(COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian...
Transcript of (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian...
Kajian Terhadap Omnibus Law: Investasi vs Lingkungan Hidup
MM UI 2020
(COVER)
1
Kata Pengantar
Perjalanan 75 tahun Indonesia merdeka diwarnai banyak catatan hitam pelanggaran
Hak Azasi Manusia. Tentu sudah menjadi rahasia umum bagaimana ketidakseriusan negara
dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang
kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung
Priok, Peristiwa Semanggi I dan II, pemberontakan di berbagai daerah, hingga yang terkini
maraknya pelanggaran HAM di Papua. September adalah bulan penuh catatan hitam dan duka
dalam memori penegakan HAM di Indonesia, kehadiran lembaga seperti Komnas HAM tidak
banyak memberikan dampak signifikan dalam proses pengungkapan pelanggaran HAM.
Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung sebagai pemilik pedang penegakan hukum dan
memiliki kewenangan untuk membuka kotak usang kasus pelanggaran HAM hingga saat ini
dirasa semakin jauh dari harapan masyarakat yang menuntut keadilan bagi keluarga mereka
yang menjadi korban pelanggaran HAM. September akan selalu diperingati sebagai bulan duka
gugurnya para aktivis pejuang Hak Azasi Manusia, namun jiwa dan semangat dari Munir,
Widji Thukul, Soe Hok Gie, Marsinah dan para aktivis HAM lain yang gugur akan terus hidup,
tumbuh, dan berlipat di hati masyarakat Indonesia.
Bulan duka sudah semestinya tak hanya untuk seremonial belaka, namun harus menjadi
pelecut api semangat untuk terus mengingatkan negara bahwa masih banyak catatan hitam
pelanggaran HAM yang harus diselesaikan. Tak lupa, tentu apresiasi tinggi saya berikan pada
penulis yang telah menyelesaikan kajian dengan sangat baik dan diharapkan dengan rilisnya
kajian ini menjadi refleksi, pengingat, dan berujung pada pembaharuan semangat untuk
penegakan Hukum dan HAM di Indonesia.
Tangerang, 25 September 2020
Kepala Divisi Kajian dan Penelitian Hukum
Muhammad Fadhil Pratomo
2
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan…………………………………………………………………………3
Latar Belakang…………………………………………………………………………….3
Kasus HAM di Indonesia………………………………………………………………….4
Spektrum Mancanegara dan Pelanggaran HAM Berat………………………………….. 12
Rumusan Masalah……………………………………………………………………….. 15
Bab II : Isi…………………………………………………………………………………... 16
Pemerintah, Institusi Penegak Hukum, dan Pelanggaran HAM Berat…………………... 16
Aktor Pelanggaran HAM Berat…………………………………………………………..18
Hukum Progresif dan Transparansi Sebagai Solusi……………………………………...20
Stigma Memicu Pelanggaran HAM……………………………………………………...23
Bab III : Penutup…………………………………………………………………………… 27
Kesimpulan………………………………………………………………………………. 27
Saran……………………………………………………………………………………... 27
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 28
3
Bab I : Pendahuluan
A. Latar Belakang
Lembaga atau Institusi Penegak Hukum adalah tempat dimana ketidakadilan dan
perkara yang ada ditengah masyarakat diselesaikan. Tetapi apa yang terjadi ketika penegak
hukum sendiri tidak lagi menciptakan keadilan sebagaimana masyarakat didalam negara pada
umumnya mengekspektasikan keadilan.1 Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salah satu tolak
ukur penegakan hukum ( law enfor cem ent ).2 Bagaimana Institusi Penegak Hukum
menegakkan keadilan melalui kebijakannya, merupakan sesuatu yang perlu dikritisi.
Pelanggaran HAM yang dilakukan secara kontras sangatlah mudah diidentifikasi seperti
pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan lain-lainnya. Tetapi bagaimanakah dengan
perbuatan pelanggaran ham yang sesuai dengan prosedur hukum yang merupakan kebijakan
dari Institusi Penegak hukum itu sendiri? Hobbes dan Locke adalah kedua tokoh yang
menganut ideologi yang sangat berbeda dalam memandang sifat alamiah manusia. Tetapi
keduanya memiliki pandangan yang sama mengenai keharusan adanya HAM yang jelas dalam
pemerintah atau negara.3 Sudahkah negara Indonesia menerapkan ini?
Berdasarkan doktrin hukum, Institusi Penegak Hukum ( L aw Enforcement ) merupakan
manifestasi dari hukum itu sendiri sebagai definisi sempit dari penegakan hukum.4 Institusi
Penegak Hukum berangkat dari kata Penegakan Hukum yang dijelaskan oleh Jimly
Asshiddiqie Penegakan Hukum merupakan proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas
atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.5 Penegakan
hukum di Indonesia merupakan penegakan hukum obyektif yang dilakukan dengan pimpinan
hukum itu sendiri atau dikenal dengan istilah t he rule of law , sebagaimana pada Undang-
Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia sendiri menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum.6 Berbeda dengan istilah the rule of just law yang
memiliki makna berbeda dengan the rule of law yang melihat hukum sebagai alat dan fenomena
sosial. Secara konseptual the rule of just law menghasilkan pemerintahan yang dipimpin oleh
1 Lawrence M.Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation,
New York 1975, hlm. 17-18. 2 Ismail Rumadan, P era n Lemb a g a P era d ilan S eba g a i In stitu si P en eg a k Hu ku m Da la m Men eg a kk a n
Kea d ila n B a g i Terwu ju d n ya Perd a ma ia n , Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 75. 3 Dr. Linda Rabieh, Modern Conceptions of Freedom, (Massachusetts, 2013) 4 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, P E NE GA KA N HUK UM , hlm. 2. 5 I b id , hlm. 1 6 Indonesia, Un d an g - Und a ng Da sa r 1 9 4 5 , Pasal 1 ayat (3).
4
penguasa yang dianut oleh negara dengan bentuk negara machtstaat.7 Pemerintahan oleh
hukum merupakan hal yang abstrak dan diperlukan penjelasan yang konkrit dalam
pelaksanaannya. Apakah kepimpinan oleh hukum ini menciptakan pemerintahan yang kaku
dalam penegakan hukumnya? Dan bagaimana jika “hukum” ini melakukan kesalahan dan
siapakah yang berhak dalam mengadilinya? Untuk mengerti lebih dalam mengenai bagaimana
penegakan hukum yang sebenarnya kita dapat menginduksikan penegakan hukum yang
dijalankan oleh pemerintahan dengan tolak ukur umum. Tolak ukur umum yang dimaksud
disini adalah HAM sebagai salah satu hal yang dilindungi oleh penegak hukum.8
B. Kasus HAM di Indonesia
Negara Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan
humanisme yang cukup radikal. Pada pancasila kita dapat melihat sila kedua yang menyatakan
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”9 meskipun masih sangat abstrak bagaimana
menerjemahkan adil dan beradab pada sila ini. Tetapi kita dapat melihat secara garis besar
negara Indonesia memandang krusial nilai kemanusiaan, keadilan, dan beradab yang dapat
disimpulkan pada HAM yang pertama kali diperkenalkan oleh John Locke dalam bukunya “ An
Essay C oncerning Huma n Underst anding ”10. Gagasan HAM sudahlah lama adanya tetapi baru
diunifikasi oleh PBB pada 10 Desember 1950. Keterlambatan penegakan HAM pada kancah
Internasional juga terpantulkan pada penegakan HAM di Indonesia. Terdapat beberapa kasus
HAM yang sudah cukup dikenal di masyarakat Indonesia, tetapi belum jelas penyelesaiannya
dan masih menuai kontroversi. Seperti kasus Nanggroe Aceh Darussalam/NAD
(pemberlakuan DOM serta konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka
atau GAM), di Timor Timur (sejumlah tragedi dan perlawanan bersenjata akibat dari
referendum) dan Papua (gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka atau OPM yang
menginginkan kemerdekaan), dan kasus yang cukup terkenal di Indonesia yaitu peristiwa
Trisakti (sejumlah mahasiswa meninggal dunia dikarenakan melakukan demo terhadap
pemerintahan pada waktu itu).11 Berdasarkan sejarah aktor dari kejadian pelanggaran hukum
tersebut adalah Institusi Penegak Hukum itu sendiri dimana merekalah yang seharusnya yang
berperan dalam melindungi HAM masyarakat.
7 Bewa Ragawino, S.H., M.SI., HUKUM TATA NE GA R A , (Bandung, 2007), hlm. 45. 8 Ismail Rumadan, Op.cit. 9 Indonesia, Pancasila, sila ke-2. 10 John Locke, A n E ssa y Co n ce rn in g Hu man Un d ersta n d ing , (Inggris, 1690). 11 Kurniawan Kunto Yuliarso dan Nunung prajarto, Ha k A sa si Ma n u sia ( HA M) d i I n do n esia : Men u ju
Dem o cra tic Go ve rn a n ce , (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik Volume B, Nomor 3, Maret 2005), hlm. 301.
5
Penanganan HAM oleh Institusi Penegak Hukum yang buruk didukung dengan teori
Democratic Governance dimana memegang faktor krusial yakni Good Governance, HAM, dan
demokrasi. Democratic governance dimana negara dianggap sudah mencapai bentuk terbaik
(Alston, 1992 dan Brinkerhoff, 2000). Pada penekanan faktor Good Governance, transparansi
dan pemaksimalan partisipasi menjadi indikator yang jelas di dalamnya. Akan tetapi, Good
Governance tidak serta merta menjadikan negara tersebut merupakan negara yang
demokratis.12 Sebagaimana dalam ilmu negara setiap negara memiliki landasan ideologi dan
bentuk negara masing-masing.13 Terlepas dari bentuk negara, Indonesia belum dapat dikatakan
sebagai negara dengan Good Governance yang merupakan faktor dari Democratic Governance.
Pada pengadilan HAM sendiri terdapat kejanggalan seperti yang pada tanggal 16 Januari 2020
ST Burhanuddin memberikan pernyataan sebagai jaksa agung bahwa tragedi semanggi I & II
bukan termasuk dari pelanggaran HAM berat.14 Dimana sebenarnya ketika keluarga dan
kerabat korban berharap suatu keadilan daripada hukum yang merupakan tujuan hukum juga.15
Sebagai jaksa agung yang sudah seharusnya mengusut kasus pelanggaran HAM dan yang
berpihak pada masyarakat, alih-alih mendukung dan menyelesaikan pelanggaran HAM.16 ST
Burhanuddin melakukan hal sebaliknya dan melawan hukum dengan tidak melaksanakan
tugasnya dan mengedepankan subyektifitasnya sebagai pribadi. Dari kasus ini kita dapat
melihat kelemahan dari Institusi Penegak Hukum terutama dalam menangani kasus
pelanggaran HAM berat.
Pada pasal 1 butir ke 6 UU No. 39 tahun 1999 dengan jelas menjelaskan bahwa
pelanggaran HAM adalah mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
bahkan aparat negara.17 Definisi dari pelanggaran HAM ini juga berlaku pada penyelesaian
secara hukum jika tidak dilaksanakan dengan adil dan benar. Sebagaimana dengan pernyataan
yang dilakukan Jaksa Agung merupakan pelanggaran HAM terhadap Undang-Undang.
12 Gedeon M. Mudacumura, Challenges to Democratic Governance in Developing Countries,
(Switzerland,2014), hlm. 19. 13 Jimly Asshiddiqie,Konstitusi Dan Konstitusionalisme., (Jakarta, konstitusi press . 2006) Hal. 259 14 Yati Andriyani, P ern ya ta an Ja ksa A g u n g; P en g in g ka ra n, P en ya n gka la n d a n Tin da kan Mela wa n
Hu ku m , https://kontras.org/2020/01/17/pernyataan-jaksa-agung-pengingakaran-penyangkalan-dan-tindakan-
melawan-hukum/, diakses 7 Juli 2020. 15 Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia” P ro g ra m S tu d i
P en d id ika n Kewa rg a n eg a ra an Ju ru sa n P en d id ikan Kewa rg a n eg a raa n da n Hu ku m (2015), hlm. 2. 16 Indonesia, Un d an g - Un d an g Rep u b lik In d on esia No mo r 2 6 Ta h u n 2 00 0 Ten tan g P en g ad ilan Ha k A sa si
Ma n u sia , Pasal 23 ayat (1). 17 Indonesia, Un da n g - Un d an g R ep u b lik In d on esia No mo r 3 9 Ta h u n 1 99 9 Ten tan g Ha k A sa si Ma n u sia ,
Pasal 1 ayat (1).
