Daftar Isi seberapasimlit.puspijak.org/files/other/Vol__4_No__2.pdf · Sebenarnya permasalahannya...

8
PENETAPAN BUSINESS AS USUAL EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR KEHUTANAN: seberapa pentingkah P ada saat Presiden RI menyatakan target nasional untuk menurunkan emisi 26% atau 14% untuk sektor kehutanan sampai tahun 2020, pertanyaan pertama yang muncul antara lain adalah dapatkah target tersebut dicapai atau apakah target tersebut realistik? Sebenarnya permasalahannya bukan pada angka target 26% atau 41% tetapi realistik/tidaknya target tersebut akan sangat tergantung pada angka BAU yang digunakan. Daftar Isi Profil Emisi Sektor Kehutanan 2 Sumber Emisi Sektor Kehutanan 3 Sumber Serapan/ Penambahan Stok Carbon Hutan 3 Pendekatan dalam Penetapan BAU 3 Penutup 8 Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim dimasukan dalam kategori LULUCF ( Land use, land use change and forestry), atau kemudian dikenal dengan AFOLU ( Agriculture, Foretsry and Land Use ) memainkan peranan penting dalam siklus karbon global. Emisi GRK sektor kehutanan dari Indonesia, masih yang terbesar dibandingkan dengan sektor lain atau 48%. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi 26% sampai tahun 2020, sehingga kontribusi penurunan emisi dari sektor kehutanan menjadi sangat penting. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Policy ISSN : 2085-787X Volume 4 No. 2 Tahun 2010 Tim Penulis : Ari Wibowo, Mega Lugina, Indartik, Nunung Parlinah, Kirsfianti L. Ginoga dengan Nara Sumber Nur Masripatin

Transcript of Daftar Isi seberapasimlit.puspijak.org/files/other/Vol__4_No__2.pdf · Sebenarnya permasalahannya...

PENETAPAN

BUSINESS AS USUAL

EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR KEHUTANAN:

seberapapentingkah

P ada saat Presiden RI menyatakan target nasional untuk menurunkan emisi 26% atau 14% untuk sektor kehutanan sampai tahun 2020, pertanyaan

pertama yang muncul antara lain adalah dapatkah target tersebut dicapai atau apakah target tersebut realistik? Sebenarnya permasalahannya bukan pada angka target 26% atau 41% tetapi realistik/tidaknya target tersebut akan sangat tergantung pada angka BAU yang digunakan.

Daftar Isi

Profil Emisi Sektor Kehutanan

2

Sumber Emisi Sektor Kehutanan

3

Sumber Serapan/Penambahan Stok Carbon Hutan

3

Pendekatan dalam Penetapan BAU

3

Penutup 8

Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim dimasukan dalam kategori LULUCF (Land use, land use change and forestry), atau kemudian dikenal dengan AFOLU (Agriculture, Foretsry and Land Use) memainkan peranan penting dalam siklus karbon global. Emisi GRK sektor kehutanan dari Indonesia, masih yang terbesar dibandingkan dengan sektor lain atau 48%. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisi 26% sampai tahun 2020, sehingga kontribusi penurunan emisi dari sektor kehutanan menjadi sangat penting.

Kementerian KehutananBadan Penelitian dan Pengembangan KehutananPusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Policy

ISSN : 2085-787X

Volume 4 No. 2 Tahun 2010

Tim Penulis : Ari Wibowo, Mega Lugina, Indartik, Nunung Parlinah, Kirsfianti L. Ginoga dengan Nara Sumber Nur Masripatin

Berdasarkan hasil inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional yang menggunakan base-year tahun 2000 (2nd National Communication, 2009), sektor kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter) yang umumnya berasal dari deforestasi dan degradasi serta kebakaran hutan termasuk gambut. Disisi lain, sektor ini juga mempunyai potensi besar untuk menyerap GRK (removal) melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan. Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia jauh sebelum isu perubahan iklim berkembang. Penanaman melalui pembangunan hutan tanaman dari tahun 1989 hingga tahun 2004 telah mencapai 3,25 juta hektar (Dephut, 2007).

Penyebab deforestasi dan degradasi hutan di dunia cukup beragam, namun pada umumnya terkait dengan kegiatan ekonomi. Untuk Indonesia, beberapa faktor pemicu deforestasi dan degradasi yang telah diidentifikasi yaitu pertambahan jumlah penduduk, penebangan liar; kebakaran hutan; dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah seperti untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman.

Target pemerintah untuk menurunkan tingkat emisi 26% atau 14% untuk sektor kehutanan sampai tahun 2020 perlu diterjemahkan dengan tindakan nyata di lapangan, yang dapat diukur, dapat dilaporkan secara transparan dan diverifikasi oleh pihak independen. Kuantifikasi upaya menurunkan tingkat emisi perlu didasarkan kepada pengurangan sumber-sumber emisi dari sektor kehutanan, serta mengacu kepada pemahaman mengenai BAU (Business as Usual). BAU emisi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai emisi dari hutan pada kondisi tanpa upaya khusus mitigasi, dan dijadikan sebagai dasar perhitungan pengurangan emisi. Dalam tulisan ini beberapa opsi pendekatan penetapan BAU dianalisis dan disajikan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan penghitungan pengurangan emisi sesuai persentase target yang telah ditetapkan.

Profil Emisi Sektor KehutananSebagai gambaran tentang besarnya emisi dari berbagai sektor di Indonesia, dapat dilihat hasil inventarisasi GRK yang dilakukan untuk penyusunan Second National Communication (SNC) seperti tertera pada Gambar 1 (KLH, 2009).

