O H

O H

H

2OH

Glukosa

b - glukosidase

+ H 2O

CH2OH

CH20H

H H

O H H

O H

O H

O O

O H

O

O H

Daidzin

O H

O O H

O

Daidzein

+ H H

O H O H

O H

O

O H

H

H

OH

Glukosa

b - Glukosidase

+ H2 O

O H

O

H 3 CO

O O

O H

H O H

H

H

O H

H

CH2OH

O

Glisitin

O H

O H O

H 3 CO O

H H

O H O H

O H

O

O H

H

H

CH2 OH

Glisitein Glukosa

+

b - glukosidase

+ H 2O

OH

CH

CH2

xlvii

aktivitas fisiologis tinggi dan disebut faktor-2. Senyawa isoflavon faktor-2 ini tidak

dijumpai pada kedelai yang tidak difermentasi (Trilaksani, 2003).

3.4. Manfaat Senyawa Isoflavon dari Tempe Kedelai

Isoflavon pada tempe dapat mencegah aktivitas sel menjadi sel kanker,

tetapi juga dapat memperbaiki metabolisme hormon steroid, menurunkan

kolesterol dan trigleserida, serta melindungi sel-sel hati dari paparan senyawa

beracun. Selain itu isoflavon juga dapat berfungsi untuk memperlancar sirkulasi

darah. Isoflavon mempunyai beberapa efek posifif, diantaranya adalah

antiadrenalin, yang membuat jantung bekerja lebih santai, di samping

antiperadangan serta mencegah ketidak teraturan denyut jantung. Khususnya

isoflavon pada tempe yang aktif sebagai antioksidan, yaitu factor-2 terbukti

berpotensi sebagai anti-kontriksi pembuluh darah (konsentrasi 5 µg/ml) dan juga

berpotensi menghambat pembentukan LDL (low density lipoprotein). Dengan

demikian, isoflavon dapat mengurangi terjadinya arteriosclerosis pada pembuluh

darah (Zilliken, 1987). Isoflavon mempunyai struktur kimia hamper sama dengan

estrogen sehingga disebut fitoestrogen (Pakasi, 2000 dalam Iswandari, 2006)

Hasil olahan kedelai lain seperti minyak kedelai, juga dapat menangkal

kolesterol. Menurut Zilliken (1987), faktor-2 merupakan senyawa isoflavon yang

paling besar pengaruhnya. Karena itulah isoflavon menumbuhkan harapan cerah

pada pencegahan dan penurunan kejadian penyakit jantung. Manfaat senyawa

Isoflavon dibidang kesehatan diantaranya adalah sebagai antikanker/antitumor,

antivirus, antikolesterol, mencegah jantung koroner, mencegah osteoporosis dan

membantu terapi hormon estrogen (Pawiroharsono, 1998).

xlviii

A.4. ANTIOKSIDAN

4.1. Pengertian Tentang Antioksidan

Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,

memperlambat, dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus, antioksidan

adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi

radikal bebas dalam oksidasi lipid, protein dan karbohidrat, dalam proses

metabolisme yang berlangsung dalam tubuh (Winarsi, 2004). Antioksidan bekerja

dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat

oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat.

Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting, karena berkaitan

dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh. Defisiensi antioksidan yang berupa

vitamin C, vitamin E, Se, Zn dan glutation, dalam derajat ringan hingga berat,

sangat berpengaruh terhadap respon imunitas (Meydani, et al., 1995)

Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu elektron atau

lebih yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak

berpasangan, menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan,

dengan cara menyerang dan mengikat elektron dari molekul yang berada

disekitarnya, ia sangat reaktif dan merusak jaringan (Soeatmaji, 1998).

Radikal bebas merupakan molekul yang kehilangan elektron, sehingga

molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron

dari molekul sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme

tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran UV, zat kimiawi

dalam makanan dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas

bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut

menjadi nyata. Radikal bebas sangat reaktif karena kehilangan satu atau lebih

xlix

elektron yang bermuatan listrik, dan untuk mengembalikan keseimbangannya

maka radikal bebas berusaha mendapatkan elektron dari molekul lain atau

melepas elektron yang tidak berpasangan tersebut.

Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya

karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein dan jaringan lemak.

Radikal bebas terbentuk di dalam tubuh akibat produk sampingan proses

metabolisme ataupun karena tubuh terpapar radikal bebas melalui pernapasan.

Di dalam tubuh terdapat mekanisme antioksidan atau antiradikal bebas secara

endogenik. Tetapi bila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih maka

dibutuhkan antioksidan yang berasal dari sumber alami atau sintetik dari luar

tubuh. Senyawa antioksidan ini akan menyerahkan satu atau lebih elektronnya

kepada radikal bebas sehingga dapat menghentikan kerusakan yang disebabkan

oleh radikal bebas.

Antioksidan dapat berasal dari dalam tubuh dan luar tubuh. Didalam

tubuh kita memiliki sistem enzym antioksidan yang bekerja secara simultan

memetabolisme radikal bebas sehingga tidak meninggalkan kerusakan pada

jaringan (Hodgson and Levi, 2000). Sementara itu jenis antioksidan yang lainnya

berasal dari luar tubuh, yaitu yang berasal dari makanan, atau komponen bahan

makanan (fitokimia) seperti fenol, atau alkaloid (Schultze et al., 1984).

Menurut Winarsi (2007), secara umum antioksidan dikelompokkan

menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan

enzimatis misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation

peroksidase. Antioksidan non-enzimatis meliputi antioksidan larut dalam lemak

(tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon dan bilirubin) dan antioksidan larut dalam

air (vitamin C, asam urat, protein pengikat logam dan protein pengikat heme).

l

Senyawa antioksidan memiliki peran yang sangat penting dalam

kesehatan. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa antioksidan

mengurangi resiko terhadap penyakit kronis, seperti kanker dan penyakit jantung

koroner (Amrun et al., 2007). Reaksi oksidasi lemak yang terjadi pada makanan

atau bahan makanan berlemak dapat dihambat dengan pemberian zat

antioksidan. Pada umumnya zat antioksidan yang digunakan adalah zat

antioksidan sintetik seperti Butylated Hydroxyanisole (BHA), Butylated

Hydroxytoluene (BHT), Propyl Gallat (PG) dan Etylene Diamine Tetra Acetic Acid

(EDTA). Sementara itu penggunaan zat antioksidan sintetik tertentu misalnya

BHT dapat menimbulkan akibat buruk terhadap kesehatan konsumen seperti

gangguan fungsi hati, paru, mukosa usus dan keracunan. Salah satu usaha

untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengganti zat antioksidan sintetik

dengan zat antioksidan alami. Zat antioksidan alami dapat diperoleh dari ekstrak

bagian-bagian tanaman tertentu terutama yang banyak mengandung senyawa-

senyawa flavonoid yang tersusun dari gugus-gugus fenol (Suryo dan Tohari,

1995).

Perkembangan pengetahuan menunjukkan adanya hubungan antara

kimiawi radikal dengan keterlibatannya pada proses biologi normal ataupun pada

beberapa penyakit yang dihubungkan dengan ketuaan. Antioksidan merupakan

senyawa yang mampu menghambat oksidasi molekul lain. Tubuh tidak

mempunyai sistem pertahanan antioksidatif yang berlebihan, sehingga jika terjadi

paparan radikal bebas yang berlebihan, tubuh membutuhkan antioksidan

eksogen. Kekhawatiran terhadap efek samping penggunaan antioksidan sintetik,

maka antioksidan alami menjadi alternatip yang terpilih. Antioksidan alami

mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh oksigen

li

reaktif, menghambat penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidasi

lipid pada makanan. Beberapa tahun terkhir terjadi peningkatan minat untuk

mendapatkan antioksidan alami.

Jenis penggolongan antioksidan yang lain adalah berdasarkan sumber

diperolehnya senyawa tersebut. Penggolongan ini ada dua yaitu antioksidan

sintetik dan antioksidan alami.

4.2. Antioksidan sintetik

Antioksidan sintetik efektif dalam mencegah ketengikan pada minyak dan

bahan pangan berlemak (Purwoko 2001 dalam Meyri, 2003). Contoh antioksidan

sintetik adalah BHA, BHT, propil galat dan EDTA. Menurut Chang et al. (1977),

penggunaan BHT pada tikus percobaan dapat menyebabkan kerusakan organ

tubuh seperti paru-paru dan organ pencernaan. oleh karena itu penggunaan food

additive (bahan tambahan pada makanan) lebih baik dibatasi.

Penggunaan antioksidan tidak boleh berlebihan karena aktivitas

antioksidan akan hilang pada konsentrasi yang tinggi dan mungkin akan menjadi

prooksidan. Penggunaan antioksidan berlebihan akan menyebabkan senyawa

lebih bersifat sebagai akselerator daripada inhibitor dalam oksidasi lemak.

Dalam keadaan berlebih, antioksidan akan meningkatkan dekomposisi oksidasi

lemak dan pembentukan produk radikal.

4.3. Antioksidan Alami

Merupakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan

ditambahkan ke bahan makanan. Kebanyakan senyawa antioksidan yang

diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Isolasi antioksidan

alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari

bagian yang dapat dimakan.

lii

4.3.a. Antioksidan Pada Kedelai

Salah satu senyawa dari tumbuhan yang memiliki kemampuan

bioaktivitas sebagai antioksidan adalah isoflavon. Isoflavon sebagai hasil

metabolit sekunder, banyak disintesa oleh tanaman angiospermae dan banyak

terdapat pada kelompok leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai. Pada

tanaman kedelai, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji kedelai

bagian hipokotil dan kotiledon (Anderson, 1997). Pawiroharsono (1995)

melaporkan bahwa kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2-4 mg/g.

Senyawa isoflavon pada kedelai, umumnya berupa senyawa kompleks

atau konjugasi dengan senyawa gula melalui ikatan glikosida. Jenis senyawa

tersebut diantaranya adalah genistin, daidzin, dan glisitin. Bentuk senyawa

demikiaan ini mempunyai aktivitas fisiologis kecil, apabila melalui proses

pengolahan (baik melalui proses fermentasi maupun non fermentasi), senyawa

isoflavon dapat mengalami transformasi terutama melalui proses

hidrolisis,sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut

aglikon yang lebih tinggi aktivitas fisiologisnya.