6
Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Jaksa Agung sebagai seorang pejabat negara bukan
kali pertama dilakukan, Wiranto yang pada tanggal 30 Januari 2017 menyatakan dengan jelas
di depan pers bahwa akan membawa 7 pelanggaran HAM berat ke jalur non yudisial yang
berarti bukan melalui jalur hukum.18 Beliau yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik
Hukum dan Keamanan pada waktu itu secara implisit mengakui kebenaran bahwa 7
pelanggaran HAM (peristiwa 65/66, penembakan misterius 1982-1985. Kemudian
penghilangan paksa aktivis 1997-1998, Kerusuhan 98, tragedi Trisakti 1998, Semanggi 1 dan
2 pada 98/99, peristiwa Talangsari 1989) merupakan pelanggaran HAM berat, sebagaimana
seharusnya pelanggaran HAM berat diatur pada UU 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia yang mengatur dengan jelas bahwa pelanggaran HAM berat harus diadakan
pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat tersebut. Dalih bahwa sulit untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM berat karena daluwarsa yang lawas ataupun bukti yang kurang mendukung
tidak memvalidasi “menyelesaikan kasus” dengan jalur non yudisial. Terlebih lagi Jaksa
Agung yang menjabat pada waktu itu HM Prasetyo menjanjikan perkara 7 pelanggaran HAM
berat itu akan diusut tuntas pada masa pemerintahan Jokowi. Alih-alih masalah pelanggaran
HAM ini selesai pada masa itu kasus pelanggaran HAM berat ini justru berusaha “ditiadakan”
oleh Jaksa Agung yang menjabat sekarang.
Pelanggaran HAM berat berbeda adanya dengan pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran
HAM berat memiliki definisi yang lebih mengarah pada pernyataan C. De Rover bahwa
pelanggaran HAM merupakan kelalaian daripada negara dalam melindungi HAM
masyarakatnya. Pernyataan ini didukung lagi dengan doktrin hukum oleh Suparman Marzuki
yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pelanggaran HAM biasa dengan pelanggaran
HAM berat sangat berbeda dimana jenis kejahatan internasional terberat sekalipun tidak dapat
dengan mudah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Bahkan dalam kancah Internasional
sekalipun terdapat hukum kebiasaan internasional yang akhirnya menghasilkan suatu
ketentuan HAM secara universal.19 Berangkat dari doktrin-doktrin ini pelanggaran HAM berat
sudah jelas merupakan tanggung jawab penuh negara yang dimanifestasikan pada Institusi
Penegak Hukum.
18 Ninik Yuniati, P en ye lesa ia n 7 Ka su s P ela n gga ra n HA M, Wira n to : No n yu d isia l ,
https://kbr.id/berita/nasional/01-
2017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html, diakses 7 Juli 2020. 19 Aulia Rosa Nasution, P en ye lesa ia n Ka su s P ela n gg a ra n HAM B era t mela lu i P en g ad ila n Na sio n a l da n
I n tern a sio n a l serta Ko misi Ke b en a ra n d a n R ek o n silia si , hlm. 109.
7
“Exhaust ion of domest ic remedies ” adalah prinsip yang dianut oleh hukum
internasional dimana mewajibkan negara memaksimalkan upaya penyelesaian hukum secara
domestik sebagaimana seharusnya tanpa adanya asas jus cogens. Pada prinsip ini sudah
seyogyanya pemerintah mengupayakan yang terbaik terutama Indonesia mengakui HAM
terlebih dahulu daripada unifikasi HAM oleh negara-negara lain. Yakni pada konstitusi kita
sendiri UUD 1945 pada pembukaan negara Indonesia mengakui adanya peri kemanusiaan dan
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.20 Indonesia sudah
memiliki Undang-Undang dan regulasi yang mengatur mengenai HAM tetapi sangat
disayangkan pelanggaran HAM berat sangat dipersempit pelaksanaannya dan dipenuhi dengan
birokrasi yang mempersulit pengadilan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat.
Pengadilan HAM ad hoc adalah bentuk penyelesaian pelanggaran HAM berat yang merupakan
“Extraor dinar y C rime ” yang ketentuannya tidak diatur oleh KUHP serta merugikan secara
material dan immaterial oleh karena itu perlu pemulihan secara perlindungan HAM dan
supremasi hukum untuk menjamin ketentraman dan penegakan keadilan (Syawal Abdulajid &
Anshar, 2010). Pengadilan HAM ad hoc terhadap pelanggaran HAM berat sebelum Undang-
Undang pengadilan pelanggaran HAM dibuat sepenuhnya merupakan keputusan dari presiden
dengan pertimbangan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).21 Pelanggaran HAM berat mayoritas
berasal dari masa lampau sebelum Undang-Undang ini dibuat sehingga keputusan presiden
yang secara mutlak menentukan dimulainya suatu pengadilan tidaklah sesuai dengan bentuk
pemerintahan negara Indonesia mengakui adanya 3 (tiga) lembaga pemerintahan yang utama
dimana lembaga Yudikatif sebagai Institusi Penegak Hukum berperan menegakkan keadilan.
Lembaga eksekutif yang dipenuhi dengan kepentingan politik tidaklah tepat menjadi pusat
keputusan daripada pengadilan dimana lembaga Yudikatif memiliki wewenang terhadap hal
tersebut meskipun presiden yang merupakan kepala negara yang memutuskan ada atau
tidaknya pengadilan tersebut. Keputusan yang murni hanya dapat dilakukan oleh Presiden ini
memberikan kesan bahwa jika pelanggaran HAM lampau merugikan pemerintahan yang
sedang berjalan maka dapat dijustifikasi untuk tidak menyelesaikan pelanggaran HAM berat
tersebut.
Ketentuan pada pasal ini memberikan dilema pada penegakan keadilan itu sendiri dan
memberi peluang untuk pemerintah melakukan kesemenaan terhadap kebijakan dan keputusan
yang diambil. Asas “Jus C ogens ” merupakan asas yang dianut dalam menegakkan pelanggaran
20 Indonesia, Un d an g - Und a ng Da sa r 1 9 4 5 , Pembukaan. 21Indonesia, Un d a n g - Un d an g Rep u b lik I n do n esia No mo r 2 6 Ta h u n 20 0 0 Ten tan g P en ga d ilan Ha k A sa si
Ma n u sia , Pasal 43
8
HAM dimana kepentingan dalam menegakkan keadilan berdiri pada posisi teratas bahkan
kepentingan negara itu sendiri karena HAM merupakan masalah kemanusiaan bukanlah bahan
konsiderasi pemerintah belaka.22 Dalam penuntutan dan penyidikan kasus pelanggaran HAM
berat dipersempit kewenangannya hanya pada Jaksa Agung tanpa ada kewenangan daripada
instansi lain sebagai pemantau atau pengawas daripada Jaksa Agung itu sendiri, secara hukum
acara Jaksa Agung dalam perihal ini sebagai pucuk dan memiliki kelemahan yang besar dalam
sistem pengadilan, Jaksa Agung dapat memanfaatkan wewenangnya yang dibenarkan oleh
Undang-Undang untuk tidak menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan alasan-alasan
tertentu. Pada Undang-Undang juga disayangkan tidak menspesifikasikan dengan jelas
bagaimana jika Institusi Penegak Hukum itu sendiri yang melakukan pelanggaran hukum dan
menindaklanjuti dari perihal tersebut juga tidak jelas. Undang-Undang 39 tahun 1999 hanya
menjelaskan bahwa orang yang mengganggu penyelesaian pelanggaran HAM merupakan
bentuk dari pelanggaran HAM.23 Penyelesaian hukum dipenuhi dengan birokrasi yang cukup
jenuh terbukti ketika KOMNAS HAM menyelesaikan berkas pelanggaran HAM berat agar
dapat ditindaklanjuti dan diselesaikan tetapi tidak dapat dengan mudah dilakukan karena harus
mendapat keputusan presiden dan konsiderasi dari DPR lalu harus diserahkan secara
sepenuhnya oleh Jaksa Agung.24 Satu-satunya cara KOMNAS HAM dapat memantau proses
dan perkembangan penyelidikan sangatlah minim bentuk pertanggungjawaban dengan
meminta keterangan tertulis dari Jaksa Agung dan kembali lagi terdapat ambiguitas dalam
penindak lanjutannya apa yang akan terjadi jika Jaksa Agung lalai dan tidak memberikan
keterangan tersebut dan dapat membela diri dengan sedang dalam proses pembuatan
keterangan karena pada Pasal 25 UU 26 tahun 2000 tidak terdapat ketentuan waktu di
dalamnya. Jalur hukum yang dapat ditempuh dalam menindaklanjuti pelanggaran ataupun
kesemenaan daripada Pejabat Institusi Penegak Hukum hanya dengan melalui PTUN
(Peradilan Tata Usaha Negara) yang sebenarnya merupakan hak umum seluruh masyarakat dan
segala jenis badan hukum perdata.25 Sangat disayangkan KOMNAS HAM yang memiliki
kapabilitas dan kompetensi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM tidak memiliki kekuasaan
22 Lee M. Caplan, S ta te I mmu n ity, Hu ma n R ig h ts, a nd Ju s Co g en s: A Cri tiq u e o f th e No rma tiv e
Hiera rch y Th eo ry , The American Journal of International Law, Oct., 2003, Vol. 97, No. 4 (Oct., 2003), pp. 741-
781, hlm. 742. 23 Indonesia, Un d a ng - Un da n g R ep u b lik I nd o n esia No mo r 3 9 Ta h u n 19 9 9 Ten ta n g Ha k A sasi Ma n u sia ,
Pasal 1 ayat (6). 24 Dian Kurniawan, Ko mna s HA M Kla im Tela h S elesa ika n 1 1 B erka s P ela n g g a ran HA M B era t ,
https://www.liputan6.com/news/read/3955980/komnas-ham-klaim-telah-selesaikan-11-berkas-pelanggaran-
ham-berat, diakses 9 Juli 2020. 25 Indonesia, Un da n g - Un d an g Rep u b lik I n do n esia No mo r 5 Ta h u n 1 98 6 Ten ta ng P era d ila n Ta ta Usa h a
Neg a ra , Pasal 53 ayat (1).
9
hukum yang kuat dalam pengadilan HAM itu sendiri. Sebagaimana yang sedang terjadi pada
proses penyelesaian pelanggaran HAM berat semanggi 1 dan 2 yang sebelumnya sudah dibahas
Jaksa Agung tidak hanya menolak menyelidiki kasus pelanggaran HAM berat secara implisit
tetapi juga memberi pernyataan di depan umum bahwa kasus semanggi 1 dan 2 bukanlah
pelanggaran berat dan KOMNAS HAM hanya dapat menggugat Jaksa Agung untuk
melakukan pekerjaannya.26 Sementara sudah jelas Jaksa Agung yang sedang menjabat
mengeluarkan pernyataan subjektif yang tidak mengikuti jalur hukum yang menandakan Jaksa
Agung tersebut tidak memiliki niat dalam menyelesaikan kasus semanggi dalam jalur yudisial.
Dengan wewenang yang besar sebagai Jaksa Agung dalam penyelesaian hukum dari kasus
semanggi yang merupakan pelanggaran HAM berat tidaklah tepat menempatkan seseorang
yang sudah memiliki subjektifitas terhadap kasus semanggi karena akan mendistorsi dan
menjadi batu sandungan dalam pengadilan nantinya.
