Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... ·...

75
1

Transcript of Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... ·...

Page 1: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

1

Page 2: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

2

Pelindung :Prof. Kacung Marijan, Ph.D.Direktur Jenderal Kebudayaan

Pengarah :Dr. Harry Widianto

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman

Penanggung Jawab : Drs. Marsis Sutopo, M.Si

Kepala Balai Konservasi Borobudur

Pemimpin Redaksi :Yudi Suhartono, MA

Redaksi : Iskandar Mulia Siregar, S.Si

Nahar Cahyandaru, S.SiHenny Kusumawati, S.S

Hari Setyawan, S.S

Mitra Bestari :Prof. Dr. Endang Tri Wahyuni, M.Si

Prof. Dr. Inajati AdrisijantiDr. Daud Aris Tanudirdjo, M.A

Ir. Suprapto Siswo Sukarto, Ph.D

Tata Letak : Bambang Kasatriyanto, S.I.Kom

Alamat Redaksi : Balai Konservasi Borobudur

Jl. Badrawati Borobudur Magelang 56553

Jawa Tengah

Telp. (0293) 788225, 788175 Fax. (0293) 788367

email : [email protected]

[email protected]

website :www.konservasiborobudur.org

Daftar Isi

Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama Sebagai Komponen Rumah Adat Tana Toraja Pada Situs Nanggala Yustinus Suranto 4 - 15

Identifikasi Zat Aktif Dalam Ekstrak Tanaman,Tes Anti Jamur dan Anti SeranggaAri Swastikawati 16 - 22

Konservasi Keramik Bawah Air

Leliek Agung Haldoko, Yudi Suhartono, Arif Gunawan 23 - 30

Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) Dalam Upaya Perlindungan Kawasan Situs BitingKabupaten Lumajang Asyhadi Mufsi Batubara 31 - 39

Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budayadari Perspektif Arkeologi:Kasus Kawasan Kota Lama SemarangA. Kriswandhono 40 - 59

Biological Assessment Pertumbuhan Lumut di Candi

Borobudur pada Sisi Utara dan Selatan Lorong 2

Dandri Aly Purawijaya & Adinda Gita Priyantika 60 - 65

Konservasi Nisan Putro Balee dan Tgk. Awe Geutah

Di Kabupaten Pidie, Provinsi AcehMasnauli. 66 - 74

Redaksi menerima tulisan berupa artikel, saduran, terjemahan, maupun segala macam bentuk tulisan yang ada kaitannya dengan arkeologi, kon-servasi dan pelestarian sumber daya arkeologi. Terjemahan atau saduran harap menyebutkan sumber referensi yang jelas.

Foto sampul depan:Rumah Adat Toraja.

ISSN : 1978-8584

Page 3: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

3

SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR

Seperti jurnal edisi sebelumnya, Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur tahun ini terbit dua kali dalam satu tahun yaitu Jurnal Edisi Pertama (Volume 7 no. 1) dan jurnal Edisi Kedua Volume 7 no. 2. Jurnal edisi pertama tahun 2013 mengangkat beberapa topik konservasi yang menarik dari berbagai bidang. Semoga ilmu dan manfaat yang dipetik menjadi semakin luas.

Artikel pertama dalam jurnal ini berjudul “Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama Sebagai Komponen Rumah Adat Tana Toraja Pada Situs Nanggala” oleh Yustinus Suranto. Kajian ini mengevaluasi apakah pemugaran yang dilakukan pada bangunan alang pertama sebagai komponen rumah adat Tana Toraja mengikuti prinsip pemugaran dalam hal mempertahankan keaslian bahan. Artikel kedua berjudul “Identifikasi Zat Aktif Dalam Ekstrak Tanaman, Tes Anti Jamur dan Anti Serangga” oleh Ari Swastikawati. Tujuan kajian ini adalah untuk menyusun prosedur pengambilan zat aktif dalam akar wangi, mengidentifikasinya, dan mengetes kemampuan ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus sebagai anti jamur dan anti serangga.

Artikel berjudul “Konservasi Keramik Bawah Air” oleh Leliek Agung Haldoko membahas tentang pembersihan endapan karang pada keramik cagar budaya bawah air menggunakan beberapa metode. Selain itu dalam kajian ini dilakukan percobaan penyambungan keramik pecah menggunakan “animal glue”. Konservasi cagar budaya tidak hanya dilakukan pada objeknya saja, tetapi konservasi lingkungan akan berpengaruh besar terhadap kelestarian cagar budaya itu sendiri. Artikel “Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) Dalam Upaya Perlindungan Kawasan Situs Biting Kabupaten Lumajang” oleh Asyhadi Mufsi Batubara dapat memberi gambaran perlunya konservasi lingkungan dalam rangka pelestarian cagar budaya.

Perlunya konsep pengelolaan yang jelas terhadap kawasan cagar budaya sangat diperlukan demi keseimbangan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya dalam kawasan tersebut. “Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi: Kasus Kawasan Kota Lama Semarang” oleh A. Kriswandhono menawarkan sebuah konsep pengelolaan kawasan cagar budaya kolonial Kota Lama Semarang untuk dapat mendefinisikan langkah untuk mencapai tujuan yang berkualitas.

Kajian yang mengambil Candi Borobudur sebagai objek kajian disajikan dengan judul ”Biological Assessment Pertumbuhan Lumut di Candi Borobudur pada Sisi Utara dan Selatan Lorong 2”. Kajian yang dilakukan oleh Dandri Aly Purawijaya & Adinda Gita Priyantika ditujukan sebagai inisiasi penelitian untuk menentukan rumus hubungan antara pertumbuhan lumut dengan tingkat kerusakan candi.

Artikel terakhir adalah “Konservasi Nisan Putro Balee dan Tgk. Awe Geutah Di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh” yang ditulis oleh Masnauli. B,SS. Artikel ini menjelaskan langkah-langkah pemeliharaan yang dilakukan pada nisan Putro Balee dan Tgk. Awe Geutah untuk mengurangi atau menghambat kerusakan yang terjadi pada makam.

Semoga bermanfaat.

Page 4: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

75

Page 5: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

60

Biological Assessment Pertumbuhan Lumut di Candi Borobudur pada Sisi Utara dan Selatan Lorong 2

Dandri Aly Purawijaya1 & Adinda Gita PriyantikaSekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung

Email : [email protected]

Abstrak : Penelitian biological assessment pada pertumbuhan lumut di Candi Borobudur ditujukan sebagai inisiasi penlitian untuk menentukan rumus hubungan antara pertumbuhan lumut dengan tingkat kerusakan candi. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel pada sisi utara dan sisi selatan lorong 2 Candi Borobudur. Pengambilan sampel dilakukan pada empat spot pada setiap sisi dengan pengulangan dua kali setiap spotnya. Sampel dari lapangan ditimbang kemudian dikeringkan dalam oven hingga berat konstan dan dibakar dalam furnace untuk memisahkan sisa partikel lumut dengan pasir. Berdasarkan data berat dilakukan konversi sehingga didapatkan nilai indeks konversi sebesar 0.00560274 x g/cm2 berdasarkan tutupan lumut terhadap massa pasir batuan yang terbawa oleh lumut. Berdasarkan nilai indeks, dapat disimpulkan bahwa lumut tidak menjadi ancaman yang berarti bagi keberlangsungan Candi Borobudur karena sedikitnya jumlah pasir yang terbawa oleh lumut ketika diambil dari batuan.Kata Kunci : Biological Assessment, Candi Borobudur, Lumut, Lorong 2, Biodeteriorasi

Abstract : The biological assessment of Borobudur Temple mosses growth was an initial research to determine the correlation formula between mosses growth and building deteriorations. This research was conducted with samples collection from northern and southern parts of Borobudur Temple’s Lorong 2. Samples were collected from four spots of each part and repeated two times for each spot. Samples were measured then dried using oven until the mass was constant. Samples were burned using furnace to separate organic masses and sand particles. Measured masses were converted and the conversion index was 0.00560274 x g/cm2 based on mosses coverage and sand particle masses from the mosses substrate. Based on conversion index, it can be concluded that mosses do not possess a threat for Borobudur Temple because the sand particle masses that were eroded when the mosses were cleaned can be counted as few.Kata Kunci : Biological Assessment, Borobudur Temple, Mosses, Lorong 2, Biodeterioration

jamur, algae, lumut, dan bakteri (Kumar & Kumar, 1999).

Lumut merupakan organisme peralihan yang berada pada kingdom plantae dengan karakteristik khas tidak memiliki jaringan vaskuler dan tidak memiliki akar sejati namun memiliki rhizoid. Lumut merupakan organisme autotrof dengan memiliki pigmen klorofil dan karotenoid. Lumut merupakan organisme yang hidup pada daerah lembab dan umumnya hidup bersimbiosis dengan organisme lain seperti fungi dan alga. Lumut merupakan organisme yang terdiri atas tiga divisi yang terdiri atas Bryophyta, lumut hati, dan lumut tanduk. Lumut merupakan organisme yang memerlukan daerah berair karena lumut memerlukan air dalam siklus reproduksinya untuk membantu proses fertilisasi. Lumut sendiri memiliki fungsi sebagai pembangun tanah untuk menyiapkan lahan bagi pertumbuhan organisme lain. (Kumar & Kumar, 1999; Richardson, 2010; Peck & Muir, 2001; Bernard & Buck, 2004).

Biological Assessment merupakan salah satu upaya untuk mendokumentasikan efek lingkungan terhadap

Pendahuluan

Candi Borobudur merupakan monumen sejarah yang berada di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomis, Candi Borobudur terletak pada 7°36’28” LS dan 110° 12’13” BT. Candi Borobudur terletak pada daerah dengan ketinggian 265 dpl. Batuan pada Candi Borobudur sebagian besar terdiri atas batuan andesit yang memiliki ciri berpori banyak. Pori yang banyak pada batuan andesit menyebabkan bervariasinya nilai porositas sehingga memungkinkan untuk tertampungnya air. Penampungan air pada pori-pori batuan andesit menyebabkan terbentuknya lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme perintis dan menyebabkan terjadinya biodeteriorasi (Konservasi Borobudur, 2012; Kanaori et al., 2000; Buscot, 2000).

Biodeteriorasi batuan adalah proses perusakan batuan yang disebabkan oleh agen biologis yang disebut dengan biodeteriogen. Biotedeteriogen dapat menyebabkan kerusakan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Agen biodeteriorasi antara lain adalah

Page 6: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

61

agensia biologis yang dianggap terancam sekaligus menilai efek dari agen biologis tersebut terhadap habitatnya (Scott & Hainess, 2008). Adapun beberapa substrat yang menjadi habitat bagi lumut adalah batuan, tanah mineral, tanah asam, sisi sungai, tanah berhumus, batang kayu, ranting kayu, dan lain-lain (Pojar & MacKinnon, 1994). Dalam melakukan Biological Assessment, terdapat beberapa tahapan dan hal-hal yang harus diperhatikan seperti ruang lingkup penelitian, kondisi fisik dan biologis dari ruang lingkup yang diteliti, identifikasi spesies, identifikasi habitat dari spesies, dan deskripsi tindakan yang dapat diambil untuk spesies tersebut (USFWS, 2012). Biological Assessment terkait lumut masih jarang sekali untuk dilakukan karena lumut dianggap sebagai organisme yang memiliki status berlimpah sehingga dianggap tidak perlu dilakukan assessment. Biological Assessment umum dilakukan pada spesies-spesies yang dianggap terancam kepunahan (Scott & Hainess, 2008).

Tujuan Penelitian

Penelitian biological assessment pada pertumbuhan lumut di Candi Borobudur ditujukan sebagai inisiasi penlitian untuk menentukan rumus hubungan antara

dilakukan pengukuran mikroklimat sebagai parameter sekunder.Pengukuran Biomassa dan Mineral Batuan. Biomassa lumut dan mineral batuan dipisahkan menggunakan metode penyaringan. Kemudian biomassa lumut dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC hingga beratnya tetap dan partikel pasir disaring menggunakan kertas Whatman no. 60. Partikel pasir kemudian dibakar dalam furnace pada suhu 900 oC. Terakhir berat dari biomassa lumut dan partikel pasir ditimbang untuk dibandingkan menghitung indeks konversi tutupan lumut terhadap jumlah pasir yang dibawa ketika lumut diambil dari batuan.

Metode Perhitungan. Signifikansi kerusakan yang ditimbulkan oleh lumut dilihat melalui angka indeks. Perhitungan indeks dilakukan dengan rumus :

Rumus perhitungan indeks diajukan untuk

pertumbuhan lumut dengan tingkat kerusakan candi

Metode

Pengambilan sampel dilakukan di lorong 2 Candi Borobudur dengan asumsi lorong 2 dapat mewakili data pada lorong-lorong di bawahnya dan di atasnya karena lorong 2 berada di ketinggian tengah Candi Borobudur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juni 2012. Pada proses pengambilan sampel dilakukan 2 kali pengulangan pada delapan titik yang ditentukan.

Pengambilan sampel di Lapangan. Pada lorong 2 ditentukan delapan titik pengambilan sampel dan dibuat plot 10x10 cm pada masing-masing tempat. Kemudian, lumut dan mineral yang melapuk diambil dan dimasukkan ke kantong klip. Pada saat pengambilan data

Tabel 1. Berat Lumut dan Berat Pasir

Aly, Biological Assessment Pertumbuhan Lumut di Candi Borobudur pada Sisi Utara dan Selatan Lorong 2

Page 7: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

62

lumut lebih dipengaruhi oleh kelembaban batu dibandingkan dengan kelembaban udara. Jika dibandingkan, nilai biomassa lumut per cm2 sebanding dengan kelembaban batu. Sedangkan, ketika data biomassa lumut per cm2 dibandingkan dengan kelembaban udara serta intensitas, nilai indeks tidak selalu berbanding lurus dengan nilai kedua faktor tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan pada percobaan ini, kelembaban batu lebih memberikan pengaruh secara langsung, sementara kelembaban udara tidak memberikan pengaruh langsung. Meskipun demikian, tingkat kelembaban batu dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan kelembaban udara sehingga secara tidak langsung, intensitas cahaya dan kelembaban udara berpengaruh terhadap biomassa lumut (Ryan et al., 2012). Hal ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pensiasatan faktor lingkungan dalam pengontrolan pertumbuhan lumut.

Data hasil penelitian juga menunjukkan bahwa berat mineral batuan

Konstanta = Rata – rata Index x Rata-rata Permukaan Luas

lumut Biomassa

melakukan pendekatan kerusakan batuan oleh lumut. Rata-rata index dikalikan dengan data biomassa lumut/cm2. Hasilnya berupa konstanta jumlah mineral pasir yang terlapukkan per biomassa lumut/cm2. Konstanta dapat digunakan untuk menghitung jumlah pasir yang terlapukkan berdasarkan coverage lumut pada keseluruhan blok.

Hasil Pengamatan

Data-data pada Tabel 1 diuji menggunakan analisis statistik ANOVA untuk melihat kecenderungan dari data. Nilai Signifikansi dari hasil uji statistik untuk index (p>0.05) menunjukkan bahwa data tiap plot tidak berbeda secara signifikan.

Uji statistik juga dilakukan untuk parameter mikroklimat dan hasil uji statistik menunjukkan delapan titik pengambilan sampel tidak memiliki perbedaan yang

Tabel 2. Data Mikroklimat

signifikan (p>0.05) terkait parameter mikroklimat (Tabel 2).

Rata-rata Index dari Tabel 1 dikalikan dengan nilai rata-rata biomassa lumut/cm2, kemudian didapatkan konstanta. Konstanta tersebut dapat dikalikan dengan luas bidang tutupan (coverage) untuk mendapatkan mineral pasir yang terbawa oleh biomassa lumut pada suatu blok. Konstanta yang didapatkan adalah 0.00560274 x g/cm2.

Data coverage lumut didapatkan dengan cara mengukur luas tutupan lumut pada blok tempat pengambilan sampel sehingga didapatkan data seperti pada Tabel 3. Rata-rata nilai coverage adalah 33%, dengan coverage paling rendah 15% dan coverage paling tinggi 60%. Hasil pembulatan ke atas rata-rata mineral batuan yang terbawa pada blok-blok yang diukur di bidang selatan adalah 0,1 gram sedangkan pada bidang utara adalah 0,2 gram.

Diskusi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomassa

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 60-65

Page 8: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

63

yang terbawa oleh lumut tidak selalu berbanding lurus dengan biomassa lumut. Pada nilai berat mineral batuan tertinggi nilai biomassa lumut justru cukup rendah jika dibandingkan dengan nilai lainnya. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan faktor-faktor dalam pertumbuhan lumut yang mempengaruhi kerusakan batu.

Faktor pertama adalah kedalaman rhizoid, semakin dalam rhizoid maka semakin besar kerusakan pada batuan yang ditimbulkan oleh lumut. Rhizoid lumut yang tumbuh pada batuan candi dapat menembus hingga 2-3 milimeter ke dalam batu (Gunawan et al., 2007). Oleh karena itu partikel pasir akan terbawa oleh rhizoid lumut tersebut dan menyebabkan kerusakan pada batuan. Berdasarkan analisis hasil percobaan terbukti bahwa lumut rata-rata dapat mengambil partikel pasir sebanyak 0,3x dari biomassanya per cm2 pada dinding

dikembangkan terkait beberapa faktor. Faktor pertama adalah pengambilan data menggunakan cara mekanik. Proses pengambilan sampel sangat mempengaruhi mineral batuan yang terbawa karena pengambilan sampel secara mekanis diduga akan menyebabkan pengikisan secara mekanis pada batuan substrat tumbuh lumut. Pengikisan secara mekanis akan menyebabkan bertambahnya berat mineral pasir sehingga mineral pasir yang terkoleksi tidak hanya dari hasil perusakan lumut. Kedua adalah proses penyaringan. Metode pemisahan biomassa dan mineral batuan dengan cara penyaringan masih belum dapat memisahkan biomassa dan partikel pasir secara sempurna. Walaupun telah digunakan furnace untuk menghilangkan materi organik dari mineral batu, hasil yang didapatkan masih belum tepat karena pada proses penyaringan diduga terdapat partikel yang menempel pada saringan

Tabel 3. Konversi Partikel Pasir Setiap Spot Pengamatanbagian selatan. Biomassa lumut tidak selalu menunjukkan kedalaman dan coverage dari rhizoid karena terdapat kemungkinan rhizoid di dalam memiliki coverage yang lebih besar dibandingkan dengan coverage pada permukaan. Dengan demikian, ada baiknya untuk penelitian lebih lanjut dilakukan perbandingan antara biomassa dengan coverage permukaan dan coverage rhizoid.

Faktor kedua adalah kelembaban yang ditimbulkan oleh lumut. Meskipun biomassa lumut kecil, jika kandungan air pada lumut tinggi maka kelembaban pada batuan yang akan menjadi tinggi. Tingginya kelembaban pada batuan menyebabkan mineral batuan yang dapat terdegradasi menjadi lebih banyak. Proses pelapukan oleh kelembaban dapat terjadi karena terjadinya reaksi hidrasi pada komponen mineral penyusun batuan.

Meskipun metode yang digunakan sudah dapat menjawab tujuan, metode masih dapat

Aly, Biological Assessment Pertumbuhan Lumut di Candi Borobudur pada Sisi Utara dan Selatan Lorong 2

Page 9: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

64

dan terbuang. Hal ini sangat mungkin terjadi karena massa yang digunakan sangatlah kecil (rata-rata <1 gram) Terakhir, metode belum dapat membedakan kerusakan yang hanya ditimbulkan oleh lumut dan organisme sejenis lainnya. Lumut merupakan organisme perintis sehingga tidak terlepas kemungkinan adanya organisme lain yang sudah mulai hidup dan mempengaruhi biomassa yang terkoleksi sedangkan organisme lain tidak berkontribusi pada pelapukan batuan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa metode pengambilan sampel masih perlu diperbaiki

dengan cara pengambilan sampel dengan cara selain cara mekanik, pemisahan partikel pasir dan biomassa untuk sampel dengan massa yang sedikit, dan metode pengkoleksian yang memang hanya mengkoleksi lumut dengan tidak mengkoleksi organisme lain. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh indeks konversi coverage lumut dengan perkiraan massa pasir yang terbawa adalah 0.00560274 x g/cm2. Berdasarkan nilai indeks konversi, lumut tidak menjadi faktor pengancam bagi kehancuran Candi Borobudur karena sedikitnya massa pasir yang dibawa bila dibandingkan keseluruhan massa pasir Candi Borobudur.

Daftar Pustaka

Atlas RM, Bartha R. 1987. Microbial Ecology: Fundamental and Application. Benjamin Cummings, San Fransisco

Bernard, G. & W. R. Buck. 2004. Systematic of the Bryophyta (Mosses) : From Molecules to a Revised Classification. Monographs in Systematic Botany. 98 : 205 – 239

Budiharji, Eko (ed). 1997. Preservation and Conservation of Cultural Heritage in Indonesia. Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Hal 31

Buscot, F. 2000. Microorganisms in Soils : Roles in Genesis and Functions. Berlin: Springerlink. p 65-66

Doehne, E dan Clifford E Price. 2010. Stone Conservation, An Overview of Current Research. Getty Publication, Los Angeles.

Friedman D. 2012. Inspectapedia: Online Encyclopedia. Diakses dari http://inspectapedia.com. Pada 20 Juni 2012

Gunawan, A., Kurniadi, R. & W. Setiyono. 2007. Laporan Studi Metode Pembersihan Lumut dengan Pemanasan. Magelang : Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

Kanaori, Y., Anaka, K. & M. Chigira. 2000. Engineering Geological Advances in Japan for the New Millenium. Amsterdam : Elsevier. p 315

Konservasi Borobudur. 2012. Candi Borobudur. Diakses dari http://konservasiborobudur.org/

v3/20110104110/statis/candi-borobudur.html pada 6 Juni 2012

Kumar, R. & A. V. Kumar. 1999. Biodeterioration of Stone in Tropical Environments : An Overview. New York : Getty Conservation Institute

Peck, J. E. & P. S. Muir. 2001. Estimating the Biomass of Harvestable Epiphytic Moss in Central West Oregon. Northwest Science. 75 (2) : 99 – 106

Pojar & MacKinnon. 1994. Plants of Pacific Northwest Coast. Vancouver : Lone Pine Publishing

Richardson, R. 2010. The Bryophytes. Diakses dari http://scidiv.bellevuecollege.edu/rkr/botany110/lectures/bryophytes.html pada 6 Juni 2012

Ryan K, Talaber A, Heimbuch M, Sood M. 2012. Effect of Light Avalaibility and Humidity Gradient on Anomodon attenuatus. Diakses dari : https://netfiles.uiuc.edu/kcryan2/shared/1.html pada 20 Juni 2012

Scott, A. & K. Haines. 2008. Invasive Plants Biological Assessment. Diakses dari http://www.fs.usda.gov/Internet/FSE_DOCUMENTS/stelprdb5201682.pdf pada 7 Juni 2012

Swastikawati, Ari dk. 2001. Studi Karakteristik Pertumbuhan Moss dan Algae Terhadap Kelestarian Candi Batu. Balai KonservasiPeninggalan Borobudur, Magelang

Swietlik W, Barbour M, Yoder C. 2003. Introduction to Biological Assessment and Criteria in:

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 60-65

Page 10: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

65

National Biological Assessment and Workshop. Idaho, USA, Mar 31 -April 4, 2003. p.12-16

Tiano, Piero. 2002. Biodegradation of Cultural Heritage: Decay Control and Mechanism in:Cause of Degradation and Conservation Method in Historical Site. Firenze, Italia.

Urzi, Clara.2012. Notes On: Biodeterioration of Stone Related to Cultural History. International Biodeterioration and Biodegradation society. Diakses dari www.ibbsonline.org pada 4 Juni 2012

USFWS. 2012. Guidance for Preparing a Biological Assessment. Diakses dari http://www.fws.gov/midwest/endangered/section7/pdf/BAGuidance.pdf pada 7 Juni 2012

Wigginton MJ. 2006. Hypopterigiaceae. Diakses dari http://www.dulwichrunners.org.uk/gba/hypo.htm#hypopterygium. Pada 20 Juni 2012

Aly, Biological Assessment Pertumbuhan Lumut di Candi Borobudur pada Sisi Utara dan Selatan Lorong 2

Page 11: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

4

Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama Sebagai Komponen Rumah Adat Tana Toraja

Pada Situs Nanggala

Yustinus SurantoFakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro, Bulaksumur, Yogjakarta 55281

E-mail: [email protected]

Abstrak: Alang dan Tongkonan merupakan bangunan penyusun Rumah Adat Tana Toraja berstatus Bangunan Cagar Budaya Berbahan Kayu (BCBBK). Bersama keunikan budaya dan keindahan bentang alam, BCBBK menempatkan Tana Toraja sebagai tujuan wisata dunia dan diusulkan sebagai peninggalan dunia (world heritage). Undang-undang Cagar Budaya mengamanatkan pelestarian BCBBK dengan aktivitas: pemeliharaan, perawatan, konservasi dan pemugaran secara arkeologis, yakni mempertahankan keaslian: bahan, teknologi pengerjaan, bentuk-ukuran-desain, arsitektur, budaya dan situs. Alang pertama Situs Nanggala baru saja dipugar oleh masyarakat pemiliknya. Penelitian bertujuan mengevaluasi penerapan prinsip arkeologis pada pemugaran dari perspektif konservasi jenis kayu.

Objek penelitian berupa Alang pertama Situs Nanggala kawasan Tana Toraja. Metode penelitian meliputi: (1) pengamatan bangunan alang hasil pemugaran, (2) pengambilan sampel kayu arkeologis bekas komponen alang dan sampel kayu baru penggantinya, (3) mengidentifikasi untuk menentukan jenis kayu arkeologis dan kayu baru, (4) mengkomparasikan jenis kayu baru terhadap jenis kayu arkeologis, (5) mengevaluasi penerapan prinsip arkeologis, khususnya orisinalitas jenis bahan.

Hasil penelitian menyimpulkan tiga hal. Pertama, seluruh komponen struktural dan non-struktural alang telah diganti kayu (bahan) baru. Kedua, identifikasi kayu arkeologis dan kayu baru secara berurutan menghasilkan jenis kayu: (a) wanga (Pigafetta filifera Merr) dan wanga bagi tiang, (b) cemara gunung (Casuarina Junghuhniana) dan cemara gunung bagi balok/belandar, (c) uru (Elmerrillia ovalis Dandy) dan tusam (Pinus merkusii Junghuh et de Vries) bagi papan lantai (d) uru dan sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielson) bagi papan dinding, (e) bambu dan seng gelombang bagi penutup atap. Ketiga, pemugaran alang pertama dilakukan tanpa ketaatan penerapan prinsip arkeologis, khususnya orisinalitas jenis bahan.Kata kunci: Identifikasi, Kayu, Evaluasi, Pemugaran, Alang, Nanggala.

Abstract: Alang and Tongkonan are two kinds of unique building compilers Tana Toraja traditional house’s status as a Wooden Cultural Heritages (WCH). WHC with it’s unique social and cultural conditions and beautiful landscapes have made it to became world tourist site, and nominate to be inscribed as World Heritage. Indonesian Law Number 11 Year 2010 regarding Cultural Heritage mandates WCH to be preserved through:. preservation maintenance, conservation and restoration using archaeological perspective, by maintaining the originality of: materials, workmanship, size-shape-design, architecture, culture and sites. As part of Tana Toraja, The first Alang of Nanggala site has undergone restoration by community. The study is aimed to evaluate whether Alang restoration was done by the application of archaeological principles, particularly on the perspective of timber conservation.

Object of the study is the first Alang of Nenggala site. Methods of study includes: (1) observation on the restorated Alang, (2) taking sample of archaeological wood and new wood on each building component (3) microtomic section to get tranversal cut and its microscopic portrait and identifing tipe of both archaeological and nw wood based on macroscopic structural image (4) comparing the wood species of new wood spesies and archaeological one functioning the same building component (5) evaluate the level of adherence to the application of the archaeological principles, particularly on material originality.

The result concludes three things. First, all structural and non-structural Alang components replaced by new wood (material). Second, identification of an archaelogical wood and a new wood produces a sequence of timber as follows: (a) wanga (Pigafetta filifera Merr) and also wanga for pillar components, (b) mountain pine (Casuarina Junghuhniana Miq) and also mountain pine for the beam components, (c) uru (Elmerrillia ovalis Dandy) and pine (Pinus merkusii Junghuh et de Vries) for the plank flooring (d) uru and sengon (Paraserianthes falcataria Nielson) for wallboard componen, (e) bamboo and corrugated iron sheets for roofing components. Thirdly, Alang restoration was done without fully compliance on the application of archaeological principles, especially the materials originality.Keywords: Wood Identification, Alang restoration evaluation, Nanggala site.

1. Pendahuluan

Bangsa Indonesia memiliki banyak benda dan bangunan cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah

kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di wilayah perairan maupun daratan. Setiap benda dan bangunan cagar budaya memiliki keunikan, kekhasan

Page 12: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

5

dan kekhususan dalam hal bahan, wujud, bentuk, periode waktu pembuatan serta latar belakang etnik dan budaya leluhur pembuat benda dan bangunan tersebut. Benda dan bangunan cagar budaya itu pada umumnya berada di dalam suatu situs atau bahkan kawasan yang memiliki bentang alam yang sangat unik dan khas serta indah, sehingga secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan situs atau bahkan kesatuan kawasan cagar budaya. Salah satu kawasan cagar budaya yang telah berstatus sebagai tujuan wisata nusantara maupun wisata dunia adalah kawasan permukiman tradisional etnik Tana Toraja.

Kawasan permukiman tradisional etnik Tana Toraja sebagai kawasan cagar budaya mencakup banyak situs, satu diantaranya adalah Situs Nanggala. Sebagaimana permukiman tradisional Tana Toraja pada umumnya yang terdiri atas tongkonan dan alang, permukiman tradisional situs Nanggala juga demikian halnya, yaitu terdiri atas Rumah Adat Tongkonan dan Alang. Pada salah satu alang di Situs Nenggala telah dilakukan pemugaran dan diselesaikan pada akhir tahun 2009. Pemugaran ini dilakukan oleh satu keluarga yang menjadi anggota keluarga besar pemilik Situs Nanggala tersebut.

