CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT (CPD) DAN...

28
1 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT (CPD) DAN PERUBAHAN PARADIGMA SEKOLAH CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT (CPD) AND SCHOOL PARADIGM CHANGE Iskandar Agung Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Email: [email protected] ABSTRAK Peraturan yang tertuang dalam Permendiknas No. 16 Thn. 2007, khususnya mengenai kompetensi guru, perlu dipahami sebagai hal yang terbuka dan dinamis. Artinya, kemampuan guru bukan merupakan hal yang statis, sebaliknya mengandung tuntutan agar senantiasa mengembangkan dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja. Pengakuan telah memenuhi kompetensi melalui pemberian sertifikat pendidik pun bukan merupakan alasan guru harus puas terhadap hasil yang dicapainya, melainkan perlu mewujudkan tindakan pengembangan diri secara berkelanjutan. Implisit, peraturan mengenai kompetensi guru selaras dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam konsepsi continuing professional development (CPD). Namun satu hal yang perlu digarisbawahi, pengadopsian CPD yang sedang dikembangkan oleh Kemdiknas bukan tanpa persyaratan, melainkan sebaliknya. Hasil kajian sejumlah pihak menunjukkan, bahwa CPD sebagai konsep pengembangan diri, khususnya bagi guru, baru akan tumbuh subur atau berkembang apabila didukung oleh lingkungan sekolah yang telah mencerminkan sebagai organisasi pembelajar (learning organization). Justru di situlah permasalahannya, bahwa sebagian besar sekolah kita belum dapat dikategorikan sebagai organisasi pembelajar yang mendukung karakteristik tertentu. Atas dasar itu tulisan ini membahas mengenai pentingnya perubahan paradigma di sekolah dengan mengembangkan ke arah organisasi pembelajar yang senantiasa mampu mewujudkan tindakan antisipatif, responsif, dan proaktif terhadap perubahan dan mencapai tujuan yang lebih baik. Kata kunci: sekolah, kompetensi, pengembangan diri, berkelanjutan, perubahan. ABSTRACT Permendiknas No. 16/2007, in particular regarding the competence of teachers, need to be understood as the most open and dynamic. That is, the ability of the teacher is not a thing rigid and static, otherwise it contains the demand that teachers are able to develop and enhance the competence and professionalism of the work on an ongoing basis. Recognition has met through the provision of certificates of competency of any educator is not the reason teachers should be satisfied with the results that achieved,

Transcript of CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT (CPD) DAN...

1

CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT (CPD) DAN PERUBAHAN PARADIGMA SEKOLAH

CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT (CPD) AND SCHOOL

PARADIGM CHANGE

Iskandar Agung Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Email: [email protected]

ABSTRAK

Peraturan yang tertuang dalam Permendiknas No. 16 Thn. 2007, khususnya mengenai kompetensi guru, perlu dipahami sebagai hal yang terbuka dan dinamis. Artinya, kemampuan guru bukan merupakan hal yang statis, sebaliknya mengandung tuntutan agar senantiasa mengembangkan dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja. Pengakuan telah memenuhi kompetensi melalui pemberian sertifikat pendidik pun bukan merupakan alasan guru harus puas terhadap hasil yang dicapainya, melainkan perlu mewujudkan tindakan pengembangan diri secara berkelanjutan. Implisit, peraturan mengenai kompetensi guru selaras dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam konsepsi continuing professional development (CPD). Namun satu hal yang perlu digarisbawahi, pengadopsian CPD yang sedang dikembangkan oleh Kemdiknas bukan tanpa persyaratan, melainkan sebaliknya. Hasil kajian sejumlah pihak menunjukkan, bahwa CPD sebagai konsep pengembangan diri, khususnya bagi guru, baru akan tumbuh subur atau berkembang apabila didukung oleh lingkungan sekolah yang telah mencerminkan sebagai organisasi pembelajar (learning organization). Justru di situlah permasalahannya, bahwa sebagian besar sekolah kita belum dapat dikategorikan sebagai organisasi pembelajar yang mendukung karakteristik tertentu. Atas dasar itu tulisan ini membahas mengenai pentingnya perubahan paradigma di sekolah dengan mengembangkan ke arah organisasi pembelajar yang senantiasa mampu mewujudkan tindakan antisipatif, responsif, dan proaktif terhadap perubahan dan mencapai tujuan yang lebih baik.

Kata kunci: sekolah, kompetensi, pengembangan diri, berkelanjutan, perubahan.

ABSTRACT

Permendiknas No. 16/2007, in particular regarding the competence of teachers, need to be understood as the most open and dynamic. That is, the ability of the teacher is not a thing rigid and static, otherwise it contains the demand that teachers are able to develop and enhance the competence and professionalism of the work on an ongoing basis. Recognition has met through the provision of certificates of competency of any educator is not the reason teachers should be satisfied with the results that achieved,

2

but rather need to achieve self-sustainable development actions. The whole thing is in harmony with the spirit embodied in the concept of continuing professional development (CPD). But if you listened more, CPD is not without conditions. The study results showed a number of parties, the CPD as a concept based on encouraging self-development teachers in particular, will flourish or thrive when they are supported by a school environment has been reflected as a Learning Organization. The problem is, most schools can not be categorized as a learning organization. On the basis that a paradigm shift is necessary to develop in the direction of the school with a learning organization that is always capable of realizing anticipatory action, responsive, and adaptive to the changes in order to achieve goals and better results.

Keywords: school, teachers, competence, professionalism, and change

PENDAHULUAN

Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa diejawantahkan ke dalam penyelenggaraan

sistem pendidikan nasional secara berjenjang, mulai dari pendidkan dasar sampai

dengan pendidikan tinggi. Bangsa yang cerdas bukan hanya merupakan bangsa yang

dapat bertahan hidup (survive), tetapi juga mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa

lain yang telah maju. Bahkan dalam era kesejagatan (globalisasi) dewasa ini yang

ditandai dengan iklim kompetitif yang ketat antarbangsa, persoalan kecerdasan bangsa

kian mengemuka. Hanya bangsa yang cerdas dan memiliki daya saing tinggi yang dapat

memetik manfaat dari situasi kesejagatan itu guna meningkatkan kesejahteraan

hidupnya, dan sebaliknya.

Realitanya, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional tidak jarang dituding belum

mengarah pada pencapaian hasil yang memuaskan. Indikasi itu diperkuat melalui hasil

penelitian sejumlah pihak, bahwa pencapaian kualitas hasil pendidikan di segenap

jenjang pendidikan masih memperihatinkan. Hal itu disebabkan oleh

kekurangmampuan sekolah dalam menghasilkan kualitas pendidikan yang memadai,

dan lebih khusus lagi tertuju pada guru sebagai pihak yang terkait langsung dalam

pelaksanaan pembelajaran terhadap peserta didiknya. Rendahnya kemampuan dan

keterampilan guru mengajar sering dianggap sebagai biang keladi rendahnya

pencapaian hasil pendidikan tersebut.

3

Tidak heran apabila pemerintah pun memberikan perhatian serius terhadap guru,

dengan berupaya meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja mereka. UU No.

14 Tahun 2005 menegaskan, bahwa guru harus kompeten dan profesional, yang

kemudian dijabarkan ke dalam Permendiknas No. 16 Thn. 2007 yang menetapkan guru

harus memenuhi standar minimum kualifikasi akademik dan kompetensi yang

dipersyaratkan. Khususnya yang terakhir itu, ditegaskan seorang guru dituntut untuk

memenuhi standar kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Kompetensi pedagogik berhubungan dengan kemampuan guru dalam mengelola

pembelajaran dengan pusat perhatian pada peserta didik; kompetensi kepribadian

terkait dengan nilai dan perilaku guru, baik bagi diri sendiri, peserta didik, dan

masyarakat; kompetensi sosial berhubungan dengan kemampuan dan keterampilan

perilaku guru dalam kaitan dengan lingkungan sosialnya; kompetensi profesional

terkait dengan pengetahuan dan kemampuan dalam menjalankan profesi sebagai guru

secara profesional.