Selain isoflavon, asam fitat yang terkandung pada kelompok tanaman

leguminoceae, juga memiliki efek antioksidan. Asam fitat merupakan bentuk

penyimpanan fosfor terbesar pada tanaman sereal dan leguminosa.

Menurut Nuraida dan Yasni (1998) dinyatakan bahwa produk olahan

kedelai tanpa fermentasi, masih mengandung asam fitat tetapi fermentasi

Rhizopus pada kedelai dapat menghilangkan asam fitat, sehingga tempe tidak

mengandung asam fitat.

liii

4.3.b. Antioksidan Pada Tempe Kedelai

Dalam tempe kedelai terdapat empat jenis isoflavon yang mempunyai

khasiat antioksidan, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein serta faktor-2. Selain

itu, isoflavon juga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai obat. Pada tabel

berikut, disajikan beberapa potensi pemanfaatan isoflavon yang diperoleh dari

hasil penelitian.

Tabel 3. Potensi Pemanfaatan Senyawa Isoflavonoid

No Isoflavon Bioaktivitas Referensi 1 Daidzein,Genistein Antioksidan, Antikanker Gyorgy et al.(1964) Glisitein, Faktor-2 Antioksidan, Anrikanker Kramer, et al (1984)

2 Faktor-2 Antioksidan, Antiinflamasi Zilliken (1987) Antikontriksi, Antikanker

3 Faktor – 2 Antiheimolitic Murata, Jha (1985) 4 Glisitein Antialergi Jha ( 1985 )

5 Daidzein,Genistein Estrogenik Oilis (1962 )

Snyder dan Kwon ( 1987)

Sumber : Pawiro Harsono ( 1998 )

B. Kerangka Berpikir

Senyawa isoflavon banyak ditemukan pada semua jenis tanaman, dan

dari berbagai hasil penelitian melaporkan bahwa tanaman leguminoceae /kacang

polong mempunyai kandungan isoflavon yang lebih tinggi bila dibandingkan

dengan jenis tanaman bukan leguminoceae. Buncis dan Kecipir merupakan dua

spesies dari keluarga leguminoceae, diduga bahwa buncis dan kecipir juga

memiliki kandungan isoflavon yang tinggi. Peneliti menggunakan kedelai kuning

sebagai kontrol pembanding, karena kedelai sudah diketahui dari berbagai

penelitian ilmiah sebagai sumber isoflavon yang dikenal oleh masyarakat luas.

Seberapa banyakkah kandungan isoflavon yang dimiliki oleh buncis dan kecipir,

serta bagaimanakah kemampuan aktivitas antioksidatifnya akan diketahui dari

liv

hasil penelitian ini. Lebih tinggi ataukah lebih rendah kandungan isoflavonnya

bila dibanding dengan senyawa antioksidan yang sudah dikenal oleh masyarakat

seperti vitamin C, alfatokoferol, betakaroten maupun BHT.

C.Hipotesis

1. Biji buncis dan kecipir hasil fermentasi 0, 1, 2, 3, 4 hari, mengandung senyawa

isoflavon yang bervariasi.

2. Kandungan isoflavon yang tinggi, memiliki kemampuan sebagai antioksidan

yang bagus (optimum).

lv

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tentang Karakterisasi Senyawa Bioaktif Isoflavon dan Uji

Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Tempe Berbahan Baku Buncis dan Kecipir,

dilakukan dengan metode eksperimental laboratorium yang berlangsung dari

bulan Februari 2009 sampai bulan Juli 2009.

Penelitian ini dilakukan di:

a. Laboratorium Program Kimia FKIP UNS

b. Sub Laboratorium Biologi Pusat MIPA UNS

c. Laboratorium Kimia Organik Fakultas MIPA UGM

B. Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Alat untuk uji HPLC ( Perkin Elmer LC 295)

b. Alat untuk uji Aktivitas Antioksidan ( Spektrofotometer UV – VIS )

c. Blender (National)

d. Pipet mikro ( Master Pet )

e. Spatula

f. Gelas Erlenmeyer, Bekerglas, Petridish, Corong kaca, gelas arloji,

pengaduk, dan botol-botol vial.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Kedelai kuning dari Madura, buncis dan kecipir dari Ndarjo Wonogiri

b. Etanol 95 % , Metanol p.a ( Merck )

c. Standar Genistein ( Sigma Chemical Co )

d. Standart Daidzein ( Sigma Chemical Co )

lvi

e. Standar Glisitein ( Sigma Chemical Co )

f. Standar Faktor-2 ( Sigma Chemical Co )

g. DPPH, BHT, Betakaroten, Alfatokoferol, Vitamin C (Sigma Chemical Co)

h. Metanol gradient grade for liquid chromatography ( Merck )

i. Aluminium foil, kertas saring, dan akuades

C. Prosedure Penelitian

1. Pembuatan Tempe Kedelai

Tempe kedelai dibuat dari biji kedelai sebanyak 0,5 kg dan diinokulasi

dengan 0,5 gram inokulum tempe. Sebelum diinokulasi, biji kedelai disortir agar

didapatkan kedelai dengan kualitas yang bagus. Biji kedelai kemudian direndam

selama 24 jam, kemudian kulit biji dikupas secara manual dengan menggunakan

tangan. Proses perendaman ini selain untuk menghilangkan bau langu pada

kedelai juga untuk melunakkan biji, sehingga diperoleh kedelai kupas yang

bersih dari kulit. Kemudian kedelai kupas dikukus 30 menit dan untuk selanjutnya

diproses lebih lanjut dengan cara difermentasikan dengan ragi tempe dan

menghasilkan tempe kedelai. Tahapan dalam pembuatan tempe kedelai

dijelaskan dalam uraian berikut :

a. Pemilihan Biji Kedelai

Biji kedelai yang akan dibuat tempe perlu dipilih agar diperoleh bahan

dasar tempe yang berkualitas baik, sehingga tempe yang dihasilkan juga baik.

Biji kedelai yang digunakan adalah biji kedelai yang bentuknya utuh, bernas,

berwarna kuning bersih dan tidak terdapat cacat pada seluruh permukaannya

seperti bekas hama, lubang-lubang, dan berkerut kulitnya.

lvii

b. Perendaman

Biji kedelai yang telah dipilih selanjutnya direndam dalam air biasa

selama 24 jam. Air diganti setiap 6 jam sekali untuk menghindari bau yang tidak

enak selama proses perendaman. Perendaman merupakan salah satu cara

dalam persiapan bahan, yaitu menyiapkan kedelai kupas sebelum

difermentasikan.

c. Pengupasan

Selama perendaman, biji kedelai dikupas kulitnya menggunakan tangan

untuk menjamin kebersihan dan kedelai tidak rusak. Biji kedelai yang telah

dihilangkan kulit arinya (kedelai kupas), selanjutnya dikukus.

d. Pengukusan

Biji kedelai yang telah dikupas selanjutnya dikukus menggunakan

dandang tertutup selama 30 menit. Pengukusan merupakan salah satu cara

persiapan bahan, sebelum difermentasi menjadi tempe. Proses pengukusan ini

juga merupakan proses untuk menambah kadar air pada biji kedelai, sehingga

kelembabannya memenuhi syarat untuk pertumbuhan jamur Rhizopus

oligosporus. Hasil dari pengukusan ini adalah kedelai kukus yang sedikit lunak

dan lebih besar ukuran bijinya.

e. Penambahan inokulum (ragi tempe)

Setelah sampel dalam keadaan tidak terlalu basah, ditaburi ragi atau

inokulum sebanyak 0,5 gram untuk 500 gram sampel kedelai. Inokulum yang

digunakan adalah Rhizopus sp. produk LIPI dengan merk RAPRIMA

Inokulum tempe yang digunakan berupa serbuk halus berwarna putih

kekuningan dan tidak berbau. Sebelum ditambahkan inokulum, kedelai hasil

pengukusan diangin-anginkan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar air

lviii

berlebih pada kedelai. Pencampuran dilakukan dengan diaduk perlahan-lahan

secara merata agar jamur tumbuh pada permukaan biji-biji kedelai secara

optimum, sehingga diperoleh tempe yang teksturnya kompak dan merata.

f. Pengemasan

Kedelai yang telah diinokulasi selanjutnya dikemas menggunakan daun

pisang. Pengemasan bertujuan untuk mencegah kontaminasi bahan lain atau

mikrobia yang dapat mengganggu pertumbuhan jamur pada proses fermentasi

tempe.

g. Fermentasi

Kedelai yang telah diinokulasi dan dikemas, selanjutnya difermentasi

selama 0, 1, 2, 3 dan 4 hari. Fermentasi 0 hari merupakan kedelai kukus yang

setelah diinokulasi dengan ragi namun tidak difermentasikan lebih lanjut.

Fermentasi bertujuan memberi kesempatan pada jamur untuk melanjutkan

pertumbuhan. Mekanisme kerja pembuatan tempe kedelai dapat dilihat pada

lampiran 1.

2. Pembuatan Tempe berbahan biji Buncis dan biji Kecipir

Tempe dari bahan buncis dan kecipir, dibuat dari biji buncis dan biji kecipir

sebanyak masing-masing 0,5 kg dan diinokulasi dengan 0,5 gram inokulum

tempe. Sebelum diinokulasi, biji buncis dan biji kecipir disortir agar didapatkan biji

dengan kualitas yang bagus. Biji buncis maupun biji kecipir kemudian direndam

selama 3x24 jam, sambil dikupas kulitnya dan diganti air perendamnya sampai

tidak berwarna biru (air perendamnya bening). Tujuan dari perendaman adalah

untuk menghilangkan bau langu dan menghilangkan zat sianida yang terdapat

pada biji buncis dan kecipir. Setelah selesai perendaman dan pengupasan akan

dihasilkan biji buncis dan biji kecipir kupas, kemudian dikukus 60 menit, sehingga

lix

dihasilkan biji kupas yang sudah masak sekaligus relatif steril, untuk selanjutnya

diproses lebih lanjut secara fermentasi dengan variasi lama fermentasi (0, 1, 2, 3,

dan 4 hari) dan akhirnya dihasilkan tempe. Fermentasi 0 hari adalah biji legum

buncis dan kecipir yang sudah di inokulasi dengan ragi, tetapi tidak

difermentasikan lebih lanjut. Bagan alir pembuatan tempe berbahan buncis dan

kecipir ada pada lampiran 2.