Energy21%

Industry3%

Agriculture5%

LUCF48%

Peat Fire12%

Waste11%

Gambar 1. Kontribusi sektor dalam emisi GRK dengan base-year tahun 2000

Besarnya emisi dari sektor Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) pada tahun 2000-2005 terutama berasal dari deforestasi dengan laju deforestasi pada tahun 2000-2005 seluas 5.45 juta ha atau rata-rata 1.1. juta ha. Selain dari deforestasi, kontribusi GRK dari sektor LULUCF berasal dari kebakaran lahan gambut dan lahan gambut yang diolah.

LU

2

Sumber Emisi Sektor KehutananDari hasil inventarisasi dengan base-year tahun 2000 diketahui bahwa sumber emisi utama sektor LULUCF adalah deforestasi, kebakaran gambut dan lahan gambut yang diolah. Diperkirakan sampai dengan tahun 2020 deforestasi masih akan terjadi karena kebutuhan pembangunan dan berbagai aktivitias manusia, apabila tidak ada intervensi kebijakan untuk menurunkan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memprediksi besarnya deforestasi di Indonesia diantaranya yang terpenting adalah terjadinya pertambahan penduduk, pertambangan di kawasan hutan, pertanian/perkebunan, konversi hutan, kebakaran gambut dan drainase lahan gambut, dan degradasi.

Sumber Serapan/

Penambahan Stok Carbon HutanSektor kehutanan memiliki kemampuan untuk menyerap/menambah stok karbon. Dalam BAU serapan karbon diperoleh dari peningkatan stok karbon melalui pertumbuhan hutan baik hutan tanaman maupun hutan alam. Untuk serapan angka luas hutan primer didasarkan atas angka tahun 2005 yaitu hutan primer seluas 36,467 juta ha, hutan sekunder 54,648 juta ha dan hutan tanaman 2,782 juta ha. Untuk faktor serapan/penambahan stok carbon, hutan primer tumbuh sebesar 0.25 ton biomas/ha/tahun, hutan sekunder 1.16 sampai 2.23 ton (rata-rata biomas/ha/tahun. Sedangkan pertumbuhan hutan tanaman sebesar 5.8- 16.25 ton (rata-rata 11.025 ton) biomasa/ha/tahun untuk jenis cepat tumbuh dan lambat tumbuh.

Luas penanaman sebagai kondisi BAU berdasarkan data dari tahun 1970-2006, menunjukkan rata-rata penanaman dari berbagai program sebesar 150.000-300.000 ha / tahun. Dengan demikian untuk BAU, salah satu alternatif adalah dengan asumsi luas hutan tanaman naik 150.000 sampai 300.000 ha/tahun.

Pendekatan dalam Penetapan BAU

Salah satu penentu besarnya emisi dalam kondisi BAU adalah laju deforestasi. Opsi-opsi dalam menentukan besarnya emisi dalam kondisi BAU ditentukan oleh asumsi dan prediksi besarnya faktor-faktor kombinasi yang menyebabkan terjadinya deforestasi yaitu laju pertumbuhan penduduk, kebijakan konversi, pembukaan areal hutan untuk pertambangan, serta perubahan penggunaan hutan untuk tanaman pertanian, perkebunan dan hutan tanaman industri.

Pendekatan 1:

Emisi BAU (asumsi: luas deforestasi tetap 1 juta ha)Berdasarkan data yang tersedia sampai saat ini, maka salah satu opsi BAU yang dianggap telah mengakomodasi berbagai faktor penyebab deforestasi adalah angka rata-rata deforestasi seluas 1 juta ha yang didasarkan analisis spatial laju deforestasi tahun 2000-2005, atau berdasar “Data Historis”. Estimasi besarnya emisi dari asumsi besarnya deforestasi, kebakaran gambut, logging dan drainase lahan gambut tertera pada Gambar 2.

3

Berdasarkan hasil inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional yang menggunakan base-year tahun 2000 (2nd National Communication, 2009), sektor kehutanan merupakan pengemisi GRK (net emitter) yang umumnya berasal dari deforestasi dan degradasi serta kebakaran hutan termasuk gambut. Disisi lain, sektor ini juga mempunyai potensi besar untuk menyerap GRK (removal) melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan. Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia jauh sebelum isu perubahan iklim berkembang. Penanaman melalui pembangunan hutan tanaman dari tahun 1989 hingga tahun 2004 telah mencapai 3,25 juta hektar (Dephut, 2007).

Penyebab deforestasi dan degradasi hutan di dunia cukup beragam, namun pada umumnya terkait dengan kegiatan ekonomi. Untuk Indonesia, beberapa faktor pemicu deforestasi dan degradasi yang telah diidentifikasi yaitu pertambahan jumlah penduduk, penebangan liar; kebakaran hutan; dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah seperti untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman.

Target pemerintah untuk menurunkan tingkat emisi 26% atau 14% untuk sektor kehutanan sampai tahun 2020 perlu diterjemahkan dengan tindakan nyata di lapangan, yang dapat diukur, dapat dilaporkan secara transparan dan diverifikasi oleh pihak independen. Kuantifikasi upaya menurunkan tingkat emisi perlu didasarkan kepada pengurangan sumber-sumber emisi dari sektor kehutanan, serta mengacu kepada pemahaman mengenai BAU (Business as Usual). BAU emisi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai emisi dari hutan pada kondisi tanpa upaya khusus mitigasi, dan dijadikan sebagai dasar perhitungan pengurangan emisi. Dalam tulisan ini beberapa opsi pendekatan penetapan BAU dianalisis dan disajikan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan penghitungan pengurangan emisi sesuai persentase target yang telah ditetapkan.