Seorang guru dikatakan kompeten dan profesional setelah melalui uji sertifikasi

dan/atau peniaian portofolio. Namun sejauh ini uji sertifikasi belum dilakukan,

sebaliknya upaya pensertifikasian diljalankan melalui penilaian portofolio didasarkan

atas dokumentasi yang terkait dengan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan,

pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari

atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan

dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan

penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Penilaian dilaksanakan oleh

LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional, dengan

mengacu pada pedoman sertifikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Dalam penilaian portofolio, bagi Guru yang dinyatakan lulus penilaian awal akan

diajukan untuk memperoleh sertifikat pendidik, sedangkan yang belum lulus dianjurkan

untuk memperoleh pelatihan PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru) dalam jangka

4

waktu 9 hari. Bagi mereka yang dinyatakan lulus pelatihan, berhak diajukan untuk

memperoleh sertifikasi pendidik, sedangkan yang belum lulus dianjurkan untuk

mengikuti pelatihan kembali. Kesempatan mengikuti PLPG diberikan sebanyak dua

kali. Guru penerima sertifikat pendidik sebagian besar merupakan jebolan dari PLPG

ini. Pertanyaannya, setelah guru memperoleh sertifikat, terutama melalui pelatihan

PLPG, bagaimana efektivitas pemberian sertifikat pendidik terhadap peningkatan

kompetensi dan profesionalisme pelaksanaan tugas guru? Ketidakefektifan hasil yang

diperoleh diprediksi tidak membawa pengaruh pula terhadap upaya meningkatkan mutu

pendidikan.

Di samping itu pemberian sertifikat selayaknya bukan merupakan sesuatu hal yang

dipaksakan, dalam arti dapat dibentuk dalam kurun waktu yang relatif singkat. Hal

yang perlu dljalankan adalah memberi dorongan pada guru agar secara terus-menerus

mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja,

sehingga diri yang bersangkutan mampu mencapai kompetensi yang dipersyaratkan,

lulus uji sertifikasi, dan berhak memperoleh sertifikat pendidik. Diduga upaya

pegembangan diri tidak melulu tergantung dari faktor internal, yakni berasal dari diri

guru sendiri, melainkan memerlukan dukungan faktor eksternal berupa lingkungan

sekolah yang kondusif. Persoalannya, kerapkali lingkungan sekolah justru menjadi

penghambat kemunculan upaya pengembangan diri guru, sehingga diperlukan adanya

perubahan paradigma yang selaras degannya. Berkenaan dengan yang dikemukakan

terakhir itulah, tulisan ini diketengahkan.

FENOMENA DAMPAK SERTIFIKASI

Belum terdapat kajian komprehensif untuk menilai dampak sertifikasi guru dalam

meningkatkan mutu hasil pendidikan nasional. Namun pengamatan penulis di sejumlah

tempat menghasilkan, bahwa pensertifikasian guru terkesan belum cukup mampu

menjadi pintu masuk peningkatan mutu pendidikan, kecuali baru berfungsi sebagai

kertas berharga, pemberian pengakuan untuk memperoleh tunjangan dan

5

meningkatkan taraf hidup guru. Fenomena yang tampak, pensertifikasian belum

mengarah pada kemampuan untuk meningkatkan kinerja, kompetensi, dan

profesionalisme guru. Bahkan terdapat kecenderungan kembali bergelut dengan pola

kerja lama yang cenderung pasif, searah, monoton, kurang kreatif, dan lain sejenisnya.

Sertifikasi sebagai pengakuan telah menguasai kompetensi dan kemampuan mengajar

yang diharapkan, tidak berbanding lurus dengan kinerja pembelajaran yang

diwujudkan.

Dari pengamatan lapangan diperoleh, belum terdapat perubahan signifikan antara

penyusunan rencana pembelajaran (RPP) sebelum dengan sesudah memperoleh

sertifikat. Sebagian besar masih menggunakan RPP pola lama yang umumnya diadopsi

dari Kelompok Kerja Guru (KKG/MGMP), dan lebih berfungsi sebagai pemenuhan

persyaratan administratif. Meski dalam pelatihan PLPG, guru dibekali dengan

penguasaan materi/substansi mata pelajaran yang menjadi tugas pokoknya, penyusunan

sylabus dan RPP, tetapi belum tampak adanya kemandirian dan kreativitas individual

guru, dan bahkan tidak jarang berlangsung inkonsistensi dalam pelaksanaannya. Alasan

yang umum dikemukakan, RPP sulit diterapkan karena kurang didukung oleh fasilitas

belajar di sekolah yang memadai.

Kinerja guru yang telah memiliki sertifikat pun masih kurang mewujudkan perilaku

kerja aktif, kreatif, dan dinamis. Dalam melaksanakan tugas utama pembelajaran, masih

banyak guru yang menekankan pada makna mengajar yang terpaku pada dirinya

sendiri, yakni sekedar melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengajar tanpa

dikaitkan dengan hal-hal di luar diri, terutama yang berasal dan berada dalam diri siswa

atau sering disebut dengan makna belajar. MMasih banyak guru yang menitikberatkan

peraktek pendidikan pada segi pengajaran yang ditandai dengan peran guru yang

dominan dan siswa hanya bersikap pasif mendengarkan dan menghafalkan pelajaran.

Guru dalam menjalankan peran pembelajaran kurang memperhatikan prinsip-prinsip

pendidikan (makna belajar siswa) dan kurang memperlihatkan perilaku kreatif, baik

dalam memahami tujuan kurikulum serta bahan kajian dan pelajaran; merumuskan

6

tujuan pembelajaran; mengelola kegiatan; mengelola waktu belajar-mengajar; mengatur

ruang kelas agar menarik dan menantang; mengembangkan bentuk kegiatan belajar;

dan sebagainya.

Ironisnya, pengamatan mengindikasikan meski guru telah memperoleh sertifikat

pendidik, namun belum mewujudkan adanya hubungan konsisten antara kompetensi

dengan kinerja dalam pelaksanaan tugas. Dalam memberikan materi pembelajaran,

guru masih miskin sumber kepustakaan, cenderung bergelut dengan pola pembelajaran

pasif, searah, monoton, dan kurang menggunakan metode pembelajaran yang variatif.

Meski ditemukan variasi metode pembelajaran, kerapkali tidak/kurang diketahui tujuan

pemanfaatannya. Tidak jarang ditemukan penggunaan variasi metode lebih ditujukan

untuk memenuhi instruksi dari atasannya, dan bukan didasarkan atas kebutuhan.

Implikasi lebih lanjut, guru kurang memperlihatkan adanya upaya untuk merawat dan

meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan, sebaliknya cenderung bersikap pasif.

Kemampuan mewujudkan tindakan penelitian kelas (PTK) untuk mendukung

pelaksanaan tugas/kerja pun jarang dilakukan guru. Padahal melalui kegiatan PTK

berfungsi ganda, di satu pihak dapat menjadi wahana bagi guru untuk mendalami,

memahami, dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, di lain

pihak merupakan upaya pengembangan diri dan pemenuhan kompetensi dan

profesionalisme kerja.

CPD DAN ORGANISASI PEMBELAJAR

Sebenarnya permasalahan yang masih dihadapi guru-guru kita adalah, bagaimana agar

guru senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesional kerja. Peningkatan mutu

pendidikan tidak dapat diperoleh hanya dengan pemberian sertifikat pendidik, tetapi

sebagian besar dipengaruhi oleh upaya guru untuk mengembangkan diri secara terus-

menerus, meningkatkan kompetensi dan profesionalisme kerja. Dalam lingkup

pembahasan yang terakhir ini, jika dicermati lebih lanjut, peraturan yang tertuang

dalam Permendiknas No. 16 Thn. 2007 bersifat terbuka dan dinamis. Artinya, peraturan

7

mengandung tuntutan agar guru senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesional

kerjanya.

Seiring dengan tuntutan itu, pihak Kementerian Pendidikan Nasional pun saat ini

berupaya mengembangkan konsep CPD untuk mendorong pengembangan diri guru.

CPD pada dasarnya selaras dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam

Permendiknas No. 16 Thn 2007. Namun CPD baru akan berjalan baik jika dihadapkan

dengan kondisi dan situasi sekolah tertentu. CPD tendensi tidak/kurang akan tumbuh

subur apabila dihadapkan dengan kondisi dan situasi sekolah yang bertumpu pada

pengelolaan sekolah hirarkhis kaku, otoriter, kurang memiliki visi ke depan, kurang

berorientasi prestasi, kurang berani mengambil resiko, kurang berani mencoba hal-hal

yang baru, dan sebagainya.

