COLLABORATIVE GOVERNANCE -...

226
COLLABORATIVE GOVERNANCE Dalam Tata Kelola Hutan Berbasis Masyarakat

Transcript of COLLABORATIVE GOVERNANCE -...

Page 1: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

COLLABORATIVE GOVERNANCE

Dalam Tata Kelola Hutan Berbasis Masyarakat

Page 2: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan
Page 3: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

Eko Priyo PurnomoRijal Ramdani

Rendra SetyadiharjaAdy Muzwardi

LEMBAGA PENELITIAN, PUBLIKASI, DAN PENGABDIAN MASYARAKAT

COLLABORATIVE GOVERNANCE

Dalam Tata Kelola Hutan Berbasis Masyarakat

Page 4: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

COLLABORATIVE GOVERNANCEDalam Tata Kelola Hutan Berbasis Masyarakat

Copyright, 2018

Penulis : Eko Priyo Purnomo Rijal Ramdani Rendra Setyadiharja Ady Muzwardi

Desain Sampul : Tim LP3MLayout : Keyr

Diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Cetakan Mei 2018

Collaborative Governance Dalam Tata Kelola Hutan Berbasis Masyarakat /Penulis: Eko Priyo Purnomo, Rijal Ramdani, Rendra Setyadiharja, Ady Muzwardi, __ Yogyakarta LP3M UMY xvi + 210; 15 x 23 cm.

ISBN 978-602-5450-19-8

Page 5: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

v

Kata Pengantar

Assalamualaikum, Wr.Wb. Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpah curahkan untuk junjungan kita nabi Muhammad SAW.

Buku yang hadir di tengah-tengah pembaca ini merupakan suatu karya bersama sebagai hasil penelitian terkait dengan dinamika hubungan antar aktor dan efektivitas dalam tata kelola hutan berbasis masyarakat, studi komparasi Implementasi kebijakan HKm di wilayah kepulauan dan daratan (Bintan dan Jawa). Di kedua wilayah tersebut, kerjasama antar stakeholders seperti masyarakat lokal, NGOs, dan Pemerintah sangatlah penting dalam sekema collaborative governance. Dimana masyarakat memiliki nilai dan kearifan dalam melakukan perlindungan terhadap hutan, NGOs dengan massive melakukan pendampingan untuk penguatan kelembagaan komunitas, dan Pemerintah melalui kebijakannya memberikan kewenangan bagi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dari hasil hutan. Sehingga hasil studi ini harapannya bisa menjadi model dalam tata kelola sumberdaya alam lainnya.

Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama adalah pendahuluan dan ringkasan mengenai kebijakan HKm. Selain itu juga dijelaskan mengenai kerjasama/ collaboration yang sangat penting dalam pengelolaan hutan khususnya dan penyelenggaraan pemerintahan paradigma baru. Bagian selanjutnya fokus pada konteks kebijakan HKm di kabupaten Gunungkidul dilihat dari konteks Gunungkidul sebagai wilayah yang paling luas hutannya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maupun sebagai representasi dari manajemen tata kelola hutan berbasis masyarakat di pulau Jawa.

Page 6: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

vi

Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan Riau. Berbeda dengan di Gunungkidul yang menjadikan Jati sebai tanaman utama, di Bintan Kelompok Tani Hutan (KTH) menjadikan Mangrove sebagai tanaman utama.

Penulis banyak berterimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kehadiran buku ini, khususnya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan funding dari dana grant research untuk penelitian international collaboration and publication, LP3M UMY yang telah berkenan menerbitkan buku sederhana ini, pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Kepulauan Riau, dan Kabupaten Bintan yang telah memberikan izin selama bertahun-tahun untuk melakukan research ini. Selain itu penulis pun banyak berhutang budi terhadap KTH baik yang berada di Gunungkidul maupun di Bintan. Dari merekalah kita bisa belajar bagaimanakah seharusnya kita bersikap terhadap alam. Alam bukanlah objek yang harus dihabisi, melainkan alam adalah mitra kehidupan yang harus dilindungi dan dilestarikan. Masa depan hutan kita ada pada mereka, resources ini sangat sulit apabila hanya dikelola oleh pemerintah saja. hutan kita terlalu luas dan terlalu besar. Dengan kearifan lokal, semangat, dan pendistribusian kewenangan kepada mereka lah hutan kita bisa lestari; air menjadi mengalir, beragam hewan dengan mudah ditemukan, tutupan hutan semakin rindang, maka hanya hamparan hijau nan indahlah yang kita lihat sejauh mata memandang. Di sisi lain, masyarakat di sekitar kawasan hutan pun sangat terbatas dalam memiliki lahan, sehingga HKm ini merupakan intervensi kebijakan yang tepat untuk meningkatkan income masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Sebagai penutup, penulis sampaikan selamat membaca. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat dan bisa memberikan kontribusi bagi masyarakat luas, pengambil kebijakan, peneliti, dosen, NGOs, dan Kelompok Tani Hutan. Besar harapan akan masukan dan sarannya terhadap isi dari buku ini.

Yogyakarta, 01 Mei 2018Ttd.

Tim Penulis

Page 7: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

vii

Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................... vDaftar Isi ....................................................................................... viiDaftar Tabel ................................................................................... xiDaftar Gambar ............................................................................. xiiiDaftar Diagram ............................................................................ xvi

Bab IPendahuluan ............................................................................. 1A. Latar Belakang ........................................................................2B. HKm .......................................................................................6C. Pendekatan Kelembagaan Baru .............................................8D. Collaborative Governance ....................................................13

Bab IIImplementasi Kebijakan HKm di Wilayah Daratan ................... 21A. Gambaran Umum Kabupaten Gunungkidul ........................22B. KTH Sedyo Makmur ..............................................................25

Bab IIIPerubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul .......................................................... 29A. Perubahan Kebijakan HKm 2001–2016 ...............................29B. Kebijakan HKm di DIY dan Gunungkidul ..............................37

B.1. Implementasi SK No. 31/Kpts-II/2001 ........................39B.2. Implementasi Permenhut No. 37/Menhut-II/2007 ....43B.3. Implementasi Permenhut 93/MENLHK/ SETJEN/

KUM.1/ 10/ 2016 .......................................................50C. Konflik Dalam Pengajuan IUPHHKm ....................................50

Page 8: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

viii

Bab IVKerjasama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi HKm di Kabupaten Gunungkidul .................................................................55A. Pendahuluan .......................................................................55B. Stakeholders dalam HKm ....................................................56C. Hasil Uji Smart-PLS ...............................................................58D. Hasil Uji SNA ........................................................................61

Bab VImplementasi Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Wilayah Kepulauan .................................................................. 65A. Gambaran Umum Kabupaten Bintan-Provinsi Kepulauan Riau .....................................................................................65B. Gambaran Umum Wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan ............................................................67C. Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan

Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ........................74D. Eksplorasi Potensi Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam

Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ........................82D.1. Vegetasi di Hutan Kemasyarakatan (HKm) .................82D.2. Budidaya Perikanan ....................................................84D.3. Transportasi ...............................................................86D.4. Tanah/Lahan ..............................................................86

BAB VIPerubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan ..................................................................................... 87A. Perubahan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten

Bintan Provinsi Kepulauan Riau ...........................................87B. Kebijakan Hutan Kemasyakatan (HKm) di Kabupaten Bintan

Provinsi Kepulauan Riau ......................................................93B.1. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan .................................................................93

Page 9: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

ix

B.2. Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2008 ....................94B.3. Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 ..................96B.4. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/ 2007, No.P.18/Menhut-II/2009, No.13/Menhut-II/ 2010 dan No.P.52/Menhut-II/2011 ...........................97B.5. Peraturan Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/ 2014 ..........................................................................99B.6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Republik Indonesia No.P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 .......................................................101

B.7. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No.P.07/V-SET/2009 dan No.P.10/

V-SET/2010 ...............................................................102B.8. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial

dan Kemitraan Lingkungan No.P.12/PSKL/SET/PSL.0/11/2016 .........................................................104

B.9. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.SK.114/Menhut-II/2014 .....................................105

B.11. Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012 ...106C. Implementasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Desa Busung

dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ......................107C.1. Wisata Mangrove (Ekowisata dan Wisata Bahari)....107C.2. Pembibitan dan Penanaman Mangrove ...................114C.3. Budidaya Ikan, Udang dan Kepiting Bakau ...............118C.4. Pengelolaan Hasil Mangrove ....................................121

D. Hambatan Implementasi dan Strategi Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Dalam Rangka Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau .........................................123D.1. Hambatan Implementasi Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan

Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau .......................................................123

Page 10: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

x

D.2. Strategi Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Dalam Rangka Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ........................................................129

Bab VIIKerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ..................................................................... 135A. Hasil Uji SNA ......................................................................135B. Hasil Uji Smart-PLS ............................................................155C. Analisis Peran dan Pengaruh Stakeholders dalam

Implementasi Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ....................................................159C.1. Internasional Tropical Timber Organization (ITTO) ..159C.2. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS)

Kepulauan Riau .......................................................168C.3. Kelompok Tani Hutan ..............................................173C.4. Pemerintah Desa .....................................................180C.5. Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau ..............187C.6. Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil Menengah

Kabupaten Bintan ....................................................190C.7. Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan .........................193

Kesimpulan ................................................................................195Daftar Pustaka ...........................................................................199Daftar Index ...............................................................................205Biograpi Penulis .........................................................................209

Page 11: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

xi

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Luas Hutan Negara dan HKm Kabupaten Gunungkidul 2010 ....................................................23Tabel 2.2 KTH dan Luas Lahannya di Kabupaten Gunungkidul ... 24Tabel 2.3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin ..........25Tabel 2.4 KTH Sedyo Makmur .................................................26Tabel 2.5 Nama Blok dan Luas .................................................27Tabel 2.6 Sebaran Tanaman Kayu ............................................27Tabel 2.7 Luasan Wilayah Lahan Olahan .................................28Tabel 3.1 Evolusi Kebijakan HKM 1995-2001 ...........................31Tabel 3.2 Evolusi Kebijakan HKM 2001-2009 ...........................35Tabel 3.3 Periodisasi dan Kegiatan Pendampingan terhadap KTH ...........................................................................49Tabel 4.1 Stakeholders di dalam HKm .....................................57Tabel 4.2 Closeness dan Density dalam Implementasi HKm di Gunungkidul .........................................................61Tabel 5.1 Perbandingan pada Kedua Lokasi Hutan

Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ...............................73

Tabel 5.2 Perbandingan kedua Komunitas Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ........................................................78

Tabel 5.3 Pelatihan dan Kegiatan Fasilitasi Dalam Rangka Penguatan Pemahaman Sosial dan Politik

Stakeholders ............................................................82

Page 12: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

xii

Tabel 5.4 Jenis dan Manfaat Buah Dan Pohon Dari Ekosistem Mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Bintan ...............83

Tabel 7.1 Stakeholders yang Potensial diidentifikasi Dalam Kaitannnya dengan Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau .......................................................................136

Tabel 7.2 Stakeholders dan Kepentingan Utama dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Desa

Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ........................................................................137

Tabel 7.3 Peta Stakeholders Berdasarkan Kepentingan dan Pengaruhnya terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Dengan Skema

Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ........................................139Tabel 7.4 Realisasi Proyek ITTO di HKM Kabupaten Bintan ..143Tabel 7.5 Peran Stakeholders Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Bintan dalam Kebijakan dan Strategi

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat ...........................................................148Tabel 7.6 Daftar Kegiatan Fasilitasi dan Pendampingan Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang yang dilaksnakan oleh ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau ..........................................160Tabel 7.7 Data Sarana Perekonomian di Desa-Desa di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ..........191

Page 13: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

xiii

Daftar Gambar

Gambar 1.1 Kerangka untuk Analisis Kelembagaan ...................9Gambar 1.2 Model Ekonomi Kelembagaan Baru .....................10Gambar 1.3 Paradoks Kontrol Negara: Peraturan dan Ekonomi Informal .................................................11Gambar 1.4 Kolaborasi Lintas Sektor .......................................17Gambar 2.1 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Gunungkidul .........................................................22Gambar 4.1 Gambaran Hasil Uji Smart-PLS .............................59Gambar 4.2 Struktur Jaringan dalam HKm ..............................63Gambar 5.1 Peta Wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ....................................................67Gambar 5.2 Kerangka Pikir Kebijakan Hutan Kemasyarakatan 68Gambar 5.3 Peta Hutan Kemasyarakatan Desa Busung dan

Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau .........72

Gambar 5.4 Struktur Pengelola Hutan Kemasyakatan Ketapang Putih di Desa Busung Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau .........75

Gambar 5.5 Struktur Pengelola Hutan Kemasyarakatan Medang Kenanga di Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ......................................................................75

Gambar 5.6 Kantor Pengelola sekaligus Pusat Informasi Mangrove Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan

Riau ......................................................................76

Page 14: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

xiv

Gambar 5.7 Vegetasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan ................................................83

Gambar 5.8 Tempat Pembibitan Mangrove .............................85Gambar 6.1 Alur Skema Analisis Kebijakan dan Penyusunan

Draft Strategi Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan .........................89

Gambar 6.2 Perkembangan dan Perubahan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan .................93

Gambar 6.3 Tata Perijinan Hutan Kemasyarakatan Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 .................................................................98

Gambar 6.4 Tata Perijinan Hutan Kemasyarakatan Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/2014 ..............................................................100

Gambar 6.5 Kelembagaan Pengelola Hutan Kemasyarakatan Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012 ...............................................107

Gambar 6.6 Wilayah Mangrove sebagai Ekowisata di Desa Busung ..............................................................110

Gambar 6.7 Brosur Wisata Tour de Mangrove Pulau Empat Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan ..............................................111Gambar 6.8 Salah satu Lokasi Pembibitan Mangrove di Desa

Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ........................115Gambar 6.9 Beberapa Lokasi Penanaman Mangrove di Desa

Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan ................................................................117Gambar 7.1 Pemetaan Pengaruh Stakeholders dengan

Menggunakan Social Network Analysis dalam Implementasi Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ........................138

Gambar 7.2 Strategi International Tropical Timber Organization (ITTO) Dalam Pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan ...............147

Page 15: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

xv

Gambar 7.3 Pola Hubungan Antara Variabel ........................155Gambar 7.4 Grafik Path Coefficient Antar Variabel ...............158Gambar 7.5 Matrik Koefisien Antar Variabel ........................158

Page 16: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

xvi

Daftar Diagram

Diagram 2.1 Penduduk Desa Ngeposari Berdasar Usia ............25Diagram 2.2 Penduduk Desa Candirejo Berdasar Usia .............26Diagram 5.1 Kondisi Jumlah Penduduk di Desa Busung

Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan .....70Diagram 5.2 Kondisi Jumlah Penduduk di Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan ................................................71

Page 17: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

1

BAB IPENDAHULUAN

Di dalam buku ini, penulis menjelaskan dinamika hubungan antar aktor dan efektivitas dalam implementasi kebijakan Hutan Kemasyarakatan atau HKm. Isi dari buku ini merupakan studi komparasi Implementasi kebijakan HKm di wilayah kepulauan dan daratan (Bintan dan Jawa). Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama adalah pendahuluan dan ringkasan mengenai kebijakan HKm. Selain itu juga dijelaskan mengenai kerjasama/ collaboration yang sangat penting dalam pengelolaan hutan khususnya dan penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya.

Bagian selanjutnya akan fokus pada konteks kebijakan HKm di Kabupaten Gunungkidul dilihat dari konteks Gunungkidul sebagai wilayah yang paling luas hutannya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maupun sebagai representasi dari manajemen tata kelola hutan berbasis masyarakat di pulau Jawa. Lebih jauh akan dieksplorasi bagaimanakah implementasi dari kebijakan HKm dan perubahan-perubahan dari kebijakan HKm tersebut yang menyebabkan ketidakpastian dalam pengelolaan hutan oleh komunitas. Dan penjelasannya akan diakhiri dengan studi analisis kerjasama untuk melihat tingkat kerjasama dalam implementasi HKm dan

Page 18: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

2 COLLABORATIVE GOVERNANCE

menentukan siapakah sebetulnya aktor yang paling berpengaruh dalam implementasi HKm di Gunungkidul.

Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan Riau. Berbeda dengan di Gunungkidul yang menjadikan Jati sebai tanaman utama, di Bintan Kelompok Tani Hutan (KTH) menjadikan Mangrove sebagai tanaman utama. KTH mampu mengubah hutan Mangrove yang gundul menjadi hijau kembali dan menjadikannya sebagai objek wisata. Dalam buku ini, dijelaskan bagaimanakah dinamika implementasi HKm di Bintan dan bagaimana peran kuat dari NGOs dalam menyukseskan implementasi kebijakan HKm tersebut. Sehingga akan bisa dilihat perbedaan dari dinamika implementasi HKm di kepulauan dengan di wilayah daratan Indonesia.

Di dalam buku ini, penulis melihat baik di kepulauan maupun di wilayah daratan peran penting dari institusi formal dan informal dalam keberhasilan implementasi HKm. Institusi formal adalah termasuk di dalamnya Pemerintah, Undang-undang, Peraturan, dan Statuta. Sedangkan Norma, dan Harapan Sosial termasuk dalam institusi non-formal (North 1991; Quinn, Huby et al. 2007; Smajgl and Larson 2007). Selain itu kebijakan tentang HKm menekankan pada peran serta masyarakat lokal dalam mengelola dan mengawasi sumber daya hutan negara (KEMENHUT, 1995). Di saat yang bersamaan perlu juga memahami proses pembuatan kebijakan tentang manajemen sumber daya alam, dimana distribusi barang publik seharusnya dilakukan secara seimbang antara akses yang merata dengan kelestarian alam.

A. Latar Belakang

Sudah merupakan fakta apabila deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia memberikan dampak yang berbahaya. Bukan hanya untuk Indonesia sendiri, namun juga lingkungan hidup secara global. Setiap tahunnya, sebuah wilayah yang terdiri dari 1.08 Juta hektar lenyap dari permukaan bumi (Firman & Aquina, 2011). Permasalahan dari deforestasi adalah hasil dari kesalahan manajemen pengelolaan sumber daya alam. Sebagai contoh, kebijakan-kebijakan

Page 19: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

3Pendahuluan

yang ada sekarang memberikan akses sumber daya alam hanya kepada golongan kecil masyarakat, khususnya bagi mereka yang dekat dengan para pejabat. Sebagai konsekuensinya, Industri kehutanan seperti kayu dan kelapa sawit mendapatkan akses dan penempatan lahan hutan sebesar hampir 63 Juta hektar pada tahun 1995, yang kemudian meningkat pada tahun 2000 sebesar 69 Juta hektar.

Di samping itu Indonesia juga kehilangan pendapatan dari kehutanan sebesar 2 Miliar Dolar dari pajak yang tidak dibayarkan, dan setengah dari kerugian tersebut juga dari aktivitas ilegal (HNW.org, 2010). Dengan kata lain, besarnya aktivitas penebangan baik legal dan ilegal di Indonesia merupakan isu yang krusial, hal ini dikarenakan negara kehilangan hutan sebesar 40 lapangan sepakbola setiap harinya. Ada beberapa alasan atas besarnya kerugian yang dialami Indonesia. Pertama, industri-industri kayu Indonesia terlibat dalam kasus korupsi dan menghindari pajak. Kelemahan penegakan hukum dan kurangnya transparansi juga memberikan dampak pada akuntabilitas. Yang kedua adalah kebutuhan pasar global. Di Asia, Indonesia adalah eksportir kayu terbesar. Hal inilah yang menjerumuskan Indonesia kepada deforestasi besar, korupsi, dan sumber daya ilegal yang merajalela.

Senada dengan hal yang disebutkan di atas, kebijakan kehutanan merupakan hal yang sangat sensitif terhadap industri namun tidak berpengaruh pada masyarakat lokal. Sebagai contohnya banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan memiliki pendapatan di bawah 1 US Dolar perahinya (Awang, 2004). Bahkan seandainya jika terdapat kebijakan-kebijakan tentang pengelolaan HKm, hal tersebut tidak akan sukses dikarenakan peran serta masyarakat diacuhkan. Maka dari itu keterlibatan berbagai pemangku kepentingan sangatlah dibutuhkan, namun disisi lain perlu adanya pengawasan masyarakat, karena tanpa pengawasan tersebut akan tercipta permasalahan-permasalahan lain.

Pada intinya pengelolaan hutan di Indonesia ini bukan hanya memarginalkan masyarakat lokal tapi juga menghilangkan upaya lokal dalam pemanfaatan hasil hutan (Nevins dan Peluso, 2008; Suwarno, Nawir et. Al. 2009). Pada sepuluh tahun terakhir kebijakan

Page 20: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

4 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Pemerintah Indonesia hanya mendukung kepentingan-kepentingan pasar saja (Purnomo, Mendoza et. Al. 2005; Suwarno, Nawir, et. Al. 2009). Keadaan-keadaan tersebut perlu mendapatkan respons penting agar dapat diselesaikan. Respons tersebut bukan hanya untuk penyelamatan hutan saja, namun juga pemindahan dan pendistribusian ulang hasil hasil hutan. Penulis mengharapkan bahwa penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan mendorong para pembuat kebijakan untuk membantu mengurangi kemiskinan, penggundulan hutan, dan meningkatkan kesadaran ekologi yang berdasarkan pada pendekatan institusi masyarakat lokal.

Pada tahun 1995, Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Kehutanan (KEMENHUT) mengumumkan Peraturan Menteri tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) (KEMENHUT, 1995). Sesungguhnya tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk memobilisasi masyarakat lokal untuk merehabilitasi ulang hutan yang rusak. Namun hal tersebut tidak dapat memindahkan ulang hasil-hasil hutan dari Negara atau industri kepada masyarakat lokal (Suwarno, Nawir et. Al. 2009; Safitri, 2010). Setelah Suharto lengser dari kekuasaan politik, dan koalisi berubah secara drastis. Kebijakan pengelolaan hasil-hasil hutan berubah dari Negara ke masyarakat. Suharto memegang kendali selama 32 tahun dan rezimnya disebut sebagai Orde-Baru. Di tahun 1998 berubah menjadi Orde-Reformasi, dan Kementerian Kehutanan memperkenalkan peraturan baru yang menjadi Peraturan Menteri no. 677 (KEMENHUT 1998). Menurut Peraturan tersebut masyarakat memiliki hak untuk memanfaatkan, menempati, dan mendapatkan akses hutan selama 35 tahun. Bahkan sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan, masyarakat dijadikan sebagai subjek yang mengatur namun tidak ada akses secara individu. Masyarakat hanya dapat mengelola secara berkelompok, dan mereka memerlukan izin pengelolaan untuk mendapatkan jatah hutan dengan sekala kecil (KEMENHUT, 1998; Purnomo, 2011).

Adanya pengesahan Undang-undang no. 42 tahun 1999 dimaksudkan untuk perencanaan baru dalam kebijakan kehutanan. Peraturan ini mendorong Kementerian Kehutanan untuk menciptakan

Page 21: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

5Pendahuluan

kebijakan baru pada Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yang tertera pada Peraturan Nomor 865 dan menciptakan Peraturan Menteri Baru No. 31. Peraturan tersebut juga merupakan respons terhadap Undang-undang No. 22 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Peraturan No. 31, Pemerintah Daerah merupakan aktor utama dalam penerapan kebijakan pengelolaan HKm yang mana pemimpinnya mampu memberikan hak-hak kepada masyarakat daerah untuk pemanfaatan sumber daya hutan.

Dalam praktiknya pada tahun 2001 hingga 2010, terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan politik pemerintah pusat dan kebutuhan masyarakat lokal. Dalam penelitian ini kedua daerah yakni Kabupaten Gunungkidul dan Bintan saling menerapkan kebijakan yang sama. Namun dalam penerapan tersebut tidak ada implementasi kebijakan HKm yang baik. Masyarakat yang telah mendirikan organisasi lokal dan telah membuat kesepakatan harus bergantung pada perubahan kebijakan pemerintah. Cukup sulit bagi masyarakat untuk mengikuti peraturan dan hanya beberapa saja yang dapat mendapatkan izin pengelolaan dari Camat. Seorang camat juga tidak dapat dengan mudah untuk mengambil risiko dengan menyimpang dari peraturan sehingga terlihat bahwa masyarakat memanfaatkan hutan secara ilegal. Di samping itu bagi masyarakat yang telah mengelola dan memanfaatkan hutan perlu adanya legalitas yang pasti tentang Hak dan Kewajiban pengelolaan tersebut. Untuk kasus-kasus tersebut masyarakat menghabiskan waktu dan dana pada wilayah tersebut. Namun apabila mereka tidak mendapatkan keuntungan maka mereka akan terus melakukan penebangan. Hal seperti ini dapat mengancam kelestarian hutan dan praktik pemanfaatan hutan oleh masyarakat.

Latar belakang di atas telah menggarisbawahi pentingnya fokus pada proses dan konsekuensi pengelolaan HKm di Indonesia, khususnya isu penting tentang dinamika institusi lokal terhadap kebijakan pengelolaan HKm dan bagaimana institusi-institusi di daerah dapat menyesuaikan dan menerapkan kebijakan. Serta seberapa jauh masyarakat daerah mampu bertahan dengan perubahan kebijakan

Page 22: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

6 COLLABORATIVE GOVERNANCE

pengelolaan Hutan Kemasyarakatan. Maka dari itu perlu diketahui bahwa terdapat dua permasalahan yang difokuskan di dalam buku ini, yakni perencanaan institusi, pemusatan pada tata cara pengawasan dan penegakan peraturan yang telah ditetapkan serta bagaimana masyarakat mengevaluasi peraturan dan penerapannya. Permasalahan kedua adalah tentang pemahaman pada perubahan dinamika kekuasaan dan manajemen hasil hutan di Indonesia.

B. HKm

Secara teoritis, ide tentang HKm bisa ditelusuri dari teori Community Based Forest Management (CBFM) sebagai pendekatan baru dalam tata kelola hutan yang berbeda dengan pendekatan konvensional. CBFM dipahami sebagai pemberian kewenangan kepada masyarakat lokal dengan tujuan supaya menjadi lestari dan masyarakat di sekitar hutan menjadi sejahtera (Reseolofoson, 2017). Lebih jauh CBFM dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui sekema reducing emission from deforestation and degradation (REDD+). Sehingga pengelolaan hutan tidak sepenuhnya dikendalikan oleh negara, akan tetapi kewenangan tersebut didistribusikan kepada masyarakat lokal supaya hutan semakin lestari begitupun sebaliknya masyarakat memiliki dampak ekonomi dari hutan tersebut.

Sementara dalam kontek kebijakan kehutanan di Indonesia, CBFM ini diterjemahkan melalui kebijakan HKm dengan mengacu pada Permenhut 37 tahun 2007. Di dalam peraturan tersebut, HKm didefinisikan sebagai hutan Negara di area kawasan hutan lindung atau hutan produksi yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Pemberdayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam mendapatkan manfaat sumberdaya hutan. Selain itu diharapkan dengan adanya peningkatan kapasitas, mayarakat bisa memiliki kemampuan dan kepedulian untuk melakukan perlindungan terhadap fungsi ekologis hutan. Diharapkan dari HKm ini bisa

Page 23: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

7Pendahuluan

mengakomodasi partispasi dan kearifan masyarakat local sebagai bentuk pengakuan terhadap hak-hak masyarakat local untuk menjaga fungsi rehabilitasi-konservasi, dan kelestarian lingkungan (Elvida, dan Prahasto, 2008).

