CR DM

75
BAB I PENDAHULUAN A. DIABETES MELITUS TIPE 2 A.1. Epidemiologi Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah penduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Dalam pengelolaan DM tipe 2, diperlukan juga usaha mengkoreksi faktor- faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang sering menyertai DM tipe 2, seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin dan lain-lain.

description

case

Transcript of CR DM

BAB IPENDAHULUAN

A. DIABETES MELITUS TIPE 2A.1. EpidemiologiDiabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah penduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Dalam pengelolaan DM tipe 2, diperlukan juga usaha mengkoreksi faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang sering menyertai DM tipe 2, seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin dan lain-lain. Walaupun demikian pengendalian kadar glukosa darah tetap menjadi fokus utama.1

A.2. KlasifikasiMenurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.2Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005, yaitu3 :1. Diabetes Melitus Tipe 1DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.1. Diabetes Melitus Tipe 2DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.3. Diabetes Melitus Tipe laina. Defek genetik pada fungsi sel betab. Defek genetik pada kerja insulinc. Penyakit eksokrin pankreasd. Endokrinopatie. Diinduksi obat atau zat kimiaf. Infeksig. Imunologi4. DM GestasionalDM TIPE LAIN :1. Defek genetik fungsi sel beta :Maturity onset diabetes of the youngMutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain2. Penyakit eksokrin pankreas :PankreatitisPankreatektomy3.Endokrinopati : akromegali, cushing, hipertiroidisme4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme5.Akibat virus: CMV, Rubella6.Imunologi: antibodi anti insulin7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, KlinefelterDM GESTASIONALDM TIPE 2 :Defisiensi insulin relatif :1, defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin.2. resistensi insulin lebih dominan daripada defek sekresi insulin.

DM TIPE 1:Defisiensi insulin absolut akibat destuksi sel beta, karena:1.autoimun2. idiopatik

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI 1998

A

A.3. PatofisiologiDM dibagi menjadi dua katagori utama berdasar pada sekresi insulin endogen yaitu (1) insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan (2) non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM).

Kerusakan sel pankreas diperantarai oleh proses autoimun terjadi pada IDDM atau DM tipe 1. Petanda destruksi imun yang dapat diperiksa adalah autoantibody islet cell, autoantibody insulin, autoantobody glutamic acid decarboxylase (GAD65). Satu atau lebih antibodi tersebut terdeteksi pada 80-85% penderita hiperglikemia saat awal deteksi. Pada IDDM kadar glukosa darah sangat tinggi namun tidak dapat digunakan secara optimal untuk pembentukan energi, oleh karena itu energi diperoleh dari peningkatan katabolisme lipid dan protein. Patofisiologi pada NIDDM disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respons jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan (2) penurunan kemampuan sel pankreas mensekresi insulin sebagai respons terhadap beban glukosa. Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak pada penurunan respons reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di lain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi reseptor insulin pada tahap postreceptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemik). Pada tahap ini sel pankreas mengalami adaptasi diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin. Penelitian mengenai patologi diabetes dan komplikasinya terus dikembangkan. Penelitian yang dikembangkan menggunakan hewan percobaan diabetik.4

A.4. DiagnosisDiagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.2

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

II. Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2A.5. Penatalaksanaan

Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel .1Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.1

Target glikemikPenelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan harian dan A1C sebagai index glikemia khronik belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat pengobatan intensif, kadar A1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik. Studi tersebut mencapai kadar rata-rata A1C >7% yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik1

Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan kejadian komplikasi , yaitu A1C 1,5 mg/dL)dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan,gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek sampingmual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikanpada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikanbahwa pemberian metformin secara titrasi pada awalpenggunaan akan memudahkan dokter untuk memantauefek samping obat tersebut.D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadarglukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkanefek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling seringditemukan ialah kembung dan flatulens.E. DPP-IV inhibitorGlucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormonpeptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yangmasuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakanperangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagaipenghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secaracepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4(DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidakaktif.Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upayayang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakanhal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatankonsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberianobat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambatDPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analogincretin=GLP-1 agonis).Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampumenghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasiyang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsangpenglepasan insulin serta menghambat penglepasanglukagon.Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obatterhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 5, sedangkannama obat, berat bahan aktif (mg) per tablet, dosis harian, lamakerja, dan waktu pemberian dapat dilihat pada lampiran 2.Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahapsesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikansampai dosis optimal Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapanpertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atausebelum makan.2. Suntikan1. Insulin2. Agonis GLP-1/incretin mimetic1. InsulinInsulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyangtidak terkendali dengan perencanaan makan Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHOJenis dan lama kerja insulinBerdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empatjenis, yakni: Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) Insulin kerja pendek (short acting insulin) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin) Insulin kerja panjang (long acting insulin) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah(premixed insulin).Jenis dan lama kerja insulin dapat dilihat pada lampiran 3.Efek samping terapi insulin Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinyahipoglikemia. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalambab komplikasi akut DM. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadapinsulin yang dapat menimbulkan alergi insulinatau resistensi insulin.Dasar pemikiran terapi insulin: Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dansekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampumeniru pola sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulinbasal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulinbasal menyebabkan timbulnya hiperglikemiapada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulinprandial akan menimbulkan hiperglikemia setelahmakan. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untukmelakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi. Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalahmengendalikanglukosa darah basal (puasa, sebelummakan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oralmaupun insulin. Insulin yang dipergunakan untukmencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulinbasal (insulin kerja sedang atau panjang). Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawatjalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unitsetiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai. Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telahtercapai, sedangkan A1C belum mencapai target,maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial(meal-related). Insulin yang dipergunakan untukmencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulinkerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek(short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulinprandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kaliinsulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kalibasal + 3 kali prandial (basal bolus). Insulin basal juga dapat dikombinasikan denganOHO untuk menurunkan glukosa darah prandialseperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerjapendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapankarbohidrat dari lumen usus (acarbose). Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikandengan kebutuhan pasien dan respons individu,yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosadarah harian.Cara Penyuntikan Insulin Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawahkulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurusterhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atauintravena secara bolus atau drip. Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin)antara insulin kerja pendek dan kerja menengah,dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabilatidak terdapat sediaan insulin campuran tersebutatau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapatdilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenisinsulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihatdalam buku panduan tentang insulin. Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun carainsulin harus dilakukan dengan benar, demikian pulamengenai rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpananterjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakailebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yangsama. Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulindalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprityang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkanmemakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yangtersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL).2. Agonis GLP-1Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakanpendekatan baru untuk pengobatan DM. AgonisGLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasaninsulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupunpeningkatan berat badan yang biasanya terjadi padapengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. AgonisGLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efekagonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasanglukagon yang diketahui berperan pada prosesglukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat initerbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efeksamping yang timbul pada pemberian obat ini antaralain rasa sebah dan muntah.3. Terapi KombinasiPemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosisrendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuaidengan respons kadar glukosa darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani,bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal ataukombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secaraterpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablettunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yangmempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosadarah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tigaOHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO denganinsulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di manainsulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasitiga OHO dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentangalgoritma pengelolaan DM tipe 2).Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakanadalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengahatau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malamhari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut padaumumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baikdengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerjamenengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadarglukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan caraseperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidakterkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasiinsulin.Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolikdapat dilihat pada bagan 2.

Penilaian hasil terapiDalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harusdipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pe meriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaanyang dapat dilakukan adalah:II. 2.4.1. Pemeriksaan kadar glukosa darahTujuan pemeriksaan glukosa darah: Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapaisasaran terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perludilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yanglain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.II. 2.4.2. Pemeriksaan A1CTes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagaiglikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagaiA1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efekperubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapatdigunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. PemeriksaanA1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2kali dalam setahun.

Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darahkapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosadarah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudahdipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakaialat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kaliberasi dilakukandengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengancara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauandengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengancara konvensional.PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobataninsulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaanPGDM bervariasi, tergantung pada tujuan pemeriksaan yangpada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktuyang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelahmakan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktutidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklustidur(untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadangtanpa gejala),atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemicspells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel 6.PDGM terutama dianjurkan pada: Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin Penyandang DM dengan terapi insulin berikut Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelahterapi Wanita yang merencanakan hamil Wanita hamil dengan hiperglikemia Kejadian hipoglikemia berulang

Pemeriksaan Glukosa UrinPengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidaklangsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atautidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosarenal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi padabeberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangkawaktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsiginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilanterapi.II.2.4.5. Pemantauan Benda KetonPemantauan benda keton dalam darah maupun dalamurin cukup penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yangterkendali buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL). Pemeriksaanbenda keton juga diperlukan pada penyandang diabetesyang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadarasetoasetat, sementara benda keton yang penting adalahasam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pe- meriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secaralangsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam betahidroksibutirat darah 40 mg/dL, wanita >50 mg/dL); trigliserid 130 mmHg dan/atau TD diastolik >80mmHg. Sasaran (target penurunan) tekanan darah:Tekanan darah 140 mmHg atautekanan diastolik >90 mmHg, dapat diberikan terapifarmakologis secara langsung Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidakdapat dicapai dengan monoterapi.Catatan- Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB =angiotensin II receptor blocker) dan antagonis kalsium golongannon-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria.- Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.- Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbuktimemperburuk toleransi glukosa.- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaransudah tercapai.- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicobamenurunkan dosis secara bertahap.- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahapPenyulit Diabetes MelitusII.5.1. Penyulit akut1. Ketoasidosis diabetik (KAD)Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai denganpeningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasmaketon(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangattinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritasplasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasmaketon (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.Catatan:kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angkamorbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatandi rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.3. HipoglikemiaHipoglikemia dan cara mengatasinya Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosadarah < 60 mg/dL Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandangdiabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinyahipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan olehpenggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibatsulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasisampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obattelah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lamauntuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama padapasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usialanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingatdampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mentalbermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usialanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasanyang lebih lama. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar,banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejalaneuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampaikoma). Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yangmemadai. Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik,diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minumanyang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulangglukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagondiberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementaradapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagaitindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebabmenurunnya kesadaran.Penyulit menahun1. Makroangiopati Pembuluh darah jantung Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadipada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejalatipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpagejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainanyang pertama muncul. Pembuluh darah otak2. Mikroangiopati: Retinopati diabetik Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangirisiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirintidak mencegah timbulnya retinopati Nefropati diabetik Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangirisiko nefropati Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) jugaakan mengurangi risiko terjadinya nefropati3. Neuropati Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropatiperifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisikotinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar danbergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perludilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, denganmonofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun. Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatankaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine,antidepresan trisiklik, atau gabapentin. Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati periferharus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangirisiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit iniseringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplinilmu lain.

Pencegahan PrimerIII.1.1. Sasaran pencegahan primer:Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompokyang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena,tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransiglukosa.III.1.1.1. Faktor risiko diabetesFaktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransiglukosa yaitu :Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : Ras dan etnik Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes) Umur.Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkatseiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harusdilakukan pemeriksaan DM. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gramatau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG). Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yanglebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). Kurangnya aktivitas fisik. Hipertensi (> 140/90 mmHg). Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL) Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula danrendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM tipe 2.Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes : Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaanklinis lain yang terkait dengan resistensi insulin Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosaterganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu(GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular,seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).III.1.1.2. Intoleransi Glukosa Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahuluitimbulnya diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosadilaporkan terus mengalami peningkatan. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 olehDepartment of Health and Human Services (DHHS) dan TheAmerican Diabetes Association (ADA). Sebelumnya istilahuntuk menggambarkan keadaan intoleransi glukosa adalahTGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang dengan intoleransiglukosa akan menjadi diabetes. Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguankardiovaskular sebesar satu setengah kali lebih tinggidibandingkan orang normal. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaanTTGO setelah puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosaditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkansalah satu dari tersebut di bawah ini : Glukosa darah puasa antara 100125 mg/dL Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara140-199 mg/dL. Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaanfisik yang dilakukan ditujukan untuk mencari faktorrisiko yang dapat dimodifikasi.B. HIPERTENSI

DAFTAR PUSTAKA1. Arifin, L Augusta. 2010. Panduan terapi diabetes melitus tipe 2 terkini. Fakultas kedokteran UNPAD2. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 20113. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.4. Wahyuni. 2011. Dikutip dari eprints.undip.ac.id/29184/4/Bab_3.pdf tanggal 31 Mei 20155.