Profil Emisi Sektor KehutananSebagai gambaran tentang besarnya emisi dari berbagai sektor di Indonesia, dapat dilihat hasil inventarisasi GRK yang dilakukan untuk penyusunan Second National Communication (SNC) seperti tertera pada Gambar 1 (KLH, 2009).

Energy21%

Industry3%

Agriculture5%

LUCF48%

Peat Fire12%

Waste11%

Gambar 1. Kontribusi sektor dalam emisi GRK dengan base-year tahun 2000

Besarnya emisi dari sektor Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) pada tahun 2000-2005 terutama berasal dari deforestasi dengan laju deforestasi pada tahun 2000-2005 seluas 5.45 juta ha atau rata-rata 1.1. juta ha. Selain dari deforestasi, kontribusi GRK dari sektor LULUCF berasal dari kebakaran lahan gambut dan lahan gambut yang diolah.

LU

2

Sumber Emisi Sektor KehutananDari hasil inventarisasi dengan base-year tahun 2000 diketahui bahwa sumber emisi utama sektor LULUCF adalah deforestasi, kebakaran gambut dan lahan gambut yang diolah. Diperkirakan sampai dengan tahun 2020 deforestasi masih akan terjadi karena kebutuhan pembangunan dan berbagai aktivitias manusia, apabila tidak ada intervensi kebijakan untuk menurunkan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memprediksi besarnya deforestasi di Indonesia diantaranya yang terpenting adalah terjadinya pertambahan penduduk, pertambangan di kawasan hutan, pertanian/perkebunan, konversi hutan, kebakaran gambut dan drainase lahan gambut, dan degradasi.

Sumber Serapan/

Penambahan Stok Carbon HutanSektor kehutanan memiliki kemampuan untuk menyerap/menambah stok karbon. Dalam BAU serapan karbon diperoleh dari peningkatan stok karbon melalui pertumbuhan hutan baik hutan tanaman maupun hutan alam. Untuk serapan angka luas hutan primer didasarkan atas angka tahun 2005 yaitu hutan primer seluas 36,467 juta ha, hutan sekunder 54,648 juta ha dan hutan tanaman 2,782 juta ha. Untuk faktor serapan/penambahan stok carbon, hutan primer tumbuh sebesar 0.25 ton biomas/ha/tahun, hutan sekunder 1.16 sampai 2.23 ton (rata-rata biomas/ha/tahun. Sedangkan pertumbuhan hutan tanaman sebesar 5.8- 16.25 ton (rata-rata 11.025 ton) biomasa/ha/tahun untuk jenis cepat tumbuh dan lambat tumbuh.

Luas penanaman sebagai kondisi BAU berdasarkan data dari tahun 1970-2006, menunjukkan rata-rata penanaman dari berbagai program sebesar 150.000-300.000 ha / tahun. Dengan demikian untuk BAU, salah satu alternatif adalah dengan asumsi luas hutan tanaman naik 150.000 sampai 300.000 ha/tahun.

Pendekatan dalam Penetapan BAU

Salah satu penentu besarnya emisi dalam kondisi BAU adalah laju deforestasi. Opsi-opsi dalam menentukan besarnya emisi dalam kondisi BAU ditentukan oleh asumsi dan prediksi besarnya faktor-faktor kombinasi yang menyebabkan terjadinya deforestasi yaitu laju pertumbuhan penduduk, kebijakan konversi, pembukaan areal hutan untuk pertambangan, serta perubahan penggunaan hutan untuk tanaman pertanian, perkebunan dan hutan tanaman industri.

Pendekatan 1:

Emisi BAU (asumsi: luas deforestasi tetap 1 juta ha)Berdasarkan data yang tersedia sampai saat ini, maka salah satu opsi BAU yang dianggap telah mengakomodasi berbagai faktor penyebab deforestasi adalah angka rata-rata deforestasi seluas 1 juta ha yang didasarkan analisis spatial laju deforestasi tahun 2000-2005, atau berdasar “Data Historis”. Estimasi besarnya emisi dari asumsi besarnya deforestasi, kebakaran gambut, logging dan drainase lahan gambut tertera pada Gambar 2.

3

10000120001400016000

Emisi kumulatif CO2 sampai tahun 2020 

02000400060008000

2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2006

007

008

009

010

011

012

013

014

015

016

017

018

019

020

Emisi BAU dengan kebakaran dan drainase gambut

Emisi BAU tanpa Kebakaran dan drainase gambut 

Emisi  BAU tanpa kebakaran

Emisi kumulatifCO2 (juta ton)

Tahun

Gambar 2. Estimasi akumulasi emisi BAU opsi 1 sampai tahun 2020

Grafik tersebut didasarkan asumsi yaitu:

• Luas deforestasi rata-rata 1 juta ha/tahun • Emisi kebakaran gambut 466 juta ton/tahun• Emisi degradasi (logging) 31,8 juta m3 kayu atau setara dengan 123 juta ton CO2 per

tahun• Emisi lahan gambut diolah dengan faktor emisi 10 ton/ha/tahun dari luas areal 4.5 juta

ha, dan naik 50.000 ha/tahun • Serapan Hutan alam primer dengan pertumbuhan 0.25 tb/ha/tahun seluas 36.5 juta ha,

berkurang 500.000 ha/tahun • Serapan hutan alam sekunder dengan pertumbuhan 1.7 tb/ha/tahun dari luas 54.6 juta

ha, berkurang 500.000 ha/tahun • Serapan hutan tanaman dengan pertumbuhan 11 tb/ha/tahun seluas 2.7 juta ha, bertam-

bah 300.000 ha/tahun

Dari gambar 2 terlihat bahwa estimasi emisi kumulatif BAU yang dihitung sejak tahun 2006 (1) dengan memperhitungkan kebakaran dan drainase lahan gambut mencapai 15,131.4 juta ton CO2, atau rata-rata per tahun sebesar 1,010 juta ton CO2, (2) tanpa memperhitungkan kebakaran dan tanpa drainase lahan gambut mencapai 5474 juta ton CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 367.1 juta ton CO2 dan (3) tanpa memperhitungkan kebakaran tetapi termasuk drainase lahan gambut mencapai 8141.4 juta ton CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 544 juta ton CO2