Pernyataan ST Burhanuddin tidak dapat dianggap sebagai perkara ringan karena
sebenarnya ST Burhanuddin sudah melakukan pelanggaran HAM sebagai pejabat negara dan
pelanggar HAM tidak layak untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Meletakkan
orang yang tidak berkompetensi dalam pengadilan ad hoc hanya akan mengulang kembali
sejarah seperti pengadilan ad hoc seperti pada kasus Tanjung Priok dan Timor-timur
pengadilan ad hoc yang dilakukan pada waktu itu hanya menjadi pengadilan bohongan ( sham
prosecuti on ) dimana keputusan terhadap semua pelaku adalah bebas tidak bersalah.27
Pengadilan yang dilaksanakan hanya cara pemerintah memenuhi tuntutan nasional dan
internasional, prinsip jus cogens seakan-akan hanya bahan permainan politik bagi pejabat
Institusi Penegak Hukum yang mengadakan pengadilan ad hoc .
Adapun sebenarnya kendala diluar daripada perkara pribadi pejabat meskipun tetap
terdapat hubungannya dengan pejabat itu sendiri baik langsung atau tidak, yakni : a)
kesulitan pembuktian jika penyelesaian akan dilakukan melalui jalur hukum (pengadilan) atau
disebut kesulitan teknis prosedural ; b) terdapat kekuatan politik pendukung rezim terdahulu
pada pemerintahan ; c) kendala yang berasal dari sebagian korban atau keluarga korban yang
tidak menginginkan mengungkit kembali kasus masa lalu, dengan alasan hanya membuka
luka lama.28 disamping daripada itu banyak keluarga korban yang kecewa dan tidak yakin
26 Fathiyah Wardah, Kelu a rg a Ko rb a n S ema n gg i I d a n II B erh a ra p P TUN Ka b u lka n Gu g a ta n terh a d ap
Ja ksa A g u ng , https://www.voaindonesia.com/a/keluarga-korban-semanggi-i-dan-ii-berharap-ptun-kabulkan-
gugatan-terhadap-jaksa-agung/5422394.html 27 Aulia Rosa Nasution, Op . Cit. , hlm. 103. 28 I b id .
10
bahwa pemerintah serius dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat.29 Rasa kecewa ini
tumbuh dan membuat masyarakat enggan dan tidak percaya lagi kepada pemerintah ataupun
penegakkan HAM menciptakan seluruh jalur hukum yang ikonis dengan keadilan sia-sia.
Kesulitan pembuktian pun menjadi kekhawatiran karena locus dan tempus yang terdistorsi
akan waktu sudah cukup menyulitkan praktisi hukum, terlebih lagi jika ada pihak yang tidak
bertanggung jawab dengan sengaja merusak dan menghilangkan bukti daripada Pelanggaran
HAM. Dugaan-dugaan tersebut menjadi faktor yang kuat dalam tidak berjalannya pengadilan
ad hoc setidaknya hal tersebut adalah pembelaan dan validasi daripada Jaksa Agung karena
tidak adanya pengadilan ad hoc. 3 0
Bukti-bukti fisik dan forensik merupakan bukti yang dapat dipakai dalam penyelesaian
dan pembuktian materiil daripada pengadilan, tetapi terdapat kesaksian juga daripada korban
dan saksi hidup dari pelanggaran HAM berat yang dapat menentukan keputusan pengadilan.
Pada Maret 2002 seorang saksi memberikan pernyataan bahwa mereka yang merupakan saksi
dari pelanggaran HAM memerlukan jaminan.31 Yang membuat lebih ironis lagi adalah pemberi
kesaksian tersebut merupakan anggota kepolisian dimana dia mengetahui perlindungan saksi
oleh pemerintah sebagai seorang abdi negara. Pengadilan pelanggaran HAM berat yang terjadi
di Timor-Timur menjadi salah satu contoh buruknya perlindungan saksi pelanggaran HAM
berat. Secara formil KUHAP mencakup perlindungan dan hak dari saksi dan korban tapi sangat
minim kejelasannya.32 Undang-undang terkait perlindungan saksi pelanggaran HAM berat pun
demikian Pasal 34 UU No 26 Tahun 2000 pun demikian pada pasal tersebut kembali lagi tidak
terdapat kejelasan tentang bagaimana proseduralnya meski dilanjutkan pada ketentuan PP No.
2 Tahun 2002 perlindungan HAM masih sangat banyak seperti ketentuan dan definisi dalam
peraturan tersebut masih sangat abstrak dan masih menggunakan bahasa hukum yang perlu
dielaborasikan lagi sehingga berpengaruh besar pada pelaksanaannya. Tidak hanya itu
berdasarkan proses perlindungan dalam perlindungan saksi yang diatur Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban memakan waktu sampai
29Antara, Ko rb a n P ela n gga ra n HA M B era t Ta g ih Kea d ila n ke Ko mn a s HA M,
https://nasional.tempo.co/read/1281813/korban-pelanggaran-ham-berat-tagih-keadilan-ke-komnas-
ham/full&view=ok, diakses 14 Juli 2020. 30 CNN Indonesia, Ja ksa Ag u ng Un g ka p Ha mb a tan P en ye lesaia n Ka su s HA M B era t ,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191107142131-12-446354/jaksa-agung-ungkap-hambatan-
penyelesaian-kasus-ham-berat, diakses 14 Juli 2020. 31 Julius Basa Bae adalah anggota Polsek (Kapospol) Wemasa, Belu, NTT. Salah seorang yang
mengetahui prosesi penguburan para korban penyerangan gereja Ave Maria Suai, Kovelima. Dia bersaksi untuk
perkara dengan terdakwa Herman Sedyono, dkk. 32 Supriyadi Widodo, Eddyono Wahyu, dan Wagiman Zainal Abidin, P erlin d un g an S a ksi da n Ko rb a n :
Ca ta ta n A ta s P en ga la ma n P en g a d ilan HA M A d Ho c Ka su s P ela ng g a ra n HA M B era t d i Timo r - Timu r , (Jakarta,
2005), hlm. 2.
11
minimal 7 hari untuk seorang saksi mendapatkan perlindungan karena diperhadapkan dengan
birokrasi kembali.33 Berbeda dengan Amerika yang memiliki sistem perlindungan yang ringkas
dimana terdapat dugaan bahwa kebenaran laporan dan saksi memiliki potensi keselamatannya
terancam maka aparat kepolisian berkapasitas untuk langsung mengamankan saksi atau
korban.34 Sistem perlindungan saksi yang memakan waktu lebih lama lebih riskan untuk saksi
terancam bahaya dan kemungkinan untuk saksi menarik kembali laporannya sehingga berujung
pada kasus yang tidak terselesaikan. Perbandingan daripada sistem perlindungan tidak berhenti
disitu saja negara paman Sam itu juga memegang prinsip diskretisasi dimana kerahasiaan dari
saksi sangat dijunjung dan dijaga atas bentuk perlindungan. Indonesia memiliki jalur birokrasi
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya membuat identitas saksi terbuka bagi beberapa
Institusi Penegak Hukum seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan aparat
keamanan dengan birokrasi seperti ini dapat membuat identitas saksi terekspos atau dibocorkan
dan berbahaya bagi saksi tersebut.
Kegagalan Institusi Penegak Hukum dalam memberi jaminan dapat membuat seluruh
saksi baik masa kini dan masa yang akan datang ragu dan takut untuk bersaksi di pengadilan.
Untuk mengatasi ini setidaknya ada 7 hak yang harus diperhatikan oleh pemerintah terutama
Institusi Penegak Hukum yang sebenarnya sudah dirangkum dengan di Undang-Undang yang
berlaku, yaitu :35
1. Hak atas keamanan fisik maupun mental
2. Hak atas pendampingan
3. Hak atas penerjemah
4. Perlindungan kepada saksi yang rentan
5. Hak untuk memberikan kesaksian dengan cara tertentu
6. Hak atas penggantian biaya ketika menghadiri persidangan
7. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi pada korban
Ironisnya ketujuh hal tersebut merupakan hal yang sewajarnya dan sepatutnya diterima oleh
seorang saksi atau korban dalam pengadilan.
33 Artur Caecarea, P erlin d un g an Sa ksi Da n Ko rb an Da la m P ela n g ga ra n Ha m B era t, Fakultas Hukum
Universitas Mataram, (Mataram, 2014), bag. ix. 34 Patricia B. Fellner, Co md en v. S u p erio r Co u rt: Disq u a lifica tio n o f th e Testifyin g A tto rn ey , California
Law Review, Jul., 1979, Vol. 67, No. 4, The Supreme Court of California 1977-1978. Part II (Jul., 1979), pp. 824-
842, hlm. 827. 35 Supriyadi Widodo, Op Cit.
12
C. Spektrum Mancanegara dan Pelanggaran HAM Berat
Kekecewaan terhadap buruknya pengadilan dan penyelesaian pelanggaran HAM berat
di Indonesia tidak hanya dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri tetapi juga dirasakan oleh
negara luar dan bahkan KOMNAS HAM PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) itu sendiri.36
Pada kancah internasional kasus pelanggaran HAM berat juga terjadi pada tanah Kashmir
bagian paling utara dari India dan berseberangan dengan Pakistan, tidak jauh berbeda dengan
kasus Timor Timur Kashmir dan Jammu adalah tanah yang merdeka dan mengalami konflik
konsesi oleh negara Pakistan dan India.37 Kashmir mendapat penengahan dari PBB
dikarenakan konflik yang tak kunjung selesai dan sudah banyak korban yang direnggut
terutama pada warga Kashmir dan resolusi yang diambil adalah plebisit atau sistem
pemungutan suara, dimana warga Kashmir menentukan nasibnya sendiri dan resolusi itu
terakhir dirapatkan 2 Desember 1957 dan kembali ditegaskan melalui Francois Guiliani
sebagai perwakilan PBB pada 26 April 1990, hingga kini resolusi itu tidaklah berjalan dan
pelanggaran HAM tetap terjadi pada Kashmir.38 Berbeda dengan Indonesia India yang
memiliki 448 pasal pada konstitusinya tidak mengakui kemerdekaan dan kebebasan sebagai
hak segala bangsa tetapi hanya tercantum implisit dan pada negara bagian yang diakui oleh
India saja.39 Tercantum pada pasal 370 sebenarnya bahwa Jammu dan Kashmir memiliki hak
untuk bebas dari segala keterikatan pada India meskipun dengan pengecualian kondisi negara
India dalam darurat yang tidak jelas dan luas makna dari darurat ini.
Pelanggaran HAM berat yang terjadi pada warga Kashmir menunjukan pelik dan
berlarutnya suatu kasus pelanggaran HAM. Akan tetapi bukan berarti kasus pelanggaran HAM
berat tidak dapat diselesaikan terbukti pada kasus KR (Khmer Rouge) yang terjadi di Kamboja
dimana pada tahun 1960 KR melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pangeran Norodom
Sihanouk, kudeta pun beralih ke kekuasaan Republik Khmer yang merupakan pihak Amerika.
Sihanouk yang sebelumnya musuh menjadi aliansi bersama dengan KR dan mendapat
dukungan dari negara komunis lainnya dan pada April tahun 1975 pemerintahan Kamboja
berubah menjadi Demokratik Kamboja. KR mengklaim bahwa keberhasilan mereka
menaklukan rezim luar merupakan keberhasilan setelah 2000 tahun petani Khmer dibawah
36 Kurniawan Kunto Yuliarso dan Nunung prajarto, Op Cit, hlm. 297. 37 Lubna Mohiuddin, Hu man Rig h ts V io la tio n s: A Ca se S tu dy o f Ka sh mir, Pakistan Horizon, Vol. 50,
No. 2 (April 1997), pp. 75-97, hlm. 85. 38 I b id . 39 Adarsh Sein Anand, Th e Develo p men t o f th e Co n stitu tio n of Ja mmu a nd Ka sh mir (New Delhi: Light
and Life Publishers, 1980), hlm. 226.