3. Mengekstraksi Isoflavon dengan Metode Maserasi

Untuk mengisolasi isoflavon, dapat diuraikan sebagai berikut :

Sebanyak 100 g sampel diblender hingga terbentuk bubur, kemudian

dimaserasi dalam 250 ml etanol 70 % selama 24 jam, kemudian disaring dan

filtratnya ditampung. Residu ditambah dengan 100 ml etanol 70 %, kemudian

dimaserasi selama 24 jam, kemudian disaring dan filtratnya ditampung. Residu

kedua ditambah dengan 100 ml etanol 70 %. Filtrat hasil maserasi kemudian

dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator hingga diperoleh ekstrak kental.

Ekstrak kental di oven selama 30 menit dengan suhu 50oC sehingga diperoleh

massa hasil ekstraksi, kemudian diidentifikasi isoflavonnya dengan metode

HPLC. Mekanisme Isolasi Isoflavon dengan metode maserasi dapat dilihat pada

lampiran 3.

4. Identifikasi Isoflavon

Adapun mekanisme kerja untuk mengidentifikasi isoflavon dari hasil

ekstraksi dengan etanol dari bahan baku legum, dapat diuraikan sebagai berikut :

Identifikasi isoflavon dengan menggunakan metode HPLC dilakukan

dengan pengkondisian instrumen HPLC dan pembuatan larutan sampel. Larutan

sampel dibuat dengan mengambil 1 mg massa hasil ekstraksi lalu masing-

masing dilarutkan dalam etanol 10 mL. Larutan kemudian disentrifuge lalu

lx

diambil 20 µL dengan alat injeksi. Selanjutnya sampel diinjeksikan ke dalam

HPLC setelah pengkondisian HPLC selesai. Menganalisa kromatogram HPLC

dengan menggunakan pembanding kromatogram isoflavon standar yang terdiri

dari daidzein, genistein, glisitein dan faktor-2. Adapun kondisi HPLC adalah

sebagai berikut:

a. Panjang Kolom : 10 cm

b. Jenis Kolom : Lichrosper (R) 100 RP-18 (non polar)

c. Fase Gerak : metanol : asam asetat 0,02 ( 57,5% ; 42,5%)

d. Volume Injeksi : 20 µL

e. Detektor : sinar UV pada panjang gelombang 265 nm

f. Suhu Oven : suhu kamar

Mekanisme kerja untuk mengidentifikasi Isoflavon dengan metode HPLC dapat

dilihat pada lampiran 4.

5. Uji Aktivitas Antioksidan

a. Pembuatan larutan DPPH dengan cara menimbang kristal sebanyak

7,88 mg DPPH dan dilarutkan dalam metanol 100 mL sehingga diperoleh

konsentrasi 0,2 mM sebagai larutan kontrol. Pengukuran absorbansi larutan

DPPH dilakukan dengan memipet 600 µL pelarut (metanol) ke dalam kuvet dan

ditambahkan larutan DPPH sampai volume 3 mL, kemudian ditutup dan dikocok

sampai homogen warnanya. Selanjutnya membuat spektra sinar tampak pada

panjang gelombang (λ) 400-600 nm dan mencatat absorbannya pada puncak

panjang gelombang 517nm sebagai absorban kontrol.

Untuk menganalisis adanya senyawa antioksidan dari hasil ekstraksi

kedelai kuning Madura, buncis dan kecipir Wonogiri menggunakan metode

DPPH. Prosedur yang dikerjakan untuk uji aktivitas antioksidan meliputi :

lxi

b. Pembuatan Larutan Sampel, dengan cara menimbang ekstrak

sebanyak 2 mg dan melarutkan ke dalam etanol 4 mL untuk membuat larutan uji

dengan konsentrasi 100 ppm. Kemudian pengukuran antioksidan bahan uji

digunakan metode yang sama, dimana 600 µL pelarut diganti dengan 600 µL

larutan uji (sampel). Selanjutnya membuat spektra sinar tampak pada panjang

gelombang (λ) 400-600 nm dan mencatat absorbannya pada puncak panjang

gelombang mendekati 517nm sebagai absorban sampel.

c. Pengukuran Kadar Antioksidan

Aktivitas antiradikal dihitung dengan metode DPPH dimana sampel

direaksikan dengan larutan DPPH. Aktivitas antiradikal diperlihatkan pada sistem

yang warnanya berubah dari ungu menjadi kekuningan.

Perubahan warna larutan menunjukkan aktivitas penangkapan radikal

bebas DPPH dan dapat diukur dengan perbedaan absorbansi yang dihasilkan

pada sampel dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas antiradikal dinyatakan

dalam bentuk persen penangkapan radikal DPPH dan dihitung dengan

persamaan ( Yen dan Chen, 1995 dalam Ariani dan Hastuti, 2009).

absorbansi sampel % aktivitas antioksidan = ( 1 - ) x 100% absorbansi kontrol

Nilai 0% berarti tidak mempunyai aktivitas antiradikal bebas atau

antioksidan, sedangkan nilai 100% berarti peredaman total dan pengujian perlu

dilanjutkan dengan pengenceran larutan uji untuk melihat batas konsentrasi

aktivitasnya. Mekanisme pembuatan larutan DPPH dan pembuatan larutan

sampel serta uji aktivitas antioksidannya, dapat dilihat pada lampiran 5a. dan 5b.

lxii

E. Teknik Analisa Data

Isoflavon yang diperoleh dari hasil ekstraksi, dianalisa jenis-jenis

isoflavonnya dengan metode HPLC dengan menggunakan standar isoflavon

genistein, daidzein, glisitein dan faktor-2 sebagai pembanding.

Instrumen HPLC akan memberikan puncak-puncak kromatogram untuk

masing-masing jenis isoflavon. Untuk mengetahui jenis isoflavon dalam sampel,

dilakukan dengan membandingkan tr (waktu retensi) dari sampel dengan tr (waktu

retensi) standar yang telah diketahui. Dengan membandingkan luas puncak

kromatogram sampel dengan luas puncak kromatogram standar, akan diketahui

kadar setiap jenis isoflavon dalam sampel.

Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan fermentasi pada kedelai,

buncis, dan kecipir dengan pengukuran dan penghitungan aktivitas

antioksidannya, dianalisa dengan menggunakan program SPSS version 15,

analisa data berupa General Linear Model-Univariete. Untuk membandingkan

aktivitas antioksidan pada legum (kedelai, buncis,kecipir) dengan antioksidan

alami (α-tokoferol, β-karoten, dan vitamin C) serta BHT, dianalisa dengan

Compare Means – One Way Annova menggunakan program SPSS version 15.

lxiii

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, hasil yang di peroleh dari penelitian yang dilakukan akan di

tabulasikan dan disertai dengan pembahasan. Urutan hasil penelitian dan

pembahasannya akan disusun sebagai berikut :

A. Hasil Fermentasi Kedelai, Buncis dan Kecipir

Dari fermentasi yang dilakukan pada biji-biji leguminoceae (kedelai,

buncis, dan kecipir) dapat diamati bahwa pertumbuhan miselium kapang yang

paling optimum untuk ketiga jenis legum adalah fermentasi hari ke 2 dan ke 3.

Pada fermentasi hari pertama, pertumbuhan miselium belum banyak dan belum

merata, sedangkan fermentasi hari keempat sudah over fermented sehingga

kelihatan warnanya berubah dari putih menjadi kuning kecoklatan, kepadatannya

menurun dan disertai munculnya aroma amonia (sengak).

Dari hasil fermentasi hari ke 2 dan ke 3, tekstur tempe padat dan

pertumbuhan miseliumnya paling banyak dan tebal, diduga kandungan senyawa

isoflavonnya paling optimum (terutama faktor-2), bila hasil fermentasinya paling

optimum diharapkan kandungan isoflavonnya juga optimum, menurut hasil

penelitian (Gyorgy et al., 1964) dilaporkan bahwa isofdlavon faktor-2 hanya

dijumpai pada kedelai rendam dan hasil fermentasi oleh kapang Rhizopus sp .

Fermentasi hari ke 0, merupakan biji legume yang telah mengalami

proses perendaman sampai pengukusan dan penambahan inokulum, namun

tidak difermentasikan lebih lanjut (berarti tidak muncul miselium)..

Pada dasarnya, fermentasi hari ke 0 sebenarnya sudah terjadi proses fermentasi

awal yang berlangsung di saat perendaman biji, sehingga dimungkinkan telah

terjadi perubahan melalui proses hidrolisis senyawa glikosida isoflavon menjadi

lxiv

aglikon isoflavon. Pada proses perendaman juga terjadi proses pembentukan

senyawa asam organik yang dilakukan oleh bakteri pembentuk asam, seperti

Lactobacillus sp., Streptococcus thermopillus yang ditandai munculnya lendir dan

busa serta aroma kecut/asam pada air rendamannya (Kasmidjo, 1990).

Fermentasi hari ke 1, sudah muncul miselium berupa serabut-serabut

halus tetapi belum tebal dan perlekatan miselium dengan biji-biji belum merata.

Selama fermentasi tempe, hifa Rhizopus sp. menembus biji-biji yang keras dan

mengambil makanan dari dalam biji tersebut untuk pertumbuhannya. Mula-mula

hifa hanya menyebabkan lunaknya biji dengan dorongan mekanis akibat

pertumbuhannya, selanjutnya akan diikuti dengan berlangsungnya proses

perombakan secara enzimatis. Perubahan kimiawi dalam biji terjadi oleh aktivitas

enzim ekstraseluler yang dilepaskan oleh ujung-ujung miselia, antara lain enzim

lipase, fitase, proteolitik dan, enzim β-glukosidase (Kasmidjo, 1990; Suwaryono

dan Ismeini, 1998).

Fermentasi hari ke 4, miselium mulai berkurang yang ditandai dengan

perubahan warna dari putih menjadi kuning kecoklatan serta kepadatannya

berkurang, walaupun produk fermentasinya bila di iris tidak remuk (pecah),

berarti masih ada sisa-sisa miselium kapang di dalam tempe yang melekat pada

biji-biji, diperkirakan kandungan isoflavonnya juga mulai berkurang karena

berlangsung juga proses penguraian oleh bakteri yang ditandai oleh munculnya

bau busuk dan aroma amoniak. Aktivitas enzim lipase akan mendegradasi lemak

dalam kedelai menjadi asam-asam lemak yang akan digunakan sebagai sumber

energi untuk pertumbuhan Rhizopus sp, sedangkan aktivitas oleh proteolitik

dapat merombak protein kedelai menjadi asam amino sebagai sumber nitrogen,

kemudian asam amino ini akan masuk kedalam metabolisme intra sel dan

lxv

akhirnya melepaskan amoniak keluar dari sel. Akumulasi amoniak yang

dilepaskan selama fermentasi tempe dapat meningkatkan nilai pH.