Leithwood, Leonard and Sharratt (1998) mengemukakan hasil temuannya, bahwa

terdapat relasi antara budaya sekolah, struktur, sumber daya dan kepemimpinan. Dari

berbagai pengujian lapangan yang dilakukan, berhasil menemukan bahwa CPD

merupakan salah satu karakteristik sekolah yang telah berhasil mengembangkan

institusinya sebagai organisasi pembelajar. Leithwood dkk mencatat, “continuing

professional development refers to the extent that encouragement, opportunity and

resources are provided to enable all school staff to learn, develop and implement the

knowledge, skills and attitudes needed to contribute to improving the school’s

performance as a whole.”

Tegasnya, CPD menuntut kemampuan sekolah melepaskan diri dari kebiasaan lama

yang ditandai dengan struktur hirarkhi birokratis yang ketat, iklim ketergantungan,

minta petunjuk, minta pengarahan, Asal Bapak Senang, dan lain-lainnya yang

memperkecil kemunculan inisiatif, kreatif, dan produktif. Penerapan CPD haruslah

menghapuskan segenap hal yang berbau intervensi birokratis yang terlalu dalam dan

mengatur pengelolaan pendidikan di sekolah, serta ketergantungan dengan pihak

atasan, sebaliknya benar-benar menjadikan sekolah sebagai institusi yang otonom dan

memiliki keleluasaan dan kebebasan untuk berkreasi dan berkembang. Situasi ini akan

8

membawa ke arah kemampuan untuk mewujudkan perilaku aktif, kreatif, dan mandiri

dalam mengelola dan mengembangkan diri.

Eksplisit, kemauan dan kemampuan pengembangan diri guru harus didukung pula oleh

lingkungan sekolah yang selaras dengan iklim organisasi pembelajar. Adalah sulit

mengharapkan munculnya kreativitas guru untuk mengembangkan kompetensi dan

profesionalisme kerja, apabila memperoleh tekanan dari pimpinannya agar tetap

menjalankan rutinitas pekerjaan yang dilaksanakan selama ini. Pimpinan sendiri tidak

menginginkan adanya perubahan, karena mungkin dianggap beresiko terhadap jabatan

apabila mengalami kegagalan.

Fiol & Marjorie (1985) memandang organisasi pembelajar sebagai proses perbaikan

tindakan melalui peningkatan pemahaman dan pengetahuan. Suatu organisasi

pembelajar merupakan kemampuan organisasi untuk tanggap dan mampu menjawab

berbagai kondisi lingkungan internal dan eksternalnya yang mempengaruhi

keberhasilannya. Senge (1990) mendefinisikan organisasi pembelajar sebagai “…

organizations where people continually expand their capacity to create the results they

truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where

collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the

whole together.” Pedler (1996) mendefinisikan sebagai ”… is a vision of what might be

possible. It is not brought about simply by training individuals; it can only happen as a

result of learning at the whole organization level. A Learning Company is an

organization that facilitates the learning of all its members and continuously

transforms itself”. Watkin & Marsic (1993) mengartikan sebagai “… characterized by

total employee involvement in a process of collaboratively conducted, collectively

accountable change directed towards shared values or principles.”. Simatupang (1995)

memberi pengertian sebagai organisasi yang sangat adaptif dan responsif terhadap

lingkungan eksternal dan internalnya. Sedangkan Marquardt (1996) mengatakan

sebagai suatu organisasi yang berkemampuan belajar secara kolektif dan terus menerus

9

untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik, mengelola, dan menggunakan pengetahuan

untuk kesuksesan organisasinya.

Dahl (2002) mengatakan, organisasi pembelajar sebagai istilah yang bernada filosofis

atau sikap mengenai organisasi dan peran para karyawan, di mana setiap karyawan

dalam organisasi berpartisipasi dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah,

memungkinkan organisasi untuk terus-menerus bereksperimen, maju, dan

meningkatkan kemampuannya. David A. Garvin (1993) mengemukakan, bahwa secara

empiris kegiatan-kegiatan dalam organisasi pembelajar meliputi pemecahan masalah

sistematik, eksperimen pendekatan-pendekatan baru, belajar dari pengalaman dan masa

lalu, belajar dari pengalaman dan peraktek terbaik, dan alih pengetahuan dan teknologi

secara cepat dan efisien. Tiap kegiatan dilakukan dengan menggunakan pola pikir

spesifik, seperangkat alat analisis, dan pola perilaku maju. Pemecahan masalah

sistematik yang dilakukan oleh organisasi adalah mendasarkan diri pada segi falsafah

dan metode yang berorientasi pada mutu proses dan hasil. Hal demikian dicerminkan

oleh ciri-ciri (1) lebih mengandalkan pada metode ilmiah ketimbang prakiraan-

prakiraan intuisi saja dalam mendiagnosis masalah (penggunaan hipotesis), (2) lebih

memerlukan dukungan data (manajemen berbasis fakta) daripada hanya asumsi-asumsi,

dan (3) menggunakan alat statistik seperti histogram, analisis korelasi, dan diagram

sebab dan akibat. kegiatan pembelajaran juga berbentuk eksperimen. Kegiatan ini

menyangkut penelitian sistematik dan menguji pengetahuan baru. Untuk itu

penggunaan metode ilmiah yang paralel dengan pemecahan masalah menjadi hal yang

pokok. Eksperimen dilakukan dalam dua bentuk yakni program yang sedang

berlangsung dan proyek-proyek percontohan.

Dari berbagai pandangan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud

organisasi pembelajar adalah perilaku individu, kelompok, dan organisasi yang secara

terus-menerus melakukan pembelajaran karena sikap antisipatif dan responsif terhadap

perubahan lingkungan di sekitarnya. Melalui pengembangan organisasi pembelajar

semua pihak turut berpartisipasi mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan

10

secara sistematis dan komprehensif, belajar dari pengalaman sendiri, melakukan

transfers ilmu penge-tahuan secara cepat ke seluruh jajaran anggota organisasi.

Menurut Dahl (ibid), pengembangan organisasi pembelajar erat kaitannya dengan

berbagai faktor pengaruh, yakni: kepemimpinan, struktur berbasis tim, pemberdayaan

staf/karyawan, keterbukaan informasi, strategi partisipatif, dan budaya adaptif.

Kepemimpinan

Berbagai pendapat dilontarkan oleh pakar manajemen dan organisasi mengenai arti

kepemimpinan. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa dari anekaragam pengertian

tentang kepemimpinan, sebagian besar mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan

berhubungan dengan proses pengaruh sosial, yakni pengaruh yang sengaja dijalankan

oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas dan hubungan dalam

kelompok atau organisasi dalam mencapai tujuan bersama. Kotter (1988) mengatakan,

kepemimpinan adalah proses menggerakkan seseorang atau sekelompok orang kepada

tujuan-tujuan yang umumnya ditempuh dengan cara-cara yang tidak memaksa. Thoha

(1993) mengemukakan, kepemimpinan merupakan kegiatan untuk mempengaruhi

perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perseorangan

maupun kelompok. Dengan kata lain, kepemimpinan merupakan ilmu dan seni dalam

mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk bertindak seperti yang diharapkan

dalam rangka mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.

Pandangan tradisional atas para pemimpin yang menetapkan tujuan, membuat

keputusan, dan memimpin pasukan lebih mencerminkan sebuah pendekatan

individualistik. Kepemimpinan (leadership) dari seorang pemimpin/ manajer dalam

organisasi pembelajar membutuhkan sesuatu yang lebih daripada pendekatan

individualistik itu. Dalam organisasi pembelajar, para pemimpin/ manajer belajar

memikirkan mengontrol dengan dan bukan mengontrol atas orang lain. Pemimpin

mengontrol dengan orang lain bermakna membangun hubungan berdasarkan visi

bersama dan membentuk situasi dan kondisi yang dapat mendukung pencapaiannya.

Pemimpin membantu orang-orang untuk melihat keseluruhan sistem, mendorong kerja

11

tim, memelopori perubahan, dan memperluas kapasitas orang-orang untuk membentuk

masa depan.