Mengingat bahwa Situs Nanggala merupakan kawasan cagar budaya, maka pemugaran wajib dilakukan dengan mengikuti aturan perundangan yang menerapkan prinsip-prinsip arkeologis, antara lain menjaga orisinalitas dalam hal bahan. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengevaluasi apakah prinsip-prinsip orisinalitas dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemugaran tersebut khususnya dari perspektif orisinalitas bahan kayu atau konservasi jenis kayu. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengungkap dua hal; pertama, mengetahui jenis kayu arkeologis dan kayu baru sebagai komponen bangunan alang yang pertama; kedua, mengevaluasi apakah prinsip orisinalitas bahan diterapkan di dalam pemugaran bangunan alang.

2. Tinjauan Pustaka

2.1. Tana Toraja sebagai Kawasan Cagar Budaya dan

Destinasi Wisata.

Indonesia merupakan negara maritim yang menempati wilayah sangat luas dan memiliki keragaman yang sangat besar, baik keragaman kondisi geografis pada setiap kawasan, keragaman kondisi pulau yang ada pada setiap kawasan itu, maupun keragaman etnis yang

menempati setiap pulau serta keragaman adat-istiadat dan kebudayaan setiap etnis. Tingkat keragaman yang tinggi itu disebabkan oleh begitu banyaknya jumlah etnis yang menjadi bagian tak terpisahkan sebagai komponen penyusun bangsa Indonesia, sedangkan masing-masing etnis memiliki keunikan dan kekhasannya tersendiri terkait dengan adat istiadat dan kebudayaannya.

Dengan kekhasan adat istiadat dan kebudayaannya itu, setiap etnis memiliki kemampuan untuk menciptakan benda dan bangunan yang unggul dan unik yang kemudian ditetapkan oleh Pemerintah sebagai cagar budaya. Oleh karena itu, setiap benda dan bangunan cagar budaya memiliki keunikan, kekhasan, dan kekhususan baik dalam hal bahan, wujud, bentuk, periode waktu pembuatan serta latar belakang etnik dan budaya leluhur pembuat benda dan bangunan cagar budaya. Dengan demikian, Bangsa Indonesia memiliki banyak benda dan bangunan cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang ada di wilayah perairan maupun di daratan.

Keberadaan benda dan bangunan cagar budaya merupakan bukti nyata atas sikap hidup dan mentalitas tertentu yang dimiliki oleh para komunitas leluhur etnis pembangun benda dan bangunan cagar budaya tersebut. Dengan kata lain, benda dan bangunan cagar budaya mengandung sikap hidup dan mentalitas unggul yang dimiliki oleh para anggota komunitas leluhur pendirinya. Sikap hidup dan mentalitas itu berupa sikap hidup yang penuh dengan nilai-nilai: keluhuran, ketekunan, kerjasama, kebersamaan, kegigihan, kerajinan, semangat kerja, pengorbanan, dan nilai-nilai luhur budaya lainnya sebagai kearifan lokal dalam beradaptasi terhadap lingkungan alam tempat hidupnya.

Oleh karena itu, benda dan bangunan cagar budaya diharapkan menjadi sumberdaya mental yang dapat memberi inspirasi dan sumber pembelajaran bagi setiap generasi penerus bangsa Indonesia (Mundardjito, dalam Akbar 2010). Setiap orang yang hidup sebagai generasi baru dan generasi penerus diharapkan dapat belajar mengenai mentalitas dan sikap hidup serta nilai-nilai luhur budaya tersebut ketika dirinya berkunjung pada bangunan cagar budaya (BCB). Dengan demikian, aktivitas berkunjung dan berwisata di dalam situs bangunan cagar budaya diharapkan dapat menjadi wahana pendidikan dalam rangka menanamkan dan menumbuhkan mentalitas

Suranto, Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama........

Page 13: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

6

unggul dan sikap hidup bernilai luhur.Mengingat akan tingginya nilai-nilai yang

terkandung di dalam cagar budaya, maka Bangsa Indonesia sadar akan kewajiban untuk menjaga kelestarian dan keasliannya. Kewajiban demikian tertuang dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Undang-undang ini mengamanatkan, bahwa cagar budaya wajib dilestarikan melalui kegiatan pemeliharaan, perawatan, konservasi maupun pemugaran. Untuk menjaga keasliannya, maka pemugaran wajib dilakukan dengan mematuhi prinsip-prinsip arkeologis, yakni mempertahankan keaslian dalam hal: bahan, teknologi pengerjaan, bentuk-ukuran-desain, arsitektur dan budaya maupun situs (Presiden Republik Indonesia, 2010).

Salah satu kawasan cagar budaya yang sangat penting di Indonesia adalah kawasan yang menjadi tempat bermukim bagi etnis Tana Toraja. Kawasan ini luasnya sekitar 3205 km2. Secara geografis, etnis Tana-Toraja menempati kawasan yang relatif berbukit dengan dataran tinggi yang ketinggiannya berkisar antara 300 sampai dengan 2800 meter di atas permukaan laut. Secara administratif, kawasan ini berada di dua kabupaten, yakni Tana Toraja dan Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan (Anonim, 2009).

Permukiman ini berupa rumah adat yang terdiri atas Bangunan Tongkonan dan Alang (BTA). BTA merupakan Bangunan Cagar Budaya Berbahan Kayu (BCBBK) yang atapnya berbahan bambu dan ijuk (Anonim, 2011). BTA ini tersebar pada banyak situs. Bersama dengan kondisi sosial budayanya yang unik dan kondisi bentang alam pegunungannya yang indah dan asri, BTA Tana Toraja telah membentuk suatu kawasan yang menjadi tujuan utama bagi wisatawan nusantara maupun dunia (Inajati, 2009).

Permukiman Tradisional Tana Toraja bahkan telah diusulkan oleh Pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, kepada UNESCO agar badan dunia ini menetapkan kawasan permukiman Tana Toraja berstatus sebagai peninggalan dunia (world heritage). UNESCO telah menerima usulan itu pada hari Selasa, 6 Oktober 2009 dan menominasikannya sebagai salah satu warisan dunia. Permukiman tradisional yang diterima untuk dinominasikan sebagai warisan dunia ini terdiri

atas serangkaian 10 situs permukiman tradisional beserta konstituennya (Anonim, 2009).

Secara tradisional, sebuah permukiman Toraja terdiri dari tujuh komponen, yaitu rumah (tongkonan) dan lumbung (alang), tempat penguburan (liang), lapangan upacara yang ditandai dengan adanya menhir (rante), sawah, hutan bambu, dan tanah penggembalaan atau padang rumput untuk penyediaan makanan bagi hewan peliharaan, terutama kerbau dan babi. Meskipun demikian, tidak setiap situs yang dinominasikan itu memiliki ketujuh komponen permukiman tersebut secara lengkap. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika dan perubahan perkembangan lingkungan alam dan lingkungan sosial yang terjadi pada setiap situs (Anonim, 2009).

Sepuluh situs permukiman tradisional yang diterima dan dinominasikan oleh UNESCO sebagai peninggalan dunia itu meliputi situs-situs: (1) Pallawa, (2) Bori Parinding, (3) Kande Api, (4) Nanggala, (5a) Buntu Pune, (5b) Rante Karassik, (6) Ke’te Kesu’, (7) Pala’ Toke’, (8) Londa, (9) Lemo, dan (10) Tumake (Anonim, 2009).

Di dalam keragaman yang ada pada etnik Tana Toraja itu, Situs Nanggala dipilih sebagai objek kajian. Pemilihan ini didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, Situs Nanggala menjadi salah satu diantara 10 situs yang dinominasikan oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Kedua, telah terselesaikannya aktivitas pemugaran pada salah satu alang yang menjadi komponen bangunan cagar budaya berbahan kayu pada Situs Nanggala.

2.2. Struktur Bangunan Alang.

Alang dan tongkonan merupakan dua jenis bangunan berbahan kayu yang memiliki bentuk arsitektur serupa tetapi ukurannya berbeda, yakni alang lebih kecil daripada tongkonan. Keduanya merupakan pasangan penyusun komponen rumah adat Tana Toraja. Berdasarkan strukturnya, bangunan alang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kolong, bagian badan dan bagian kepala atau atap (Anonim, 2011). Komponen bangunan penyusun masing-masing bagian itu disajikan sebagai berikut (Gambar 1-4).

Pada bagian kolong alang terdapat lima macam komponen bangunan, yaitu pondasi, tiang (kolom), balok, lantai dan tangga. Pondasi berupa batu yang keras dan

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 4-15

Page 14: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

7

diletakkan secara bebas di atas tanah. Pondasi menjadi tumpuan bagi tiang (kolom). Komponen kedua adalah tiang. Tiang memiliki bentuk silinder dengan penampang melintang yang bulat dan berasal dari potongan batang tetumbuhan keluarga palmae. Komponen ketiga pada kolong Alang adalah balok. Balok berfungsi sebagai pengikat antar kolom. Dengan demikian, balok akan berfungsi sebagai sloof. Dengan adanya balok ini, maka pergeseran yang mungkin terjadi antara tiang dengan pondasi dapat dicegah. Hubungan antara balok dengan kolom diperkuat dengan menggunakan sambungan pasak. Jumlah balok pada alang hanya satu saja, yaitu sebagai pengikat pada bagian bawah kolom. Komponen keempat pada kolong alang adalah lantai. Lantai alang terbuat dari papan kayu yang disusun di atas balok. Komponen kelima kolong alang adalah tangga. Tangga digunakan sebagai sarana untuk menaikkan padi dan memasukkannya ke

dalam badan alang dalam rangka menyimpannya. Tangga juga digunakan sebagai sarana untuk menurunkan padi ke luar dari badan alang, setelah cukup lama padi itu disimpan di dalam badan alang. Tangga dikonsruksikan secara tidak permanen, yakni dapat dipasang dan dilepas kembali sesuai dengan fungsi sesaatnya untuk menaikkan atau menurunkan padi (Anonim, 2011).

Pada badan sebagai bagian kedua dari alang terdapat tiga macam komponen bangunan, yaitu lantai, dinding, dan pintu atau jendela. Lantai alang terbuat dari papan kayu yang disusun di atas susunan balok lantai. Penyusunan lantai dilakukan dengan arah memanjang sejajar balok utama. Dinding alang terdiri atas dua komponen, yaitu rangka dinding dan pengisi dinding atau papan dinding. Kedua komponen dinding ini berbahan kayu. Pengisi dinding terdiri atas papan-papan kayu yang disusun dengan sambungan alur dan lidah pada sisi-sisi

Gambar 1. Alang (secara perspektif) Gambar 2. Alang (tampak depan)

Gambar 3. Atap Alang (tampak depan) Gambar 4. Atap Alang (tampak samping kanan)

Suranto, Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama........

Page 15: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

8

panjang papan dengan ikatan utama yang dinamakan Sambo Rinding (Anonim, 2011).

Bagian kepala terdiri atas atap yang bentuknya khas, yakni menjulur panjang ke arah bagian depan dan belakang alang, sedemikian rupa sehingga atap keseluruhan membentuk lengkungan parabolik. Atap

alang terbuat dari bambu yang dibelah dan disusun secara tumpang tindih. Belahan bambu disatukan oleh beberapa reng bambu dan diikat dengan tali yang terbuat dari bambu atau rotan. Di atas atap bambu ini diberi lapisan yang terbuat dari ijuk (Anonim, 2011).

3.3. Identifikasi Kayu

Identifikasi kayu merupakan aktivitas untuk menentukan jenis kayu. Penentuan jenis kayu dilakukan melalui mengamatan terhadap struktur makroskopis kayu dan tekstur kayu. Pengamatan struktur kayu diarahkan untuk mengenal komponen-komponen seluler penyusun kayu, yang meliputi serabut, trakeid, pembuluh, jari-jari, parenkim, dan saluran damar. Struktur kayu mempelajari tentang keberadaan, posisi dan konfigurasi komponen sel-sel penyusun kayu. Secara makroskopis, konfigurasi ini membentuk lingkaran pertumbuhan, kayu gubal-kayu teras, kayu awal-kayu akhir, serta pola-pola tertentu yang secara khas menampilkan wajah kayu. Tekstur kayu merupakan terminologi yang berkait dengan dimensi komponen sel-sel penyusun kayu. Berdasarkan dimensi itu, tekstur membedakan kayu bertekstur halus, sedang dan kasar (Soenardi, 1977).

Ilmu struktur kayu juga mempelajari keanekaan atau keragaman konfigurasi yang terbentuk oleh jaringan-jaringan komponen penyusun kayu tersebut. Konfigurasi jaringan-jaringan ini membentuk pola tertentu. Pola tertentu ini berkait dengan unsur genetis jenis kayu, sehingga jenis kayu tertentu akan memiliki pola tertentu. Oleh karena itu, setiap konfigurasi itu dapat dijadikan dasar untuk menentukan jenis kayu, karena setiap jenis kayu memiliki konfigurasi jaringan kayu yang unik dan spesifik. Hal ini berarti bahwa konfigurasi tertentu atas jaringan-jaringan tersebut hanya dimiliki oleh jenis kayu tertentu pula. Dengan demikian, pola konfigurasi jaringan-jaringan sel penyusun kayu dapat dijadikan dasar untuk mengidentifikasi jenis kayu (Soenardi, 1977).

4. Bahan dan Metode

Bahan yang diposisikan sebagai objek penelitian adalah alang yang telah selesai dipugar, yakni alang nomor satu. Alang nomor satu bersama dengan 15 unit alang lainnya dan dua unit tongkonan merupakan komponen penyusun Perkampungan Rumah Adat Tana Toraja Situs Nanggala, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

Metode penelitian secara garis besar terdiri atas dua tahap, yaitu pengamatan secara in-situ dan ex-situ. Pengamatan secara in-situ dilakukan terhadap setiap komponen penyusun alang nomor satu hasil pemugaran, baik komponen struktur (tiang dan balok) maupun non-struktur (papan lantai dan papan dinding) bangunan. Pengamatan dilanjutkan dengan pengambilan sample kayu baru dari setiap komponen bangunan alang tersebut. Pengambilan sampel kayu juga dilakukan terhadap kayu arkeologis atau kayu lama dari setiap komponen bangunan alang nomor satu ini sebelum alang tersebut dipugar, sehingga kayu arkeologis ini berupa limbah kayu. Pengambilan sampel kayu baru maupun kayu arkeologis dilakukan dengan pemanduan dan bantuan dari pemilik alang nomor satu tersebut. Pengambilan sampel ini ditindaklanjuti dengan pemberian label pada masing-masing sampel tersebut. Pengamatan in-situ juga dilakukan terhadap komponen flora dan fauna serta situs permukiman tersebut.

Sementara itu, proses pengamatan secara ex-situ dilakukan dengan dua langkah aktivitas, yaitu (1) identifikasi jenis kayu, baik kayu baru maupun kayu arkeologis, (2) membandingkan antara jenis kayu baru dan jenis kayu arkeologis sebagai penyusun komponen yang sama pada bangunan alang. Proses pengamatan ex-situ dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pencuplikan untuk mengambil sampel kayu dilakukan dengan menggunakan beberapa peralatan, antara lain: gergaji potong, tatah, parang, pukul besi, kantong plastik, dan kertas label

Metode penelitian secara detil dalam rangka mengidentifikasi jenis kayu dilakukan dengan prosedur sebagai berikut.1. Sampel kayu diiris dengan menggunakan mikrotom

model 860 buatan American Optical Corporation USA untuk mendapatkan penampang transversal.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 4-15

Page 16: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

9

Penampang transversal dipotret secara makroskopis dengan menggunakan mikroskop Olympus BX-51. Gambar yang dihasilkannya diamati komponen struktur makroskopis, yang meliputi keberadaan lingkaran tahun, persebaran dan susunan pembuluh, bentuk dan pola jaringan parenkim, dimensi dan keberagaman jari-jari, keberadaan saluran damar dan tekstur kayu. Di samping itu, diamati pula arah serat pada penampang tangensial.

2. Berdasarkan deskripsi struktur makroskopis dan tekstur kayu, dilakukan proses identifikasi dan determinasi untuk menentukan jenis kayu.

3. Mengkonfirmasi hasil identifikasi yang dilakukan dengan membandingkannya dengan jenis-jenis kayu yang tersaji di dalam berbagai sumber pustaka, agar hasil identifikasi dapat dijamin dan dipastikan kebenarannya.

Secara keseluruhan, penelitian ini memerlukan waktu 14 hari. Aktivitas penelitian selama durasi waktu tersebut terbagi dua bagian. Pertama, aktivitas pengamatan dan pengambilan contoh uji selama 8 hari, yakni Senin, 20 s.d Senin, 27 Juni 2011. Kedua, proses identifikasi kayu dilakukan selama 6 hari.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Hasil Pengamatan in-situPengamatan secara in-situ terhadap Bangunan

Tongkonan Alang Situs Nanggala mendapatkan empat realitas berikut. Pertama, Situs Nanggala terdiri atas perpaduan antara dua unit tongkonan dan enam belas unit alang. Tongkonan dan alang diatur secara selaras dalam posisi berjajar pada arah timur barat, sehingga tongkonan dan alang itu masing-masing terletak di bagian selatan dan bagian utara suatu kompleks permukiman. Keduanya saling berhadapan, karena tongkonan menghadap ke arah utara sedangkan alang menghadap ke arah selatan. Antara deretan tongkonan dan deretan alang ini terdapat ruang terbuka yang digunakan untuk menjemur padi, pertemuan keluarga dan interaksi sosial. Permukiman ini dikelilingi oleh tembok batu yang rendah dengan pintu masuk yang berada pada sisi barat daya. Di sebelah timur permukiman terdapat tanah seremonial (rante) dan kuburan. Pada kuburan ini ditempatkan beberapa rumah peti kayu (patane).

Kedua, bangunan tongkonan yang berjumlah

dua unit itu terbuat dari bahan yang sama, yaitu bagian kaki dan badannya terbuat dari kayu dan bagian atapnya terbuat dari bambu. Meskipun demikian, ada pula perbedaan di antara keduanya tentang bahan pembuat penutup atap, yakni penutup atap pada tongkonan pertama berbahan dasar bambu, sedangkan penutup atap pada tongkonan kedua berbahan dasar logam, yaitu seng gelombang.

Ketiga, alang yang baru saja dipugar adalah alang yang bernomor urut satu, yakni alang yang lokasinya paling dekat dengan pintu masuk ke wilayah permukiman Situs Nanggala, sedangkan alang kedua sampai dengan keenambelas memiliki kondisi yang bervariasi, ada yang berkondisi baik sampai dengan kondisi sedang. Keempat, pada bagian tepi utara batas permukiman Situs Nanggala terdapat banyak rumpun bambu. Rumpun-rumpun bambu ini menjadi habitat atau tempat tinggal bagi kelelawar yang berjumlah amat banyak. Secara skematis, Situs Nanggala disajikan dalam Gambar 5.

4.2. Hasil Identifikasi Kayu.

4.2.1. Kayu bahan komponen tiang

Untuk mengidentifikasi kayu yang menjadi bahan pembuatan komponen tiang Alang, disajikan dua foto makroskopis penampang melintang sampel kayu arkeologis dan kayu baru dengan perbesaran 10 X. Keduanya disajikan berurutan pada gambar 6 dan 7 berikut.

Hasil pengamatan mengenai ciri-ciri struktur kayu terhadap penampang melintang makroskopis sampel

Gambar 5. Denah Tongkonan Alang Situs Nanggala

Suranto, Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama........

Page 17: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

10

kayu baru pada gambar 7 dapat dideskripsikan sebagai berikut: a. Lingkaran tahun tidak ada pada kayu ini.b. Memiliki sistem pembuluh yang terdiri atas xylem dan

phloem.c. Memiliki sarung sklerenkim berupa berkas-berkas

serabut yang besar, sangat rapat dan padat. Sarung sklerenkim ini mengelilingi dan melindungi sistem pembuluh.

d. Jaringan parenkim merupakan jaringan dasar yang menyelimuti sistem pembuluh dan jaringan sklerenkim.

Berdasarkan deskripsi ciri-ciri struktur kayu tersebut, maka determinasi mengarahkan bahwa sampel kayu baru tergolong di dalam kelas monokotiledoneae. Pada tahap ini, determinasi berpindah dari aras internal kayu menuju ke aras eksternal kayu, yakni berdasar morfologi pohon. Berdasarkan penampilan tiang pada alang yang secara morfologis merupakan suatu batang pohon yang berbentuk silinder dan tidak memiliki ruas (nodia), tetapi memiliki ukuran diameter yang relatif besar maka determinasi di dalam kelas monokotiledoneae ini mengarahkan lebih lanjut kepada ordo palmae. Berdasarkan informasi lebih lanjut bahwa permukaan batang ini sangat licin tetapi memiliki banyak duri yang tajam dan tersusun secara rapat, dan bahwa pelepah daun pohon ini juga banyak berduri, maka determinasi di dalam ordo palmae ini menyimpulkan bahwa kayu ini berasal

dari jenis yang nama ilmiahnya Pigafetta fillaris Giseke (1792). Pada tahun 1977, namanya berganti menjadi Pigafetta filifera Merr, (Giusuppe, tanpa tahun).

Hibitus pohon Pigafetta yang disertai dengan diskripsi morfologis sebagaimana disebutkan sangat bersesuaian dengan foto yang disajikan dalam laman (website) beralamatkan http://www.pacsoa.org.au/palms/Pigafetta/cultivation.html. (Anonim, tanpa tahun). Foto di dalam laman tersebut memang menunjuk pada nama Pigafetta. Nama perdagangan kayu Pigafetta adalah Wanga (Anonim, 1995).

Sementara itu, hasil pengamatan ciri-ciri struktur kayu terhadap penampang melintang makroskopis sampel kayu arkeologis pada Gambar 6 mendapatkan hasil diskripsi yang tidak berbeda dengan hasil diskripsi kayu baru pada Gambar 7. Oleh karena itu, kayu arkeologis sebagai bahan tiang juga berjenis Pigafetta filifera Merr atau kayu Wanga (Anonim, 1995).

4.2.2. Kayu bahan komponen balok

Untuk mengidentifikasi kayu yang menjadi bahan pembuatan komponen balok pada alang, disajikan dua foto makroskopis penampang melintang sampel kayu arkeologis dan kayu baru dengan perbesaran 10 x. Masing-masing disajikan berurutan pada Gambar 8 dan 9 berikut.

Gambar 6. Penampang melintang kayu arkeologis komponen tiang Alang

Gambar 7. Penampang melintang kayu baru komponen tiang Alang

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 4-15

Page 18: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

11

Hasil pengamatan mengenai ciri-ciri struktur kayu terhadap penampang melintang makroskopis sampel kayu arkeologis pada gambar 8 dapat dideskripsikan sebagai berikut.a. Lingkaran tahun tampak secara tidak begitu jelas.

Kenampakannya terlihat dari perbedaan dimensi komponen struktur kayu pada bagian kayu awal dan kayu akhir.

b. Pembuluh berpenyebaran tunggal, tidak mengelompok, tidak dalam baris radial, juga tidak dalam baris tangensial. Pembuluh tersusun di dalam susunan tata baur.

c. Parenkim bertipe paratrakheal (parenkim yang bersinggungan dengan pembuluh) dan apotrakheal (parenkim yang tidak berhubungan dengan pembuluh) ada pada kayu. Parenkim paratrakheal meliputi parenkim vasisentrik (yaitu parenkim yang menyelubungi secara penuh terhadap pembuluh) dan abaksial (yaitu parenkim yang menyelubungi secara tidak penuh terhadap pembuluh). Di samping itu, juga terdapat parenkim apotrakheal berupa parenkim bentuk pita kecil yang berukuran panjang.

d. Jari-jari pada penampang melintang tampak oleh mata telanjang sebagai jari-jari yang tidak homogen, karena ada jari-jari yang berukuran kecil dan ada juga yang berukuran sangat besar. Pada Gambar 3 terlihat ada tiga jari-jari besar pada penampang melintang.

e. Kayu ini memiliki tekstur yang agak kasar.f. Serat pada kayu ini memiliki arah yang tidak lurus dan

sedikit miring.g. Saluran damar tidak terdapat pada kayu.

Berdasarkan deskripsi ciri-ciri struktur kayu tersebut, maka aktivitas determinasi menyimpulkan bahwa sampel kayu arkeologis adalah genus Casuarina dan spesies junghuhniana, sehingga nama ilmiahnya adalah Casuarina junghuhniana Miq. Kesimpulan ini diperkuat oleh adanya perbedaan mengenai dimensi dan persebaran pembuluh antara spesies kayu ini terhadap spesies kayu-kayu Casuarina yang lain, yakni: Casuarina cunninghamiana, Casuarina oligodon, Casuarina papuana, Casuarina stricta, Casuarina sumatrana, yang masing-masing disajikan secara berurutan oleh Ilic (1991) pada gambar nomor: 180, 181, 182, 183, dan 186, maupun terhadap spesies Casuarina equisetifolia yang disajikan oleh Hayashi dkk (1973) pada gambar nomor 26. Casuarina junghuhniana Miq juga disebut Casuarina montana Leschen ex Miq (Procea, 1993). Jenis kayu ini dikenal dengan nama perdagangan cemara gunung (Anonim, 1976).

Sementara itu, hasil pengamatan mengenai ciri-ciri struktur kayu terhadap penampang melintang makroskopis sampel kayu baru pada gambar 9 mendapatkan hasil diskripsi yang tidak berbeda dengan hasil diskripsi kayu arkeologis pada gambar 8. Oleh karena itu, kayu baru sebagai bahan balok juga berjenis Casuarina junghuhniana Miq.

4.2.3. Kayu bahan papan lantai

Untuk mengidentifikasi kayu yang menjadi bahan pembuatan komponen papan lantai alang, disajikan foto-foto makroskopis penampang melintang sampel kayu arkeologis dan kayu baru dengan perbesaran 10 x. Masing-masing disajikan berurutan pada gambar 10 dan 11

Gambar 8. Foto penampang melintang kayu arkeologis komponen balok Alang

Gambar 9. Foto penampang melintang kayu baru komponen balok Alang

Suranto, Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama........

Page 19: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

12

Hasil pengamatan mengenai ciri-ciri struktur kayu terhadap penampang melintang makroskopis sampel kayu arkeologis pada gambar 10 dapat dideskripsikan sebagai berikut.a. Lingkaran tahun tampak secara jelas. Kenampakannya

ditandai oleh parenkim terminal atau parenkim bentuk pita.

b. Pembuluh berpenyebaran tunggal dan berganda 2 sampai dengan 3. Pembuluh bersusunan tata lingkar sejati.

c. Parenkim bertipe paratrakheal (parenkim yang bersinggungan dengan pembuluh) dan apotrakheal (parenkim yang tidak berhubungan dengan pembuluh) ada pada kayu. Parenkim paratrakheal meliputi parenkim abaksial (yaitu parenkim yang menyelubungi secara tidak penuh terhadap pembuluh). Di samping itu juga terdapat parenkim apotrakheal berupa parenkim bentuk pita kecil yang berukuran pendek.

d. Jari-jari pada penampang melintang tampak oleh mata sebagai jari-jari yang tidak homogen, karena ada jari-jari berukuran kecil dan yang berukuran agak besar.

e. Kayu ini memiliki tekstur agak halus.f. Serat pada kayu ini memiliki arah yang lurus.g. Saluran damar tidak terdapat pada kayu.

Berdasarkan diskripsi ciri-ciri struktur kayu tersebut, maka aktivitas determinasi menyimpulkan bahwa sampel kayu arkeologis adalah Elmerrillia ovalis Dandy. Kesimpulan ini diperkuat oleh adanya kesesuaian antara foto makroskopis kayu arkeologis ini dengan foto makroskopis yang terdapat pada halaman 36 buku Atlas Kayu Indonesia jilid III (Abdulrrohin dkk, 2004) maupun foto nomor 661 di dalam buku Csiro Atlas of

Hardwood (Ilic, 1991). Kedua foto ini menunjuk pada jenis kayu Elmerrillia ovalis Dandy. Jenis kayu ini dikenal dengan nama perdagangan cempaka hutan (Abdulrrohim dkk, 2004).

Sementara itu, hasil pengamatan mengenai ciri-ciri struktur kayu terhadap penampang melintang makroskopis sampel kayu baru pada Gambar 11 mendapatkan hasil deskripsi sebagai berikut:a. Lingkaran tahun tidak tampak.b. Pembuluh tidak terdapat pada kayu. c. Saluran damar terdapat pada kayu. Saluran damar

berpenyebaran tunggal.d. Parenkim bertipe epithel dan parenkin ini membentuk

saluran damar. e. Jari-jari memiliki satu macam ukuran dan berukuran

kecil.f. Kayu ini memiliki tekstur agak halus.g. Serat pada kayu ini memiliki arah yang lurus.

Berdasarkan deskripsi ciri-ciri struktur kayu tersebut, maka aktivitas determinasi menyimpulkan bahwa sampel kayu arkeologis adalah Pinus merkusii Junghuhn et de Vries. Kesimpulan ini diperkuat oleh adanya kesesuaian antara foto makroskopis kayu ini dengan foto makroskopis yang terdapat pada halaman 42 buku Atlas Kayu Indonesia jilid II (Martawijaya dkk, 1989), dan foto pada halaman 351 buku PROSEA jilid 5 (Soerianegara dan Lemmens, 1993). Jenis kayu ini dikenal dengan nama perdagangan tusam (Martawijaya dkk, 1989).

Berdasarkan kedua hasil identifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan jenis kayu arkeologis dan kayu baru yang digunakan sebagai bahan

Gambar 10. Foto penampang melintang kayu arkeologis komponen papan lantai Alang

Gambar 11. Foto penampang melintang kayu baru komponen papan lantai Alang

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 4-15

Page 20: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

13

papan lantai. Kayu arkeologis berjenis Elmerrillia ovalis Dandy, sedangkan kayu baru berjenis Pinus merkusii Junghuhn et de Vries.

4.2.4. Kayu bahan papan dinding

Untuk mengidentifikasi kayu yang menjadi bahan pembuatan komponen papan dinding pada alang, disajikan foto makroskopis penampang melintang sampel kayu arkeologis dan kayu baru berpembesaran 10 x. Masing-masing disajikan berurutan pada Gambar 12 dan 13.

Hasil pengamatan mengenai ciri-ciri struktur kayu terhadap penampang melintang makroskopis sampel kayu arkeologis pada gambar 12 mendapatkan hasil diskripsi yang sama dengan diskripsi kayu pada gambar 10. Oleh karena itu, kayu arkeologis sebagai penyusun papan dinding alang juga berjenis Elmerrillia ovalis Dandy.

