CSR Dan Konflik Industri Di Masyarakat
Click here to load reader
-
Upload
khaerul-umam-noer -
Category
Documents
-
view
2.001 -
download
9
Transcript of CSR Dan Konflik Industri Di Masyarakat
CSR dan Konflik Industri di Masyarakat: Catatan Terhadap Kasus Antara PT. Arara Abadi
Khaerul Umam Noer (090710049M)
Pendahuluan
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggungjawab
sosial perusahaan dapat dikatakan sebagai isu yang cukup banyak
diperbincangkan setidaknya dalam dekade terakhir. Sebagai salah
satu komponen yang banyak diperbincangkan, CSR memiliki posisi
yang unik ketika membicarakan posisi industri di masyarakat. Di
satu sisi, CSR dapat menjadi sekoci penyelamat bagi perusahaan
sekaligus mekanisme pembuatan citra yang baik di masyarakat, di
sisi yang lain, sebagai komponen industri, CSR dapat menjadi
bumerang bagi perusahaan itu sendiri. Dalam adagium ekonomi
jelas terdapat suatu pandangan bahwa ‘tidak ada makan siang
gratis’, demikian pula dengan CSR, adanya CSR justru menjadi
beban yang gilirannya meningkatkan ongkos produksi perusahaan.
Meskipun demikian, harus menjadi perhatian bahwa telah terjadi
banyak konflik antara industri dengan masyarakat, terlepas apakah
hal itu menyebabkan bencana lingkungan seperti kasus PT. Lapindo
Brantas atau PT. Newmont Minahasa, maupun tidak menimbulkan
bencana lingkungan - setidaknya dalam cakupan yang lebih kecil.
Arara, Kasus Faktual di Indonesia
Salah satu kasus yang cukup menarik perhatian adalah kasus
yang dialami oleh PT. Arara Abadi, selanjutnya akan disingkat Arara
saja. Pada maret 2008, Hutan Tanaman Indutri (HTI) milik Arara
diserang diserang oleh sekelompok orang, dan dengan sengaja
mereka mencabut pohon eucaliptus yang rata-rata sudah berumur
2-3 tahun. Lebih dari itu, mereka pun menduduki HTI tersebut dan
menebang pohon-pohon tersebut dan menggantinya dengan pohon
1
sawit (lihat Metro Riau 2008). HTI milik Arara terletak di Desa Tasik
Serai Timur, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Tidak sulit
menuju lokasi ini sebab kawasan ini dapat dikatakan tidak pernah
sepi dari dari aktivitas, terutama aktivitas PT ADEI yang mengelola
perkebunan sawit, yang bersebelahan dengan HTI Arara.
Arara mulai membuka kegiatan usaha di Bengkalis sejak
tahun 1991 dengan investasi miliaran rupiah di lahan seluas
299.975 hektar. Sebagai perusahaan yang memiliki hak
pengelolaan yan diberikan oleh pemerintah dengan izin No.
743/Kpts-II/1996 yang berlaku surut, Arara berhak mengelola,
sesuai dengan Tata Guna Hutan Kesepatakan (TGHK) dan
Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) untuk wilayah
Bengkalis (lihat Serikat Tani Nasional 2008). Arara memiliki izin Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) di wilayah Bengkalis
dan Kampar yang meliputi Desa Tarik Serai, Pinggir, Tasir Serai
Timur, Melibur, Minas, Desa Mandiangin, Pinang Sebatang Barat,
Koto Garo dan Pantai Cermin.
Konflik antara Arara dengan masyarakat dimulai ketika isu
mengenai tanah adat dan hak ulayat atas tanah tersebut, yang
celakanya tanah tersebut dijadikan sebagai HTI oleh Arara. Merasa
mendapatkan izin dari pemerintah, Arara menanam pohon
eucaliptus di HTI yang mereka miliki. Akibatnya, masyarakat di
sekitar protes dan melakukan “pemberontakan” dengan menduduki
HTI Arara dan mencabut pohon eucaliptus dengan tanaman sawit.
Pada dasarnya, konflik antara Arara dan masyarakat adat juga
pernah terjadi antara PT. Indorayon dan masyarakat (lihat Silaen
2005). Pembatan yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung,
lebih dari 800 hektar lahan telah berubah menjadi perkebunan
sawit, hal ini terlihat di Dusun Tasik Serai Timur, Areal Distrik Duri II,
bahkan di lokasi ini terdapat sebuah perkampungan baru yang
dibuat oleh masyarakat sekitar layaknya perkampungan
2
transmigrasi (lihat Metro Riau 2008). Hingga pertengahan maret
2008, aktivitas penebangan penebangan pohon eucaliptus dan
penanaman tanaman sawit masih terus terjadi, apalagi hal ini
didukung oleh organisasi massa seperti Serikat Tani Riau (STR).
Pendudukan hutan oleh masyarakat setidaknya telah merugikan
Arara sekurangnya Rp. 10 miliar, suatu jumlah yang tidak sedikit.