13
penundukan kekuatan asing.40 Sayangnya kesuksesan ini tidaklah didapatkan secara gratis
melainkan melalui pertumpahan darah sampai 1,7 juta nyawa yang merupakan seperempat
populasi Kamboja pada waktu itu adalah 7,9 juta jiwa.41 Terdapat setidaknya 3 (tiga)
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh KR yaitu : 42
1. Pemaksaan pemindahan penduduk skala besar
2. Kerja paksa, perlakuan dan kondisi tidak manusiawi
3. Penyerangan terhadap pihak yang tidak setuju dengan revolusi
Kondisi “penaklukan” Demokratik Kamboja tidaklah diterima begitu saja oleh banyak
pihak dan mendapat perseteruan dengan perbatasan Vietnam pertumpahan darah kembali
terjadi, sampai tahun 1991 mencapai persetujuan perdamaian dan melakukan pemilu pada 1993
tetapi diboikot oleh KR yang merupakan angkatan bersenjata dan tidak menyetujui perdamaian
tersebut dan perlu diingat juga bahwa mereka merupakan kelompok pelanggar HAM berat
yang telah memakan banyak korban, jikalau tidak dikarenakan Amnesty yang diberikan oleh
pemerintah maka KR tetap melakukan gencatan senjata.43 Amnesti menjanjikan perdamaian
semu tetapi menginterupsi hukum dan nilai keadilan di Kamboja seakan memberi impunitas
pada orang yang sudah jelas-jelas salah.44 Hun Sen sebagai perdana menteri Kamboja lebih-
lebih melindungi KR dan memvalidasi alasannya dengan rasa takut akan membuka luka lama
dan memicu perang saudara. Kasus KR mengalami kesaratan dalam pembuktian materiilnya
karena mengalami interupsi politik dan harus terbukti bahwa KR melakukan genosida dengan
landasan menghapuskan suatu etnis berdasarkan sosial politik, dan diduga lebih lanjut KR
melakukan genosida dengan landasan ekonomis mereka juga. Pada 16 November 2018 Khieu
Samphan dan Nuon Chea pemimpin paling senior dari KR divonis penjara seumur hidup.
Terbukti Nuon Chea mengambil keputusan bersama Pol Pot (mantan pemimpin Demokratik
Kamboja) melakukan genosida terhadap etnis Vietnam dan kelompok muslim Cham dan Khieu
Samphan terbukti bertanggung jawab atas genosida terhadap etnis vietnam.45 Berdasarkan
Pasal 7 Statuta ICC (Mahkamah Pidana Internasional) tentang kejahatan terhadap kemanusiaan
40 Malahayati, Ta n g g un g Ja wab I n d ivid u Terh ad a p Keja h a ta n Kema n u sia a n ( An a lisis K a su s K h mer
Mera h ) , hlm. 4. 41 Dunoff, Jeffrey. L, dkk. I n tern a tio n a l La w: No rms, A cto rs, P ro ce ss: a P ro b lem Orien ted A p p roa ch ,
2nd Ed. (New York: Aspen Publisher, 2006) Hlm. 611. 42 Malahayati, Op Cit, hlm. 5. 43 Sovann MAM, B ey o n d th e Kh mer R o u g e Trib u n a l: A d dressin g a La ck o f R ec o n cilia tio n a t th e
Co mmu n ity Leve l , Swisspeace (2019), hlm. 18. 44 I b id . 45 Maria Rita Hasugian, Du a P emimp in Kh mer Mera h d i Ka mb o ja Terb u kti Mela ku kan Gen o sid a ,
https://dunia.tempo.co/read/1147030/dua-pemimpin-khmer-merah-di-kamboja-terbukti-melakukan-
genosida/full&view=ok, diakses 22 Juli 2020.
14
pemimpin KR Khieu Samphan dan Nuon Chea berhak dijatuhi hukuman.46 Peradilan yang
diadakan di Phnom Penh, Kamboja ini adalah peradilan Hybrid dimana peradilan gabungan
antara peradilan ad hoc nasional dan internasional digabung untuk mengatasi kelemahan
masing-masing peradilan.47
Masalah yang dihadapi oleh Kamboja tidak berbeda jauh dengan masalah yang
dihadapi oleh Indonesia dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Alasan mengapa
Kamboja mengalami kesulitan penyelesaian pelanggaran HAM berat adalah intervensi politik
dimana pemerintah menghalang-halangi penyelesaian kasus dengan berbagai alasan, meskipun
alasan yang dipakai sedikit berbeda tetapi alasan aparatur negara Indonesia dan negara
Kamboja memiliki kesamaan yakni tidak adanya validasi dalam pernyataan untuk tidak segera
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.48 Hun Sen menyatakan bahwa akan ada
munculnya instabilitas negara jika kasus KR tetap diusut, akan tetapi nyatanya masyarakat
Kamboja hanya ingin pengakuan dan rekonsiliasi terhadap pelaku kasus KR.49 Sama halnya
dengan pemerintah Indonesia dengan alasan bahwa pembuktian sangatlah sulit, bahkan petugas
Institusi Penegak Hukum pun turut serta dalam menguatkan pernyataan tersebut.50 Aparatur
negara tidak pernah menunjukan dengan jelas pada pembuktian spesifik apa dan bagian mana
yang tidak dapat diperoleh oleh penyidik, alih-alih aparatur negara hanya memberi pernyataan
yang abstrak dan selalu sama. Meskipun peradilan Hybrid mengalami kegagalan dan
berlangsung mengecewakan di Timor Timur, tetapi telah terbukti di negara-negara lain dan
berangsur membaik dan mengeliminasi seluruh keburukan yang dialami di peradilan dan dapat
dilihat peradilan Hybrid dapat menyelesaikan kasus KR yang larat selama 40 tahun lebih.
Berdasarkan pembuktian seharusnya kasus KR tidak dapat terselesaikan, jika dicerminkan
pada peradilan di Indonesia.
"Memang kita masih memiliki beban pelanggaran HAM berat masa lalu, tak mudah
menyelesaikannya. Masalah pembuktian dan waktu terlalu jauh. Harusnya ini selesai setelah
itu terjadi,"51 Berdasarkan kutipan kata-kata Jokowi yang sekarang menjabat sebagai presiden
memvalidasi kondisi penyelesaian pelanggaran HAM berat yang “alot” karena waktu harusnya
kasus seperti KR tidak dapat terselesaikan karena jika dibandingkan daluwarsanya kasus KR
46 U.N. Doc. A/CONF.183/9 (1998) 47 Aulia Rosa Nasution, Op . Cit. , hlm. 120. 48 Sovann MAM, Op Cit, hlm. 18. 49 I b id , hlm. 26. 50 Adi Briantika, P en ye les a ia n P ela ng g a ra n HA M B era t P a p u a S ep erti Mereb u s B a tu ,
https://tirto.id/penyelesaian-pelanggaran-ham-berat-papua-seperti-merebus-batu-fJzT, diakses 22 Juli 2020. 51 Bagus Prihantoro Nugroho, Jo ko wi B ila n g S u lit S elesa ika n Ka su s HA M Ma sa La lu , B en a rka h ? ,
https://news.detik.com/berita/d-4389482/jokowi-bilang-sulit-selesaikan-kasus-ham-masa-lalu-benarkah, diakses
22 Juli 2020.
15
lebih berumur dibandingkan kasus pelanggaran HAM berat yang sudah lampau terjadi di
Indonesia. Seperti kasus tahun ‘98, GAM, kasus pelanggaran HAM di Papua, dan kasus lainnya
tidak sampai 40 tahun. Berdasarkan penyelesaian kasus KR tidaklah menutup kemungkinan
untuk Indonesia menggandeng PBB untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM-nya
ju’a.
D. Rumusan Masalah
Yang menjadi bahasan dari kajian ini adalah berangkat dari beberapa masalah dan
pertanyaan yang muncul di benak pemikiran penulis. Apakah kebijakan dari pemerintah yang
sesuai dengan prosedural hukum jika menyalahi kepentingan umum termasuk dalam
pelanggaran HAM? Apa yang dimaksud dengan Institusi Penegak Hukum dan bentuk konkrit
badan pemerintahannya? Sejauh apa wewenang yang dimiliki institusi penegak hukum dalam
menegakkan hukum ketika terkait HAM suatu Individu? Upaya apa yang bisa seseorang
lakukan dalam mempertahankan HAM nya ketika institusi penegak hukum yang
melanggarnya? Sudah adakah bentuk pengawasan yang jelas di dalam institusi penegak hukum
untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran HAM ? dari pertanyaan-pertanyaan ini timbul
untuk dikaji berdasarkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan
bagaimana institusi penegak hukum menindak lanjuti kasus-kasus tersebut.
16
Bab II: Isi
A. Pemerintah, Institusi Penegak Hukum, dan Pelanggaran HAM Berat
Pelanggaran HAM berat sudah menjadi peer (Pekerjaan Rumah) pemerintah semenjak
dulu dan bahkan terdapat pola dimana kasus pelanggaran HAM berat yang sensitif menjadi
bahan komoditas politik.52 Tetapi ketika keinginan politik suatu golongan politik sudah
terpuaskan dan menjabat sebagai penguasa isu pelanggaran HAM tenggelam seperti tidak
pernah ada dan hanya isu 5 (lima) tahunan belaka.53 Negara betul adanya memiliki pengaruh
politik dan sebagai landasan penggerak daripada jalannya roda pemerintah dan dibenarkan
adanya secara implisit dalam UUD 1945.54 Meskipun mendapat justifikasi secara implisit tetapi
terdapat pasal yang lebih jelas dalam UUD 1945 yakni pada Pasal 1 Ayat (3) yang tercantum
“Negara Indonesia adalah negara hukum” dimana berarti supremasi hukum berada di dalam
roda pemerintahan negara Indonesia. Pelanggaran HAM berat bukanlah perkara politik yang
dapat dijadikan agenda atau bahkan kampanye politik, melainkan ranah hukum. Terlepas dari
pemerintahan politik siapapun, perkara hukum tetap harus diselesaikan dan bukanlah hal yang
perlu diumbar karena sudah jelas sistematika penyelesaiannya tidak seperti kebijakan politik
yang berbeda pemerintahan dapat berubah, hukum tidaklah demikian. Justru isu pelanggaran
HAM berat yang menjadi janji para aktor politik menjadi bahan cemoohan bagi hukum yang
berlaku di Indonesia. Lantaran isu pelanggaran HAM berat yang “dijanjikan” oleh aktor politik
mengimplisitkan bahwa pemerintahan sebelumnya tidak dapat menyelesaikan dan hanya di
masa aktor politik ini isu pelanggaran HAM berat dapat terselesaikan. Rendahnya kualitas
penyelesaian hukum di Indonesia dapat dilihat dari sini dimana seharusnya keadilan berdiri
paling tegak pun tidak dapat menjanjikan keadilan itu sendiri.
Seperti tiada habisnya alasan para pejabat untuk mengulur waktu. Menggunakan alasan
yang sama setiap dilayangkan pertanyaan terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.
Dengan menggunakan alasan sulit mendatangkan bukti dan saksi.55 Tetapi apakah begitu
52 CNN Indonesia, Ko n tra S : I su HA M J a d i Ko mo d ita s P o litik Ca p res S etia p P emilu ,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181210164105-32-352513/kontras-isu-ham-jadi-komoditas-politik-
capres-setiap-pemilu, diakses 16 Juli 2020. 53 Egi Adyatama, Ra p o r Mera h P en a ga ka n HA M d i E ra P eme rin ta h an Jo ko Wid o d o ,
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/15/15503951/jokowi-didesak-selesaikan-kasus-pelanggaran-ham-
berat, diakses 16 Juli 2020. 54 Prof. Dr. Thomas Meyer, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis,
Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), (Jakarta, 2008), hlm. 13. 55 Yugo Hindarto, Ja ksa A g u ng A ku i Kesu lita n Usu t Ka su s P ela n g g a ra n HA M ,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180615192012-12-306414/jaksa-agung-akui-kesulitan-usut-kasus-
pelanggaran-ham?, diakses 16 Juli 2020.