Pendekatan 2:

Emisi BAU (asumsi: luas deforestasi meningkat 10% atau 100.000 ha setiap tahun)

Opsi BAU lain adalah kecenderungan peningkatan deforestasi karena pertambahan jumlah penduduk, konversi hutan menjadi lahan pertanian dan pertambangan. Peningkatan laju deforestasi masih mungkin terjadi karena ketersediaan lahan hutan produksi yang bisa dikonversi. Diasumsikan bahwa laju deforestasi maksimum adalah 1.500.000 ha/tahun Selain itu dari berbagai studi cenderung terjadi peningkatan degradasi karena logging baik legal maupun ilegal guna memenuhi kebutuhan kayu dalam negeri dan eksport.

4

Untuk serapan diasumsikan bahwa pembangunan hutan tanaman hanya 150.000 ha per tahun, berdasarkan rata-rata capaian pembangunan hutan tanaman melalui berbagi program penanaman selama ini. Hasil perhitungan emisi BAU apabila terjadi peningkatan laju deforestasi dan degradasi dapat dilihat pada Gambar 3.

15000

20000

Emisi kumulatif CO2 sampai tahun 2020 

0

5000

10000

20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20006

007

008

009

010

011

012

013

014

015

016

017

018

019

020

Kumulatif Emisi BAU dengan kebakaran dan drainase gambut

Kumulatif Emisi BAU tanpa Kebakaran dan drainase gambut 

Kumulatif Emisi  BAU tanpa kebakaran

Emisi kumulatifCO2 (juta ton)

Tahun

Gambar 3. Estimasi akumulasi emisi BAU opsi 2 sampai tahun 2020

Grafik tersebut didasarkan asumsi yaitu:

• Luas deforestasi meningkat 10% atau 100.000 ha setiap tahun sampai tahun 2020 • Emisi kebakaran gambut 466 juta ton/tahun• Emisi degradasi (logging) terjadi peningkatan yaitu 69 juta m3 tahun 2007 menjadi 95

juta m3 tahun 2014 atau kenaikan 3.7 juta m3 per tahun (Widyantoro dan Sukardi, 2007)• Emisi lahan gambut diolah dengan faktor emisi 10 ton/ha/tahun dari luas areal 4.5 juta

ha, dan naik 50.000 ha/tahun • Serapan Hutan alam primer dengan pertumbuhan 0.25 tb/ha/tahun seluas 36.5 juta ha,

berkurang 500.000 + 50.000 ha/tahun • Serapan hutan alam sekunder dengan pertumbuhan 1.7 tb/ha/tahun dari luas 54.6 juta

ha, berkurang 500.000 + 50.000 ha/tahun • Serapan hutan tanaman dengan pertumbuhan 11 tb/ha/tahun seluas 2.7 juta ha, bertam-

bah 300.000 ha/tahun

Dari gambar 3 terlihat bahwa estimasi emisi kumulatif BAU yang dihitung sejak tahun 2006 (1) dengan memperhitungkan kebakaran dan drainase lahan gambut mencapai 18,285.9 juta ton CO2, atau rata-rata per tahun sebesar 1,219.1 juta ton CO2, (2) tanpa memperhitungkan kebakaran dan tanpa drainase lahan gambut mencapai 8,628.5 juta ton CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 575.2 juta ton CO2 dan (3) tanpa memperhitungkan kebakaran tetapi termasuk drainase lahan gambut mencapai 11,295.9 juta ton CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 753.1 juta ton CO2

5

10000120001400016000

Emisi kumulatif CO2 sampai tahun 2020 

02000400060008000

2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2006

007

008

009

010

011

012

013

014

015

016

017

018

019

020

Emisi BAU dengan kebakaran dan drainase gambut

Emisi BAU tanpa Kebakaran dan drainase gambut 

Emisi  BAU tanpa kebakaran

Emisi kumulatifCO2 (juta ton)

Tahun

Gambar 2. Estimasi akumulasi emisi BAU opsi 1 sampai tahun 2020

Grafik tersebut didasarkan asumsi yaitu:

• Luas deforestasi rata-rata 1 juta ha/tahun • Emisi kebakaran gambut 466 juta ton/tahun• Emisi degradasi (logging) 31,8 juta m3 kayu atau setara dengan 123 juta ton CO2 per

tahun• Emisi lahan gambut diolah dengan faktor emisi 10 ton/ha/tahun dari luas areal 4.5 juta

ha, dan naik 50.000 ha/tahun • Serapan Hutan alam primer dengan pertumbuhan 0.25 tb/ha/tahun seluas 36.5 juta ha,

berkurang 500.000 ha/tahun • Serapan hutan alam sekunder dengan pertumbuhan 1.7 tb/ha/tahun dari luas 54.6 juta

ha, berkurang 500.000 ha/tahun • Serapan hutan tanaman dengan pertumbuhan 11 tb/ha/tahun seluas 2.7 juta ha, bertam-

bah 300.000 ha/tahun

Dari gambar 2 terlihat bahwa estimasi emisi kumulatif BAU yang dihitung sejak tahun 2006 (1) dengan memperhitungkan kebakaran dan drainase lahan gambut mencapai 15,131.4 juta ton CO2, atau rata-rata per tahun sebesar 1,010 juta ton CO2, (2) tanpa memperhitungkan kebakaran dan tanpa drainase lahan gambut mencapai 5474 juta ton CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 367.1 juta ton CO2 dan (3) tanpa memperhitungkan kebakaran tetapi termasuk drainase lahan gambut mencapai 8141.4 juta ton CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 544 juta ton CO2