Seiring dengan telah terurainya senyawa yang terkandung dalam kedelai secara

keseluruhan oleh aktivitas berbagai enzim yang dihasilkan oleh Rhizopus, maka

aktivitas pertumbuhan pun mulai berkurang. Nilai pH yang semakin meningkat

akan menghambat pertumbuhan Rhizopus, karena sudah tidak cocok dengan

lingkungannya. Peningkatan nilai pH dan penurunan aktivitas pertumbuhan

Rhizopus akan membuka kesempatan bagi bakteri penyebab kebusukan untuk

tumbuh dan berkembang biak, karena bakteri pembusuk pada tempe dapat

hidup pada nilai pH 6-10, diantaranya adalah Bacillus sp. (Suwahyono,1989;

Kasmidjo, 1990). Aktivitas enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri

pembusuk akan semakin melunakkan tempe dan menghasilkan banyak

akumulasi amoniak dan menimbulkan bau busuk dan sengak. Untuk lebih

jelasnya, karakterisasi biji legume mentah dan hasil fermentasinya dapat dilihat

pada lampiran 7, 8, dan 9.

B. Hasil Ekstraksi Senyawa Isoflavon

Ekstraksi isoflavon dilakukan dengan cara maserasi menggunakan

pelarut etanol 70%. Etanol 70% diketahui mampu mengekstrak isoflavon secara

optimal (Kudou et al., 1991). Etanol merupakan salah satu pelarut optimum

untuk mengekstrak isoflavon dari kedelai, tetapi penggunaanya untuk skala

komersial masih dikaji lebih lanjut karena bersifat toksik (Susanto et al.,1998).

Dalam penelitian ini menggunakan pelarut etanol karena selain kepolarannya

mendekati metanol, etanol juga relatif tidak beracun. Proses penyiapan bahan

adalah dengan memotong tempe kedelai hasil fermentasi 1, 2, 3 dan 4 hari

dalam ukuran yang tipis, kemudian diblender hingga berbentuk bubur tempe.

lxvi

Khusus untuk tempe fermentasi 0 hari, langsung diblender setelah penambahan

inokulum. Pembuatan bubur tempe bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel

sehingga diharapkan senyawa isoflavon yang terekstrak akan semakin banyak

karena interaksi antara pelarut dengan bahan yang akan diekstrak semakin

tinggi.

Bahan mentah dimaserasi dalam pelarut etanol selama 24 jam,

selanjutnya filtrat dipisahkan dari residu untuk diproses lebih lanjut menjadi

ekstrak yang murni. Pada penelitian ini, maserasi dilakukan dalam pelarut etanol

70%. Etanol merupakan pelarut yang sesuai untuk mengekstrak senyawa-

senyawa organik (Susanto, 1998). Dari proses maserasi dan penyaringan

diperoleh hasil berupa filtrat, kemudian filtrat tersebut diuapkan dengan rotary

vacum evaporator pada suhu 500 C sampai didapatkan ekstrak yang pekat atau

hampir semua etanol teruapkan. Pada saat merotari dengan rotary vacum

evaporator menggunakan suhu 500 C, dikarenakan etanol yang digunakan untuk

maserasi memiliki titik didih 800 C, sehingga untuk menguapkan etanol secara

perlahan-lahan dipanaskan secara tidak langsung (labu ekstrak berputar

dipermukaan air dengan suhu dibawah 800 C) agar senyawa-senyawa dalam

hasil ekstraksi tidak mengalami kerusakan tetapi etanolnya dapat menguap.

Isoflavon diketahui memiliki titik didih diatas 2000C (Ariani dan Hastuti, 2009)

sehingga pemanasan dengan suhu 500C tentu tidak akan merusakkan senyawa

isoflavon yang terkandung dalam ekstrak. Ekstrak tersebut selanjutnya disimpan

dalam oven dengan suhu 500 C untuk menguapkan pelarut yang masih tersisa.

Hasilnya adalah massa hasil ekstraksi seperti yang tercantum dalam gambar

grafik berikut ini :

lxvii

Gambar 14. massa hasil ekstraksi biji kedelai kuning dan produk fermentasinya

Gambar 15. massa hasil ekstraksi biji buncis dan produk fermentasinya

Gambar 16. massa hasil ekstraksi biji kecipir dan produk fermentasinya

lxviii

Dari gambar diatas dapat ditunjukkan, bahwa ekstraksi yang

menghasilkan massa ekstraks dari masing-masing legume (kedelai, buncis dan

kecipir) mentah beserta produk fermentasinya ternyata bervariasi, walaupun

ketiganya tergolong kelompok leguminoceae, Massa hasil ekstraksi yang

diperoleh dari biji buncis dan kecipir mentah ternyata lebih banyak daripada

produk fermentasinya kecuali pada kedelai. Massa hasil ekstraksi dari biji

mentah, terbanyak berasal dari biji kecipir yaitu (3,910 g), kemudian biji kedelai

kuning madura (3,422 g) dan paling sedikit diperoleh dari biji buncis sebanyak

2,550 g dari 100 gram sampel yang di ekstraksi. Massa hasil ekstraksi yang

diperoleh dari produk fermentasi, jumlah tertinggi pada tempe kedelai dan tempe

buncis 4hari, masing-masing (5,192 g) dan (1,241 g), sedangkan tempe kecipir

menghasilkan ekstrak tertinggi pada fermentasi 3hari yaitu sebanyak 3,310 g

dari setiap 100 g sampel.

Hasil ekstraksi yang diperoleh dari kedelai, buncis dan kecipir beserta

produk tempenya ternyata bervariasi, dimungkinkan karena varietasnya, sifat

keras atau lunaknya biji, kandungan zat yang ada dalam biji dan kepadatan

komponen zat yang ada didalam biji-biji tersebut, juga berbeda walaupun

termasuk dalam famili yang sama. Hasil pertanian selalu dipengaruhi oleh faktor-

faktor lingkungan seperti tanah tempat tumbuhnya, musim tanamnya, cara

pengelolaan tanaman dan pengelolaan hasil panennya. Senyawa yang

terekstraksi oleh etanol tentulah senyawa-senyawa yang kepolarannya sama

dengan etanol, diantaranya adalah protein, lemak, alkaloid dan yang akan

diambil dari sampel penelitian ini adalah isoflavon. Hasil Ekstraksi dari kedelai

kuning, buncis, kecipir, beserta produk tempenya dapat dilihat pada lampiran 10.

lxix

Massa hasil ekstraksi yang diperoleh dari biji buncis dan kecipir mentah

berwarna hitam pekat, karena masih banyak mengandung senyawa sianida

sedangkan massa hasil ekstraksi dari biji kedelai mentah berwarna coklat tua ,

kemungkinan kandungan sianidanya relatif lebih sedikit dan akan hilang pada

saat dilakukan perendaman dan pengukusan. Proses perendaman dalam air

(apalagi air panas) dan perlakuan fermentasi dapat menurunkan kandungan

sianida dan asam fitat, karena terjadi hidrolisis asam fitat menjadi inositol dan

asam fosfat oleh enzim fitase yang diaktifkan selama perendaman dan

fermentasi. Hasil penelitian Samson et al., 1987; Koswara, 1995; Pramita 2008),

melaporkan adanya Lactobacillus casei, Streptococcus jaecium, Klebsiella

pneumonia, Enterobacter cloaceae, Bacillus brevis dan Bacillus pumilus dalam

air rendaman kedelai. Dilaporkan juga bahwa bakteri jenis Bacillus sp

mempunyai aktivitas enzim fitase, yang dapat menguraikan asam fitat menjadi

inositol dan asam fosfat, sedangkan senyawa HCN dalam biji dapat terhidrolisis

disaat perendaman menjadi ion H+ dan CN - .

C.Hasil Identifikasi Isoflavon dengan menggunakan Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography)

Analisis dengan HPLC bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan

senyawa isoflavon faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein dalam sampel biji

mentah, tempe kedelai, tempe buncis dan tempe kecipir pada variasi lama waktu

fermentasi ( 0, 1, 2, 3, dan 4 hari ). Seperti metode kromatografi yang lain,

analisis HPLC dilakukan dengan membandingkan waktu retensi dari senyawa

isoflavon standar dengan waktu retensi dari masing-masing sampel.

Adanya puncak-puncak yang memiliki waktu retensi relatif sama

dengan senyawa isoflavon daidzein, glisitein, genistein dan faktor-2 standar

menunjukkan bahwa dalam sampel tersebut terdapat kandungan isoflavon

lxx

daidzein, glisitein, genistein dan faktor-2. Penentuan waktu retensi senyawa

daidzein, glisitein, genistein maupun faktor-2 standar, dilakukan pada hari yang

sama dengan penentuan waktu retensi dari masing-masing sampel, agar

diperoleh kondisi yang sama.

Analisis kuantitatif senyawa isoflavon dilakukan dengan cara menghitung

luas kromatogram. Konsentrasi senyawa isoflavon faktor-2, daidzein, glisitein

dan genistein dapat diketahui, dengan mengalikan % luas masing-masing

senyawa isoflavon dalam kromatogram dengan massa hasil ekstraksi yang

dihasilkan.