17
adanya pada saat pengadilan ad hoc Timor-Timur pada Maret 2002? Seperti yang sudah
dipaparkan sebelumnya pada latar belakang pada 7 (tujuh) poin yang harus diperhatikan
pemerintah dalam mengadakan pengadilan ad hoc , poin ke-6 mengenai hak atas penggantian
biaya ketika menghadiri persidangan menjadi alasan kendala paling jelas dihadapi oleh para
saksi yang dipanggil oleh Institusi Penegak Hukum biaya untuk kompensasi menghadiri
pengadilan tidak dijamin.56 Uniknya adalah jaminan kompensasi sebenarnya bisa dijamin
dengan penyerahan tuntutan kepada hakim bersamaan dengan tuntutan kompensasi, restitusi,
dan rehabilitasi dalam bentuk material misalnya, yang dapat dilakukan oleh Jaksa Agung
sebagai penuntut umum. Akan tetapi Jaksa Agung tidak mencantumkan permintaan
kompensasi ini menurut hakim yang menerima berkas daripada Jaksa Agung, sehingga hakim
tidak dapat memutuskan diluar daripada apa yang dituntut.57 Kurang jelas landasan ataupun
motif dari Jaksa tidak mencantumkan dan memberi jaminan kepada saksi atau setidaknya
berupaya untuk memberi suatu motivasi kepada saksi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM berat, tetapi yang jelas adalah pengadilan Timor Timur merupakan yang sangat buruk
kualitas dan jauh dari ekspektasi.58 Adapun hakim memberi solusi yaitu melalui
T eleconferenc e dimana memberi solusi jarak, biaya, dan masalah fisik lainnya. Akan tetapi
solusi ini menghadapi kendala yuridis normatif dimana kuasa hukum dapat dengan mudah
menuntut bahwa penggunaan T eleconfer enc e tidaklah sesuai dengan tata cara beracara yang
ditentukan dalam KUHAP dan UU 26 tahun 2000 kedua aturan ini dipakai sebagai tameng
pihak terdakwa untuk mengelak pemakaian saksi T e leconference. Mencari kepastian hukum
disini sangatlah sulit karena sebenarnya sudah pernah ada pemakaian T ele conferenc e sebagai
medium pengadilan yaitu dengan munculnya Putusan Majelis Hakim dalam perkara
pelanggaran HAM berat dengan Terdakwa M. Noer Muis, tanggal 12 Maret 2003 dengan
landasan Pasal 4 poin (c) PP No. 2 Tahun 2002 dimana tertulis “pemberian keterangan pada
saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka” yang jika
diperluas maknanya mengijinkan T eleconferenc e untuk dipakai dalam berjalannya pengadilan.
Akan tetapi sanggahan T eleconferen ce tidak mengikuti tata beracara yang ditentukan UU dan
KUHAP masih saja diterima di pengadilan.
Belasan tahun sudah berjalan setelah pengadilan a d hoc untuk pelanggaran HAM berat
tetapi tidak juga ada pembaruan dalam UU yang mengatur tentang pelanggaran HAM berat.
56 Supriyadi Widodo, Eddyono Wahyu, dan Wagiman Zainal Abidin, Op Cit. hal. 13. 57 I b id . 58 Ahmad Hambali, Edwin Partogi, Eko Dahana, Ikravany Hilman, Indria Alphasonny, M.
Islah, Munarman, Munir, Sri Suparyati dan Victor da Costa, S a kra lisa si I d eo lo g i Mema ka n Ko rb a n , (KontraS
Jakarta, 2003) hal. 5.
18
Dalihan, sanggahan, alasan, dan masalah yang dihadapi masih saja sama, dengan pesatnya
perkembangan apakah adagium “hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal” benar
adanya atau aktor daripada Institusi Penegak Hukum yang membuatnya demikian.
B. Aktor Pelanggaran HAM Berat
Pelanggaran HAM baik ringan maupun berat merupakan kejahatan dan pelanggaran
terhadap kemanusiaan dan seluruh masyarakat sudah seharusnya turut serta dalam mengawal
dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM terlebih dalam kasus pelanggaran HAM berat,
dimana berdasarkan sejarah pelanggaran HAM berat yang terjadi banyak dilakukan oleh
pemerintah dengan bentuk operasi militer maupun angkatan bersenjata di Papua saja korban
pembunuhan di luar hukum akibat operasi militer mencapai 10.000 dari tahun 1963 sampai
1998.59 Setidaknya ada 69 kasus yang tercatat mengenai dugaan pembunuhan di luar hukum
dan ironisnya lagi yang mencatat ini adalah organisasi diluar badan negara dan pelaku dari
kasus tersebut adalah aparat keamanan yang seharusnya menjamin keamanan bukan yang
meneror keamanan itu sendiri.60 dari 25 kasus tidak mendapat perhatian ataupun dilakukan
investigasi lanjutan oleh pihak berwajib, 26 kasus dilakukan investigasi tetapi tidak ada
kelanjutannya ataupun pemberitahuan pada publik bagaiman kasus tersebut diselesaikan,
hanya 6 kasus yang mendapat penyelesaian melalui pengadilan militer dan beberapa kasus
lainnya aparat hanya mendapat tindakan pendisiplinan dan penyelesaian kasus pelanggaran
HAM banyak diselesaikan melalui pendekatan non yuridis dan kultural seperti penggantian
rugi dengan uang ataupun dengan babi.61 Pemerintah sering berdalih bahwa pelanggaran HAM
yang terjadi di tanah Papua bukanlah pelanggaran HAM berat dan seakan hal tersebut
merupakan validasi untuk cuci tangan dari kasus pelanggaran HAM yang ada di Papua.62
Terlebih lagi Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menjabat pada waktu itu mengajak
masyarakat untuk melihat secara subyektif kasus Paniai yang mengakibatkan 4 (empat) orang
meninggal dunia dan 21 (dua puluh satu) orang luka-luka. Dimana Moeldoko menyetir opini
publik untuk melihat bukan sebagai pelanggaran HAM berat ataupun pelanggaran HAM sama
sekali, dengan validasi bahwa akan merugikan banyak pihak padahal sudah jelas terdapat
59 Tim penilaian Zona Militer Papua Komnas HAM, Gro ss V i o la tio n o f H u ma n R igh ts in P a p u a 1 96 3 ï
1 9 9 8 , catatan kaki No. XX, hal. 180 & 181. 60 Amnesty International Indonesia, "S u d a h , Ka si Tin g g a l Dia Ma ti": P emb un u ha n d a n Imp u n ita s Di
P a p u a , (Jakarta, 2018), hlm. 14. 61 I b id . 62 CNN Indonesia, I sta n a B a n ta h Ka su s P a n ia i P a p u a P elan g ga ra n HA M B era t ,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200217151444-32-475390/istana-bantah-kasus-paniai-papua-
pelanggaran-ham-berat, diakses 17 Juli 2020.
19
kesemenaan kekuatan oleh aparat keamanan. Terlepas daripada para korban menyerang
terlebih dahulu, terlihat jelas kesetimpangan dalam kekuatan dimana aparat memiliki kekuatan
senjata api dan pelatihan bela diri yang jelas dibandingkan para pengunjuk rasa. Dalam KUHP
pun terdapat ketentuan N oodw eer Ex cess (pembelaan diri yang berlebihan) yang diatur pada
Pasal 49 ayat (2), N oodweer Exc ess hanya dapat dijustifikasi jika terdapat alasan ‘goncangan
jiwa’. Apakah benar seorang aparat keamanan yang sudah mendapat pelatihan fisik dan mental
dimana kondisi dia harus menegakkan keamanan? Dengan seluruh kemampuan yang dimiliki
oleh aparat keamanan menghilangkan 4 orang nyawa adalah "Menurut saya, apa yang
dilakukan satuan pengamanan itu tindakan kaget, tiba-tiba karena diserang masyarakat. Tidak
ada upaya sistematis," sebagaimana dikutip daripada Moeldoko Kepala Staf Presiden pada
waktu itu dan merupakan mantan Panglima TNI proyeksi nilai subyektif Moeldoko sangat
terlihat kontras, baik dikarenakan latar belakangnya ataupun pengalamannya sendiri sebagai
militer yang merupakan aparat keamanan.
Tidak hanya satu dua kasus terjadi pertumpahan darah oleh aparat keamanan dilakukan
di Indonesia terutama Papua setiap tahunnya terdapat pelanggaran HAM.63 Seakan-akan
negara melindungi para pelaku pelanggaran HAM berat ini dan berusaha menenggelamkan
kasusnya dan terus berupaya melakukan penyelesaian kasus dengan non-yuridis di negara
hukum. Adanya politik militer pun menjadi dugaan alasan terjadinya “impunitas buatan” di
tanah gemah ripah loh jinaw i (makmur dan subur)64, baik secara ekonomi ataupun keamanan
negara pola pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan terutama militer dapat
dijelaskan dengan adanya politik militer. Ekonomi dikarenakan ada kemungkinan pihak militer
dan aktor politik di negara Indonesia bekerja sama untuk meraup untung material masing-
masing pihak.65 Turunan daripada rezim lama pada masa Orde Baru membuat ketergantungan
pemerintahan terhadap tenaga militer.66 Militer memiliki penilaian sendiri terhadap konflik,
aparat keamanan memiliki pandangan bahwa konflik merupakan potensi naik pangkat, meraup
finansial, dan keuntungan lainnya dan aparat keamanan terutama militer memiliki konsep
ideologi yang berbeda mengenai demokrasi karena mereka dilatih untuk mengenal konsep
kesatuan dan birokrasi komando.67 Baik pemerintah ataupun militer sebenarnya memiliki
63 Amnesty International Indonesia, I b id , hlm. 15. 64 KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gemah, diakses 17 Juli 2020. 65 Evan A. Laksmana, Dina mika P o litik Militer I n d o n esia , Panduan Media dan Reformasi Sektor
Keamanan, eds. Beni Sukadis and Aditya Batara. Jakarta: Indonesian Institute Defense and Strategic Studies and
Geneva Center for the Democratic Control of the Armed Forces, pp. 91 – 111, hlm. 101. 66 Imparsial, R eg ion a l B ud g et for TNI : A Th rea t fo r Civ ilia n C o n tro l o ve r th e Milita ry , Catatan Imparsial
1 (2004). 67 International Crisis Group, Aceh: Why Military Force Wonôt Bring Lasting Peace, ICG Asia Report
17 (2001): hal. 12.
20
alasan kuat secara ekonomi untuk mengeksploitasi tanah yang kaya mineral seperti Papua
terbukti banyak proyek dengan sejumlah dana yang besar sedang berjalan di Papua.68
Pemerintah akan berupaya sebaik mungkin untuk mempertahankan Papua, sehingga dapat
terbentuk hubungan mutualisme dengan tenaga militer. Tidaklah aneh jika ditemukan angkatan
militer dengan sengaja “memelihara” atau membuat konflik berangkat dari pembahasan
sebelumnya.69 Dalam aspek keamanan negara Politik Militer muncul dikarenakan terdapat
pemerintahan Pasca-Otoriter dalam kasus negara Indonesia yaitu masa Orde Baru, yang salah
satu indikasi dan kekhawatirannya adalah tenaga militer melebih-lebihkan ancaman
kestabilitasan atau kedaulatan negara.70 kekhawatiran ini muncul pada bentuk pelanggaran
HAM di Papua, aparat keamanan terbukti menggunakan validasi perlindungan diri atas
pelanggaran HAM berat pada para aktivis ataupun korban yang ada di Papua. Pemerintah sudah
gagal dalam menjamin HAM masyarakatnya sendiri dan bahkan tidak bisa mendapatkan
keamanan penuh dari aparat keamanan sendiri. Dengan alasan-alasan yang ada dapat kita tarik
kesimpulan sendiri mengapa pelanggar HAM berat memiliki “impunitas buatan”.
C. Hukum Progresif dan Transparansi Sebagai Solusi
Menurut A. M Mujahidin praktik hukum Indonesia mengalami keterpurukan karena
sikap praktisi hukum yang koruptif dan terlalu terpaku pada legalistik-positivistik.71 Untuk
mengatasi ini terutama sifat legalistik-positivistik hukum di Indonesia, terdapat Hukum
Progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo.72 Berangkat daripada keterpurukan ini
Hukum Progresif menekankan “hukum teruntuk kemanusiaan dan bukan sebaliknya manusia
untuk hukum”, “hukum secara substansif”, dan “hukum secara holistik, tidak skeletonik”.73
dapat kita maknai bahwa hukum menegakkan keadilan tidak semata-mata memperdulikan
formil tata cara beracara hukum ataupun batasan-batasan yang tidak bisa ditembus karena tidak
diatur dalam Undang-Undang. Seperti yang dialami pada berjalannya pengadilan ad hoc
68 Achmad Dwi Afriyadi, Ku n ju n g i P a pu a , R in i R esmika n 1 6 P ro ye k S tra teg is R p 2 T ,
https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4180695/kunjungi-papua-rini-resmikan-16-proyek-strategis-rp-2-t,
diakses 17 Juli 2020. 69 George J. Aditjondro, Guns, P a mp h lets a n d Ha n d ie - Ta lkies: Ho w th e Milita ry E xp lo ited Lo ca l E th n o -
R elig io u s Ten sio n s in Ma lu ku to P reserve Th eir P o litica l and E con o mic P rivileg es , dalam Violence in Indonesia,
ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer (Hamburg: Abera, 2001), 100-128. 70 Douglas Bland, A Un ified Th eo ry o f Civil - Milita ry R ela tio n s , Armed Forces and Society, Vol. 26, No.