Sementara itu, hasil pengamatan mengenai ciri-ciri struktur kayu terhadap penampang melintang makroskopis sampel kayu baru pada gambar 8 mendapatkan hasil deskripsi sebagai berikut:

a. Lingkaran tahun tidak tampak secara jelas. b. Pembuluh berpenyebaran tunggal dan berganda radial

2 sampai dengan 3. Pembuluh bersusunan tata baur. c. Parenkim bertipe paratrakheal dan apotrakheal ada

pada kayu. Parenkim paratrakheal meliputi parenkim vasisentrik (yaitu parenkim yang menyelubungi secara penuh terhadap pembuluh), sedangkan parenkim apotrakheal berupa parenkim diffus.

d. Jari-jari pada penampang melintang tampak oleh mata sebagai jari-jari yang tunggal dan homogen, yakni jari-

jari berukuran kecil.e. Kayu ini memiliki tekstur agak kasar.f. Serat pada kayu ini memiliki arah yang berpadu.g. Saluran damar tidak terdapat pada kayu.

Berdasarkan deskripsi ciri-ciri struktur kayu tersebut, maka aktivitas determinasi menyimpulkan bahwa sampel kayu arkeologis adalah Paraserianthes falcataria (L) Nielson. Kesimpulan ini diperkuat oleh adanya kesesuaian antara foto makroskopis kayu ini dengan tiga foto makroskopis yang terdapat tiga sumber pustaka, yaitu foto pada halaman 62 buku Atlas Kayu Indonesia jilid II (Martawijaya dkk, 1989), maupun foto pada halaman 321 buku PROSEA jilid 5 (Soerianegara dan Lemmens, 1993) serta foto nomor 2035 di dalam buku Csiro Atlas of Hardwood (Ilic, 1991). Ketiga foto ini menunjuk pada jenis kayu Paraserianthes falcataria (L) Nielson. Jenis kayu ini dikenal dengan nama perdagangan jeunjing atau sengon (Martawijaya dkk, 1989).

Berdasarkan kedua hasil identifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan jenis kayu arkeologis dan kayu baru yang digunakan sebagai bahan papan dinding alang. Kayu arkeologis berjenis Elmerrillia ovalis Dandy, sedangkan kayu baru berjenis Paraserianthes falcataria (L) Nielson.

4.2.5. Bahan penutup atap alang

Proses evaluasi terhadap bahan arkeologis maupun bahan baru yang difungsikan sebagai penutup atap alang dapat dilakukan dengan cara yang sangat mudah tanpa menggunakan bantuan mikroskop. Hal ini disebabkan karena perbedaan antara keduanya sangat mencolok dan kasat mata. Bahan arkeologis sebagai

Gambar 12. Foto penampang melintang kayu arkeologis komponen papan dinding Alang

Gambar 13. Foto penampang melintang kayu baru komponen papan dinding Alang

Suranto, Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama........

Page 21: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

14

penutup atap alang adalah bambu, sedangkan bahan baru sebagai penggantinya adalah bahan logam yang berupa seng gelombang. Oleh karena itu, perbedaan antara bahan arkeologis dan bahan baru bagi penutup atap tidak hanya berada dalam aras jenis bahan, melainkan berbeda dalam aras asal dan komposisi bahan. Dalam konteks ini, bahan arkeologis penutup atap alang berasal dari bahan organik, sedangkan bahan baru penutup atap alang tersebut berasal dari bahan anorganik dengan jenis logam.

5. Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian menyimpulkan tiga hal. Pertama, seluruh komponen struktural maupun non-struktural bangunan alang nomor satu telah diganti dengan jenis kayu baru, bahkan dengan bahan yang baru. Kedua, identifikasi terhadap kayu (bahan) arkeologis dan kayu (bahan) baru secara berurutan menghasilkan jenis berikut: (a) kayu banga (Pigafetta filifera Merr) dan juga kayu banga bagi komponen tiang, (b) kayu cemara gunung (Casuarina Junghuhniana Miq) dan juga cemara gunung bagi balok, (c) kayu uru (Elmerrillia ovalis Dandy) dan kayu tusam (Pinus

merkusii Junghuh et de Vries) bagi papan lantai (d) kayu uru dan kayu sengon (Paraserianthes falcataria Nielson) bagi papan dinding, (e) bambu apus dan seng gelombang bagi penutup atap. Ketiga, pemugaran alang dilakukan tanpa disertai dengan ketaatan penuh terhadap penerapan prinsip-prinsip arkeologis, khususnya prinsip orisinalitas jenis bahan.

Oleh karena itu, perlu disarankan kepada semua pihak, bahwa apabila pemugaran terhadap suatu bangunan alang sebagai cagar budaya berbahan kayu harus dilakukan, maka pelaksanaan pemugaran itu wajib dilakukan dengan penerapan sepenuhnya prinsip-prinsip arkeologis, antara lain prinsip untuk mempertahankan orisinalitas jenis kayu sebagai bahan bangunan. Apabila prinsip ini tidak ditaati, maka status cagar budaya bagi bangunan ini tidak dapat lagi dipertahankan, bahkan kondisi ini dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi UNESCO untuk tidak mengabulkan pengusulannya sebagai warisan dunia (Wold heritage).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim. S, Mandang, Y.I., Sutisna U., (editor). 2004. Atlas Kayu Indonesia. Jilid III. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

Akbar, A, 2010. Arkeologi Masa Kini. Alqaprint Jatinangor. Balai Arkeologi Bandung. Bandung.

Anonim, 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta

Anonim, 1995. Daftar Nama dan Sifat-sifat Kayu Perdagangan yang tumbuh di Pulau Sulawesi. Balai Penelitian Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan.

Anonim, 2009. Tana Toraja Traditional Settlement. Unesco. Sumber http://whc.unesco.org/en/tentativelists/5462/ Diunduh 21 Januari 2013.

Anonim, 2011. Arsitektur Rumah Toraja. Sumber: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/arsitektur-rumah-toraja. Diunduh 22 Agustus 2011.

Anonim (tanpa tahun). Pigafetta fillaris Cultification. Dalam http://www.pacsoa.org.au/palms/Pigafetta/cultivation.html Diunduh pada 8 Juli 2011

Giusuppe Mazza (tanpa tahun). Pigafetta fillaris. Dalam http://www.photomazza.com/?Pigafetta-filaris&lang= Diunduh pada 8 Juli 2011.

Hayashi, S., Kishima, T., Lau L.C., Wong T.M., and Menon, P.K.B., 1973. Micrographic Atlas of Southeast Asian Timber. Division of Wood Biology, Wood Research Institute, Kyoto University. Kyoto. Japan.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 4-15

Page 22: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

15

Ilic, J. 1991. CSIRO Atlas of Hardwood. Crawfor House Press. Melbourne. Australia.

Inajati, 2009. Paradoks Kawasan Budaya: Studi tentang Strategi Pengelolaan Saujana Budaya di Tengah Industri Pariwisata dan World Heritage di Toraja Utara. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi Tahap I Tahun 2010. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, Kadir, K., 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

Presiden Republik Indonesia, 2010. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Lembaran Negara Republik Indonesia.

Procea, 1993. Agroforestry Tree Database: Species Information, Casuarina junghuhniana. World Agroforestry Centre, ICRAF (International Centre for Research in Agroforestry). Sumber: http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/products/afdbases/af/asp/SpeciesInfo.asp?SpID=481. Diunduh 5 Oktober 2012.

Soenardi, 1977. Ilmu Kayu. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Soerianegara, I., dan Lemmens RHMJ. (editor), 1993. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA). No 5 (1). Pudoc Scientific Publishers. Wageningen.

Suranto, Evaluasi Berperspektif Orisinalitas Jenis Kayu Terhadap Pemugaran Cagar Budaya Bangunan Alang Pertama........

Page 23: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

16

Identifikasi Zat Aktif Dalam Ekstrak Tanaman, Tes Anti Jamur dan Anti Serangga1

Ari SwastikawatiBalai Konservasi Borobudur

Email: [email protected]

Abstrak : Indonesia memiliki beraneka ragam warisan budaya, baik dalam bentuk tangible maupun intangible. Salah satu bentuk warisan budaya intangible adalah metode konservasi tradisional. Beberapa metode konservasi tradisional tersebut antara lain penggunaan akar wangi, ratus sebagai bahan fumigant alami dan lain-lain. Metode konservasi tradisional tersebut masih berupa pengetahuan yang bersifat pre-scientific knowledge. Menjadi tugas dan tanggung jawab ahli konservasi untuk mengubahnya menjadi scientific knowledge melalui serangkaian penelitian ilmiah di laboratorium. Pada penelitian dalam pemagangan di laboratorium konservasi NRICH, Korea telah dilakukan identifikasi zat aktif yang terdapat dalam akar wangi. Tujuan khusus penelitian ini adalah menyusun prosedur pengambilan zat aktif dalam akar wangi, mengidentifikasinya, dan mengetes kemampuan ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus sebagai anti jamur dan anti serangga. Analisis laboratorium yang dilaksanakan meliputi identifikasi zat aktif akar wangi (karena keterbatasan waktu identifikasi zat aktif dari cengkeh dan ratus tidak dapat dilaksanakan). Sedangkan eksperimen yang dilaksanakan meliputi tes anti jamur dan anti serangga pada ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus. Prosedur dalam identifikasi zat aktif akar wangi terdiri dari ektraksi, penyaringan atau filtrasi, pengumpulan, pemisahan, analisis kromatografi dan nuclear magnetic resonance. Hasil penelitian belum dapat mengidentifikasi zat aktif dalam akar wangi karena keterbatasan waktu sehingga analisis menggunakan nuclear magnetic resonance tidak dapat dilaksanakan. Hasil tes anti jamur dan anti serangga menunjukan esktrak daun cengkeh memberikan hasil terbaik dalam tes anti-jamur dan anti-serangga diikuti oleh ekstrak ratus kemudian ekstrak akar wangi.

Abtract : Indonesia has a diverse cultural heritage, both tangible and intangible forms. One form of intangible cultural heritage is the traditional conservation methods. Some traditional conservation methods include the use of vetiver and ratus as a natural fumigant. Traditional conservation methods are still in the form of knowledge that is pre-scientific knowledge. The duty and responsibility of conservation experts turn it into a scientific knowledge through a series of scientific studies in the laboratory. On research of internship in Conservation Science Laboratory NRICH, Korea has made the identification of the active ingredient contained in vetiver. The specific objective of this study is to develop a decision procedure in the active ingredient of vetiver, identification, and test the ability of extracts of vetiver, clove leave and ratus as an anti-fungal and insecticidal test. Laboratory analyzes performed include identification of active ingredient of vetiver (due to time constraints identification of active ingredient of clove and ratus unenforceable). While experiments conducted tests include anti-fungal and insecticidal test on vetiver extract, cloves extract and ratus extract. Procedure in the identification of the active ingredient consists of extraction of vetiver, filtration, concentration, separation, chromatographic analysis and nuclear magnetic resonance. The results have not been able to identify the active ingredient in vetiver because of time constraints that uses nuclear magnetic resonance analysis can’t be carried out. The results of the anti-fungal and insecticidal test, clove extract showed the best results in tests of anti-fungal and insecticidal test followed by extract ratus then extract vetiver.

knowledge. Pre-scientifik knowledge adalah ilmu pengetahuan yang ada dalam masyarakat dalam bentuk mitos, tradisi, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan dikomunikasikan dalam bahasa lisan.

Menjadi tugas dan tanggung jawab para ahli konservasi untuk mengubah ilmu pengetahuan yang masih bersifat pre-scientific knowledge menjadi scientific knowledge melalui

I. PENDAHULUANA. Latar Belakang

Indonesia memiliki beraneka ragam warisan budaya, baik dalam bentuk tangible maupun intangible. Salah satu warisan budaya yang jarang disinggung adalah kearifan lokal dalam mengkonservasi benda cagar budaya. Metode konservasi tersebut dapat dikategorikan sebagai pre-scientific

1 Ringkasan Laporan Penelitian dalam Pemagangan “Asian Cooperation Program on Conservation Science” pada tangggal 3 Agustus sampai 23 Oktober 2012 di National Research Institute of Culture Heritage, Daejeon, Korea

Page 24: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

17

serangkaian penelitian. Penelitian tersebut dilakukan melalui survei dan wawancara untuk menginventaris alat, bahan dan prosedur yang digunakan analisis laboratorium serta eksperimen.

Beberapa metode konservasi tradisional yang masih berlangsung sampai saat ini adalah penggunaan akar wangi Museum Radya Pustaka untuk melindungi koleksi buku kuno dari serangan serangga, penggunaan ratus pada koleksi batik Go Tik Swan untuk melindungi kain dari serangan ngengat dan penggunaan ekstrak cengkeh untuk mengkonservasi bangunan kayu pada rumah tradisional Kudus.

B. Maksud dan TujuanMaksud dari kegiatan ini adalah menyusun prosedur

penelitian untuk menguji metode konservasi tradisional. Tujuan dari kegiatan penelitian adalah memperoleh informasi tentang zat aktif yang ada dalam ekstrak akar wangi dan kemampuan ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus sebagai anti jamur dan anti serangga.

C. Metode PenelitianMetode penelitian dalam kegiatan ini adalah analisis

laboratorium dan eksperimen atau percobaan yang dilaksanakan di Laboratorium Conservation Science NRICH. Analisis laboratorium yang dilaksanakan adalah identifikasi bahan aktif pada akar wangi, sedangkan eksperimen yang dilaksanakan meliputi tes anti jamur dan tes anti serangga pada ektrak akar wangi, ratus dan daun cengkeh.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Bahan Aktif pada Ekstrak Tanaman

Secara prinsip untuk melakukan identifikasi zat aktif pada ekstrak tanaman didahului oleh proses persipan untuk mendapatkan partisi dan fraksi yang dilanjutkan dengan analisis kromatografi dan diakhiri dengan analisis menggunakan Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi terhadap akar wangi dan dilanjutkan dengan analisis kromatografi, tetapi karena keterbatasan waktu dan NRICH tidak memiliki alat NMR maka penelitian tidak dilanjutkan sampai pada tahap identifikasi molekuler. Adapun urutan dan hasil analisis

Gambar 3. Jenis-jenis ratus

Gambar 1. Rumput penghasil akar wangi

Gambar 2. Akar wangi yang sudah kering

Gambar 4. Penggunaan ratus pada koleksi batik Go Tik Swan

Gambar 5. Penggunaan akar wangi pada Mu-seum Radya Pustaka

Swastikawati, Identifikasi Zat Aktif Dalam Ekstrak Tanaman, Tes Anti Jamur Dan Anti Serangga

Page 25: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

18

Tabel 1. Prosedur Identifikasi Bahan Aktif Dalam Ekstrak Akar Wangi

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 16-22

kandungan zat aktif dalam ekstrak akar wangi terdapat pada Tabel 1.

Page 26: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

19

B. Tes Anti JamurTes anti jamur dilakukan untuk mengetahui daya

hambat ekstrak akar wangi, daun cengkeh, ratus dan metanol terhadap pertumbuhan jamur perusak material cagar budaya berbahan organik. Sampel yang diuji kemampuanya dalam menghambat pertumbuhan jamur sebagai berikut : 1. Ekstrak akar wangi (kode A)2. Ekstrak daun cengkeh (kode D)3. Ektstrak ratus (kode R)4. Metanol (kode MeOH)5. Tanpa perlakuan sebagai kontrol (kode C)Konsentrasi ekstrak tersebut 1%, 5%, 10% dan 20% yang dilarutkan pada metanol (MeOH).

Jenis-jenis jamur yang digunakan sebagai jamur uji adalah jenis mold dan rot fungi (tabel 2).a) Hasil Tes Anti Jamur terhadap Mold

Hasil tes anti jamur ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus terhadap mold digambarkan dalam area penghambatan terhadap mold, yang dihitung berdasarkan diameter dari luas penghambatan. Hasil pengukuran area penghambatan ekstrak tanaman terhadap pertumbuhan mold terdapat pada Tabel 3.

Berdasarkan tabel tersebut di atas diketahui bahwa ekstrak daun cengkeh menunjukan area penghambatan tertinggi terhadap pertumbuhan mold dan berikutnya ekstrak ratus. Ekstrak akar wangi dan metanol tidak menunjukan adanya area penghambatan.

Tabel 2. Jenis-Jenis Jamur Uji

Tabel 3. Area Penghambatan Ekstrak Tanaman Terhadap Pertumbuhan Mold

Keterangan :A : ekstrak akar wangiD : ekstrak daun cengkehR : ekstrak ratusOla E-3 : Pleosporales sp.Ola E-6 : Penicillium griseofuumOla E-10 : Penicillium sp.H-1 : Cladosporium sp.C : kontrol tanpa perlakukan0 : tidak ada penghambatan- : tidak dilakukan pengujian

Ola E-10 C

Ola E-10 D 1-5%

Ola E-10 D 10%

Swastikawati, Identifikasi Zat Aktif Dalam Ekstrak Tanaman, Tes Anti Jamur Dan Anti Serangga

Page 27: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

20

b) Hasil Tes Anti Jamur terhadap Rot FungiHasil tes anti jamur ekstrak akar wangi, daun

cengkeh dan ratus terhadap rot fungi digambarkan dalam area penghambatan terhadap rot fungi yang dihitung berdasarkan rasio penghambatan dengan rumus sebagai berikut:

IR (%) = A – B X 100% AIR : rasio penghambatan (%)A : diameter pertumbuhan hifa kontrolB : diameter pertumbuhan hifa perlakukan

Berdasarkan hasil perhitungan rasio penghambatan diketahui bahwa ekstrak daun cengkeh menunjukan hasil terbaik dalam mengambat pertumbuhan rot fungi, kedua ratus dan ketiga akar wangi. Metanol menunjukan area penghambatan paling rendah.

C. Tes Anti Serangga

Dalam tes anti serangga terhadap ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus mengunakan serangga uji Cigarette beetle. Cigarette beetle merupakan serangga yang sangat umum digunakan sebagai serangga uji dalam tes anti serangga. Sampel yang diuji kemampuanya dalam tes anti serangga sebagai berikut:

Ola E-11 C

Ola E-11 D 5%

Ola E-11 D 10%

Keterangan :Ola E-11 : HypoxylonOla E-η : Daldinia spIR : Inhibition Ratio (%)0 : tidak ada pertumbuhan- : tidak dilakukan pengujian

Tabel 4. Rasio Penghambatan Ekstrak Tanaman Terhadap Pertumbuhan Rot Fungi

Gambar 6. Tes Anti Serangga Ekstrak Akar Wangi, Ratus dan Daun Cengkeh terhadap Cigarette beetle.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 16-22

Page 28: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

21

1. Ekstrak akar wangi (A)2. Ekstrak daun cengkeh (D)3. Ekstrak ratus (R)4. Methanol sebagai kontrol (C) Konsentrasi: 0,05 g/ml dalam etanolVolume : 300 µl

Berdasarkan hasil observasi jumlah Cigarette beetle yang mati dalam setiap perlakuan selama 48 jam disajikan dalam Tabel 5.

Berdasarkan hasil perhitungan dalam Tabel 5. diketahui bahwa ekstrak daun cengkeh menyebabkan kematian tertinggi pada Cigarette beetle dengan rata-rata kematian 35% setelah waktu paparan 48 jam. Perlakukan ekstrak ratus menyebabkan kematian Cigarette beetle 15% dan ekstrak akar wangi 8,33% sedangkan etanol hanya menyebabkan kematian serangga uji sebanyak 5%. Uji ekstrak daun cengkeh dan ratus menunjukan hasil yang baik karena dosis dan volume ekstrak yang digunakan masih terbilang sangat rendah.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan: 1. Prosedur dalam identifikasi zat aktif dari ekstrak

tanaman secara berurutan sebagai berikut: ekstraksi, filtrasi atau penyaringan, pengumpulan (concentration), pemisahan (fraksi), analisis kromatografi dan nuclear magnetic resonance.

2. Dalam penelitian ini belum dapat diidentifikasi zat aktif yang terdapat dalam ekstrak akar wangi.

3. Ekstrak daun cengkeh menunjukan area penghambatan tertinggi terhadap pertumbuhan mold dan berikutnya ekstrak ratus. Ekstrak akar wangi dan metanol tidak menunjukan adanya area penghambatan terhadap pertumbuhan mold.

4. Ekstrak daun cengkeh menunjukan hasil terbaik dalam menghambat pertumbuhan rot fungi, kedua ratus dan ketiga akar wangi. Metanol menunjukan area penghambatan paling rendah.

5. Ekstrak daun cengkeh menyebabkan kematian tertinggi pada Cigarette beetle dengan rata-rata kematian

Gambar 6. Tes Anti Serangga Ekstrak Akar Wangi, Ratus dan Daun Cengkeh terhadap Cigarette beetle.

Tabel 5. Hasil Observasi Tingkat Kematian Cigarette beetle setelah 48 Jam

Keterangan:A : akar wangi extractD : daun cengkeh extractR : ratus extractC : control / ethanol 70%

Perlakukan Ulangan Jumlah Cigarette beetle yang mati Jumlah Rata-rata Kematian (%)

A 1 2 2 0 5,00 1,67 8,33 3 3

D 1 2 2 5 21,00 7,00 35,00 3 14

R 1 4 2 1 9,00 3,00 15,00 3 4

C 1 3 2 0 3,00 1,00 5,00 3 0

Swastikawati, Identifikasi Zat Aktif Dalam Ekstrak Tanaman, Tes Anti Jamur Dan Anti Serangga

Page 29: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

22

35% setelah waktu paparan 48 jam.

B. Saran: 1. Penelitian seharusnya dilanjutkan untuk mengetahui zat aktif yang ada dalam ekstrak akar wangi, daun cengkeh dan ratus.2. Penelitian anti-jamur dan anti-serangga seharusnya dilanjutkan dengan meningkatkan konsentrasi atau dosis lebih tinggi.

3. Serangga yang digunakan sebagai serangga uji sebaiknya jenis serangga yang umum menyerang material cagar budaya.

DATAR PUSTAKA

Ayer, Sloan etc. 2012. Cytotoxic Xanthone-anthraquinone heterodimers from an unidentified fungus of the Order Hupocreales (MSX 17022), Japan Antibiotic Research, The Journal Antibiotics 65, 3-8.

Beek, Teris. 1999. Modern Methods of Secondary Product Isolation and Analysis. Chemical from Pants Perspectives on Plant Secondary Products. NJ. Walton and DE. Brown. Imperial College, London. Page 91 -186

Harborne, J.B. 1999. Classes and Functions of Secondary Product from Plants. Chemical from Pants Perspectives on Plant Secondary Products. NJ. Walton and DE. Brown. Imperial College, London. 1-25

Izumikawa, Miho, etc. 2012. A New Cyclizidine Analog – JBIR-102- from Saccharopolyspora sp. RL78 Isolated from Mangrove Soil. Japan Antibiotic Research Association. The Journal Antibiotics 65, 41-43

Kawahara, T etc. 2012. JBIR-124: a Novel Anti-oxidative Agent from a Marine Sponge-derived Fungus Penicillliu citrium sp108062G1f01. Japan Antibiotic Research. The Journal Antibiotics 65, 45-47.

Kim, Young-Hee. 2012. Application and Utilization of Plant Extracts for Pest Control on Biological Conservation. Textbook Vol. 1. General Lectures of Asia Cooperation Program on Conservation Science. Conservation Science Division. National Research Institute of Cultural Heritage, Korea

McKay P. 2010. An Introduction to Chromatography http://en.wikipedia.org/wiki/kromatografi) (26 August 2012)

Saker, Satyajit. 1999. Methods in Biotechnology: Natural Products Isolation. Humana Press. Totowa, New Jersey.

Striegel, Mary and Hill, Jo. 1997. Thin Layer Chromatography: Scientific Tools for Conservation. The Getty Conservation Institute, USA

Tissue BM. 2000. Chromatography. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kromatografi) (26 August 2012)

Umeda, Yukiko etc. 2005. Prunustatin A, a Novel GRP78 Molecular Chaperone Down-regular Isolated from Steptomyces violaceoniger. Japan Antibiotic Research The Journal Antibiotics 58(3), 206-209

Walton, NJ, etc. 1999. Characterisation and Control of Plant Secondary Methabolism. Chemical from Pants Perspectives on Plant Secondary Products. NJ. Walton and DE. Brown. Imperial College, London. 27 -90

h t t p : / / e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / T h i n _ l a y e r _chromatography (23 August 2012)

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 16-22

Page 30: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

31

Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) Dalam Upaya Perlindungan Kawasan Situs Biting Kabupaten Lumajang

Asyhadi Mufsi BatubaraMahasiswa S2 Arkeologi, Universitas Gadjah Mada

Email: [email protected]

Abstrak: Aliran sungai sebagai sumber kehidupan dan media untuk mensucikan, telah menempatkannya dalam urutan teratas unsur alam yang paling mempengaruhi jalannya perkembangan peradaban manusia. Tidak mengherankan apabila banyak ditemukan bangunan suci dan perbentengan kuno berdekatan dengan aliran sungai. Disamping bernilai manfaat, aliran sungai juga memiliki sisi negatif yang bersifat merusak, sehingga dikhawatirkan akan berdampak buruk pada bangunan suci dan perbentengan yang kini telah menjadi bangunan cagar budaya. Melihat kondisi tersebut dan juga kondisi di lapangan yang cukup mengkhawatirkan, maka perlu dilakukan suatu langkah konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) yang bersifat spesifik untuk menangani situs cagar budaya yang bersinggungan langsung dengan aliran sungai. Kajian ini masih bersifat penelitian awal, sehingga metode yang digunakan bertumpu pada pengamatan dilapangan dan pengkajian dengan menggunakan pendekatan bidang keilmuan lain terkait permasalahan. Harapannya, upaya dan perhatian konservasi situs cagar budaya tidak hanya bertumpu pada objek arkeologisnya saja, akan tetapi juga harus memperhatikan lingkungan sekitar yang juga berpotensi merusak.

Kata kunci: Konservasi, sungai, situs.

Abstract : Watershed, as a life source and cleansing media, has put it into the top of natural elements that influence the human civilizations. It is not surprising then to find many sacred buildings and old forts located near the watershed. Beside its usefulness, watershed hlaso has damaging negative side. It is worried that the watershed will have bad impact on sacred buildings and forts that nowadays have turned into cultural heritage. Looking at that alarming condition, conservation for watershed has to be specific in directly handling cultural heritage that located near the watershed. It is still a preliminary study, so that the method used are mainly observation in the field and study using multi-disciplinary approach. It is hoped that the cultural heritage conservation is not only dealing with the object, but also paying attention to the surrounding area that could be damaging.

Keywords: Conservation, river, site

bersuci, air juga dianggap sebagai lambang kehidupan dan kemakmuran. Atas dasar konsep tersebut sangat tidak mengherankan apabila banyak ditemukan bangunan-bangunan tinggalan zaman Hindu yang bersentuhan dan berdekatan langsung dengan sumber air dan aliran sungai, baik berupa candi, petirtaan (pemandian), maupun perbentengan (Soekmono, 1974).

Bagai pisau bermata dua, sungai juga memiliki sifat lain yang bersifat merusak, baik secara cepat (bencana) maupun secara perlahan (misalnya erosi dan gerusan). Dilihat dari prosesnya erosi bisa terjadi melalui dua cara, yaitu terjadi secara alami, ini lebih dikenal dengan sebutan erosi alam atau erosi geologis. Erosi kedua adalah erosi yang terjadi akibat tindakan manusia yang disebut dengan erosi dipercepat (Wudianto, 1990: 2). Selain erosi, kerusakan yang ditimbulkan oleh aliran sungai secara perlahan bisa berupa gerusan (scour). Serangan dan gerusan (scour) pada tebing sungai karena meander (berkelok) dapat berakibat

Latar Belakang

Pengaruh besar kebudayaan India khususnya dalam pembuatan candi maupun jenis bangunan lainnya (benteng, pemandian dll) di Nusantara, tidak sepenuhnya dicontoh dan diterapkan, melainkan dipadukan dengan local genius masyarakat setempat. Akan tetapi terdapat beberapa hal baku yang tidak bisa diganggu gugat dan tetap dipertahankan. Salah satunya adalah mengenai peran penting dan keberadaan sumber air dalam menentukan lokasi pendirian bangunan. Sepenuhnya hal ini dijelaskan dalam kitab Silpasastra, dan yang menarik adalah semua bangunan suci diusahakan dibangun sedekat mungkin dengan sumber mata air ataupun sungai. Kitab ini juga memaparkan prinsip bentuk, ukuran, warna, ornamen, maupun lokasi yang merupakan dasar-dasar arsitektur yang tertib dan teratur (Sumintardja, 1978). Sejarah mencatat bahwa aliran sungai telah terbukti memiliki peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia. Selain fungsinya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan

Page 31: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

32

hilangnya tanah berharga; kerusakan tanggul dan jalan, isolasi jembatan dan lain-lain. Gerusan1 adalah istilah untuk gerak lateral bahan pada dasar sungai atau dari tebing sungai (Mardjikum, 1979: 2).

Melihat kerusakan yang ditimbulkan aliran sungai bisa diakibatkan oleh banyak faktor, manusia kemudian mulai mengamati dan mempelajari sifat-sifat aliran sungai. Seiring waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan, alur sungai yang kemungkinan memiliki potensi merusak pada akhirnya bisa dikendalikan pada kondisi yang tidak merusak. Upaya pengendalian ini dikenal dengan istilah konservasi daerah aliran sungai atau konservasi DAS. Pada umumnya konservasi DAS dilakukan bertujuan untuk memberikan perlindungan badan sungai, baik palung, bantaran, maupun sempadan sungai, dan pencegahan pencemaran air sungai yang ditujukan untuk mempertahankan kualitas air sungai sesuai dengan peruntukannya (Yulistianto, 2013)2. Akan tetapi melihat

1 Gerusan merupakan proses erosi dan deposisi pada sungai yang terjadi karena adanya perubahan pola aliran, terutama pada sungai alluvial. Perubahan bisa diakibatkan oleh beberapa hal yang antara lain adanya rintangan yang menghalngi aliran sungai seperti jembatan, bangunan, atau tumpukan batu berukuran besar. Bangunan yang mengha-langi selain dapat mengubah alur sungai, juga diikuti den-gan gerusan atau kerusakan disekitar bangunan (Legono, 1990).2 Pidato pengukuhan guru besar Bambang Yulistianto yang berjudul “Pelestarian dan Pemanfaatan Sungai Secara Terpadu dan Berkelanjutan Bagi Kemaslahatan Manusia”. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 2013. Hl: 3.

banyaknya bangunan cagar budaya yang berlokasi di sepanjang tepian aliran sungai, maka perlu suatu upaya konservasi untuk melindunginya dari pengaruh negatif sungai yang bisa menimbulkan kerusakan.