Identifikasi isoflavon yang dilakukan pada massa hasil ekstraksi biji

kedelai kuning mentah, tidak ditemukan isoflavon faktor-2 tetapi ditemukan

daidzein, glisitein, dan genistein, sedangkan dari hasil fermentasinya ditemukan

faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein. Identifikasi isoflavon pada massa hasil

ekstraksi biji buncis mentah, ditemukan faktor-2, daidzein dan glisitein,

sedangkan dari hasil fermentasinya ditemukan faktor-2, daidzein, glisitein, dan

genistein. Identifikasi isoflavon pada kecipir mentah ditemukan faktor-2, daidzein,

glisitein dan genistein, sedangkan pada hasil fermentasi kecipir diketahui bahwa

isoflavon faktor-2, daidzein, glisitein, dan genistein ditemukan pada hasil

fermentasi 0, 2, 3, dan 4 hari, sedangkan pada hasil fermentasi 1 hari tidak

ditemukan genistein. Menurut hasil penelitian (Trilaksani, 2003) dilaporkan

bahwa isoflavon faktor-2 tidak diketemukan pada biji kedelai yang tidak

difermentasi, tetapi dari hasil identifikasi penulis di dapatkan bahwa faktor-2

dapat ditemukan pada biji yang belum difermentasi oleh kapang Rhizopus sp.

tetapi jumlahnya sangat sedikit (biji kecipir: 0,001g/100 g sampel dan biji

buncis:0,006 g/100 g sampel).

lxxi

Walaupun belum mengalami fermentasi yang utama (menggunakan

inokulum Rhizopus sp), tetapi bila biji itu mengandung air disaat dorman

dimungkinkan ada proses hidrolisis dari senyawa glikosida menjadi aglikon yang

dilakukan oleh enzim β-glikosidase dalam biji. Dalam kondisi dorman, biji

mengandung senyawa glikosida (daidzin, genistin, dan glisitin) dapat terhidrolisis

menjadi senyawa isoflavon dalam bentuk aglikon (daidzein, genistein, glisitein,

dan faktor-2) serta glukosa oleh enzim ß-glikosidase yang ada dalam biji mentah.

Hidrolisis mudah terjadi karena faktor air dan suasana asam, bila waktu

penyimpanan biji ada kelembaban dalam waktu yang relatif lama (misalnya

disimpan dalam plastik atau disimpan di tempat tertutup) berarti ada faktor air /

kelembaban yang dapat mendorong bekerjanya enzim. Selain oleh faktor air,

keasaman (pH) 5, merupakan pH optimum bagi enzim ß-glikosidase untuk

beraktivitas (Iswandari, 2006).

Genistein (bentuk aglikon) pada biji buncis mentah tidak ditemukan,

kemungkinan memang tidak terkandung dalam bijinya (yang ada dalam bentuk

glikosida), tetapi pada hasil fermentasinya dapat ditemukan, diduga karena

adanya aktivitas kapang Rhizopus. Dalam proses perendaman dan fermentasi

dengan Rhizopus akan dihasilkan enzim ß-glikosidase yang berperan mengubah

isoflavon dari bentuk glikosida menjadi bentuk aglikonnya (Koswara,1995). Pada

proses perendaman dan fermentasi terjadi pembebasan senyawa aglikon

dengan pola yang identik yaitu terlepasnya glukosa dan aglikon isoflavon dari

ikatan glikosida, namun demikian pembebasan senyawa aglikon selama proses

fermentasi tempe lebih besar bila dibandingkan dengan proses perendaman

(Pawiroharsono,1995). Untuk mengetahui konsentrasi kandungan isoflavon,

dilakukan perhitungan dengan cara mengalikan besarnya luas % pada

lxxii

kromatogram HPLC dengan massa hasil ekstraksi yang diperoleh. Dibawah ini

disajikan tabulasi data konsentrasi isoflavon dari ekstrak etanol kedelai, buncis,

dan kecipir mentah beserta produk tempenya.

Tabel 4. Konsentrasi Isoflavon pada legume dan produk tempenya dengan variasi lama waktu fermentasi (g / 100 g sampel )

Fermentasi (hari) Sampel Legume

Jenis Isoflavon

Biji Mentah

0 1 2 3 4

Faktor-2 - 0,001 0,083 0,064 0,025 0,058

Daidzein 0,034 0,075 0,442 0,586 0,499 0,632

Glisitein 0,009 0,013 0,085 0,306 0,091 0,232

Genistein 0,136 0,106 0,677 0,856 0,568 0,755

Kedelai Kuning Madura

Total 0,179 0,195 1,287 1,812 1,183 1,677

Faktor-2 0,006 0,010 0,016 0,013 0,003 0,003

Daidzein 0,010 0,008 0,011 0,007 0,002 0,003

Glisitein 0,132 0,039 0,008 0,015 0,001 0,002

Genistein - 0,026 0,009 0,010 0,016 0,005

Buncis Wonogiri

Total 0,148 0,084 0,044 0,045 0,022 0,012

Faktor-2 0,001 0,005 0,098 0,001 0,011 0,005

Daidzein 0,145 0,023 0,068 0,007 0,008 0,018

Glisitein 0,008 0,071 0,048 0,228 0,034 0,036

Genistein 0,059 0,095 - 0,131 0,010 0,069

Kecipir Wonogiri

Total 0,212 0,194 0,215 0,367 0,062 0,128

Dari tabel diatas,dapat ditunjukkan bahwa isoflavon total pada kecipir

mentah (0,212 g) ternyata lebih tinggi dari kedelai mentah (0,179 g) dan buncis

mentah (0,148 g). Kandungan isoflavon total pada produk fermentasi kedelai

lxxiii

dan kecipir yang tertinggi, diperoleh dari fermentasi 2 hari masing-masing

(1,812g) dan (0,367g), sedangkan untuk produk fermentasi buncis yang tertinggi

diperoleh dari fermentasil 0 hari (0,084 g).

Dari 100 g sampel yang digunakan, kandungan isoflavon Faktor-2 yang

terbanyak pada kedelai, buncis dan kecipir diperoleh dari fermentasi 1 hari, dan

kadar yang dimiliki oleh kecipir (0,098g) sedikit lebih tinggi dari kedelai (0,083g),

dan yang paling rendah dijumpai pada buncis (0,016g). Isoflavon Daidzein yang

terbanyak pada buncis dan kecipir diperoleh dari fermentasi 1 hari, sedangkan

pada kedelai kuning diperoleh dari fermentasi 4 hari. Jumlah daidzein pada

kedelai (0,632g) jauh lebih banyak dari yang dimiliki oleh kecipir (0,068g) dan

buncis (0,011g). Isoflavon Glisitein dan Genistein tertinggi pada kedelai dan

kecipir, diperoleh dari fermentasi 2 hari, sedangkan pada buncis diperoleh dari

hasil fermentasi 0 hari. Kandungan glisitein pada kedelai (0,036g) lebih tinggi

dari kecipir (0,228g) dan buncis (0,039g) dari 100 gr sampel. Kandungan

genistein pada kedelai (0,856 g), lebih tinggi dari kecipir (0,131 g) dan buncis

(0,026 g) dari 100 g sampel, ini berarti pola kecenderungan kandungan isoflavon

aglikon pada kedelai dan kecipir hampir sama, hal ini sesuai dengan laporan

penelitian Handajani et al., 1983 bahwa kedelai dan kecipir memiliki kandungan

senyawa yang hampir sama untuk protein, lemak, karbohidrat, mineral-mineral

serta asam aminonya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan jenis isoflavon

pada tempe buncis dan tempe kecipir sama dengan tempe kedelai kuning,

terutama hasil fermentasi 0,1,2,3 dan 4 hari, namun kadar isoflavonnya berbeda.

Dengan demikian buncis dan kecipir dapat dimanfaatkan sebagai pengganti

kedelai yang merupakan sumber isoflavon berkhasiat antioksidan.

lxxiv

Perendaman untuk buncis dan kecipir lebih lama, sehingga pada

fermentasi 1 hari sudah ditemukan isoflavon aglikon walaupun aktivitas dan

populasi Rhizopus sp belum optimum, diduga aglikon isoflavon sudah terbentuk

disaat perendaman. Untuk kedelai ditemukan isoflavon aglikon tertinggi pada

fermentasi 4 hari yaitu dalam kondisi over fermented dan sudah terjadi proses

pembusukan oleh bakteri-bakteri pembusuk. Dengan demikian, isoflavon aglikon

yang ditemukan pada biji dan hasil fermentasinya, dikarenakan oleh aktivitas

mikoorganisme disaat perendaman dan pembusukan, serta aktivitas kapang

Rhizopus sp, disaat proses pembentukan tempe.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan isoflavon total

pada biji kecipir mentah ternyata lebih tinggi dari biji kedelai mentah , dan yang

paling sedikit ditemukan pada biji buncis mentah untuk setiap 100 g sampel

yang digunakan. Yang dimaksud dengan fermentasi hari ke-0 dalam penelitian

ini adalah biji yang sudah direndam selama 3x24 jam, kemudian dipanaskan

(dikukus), selanjutnya ditiriskan dan didinginkan, barulah diberi inokulum.

Walaupun Rhizopus belum beraktivitas, tetapi disaat perendaman sudah terjadi

fermentasi awal yang dilakukan oleh bakteri dari golongan termobakteri seperti

Lactobacillus sp, Streptococcus thermopillus dan Enterobacteriaceae yang

merupakan bakteri pembentuk asam yang banyak tumbuh pada proses

perendaman (Kasmidjo,1990), padahal perendaman untuk biji buncis dilakukan

selama 3x24 jam, berarti isoflavon aglikon yang terbentuk diduga berasal dari

proses hidrolisis yang dibantu oleh bakteri yang tumbuh dalam air rendaman.

Dari data yang diperoleh dapat diartikan bahwa kedelai kuning dan kecipir

produk fermentasi, ternyata menghasilkan jenis isoflavon yang sama, tetapi

kwantitasnya berbeda. Dalam penelitian ini menggunakan pembanding legume

lxxv

kedelai, karena sudah diketahui adanya kandungan isoflavon didalam biji kedelai

dan produk fermentasinya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kandungan

isoflavon pada kacang-kacangan dipengaruhi oleh varietas, waktu panen dan

lokasi penanaman (Mazur et al.,1998), waktu tanam (Aussenac et al.,1998), dan

kondisi iklim (Tsukamoto et al., 1995). Kondisi pertumbuhan, varietas, lokasi, dan

waktu tanam membedakan jumlah senyawa isoflavon (Harbone, 1996).

Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak

disintesa oleh tanaman angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup). Oleh karena

itu, tanaman berbiji merupakan sumber senyawa isoflavon alami disekitar kita.