Pendekatan 2:

Emisi BAU (asumsi: luas deforestasi meningkat 10% atau 100.000 ha setiap tahun)

Opsi BAU lain adalah kecenderungan peningkatan deforestasi karena pertambahan jumlah penduduk, konversi hutan menjadi lahan pertanian dan pertambangan. Peningkatan laju deforestasi masih mungkin terjadi karena ketersediaan lahan hutan produksi yang bisa dikonversi. Diasumsikan bahwa laju deforestasi maksimum adalah 1.500.000 ha/tahun Selain itu dari berbagai studi cenderung terjadi peningkatan degradasi karena logging baik legal maupun ilegal guna memenuhi kebutuhan kayu dalam negeri dan eksport.

4

Untuk serapan diasumsikan bahwa pembangunan hutan tanaman hanya 150.000 ha per tahun, berdasarkan rata-rata capaian pembangunan hutan tanaman melalui berbagi program penanaman selama ini. Hasil perhitungan emisi BAU apabila terjadi peningkatan laju deforestasi dan degradasi dapat dilihat pada Gambar 3.

15000

20000

Emisi kumulatif CO2 sampai tahun 2020 

0

5000

10000

20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20006

007

008

009

010

011

012

013

014

015

016

017

018

019

020

Kumulatif Emisi BAU dengan kebakaran dan drainase gambut

Kumulatif Emisi BAU tanpa Kebakaran dan drainase gambut 

Kumulatif Emisi  BAU tanpa kebakaran

Emisi kumulatifCO2 (juta ton)

Tahun

Gambar 3. Estimasi akumulasi emisi BAU opsi 2 sampai tahun 2020

Grafik tersebut didasarkan asumsi yaitu:

• Luas deforestasi meningkat 10% atau 100.000 ha setiap tahun sampai tahun 2020 • Emisi kebakaran gambut 466 juta ton/tahun• Emisi degradasi (logging) terjadi peningkatan yaitu 69 juta m3 tahun 2007 menjadi 95

juta m3 tahun 2014 atau kenaikan 3.7 juta m3 per tahun (Widyantoro dan Sukardi, 2007)• Emisi lahan gambut diolah dengan faktor emisi 10 ton/ha/tahun dari luas areal 4.5 juta

ha, dan naik 50.000 ha/tahun • Serapan Hutan alam primer dengan pertumbuhan 0.25 tb/ha/tahun seluas 36.5 juta ha,

berkurang 500.000 + 50.000 ha/tahun • Serapan hutan alam sekunder dengan pertumbuhan 1.7 tb/ha/tahun dari luas 54.6 juta

ha, berkurang 500.000 + 50.000 ha/tahun • Serapan hutan tanaman dengan pertumbuhan 11 tb/ha/tahun seluas 2.7 juta ha, bertam-

bah 300.000 ha/tahun

Dari gambar 3 terlihat bahwa estimasi emisi kumulatif BAU yang dihitung sejak tahun 2006 (1) dengan memperhitungkan kebakaran dan drainase lahan gambut mencapai 18,285.9 juta ton CO2, atau rata-rata per tahun sebesar 1,219.1 juta ton CO2, (2) tanpa memperhitungkan kebakaran dan tanpa drainase lahan gambut mencapai 8,628.5 juta ton CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 575.2 juta ton CO2 dan (3) tanpa memperhitungkan kebakaran tetapi termasuk drainase lahan gambut mencapai 11,295.9 juta ton CO2 atau rata-rata per tahun sebesar 753.1 juta ton CO2

5

Pendekatan 3:

Menggunakan Model Regresi untuk menghitung Emisi BAU

Pendekatan 3 didasarkan pada analisa regresi (model) untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di kawasan hutan (y) yang dipengaruhi oleh kepadatan penduduk (x1), perluasan areal perkebunan kelapa sawit besar (swasta dan negara) (x2), perluasan areal perkebunan karet swasta (x3) dan penambahan areal HTI (x4). Perubahan penutupan lahan di kawasan hutan merupakan representasi berbagai aktifitas yang terjadi di kawasan hutan, yang secara langsung berpengaruh terhadap laju deforestasi. Sedangkan faktor yang mempengaruhinya (x) dipilih karena diduga sebagai faktor utama yang menyebabkan perubahan punutupan hutan. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya keperluan akan lahan untuk tempat tinggal, yang dalam model ini didekati dengan kepadatan penduduk.

Peningkatan jumlah penduduk juga berimplikasi terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi, yang didekati melalui peningkatan kebutuhan lahan untuk perkebunan sawit dan karet. Pemilihan variable kebutuhan lahan untuk sawit difokuskan pada perkebunan besar swasta dan negara, karena memerlukan luas lahan yang relatif besar dibandingkan luas kebun sawit rakyat serta biasanya berada di kawasan hutan, Sedangkan kebun sawit rakyat biasanya berada pada tanah milik. Begitu juga untuk perkebunan karet, difokuskan pada perkebunan karet swasta. Kebutuhan lahan untuk sawit dan karet dipilih karena keduanya secara langsung mendesak keberadaan hutan. Sedangkan variabel yang diduga akan meningkatkan luas penutupan hutan didekati dengan peningkatan luas hutan tanaman (HTI).