Mayarakat di sekitar kawasan hutan melalui KTH akan mendapatkan ijin apabila mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota. Kemudian Bupati/Walikota mengajukan usulan tersebut kepada Mentri. Terhadap usulan yang diajuan oleh Bupati/Walikota, Mentri membentuk tim untuk melakukan verifikasi tahap kedua. Terdiri dari unsur-unsur eselon I di lingkup Kementrian Kehutanan yang dikoorinasikan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan. Dalam implementasi verifikasinya Kepala Badan Planologi Kehutanan sebagai koordinator tim menugaskan Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk melakukan verifikasi ke lapangan. Verifikasi meliputi kepastian hak atau ijin yang telah ada serta kesesuaian dengan fungsi hutan. Kemudian terhadap verifikasi yang memenuhi syarakat Mentri menetapkan areal kerja HKm. Sementara untuk IUPHKm-nya sendiri diberikan oleh Bupati/Walikota dengan menyertakan tembusan kepada Mentri Cq. Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan, Gubernur, dan Kepala KPH.

KTH yang mendapatkan ijin melalui IUPHKm berhak untuk mengelola hutan selama 35 tahun, berhak untuk melakukan penanaman tanaman-tanaman tumpangsari, dan berhak menanam hayu hutan berikut mengambil keuntungan dari kayu yang ditanam tersebut. Tetapi dalam upaya menjaga kelestarian fungsi ekologis hutan Permenhut 37/2007 mensyarakatkan pohon yang boleh ditebang untuk diambil keuntungan adalah pohon yang berusia di atas 15 tahun, dengan teknik penebangan bersilang. Dimana apabila beberapa pohon ditebang harus kembali ditanami, dan apabila pohon yang baru ditanam sudah tumbuh besar baru bisa menebang pohon lain.

Sebelum mengajukan ijin KTH akan mendapatkan fasilitasi melalui pendampingan penguatan kelembagaan dan penyusunan proposal pengajuan ijin. Fasilitasi tersebut meliputi; pendampingan

Page 24: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

8 COLLABORATIVE GOVERNANCE

dalam pengembangan kelembagaan KTH, pendampingan pengajuan permohonan ijin, pendampingan penyusunan rencana kerja HKm, pendampingan teknologi budidaya hutan dan hasil hutan, mendapatkan pendidikan dan pelatihan, membuka akses terhadap pasar dan modal, dan pendampingan pengembangan usaha. Fasilitasi ini dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai amanat Permenhut 37/2007 yang dapat dibantu oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Dan juga dapat dibantu oleh pihak lain sepanjang memiliki kesepakatan dengan KTH, seperti; perguruan tinggi/ lembaga penelitian dan pengembangan masyarakat, LSM, lembaga keuangan, Koperasi, dan BUMN/BUMD/BUMS.

KTH yang mendapatkan IUPHKm memiliki kewajiban untuk melakukan penataan batas areal, menyusun rencana kerja, dan melakukan penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan hutan. Seandainya berkeinginan untuk melanjutkan permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HKm) maka harus terlebih dahulu membentuk Koperasi dalam jangka waktu 5 (Lima) tahun setelah terbitnya IUPHKm. Dan IUPHHK HKm sendiri akan diberikan apabila pengelolaan hutannya sudah berjalan selama 15 tahun. Akan tetapi seiring dengan perubahan rezim pemerintahan, kebijakan HKm tersebut mengalami beberapa kali perubahan, dan lebih jauh akan dijelaskan di dalam buku ini.

C. Pendekatan Kelembagaan Baru

Selain itu, ide tentang HKm juga bisa ditelusuri melalui teorinya Ostrom tentang new institusionalism, atau kelembagaan baru. Menurut Ostrom (1999), kelembagaan memiliki definisi yang luas dan banyak konsep yang didasarkan pada aturan perilaku, norma dan pendekatan. Dengan kata lain kelembagaan adalah alat yang di gunakan manusia untuk mengatur segala bentuk interaksi secara terstruktur dan sistematis, termasuk dalam keluarga, lingkungan pasar, perusahaan, liga olahraga, gereja, asosiasi swasta, dan pemerintah disemua tingkatan ( Ostrom, 2005). North (1990) berpendapat bahwa

Page 25: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

9Pendahuluan

kelembagaan adalah aturan dari permainan dalam ruang lingkup masyarakat yang terbentuk dan tertuang secara formal, dan aturan tersebut merupakan hambatan yang manusiawi untuk dirancang dalam membentuk interaksi manusia. Oleh karena itu mereka menyusun insentif dalam pertukaran sumber daya manusia, baik politik, sosial maupun ekonomi. Selain itu tujuan dari aturan adalah untuk menentukan cara permainan ini dimainkan, akan tetapi ada pula tujuan tim yang merupakan sekumpulan aturan untuk memenangkan pertandingan. Perbedaan utama antara organisasi dan kelembagaan adalah sebagai berikut: organisasi adalah sekelompok orang yang ingin mencapai tujuan yang sama dan terikat oleh tujuan untuk bersama, sementara itu kelembagaan merupakan peraturan permainan atau kode etik yang mendefinisikan praktik sosial dan interaksi diantara para pemangku kepentingan (North, 1990).

Gambar 1.1 Kerangka untuk Analisis Kelembagaan

Exogenous Variables

Action Arena

Biophysical/Material Conditions

Attributes of Community

Rules

Action Situation

Participants

Interactions

Evaluative Criteria

Outcomes

Gambar tersebut menunjukkan rangkaian berupa variabel eksogen yang berarti variabel independen, yang mana variabel tersebut mempengaruhi model dan tanpa dipengaruhi oleh variabel dependen, dan karakteristik metode generasi kualitatif tidak ditentukan oleh pembangunan model (Murcko, 2014). Variabel eksogen digunakan untuk menetapkan kondisi eksternal yang sewenang-wenang dan tidak dalam mencapai perilaku model yang lebih realistis (Murcko, 2014). Misalnya tingkat pengeluaran anggaran

Page 26: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

10 COLLABORATIVE GOVERNANCE

yang di kelola oleh pemerintah adalah eksogen pada teori dari penentuan tingkat pendapatan yang diperoleh pemerintah.

Kerumitan dan kesalahan birokrasi mungkin disebabkan oleh faktor yang tidak disengaja. Masalah ini bisa terjadi karena birokrasi tidak memiliki kecukupan informasi serta kurang mampu mengolah informasi yang ada, sehingga pada akhirnya informasi yang di terima ini mendorong pembuatan kebijakan yang tidak tepat, rentan konflik serta tidak efisien (Greenwald, 2008). Individu dan partisipan yang terlibat di dalam pengolahan sumber daya alam cenderung berperilaku logis dan di dasari oleh nalar dan pemikiran yang rasional, sehingga perilaku dan pemikiran tersebut perlu dibatasi oleh aturan. Pembatasan tersebut untuk meredam perilaku individu-individu dan partisipan yang cenderung untuk memaksakan utilitas yang di sebabkan oleh ketidakpastian, informasi yang asimetris dan kemampuan kognitif yang tidak sempurna (Nee dalam Smelser and Swedberg 2005).

Gambar 1.2 Model Ekonomi Kelembagaan Baru

Shift Parameters Strategic

Behavioral Attributes Endogenous

Preferences

Institusional Environment

Governance

Individual

Page 27: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

11Pendahuluan

Inti model di atas adalah deskripsi operasional biaya transaksi (transacsion cost) dan biaya negosiasi (negotiation cost), untuk menjaga dan melengkapi transaksi dalam ekonomi pasar (Smelser and Swedberg, 2010). Model di atas menjelaskan bahwa lingkungan kelembagaan (Hak milik, perubahan aturan hukum dan norma) dibentuk oleh aturan-aturan main, sedangkan arah panah ke bawah bahwa perusahaan berusaha mempengaruhi governance dengan lobi. Dengan mengadopsi dua jenis hipotesis dari Adam dan Lomnits (Smelser and Swedberg, 2010) maka deskripsi dari gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak aturan negara, maka semakin berkembang suatu aktivitas ekonomi informal.

Gambar 1.3 Paradoks Kontrol Negara: Peraturan dan Ekonomi Informal

Scope of Possible

Extent of Regulation Informal Activity

Minimal

Regulation

Moderate

Regulation

Complete

Regulation

Dari kedua penggabungan hipotesis tersebut, Adam dan

Lomnitz’s ingin menunjukkan kepada kita bahwa kemampuan negara dalam mengatur pemilik lahan baik perorangan maupun perusahaan sangat bergantung kepada sejauh mana kapasitas regulasi negara dan struktur sosial dan budaya dari objek yang diatur (a) sejauh

Page 28: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

12 COLLABORATIVE GOVERNANCE

mana kemampuan pengaturan negara (b) bagaimana dan seperti apa struktur sosial dan sumber daya dari subjek populasi peraturan (Smelser dan Swedberg, 2010). Kemampuan stakeholder dalam hal ini pejabat pemerintah di dalam membuat dan melahirkan aturan dan regulasi, sehingga dapat mempengaruhi terhadap sejauh mana mereka para pelaku ekonomi menaati regulasi dan aturan tersebut (Smelser dan Swedberg, 2010). Kemampuan kelembagaan merupakan faktor penting untuk meningkatkan pelaksanaan regulasi baik dalam konsistensi pelaksanaannya dan kualitas advokasinya sesuai dalam review OECD (2009).

Seiring dengan adanya perubahan dalam tata kelola pemerintahan dengan semakin menguatnya kapasitas masyarakat, pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan tidak ada salahnya untuk diberikan kepada masyarakat. Hal itu karena beberapa alasan. Pertama, terlalu besarnya beban pemerintah apabila mengatur keseluruhan hutan yang ada. Tidak mungkin pemerintah mampu melakukan recovery atau replanting terhadap seluruh hutan yang berada dalam kondisi gundul dan rusak. Kedua, ada kecenderungan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat, kondisinya jauh lebih lestari dibandingkan dengan hutan yang dikelola oleh Negara. Dimana masyarakat di sekitar hutan memiliki nilai luhur sebagai bagian dari institusi yang mereka miliki (Ramdani, 2016).

Hal itu juga sebagai upaya dalam pendelagasian kewenangan dari pemerintah terhadap masyarakat dalam mengelola barang public. Idealnya pemerintah tidak hanya melayani masyarakat tetapi juga memberikan kewenangan (Osborne dan Gaebler, 2005). Sehingga fungsi dari pemerintah adalah sebagai katalis dalam menghimpun sumber daya masyarakat di dalam satu institusi, menyediakan sumber daya, dukungan, dan penguatan institusi masyarakat (Ramdani, 2016). Dimana pada dasarnya, masyarakat memiliki kemampuan untuk mengurusi barang public yang secara langsung secara ekonomis berhadapan dengan kebutuhan mereka.

Page 29: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

13Pendahuluan

D. Collaborative Governance

Sementara teori yang digunakan untuk melihat bagaimanakah sebetulnya hubungan anatara pemerintah dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat (HKm) adalah teori collaborative governance atau kerjasama dalam menjalankan tatakelola pemerintahan. Emerson (2011) mendefinsikannya sebagai proses dan stuktur dari pengambilan kebijakan publik dan tata kelola pemerintahan dengan melibatkan masyarakat, swasta, NGOs, dari berbagai institusi dan level yang ada untuk menentukan tujuan bersama yang sulit untuk bisa dirumuskan sendiri. Sementara Mc Guire (2006) menjelaskan bahwa collaborative governance adalah konsep di dalam management pemerintahan sebagai proses fasilitasi dan pelaksanaan oleh berbagai institusi baik pemerintah, masyarakat, maupun NGOs yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah bersama yang tidak bisa diselesaikan oleh satu institusi pemerintah saja.

Paradigma lain tentang collaborative governance dikemukakan oleh John Wanna (2008), yang mendefinisikan bahwa kerjasama memiliki makna bekerjasama atau bekerja bersama-sama dengan pihak lain, baik sifatnya individu, kelompok, maupun organisasi. Dengan merujuk pada Wildavsky (1973), Wanna (2008) mengemukakan bahwa kerjasama mencakup beberapa dimensi: Pertama, mencakup cooperation untuk membangun kebersamaan, meningkatkan konsistensi, dan meluruskan aktivitas antar aktor. Kedua, kerjasama bisa juga merupakan sebagai proses negosiasi, yang mencakup suatu persiapan untuk berkompromi dan membuat kesepakatan. Ketiga, bisa juga merupakan bentuk antisipasi bersama melalui serangkaian aturan terhadap kemungkinan kekeliruan yang akan terjadi. Keempat, kerjasama juga bisa merupakan kekuasaan dan paksaan, kemampuan untuk mendorong hasil. Kelima, kerjasama mencakup komitmen masa depan dan intensitasnya, perencanaan atau persiapan untuk meluruskan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dan terakhir, kerjasama mencakup keterlibatan, proses pengembangan motivasi internal dan komitmen personal terhadap proyek yang akan dikerjakan.

Page 30: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

14 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Perspektif lainnya dikemukakan oleh Chris Ansell dan Alison Gash (2008) yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan collaborative governance adalah sebuah tata kelola pemerintahan dimana institusi-institusi pemerintahan secara langsung melibatkan aktor di luar pemerintah (baik masyakata/ komunitas, NGOs, dan private sector) di dalam proses pengambila keputusan secara formal, yang berorienasi pada kepentingan bersama. Tujuannya adalah untuk melaksanakan kebijakan dan mengelola program dan sumber daya secara bersama. Dari perspektif ini menurut Ansell dan Gash (2008) ada beberapa kata kunci penting yang harus dicatat yaitu: (1) kerjasama diinisiasi oleh institusi pemerintahan, (2) adanya keterlibatan aktor non-pemerintah, (3) seluruh aktor terlibat dalam proses pengambilan kebijakan, (4) forum kerjasama diorganisir dan dirancang secara bersama, (5) tujuan dari forum kerjasama adalah untuk membuat keputusan bersama-sama, dan (6) fokus dari kerjasama adalah dalam pengemabilan kebijakan dan tatakelola pemerintahan.

Dengan menggunakan istilah yang berbeda yaitu cross-sector collaboration, John M Bryson dan Barbara C. Crosby (2006; 2012) mendefinisikan kerjasama sebagai proses sharing informasi, resources, aktivitas dan kapabilitas yang dilakukan oleh berbagai organisasi di dalam satu atau beberapa sektor untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yang tidak bisa didapatkan apabila hanya dilakukan oleh organisasi-organisasi yang berada pada satu sector saja. Bryson dan Corby menegaskan bahwa penggunaan istilah cross-sector collaboration untuk menunjukan adanya keterlibatapan pihak pemerintah, business, nonprofit, lemabaga charity, komunitas, dan institusi-institusi publik lainnya secara keseluruhan.

Dari illustrasi beberapa definisi yang dikemukakan tersebut dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa collaborative givernance merupakan suatu paradigma baru dalam pemerintahan di mana masyarakat, sector business, NGOs, dan stakeholder lainnya dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan kebijakan, dan tatakelola pemerintahan secara umum. Orientasi dari pelibatan tersebut merupakan upaya dalam menyelesaikan masalah besar

Page 31: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

15Pendahuluan

yang tidak mungkin bisa diselesaikan oleh satu pihak saja, akan tetapi memerlukan kerjasama dari berbagai pihak. Sehingga orientasinya adalah keberhasilan dari kebijakan tersebut sesuai dengan cita-cita dan tujuan bersama. Sekalipun idealnya inisiasi dari kerjasama tersebut datang dari pemerintah.

Dalam merumuskan ketingkat yang lebih praktis, beberapa ilmuan sudah merumuskan model bagaimanakah kerangka kerja dari collaborative givernance tersebut. Seperti misalnya model yang dikembangkan oleh Ann Marie Thomson dan James L. Perry (2006) yang memulai proses collaboration dari negosisi, komitmen dan pelaksanaan yang dinaungi oleh assessment. Dimana dalam operasionalnya negosiasi berarti proses bargaining antar aktor yang akan terlibat di dalam collaboration. Setelah terjadi negosiasi maka akan muncul komitmen dari masing-masing aktor atas apa yang akan dilakukan di dalam kerjasama tersebut. Sementara proses pelaksanaan merupakan bentuk pengejawantahan dari komitmen bersama yang telah diambil melalui keterlibatan seluruh aktor dan interkasi antar aktor. Selain itu, untuk menjaga kerjasama perlu adanya assessment untuk melihat dari setiap proses yang ada tersebut sejauh mana keaktivan dan keterlibatan masing-masing aktor.

Model lainnya dikembangkan oleh Ansell dan Gash (2008) yang tediri dari Dua tahapan yaitu starting condition, facilitative leadership, institutional design, collaborative process. Di dalam starting condition yaitu tahapan fasilitasi kerjasama di antara stakeholder yang ada. Ada dua issue penting dalam tahapan ini yaitu ketidak seimbangan sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing stakeholders dan insentive supaya berpartisipasi. Apabila sumberdaya dan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing stakeholder tidak seimbang, maka kerjasama akan dimanipulasi oleh stakholders yang memiliki sumberdaya dan kekuatan banyak. Oleh karenanya jika hal itu terjadi, maka mesti ada komitmen untuk membantu stakholders yang lemah. Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah keharusan adanya insentive supaya stakholders yang lemah bisa gigih berbagung untuk bekerjasama. Dan terakhir mesti adanya antisipasi terhadap

Page 32: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

16 COLLABORATIVE GOVERNANCE

terjadinya konfil di dalam kerjasama sehingga di awal harus dibangun rasa percaya antar satu dengan yang lain.

Sementara di tahap facilitative leadership atau memfasilitasi adanya kepemimpinan, merupakan tahapan yang sangat penting sekali untuk melibatkan stakolders di dalam satu kesatuan, mendekatkan satu sama lain, dan menyatukannya di dalam satu spirit. Selain itu kepemimpinan pun sangat penting untuk menjaga aturan main yang ada di dalam kerjasama, membangun kepercayaan antara satu dengan yang lain, memfasilitasi dialog, dan mengekplorasi keuntungan bersama (Ansell dan Gash, 2008). Selanjutnya adalah tahapan institusional design atau mendesign institusi kerjasama. Dimana institusi ini merupakan aturan main yang sangat fundamental di dalam proses kerjasama dan sifat dari institusi tersebut haruslah terbuka. Dan tahap yang terakhir barulah collaborative process. Proses dalam kerjasama ini merupakan membangun tahapan yang dimulai dari face-to-dace dialogue yang berorinetasi pada kesepakatan bersama. Dilanjutkan dengan membangun kepercayaan antar satu dengan yang lain, dan komitmen bersama untuk bersama-sama bekerjasama, sehingga bisa memunculkan adanya pemahaman bersama. Barulah setelah semua berjalan dengan baik akan bisa tercapai outcomes sebagaimana yang diharapkan (Ansell dan Gash, 2008).

Model lainnya adalah model yang cukup terkenal yang dipopulerkan John M Bryson dan Barbara C. Crosby (2006) dengan istilah cross-sector collaboration. Dan di dalam buku ini teori tersebut akan digunakan khusunya di dalam tahapan proses. Dimana collaborative governance terdiri dari initial condition, structure and governance, process, contingencies and constraints, outcomes dan accountabilies. Fokus dari buku ini akan mengexplorasi dari sisi prosesnya yang terdiri dari; (1) forging agreements yang merupakan kesepakatan bersama seluruh stakholders untuk melakukan kerjasama, (2) building leadership yaitu perlu adanya kepemimpinan baik formal maupun informal sebagai komite atau manajer dari kerjasama tersebut, (3) building legitimacy dimana pentingnya membangun legitimasi dengan adanya struktur, proses, dan strategi

Page 33: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

17Pendahuluan

yang relevan dengan keadaan di sekitarnya, (4) building trust yaitu membangun kepercayaan antar stakholders yang bekerjasama dan ini sifatnya sangat penting sekali di dalam collaborative governance, (5) managing conflict yaitu mengelola konflik yang ada mengingat besarnya kepentingan yang muncul dari masing-masing stakholders yang terlibat di dalam kerjasama, dan (6) planning tahapan yang sangat penting di dalam menentukan visi, misi, tujuan, tahapan, pelaksanaan, keterlibatan dan peran dari masing-masing stakholders, sehingga planning ini sangat menentukan keberhasilan dari kerjasama.

Gambar 1.4 Kolaborasi Lintas Sektor

Diadopsi dari Bryson dan Crosby (2006)

INITIAL CONDITION General Environment

Turbulence Competitive and Institutional Element

Sector Failure Direct Antecedents

Conveners General Agreemnt on the probem Existing relatinships or Network

PROCESS

Formal and Informal Forging agreements Building Leadership Building legitimacy

Building Trust Managing Conflict

Planning

STRUCTURE AND GOVERNANCE

Formal and Informal

Membership Structural Configuration

Governance Structure

CONTINGENCIES AND CONSTRAINTS

Type of Collaboration

Power Imbalances Competing institutional logics

OUTCOMES AND ACCUNTABILITIES Outcomes

Public Velue First-, Second-, and third-rder effects

Recilience and reassesment Accountabilities

Inputs, Procsses, and outputs Results management system

Relatinships with political and Professional constituencies

Diadopsi dari Bryson dan Crosby (2006)

Page 34: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

18 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Hal lainnya yang penting untuk dilihat adalah tingkatan dari collaborative governance. Jhon Wanna (2008) mengklasifikannya pada Lima tingkatan yaitu (1) Highest Level, (2) Medium-High Level, (3) Medium Level, (4) Medium Low-Level, (5) Lowest Level. Kategori highest level terjadi ketika adanya komitmen yang tinggi untuk melakukan kerjasama, interkasi yang saling menguntungkan terjadi antar sesama aktor yang terlibat di dalam kolaborasi, kebersamaan yang substantive, adanya kerjasama yang kuat, dan kerjasama terjadi antara institusi pemerintah dan non-pemerintah. Kategori Medium-high level terjadi apabila adanya orientasi yang kuat, penyatuan aktor yang kuat dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan program, memberikan kewenangan kepada client untuk mengambil keputusan, dan adanya kompleksitas dalam memberikan service delivery. Ketegori medium level terjadi ketika adanya komitmen dengan keberadaan banyak pihak. Kategori medium low-level terjadi ketika kerjasama orientasi hanya untuk menyelesaikan pekerjaan saja. Sementara lowest level terjadi ketika pearturan kerjasama sudah diabaikan.

Untuk melihat sejauh mana kolaborasi yang dilakukan, maka dapat dibuktikan dan dipaparkan dengan menggunakan analisis smart PLS. Sementara untuk melihat sejauh mana keterlibatan aktor dalam kolaborasi tersebut dilhat dengan menggunakan melalui proses analisis jejaring sosial atau yang di kenal dengan Sosial Networks Analysis (SNA). Analisis smart PLS merupakan analisis yang dilakukan untuk melihat Untuk mengetahui pola hubungan antar variabel maka akan di gambarkan dengan pola coding atau dengan memberikan kode berupa X1 (Agreement) X2 (Leadership), X3 (Planning), dan X4 (Trust) serta X5 (Manajement Conflict). Sementara untuk pemberian kode terhadap implikasi dan impact dari analisis smart PLS yaitu berupa Y (Collaboration), pemberian kode ini di gunakan untuk menguji hipotesis secara singkat. Adapun jumlah responden yang menjadi sampel merupakan keterwakilan dari masing-masing stakeholders, dan dihitung secara proporsional sesuai dengan jumlah keseluruhan stakeholders yang terlibat dalam penanganan masalah dan kasus di lapangan.

Page 35: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

19Pendahuluan

Sementara SNA menggambarkan struktur jaringan sebagai properti yang paling nyata dari jaringan. Anklam menjelaskan bahwa struktur jaringan memiliki beberapa pola dasar yaitu struktur pusat, kelompok, dan inti dari jaringan (Anklam, 2014). Analisis jaringan tersebut digunakan sebagai alat pengukuran untuk menggambarkan jaringan struktur organisasi untuk membantu dalam proses menganalisis sebuah struktur jaringan hubungan interaksi yang terbentuk antar organisasi, khususnya stakeholders yang terlibat dalam penanganan masalah. Analisis ini mampu menjelaskan struktur jaringan antara stakeholders dengan memberikan gambaran pada kepadatan tipologi jaringan yang dibangun oleh stakeholders saat ini. Untuk memastikan seberapa jauh efektivitas yang terpusat kepada jaringan antar stakeholders, maka analisa SNA menggunakan enam parameter yaitu dengan menggunakan density, betweenness centrality, closeness centrality, eigenvector centrality, diametres dan average distance. Parameter tersebut di gunakan dalam analisa untuk menentukan organisasi/lembaga mana yang paling berperan terhadap suatu masalah maupun kasus. Metrik selanjutnya adalah diameter jaringan (diametres networking), diameter jaringan mengacu pada garis terpanjang dan bisa menunjukkan seberapa besar jaringan tersebut. Gambaran dari diameter jaringan mampu menjelaskan bahwa jaringan dengan diameter besar memungkinkan lebih terdesentralisasi dari pada diameter yang lebih kecil (Everton, 2012).

Page 36: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan
Page 37: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

21

BAB IIIMPLEMENTASI KEBIJAKAN HKm di WILAYAH DARATAN

Untuk melihat bagaimanakan impelementasi dari kebijakan HKm di wilayah daratan, maka di dalam buku ini akan fokus memotret dinamika implementasi kebijakan HKm di kabupaten Gunungkidul sebagai wilayah yang paling luas hutannya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maupun sebagai representasi dari manajemen tata kelola hutan berbasis masyarakat di pulau Jawa. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ramdani (2016) menunjukan ada beberapa alasan yang menyebabkan implementasi HKm di kabupaten Gunungkidul bisa dijadikan sebagai representasi dari keberhasilan implementasi HKm di wilayah daratan Indonesia. Pertama, masyarakat sangat semangat untuk mengelola hutan karena ada reward untuk melakukan tumpangsari dan mendapatkan hasil hutan. Kedua, fungsi fasilitasi yang sangat massive dilakukan NGOs dan perguruan tinggi. Dan Pemerintah sangat terbuka untuk bisa bekerjasama dan melakukan pendampingan terhadap masyarakat.