Salah satu fungsi seorang pemimpin yang terpenting dalam organisasi pembelajar

adalah menciptakan visi bersama (shared visions), sebagai sebuah gambaran dari masa

depan yang ideal bagi organisasi. Visi itu meliputi akan seperti apa organisasi itu,

hasil/prestasi yang dicapai, dan nilai-nilai yang mendasarinya. Visi dapat diciptakan

oleh pemimpin atau dengan staf/karyawan, namun tujuannya harus dimengerti secara

luas dan tertanam dalam pikiran semua orang. Visi ini menghadirkan hasil jangka

panjang yang diinginkan, di mana para staf/karyawan dalam bentuk tim secara bebas

mengidentifikasi, menjabarkan, dan memecahkan permasalahan yang membantu

pencapaian visi itu.

Struktur Berbasis Tim

Dalam organisasi, lazimnya status anggota dibagi ke dalam hirarkhi vertikal yang ketat

dan memisahkan status dan peran pimpinan/manajer dengan bawahannya. Hubungan

kerja lebih didasarkan atas deskripsi tugas dan tanggung jawab yang kaku, dengan

pimpinan/manajer sebagai pembuat keputusan tunggal. Organisasi pembelajar berusaha

memecahkan struktur vertikal yang kaku tersebut, di mana pimpinan bukan lagi sebagai

pembuat keputusan tunggal, tetapi melibatkan bawahannya. Upaya mencapai visi dan

tujuan organisasi lebih diserahkan pada tim-tim kerja yang dibentuk dalam organisasi.

Pekerjaan dilaksanakan oleh tim-tim dari para staf/karyawan dengan keterampilan

berbeda yang merotasikan pekerjaan untuk menghasilkan keseluruhan produk atau jasa.

Tim-tim yang ada memiliki wewenang untuk membuat keputusan mengenai cara untuk

melakukan sesuatu, meski dalam koridor pencapaian tujuan organisasi.

Organisasi pembelajar memusatkan perhatiannya pada pemberdayaan manusia di dalam

organisasi, dengan memberikan keyakinan kepada individu-individu untuk

mengendalikan pekerjaan dan menunjukkan penampilan terbaiknya. Pemberdayaan

individu itu dilakukan dalam tim kerja. Senge (1990) mengatakan, inti dari organisasi

pembelajar adalah tim kerja yang belajar. Lebih lanjut Senge (ibid) mengemukakan, “...

12

the process of aligning and developing the capacity of a team to create the results its

member truly desire. It builds on the disipline of developing shared vision. It also

builds on personal mastery, for talented teams are made up of talented individuals”. S.

Faerman (1996) mengemukakan, tim kerja adalah “A work place team is more then a

work group, ‘a number of persons, usually reporting to a common superior and having

some facetoface interaction, who have some degree of interdependence in carrying out

task for the purpose of achieving organizational goals... . A Fundamental belief ini

organizational development is that work teams are the building blocks of organization.

A second fundamental belief is that teams must manage their culture, processes,

systems, and relationships, if they are to be effective. Theory, research, and practice

attest to the central role teams play in organizational success. Teams and teamwork are

part of the foundation of organization development”.

Tim kerja merupakan suatu kelompok orang yang berusaha bersama untuk

mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Implikasinya, dalam

tim kerja mengandung berbagai unsur pendukung lainnya mulai dari keahlian,

kedisiplinan, sampai dengan hubungan-hubungan antar anggota maupun anggota

dengan kelompok dan organisasinya yang harmonis, sinergis, dan kesetaraan. Tanpa

seperangkat pendukung itu niscaya pembentukan tim kerja akan mengalami berbagai

hambatan dan kekurangberhasilannya.

Pemberdayaan Karyawan (Employee Empowerment)

Pemberdayaan (empowerment) artinya memberikan kekuasaan, kebebasan,

pengetahuan, dan keterampilan kepada staf/karyawan untuk membuat keputusan dan

melaksanakan pekerjaannya secara efektif. Apabila pada manajemen tradisional

umumnya mencoba membatasi wewenang staf/karyawan, sementara dalam organisasi

pembelajar berlangsung pelimpahan kekuasaan memperluas perilaku mereka.

Pelimpahan wewenang dapat direfleksikan dalam tim kerja, siklus kualitas, perluasan

kerja, dan kelompok partisipasi staf/karyawan, juga wewenang pembuatan keputusan,

pelatihan, dan informasi, sehingga staf/karyawan dapat melakukan pekerjaan tanpa

13

supervisi yang ketat. Dalam organisasi pembelajar, orang adalah sumber kekuatan

utama, bukan merupakan biaya yang diminimalisasi. Organisasi yang menganut

perspektif ini memperlakukan para karyawan dengan baik, kondisi bekerja yang baik,

dan kesempatan untuk mengembangkan pribadi yang baik pula ke arah

profesionalisme.

Keterbukaan Informasi (Open Information)

Informasi merupakan faktor penting dalam organisasi, yang secara langsung

mempengaruhi keber-hasilan atau kegagalan perjalanan dan perkembangan organisasi

itu sendiri. Informasi yang tertutup dalam suatu organisasi, dengan sendirinya akan

mempengaruhi kinerja orang-orang yang berada di dalam organisasi. Bahkan, sifat

informasi seperti itu dapat menghilangkan rasa kepemilikan dan kekurangpercayaan

staf/karyawan terhadap organisasi itu sendiri. Dalam suatu perusahaan misalnya,

informasi tentang keuntungan dalam produktivitas dan laba yang tertutup, dan oleh

karenanya tidak terdapat pembagian keuntunan terhadap staf/karyawan, akan membawa

pada mereka sikap kerja yang kurang termotivasi untuk bekerja baik, dan tidak

menumbuhkan rasa pemilikan terhadap organisasi.

Dalam organisasi pembelajar, segenap informasi yang ada haruslah bersifat transparan

(terbuka) dan diketahui oleh staf/karyawan. Untuk mengidentifikasi permasalahan dan

kebutuhan yang dihadapi oleh organisasi serta menemukan alternatif pemecahannya,

tim-tim kerja di dalam organisasi haruslah mengetahui dan memahami segenap

informasi yang dimiliki oleh organisasi, mulai dari visi dan tujuan organisasi, data

formal anggaran, biaya-biaya yang diperuntukkan masing-masing bagian, dan

sebagainya. Keterbukaan dan pembagian informasi dalam organisasi pembelajar

merupakan hal yang vital, karena tim-tim kerja di dalamnya bekerja dengan ide-ide dan

informasi itu, dan bukan dengan produk atau hal-hal lainnya. Apabila orang-orang di

dalam organisasi pembelajar tidak memiliki akses informasi secara benar dan total,

maka mereka cenderung akan mewujudkan perilaku pekerjaan yang menebak-nebak,

14

penuh kecurigaan, dan pada akhirnya membahayakan keberlangsungan organisasi itu

sendiri yang mengarah pada kegagalan.

Sekolah yang mampu mengembangkan institusinya sebagai organisasi

pembelajardengan sendirinya akan membuka segenap informasi yang dimiliki. Peran

kepala sekolah adalah memberikan akses informasi yang dibutuhkan kepada

staf/karyawannya, serta melimpahkan wewenang penggunaannya. Adalah tidak

mungkin mengharapkan staf/karyawan dalam suatu tim kerja dapat melaksanakan tugas

dan tanggung jawabnya secara baik, apabila sekolah tidak memberikan informasi yang

dibutuhkan untuk menunjang keberhasilannya. Dari segi anggaran misalnya, tim-tim

kerja perlu memperoleh dan mengetahui informasi yang benar dan terarah mengenai

ketersediaan besaran anggaran yang dapat digunakan, sehingga dapat menyusun

rencana dan strategi dalam mengembangkan tugas dan tanggung jawab yang diberikan.

