CONTOH KEWIRAUSAHAAN
description
Transcript of CONTOH KEWIRAUSAHAAN
![Page 1: CONTOH KEWIRAUSAHAAN](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022081719/55721407497959fc0b9398a6/html5/thumbnails/1.jpg)
NAMA : ULFA ULINUHA
NIM : 0710313071
CONTOH KEWIRAUSAHAAN
Mifta "Winnetou" dari Blitar
Written by Administrator
Monday, 05 April 2004
Perawakannya kurus kecil, berambut gondrong. Sepintas penampilannya
seperti layaknya pemuda ugal-ugalan. Namun, begitu berbincang panjang,
terungkaplah jejak kerja keras yang dimulainya sejak usia 20 tahun. Kerja keras
yang membawanya menjadi produsen aksesori motif Indian. Di dinding
rumahnya, tergantung wajah-wajah Winnetou lengkap dengan topi berhias bulu
unggas. Dinding dipenuhi berbagai pernik perlengkapan Indian, seperti busur,
kapak (tiruan tomahawk), marakas, hingga "pipa perdamaian".
Mifta Kurrahma (27), pemuda itu, kini begitu sibuk untuk memenuhi
permintaan pasokan dari toko milik kawannya di Kuta dan Legian serta di
sejumlah toko suvenir di Bali. Dua minggu sekali, dia rutin mengirim barang-
barang produksinya. "Saya belum berani menerima pesanan langsung dari luar
(negeri) karena sulit menepati dead line. Ini saja sudah cukup repot," ujarnya.
Omzetnya mencapai kisaran Rp 40 juta-Rp 50 juta per bulan.
Di Blitar, dialah satu-satunya pelaku industri kerajinan kreatif berupa
aksesori motif Indian. Dua produsen lain kerajinan barang-barang bermotif
Indian, menurut Mifta, berproduksi di Yogya dan di Bandung.
"Yang di Bandung menitikberatkan pada kualitas dan kemiripan sehingga bahan
baku banyak impor. Yang di Yogya fokus pada topeng," ujarnya. Dia
mengungkapkan, dari Pak Yul-demikian dia menyebut pengrajin di Yogya itu-dia
belajar membuat kerajinan bermotif Indian.
![Page 2: CONTOH KEWIRAUSAHAAN](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022081719/55721407497959fc0b9398a6/html5/thumbnails/2.jpg)
Mifta kemudian menemukan bentuknya sendiri, menciptakan aksesori ala
Indian. Beragam aksesori, dari yang berukuran kecil seperti dream catcher hingga
yang besar yaitu baju, dijual dengan kisaran harga Rp 5.000-Rp 1 juta.
TIDAK terlalu terbuka akan masa lalunya, Mifta mengungkapkan, dia
meninggalkan rumahnya selepas ssekolah lanjutan tingkat atas untuk pergi ke
Bali. Tanpa keahlian, dia akhirnya bekerja serabutan. "Sempat enam bulan
menjadi tukang bangunan," ujarnya.
Dorongan untuk bisa mandiri membuatnya jeli melihat celah. Dia sadar
harus menguasai bahasa Inggris untuk membuka peluang lebih besar agar
nasibnya bisa berubah. "Selama delapan bulan di Pantai Kuta saya belajar bahasa
Inggris. Bergaul dengan banyak orang, dengan wisatawan," ujar Mifta.
Peluang mulai terbuka ketika dia diterima bekerja sebagai tukang cat di
sebuah toko seni milik warga negara Amerika Serikat (AS), Richard Tokunaga
(76), di daerah Legian, Kuta, Bali. "Waktu ditanya apa saya bisa (mengecat), saya
nekat menjawab ''bisa''. Terus terang, sebetulnya saya tidak bisa," tutur Mifta. Ia
kemudian diajari Richard keterampilan membuat lilin ukir yang banyak disukai
wisatawan. "Selama tiga bulan saya belajar," tutur dia.
Setelah menguasai, dia pun diberi Richard modal Rp 50 juta. Mereka
bermitra dengan sistem bagi hasil. "Sekitar Rp 12 juta saya pakai sebagai modal,
sisanya untuk cadangan," jelas Mifta.
Tahun 1997, usaha itu berkembang bagus hingga memiliki ruang pamer di
Padang Sambian, di samping sejumlah karyawan. Semua produknya diekspor ke
Australia dan Selandia Baru. Usahanya berkembang hingga bisa mendapat order
tiga kontainer ukuran 12 kaki sekali pesan. Bila dirata-rata, per bulan dia bisa
mengekspor satu kontainer. Harga lilin ukirnya bervariasi antara Rp 12.000
hingga Rp 40.000.