Dari berbagai tanaman, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada

kelompok tanaman leguminoceae dan tidak terdapat pada organisme seperti

bakteri, alga, jamur dan lumut (Markham, 1998). Senyawa metabolit sekunder

terbentuk pada saat tidak ada pertumbuhan sel yang dikarenakan keterbatasan

nutrient zat gizi dalam medium sehingga merangsang dihasilkannya enzim-enzim

yang berperan dalam pembentukan metabolit sekunder dengan memanfaatkan

metabolit primer untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Polisakarida,

protein, lemak dan asam nukleat merupakan penyusun utama dari makhluk

hidup, karena itu disebut metabolit primer. Banyaknya kandungan jenis isoflavon

pada kedelai kuning, buncis dan kecipir mentah dan produk fermentasi 0, 1, 2, 3,

dan 4 hari disajikan pada gambar 16, 17, 18, 19 berikut ini:

lxxvi

Gambar 17. Kandungan Isoflavon Faktor-2 pada kedelai kuning, buncis, kecipir.

Gambar 18.Kandungan Isoflavon Daidzein pada kedelai kuning , buncis, kecipir.

Gambar 19. Kandungan Isoflavon Glisitein pada kedelai kuning, buncis, kecipir.

Gambar 20. Kandungan Isoflavon Genistein pada kedelai kuning, buncis, kecipir

lxxvii

Kandungan isoflavon faktor-2 pada kedelai, buncis, dan kecipir hasil

fermentasi memiliki kecenderungan hampir sama (kadar tertinggi ditunjukkan dari

tempe hasil fermentasi 1 hari), tetapi jumlah faktor-2 dari ketiga legum tersebut

secara keseluruhan lebih sedikit bila dibandingkan dengan kandungan daidzein,

glisitein dan genistein (Gambar 17 ). Pada kedelai kuning, kandungan isoflavon

faktor-2 akan menurun secara landai dan naik kembali pada fermentasi 4 hari.

Pada kecipir, terjadi penurunan kandungan isoflavon faktor-2 secara tajam pada

fermentasi 2 hari, sedangkan pada buncis ada kenaikan dan penurunan relatif

sedikit sehingga garis grafiknya tampak landai. Kadar isoflavon faktor-2 pada

ketiga legume relatif sedikit dan naik turun dengan pola yang berbeda karena

tempe yang dibuat menggunakan cara tradisional serta penyimpanan dialam

terbuka dan tidak menggunakan inkubator sehingga kontaminasi mikroflora

sangat mungkin terjadi dengan kontaminan yang bervariasi.

Kandungan daidzein pada kedelai hasil fermentasi ternyata jauh lebih

tinggi bila dibandingkan dengan buncis dan kecipir. Kadar tertinggi pada kedelai

diperoleh pada hasil fermentasi 4 hari (Gambar 18). Kadar daidzein yang rendah

pada buncis dan kecipir dapat terjadi diduga karena banyaknya senyawa yang

terbuang dari buncis dan kecipir disaat proses perendaman (direndam selama

3x24 jam dengan penggantian air setiap 8 jam). Proses perendaman yang lama

dimungkinkan terjadi reaksi hidrolisis, yang dilakukan oleh mikroorganisme yang

ada diair rendaman dengan dihasilkannya enzim β-glikosidase, sehingga akan

terbentuk isoflavon aglikon. Penggantian air rendaman sebanyak 9 kali,

memungkinkan terbuangnya banyak senyawa hasil hidrolisis, akibatnya

kandungan isoflavon pada buncis dan kecipir hasil fermentasi lebih sedikit bila

dibanding kedelai kuning (lama perendaman kedelai kuning 1x24 jam).

lxxviii

Kandungan glisitein dan genistein pada kedelai dan kecipir jauh lebih

tinggi bila dibandingkan dengan buncis, tetapi jumlah terbanyaknya memiliki pola

yang sama yaitu pada hasil fermentasi 2 hari. Pada buncis mentah ternyata

mengandung glisitein yang lebih tinggi daripada hasil fermentasinya, tetapi

isoflavon genistein pada buncis mentah tidak ditemukan (Gambar 19 dan 20),

diduga senyawa yang ada pada biji mentah masih dalam bentuk glikosida yaitu

glisitin. Dari hasil perbandingan ke-empat gambar diatas dapat disimpulkan

bahwa kadar isoflavon aglikon (faktor-2, daidzein, genistein dan glisitein) pada

buncis dan kecipir lebih rendah bila dibandingkan dengan kedelai kuning,

walaupun ketiganya termasuk dalam famili yang sama. Karena berbeda spesies,

sehingga masing-masing bijinya memiliki karakter dan kandungan senyawa

isoflavon yang tidak sama (Harbone,1996). Selain berbeda spesies, perendaman

yang lebih lama pada biji buncis dan kecipir diduga mengakibatkan hilangnya

senyawa hasil hidrolisis terutama disaat penggantian air rendaman.

Isoflavon faktor-2 pada kedelai kuning tanpa fermentasi tidak ditemukan,

hal itu sesuai dengan hasil penelitian Gyorgy et al., 1964; Trilaksani, 2003; Ariani

dan Hastuti, 2009), tetapi dari hasil penelitian penulis didapatkan isoflavon

faktor-2 dari biji buncis dan kecipir tanpa fermentasi, walaupun kadarnya sangat

sedikit (kecipir : 0,001g dan buncis : 0,006 g) dari100 gram sampel. Hal tersebut

dapat terjadi diduga ada proses pembentukan isoflavon faktor-2 disaat biji

dorman dalam penyimpanan. Bila penyimpanan biji dalam tempat yang tertutup

atau berada dalam plastik, maka akan muncul kelembaban dan memungkinkan

tumbuhnya mikroorganisme yang akan mendorong terjadnyai proses hidrolisisi,

dengan menghasilkan enzim β-glikosidase untuk memecah glikosida dalam biji

menjadi senyawa aglikon.

lxxix

D. Hasil Uji aktivitas Antioksidan

Uji aktivitas antioksidatif dilakukan dengan metode DPPH melalui

pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Uji aktivitas

antioksidan dari penelitian ini terdiri dari biji mentah kedelai kuning beserta

produk tempenya, biji buncis mentah beserta produk tempenya serta biji kecipir

mentah dan produk tempenya.

Metode yang dipilih untuk pengujian aktivitas antioksidan adalah

metode DPPH karena sederhana, mudah, cepat dan peka serta hanya

memerlukan sedikit sampel. Metode aktivitas antiradikal bebas DPPH (2,2 difenil

1 picril hidrazil) merupakan metode terpilih untuk menapis aktivitas antioksidan

bahan alam (Molyneux, 2004; Luo et al., 2002; Santosa et al., 1998 dalam Amrun

dan Umayah, 2007). Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH

melalui mekanisme donasi atom hidrogen dan menyebabkan terjadinya

peluruhan warna DPPH dari ungu ke warna kuning. Perhitungan persentase (%)

peredaman DPPH oleh massa hasil ekstraksi biji kedelai kuning, buncis, dan

kecipir beserta produk fermentasinya ditampilkan pada lampiran 9.

Hasil identifikasi isoflavon dan uji aktivitas antioksidan dari sampel biji kedelai,

buncis dan kecipir beserta hasil fermentasi 0, 1, 2, 3 dan 4 hari terangkum dalam

tabel dibawah ini.

lxxx

Tabel 5. Kandungan Isoflavon Total ( g ) dan Aktivitas Antioksidan ( % ) pada Kedelai Kuning, Buncis, Kecipir, dengan Variasi Lama Fermentasi ( hari )

Lama Fermentasi

Sampel

Kadar Isoflavon dan aktivitas Antioksidan

Biji Mentah 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari

Isoflavon total ( g ) 0,179 0,195 1,287 1,812 1,183 1,677

Kedelai Kuning Aktivitas

Antioksidan ( % )

67,453e 75,683ef 76,310f 76,056ef 81,430g 77,140f

Isoflavon total ( g ) 0,148 0,084 0,044 0,045 0,022 0,012

Buncis Aktivitas Antioksidan ( % )

52,813b 52,956b 39,536a 41,366a 51,893b 51,186b

Isoflavon total ( g ) 0,212 0,194 0,215 0,367 0,062 0,128

Kecipir Aktivitas Antioksidan ( % )

70,826d 85,196h 76,923f 84,926h 76,973f 73,893e

Keterangan: angka yang diikuti oleh superskrip yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (α =0,05)

Pada kedelai kuning dan kecipir, isoflavon total terbanyak ditunjukkan

oleh hasil fermentasi 2-hari, tetapi aktivitas antioksidan tertinggi pada kedelai

kuning dan kecipir masing-masing ditemukan pada hasil fermentasi 3-hari dan

0-hari. Isoflavon total tertinggi pada buncis ditunjukkan oleh biji mentah dan

aktivitas antioksidan tertinggi ditemukan pada hasil fermentasi 0-hari. Dari data

tersebut, bila dihubungkan antara aktivitas antioksidan dengan kandungan

isoflavon totalnya dapat disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan yang tinggi tidak

selalu dikarenakan oleh adanya kandungan isoflavon yang banyak. Pada buncis

dan kecipir ditemukan aktivitas antioksidan yang tertinggi pada hasil fermentasi

0-hari, tetapi tidak lazim orang mengkonsumsi tempe yang belum jadi (belum

muncul miselium) sehingga walaupun aktivitas antioksidannya paling tinggi

namun tidak layak dikonsumsi untuk sumber antioksidan. Pada hasil fermentasi

lxxxi

kecipir 2-hari diketahui aktivitas antioksidannya juga tinggi (84,926%), sehingga

tempe hasil fermentasi 2-hari dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai sumber

antioksidan.

Dari analisis statistik Program SPSS, dapatlah disimpulkan bahwa

aktivitas antioksidatif pada kedelai dan kecipir hasil fermentasi, ternyata lebih

tinggi dari kedelai dan kecipir tanpa fermentasi (mentah). Dari tabel diatas dapat

diketahui juga bahwa, besarnya aktivitas antioksidan pada kedelai hasil

fermentasi 1-hari tidak berbeda nyata dengan fermentasi 4-hari, hasil fermentasi

0-hari tidak berbeda nyata dengan fermentasi 2-hari, tetapi berbeda nyata

dengan hasil fermentasi 3-hari. Besarnya aktivitas antioksidan pada buncis, hasil

fermentasi 0-hari, 3-hari, 4-hari tidak berbeda nyata dengan buncis tanpa

fermentasi. Pada kecipir tanpa fermentasi berbeda nyata dengan hasil

fermentasinya, tetapi hasil fermentasi 0-hari dan 2-hari serta fermentasi 1-hari

dan 3-hari tidak signifikan. Aktivitas antioksidatif pada tempe buncis yang paling

tinggi adalah hasil fermentasi 0-hari (±52,96%), kemudian 3-hari (±51,89%),

4-hari (±51,19%), 2-hari (±41,37%) dan yang terendah adalah hasil fermentasi

1-hari yaitu sebesar (±39,54%) ; sedangkan aktivitas antioksidatif untuk tempe

kecipir yang paling tinggi adalah hasil fermentasi 0-hari yaitu (±85,20); kemudian

2-hari (±84,93%); 3-hari (±76,97%); 1-hari (±76,92%) dan yang paling rendah

adalah hasil fermentasi 4-hari (±73,89%).