Upaya konservasi DAS yang berlokasi di sekitar situs merupakan tindakan yang tidak kalah pentingnya dengan konservasi pada situs cagar budaya itu sendiri. Disamping karena efek negatif sungai yang merusak situs, hal ini juga merupakan wujud nyata kepedulian masyarakat akademis ‘non-arkeologis’ terhadap kelestarian bangunan cagar budaya beserta lingkungan sekitarnya. Pernyataan ini jelas termuat dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 BAB I pasal (1) yang berbunyi, cagar budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan3.

Perlu diketahui bahwa proses penetapan situs cagar budaya tidak terbatas hanya pada pemerintah pusat, melainkan juga bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini jelas disebutkan pada pasal (96) ayat (1), dimana pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk menetapkan, membuat peraturan serta melakukan kerjasama pelestarian cagar budaya4. Salah satu Pemerintah Daerah yang telah sadar akan pentingnya pelestarian cagar budaya dan melakukan tanggung jawabnya adalah Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Berawal dari kepedulian masyarakat yang kemudian mengajak Pemerintah Daerah Lumajang untuk turut melestarikan situs Biting secara bersama-sama. Hal ini terbukti dari dikeluarkannya surat resmi Pemerintah Kabupaten Lumajang dengan Nomor: 188.45/41/427.12/2011 tentang pembentukan Tim Pelestarian dan Perlindungan Benda Cagar Budaya oleh Wakil Bupati (selaku Plt. Bupati Lumajang) Drs. H. As’at M.Ag. Dengan adanya surat keputusan yang menetapkan situs Biting 5

3 Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010.4 Ibid.5 Berupa kawasan benteng tanah seluas 135 ha yang keemapat sisinya juga dilindungi aliran sungai. Lokasi benteng terletak di Kabupaten Lumajang.

Gambar 1. Erosi pada aliran sungai.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 31-39

Page 32: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

33

sebagai cagar budaya, dan dibentuknya tim pelestarian situs Biting, maka semakin memperkuat keberadaan situs Biting sebagai BCB yang harus dilestraikan.

Perlu diketahui, bahwa sejauh ini tindakan dan upaya pelestarian yang dilakukan pada situs Biting baru pada sebatas ekskavasi dan inventarisasi hasil ekskavasi yang dilakukan oleh pihak Balai Arkeologi Yogyakarta6. Sedangkan tindakan konservasi pada situs Biting belum dilakukan, terlebih lagi pada lingkungan sekitarnya yang berpotensi merusak situs, yakni aliran sungai yang secara langsung berbatasan dengan situs Biting.

Melihat kenyataan di lapangan pada kunjungan penulis untuk yang ke dua kalinya di situs Biting7, penulis menyimpulkan bahwa perlu adanya upaya konservasi pada situs Biting, dan terlebih penting lagi konservasi pada aliran sungai yang kian menggerus dan merusak dinding situs Biting. Oleh karena permasalahan tersebut, maka penulis merasa perlu untuk membuat sebuah tulisan kecil mengenai konservasi DAS pada situs Biting, sekaligus mengajak semua masyarakat akademis untuk melakukan tindakan konservasi yang tidak hanya menekankan pada

6 Pada BPA (Berita Penilitian Arkeologi) Balai arkeologi Yogyakarta dan dan artikel-artikel yang pernah diterbitkan oleh pihak-pihak terkait, termasuk BP3 Jawa Timur.7 Kunjungan I dilakukan dalam rangka seminar nasional mengenai nilai penting kawasan situs Biting, sedangkan kunjungan ke-II pada acara napak tilas II yang diselenggrakan di kawasan situs Biting tertanggal 7-8 Juli 2012.

situs cagar budaya, akan tetapi juga pada lingkungan sekitar situs.

Gambaran Umum Situs Biting Kabupaten

Lumajang Kabupaten Lumajang merupakan salah satu

kabupaten yang berlokasi di Propvinsi Jawa Timur. Kabupaten ini terletak pada posisi 7° 52’ s/d 8° 23’ Lintang Selatan dan 112° 50’ s/d 113° 22’ Bujur Timur. Dengan Luas wilayah 1.790,90 Km2 atau 3,74% dari luas Propinsi Jawa Timur. Secara administratif batas-batas wilayah kabupaten Lumajang adalah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Jember, sebelah selatan berbatsan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Malang (BPS, 2012).

Adapun gambaran umum jumlah penduduk Kabupaten Lumajang berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 1.006.458, yakni terdiri atas 491.521 laki-laki dan 514.937 perempuan. Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,419 persen pertahun dan Sex Ratio sebesar 95,45 yang penduduknya tersebar pada 21 kecamatan (BPS, 2012). Sedangkan jumlah penduduk Dusun Biting berdasarkan data sensus 2009 adalah berjumlah 550 jiwa, dengan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 189 dan perempuan berjumlah 237 jiwa.

Gambar 2. Peta Situasi Situs Biting, Kabupaten Lumajang. Sumber: Olah Data Google Earth. Gambar 3. Kawasan situs Biting dikelilingi empat aliran sungai. Sumber:

BALAR Yogyakarta.

Mufsi, Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) Dalam Upaya Perlindungan Kawasan Situs Biting Kabupaten Lumajang

Page 33: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

34

Secara administratif Situs Biting terletak di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Timur. Mayoritas penduduk Lumajang didominasi etnis Madura. Kata Biting sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti ‘benteng’, atau tembok untuk pertahanan bagi kota raja. Selayaknya sebuah benteng kota, situs Biting meliputi areal yang terdiri dari pemukiman, pusat pemerintahan kerajaan, persawahan dan lain sebagainya. Keberadaanya sebagai kota kuno diperkuat dengan temuan arkeologi berupa pondasi bangunan, juga yang diperkirakan bekas keraton.

Adapun luas situs secara keseluruhan diperkirakan mencapai 135 ha, yang dibagi menjadi 6 blok. Lingkungan situs Biting sendiri dikelilingi oleh 4 aliran sungai, yaitu pada sebelah Utara terdapat sungai Bondoyudo, pada bagian Timur terdapat Sungai Winong atau Bodang, sebelah Selatan terdapat sungai terdapat Sungai Cangkringan, dan pada bagian Barat adalah Sungai Ploso. Dimana pada masing-masing tepian sungai terdapat benteng tanah bentukan bercampur bata dengan ketebalan sekitar 1.60 m dengan tinggi sekitar 2 m. Bekas benteng kota ini juga terdiri dari beberapa menara intai yang terbuat dari bata berukuran besar, dengan menggunakan spesi atau perekat berupa tanah tanpa lepa. Menara intai berdenah segi empat, yang oleh penduduk setempat disebut sebagai pengungakan, dan teridiri dari pengungakan I sampai VI (Lihat Gambar 4)8.

8 Gambar 4 merupakan salah satu pengungakan atau menara intai yang kondisinya cukup utuh.

Dari enam pengungakan tersebut, tiga di antaranya terletak di sisi barat, sementara di ketiga sisi lainnya juga masing-masing terdapat sebuah pengungakan. Dari pengungakan yang masih tampak relatif utuh, yaitu pengungakan I dan II diketahui bahwa luas masing-masing adalah 7.5 m x 6.5 m dengan tinggi antara 3.8 m - 8m (Abbas, 1992).

Menyangkut hasil penelitian arkeologi di lokasi situs Biting, selain tembok bata juga ditemukan artefak lainnya baik berupa pecahan tembikar, keramik, mata uang, alat logam, maupun batu-batu bulat. Pecahan-pecahan tembikar setelah dianalisis menunjukkan berbagai bentuk wadah, seperti periuk, buyung (klenthing), kendi, mangkuk, cawan, piring, pengaron, dan kowi. Analisis terhadap temuan pecahan keramik menunjukkan bentuk asal berupa mangkuk, buli-buli, cepuk, cangkir, piring, dan guci (Abbas, 2012).

Konservasi DAS9 Dalam Upaya Perlindungan

Situs Biting

Kabupaten Lumajang merupakan wilayah yang tergolong cukup luas, yakni 1.790,90 km², dan terbagi dalam 21 kecamatan yang memiliki beberapa DAS (Daerah Aliran Sungai). Diantara beberapa DAS tersebut, terdapat satu DAS yang melintasi wilayah situs Biting yang terdiri dari satu sungai induk dan beberapa anak sungai. Secara alami sungai induk dan beberapa anak sungai tersebut mengelilingi kawasan perbentengan situs Biting. Adapun empat aliran sungai tersebut yakni: (1) Sebelah utara terdapat Sungai Bondoyudo sebagai sungai induk; (2) Bagian Timur Sungai Winong atau Bodang; (3) Di sebelah Selatan Sungai Cangkringan; (4) Pada bagian Barat terdapat Sungai Ploso. Masing-masing sungai ini memiliki potensi merusak dinding benteng baik secara langsung pada saat terjadi luapan air, maupun secara

9 DAS atau Daerah Aliran Sungai menurut UU No. 7 Tahun 2004, adalah satu wilayah daratan yang merupakan satu kestuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan. Sedangkan sungai adalah air yang mengalir secara alamiah melalui sebuah saluran alam. Jadi yang membedakan aliran sungai dengan DAS adalah luasan kawasan dan banyaknya aliran sungai.

Gambar 4. Salah satu pengunggakan pada situs Biting.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 31-39

Page 34: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

35

perlahan dalam bentuk pengikisan dinding benteng yang terbuat dari tanah bentukan dengan struktur bata (lihat gambar 5 dan 6).

Benteng Biting berdenah asimetris, yakni dibentuk dengan mengikuti bentuk empat aliran sungai yang terdapat di lokasi tersebut, yaitu Sungai Bondoyudo di sisi utara, Sungai Winong di sisi timur, Sungai Cangkring di sisi selatan, dan Sungai Ploso di sisi barat. Sementara posisi keenam pengungakan benteng ini masing-masing terdapat pada kelokan sungai. Perlu diketahui bahwa sungai yang terletak di sebelah selatan, yaitu Sungai Cangkringan, merupakan sungai buatan. Sedangkan di sebelah barat daya terdapat bekas-bekas pembendungan Sungai Ploso (Moelyadi, 1983 ).

Beberapa penelitian terdahulu di bidang keilmuan teknik sipil menunjukkan bahwa sungai dan anak sungai yang mengaliri Dusun Biting tersebut memiliki aliran air yang bertenaga cukup kuat. Beberapa tahun yang lalu, pihak Fakultas Teknik ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) melakukan suatu penelitian mengenai sungai dan anak sungai yang melintasi Dusun Biting dengan judul “Analisis Groundwater Storage Daerah Aliran Sungai Bondoyudo Kabupaten Lumajang Menggunakan Metode Neraca Air”. Adapun gambaran singkat dari hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa, sungai Bondoyudo memiliki luas daerah aliran 1, 341 km2 yang mencakup hampir keseluruhan luas Kabupaten Lumajang. Penelitian yang dilakukan dengan memakan kurun waktu selama empat tahun yakni, dari tahun 2004 hingga tahun 2007, bertujuan untuk mengetahui siklus hidrologi di daerah DAS tersebut10. Berdasarkan hasil evaluasi penelitian, disimpulkan bahwa curah hujan yang cukup tinggi terjadi pada wilayah Kabupaten Lumajang11. Curah hujan yang tinggi tersebut sering mengakibatkan terjadinya luapan air sungai sekaligus membawa material-material lain yang mengakibatkan pengendapan di sekitar dinding sungai (Tatas, 2009).

Kesimpulan hasil penelitian yang pernah dilakukan pihak ITS tersebut diperkuat dengan data curah hujan yang dirangkum oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang. Bahwa curah hujan tahunan pada wilayah Lumajang berkisar antara 1.500 – 2.500 mm per tahun, sehingga berakibat sering terjadi luapan air dan pengikisan pada dinding sungai secara terus menerus. Melihat hasil kesimpulan penelitian ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) dan dibandingkan dengan pengamatan di lapangan, sangat jelas terlihat adanya pengikisan dinding sungai yang berdampak semakin menipisnya luasan jarak antara dinding benteng dengan aliran sungai12. Bahkan di bagian lain sudah tidak tersisa jarak dinding benteng dengan aliran sungai. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka

10 Sungai Bondoyudo merupakan induk sungai yang melintasi wilayah Lumajang, termasuk Dusun Biting dengan be-berapa anak sungai yang mengelilingi kawasan situs Biting. Adapun perbedaan antara DAS dengan aliran sungai telah dijelaskan dalam pemaparan sebelumnya.

11 Hujan rata-rata tahunan berkisar 3251, 46 mm12 Terlihat pada gambar 5, aliran sungai semakin mengikis

dan memperkecil jarang antara dinidng benteng dengan aliran sungai.

Gambar 6. Tembok benteng dekat aliran sungai yang rusak akibat longsoran tanah.

Mufsi, Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) Dalam Upaya Perlindungan Kawasan Situs Biting Kabupaten Lumajang

Gambar 5. Sungai Bondoyudo berbatasan langsung dengan dinding benteng yang mulai tergerus. Sumber: Pribadi.

Page 35: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

36

dalam jangka waktu dekat pengikisan dinding benteng akan semkin parah, dan bisa mengakibatkan terjadinya keruntuhan. Untuk mengatasi kemungkinan kerusakan, perlu adanya tindakan konservasi daerah aliran sungai (DAS) yang melintasi kawasan situs Biting.

Pada awalnya konservasi terbatas pada pelestarian atau pengawetan monumen bersejarah yaitu dengan mengembalikan, mengawetkan monumen tersebut persis seperti keadaan di masa lampau. Konsep ini kemudian berkembang, sehingga konservasi tidak hanya mencakup monumen atau benda arkeologis saja, melainkan juga diterapkan pada lingkungan, taman, dan bahkan kota bersejarah. Bila dilihat secara defenisi, pengertian konservasi seperti yang disepakati dalam Piagam Burra13, merupakan segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, dapat pula mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi (Sidharta, 1989: 9 ). Sedangkan apabila ditinjau menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, maka konservasi merupakan suatu upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya14.

Dalam kajian ini, upaya konservasi secara spesifik dititikberatkan pada aliran sungai di sekitar kawasan Situs Biting. Apabila ditinjau secara definisi, konservasi aliran sungai memiliki pemaknaan yang berbeda dengan pengertian konservasi dalam lingkup kajian arkeologi. Adapun pengertian konservasi sumber daya air yang dijelaskan pada UU No. 7 Tahun 2004, yakni konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar tetap senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang

13 Piagam Burra atau Burra Charter merupakan piagam yang menetapkan standar konservasi dan restorasi benda cagar budaya yang dikeluarkan oleh ICOMOS (International Council on Monument and Sites), yang kedudukannya berada dibawah UNESCO.

14 Undang-Undnag No. 11 Tahun 2010. BAB I (Ketentuan Umum), pada pasal (1) poin ke 22.

akan datang15. Mengingat pentingnya fungsi dan peran sumber daya air seperti yang telah di jelaskan dalam undang-undang, maka dalam pengelolaan wilayah sungai diperlukan perencanaan, pengaturan, pengembangan, dan pemanfaatan sumber-sumber air secara terpadu dan meneyeluruh. Istilah yang dipakai adalah one river basin one plan (Ongkosongo, 2010). Secara terpadu dan menyeluruh dapat diartikan dengan melakukan kajian yang melibatkan bidang keilmuan terkait lainnya. Seperti halnya dalam kasus ini, dimana kajian arkeologi hendaknya melibatkan bidang keilmuan hidrologi untuk menghasilkan upaya konservasi DAS pada kawasan Situs Biting secara maksimal.

Langkah dan Tindakan Konservasi DAS Kawasan Situs Biting

Wilayah perbentengan seluas 135 ha, Situs Biting dirancang oleh seorang arsitek yang dalam sejarah disebut sebagai Arya Wiraraja. Secara strategi militer, Arya Wiraraja memilih tempat yang tepat dengan medan strategis dan kondisi di dalam benteng yang merupakan permukaan datar dan subur. Dia juga memperkuat benteng dengan dinding bata setinggi dua meter dengan ketebalan 1, 60 cm. Cetakan batu bata berukuran cukup besar dengan pembakaran bersuhu tinggi dan menggunakan perekat atau spesi berupa tanah tanpa lepa (Abbas, 1992)

Pada dasarnya aliran sungai yang mengelilingi kawasan Situs Biting telah terbentuk secara alami sebelum benteng kota didirikan oleh Arya Wiraraja. Dalam hal ini terlihat bahwa aliran sungai memiliki multi fungsi, yang juga bisa dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan. Dimasa lampau aliran sungai ini berperan sebagai pelindung, namun dimasa kini ternyata aliran sungai tersebut justru menjadi ancaman terhadap benteng yang didirikan dengan mengikuti pola aliran sungai. Sehingga yang menjadi perhatian utama dan diangggap paling mengkhawatirkan serta harus segara ditangani adalah dinding benteng Situs Biting dan pengungakan (menara intai). Hal ini diperkuat dengan pengamatan di lapangan bahwa kemungkinan besar aliran sungai akan terus menerus menggerus dan merusak dinding benteng serta tanah pondasinya.

15 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 31-39

Page 36: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

37

Gambar 7. Tipe alur sungai memanjang, meanders, braided, dan anstomosing (Rosgen, 1996)

Meskipun secara sekilas sungai terlihat memiliki aliran yang sulit diprediksi, namun dengan pengamatan dan peneltian dalam kurun waktu yang lama, maka sungai juga dapat dimengerti sebagai sistem yang teratur. Sistem yang teratur ini diartikan bahwa segala jenis komponen penyusun sungai memiliki karakteristik yang teratur atau dapat dikaji dan diperidiksi. Karakteristik ini menggambarkan kondisi spesifik sungai yang bersangkutan. Sistem sungai alamiah merupakan sistem sungai yang teratur dan komplek yang setiap komponennya saling berpengaruh satu sama lain (Maryono, 2007: 8).

Melihat alur sungai yang mengelilingi Situs Biting, diperkirakan alur sungai bertipe lurus memanjang dan meander atau dengan alur sungai berkelok. Untuk memperjelas analisis model alur sungai pada Situs Biting, maka dilakukan perbandingan kondisi di lapangan dengan tipe alur sungai menurut Rosgen16 seperti pada Gambar 7.

Melihat pola sungai memanjang atau meander akan menetukan pengambilan langkah konservasi yang paling aman dan tepat bagi benteng tanah situs Biting dan juga lingkungan sekitarnya. Adapun langkah konservasi yang diambil dalam upaya perlindungan dan pengurangan kerusakan pada dinding benteng kawasan Situs Biting adalah sebagai berikut:

16 Dikutip dari buku berjudul Restorasi Sungai ‘River Resto-ration (Maryono, 2007).

1. AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan)

Tindakan awal yang akan ditempuh oleh konservator dalam kasus benteng kawasan Situs Biting seluas 135 ha adalah AMDAL atau Analisis Dampak lingkungan. Pengkajian mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh yang muncul pada biota sungai maupun kehidupan yang terkait dengan aliran sungai yang mengelilingi benteng. Walau bagaimanapun pentingnya BCB yang dalam hal ini benteng Situs Biting untuk dipertahankan kelestariannya, namun keseimbangan dan kelestarian alam tidak kalah penting untuk tetap dijaga. Untuk pengkajian AMDAL, perlu dibentuk satu tim kecil yang memang ahli dan berpengalaman dalam bidang tersebut.

2. Pembuatan DAM

Pada beberapa bagian wilayah sungai yang mengelilingi benteng kawasan Situs Biting perlu dibuat DAM berukuran kecil yang disesuaikan dengan besarnya sungai dan debit air sungai pada musim penghujan guna mangatur daya rusak aliran sungai. Hal ini juga dilakukan sebagai kontrol air pada musim-musim tertentu untuk menghindari luapan berlebih yang mengakibatkan terjadinya banjir sehingga menggenangi wilayah dinding benteng.

Dalam upaya kegiatan konservasi yakni penambahan jarak pembatas antara sungai dengan dinding benteng, maka aliran sungai untuk sementara akan diperkecil

Mufsi, Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) Dalam Upaya Perlindungan Kawasan Situs Biting Kabupaten Lumajang

Page 37: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

38

debitnya, sehingga pembuatan DAM pada beberapa titik akan sangat membantu pengerjaan proyek tersebut.

3. Penanganan Dampak Negatif Sungai

Dalam kaitan dengan bencana bersumber dari air, terdapat beberapa konsep penanganan dampak negatifnya, yakni antara lain sebagai berikut:

� Pengelolaan dataran banjir (flood plain management)

� Mitigasi perusakan akibat banjir (flood demage mitigation)

� Perlawanan banjir (flood fighting)

� Pengelolaan perusakan akibat banjir ( flood demage management)

� Penangananan setelah banjir (post flood disaster relief)

Pengelolaan dataran banjir dimaksudkan untuk menghindari atau memperkecil dampak pada wilayah sekitar. Wilayah tepian sungai17 pada kenyataannya sering digunakan sebagai tempat tinggal dan infrastruktur terbangun lainnya (Ongkosongo, 2010: 11). Dalam hal ini juga termasuk wilayah benteng Situs Biting yang terkena genangan akibat luapan dari beberapa sungai yang mengelilinginya. Apalagi mengingat sungai-sungai ini18 adalah sungai yang memiliki aliran terus menerus sepanjang tahun (continuous flow) dan dapat berubah menjadi sungai aliran curah hujan karena pengelolaan daerah hulu yang buruk sehingga pada waktu musim hujan kemungkinan akan terjadi banjir (Ongkosongo, 2010: 164).

17 Wilayah yang dimaksud adalah wilayah tepian sungai pada umumnya.

18 Sungai yang dimaksud adalah sungai yang beraliran deras.

PenutupDalam kasus permasalahan kerusakan BCB (Benda

Cagar Budaya) yang dikaibatkan oleh sungai memang masih kurang mendapatkan perhatian dari kalangan arkeolog. Namun persinggungan BCB dengan DAS terbilang cukup banyak dijumpai di lapangan, terlebih pada BCB peninggalan zaman Hindu-Budha. Salah satu contoh kasus yang cukup menarik dan perlu penanganan segera adalah benteng tanah situs Biting di Dusun Biting Kabupaten Lumajang. Selama ini pusat perhatian arkeologi Yogyakarta masih tertumpu pada pengkajian dan penggalian artefaktual yang berada didalam kawasan benteng (objek arkeologis) dan melupakan keberadaan di luar benteng, yakni sungai yang bersinggungan langsung dengan dinding benteng yang semakin rusak karena terus menerus digerus sungai yang mengelilingi empat sisinya.

Sejauh ini belum ada tindakan konservasi yang diakukan pada benteng tanah Situs Biting, hal itulah yang menjadi alasan penulis untuk mengangkat tema tulisan konservasi DAS dalam upaya perlindungan kerusakaan pada dinding benteng Situs Biting. Model usulan dan langkah-langkah konservasi yang ditawarkan penulis masih terbilang jauh dari sempurna, namun harapannya dengan adanya tulisan ini akan sedikit membuka mata dan menyadarkan kita untuk berpaling sejenak keluar benteng, melihat sungai dan dinding benteng yang semakin tergerus dan rusak akibat tidak adanya pengelolaan sungai sehingga membawa dampak negatif pada situs.

Legono, D. 1990. Gerusan Pada Bangunan Sungai. PAU Ilmu-Ilmu Teknik UGM. Yogyakarta.

Mardjikum, Pragnjono. 1979. Teknik Sungai “Diktat Kuliah”. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 31-39

Daftar Pustaka

Abbas, Novida. 1992. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Situs Biting, Kelurahan Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur Tahap XI. Balai Arkeologi Yogyakarta. Yogyakarta.

Page 38: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

39

Maryono, Agus. 2007. Restorasi Sungai “River Restoration”. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Moelyadi. 1983. Dampak Lingkungan Geologi terhadap Pendirian dan Kehancuran Kerajaan Lama Sukodono, Lumajang, Jawa Timur. Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Ongkosongo, Otto S.R. 2010. Kuala, Muara Sungai dan Delta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta.

Purwantiny, Aries. 2012. Peradaban Lamajang kuno. Putra Media Nusantara. Surabaya.

Sidharta. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Soekmono. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya ‘Disertasi’. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.

Sumintardja, Djauhari. 1978. Kompendium Sejarah Arsitektur. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. Bandung.

Tatas. 2009. Analisis Groundwater Storage Daerah Aliran Sungai Bondoyudo Kabupaten Lumajang Menggunakan Metode Neraca Air. Diploma 3 Fakultas Teknik Sipil. Institut Teknologi 10 November. Surabaya.

Wudianto, Rini. 1990. Mencegah Erosi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Yulistianto, Bambang. 2013. Pelestarian dan Pemanfaatan Sungai Secara Terpadu dan Berkelanjutan Bagi Kemaslahatan Manusia “Pidato Pengukuhan Guru Besar”. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Perundangan

Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Undang-undang Nomor. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Undang-Undang Nomor. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Surat Keputusan Nomor : 188.45/41/427.12/2011 tentang Tim Pelestarian dan Perlindungan Benda Cagar Budaya di Kabupaten Lumajang

Piagam Burra (Burra Charter) ICOMOS 1981.

Mufsi, Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) Dalam Upaya Perlindungan Kawasan Situs Biting Kabupaten Lumajang

Page 39: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

23

Konservasi Keramik Bawah Air

Leliek Agung Haldoko, Yudi Suhartono, Arif Gunawan

Balai Konservasi BorobudurEmail : [email protected]

Abstrak : Keramik sebagai salah satu jenis tinggalan bawah air memiliki nilai penting bagi sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan sehingga dapat ditetapkan sebagai cagar budaya. Penanganan keramik bawah air yang ditemukan di laut merupakan yang paling sulit karena keramik akan terkena pengaruh dari garam terlarut maupun endapan karang yang dapat mempercepat kerusakan dan pelapukan. Selain itu keramik yang ditemukan tidak selalu dalam keadaan utuh, ada yang pecah menjadi fragmen-fragmen, maupun ada fragmen yang hilang.

Karena itu diperlukan cara yang efektif untuk membersihkan endapan karang tanpa merusak keramik. Pada penelitian ini yang dipakai untuk pembersihan endapan karang adalah larutan jenuh CO2. Selanjutnya hasil pembersihan yang didapatkan dibandingkan dengan pembersihan endapan karang menggunakan dengan HCl 5 %, asam sitrat 5 % dan dengan cara direbus. Untuk penyambungan fragmen keramik digunakan animal glue dalam hal ini adalah gelatin dan anchor.

Pembersihan endapan karang dengan larutan jenuh CO2 didapatkan hasil bahwa endapan karang yang lunak dapat terlepas sedangkan untuk endapan karang yang keras dapat menjadi lunak, tetapi noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang. HCl 5 % dan asam sitrat 5 % efektif untuk menghilangkan endapan karang sekaligus menghilangkan noda besi pada permukaan keramik, tetapi dampak negatif untuk pembersihan dengan HCl adalah glasir ikut mengelupas, sedangkan untuk pembersihan dengan asam sitrat adalah permukaan keramik menjadi berwarna kekuningan. Untuk pembersihan endapan karang dengan direbus, di beberapa bagian masih terdapat endapan karang yang keras. Selain itu noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang. Untuk penyambungan fragmen keramik dengan gelatin maupun anchor dapat merekat kuat. Untuk melepas sambungan, keramik hanya perlu direndam air dan dalam beberapa menit akan terlepas dengan sendirinya. Kata kunci : keramik, pembersihan endapan karang, penyambungan, larutan jenuh CO2, animal glue

Abstract : Ceramic is one of underwater heritages, which is designated as cultural heritage because it has important values for history, culture and sciences. The treatment for underwater ceramic found in the sea is the most difficult one because the ceramic is impacted both from soluble salt and coral that catalyst the damage and deterioration. Moreover, ceramic is not always found in one piece, but usually broken into fragments, or even worse, discovered with missing fragments.

Effective method is needed to clean the coral without damaging the ceramic. This study is aimed to experiment the cleaning using saturated solution CO2. The result is compared with the cleaning using HCl 5 %, citric acid 5 % and boiling method. Animal glues, especially gelatin and anchor, are used for the reconstruction of fragments into one piece of ceramic.

By using saturated solution CO2, the result shows that soft coral could be detached while the hard coral would become soft. Nevertheless, the iron stain is still stuck into the ceramic. HCl 5 % and citric acid 5 % is effective in removing the coral as well as the iron stain. However, they also have negative impact because HCl 5 % would also remove the glaze while citric acid would make the ceramic surface become yellowish. The boiling method shows that it cannot remove some sections of hard coral. Moreover, the iron stain is still stuck in the surface. The reconstruction using gelatin and anchor shows good result while the reconstruction could be loosen by soaking the ceramic in water for several minutes. The method proves that the glue would detach by itself. Keywords : ceramic, coral cleaning, reconstruction, saturated solution CO2, animal glue

A. Latar Belakang

Tinggalan bawah air memiliki nilai penting bagi sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan sehingga dapat ditetapkan sebagai cagar budaya. Pelestarian cagar budaya tinggalan bawah air sangat penting untuk dilakukan karena tingginya nilai penting cagar budaya tersebut serta

umumnya telah mengalami kerusakan dan pelapukan. Karena itulah diperlukan tindakan konservasi.

Konservasi menjadi bagian yang penting dalam penelitian arkeologi. Permasalahan yang ada akan semakin kompleks pada tinggalan bawah air seperti pada sungai atau laut. Salah satu dari tinggalan bawah air adalah keramik.

Page 40: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

24

Keramik bawah air ini biasanya ditemukan pada kapal yang tenggelam pada masa lampau. Penanganan keramik bawah air yang ditemukan di laut merupakan yang paling sulit dari keramik bawah air yang ada, karena keramik akan terkena pengaruh dari garam terlarut maupun endapan karang yang dapat mempercepat kerusakan dan pelapukan. Selain itu keramik yang ditemukan tidak selalu dalam keadaan utuh, ada yang pecah menjadi fragmen-fragmen, maupun ada fragmen yang hilang. Untuk itu diperlukan penanganan yang tepat untuk menyelamatkan keramik bawah air dari kerusakan dan pelapukan yaitu dengan tindakan konservasi.