Page 38: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

22 COLLABORATIVE GOVERNANCE

A. Gambaran Umum Kabupaten Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi DIY. Terletak antara 7° 46’ - 8° 09° Lintang Selatan dan 110° 21’ – 110° 50’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah di Sebelah Utara. Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah di sebelah timur. Samudra Hindia di sebelah selatan dan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul tercatat 1.485,36 km2 yang meliputi 18 kecamatan dan 144 desa/kelurahan. Kecamatan Semanu merupakan kecamatan terluas dengan luas sekitar 108,39 Km2 atau sekitar 7,30 persen luas Kabupaten Gunungkidul (BPS, 2016). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam peta berikut ini:

Gambar 2.1 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Gunungkidul

Jumlah penduduk Kabupaten Gungkidul berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah sebanyak 675.382 jiwa dengan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Wonosari. Dari luas wilayah 1.485,36 km2 Luas Hutan Negara di Kabupaten Gunungkidul adalah seluas 1.290.500 Ha. Hutan Negara terluas terdapat di Kecamatan Playen yaitu seluas 382.340 Ha. Terdapat beberapa Kecamatan yang tidak memiliki Hutan Negara sama-sekali seperti Kecamatan Tepus, Tanjungsari, dll. Adapun untuk Hutan HKm dari 18 Kecamatan yang ada di Kabupaten Gunungkidul hanya

Page 39: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

23Implementasi Kebijakan HKm di Wilayah Daratan

terdapat di 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan: Panggang seluas 170,60 Ha, Paliyan seluas 234,90 Ha, Semanu 209,50 Ha, Playen seluas 236,45 Ha, Nglipar seluas 180,90 Ha, dan Semin seluas 40 Ha. Untuk lebih jelasnya lihatlah tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Luas Hutan Negara dan HKm Kabupaten Gunungkidul 2010

No. Kecamatan Luas WilayahKm2

Luas Hutan Negara (Ha)

Luas HKm (Ha)

1 Panggang 99,80 170.280 170,60

2 Purwosari 71,76 0 0

3 Paliyan 58,07 222.400 234,90

4 Saptosari 87,83 7.750 0

5 Tepus 104,91 0 0

6 Tanjungsari 71,63 0 0

7 Rongkop 83,46 0 0

8 Girisubo 94,57 0 0

9 Semanu 108,39 99.250 209,50

10 Ponjong 104,49 0 0

11 Karangmojo 80,12 94.670 0

12 Wonosari 75,51 37.080 0

13 Playen 105,26 382.340 236,45

14 Patuk 72,04 55.300 0

15 Gedangsari 68,14 0 0

16 Nglipar 73,87 216.430 180,90

17 Ngawen 46,59 0 0

18 Semin 78,92 5.000 40,00

Total Kabupaten Gunungkidul 1,485,36 1.290.500 1.072,35BPS DIY. Gunungkidul Dalam Angka 2011

Dengan total 1.072,35 Ha luas Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Gunungkidul dikelola oleh 35 Kelompok Tani Hutan (KTH). KTH terbanyak terdapat di Kecamatan Paliyan sebanyak 13 KTH. Sementara yang paling sedikit adalah KTH di Kecamatan Semin hanya 1 KTH saja yaitu KTH Karya Hutan di Dusun Kalialang, Desa Kalitekuk.

Page 40: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

24 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Tabel 2.2 KTH dan Luas Lahannya di Kabupaten Gunungkidul

No. Kecamatan Nama KTH Luas Lahan (Ha)1 Paliyan Sedyo Lestari 10

Sido Maju I 10Sido Maju II 10Sido Maju IV 10Sido Rukun 10Ngudi Sampurno 15Sido Dadi III 10Ngudi Rejeki 26,70Manunggal 30Handayani 20Mintasari 30Sumber Wanajati II 20Sumber Wanajati IV 14

2 Playen Tani Manunggal 40Sedyo Rukun I 17Sumber Wanajati I 12,65Sumber Wanajati II 15Wana Makmur 35Wana Lestari I 39,40Wana Lestari II 57,40Ngudi Makmur 20

3 Panggang Sidomulyo III 17,40Sidomulyo V 12,65Sidomulyo I 15Sidomulyo IV 35Sidodadi 39,40Margomulyo 57,40Sido Raharja 20

4 Semanu Sedyo Makmur 115Ngudi Makmur 31Sumber Rejeki 43,50Maju Makmur 20

5 Nglipar Kesuma Tani 80,90Wonorejo 100

6 Semin Karya Hutan 40Kabupaten Gunungkidul 1.072,35

Sumber: Subdit Pemolaan Perhutanan Sosial, DITJEN RLP

Page 41: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

25Implementasi Kebijakan HKm di Wilayah Daratan

B. KTH Sedyo Makmur

Untuk KTH Sedyo Makmur sendiri terletak di desa Ngeposari dan desa Candirejo, kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Secara administratif anggotanya berasal dari 4 dusun dan 2 desa yaitu, Dusun Jragum, Wediutah, Gemulung yang berada di wilayah desa Ngeposari dan dusun Plebengan yang berada pada wilayah Desa Candirejo. Jumlah penduduk Ngeposari adalah sebanyak 9.468 orang dan Candirejo 8.840 orang.

Tabel 2.3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

Kecamatan Desa Jumlah Penduduk (orang)Pria Wanita Jumlah

Semanu Ngeposari 4.644 4.824 9.468Candirejo 4.322 4.518

8.840

Jumlah 8.966 9.342 18.308Sumber: Rencana Umum Hutan Kemasyarakatan, Sedyo Makmur

Sementara bila dilihat berdasarkan umurnya penduduk dengan usia produktif 15-55 di desa Ngeposari jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan penduduk <15 tahun dan >55 tahun, namun untuk desa Candirejo jumlah penduduk yang berusia >55 tahun mencapai 50 persen dari total jumlah penduduk.

Diagram 2.1 Penduduk Desa Ngeposari Berdasar Usia

4,322, 24%

4,518, 26%

8,840, 50%

< 15 tahun

15-55 tahun

> 55 tahun

803

6,345

2,320 < 15 tahun15-55 tahun

Page 42: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

26 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Diagram 2.2 Penduduk Desa Candirejo Berdasar Usia

4,322, 24%

4,518, 26%

8,840, 50%

< 15 tahun

15-55 tahun

> 55 tahun

803

6,345

2,320 < 15 tahun15-55 tahun

KTH Sedyo Makmur embrionya dimulai sejak tahun 1985, awalnya merupakan 100 petani penggarap tumpang sari hutan produksi Negara dengan sistem kontrak 2-3 tahun. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain pertemuan rutin setiap Senin legi, serta penanaman sono, akasia, cendana, dan jati. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tahun 1995 mulai terbentuklah Petani HKm dengan adanya program HKm. Jumlah anggota mengalami penambahan sebanyak 154 orang sehingga total jumlah anggotanya sampai saat ini berjumlah 254 orang yang terbagi ke dalam tujuh sub kelompok dengan luas lahan garapan 115 Ha. Mendapatkan Ijin sementara pada tahun 2004 melalui SK Bupati No. 73/KPTS/2004 dan ijin definit pada tahun 2007 melalui SK No. 214/KPTS 2007.

Tabel 2.4 KTH Sedyo Makmur

BDH/RPH

Petak

Luas(Ha)

Nama Kelompok/

Ketua Kelompok

Alamat

Anggota(Orang)

1 2 3 4 5 6

BDH Ka-rangmojo 161/ 115.00

Sedyo Makmur/

Jragum, Ngeposari,Semanu

250

1. Semanu 162 Tambiyo

1 RPH 2 Petak 115.00 1 Kelompok 250Sumber: Dishutbun Gunungkidul

Page 43: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

27Implementasi Kebijakan HKm di Wilayah Daratan

Kemudian dalam upaya memenuhi aturan yang diprasyaratkan sesuai Permenhut 37/2007 dimana untuk dapat memperoleh IUPHHK maka KTH Sedyo Makmur membentuk lembaga Koperasi berbadan hukum yang bernama Koperasi Tani Sedyo Makmur. Adapun Petak yang diizinkan untuk dijadikan area HKm adalah seluas 115 Ha. Areal kerja terdiri petak 161 dan 162, PRH Semanu, BDH Karangmojo, dengan status hutan produksi.

Tabel 2.5 Nama Blok dan Luas

No. Nama Blok Petak 161

Luas Jumlah Penggarap

No. Nama Blok Petak 162

Luas Jumlah Penggarap

1 Gandu 13,29 53 7 Tejo 6,65 352 Sangu pati 13,17 65 8 Prapatan 8,29 503 Gesing 10,16 74 9 Dul Gemulung 10,35 414 Klepu 14,00 110 10 Ploso Rubuh 7,58 375 Jendil 6,00 25 11 Ngrinjing 9,66 396 Tungkul 4,00 28 12 Gunung dowo 12,25 65

Sumber: Rencana Umum

Potensi areal kerja HKm dalam wilayah koperasi Sedyo Makmur terdiri atas sebaran jenis tanaman kayu dan non kayu.

Tabel 2.6 Sebaran Tanaman Kayu

No. Blok Luas (ha) Ukuran lilitan (cm) Jumlah Ket. Tanam

< 20 20-46 > 46

A Petak 161

1 Gandu 13,29 2.598 1.022 731 4.351 1995, 1997

2 Sangu pati 13,17 1.059 1.724 839 3.622 1995, 2000

3 Gesing 10,16 6.198 1.428 1.895 9.521 2001

4 Klepu 14,00 1.861 2.455 1.981 6.297 1997, 2001

5 Jendil 6,00 2.166 86 18 2.270 2001

6 Tungkul 4,00 3.791 23 186 4.000 2001

B Petak 162

7 Tejo 6,65 2.349 668 104 3.121 2001

8 Prapatan 8,29 4.939 369 30 5.338 2001

9 Dul gemulung 10,35 891 2600 2658 6.150 1995

10 Ploso rubuh 7,58 3.826 563 203 4.592 2001

11 Ngrinjing 9,66 3.524 164 351 4.039 1995

Page 44: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

28 COLLABORATIVE GOVERNANCE

12 Gunung dowo 12,25 9.382 68 235 9.688 1995, 2001

115,00 62.756

Sumber: Rencana Umum KTH Sedyo Makmur

Selanjutnya dapat dilihat tabel luasan wilayah lahan olahan yang merupakan luas lahan yang dikelola oleh masing-masing pengelola dengan jumlah luas lahan berbeda-beda. Perbedaan luas terjadi karena memang pada awal penentuan telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan kelompok dan kemampuan anggota.

Tabel 2.7 Luasan Wilayah Lahan Olahan

No. Luas lahan olahan (ha) Jumlah anggota1 0,1 182 0,15 123 0,20 254 0,25 445 0,3 366 0,35 37 0,4 88 0,45 29 0,5 4110 0,6 1611 0,7 412 0,75 1413 0,8 114 0,85 215 1 1116 1,25 1217 1,5 5

Total 115 254Sumber: Dokumen KTH

Page 45: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

29

BAB IIIPERUBAHAN KEBIJAKAN, IMPLEMENTASI DAN KONFLIK IUPHHKm DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

A. Perubahan Kebijakan HKm 2001–2016

Kebijakan HKm pertama kali muncul pada tahun 1995, di masa Menteri Kehutanan Djamaludin Suryohadikusumo, pemerintah mengeluarkan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat. Kebijakan itu diatur melalui SK Menteri Kehutanan No. 622/KPTS-11/1955 Tahun 1995. Peraturan ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan dan juga mengambil manfaat komoditas non kayu dari hutan. Tetapi masyarakat memiliki kewajiban untuk menanam tanaman yang jenisnya harus sesuai dengan arahan pemerintah, mengingat biaya HKm seluruhnya dibebankan kepada pemerintah. Yang berhak memberikan ijin terhadap Kelompok HKm adalah Kepala Dinas Kehutanan Dati I, dengan mempertimbangkan usul Kepala Desa atau Ketua Kelompok HKm atau Koperasi HKm yang terlebih dahulu melakukan perjanjian dengan Instansi Kehutanan

Page 46: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

30 COLLABORATIVE GOVERNANCE

di bawah. Lahan yang bisa dipergunakan untuk HKm sendiri adalah Hutan produksi atau Lindung yang kondisinya kritis.

Tiga tahun kemudian seiring pergantian menteri dari Djamaludin Suryohadikusumo menjadi Dr. Ir. Muslimin Nasution dan juga pergantian rezim dari Orde Baru ke reformasi terjadi perubahan substansial dalam kebijakan HKm. Ditandai dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 677/KPTS-II/1998 Tahun 1998. Dimana dalam kebijakan yang baru ini HKm tidak hanya bisa dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung kritis saja tetapi bisa juga dilakukan di kawasan hutan pelestarian alam dan pada zonasi hutan tertentu yang tidak sedang dibebani hak-hak lain dalam bidang kehutanan. Begitu pun masyarakat diberikan kejelasan waktu pengelolaannya, dimana jangka waktu yang diberikan dalam pengelolaan HKm adalah selama 35 tahun. Ditentukan juga kewajiban Kelompok HKm untuk membuat Rencana Induk Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (RIP HKm) dengan membuka ruang bagi keterlibatan LSM dalam melakukan pendampingan dalam proses pembentukan dan pengembangan kelembagaan kelompok HKm-nya. Hasil hutan yang bisa diambil manfaatnya oleh masyarakat tidak hanya hasil hutan non kayu, tetapi masyarakat pun bisa mengambil manfaat dari hasil kayu. Seandainya kawasan hutan itu memiliki nilai eksotik, seperti di kawasan hutan lindung, bisa juga digunakan sebagai kawasan ekowisata yang hasil keuangannya diperuntukkan bagi Kelompok HKm.

Kemudian kembali direvisi kebijakannya pada tahun 2001 dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 31/KPTS-11/2001 Tahun 2001 pada masa Menteri Kehutanan Dr. Nur Mahmudi Ismail. Alasan dikeluarkannya SK ini mengingat peraturan sebelumnya melalui SK No.677/1998 tidak sesuai lagi dilihat dari terminologi hierarki peraturan perundangannya, karena telah diundangkannya UU No. 4/ 1999 tentang Kehutanan sehingga UU ini harus menjadi konsiderans baru bagi peraturan turunannya. Melalui SK No. 31/2001 inilah Kementerian Kehutanan mengelola proyek HKm di 10 Provinsi di Indonesia. Dengan melakukan pemetaan wilayah kawasan hutan dan penyiapan kelompok masyarakatnya sampai akhirnya menghasilkan

Page 47: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

31Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

13 pencadangan wilayah di 13 Kabupaten (Purnomo, 2011). SK Kemenhut No. 31/2001 ini juga dalam konsideransnya mengacu pada UU No. 22/1999 yang memberikan kewenangan kepada Bupati untuk memberikan izin HKm kepada Kelompok masyarakat. Posisi pemerintah Kabupaten dituntut lebih proaktif dalam memfasilitasi masyarakat. Sekalipun tetap dalam prinsipnya HKm lebih menuntut inisiatif masyarakat sebagai pelaku utamanya. Tetapi setidaknya pemerintah Kabupaten lebih memiliki kewenangan dibandingkan dengan sebelumnya. Hal itu bisa dipahami sebagai dampak dari perubahan tata kelola pemerintahan dari sistem yang sangat sentralistis di masa Orde Baru menjadi sistem Desentralisasi pasca reformasi.

Tabel 3.1 Evolusi Kebijakan HKM 1995-2001

No. Substansi SK Menhut No. 622/1995

SK Menhut No. 677/1998

SK Menhut No. 31/2001

1 Kawasan yang digarap

Hutan Lindung yang kritis dan hutan produksi non HPH (Psl 31)

Hutan lindung dan hutan produksi, hutan non HPH (Psl 4,1)

Luas, karena semua hutan Negara (Psl 1,1)

2 Pemberi izin

Mentri, usul Kanwil atau Dinas TK I (Psl 61)

Mentri, usulan dari Kanwil dengan reko-mendasi gubernur (Psl 4,2)

Bupati (Psl 1 ayat 3 dan 4)

3 Peserta HKm

Perorangan, Kelom-pok, dan Koperasi (Psl 3,4)

Koperasi (Psl 5,1) Kelompok dan Kop-erasi (Psl 11 dan 17)

4 Hak Peserta

-Lahan perorang 4 ha (Psl 8)-Hasil hutan non kayu (Psl 9)

-Hak kelola 35 tahun (Psl 5,4)-Hasil berbeda tiap jenis hutan: Hasil kayu dan non kayu khusus hutan produksi (Psl 7,2). Untuk hutan lindung hasil non kayu serta jasa rekreasi atau ekowisata (Psl 7,3)

-Hak kelola 25 tahun (Psl 20)-Dua jenis izin sementara selama 3-5 tahun untuk ke-lompok dan definitif untuk Koperasi (Psl 21)-Hasil hutan kayu dan non kayu (Psl 1,8)

Page 48: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

32 COLLABORATIVE GOVERNANCE

5 Kewajiban -Keamanan, pena-taan, pengolahan dan menjaga kawasan hutan (Psl 11)-Iuran HH non kayu (Psl 11)

-Penataan, pengo-lahan, dan menjaga kawasan hutan (Psl 13)-Iuran HH (Psl 13)

-Penataan, pengo-lahan, rehabilitasi, menjaga kawasan hutan dan pemada-man kawasan hutan (Psl 46, 47, dan 55)

6 Dana Dari pemerintah (Psl 12)

Tidak jelas dari mana Dari Kabupaten dan sumber lain (Psl 25)

7 Penga-wasan

Dinas TK I dan TK II (Psl 14,2)

Kanwil (Psl 16) Pemerintah, Pem-prov, tetapi Pem Kab dominan, (Bab IV) dan masyarakat dapat mengajukan gugatan (Psl 54)

8 Pencabu-tan izin

Dep Kehutanan (Psl 13,1)

Mentri, setelah ada peringatan 3 kali dari Kanwil (Psl 15)

Pemkab (Psl 57,2)

9 Rentang kendali

Dominasi menteri paling menonjol

Ada pendelegasian kewenangan kepada Kanwil

Pendelegasian kewenangan yang besar kepada Pemkab.

10 Partisipasi Minim, ada partisi-pasi dari pihak luar departemen

Terbuka partisipasi dari LSM dan Per-guruan Tinggi (Psl 6 dan 11)

Terbuka partisipasi dari LSM, PT, dan bahkan masyarakat (Psl 29: 40 dan 54)

11 Dukungan pengeta-huan lokal

Minim Ada (Psl 12) Ada (Psl 1 ayat 1;12, ayat 3:15, ayat 3 dll.)

Sumber: Purnomo, 2011

Seiring dengan belum mapannya pola hubungan antara pusat-daerah dengan hasil evaluasi yang menunjukkan banyaknya permasalahan yang muncul dari implementasi UU No.22/1999 maka pola hubungan pusat dengan daerah kembali mengelami perubahan dengan terbitnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU ini tetap memiliki semangat desentralisasi kekuasaan yang memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Di sisi lain dalam perencanaan dan pengelolaan hutan pun pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan PP N0. 44/2004 tentang Perencanaan Hutan dan PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan,

Page 49: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

33Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

Serta Pemanfaatan Hutan. Hal itu secara otomatis berpengaruh terhadap kebijakan HKm dalam konsideransnya, oleh karenanya untuk menyesuaikan dengan konsideran-konsideran yang ada, Kementerian Kehutanan menerbitkan Peraturan Mentri Kehutanan (Permenhut) No. 37/Menhut-II/2007 tentang HKm. Permenhut ini terbit di masa Kepemimpinan M.S Kaban sebagai Mentrinya.

Secara substantif maksud dan tujuan dari HKm dalam Permenhut 37/2007 tidak mengalami perubahan. Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa HKm bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Jargon yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah dalam kebijakan HKm ini adalah “Masyarakat Sejahtera dan Hutan Tetap Lestari.” Tetapi dalam pola pelaksanaannya mengalami beberapa perubahan yang mendasar. Dimana kawasan hutan yang bisa digarap untuk HKm hanya hutan Lindung dan Hutan Produksi saja, padahal dalam SK Mentri Kehutanan No. 31/2001 seluruh Hutan Negara bisa dijadikan sebagai kawasan HKm. Kewenangan Bupati dalam memberikan Izin dicabut, pemberian kewenangan pemberian izin langsung di bawah Mentri dengan mempertimbangkan usulan Gubernur, Bupati atau Walikota, sekalipun tetap SK diterbitkan oleh Bupati sebagai pelimpahan wewenang dari Mentri.

Untuk peserta HKm yang bisa mendapatkan IUPHKm bisa berbentuk kelompok yang biasa dikenal dengan Kelompok Tani Hutan (KTH), sementara apabila ingin mendapatkan IUPHHK HKm, KTH harus sudah berbentuk Badan Hukum (BH) Koperasi. Peserta HKm atau KTH berhak mendapatkan; fasilitasi, memanfaatkan hasil hutan non kayu, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan kawasan, dan memanfaatkan hasil hutan kayu. Lama waktu pemanfaatannya sendiri tidak disebutkan seberapa lama, berarti masih tetap mengacu pada SK 677/1998 yaitu 35 Tahun. Dalam pendanaannya, bila sebelumnya dibebankan kepada APBD, maka dalam Permenhut No. 37/2007 ini dibabankan juga pada ABPN. Adapun yang berhak memberikan dan mencabut izin HKm adalah Mentri mengingat Mentri jugalah yang

Page 50: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

34 COLLABORATIVE GOVERNANCE

berhak memberikan izin. Permenhut No. 37/2007 ini pun membuka keleluasaan akan partipasi dari LSM, Perguruan Tinggi (PT), Lembaga Keuangan, Koperasi, BUMN, BUMD, dan BUMS.

Tidak berapa lama kemudian, pada tahun 2009, masih dalam masa kepemimpinan Mentri yang sama, M.S. Kaban, pemerintah kembali merevisi kebijakan HKm dengan mengeluarkan Permenhut No. 18/Menhut-II/2009 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Mentri Kehutanan No. 37/Menhhut-II/7007 Tahun 2007. Permenhut N0. 18/2009 ini hanya merubahan ketentuan dalam Pasal 9 ayat 2, 3, dan 4. Dimana bila sebelumnya Tim Verifikasi yang bertugas memverifikasi usulan Gubernur, Bupati atau Walikota dalam IUPHKm, ketika izin itu sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan, beranggotakan unsur-unsur eselon I di lingkup Departemen Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan, diubah dengan dialihkan kewenangan sebagai koordinatornya kepada Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS). Dalam ayat 3 perubahannya, Dirjen RLPS dapat menugaskan (Unit Pelaksana Teknis) UPT Departemen Kehutanan terkait untuk bersama-sama tim melakukan verifikasi ke lapangan. Verifikasi sendiri meliputi kepastian bebas hak atau izin atas kawasan yang diusulkan KTH, kelembagaannya, mata pencaharian anggota, serta kesesuaian dengan fungsi kawasan.

Perubahan lainnya adalah pada Pasal 23 ayat 1 dan 2. Di dalam ayat 1 dijelaskan bahwa pemegang IUPHKm di kawasan Hutan Lindung hanya memiliki hak; mendapatkan fasilitasi, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan kawasan, dan pemungutan hasil hutan non kayu. Pemungutan hasil hutan kayu di dalam Permenhut N0. 18/2009 hanya bisa dilakukan oleh pemegang IUPHKm di kawasan hutan produksi saja. Padahal apabila mengacu kepada Permenhut 37/2007 pemegang IUPHKm di kawasan Hutan Lindung pun masyarakat berhak mendapatkan pemungutan hasil hutan kayu karena di dalam pasal 23 mengenai Hak Peserta tidak dijelaskan klasifikasi kawasan hutannya.

Page 51: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

35Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

Tabel 3.2 Evolusi Kebijakan HKM 2001-2009

No. Substansi SK Menhut No. 31/2001

Permenhut No. 37/2007

Permenhut No. 18/2009

1 Kawasan yang digarap

Luas, karena semua hutan Negara (Psl 1,1)

Hutan Lindung dan Hutan Produksi (Psl 6)

Hutan Lindung dan Hutan Produksi (Psl 6)

2 Pemberi izin Bupati (Psl 1 ayat 3 dan 4)

SK Mentri melalui usu-lan Gubernur, Bupati/ Walikota (Psl 8 ayat 4a dan Psl 10 ayat 3)

SK Mentri melalui usu-lan Gubernur, Bupati/ Walikota (Psl 8 ayat 4a dan Psl 10 ayat 3)

3 Peserta HKm

Kelompok dan Koperasi (Psl 11 dan 17)

Kelompok untuk IUPHKm dan Koperasi untuk IUPHHK HKm (Psl 14 dan 21 ayat 1)

Kelompok untuk IUPHKm dan Koperasi untuk IUPHHK HKm (Psl 14 dan 21 ayat 1)

4 Hak Peserta -Hak kelola 25 tahun (Psl 20)-Dua jenis izin semen-tara selama 3-5 tahun untuk kelompok dan definitif untuk Koperasi (Psl 21)-Hasil hutan kayu dan non kayu (Psl 1,8)

-Hak mendapat fasilitasi-Memanfaatkan hasil hutan non kayu-Memanfaatkan jasa lingkungan-Memanfaatkan kawasan -Memungut hasil hutan kayu

Di Hutan Lindung:-Hak mendapat fasilitasi -Jasa lingkungan-Pemanfaatan kawasan-Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)Di Hutan Produksi:-Hak mendapat fasilitasi -Jasa lingkungan-Pemanfaatan kawasan-Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)-Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu -Pemungutan Hasil Hutan Kayu

5 Kewajiban -Penataan, pengolahan, rehabilitasi, menjaga kawasan hutan dan pemadaman kawasan hutan (Psl 46, 47, dan 55)

-Penataan batas, peren-canaan kerja, penana-man, pemeliharaan, dan pengamanan-Membayar provisi (PSDH)-Menyampaikan laporan kegiatan

-Penataan batas, peren-canaan kerja, penana-man, pemeliharaan, dan pengamanan-Membayar provisi (PSDH)-Menyampaikan laporan kegiatan

6 Dana Dari Kabupaten dan sumber lain (Psl 25)

-APBN, APBD, dan Sumber Lain (Psl 37)

-APBN, APBD, dan Sumber Lain (Psl 37)

7 Pengawasan Pemerintah, Pem-prov, tetapi Pem Kab dominan, (Bab IV) dan masyarakat dapat mengajukan gugatan (Psl 54)

-Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Masyara-kat

-Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Masyara-kat

8 Pencabutan izin

Pemkab (Psl 57,2) Pemerintah, Pemprov, dan Pemkab (Psl 33 ayat 3)

Pemerintah, Pemprov, dan Pemkab (Psl 33 ayat 3)

Page 52: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

36 COLLABORATIVE GOVERNANCE

9 Rentang kendali

Pendelegasian ke-wenangan yang besar kepada Pemkab.

Ada pendelegasian kewenangan dari Mentri tetapi tidak sebesar se-belumnya (SK 31/2001)

Ada pendelegasian kewenangan dari Mentri tetapi tidak sebesar se-belumnya (SK 31/2001)

10 Partisipasi Terbuka partisipasi dari LSM, PT, dan bahkan masyarakat (Psl 29: 40 dan 54)

Terbuka partisipasi dari LSM, PT, Lembaga Keuangan, Koperasi, BUMN, BUMD, atau BUMS.

Terbuka partisipasi dari LSM, PT, Lembaga Keuangan, Koperasi, BUMN, BUMD, atau BUMS.

11 Dukungan pengetahuan lokal

Ada (Psl 1 ayat 1;12, ayat 3:15, ayat 3 dll.)

Ada (Psl 8 dan 12) Ada (Psl 8 dan 12)

Sumber: Diolah dari Permenhut 37/2007 dan 18/2009

Di masa akhir kepemimpinan Zulkifli Hasan, di tahun 2014, muncul Permenhut 88/ Menhut-II/2014. Di dalam P. 88 ini pemberi izin HKm kembali dikembalikan kepada Bupati dengan jangka waktu izin selama 35 tahun. Sementara untuk izin hasil hutan kayu (IUPHHKm) tetap kewenangannya berada di Bupati. Akan tetapi, satu bulan berikutnya di bulan Oktober, muncul perubahan yang sangat signifikan yang berdampak pada perizinan HKm yaitu melalui UU 23/ 2014 tentang Otonomi Daerah. Dimana dalam UU Otda ini, kewenangan masalah Kehutanan berada di Provinsi dan Pemerintah Pusat, sehingga Kabupaten tidak memiliki kewenangan dalam urusan kehutanan. Secara birokratis dan penataan struktur organisasi kehutanan, di tingkat Kabupaten tidak ada dinas Kehutanan dan pegawainya ditarik ke tingkat provinsi.