1 (1999): hal. 9-13. 71 Hwian Christianto, P en a fsir a n Hu ku m P ro g resif d a la m P erka ra P id a n a , Mimbar Hukum, 23, 3,
(2011), hlm. 480. 72 Satjipto Rahardjo, P en eg akan Hu ku m S ua tu Tin ja u an S osio lo g is, (Yogyakarta: Genta Publishing,
2009), hlm. 1. 73 Aulia, Hu ku m P ro g resif d a ri S a tjip to R ah a rd jo , hlm. 166-171.
21
banyak sekali kendala yang sifatnya legalistik-positivistik dan membuat keadilan tidak
tercapai. Legal-positivistik lahir dari positivists yang dikemukakan oleh Auguste Comte
dimana hukum secara sak lek diberlakukan dan tidak diakuinya moral metayuridis menciptakan
ketidakadilan terjadi.74 Legal-positivistik juga membuat hukum merupakan komoditas
ekonomi karena membuat praktisi hukum hanya menggodo k pasal-pasal yang ada tanpa
berpikir untuk memperbaruinya dan terlebih kepastian hukum hanyalah tujuan yang ingin
dicapai sehingga enggan ju’a untuk menciptakan terobosan peraturan baru untuk mencapai
suatu tujuan atau nilai di masyarakat yang lebih abstrak.75 Secara esensial Satjipto Rahardjo
ingin mengembalikan hukum sebagai bentuk dari nilai-nilai moral, etika dan akhlak dan
mengritisi peraturan yang ada sehingga terbentuk suatu bentuk progresif dalam hukum
Indonesia. Sifat formal-rasional dari hukum membuat hukum menjadi hal yang bukan berada
ditengah masyarakat melainkan diatasnya tidak meberi kesejahteraan dan kebahagiaan.
Satjipto memberi nama zaman sekarang dengan era pasca liberal dimana rakyat lebih berharap
hukum memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat tidak hanya sebagai night w atcher
(penjaga kemerdekaan dan individu).76
“Recht ist was dem volke nutzt”, hukum adalah apa yang berguna bagi rakyat.77 Istilah
Jerman ini dapat kita dalami dalam pelaksanaannya hukum itu sendiri. Kritik dari Satjipto
mengenai hukum modern adalah menstrukturisasi dan memformalisasi nilai-nilai dan tatanan
dari hukum terdahulu, hukum modern membuat semua jenis hukum kaku adanya sehingga
tidak mungkin meraih keadilan dalam bentuk pelaksanaan hukum sekarang yaitu hukum
modern.78 Dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat sangat dirasakan legal-positivistik dari
hukum di Indonesia yang padahal sudah jelas hasil yang diinginkan dalam penyelesaian
pelanggaran HAM berat adalah keadilan, seperti yang dibahas sebelumnya bahkan ketika untuk
memberi kompensasi atau bentuk restitusi harus melalui penyertaan dalam tuntutan yang
diajukan oleh jaksa, hakim juga harus mengalah dengan dalihan T eleconf erence tidak sesuai
dengan KUHAP dan ketentuan UU, Jarak waktu yang panjang untuk memeriksa saksi,
birokrasi Institusi Penegak Hukum, lemahnya kekuatan hukum KOMNAS HAM dan komisi
lainnya yang mumpuni dalam bidangnya untuk mengawasi kinerja Institusi Penegak Hukum,
74 M. Yasin al Arif, P eneg a ka n Hu ku m da la m P ersp ek tif Hu kum P ro g resif, Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Raden Intan, Undang: Jurnal Hukum ISSN 2598-7933 (online); 2598-7941 (cetak) Vol. 2 No. 1 (2019): 169-
192, DOI: 10.22437/ujh.2.1.169-192, hlm. 181. 75 Ifdhal Kasim, Mela mp a u i Orto d o ksi F o rma lisme Ka jia n Hu ku m P ro g resif d a la m P ers p ek tif S tu d i
Hu ku m Kritis , Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, ed. Myrna A. Syafitri, Awaluddi
Marwan, dan Yance Arizona (Jakarta: Epistema dan HuMa, 2011), hlm. 82. 76 Satjipto Rahardjo, Memb ed ah Hu ku m P ro g resif, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 10. 77 Suhardin, P era n an Hu ku m d ala m Mewu ju d ka n Keseja h tera a n , hlm. 273. 78 M. Yasin al Arif, Op Cit, hlm. 184.
22
sulitnya memperbarui Undang-Undang yang ada, dan masih banyak lagi masalah yang
dihadapi dalam menempuh jalur hukum dan justru dapat merugikan orang yang seharusnya
mendapat keadilan.
Jepang adalah negara yang jelas berhasil menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan
mereka sendiri yang jika dilihat dari sekilas adalah kedisiplinan, sementara sebenarnya terdapat
nilai yang lebih dalam (Metayuridis) daripada disiplin belaka. Kedisiplinan ini lahir dari nilai
spiritualisme aliran Zen, Konfusianisme, dan tradisi Samurai (Bushido). ñAnata no kokoro,
anata no utsukushisaò (hatimu kecantikanmu) secara konseptual orang Jepang memerdulikan
apa yang ada dihati dan membuat mereka memproyeksikan hanya kebaikan saja sebagaimana
seorang individu menginginkan keindahan di hatinya. Pemisahan yang jelas masalah tat emane
(di luar hukum positif) dan mengutamakan hone (di dalam, hati nurani, spiritisme) membuat
orang Jepang tidak terkungkung dalam kacamata hukum modern karena mereka telah secara
tidak langsung menjalankan hukum progresif.79 Sangat disayangkan Indonesia yang memiliki
nilai-nilai kebangsaan sendiri dan bahkan menjadi landasan idiil negara yaitu Pancasila
berserah diri pada pelaksanaan hukum modern yang bahkan tidak menguntungkan dan lebih-
lebih bukanlah identitas bangsa Indonesia.
Ghambir Bhatta sebagaimana dikutip Sedarmayanti mengungkapkan unsur – unsur
utama governance salah satunya adalah transparansi ( T ranspar enc y ).80 Dikutip dari Buku
Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pemerintah Daerah transparansi adalah prinsip
yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan
pelaksanaanya serta hasil – hasil yang dicapai.81 Dapat kita tarik dari sini transparansi adalah
hal yang esensial dan aman untuk mengambil kesimpulan bahwa transparansi menciptakan
hori zont al accountabi li ty (akuntabilitas pemerintah). Pada penyelesaian pelanggaran HAM
berat transparansi dapat menjadi jawaban untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
pemerintah atau Institusi Penegak Hukum karena yang sebelumnya sudah dipaparkan
pelanggaran HAM merupakan urusan seluruh umat, maka dari itu tidaklah salah masyarakat
dan semua golongan baik swasta maupun pemerintah itu sendiri bahu-membahu
menyelesaikan masalah pelanggaran HAM baik berat maupun ringan. Dengan adanya
79 Satjipto Rahardjo, Hu ku m P ro g resif: S eb ua h S in tesa Hu ku m I nd o n esia , (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hlm. 102. 80 Sedarmayanti, Go od Go ve rn a n ce ( Kep eme rin ta h a n Yan g B a ik) , Membangun Sistem Manajemen
Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas menuju Good Governance , Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 43. 81 Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan Depdagri
2002, hal.18
23
transparansi maka akan muncul feedback (tanggapan/masukan) dari semua kalangan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi Institusi Penegak Hukum sebagaimana yang menjadi
alasan para pejabat Institusi Penegak Hukum menghadapi kendala pada pembuktian materiil.
Dihubungkan dengan hukum progresif transparansi hukum dapat berkembang mengikuti
zaman dan kebutuhan dengan mudah karena tidak terkekang dengan sifat formalitas yang
dipegang teguh oleh hukum modern. Dengan pesatnya perkembangan teknologi dan bantuan
banyak pihak seluruh masalah yang dihadapi oleh pengadilan ad hoc dapat diselesaikan,
misalnya saksi bisa melakukan T ele conferen c e dalam bersaksi di pengadilan, Jaksa
melampirkan laporan atau tuntutan kepada publik melalui medium media massa, website, dan
media sosial sekaligus sehingga terdapat transparansi yang jelas dalam berjalannya
penyelesaian kasus pelanggaran HAM, perlindungan terhadap saksi lebih dapat dijamin dengan
hukum progresif karena Institusi Penegak Hukum dapat menjamin kerahasiaan identitas saksi
dari lembaga lainnya karena biasanya saksi berasal dari afiliasi lembaga pemerintahan yang
memiliki akses terhadap identitas saksi tersebut dan celakanya lagi saksi memiliki pangkat
yang lebih rendah dari terdakwa dan sangat riskan akan tekanan hirarki yang memiliki pangkat
lebih tinggi. Dengan adanya permulaan transparansi membuat negara Indonesia lebih maju
karena pejabat lebih terekspos dan dapat membuat abdi negara fokus pada pengabdian dan
bukan melakukan hal lain diluar itu yang merugikan seperti korupsi dan berpolitik yang tidak
sehat.
D. Stigma Memicu Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor negara atau pemerintah itu sendiri
tidak serta merta melakukan pelanggaran HAM karena keinginan mereka sendiri, melainkan
refleksi dari masyarakat itu sendiri. Lantaran masyarakat sendiri masih memiliki penilaian
buruk tentang negara atau masyarakatnya sendiri, masih banyak banyak stigma buruk yang
memicu pelanggaran HAM, terutama diskriminasi.82 Pada orang papua masih didapati rasisme
etnis terhadap mereka bahkan pelaku dari rasisme tersebut adalah akademisi. Seorang tenaga
didik menyatakan pertanyaan kepada pelajarnya secara gamblang “Kenapa mahasiswa Papua
bau dan dekil”.83 Lebih parah lagi orang Papua pernah mendapat pernyataan yang menyamakan
82 Muhammad Saleh Nuwa, Stefanus Mendes Kiik, dan Antonius Rino Vanchapo, P en a n ga n an
Terh a d a p S tig ma Ma sya ra ka t ten ta ng Ora n g Den ga n HI V /AI DS ( ODHA ) d i Ko mu n ita s , Jurnal Penelitian
Kesehatan Suara Forikes, Volume 10 Nomor 1, Januari 2019 p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778, hlm. 53. 83 BBC Indonesia, Ma h a siswa P a p u a b ica ra so a l ra sia lisme: 'D ih in a b a u , to lo n g ha rg a i ka mi seb a g a i
ma n u sia ' , https://www.bbc.com/indonesia/media-49445587, diakses 21 Juli 2020.
24
mereka dengan binatang monyet.84 Mirisnya orang Indonesia banyak yang peduli dengan kasus
rasisme yang terjadi di negara Amerika yang merenggut nyawa George Floyd, karena faktor
rasisme terhadap korban polisi yang bertugas menangkap Floyd melampaui batas yang
seharusnya sehingga merenggut nyawa korban,85 tetapi tidak memperhatikan kasus
pelanggaran HAM yang serupa di Indonesia.86 Ada banyak latar belakang mengapa
diskriminasi akan ras kulit hitam kerap terjadi. Salah satunya adalah Eurocentri c Beauty
Standar d dimana kecantikan distandarisasi dengan bentuk atau rupa orang Eropa pada
umumnya.87 Meskipun dikatakan kecantikan adalah Unitas Mult ipl ex (kesatuan dari banyak
lapisan unsur) orang memiliki kecenderungan dalam mendefinisikan kecantikan dengan unsur
dasar yakni tampilan seperti halnya kulit putih, kekontrasan warna kulit menciptakan juga
definisi keburukan atau definisi dari “buruk rupa”.88 Dimana warna kulit putih diterima sebagai
standar kecantikan, menciptakan definisi semakin gelap warna kulit maka semakin tidak
cantiklah dia. Hal ini terjadi dari jaman ke jaman dan diantara bangsa-bangsa dan membentuk
menjadi stigma bahwa kecantikan adalah warna kulit yang berlaku pada semua etnis. Akan
tetapi bukan berarti menjadi alasan bagi orang untuk mendiskriminasi orang berdasarkan warna
kulitnya belaka. Terutama oleh negara yang menganut Bhineka T unggal Ika sebagai pedoman
negara.