Sebaliknya, amatlah sulit memberikan suatu tugas kepada tim kerja di sekolah untuk

mengembangkan program kerjanya, apabila tidak atau kurang didukung oleh informasi

mengenai ketersediaan anggaran tersebut. Pembentukan Musyawarah Guru Mata

Pelajaran (MGMP) di sekolah sebagai wadah pembelajaran dan pemecahan hal-hal

yang berhubungan dengan kegiatan belajar-mengajar guru secara bersama misalnya,

banyak yang menunjukkan kekurangberhasilannya akibat tidak mampu melibatkan

guru secara optimal. Kurangnya partisipasi guru itu sendiri disebabkan oleh kurang

terbukanya pengelolaan anggaran sekolah yang ditujukan untuk keperluan tersebut,

seperti insentif yang tidak jelas, tidak terpenuhinya fasilitas pendukung yang

diperlukan, kurang berdampak terhadap peningkatan karier guru, dan lain-lainnya,

sehingga guru menjadi tidak bergairah dan kurang mendapat dukungan penuh dari

sekolah.

Strategi Partisipatif (Participative Strategy)

Peran pimpinan yang mengacu pada prinsip mengontrol dengan (bukan mengontrol

atas) dan pelimpahan tugas dan wewenang kepada bawahan dalam organisasi

pembelajar, menciptakan suatu mekanisme kerja yang bergerak dari atas ke bawah dan

15

sebaliknya. Visi dan tujuan organisasi dibuat oleh pimpinan (dan juga dapat melibatkan

bawahan), kemudian disebarkan dan diyakini bersama untuk mencapainya. Ketika

bawahan dalam bentuk tim kerja berkomitmen mencapai visi tersebut, tindakan

akumulatif mereka memberikan kontribusi terhadap pengembangan strategi organisasi.

Dalam tahap ini pimpinan memikirkan dan menentukan strategi yang diperlukan untuk

mendukung proses kerja tim, mengidentifikasi kebutuhan dan solusinya. Strategi

partisipatif juga ditujukan pada upaya untuk melibatkan partisipasi pihak-pihak yang

berada di luar organisasi.

Budaya Adaptif (Adaptive Culture)

Dalam lingkup pembahasan di sini, konsepsi budaya mungkin lebih tepat dikatakan

sebagai seperangkat nilai, norma, dan aturan yang didukung oleh suatu sistem sosial.

Seperangkat nilai, norma, aturan itu bukan hanya diperoleh anggota suatu sistem

melalui proses belajar, tetapi kemudian menjadikannya sebagai pedoman atau acuan

dalam mewujudkan pola perilaku yang sesuai dengan lingkungan di sekitarnya.

Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang mendukung pula budaya

atau kultur organisasi berupa seperangkat nilai, norma, aturan, keyakinan,

lambang/simbol, mitos, ritual, perilaku, dan sebagainya. Cushway & Lodge (1993)

mendefinisikan budaya atau kultur organisasi sebagai sistem nilai organisasi yang

mempengaruhi cara dan perilaku anggota organisasi. Dahl (ibid) mengemukakan,

Budaya atau kultur organisasi adalah serangkaian nilai-nilai inti atau dasar, keyakinan,

dan pengertian yang disebarkan oleh para anggota organisasi.

Persoalannya adalah, bilamana suatu budaya atau kultur organisasi dikatakan memiliki

sifat adaptif yang kuat atau sebaliknya? Suatu budaya dapat dikatakan memiliki sifat

adaptif yang kuat apabila dengan mudah dapat menerima datangnya unsur luar, sengaja

maupun tidak sengaja karena dirasakan manfaatnya bagi sistem sosial yang

bersangkutan. Sebaliknya, ada pula suatu sistem sosial yang teramat sulit untuk

menerima masuknya unsur luar dan melakukan perubahan. Hal itu disebabkan sistem

sosial yang bersangkutan telah merasa mapan dengan pola budaya yang didukung

16

semula, sehingga setiap unsur luar yang datang dan mengakibatkan suatu perubahan,

dianggap akan membawa pada kondisi ketidak-seimbangan (disequlibrium) terhadap

mereka.

Dalam suatu organisasi tradisional yang ketat menerapkan struktur dan pembagian

kerja berdasarkan hirakrkhi vertikal dari atas ke bawah, cenderung menciptakan

kekuasaan dan wewenang individual, yakni di tangan pemimpin sebagai pembuat

keputusan dan pengendali proses kerja bawahan. Tipe organisasi ini lebih bersifat

instruksional dan bawahan sekedar menjalankan sesuai dengan status, tugas, dan

tanggung jawabnya dalam organisasi. Implikasinya, bawahan tidak memiliki

kesempatan untuk melakukan pembelajaran atau terlibat dalam penentuan arah

organisasi. Kecenderungan lain yang muncul adalah terciptanya hubungan yang melulu

didasarkan atas pekerjaan, tugas, dan tanggung jawab masing-masing, kurang fleksibel,

dan kecilnya rasa memiliki (sense of belonging) dari bawahan terhadap organisasinya.

Namun, iklim organisasi tradisional ini sendiri mungkin dianggap telah mapan, baik

oleh pimpinan maupun staf/karyawannya, meski selama ini memperoleh hasil yang

kurang memadai, sehingga tidak atau kurang menginginkan adanya perubahan,

Budaya adaptif yang kuat amat dibutuhkan dalam pengembangan organisasi

pembelajar, karena secara langsung bermakna perubahan. Budaya adaptif itu mengacu

pada sistem nilai yang ada di dalam organisasi, apakah sistem nilai itu mendukung

pengembangan organisasi pembelajar untuk melakukan perubahan, atau sebaliknya.

Visi ke masa depan, merupakan salah satu nilai yang perlu ada dalam organisasi

pembelajar. Visi merupakan sistem nilai yang dijadikan orientasi masa depan, sehingga

segenap pihak di dalam organisasi bekerja bersama untuk mencapai tujuan organisasi

dari waktu ke waktu. Melalui pembentukan visi itu pula terkandung makna antisipatif

dan responsif organisasi terhadap perubahan lingkungan di sekitar, yang lebih lanjut

menuntut organisasi untuk melakukan perbaikkan hasil/produk yang terus meningkat

sesuai dengan perkembangan jaman.

17

Menurut Dahl (ibid), kesetaraan (equality) adalah salah satu nilai budaya fundamental

dalam organisasi pembelajar. Melalui nilai ini segenap anggota (pemimpin dan

bawahan) berada pada kedudukan setara, dan perbedaan yang muncul hanya terletak

pada status, tugas, dan tanggung jawab. Dukungan terhadap sistem nilai kesetaraan ini

akan menciptakan perasaan memiliki, membentuk komunitas, dan perhatian yang

bermanfaat untuk menunjang elemen-elemen lain, seperti kerja tim dan strategi

partisipatif terutama dengan pihak-pihak di luar organisasi. Setiap orang dihargai dan

organisasi menjadi sebuah tempat untuk menciptakan sebuah jaringan hubungan yang

memungkinkan orang-orang untuk terlibat sepenuhnya dan mengembangkan potensi

mereka sepenuhnya. Penekanan pada perlakuan yang baik dan hormat terhadap setiap

orang menciptakan sebuah iklim rasa aman, nyaman, dan kepercayaan yang

membolehkan kemunculan kreativitas dan eksperimen.

Nilai dasar lainnya yang perlu ada dalam organisasi pembelajar adalah keberanian

untuk mengambil resiko dan mengatasi situasi status quo. Organisasi yang tidak berani

mengambil resiko akan bergelut dengan hasil/produk dari itu ke itu saja, tanpa

menginginkan adanya perubahan berarti. Organisasi pembelajar menghargai dan

menyambut penciptaan ide-ide baru untuk melakukan perubahan, perbaikkan, dan

proses kerja baru, meski itu berupa kegagalan. Pengambilan resiko dinilai sebagai

simbol pentingnya pembelajaran dan melakukan perbaikkan karenanya.

Revitalisasi Sekolah: Perubahan Paradigma

Revitalisasi, mungkin kata yang paling tepat untuk menunjuk pentingnya sekolah

melakukan perubahan. Revitalisasi mengacu pada pengertian perlunya kebangkitan

sekolah untuk mendukung upaya pengembangan diri secara terus-menerus, melakukan

perubahan, dan peningkatan tujuan dan hasil. Hanya dengan tindakan revitalisasi,

pencapaian tujuan dan hasil pendidikan di sekolah akan lebih terjamin dan

berkelanjutan. Pentingnya revitalisasi menunjuk pada perubahan paradigma sekolah

yang meletakkan komitmennya untuk melakukan perubahan. Intinya, yang dimaksud

dengan revitalisasi adalah kondusivitas sistem kerja di sekolah dan berbagai pihak di

18

dalamnya untuk melakukan pembelajaran dan pengembangan diri, karena adanya

ketidakpuasan terhadap tujuan dan hasil yang dicapai selama ini. Dengan revitalisasi

mengharuskan sekolah dan warga sekolah untuk memperlihatkan dinamika perubahan:

berupaya meningkatkan diri tanpa pernah berhenti, bereksperimen, mencoba hal baru,

mengembangkan metode/teknik pembelajaran baru, dan lain sejenisnya untuk mencapai

tujuan dan hasil yang lebih baik.