Sebagai turunannya, Mentri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) di bawah Siti Nurbaya, mengeluarkan P. 93/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/ 10/ 2016 tentang Perhutanan Sosial. Di dalam peraturan perundangan ini, kewenangan di dalam memberikan izin pemanfaatan berada di Mentri KLHK atau di Gubernur. Begitu pun dengan IUPHHKm kewenangan izinnya berada di Gubernur. Akan tetapi terdapat perubahan yang signifikan di dalam persyaratannya. Dimana berdasar pada P. 37/ 2007 izin dan RKU selama 35 tahun dan dijalankan oleh Koperasi. Akan tetapi berdasarkan P. 93/ 2016 izin dan RKU selama 10 tahun dan dikembalikan kepada Kelompok Tani Hutan (KTH).

Page 53: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

37Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

B. Kebijakan HKm di DIY dan Gunungkidul

Dari 13 Kabupaten yang menjadi proyek HKm, yang dicanangkan di tahun 2001 oleh pemerintah pusat, seperti telah dijelaskan sebelumnya, salah satunya adalah Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DIY. Sebelumnya pun sebetulnya, di tahun 1995 Provinsi Dati I DIY melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan (DISHUTBUN) telah mengajukan pencadangan kawasan hutan untuk HKm seluas 4.000 Ha yang berada di Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017). Kabupaten Gunungkidul dipilih sebagai salah daerah untuk kawasan HKM mengingat dari total luas wilayah DIY secara keseluruhan, 46,6 persennya adalah wilayah Kabupaten Gunungkidul, sehingga wajar seandainya Kabupaten Gunungkidul merupakan Kabupaten yang memiliki hutan Negara terluas di Provinsi DIY. Di sisi lain dalam sejarah pengelolaan kehutanannya, dari sejak zaman dahulu pengelolaan Hutan di Kabupaten Gunungkidul selalu melibatkan masyarakat lokal.

Secara resmi penetapan Provinsi DIY sebagai salah satu provinsi kawasan HKm ditetapkan melalui surat No. 252/Menhut/2002 Tahun 2002 dari Mentri Kehutanan Kepada Gubernur DIY untuk memberikan izin sementara terhadap KTH yang mengajukan HKm. Dalam merespons Surat Mentri kepada Gubernur tersebut untuk mengakomodirnya, Bupati Gunungkidul (yang pada saat itu dijabat oleh Suharto, SH) atas pelimpahan kewenangan dari Gubernur, menerbitkan SK Bupati No. 213/KPTS/2003 Tahun 2003 tentang HKm yang memberikan izin sementara HKm kepada 35 kelompok HKm di Kabupaten Gunungkidul. Barulah di tahun 2007 seiring dengan terbitnya Permenhut No. 37/2007 izin definitif diterbitkan oleh Bupati Gunungkidul kepada 35 Kelompok HKm itu yang secara simbolis diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia H.M Jusuf Kalla, bertempat di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, berbarengan dengan peresmian program HKm di 2 Provinsi lainnya di Indonesia, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi Lampung (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017).

Page 54: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

38 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Dalam pandangan DISHUTBUN Provinsi DIY, HKm di DIY pengelolaannya berbeda dengan Provinsi lain, hutan di DIY sudah lama dikelola oleh pemerintah Provinsi melalui BDH sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah KHP DISHUTBUN Provinsi yang berada di kecamatan-kecamatan tertentu dengan luas are kerja untuk satu, dua atau beberapa kecamatan. BDH itu dipimpin oleh seorang Sinder, yang membawahi beberapa Mantri, Mantri membawahi beberapa Mandor, dan Mandor membawahi beberapa Polisi Hutan. Di provinsi lain selain DIY, pengelolaan hutan dilakukan oleh pihak ketiga seperti oleh BUMN atau BUMS pemegang HPH, dinas Kehutanan Provinsi hanya sebagai administrator saja. Sementara di DIY Dinas Kehutanan dan Perkebunan selain sebagai administrator juga berperan sebagai pengusaha. Dengan pertimbangan itulah muncul Peraturan Gubernur (Pergub) No. 38 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yang di dalam pertimbangannya disebutkan bahwa keperluan dari Pergub ini adalah untuk penyesuaian Permenhut No. 37/2007 dengan kondisi dan karakteristik Provinsi DIY sebagai daerah istimewa (Konsiderans UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta).

Dalam azaznya, Pergub ini sangat bernilai lokalistis dengan menjadikan falsafah Jawa, “Hamemayu Hayuning Buwono” yaitu menjaga kelestarian dan keselarasan hubungan antara manusia, alam dan lingkungannya—sebagai unsur mikro dan makro dalam kehidupan—sebagai basisnya. Di dalam Pasal 5 dijelaskan ruang lingkup dari Pergub mencakup; tata cara dan mekanisme perizinan, kelembagaan masyarakat, pengelolaan, penatausahaan pengelolaan, pemberdayaan masyarakat, fasilitasi HKm, pelaporan, perpanjangan dan hapusnya izin, dan pembinaan, pengendalian, dan pembiayaan. Dari ruang lingkupnya dapat dilihat bahwa Pergub ini sifatnya sangat teknis mengatur hal-hal spesifik dalam ruang lingkup yang lebih kecil dengan tetap berpedoman terhadap Permenhut No. 37/2007.

Page 55: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

39Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

B.1. Implementasi SK No. 31/Kpts-II/2001

Pada awalnya hutan yang berada di kawasan Jragum, Desa Ngeposari, Blok 161 dan 162 BDH Karangmojo merupakan hutan berisi tanaman junti yang getahnya dijadikan sebagai bahan furnitur. Lama kelamaan tanaman furnitur tersebut menjadi kering akibat penuaan dan banyak yang mati. Di saat bersamaan masyarakat di sekitar kawasan hutan banyak yang masuk melakukan aktivitas di kawasan hutan, mereka melakukan penebangan terhadap pohon-pohon junti untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan arang. Akibatnya kondisi hutan semakin hari semakin gundul dan kering, pemandangan yang terlihat sangat gersang, dan apabila dibiarkan akan berakibat pada kelangkaan air (Wawancara; Tambiyo, 2017).

Atas keprihatinan itulah sejak tahun 1985 muncul inisiatif dari masyarakat untuk berupaya melakukan pelestarian hutan, dimulai dengan terbentuknya kelompok yang beranggotakan 100 orang. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain pertemuan rutin setiap Senin legi, serta penanaman sono, akasia, cendana, dan jati. Aktivitas kelompok itu tidak akan pernah berjalan dengan baik tanpa adanya bimbingan mantri Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY. Karena mantri Kehutananlah yang secara rutin melakukan pendampingan baik untuk penguatan kelembagaannya maupun memberikan pengetahuan tata cara penanaman kayu dan pelestarian hutan. Biasanya juga muncul bantuan-bantuan dalam jumlah yang kecil. Di sisi lain masyarakat pun tidak memiliki lahan pertanian sehingga selain melindungi hutan mereka pun bisa mendapatkan keuntungan dari tanaman tumpang sari yang dilakukan (Wawancara; Tambiyo, 2017).

Ketika kebijakan HKm digulirkan tahun 1995, aktivitas masyarakat di kawasan hutan berjalan seperti biasa, tidak terpengaruh. Bahkan sebetulnya kebijakan HKm tidak populis, dan tidak mendapatkan respons dari masyarakat, kondisinya stagnan dari tahun 1995 sampai tahun 2002. DIY pun secara resmi belum ditetapkan sebagai daerah proyek pelaksanaan HKm. Barulah di tahun 2003, sejak

Page 56: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

40 COLLABORATIVE GOVERNANCE

dicanangkannya DIY sebagai daerah proyek pelaksanaan HKm tahun 2001 yang kemudian ditetapkan melalui surat Mentri Kehutanan No. 252/Menhut/2002 Tahun 2002 dari Mentri Kehutanan Kepada Gubernur DIY, masyarakat di Dusun Jragum melalui KTH Sedyo Makmur bergeliat untuk melakukan proses pengajuan perizinan Hak Pengelolaan Hutan (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017). Hal yang paling mendorong semangat masyarakat adalah adanya kebijakan yang memungkinkan bagi KTH untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan selama 35 tahun dan juga berhak untuk mendapatkan Hasil Hutan Kayu. Sosialisasi pelaksanaan HKm pun dilakukan oleh DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul dengan melakukan pemanggilan terhadap Ketua-Ketua 35 KTH yang berada di Kabupaten Gunungkidul untuk mendapatkan pengarahan di Dinas Kabupaten (Wawancara; Tambiyo, 2017).

KTH Seyo Makmur memiliki keberanian untuk memproses perizinan selain karena mendapatkan pendampingan dari Mantri Kehutanan juga secara masif mendapatkan pendampingan dan pelatihan pengurusan dokumen dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Shorea. LSM Shorea menangkap isu global dimana hutan harus dikembalikan kepada rakyat dalam pengelolaannya dan mereka pun mendapatkan pendanaan dari lembaga-lembaga donor internasional. LSM Shorea untuk melakukan pendampingan kelembagaan terhadap KTH Sedyo Makmur. Dan di tahun 2003 Bupati Gunungkidul atas pelimpahan kewenangan dari Mentri Kehutanan, menerbitkan SK Bupati No. 213/KPTS/2003 Tahun 2003 tentang HKm yang memberikan izin sementara HKm kepada 35 kelompok HKm, yang salah satunya KTH Sedyo Makmur, di Kabupaten Gunungkidul (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017).

Terbitnya SK Bupati No. 213/ 2003 tidak serta merta memberikan izin sementara begitu saja kepada masyarakat. KTH tetap harus mengajukan permohonan perizinan yang pada saat itu masih mengacu kepada SK Menhut No. 31/2001. Di dalam Pasal 17-nya dijelaskan bahwa ketua kelompok KTH dapat mengajukan permohonan izin kegiatan hutan kemasyarakatan kepada Bupati/

Page 57: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

41Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

Walikota, setelah sebelumnya masyarakat disiapkan kapasitasnya melalui fasilitasi pengembangan kelembagaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten melalui DISHUTBUN. Barulah di tahun 2004, setelah KTH Sedyo Makmur mengajukan perizinan yang di dalamnya memuat Surat keterangan dari Kepala Desa tentang aturan-aturan internal KTH, pengakuan dari masyarakat melalui Kepala Desa, dan rencana lokasi dan luas areal kerja serta rancangan jangka waktu pengelolaannya, Bupati mengeluarkan SK Pemberian Izin melalui Keputusan Bupati Gunungkidul No. 73/KPTS/ 2004 sebagai izin Sementara Pengelolaan HKm.

Sejak terbitnya SK tersebut proses pelaksanaan HKm di petak 161 dan 162 BDH Karangmojo dusun Jragum Desa Ngeposari berjalan masif dengan keterlibatan beberapa elemen yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, yaitu KTH Sedyo Makmur, LSM Shoera, DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul, dan DISHUTBUN Provinsi DIY melalui mantri dari BDH Karangmojo. Peran LSM Soera dalam implementasi HKm sangat signifikan, menyangkut pembuatan dokumen–dokumen sebagai prasyarat perizinan yang sangat sukar untuk bisa dibuat oleh pengurus KTH Sedyo Makmur. Begitu pun dalam pemetaan kawasan, pengembangan kelembagaan, dan perencanaannya sejak tahun 2003 LSM Sorea melakukan pendampingan dengan menempatkan volunteer-volunteernya di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain peran Mantri Kehutanan dari BDH Karangmojo di bawah KHP DISHUTBUN Provinsi DIY tidak bisa dianggap remeh. Mantri-mantri dari BDH Karangmojo itu sangat dekat dengan masyarakat, melakukan pendampingan, pengarahan, dan membantu penyiapan dokumen-dokumen yang diperlukan bersama volunteer-volunteer LSM Sorea (Wawancara; Tambiyo, 2017).

Adapun peran dari DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul sendiri adalah sosialisasi program dan pendampingan melalui Penyuluh Kehutanan dari UPT Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Semanu. Penyuluh-penyuluh Kehutanan dari BPP Semanu ikut terlibat memantau setiap pertemuan yang diadakan oleh KTH Sedyo Makmur. Selain itu beberapa petugas dari bagian Kehutanan turun ke KTH

Page 58: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

42 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Sedyo Makmur untuk melihat kesiapan dan kemampuan kelompok. Bantuan pun diberikan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten terhadap KTH Sedyo Makmur di tahun 2004, berupa benih pohon jati dan mede yang pendanaannya dibebankan kepada APBD1. Hal ini sesuai dengan acuan peraturan perundangan HKm-nya yang masih menggunakan SK Menhut No. 31/2001, dimana peran Kabupaten sangat besar, perizinan dan pencabutan izin pun kewenangannya berada di Bupati.

Di tahun 2005 masuklah program Gerakan Rehabilitasi Hutan (GERHAN) dari Kementerian Kehutanan yang dalam implementasinya di Kabupaten Gunungkidul langsung dibawah DIHUTBUN Provinsi DIY. Oleh DISHUTBUN Provinsi DIY program ini selain diarahkan ke Hutan Tanaman Rakyat (HTR) diarahkan juga ke HKm, sehingga setiap KTH HKm di Kabupaten Gunungkidul mendapatkan bantuan berupa benih pohon jati, pupuk urea tablet, ajir, dan biaya tanam. Awalnya KTH Sedyo Makmur HKm enggan menerima program GERHAN ini karena khawatir akan kehilangan hak untuk mendapatkan Hasil Hutan Kayu. Namun setelah dipastikan dengan adanya sosialisasi baik melalui DISHUTBUN Provinsi maupun Kabupaten yang langsung turun ke bawah, di bulan Desember 2006, bahwa program GERHAN tidak akan menghilangkan hak KTH untuk mendapatkan Hasil Hutan Kayu, KTH Sedyo Makmur pun menerima program GERHAN dalam keadaan terdesak. Di awal tahun 2006 DIHUTBUN Provinsi DIY mengundang Ketua-Ketua KTH Kabupaten Gunungkidul untuk lebih lanjut mensosialisasikan program GERHAN dan menginstruksikan kepada setiap KTH untuk membuat rekening melalui Bank BPD DIY supaya memudahkan dalam penyaluran dananya ke masing-masing KTH. Jumlah dana yang digelontorkan ke masing-masing KTH disesuaikan dengan are kawasan HKm-nya (Dokumen KTH Sedyo Makmur, 2017).

Seiring pergantian menteri Kehutanan di tahun 2004 dan pergantian kepemimpinan nasional ke tangan SBY melalui Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, di tahun 2006 muncul wacana akan

1 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ir. Benny Silalahi, Dinas Kehutanan Provinsi DIY, 15 Maret 2017.

Page 59: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

43Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

adanya perubahan kebijakan HKm dimana dalam kebijakan yang baru itu KTH akan mendapatkan hak Hutan Kayu apabila sudah berbentuk BH Koperasi. Maka DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul meresponsnya dengan melakukan langkah-langkah strategis untuk melakukan koordinasi dengan Bagian Koperasi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Sumber Daya Alam (DISPERINDAKOP). Terjadi kesepahaman dan konsensus bersama bahwa DISPERINDAKOP melalui Bagian Koperasi bersedia melakukan fasilitasi pembentukan Koperasi di KTH-KTH dalam dua pola. Pertama, anggota KTH bisa bergabung dengan Koperasi-Koperasi yang telah ada di wilayahnya. Atau kedua, pembentukan Koperasi baru yang beranggotakan anggota-anggota KTH. DISPERINDAKOP merespons DISHUTBUN karena bendera yang dikibarkan dalam HKm adalah kesejahteraan masyarakat (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017).

Di mulai sejak bulan Oktober 2006 Bagian Koperasi DISPERINDAKOP turun ke KTH Sedyo Makmur untuk melakukan sosialisasi melalui pertemuan-pertemuan yang dalam pertemuan-pertemuan itu disampaikan motivasi dan tata cara pembentukan Koperasi. Motivasi berupa pengarahan bahwa masyarakat harus memiliki semangat untuk berkoperasi supaya bisa meningkatkan tingkat pendapatan ekonomi dan juga berpesan supaya jangan menjadikan Koperasi hanya sebagai alat untuk mendapatkan Hak Hutan Kayu HKm saja. Sementara tentang tata cara pembentukan Koperasi disampaikan bahwa pembentukan Koperasi wajib melalui akta Notaris dengan biaya Rp. 750.000,00. Harus ada AD/ART, modal awal 15 juta, harus ada kegiatan simpan pinjam, baik simpanan wajib maupun simpanan pokok, dan juga harus menyertakan KTP anggota (Wawancara; Tambiyo, 2017).

B.2. Implementasi Permenhut No. 37/Menhut-II/2007

Di tahun 2007 KTH Sedyo Makmur kembali mengajukan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) seiring dengan terbitnya Permenhut No. 37/2007. Dalam Permenhut ini kewenangan izin HKm langsung berada di bawah menteri. Fungsi

Page 60: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

44 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Bupati dan Gubernur hanya sebagai fasilitator untuk menyampaikan permohonan Izin dari KTH kepada Mentri Kehutanan. Secara teknis fungsi fasilitasi proses permohonan IUPHKm yang dimiliki oleh Bupati dan Gubernur tersebut dilaksanakan oleh DISHUTBUN Kabupaten dan Provinsi. Bupati menjadi fasilitator apabila area kawasan hutan yang diusulkan berada di wilayah Kabupatennya, sementara Gubernur menjadi fasilitator apabila kawasan hutan berada di perbatasan beberapa Kabupaten dalam satu Provinsi2. Tetapi dalam praktiknya di Kabupaten Gunungkidul usulan permohonan IUPHKm dari KTH yang disampaikan kepada Bupati pasti akan terlebih dahulu disampaikan ke Gubernur sebelum dilanjutkan ke Mentri Kehutanan (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017).

Tugas pokok dan Fungsi DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul dan DIHUTBUN Provinsi DIY dalam proses pengajuan IUPHKm ini adalah sebagai fasilitator untuk menyampaikan usulan dari KTH kepada Mentri Kehutanan. Selain itu juga melakukan verifikasi lapangan terhadap usulan yang diajukan oleh KTH berupa pengecekan atas kesiapan kelembagaan KTH, Rencana Umum, dan penatapan fungsi area kawasan hutannya. Baik verifikasi sebelum IUPHKm diajukan ke Mentri Kehutanan maupun verifikasi bersama dengan tim verifikasi dari pusat ketika IUPHKm sudah diajukan ke Mentri Kehutanan (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017). Dalam hal verifikasi kelayakan area kawasan Hutan Negara yang diperuntukkan untuk HKm, menteri Kehutanan M.S. Kaban pernah secara langsung turun ke lapangan di Kabupaten Gunungkidul (Wawancara; Tambiyo, 2017).

Dan di tahun 2007 izin definitif IUPHKm diterbitkan kepada KTH Sedyo Makmur dan 35 KTH HKm lainnya yang secara simbolis diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia H.M Jusuf Kalla, bertempat di Kecamatan Semanu, berbarengan dengan peresmian program HKm di 2 Provinsi lainnya di Indonesia, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi Lampung, dengan difasilitasi oleh DIHUTBUN Provinsi DIY dan Kabupaten Gunungkidul (Wawancara;

2 Permenhut. No. 37/2007. Pasal 8 ayat 1.

Page 61: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

45Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

Ir Benny Silalahi, 2017). Pasca terbitnya IUPHKm dan berlakunya Permenhut No. 37/2007 yang menggantikan SK Mentri Kehutanan No. 31/2001 proses pelaksanaan kebijakan Hkm di petak 161, 161 Karangmojo dan di Kabupaten Gunungkidul pada umumnya memasuki babak baru.

Program dari DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul ada yang bersifat continue dan ada juga yang bersifat insidental. Untuk yang bersifat permanen yaitu pendampingan yang dilakukan oleh penyuluh BPP terhadap KTH dengan mengikuti kegiatan-kegiatannya baik rapat kelompok maupun pertemuan bulanan Paguyuban KTH HKm se-Kabupaten Gunungkidul. Selain itu DISHUTBUN secara konsisten menjadi fasilitator dalam menyampaikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HKm) karena di tahun 2009 KTH Sedyo Makmur sudah mengajukannya. Membangun komunikasi untuk menjalin kerjasama dalam rapat kerja dengan Bagian Koperasi DISPERINDAKOP. Dan tak hentinya melakukan pengecekan baik dengan menyurati Mentri maupun dengan mempertanyakan secara langsung atas belum terbitnya IUPHHHK HKm yang sudah diajukan sejak tahun 2009 itu (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017).

Sementara untuk yang bersifat insidental adalah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan sejak tahun 2008 terhadap seluruh perwakilan dari 35 KTH yang berada di Kabupaten Gunungkidul, baik menyangkut materi Pengelolaan Tanaman Hutan, Pemanfaatan Hasil Hutan, Keamanan Hutan, dan Antisipasi Kebakaran Hutan, 2 kali dalam setahun. Melakukan evaluasi di tahun 2011 terhadap 35 KTH yang ada. Dari hasil evaluasi tersebut dapat mengklasifikasikan KTH ke dalam kategori Baik, Sedang, dan Kurang. Kategori itu dilihat dari struktur kelembagaannya, pencatatan notulen, keaktifan anggota, laporan keuangan, dan perencanaan programnya. Sementara evaluasi menunjukkan untuk kondisi hutannya sendiri seluruhnya dalam kategori baik secara ekologis dan pertumbuhan pohonnya (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017). Untuk KTH Sedyo Makmur sendiri masuk dalam kategori Baik dan sering dijadikan objek percontohan apabila ada studi banding dari Provinsi lain. Selain itu

Page 62: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

46 COLLABORATIVE GOVERNANCE

DISHUTBUN pun menganggarkan anggaran sebesar Rp. 350.000,00 untuk masing-masing KTH per bulan yang dianggarkan dari APBD (Wawancara; Tambiyo, 2017). Hal lainnya adalah melakukan fasilitasi untuk mengirimkan perwakilan anggota-anggota KTH apabila ada pelatihan Kehutanan yang diadakan baik oleh DISHUTBUN Provinsi maupun Kementerian Kehutanan. Adapun kesulitan yang dihadapi oleh DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul adalah kurangnya personil penyuluh di masing-masing BPP padahal luas areal kawasan yang harus didampingi sangatlah luas. Dan juga minimnya anggaran dari APBD mengingat APBD Kabupaten Gunungkidul sangatlah rendah (Wawancara; Widiyanto, 2017).

Bagian Koperasi DISPERINDAKOP Kabupaten Gunungkidul melakukan pendampingan dan pelatihan terhadap KTH Sedyo Makmur saat hendak mendirikan Koperasi. Sebetulnya Bagian Koperasi tidak memiliki program khusus menyangkut pengembangan Koperasi HKm, tidak ada pembedaan baik Koperasi HKm maupun Non HKm, ada juga Koperasi Non HKm yang memiliki keanggotaan anggota KTH. Untuk Koperasi yang didirikan oleh KTH HKm langsung di Kabupaten Gunungkidul jumlahnya sebanyak 7 Koperasi yang salah satunya Koperasi KTH Sedyo Makmur. Jumlah Koperasi di Kabupaten Gunungkidul sendiri seluruhnya adalah sebanyak 226 Koperasi. Secara prinsipiil Bagian Koperasi memiliki kewajiban untuk memfasilitasi kelompok masyarakat yang ingin mendirikan Koperasi tanpa membeda-bedakan keanggotaan Koperasinya.

Terhadap KTH yang hendak mendirikan Koperasi, Bagian Koperasi mengadakan pelatihan Persiapan Pembentukan Koperasi, Manajemen Koperasi, dan Tata Cara Pelaporan Keuangan Koperasi. Setiap tahun pasti ada pelatihan yang diadakan oleh Bagian Koperasi. Apabila ada Rapat Anggota Tahunan (RAT) Bagian Koperasi selalu mengutus staf untuk hadir dalam RAT tersebut. Dan itulah yang sudah dilakukan oleh Bagian Koperasi terhadap KTH Sedyo Makmur. Secara legalitas tidak ada anggaran pasti yang digelontorkan oleh Bagian Koperasi terhadap Koperasi KTH Sedyo Makmur, hanya terkadang dana diberikan apabila ada program dari Pemerintah Pusat melalui

Page 63: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

47Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

Bagian Koperasi dengan pengajuan yang diajukan oleh Koperasi KTH HKm, seperti dana yang diperoleh oleh Koperasi KTH Sedyo Makmur sebesar Rp. 50.000.000,00 yang diperuntukkan untuk pengembangan kerajinan ukir batu menjadi lampion.

Kesulitan yang dihadapi oleh Bagian Koperasi DISPERINDAKOP Kabupaten Gunungkidul adalah menyangkut minimnya jumlah pegawai yang hanya berjumlah 11 orang, sebagai konsekuensi dari moratorium PNS, disusul kemudian beberapa bulan mendatang akan pensiun 2 orang. Sehingga sangat sulit untuk melakukan pendampingan secara langsung terhadap 226 Koperasi yang berada di Kabupaten Gunungkidul. Padahal idealnya untuk mengembangkan koperasi tangguh harus ada staf dari Bagian Koperasi yang selalu mendampingi setiap kegiatan Koperasi. Selain itu minimnya dana yang dianggarkan dari APBD untuk pengembangan kelembagaan Koperasi sebagai konsekuensi dari rendahnya APBD Kabupaten Gunungkidul.

Keluhan terbesar yang dihadapi oleh Bagian Koperasi adalah kecenderungan KTH yang hanya menjadikan Koperasi sebagai sarana untuk mendapatkan IUPHHK HKm dan bantuan-bantuan lainnya. Dimana KTH dalam praktiknya masih mengelola keuangan dan Kementerian Kehutanan, Pemerintah Provinsi, maupun DISHUTBUN Kabupaten masih menyalurkan dana melalui KTH, padahal dalam pandangan Bagian Koperasi ketika Koperasi sudah berdiri seluruh kegiatan yang di dalamnya menyangkut masalah keuangan harus dikelola oleh Koperasi. Bagian Koperasi merasa kecewa baik terhadap KTH, DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul, Kementerian Kehutanan, dan Pemerintah Provinsi DIY. Sehingga Bagian Koperasi ke depannya akan memperketat proses perizinan pembentukan Koperasi yang diajukan oleh KTH (Wawancara; Widiyanto, 2017).

Dinas lain yang ikut terlibat dalam implementasi kebijakan HKm di Kabupaten Gunungkidul adalah Dinas Peternakan. Keterlibatan Dinas Peternakan menyangkut pelayanan kesehatan hewan ternak melalui Posyandu Sapi dan Kambing terhadap ternak-ternak yang dimiliki oleh anggota KTH Sedyo Makmur. Mengingat sebagian anggota KTH Sedyo Makmur memiliki struktur bagian yang khusus

Page 64: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

48 COLLABORATIVE GOVERNANCE

mewadahi anggota yang memiliki hewan ternak. Posyandu ternak yang dilakukan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Gunungkidul dimulai sejak tahun 2011 sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Selain itu Dinas Peternakan pun pernah melakukan Pelatihan 1 (satu) kali mengenai pembuatan pakan ternak dari jerami (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017).