Berlarut-larutnya konflik antara Arara dan masyarakat
setidaknya memperlihatkan tiga hal penting. Pertama, lambannya
sikap pemerintah dalam menanggapi dan menyelesaikan kasus ini.
di lahan bekas HTI Arara yang masih berstatus quo misalnya,
terlihat penduduk yang menanam pohon sawit lengkap dengan
peralatan berat dan pupuk, hal ini jelas mengherankan. Lambatnya
sikap pemerintah dalam menanggapi kasus ini terlihat dengan tidak
seriusnya pemerintah dalam menyelesaikan sengketa ini. Sebagai
bukti, hingga kini tidak ada langkah kongkrit yang dilakukan aparat
kepolisian, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk
mengamankan investasi yang ditanamkan perusahaan ini di
kawasan tersebut. Hal itu tercermin dari tidak adanya tindakan
nyata dari laporan PT Arara Abadi ke Polsek Pinggir bernomor
192/VII/2007/Yanmas, menyusul perusakan tanaman Eculyptus di
KM 42 hingga KM 46 Areal HPHTI Distrik Duri II yang terjadi Selasa
(17/07/2007), atau Polres Bengkalis dan Polda Riau (lihat Serikat
Tani Nasional 2008).
Kedua, ketiadaan kepastian hukum dalam melakukan
investasi. Investasi dapat berjalan dengan lancar jika terdapat
kepastian hukum yang kuat dari pemerintah. Otonomi daerah
menjadi momentum berharga untuk membuktikan diri bahwa
daerah memiliki kemampuan tangguh dalam mengelola potensi
ekonominya. Investasi sangat penting untuk menggerakkan
perekonomian nasional sekaligus daerah yang pada gilirannya akan
mampu menciptakan kesejahteraan bangsa dan kunci keberhasilan
3
dalam menarik investor adalah adanya kepastian hukum (Metro
Riau 2008). Tak salah jika kemudian muncul anggapan, iklim
investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di
dunia. Indonesia sekarang ini sudah bukan menjadi tujuan utama
bagi investor asing, bahkan para investor yang sudah mengenal
Indonesia pun malah cenderung menghindari negeri ini. Di Riau,
diakui atau tidak, isu kemiskinan dan tanah ulayat seringkali
menjadi sandungan masuknya investasi. Sikap pemerintah daerah
kurang tegas yang lebih banyak diam, dan tidak adanya jaminan
keamanan dan kepastian hukum menimbulkan ketidakpercayaan
investor. PT Arara Abadi mungkin bisa menjadi salah satu contoh
korban ketidakpastian hukum akibat ketidaktegasan pemerintah
dan aparat penegak hukum.
Ketiga, tidak berjalannya mekanisme tanggungjawab
perusahaan. Banyak pihak berpendapat bahwa kasus Arara dapat
dihindari jika saja Arara menjalankan fungsi CSR dengan baik,
terutama dengan menggandeng masrakat adat setempat sehingga
kasus tanah ulayat tidak mencuat ke permukaan. Meski telah
mendatangkan devisa yang begitu besar bagi negara, daerah atau
masyarakat, namun perjalanan PT Arara Abadi di Riau tidaklah
berjalan mulus. Dari tahun ke tahun, anak perusahaan Sinar Mas
Group ini selalu mendapat tekanan dari masyarakat yang
mengklaim sebagai warga tempatan, dan berhak atas tanah yang
dikelola perusahaan ini. Celakanya, pemerintah ataupun aparat
keamanan seperti kehabisan akal dan kehilangan power. Alhasil,
sengketa pun tak pernah berujung, seperti yang saat ini terjadi di
wilayah Tasik Serai, Pinggir dan Tasik Serai Timur. Hal ini
sebenarnya dapat saja dihindari dengan mekanisme CSR.
CSR: Antara Sekoci Penyelamat dan Beban Perusahaan
4
Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan
bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak – for better or
worse, bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat,
khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik
perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para
pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan (Suharto
2008). Meskipun belum seluruhnya, perusahaan-perusahaan yang
ada, baik Negara maupun swasta (nasional dan asing), beberapa
diantaranya sudah melakukan apa yang disebut sebagai Corporate
Social Responsibility (CSR), meskipun belum sepenuhnya dilakukan
dengan pendekatan yang holistic, bahkan sebagian besar hanya
dilakukan dalam bentuk karitas (charity). Seringkali yang menjadi
tujuan utama para korporat melakukan CSR dalam bentuk charity
tersebut adalah untuk membentuk ”citra” perusahaan yang baik di
tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, makna sesungguhnya dari
CSR yang menjadi alasan penting mengapa kalangan bisnis mau
merespons dan mengembangkan isu CSR belum tercapai
sepenuhnya. Steiner ([1994] dalam Badaruddin 2008) menyebutkan
bahwa ada tiga alasan penting mengapa pebisnis mau merespons
dan mengembangkan isu CSR dengan usahanya, yaitu:
Pertama, perusahaan adalah makhluk masyarakat dan oleh
karenanya harus merespons permintaan masyarakat. Ketika
harapan masyarakat terhadap fungsi perusahaan berubah, maka
perusahaan juga harus melakukan aksi yang sama.