Konservasi yang dilakukan berkaitan dengan semua kegiatan untuk menyelamatkan artefak, yang dalam hal ini adalah keramik bawah air. Konservasi mempunyai 2 fungsi utama, yaitu preservasi dan restorasi. Preservasi bertujuan untuk membuat stabil, mempertahankan dari kerusakan dan kerapuhan serta kemunduran dari sifat-sifat yang terkandung pada artefak secara fisik. Tindakan ini diikuti dengan usaha untuk menyesuaikan artefak dengan lingkungan baru. Restorasi bertujuan untuk mengembalikan artefak sesuai dengan bentuk aslinya atau sesuai dengan bentuk ketika awal mula dibuat. Restorasi dibarengi dengan modifikasi materi untuk mengganti struktur atau bagian dari artefak yang hilang. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pembersihan endapan karang dan penyambungan keramik dengan bahan perekat yang reversible.

B. Metode

Objek penelitian yang dipakai adalah keramik bawah air yang ada di laboratorium konservasi Balai Konservasi Borobudur. Keramik bawah air ini berasal dari kapal tenggelam di perairan utara Cirebon. Keramik yang akan di konservasi terlebih dahulu didokumentasikan sehingga dapat dilihat perbedaannya sebelum dan sesudah dilakukan tindakan konservasi (Hardiati, 2001). Metode konservasi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi 2 macam yaitu :a. Pembersihan endapan karang

Untuk pembersihan endapan karang akan dilakukan dengan larutan jenuh CO2. Larutan jenuh CO2 ini didapatkan dengan cara mengalirkan gas CO2 secara terus menerus ke dalam aquades (H2O) dalam bak penampungan. Dengan cara ini akan terjadi penurunan

pH karena reaksi antara CO2 dan H2O akan membentuk asam lemah H2CO3 (asam karbonat). Setelah itu keramik yang permukaannya masih ditutupi endapan karang dimasukkan ke dalam bak penampungan. Asam karbonat inilah yang akan dapat menguraikan endapan karang sehingga endapan karang yang lunak akan dapat terlepas sedangkan endapan karang yang keras dapat menjadi lunak. Selain itu sebagai pembanding juga akan dilakukan pembersihan endapan karang dengan cara lain, yaitu dengan asam klorida (HCl) 5 %, asam sitrat 5 % dan dengan cara direbus.

Penggunaan larutan asam dikarenakan endapan karang tersusun atas garam karbonat CaCO3 maupun MgCO3 yang merupakan garam yang bersifat basa. Larutan asam akan bereaksi dengan garam karbonat tersebut sehingga garam karbonat akan terurai dan terlepas dari permukaan keramik. Sedangkan dengan cara perebusan, garam karbonat akan mengalami dekomposisi akibat adanya pemanasan, sehingga garam karbonat akan menjadi lunak dan mudah dibersihkan. Selanjutnya dari keempat cara ini akan dibandingkan tingkat efektivitasnya dan potensi kerusakan yang ditimbulkannya.

b. PenyambunganPenyambungan keramik pecah menggunakan

beberapa bahan perekat yang reversible, selanjutnya dibandingkan tingkat kekuatan rekatnya. Dipilihnya bahan perekat yang reversible agar ketika terjadi kesalahan penyambungan dapat dilepas kembali. Bahan perekat reversible yang dipakai adalah animal glue, yaitu gelatin dan anchor. Cara membuat perekat gelatin maupun anchor

Gambar 1. Proses pembersihan endapankarang dengan larutan jenuh CO2

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 23-30

Page 41: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

25

adalah mencampurkan salah satu dari bahan tersebut dengan air lalu dipanaskan dan diaduk sampai menyatu. Selanjutnya didinginkan dan diaduk sampai mengental, baru kemudian dipakai sebagai perekat. Jika perekat mulai mengeras dapat dipanaskan untuk mencairkan kembali.

Perekat dapat langsung diaplikasikan untuk menyambung pecahan fragmen keramik. Penyambungan dilakukan secara bertahap yaitu setelah sambungan antar fragmen mengering, baru dilakukan penyambungan untuk fragmen berikutnya. Untuk menyangga agar selama proses pengeringan sambungan tidak bergeser digunakan malam (wax).

C. Pembahasan

1. Pembersihan Endapan KarangUntuk pembersihan endapan karang dilakukan

percobaan dengan pengembangan metode baru yaitu dengan menggunakan larutan jenuh CO2 (aquades yang dialiri gas CO2). Pertimbangan dipakainya metode baru ini adalah karena pH yang dihasilkan dari larutan jenuh CO2 tidak terlalu rendah sehingga tidak berbahaya (tidak merusak) untuk keramik itu sendiri.

Dari percobaaan ini, aquades yang sebelumnya memiliki pH 5 setelah dialiri gas CO2 pH-nya turun menjadi 4. Hal ini dikerenakan reaksi antara gas CO2 dan H2O membentuk asam karbonat (H2CO3) yang merupakan asam lemah. Reaksi ini dapat terjadi karena kelarutan CO2 dalam air yang cukup tinggi. Asam karbonat inilah yang akan menguraikan garam karbonat yang merupakan penyusun utama endapan karang. Dengan metode ini nantinya perendaman dilakukan dalam waktu yang cukup lama (sampai berhari-hari), mengingat pH yang dihasilkan dari larutan ini masih cukup tinggi.

Selain itu sebagai pembanding untuk pembersihan endapan karang dengan larutan jenuh CO2 juga

dilakukan pembersihan endapan karang dengan HCl 5 %, asam sitrat (C6H8O7) 5 % dan dengan cara direbus. HCl merupakan asam kuat sehingga dapat dengan cepat menguraikan garam karbonat. Selain itu juga dilakukan pembersihan endapan karang dengan asam sitrat 5 %. Asam sitrat merupakan asam lemah sehingga diharapkan dapat menghilangkan endapan karang dengan tanpa menimbulkan kerusakan pada keramik.

Pembersihan endapan karang juga dilakukan dengan cara perebusan. Dengan cara ini endapan karang yang tersusun atas garam karbonat akan mengalami dekomposisi akibat adanya pemanasan, sehingga garam karbonat akan menjadi lunak dan mudah dibersihkan. Hal ini dapat terjadi karena jika dipanaskan, kebanyakan garam karbonat cenderung mengalami dekomposisi membentuk oksida logam dan karbon dioksida. Karena itu dalam keadaan panas harus segera dibersihkan dengan bantuan scavel, sebelum kembali mengeras jika suhu turun.

Gambar 5, 6, 7, dan 8 adalah hasil pembersihan endapan karang dengan dengan menggunakan metode-metode diatas.

Dari percobaan pembersihan endapan karang dengan larutan jenuh CO2 (aquades yang dialiri gas CO2) ini, untuk keramik no. 3 dilakukan perendaman selama 2 hari, sedangkan untuk keramik no. 1 dilakukan perendaman sampai gas habis (+ 25 hari). Hasilnya adalah endapan karang pada keramik no. 3 telah menjadi lunak sehingga dapat dengan mudah dilakukan pembersihan mekanis dengan scavel. Penggunaan scavel diperlukan karena metode mekanis masih tetap yang paling aman untuk menghilangkan endapan karang (Hamilton, 1999).

Untuk keramik no. 1 dibiarkan terendam sampai gas CO2 habis. Ini dilakukan untuk melihat sejauh mana larutan ini dapat menghilangkan endapan karang dengan

Gambar 4. Proses penyambungan dengan animal glueGambar 2. Gelatin Gambar 3. Anchor

Agung, Konservasi Keramik Bawah Air

Page 42: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

26

sendirinya. Hasilnya terlihat bahwa endapan karang yang lunak dapat terlepas sedangkan untuk endapan karang yang keras telah menjadi lunak. Persentase endapan karang yang lepas dengan sendirinya pada keramik no. 1 sekitar 25 %. Selanjutnya untuk endapan karang yang masih menempel pada keramik dibersihkan secara mekanis dengan scavel. Pembersihan dapat dilakukan dengan mudah karena endapan karang yang masih menempel telah menjadi lunak. Yang menjadi kekurangan dari metode ini adalah noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang.

Selain menggunakan larutan jenuh CO2 untuk pembersihan endapan karang, sebagai pembanding juga digunakan HCl 5 %, asam sitrat 5 % dan dengan cara direbus. Pembersihan endapan karang dengan HCl 5 % dilakukan dengan perendaman selama 3 menit, sedangkan dengan asam sitrat 5 % perendaman dilakukan selama 15 menit. Pembersihan endapan karang dengan perebusan

dilakukan selama 1,5 jam pada suhu +100°C. Untuk mempercepat proses pembersihan juga dibantu dengan cara mekanis menggunakan scavel. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 9, 10, 11, 12, 13, dan 14.

Dari percobaan pembersihan endapan karang pada keramik no. 7 dengan HCl 5 % terlihat bahwa larutan ini sangat efektif dalam melarutkan endapan karang. Hal ini terjadi karena HCl merupakan asam kuat yang sangat reaktif terhadap garam karbonat. Selain itu noda besi yang menempel pada keramik juga ikut hilang. Dampak negatif yang terjadi adalah glasir ikut mengelupas sehingga permukaan keramik menjadi kasar.

Untuk percobaan pembersihan endapan karang pada keramik no. 8 dengan asam sitrat 5 % terlihat bahwa larutan ini cukup efektif untuk menghilangkan endapan karang. Selain itu noda besi yang menempel pada permukan keramik juga ikut hilang tanpa menghilangkan glasir. Perubahan yang terjadi adalah permukaan keramik

Gambar 8. Kondisi keramik setelah dibersihkan

dengan larutan jenuh CO2

Gambar 7. Kondisi keramik sebelum dibersihkan

Gambar 6. Kondisi keramik setelah dibersihkan dengan larutan jenuh CO2

Gambar 5. Kondisi keramik sebelum dibersihkan

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 23-30

Page 43: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

27

menjadi berwarna kekuningan.Terakhir adalah pembersihan endapan karang pada

keramik no. 9 dengan cara direbus. Perebusan dilakukan

pada suhu + 100oC selama 1,5 jam. Perebusan ini tidak akan merubah fisik dari keramik karena suhu perebusan berada di bawah suhu pembakaran keramik (porselin)

Gambar 9. Kondisi keramik sebelum dibersihkan Gambar 10. Kondisi keramik setelah dibersihkan

dengan HCl 5 %

Gambar 11. Kondisi keramik sebelum dibersihkanGambar 12. Kondisi keramik setelah dibersihkan

dengan asam sitrat 5 %

Gambar 13. Kondisi keramik sebelum dibersihkan Gambar 14. Kondisi keramik setelah dibersihkan

dengan direbus

Agung, Konservasi Keramik Bawah Air

Page 44: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

28

yang mencapai diatas 1000oC. Hasilnya adalah beberapa bagian dari endapan karang dapat terlepas. Yang menjadi kekurangan dari metode ini adalah di beberapa bagian masih terdapat endapan karang yang keras. Selain itu noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang.

2. Penyambungan KeramikUntuk melakukan penyambungan keramik pecah

ini dilakukan percobaan dengan menggunakan bahan perekat yang reversible. Dasar pemilihan bahan perekat jenis ini adalah agar ketika telah dilakukan penyambungan masih dapat dikembalikan ke bentuk semula. Selain itu ketika terjadi kesalahan dalam penyambungan dapat dilepas kembali tanpa merusak permukaan sambungan. Karena itu dipilih untuk menggunakan animal glue yaitu bahan perekat yang berasal dari tulang atau kulit binatang. Percobaan pembuatan bahan perekat ini dilakukan dengan menggunakan gelatin dan anchor. Gelatin maupun anchor merupakan protein yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang secara alami terdapat pada tulang atau kulit binatang. Kata kolagen sendiri berasal dari bahasa Yunani yang artinya bersifat lekat atau menghasilkan pelekat. Untuk dapat digunakan sebagai bahan perekat, gelatin maupun anchor direbus dengan air dan selanjutnya didinginkan sampai mengental. Keunggulan perekat jenis ini selain bersifat reversible juga dapat digunakan untuk menyambung antar fragmen yang memiliki celah besar karena kekentalannya dapat disesuaikan.

Karena permukaan keramik yang akan disambung

memiliki luasan yang kecil dan tipis, maka agar sambungan menjadi lebih kuat perbandingan antara gelatin maupun anchor dengan air dibuat besar. Untuk keramik jenis porselin bahan perekat dibuat dengan perbandingan 1 : 1 karena bahan perekat hanya akan menempel di permukaan sambungan sehingga dibuat lebih kental. Untuk gerabah yang memiliki porositas besar, bahan perekat dibuat dengan perbandingan 1 : 2 agar lebih encer sehingga dapat meresap ke pori-pori keramik yang akan menjadikan daya rekatnya menjadi lebih besar.

Pada keramik no. 11, ketika fragmen disatukan terlihat adanya celah antar fragmen (tidak menyatu sempurna). Hal ini terjadi karena sebelumnya keramik ini pernah dilakukan penyambungan dengan lem alteco yang sifatnya tidak reversible sehingga bekas lem tetap menempel pada permukaan sambungan (tidak dapat dihilangkan). Karena itu untuk melakukan penyambungan kembali dibutuhkan perekat yang kental dan agak tebal sehingga dapat menyatukan fragmen-fragmen keramik yang terpisah. Pada penyambungan keramik no. 11 digunakan anchor dengan perbandingan 1 : 1 dengan air, dan hasilnya sambungan merekat dengan kuat.

Pada keramik no. 14, ketika fragmen disatukan hampir tidak terdapat celah. Untuk itu perekat yang digunakan haruslah tidak terlalu tebal agar tidak membekas pada sambungan dan dapat menyatu dengan sempurna. Pada penyambungan keramik no. 14 digunakan gelatin dengan perbandingan 1 : 1 dengan air. Hasilnya sambungan merekat kuat dan fragmen dapat menyatu dengan sempurna.

Gambar 15. Kondisi keramik sebelum dilakukan

penyambungan

Gambar 16. Kondisi keramik setelah disambung

dengan anchor 1 : 1

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 23-30

Page 45: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

29

Gambar 17. Kondisi keramik sebelum dilakukan penyambungan

Gambar 18. Kondisi keramik setelah disambung dengan

gelatin 1 : 1

Gerabah no. 13 adalah gerabah baru. Ketika fragmen disatukan hampir tidak terdapat celah dan sangat rapat. Karena gerabah memiliki porositas besar dan mudah menyerap cairan maka perekat yang dipakai adalah perekat yang encer agar dapat meresap ke pori-pori gerabah sehingga kekuatan sambungannya akan lebih besar. Karena itu yang dipakai sebagai perekat adalah anchor dengan perbandingan 1 : 2 dengan air. Dipilihnya anchor daripada gelatin sebagai perekat adalah karena dengan perbandingan yang sama (dengan air) memiliki bentuk yang lebih encer. Hasilnya sambungan merekat kuat dan fragmen dapat menyatu dengan sempurna.

Untuk mengetahui kekuatan sambungan dilakukan pengujian dengan kuat geser. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan sampel bata pres yang dibentuk balok dan dipotong dengan sudut 45o. Selanjutnya pada bidang potongan tersebut diberi perekat dan dibiarkan

sampai mengering lalu diuji kuat gesernya dengan menggunakan Universal testing Machine (UTM) dan hasilnya pada tabel 1.

Untuk melepas sambungan keramik dapat dilakukan dengan merendam dalam air, dan dalam beberapa menit sambungan keramik tersebut akan lepas dengan sendirinya. Hal ini terjadi karena sifat dari animal glue (gelatin dan anchor) yang larut air.

Gambar 19. Kondisi gerabah sebelum dilakukan penyambungan

Gambar 20. Kondisi gerabah setelah disambung dengan anchor 1 : 2

Agung, Konservasi Keramik Bawah Air

Tabel 1. Hasil uji kuat geser anchor dan

gelatin

Page 46: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

30

D. Kesimpulan

Dari percobaan pembuatan larutan jenuh CO2, pH air menjadi menurun setelah dialiri gas CO2 secara terus menerus. Untuk pembersihan endapan karang dengan larutan jenuh CO2 didapatkan hasil bahwa endapan karang yang lunak dapat terlepas sedangkan untuk endapan karang yang keras dapat menjadi lunak, tetapi noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang. HCl 5 % dan asam sitrat 5 % efektif untuk menghilangkan endapan karang sekaligus menghilangkan noda besi pada permukaan keramik, tetapi dampak negatif untuk pembersihan dengan HCl adalah glasir

ikut mengelupas, sedangkan untuk pembersihan dengan asam sitrat adalah permukaan keramik menjadi berwarna kekuningan. Untuk pembersihan endapan karang dengan direbus, di beberapa bagian masih terdapat endapan karang yang keras. Selain itu noda besi yang menempel pada permukaan keramik tidak ikut hilang. Ini berarti dari beberapa metode yang dilakukan untuk pembersihan endapan karang pada keramik, setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Untuk penyambungan keramik digunakan bahan yang reversible yaitu dari jenis animal glue, agar ketika telah dilakukan penyambungan masih dapat dikembalikan ke bentuk semula dan jika terjadi kesalahan dalam penyambungan dapat dilepas kembali tanpa merusak permukaan sambungan. Untuk penyambungan keramik jenis porselin digunakan bahan perekat yang lebih kental karena luas permukaan sambungannya kecil, sedangkan untuk jenis gerabah digunakan bahan perekat yang lebih encer agar dapat meresap ke sampai pori-pori sehingga sambungannya semakin kuat. Sifat reversible gelatin dan anchor terletak pada sifatnya yang larut air sehingga untuk melepas sambungan, keramik hanya perlu direndam air dan dalam beberapa menit akan terlepas dengan sendirinya.

Daftar Pustaka

Hamilton, D.L., 1999, Mothods of Conserving Archaelogical Material from Underwater Sites, Texas A&M University, Texas.

(http://nautarch.tamu.edu/CRL/conservationmanual/File4.htm)

Hardiati, E.S., 2001, Konservasi Keramik, Museum Nasional, Jakarta.

Plenderleith, H.J., 1957, The Conservation of Antiquities and Work of Art (Treatment, Repair and Restoration, Oxford University Press, London.

Suhardi, Nahar Cahyandaru, Sudibyo, 2008, Konservasi Keramik, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, Magelang.

Zeebe, Richard, 2009, Marine Carbonate Chemistry, Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment, Washington(ht tp ://www.eoear th .org/ar t i c l e/Mar ine_carbonate_chemistry?topic=49553)

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 23-30

Gambar 21. Sambungan akan terlepas ketika direndam dalam air

Page 47: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

66

Konservasi Nisan Putro Balee dan Tgk. Awe Geutah Di Kabupaten Pidie,Provinsi Aceh

Oleh Masnauli.Balai Pelestarian Cagar Budaya Banda Aceh

Email : [email protected]

Abstrak : Konservasi nisan Putro Balee dan Tgk Awe Geutah di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh merupakan salah satu kegiatan pemeliharaan terhadap cagar budaya. Upaya pemeliharaan ini dilakukan untuk mengurangi atau menghambat kerusakan yang terjadi pada makam. Kerusakan atau pelapukan dapat diakibatkan oleh pertumbuhan jamur, lumut, akumulasi debu, lumut, gempa bumi, gelombang tsunami dan lain-lain. Kegiatan konservasi yang dilakukan adalah pembersihan mekanis kering dan basah. Konservasi berupa pembersihan mekanis kering dilakukan dengan cara membersihkan kotoran, akumulasi debu, lumut yang menempel dengan sikat, sudip bambu, tusuk sate dan kuas. Pembersihan mekanis basah dilakukan dengan cara membersihkan jamur dan lichen yang menempel dengan menyiran air keseluruh permukaan makam, sambil disikat secara perlahan-lahan sampai semua jamur dan lichen hilang. Setelah pekerjaan ini selesai, makam yang patah gempil diperbaiki dengan cara penyambungan tanpa angkur. Nisan yang miring dan melesak ditegakkan dan diperkuat bagian kakinya. Bagian puncak nisan yang ditempel dengan semen dibersihkan bagian semennya dengan cara diketok perlahan-lahan sampai bersih dan tidak merusak nisan. Kata Kunci : Makam, konservasi, nisan

Abstract : Conservation Putro Balee and Tgk Awe Geutah gravestones in Pidie Regency, Aceh Province is one of activities conducted for cultural heritage preservation. The conservation is conducted to slow down the damage happened at the gravestones. The damage is caused by lichen, dust moss, earthquake, tsunami, and others. Activities conducted are dry and wet mechanical conservation. Dry mechanical conservation is conducted by cleaning waste, dust, and moss using brush and sharpened bamboo. Wet mechanical conservation is conducted to clean lichen by spraying water into the gravestone surface. The spraying is accompanied by slowly brushing lichen until it is disappear. After the cleaning is done, crack and broken gravestones are fixed without using anchor. Leaning gravestones are fixed to the original position and strengthened. The cement that stuck in the gravestones is cleaned by tapping the cement slowly until it flakes but without damaging the gravestones

melesak, rapuh, kotor, akumulasi debu, berjamur, berlumut dan keropos. Terdapat pula kerusakan yang diakibatkan oleh kesengajaan manusia (vandalisme) yaitu penambalan semen pada pundak nisan bagian kepala yang sebelumnya patah (hilang). Upaya untuk melestarikan cagar budaya yang sering dilakukan oleh BPCB Aceh dalam menangani masalah kerusakan adalah konservasi. Konservasi sudah berkali-kali dilaksanakan dalam kegiatan rutin tahunan Balai Pelestarian Cagar Budaya karena telah dirasakan manfaatnya. Khusus di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara konservasi bahan batu khususnya dilakukan pada nisan atau jirat. Penulis akan membahas mengenai konservasi pada nisan Putro Balee dan nisan Awe Geutah yang ada di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Istilah konservasi di sini bukan istilah yang biasa digunakan dalam berbagai bidang, misalnya kehutanan, lingkungan, energi hingga kedokteran, tetapi yang dimaksud dengan konservasi disini adalah dalam bidang pelestarian cagar budaya. Pengertian konservasi dalam

I. Pendahuluan

Di Provinsi Aceh banyak ditemukan makam kuno Islam yang mempunyai nilai sejarah tinggi seperti komplek makam Putro Balee dan Awe Geutah di Kabupaten Pidie, sehingga sangat penting untuk dijaga kelestariannya dengan cara mengkonservasinya. Namun demikian evaluasi terhadap hasil konservasi tersebut belum banyak dilakukan, oleh karena itu pada makalah ini akan dikemukakan hasil evaluasi terhadap konservasi yang telah dilakukan oleh BPCB Aceh. Kegiatan ini merupakan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh BPCB Aceh, dan makalah ini merupakan ringkasan dari laporan kegiatan. Ringkasan laporan kegiatan konservasi Makam Putro Balee dan Tgk. Awe geutah ini dipublikasikan supaya ada masukan dan kritikan yang sangat berguna bagi penulis sebagai bahan acuan yang lebih baik dalam kegiatan konservasi berikutnya. Nisan-nisan Putro Balee dan Tgk. Awe Geutah telah mengalami kerusakan diantaranya patah, miring,

Page 48: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

67

arti luas adalah segala macam upaya untuk melestarikan termasuk pelindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Dengan demikian konservasi dalam arti luas memiliki cakupan yang sangat luas, atau bisa diartikan sebagai preservasi atau pelestarian itu sendiri. Sedangkan konservasi dalam arti sempit adalah usaha-usaha untuk mempertahankan kelestarian material cagar budaya termasuk nilai-nilai yang terkandung yang mencakup tindakan pemeliharaan, treatment, dan pengawetan. Konservasi dalam arti sempit lebih cenderung pada kegiatan teknis yang melibatkan material cagar budaya dan bahan-bahan kimia konservannya. (Cahyandaru, 2010. Konservasi adalah tindakan pelestarian yang diambil untuk memelihara dan mengawetkan cagar budaya dengan teknologi modern (bahan dan alat) sebagai upaya untuk menghambat proses kerusakan dan pelapukan lebih lanjut. Kebijakan untuk melaksanakan pemeliharaan terhadap cagar budaya terdapat pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 75 dan pasal 76 (Undang – Undang No.11 Tahun 2010). Perawatan cagar budaya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perawatan preventif (perawatan sehari-hari dan pengendalian lingkungan atau mikroklimatologi) dan perawatan kuratif (perawatan dengan metode tradisional dan modern). Perawatan cagar budaya/situs harus dilakukan dengan perencanaan yang sistematis, terpadu, dan berkesinambungan. Dengan upaya perawatan yang konseptual diharapkan kondisi keterawatan cagar budaya akan tetap terjaga dengan baik sehingga cagar budaya/situs dapat dikembangkan sebagai aset budaya nasional serta dapat diwaristeruskan kepada generasi yang akan datang (Tim Penyusun Pedoman, 2005). Dalam kegiatan perawatan cagar budaya selain terdapat landasan operasional yang mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, konvensi dan kesepakatan internasional, juga harus memperhatikan beberapa prinsip dasar yang digunakan dalam perawatan cagar budaya. Secara garis besar ada dua prinsip yang harus diperhatikan, yaitu prinsip arkeologis dan teknis. Tata urut penanganan perawatan cagar budaya harus sesuai dengan kedua prinsip tersebut supaya dalam pelaksanaannya tidak terjadi kesalahan prosedur. Dengan demikian maka prosedur dalam perawatan cagar budaya

benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan perawatan cagar budaya perlu wawasan penelitian sehingga aspek kesejarahan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan yang terkandung pada cagar budaya dapat terungkap. Selain berdasarkan kedua prinsip tersebut aspek yang tidak dapat dikesampingkan untuk keberhasilan dalam perawatan cagar budaya adalah aspek sosial yaitu peran serta masyarakat. Dalam hal ini seyogyanya perlu :a. memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan

dan pandangan (persepsi) masyarakat;b. memberdayakan potensi masyarakat dan meningkatkan

peran serta masyarakat sehingga tercipta rasa memiliki tanggung jawab dalam upaya pelestarian dan kelestarian cagar budaya tersebut.

Nisan Putro Balee dan Awe Geutah merupakan cagar budaya tidak bergerak yang memerlukan penanganan perawatan, baik perawatan preventif maupun perawatan kuratif mengingat nisan-nisan ini belum pernah dikonservasi. Pemeliharaan yang dilakukan selama ini hanya sebatas membersihkan rumput dan daun-daunan oleh juru pelihara. Perawatan preventif adalah tindakan untuk mencegah cagar budaya agar terhindar dari faktor-faktor penyebab proses pelapukan dan kerusakan. Perawatan kuratif adalah tindakan dalam rangka penanggulangan kerusakan dan pelapukan cagar budaya. Perawatan kuratif dapat berupa metode perawatan tradisional dan modern. Perawatan tradisional dilakukan dengan cara sederhana dengan menggunakan bahan tradisional. Sedangkan perawatan modern adalah perawatan dengan menggunakan bahan kimia, dan umumnya menggunakan prosedur perawatan yang baku. Perawatan modern meliputi: 1. Pembersihan: dimulai dari pembersihan kering,

pembersihan basah kemudian dilanjutkan dengan pembersihan kimia. Pembersihan kimia dilakukan untuk menghilangkan noda-noda minyak dan cat atau mematikan pertumbuhan jasad organik seperti algae (ganggang), lumut, lichen (jamur kerak) yang dalam tahap-tahap sebelumnya tidak dapat hilang.

2. Perbaikan: terdiri dari perekatan/pengeleman, penyambungan tanpa angkur, penyambungan dengan angkur, penambalan, penyuntikan (injeksi), dan kamuflase (penyelarasan warna).

3. Konsolodasi: untuk memperkuat ikatan struktur

Masnauli, Konservasi Nisan Putro Balee Dan Tgk. Awe Geutah di Kab. Pidie, Provinsi Aceh

Page 49: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

68

bahan cagar budaya yang telah mengalami pelapukan dengan menggunakan bahan konsolodasi.

4. Pengawetan: untuk memperlambat tumbuhnya kembali jasad-jasad organik, seperti algae (ganggang), lumut, lichen (jamur kerak).

5. Pengolesan lapisan kedap air: dilakukan agar cagar budaya terhindar dari kerusakan-kerusakan karena faktor air (Tim Penyusun Pedoman, 2005) .

Pada tindakan konservasi yang secara langsung dilestarikan adalah benda atau materialnya, namun pada dasarnya konservasi bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai pentingnya. Pelestarian nilai penting cagar budaya membawa konsekuensi harus dilestarikannya benda/materialnya karena nilai penting terkandung dalam bendanya. Konsep ini penting untuk dipahami karena pelestarian benda tanpa memperhatikan nilai penting yang terkandung dapat mengakibatkan kesalahan fokus tindakan menyelamatkan bendanya namun secara tidak disadari nilai penting tidak dipertahankan. Kesalahan yang mungkin terjadi misalnya: tidak diperhatikannya faktor keaslian bahan, teknik pengerjaan, patina, dan faktor intrinsik lainnya. Nilai penting cagar budaya sangat berkaitan dengan konsep tentang otentisitas karena pada dasarnya cagar budaya akan bernilai tinggi hanya jika masih dalam kondisi otentik atau asli (Cahyandaru, 2010). Pekerjaan konservasi harus memperhatikan aspek otentisitas karena konservasi seringkali menyinggung otentisitas benda. Sebagai contoh penggantian material baru dalam pekerjaan konservasi/pemugaran bangunan batu, bata, kayu, dan lain-lain. Penggantian bahan bisa dibenarkan dan tidak mengganggu otentisitas jika dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan pada aturan maupun kaidah-kaidah yang berlaku. Tetapi penggantian pun bisa menyebabkan berkurangnya otentisitas jika mengurangi nilai-nilai penting cagar budaya tersebut. Cagar budaya yang dikonservasi dengan memperhatikan otentisitas secara konsisten akan meningkatkan integritas dari cagar budaya tersebut. Istilah yang sering digunakan terutama dalam pengelolaan warisan budaya dunia adalah otentisitas dan integritas (otenticity and Integrity) (Cahyandaru, 2010).