Analisa regresi berganda yang menghubungkan variabel dependent (y) dengan keempat variabel independent (x) yang diolah menggunakan software Eviews menghasilkan persamaan seperti pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil Regresi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan di kawasan hutan

7

Tabel 1. Hasil Regresi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

penutupan lahan di kawasan hutan

System: BESTMODEL Estimation Method: Least Squares Date: 04/12/10 Time: 15:26 Sample: 1990 2006 Included observations: 17 Total system (balanced) observations 17

Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C(1) 1.90E+08 21076894 9.000535 0.0000 C(2) -415327.4 205277.6 -2.023247 0.0659 C(3) -4.869382 1.919961 -2.536187 0.0261 C(4) -128.7650 39.52578 -3.257747 0.0069 C(5) 18.78306 10.13511 1.853267 0.0886

Determinant residual covariance 3.12E+12

Equation: FORCOV = C(1) + C(2)*DENSITY + C(3)*SAWITB+ C(4) *KARETS + C(5)*HTI FORCOV=190.000.000-415327.4*DENSITY-4.869382*SAWITB-128.7650*KARETS+18.78306*HTI Observations: 17 R-squared 0.967194 Mean dependent var 1.03E+08 Adjusted R-squared 0.956259 S.D. dependent var 10044750 S.E. of regression 2100791. Sum squared resid 5.30E+13 Durbin-Watson stat 1.533284

Dari Tabel 3, terlihat hasil regresi menunjukkan R-squared sebesar 0,97 atau 97 % penutupan hutan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta serta pembangunan HTI, sisanya sebesar 3 % dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini menunjukkan bahwa model sudah menjelaskan dengan baik perubahan penutupan hutan. Dari ke-empat variabel tersebut, faktor yang paling berpengaruh pada selang kepercayaan 95 % adalah kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta. Sedangkan jika selang kepercayaan yang dipilih adalah 90 %, maka variabel yang berpengaruh adalah kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta serta pembangunan HTI. Kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta memiliki hubungan negatif dengan penutupan hutan, artinya ketiga variabel tersebut akan mengurangi penutupan hutan. Sedangkan pembangunan HTI memiliki hubungan positif dengan penutupan hutan atau meningkatkan penutupan hutan.

6

Dari Tabel 3, terlihat hasil regresi menunjukkan R-squared sebesar 0,97 atau 97 % penutupan hutan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta serta pembangunan HTI, sisanya sebesar 3 % dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini menunjukkan bahwa model sudah menjelaskan dengan baik perubahan penutupan hutan.

Dari ke-empat variabel tersebut, faktor yang paling berpengaruh pada selang kepercayaan 95 % adalah kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta. Sedangkan jika selang kepercayaan yang dipilih adalah 90 %, maka variabel yang berpengaruh adalah kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta serta pembangunan HTI. Kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta memiliki hubungan negatif dengan penutupan hutan, artinya ketiga variabel tersebut akan mengurangi penutupan hutan. Sedangkan pembangunan HTI memiliki hubungan positif dengan penutupan hutan atau meningkatkan penutupan hutan.

Hasil regresi kemudian digunakan untuk memprediksi perubahan penutupan hutan dari tahun 2007 sampai dengan 2020. Prediksi penutupan hutan dilakukan dengan terlebih dahulu memproyeksikan keempat variabel independen. Sedangkan untuk menghitung emisi dari perubahan penutupan hutan, digunakan asumsi rata-rata biomasa per ha adalah 140 ton/ha dengan fraksi karbon sebesar 0.47 (Brown,1997).

Hasil perhitungan untuk bussines as usual (BAU), terjadi penurunan carbon stock setiap tahunnya dari tahun 1990 sebesar 7.966,81 juta ton C menjadi 5.013,35 juta ton C pada tahun 2020. Hal ini berarti terjadi deforestasi rata-rata sebesar 1.496.176 ha per tahun pada periode 1990-2020. Terjadinya penurunan C stok akibat deforestasi menghasilkan emisi CO2 yang terus meningkat dari tahun 1990 sebesar 597.36 juta ton CO2 eq sampai dengan tahun 2020 menjadi sebesar 10.829,32 juta ton CO2 eq, dengan emisi tahunan rata-rata sebesar 360,98 juta ton CO2 eq, seperti terlihat dalam Gambar 4.

8

Hasil regresi kemudian digunakan untuk memprediksi perubahan penutupan hutan dari tahun 2007 sampai dengan 2020. Prediksi penutupan hutan dilakukan dengan terlebih dahulu memproyeksikan keempat variabel independen. Sedangkan untuk menghitung emisi dari perubahan penutupan hutan, digunakan asumsi rata-rata biomasa per ha adalah 140 ton/ha dengan fraksi karbon sebesar 0.47 (Brown,1997). Hasil perhitungan untuk bussines as usual (BAU), terjadi penurunan carbon stock setiap tahunnya dari tahun 1990 sebesar 7.966,81 juta ton C menjadi 5.013,35 juta ton C pada tahun 2020. Hal ini berarti terjadi deforestasi rata-rata sebesar 1.496.176 ha per tahun pada periode 1990-2020. Terjadinya penurunan C stok akibat deforestasi menghasilkan emisi CO2 yang terus meningkat dari tahun 1990 sebesar 597.36 juta ton CO2 eq sampai dengan tahun 2020 menjadi sebesar 10.829,32 juta ton CO2 eq, dengan emisi tahunan rata-rata sebesar 360,98 juta ton CO2 eq, seperti terlihat dalam Gambar 3.