Revitalisasi sekolah perlu direalisasikan dengan mengarahkan insititusi pendidikan

sebagai organisasi pembelajar. Untuk itu sekolah perlu mengembangkan sejumlah

faktor sebagai perubahan paradigma yang dilakukan, yakni terkait dengan:

Budaya Sekolah

Pengembangan budaya sekolah yang kuat amat dibutuhkan dalam upaya revitalisasi

sekolah. Pengembangan budaya mengacu pada sistem nilai di dalam organisasi sekolah

yang selaras dengan semangat organisasi pembelajar dan mendorong berlangsungnya

perubahan untuk mencapai tujuan dan hasil yang lebih baik. Salah satu unsur budaya

tersebut adalah dukungan terhadap visi masa depan bersama ke arah yang lebih baik.

Visi merupakan sistem nilai yang dijadikan orientasi dan tantangan bersama, sehingga

segenap pihak di dalam organisasi bekerja bersama untuk mengatasinya. Melalui

pembentukan visi terkandung makna antisipatif, responsif, dan proaktif untuk

melakukan perubahan dan perbaikkan tujuan/hasil yang terus meningkat dari waktu ke

waktu.

Nilai dasar lainnya yang perlu dekembangkan adalah keberanian untuk mengambil

resiko dan mengatasi situasi status quo. Sekolah yang tidak berani mengambil resiko

akan bergelut dengan hasil/produk dari itu ke itu saja, tanpa menginginkan adanya

perubahan berarti. Sekolah perlu menghargai dan menyambut penciptaan ide-ide baru

untuk melakukan perubahan, perbaikkan, dan proses kerja baru. Pengambilan resiko

dinilai sebagai simbol pentingnya pembelajaran dan pengembangan diri untuk

melakukan perubahan dan perbaikan.

19

Unsur budaya lain adalah pengembangan nilai demokratis, keterbukaan, dan kesetaraan

(equality) di lingkungan sekolah. Demokrasi bermakna sekolah perlu mengembangkan

nilai kebebasan mengemukakan pendapat dari segenap pihak, terutama terkait dengan

upaya melakukan perubahan dan perbaikan, dan mencari titik temu penyelesaian

masalah pembelajaran dan lainnya. Suasana demokrasi dikaitkan pula dengan perlunya

mengembangkan nilai keterbukaan terhadap pengelolaan segenap aspek pendidikan di

sekolah, termasuk kepercayaan terhadap data dan informasi yang akurat serta

penggunaan metdde/teknik pemecahan masalaj yang didasarkan atas kaidah ilmiah

untuk melakukan perubahan.

Dalam konteks di atas, nilai yang kalah penting dikembangkan adalah kesetaraan, di

mana anggota (pemimpin dan bawahan) berada pada kedudukan setara, dan perbedaan

yang muncul hanya terletak pada status, tugas, dan tanggung jawab. Dukungan

terhadap sistem nilai kesetaraan akan menciptakan perasaan memiliki, membentuk

komunitas, dan setiap orang dihargai untuk terlibat sepenuhnya mengembangkan

potensi mereka. Penekanan pada perlakuan yang baik dan hormat terhadap setiap orang

menciptakan sebuah iklim rasa aman, nyaman, dan kepercayaan yang membolehkan

kemunculan kreativitas dan eksperimen.

Revitalisasi lingkungan budaya sekolah yang diperlukan sebagai berikut: a) adanya visi

masa depan bersama yang disebarkan, ditanamkan, dan rasa pemilikan yang kuat dari

warga sekolah, serta menjadi tantangan bersama untuk diatasi; b) adanya

pengembangan sistem simbol untuk penguatan visi dan mendukung upaya mengatasi

tantangan; c) adanya nilai ketidakpuasan terhadap kondisi dan situasi yang ada, serta

keberanian untuk mengambil resiko melakukan perubahan dan perbaikkan; d)

pengembangan iklim demokrasi, transparans, egaliter, dan akuntabilitas; e) penerapan

norma atau aturan yang jelas, konsisten, dan konsekuen; f) pengembangan nilai dan

hubungan kerja yang harmonis, sinergis, dan mendukung satu sama lain guna

pencapaian visi; g) adanya semangat kerja anggota organisasi yang kuat untuk

mencapai visi dan tujuan; h) penerapan disiplin dalam menjalankan tugas; i)

20

kecermatan pelaksanaan pekerjaan dan tepat waktu; j) penciptaan iklim lingkungan

fisik dan sosial yang aman, nyaman, dan menyenangkan untuk mendorong

pembelajaran; dan k) pengembangan iklim penghargaan (reward & punishman) yang

jelas terhadap prestasi kerja dan penerapan gagasan/ide baru untuk melakukan

perubahan dan perbaikkan.

Kepemimpinan Sekolah

Kepemimpinan merupakan hal penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah,

karena berhubungan dengan proses pengaruh yang dijalankan oleh seseorang terhadap

orang lain untuk menstruktur aktivitas dan hubungan dalam kelompok atau organisasi

untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan sekolah pun memerlukan revitalisasi

dari pola hirarkhi kaku, ororiter, feodal, dan lain sejenisnya, ke arah yang lebih

memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkreasi mengembangkan diri dan

melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Revitalisasi sekolah menuntut Kepala Sekolah untuk berupaya mendukung dan

memperlancar pekerjaan bawahan, Kepala Sekolah menjalankan sejumlah peran sesuai

dengan statusnya sebagai pimpinan sekolah, yakni sebagai koordinator segenap

pekerjaan yang dijalankan bawahan, motivator, dinamisator, fasilitator, supervisor,

evaluator, dan lain-lainnya. Namun sedapat mungkin perlu dihindarkan kemunculan

perwujuan peran yang terlalu membatasi secara ketat dan kaku terhadap kreasi dan

pelaksanaan tugas bawahan, yang justru akan membawa pada miskinnya

pengembangan diri dan menghambat pencapaian tujuan dan hasil sekolah yang lebih

baik.

Revitalisasi peran kepala sekolah diharapkan memiliki kemampuan bertindak sebagai

koordinator terhadap tim-tim kerja yang dibentuknya melalui perwujudan sikap dan

gaya kepemimpinan yang fleksibel, terbuka, demokratis, serta mampu memberikan

arahan, bimbingan, dan panutan, sehingga dapat memberikan keleluasaan bagi guru

untuk memunculkan gagasan, ide, dan perilaku yang kreatif dalam melaksanakan

pekerjaannya. Kepemimpinan yang cenderung kaku, otoriter, dan tertutup hanya akan

21

mengarah pada perwujudan pola pelaksanaan tugas bawahan yang kurang kreatif dan

inovatif, serta cenderung mengarah pada situasi rutinitas, monoton, kurang menarik,

pasif, dan sebagainya.

Kepala Sekolah juga hendaknya mampu memotivasi dan menggerakkan dirinya sendiri

maupun orang lain (tim kerja) di sekolah untuk bersemangat dan berkreasi dalam

melaksanakan tugas yang diberikan. Untuk mendukung kelancaran tugas pekerjaan tim

kerja di sekolah, kepala sekolah perlu mewujudakan peran fasilitatornya. Pemunculan

gagasan/ide oleh tim kerja sehubungan dengan tugas pekerjaannya dipastikan

membutuhkan berbagai fasilitas penunjang, yang pemenuhannya memerlukan campur

tangan dari kepala sekolah dalam pengadaannya. Tanpa pemenuhan kebutuhan itu

hanya akan menghambat kelancaran tugas pekerjaan staf, yang mungkin dapat

membawa pada kekurangberhasilannya. Dalam upaya pemenuhan ini kepala sekolah

dapat membangun hubungan dengan pihak di luar sekolah, terutama melibatkan

partisipasi mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tim kerja di sekolah.