II. Pembahasan

Komplek Makam Putro Balee dan Komplek Makam Tgk. Awe Geutah telah mengalami pelapukan dan kerusakan. Hal ini diakibatkan oleh faktor lingkungan, faktor perencanaan, dan menurunnya rasio kekuatan bahan maupun struktur. Selain itu kerusakan dan pelapukan juga dapat terjadi akibat penurunan rasio kekuatan gaya statis, dinamis, kimia-fisis, jenis material dan struktur bangunan. Sumbangan yang besar terhadap kerusakan dan pelapukan juga disebabkan oleh manusia, bencana alam, iklim, air serta pertumbuhan jasad renik. Proses-proses kerusakan dan pelapukan meliputi mekanis, fisis, kimia dan biologi (Munandar, 2006). Bahan yang digunakan pada Komplek Makam Putro Balee dan Komplek Makam Tgk. Awe Geutah adalah batu pasir tufaan. Komplek ini berada di Kabupaten Pidie. Kabupaten Pidie termasuk dalam wilayah beriklim tropis basah, temperatur berkisar dari suhu minimum 19˚ – 22˚ sampai dengan suhu maksimum 30˚- 35˚ dengan curah hujan paling tinggi pada bulan Januari sedangkan curah hujan paling tetap terjadi pada bulan Oktober dan Desember.

Data Sejarah

Situs Komplek Makam Putro Balee berada di Desa Keutapang Sanggue, Kec. Pidie, Kab. Pidie, Prov. Aceh. Komplek ini menempati areal seluas 4,60 x 7,66 meter dengan status tanah wakaf. Istilah Putro Balee atau Putri Janda ini adalah nama yang disebut-sebut kepada tokoh dalam komplek makam ini. Menurut informasi tokoh masyarakat setempat Putro Balee (putri janda) adalah seorang putri yang suaminya telah gugur atau meninggal dunia. Putro Balee ini seorang putri yang berasal dari bangsa Portugis yang dibawa ke Aceh (Pedir) sebagai tawanan. Suaminya telah gugur ketika Portugis diserang dalam peperangan melawan Raja Kerajaan Atjeh. Karena putri jelita ini tidak mempunyai sanak keluarga dan suaminya telah meninggal, maka dia dijuluki dengan “Putro Balee”. Disisi lain latar belakang sejarah yang dapat dijelaskan tentang sosok putri ini sebagaimana disebutkan dalam buku “Epigrafi dan Sejarah Nusantara” karangan Louis Charles Darnais mengatakan bahwa Putri Balee disebut dengan Putri Balu, ini merupakan putri dari Sultan Ma´ruf Syah anak Sulaiman Nur. Meninggal hari Rabu 20 Muharram tahun 1562 M. Angka tahun yang

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 66-74

Page 50: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

69

disebutkan Darnais (peneliti) ini meragukan dan ada silsilah bacaan epigraf di batu nisannya. Menurut Dra. Dahlia yang telah membaca kaligrafi pada saat dilakukan pembersihan mekanis kering dan basah (konservasi) pada nisan Putro Balee menunjukkan angka tahun yang terbaca adalah tahun meninggalnya yaitu: “Tistumiah wattisna min hijriah min yaumil arbain fiksyiamin syahrin muharram” artinya meninggal tahun 990 H pada Hari Rabu tanggal 20 Muharram (BP3, 2012). Situs Komplek Makam Tengku Awe Geutah berada sekitar 200 meter dari arah Selatan dari jalan protokol Pidie - Medan, yaitu terletak di Desa Ujung Langgo, Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie. Situs ini terletak pada sebidang tanah yang ditinggikan dari tanah sekitarnya yang membujur dari Barat ke Timur, memempati areal seluas 9,20 x 4,57 meter, dengan pagar kawat setengah permanen sebagai pembatas dengan daerah sekitarnya. Tengku Awe Geutah merupakan seorang ulama yang datang ke Pidie mengembangkan agama Islam. Sedangkan makam Tengku Awe Geutah yang berlokasi di Desa Ujung Langgo, Kabupaten Pidie ini menurut tokoh masyarakat setempat adalah salah seorang murid Tengku Awe Geutah dari Bireuen. sebutan istilah dalam ejaan bahasa Aceh Awe (rotan) Geutah (karet/lengket). Ini adalah sebuah filosofis yang disebutkan oleh orang Aceh yang mengandung pengertian bahwa, seorang ulama menyebarkan agama kemana-mana dan betah dalam mengembangkan syiar agama. Sebagian tokoh masyarakat Pidie lainnya memberi tanggapan bahwa, Tengku Awe Geutah yang terdapat di Desa Ujung Langgo adalah seorang ulama Islam yang datang dari jazirah Arab yang mengembangkan paham keislamannya di Aceh. Selain mengembangkan pengetahuan Islam dan dakwahnya, keluarga beliau juga mencari nafkah dengan melakukan perdagangan jual beli rotan muda (awe geutah) yang baru ditebang dihutan, selain menyebarkan ajaran Islam beliau juga menampung atau membeli rotan sebagai salah satu usaha menafkahi hidup keluarganya. Dari cikal bakal nama atau tempat kediaman tengku ini maka masyarakat menyebutkan dengan gampong awe geutah saja.

Data Arkeologis

Situs Komplek Makam Putro Balee terdiri dari 10 buah batu nisan, 1 buah berupa batu bulat

polos, nisan-nisan ini tidak utuh lagi dan umumnya telah mengalami kerusakan baik oleh faktor usia maupun oleh manusia (vandalisme). Tipelogi nisan sebagai berikut :

1). Tipe goda, segi delapan dengan puncaknya menyerupai bunga teratai sedang mekar. Setiap segi dibatasi dengan pelipit.

2). Tipe goda, segi delapan polos tanpa motif.

3). Tipe balok, segi empat dengan ukiran kaligrafi pada tiap panel dan bingkai.

4). Tipe pipih bersayap (penataan batu), dengan pola hias beragam khususnya nisan Makam Putro Balee.

5). Tipe goda polos pada ujungnya menyerupai stupa.

Umumnya nisan yang ada di komplek ini tidak ada lagi yang utuh, dengan jumlah makam 10 buah dan bulat polos satu buah yang menunjukkan ciri kekunaannya. Pola hias pada makam ini berupa motif sulur-suluran bunga lidah api dan kaligrafi serta arabes. Situs Komplek Makam Tengku Awe Geutah terdapat 6 (enam) buah makam dan semuanya tidak memakai jirat, tiga buah makam diantaranya masih dalam kondisi utuh dan yang lainnya dalam kondisi rusak/patah. Makam ini terletak di atas bukit kecil (tanah yang ditinggikan) di dalam kebun milik masyarakat. Di sekelilingnya dipenuhi dengan pohon melinjo. Bentuk nisan pipih segi empat, pipih penata bahu (bersayap) dan balok persegi empat. Tulisan kaligrafi terdapat pada panel-panel di bagian badan nisan. Nisan-nisan di komplek makam ini dimanfaatkan untuk mengasah bisni (pisau) oleh masyarakat. Namun demikian di antara nisan-nisan yang ada, belum terindikasi yang mana mkam tokoh Awe Geutah karena deskripsi yang ada belum dapat terbaca. Yang dapat jelas terbaca hanya berupa kalimat tauhid “La ilaha illallah Muhammadar Rasulullah” yang paling banyak mengisi pundak-pundak badan nisan.

Identifikasi Kerusakan

Sebelum pelaksanaan perawatan, didahului dengan kegiatan studi teknis perawatan cagar budaya berbahan batu atau identifikasi jenis kerusakan. Kegiatan ini dilakukan agar pelaksanaan perawatan cagar budaya

Masnauli, Konservasi Nisan Putro Balee Dan Tgk. Awe Geutah di Kab. Pidie, Provinsi Aceh

Page 51: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

70

berbahan batu dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip arkeologis dan teknis. Kegiatan studi teknis tersebut meliputi: observasi, identifikasi, dan rencana penanganan. Menurut pengamatan terdapat jenis-jenis kerusakan di Komplek Makam Putro Balee (Gambar 1) antara lain kerusakan secara mekanis, kerusakan secara fisis, kerusakan secara khemis, kerusakan secara biotis. Kerusakan mekanis yaitu kerusakan bahan baku makam yang diakibatkan oleh gaya-gaya mekanis seperti gempa, tekanan, tanah longsor dan banjir. Gejala-gejala yang nampak pada kerusakan ini adalah terjadinya keretakan, kemiringan, melesak, pecah dan kerenggangan pada komponem bahan baku makam atau struktur makam. Kerusakan yang diakibatkan oleh mekanis ini terdapat pada nisan nomor 2, nisan nomor 6, nisan nomor 7, nisan nomor 8, dan nisan nomor 10. Kerusakan fisis terjadi akibat naik turunnya suhu dan perbedaan kemampuan memuai (mengembang) dan menyusut dari mineral-mineral yang berbeda pada bahan baku (batu) makam, kekuatan yang berbeda mengakibatkan bahan baku makam menjadi rapuh dan mudah hancur. Kerusakan ini terdapat pada nisan nomor 6, nisan nomor 7, nisan nomor 8. Kerusakan khemis yang terjadi diakibatkan oleh proses hidrolisasi, oksidasi, karbonasi, hidrasi, atau reaksi kimia yang lebih komplek. Kerusakan ini terdapat

pada nisan nomor 9. Pelapukan secara biotis merupakan proses pelapukan batu karena aktivitas makhluk hidup. Kerusakan biotis ini terjadi pada seluruh nisan. Ada beberapa kerusakan nisan yang diakibatkan oleh manusia yaitu batu nisan dijadikan sabagai tempat pengasahan pisau/parang oleh penduduk setempat sehingga batu ini berlubang dan kerusakan lain adalah batu nisan yang ditempel dengan spesi campuran semen dan pasir oleh tukang pada saat dilakukan rehabilitasi dan pemasangan cungkup oleh BRR dan Pemda Pidie.

Jenis-jenis kerusakan di komplek makam Tgk.

Awe Geutah (Gambar 2) antara lain Kerusakan mekanis yaitu nisan nomor 1, nisan nomor 2, nisan nomor 3, nisan nomor 4. Kerusakan secara fisis yaitu nisan nomor 5 dan nisan nomor 6. Kerusakan secara khemis tidak ada, kerusakan secara biotis nisan nomor 1 sampai nisan nomor 6.

Secara garis besar kerusakan yang terjadi pada Komplek Makam Putro Balee dan Komplek Makam Tgk. Awe Geutah adalah retak, pecah, gempil, aus, patah, pengelupasan, dan ulah manusia. Dari hasil pengamatan hampir 80 % nisan-nisan ini ditumbuhi oleh jamur, lichen, lumut dan akumulasi debu. Keberadaan komplek makam-makam ini pada daerah yang beriklim tropis lembab dan berada di alam terbuka sehingga mempercepat

0.42

0.30

0.47

0.47

0.48

0.40

0.42

0.16

0.34

0.21

0.34

0.20

1 2 3 4 5 6

9.20

4.57

Gambar 2. Denah Komplek Makam Awe Geutah

Foto 1. Komplek Makam Putro Balee dari arah Utara dan Selatan

0.21 0.31

0.31

0.31

0.31

0.40

0.40

0.38

0.21

0.43

0.43

0.350.62

0.62

0.21 0.20

0.25

7.66

4.60

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

0.23

0.23

HILANG

Gambar 1. Denah Komplek Makam Putro Balee

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 66-74

Page 52: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

71

Foto 2. Jenis-jenis kerusakan pada batu nisan di Komplek Makam Putro Balee (retakan, patah, pecah, keropos, berjamur dan lain-lain).

pertumbuhan jasad renik seperti lumut, jamur, lichen, dan tumbuhan penumpang lainnnya.

Tindakan Pemeliharaan

Untuk menanggulangi kerusakan-kerusakan di atas diperlukan tindakan perawatan dan pemeliharaan. Tindakan perawatan yang dilakukan adalah pembersihan, baik mekanis kering maupun mekanis basah, serta perawatan kimiawi. Tindakan perawatan yang dilakukan menggunakan metode tradisional maupun modern. Pelaksanaan perawatan antara lain meliputi pembersihan, perbaikan, penyambungan, penyuntikan (injeksi) kamuflase, konsolidasi, pengawetan, dan pengolesan lapisan kedap air (bila diperlukan).

- Pembersihan

Pembersihan dilakukan secara tradisional yaitu mekanis kering maupun basah. Sasaran pembersihan secara mekanis pada batu-batu nisan meliputi seluruh permukaan makam, karena pada umumnya seluruh nisan tersebut sudah ditumbuhi jamur, lumut kerak (lichen),

algae dan mikro organisme lainnya. Dalam pelaksanaan kegiatan konservasi tradisional ini menggunakan bahan dan peralatan sebagai berikut: kemoceng/sulak, kuas, sikat ijuk, sikat plastik, sikat gigi, sudip bambu, spatula, sapu lidi, ember dan gayung serta air bersih. Pembersihan secara mekanis kering dilakukan dengan tujuan membersihkan kotoran dan debu yang menempel pada makam, jirat dengan menggunakan kemoceng dan kuas. Selanjutnya nisan-nisan disikat menggunakan sikat ijuk dan sikat plastik halus. Sikat gigi/sudip bambu digunakan pada bagian-bagian yang sulit dijangkau dengan sikat ijuk dan sikat plastik halus. Setelah pembersihan kering selesai, dilanjutkan dengan pembersihan mekanis basah dengan cara menyiram air dengan menggunakan gayung

Foto 3. Komplek Makam Awe Geutah Foto 4. Jenis kerusakan pada batu nisan (retak, patah, jamur, lichen)

Foto 6. Pembersihan mekanis basahFoto 5. Pembersihan mekanis kering

Masnauli, Konservasi Nisan Putro Balee Dan Tgk. Awe Geutah di Kab. Pidie, Provinsi Aceh

Page 53: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

72

mulai dari bagian atas, sambil terus disikat secara perlahan dan merata sampai semua debu, kotoran dan lumut yang menempel hilang (lihat foto 5 dan 6).

- Perbaikan

a. Penyambungan tanpa angkur

Setelah pembersihan selesai kegiatan selanjutnya adalah perbaikan pada nisan-nisan yang patah, pecah, dan miring. Perbaikan adalah upaya pemulihan bahan cagar budaya yang telah rusak dengan jalan menambal, menyambung, dan mengganti bagian yang hilang agar bentuknya mendekati keadaan aslinya. Tindakan perbaikan ini terdiri dari perekatan/pengeleman, penyambungan tanpa angkur, penyambungan dengan angkur, penambalan, penyuntikan (injeksi) dan kamuflase. Perbaikan tersebut menggunakan bahan perekat baik organik maupun anorganik. (Tim penyusun pedoman, 2005). Pada Makam Tgk. Awe Geutah terdapat nisan-nisan yang patah dan pecah, untuk itu perlu diadakan pengeleman dan penyambungan tanpa angkur. Peralatan sebagai berikut: lem Epoxy Resin, scrub, sarung tangan karet, masker, spatula, gagang press, kuas.

Foto 8. penegakan batu nisan miring (nisan nomor 5)

Foto sebelum Foto setelah diperbaiki

Foto 7. Proses penyambungan tanpa angkur

Prosedur pengerjaan adalah:- Menyiapkan bahan dan alat yang dilakukan,

kemudian memakai sarung tangan dan masker.- Melakukan pencampuran Sikkadur dengan

perbandingan 2 : 1. Cara pegadukan yaitu dengan mecampur kedua bahan ini ke dalam wadah dengan hati-hati selama 5 menit, kemudian diaduk hingga campuran merata.

- Setelah dicampur, kedua permukaan pecahan batu nisan diolesi lem tersebut dan disambung kembali (lihat foto 7)

b. Penegakan Batu Nisan Miring

Pada Komplek Makam Tgk. Awe Geutah terdapat nisan-nisan yang miring dan melesak, untuk itu perlu diadakan penegakan nisan-nisan tersebut. Peralatan sebagai berikut:

- Balok kayu - Cangkul - Linggis sedang - Linggis besar

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 66-74

Page 54: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

73

Foto penegakan batu nisan miring (nisan nomor 5)

Foto sebelum Foto setelah diperbaiki

Foto penegakan batu nisan miring (nisan nomor 1)

Foto sebelum Foto setelah diperbaiki

Foto nisan nomor 2

Prosedur pengerjaan penegakan nisan-nisan yang miring adalah:

- menyiapkan alat yang diperlukan- menggali tanah tempat berdirinya nisan- ditegakkan dengan bantuan balok kayu.

c. Pengelupasan campuran semen pasir pada nisan-

nisan di Komplek Makam Putro Balee

Pada Komplek Makam Putro Balee terdapat 4 buah nisan yang ditempel semen bercampur pasir oleh tukang pada bekas pengasahan pisau oleh penduduk sekitar (dilakukan pada saat pembuatan cungkup). Proses pengelupasan harus dilakukan dengan hati-hati agar permukaan nisan tidak ikut terkelupas. Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

- Palu sedang - Pahat

Foto nisan nomor 3

Masnauli, Konservasi Nisan Putro Balee Dan Tgk. Awe Geutah di Kab. Pidie, Provinsi Aceh

Page 55: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

74

Prosedur pengerjaan pengelupasan semen yang tertempel pada nisan-nisan adalah:

- menyiapkan alat yang diperlukan- memahat bagian semen dengan pelan-pelan- bagian semen yang terkelupas diangkat

III. Penutup

Tindakan yang dilakukan dalam kegiatan konservasi ini sangat sederhana. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko dengan hasil memaksimal mungkin dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku secara teknis dan arkeologis. Tindakan ini juga dilakukan untuk menghambat proses pelapukan agar umur nisan-nisan tersebut dapat lebih diperpanjang untuk generasi yang akan datang.

Kerusakan yang terdapat pada Komplek Makam Putro Balee dan Komplek Makam Tgk. Awe Geutah hampir sama yaitu kerusakan yang diakibatkan oleh alam dan manusia. Kerusakan yang paling menonjol adalah

batu nisan patah, gempil, retak, aus dan kerusakan yang yang diakibatkan oleh mikroorganisme seperti jamur, lichen dan lumut. Sisa batu nisan yang patah tidak ditemukan lagi di situs, kemungkinan dibawa oleh penduduk sekitar untuk dijadikan batu asah, sehingga tidak bisa dilakukan penyambungan pada nisan-nisan yang patah dan gempil. Kegiataan konservasi ini dilakukan untuk mengurangi pelapukan pada batu-batu nisan, menyambung batu nisan yang patah, menegakkan batu nisan yang miring dan melesak, membersihkan semen yang ditempel dan membersihkan dari kotoran yang menempel sehingga bermanfaat pada pembacaan kaligrafi yang lebih jelas. Pada nisan-nisan yang patah dan retak diadakan perbaikan berupa pengeleman tanpa angkur dan pengeleman dengan angkur. Pengeleman tanpa angkur digunakan pada nisan-nisan yang retak, gempil dan tingkat kerusakannya kecil, sedangkan pengeleman dengan angkur dilakukan pada nisan-nisan yang patahannya besar dan tingkat kerusakannya besar.

Daftar Pustaka

BP3. 2012. “Laporan Teknis Konservasi Komplek Makam Putro Balee, Makam Tgk. Aer Chan dan Makam Tgk. Awe Geutah di Kabupaten Pidie, Prov.insi Aceh.

Cahyandaru, Nahar. 2010. “Dasar-dasar Konservasi”, Artikel dalam Bimbingan Tenaga Teknis Konservasi Tingkat Dasar. Magelang : Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2005. “Pedoman Perawatan Dan Pemugaran Cagar Budaya Bahan Batu”, Jakarta.

Munandar, Aris. 2006. Kerusakan dan Pelapukan Material. Magelang : Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.

Munandar, Aris. 2010. Kerusakan dan Pelapukan Bahan Batu. Magelang : Balai Konservasi Peninggalan Borobudur.

Suaka Peningggalan Sejarah dan Purbakala Prov. Aceh Sumut. 1994. ” Laporan Pendataan Situs/Bangunan Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Kabupaten Pidie”.

“Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya”

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 66-74

Page 56: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

40

Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi:Kasus Kawasan Kota Lama Semarang 1

Oleh: A. KriswandhonoProgram Studi Magister Arsitektur, Universitas Katholik Soegijapranata

Email: [email protected]

Abstrak : Dalam salah satu sidang SEAMEO-SPAFA (Southeast Asian Ministers of Education Organization Project of Archaeology and Fine Arts) dikatakan bahwa mengelola sumberdaya budaya adalah seperti mengelola sebuah usaha ekonomi layaknya. Pada awalnya harus mempunyai konsep yang jelas. Tanpa konsep yang jelas, kita tidak dapat menerangkan ruang lingkup pekerjaan. Tanpa proses dan teknik kita tidak dapat mendefinisikan langkah untuk mencapai tujuan yang berkualitas. Kebudayaan yang tidak berkualitas tidak dapat terlihat arah perkembangannya. Dan jika pengelolaannya tanpa indikator kita tidak dapat mencapai standar pekerjaan sehingga keberlanjutannya (sustainability) tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kata kunci: Kejelasan, Perubahan masyarakat, High level leadership

Abstract : In one of the SEAMEO-SPAFA assembly (Southeast Asian Ministers of Education Organization Project of Archeology and Fine Arts), it is said that managing cultural resources is just like managing a common economical venture.It has to start with a clear concept. Without it, we cannot explain the scope of the work. Without proper process and technique, we cannot define the steps to reach a quality objective. Resource that lacks quality cannot be developed. And should the management lacks the indicator, we cannot reach working standards thus fail to maintain sustainability.

1 Judul Makalah. Dengan dirubah seperlunya, pokok bahasan di atas pernah disampaikan pada FGD di LIPI, Jakarta, 20 Juni 2012: Tan-tangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya di Semarang dan Jawa Tengah.

� Sekretaris Badan Pengelola Kawasan Kota Lama, periode 2010-2013; � RMIT Conservation Institute (NGO) – Semarang, Indonesia;� Pengajar Tidak Tetap, mata kuliah Konservasi Bangunan dan Situs pada Progdi Magister Arsitektur Universitas Katholik Soegijapra-

nata, Semarang

muncul, yakni sikap masyarakat dan pemerintah terhadap arkeologi di Indonesia; masyarakat pada umumnya termasuk pemerintah yang selama ini dianggap tidak tahu banyak dan tidak peduli tentang arkeologi akan kembali bertanya kepada dunia arkeologi Indonesia; Butuh berapa dekade lagi arkeologi akan memberikan manfaat (yang significant) bagi masyarakat Indonesia? Dalam situasi bangsa Indonesia seperti saat ini dunia arkeologi terdera berbagai persoalan baik internal (pendidikan dan penelitian) maupun eksternal (tuntutan publik) sehingga wajar apabila masyarakat bertanya apa manfaat arkeologi. Tulisan-tulisan tentang himbauan,

Arkeolog dan Enterprener; Kejelian sekaligus tantangan bagi para pemangku kepentingan

Permasalahan pemanfaatan warisan budaya intinya akan kembali kepada pertanyaan untuk siapakah sesungguhnya warisan budaya itu (dimanfaatkan)? Maka, kemudian akan muncul dengan sendirinya permasalahan yang menyangkut institusi terkait (manajemen: organisasi); visi, misi, lingkungan, kinerja, tanggung jawab sosial, etika manajerial, komunikasi, teknologi informasi, motivasi, kepemimpinan, dan sebagainya.

Pada situasi yang lain, salah satu masalah

Page 57: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

41

kritik, harapan untuk menuju ke arah pengembangan arkeologi sudah cukup banyak dan cukup lama disinggung namun pelaksanaannya terkesan masih berjalan ditempat 2.

Kutipan para arkeolog di atas hanya untuk menegaskan bahwa sudah cukup lama hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian arkeologi serta pelestarian dan pengelolaan budaya materi ’dirindukan’ untuk diperlakukan dengan bijaksana oleh semua pihak dan kutipan di atas sekaligus menjawab pertanyaan yang muncul :

1. Arkeologi di Indonesia masih dibutuhkan di masa kini dan di masa depan;

2. Hasil penelitian dan pelestarian budaya (materi) seyogyanya diperuntukkan (dimanfaatkan) secara lebih luas bagi kepentingan bangsa dan negara.

Maka pertanyaan permasalahan di atas bisa menjadi lebih sederhana, yakni : Bagaimanakah cara mengelola dan memanfaatkan (memasarkan) sumberdaya budaya materi? Dan dilanjutkan dengan pertanyaan; Perlukah arkeolog memiliki jiwa enterprener (wirausaha) dalam

2 Beberapa contoh :1. Di samping pemenuhan tugas keilmuan disiplinnya

seperti dikemukakan di atas, arkeologi juga ’diharus-kan’ memiliki kemampuan untuk dapat memanfaatkan sebesar-besarnya hasil kegiatan penelitian dan pelesta-rian guna berbagai kepentingan negara dan masyarakat yang lebih luas. Mundardjito, 1993, Tantangan Arkeologi Indonesia dalam Pembangunan Nasional, Pidato Ilmiah Peringatan Ulang Tahun ke-53 Fakultas Sastra Universi-tas Indonesia, Depok 1993.

2. Candi termasuk sumberdaya budaya yang terbatas (finite), tak terbarui (non renewable), tak dapat dipinda-hkan (non movable), dan mudah rapuh (fragile) (Untoro Drajat 1995:3), maka harus dikembangkan penanganan secara terpadu yang berskala nasional agar candi tetap lestari dan bermutu untuk obyek penelitian maupun obyek wisata budaya. Santiko, Hariani. 1995, Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Buddha di Indonesia (Abad VIII-XV Masehi): Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik, Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Gurubesar Madya Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, De-pok, 9 Desember 1995.

3. Sementara itu masih ada pekerjaan rumah bagi para arkeolog untuk memikirkan metodologi arkeologi berwa-wasan CRM/ARM dan AMDAL, agar pengorbanan situs dan benda cagar budaya bisa seminimal mungkin terjadi dengan kompromi yang masuk akal. Mundarjito, 1995, Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya, Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Gu-rubesar Madya Tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 7 Oktober 1995.

mengelola dan memanfaatkan (memasarkan) sumberdaya budaya materi?

Manfaat sumberdaya budaya materi

Munculnya istilah warisan budaya, warisan budaya materi, sumberdaya budaya, sumberdaya arkeologi dalam konteks makalah ini hendaknya bisa dipahami bersama bahwa kita sedang membicarakan masalah pemanfaatan materi; maka pengertiannya adalah pemanfaatan materi arkeologi yang telah dijadikan warisan atau sumberdaya budaya. Karena soal materi, seyogyanya arkeolog terlebih dahulu meyakini bahwa materi tersebut mempunyai nilai, guna dan manfaat (melalui proses eksplanasi dan interpretasi).

Nilai (values) dalam kegunaan sumberdaya budaya (cultural resources) menurut Darvill dapat dimanfaatkan untuk keperluan sebagai berikut 4: Archaelogical research, Scientific Research, Creative arts, Education, Recreation and tourism, Symbolic representation, Legitimation of action, Social solidarity and integration, Monetary and economic gain. Jadi masih banyak hal-hal yang bisa dikerjakan oleh ahli arkeologi 3.

Terlepas dari aspek pendidikan dan penelitian, maka permasalahan menjadi lebih jelas dan terfokus untuk dibicarakan, yakni aspek pelestarian dan pengelolaan. Maksud penyederhanaan ini bukan untuk mengesampingkan aspek pendidikan dan penelitian, tapi untuk memfokuskan pada istilah-istilah yang sesuai dengan UU RI No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pelestarian dipahami sebagai kesatuan pengertian Perlindungan – Pengembangan – Pemanfaatan, sedangkan Pengelolaan semestinya seperangkat alat dan peralatan yang digunakan untuk menunjang Pelestarian.

Mencermati ’manfaat’ versi Darvill maka sumberdaya budaya (cultural resources) atau warisan budaya (cultural heritage) menjadi murni urusan manajemen, walaupun didalam skenario besarnya peran arkeolog tetap mutlak dibutuhkan.

3 Darvill, Timothy,. Value Systems in Archaelogy dalam Cooper

et.al, Managing Archaeology. Routledge, London and New York, 1995. Hlm. 44-45.

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Page 58: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

42

Aspek Manajemen dan Pemasaran

Manajemen adalah suatu proses yang terdiri atas rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian/ pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.

Definisi Manajemen 4 : (menurut Stoner, dkk.)

Manajemen adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya untuk mencapai suatu hasil atau mewujudkan suatu harapan yang akan diperoleh (visi), dengan melakukan strategi-strategi tertentu (misi) yang akan didukung oleh lima unsur manajemen, yaitu :

1. Perencanaan (planning)2. Pengorganisasian (organizing)3. Petunjuk dan Pengarahan (directing)4. Pelaksanaan (actuating)5. Pengontrolan dan Evaluasi (controlling)

Di dalam pengertian manajemen di atas apabila dikaitkan dengan pemanfaatan sumberdaya budaya materi yang paling awal harus ditentukan adalah visi dan misi, menentukan visi pemanfaatan

4 Stoner, James AF., Manajemen. Edisi Bahasa Indonesia, alih bahasa Drs. Alexander Sindoro, Jakarta: PT Prehalindo. 1996.

dalam arkeologi berarti mengerti dengan benar sebagaimana diungkapkan oleh para arkeolog di depan, yakni arkeologi ’diharuskan’ memiliki kemampuan untuk dapat memanfaatkan sebesar-besarnya hasil kegiatan penelitian dan pelestarian guna berbagai kepentingan negara dan masyarakat yang lebih luas. Sedangkan strategi (misi) lebih bersifat operasional dan kontekstual dengan dukungan lima unsur dalam manajemen.

Untuk menjabarkan misi, maka dimulai dengan kerangka berfikir strategik melalui manajemen strategis. Manajemen strategis adalah sekelompok keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja jangka panjang organisasi. Manajemen strategis mencakup semua dasar fungsi manajemen; yakni strategi organisasi harus direncanakan, diorganisasi, dilaksanakan, dan dikendalikan5. Sedangkan Proses Manajemen Strategis6 adalah proses delapan langkah yang mencakup perencanaan, implementasi, dan evaluasi stategis.

Dalam implementasi, secara khusus didalam dunia arkeologi akan terlihat jelas saat membandingkan

5 Robbin, Stephen P & Marry Coulter.2004, Manajemen. Edisi Ba-

hasa Indonesia. Edisi ke-7. Jilid1. Prentice-Hall.Inc. PT INDEKS Kelompok Gramedia. Hlm. 196.

