contoh kasus (PKN)
Transcript of contoh kasus (PKN)
Contoh kasus 2 pelapisan social dan persamaan derajat
Peranan pria dan wanita yang dikonstruksi oleh norma sosial dan nilai sosial budaya
masyarakat disebut peran gender. Ini artinya, peran gender tidak ditentukan oleh perbedaan
kelamin seperti Halnya peran kodrat (yang akan diuraikan pada bagian berikut dari tulisan ini).
Peranan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita pada
kedudukan (posisi) tertentu. Jadi, setiap kedudukan dilengkapi dengan seperangkat peranan.
Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin tinggi pula peranannya, sebaliknya semakin
rendah kedudukan seseorang semakin rendah pula peranan yang dapat dijalankannya.
Pria dan wanita merupakan dua insan yang berbeda, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan.
Itulah makanya, di dalam UUD RI 1945 dan GBHN 1993, di antaranya diamanatkan bahwa pria
dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan. Akan tetapi,
kenyataan menunjukkan bahwa wanita mempunyai status yang lebih rendah dan mengalami
ketertinggalan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pria dalam berbagai bidang
pembangunan, baik sebagai pelaku pembangunan maupun sebagai penikmat hasil
pembangunan. Oleh karena itu, peningkatan peranan wanita yang berwawasan gender sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional, merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita. Artinya, pria
dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan-peranan dan kesempatan yang sama dalam
pembangunan, baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun
pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan. Pria dan wanita sama-sama merupakan
tenaga yang berpotensi tinggi. Mengikutsertakan pria dan wanita dalam proses pembangunan,
berarti merupakan tindakan yang efisien dan efektif.
Megawati Soekarno Putri menjadi presiden wanita pertama di Indonesia
Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau umum dikenal sebagai Megawati
Soekarnoputri (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947; umur 63 tahun) adalah Presiden Indonesia
yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita
Indonesia pertama dan anak presiden Indonesia pertama yang mengikuti jejak ayahnya menjadi
presiden. Pada 20 September 2004, ia kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam tahap
kedua pemilu presiden 2004.
Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Sidang
Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001.
Sebelumnya dari tahun 1999-2001, ia menjabat Wakil Presiden di bawah Gus Dur.
Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak
memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1999.
Karir politik
1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih
secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun
didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua
Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih
merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh
pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha
mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi
ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-
benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan
puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang
dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis
mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin
mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di
pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi
dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.
Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih
secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun
didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua
Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih
merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh
pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha
mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi
ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-
benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan
puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang
dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis
mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin
mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di
pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi
dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.
Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
1997
Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di
bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan
Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput
saat itu.
1999
Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri (1999-2001)
Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan
pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara.
Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau
Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH
Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373
banding 313 suara.
2001
Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu
lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum
1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah
menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut
mandatnya oleh MPR RI.
2004
Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di
Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung
dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses
demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum
presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang
Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.
Solusi dan kesimpulan
Kesetaraan gender bias diartikan dengan kesamaan kesempatan antara pria dan wanita diberbagai
bidang , banyaknya ketimpangan yang dirasakan bias keluar dari bentuknya dengan sosialisasi
bahwa dalam mengenai hak perempuan mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki meskipun
tidak melupakan kodrat dan kewajibannya sebagai perempuan.