Hingga datanglah musibah itu. Krisis moneter tahun 1997 membuat
usahanya hancur karena kurs dollar AS meningkat menjadi enam kali lipat.
Akibatnya, beban pesanan yang harus ia selesaikan sempat membuat dia tertekan.
"Bayangkan saja, waktu itu harga bahan baku meningkat, biaya pengiriman
tinggi. Akhirnya, demi memenuhi pesanan, saya menjual aset show room dan
semua bahan baku," kenang Mifta.
![Page 3: CONTOH KEWIRAUSAHAAN](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022081719/55721407497959fc0b9398a6/html5/thumbnails/3.jpg)
"Tinggal sepeda motor, toko yang tersisa kontraknya, serta mesin pelebur lilin
saja yang tinggal," ujarnya getir. Di masa-masa sulit itu, Richard pulang ke AS-
ruang pamer Richard lalu dikelola sang adik, Florence Kawasaki-yang kemudian
menjadi ibu asuh Mifta. Mifta sendiri akhirnya menutup usaha lilinnya.
SELAMA beberapa bulan, Mifta sempat stres. Di tengah kondisi tertekan
itu, ia mendapat dukungan dari teman-teman dan ibu angkatnya. Dia kadang
luntang-lantung memancing dan sempat mencoba usaha kerajinan perak. "Hanya
tahan enam bulan karena bahan baku naik menjadi sepuluh kali lipat. Tidak bisa
bersaing," jelas Mifta.
Pertengahan tahun 1999, ia mengajar lilin ukir di Singapura selama lebih
kurang tiga bulan. "Di sana, saya digaji Rp 5 juta per bulan. Setelah saya hitung,
lebih baik saya berusaha sendiri, apalagi saya sudah menikah dan punya anak
waktu itu," tuturnya. Putrinya, Sarae Sagita Rahma, lahir tahun 2000.
Niat itu mendapat dukungan dari istri dan ibu angkatnya. Melalui
Florence, Mifta bertemu dengan seseorang pakar di bidang nail art. Dia pun
sempat ikut terjun ke nail art. Namun, teman itu mendorongnya membuat
kerajinan dengan motif Indian. "Lebih universal, bisa diterima banyak orang,"
kata teman itu. Barulah pada akhir tahun 1999 ia memulai usahanya dengan
modal Rp 3 juta.
Meski kemudian produknya laris, dia menyadari, di Bali biaya hidup
tinggi, ongkos produksi dan tenaga kerja pun mahal. "Saya biasa mendapat order
aksesori dengan nilai Rp 100 juta-Rp 150 juta per bulan, namun kami tidak bisa
merasakan hasilnya," tuturnya. Bulan April tahun 2000, ia memutuskan pindah ke
kampung halamannya di Dusun Bendil, Blitar, setelah menjual ruang pamernya.
Namun, dia ditentang orangtuanya. "Mereka berkomentar, apa saya bisa
hidup dengan menjual wulu (bulu)?" ujar Mifta, yang kini memiliki sekitar 1.500
ekor ayam mutiara dan bebek yang bulunya dipakai untuk membuat aksesori.
"Kami berpikir, di Blitar, ongkos produksi murah, biaya tenaga kerja pun murah,"
tuturnya. Kini dia dibantu sekitar 55 orang dari dusunnya.
Mifta yang saat kecil dimarahi orangtua kalau mencorat-coret tembok,
kini sering tidur lewat tengah malam untuk mencoretkan inspirasinya ke atas
![Page 4: CONTOH KEWIRAUSAHAAN](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022081719/55721407497959fc0b9398a6/html5/thumbnails/4.jpg)
kertas. Karyanya memang kaya akan warna. Di sebuah marakas, misalnya, ada
renda, manik-manik, tali rami, dan berbagai macam bulu, dari ayam mutiara
hingga bulu bebek. Winnetou itu telah mampu bertahan dan hidupnya kaya akan
warna. (Helena Fransisca/ Isworo Laksmi)
Dusun Santren Pusat Industri Bubut Kayu Dunia
Kamis, 03 September 2009 06:46
Dusun Santren, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota
Blitar, menjadi satu-satunya pusat industri bubut kayu terbesar di dunia. Di tempat
lain, hanya ada di Afrika dan Thailand.
Suara gesekan mesin bubut dengan kayu terdengar nyaring, bersahut-
sahutan dengan mesin kendaraan yang keluar masuk Santren. Semarak industri
bubut jelas terasa saat memasuki mulut desa seluas 23 hektar ini. Kesibukan para
pengrajin tampak di rumah-rumah warga, yang juga menjadi tempat produksi.