Dan yang terakhir adalah peran dari DISHUTBUN Provinsi DIY. DISHUTBUN Provinsi DIY perannya sangat besar karena seperti yang telah dijelaskan terdahulu bahwa pengurusan hutan di DIY sebagai daerah istimewa diakui Kepala RPH memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia dimana peran DISHUTBUN Provinsi DIY selain sebagai administrator juga berperan sebagai aktor Business. Padahal sebetulnya permenhut mengamanatkan Pemerintah Provinsi hanyalah memiliki tugas pembantuan. Dalam implementasi Permenhut 37/2007 DISHUTBUN DIY secara masif melakukan pendampingan terhadap kelompok HKM melalui Mantri Kehutanan BDH. Sementara pengawasan terhadap kawasan hutan Negara dilakukan oleh Mandor dan Polisi Hutan.

Terhadap pengajuan IUPHKm yang diajukan KTH Sedyo Makmur DISHUTBUN DIY menjadi fasilitator untuk menyampaikannya secara langsung kepada Mentri setelah terlebih dahulu bersama DISHUTBUN Kabupaten Gunungkidul melakukan verifikasi ke lapangan. Begitu pun terhadap IUPHHK HKm yang sampai saat ini masihlah belum turun izinnya dari meja Mentri Kehutanan, DISHUTBUN DIY menyurati menteri di tahun 2011 dan juga secara langsung melakukan cross cek terhadap Dirjen-Dirjen terkait di Kementerian Kehutanan. Hasil yang didapat adalah terjadi dikomunikasi atau ego sektoral di antara Dirjen BAPPEDAS dan PS dengan Dirjen BUK di Kementerian Kehutanan. Dimana kebijakan HKm ide awalnya muncul dari Dirjen BAPPEDAS dan PS sementara yang berwenang terhadap IUPHHK HKm adalah Dirjen BUK. Dan Dirjen BUK sendiri sejak awal munculnya kebijakan HKm belum pernah diajak berkoordinasi oleh Dirjen BAPPEDAS dan PS. Seandainya nanti IUPHHK HKm dari meja Mentri sudah turun DISHUTBUN Provinsi DIY sudah mengantisipasi skema pembagian

Page 65: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

49Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

bagi hasil kayu hutannya dengan melakukan musyawarah bersama seluruh KTH di Kabupaten Gunungkidul. Akhirnya diketemukan angka 60% untuk kelompok HKM, 10% untuk Pemerintah Kabupaten, dan 30% untuk pemerintah Provinsi. Setelah membayar provisi (PSDH) sebesar 6% untuk Pemerintah Pusat sebagaimana amanat Permenhut

(Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017).Selain itu dari APBD Provinsi DIY sejak tahun 2009 DISHUTBUN

mengalokasikan Dana Operasional untuk pendampingan dan Pengembangan KTH HKm sebesar 70 juta per tahun. DIHUTBUN Provinsi DIY pun menyalurkan dana-dana Baksos dari APBD sebesar 250 juta pada tahun 2010 dan sebesar 750 juta pada tahun 2008. Baksos tersebut diperuntukkan untuk bantuan hewan ternak sapi dan kambing. Sementara dana yang digelontorkan Pemerintah Pusat dari APBN melalui Kementerian Kehutanan untuk program HKm di DIY adalah sebesar 200 juta per tahun yang khusus diperuntukkan untuk pembinaan kelompok HKm dan disalurkan melalui DISHUTBUN Provinsi DIY (Wawancara; Ir Benny Silalahi, 2017).

Kendala yang dihadapi oleh DISHUTBUN Provinsi DIY secara internal adalah minimnya pegawai struktural di internal RPH, ada istilah yang cocok untuk menggambarkannya yaitu; minim struktural kaya fungsional. Sehingga sering muncul kesulitan dari masyarakat, khususnya anggota KTH untuk bisa menjumpai pejabat-pejabat struktural di RPH DISHUTBUN Provinsi. Dan juga minimnya anggaran dari APBD Provinsi DIY terhadap implementasi kebijakan HKm.

Tabel 3.3 Periodisasi dan Kegiatan Pendampingan terhadap KTH

No. Periode Kegiatan Pendamping/fasilitator

1 Sebelum 1985 Sosialisasi Kepedulian Hutan, Pendampingan, dan pembe-rian bantuan temporal

Mantri Kehutanan Dishutbun Provinsi

2 1985-1995 Pendampingan, Mantri Kehutanan Dishutbun Provinsi,

3 1995-2002 Pendampingan, Mantri Kehutanan Dishutbun Provinsi,

Page 66: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

50 COLLABORATIVE GOVERNANCE

4 2002-2004 Pendampingan pengajuan ijin, Pelatihan dan penguatan kelembagaan

Mantri Kehutanan Dishutbun Provinsi, Dishutbun Kab Gunungkidul, LSM Shorea

5 2004-2009 Pendampingan, Pelatihan Mantri Kehutanan Dishutbun Provinsi, Dishutbun Kab Gunungkidul, LSM Shorea

6 2009-Sekarang Kemandirian KTH - Sumber: Berdasarkan hasil pengolahan

B.3. Implementasi Permenhut 93/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/ 10/ 2016

Dengan adanya P 93/ 2016 sebagai respons atas UU 23/ 2014 yang menempatkan kewenangan Kehutanan/ HKm berada di pemerintah Provinsi, maka seluruh pegawai Dinas Kehutanan Kabupaten Gunungkidul sejak tahun 2015 dipindahkan seluruhnya ke Dinas Provinsi DIY. Maka terjadilah restrukturasi dan penataan organisasi yang sangat signifikan. Akibatnya program-program kerja yang berhubungan dengan HKm terhambat untuk bisa dilaksanakan. Di sisi lain, kebijakan HKm pun berubah secara signifikan dengan dialihkan kewenangan perizinannya ke Gubernur. Maka sebagai akibatnya, fokus dari implementasi HKm saat ini adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada seluruh Kelompok Tani Hutan (KTH) yang berada di Provinsi DIY melalui sosialisasi peraturan perundangan yang baru. Dan sampai saat ini Dinas Kehutanan Provinsi DIY pun belum masuk ke dalam tahap untuk melakukan pendampingan terhadap KTH dalam penyusunan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk pengajuan IUPHHKm.

C. Konflik Dalam Pengajuan IUPHHKm

Apabila mengacu kepada seluruh peraturan perundangan yang pernah dikeluarkan terkait dengan HKm, maka KTH melalui Koperasi berhak untuk mengajukan IUPHHKm. Izin ini sangat ditunggu-tunggu oleh anggota KTH karena mereka akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari hasil hutan kayu yang selama 15 tahun telah mereka tanam dan rawat. Sesuai dengan peraturan perundangan,

Page 67: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

51Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

izin tersebut baru bisa diajukan untuk diproses apabila usia tanaman pokok hutan telah berusia 15 tahun.

Setelah pelaksanaan HKm berjalan selama 15 – 20 tahun, di tahun 2011 dengan menggunakan prosedur yang ada pada P. 37/ 20017, Lima KTH melalui koperasi masing-masing mengajukan IUPHHKm kepada Mentri dengan dokumen-dokumen persyaratan seperti: (1) SK Bupati Izin Kawasan (2) Akta Pendirian Koperasi (3) Daftar Anggota (4) Peta Lokasi (5) Surat Pengukuhan Kelompok (6) Aturan Internal Kelompok dan (7) Neraca koperasi terakhir. Pemenuhan dokumen-dokumen tersebut dalam proses dibantu oleh LSM Shorea. Di antara kelima Koperasi tersebut adalah: 1. Sedyo Makmur2. Sedyo Lestari 3. Tani Manunggal 4. Ngudi Makmur 5. Kusuma Tani

Sampai dengan tahun 2014, proses pengajuan tersebut tidak ada jawaban dan tanggapan dari pemerintah Pusat, bahkan terkesan dari satu Dirjen dengan Dirjen lainnya saling melempar. Puncaknya, di tahun 2014 muncul peraturan baru yang memindahkan kewenangan Izin dari Kementerian ke Bupati. Sehingga kelima KTH tersebut berencana menyerahkan dokumen pengajuan ke Bupati. Akan tetapi, berselang Tiga bulan kemudian dengan munculnya UU 23/ 2014 KTH mendapatkan kabar bahwa kewenangan Kehutanan dialihkan ke Provinsi, sehingga Dinas Kehutanan Kab. Gunungkidul enggan untuk bisa menindak lanjuti proses pengajuan yang akan dilakukan oleh KTH tersebut. Beberapa usaha telah dilakukan untuk meminta kepastian turunnya IUPHHKm baik dengan cara menyurati Gubernur, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kementerian, maupun dengan cara melakukan audiensi.

Sebagai akibatnya, proses pengajuan dihentikan dan masyarakat hanya menunggu kepastian dari tahun 2015 – saat ini. Dengan dorongan LSM Javlek, KTH juga berencana untuk melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Akan tetapi hal tersebut

Page 68: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

52 COLLABORATIVE GOVERNANCE

batal untuk dilakukan dengan adanya sosialisasi masif yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi DIY terkait dengan peraturan baru. Sementara itu, di akar rumput anggota KTH mendesak pengurus Koperasi dan KTH untuk bisa melakukan penebangan. Di beberapa tempat bahkan terjadi pencurian kayu yang diduga dilakukan oleh anggota KTH sendiri. Sebagai puncak dari kekesalan anggota dalam menunggu, di tahun 2015, salah satu KTH yang berada di Kecamatan Nglipar, KTH Kusuma Tani, melakukan penebangan terhadap tanaman pokok hutan, berupa akasia. Sistem penebangan dilakukan dengan cara serampangan, menebang seluruh kayu baik yang ditanam dalam HKm maupun sisa dari penghijauan yang dilakukan sebelum tahun 1990an.

Akibatnya, KTH Kusuma Tani dicap hitam oleh seluruh paguyuban KTH se-Kabupaten Gunungkidul. Bahkan disinyalir, sulit dan berbelitnya proses pemenuhan syarat untuk mengajukan IUPHHKm di Dinas Provinsi sebagai akibat dari kebrutalan dalam proses penebangan yang dilakukan oleh KTH Kusuma Tani. Dari hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Peneliti ditemukan bahwa, KTH Kusuma Tani merupakan pecahan dari KTH Wonorejo. KTH Kusuma Tani dipimpin oleh salah seorang aktivis LSM dari Jakarta yang pindah ke Kabupaten Gunungkidul. Dengan basis jaringan dan pengetahuan dalam HKm, mantan aktivis tersebut melakukan manuver dengan mendatangkan bantuan-bantuan menggiurkan ke KTH-KTH yang berada di Kabupaten Gungkidul. Akan tetapi, bersama anggota KTH-nya melakukan proses penebangan yang menyebabkan hutan gundul kembali. Sementara yang bersangkutan setelah proses penebangan selesai melarikan diri sehingga sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya.

Sementara itu, P.83 sebagai acuan baru dalam pengajuan IUPHHKm dinilai sangat memberatkan oleh KTH. Dimana KTH harus mengubah seluruh dokumen yang ada untuk menyesuaikan dengan ketentuan dari regulasi baru tersebut. Seperti RKU yang tadinya disusun 35 tahun harus diubah menjadi 10 tahun sesuai dengan lamanya izin dan basisnya KTH bukan Koperasi. Kedua, RKT diubah dari basisnya Koperasi menjadi KTH. Ketiga, perencanaan dalam

Page 69: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

53Perubahan Kebijakan, Implementasi dan Konflik

IUPHHKm di Kabupaten Gunungkidul

pengambilan hasil hutan kayu sangat ketat. Baik perhitungan jumlah dan diameter pohon yang akan ditebang. Perkiraan keuntungan yang akan dihasilkan, maupun rencana penanaman kembali. Seluruhnya harus dilakukan oleh ahli tersertifikasi oleh Dinas Kehutanan baik dengan mengikuti sekolah sertifikasi atau menggunakan ahli dari Dinas dan perguruan tinggi.

Nilai ekonomi yang begitu tinggi di dalam HKm yang berbasis pada tanaman pokok pohon jati tentunya menjadi sorotan. Masyarakat melihat, perubahan regulasi merupakan bentuk hambatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam memproteksi hutan. Keadaan hutan yang sangat hijau merupakan tujuan dari HKm. Apabila izin IUPHHKm diberikan kepada KTH, maka tidak menutup kemungkinan hutan akan kembali gundul dan gersang seperti yang keadaan sebelum tahun 2000an. Akan tetapi, di sisi yang lain masyarakat pun memiliki hak untuk melakukan penebangan sesuai dengan perjanjian di awal yang mengacu kepada SK 31/ 2001 dan P. 37/2007. Apabila pemerintah terus menghalangi dan mempersulit keluarnya IUPHHKm, maka pemerintah telah melakukan pengkhianatan terhadap peraturan dan perjanjian yang terus diproduksi secara sepihak.

Oleh karenanya sebagai jalan tengah, maka tidak boleh ada lagi perubahan di dalam kebijakan, baik dengan memindahkan kewenangan dari level tertentu ke level yang lainnya ataupun dengan mengubah basis dokumen dan aktor yang harus mengajukan izinnya. Sehingga ada kepastian siapakah, bagaimana dan kepada siapa prosedur pengajuan tersebut harus ditujukan. Di sisi lain, KTH pun harus memiliki komitmen dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan di dalam melakukan proses penerbangan dan penjarangan. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan perencanaan penebangan yang jelas, bertahap dan berkesinambungan. Seperti menyiapkan bibit sebelum proses penebangan dilangsungkan dan menghitung secara cermat berapa jumlah pohon yang boleh ditebang di dalam satu tahun sesuai dengan mekanisme ketat.

Page 70: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan
Page 71: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

55

BAB IVKERJASAMA DAN ANALISIS STAKEHOLDERS DALAM IMPLEMENTASI HKm DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

A. Pendahuluan

Di dalam chapter ini, akan dilakukan analisis kolaborasi di dalam pelaksanaan HKm di Kabupaten Gunungkidul dengan menggunakan uji SMART-PLS. Kolaborasi dipahami sebagai hubungan dan sharing informasi, sumber daya, aktivitas, dan kemampuan yang dilakukan oleh beberapa organisasi untuk mendapatkan hasil yang diinginkan bersama dan tidak mungkin hasil tersebut bisa didapatkan apabila dilakukan dengan sendiri-sendiri (Bryson, Crosby, Stone, & Saunoi-Sandgren, 2012). Selain itu juga, kolaborasi akan diuji dengan menggunakan Social Network Analysis (SNA) untuk melihat masing-masing peran dari seluruh stakeholders yang ada dan melihat posisi sub-ordinat atau dominasinya dari proses interaksi tersebut berdasarkan aspek density dan centralitiy-nya (Provan, Veazie, Staten, & Teufel-Shone, 2005).

Page 72: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

56 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Untuk melihat kerjasama tersebut, ada lima indikator yang digunakan untuk mengukurnya yaitu kesepakatan awal (agreement), kepemimpinan (leadership), kepercayaan (trusa), perencanaan (planing) dan pengelolaan conflict (conflict management) (Bryson, Crosby, & Stone, 2006). Kesepakatan diklasifikasikan dalam Dua kategori, yaitu formal dan informal collaboration. Dalam pandangan Bryson (2006), idealnya untuk efektivitas kerjasama yang digunakan adalah formal collaboration karena ia mencakup tujuan, mandat, komitmen, mekanisme pengambilan keputusan, dan aturan kepemimpinan. Sementara untuk leadership, idealnya adalah penggabungan antara informal dan formal leader. Dimana informal leader terbentuk karena pengaruh nilai dan karismatik adapun formal leadership adalah pemimpin yang secara langsung dipimpin untuk memimpin program (Bryson et al., 2006).

Selanjutnya adalah kepercayaan, kepercayaan akan terbangun apabila ada keterbukaan antar masing-masing organisasi yang terlibat dan sifatnya sangat penting dalam menyukseskan kerjasama (Bryson et al., 2006). Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah perencanaan untuk menentukan misi, tujuan, aturan main, akuntabilitas, dan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan (Bryson et al., 2006). Dan terakhir management conflict yang sangat diperlukan untuk menjaga perpecahan di dalam proses kerjasama di antara stakeholders yang berbeda (Bryson et al., 2006).

B. Stakeholders dalam HKm

Pemetaan yang dilakukan oleh Tim peneliti menunjukkan kurang lebih terdapat 20 aktor sebagai stakeholders di dalam pelaksanaan HKm. Aktor tersebut berasal dari empat latar belakang yaitu institusi pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten), Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan Petani. Apabila dipetakan dengan mengacu kepada peraturan yang ada, kewenangan perizinan berada pada Dua institusi yaitu Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) dan Gubernur. Sementara fungsi pendampingan dan fasilitasi

Page 73: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

57Kerjasama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

HKm di Kabupaten Gunungkidul

dalam implementasi program kewenangannya berada di bawah kontrol BPDAS, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, dan KPH.

Sementara itu aktor-aktor lain, seperti Dinas Pariwisata, Peternakan, dan Pertanian Kabupaten menjadi aktor pelengkap yang tertarik masuk terhadap program HKm setelah HKm berjalan cukup lama. Dengan masuknya ketiga aktor tersebut HKm menjadi lebih progresif yang secara ekonomi tidak hanya berfokus pada hutan kayu saja akan tetapi masyarakat menjadi memiliki nilai tambah dari tumpangsari pertanian, peternakan dan desa wisata. Adapun institusi Desa dan Kecamatan merupakan aktor pembantu dalam menyukseskan HKm dengan kewenangan sebagai lembaga pencatatan administrasi dan pemberi legitimasi dalam proses pengajuan perizinan HKm dan KTH.

Tabel 4.1 Stakeholders di dalam HKm

Level Institusi Keterangan Fungsi/ Kewenangan

Pusat Kementerian Kehu-tanan/ Kementerian Kehutanan dan Ling-kungan Hidup

Pemerintah Kebijakan

Daerah Aliran Sungai (BPDAS)

Pemerintah Pendampingan

Provinsi Gubernur Pemerintah Perizinan

Dinas Kehutanan Pemerintah Fasilitasi

Komisi B DPRD Provinsi

Pemerintah Advokasi & Fasilitasi

Page 74: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

58 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Level Institusi Keterangan Fungsi/ Kewenangan

Kabupaten Bupati Pemerintah Legitimasi

Dinas Kehutanan (2000 – 2015)

Pemerintah Fasilitasi dan Pendampingan

Dinas Koperasi Pemerintah Pendampingan

Dinas Peternakan Pemerintah Program Tambahan

Dinas Perkebunan dan Pertanian

Pemerintah Program Tambahan

Dinas Pariwisata Pemerintah Program Tambahan

Komisi B DPRD Kabupaten

Pemerintah Advokasi

Kantor Kecamatan Pemerintah Legitimasi

Kepala Desa Pemerintah Legitimasi

Konsorsium LSM NGOs Advokasi, Fasilitasi & Pendampingan

Shorea NGOs Advokasi, Fasilitasi & Pendampingan

Javlek NGOs Advokasi, Fasilitasi & Pendampingan

FKH UGM Perguruan Tinggi Fasilitasi & Pendam-pingan

Paguyuban KTH Petani Perhimpunan

KTH & Anggota Petani Pelaksana HKmSumber: Hasil olah data Tim Peneliti

C. Hasil Uji Smart-PLS

Berdasarkan hasil uji SMART-PLS menunjukkan bahwa tingkat kolaborasi (Y) dalam pelaksanaan HKm adalah sebesar 0.699 yang berarti dalam uji statistik termasuk dalam kategori tinggi. Adanya kolaborasi dipengaruhi oleh management konflik yang baik (X5) sebesar 0.822, Agreement (X1) sebesar 0.044, Leadership (X2) sebesar 0.259, dan Planning (X3) sebesar 0.798. Akan tetapi faktor trust (X4) berpengaruh negatif dengan angka -0.048.

Page 75: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

59Kerjasama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

HKm di Kabupaten Gunungkidul

Gambar 4.1 Gambaran Hasil Uji Smart-PLS

Sumber: Hasil Uji Smart-PLS

Berpengaruh positifnya faktor agreement karena disebabkan oleh adanya kejelasan di dalam tujuan HKm yaitu meningkatnya tarap hidup masyarakat di sekitar kawasan hutan, adanya kewenangan atau legitimasi yang diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat untuk mengelola hutan, adanya komitmen yang kuat dari seluruh pihak dalam menyukseskan HKm, adanya mekanisme pengambilan keputusan di internal kelompok dan juga dalam kebijakan di tingkat Kementerian, dan adanya aturan yang jelas di manakah kewenangan perizinan, fasilitasi dan pendampingan itu berada. Selain itu kesepakatan yang digunakan berbentuk formal, baik peraturan perundangan maupun aturan main di dalam kelompok. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah faktor nilai dari KTH yang sangat terbuka terhadap siapa pun yang ingin membantu dan mendampingi dan juga keinginan besar dari KTH untuk mempelajari sesuatu yang baru yang berhubungan dengan HKm.

Sementara itu, faktor leaderhip berpengaruh positif karena mayoritas pimpinan program HKm mampu menggabungkan antara formal dan informal leadership. Misalkan di dalam KTH, pimpinannya secara kelompok sangat disegani dan dihormati oleh anggota. Selain

Page 76: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

60 COLLABORATIVE GOVERNANCE

karena faktor legitimasi melalui pemilihan, mereka juga didukung oleh faktor budaya dimana mayoritas pimpinannya adalah pemimpin adat yang memiliki hubungan dengan Keraton. Selain itu, mereka sangat disegani karena memiliki pengorbanan yang sangat besar untuk anggota dan kesuksesan program HKm. Selamanya ini seluruh aktivitas kelompok dilakukan di tempat pimpinan KTH dengan seluruh fasilitas yang dimilikinya. Begitu pun dengan jaringan dan koordinasi yang dilakukan secara eksternal, peran pimpinan KTH sangatlah dominan tanpa mengenal lelah dan rela mengorbankan apa pun yang dimilikinya. Sehingga apa yang dikatakan oleh ketua KTH bisa diikuti oleh anggota, menjadikan KTH solid untuk menjalankan program-program HKm.

Hal lainnya adalah perencanaan untuk menentukan misi, tujuan, aturan main, akuntabilitas, dan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. KTH memiliki Tiga dokumen yang sangat penting yaitu, Rencana Kerja Umum (RKU) 35 tahunan, Rencana Operasional, dan juga Rencana Kerja Tahunan. Ketiga dokumen tersebut, menentukan arah perencanaan, program kerja dan target pelaksanaan HKm secara berkelanjutan. Begitu pun dilihat dari sisi peraturan perundangan, sifatnya sangat terbuka yang memungkinkan setiap stakholders baik dari institusi pemerintah maupun NGOs bisa terlibat baik untuk melakukan fasilitasi maupun pendampingan. Di sisi lain, kebijakan HKm merupakan kebijakan inti yang bisa diikuti oleh program-program turunan lainnya. Misalkan bantuan peternakan dari Dinas Peternakan setelah melihat potensi pakan ternak (rumput) yang bisa ditanam di sela-sela tanaman inti. Ataupun Dinas pariwisata yang melihat adanya potensi pariwisata dari gua yang memiliki sumber mata air setelah sekian lama fungsi hutan telah kembali.

Selain itu, faktor lainnya menyebabkan terjadinya soliditas di dalam program HKm adalah minimnya tingkat konflik baik di internal KTH maupun di luar kelompok. Secara internal, adanya konsensus yang menjadi aturan internal kelompok yang dirumuskan oleh KTH dengan dibantu penyusunannya oleh FKH UGM. Aturan tersebut mampu memberikan kepastian, memproteksi hutan, dan

Page 77: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

61Kerjasama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

HKm di Kabupaten Gunungkidul

memunculkan efek jera terhadap pelanggaran di internal kelompok. Sehingga meminimalisir terjadinya konflik internal. Di sisi lain, posisi anggota KTH tidak memiliki daya tawar terhadap seluruh aturan tersebut, karena mereka sebelumnya tidak memiliki lahan sama sekali. Dengan diberikannya lahan melalui program HKm, maka seluruh aturan kelompok diikuti sebagai bentuk rasa terima kasih.

D. Hasil Uji SNA

Selanjutnya untuk mengukur adanya kerjasama antar aktor dalam pelaksanaan kebijakan HKm tersebut dilakukan dengan melakukan uji Social Network Analysis (SNA), bisa dilihat dari density-nya dengan tingkat terendah adalah 0.000 dan tertinggi 1.000 (Everton, 2016). Berdasarkan hasil uji SNA, tingkat density-nya adalah 0.722. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kerjasama yang cukup tinggi antar stakholders dalam implementasi HKm selama hampir 20 tahun tersebut. Kerjasama tersebut bukan disebabkan oleh adanya aktor yang mampu mengkoordinasikan dari fungsi-fungsi stakholders melainkan faktor dari muatan kebijakan, generalnya program dan keterbukaan KTH. Apabila disimpulkan oleh tim peneliti, paling tidak ketiga faktor tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 4.2 Closeness dan Density dalam Implementasi HKm di Gunungkidul

Closeness

Minimum Closeness Centrality 0.017

Maximum Closeness Centrality 0.036

Average Closeness Centrality 0.026

Median Closeness Centrality 0.022

Density 0.722Sumber: Hasil Uji SNA

Page 78: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

62 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah siapakah sebetulnya aktor utama dalam kerjasama tersebut. Berdasarkan hasil uji SNA, aktor yang paling penting dengan tingkat centrality tertinggi dalam HKm ini adalah KTH, dimana seluruh aktor yang terlibat pasti memiliki hubungan komunikasi dengannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan KTH perannya sangat sentral dalam HKm. Pertama, faktor nilai dan survival untuk berhadapan dengan alam. Dimana masyarakat yang tergabung di dalam KTH merupakan inisiator utama dari proses pengelolaan hutan. Sebelum adanya izin HKm masyarakat secara swadaya melakukan aktivitas penanaman pohon atas dasar kesadaran bahwa mereka memerlukan hutan dan air. Dengan aktivitas itulah NGOs masuk untuk melakukan advokasi dan pemerintah memfasilitasinya. Kedua, faktor KTH yang terbuka dan mau untuk belajar secara perlahan dengan mampu berubah dari institusi tradisional menjadi institusi modern. Sehingga memungkinkan KTH untuk melakukan interaksi dengan siapa pun.

Ketiga, KTH mampu melakukan konsolidasi baik di internal kelompok maupun di luar sehingga bisa bersatu dalam satu kesatuan besar Paguyuban yang levelnya tidak hanya komunitas tetapi Kabupaten dan wilayah. Sebagai akibatnya, interaksi dan jaringan tidak hanya terjadi di level Kabupaten dan Provinsi tetapi berkembang dalam sekala nasional. Keempat, KTH memiliki daya tahan yang sangat kuat di dalam menghadapi tekanan dan perubahan kebijakan. Sehingga tetap bertahan dan semakin sulit dalam setiap skema kebijakan. Kelima, yang paling penting adalah KTH merupakan satu-satunya aktor tunggal dalam pelaksanaan HKm. Sehingga seluruh program bantuan, fasilitasi, penguatan institusi, dan advokasi dari seluruh aktor yang terlibat akan berakhir di peran KTH.