6 Robbin, Stephen P & Marry Coulter.2004, Manajemen. Edisi Bahasa Indonesia. Edisi ke-7. Jilid 1. Prentice-Hall. Inc. PT INDEKS Kelompok Gramedia. Hlm. 197.

1

Mengidentifikasi misi, tujuan, dan strategi terkini organisasi

8

Mengevalusi hasil

7

Mengimplementasikan strategi

6

Merumuskan strategi

5

Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan

3

Menganalisis sumberdaya organisasi

4

Mengidentifikasi peluang dan ancaman

2

Menganalisis lingkungan

Diagram 1. Proses Manajemen Strategis

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 59: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

43

implementasi secara Birokratik dan secara Strategik

7:

Birokratik- Berorientasi proses- Perhatian kepada uraian: spesialisasi sempit - Cenderung kurang memperhatikan lingkungan

organisasi

Strategik- Berorientasi hasil- Dasar pemikiran : kebutuhan pengguna Visi

dan Misi menjadi pedoman perilaku- Berorientasi lingkungan

Komparasi di atas dimaksudkan untuk mempertegas bahwa re-orientasi dalam konteks menuju atmosfir baru arkeologi Indonesia mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dalam aspek pendidikan, penelitian, pelestarian dan pengelolaan.

Pemasaran dalam arkeologi

Setelah memahami secara filosofis fungsi dan posisi manajemen maka konsep pemasaran

7 Wagiono., Issues in Implementation, Bahan Ajar mata kuliah Manajemen, Arkeologi. Pasca FIB UI, 2005

sumberdaya budaya perlu mendapat ruang untuk secara kreatif memasarkan salah satu produk arkeologi, yakni budaya materi. Maka dalam ’berproduksi’ arkeolog tentu lebih dituntut derajat keilmiahannya dari pada ’memasarkannya’.

Pakar arkeologi dapat dianalogikan dengan pengusaha (produsen) yang sedang membuat sesuatu (pengetahuan, narasi, laporan penelitian, buku, pameran) dari berbagai jenis bahan (sisa-sisa bendawi masa lampau) yang ada di masa kini. Tentunya, dalam memproduksi dipertimbangkan berbagai konteks sosialnya, antara lain tujuan berproduksi dan siapa penggunanya (konsumen). Hasil produksi tentu akan disesuaikan dengan konteks sosial tersebut. Karena itu, dari bahan yang sama dapat terjadi hasil yang berbeda karena tujuan dan konsumennya berbeda. Kondisi seperti inilah yang menurut para pendukung arkeologi pasca-modernisme justru merupakan hal yang realistis (Hodder and Shank, 1995 dalam Tanudirjo) 8.

Dengan mengenali kebutuhan dan keinginan (needs and wants) konsumen, diharapkan ‘perusahaan arkeologi’ dapat mengenai sasaran

8 Tanudirjo, Daud Aris., Arkeologi Pasca-Modernisme Untuk Di-renungkan.

Diagram 2. Lima kekuatan Industri berdasarkan Porter ( Porter’s five force ) Sumber : Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Prentice Hall Inc., 1996, hlm.337

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Page 60: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

44

dari kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga dapat memasarkan ’produk arkeologi’ melalui ’anak perusahaan arkeologi’ yang disebut museum, candi, situs dan bangunan kuno, dan lain-lainnya. Karena tugas keilmiahannya saat ekskavasi, eksplanasi dan interpretasi ’sudah selesai’ maka itulah yang disebut produk ’khas arkeologi’.

Michael Porter mengidentifikasikan dan menggambarkan lima kekuatan industri9 yang dapat mempengaruhi dan menemukan daya tarik keuntungan perusahaan dalam jangka panjang pada suatu segmen pasar.

a. Ancaman akan persaingan yang ketat dalam suatu segmen pasar, yang menggambarkan jumlah dan kekuatan kompetitor dalam segmen pasar tertentu.

b. Ancaman akan datangnya pemain baru, yang menggambarkan bahwa daya tarik pemain baru terhadap industri dapat menimbulkan keseimbangan industri yang baru dan berdampak pada arahan pengembangan pangsa pasar, terutama bila perubahan sumber kapasitas baru adalah sangat besar.

c. Ancaman akan meningkatnya kekuatan pemasok, yang menggambarkan kekuatan pemasok lebih besar dibandingkan dengan pembeli dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini dapat terjadi terutama bila pemasok dapat menaikkan harga atau menurunkan jumlah produk yang dipasok tanpa persetujuan pembeli terlebih dahulu.

d. Ancaman akan produk substitusi, yang menggambarkan bahwa banyaknya produk substitusi dapat mengurangi minat pemain baru untuk masuk ke dalam industri.

9 Kotler, Philip, Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Pengendalian buku 1, Penerbit Salemba Em-pat, 1995, (Terjemahan dari : Marketing Management, New Jer-sey : A Paramount Communication Company Englewood Cliffs, 1994), hlm. 33.

Selanjutnya, harga produk substitusi merupakan hal yang harus mendapat perhatian dan pengkajian yang lebih khusus.

e. Ancaman akan meningkatnya kekuatan pembeli, yang menggambarkan bahwa berkembangnya kekuatan pembeli dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi keseimbangan industri.

Setelah mengidentifikasi kelima kekuatan yang dapat mempengaruhi strategi pemasaran tersebut, maka faktor segmentasi, faktor sasaran dan faktor positioning dari suatu produk harus ditentukan dengan memperhatikan perilaku pembelinya dengan seksama.

Pemasaran dalam arkeologi tidak sekedar jasa advertensi dan promosi, tetapi punya arti yang lebih dalam yakni sebagai nilai (makna); kaitannya dengan nilai, manajemen adalah alat untuk para arkeolog. Pemasaran adalah budaya perusahaan; peralatan dan teknik, pendekatan yang sistematik untuk secara cepat memecahkan terjadinya perubahan pasar (Houston 1986)10.

Dalam soal heritage, pemasaran merupakan prinsip yang diadopsi dalam sepuluh tahun terakhir (Anderson and Sprouse 1984; Dimaggio 1985; Middleton 1990; Bower). Secara khusus di Indonesia permasalahan arkeologi kurang mendapatkan perhatian, termasuk dalam memanfaatkan (memasarkan) sumberdaya budaya yang sebenarnya sangat kaya, baik dalam kualitas maupun kuantitas dan jenis atau ragamnya.

Konsep pemasaran secara umum tentu dilakukan oleh setiap perusahaan, tidak terkecuali dalam dunia arkeologi. Yang juga perlu diperhatikan adalah faktor internal; para ahli arkeologi dalam kaitannya untuk mendukung strategi pemasaran, alasan mendasar adalah hanya ahli arkeologi

10 Blockley, Marion,. The Marketing Plan ‘Archaeologist in the Mar-ketplace’ dalam Cooper et.al, Managing Archaeology. Routledge, London and New York, 1995, hlm. 101.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 61: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

45

yang mampu memberi arti/makna secara ilmiah. Sedangkan bagaimana “menjual” adalah sepenuhnya urusan manajemen pemasaran, tentu dalam memasarkan tetap ada rambu-rambu arkeologikal yang tetap harus dipenuhi. Apa saja yang diperlukan untuk memasarkan sumberdaya budaya? Secara garis besar rencana pemasaran dapat digambarkan pada Bagan 111.

Dari elemen di atas maka dapatlah kita mengarahkan pikiran-pikiran untuk memperkuat tujuan dan sasaran pemasaran serta dapat menjadi alat evaluasi sejauh mana kegagalan dan keberhasilan beserta dampak yang ditimbulkan.

Menjemput peluang dengan Strategi 4P dan Segitiga OKE

Di dalam teori pemasaran tradisional ada empat (4) variabel utama yang mana dapat digunakan untuk mengontrol dalam menentukan strategi pemasaran, yang dikenal dengan

11 Blockley, Marion,. The Marketing Plan ‘Archaeologist in the Mar-ketplace’ dalam Cooper et.al, Managing Archaeology. Routledge, London and New York, 1995, hlm. 103.

Empat P : Product, Price, Promote, Place(s). Namun karena produk arkeologi adalah pelayanan (service) maka bisa menambahkan satu (1) variabel lagi yakni People. Dalam menentukan strategi kiranya variabel di atas bisa diolah dan ’dicampur atau di-baurkan’ (mix) sehingga menghasilkan sinergi (synergy; that the total combined effect of the variables is greater than the sum of their parts). People dalam pengelolaan merupakan kunci pokok, karena masyarakat kini bisa terus mengembangkan pemaknan baru sumberdaya budaya yang dimilikinya maka dibutuhkan kreatifitas yang berlandaskan filosofi yang benar.

Sekarang masalahnya adalah, bagaimana merubah atmosfir dunia arkeologi saat ini dari ‘jawatan arkeologi’ manjadi ‘perusahaan arkeologi’; inilah yang dimaksud re-orientasi pada awal makalah ini bahwa semua pemegang otoritas lokal termasuk didalamnya arkeolog bekerja dengan tendensi orientasi hasil atau produk (bukan orientasi proses).

Masalah birokrasi (organisasi) juga mendasari pada garis perintah dalam struktur, dan jarang kebutuhan publik menjadi bagian dari karyawan dan ini menjadikan hambatan. Hal ini bagi arkeolog bisa menjadi masukan untuk mencari jalan keluar apakah sebenarnya yang dipikirkan klien tentang pelayanan yang seyogyanya mereka dapatkan. Misalnya,

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Bisnis apa dan ke mana arahnya?

Bagaimana sampai ke sana?

Siapa pengguna, manfaat apa yang dicari?

Bagaimana tantangan lingkungan kerja?

Apa saja yang kita miliki untuk bekerja?

Bagaimana tujuan dan sasaran dipertemu-kan dengan sumber daya dan peluang pasar?

Kapan tujuan dan sasaran akan tercapai?

Siapa saja yang bisa membuat berhasil?

Akankah tujuan menemukan maknanya?

Apa yang dibutuhkan untuk merubah?

MISI

TUJUAN USAHA

PENELITIAN PASAR

AUDIT LINGK. EKSTERN

ANALISA KUAT DAN LEMAH

STRG. RENCANA PEMASARAN

RENCANA KEGIATAN

PEMANTAUAN & TINJAUAN

Bagan 1. Rencana Pemasaran

Element of the marketing plan

Page 62: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

46

apakah rekaman tentang situs dan monumen mudah digunakan oleh pengguna? Apakah klien mengerti akan kebutuhan campur tangan secara arkeologis dalam Development Control Process? Apakah publikasi untuk umum mudah dibaca dan menarik, atau jangan-jangan hanya kesenangan para kurator saja?

Dalam dunia yang kompetitif, inilah saat semua arkeolog, baik yang bekerja sendiri atau di sektor publik dapat memperlihatkan bahwa arkeolog dapat mengambil kesempatan pekerjaan secara efisien, ekonomis dan efektif. Hal ini merupakan paradigma baru mengingat payung hukum UURI No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya memberikan peluang saat pemerintah ‘tak lagi mampu’ mengotorisasi Cagar Budaya. Maka salah satu esensi UU di atas adalah mengajak masyarakat untuk bertanggungjawab atas pelestarian termasuk pengelolaannya. Maka terori 4P di atas sudah selayaknya diberikan keran yang proporsional oleh pemerintah selaku fasilitator untu mencapai sebuah pengelolaan Cagar Budaya yang optimal.

Segitiga OKE, merupakan kondisi faktual masyarakat dan Cagar Budaya; pelestarian (pelindungan, pengembangan, pemanfaatan) termasuk didalamnya pengelolaan selalu menghadapi masalah sebagaimana digambarkan dalam diagram 3.

Otentisitas objek; Cagar Budaya dalam masyarakat awam selalu dipahami dengan pengertian statis, artinya benda yang telah dicagar tidak bisa ‘diapa-apakan’ lagi terutama bangunan, struktur, dan kawasan. Hal ini memerlukan penjelasan yang ’panjang’ dan diseminasi yang terus menerus sedangkan di sisi lain kita terus berpacu dengan pemaknaan baru oleh masyarakat dan usia benda yang semakin tua dan terus mengalami degradasi. Maka diperlukan rumusan-rumusan sederhana yang diturunkan dari internationsl charter maupun UU yang telah kita miliki.

Banyak contoh yang dikemudian hari disadari oleh masyarakat bahwa merawat Cagar Budaya sesuai dengan kaidah konservasi amat dibutuhkan. Contoh sederhana di dunia sinematografi, banyak sutradara film mengeluh semakin sulit membuat film yang memiliki latar belakang suasana pada era awal abad 20-an, kalau toh ada harus membuat setting yang akhirnya membuat mahal ongkos produksi. Salah satu contoh ini hendaknya menyadarkan kita bagaimana seyogianya mengelola Cagar Budaya yang benar. Pemahaman tentang otentisitas memerlukan edukasi yang benar dan terus menerus dan inilah yang akan membuahkan Nilai dan Manfaat bagi masyarakat.

OTENTISITAS OBYEK authenticity in material, design,

workmanship, setting

KEMAMPUAN PASAR EKONOMI DAN BENEFIT

Nilai keaslian obyek yang dikemas/ diberi makna secara benar akan mempunyai NILAI & MANFAAT

Implementasi program institusi terkait tidak jelas. Public

understanding, appreciation of cultural heritage belum tercapai Karena nilai informasional tidak

dikemas dengan benar maka masyarakat yang dibidik tidak optimal dan tidak fokus

Cenderung merusak, memperlakukan CB dengan

tidak semestinya

Diagram 3. Segitiga OKE

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 63: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

47

Kemampuan Pasar; Berkaitan erat dengan proses edukasi, karena kemampuan pasar perlu dipersiapkan. Mengapa memasyarakatkan (dalam bahasa manajemen identik dengan memasarkan) menjadi syarat penting? Karena harus diakui bahwa masyarakat dalam menginterpretasi objek Cagar Budaya membutuhkan tingkat pengetahuan yang cukup sedangkan mengeksplanasi Cagar Budaya juga membutuhkan pengetahuan yang cukup. Maka ke dua sisi ini harus dipersiapkan secara baik dan hati-hati.

Jika dalam memasarkan objek Cagar Budaya tidak sesuai dengan kemampuan pasar; akibatnya bisa dilihat; salah satu contoh museum yang kurang diminati. Jadi membuat segmentasi pasar merupakan kecerdikan manajemen untuk memilah objek Cagar Budaya. Semua bertujuan supaya Nilai dan Manfaat Cagar Budaya sampai kepada konsumen hingga akhirnya mampu menumbuhkan hasil baru yakni peradaban yang lebih baik. Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan bagaimana kerjasama erat dan kreatifitas tinggi yang harus bersinergi dalam inter dan antar disiplin. Hasil yang juga diharapkan adalah Cagar Budaya yang terpreservasi atas dasar kesadaran yang dilandasi apresiasi dan pemahaman terhadap sumberdaya budaya.

Ekonomi dan Benefit; Bisa dilihat sebagai dampak (hasil) karena melakukan pengelolaan yang benar, tidak selalu orientasi kepada uang semata, walau uang tetap penting sebagai salah satu sarana pengelolaan. Bagi sebuah masyarakat dan negara tentu benefit yang berupa nonuang juga menjadi penting karena di dalam Undang-Undang juga sering disinggung bahwa penciptaan dan pembangunan identitas diri, kebanggaan akan kebudayaan sendiri, peradaban yang semakin baik juga hasil dari sebuah pengelolaan Cagar Budaya yang benar.

Dampak pendek adalah jika sebagian masyarakat di sekitar obyek Cagar Budaya mendapatkan sumber penghasilan maka di tangan merekalah obyek itu akan dijaga bahkan pelibatan pengelolaan Cagar Budaya sebagian bisa dilimpahkan kepada mereka.

Semarang, Jawa Tengah, Indonesia dan Dunia

Seperti apapun berat-ringannya sebuah tantangan, betapa menariknya sebuah peluang pada akhirnya berpulang kepada kemampuan menjabarkan pengelolaan dalam sebuah Grand Design. Jawa Tengah adalah contoh menarik, dimana warisan budaya tersebar padat di wilayah ini. Bahkan bila diadakan pembabakan waktu atau periodisasi, hampir tampil sempurna, mulai situs prasejarah Sangiran, masa Hindu-Buddha, Islam, Kolonial seolah rangkaian sumberdaya yang tiada tara. Persoalan terletak bagaimana menyusun sebuah Grand Design yang terpadu untuk Semarang bahkan keterkaitan di Jawa Tengah? Bahkan Indonesia?

Di awal tulisan ini jelas disinggung bahwa mengelola Cagar Budaya layaknya mengelola bisnis/usaha ekonomi. Maka dalam kesempatan ini tidak perlu kita meragukan apa tantangan dan peluangnya. Kita memerlukan konsep yang jelas yang dituangkan dalam sebuah skenario besar yang disebut Grand Design.

Semarang mencoba membedah kemandegan pengelolaan Kawasan Kota Lama. Setelah hampir dua dekade kajian-kajian dan studi pengelolaan dibuat akhirnya harus berhenti sebagai sebuah karya ilmiah yang statis nyaris tak berkembang sebagaimana diharapkan menjadi pegangan pelestarian dan pengelolaan. Lahirnya Grand Design Kawasan Kota Lama Semarang (GDKKLS) merupakan terobosan untuk ‘membangunkan’ seluruh masyarakat kota Semarang di dunia pelestarian dan pengelolaan sumberdaya budaya.

Kasus : Kawasan Kota Lama Semarang, sebagaimana dituangkan dalam Grand Design Kota Lama Semarang, 2011

VISI MISI KAWASAN KOTA LAMA SEMARANG

Visi : Kawasan Kota Lama Semarang sebagai Tujuan Wisata Dunia 2018

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Page 64: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

48

Misi :

- Mewujudkan Kawasan Kota Lama Semarang (KKLS) sebagai Tujuan Wisata Dunia 2018, dengan melindungi aset-aset bangunan-infrastruktur bersejarah dan lingkungannya. Karena dengan menjaga otentisitas kawasan bersejarah tersebut, berarti telah turut melindungi nilai yang signifikan pada kawasan tersebut.

- Mewujudkan KKLS sebagai Tujuan Wisata Dunia 2018, dengan mengembangkan kebijakan dan peraturan baru yang mendukung otoritas kepengelolaan KKLS.

- Mewujudkan KKLS sebagai Tujuan Wisata Dunia 2018, dengan memanfaatkan potensi lingkungan, ekonomi, sosial, budaya yang ada di dalam KKLS sebagai modal awal dan motor penggeraknya.

MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN GRAND DESIGN KAWASAN KOTA LAMA SEMARANG

Maksud dari Penyusunan Grand Design Kota Lama adalah terwujudnya kawasan Kota Lama sebagai Kawasan strategis sosial budaya yang berbasis masyarakat.

Tujuan yang ingin dicapai dengan kegiatan

Penyusunan Grand Design Kota Lama adalah merumuskan konsep dan desain manajemen pelestarian (pelindungan, pengembangan, pemanfaatan) Kawasan Kota Lama yang dapat mengintegrasikan kepentingan berbagai pihak yaitu pemerintah, investor, publik dan masyarakat luas secara berkesinambungan. Dengan maksud untuk mewujudkan kawasan Kota Lama sebagai Kawasan strategis sosial budaya yang berbasis masyarakat.

Sasaran yang ingin dicapai adalah mendapatkan suatu program perencanaan dan perancangan Kawasan Kota Lama sebagai kawasan strategis yang layak disebut sebagai Tujuan Wisata Dunia. Hal tersebut diwujudkan melalui :

a. Menjalin kolaborasi antara bisnis pariwisata dan

warisan sejarah

Kolaborasi adalah dasar dari semua program pariwisata warisan budaya yang sukses, yakni memberikan kesempatan unik untuk menyatukan mitra yang tidak mungkin bekerja sama di waktu sebelumnya. Pada dasarnya, pariwisata warisan budaya memerlukan kemitraan yang efektif. Memitrakan “dunia sejarah dan budaya” dengan “bisnis pariwisata” menawarkan kombinasi yang dapat menguntungkan semua orang. Ada beberapa alasan untuk melakukan kolaborasi terebut, antara lain :� Memunculkan insentif keuangan� Program pengembangan (pariwisata, bisnis,

penelitian, kemitraan, dsb)� Meningkatkan penawaran atas produk

pariwisata� Menentukan pasar baru dan taktik baru guna

mencapai pasar tersebut� Memasukkan ide baru pada produk lama� Memanfaatkan kepiawaian dan reputasi dari

mitra (partner) dan para ahli � Memperkuat hubungan antara industri

(pariwisata, ekonomi, dsb)� Mengatur tahapan untuk program kemitraan di

masa depan

Mitra-mitra yang potensial antara lain:� Bisnis, misalnya : bantuan yang dipinjamkan

dan pengembangan materi seperti media cetak dan brosur, bantuan keuangan dan sumber daya lainnya dapat dikembangkan melalui kolaborasi bisnis.

� Organisasi Pariwisata, misalnya: pengumpulan dana untuk iklan, promosi daerah, dimasukkan dalam bagian pemasaran lokal dan regional, dan berbagi pendanaan program seperti pelatihan tenaga ahli perhotelan, dsb.

� Situs Warisan dan daerah, misalnya: pengetahuan tentang sejarah dapat dipublikasikan dan dapat menjadi bahan media serta dengan mengkreatifi masa-masa yang sulit (situs cukup dipromosikan bersama-sama sebagai pengarah yang berharga)

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 65: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

49

adalah hasil dari kerjasama melalui situs warisan dan daerah.

� Organisasi Budaya, misalnya: penampilan budaya lokal dan pertunjukan seni dapat membantu untuk meningkatkan pengalaman pengunjung.

� Organisasi nirlaba lainnya, misalnya: komunitas nirlaba seperti kelompok pecinta sejarah, sekolah, dan lain lain memiliki banyak kebutuhan yang sama. Berbagi sumber daya seperti materi, peralatan acara dan relawan akan mampu menguntungkan semua orang.

b. Mencari Kesesuaian Antara Masyarakat/

Warga KKLS dan Kegiatan Pariwisata

Program pariwisata warisan budaya, bila dilakukan dengan benar, membuat masyarakat menjadikan hidup mereka lebih baik serta menjadikan tempat kunjungan menjadi lebih baik pula. Mengapresiasi warisan sejarah sebuah masyarakat juga turut menanamkan kebanggaan warga. Hal ini penting untuk menyeimbangkan kebutuhan penghuni dan pengunjung untuk saling menghormati, agar daya dukung masyarakat mampu mengakomodasi kegiatan pariwisata, agar manfaatnya dapat dirasakan semua orang. Memahami jenis dan jumlah komunitas yang akan dilibatkan dalam pariwisata adalah kunci keberhasilan dalam prinsip ini.

Manfaat dari menemukan kesesuaian tersebut adalah:

� Sebuah program pariwisata warisan budaya dapat mendorong investasi tambahan secara lokal.

� Warga KKLS memberikan sambutan yang ramah kepada pengunjung.

� Warga KKLS bangga mengetahui tentang sejarah komunitas mereka dan lokasi berbagai atraksi dan berbagi informasi ini dengan pengunjung.

� Mengetahui bahwa program warisan budaya pariwisata yang sedang berjalan, dapat mendorong masyarakat untuk melihat sumberdaya bersejarah dengan lebih jelas, dalam upaya pelestarian dan perlindungan “harta” yang tak tergantikan.

� Warga KKLS bisa menjadi orang yang pertama untuk mendapatkan keuntungan dari program pariwisata warisan budaya dengan penciptaan

lapangan kerja baru.� Warga KKLS dapat mengajukan diri sebagai

relawan untuk terlibat dengan kegiatan festival atau program pariwisata sebagai pemandu wisata, event organizer, anggota dewan atau donor.

� Program ini dapat menghilangkan kekhawatiran bahwa program pariwisata akan dijalankan oleh perusahaan-perusahaan besar atau “luar” dengan terus meminta keterlibatan masyarakat.

� Penyelenggara pariwisata warisan sejarah perlu untuk menjelaskan tujuan mereka dan bagaimana mereka berharap untuk mengukur laba atas investasi yang akan menguntungkan masyarakat. Tidak hanya menyatakan bahwa hal itu akan membantu perekonomian lokal, tetapi juga sampai dengan menjelaskan tujuan proyek, misal: memulihkan rumah/bangunan bersejarah, membuka museum, atau mengembangkan citywalk tur yang akan membawa pengunjung ke toko-toko lokal, menciptakan lapangan kerja, memberikan pengalaman pendidikan untuk anak-anak sekolah lokal, dan lain-lain. Mereka juga harus siap untuk mengatasi masalah seperti potensi untuk kemacetan, membuang sampah sembarangan, masalah parkir, biaya investasi atau ekspresi warga dalam bentuk apa pun saat mengungkapkan keprihatinannya.

Komunikasi adalah komponen kunci untuk menemukan kesesuaian antara masyarakat dan pariwisata. Ada tiga bentuk pendekatan :

� Pertama, penyelenggara harus mengumpulkan umpan balik dari warga setempat tentang keprihatinan dan kepentingan mereka dalam mengembangkan program warisan wisata budaya.

� Kedua, penyelenggara harus meminta penduduk setempat untuk tidak hanya menyediakan informasi, tetapi untuk terlibat dalam proses, misal: melayani di komite pengelola, sebagai sukarelawan menjadi pemandu wisata, berpartisipasi dalam pelatihan permuseuman-perhotelan, mensponsori acara khusus dan cara-cara lain untuk berkontribusi kepada program.

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Page 66: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

50

� Ketiga, penyelenggara harus menindaklanjuti keprihatinan yang diungkapkan oleh penduduk setempat. Sangat penting untuk tidak hanya mengumpulkan informasi, tapi menjalin hubungan kekerabatan antar penduduk untuk menanggapi keprihatinan tersebut.

c. Membuat Situs Bersejarah dan Program Pariwisata menjadi Lebih Hidup

Adanya persaingan yang terus meningkat di industri pariwisata, membuat diperlukannya cara kreatif untuk membawa warisan atau atraksi budaya dapat hidup merupakan poin yang lebih penting. Perlu diingat bahwa pengunjung saat ini lebih canggih dan baik dari generasi sebelumnya, terutama pada saat mereka bepergian, yakni dengan menambah tantangan yang dapat menarik pengunjung melalui atraksi budaya. Untuk menarik pengunjung, pengalaman yang ditawarkan harus menarik dan melibatkan lima indra pengunjung sebanyak mungkin. Penelitian telah menunjukkan bahwa pengunjung mengingat :

� 10% dari apa yang mereka dengar� 30% dari apa yang mereka baca� 50% dari apa yang mereka lihat� 90% dari apa yang mereka lakukan

d. Memfokuskan pada Kualitas dan Keaslian Produk Pariwisata

Mendapatkan cerita yang otentik dari sebuah komunitas atau situs warisan bersejarah memerlukan komitmen dan investasi waktu, sehingga memerlukan beberapa pertimbangan sebagai berikut :

� Melakukan PenelitianMeninjau ulang semua dokumen dan foto yang tersedia, melakukan wawancara sejarah secara lisan, sampai dengan memeriksa struktur bangunan bersejarah. Kegiatan tersebut dapat ditempuh dengan beberapa jenis penelitian untuk mengumpulkan informasi yang akurat. Meskipun relawan

dapat membantu, penting untuk mencari para profesional yang terlatih apabila memungkinkan.

� Melakukan PelatihanPelatihan membutuhkan panduan dan partisipasi publik. Karena ini terkait kualitas dan keaslian, informasi didalam panduan harus mampu menyajikan informasi yang paling akurat.

� Mengevaluasi MateriPanduan sebagai publikasi wisata pengunjung yang digunakan saat berjalan atau mengemudi, brosur promosi, label pameran dan informasi lain; yang disampaikan kepada publik harus dicek dan diperiksa ulang untuk memastikan akurasi dari informasi di situs warisan sejarah.

� Melakukan InterpretasiKetika merencanakan sebuah tur situs sejarah atau kawasan cagar budaya, ada beberapa keputusan yang harus dibuat. Apakah semua pihak memiliki penafsiran yang sama mengenai itu? Akankah tur disajikan dalam format sejarah yang “hidup”? Apakah akan ada demonstrasi dari kegiatan sehari-hari dari periode waktu sebelumnya? Jika jawabannya ya, proses penelitian dimulai lagi untuk memastikan bahwa keseragaman penafsiran tersebut adalah otentik, dan bahwa beberapa penafsir memiliki karakter yang “mirip” dan tahu bagaimana memanfaatkan peralatan, alat atau benda-benda peninggalan dari era sebelumnya.

� Melakukan Tindakan PelestarianSebuah restorasi yang berpegang pada prinsip otentisitas adalah penting jika merencanakan penafsiran bangunan sebagai bagian dari program wisata warisan. Seperti penelitian, sangat penting untuk mencari bantuan seorang profesional untuk memastikan pelestarian tersebut berkualitas.

� Melakukan PresentasiAdanya kebutuhan untuk keaslian dan kualitas, memerlukan usaha mencari perabotan, benda-benda unik khas periode

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 67: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

51

tertentu, atau dapat dengan merekrut para pengrajin lokal untuk mendukung kebutuhan tersebut.

e. Mempertahankan dan Melindungi Sumber Daya Pariwisata

Sumberdaya masyarakat anda, budaya, bersejarah, alami dan cerita rakyat yang hidup merupakan elemen tak tergantikan dari pengalaman pariwisata warisan budaya. Wisatawan tidak akan menghabiskan banyak waktu di daerah yang hanya menawarkan kesempatan untuk membaca tanda-tanda memperingati bangunan yang tidak lagi berdiri atau mendengar tentang tradisi yang tidak lagi ada. Sumberdaya ini adalah pengingat nyata dari masa lalu. Sehingga menjadi sangat penting untuk menceritakan kembali kisah sejarah kawasan kepada pengunjung. Untuk melestarikan dan melindungi sumberdaya, maka perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

- Biaya; Apakah di awal memerlukan investasi keuangan dan biaya apa saja yang memerlukan siklus berkelanjutan?

- Penjadwalan; Berapa lama waktu yang dibutuhkan dan bagaimana kesesuaian dengan kurun waktu secara keseluruhan?

- Keterampilan; Keterampilan apa yang dibutuhkan? Pengrajin? Ahli lingkungan? Pendongeng cerita rakyat? Perancang pameran? Produser film?