Tidak hanya terhadap etnis Papua tetapi kasus pelanggaran HAM terjadi pada suatu
kelompok masyarakat yang berbeda pendapat, kondisi fisik, kepercayaan, dan yang tergolong
minoritas mendapat perlakuan buruk.89 Banyak bentuk implisit dimana negara dan masyarakat
mayoritas tidak menyadari telah setuju melakukan diskriminasi dan pelanggaran HAM. Pada
kolom agama di KTP mempersulit dan tidak memberi kebebasan beragama yang merupakan
HAM yang diakui di Pasal 55 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 dan pada Pasal 29 ayat (2)
pada Undang-Undang Dasar 1945. Diskriminasi tidak hanya berhenti disitu tetapi warga yang
84 BBC Indonesia, Ma n o kwa ri ru su h : 'Ka mi o ra ng P a p ua d ika ta ka n seb a g ai mo n ye t' ,
https://www.bbc.com/indonesia/media-49399008, diakses 21 Juli 2020. 85 Jorge Fitz-Gibbon, Here’s everything we know about the death of George Floyd,
https://nypost.com/2020/05/28/everything-we-know-about-the-death-of-george-floyd/, diakses 21 Juli 2020. 86 Ferry Noviandi dan Evi Ariska, Du ku n g Ka su s Geo rg e F lo yd , P rilly La tu co n sin a In g a tka n R a sisme d i
I n d on esia ,https://www.suara.com/entertainment/2020/06/03/134500/dukung-kasus-george-floyd-prilly-
latuconsina-ingatkan-rasisme-di-indonesia, diakses 21 Juli 2020. 87 Dia Sekayi, A esth etic R e sis ta n ce to Co mme rcia l I n flu en ce s: Th e I mp a ct o f th e E u ro ce n tric B ea u ty
S ta n d a rd on B la ck Co lleg e Wo men , The Journal of Negro Education, Autumn, 2003, Vol. 72, No. 4,
Commercialism in the Lives of Children and Youth of Color: Education and Other Socialization Contexts
(Autumn, 2003), pp. 467-477, hlm. 467. 88 Mariagrazia Portera, Wh y Do Hu ma n P e rce p tio n s o f B ea u ty Ch a n g e? Th e Co n stru ctio n o f th e A esth etic
Nich e , RCC Perspectives, No. 5, MOLDING THE PLANET: Human Niche Construction at Work (2016), pp.
41-48, hlm. 41. 89 Human Rights Watch, A ta s Na ma A g a ma : P ela n gg a ra n terh a d a p Min o rita s A g a ma d i I n d o n esia ,
(United States of America: Human Right Watch), hlm. 50.
25
merupakan agama atau kepercayaan minoritas tidak dapat beribadah karena tidak diijinkan
mendirikan rumah ibadah dan bahkan rumah ibadah dirusak atau didemo warga sekitar yang
merupakan beda agama atau kepercayaan.90 Pada orang yang mengidap HIV/AIDS pun
demikian mereka mendapat perlakuan berbeda di tengah masyarakat, terbentuk stigma di
masyarakat bahwa pengidap HIV/AIDS merupakan pelanggar norma-norma dan sampah
masyarakat.91 Masyarakat bahkan sampai bertindak ekstrim seperti meneror dan menghina
para korban HIV/AIDS.92 Seakan-akan karena kondisi seseorang berbeda menjustifikasi kaum
mayoritas untuk melecehkan dan mendiskriminasi kaum minoritas.
Diskriminasi yang merupakan hasil dari stigma ini tidak disadari oleh masyarakat
mendukung dan membuat pemerintah melakukan kesemenaan dan berakibatkan terjadinya
pelanggaran HAM berat. Sebagaimana yang sebelumnya yang sudah dibahas bahwa
pelanggaran HAM berat adalah kelalaian negara atau negara sendiri yang berperan dalam
pelanggaran HAM diinduksikan dari ini pelanggaran HAM ringan yang merupakan antonim
dari pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM yang dilakukan sepihak dan bukan oleh
negara.93 Meskipun pelanggaran HAM ringan itu sendiri tidak mendapat definisi yang jelas
dalam Undang-Undang yang mengatur, tetapi pada UU No 39 Tahun 1999 dinyatakan dengan
jelas bahwa suatu perbuatan yang “secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang” merupakan
pelanggaran HAM. Dapat ditarik kesimpulan dari ini bahwa pelanggaran HAM baik ringan
maupun berat adalah sama posisinya sebagai pelanggaran HAM dan bukanlah perkara yang
dapat diremehkan. Meskipun ada beberapa kasus yang sebelumnya dibahas ditolak oleh pejabat
sebagai kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Paniai dan Semanggi I dan II. Kedua kasus
tersebut merupakan kasus pelanggaran HAM karena terbukti terdapat pencederaan terhadap
HAM suatu kelompok orang sekaligus. Yang menjadi pertanyaan adalah kasus seperti Paniai
dan Semanggi merupakan kasus apa jikalau bukan pelanggaran HAM berat. Tidaklah tepat
untuk mengkategorikan kasus Paniai dan Semanggi yang jelas adanya pertumpahan darah
sebagi pelanggaran HAM ringan dimana salah satu doktrinnya adalah pelanggaran yang tidak
mengakibatkan kehilangan nyawa.94 Pada implementasi pengadilan pun tidak didapati
pengadilan teruntuk pelanggaran HAM ringan karena telah dimanifestasi dengan hukum
90 I b id , hlm. 61. 91 Muhammad Saleh Nuwa, Stefanus Mendes Kiik, dan Antonius Rino Vanchapo, Op . Cit, hlm. 53. 92 I b id . 93 Smith, Rohna K.M., Hu ku m Ha k A sa si Ma n u sia . Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) (Yogyakarta, 2008). 94 Leslie A. Pal, Co mp etin g Para d ig ms in P o licy Disco u rse: Th e Ca se o f I n tern a tion a l Huma n R ig h ts ,
Policy Sciences, May, 1995, Vol. 28, No. 2, Policy Interpretation (May, 1995), pp. 185-207, hlm. 197.
26
pidana, kejahatan pelanggaran HAM ringan memiliki kesamaan dan implikasi tumpang tindih
di dalam substansinya. Sehingga kembali lagi ketika aparatur negara menolak kasus
pelangggaran HAM sebagai pelanggaran HAM berat, maka penyelesaian apa yang diharapkan
oleh negara?
27
Bab III : Penutup
A. Kesimpulan
Pelanggaran HAM berat merupakan kasus yang pelik dan tidak luput dari negara
manapun. Tak terkecuali Indonesia yang bahkan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
yang radikal. Tapi sangat disayangkan negara yang mengakui dirinya sebagai negara hukum
enggan menjalani dan memiliki banyak kekurangan dalam jalur hukum. Masih banyak
ketidakpastian, kurang jelas dan terlalu abstraknya makna pada Undang-Undang dan
kurangnya kompetensi Institusi Penegak Hukum yang merupakan lembaga peradilan dan
penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Terdapat banyak solusi yang bisa dilalui bangsa
Indonesia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam peradilan pelanggaran HAM
berat mulai dari menggandeng pihak Internasional sampai merombak hukum itu sendiri.
Penyelesaian pelanggaran HAM tidaklah hanya perkara merestitusi para korban pelanggaran
HAM tetapi merupakan bagaimana keadilan ditegakkan di Indonesia. Pelanggaran HAM berat
benar adanya merupakan tanggung jawab negara sebagai pelaku pelanggaran HAM berat.
Tetapi tidak serta merta masyarakat tidak berperan dalam melakukan pelanggaran HAM baik
secara sadar maupun tidak sadar dengan stigma sebagai landasan utamanya.
B. Saran
Untuk mengatasi beberapa masalah yang dihadapi peradilan ad hoc Institusi Penegak
Hukum dapat memperbarui Undang-Undang yang berlaku dengan memperkuat posisi
KOMNAS HAM dan lembaga lainnya yang berkapasitas sebagai penyidik kasus pelanggaran
HAM di mata hukum agar mereka dapat membantu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
terutama pelanggaran HAM berat yang sarat penyelesaiannya. Membuka ruang untuk
teknologi didalam tata acara peradilan seperti memperbolehkan T ele co nference sebagai
medium untuk peradilan ad ho c. Memberikan kepastian jaminan dan restitusi kepada para
saksi dan korban. Mempersempit ruang birokrasi dalam berjalannya peradilan. Menggandeng
pihak internasional juga dapat menjadi opsi pertama karena dalam penyelesaian pelanggaran
HAM baik melalui peradilan Hybrid ataupun kasasi internasional juga dapat menjadi
konsiderasi karena menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM
dan lebih bebas dari kepentingan politik nasional.
28
DAFTAR PUSTAKA
Lawrence M.Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Rusell Sage
Foundation, New York 1975, hlm. 17-18.
Ismail Rumadan, Peran L embaga Peradi lan Sebagai Instit usi Penegak Hukum Dalam
Menegak kan K eadil an B agi T erw ujudnya Perdamaian , Jurnal RechtsVinding, Vol. 6
No. 1, April 2017, hlm. 75.
Dr. Linda Rabieh, Modern Conceptions of Freedom, (Massachusetts, 2013)
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, PENEGAK AN HUKUM , hlm. 2.
Indonesia, Undang - Und ang Dasar 1945 , Pasal 1 ayat (3).
Bewa Ragawino, S.H., M.SI., HUK U M T AT A NEGARA, (Bandung, 2007), hlm. 45.
Indonesia, Pancasila, sila ke-2.
John Locke, An Essay C oncerning Human Und erst anding , (Inggris, 1690).
Kurniawan Kunto Yuliarso dan Nunung prajarto, Hak Asasi Manusi a (HAM) di Indonesia :
Menuju Demo crati c Gov ernance , (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik Volume B, Nomor
3, Maret 2005), hlm. 301.
Gedeon M. Mudacumura, Challenges to Democratic Governance in Developing Countries,
(Switzerland,2014), hlm. 19.
Jimly Asshiddiqie,Konstitusi Dan Konstitusionalisme., (Jakarta, konstitusi press . 2006) hlm.
259
Yati Andriyani, Pernya taan Jaksa Agung; Pe ngingkaran, P enyangkal an dan T indakan
Melaw an Hukum , https://kontras.org/2020/01/17/pernyataan-jaksa-agung-
pengingakaran-penyangkalan-dan-tindakan-melawan-hukum/,diakses 7 Juli 2020.
Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia”
Program Studi Pendidi k an K ew arganegaraan Ju rusan Pendidi kan K ew a rganegaraan
dan Hukum (2015), hlm. 2.
29
Indonesia, Undang - Und ang Republi k Indon esia N omor 26 T ahun 2000 T entang Pengadil an
Hak Asasi Manusi a , Pasal 23 ayat (1).
Indonesia, Undang - Und ang Republi k Indonesia N omor 39 T ahun 1999 T entang Hak Asasi
Manusi a , Pasal 1 ayat (1).
Ninik Yuniati, Peny el esaian 7 K asus Pela nggaran HAM, Wirant o: N onyudisi al ,
https://kbr.id/berita/nasional/01-
2017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html,
diakses 7 Juli 2020.
Aulia Rosa Nasution, P enyelesaian K asus P ela nggaran HAM B erat m elal ui Pengadil an
N asion al dan Internasi onal serta K omisi K ebenaran dan Rekonsi li asi , hlm. 109.
Indonesia, Undang - Unda ng Dasar 1945 , Pembukaan.