Page 79: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

63Kerjasama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

HKm di Kabupaten Gunungkidul

Gambar 4.2 Struktur Jaringan dalam HKm

Sumber: Hasil olah Data

Aktor kedua adalah NGOs, baik Shorea maupun JAVLEK. Idealnya peran pendampingan dan fasilitasi seharusnya dilakukan oleh institusi-institusi pemerintahan, akibat tidak dilakukan, maka peran tersebut diambil alih oleh NGOs yang secara masif melakukan advokasi di periode awal untuk melakukan pembebasan terhadap lahan negara supaya bisa dikelola oleh masyarakat secara legal. Tahapan kedua, NGOs melakukan pendampingan untuk membantu melakukan penguatan institusi sehingga KTH memiliki struktur organisasi yang kuat, memiliki jejaring yang luas, anggota terdidik dalam HKm, dan aturan main yang jelas.

Sementara itu, penggerak dari NGOs tersebut aktor-aktor kuncinya disuplai oleh perguruan tinggi terutama Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Adapun operasional dana yang digunakan oleh NGOs berasal dari Funding internasional yang memiliki konsen dalam isu lingkungan, sustainability dan reformasi agraria. Dengan modal sosial sebagai aktivis-aktivis kampus, sangat mudah bagi aktivis-aktivis NGOs untuk membuka jejaring dengan sumber dana dan juga pejabat-pejabat pemerintahan yang memiliki wewenang di dalam kebijakan HKm. Data di dalam struktur jaringan pun

Page 80: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

64 COLLABORATIVE GOVERNANCE

menunjukkan, NGOs-NGOs tersebut memiliki tingkat centrality yang tinggi setelah KTH. Dilihat dari sisi betweenest-nya, NGOs pun mampu menjembatani komunikasi antara KTH dengan Dinas atau dengan institusi pemerintahan lain yang lebih tinggi levelnya.

“Sejak belum berizin, sampai dengan membantu pelatihan-pelatihan kelompok itu dilakukan pertama oleh SHOREA dan Dosen dari FKH UGM. Mereka tinggal dan sering menginap di sini. Kemudian setelah itu dilanjutkan oleh JAVLEK. Jadi kita dari Gunungkidul ikut pelatihan-pelatihan ke Bogor dan ke mana-mana” (Tambiyo, 9 April 2017).

Temuan ini tentunya berbeda dengan keadaan seharusnya apabila merujuk kepada peraturan perundangan, dimana idealnya, aktor yang memiliki tingkat centrality paling tinggi seharusnya adalah pemegang kebijakan dalam pemberian izin yaitu Kementerian Kehutanan atau Gubernur dan Dinas Kehutanan provinsi. Hal ini bisa menjadi titik kritik dan rekomendasi dalam kebijakan ke depan bahwa, peran dari kedua institusi pemerintah dalam level nasional dan provinsi tersebut harus secara masif mampu melakukan koordinasi dengan seluruh stakholders yang ada dalam menyukseskan HKm. Dalam pengamatan dan hasil wawancara mendalam, justru sebaliknya seolah kedua institusi tersebut bersifat pasif dengan hanya mengeluarkan kebijakan dan menunggu proses perizinan diajukan oleh masyarakat (KTH). Begitu pun program-program dari Dinas Kabupaten yang masuk ke KTH, sebetulnya bukan dalam skema besar HKm. Oleh karenanya, proses pengajuan IUPHHKm akan menjadi bukti sejauh mana institusi-institusi pemerintah tersebut terlibat dalam proses kerjasama.

Page 81: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

65

BAB VIMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) DI WILAYAH KEPULAUAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Bintan-Provinsi Kepulauan Riau

Kabupaten Bintan dahulunya merupakan sebuah wilayah yang dikenal sebagai Kabupaten Kepulauan Riau pada saat wilayah Provinsi Kepulauan Riau masih berada di naungan Provinsi Riau. Berdasarkan Undang-Undang No.53 Tahun 1999 dan Undang-Undang No.13 Tahun 2000, Kabupaten Kepulauan Riau dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yang terdiri dari Kabupaten Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun, dan Kabupaten Natuna. Kabupaten Kepulauan Riau hanya meliputi Singkep, Lingga, Senayang, Teluk Bintan, Bintan Utara, Bintan Timur, Tambelan, Tanjungpinang Barat, dan Tanjungpinang Timur. Pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dengan wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,

Page 82: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

66 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Kota Batam dan Kota Tanjungpinang. Sejak ditetapkannya peraturan perundangan ini, maka secara resmi wilayah Kepulauan Riau terpisah dari Provinsi Riau.

Pada akhir tahun 2003 dibentuk Kabupaten Lingga sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2003, maka dengan demikian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau hanya meliputi 6 Kecamatan, yaitu Bintan Utara, Bintan Timur, Teluk Bintan, Gunung Kijang, Teluk Sebong, dan Tambelan. Berdasarkan PP No.5 Tahun 2006 tanggal 23 Februari 2006, Kabupaten Kepulauan Riau berubah nama menjadi Kabupaten Bintan.

Kabupaten Bintan terletak antara 006’17’’ Lintang Utara – 1034’52’’ Lintang Utara dan 104012’47’’ Bujur Timur di sebelah Barat – 10802’27’’ Bujur Timur sebelah Timur. Kabupaten Bintan berbatasan dengan wilayah sebagai berikut, sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Natuna, sebelah selatan, berbatasan dengan Kabupaten Lingga, sebelah barat, berbatasan dengan Kota Tanjungpinang dan Kota Batam, sebelah timur, berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur.

Luas wilayah Kabupaten Bintan mencapai 88.038,54 Km2, namun luas daratannya hanya 2,21%, 1.946,13 km2 saja. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Gunung Kijang dengan luas 503,12 Km2, dan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Tambelan yaitu 169,42 km2. Kabupaten Bintan saat ini terdiri dari 240 buah pulau besar dan kecil. Hanya 39 buah diantaranya yang sudah dihuni, sedangkan sisanya walaupun belum berpenghuni sebagian sudah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian khususnya perkebunan.

Bandar Seri Bentan merupakan Ibu Kota Kabupaten Bintan yang terletak di Kecamatan Teluk Bintan. Saat ini Kabupaten Bintan terdiri dari 10 kecamatan yaitu, Kecamatan Teluk Bintan, Seri Kuala Lobam, Bintan Utara, Teluk Sebong, Bintan Timur, Bintan Pesisir, Mantang, Gunung Kijang, Toapaya, dan Tambelan. Tambelan merupakan ibu kota Kecamatan Tambelan yang memiliki jarak terjauh dengan Ibu Kota Kabupaten Bintan yaitu 337 mil, sedangkan Tembeling yang terletak di satu kecamatan dengan Ibu Kota kabupaten Bintan yaitu di Kecamatan Teluk Bintan memiliki jarak yang paling dekat yaitu 1 km.

Page 83: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

67Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

Pada tahun 2014 penduduk Bintan tercatat 151.123 jiwa dengan kepadatan 78 jiwa per km2. Dibandingkan dengan tahun 2013 penduduk bertambah sebanyak 2.003 jiwa atau mengalami kenaikan sebesar 1,34 persen. Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan persebaran penduduk. Penduduk terbanyak tercatat di kecamatan Bintan Timur yaitu sebanyak 41.150 jiwa, adapun yang paling padat adalah kecamatan Bintan Utara dengan kepadatan 188 jiwa per km2. Kecamatan dengan penduduk paling sedikit adalah kecamatan Mantang yaitu 4.168 jiwa.

Gambar 5.1 Peta Wilayah Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

B. Gambaran Umum Wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan

Ekosistem hutan Kabupaten Bintan memiliki hamparan seluas 20.346, 87 Ha dengan luas ekosistem mangrove kurang lebih 7.956 Ha yang terletak pada berbagai fungsi kawasan hutan.

Page 84: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

68 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Gambar 5.2 Kerangka Pikir Kebijakan Hutan Kemasyarakatan

Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan Negara yang pemanfaatan utama ditujukan untuk memberdayakan masyarakat dan izin usaha HKm (IUPHKm) diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi. Wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan didasari Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang mengalami perubahan dengan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolan Ekosistem Mangrove, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan yang mengalami tiga kali perubahan pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.18/Menhut-II/2009 terkait perubahan pertama, kemudian Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.13/Menhut-II/2010 terkait perubahan kedua dan Peraturan Menteri Kehutanan Republik

Page 85: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

69Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

Indonesia No.P.52/Menhut-II/2011 terkait perubahan ketiga. Setelah terjadinya tiga kali perubahan maka kebijakan ini kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan setelah melalui permohonan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kemasyarakatan (IUPHKm). Peraturan ini kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Penetapan luas wilayah Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.114/Menhut-II/2014 tentang penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan seluas 295 hektar di dalam kawasan hutan lindung. HKm yang ditetapkan berdasarkan SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan menetapkan dua daerah HKm yaitu HKm di Desa Busung dan HKm Desa Kuala Sempang. Selain itu kebijakan HKm di Kabupaten Bintan juga berpijak pada beberapa peraturan tingkat Direktur Jenderal yaitu Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial No.P.07/V-SET/2009 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Hutan Kemasyakatan, kemudian regulasi ini mengalami satu kali perubahan yaitu Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial No.P.10/V-SET/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial No.P.07/V-SET/2009 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Hutan Kemasyakatan. Kemudian regulasi terbaru yang juga menjadi dasar pelaksanaan HKm di Kabupaten Bintan di tingkat Direktur Jenderal yaitu menggunakan Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan No.P.12/PSKL/SET/PSL.0/11/2016 tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Selain itu kelembagaan di tingkat pemerintah lokal hanya diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan No.2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031 yang mengarahkan untuk melestarikan mangrove termasuk salah satunya dengan skema HKm, selain itu di tingkat Pemerintah Desa diperkuat

Page 86: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

70 COLLABORATIVE GOVERNANCE

dengan Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012 tentang Pembentukan Kelompok Tani Ketapang Putih Desa Busung. Wilayah HKm pertama adalah Desa Busung. Desa Busung merupakan sebuah desa yang berada di bawah wilayah Kecamatan Seri Kuala Lobam. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kuala Sempang, sebelah selatan berbatasan dengan Bidai, sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Teluk Lobam, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Busung. Desa Busung memiliki luas daratan seluas 21,9 km persergi. Kondisi penduduk di Desa Busung yaitu sebagaimana dijelaskan pada diagram sebagai berikut.

Diagram 5.1 Kondisi Jumlah Penduduk di Desa Busung Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan

48

JUMLAH PENDUDUK DESA BUSUNG

48

1

51%

2

49%

JUMLAH PENDUDUK DESA BUSUNG

48

1

51%

JUMLAH PENDUDUK DESA BUSUNG

Keterangan. 1. Laki-Laki 2. Perempuan

Sumber: Kecamatan Sri Kuala Lobam Dalam Angka Tahun 2015

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk berjenis kelamin perempuan, namun perbedaannya tidak terlalu tajam melainkan hanya 2% saja. Jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki Desa Busung pada Tahun 2015 berjumlah 706 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan sebanyak 670 jiwa dan dengan total penduduk berjumlah 1376 jiwa.

Wilayah HKm kedua adalah Desa Kuala Sempang, yang merupakan sebuah desa yang berada di bawah wilayah Kecamatan Seri Kuala Lobam. Desa ini sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan

Page 87: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

71Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

Teluk Sebung, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pengujan, sebelah barat berbatasan dengan Desa Busung, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Penaga. Desa Kuala Sempang memiliki luas daratan yaitu seluas 35,1 km persegi. Kondisi penduduk di Desa Kuala Sempang adalah sebagai dijelaskan pada gambar berikut.

Diagram 5.2 Kondisi Jumlah Penduduk di Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan

JUMLAH PENDUDUK DESA KUALA

SEMPANG

1

51%

2

49%

JUMLAH PENDUDUK DESA KUALA

SEMPANG

JUMLAH PENDUDUK DESA KUALA

SEMPANG

Keterangan. 1. Laki-Laki 2. Perempuan

Sumber: Kecamatan Sri Kuala Lobam Dalam Angka Tahun 2015

Berdasarkan data di atas, tampak bahwa jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan juga hanya terpaut 2%. Berdasarkan data dari Kecamatan Sri Kuala Lobam Tahun 2015, jumlah penduduk Desa Kuala Sempang yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 898 jiwa sementara penduduk yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 880 jiwa dengan total jumlah penduduk sebanyak 1778 jiwa.

Berdasarkan SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan juga telah dibentuk beberapa kelompok tani yaitu Kelompok Tani Masyarakat (KTH) Medang Kenanga, KTH Sidomulyo, KTH Subur Makmur, KTH Pelita Jaya, KTH Karia Tani, KTH Ketapang Putih, KTH Tunas Muda, KTH Hijau Daun, KTH Usaha Baru, KTH Keramba Ikan, KTH Jaya Murni, KTH Mekar Sari, KTH Bunga Raya, KTH Kurau, KTH Kuda Laut dan Keladi Merah. Hutan Kemasyarakatan (HKM) di Kabupaten Bintan terletak di desa Busung dan desa Kuala

Page 88: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

72 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Sempang dengan luas 295 hektare dengan rincian: 100 hektare di Desa Busung dan 195 hektare di Desa Kuala Sempang.

Gambar 5.3 Peta Hutan Kemasyarakatan Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi

Kepulauan Riau

Kualasempang

Busung

Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kuala Sempang dan Busung merupakan program pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan pelestarian lingkungan hidup melalui pemanfaatan sumber daya hutan yang adil dan optimal. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Provinsi Kepulauan Riau merupakan Lembaga yang memonitor dan mengevaluasi Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kuala Sempang dan Busung. Tabel berikut ini akan lebih memperjelas karakteristik HKm di kedua desa di Kabupaten Bintan.

Page 89: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

73Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

Tabel 5.1 Perbandingan pada Kedua Lokasi Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam

Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Kelompok Pengelola HKm Kelompok Tani Hutan Keta-

pang Putih Desa Busung

Kelompok Pengelola HKm Kelompok Tani Hutan Med-ang Kenanga Desa Kuala

Sempang

Kondisi Geografis

Ukuran Komunitas 1 desa 1 desa

Jumlah Anggota 31 orang 27 orang

Luas Wilayah HKm 100 hektar 195 hektar

Latar Belakang Ang-gota

Keseluruhan Petani dan dan terkadang menjadi Nelayan

Keseluruhan Petani dan dan terkadang menjadi Nelayan

Komposisi Ekonomi Hampir keseluruhan mereka bercocok tanam dengan

berkebun dan menangkap ikan

Hampir keseluruhan mereka bercocok tanam dengan

berkebun dan menangkap ikan

Keberadaan Institusi

Institusi Pengelola HKm

Ada Ada

Aturan Kelembagaan Ada Ada

Lembaga Pengawas Hanya sebatas inisiatif dari BPDAS Kepulauan Riau

Hanya sebatas inisiatif dari BPDAS Kepulauan Riau

Sumber: Data Olahan, 2017

Tabel di atas, diperoleh dari data sekunder dan juga wawancara dengan kelompok tani yang mengelola HKm baik pada Kelompok Kepatang Putih dan Medang Kenanga. Mengenai latar belakang anggota pengelola HKm, sesuai dengan Keputusan Kepala Desa No.11/DBS/2012 tentang Pembentukan Kelompok Tani Ketapang Putih Desa Busung dan SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan dan menyatakan bahwa di kedua desa berlatar belakang petani. Namun temuan berdasarkan hasil wawancara dengan ketua kedua kelompok tani menyatakan sebagai berikut.

“Awalnya di Desa Busung dan Kuala Sempang ini sudah dibentuk kelompok pengelola HKm dari kelompok tani yang sudah ada, yang biasanya berkebun dan bercocok tanam seadanya. Namun

Page 90: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

74 COLLABORATIVE GOVERNANCE

kelompok-kelompok tani ini ketika HKm sudah berjalan dan tampak tak berjalan dengan baik, sehingga kelompok tani ini pula ada yang bertukar pekerjaan menjadi nelayan, mereka melaut demi menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan tambahan” (Wawancara-Ketua Kelompok Tani Hutan Ketapang Putih, 2017).

Perubahan mata pencaharian atau dapat dikatakan pertambahan mata pencaharian yang terjadi pada anggota kelompok tani pengelola HKm ini terjadi akibat keberlangsungan HKm yang bagi anggota kelompok masih tak berlansung lancar sehingga lahir sikap pragmatis terhadap kebutuhan ekonomi pada anggota kelompok yang menyebabkan mereka menjadi nelayan untuk menambah penghasilan dan memenuhi kebutuhan sehari hari.

C. Kelembagaan Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Sebelum ditetapkan wilayah kerja HKm dengan SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan, pihak Pemerintah Desa telah lebih dulu menguatkan kelembagaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang dengan Surat Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012 tentang Pembentukan Kelompok Tani Ketapang Putih dan Medang Kenanga. Surat Keputusan ini bertujuan untuk melakukan penguatan organisasi pengelola HKm di kedua desa. Adapun masing-masing struktur organisasi pengelola HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang adalah sebagaimana ditampilkan pada kedua gambar berikut.

Page 91: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

75Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

Gambar 5.4 Struktur Pengelola Hutan Kemasyakatan Ketapang Putih di Desa Busung Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi

Kepulauan Riau

Sumber: Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012

Gambar 5.5 Struktur Pengelola Hutan Kemasyarakatan Medang Kenanga di Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan

Provinsi Kepulauan Riau

Sumber: Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012

Kelembagaan HKm di atas, diawali terlebih dahulu dengan adanya kebijakan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 terkait dengan arah kebijakan dari pengelolaan ekosistem

Page 92: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

76 COLLABORATIVE GOVERNANCE

mangrove berbasis masyarakat yang tujuannya adalah untuk meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Atas dasar kebijakan tersebut, maka aktualisasi kelembagaan HKm ini diinisiasi oleh sebuah NGO yaitu International Tropical Timber Organization (ITTO) yang bekerja sama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Kepulauan Riau pada tahun 2012. Setelah dilakukan pendekatan dengan masyarakat dan dilakukan wawancara maka masyarakat yang telah dibentuk dalam kelompok tani Ketapang Putih dan Medang Kenanga sepakat untuk memilih pola pengelolaan ekosistem mangrove melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Sehingga tujuan utama dibentuknya HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang adalah untuk membantu masyarakat dalam memperoleh hak akses terhadap sumberdaya hutan, mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Gambar 5.6 Kantor Pengelola sekaligus Pusat Informasi Mangrove Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan

Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Page 93: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

77Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

Dalam hal ini diperoleh sejumlah informasi tentang bagaimana proses inisiasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan Kepala Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Kepulauan Riau berikut,

“Tahap awal BPDAS Kepulauan Riau yang menginisiasi dengan melihat potensi yang ada khususnya dalam potensi hutan mangrove, maka proses selanjutnya adalah melakukan komunikasi kepada sejumlah perangkat daerah atau SKPD dan NGO yang dalam konteks ini adalah International Tropical Timber Organization (ITTO), tentunya dengan melibatkan masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam kegiatan HKm. BPDAS Kepulauan Riau sebagai inisiator dan fasilitator melakukan mediasi juga kepada Bupati dan Gubernur yang selanjutnya berlanjut sampai kepada tingkat Kementerian”. (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, tampak bahwa BPDAS Kepulauan Riau sebagai salah satu institusi yang melakukan inisiasi adanya HKm di Kabupaten Bintan dengan bantuan NGO maka proses penguatan kelembagaan HKm juga diperkuat tentunya dengan berkomunikasi juga dengan Bupati sebagai salah satu stakeholders dan juga Gubernur. Proses inisiasi tersebut membuahkan hasil dengan terbitnya Surat Keputusan dari Pemerintah Desa dan kelembagaan HKm diperkuatkan kembali dengan SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan. Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan dari Pemerintah Desa maka kelembagaan HKm diperkuatkan kembali dengan SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan. Surat keputusan ini menetapkan beberapa hal yaitu:1. Luas wilayah HKm seluas 295 hektar yang merupakan kawasan

Hutan Lindung (HL) di Kabupaten Bintan sebagai Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan,

2. Penetapan wilayah dalam bentuk peta, 3. Penetapan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan

(IUPHKm) oleh Bupati Bintan kepada Kelompok Tani Hutan yaitu

Page 94: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

78 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Kelompok Tani Ketapang Putih dan juga Kelompok Tani Medang Kenanga.

Kemudahan membentuk kelembagaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini disebabkan sebagian warga sudah banyak mengetahui manfaat dan fungsi ekosistem mangrove dibanding dengan desa-desa lainnya. Kedua desa ini lebih maju dibanding dengan desa lainnya karena sudah mendapatkan pendampingan dan bimbingan dari beberapa pihak terutama Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintan, Badan Pengembang Masyarakat Kabupaten Bintan dan tentunya peran dominan dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kepulauan Riau (Laporan Kajian Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, 2013).

Latar belakang pendirian kelembagaan HKm di Kelompok Tani Hutan Ketapang Putih di Desa Busung dan Kelompok Tani Hutan Medang Kenanga Desa Kuala Sempang dapat dilihat dari perbandingan pada Tabel berikut.

Tabel 5.2 Perbandingan kedua Komunitas Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

NO Kelompok Tani Hutan Keta-pang Putih di Desa Busung

Kelompok Tani Hutan Med-ang Kenanga Desa Kuala

Sempang

1 Alasan untuk bergabung dalam Komunitas

Kelestarian Ekosistem Mangrove

Kelestarian Ekosistem Mangrove

Akses ke Ekosistem Mang-grove

Akses ke Ekosistem Mang-grove

Kesejahteraan Masyarakat Kesejahteraan Masyarakat

2 Jenis Komunitas Kelompok Tani Hutan Kelompok Tani Hutan

3 Status Hukum dari Komunitas

Organisasi terdaftar secara legal

Organisasi terdaftar secara legal

4 Inisiatif untuk Pengembangan Organisasi

BPDAS Kepri dan ITTO BPDAS Kepri dan ITTO

5 Ketua Kelompok Diajukan oleh kelompok kemudian diputuskan oleh Pemerintah Desa

Diajukan oleh kelompok kemudian diputuskan oleh Pemerintah Desa

Sumber: Data Olahan, 2017

Page 95: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

79Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

Dengan adanya kelembagaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang tersebut, para anggota Kelompok Tani Hutan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang sering melakukan pertemuan minimal 1 bulan sekali. Topik pembicaraan dan diskusi dalam pertemuan tersebut diantaranya adalah mengenai pengelolaan ekosistem mangrove dengan skema HKm termasuk dalam konteks peluang pengembangannya. Masyarakat juga membicarakan tentang iuran swadaya dalam pengembangan mangrove dengan skema HKm. Masyarakat sepakat bahwa mereka mengumpulkan iuran sebesar Rp 5.000,- sampai Rp 10.000,- per orang per bulan. Iuran ini digunakan untuk kebutuhan kelompok tani hutan khususnya untuk administrasi kelompok dan untuk konsumsi pertemuan kelompok. Masyarakat telah merasakan manfaat dari adanya kelompok. Masyarakat berpendapat bahwa dengan adanya kelompok mereka dapat bersilaturahim antar anggota. Melalui kelompok tani hutan juga bisa sebagai sarana berbagi informasi antar anggota. Dengan adanya kelompok akan memudahkan pemerintah melakukan pembinaan dan bimbingan (Laporan Kajian Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, 2013).

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat hal yang mempengaruhi pengembangan institusi lokal pada Hkm yaitu:1. Faktor kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat Pengembangan model pengelolaan ekosistem mangrove dan

kelembagaan yang dibangun oleh masyarakat dapat berbeda-beda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik dan sumberdaya alam yang terdapat di tempat tersebut. Dalam konteks ini pengembangan HKm dengan mangrove sebagai sebuah objek pengembangan pariwisata di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang akan lebih mudah kedepan karena letak Desa Busung dan Desa Kuala Sempang yang dekat dengan ibukota Kabupaten Bintan dan

Page 96: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

80 COLLABORATIVE GOVERNANCE

kawasan wisata Lagoi yang dapat ditempat dengan jalan darat. 2. Faktor ekonomi politik di tingkat internasional, nasional dan

daerah Dalam konteks ekonomi politik di tingkat nasional maupun

daerah yang dianggap penting dan berpengaruh pada dinamika pengembangan institusi ditingkat lokal adalah belum adanya kebijakan yang dianggap cukup kuat mendukung HKm sebagai model pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Ditingkat nasional dengan adanya Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang telah mengiring Desa Busung dan Desa Kuala Sempang membentuk HKm hanya diperkuat dengan kebijakan di tingkat kementerian yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan. Kemudian penguatan institusi lokal HKm diperkuat dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.114/Menhut-II/2014. Sementara itu pemerintah daerah di Kabupaten Bintan belum ada kebijakan tentang HKm yang salah satu tujuannya untuk pengelolaan mangrove yang merupakan turunan kebijakan di atasnya. Di tingkat lokal hanya diperkuat dengan Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012 tentang Pembentukan Kelompok Tani Ketapang Putih Desa Busung sebagai legalisasi kelembagaan lokal pengelola HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Untuk itu seharusnya pemerintah daerah dapat berinisiatif dalam pembuatan aturan-aturan daerah yang memperkuat kedudukan atau legitimasi pengelolaan HKm dan pengelolaan Mangrove di Kabupaten Bintan. Selain faktor kebijakan dalam konteks ini juga dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditi, permintaan pasar, tata niaga, dan pergantian kepemimpinan di daerah dan nasional. Untuk itu perlu diperhatikan adalah memetakan faktor-faktor makro ekonomi dan politik baik di tingkat nasional maupun daerah untuk melihat seberapa jauh pengaruhnya terhadap upaya pemberdayaan insitusi lokal di

Page 97: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

81Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

suatu wilayah. 3. Dinamika sosial dan politik lokal Dalam konteks ini dipengaruhi dengan kondisi sosial

dan politik yang terjadi pada daerah yang dimana HKm diselenggarakan. Political will oleh penguasa lokal mulai dari Kepala Desa, Kecamatan sampai kepada Kabupaten sangat mempengaruhi keberlangsung HKm tersebut. Dalam konteks Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, salah satu tantangan sebagaimana dikatakan oleh Kepala Seksi RHL Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Kepulauan sebagai berikut.

“Setiap SKPD, Lembaga Masyarakat dan masyarakat sendiri belum memahami mengenai HKm itu sendiri. Kepentingan masing-masing stakeholders masih belum seragam.” (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017)

Dari penjelasan tersebut jelas, bahwa pemahaman lingkungan sosial dan keinginan secara politis terhadap HKm harus diperkuat dan diperdalam, tanpa pemahaman dan keinginan politik yang kuat untuk menyelenggarakan Hkm dengan dengan tujuan pemanfaatan mangrove dan meningkatkan kesejahteraan akan sulit untuk dicapai. Maka oleh karena itu dalam inisiasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, BPDAS Kepulauan Riau bekerjasama dengan International Tropical Timber Organization (ITTO) untuk memperkuat pemahaman masyarakat terhadap HKm dan juga menyadarkan pemerintah daerah bahwa HKm merupakan sebuah program yang mampu mensejahteraan masyarakat dan juga memelihara alam. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mengadakan berbagai macam pelatihan dan fasilitasi yaitu sebagaimana dipaparkan dalam tabel berikut ini.