Gambar 4. Proyeksi emisi CO2 hingga tahun 2020 di kawasan hutan

berdasarkan model regresi

PENUTUP

0.00

2,000.00

4,000.00

6,000.00

8,000.00

10,000.00

12,000.00

Mt CO

2e

Tahun

Emisi kumulatif CO2 sampai tahun 2020

2020

Emisi kumulatifCO2 (juta ton)

Emisi prediksiEmisi sesungguhnya

Gambar 4. Proyeksi emisi CO2 hingga tahun 2020 di kawasan hutan berdasarkan model regresi

7

Pendekatan 3:

Menggunakan Model Regresi untuk menghitung Emisi BAU

Pendekatan 3 didasarkan pada analisa regresi (model) untuk mengetahui perubahan penutupan lahan di kawasan hutan (y) yang dipengaruhi oleh kepadatan penduduk (x1), perluasan areal perkebunan kelapa sawit besar (swasta dan negara) (x2), perluasan areal perkebunan karet swasta (x3) dan penambahan areal HTI (x4). Perubahan penutupan lahan di kawasan hutan merupakan representasi berbagai aktifitas yang terjadi di kawasan hutan, yang secara langsung berpengaruh terhadap laju deforestasi. Sedangkan faktor yang mempengaruhinya (x) dipilih karena diduga sebagai faktor utama yang menyebabkan perubahan punutupan hutan. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya keperluan akan lahan untuk tempat tinggal, yang dalam model ini didekati dengan kepadatan penduduk.

Peningkatan jumlah penduduk juga berimplikasi terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi, yang didekati melalui peningkatan kebutuhan lahan untuk perkebunan sawit dan karet. Pemilihan variable kebutuhan lahan untuk sawit difokuskan pada perkebunan besar swasta dan negara, karena memerlukan luas lahan yang relatif besar dibandingkan luas kebun sawit rakyat serta biasanya berada di kawasan hutan, Sedangkan kebun sawit rakyat biasanya berada pada tanah milik. Begitu juga untuk perkebunan karet, difokuskan pada perkebunan karet swasta. Kebutuhan lahan untuk sawit dan karet dipilih karena keduanya secara langsung mendesak keberadaan hutan. Sedangkan variabel yang diduga akan meningkatkan luas penutupan hutan didekati dengan peningkatan luas hutan tanaman (HTI).

Analisa regresi berganda yang menghubungkan variabel dependent (y) dengan keempat variabel independent (x) yang diolah menggunakan software Eviews menghasilkan persamaan seperti pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil Regresi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan di kawasan hutan

7

Tabel 1. Hasil Regresi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

penutupan lahan di kawasan hutan

System: BESTMODEL Estimation Method: Least Squares Date: 04/12/10 Time: 15:26 Sample: 1990 2006 Included observations: 17 Total system (balanced) observations 17

Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C(1) 1.90E+08 21076894 9.000535 0.0000 C(2) -415327.4 205277.6 -2.023247 0.0659 C(3) -4.869382 1.919961 -2.536187 0.0261 C(4) -128.7650 39.52578 -3.257747 0.0069 C(5) 18.78306 10.13511 1.853267 0.0886

Determinant residual covariance 3.12E+12

Equation: FORCOV = C(1) + C(2)*DENSITY + C(3)*SAWITB+ C(4) *KARETS + C(5)*HTI FORCOV=190.000.000-415327.4*DENSITY-4.869382*SAWITB-128.7650*KARETS+18.78306*HTI Observations: 17 R-squared 0.967194 Mean dependent var 1.03E+08 Adjusted R-squared 0.956259 S.D. dependent var 10044750 S.E. of regression 2100791. Sum squared resid 5.30E+13 Durbin-Watson stat 1.533284

Dari Tabel 3, terlihat hasil regresi menunjukkan R-squared sebesar 0,97 atau 97 % penutupan hutan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta serta pembangunan HTI, sisanya sebesar 3 % dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini menunjukkan bahwa model sudah menjelaskan dengan baik perubahan penutupan hutan. Dari ke-empat variabel tersebut, faktor yang paling berpengaruh pada selang kepercayaan 95 % adalah kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta. Sedangkan jika selang kepercayaan yang dipilih adalah 90 %, maka variabel yang berpengaruh adalah kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta serta pembangunan HTI. Kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta memiliki hubungan negatif dengan penutupan hutan, artinya ketiga variabel tersebut akan mengurangi penutupan hutan. Sedangkan pembangunan HTI memiliki hubungan positif dengan penutupan hutan atau meningkatkan penutupan hutan.

6

Dari Tabel 3, terlihat hasil regresi menunjukkan R-squared sebesar 0,97 atau 97 % penutupan hutan dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta serta pembangunan HTI, sisanya sebesar 3 % dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini menunjukkan bahwa model sudah menjelaskan dengan baik perubahan penutupan hutan.

Dari ke-empat variabel tersebut, faktor yang paling berpengaruh pada selang kepercayaan 95 % adalah kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta. Sedangkan jika selang kepercayaan yang dipilih adalah 90 %, maka variabel yang berpengaruh adalah kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta serta pembangunan HTI. Kepadatan penduduk, kebutuhan lahan untuk sawit besar dan karet swasta memiliki hubungan negatif dengan penutupan hutan, artinya ketiga variabel tersebut akan mengurangi penutupan hutan. Sedangkan pembangunan HTI memiliki hubungan positif dengan penutupan hutan atau meningkatkan penutupan hutan.