Indonesia, Undang - Und ang Republi k Indonesia N omor 26 T ahun 2000 Tentang Pengadil an
Hak Asasi Manusi a , Pasal 43
Lee M. Caplan, Stat e I m munity, Human Right s, and Jus C ogens: A C rit ique of the N ormati ve
Hierarchy T heory , The American Journal of International Law, Oct., 2003, Vol. 97, No.
4 (Oct., 2003), pp. 741-781, hlm. 742.
Indonesia, Undang - Und ang Republi k Indonesia N omor 39 T ahun 1999 T entang Hak Asasi
Manusi a , Pasal 1 ayat (6).
Dian Kurniawan, K omna s HAM K lai m T elah Sel e saikan 11 Berkas Pelang garan HAM B e rat ,
https://www.liputan6.com/news/read/3955980/komnas-ham-klaim-telah-selesaikan-11-
berkas-pelanggaran-ham-berat, diakses 9 Juli 2020.
Indonesia, Undang - Unda ng Republi k Indonesia N omor 5 T ahun 1986 T ent ang Peradi lan T ata
Usaha Negara , Pasal 53 ayat (1).
Fathiyah Wardah, K elua rga K orban Semanggi I dan II Berharap PT UN K abulkan Gugatan
terhadap Jaksa Agung , https://www.voaindonesia.com/a/keluarga-korban-semanggi-i-
dan-ii-berharap-ptun-kabulkan-gugatan-terhadap-jaksa-agung/5422394.html
30
Antara, K orban P ela nggaran HAM B erat T agih K eadil an ke K omnas HAM,
https://nasional.tempo.co/read/1281813/korban-pelanggaran-ham-berat-tagih-keadilan-
ke-komnas-ham/full&view=ok, diakses 14 Juli 2020.
CNN Indonesia, Jaksa Agung Ungkap Ha m batan Penyelesaian K asus HAM Berat ,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191107142131-12-446354/jaksa-agung-
ungkap-hambatan-penyelesaian-kasus-ham-berat, diakses 14 Juli 2020.
Julius Basa Bae adalah anggota Polsek (Kapospol) Wemasa, Belu, NTT. Salah seorang
yang mengetahui prosesi penguburan para korban penyerangan gereja Ave Maria Suai,
Kovelima. Dia bersaksi untuk perkara dengan terdakwa Herman Sedyono, dkk.
Supriyadi Widodo, Eddyono Wahyu, dan Wagiman Zainal Abidin, Perli ndungan Saksi dan
K orban : C atat an Atas Pengalaman Pengadil an H AM Ad Hoc K asus Pelan ggaran HAM
Berat di T imor - T imur , (Jakarta, 2005), hlm. 2.
Artur Caecarea, Perli ndu ngan Saksi Dan K orban Dalam Pelanggar an Ham Berat, Fakultas
Hukum Universitas Mataram, (Mataram, 2014), bag. Ix.
Patricia B. Fellner, C om den v. Superior C ourt : Disqual if ication of the T esti fying Attor ney,
California Law Review, Jul., 1979, Vol. 67, No. 4, The Supreme Court of California
1977-1978. Part II (Jul., 1979), pp. 824-842, hlm. 827.
Lubna Mohiuddin, Huma n Right s Viol ati ons: A C ase Study of K ashmir, Pakistan Horizon, Vol.
50, No. 2 (April 1997), pp. 75-97, hlm. 85.
Adarsh Sein Anand, T he Developm ent of the C onst it uti on of Jammu and K ashmir (New Delhi:
Light and Life Publishers, 1980), hlm. 226.
Malahayati, T anggung Jaw ab Individu T erhada p K ejahat an K emanusiaan (Anali sis K asus
K hmer Merah) , hlm. 4. Dunoff, Jeffrey. L, dkk. Internat iona l L aw : Norms, Actors ,
Process: a Problem Ori ented Approach , 2nd Ed. (New York: Aspen Publisher, 2006)
Hlm. 611.
Sovann MAM, Beyond the K hmer Rouge T ribun al: Addressi ng a L ack of Reconcil iat ion at the
C ommunit y L evel , Swisspeace (2019), hlm. 18.
31
Maria Rita Hasugian, Dua Pemimpin K hmer Merah di K amboja Terbukti Melakukan
Genosi da, https://dunia.tempo.co/read/1147030/dua-pemimpin-khmer-merah-di-
kamboja-terbukti-melakukan-genosida/full&view=ok, diakses 22 Juli 2020.
U.N. Doc. A/CONF.183/9 (1998)
Adi Briantika, Penyel e saian Pelanggar an HAM Berat Papua Seper ti Merebus Batu,
https://tirto.id/penyelesaian-pelanggaran-ham-berat-papua-seperti-merebus-batu-fJzT,
diakses 22 Juli 2020.
Bagus Prihantoro Nugroho, Jokow i Bilan g Suli t Selesaikan K asus HAM M asaL alu, Benarkah?,
https://news.detik.com/berita/d-4389482/jokowi-bilang-sulit-selesaikan-kasus-ham-
masa-lalu-benarkah, diakses 22 Juli 2020.
CNN Indonesia, K ontr aS: Isu HAM Jadi K omoditas Polit ik C apres Seti ap Pemilu,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181210164105-32-352513/kontras-isu-ham-
jadi-komoditas-politik-capres-setiap-pemilu, diakses 16 Juli 2020.
Egi Adyatama, Rapor Merah P enagakan H AM di Era P emerint a han Joko Widodo ,
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/15/15503951/jokowi-didesak-selesaikan-
kasus-pelanggaran-ham-berat, diakses 16 Juli 2020.
Prof. Dr. Thomas Meyer, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan
Tesis, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), (Jakarta, 2008), hlm. 13.
Yugo Hindarto, Jaks a Agung Akui K esuli tan Usut K asus Pelanggar an HAM ,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180615192012-12-306414/jaksa-agung-
akui-kesulitan-usut-kasus-pelanggaran-ham?, diakses 16 Juli 2020.
Ahmad Hambali, Edwin Partogi, Eko Dahana, Ikravany Hilman, Indria Alphasonny, M. Islah,
Munarman, Munir, Sri Suparyati dan Victor da Costa, Sakrali sasi Ideologi Memakan
K orban, (KontraS Jakarta, 2003) hal. 5.
Tim penilaian Zona Militer Papua Komnas HAM, Gross Viol ati on of Huma n Right s in Papua
1963 ï 1998 , catatan kaki No. XX, hal. 180 & 181.
Amnesty International Indonesia, "Sudah, K asi T inggal Dia Mati ": Pembunuhan dan
Impunit as Di Papua ,(Jakarta, 2018), hlm. 14.
32
CNN Indonesia, Istana Bantah K asus Pania i Papua Pelanggar an HAM Berat ,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200217151444-32-475390/istana-bantah-
kasus-paniai-papua-pelanggaran-ham-berat, diakses 17 Juli 2020.
KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gemah, diakses 17 Juli 2020.
Evan A. Laksmana, Dina mika Polit ik Mil it er Indonesia , Panduan Media dan Reformasi Sektor
Keamanan, eds. Beni Sukadis and Aditya Batara. Jakarta: Indonesian Institute Defense
and Strategic Studies and Geneva Center for the Democratic Control of the Armed
Forces, pp. 91 – 111, hlm. 101.
Imparsial, Regional Budget for T N I: A T hreat for C ivili an C ontro l over the Mil it ary , Catatan
Imparsial 1 (2004).
International Crisis Group, Aceh: Why Military Force Wonôt Bring Lasting Peace, ICG Asia
Report 17 (2001): hal. 12.
Achmad Dwi Afriyadi, K unjungi Papua, Rini Resmikan 16 Proyek Strat egis Rp 2 T ,
https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4180695/kunjungi-papua-rini-resmikan-16-
proyek-strategis-rp-2-t, diakses 17 Juli 2020.
George J. Aditjondro, Guns, Pamphlets and Handie - T alkies: How the Mil it ary Exploi ted L ocal
Ethno - Reli gious T ensions in Maluku to Preserve T heir Polit ical and Economi c
Priv il eges , dalam Violence in Indonesia, ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer
(Hamburg: Abera, 2001), 100-128.
Douglas Bland, A Unif ied T heory of Civil - Mil it ary Relat ions , Armed Forces and Society, Vol.
26, No. 1 (1999): hal. 9-13.
Hwian Christianto, Penafsi ran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana , Mimbar Hukum, 23,
3, (2011), hlm. 480.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu T inj auan Sosi ologi s, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hlm. 1.
Aulia, Hukum Progresif dari Satj ipt o Rahardjo , hlm. 166-171.
33
M. Yasin al Arif, Pen ega kan Huku m dalam Persp ekti f Hukum Progresif , Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Raden Intan,
Undang: Jurnal Hukum ISSN 2598-7933 (online); 2598-7941 (cetak) Vol. 2 No. 1 (2019): 169-
192, DOI: 10.22437/ujh.2.1.169-192, hlm. 181.
Ifdhal Kasim, Melampau i Ortodoksi Formalis me K aji an Hukum Progresif dalam Perspekti f
Studi Hukum K rit is , Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, ed.
Myrna A. Syafitri, Awaluddi Marwan, dan Yance Arizona (Jakarta: Epistema dan HuMa,
2011), hlm. 82.
Satjipto Rahardjo, Memb edah Hukum Progr esif , (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 10.
Suhardin, Peranan Huku m dalam Mew ujudkan K esejaht eraan , hlm. 273.
Satjipto Rahardjo, Huku m Progresif : S ebuah Sin tesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hlm. 102.
Sedarmayanti, Good Governanc e (Kep emerin tahan Y ang Baik) , Membangun Sistem
Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas menuju Good Governance ,
Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 43.
Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan
Depdagri 2002, hal.18
Muhammad Saleh Nuwa, Stefanus Mendes Kiik, dan Antonius Rino Vanchapo, Penanganan
T erhadap Sti gma Masya rakat tentang Orang Den gan HIV/AIDS (ODHA ) d i K omunitas ,
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, Volume 10 Nomor 1, Januari 2019 p-ISSN
2086-3098 e-ISSN 2502-7778, hlm. 53.
BBC Indonesia, Mahasi s w a Papua bicara soal rasial isme: 'Dihina bau, tol ong hargai kami
sebagai manusia' , https://www.bbc.com/indonesia/media-49445587, diakses 21 Juli
2020.
BBC Indonesia, Manok w ari rusuh : 'K ami orang Papua dikatakan sebagai monyet' ,
https://www.bbc.com/indonesia/media-49399008, diakses 21 Juli 2020.
34
Jorge Fitz-Gibbon, Here’s everything we know about the death of George Floyd,
https://nypost.com/2020/05/28/everything-we-know-about-the-death-of-george-floyd/,
diakses 21 Juli 2020.
Ferry Noviandi dan Evi Ariska, Du kung K asus George Flo yd, Pril ly L a tuconsina Ingatkan
Rasis me di
Indonesia ,https://www.suara.com/entertainment/2020/06/03/134500/dukung-kasus-
george-floyd-prilly-latuconsina-ingatkan-rasisme-di-indonesia, diakses 21 Juli 2020.
Dia Sekayi, Aesthetic Resis tance to C ommercial Influences: T he Impact of the Eurocentri c
Beauty Standar d on Black C oll ege Women , The Journal of Negro Education, Autumn,
2003, Vol. 72, No. 4, Commercialism in the Lives of Children and Youth of Color:
Education and Other Socialization Contexts (Autumn, 2003), pp. 467-477, hlm. 467.
Mariagrazia Portera, Wh y Do Hu man Per cepti ons of Beauty Change? T he C onst ructi on of t he
Aesthetic N iche , RCC Perspectives, No. 5, MOLDING THE PLANET: Human Niche
Construction at Work (2016), pp. 41-48, hlm. 41.
Human Rights Watch, Atas N ama Agama: Pelanggar an terhada p Minori tas Agama di
Indonesia , (United States of America: Human Right Watch), hlm. 50.
Smith, Rohna K.M., Hukum Hak Asasi Manusi a . Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) (Yogyakarta, 2008).
Leslie A. Pal, C ompeti ng Paradigms in Policy Discourse: T he C ase of Internati onal Human
Right s , Policy Sciences, May, 1995, Vol. 28, No. 2, Policy Interpretation (May, 1995),
pp. 185-207, hlm. 197.