Dari hasil penelitian yang di uraikan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan

bahwa tingkat aktivitas antioksidatif dari biji kecipir mentah dan hasil

fermentasinya ternyata tergolong tinggi, yaitu berkisar antara ±73,89 % sampai

dengan ±85,20%. Untuk kedelai kuning, tingkat aktivitas antioksidatifnya berkisar

antara ±68,64% sampai dengan ± 81,43 %, berarti lebih rendah dari kecipir dan

lxxxii

produk fermentasinya. Tingkat aktivitas antioksidatif dari biji buncis dan produk

fermentasinya ternyata lebih rendah (±39,54% s/d ±52,96% ) bila dibanding

dengan kedelai kuning. Pada kecipir mentah maupun hasil fermentasinya

memiliki kandungan isoflavon yang relatif rendah bila dibandingkan dengan

kedelai kuning, tetapi aktivitas antioksidannya tinggi. Ini dapat diartikan bahwa,

walaupun senyawa isoflavon pada kecipir mempunyai kemampuan sebagai

antioksidan, tetapi senyawa antioksidan itu tidak hanya isoflavon, dimungkinkan

di dalam kecipir terdapat senyawa-senyawa flavonoid dan alkaloid lain (selain

isoflavon) tetapi juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan, bahkan telah

lama diyakini oleh sebagian masyarakat kita bahwa kecipir (baik biji maupun

buahnya) memiliki khasiat obat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa,

aktivitas antioksidan yang tinggi tidak selalu dikarenakan oleh kadar isoflavon

yang tinggi, dan total isoflavon terbanyak tidak secara otomatis memiliki aktivitas

antioksidan yang tinggi.

Proses yang terjadi selama pengolahan biji legume menjadi tempe

adalah adanya reaksi hidrolisis yang berlangsung disaat perendaman biji bahan

baku, proses fermentasi Rhizopus disaat inokulum bekerja pada substrat, proses

pembusukan oleh bakteri yang terjadi pada tempe over fermented, hasil

fermentasi 4 hari.

Pada tempe buncis dan kecipir, aktivitas antioksidan yang maksimum

diperoleh dari hasil fermentasi 0-hari, dimungkinkan karena perendaman pada

biji buncis dan kecipir dilakukan selama 3 x 24 jam sehingga pada perendaman

yang lama tersebut akan terjadi proses hidrolisis yang lebih besar bila dibanding

dengan kedelai kuning (lama perendaman hanya 24 jam). Enzim β-glikosidase

yang dihasilkan oleh mikroorganisme disaat proses perendaman, akan

lxxxiii

melakukan pemecahan senyawa glikosida dalam biji menjadi aglikon dan

glukosa dan dapat berlangsung lebih dominan.

Kecipir hasil fermentasi 0hari diperoleh kadar isoflavon sebanyak

±0,194g/100g sampel dan kadar isoflavon tertinggi diperoleh setelah berlangsung

proses fermentasi 2 hari ±0,367 g/100 g sampel, ini berarti selama Rhizopus

bekerja pada substrat akan dihasilkan enzim β-glikosidase yang akan memecah

glikosida menjadi aglikonnya sehingga akan menambah jumlah senyawa

isoflavon aglikon. Pada hasil fermentasi 4-hari sudah mulai terjadi pembusukan

pada tempe yang ditandai dengan munculnya aroma busuk dan amonia yang

menyengat, dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme.

Aktivitas antioksidatif dari biji kedelai kuning, buncis, dan kecipir bila

dibandingkan dengan aktivitas antioksidan α-tokoferol, ß-karoten, vitamin C,

maupun BHT (Butyl Hidroksitoluena) yang merupakan antioksidan sintetis, dapat

dicermati pada gambar grafik berikut ini :

Gambar 21. Perbandingan aktivitas antioksidan alami, sintetis dan legume

lxxxiv

Bila dibandingkan dengan antioksidan alami (α-tokoferol, ß-karoten dan

vitamin C) ternyata aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh kecipir dan produk

tempenya jauh lebih tinggi. Aktivitas antioksidatif β-karoten sebesar ± 43,25%;

vitamin C (± 75,62%), α-tokoferol (76,41 %), BHT (81,15%) dan kedelai

(81,43%), sedangkan kecipir fermentasi 0 hari tingkat antioksidatifnya mencapai

(± 85,19%). Selain itu, aktivitas antioksidatif pada kecipir hasil fermentasi 2 hari

(± 84,93%), juga lebih tinggi dari pengawet sintetis BHT. Dengan demikian,

kecipir dan hasil fermentasinya dapat digunakan sebagai sumber antioksidan

alami yang prospektif, karena keberadaannya melimpah di Indonesia. Aktivitas

antioksidatif pada buncis fermentasi 0 hari sebesar ± 52,95%, berarti masih lebih

tinggi dari β-karoten tetapi lebih rendah dari antioksidan BHT, vitamin C dan

α-tokoferol. Dengan demikian, buncis dan produk tempenya tidak dapat

digunakan sebagai pengganti BHT. Untuk mengetahui perbandingan aktivitas

antioksidan pada buncis, kecipir, dan kedelai dengan antioksidan alami yang

sudah ada (α-tokoferol, vitamin C dan β-karoten) serta antioksidan sintetis dapat

disajikan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 6. Perbandingan Aktivitas Antioksidan Alami, Sintetis dan Legum (%)

Sampel Aktivitas Antioksidan

Betakaroten 43,2533 a

Tempe buncis (0 hari) 52,9567 b

Vitamin C 75,6200 c

Alfatokoferol 76,4100 c

BHT 81,1567 d

Tempe kedelai kuning (3 hari) 81,4300 d

Tempe kecipir (0 hari) 85,1967 e

Keterangan: Angka yang diikuti oleh superskrip yang sama, tidak menunjukkan beda nyata pada taraf kepercayaan 95% (α : 0,05)

lxxxv

Aktivitas antioksidan dari kecipir bila dibandingkan dengan antioksidan

alami (vitamin C, ß-karoten, α-tokoferol), dan BHT ternyata menunjukkan

perbedaan yang signifikan dan lebih besar, sedangkan aktivitas antioksidatif

pada buncis walaupun lebih rendah secara nyata dengan BHT tetapi lebih tinggi

bila dibanding dengan β-karoten, sehingga legum Kecipir dapat digunakan

sebagai pengganti BHT tetapi legum Buncis tidak dapat digunakan sebagai

pengganti BHT.

Penggunaan pengawet sintetis BHT dalam skala luas dimasyarakat dapat

menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, seperti gangguan fungsi hati, paru-

paru, mukosa usus bahkan bersifat meracuni (Suryo dan Tohari, 1995), oleh

karena itulah maka legume kecipir sangatlah potensial untuk dimanfaatkan

sebagai sumber antioksidan alami yang dapat digunakan untuk pengawet alami.

Kedelai digunakan sebagai pembanding, dengan pertimbangan bahwa

kedelai dan produk tempenya secara paten dan positif telah diketahui memiliki

manfaat sebagai antioksidan alami dan sumber isoflavon yang sudah tidak

diragukan, yang diperoleh dari beberapa hasil penelitian (Astuti, 1995 dan

Pawiroharsono, 1995). Buncis sebagai jenis legume , walaupun kemampuan

antioksidannya rendah tetapi masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber

isoflavon yang berkhasiat, sekaligus sebagai bahan pangan sumber protein dan

mineral yang potensial bagi pemenuhan gizi masyarakat. Hasil pengukuran dan

perhitungan besarnya aktivitas antioksidan dari kedelai, buncis, kecipir dan

antioksidan alami (α-tokoferol, β-karoten, vitamin C) serta antioksidan sintetik

BHT dapat dilihat pada lampiran 6.

lxxxvi

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disusun kesimpulan

sebagai berikut :

1. Kecipir, Buncis dan produk fermentasinya memiliki potensi sebagai sumber

antioksidan alami yang prospektif dan mengandung senyawa isoflavon

faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein. Total isoflavon terbanyak pada

kedelai dan kecipir ditemukan pada hasil fermentasi 2-hari, sedangkan

pada buncis ditemukan pada hasil fermentasi 0-hari

2. Lama waktu fermentasi yang optimum untuk menghasilkan ekstrak yang

mengandung isoflavon dengan aktivitas antioksidan maksimum pada

tempe kedelai kuning ditemukan pada hasil fermentasi 3-hari (sebesar

81,43 %) dan tempe koro buncis serta koro kecipir ditemukan pada hasil

fermentasi 0-hari, masing-masing 52,95 % dan 85,19 %.

3. Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh kecipir dapat digunakan sebagai

pengganti BHT, kedelai kuning, α-tokoferol, β-karoten maupun vitamin C,

sedangkan aktivitas antioksidan pada buncis hanya dapat menggantikan

β-karoten .

lxxxvii

B.Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, penulis memberikan saran sebagai

berikut :

1. Perlu dilakukan penelitian secara in vivo mengenai manfaat senyawa

bioaktif yang terdapat dalam kecipir, maupun penelitian lanjutan untuk

mengetahui senyawa-senyawa lain (selain isoflavon) yang terkandung

dalam kecipir dan berpotensi sebagai antioksidan.

2. Senyawa bioaktif isoflavon dari buncis dan kecipir dapat dimanfaatkan

sebagai food suplement dan sebagai pengawet alami.

3. Biji kecipir dan produk fermentasinya dengan Rhizopus sp. dapat

disosialisasikan kepada masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai sumber

antioksidan alami.

lxxxviii

DAFTAR PUSTAKA

Aldercreutz H. 1998. Epidemiology of phytoestrogens. Baillieres Clin. Endocrinol. Metab. 12: 605-623

Amrun,H; Umiyah dan Umayah E.U. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Beberapa Varian Buah Kenitu (Chrysopylum cainito L) dari Daerah Jember.. Jurusan Biologi Universitas Jember.