Kedua, kepentingan bisnis dalam jangka panjang ditopang
oleh semangat tanggung jawab sosial itu sendiri. Hal ini disebabkan
karena arena bisnis dan masyarakat memiliki hubungan yang saling
menguntungkan (simbiotik). Dalam jangka panjang kelangsungan
hidup perusahaan tergantung pada upaya untuk bertanggung jawab
terhadap masyarakat sebagai bagian dari aktivitas bisnisnya.
5
Sebaliknya, kesejahteraan masyarakat tergantung pula terhadap
keuntungan yang dihasilkan dan tanggung jawab bisnis
perusahaan.
Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan
merupakan salah satu cara untuk mengurangi atau menghindari
kritik masyarakat, dan pada akhirnya akan sampai pada upaya
mempengaruhi peraturan pemerintah. Jika sebuah perusahaan
menghindari peraturan pemerintah dengan cara merespons suatu
tuntutan sosial, sama halnya mengurangi biaya perusahaan, karena
diyakini bahwa adanya peraturan-peraturan pemerintah secara
umum akan membuat biaya lebih mahal dan menekan fleksibilitas
perusahaan dalam beroperasi.
Selama ini, CSR di lingkungan perusahaan swasta masih
bersifat sukarela (voluntary), dan karena itu wajar jika
penerapannya masih bebas tafsir berdasarkan kepentingan
korporasi masin g-masing. Di sinilah letak pentingnya pengaturan
CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya
dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan
menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian,
dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur dan
sistematis dalam ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat (lihat
Achda 2006). Praktik CSR yang selama ini dilakukan oleh beberapa
perusahaan di Indonesia belum menunjukkan hasil yang signifikan,
khususnya bila dikaitkan dengan pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari indikator makro,
di mana jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami
peningkatan dari 16,66% pada tahun 2004 meningkat menjadi
17,75% pada tahun 2006 (BPS 2006). Padahal bila pemanfaatan
dana CSR dapat dioptimalkan dan dilakukan dengan model (pola)
yang baik, niscaya akan berkontribusi sangat besar bagi
6
pemberdayaan ekonomi pengurangan angka kemiskinan) dalam
masyarakat.
CSR dalam hal ini dapat berperan ganda: di satu sisi sebagai
sekoci penyelamat bagi perusahaan, terutama ketika berhadapan
dengan masyarakat dan pemerintah, namun disisi yang lain CSR
boleh jadi meningkatkan ongkos produksi, namun rasanya hal ini
bukan lah alasan untuk menolak pelaksanaan CSR di berbagai
perusahaan. Namun demikian, tidak dapat pula dipungkiri bahwa
perkembangan pelaksanaan CSR akhir-akhir ini juga mengalami
kecenderungan positif dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Seperti yang dikemukakan oleh Kottler dan Lee (2005), bahwa telah
terjadi pergeseran dalam pendekatan korporasi dalam
melaksanakan CSR. Semula CSR dilaksanakan dalam kerangka
pendekatan tradisional, di mana implementasi CSR dianggap
sebagai beban belaka, kini telah timbul kesadaran pelaksanaan CSR
merupakan bagian yang menyatu dalam strategi bisnis suatu
korporasi, di mana implementasi CSR justru mendukung tujuan-
tujuan bisnis inti. CSR dengan demikian dapat dijadikan sebagai
instrumen penting bagi pelaksanaan dan pertumbuhan industri di
Indonesia. CSR dapat pula menjadi jembatan antara industri dan
masyarakat di sekitar kawasan industri tersebut berdiri. Nampaknya
tidak berlebihan jika kita dapat berharap banyak pada CSR untuk
mengurangi – atau meminimalkan – potensi konflik dengan
masyarakat sekitar.
Kepustakaan:
Achda, B. Tamam. 2006. “Konteks Sosiologis Perkembangan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Implementasinya di Indonesia” makalah disampaikan dalam Seminar Nasional A Promise of Gold Rating: Sustainable CSR, di Hotel Hilton, Jakarta 23 Agustus
7
Badaruddin. 2008. “Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Masyarakat Melalui Pemanfaatan Potensi Modal Sosial: Alternatif Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Indonesia” dalam www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb_2008_badaruddin.pdf
Kotler, Philip dan Nancy Lee. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc
Metro Riau. 2008. dalam http://www.metroriau.com/?q=node/2165
Serikat Tani Indonesia. 2008. dalam http://serikat-tani-nasional.blogspot.com/2008/03/riau-konflik-pt-arara-abadi-masyarakat_19.html
Steiner, George A. Dan John F. Business Steiner. 1994. Business, Government, and Society: A Managerial Perspective, Text and Cases. Singapore: McGraw-Hill Book Co.
Suharto, Edi. 2008. “Menggagas Standar Audit Program CSR, Initiating Audit Standard of CSR Program” dalam www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/ CSR Audit.pdf
8