Berkat usaha kerajinan ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Blitar mencanangkan
kawasan yang terletak 4 km utara pusat kota ini menjadi kampung wisata pada
tahun 2010.
Industri bubut ini memiliki sejarah tersendiri bagi warga Santren.
Awalnya, usaha ini merupakan industri rumah tangga yang dikelola turun-
temurun. Keberadaannya dimulai sejak 1880, yang dirintis oleh warga setempat
bernama Toirono. Dengan peralatan dan kemampuan terbatas, Mbah Toirono –
demikian warga menyebutnya–menyebarkan ilmu membubut kayu pada tetangga
dan masyarakat sekitar. Jenis kerajinan yang diproduksi saat itu hanya tempat
sirih dan tempat perhiasan dari kayu. Pemasarannya sekitar “tangsi” atau markas
tentara Belanda di Blitar.
Pada pertengahan abad 20, mainan yoyo menjadi komoditi andalan
Santren. Saat itu, yoyo produksi Santren sudah dipasarkan ke luar Kota Blitar.
Bahkan sejak 1950, pemasaran mainan anak-anak ini sampai ke luar Jawa.
Memasuki 1990-an, produk-produk hasil bubut kayu kian bervariasi. Bahkan, alat
musik kendang yang juga dihasilkan di pusat bubut ini, pemasarannya sampai ke
![Page 5: CONTOH KEWIRAUSAHAAN](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022081719/55721407497959fc0b9398a6/html5/thumbnails/5.jpg)
mancanegara. “Hingga sekarang, kendang merupakan salah satu produksi yang
memiliki prospek baik,” jelas Divisi Pemasaran I Paguyuban Pengrajin Bubut
Kayu Kelurahan Tanggung (P2BKKT) Kota Blitar, Priyo Widigdo.
Menurutnya, total jenis produksi yang dihasilkan warga mencapai lebih
dari 80 macam. Mulai dari mainan anak-anak, vas bunga, alat pijat, kendang,
bedug, rebana, tasbih, peralatan marawis, dan sebagainya. Hebatnya, khusus
kendang atau yang di luar negeri disebut jimbe, hanya 5% yang dipasarkan di
dalam negeri. “Selebihnya kami ekspor,” imbuhnya.
Pria yang biasa disapa Mas Pri ini menuturkan, produk terbesar yang
dihasilkan di Santren dalam beberapa tahun terakhir memang kendang. Sebab,
selain menjadi alat musik tradisional Jawa, kendang juga digunakan untuk
marawis dan musik Afrika. “Produk kendang kami juga diekspor ke Afrika.
Awalnya, ada pembeli dari Afrika yang memerlukan satu kontainer kendang
dengan kapasitsas 300 buah. Ternyata, selama enam bulan pesanan di suatu
tempat belum juga terpenuhi. Akhirnya ia ke Bali. Kemudian ia diantar oleh orang
asal Malang ke sini. Kita coba membuat jimbe itu, akhirnya jadi,” jelasnya.
Menurut pria kelahiran Tulungagung, 25 Maret 1970 ini, pemesan asal
Afrika itu merasa puas. Pasalnya, di Afrika untuk memesan satu kontainer dengan
20 bits, selama enam bulan biasanya belum selesai, sedangkan di Blitar, satu
kontainer berisi 40 bits, yang berarti dua kali lipatnya, dalam waktu hanya satu
bulan bisa diselesaikan. “Memang, kualitas barangnya berbeda, karena kualitas
kayu antara Indonesia dengan Afrika juga berbeda. Di Afrika kayunya lebih keras,
seratnya seperti pohon kelapa. Bahan kulitnya juga berbeda. Tapi perbedaan itu
tak terlalu banyak mengurangi kualitas suara,” jelas Mas Pri.
Walhasil, setelah menemukan pasar internasional yang menjanjikan,
sebagian pengrajin pun mulai mengganti produk utamanya. Priyo mencontohkan,
banyak pengrajin yang asalnya memproduksi yoyo, kini beralih ke kendang. Saat
ini saja, setiap Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam satu hari paling sedikit bisa
memproduksi minimal seribu yoyo. Padahal ada sekitar 20 UKM pengrajin yoyo.