Kepala sekolah perlu mempercayai staf dan memberikan kewenangan dan kekuasaan

sepenuhnya pada mereka untuk menjalankan tugas pekerjaannya. Meski demikian hal

itu tidak terlepas dari pentingnya peran kepala sekolah untuk secara berkala melakukan

pemantauan (monitoring) dan pengawasan (supervisi) terhadap pekerjaan yang

dijalankan oleh tim kerja. Tindakan ini dapat memberikan masukan langsung bagi

Kepala Sekolah mengenai proses pekerjaan yang dilakukan oleh tim kerja, mulai dari

menyusun perencanaan, implementasi, sampai dengan perolehan hasil yang dicapai.

Sejalan dengan hal itu, kepala sekolah pun perlu mewujudkan peran evaluatornya untuk

mengendalikan tugas pekerjaan tim kerja di sekolah, meski tidak ikut campur terlalu

dalam ataupun intervensike dalam tugas pekerjaan bawahannya. Evaluasi dapat

dilakukan melalui pemberian laporan berkala oleh tim kerja, on the spot, melakukan

wawancara langsung, atau bentuk lainnya.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah peran konsultatif kepala sekolah. Dalam

pelaksanaan pekerjaan oleh tim kerja dapat dipastikan akan menemukan berbagai

22

permasalahan dan hambatan, yang pemecahannya (mungkin) dikonsultasikan kepada

sekolah. Untuk itu kepala sekolah harus senantiasa membuka diri dan waktunya

terhadap bawahannya yang ingin berkonsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan

tugas pekerjaannya. Kepala sekolah pun dituntut untuk terus-menerus meningkatkan

pengetahuannya, sehingga benar-benar dapat berperan sebagai orang yang mampu

memberikan jalan keluar terhadap tim dalam upaya memecahkan permasalahan dan

hambatan yang dihadapi.

Revitalisasi kepemimpinan di sekolah yang diperlukan meliputi hal-hal: a) memiliki

visi ke depan; b) memiliki kemampuan sebagai agen perubahan/ pembaharuan; c)

berani mengambil resiko untuk melakukan perubahan dan kemajuan organisasi; d)

mempercayai orang lain untuk mengerjakan tugas dalam bentuk tim kerja; e) bertindak

atas dasar sistem nilai, dan bukan atas dasar kepentingan individu; f) kemampuan

menjalankan peran sebagai koordinator, fasilitator, konsultatif, pembimbing,

supervisor, motivator, dan lain-lainnya; g) meningkatkan kemampuan secara terus-

menerus sepanjang hayat; h) memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan

dan konflik internal organisasi; i) kemampuan melibatkan pihak di luar sekolah; j)

memiliki self-awareness (kesadaran diri) dan mampu mengendalikan emosi diri; l)

memiliki kemampuan mengelola emosi atau perasaan, seperti menghibur diri sendiri,

melepaskan kecemasan, kemurungan, ketersinggungan, tahan uji, sabar, dan

sebagainya; m) memiliki kemampuan self-motivation, baik bagi diri sendiri dan orang

lain; n) memiliki impulse control (mampu mengendalikan naluri/insting atau ledakan-

ledakan emosi diri); dan o) memiliki people skill, berupa kemampuan empati dan

membina hubungan yang baik dan haromins dengan orang lain, berdasarkan prinsip

demokratis, keterbukaan, dan kesetaraan (egaliter).

Pengembangan Tim Kerja (Teamwork)

Revitalisasi sekolah bermakna adanya upaya untuk memecahkan struktur vertikal yang

kaku, di mana pimpinan bukan lagi sebagai pembuat keputusan tunggal, tetapi

melibatkan bawahannya. Upaya mencapai visi dan tujuan organisasi lebih diserahkan

23

pada tim-tim kerja yang dibentuk dalam organisasi. Pekerjaan dilaksanakan oleh tim-

tim kerja dengan pemilikan wewenang untuk membuat keputusan mengenai cara untuk

melakukan sesuatu, meski dalam koridor pencapaian tujuan organisasi.

Sekolah selayaknya memusatkan perhatiannya pada pemberdayaan manusia di dalam

organisasi, dengan memberikan keyakinan kepada individu-individu untuk

mengendalikan pekerjaannya dan menunjukkan penampilan terbaiknya. Struktur

berbasis tim ini bisa diartikan sebagai pemberian wewenang dan kekuasaan terhadap

tim kerja dengan mengacu pada kebutuhan dan kegiatan yang ada, baik dalam lingkup

bagian-bagian yang terdapat dalam sistem dan hirarkhi sekolah, ataupun pada tim-tim

bentukan yang didasarkan atas kriteria tertentu, misalnya mata pelajaran.

Partisipatif Segenap Pihak

Yang dimaksud dengan strategi partisipatif dalam tulisan ini mengacu pada upaya

pelibatan/partisipasi segenap pihak di sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa

dalam mendukung kegiatan di sekolah. Terutama masyarakat dan orangtua siswa,

partisipasi diartikan sebagai proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di

antara sekolah. Partisipasi masyarakat dan orangtua terhadap sekolah merupakan proses

yang berusaha melibatkan secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang

berkenaan dengan proses pembelajaran di sekolah. Paling sedikit partisipasi yang dapat

diwujudkan oleh masyarakat dan orangtua meliputi: a) keikutsertaan menentukan

kebijakan dan program sekolah; b) keikutsertaan mengawasi pelaksanaan kebijakan dan

program sekolah; c) keaktifan dalam pertemuan rutin di sekolah; d) keterlibatan dalam

kegiatan ekstrakurikuler; e) keikutsertaan mengawasi mutu sekolah; f) keaktifan dalam

pertemuan Komite Sekolah; g) pengeluaran untuk membiayai pendidikan; h)

keterlibatan dalam pengembangan iklim sekolah; dan i) partisipasi dalam

pengembangan sarana-prasarana sekolah.

Pemberdayaan Staf (Employee Empowerment)

24

Pemberdayaan (empowerment) artinya memberikan kekuasaan, kebebasan,

pengetahuan, dan keterampilan kepada staf sekolah/karyawan untuk membuat

keputusan dan melaksanakan pekerjaannya secara efektif. Pelimpahan wewenang dapat

direfleksikan dalam tim kerja, siklus kualitas, perluasan kerja, dan kelompok partisipasi

staf/karyawan, juga wewenang pembuatan keputusan, pelatihan, dan informasi,

sehingga staf/ karyawan dapat melakukan pekerjaan tanpa supervisi yang ketat.

Revitalisasi sekolah haruslah bertumpu pada penilaian bahwa orang adalah sumber

kekuatan utama, bukan merupakan biaya yang diminimalisasi, sehingga perlu

memperlakukannya dengan baik, kondisi bekerja yang baik, dan kesempatan untuk

mengembangkan pribadi yang baik pula ke arah profesionalisme.

Dalam kasus pengelolaan mata pelajaran misalnya, sekolah perlu melimpahkan

sebagian besar kekuasaan kepada Tim Guru untuk mengidentifikasi dan memecahkan

permasalahan yang dihadapi. Masing-masing tim guru mata pelajaran mewujudkan

tindakan mulai mengidentifikasi permasalahan, kebutuhan, menyusun perencanaan

kerja, menentukan strategi atau cara meningkatkan pengetahuan dan kemampuan

mengajar, melaksanakan program yang telah direncanakan, melakukan pemantauan-

evaluasi, dan revisi yang diperlukan terhadap pelaksanaan program, sampai dengan

mengevaluasi hasil akhir sebagai umpan balik (feedback) terhadap perencanaan yang

dibuat.

Meski demikian keseluruhan tim bergerak dalam koridor mencapai visi dan tujuan

sekolah, saling berhubungan satu sama lain, dan terintegrasi secara sinergis dalam

sistem organisasi. Dalam konteks inilah kepala sekolah sebagai pimpinan puncak di

sekolah perlu mencerminkan peran koordinatif dan fasilitator terhadap program kerja

yang dijalankan oleh tim.