Page 98: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

82 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Tabel 5.3 Pelatihan dan Kegiatan Fasilitasi Dalam Rangka Penguatan Pemahaman Sosial dan Politik Stakeholders

No Nama Pelatihan Waktu Penyelenggaraan

1 Pelatihan Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Ma-syarakat HKm dalam Pengelolaan Ekosistem Man-grove di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang (Sistem Manajemen Lima Jari)

18-20 Maret 2014

2 Pelatihan Silvofishery Masyarakat HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan

11-12 Juni 2014

3 Pelatihan Pengelolaan Ekowisata dan Pelatihan Pe-manfaatan Hutan Bukan Kayu Mangrove untuk Ma-syarakat Desa Busung dan Desa Kuala Sempang

28-31 Oktober 2014

4 Pelatihan Perhitungan Carbon Untuk Masyarakat Desa Busung dan Desa Kuala Sempang

10-11 November 2014

5 Kegiatan Fasilitasi dan Koordinasi Dalam Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat dan Stock Karbon di Kabupaten Bintan

Maret 2014

Sumber: Data Olahan, 2017

D. Eksplorasi Potensi Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

D.1. Vegetasi di Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Ekosistem mangrove HKM yang luas di wilayah Kabupaten Bintan mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 42 jenis baik true mangrove spesies, associate maupun jenis-jenis ekoton ataupun terrestrial yang masih berdekatan dengan vegetasi mangrove. Beberapa jenis mangrove yang umum dijumpai adalah Avicennia Marina, Bruguera gymnarrhiza, B.parviflora, B.sexangula, Rhizophora apiculata, R.mucronata, Sonneratia alba, Excoecaria agalloca, Xylocarpus granatum, Xmoluccensis, Nypa fruticans, dan lainnya. Kerapatan ekosistem mangrove HKM sebagian besar (99%) dalam kondisi kurang rapat dan hanya 1% yang memiliki kondisi kerapatan tinggi.

Page 99: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

83Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

Gambar 5.7 Vegetasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan

Tabel 5.4 Jenis dan Manfaat Buah Dan Pohon Dari Ekosistem Mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Hutan Kemasyarakatan

Kabupaten Bintan

No Desa Jenis dan Manfaat

1 Busung 1. Nipah sebagai bahan untuk pembuatan santan, jus, sirup, tepung, gula merah

2. Berembang sebagai bahan untuk pembuatan tepung untuk dodol, sirup, jus

3. Perepat sebagai bahan untuk pembuatan sabun, sham-Perepat sebagai bahan untuk pembuatan sabun, sham-poo, antiseptic, dll

4. Boros sebagai bahan untuk pembuatan cat, dodol, warna untuk pakaian, pudding

5. Tumu sebagai bahan untuk pembuatan dodol, tepung

Kuala Sempang

Kedua HKm tersebut telah beberapa kali mengikuti pelatihan tentang pemanfaatan buah pohon mangrove sebagai bahan makanan. Peserta pelatihan didominasi oleh ibu-ibu dari kedua HKM tersebut. Pelatihan tersebut dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintan. Selain itu perwakilan HKM mengingkuti pelatihan di Jawa Timur dengan BPDAS sebagai fasilitatornya. Menurut masyarakat mereka mendapat manfaat banyak dari pelatihan

Page 100: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

84 COLLABORATIVE GOVERNANCE

pemanfaatan tanaman mangrove.

D.2. Budidaya Perikanan

Selain untuk pemanfaatan tanaman Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kuala Sempang dan Busung memiliki potensi perikanan yang baik dimana masyarakat. Potensi perikanan mereka lebih baik dari daerah perikanan yang tidak memiliki HKm. Hal ini disebabkan dua hal yaitu kemampuan petani pengelola HKm dan tata lahan HKm. Kelompok HKm bisa membudidayakan ikan terutama ikan krapu di sepanjang aliran air di hutan bakau. Selain ikan masyarakat membudidayakan udang, kepiting, dan gonggong. Pembudidayaan perikanan mengacu pada prinsip keberlanjutan (sustainable aquaculture). Kelompok HKm Kuala Sempang dan HKm Busung sering diundang untuk mengingkuti pelatihan budidaya ikan, baik untuk ikan laut maupun ikan tawar yang dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah, khususnya dari Dinas Kelautan dan Perikanan. Pelatihan tersebut tidak hanya dilakukan di tingkat daerah namun sudah sampai keluar daerah (Jawa). Hal ini juga mendorong masyarakat untuk mengembangkan potensi perikanan budidaya, khususnya yang berada di daerah aliran HKm karena telah mengetahui dan memahami manfaat dan fungsi mangrove sebagai sumber pendapatan yang diperoleh dari budidaya ikan di wilayah sekitar HKm.

Perikanan budidaya disekitar HKm dilakukan dengan cara pembuatan keramba. Keramba yang di buat oleh masyarakat masih berbentuk kotak persegi panjang yang berisi 4 lubang dengan bahan-bahan seperti kayu dan jaring yang diperoleh dengan cara membeli. Ukuran keramba bervariasi namun biasanya berukuran sekitar 2,5 mX 4m. menurut masyarakat di Desa Busung, budidaya ikan atau udang membutuhkan modal cukup besar. Modal terbesar digunakan untuk membeli bibit ikan. Bibit yang berkualitas tinggi mempunyai harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan yang berkualitas rendah. Kualitas bibit ini akan berpengaruh terhadap hasil panen karena terkait dengan kualitas hidup dari setiap bibit yang dikembangkanbiakan. Selain itu, pakan bagi ikan juga memegang

Page 101: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

85Impelementasi Kebijakan HKm di Wilayah Kepulauan

peranan penting dalam budidaya perikanan. Kesehatan ikan dan volume hasil panennya. Masyarakat berharap mendapatkan bantuan modal dan pembinaan dari pemerintah daerah untuk pengembangan perikanan budidaya ini.

Berdasarakan informasi yang dihimpun, semua HKm yang dikaji memiliki pengembangan perikanan budidaya disekitar kawasan HKm atau disebut sistem wanamina (silvofishery). Sistem silvofishery merupakan salah satu alternatif pengembangbiakan perikanan budidaya yang memadukan ekosistem mangrove dengan kolam yang berada disekitar ekosistem mangrove.beberapa jenis hewan yang bisa dibudidayakan dengan menggunakan sistem silvofishery diantaranya ikan, udang dan kepiting, dan gonggong. Pengembangan perikanan budidaya disekitar ekosistem mangrove harus mengacu pada prinsip keberlanjutan.

Potensi yang belum digali dari pengembangan hutan kemasyrakatan (HKM) di Kuala Sempang dan Busung adalah potensi pariwisata hal ini belum digarap maksimal akibat belum efektifnya promosi dan bantuan dari dinas pariwisata

Perbaikan lahan konservasi di Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kuala Sempang dan Busung dilakukan secara bertahap melalui proses pembibitan tanaman bakau.

Gambar 5.8 Tempat Pembibitan Mangrove

Page 102: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

86 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Pembibitan tanaman bakau dilakukan dengan pengambilan biji dari tanaman bakau yang disemai di dekat area HKm.

D.3. Transportasi

Akses menuju HKm Kuala Sempang dan HKm Busung dapat ditempuh dengan waktu 1 jam dari Kota Tanjungpinang melalui jalan darat. Perjalanan melewati 3 jembatan penghubung kearah Tanjunguban yang dibatasi aliran sungai.

D.4. Tanah/Lahan

Kondisi tanah di HKm Busung dan HKm Kuala Sempang memiliki kondisi tanah yang baik dengan jarak aliran sungai dengan HKm memiliki kelebaran antara 15-60 meter dan kondisinya tidak mengalami abrasi. Lokasi lahan HKm Busung dan HKM Kuala Sempang strategis hal disebabkan bentuk geografis yang tidak banyak bercabang sehingga sangat cocok untuk agrowisata.

Page 103: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

87

BAB VIPERUBAHAN KEBIJAKAN, IMPLEMENTASI, HAMBATAN SERTA STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) DI KABUPATEN BINTAN

A. Perubahan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan dilandasi oleh semangat dari Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012, arah kebijakan dari pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat adalah untuk meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan ekosistem mangrove melalui kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dengan dukungan lembaga masyarakat internasional, sebagai bagian dari upaya mewujudkan komitmen lingkungan global.

Page 104: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

88 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Kemudian dari semangat ini, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan menyusun Peraturan Daerah No.2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan 2011-2031 di mana starategi kebijakan penataan ruang diarahkan pada mempertahankan dan melestarikan kawasan hutan mangrove. Dalam strategi kebijakan penataan ruang ini diarahkan pada mempertahankan dan melestarikan kawasan hutan mangrove. Dengan semangat dua kebijakan ini, maka dua lembaga telah melakukan inisiasi untuk mengembangkan hutan mangrove menjadi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di mana pengelolaan hutan mangrove yang ada di Kabupaten Bintan berbasis masyarakat, yang tujuannnya adalah memberdayakan masyarakat setempat agar hutan yang menjadi amanat kebijakan di atas untuk dipelihara dan dilestarikan juga menjadi media pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat sehingga masyarakat di sekitar hutan mangrove tersebut dapat mendapatkan manfaat. Maka hal yang dilakukan oleh ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau adalah melakukan pengkajian kebijakan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Fasilitasi dan Koordinasi Dalam Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat dan Stock Karbon di Kabupaten Bintan (2014) menjelaskan bahwa bulan Mei – Juni 2013 telah dilakukan kegiatan inisiasi untuk memperoleh gambaran kebijakan dan stretegis pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm dengan dilakukan pengumpulan data, kunjungan lapangan, evaluasi dan analisis serta penyusunan laporan. Tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut. 1. Menyusun kajian kebijakan dan peraturan pengelolaan ekosistem

mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm, 2. Menyusun kajian keberlanjutan pengelolaan dari dimensi

ekologi, ekonomi sosial, kelembagaan dan teknologi, 3. Menyusun analisis stakeholders pengelolaan mangrove dengan

skema HKm baik di tingkat pusat maupun daerah.

BPDAS Kepulauan Riau yang bekerjasama dengan ITTO adalah melakukan review dan analisis kebijakan yang terkait dengan

Page 105: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

89Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

pengelolaan HKm baik dari kebijakan Pemerintah Pusat hingga kepada Kebijakan Pemerintah Daerah. Di dalam Laporan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Tahun 2013, review dan analisis kebijakan digambarkan pada alur berikut ini.

Gambar 6.1 Alur Skema Analisis Kebijakan dan Penyusunan Draft Strategi Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat

di Kabupaten Bintan

Review kebijakan pengelolaan mangrove

Review kebijakan CBFM

Sinkronisasi kebijakan pengelolaan mangrovedan kebijakan CBFM

Identifikasi tugas dan wewenang antara parapihak

Studi Kebijakan Pemerintah Pusat

Studi Kebijakan Pemerintah Daerah

Internalisasi kebijakan pengelolan mangrove

Internalisasi kebijakan CBFM

Sinkronikasi kebijakan pengelolaanmangrove dan kebijakan CBFM

Internalisasi Kebijakan Pemerintah Daerah

Penyusunan rencana dan strategi

Identifikasi tugas dan wewenang antara parapihak

Inisiatif Rencana Tata Ruang

Insentif dan Disinsentif

Matriks AnalisisKeterkaitan Aktor

Sinkronisasi dan sinergikebijakan pusat dan

daerah

Berdasarkan alur fikir analisis di atas, berdasarkan Laporan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Tahun 2013 maka dapat dijelaskan pada tahapan awal yang perlu dilakukan adalah analisis kebijakan pengelolaan mangrove dengan tahapan kegiatan sebagai berikut. 1. Studi literatur yang terkait dengan pengelolaan mangrove (pusat

maupun di daerah), 2. Studi literatur kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan

bersama masyarakat (pusat dan daerah),

Page 106: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

90 COLLABORATIVE GOVERNANCE

3. Melakukan kajian implementasi program pengelolaan mangrove dan kegiatan pemberdayaan masyarakat di level daerah (gap analisis kebijakan dan implementasi),

4. Mengetahui kendala dalam implementasi kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan mangrove.

Setelah dilakukan review dan analisis kebijakan baik kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maka diperoleh beberapa urutan kebijakan atau regulasi yang berkaitan dengan HKm di Kabupaten Bintan. Wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan didasari Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Semangat dari kebijakan ini yang menjadi landasan pengembangan HKm di Kabupaten Bintan adalah bahwa dalam penyelenggaraan hutan harus memiliki tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Dengan amanat ini, maka hutan mangrove di Kabupaten Bintan harus dikelola dengan semangat untuk mencapai kemakmuran rakyat, maka strategi pengelolaan yang diambil adalah dengan menggunakan skema HKm agar masyarakat setempat dapat juga dapat berpartisipasi dalam pengelolaan dan mampu memberdayakaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat tersebut.

Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang mengalami perubahan dengan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2008. Kedua kebijakan ini mengamanatkan pemberdayaan masyarakat setempat terutama ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya hutan yang adil dan optimal. Dengan kebijakan ini juga pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin pemanfaatan akan tetapi juga mempunyai kewajiban untuk melakukan fasilitasi bagi pengembangan HKm di wilayahnya, yaitu sejak mulai perencanaan, inisiasi, pendampingan, pengusulan dan sampai pembiayaan.

Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolan Ekosistem Mangrove. Kebijakan ini mengupayakan

Page 107: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

91Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk kesejahteraan masyarakat karena ekosistem mangrove merupakan sumber daya lahan basah wilayah pesisir dan sebagai penyangga kehidupan yang memiliki kekayaan alam yang nilainya sangat tinggi. Kebijakan ini juga yang telah menggerakkan ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau untuk melakukan fasilitasi sampai diterbitkannya Surat Keputusan Menteri tentang pengembangan HKm di Kabupaten Bintan, khususnya di wilayah Desa Busung dan Desa Kuala Sempang.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan yang mengalami tiga kali perubahan pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.18/Menhut-II/2009 terkait perubahan pertama, kemudian Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.13/Menhut-II/2010 terkait perubahan kedua dan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.52/Menhut-II/2011 terkait perubahan ketiga. Setelah terjadinya tiga kali perubahan maka kebijakan ini kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan. Peraturan ini kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.

Penetapan luas wilayah Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan adalah berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan Seluas 295 Hektar Di Dalam Kawasan Hutan Lindung. HKm yang ditetapkan berdasarkan SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan menetapkan dua daerah HKm yaitu HKm di Desa Busung dan HKm Desa Kuala Sempang.

Selain itu kebijakan HKm di Kabupaten Bintan juga berpijak pada beberapa peraturan tingkat Direktur Jenderal yaitu Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial No.P.07/V-SET/2009 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, kemudian

Page 108: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

92 COLLABORATIVE GOVERNANCE

regulasi ini mengalami satu kali perubahan yaitu Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial No.P.10/V-SET/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial No.P.07/V-SET/2009 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Kemudian regulasi terbaru yang juga menjadi dasar pelaksanaan HKm di Kabupaten Bintan di tingkat Direktur Jenderal yaitu menggunakan Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan No.P.12/PSKL/SET/PSL.0/11/2016 tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).

Selain itu kelembagaan di tingkat pemerintah lokal hanya diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan No.2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031 yang mengarahkan untuk melestarikan mangrove termasuk salah satunya dengan skema HKm.

Di tingkat Pemerintah Desa diperkuat dengan Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012 tentang Pembentukan Kelompok Tani Ketapang Putih Desa Busung yang merupakan kebijakan terkecil dalam rangka pelaksaan secara teknik pengelolaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan. Kebijakan ini menjelaskan pihak-pihak yang memiliki kewenangan menjalankan pengelolaan HKm baik di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang.

Page 109: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

93Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

Gambar 6.2 Perkembangan dan Perubahan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan

B. Kebijakan Hutan Kemasyakatan (HKm) di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

B.1. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 3 mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraan hutan harus memiliki tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dengan menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan

Page 110: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

94 COLLABORATIVE GOVERNANCE

eksternal; dan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Selain itu, peraturan perundangan ini juga memperkuat legitimasi adanya peran serta masyarakat dalam mengelola hutan sebagaimana yang tertera pada pasal 68. Pasal ini menjelaskan bahwa peran serta masyarakat adalah sebagai berikut. a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil

hutan, dan informasi kehutanan;c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam

pembangunan kehutanan; dand. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan

kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

Peraturan perundangan ini berimplikasi terbitnya Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

B.2. Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2008

Kebijakan pemberdayaan masyarakat desa dalam pengelolaan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah ini mengamanatkan pemberdayaan masyarakat setempat terutama ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya hutan yang adil dan optimal. Untuk pemberdayaan masyarakat desa hutan menitikberatkan pada dua hal yang dipandang sangat penting, yaitu peningkatan kapasitas dan pemberian akses masyarakat terhadap sumber daya hutan yang ada disekitarnya. Berdasarkan peraturan pemerintah ini pemberdayaan masyarakat setempat menjadi kewajiban pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten / kota. Sementara itu, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan menjadi pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya.

Page 111: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

95Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

Pemberdayaan masyarakat desa dalam pengelolan hutan dapat dilaksanakan dengan tiga skema yaitu Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) dan Kemitraan. Ketiga skema tersebut dapat diselenggarakan di semua kawasan hutan, kecuali kawasan konservasi yang model pemberdayaan masyarakatnya akan diatur dengan peraturan tersendiri. Untuk melaksanakan skema pemberdayaan masyarakat tersebut khususnya dalam konteks Hutan Kemasyarakatan (HKm) maka peraturan perundangan ini berimplikasi lahirnya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan.

Sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2008 pemerintah daerah bukan hanya memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin pemanfaatan akan tetapi juga mempunyai kewajiban untuk melakukan fasilitasi bagi pengembangan HKm di wilayahnya, yaitu sejak mulai perencanaan, inisiasi, pendampingan, pengusulan dan sampai dengan pembiayaan. Di mata pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan Republik Indonesia peran yang cukup besar seperti itu dipandang wajar, karena pemerintah daerah adalah entitas politik dan administrasi yang secara langsung bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Oleh karena itu, program HKm seharusnya dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka memiliki pandangan bahwa pembiayaan program tersebut semestinya disediakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Jika ada beberapa daerah yang sejauh ini bersedia mengalokasikan anggaran untuk HKm jumlahnya relatif sedikit. Kewenangan dan kewajiban sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 nampaknya tidak secara otomatis bisa menggerakkan daerah untuk bersikap proaktif terhadap program HKm, kendatipun secara subtansial mereka sering mengakui bahwa kedua program tersebut memberikan peluang yang besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Bagi pemerintah daerah amanat Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007

Page 112: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

96 COLLABORATIVE GOVERNANCE

dan peraturan-peraturan Menteri Kehutanan untuk pelaksanaan HKm tidak dipandang memiliki kekuatan hukum yang bersifat struktural. Bagi mereka kebijakan struktural yang dipandang memiliki kekuatan hukum adalah produk kebijakan yang datang dari Kementerian Dalam Negeri atau Presiden. Kebijakan-kebijakan yang secara struktural memiliki kekuatan hukum, pada umumnya akan ditindaklanjuti dengan penyusunan program dan pengalokasian anggaran yang cukup signifikan. Kebijakan HKm yang masih bersifat sektoral adalah kendala utama untuk bisa melakukan mobilisasi dan konsolidasi sumber daya yang luas dan lintas kepentingan (Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, 2013).

B.3. Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012

Implementasi HKm di Kabupaten Bintan juga tidak lepas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Peraturan perundangan ini dimaksudkan untuk mengupayakan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove untuk kesejahteraan masyarakat karena ekosistem mangrove ini merupakan sumber daya lahan basah wilayah pesisir dan sebagai sistem penyangga kehidupan yang memiliki kekayaan alam yang nilainya sangat tinggi. Peraturan pemerintah ini merupakan payung hukum untuk pengelolaan ekosistem mangrove di tingkat nasional yang merupakan bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).

Menurut Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 merupakan arah kebijakan dari pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat adalah untuk meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. pengelolaan ekosistem mangrove melalui pola kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dengan dukungan lembaga dan masyarakat internasional sebagai

Page 113: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

97Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

bagian upaya mewujudkan komitmen lingkungan sosial (Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, 2013).

Terbitnya peraturan perundangan ini berimplikasi lahirnya keputusan bagi Pemerintah Desa Busung dengan Keputusan Desa Busung No.11/DBS/2012 tentang Pembentukan Kelompok Tani Ketapang Putih Desa Busung adalah dalam rangka pengoptimalisasian pengelolaan Mangrove dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan dengan adanya regulasi inilah HKm di Desa Busung dan Kuala Sempang dapat diinisiasi.

B.4. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007, No.P.18/Menhut-II/2009, No.13/Menhut-II/2010 dan No.P.52/Menhut-II/2011

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri No.P.37/Menhut-II/2007 sebagai sebuah bentuk legimatisi hukum untuk penyelenggaraan pemanfaatan hutan oleh masyarakat dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm). Dalam peraturan perundangan ini pelaksanaan skema HKm dipilah menjadi tiga tingkatan yaitu:1. Penetapan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang dalam

hal ini Kementerian Kehutanan, 2. Perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang dalam

hal ini adalah Bupati), 3. Pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok

masyarakat pemegang izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan.

Perizinan penetapan HKm dengan Peraturan Menteri Kehutanan ini diatur dalam skema sebagai berikut.

Page 114: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

98 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Gambar 6.3 Tata Perijinan Hutan Kemasyarakatan Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007

Gubernur

Bupati/Walikota

Kelompok

Masyarakat

Sketsa Areal Kerja- Wilayah administrasi

- Potensi

- Batas Kawasan

Gubernur

Bupati/Walikota

Tim

Verifikasi

UPT

Menteri

Kehutanan

Gubernur

Bupati/Walikota

Tim

Verifikasi

Tim

Verifikasi

Pedoman

Verifikasi

Kepastian Hak &

Kesesuaian fungsi

Menteri Kehutanan

Menetapkan Areal Kerja

Menteri

Kehutanan

IUPHKM

IUPHHK HKm

Terima

Terima

Tolak

Sumber: Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, 2013

Namun Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 dilakukan revisi sebanyak tiga kali perubahan. Perubahan pertama diaktualisasi dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.18/Menhut-II/2009. Perubahan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan hutan kemasyarakatan. Dalam perubahan pertama ini dilakukan perubahan pada Pasal 9 dan Pasal 23. Pasal 9 diubah terkait Tim Verifikasi, dan Pasal 23 dilakukan perubahan terkait hak pemegang IUPHKm dimana dalam perubahan dipisah menjadi Hak Pemegang IUPHKm Hutan Lindung dan Hutan Produksi.

Perubahan kedua Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 diaktualisasikan pada Peraturan Menteri Kehutanan No.P.13/Menhut-II/2010. Perubahan legal substance ini dilakukan dalam rangka mempercepat penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan sehingga perlu dilakukan penyederhanaan prosedur permohonan usulan dan verifikasi dalam rangka penetapan areal kerja hutan

Page 115: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

99Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

kemasyarakatan. Dalam konteks ini isi peraturan perundangan yang dilakukan perubahan adalah pada pasal 8 dan Pasal 9.

Perubahan ketiga Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 diaktualisasikan pada Peraturan Menteri Kehutanan No.P.52/Menhut-II/2011. Perubahan ini dilakukan dalam rangka menjamin kepastian terhadap calon pemegang izin pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Menteri, perlu mencantumkan nama-nama pemohon yang diketahui oleh Camat dan atau Kepala Desa setempat. Konteks perubahan itu terletak pada Pasal 8.

B.5. Peraturan Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/2014

Peraturan Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/2014 ini merupakan kebijakan yang secara langsung membatalkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007. Pertimbangan perubahan dengan kebijakan terbaru ini berdasarkan konsideran pada Peraturan Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/2014 merupakan sebuah bentuk evaluasi pelaksanaan aturan sebelumnya dan untuk memberikan kepastian hukum dalam bidang hutan kemasyarakatan.

Pertimbangan perubahan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan seperti untuk memperpendek alur perizinan hutan kemasyarakatan, adanya mekanisme pendampingan selain peraturan ini hanya digunakan untuk perizinan dan fasilitasi, adanya areal perlindungan dalam areal kerja HKm dan juga meletakkan jelas nomenklatur Direktur Jenderal yang bertanggung jawab atas Hkm.

Pertimbangan persoalan alur perizinan hutan kemasyarakatan berdasarkan peraturan ini mengalami perubahan sebagai berikut.

Page 116: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

100 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Gambar 6.4 Tata Perijinan Hutan Kemasyarakatan Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/2014

Bupati/WalikotaKelompok

Masyarakat

Sketsa Areal Kerja- Wilayah administrasi

- Potensi

- Batas Kawasan

Bupati/Walikota

Tim

Verifikasi

UPT

Menteri

Kehutanan Bupati/Walikota

Tim

Verifikasi

Tim

Verifikasi

Pedoman

Verifikasi

Kepastian Hak &

Kesesuaian fungsi

Menteri Kehutanan

Menetapkan Areal Kerja

Menteri

Kehutanan

IUPHKM

IUPHHK HKm

Terima

Terima

Tolak

Sumber: Data Olahan, 2017

Berdasarkan skema di atas, tampak bahwa dalam Peraturan

Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/2014 dalam mengajukan usulan IUPHKm hanya perlu mengajukan kepada Bupati/Walikota tanpa mengajukan kepada Gubernur. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada pada Pasal 8 ayat 2. Perbedaan lainnya yaitu UPT pada Direktorat Jenderal, pada aturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No.P.52/Menhut-II/2011 Pasal 8 ayat 1 “UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial melakukan koordinasi dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait Pemerintah Daerah untuk menentukan calon areal kerja hutan kemasyarakatan dan memfasilitasi masyarakat setempat untuk memperkuat permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan kepada Bupati/Walikota”. Sementara pada aturan terbaru pada Peraturan Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/2014 Pasal 8 Ayat 1 tampak telah terjadi perubahan nomenklatur Direktorat Jenderal sebagaimana bunyi pasal tersebut “UPT pada Direktorat Jenderal melakukan koordinasi denga

Page 117: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

101Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

UPT pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan/atau BUK dan Pemerintah Daerah untuk; a. Penentuan calon areal kerja HKm dan: b. Fasilitasi masyarakat setempat membuat permohonan usulan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) berdasarkan calon areal kerja”.

Selain itu pada regulasi terbaru ini juga terdapat sebuah aturan tentang pendampingan dimana pada peraturan sebelumnya tidak ada, yaitu sebagaimana tertera pada Pasal 12 ayat 1 yang berbunyi “masyarakat yang mengajukan usulan IUPKHm dapat dilakukan pendampingan pada setiap tahap proses penyelenggaraan HKm”. Itu artinya peraturan ini tidak hanya memberikan fasilitasi kepada masyarakat, namun juga bimbingan dan pendampingan yang intens sampai HKm dapat dijalankan sesuai dengan tujuannya.

