contoh kasus (PKN)

6
Contoh kasus 2 pelapisan social dan persamaan derajat Peranan pria dan wanita yang dikonstruksi oleh norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat disebut peran gender. Ini artinya, peran gender tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti Halnya peran kodrat (yang akan diuraikan pada bagian berikut dari tulisan ini). Peranan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita pada kedudukan (posisi) tertentu. Jadi, setiap kedudukan dilengkapi dengan seperangkat peranan. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin tinggi pula peranannya, sebaliknya semakin rendah kedudukan seseorang semakin rendah pula peranan yang dapat dijalankannya. Pria dan wanita merupakan dua insan yang berbeda, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan. Itulah makanya, di dalam UUD RI 1945 dan GBHN 1993, di antaranya diamanatkan bahwa pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa wanita mempunyai status yang lebih rendah dan mengalami ketertinggalan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pria dalam berbagai bidang pembangunan, baik sebagai pelaku pembangunan maupun sebagai penikmat hasil pembangunan. Oleh karena itu, peningkatan peranan wanita yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita. Artinya, pria dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan-peranan dan kesempatan yang sama dalam

Transcript of contoh kasus (PKN)

Page 1: contoh kasus (PKN)

Contoh kasus 2 pelapisan social dan persamaan derajat

 Peranan pria dan wanita yang dikonstruksi oleh norma sosial dan nilai sosial budaya

masyarakat disebut peran gender.   Ini artinya, peran gender tidak ditentukan oleh perbedaan

kelamin seperti Halnya peran kodrat (yang akan diuraikan pada bagian berikut dari tulisan ini). 

Peranan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita pada

kedudukan (posisi) tertentu.  Jadi, setiap kedudukan dilengkapi dengan seperangkat peranan.  

Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin tinggi pula peranannya, sebaliknya semakin

rendah kedudukan seseorang semakin rendah pula peranan yang dapat dijalankannya.

Pria dan wanita merupakan dua insan yang berbeda, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan. 

Itulah makanya, di dalam UUD RI 1945 dan GBHN 1993, di antaranya diamanatkan bahwa pria

dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan.  Akan tetapi,

kenyataan menunjukkan bahwa wanita mempunyai status yang lebih rendah dan mengalami

ketertinggalan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pria dalam berbagai bidang

pembangunan, baik sebagai pelaku pembangunan maupun sebagai penikmat hasil

pembangunan.  Oleh karena itu, peningkatan peranan wanita yang berwawasan gender sebagai

bagian integral dari pembangunan nasional, merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan

keadilan gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita.   Artinya, pria

dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan-peranan dan kesempatan yang sama dalam

pembangunan, baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun

pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan.  Pria dan wanita sama-sama merupakan

tenaga yang berpotensi tinggi.  Mengikutsertakan pria dan wanita dalam proses pembangunan,

berarti merupakan tindakan yang efisien dan efektif.

Megawati Soekarno Putri menjadi presiden wanita pertama di Indonesia

Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau umum dikenal sebagai Megawati

Soekarnoputri (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947; umur 63 tahun) adalah Presiden Indonesia

yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita

Indonesia pertama dan anak presiden Indonesia pertama yang mengikuti jejak ayahnya menjadi

presiden. Pada 20 September 2004, ia kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam tahap

kedua pemilu presiden 2004.

Page 2: contoh kasus (PKN)

Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Sidang

Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001.

Sebelumnya dari tahun 1999-2001, ia menjabat Wakil Presiden di bawah Gus Dur.

Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak

memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1999.

Karir politik

1993

Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih

secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.

1996

Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun

didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua

Umum PDI.

Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih

merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh

pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha

mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi

ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.

Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-

benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan

puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang

dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis

mendekam di penjara.

Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin

mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di

pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi

dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.

Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.

1993

Page 3: contoh kasus (PKN)

Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih

secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.

1996

Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun

didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua

Umum PDI.

Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih

merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh

pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha

mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi

ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.

Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-

benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan

puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang

dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis

mendekam di penjara.

Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin

mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di

pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi

dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.

Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.

1997

Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di

bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan

Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput

saat itu.

1999

Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri (1999-2001)

Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan

pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara.

Page 4: contoh kasus (PKN)

Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau

Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.

Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH

Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373

banding 313 suara.

2001

Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu

lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum

1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah

menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut

mandatnya oleh MPR RI.

2004

Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di

Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung

dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses

demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum

presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang

Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.

Solusi dan kesimpulan

Kesetaraan gender bias diartikan dengan kesamaan kesempatan antara pria dan wanita diberbagai

bidang , banyaknya ketimpangan yang dirasakan bias keluar dari bentuknya dengan sosialisasi

bahwa dalam mengenai hak perempuan mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki meskipun

tidak melupakan kodrat dan kewajibannya sebagai perempuan.