Anderson JJB, Carner SC. 1997. The effect of phytoestrogens on bone. Nutr.Res. 17: 1617-1623.

Ariani,S.R.D. dan Hastuti W. 2009. Analisis Isoflavon dan Uji Aktivitas Antioksidan pada Tempe dengan Variasi Lama Waktu Fermentasi dan Metode Ekstraksi. FKIP UNS Surakarta.

Astawan M. 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Tiga Serangkai.

Solo

Astuti, Mary. 1995. Tempe dan Antioksidan Prospek Pencegahan Penyakit Degeneratif. Yayasan Tempe Indonesia.

Atikoh dan Supriyanti.1997. Perlakuan Perendaman, Pengukusan, Prebusan serta Kombinasinya terhadap Kandungan asam Fitat dan anti Kemotripsin pada Kacang Tholo dan Gude. Skripsi S1. UGM. Yogyakarta.

Aussenac T, Lacombe S, Dayde J. 1998. Quantification of isoflavones by capillary zone electrophoresis in soybean seeds : effects of variety and environment. Am. J. Clin. Nutr. (68):1480-1485.

Barz, W. and Papendorf. 1991. Metabolism of isoflavones and formation of factor-2 by tempeh producing microorganism.Tempeh Workshop, Cologne. 20 May 1991.

Barz, W., Heskamp, Klus,K.,Rehms, H and Steinkamp,R. Recent Aspect of Protein, Phytate and Isoflavone Metabolism by Microorganisms Isolated from Tempe Fermentation. Tempe Workshop. Jakarta. 15 February 1993.

Chang, S.S., Bostric-Matijasevic, O.A.L. Hsieh and C.L. Huang, 1977. Natural Antioxidants from Rosemary and Sage. J.Food Sci.42:574

Coward L, Barnes NC, Setchell KDR, Barnes S. 1993. Genistein, daidzein, and their ß-glycoside conjugates: antitumor isoflavones in soybean food from American and Asian diets. J. Agric. Food Chem. 41: 1967.

lxxxix

Dian Sri Pramita. 2008. Pengaruh Teknik Pemanasan Terhadap Kadar Asam Fitat dan Aktivitas Antioksidan Koro Benguk (Mucuna pruriens), Koro Glinding (Phaseolus lunatus), dan Koro Pedang (Canavalia ensiformis ). Skripsi. Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Fujimaki. 1968. Fundamental Investigation of Proteolytic Enzim Aplication to Soybean Protein Inrelation Flavour. Tokyo University. Tokyo.

Goldberg I. 1996. Functional Foods : Designer foods, pharmafoods, nutraceuticals. London : Chapman & Halll, Inc.

Gyorgy P, Murata K, Ikehata H. 1964. Antioxidant isolated from fermented soybeans (tempeh). Nature, 203 (4947), 870-871.

Handajani S dan Bukle. 1991. Characteristic of Winged Bean (Psopocarpus tetragonolobus) seed. PhD Thesis, Universitas of New South Wales, Kensington, Australia.

Handajani S dan Windi Atmaka. 1993. Analisa Sifat Phisis-khemis Beberapa Biji Kacang-kacangan, Kekerasan, Kualitas Tanak, Protein, dan Kandungan Mineralnya. Lembaga Penelitian UNS. Surakarta.

Handajani S, Supriyono, Triharjanto, Marwanti S, Astuti D, Pujiasmanto B. 1996. Pengembangan Budidaya dan Pengolahan Hasil Kacang-kacangan Sebagai Usaha Produktif Wanita Di Lahan Kering Daerah Tangkapan Hujan Waduk Kedung Ombo. Lembaga Penelitian UNS. Surakarta.

Harborne JB. 1996. The Flavonoid : Advances in research since 1986. London : Chapman & Hall, Inc.

Hery Winarsi. 2007. Antioksidan Alami & Radikal Bebas. Kanisius, Yogyakarta.

Hesseltine, C.W. 1985. Genus Rhizopus and Tempeh Microorganisms. Asian Symposium Non-Salted Soybean Fermentation. Tsukuba, Japan.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Jilid 3). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta : Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari : De Nuttige Planten Van Indonesie.

Hidayati WB. 2003. Peran Isoflavon Untuk Kesehatan Reproduksi Wanita. Cermin Dunia Kedokteran 139 : 49-50.

Hodgson, E and P.E.Levi. 2000. A Textbook of Modern Toxicology. Elsevier, New York.

Iswandari R. 2006. Studi Kandungan Isoflavon Pada Kacang Hijau. IPB. Bogor.

xc

Judoamidjojo M, Darwis AA, Gumbira. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta : Rajawali Press.

Kanetro B, Hastuti S. 2006. Ragam Produk Olahan Kacang-Kacangan. Universitas Wangsa Manggala Press. Yogyakarta.

Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia, Pengolahan Serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. UGM Yogyakarta.

Koswara, S. 2006. Isoflavon, Senyawa Multi Manfaat Dalam Kedelai. Ebookpangan.com, Bogor.

Kudou.S, Y.Fleury, D.Welti, D.Magnolato, K.Kitamura and K.Okubo. 1991. Malonyl Isoflavone Glycosides in Soybeans Seed (Glycine max Merril). Agric. Biol. Chem. 55: 2227-2233.

Lindajati, T. 1985. Large Scale Tempe Inoculum Production. Asian Symposium on Non salted Soybeans Fermentation, Tsukuba, Japan, July 14-16, 1985.

Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung : Penerbit ITB.

Mazur WM, Duke JA, Wahala K, Rasku S, Adlercreutz H. 1998. Isoflavonoids and lignans in legumes : nutritional and health aspects in humans. J Nutr Biochem 9: 193-200.

Messina MJ. 1991. The role of soy products in reducing risk of cancer. Journal NCL. 83(3) : 541-546.

Meydani, S.N, D. Wu, Santos, Hayek. 1995. Antioxidants and Immune Response in Aged Persons. Clinical Nutrition. 62 (6):1462-1476.

Meyri Sulasmi. 2003. Aktifitas Antioksidatif Ekstrak Tempe Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae Terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. Skripsi. FMIPA. UNS Surakarta.

Nuraida, L. dan S. Yasni. 1998. Kajian Gizi Produk Olahan Kedelai. Prosiding Seminar Pengembangan Pengolahan dan Penggunaan Kedelai selain Tempe. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi-IPB dengan American Soybean Association. Bogor.

Pawiroharsono S. 1995. Metabolisme Isoflavon dan Faktor 2 (6,7,4’ trihidroksi isoflavon) pada Proses Pembuatan Tempe. Makalah Simposium Nasional Pengembangan Tempe dalam Industri Pangan Modern, Yogyakarta, 15-16 April.

xci

Pawiroharsono, S.1998. Benarkah Tempe Sebagai Anti Kanker. Jurnal Kedokteran dan Farmasi MEDIKA. 12: 815-817

Pratt, D.E. and B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidans not Exploited Comercially. Didalam: B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsevier Applied Science. London.

Purwoko, T; S.Pawiroharsono dan I.Ginandjar. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524. BioSMART, 3(2), 36-39.

Restuhadi, F. 2001. Studi Pendahuluan Biokonversi Isoflavon Pada Proses Fermentasi Kedelai Menggunakan Rhizopus sp. Tesis. Bandung. Magister Kimia ITB.

Rubatzky V.E, Yamaguchi M.1998. Sayuran Dunia : Prinsip, Produksi dan Gizi Jilid II. (diterjemahkan oleh Catur Herison). ITB Bandung.

Salunkhe D. K., and Kadam S.S. 1990. Handbook of world food legumes : Nutritional chemistry, processing tecknology, and utilization. Vol.1. CRC Press, Boca Raton, FL.

Schultze, J.E. 1984. R. Hansel and V.E. Tayler. Rational Phytotherapy A Physician’s Guide to Herbal Medicine. Springer Verlag, Heidelberg.

Setchell KDR, Aedin C. 1999. Dietary Isoflavones : biological effects and relevance to human health. J. Nutr. 129: 767-785

Setchell KDR. 2001. Bioavailability of pure isoflavones in healthy humans and analysis of commercial soy isoflavone supplements. J.of Nutrition. 131: 362-1375.

Shahidi,F. and Naczk. 1995. Food Phenolic. Technomic pub.Co. Inc. Lancester-

Bas.

Soeatmaji, D.W.1998. Peran Stress Oksidatif dalam Patogenesis Angiopati Mikro dan Makro DM. Medica.5 (24) : 318-325

Somaatmojo et al., 1985. Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Sri Kumalaningsih, 2006. Sumber, Manfaat, dan Penyajian Antioksidan Alami. Trubus Agrisarana. Jakarta.

Suryo dan Imam Tohari. 1995. Aktivitas Antioksidan Buah Jambu Mete dan Penerapannya pada Abon. Biosains. 1(7): 50-61

xcii

Susanto T, B Zubaidah, S.B.Wijanarko.. 1998. Studi Tentang Aktivitas Antioksidan pada Tempe Terhadap Lama Fermentasi, Jenis Pelarut dan Ketahanan Terhadap Proses Pemanasan. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang.

Suwahyono,U. 1989. Ringkasan Makalah Kongres Nasional V. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Yogyakarta. 4-6 Desember. 107-267.

Suwaryono,O dan Ismeini,Y.1988. Fermentasi Bahan Makanan Tradisional. PAU Pangan Gizi..22-25.

Taher A. 2003. Peran fitoestrogen kedelai sebagai antioksidan dalam penanggulangan aterosklerosis (tesis). Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Trilaksani, W. 2003. Antioksidan : Jenis, Sumber, Mekanisme Kerja dan Peran terhadap Kesehatan. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Tsukamoto C, Shimada S, Igita K, Kudou S, Kokubun M, Okubo K, Kitamura K. 1995. Factors affecting isoflavones content in soybean seeds : changes in isoflavones, saponins, and compotition of fatty acids at different temperatures during seed development. J. Agric. Food Chem. 43:1184-1192.

Wang H, Murphy PA. 1994. Isoflavon compotition of American and Japanese soybeans in lowa : effects of variety, crop year, and location. J. Agric. Food Chem. 42 : 1674-1677.

Ziliken, F.I. 1987. Production of Novel Isoflavons. Material Meeting. BMBF, Bonn, Germany.

Zuheid, Noor.1989. Senyawa Antigizi (skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.