Jumlah ini merosot, karena banyak yang beralih ke kendang. “Dari segi
keuntungan, kendang memang menghasilkan profit lebih besar. Apalagi yoyo
![Page 6: CONTOH KEWIRAUSAHAAN](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022081719/55721407497959fc0b9398a6/html5/thumbnails/6.jpg)
adalah mainan musiman. Jika liburan sekolah, otomatis juga ‘libur,” ungkap Prio
menjelaskan alasannya.
Ketua II Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kota Blitar ini
menambahkan, keuntungan dari penjualan alat musik marawis juga bagus. Namun
diakuinya, omset komoditi ini tak terlalu besar. Untuk alat musik Islami lain
seperti, rebana, terbang jidor, dan lainnya, pusatnya juga di Santen ini. Beberapa
waktu lalu, rampak 1.111 kendang yang digelar pada pembukaan Musabaqah
Tilawatil Quran (MTQ) di Blitar, berhasil memecahkan rekor peserta terbanyak
dan mendapatkan penghargaan dari Musium Rekor Indonesia (MURI). Semua
kendang yang digunakan adalah produk Santren.
Paguyuban Pengrajin Bubut Kayu Kelurahan Tanggung (P2BKKT) ini
memiliki anggota sekitar 200 UKM. Jumlah tenaga kerjanya sekitar 600 orang.
Padahal, saat pertama didirikan pada 2003, jumlah anggotanya hanya 60 orang.
Sebelum paguyuban ini berdiri, pengrajin berjalan sendiri-sendiri dan belum ada
komitmen yang menjadi acuan bersama. “Dengan tujuan agar penjualan produk
berasal dari satu pintu sekaligus untuk menstabilkan harga dan tidak dipermainkan
broker, maka didirikanlah paguyuban ini,” jelas Priyo.
Salah satu keuntungan dengan adanya paguyuban, misalnya jika ada
pemesanan, maka yang didahulukan adalah pengrajin yang skalanya masih kecil.
Setelah yang kecil mendapatkan order secara merata, baru pesanan diberikan pada
yang besar. Pasalnya, yang besar, meskipun tidak ada order, penghasilannya
sudah besar. Untungnya, yang besar selama juga tidak cemburu.
Setelah berjalan lima tahun, paguyuban ini tetap menemukan kendala.
Yang utama adalah masalah modal. Pengrajin kecil umumnya tidak bisa menahan
barang terlalu lama. Karena membutuhkan uang cepat, mereka lantas menjual
barang dengan harga di bawah standar, sehingga keuntungan yang didapat pun
berkurang.
“Itu jadi ganjalan pengurus. Tapi kita tak bisa berbuat banyak, karena tak
punya modal. Sedangkan terkait omset, jika kita menjual satu pintu, omset kita
perbulan sekitar Rp 1,2 miliar. Tapi jika kita mau menstabilkan harga, kita
memerlukan modal minimal Rp 3 miliar. Seandainya kita memiliki dana sebesar
![Page 7: CONTOH KEWIRAUSAHAAN](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022081719/55721407497959fc0b9398a6/html5/thumbnails/7.jpg)
itu, kita bisa menahan barang sampai dua bulan, untuk menaikkan harga antara
25–30%,” beber Priyo.
Konsep di atas pernah diterapkan paguyuban ini saat kayu ukuran besar
susah didapatkan. Mereka menaikkan harga produk sampai 30%. Pembeli pun tak
keberatan, karena stok barang memang tidak ada, cuma ada di Blitar. “Bahkan
bisa dikatakan, pengrajin bubut di sini merupakan yang tercesar di dunia.
Pasalnya, industri bubut hanya ada tiga negara yakni, Afrika, Indonesia, dan
sekarang mulai ada di Thailand,” jelas Priyo.
Masalah bahan baku kayu juga menjadi masalah utama. Bahan utama
kerajinan bubut adalah kayu mahoni yang berumur 10–15 tahun. Kebutuhan
paguyuban dalam satu hari saja sekitar 3–4 rit. Satu rit sekitar 4–5 kubik. Jadi
dibutuhkan sekitar 15 kubik kayu per hari.
Untuk mengatasi masalah ini, paguyuban ini tengah membangun kerja
sama dengan Perhutani dan HIPMI. Caranya, dengan menanam pohon mahoni di
Blitar selatan. Dengan upaya itu, para pengrajin optimis kerajinan bubut kayu di
daerahnya akan terus berkembang. Apalagi etos kerja warga juga sangat tinggi.
“Jika di desa ini jam 09.00 WIB masih ada pemuda atau ibu-ibu yang nongkrong,
pasti malu sendiri, pada jam-jam itu semua warga sedang sibuk-sibuknya
bekerja,” pungkasnya. (Faris Khoirul Anam