- Pelestarian dan Rencana Konservasi; Apakah pihak pengelola memiliki kerangka pelestarian yang komprehensif dan rencana konservasi di tempat tersebut?

- Dampak jangka panjang; Apakah sudah melakukan evaluasi terhadap kebutuhan situs warisan bersejarah atau sumberdaya budaya yang akan menjadi tempat kunjungan? Apakah bangunan bersejarah memerlukan lantai yang lebih kuat untuk mendukung sejumlah besar pengunjung? Apakah taman publik memerlukan petugas keamanan

(patroli) untuk memastikan keamanan? Apakah perlu untuk mengevaluasi berapa banyak perajin lokal yang diperlukan?

- Menyeimbangkan Pelestarian dan Promosi; Berapa banyak kunjungan yang akan ditargetkan? Bagaimana hal tersebut mempengaruhi keputusan pemasaran terhadap warisan budaya dan sumberdaya yang sedang dipromosikan?

- Komunitas Kreatif dan Pendidikan; Apakah program dikembangkan untuk meningkatkan kesadaran lokal dan apresiasi terhadap sumber daya warisan budaya, serta untuk membangun dukungan bagi pelestarian dan perlindungan?

- Kemitraan; Apakah sudah terjadi kemitraan antara preservationists, sejarawan, promotor pariwisata, dan orang lain untuk bekerja sama?

1.4 PENTINGNYA MELINDUNGI, MENGEMBANGKAN DAN MEMANFAATKAN KAWASAN KOTA LAMA SEMARANG

Beberapa catatan pentingnya untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan KKLS adalah:

Pertama, konservasi KKLS akan membangkitkan semangat dan gairah warga Kota Semarang. Saat KKLS kelak selesai dikonservasi, maka reaksi pertama yang muncul adalah bangkitnya semangat orang-orang yang terkait dengan kawasan tersebut. Perasaan pertama mungkin muncul adalah kekaguman dengan tingkat yang berbeda-beda karena ikatan emosi setiap orang terhadap KKLS. Mungkin perasaan yang muncul adalah seperti menyaksikan kebangkitan dari kematian, atau seperti menemukan anggota keluarga yang telah lama menghilang. Demikian juga jika selesai dikonservasi, masyarakat Kota Semarang akan memiliki kebanggaan baru yaitu sebuah warisan bangunan lama yang bersejarah.

Kedua, konservasi KKLS akan menyempurnakan proses budaya Kota Semarang.

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Page 68: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

52

Rangkaian sejarah Kota Semarang dari masa lalu, sekarang dan masa depan akan terjalin dengan sempurna bila bukti-bukti kesejarahan terawat secara baik dan utuh. Perjalanan sejarah Kota Semarang adalah proses budaya warga Semarang dari sejak awal kota ini didirikan, sekarang, dan kelak. KKLS telah membuktikan bahwa sejak awal kawasan ini adalah kawasan global, dimana telah terjadi interaksi berbagai budaya didalamnya. Kota Semarang bukan lagi milik warga Kota Semarang semata namun milik setiap kebudayaan yang telah berpartisipasi didalamnya (Eropa, Jawa, Cina, Arab, Melayu, Bugis, dsb). Perlakuan konservasi yang tepat dan sesuai dengan standar internasional di KKLS akan menyempurnakan proses budaya Kota Semarang.

Ketiga, konservasi KKLS akan meningkatkan muatan nilai kegunaan. Kegunaan yang paling nyata dari sebuah bangunan cagar budaya adalah untuk sarana rekreasi, obyek wisata, dan hiburan. Namun, sisi negatif juga dapat terjadi, misalnya dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, lingkungan tempat atau bangunan cagar budaya terganggu dan dapat mempercepat proses kerusakan. Eksploitasi juga bisa berdampak buruk dengan pengunjung yang berlebihan, meningkatnya limbah yang dapat mengancam kelestarian tempat atau bangunan cagar budaya. Sehingga diperlukan perencanaan tata kelola warisan cagar budaya KKLS yang cermat, diimbangi dengan tindakan pengawasan yang ketat.

1.5 PERANAN GLOBAL KAWASAN KOTA LAMA SEMARANG

Dari sejak awal berdirinya, Kota Semarang adalah sebuah kota yang dibangun secara multi etnis dan budaya, hal ini dibuktikan dengan berbagai catatan sejarah dan peninggalan-peninggalan yang ada. Sebagai sebuah kota pelabuhan (port city), tentu hal ini bukan sesuatu yang mengherankan, Semarang sejak awal diwarnai dengan berbagai kegiatan budaya yang bukan hanya dari budaya lokal namun budaya-budaya dunia. Untuk itu mengembalikan semangat Kota Semarang sebagai suatu kota yang memiliki ciri global sejak awalnya harus menjadi titik tolak dalam pelindungan, pengembangan dan

pemanfaatan KKLS. Dari identifikasi peruntukkan dan kegunaan masing-masing bangunan di KKLS dahulu, didapatkan fakta bahwa hampir 90% bangunan digunakan untuk kegiatan yang bersifat global.

1.6 TANTANGAN MELINDUNGI, MENGEMBANGKAN DAN MEMANFAATKAN KAWASAN KOTA LAMA SEMARANG

Kota Semarang merupakan salah satu kota besar di Pulau Jawa dan juga sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, perkembangannya tidak dapat lepas dari perjalanan sejarahnya. Kota Lama sebagai kawasan bersejarah Kota Semarang belakangan ini menunjukkan perkembangan yang cenderung negatif sehingga kualitas penghuni dan lingkungannya juga menurun. Penurunan kualitas ini sangat terlihat pada Kawasan Kota Lama Semarang yang sesungguhnya mempunyai nilai-nilai tradisi, sejarah, dan potensi ekonomi, tapi mengalami penurunan kondisi fisik lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya sehingga fungsi dan peranannya menjadi menurun.

Kota Lama yang dulunya merupakan pusat Kota Semarang, dengan bangunan-bangunan yang mengandung nilai sejarah kini menjadi tak terfungsikan secara optimal bahkan cenderung terbengkalai. Bangunan-bangunan yang ada sebagian besar terlihat tak terawat, berkesan tak berpenghuni, dan bahkan seakan seperti kota mati karena sepi, hal ini sangat terasa terutama pada malam hari. Melihat kondisi yang terjadi pada Kota Lama yang seperti ini, maka perlu adanya upaya pelestarian dan peningkatan kondisi fisik lingkungan, sosial, maupun ekonomi.

Tantangan utama dalam usaha untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan KKLS adalah: pertama, tidak adanya visi dan misi yang jelas dan gamblang terkait dengan KKLS. Visi yang jelas akan mengarahkan semua pihak terkait untuk memikirkan, merencanakan dan melaksanakan penanganan KKLS dalam arah yang sama.Tentu visi dan misi KKLS tidak dapat dipisahkan visi dan misi Kota Semarang, dimana visi Kota Semarang adalah

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 69: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

53

“Terwujudnya kota perdagangan dan jasa, yang berbudaya menuju masyarakat sejahtera.” Demi mendukung masyarakat yang sejahtera berbasis budaya maka visi KKLS yang ditujukan untuk mendukung visi Kota Semarang ditetapkan adalah “Mewujudkan KKLS sebagai tujuan wisata dunia 2018.

Tantangan kedua adalah semakin cepatnya laju pelapukan kawasan baik dari sisi masing-masing bangunan maupun lingkungan kawasan secara keseluruhan. Pelapukan diperparah dengan faktor alam, meluapnya permukaan air laut (rob) dan sistem drainase lingkungan yang buruk yang mengakibatkan genangan air di berbagai tempat di KKLS. Tingkat laju pelapukan lingkungan KKLS secara otomatis mempengaruhi laju pelapukan masing-masing bangunan.

Tantangan Ketiga, tidak adanya kewenangan yang jelas dalam penanganan KKLS serta rendahnya peran serta para pemilik bangunan sebagai inhabitant (warga kota). Pemerintah Kota Semarang yang memiliki wewenang dalam sarana dan prasarana publik seringkali tidak didukung oleh para pemilik bangunan. Peran pemerintah Kota Semarang dalam pengelolaan KKLS di masa mendatang tidak dapat dipisahkan dengan peran serta warga KKLS.

Tantangan keempat adalah rumitnya masalah sosial yang sudah terlanjur berkembang di KKLS. Salah satu ciri dari suatu kawasan kota lama adalah matinya kehidupan baik ekonomi maupun sosial, karena tidak adanya kegiatan ekonomi dan sosial yang berarti maka kawasan kota lama ditinggalkan oleh para penghuninya. Kekosongan ini diisi oleh para pendatang baru yaitu para tunawisma dan gelandangan. Mereka memanfaatkan gedung-gedung kosong dan pinggiran gedung dengan mendirikan bangunan sederhana sebagai tempat tinggal mereka. Keberadaan dan kegiatan mereka menjadi tantangan tersendiri dalam usaha untuk memanfaatkan KKLS menuju tujuan wisata dunia 2018.

1.7 PELUANG MEMANFAATKAN KAWASAN KOTA LAMA SEMARANG SEBAGAI TUJUAN WISATA DUNIA

Sejarah Kota Semarang adalah sejarah yang sangat kaya dengan berbagai peristiwa dan kejadian yang terkait dengan dunia internasional. Sejak berdirinya 464 tahun yang lalu, dilanjutkan dengan penyerahan Semarang kepada VOC oleh Amangkurat II di 1678, dibangunnya rel kereta api pertama di Tanggung 1864 (pembangunan rel kereta api kedua di Asia setelah India, 1853), hingga Semarang menjadi suatu kota yang berwawasan internasional dan mencapai puncaknya pada tahun 1914, dengan diadakannya pameran berskala internasional. Ini membuktikan bahwa sejarah Semarang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan kebudayaan dunia.

Dari sisi perkembangan kebudayaan, Semarang sebagai kota pelabuhan adalah kota persinggahan berbagai suku bangsa yang membawa kebudayaan mereka sendiri baik itu dalam lingkup kebudayaan setempat, lokal, Timur dan Barat. Dimana masing-masing budaya berkembang dengan ciri dan karakter masing-masing hingga kemudian terjadi asimilasi budaya, hal tersebut sangat menonjol terutama dalam bidang kuliner.

Dalam bidang arsitektur KKLS merupakan suatu artefak kebudayaan yang lengkap dalam perkembangan seni arsitektur dari arsitektur klasik yang diwakili oleh bangunan Gereja Blenduk hingga arsitektur modern yang diwakili oleh bangunan kantor Oei Tiong Ham Concern. Bukan hanya dalam aliran dan gaya aristektur saja, KKLS memiliki karakteristik tersendiri namun juga dalam penggunaan bahan bangunan. Penataan kota yang unik yang didasarkan pada kebutuhan menjadi ciri khas KKLS. Ciri ini menjadi keistimewaan perkembangan tata kota KKLS sebagai kawasan perdagangan di zamannya.

KKLS memiliki potensi luar biasa untuk menjadi tujuan wisata dunia. Tentu saja untuk mewujudkan tujuan wisata ada hal-hal yang ditambahkan dan disempurnakan sesuai dengan kriteria yang menjadi tuntutan suatu daerah tujuan wisata dunia.

Hal yang pertama harus diusahakan adalah

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Page 70: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

54

menciptakan rasa aman, rasa tenang, bebas dari rasa takut dan kecemasan bagi para pengunjung KKLS.

Kedua adalah ketertiban, keteraturan, dan pengelolaan yang mengedepankan disiplin yang tinggi yang memberikan kepastian.

Ketiga, kebersihan. Tujuan wisata dunia harus memenuhi standar kesehatan yang optimal. Pengelolaan sampah, polusi, kebersihan makanan dan minuman, adalah hal yang paling dituntut dalam pengelolaan tujuan wisata dunia.

Keempat, lingkungan yang Diagram 4. Arah Dasar Pengembangan Kawasan Kota Lama Semarang Menjadi Tujuan Wisata Dunia 2018

asri dan sejuk, daerah yang sejuk dan segar menjadi salah satu persyaratan utama meskipun itu daerah wisata kota.

Kelima, estetika. KKLS harus direncanakan dengan cermat dengan mengedepankan estetika yang didasarkan pada karakter-karakter bangunan dan rangkaian bangunan yang ada dan menghindari segala usaha untuk mempercantik lingkungan (beautification) namun meninggalkan karakteristik bangunan atau kawasan KKLS.

Keenam, menciptakan kondisi lingkungan masyarakat yang ramah dan penuh penghargaan dan toleransi terhadap para wisatawan yang berkunjung. Dan ketujuh, menciptakan pengalaman yang berkesan bagi para pengunjung KKLS.

1.8 STRATEGI MENUJU TUJUAN WISATA DUNIA

Pencapaian visi KKLS menuju tujuan wisata dunia 2018 tidak akan pernah terwujud tanpa rencana induk yang jelas. Rencana induk KKLS disusun dengan melibatkan:

Pertama, penyempurnaan peraturan dan kebijakan Kota Semarang yang telah ada dan menambahkan peraturan dan kebijakan yang baru untuk mendukung terwujudnya visi KKLS.

Kedua, pengembangan sumber daya manusia yang akan mendukung dan mengelola KKLS baik dari sisi manajemen pengelolaan tujuan wisata maupun dari sisi penanganan perencanaan, pelaksanaan konservasi yang sesuai dengan standar internasional.

Ketiga, pembagian prioritas daerah yang akan dikembangkan mobilisasi para warga kota (inhabitant) untuk bersama-sama menghidupkan kembali KKLS.

Keempat, Strategi berikutnya adalah membuat peta arahan (road map) tahunan yang melibatkan semua instansi terkait dalam pengelolaan KKLS. Melalui studi yang cermat maka diharapkan peta arahan yang disusun ini dapat mengurangi berbagai resiko dalam proses perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan KKLS. Peta arahan dibagi menjadi program tahunan dari tahun 2012 hingga tahun 2018, dimana dalam peta arahan tersebut dapat dilihat dengan jelas arah dan perkembangan KKLS menuju tujuan wisata dunia. Pada peta arahan juga mencakup penanggungjawab, pelaksana, dukungan yang diperlukan, anggaran yang diperlukan serta target atau indikator pencapaiannya. Dalam penyusunan peta arahan KKLS digunakan prinsip-prinsip seperti:

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 71: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

55

Diagram 5. Strategi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Kawasan Kota Lama Semarang menuju Daerah Tujuan Wisata Dunia 2012

- kejelasan sehingga mudah dipahami dan dapat dilaksanakan.

- ringkas, sesuai dengan format yang ditentukan.

- terukur, dimana program, target, waktu, keluaran (outputs) dan hasil (outcomes) harus dapat diukur.

- adjustable dimana peta arahan dapat mengakomodir umpan balik dan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

- terperinci, dimana peta arahan KKLS merupakan rincian dari pelaksanaan kegiatan dan hasil dari masing-masing kegiatan yang telah direncanakan.

- memuat komitmen, peta arahan KKLS merupakan kesepakatan bersama yang harus dipertanggungjawabkan secara bersama-sama pula.

Menciptakan keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keramahtamahan dan meninggalkan kenangan yang indah, tidak mungkin dilepaskan dari partisipasi warga Kota Semarang, teristimewa warga KKLS. Program sosialisasi akan melibatkan berbagai media publik dan mencakup semua lapisan masyarakat yang ada di Semarang. Mengingat proses sosialisasi adalah suatu tahapan yang sangat penting dalam mewujudkan visi maka diperlukan suatu program khusus dari departemen terkait, agar apa yang telah ditetapkan dan direncanakan mampu menjadi nyata.Rangkuman dokumen ini dapat dengan mudah dipahami melalui dua diagram berikut. Dua buah diagram berikut menggambarkan dasar dan strategi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan KKLS. Diagram pertama menggambarkan dasar dan arah serta keterkaitan antara konservasi KKLS

- terdokumentasi, dimana peta arahan KKLS harus menjadi dokumen resmi pemerintah Kota Semarang.

Kelima, adalah dengan membuat perencanaan penanganan khusus terkait dengan tindakan konservasi KKLS. Hal ini menjadi penting karena salah satu kriteria sebagai tujuan wisata dunia adalah otentisitas. Untuk menjaga otentisitas karakter KKLS baik dari sisi masing-masing bangunan maupun dari sisi rangkaian bangunan diperlukan tindakan konservasi yang terarah sistemik dan terlembagakan. Sehingga diharapkan penanganan tindakan konservasi KKLS akan terjaga dengan penanganan yang sesuai dengan ketetapan standar yang berlaku secara internasional.

Keenam, adalah sosialisasi yang terprogram kepada seluruh warga Kota Semarang secara umum dan warga KKLS secara khusus.

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Page 72: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

56

dengan lingkungan masyarakat serta pemerintah, sedangkan diagram kedua menggambarkan strategi implementasi perlindungan, pengembangan, dan pemanfataan KKLS.

1.9 BEKERJA BERSAMA UNTUK MELINDUNGI, MENGEMBANGKAN DAN MEMANFAATKAN WARISAN BUDAYA KAWASAN KOTA LAMA SEMARANG

Keadaan KKLS akan semakin memburuk jika tidak segera cepat untuk ditangani. Meskipun keadaan tersebut merupakan hal yang alami dan bersifat internal namun hal tersebut justru diperparah dengan faktor eksternal seperti bencana, polusi, perubahan iklim dan diperhebat dengan ketidakpedulian dari pihak-pihak yang seharusnya memiliki tanggungjawab yaitu pihak pemerintah dan pemilik masing-masing bangunan.

Permasalahan KKLS adalah permasalahan yang harus diselesaikan secara bersama-sama dari semua pihak terkait. KKLS adalah masalah semua warga Kota Semarang. Kebersamaan tidak akan terjadi dengan sendirinya, hal itu harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan pengorbanan. Pengorbanan bagi suatu keberlangsungan benda cagar budaya memang tidak dapat diukur secara kuantitas saja. Namun besarnya pengorbanan yang diberikan kelak akan menuai buah yang manis bukan hanya sekarang namun menjadi kegemaran bagi generasi berikutnya. Generasi Kota Semarang mendatang akan berterima kasih atas semua pengorbanan yang diberikan sekarang ini.

KKLS adalah aset yang dipinjamkan oleh generasi mendatang Kota Semarang bagi kita. Untuk itu sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan yang tidak ternilai bagi Kota Semarang. Tentu kita tidak menginginkan sejarah Semarang terputus karena musnahnya KKLS yang diakibatkan keteledoran kita. Pelestarian KKLS sangat mendesak agar tidak terjadi missing link bagi keberlangsungan Kota Semarang. KKLS telah menjadi rantai penghubung yang berwujud (tangible), yang dapat dimanfaatkan

dalam berbagai aspek seperti kepentingan budaya, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan pariwisata, seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang. KKLS adalah penentu karakteristik keberadaan Kota Semarang di masa depan dan sangatlah bijaksana untuk dilestarikan.

Pengelolaan KKLS dimulai dari tingkat Walikota, DPRD, para profesional, dan masyarakat dengan memiliki kepemimpinan yang unggul (high level leadership) untuk melaksanakan manajemen yang amat kompleks. Tanpa kepemimpinan yang berkonsentrasi penuh pada tujuan jangka panjang, dapat dipastikan akan terperosok pada kepentingan-kepentingan jangka pendek yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, yang akhirnya cenderung merusak sumberdaya budaya itu sendiri.

2.1 KESIMPULANDari studi di atas telah dinyatakan bahwa

KKLS adalah warisan sejarah budaya kota Semarang yang seharusnya mampu dimanfaatkan sebagai sumberdaya budaya, setidaknya bagi warga kota Semarang. Sedangkan peran pariwisata adalah sebagai salah satu cara yang lebih efektif dan signifikan dalam pemanfaatan sumber daya budaya. Yang perlu dicermati dari dua perspektif tersebut adalah

1. Untuk menjadi sumber daya budaya KKLS harus terlebih dahulu digali nilai-nilai kebudayaan (yang signifikan) di dalamnya.

2. Setelah mengetahui dan memahami nilai-nilai tersebut barulah dapat diketahui cara memanfaatkan KKLS.

Dengan kata lain proses yang seharusnya terjadi adalah memahami KKLS sebagai sumber daya budaya terlebih dahulu sebelum memanfaatkan KKLS sebagai tujuan wisata atau kepentingan pariwisata.

2.2 REKOMENDASI2.2.1 Rencana Konservasi

Rencana konservasi adalah alat untuk mengelola secara efektif sebuah situs warisan budaya yang didasarkan pada gagasan kunci. Jika masyarakat telah dan benar-benar tahu dan dapat

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 73: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

57

mengartikulasikan hal tersebut maka situs tersebut memang menjadi penting. Dan masyarakat akan mampu melindungi dan mengelola situs dengan benar.

2.2.2 Tahapan Awal Sebelum Memulai Rencana Konservasi

Tahap I : Memahami Tempat Bersejarah; Memahami subjek tempat bersejarah untuk Rencana Konservasi sangat penting untuk dapat membuat keputusan yang berbasis nilai untuk konservasinya. Ada tiga komponen yang harus disampaikan ketika berusaha memahami tempat bersejarah, yakni: deskripsi, konteks perencanaan, kronologi

Tahap II : Evaluasi Signifikansi; Memahami nilai-nilai warisan dan pentingnya suatu tempat bersejarah merupakan bagian integral, untuk membimbing pengembangan kebijakan dalam rencana konservasi. Tujuan dari konservasi adalah untuk mempertahankan nilai-nilai warisan dari tempat bersejarah di saat perubahan terjadi, sehingga artikulasi yang jelas dari nilai-nilai dari tempat itu sangat penting di dalam pengembangan rencana yang efektif dan praktis. Analisis dilakukan di tahap ini disintesiskan didalam dokumen yang disebut Pernyataan Signifikansi (Statement of Significant) yang berisi semua informasi yang diperlukan untuk mengartikulasikan nilai-nilai dari tempat bersejarah tersebut secara jelas, didalam memandu pengembangan kebijakan konservasi. Fokus utama dari Tahap II adalah pada artikulasi nilai-nilai warisan, dan identifikasi dari penetapan elemen-elemen yang menentukan sebuah karakter. Pertimbangan dalam mengembangkan bagian tersebut dari rencana konservasi adalah sebagai berikut:1. Nilai Warisan - Dalam beberapa kasus

pernyataan signifikansi mungkin sudah ada untuk tempat tesebut. Jika demikian, mungkin memerlukan perluasan, mengatur atau menulis ulang sebagai pemahaman yang dalam (Tahap I).

2. Elemen - Elemen yang mendefinisikan karakter (Character Defining Elements -CDES) adalah unsur-unsur fisik dan kadang-kadang tak berwujud dari suatu tempat yang harus dilestarikan supaya tetap

dapat dipertahankan. Memberikan informasi yang jelas tentang masing-masing elemen, sehingga kebijakan yang dikembangkan untuk konservasi dapat secara jelas berkaitan dengan CDES.

Tahap III ; Menilai Dampak Potensial Perencanaan konservasi harus melampaui suatu pertimbangan yang hanya terdiri dari tindakan fisik pelestarian, rehabilitasi, atau restorasi yang dapat mempengaruhi nilai-nilai dari sebuah tempat bersejarah. Berikut ini adalah daftar pendek-faktor yang dapat memiliki potensi pada nilai-nilai warisan:� Peningkatan aksesibilitas� Rencana arkeologi terhadap suatu situs � Spesifikasi untuk perbaikan / penggantian /

pemulihan elemen yang didefinisikan sebagai karakter� Peningkatan terhadap jumlah penyewa� Penataan interior maupun eksterior� Rencana tanggap darurat� Peningkatan terhadap kontrol Lingkungan� Deteksi terhadap bahaya kebakaran� Rencana pemeliharaan untuk tempat bersejarah� Program Pemeliharaan: jangka pendek,

menengah dan panjang� Peningkatan keamanan.

2.2.3 Pemanfaatan Sebuah Rencana Konservasi

Rencana konservasi harus digunakan sebagai panduan. Rencana konservasi dapat diberikan kepada profesional yang terdaftar untuk memandu pekerjaan desain mereka. Istilah ‘Signifikansi budaya’ sering digunakan untuk merujuk pada kumpulan berbagai nilai yang terkait suatu tempat, yang bersama-sama mengidentifikasikan tentang pentingnya tempat tersebut. Piagam Burra (Australia ICOMOS, 1999, h. 2) menunjukkan bahwa “signifikansi budaya diwujudkan secara langsung di tempat itu sendiri, baik secara bentukannya, pengaturan, penggunaan, asosiasi, makna, catatan, tempat-tempat dan obyek yang terkai’’. Dalam nada yang sama, Piagam Burra (Australia ICOMOS, 1999) menunjukkan: ada tempat-tempat yang layak disimpan karena mereka memperkaya hidup kita - dengan membantu

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang

Page 74: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

58

kita memahami masa lalu, dengan berkontribusi terhadap kekayaan lingkungan ini; dan karena kita mengharapkan tempat-tempat tersebut untuk dapat menjadi nilai bagi generasi mendatang.

Rencana konservasi pada dasarnya adalah alat manajemen berbasis pada pengembangan kerangka kerja manajemen dan rencana aksi yang mengidentifikasi peluang dan kendala menjelaskan tujuan dan sasaran dalam konservasi dapat tercapai. Setelah penelitian tersebut selesai, rencana konservasi harus dapat berkembang menjadi sebuah dokumen pekerjaan, yaitu pengumpulan informasi untuk suatu tujuan dan bukan sebagai tujuan itu sendiri. Rencana konservasi harus mampu menyediakan:� Sarana yang siap diperlukan dalam perawatan

dan pengelolaan, atau untuk persiapan merinci rencana manajemen dan masterplan

� Persyaratan didalam memandu perencanaan pekerjaan baru

� Sebagai dasar dalam menilai proposal tentang pengembangan atau perubahan suatu tempat bersejarah

� Sebuah jaminan kepada lembaga warisan budaya dan lembaga pendanaan, bahwa proyek-proyek tersebut mengarah pada suatu hal yang benar

� Sebuah bantuan yang berharga dalam mengurangi konflik - terutama karena proses konsultasi di dalam penyusunan rencana.

2.2.4 Format dan Isi Rencana KonservasiKarena setiap situs warisan adalah unik

standarisasi rencana konservasi dapat menjadi sesuatu yang berbahaya karena :� Menghasilkan suatu formula sebagai pendekatan

dalam menentukan signifikansi, menimbulkan kegagalan untuk menghargai, atau bahkan mengabaikan, informasi dari sumber-sumber non-standar

� Ada kemungkinan gagal didalam memperhitungkan konteks dan penggunaan tertentu dari sebuah situs

� Ada kemungkinan tidak terfokus pada kebijakan rencana konservasi dan tidak mampu digunakan

sebagai alat didalam mempraktikkan manajemen sehingga detail dan isi dari rencana konservasi harus ditentukan oleh karakteristik situs dan konteks operasinya, dan selalu melibatkan beberapa langkah sebagai berikut :

- Menilai signifikansi budaya- Mengembangkan kebijakan dan strategi

konservasi- Melaksanakan strategi konservasi

2.1.5 Tim Penyusun Rencana Konservasi

Tim penulis rencana konservasi harus mencerminkan kerumitan dan kualitas dari situs warisan tersebut, serta tujuan yang spesifik dari rencana konservasi itu sendiri. Untuk situs yang lebih kompleks jelas membutuhkan sebuah tim yang multidisiplin, tetapi yang dipilih berdasarkan keterampilan khusus dan kualitas daripada profesional dalam konteks disiplin yang lebih sempit. Karena ada dilema yang lebih penting untuk dihadapi yakni ketika berhadapan dengan penentuan signifikansi yang akan terkait dengan integritas produk. Tujuannya adalah tentang bagaimana untuk mengumpulkan bukti-bukti, dan menafsirkan signifikansi dari bukti-bukti tersebut.

Penutup

Melalui konsep berfikir pengelolaan sumberdaya budaya materi maka ‘arkeologi terapan’ yang dinamakan CRM/ARM/AHM bisa segera berbenah untuk mempersiapkan masyarakat arkeologi (preparing archaeologist for management). Bahkan untuk mahasiswa arkeologi, ini merupakan hal yang akan sangat menyenangkan karena akan menjadi stimuli dalam proses belajar; bagaimana menjadi seorang manajer ‘perusahaan budaya’, mengembangkan teknik representasi baru yang oleh Stephanie Moser (Archaeological Theory Today, 2001) disebut‘non-academic mode’. Jiwa wirausaha, berpikir strategis tetap diperlukan bagi masyarakat arkeologi bahkan segera, karena negara ini sungguh sedang mengalami kesulitan yang sebenarnya kita ciptakan sendiri.

Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 7, Nomor 1, September 2013, Hal 40-59

Page 75: Daftar Isi - borobudurpedia.idborobudurpedia.id/media/document/book-fullfile-5a7c00af049dd... · Tes Anti Jamur dan Anti Serangga Ari Swastikawati 16 - 22 Konservasi Keramik Bawah

59

Daftar Pustaka

Blockley, Marion,. The Marketing Plan ‘Archaeologist in the Marketplace’dalam Cooper et.al, Managing Archaeology. Routledge, London and New York, 1995.

Cleere, Henry, Approaches to the Archaeological Heritage. Cambridge: Cambridge University Press, 1984.

Darvill, Timothy,. Value Systems in Archaelogy dalam Cooper et.al, Managing Archaeology. Routledge, London and New York, 1995.

Kotler, Philip, Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan Pengendalian buku 1, Penerbit Salemba Empat, 1995, (Terjemahan dari : Marketing Management, New Jersey: A Paramount Communication Company Englewood Cliffs, 1994).

Kriswandhono, dkk, Grand Design Kawasan Kota Lama Semarang, Bappeda Kota Semarang, 2011

Moser, Stephanie, Archaeological Theory Today, edited by Ian Hodder, 2001

Robbin, Stephen P & Marry Coulter.2004, Manajemen. Edisi Bahasa Indonesia. Edisi ke-7. Jilid 1.Prentice-Hall. Inc. PT INDEKS Kelompok Gramedia.

Stoner, James AF., Manajemen. Edisi Bahasa Indonesia, alih bahasa Drs. Alexander Sindoro, Jakarta: PT Prehalindo. 1996.

Kriswandhono, Tantangan dan Peluang Pengelolaan Cagar Budaya dari Perspektif Arkeologi : Kasus Kawasan Kota Lama Semarang