Hasil regresi kemudian digunakan untuk memprediksi perubahan penutupan hutan dari tahun 2007 sampai dengan 2020. Prediksi penutupan hutan dilakukan dengan terlebih dahulu memproyeksikan keempat variabel independen. Sedangkan untuk menghitung emisi dari perubahan penutupan hutan, digunakan asumsi rata-rata biomasa per ha adalah 140 ton/ha dengan fraksi karbon sebesar 0.47 (Brown,1997).

Hasil perhitungan untuk bussines as usual (BAU), terjadi penurunan carbon stock setiap tahunnya dari tahun 1990 sebesar 7.966,81 juta ton C menjadi 5.013,35 juta ton C pada tahun 2020. Hal ini berarti terjadi deforestasi rata-rata sebesar 1.496.176 ha per tahun pada periode 1990-2020. Terjadinya penurunan C stok akibat deforestasi menghasilkan emisi CO2 yang terus meningkat dari tahun 1990 sebesar 597.36 juta ton CO2 eq sampai dengan tahun 2020 menjadi sebesar 10.829,32 juta ton CO2 eq, dengan emisi tahunan rata-rata sebesar 360,98 juta ton CO2 eq, seperti terlihat dalam Gambar 4.

8

Hasil regresi kemudian digunakan untuk memprediksi perubahan penutupan hutan dari tahun 2007 sampai dengan 2020. Prediksi penutupan hutan dilakukan dengan terlebih dahulu memproyeksikan keempat variabel independen. Sedangkan untuk menghitung emisi dari perubahan penutupan hutan, digunakan asumsi rata-rata biomasa per ha adalah 140 ton/ha dengan fraksi karbon sebesar 0.47 (Brown,1997). Hasil perhitungan untuk bussines as usual (BAU), terjadi penurunan carbon stock setiap tahunnya dari tahun 1990 sebesar 7.966,81 juta ton C menjadi 5.013,35 juta ton C pada tahun 2020. Hal ini berarti terjadi deforestasi rata-rata sebesar 1.496.176 ha per tahun pada periode 1990-2020. Terjadinya penurunan C stok akibat deforestasi menghasilkan emisi CO2 yang terus meningkat dari tahun 1990 sebesar 597.36 juta ton CO2 eq sampai dengan tahun 2020 menjadi sebesar 10.829,32 juta ton CO2 eq, dengan emisi tahunan rata-rata sebesar 360,98 juta ton CO2 eq, seperti terlihat dalam Gambar 3.

Gambar 4. Proyeksi emisi CO2 hingga tahun 2020 di kawasan hutan

berdasarkan model regresi

PENUTUP

0.00

2,000.00

4,000.00

6,000.00

8,000.00

10,000.00

12,000.00

Mt CO

2e

Tahun

Emisi kumulatif CO2 sampai tahun 2020

2020

Emisi kumulatifCO2 (juta ton)

Emisi prediksiEmisi sesungguhnya

Gambar 4. Proyeksi emisi CO2 hingga tahun 2020 di kawasan hutan berdasarkan model regresi

7

PenutupDari hasil kajian skenario emisi BAU ini, diketahui bahwa kontribusi emisi terbesar adalah dari deforestasi dan juga degradasi. Deforestasi masih akan terjadi karena perkembangan jumlah penduduk dan kepentingan pembangunan seperti pengembangan perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah, pertambangan dan pemukiman. Meskipun demikian deforestasi dan degradasi yang tidak terkendali seperti penebangan liar, penambangan liar, kebakaran hutan, serta perambahan sedapat mungkin harus dikurangi. Dengan mengurangi deforestasi dan degradasi akan terjadi penurunan emisi yang sangat signifikan, yang akan mendukung target penurunan emisi sampai tahun 2020.

Selain itu, upaya penurunan emisi (net emisi) juga dapat dilakukan dengan penanaman. Berbagai kegiatan penanaman yang telah dan akan dilakukan seperti kegiatan pembangunan HTI, HR, HTR, kegiatan Gerakan Penghijauan Nasional (Gerhan), serta kegiatan penanaman lainnya memiliki dampak yang positif dalam meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menambah stok carbon hutan.

Hasil kajian ini menunjukkan kisaran kondisi BAU deforestasi tahunan antara 1.000.000 sampai 1.500.000 ha per tahun. Sedangkan penanaman dalam kondisi BAU berkisar antara 150.000 - 300.000 ha per tahun. Dengan menggunakan base year tahun 2006 maka emisi kumulatif (net emisi) sektor kehutanan pada tahun 2020 berkisar antara 5,474 sampai 18,285.9 juta ton CO2-e, atau rata-rata per tahun sebesar 367.1 juta ton CO2 sampai 1,219.1 juta ton CO2. Perlu diingat bahwa dalam penetapan BAU, hasil yang diperoleh sangat tergantung dari ketersediaan dan akurasi data serta asumsi yang digunakan. Dengan upaya mitigasi melalui berbagai program atau kegiatan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan menuju tingkat emisi di bawah kondisi BAU serta penanaman maupun restorasi hutan yang rusak menuju tingkat serapan/stok carbon di atas kondisi BAU, target penurunan emisi dari sektor kehutanan yang sejalan dengan kegiatan pengelolaan hutan lestari (SMF) akan dapat dicapai.

Kementerian KehutananBadan Penelitian dan Pengembangan KehutananPusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan KehutananJl. Gunung Batu No. 5 BogorTelp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924Website: http://www.puslitsosekhut.web.id