Keterbukaan Informasi (Open Information)

Dalam revitalisasi sekolah perlu memanfaatkan segenap informasi yang ada secara

maksimal dan transparan (terbuka) untuk mengidentifikasi permasalahan dan

kebutuhan yang dihadapi oleh sekolah serta menemukan alternatif pemecahannya. Tim-

25

tim kerja di dalam sekolah haruslah mengetahui dan memahami segenap informasi

yang dimiliki, mulai dari visi dan tujuan, data formal anggaran, biaya-biaya yang

diperuntukkan masing-masing bagian, dan sebagainya. Keterbukaan dan pembagian

informasi dalam sekolah merupakan hal yang vital, karena tim-tim kerja di dalamnya

bekerja dengan ide-ide dan informasi itu. Ketidak adaan atau kesulitan memperoleh

akses informasi secara benar dan total, cenderung akan mengarah pada perilaku

pekerjaan yang menebak-nebak, penuh kecurigaan, dan pada akhirnya membahayakan

keberlangsungan program kerja. Peran kepala sekolah adalah memberikan akses

informasi yang dibutuhkan kepada staf/karyawannya, serta melimpahkan wewenang

penggunaannya. Adalah tidak mungkin mengharapkan staf/karyawan dalam suatu tim

kerja dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik, apabila sekolah

tidak memberikan informasi yang dibutuhkan secara lengkap dan benar untuk

menunjang kelancaran dan keberhasilannya.

Pengembangan Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik di sekolah pun merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam

revitalisasi sekolah, karena dapat mempengaruhi perilaku warga sekolah. Lingkungan

fisik yang rapih, asri, aman, dan nyaman akan menimbulkan rasa dan sikap kebetahan

warga sekolah, terutama dalam melaksanakan pekerjaannya. Lingkungan fisik seperti

itu tidak harus berupa bangunan megah dan membutuhkan biaya relatif besar, tetapi

benar-benar dikelola dan ditata sedemikian rupa untuk memenuhi menciptakan kondisi

dan situasi sekolah yang kondusif.

Simak saja, bagaimana sikap dan perilaku yang cenderung diwujudkan oleh warga

sekolah apabila dihadapkan dengan kondisi dan suasana fisik sekolah yang bising,

pengap, kurang tertata rapih, kotor, kurang aman, dan sebagainya. Kondisi dan situasi

serupa itu dapat menimbulkan ketidakbetahan dan ketidaknyamanan bagi warga

sekolah untuk bekerja. Aktivitas di sekolah akan berjalan kurang lancar, dan warga

sekolah pun ingin cepat-cepat meninggalkan lingkungan sekolah yang dinilai kurang

kondusif tersebut.

26

Pembinaan Hubungan Kerja

Revitalisasi sekolah bermakna perlunya mengembangkan dan membina hubungan kerja

yang harmonis, sinergis, dan saling mendukung satu sama lain dari segenap pihak yang

terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya Kepala Sekolah, Pengawas, dan

Guru. Hubungan ketiga pihak ini menjadi unsur penting untuk duperhatikan serius

sebagai pendukung keberhasilan atau kekurangberhasilan pencapaian hasil pendidikan

di sekolah. Harus dipahami, meski guru merupakan ujung tombak pembelajaran, namun

kelancaran pelaksanaan peran dan tugas guru tidak terlepas dari dukungan Pengawas

dan Kepala Sekolah. Permasalahan, hambatan, dan kesulitan guru dalam menjalankan

tugas pembelajaran, seyogyanya dapat teratasi melalui bimbingan, bantuan, binaan, dan

lain sejenisnya dari Pengawas dan Kepala Sekolah.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tulisan ini menguraikan pentingnya revitalisasi sekolah dengan mengarahkan dan

mengembangkan sebagai organisasi pembelajar (learning organization). Tulisan

bermaksud menunjukkan bahwa trend tersebut memiliki relevansi dalam

penyelenggaraan pendidikan kita, terutama dalam menciptakan iklim pembelajaran dan

pengembangan diri secara terus-menerus berdasarkan kondisi, situasi, dan kebutuhan

yang dihadapi. Pengembangan organisasi pembelajar di sekolah akan lebih

menyemarakkan aktivitas pembelajaran di sekolah, baik terhadap tenaga pendidikan

dan non-kependidikan yang ada maupun siswa yang sedang menjalani proses belajar di

sekolah.

Saran

Seiring dengan pembahasan di atas, sejumlah saran dikemukakan. Pertama, diperlukan

sosialisasi meluas mengenai pentingnya revitalisasi sekolah agar berkembang ke arah

organisasi pembelajar, serta merubah sikap mental segenap pihak di sekolah sesuai

27

dengan jiwa dan semangat yang dituntut dalam organisasi pembelajar. Kedua,

peraturan perundangan menegaskan pemberlakuan desentralisasi pendidikan melalui

konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memberikan kewenangan dan

keleluasaan yang lebih besar pada sekolah untuk mengelola segenap aspek pendidikan

yang ada. Konsistensi dan konsekuensi otonomi sekolah melalui penerapan MBS

hendaknya benar-benar diberlakukan dengan sekecil mungkin menghindarkan campur

tangan yang terlalu dalam dari pihak atasan ke dalam pengelolaan sekolah, yang justru

dapat mematikan daya kreativitas pihak-pihak di sekolah. Ketiga, untuk jangka panjang

perlu dipikirkan memperkecil rasio pengawas/sekolah agar Pengawas dapat

menjalankan peran dan fungsi sebagaimana mestinya. Jumlah sekolah yang terlalu

besar yang menjadi tanggung jawab seorang Pengawas, hanya membawa pada fungsi

pengawasan yang kurang intensif dan efektif, terutama dalam memberikan binaan,

bimbingan, dan bantuan terkait dengan tugas pembelajaran guru. Keempat, perlunya

melengkapi fasilitas dan sumber belajar yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan

pembelajaran, termasuk penyediaan fasilitas ICT. Penerapan budaya organisasi yang

antisipatif, adaptif, dan responsif amat tergantung dari kelengkapan fasilitas dan

sumber belajar pendukung di sekolah, khususnya sekolah-sekolah yang berlokasi jauh

dari pusat kota dan menghadapi kesulitan tersendiri dalam memperoleh sumber belajar

yang dibutuhkan. Kelima, perlunya memberikan pelatihan/penataran guna

meningkatkan pemahaman, penguasaan, dan kemampuan Kepala Sekolah mengenai

perilaku kepemimpinan yang dapat mendorong kemajuan dan perubahan sekolah.

PUSTAKA ACUAN

Dahl, Robert L., Manajemen, Jakarta: Gramedia, 2002.

Davis, Keith, Human Behavior at Work Organization Behavior, New York: McGraw Hill Book Co., 1981.

Faerman, Sue, Learning Organizations, New York: McGraw-Hill, 1996.

Fiol, C. M. & A.L. Marjorie, Organizational Learning, Academy of Management Review, Oktober, 1985.

28

Fiedler, Fred, E., A Theory of Leadership Effectiveness, New York: Mc Graw- Hill Book Company, 1967.

Goleman, Daniel, Emotional Intelligence, Jakarta: Gramedia, 2003

Hersey, Paul, Blanchart, Kenneth H., Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2000.

Kotter, John P., The Leadership Factor, New York: Free Press.

Luthans, F., Organizational Behavior, New York: McGraw-Hill, Inc., 1995.

Marquardt, M.J., Building the Learning Organization, New York: McGraw-Hill, 1996.

Mortimore, P., et al, School Matters: The Junior Years, Somerset: Open Books, 1998.

Pedler, M., Burgoyne, J. and Boydell, T., The Learning Company. A strategy for sustainable development, London: McGraw-Hill, 1996.

Permendiknas Nomor 12, 13, dan 16 Tahun 2007.

Reddin, W.J., Managerial Effectiveness, New York: Mc Graw Hill Book Company, 1970

Scott, W.G., Human Relation in Management, in Organization and Management Theory and Practice, Washington: The American University Press, 1962.

Senge, P.M. 1990, The Fifth Discipline The Art and Practice of the Learning Organization, New York: Doubleday.

Simatupang, B.M., Iso Seri 14000 dalam Fokus Organisasi Belajar, Manajemen & Usahawan Indonesia, Organisasi Belajar (Learning Organization), No. 11/Th.XXIV, 1995.

Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.