B.6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016

Peraturan adalah tentang Perhutanan Sosal yang diterbitkan dalam rangka mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfataan kawasan hutan, maka diperlukan kegiatan perhutanan sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat salah satunya adalah terkait dengan pengelolaan HKm dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Peraturan ini secara langsung membatalkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan. Selain itu peraturan ini juga dalam rangka penyederhaan pemberian akses kepada masyarakat dalam perhutanan sosial. Peraturan ini diterbitkan juga untuk mendukung Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah menarik kewenangan kehutanan dari Kabupaten/Kota kepada kewenangan Pemerintah Provinsi. Sehingga di dalam Pasal 18 peraturan ini pemberikan IUPHKM yang diterbitkan oleh Menteri dapat juga didelegasikan kepada Gubernur. Dalam peraturan yaitu pasal 19 ayat 1, Permohonan

Page 118: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

102 COLLABORATIVE GOVERNANCE

IUPHKM dapat diajukan oleh Ketua Kelompok Masyarakat, Ketua Gabungan KTH, dan Ketua Koperasi dan diajukan kepada Gubernur dan pemerintah Kabupaten / Kota hanya diberikan tembusannya saja. Keberadaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang memang sudah terbit lebih dahulu sebelum peraturan ini terbit. Namun kedepan eksistensi HKm di kedua desa ini mampu menyesuaikan peraturan terbaru yang terbit kemudian.

B.7. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No.P.07/V-SET/2009 dan No.P.10/V-SET/2010

Peraturan ini merupakan sebuah regulasi terkait Tata Cara Penyelengaraan Hutan Kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan aturan perubahannya. Peraturan ini dilatarbelakangi untuk memperjelas dalam pelaksanaan fasilitasi dan pelayanan hutan kemasyarakatan sehingga perlu disusun tata cara penyelenggaraan hutan kemasyarakatan. Tujuan peraturan perundangan ini untuk memberikan arahan dan panduan bagi pemerintah, pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota serta para pihak terkait dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan, sehingga dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup peraturan ini yaitu:1. Tata Cara Pelayanan Perijinan Hutan Kemasyarakatan, 2. Tata Cara Perencanaan Hutan Kemasyarakatan, 3. Tata Cara Penatausahaan Hasil Hutan dari Areal Kerja Hutan

Kemasyarakatan, 4. Tata Cara Fasilitasi Terhadap Kelompok Masyarakat, dan 5. Tata Cara Pengendalian dan Pelaporan.

Peraturan ini juga mengatur terkait dengan lama proses penetapan izin hutan kemasyarakatan yang ditetapkan selambat-lambatnya dalam 90 hari kerja. Atas dasar itulah Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No.P.07/V-SET/2009 dilakukan revisi dengan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan

Page 119: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

103Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

dan Perhutanan Sosial No.P.10/V-SET/2010. Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No.P.07/V-SET/2009 dilakukan atas pertimbangan dalam rangka percepatan penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan dengan menyederhakan prosedur permohonan usulan dan verifikasi dalam rangka penetapan areal kerja Hutan Kemasyarakatan. Dalam peraturan terbaru ini waktu layanan izin penetapan Hutan Kemasyarakatan diperpendek menjadi 60 hari.

Namun dalam Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan (2013) menyatakan bahwa dalam tataran kenyataan target 90 dan 60 hari tidak pernah bisa dicapai. Sejauh ini waktu yang dibutuhkan masyarakat untuk memperoleh SK Menteri Kehutanan tentang izin Penetapan areal kerja Hutan Kemasyarakatan jauh lebih lama dari standar waktu yang telah ditetapkan oleh peraturan Dirjen di atas. Beberapa kendala tersebut disebabkan tata pengurusan izin itu masih bertumpu pada mekanisme birokrasi sehingga memiliki alur yang panjang. Jika dirinci layanan izin penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan di kementerian terdiri dari tiga tahap yaitu pra-verifikasi, verifikasi dan pasca verifikasi yang membutuhkan waktu dan kelembagaan yang panjang. Permasalahan lainnya adalah mekanisme layanan perizinan belum berdasarkan pada checklist yang terukur, tetapi masih mengacu pada opini-opini tertentu yang berkembang di tingkat publik. Sebagai contoh ketika pemanfaatan lahan gambut sedang menjadi sorotan media, Kementerian Kehutanan dengan tiba-tiba menunda proses penetapan areal hutan kemasyarakatan yang secara kebetulan berada pada lahan gambut. Padahal berkas permohonannya sudah diajukan sejak lama. Hal yang sama juga terjadi ketika tiba-tiba ada sinyalemen bahwa areal kerja hutan kemasyarakatan yang sudah ditetapkan dipindahtangankan secara sepihak oleh masyarakat. Opini-opini semacam itu sering terjadi dengan isu yang sangat beragam dan terkadang sulit diverifikasi kebenarannya.

Lemahnya koordinasi antar bidang/unit kerja juga masih menjadi kendala, padahal perizinan melibatkan berbagai bidang seperti bidang perhutanan sosial, perpetaan, dan hukum. Atas dasar

Page 120: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

104 COLLABORATIVE GOVERNANCE

itu maka, kendatipun hutan kemasyarakatan telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai salah satu program prioritas dan strategis, realitas di lapangan masih diposisikan hanya sekedar program Ditjen BPDAS-PS sehingga terkadang tidak memperoleh dukungan yang maksimal dari bidang-bidang lain. Terbatasnya sumber daya baik manusia dan finansial yang tersedia dibanding dengan target yang sudah dicanangkan. Keterbatasan sumber daya manusia terutama dirasakan pada tahap verifikasi dan perpetaan, padahal sejauh ini usulan permohonan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan baru sekitar 30%, masih sangat jauh dari target yang dicanangkan yakni 500.000 ha/tahun (Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, 2013).

B.8. Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan No.P.12/PSKL/SET/PSL.0/11/2016

Peraturan ini merupakan sebuah peraturan yang merupakan pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Maksud diterbitkannya peraturan ini adalah untuk memberikan pedoman mengenai tata cara permohonan dan pelaksanaan verifikasi permohonan IUPHKm secara transparan, partisipatif, akuntabel dan tidak diskiminatif dengan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Selain itu tujuan peraturan ini adalah untuk memberikan panduan pelayanan bagi pemerintah dan kepastian prosedur bagi masyarakat mendapatkan IUPHKm. Ruang lingkup peraturan ini adalah terdiri dari, a. Pengajuan permohonan IUPHKm, b. Tata cara verifikasi administrasi, c. Tata cara verifikasi teknis

Pelaksanaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan memang tidak bersentuhan langsung dengan peraturan ini, karena keberadaan HKm di Kabupaten Bintan terlebih dahulu ada dengan menggunakan pendekatan regulasi sebelumnya. Namun tidak menutup kemungkinan perubahan pada hal-hal teknis

Page 121: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

105Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

akan terjadi yang mungkin akan terkena isi dari peraturan ini.

B.9. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.SK.114/Menhut-II/2014

Regulasi inilah yang merupakan regulasi induk sebagai legitimasi adanya HKm di Kabupaten Bintan. Dengan regulasi ini juga HKm di Kabupaten Bintan di tetapkan. Karena regulasi ini adalah berkaitan dengan Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan yang ditetapkan seluas 295 Hektar pada Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Dengan regulasi ini peta wilayah HKm di Kabupaten Bintan ditetapkan yaitu di dua desa yaitu Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Dengan regulasi ini wilayah HKm Desa Busung ditetapkan seluas 100 hektar dan Desa Kuala Sempang seluas 195 hektar. Dengan regulasi ini Bupati Kabupaten Bintan memiliki kewajiban memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat calon penerima IUPHKm sesuai dengan peraturan perundangan.B.10. Peraturan Daerah Kabupaten Bintan No.2 Tahun 2012

Di tingkat lokal setelah Pemerintah Pusat menetapkan Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan juga menetapkan Peraturan Daerah No.2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031. Kebijakan ini memang memiliki hubungan tidak langsung dengan penyelenggaraan HKm di Kabupaten Bintan. Karena kebijakan ini hanya mengatur tentang penataan ruang yang diarahkan pada mempertahankan dan melestarikan kawasan hutan mangrove. Atas kebijakan tersebut, masyarakat dan pemerintah daerah sepakat untuk memilih skema Hutan Kemasyarakatan sebagai instrumen dalam rangka melaksanakan kebijakan ini. Sehingga diinisiasi untuk menyelenggarakan HKm di Kabupaten Bintan yang akhirnya pada tahun 2014 diterbitkan Surat Keputusan Menteri tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan.

Dalam kebijakan lokal ini pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan melalui rehabilitasi dan pengamanan sempadan pantai dan

Page 122: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

106 COLLABORATIVE GOVERNANCE

sempadan sungai dan pemantapan dan pelestarian hutan mangrove. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan mangrove ditetapkan sebagai berikut:1. Tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan budidaya yang

mengakibatkan menurunnya fungsi kawasan, 2. Tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan perburuan satwa yang

dilindungi undang-undang, 3. Dalam kawasan pantai berhutan bakau masih diperbolehkan

dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam secara terbatas. (Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, 2013).

B.11. Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012

Regulasi terakhir yang paling lokal adalah adanya Surat Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012 tentang Pembentukan Kelompok Tani Ketapang Putih Desa Busung Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan. Kebijakan ini memang diterbitkan sebelum penetapan areal kerja HKm di Kabupaten Bintan. Sebagaimana hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Ketapang Putih yaitu,

“Pihak Pemerintah Desa telah mengumpulkan kami jauh sebelum adanya HKm dan menetapkan kami kelompok tani dalam satu lembaga dengan Surat Keputusan ini. Hal ini agar para petani kompak dan sadar akan pemanfaatan dan pengelolaan mangrove. Hal ini juga merupakan cikal bakal inisiasi HKm yang kemudian diinisiasi oleh BPDAS Kepulauan Riau” (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih-2017).

Dengan surat keputusan yang diberikan oleh Pemerintah Desa ini, maka kelompok tani menyatu dan kemudian dengan mudahnya diinisiasi oleh BPDAS Kepulauan Riau. Dengan Surat Keputusan ini kelembagaan lokal sebagai pengelola HKm didirikan.

Page 123: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

107Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

Gambar 6.5 Kelembagaan Pengelola Hutan Kemasyarakatan Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Sesuai dengan Surat Keputusan Kepala

Desa Busung No.11/DBS/2012

Dengan Keputusan Kepala Desa ini juga KTH baik KTH Ketapang Putih dan KTH Medang Kenanga menyusun program dalam rangka mengimplementasikan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Adapun Program tersebut adalah:1. Wisata Mangrove (Ekowisata dan Wisata Bahari), 2. Pembibitan dan Penanaman Mangrove, 3. Budidaya Ikan, Udang dan Kepiting Bakau, 4. Pengelolaan Hasil Mangrove.

C. Implementasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

C.1. Wisata Mangrove (Ekowisata dan Wisata Bahari)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove telah menciptakan suatu arah kebijakan untuk melakukan pengelolaan mangrove berbasis masyarakat sehingga menghantarkan Desa Busung dan Desa

Page 124: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

108 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Kuala Sempang mendapatkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan seluas 295 hektar pada Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Pengelolaan Mangrove berbasis masyarakat yang teraktualisasi dalam skema HKm ini adalah untuk meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, maka salah satu program HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang adalah Wisata Mangrove (Ekowisata dan Wisata Bahari). Kegiatan yang disusun oleh pengelola HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini juga senada dengan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kabupaten Bintan dimana salah satu Kegiatan Pokok Pengelolaan Kawasan Mangrove yaitu dalam Kegiatan Optimalisasi Pemanfataan Sumber Daya Kawasan Mangrove, dimana kegiatan Ekowisata merupakan salah satu kegiatan sebagai salah satu strategi untuk mencapai pengembangan model pengeloaan ekosistem mangrove dengan indikator meningkatnya peran masyarakat setempat dalam ekowisata mangrove. Tujuan kegiatan ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan nilai manfaat kawasan mangrove secara lestari berbasis masyarakat (Kebijakan dan Strategi Pengeloaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, 2014).

Salah satu bentuk pengelolaan ekosistem mangrove dengan skema HKm adalah untuk pengembangan pariwisata. Banyak wisatawan yang datang ke lokasi mangrove untuk melihat dan mengamati sambil menyusuri laut di pinggir ekosistem mangrove dengan menggunakan perahu. Para wisatawan ditemani pemandu wisata yang terlatih dan profesional. Sebagian besar wisatawan yang datang ke lokasi mangrove berasal dari luar negeri khususnya Singapura. Atraksi wisata mangrove yang ditawarkan antara lain menyusuri pantai yang masih rapat ditumbuhi mangrove, kuliner makanan laut di restoran yang berada di pinggir pantai atau sekitaran mangrove, penanaman mangrove dan lainnya (Laporan Fasilitasi

Page 125: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

109Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

dan Koordinasi Dalam Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat dan Stock Karbon di Kabupaten Bintan, 2013).

Berdasarkan hasil observasi yang kemudian dilaporkan dalam Laporan Fasilitasi dan Koordinasi Dalam Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat dan Stock Karbon di Kabupaten Bintan tahun 2013 bahwa Desa Busung dan Desa Kuala Sempang sangat potensial untuk dijadikan sebagai tujuan pariwisata mangrove. Desa Busung dialiri beberapa sungai seperti Sungai Lepan, Sungai Siti, dan Sungai Teka. Di tengah-tengah wilayahnya terdapat pulau yang kesemuanya ditumbuhi mangrove. Di dermaga tersebut juga terdapat restoran yang menyediakan beragam makanan laut dan makanan yang terbuat dari buah mangrove. Keindahan Desa Busung ini merupakan salah satu daya tarik terbesar untuk dikembangkan lebih lanjut. Selain itu juga terdapat kunang-kunang yang bisa dinikmati malam hari sebagai salah satu objek wisata yang bisa dikembangkan. Kondisi infrastruktur berupa jalan dan jembatan juga tersedia cukup baik, insfrastuktur yang memadai ini dapat dijadikan sebagai salah satu modal utama dalam pengembangan pariwisata mangrove di Kabupaten Bintan. Dengan adanya pariwisata, masyarakat berharap mendapat manfaat yang positif baik bagi lingkungan (ekosistem mangrove) maupun dari sisi ekonomi.

Page 126: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

110 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Gambar 6.6 Wilayah Mangrove sebagai Ekowisata di Desa Busung

Dalam mengembangkan pengelolaan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat ini pengelola HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang memegang tegus 5 (lima) lima prinsip dasar berbasis masyarakat yaitu:1. Keberlanjutan ekowisata dari aspek ekonomi, sosial dan

lingkungan (prinsip konservasi dan partisipasi masyarakat), 2. Pengembangan institusi masyarakat lokal dan kemitraan (prinsip

partisipasi masyarakat), 3. Ekonomi berbasis masyarakat, 4. Prinsip edukasi, 5. Pengembangan dan penerapan rencana tapak dan kerangka kerja

pengelolaan ekowisata (prinsip konservasi dan wisata). (Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, 2013).

Atas dasar prinsip itu, sebuah program paling nyata dalam konteks ekowisata di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang yaitu dengan adanya Program Tour de Mangrove atau Wisata Menyusuri Mangrove di Pulau Empat. Pulau Empat dikenal sebagai gugusan

Page 127: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

111Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

pulau-pulau kecil yang memiliki keindahan alam yang luar biasa. Terletak di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, Kecamatan Seri Kuala Lobam, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini menawarkan panorama hutan mangrove yang menawan. Dijuluki Pulau Empat karena terdiri dari 4 Pulau Kecil yang berjejer, walaupun saat ini sudah menjadi tiga pulau karena ada dua pulau kecil yang sudah disatukan oleh hijaunya hutan mangrove yang sangat rapat dan masih asli. Dalam program ini para wisatawan akan diajak untuk menelusuri eksotisnya Pulau Empat sambil menikmati hutan mangrove yang rimbun dan hijau yang mengelilingi pulau. Untuk menelurusinya, wisatawan bisa mengunakan alat transportasi pilihan yang sesuai, bisa menggunakan perahu tradisional atau perahu fiber, atau bila bersama keluarga, wisatawan bisa menggunakan alat transportasi air tradisional pokcai dan menikmati keindahan hutan mangrove yang eksotis sambil menikmati hidangan makanan dan minuman khas yang terbuat dari buah mangrove. Bagi masyarakat yang senang akan fotografi akan mudah mendapatkan momen indah di Pulau Empat saat matahari tenggelam di garis horizon bumi.

Gambar 6.7 Brosur Wisata Tour de Mangrove Pulau Empat Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan

Page 128: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

112 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Berdasarkan hasil wawacara dengan Ketua KTH Medang Kenanga mengatakan,

“Dahulu saya mencari peluang pariwisata dengan ekowisata ini dengan menawarkan para wisatawan naik perahu yang di dalamnya terdapat meja dan kursi seperti restoran yang mengelilingi pinggir pantai yang masih terdapat mangrove di sekitar desa. Perahu tersebut berbentuk pokcai, pokcai adalah salah satu alat transportasi laut yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk menyeberang dari satu pulau ke pulau lainnya, namun dalam rangka HKm dengan program ekowisata ini pokcai sudah dimodifikasi dan dimanfaatkan untuk sarana pariwisata. Kegiatan ini kami laksanakan selama 8 bulan, namun karena kurang promosi sehingga wisatawan yang datang terus berkurang. Selain itu belum ada bimbingan lanjutan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan. Karena dinilai kurang menguntungkan, akhirnya pokcai tersebut dijual kepada pembeli yang berasal dari luar Desa Kuala Sempang sehingga tidak ada lagi wisata mangrove yang menggunakan pokcai di desa Kuala Sempang ini” (Wawancara-Ketua KTH Medang Kenanga, 2017).

Inilah salah satu hal terjadi pada implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Pembangunan ekowisatanya pada awal-awal HKm itu diselenggarakan sangat berjalan dengan baik. Namun persoalannya adalah dalam tataran keberlanjutan ekowisata ini. Pihak pengelola HKm baik Ketapang Putih dan Medang Kenanga tidak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari instansi lain di Kabupaten. Dalam konteks pengembangan pariwisata ini harusnya Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan memberikan ruang dan prioritas pembangunan ekowisata, namun sampai saat ini, peran Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan dinilai lemah oleh Pengelola HKm baik di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang sebagaimana dijelaskan oleh Ketua KTH Medang Kenanga di atas dan juga hasil wawancara dengan Ketua KTH Ketapang Putih Berikut.

“Dukungan dari Dinas Pariwisata khususnya dalam hal promosi ekowisata, sarana dan prasarana seperti dermaga pokcai yang tidak begitu optimal. Sehingga kegiatan ekowisata ini tidak berlanjut atau dengan kata lain tidak berjalan lancar. Kemudian masuk isu adanya peng-DAM-an oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan

Page 129: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

113Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

Riau pada wilayah ini. Sehingga Kelompok Tani pengelola HKm tidak menjalankan kerjanya dengan baik khususnya dalam pengembangan ekowisata mangrove” (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, memang dapat dinilai bahwa keberlanjutan HKm dengan program ekowisata ini akan mengalami masalah karena kurangnya dukungan fasilitas promosi dan sarana prasarana seperti dermaga, adanya isu peng-DAM-an di wilayah HKm, dan kurang dukungan kebijakan dari pemerintah daerah itu sendiri. Sampai saat ini program ini masih dalam pengawasan BPDAS Kepulauan Riau saja yang masih berperan aktif membantu dan mendukung kelompok HKm ini. Selain itu BPDAS Kepulauan Riau juga memberikan fasilitasi dan pendampingan berupa memberikan Pelatihan Pengelolaan Ekowisata yang diselenggarakan di Kantor Desa Kuala Sempang pada tanggal 28-31 Oktober 2014 dengan materi berjudul Ekowisata sebagai Wahana Pelestarian Alam (Laporan Pelaksanaan Pelatihan Ekowisata untuk Masyarakat Desa Busung dan Kuala Sempang, 2014).

Kurangnya dukungan dari lembaga pemerintah daerah lainnya seperti Dinas Pariwisata di atas juga seiring dengan prediksi dari Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Tahun 2013. Dalam laporan ini dicatat bahwa salah satu kendala dalam keberlanjutan HKm di Kabupaten Bintan pada masa yang akan datang akan dipengaruhi oleh isu kelembagaan. Dimana laporan tersebut menyatakan dalam isu kelembagaan terdapat koordinasi diantara lembaga terkait dalam pengelolaan HKm termasuk pengelolaan mangrove belum efektif dan kemudian kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan mangrove dan HKm yang telah ada belum berkembang dan berfungsi secara optimal. Sampai saat ini HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang khususnya program Ekowisata ini boleh dikatakan tidak berjalan dengan lancar karena kurangnya dukungan promosi potensi pariwisata dan juga kurangnya sarana dan prasarana.

Page 130: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

114 COLLABORATIVE GOVERNANCE

C.2. Pembibitan dan Penanaman Mangrove

Program selanjutnya dalam implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang adalah program pembibitan dan penanaman mangrove. Hal ini senada dengan maksud diimplementasikannya HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang bertujuan untuk melakukan pengelolaan dan pelestarian mangrove. Sehingga HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang selalu berkaitan dengan pengelolaan mangrove. Potensi mangrove di kedua desa ini juga cukup banyak. Total luas seluruh dari mangrove termasuk di dalamnya terdapat wilayah HKm di Desa Busung seluas 174,79 hektar, sementara di Desa Kuala Sempang seluas 489,66 hektar (Laporan Penyusunan Baseline Data Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Pulau Bintan, 2013).

Setelah dilakukan identifikasi mangrove sesuai dengan jenisnya, maka Desa Busung teridentifikasi mangrove yang terdiri dari 7 jenis semai, 10 jenis pancang dan 11 jenis pohon. Pada tingkat semai dan pancang jenis yang paling mendominasi adalah jenis Cingam (Scyphiphora hydrophyllacea), sementara pada tingkat pohon didominasi jenis Nyirih Merah (Xylocarpus granatum). Sementara di Desa Kuala Sempang terdapat dua jalur pembibitan mangrove yang jenisnya beragam. Pada jalur 2 – Desa Kuala Sempang, Cingam (Scyphiphora hydrophyllacea) lebih mendominasi dibanding jenis lainnya dalam tingkatan Semai dan Pancang. Selanjutnya diikuti dengan jenis Bakau (Rhizopora apiculata). Sementara yang paling sedikit adalah jenis Bakau bernama Bakau Api (Avicennia marina), Bakau Boros (Bruguiera cylindrica) dan Bakau Tumu (Bruguiera gymnorrhiza). Pada Jalur 3 Desa Kuala Sempang jenis yang paling dominan pada tingkat Semai dan Pancang adalah Jenis Bakau (Rhizopora apiculata) sementara jenis pohon didominasi oleh Nyirih Merah (Xylocarpus granatum) dan Nyirih Putih (Xylocarpus moluccensis) (Laporan Penyusunan Baselina Data Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Pulau Bintan, 2013).

Page 131: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

115Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

Gambar 6.8 Salah satu Lokasi Pembibitan Mangrove di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Program HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang dengan Program Pembibitan dan Penanaman Mangrove juga mendukung Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2014. Dimana di dalam kebijakan ini terdapat kegiatan pokok yaitu Konservasi dan Rehabilitasi Kawasan Mangrove. Tujuan kegiatan pokok ini adalah mempertahankan keberadaan dan fungsi ekosistem mangrove dan meningkatkan kualitas ekosistem mangrove. Tujuan ini dicapai dengan strategi melaksanakan rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak. Salah satu kegiatan dalam program ini adalah pengembangan pembibitan mangrove dengan indikator keberhasilan program yaitu tersedianya persemaian mangrove (Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan, 2014)

Kebijakan dan strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2014 ini telah mengarahkan kegiatan pengelolaan mangrove ini dengan penguatan kelembagaan

Page 132: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

116 COLLABORATIVE GOVERNANCE

masyarakat dengan skema HKm, dengan strategi meningkatkan kapasitas kelompok dan lembaga desa dalam hutan kemasyarakatan, dengan kegiatan melakukan pendampingan, pelatihan dan fasilitasi pengembangan HKm di Kabupaten Bintan (Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan,2014). Sehingga HKm dan pengelola mangrove merupakan sebuah garis lurus yang tak dapat dipisahkan dalam implementasinya.

Bibit mangrove ini banyak difasilitasi oleh BPDAS Kepulauan Riau dalam rangka menunjang program HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Ketapang Putih berikut,

“Selama ini yang masih bertahan adalah program pembibitan dan penanaman bakau atau mangrove. Selama ini BPDAS Kepulauan Riau yang memfasilitasi bibit dan pendampingan untuk proses pembibitannya”. (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih, 2017).

Selain pembibitan yang difasilitasi oleh BPDAS Kepulauan Riau yang pada saat inisiasi HKm di Kabupaten Bintan bekerjasama dengan International Tropical Timber Organization (ITTO) juga memfasilitasi Pelatihan Peningkatan Kelembagaan Masyarakat HKm dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang (Sistem Manajemen Lima Jari) yang diselenggarakan di Desa Busung Kabupaten Bintan pada 18-20 Maret 2014 (Pelatihan Peningkatan Kelembagaan Masyarakat HKm dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang (Sistem Manajemen Lima Jari), 2014). Selain pelatihan ini juga diberikan Pelatihan Pengelolaan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Mangrove yang diselenggarakan di Desa Busung Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan tanggal 29 Oktober 2014. Dalam pelatihan ini masyarakat KTH Pengelola HKm diberikan materi pada kelas pembibitan mangrove (Laporan Pelaksanaan Pelatihan Pemanfataan Hasil Hutan Kayu Mangrove Untuk Masyarakat di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, 2014).

Dengan semua program fasilitasi tersebut, maka pengelola HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang dengan pemantauan dan

Page 133: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

117Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

pengawasan dari BPDAS Kepulauan Riau juga melakukan penanaman bakau bagi wilayah yang rapatan bakaunya tidak lagi rapat. Masyarakat sadar terhadap pentingnya perlindungan dan kelestarian ekosistem mangrove.

Gambar 6.9 Beberapa Lokasi Penanaman Mangrove di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan

Dengan semangat melaksanakan Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 dan No.SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan seluas 295 hektar pada Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau serta demi mencapai kesejahteraan, masyarakat KTH Ketapang Putih Di Desa Busung dan KTH Medang Kenanga di Desa Kuala Sempang masih berusaha mempertahankan program pembibitan dan penanaman mangrove hingga saat ini. Program pembibitan dan penanaman mangrove ini dikarenakan kesadaran masyarakat akan ancaman keberadaan dan kelestarian ekosistem mangrove di antara pengalihan

Page 134: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

118 COLLABORATIVE GOVERNANCE

alih fungsi ekosistem mangrove menjadi pemukiman penduduk, pemanfaatan kayu dari mangrove untuk arang, penambangan ilegal dan liar, dan penebangan pohon mangrove yang ilegal dan liar (Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013). BPDAS Kepulauan Riau masih juga menjadi institusi yang berperan dalam memfasilitasi dan mendampingi program ini. Kedepan hanya program pembibitan dan penanaman mangrove ini yang masih akan bertahan secara optimal. Selama dukungan dari instansi terkait masih diberikan.

C.3. Budidaya Ikan, Udang dan Kepiting Bakau

Program selanjutnya dalam implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan adalah Program Budidaya Ikan, Udang dan Kepiting Bakau. Di Kabupaten Bintan terdapat sekitaran 10.000 orang merupakan nelayan yang sangat tergantung pada hasil perikanan tangkap ataupun budidaya. Potensi perikanan saat ini dimanfaatkan sekitaran 30% pada kisaran 39.938 ton. Menurut kajian Seafdec tahun 2006 potensi perikanan Kabupaten Bintan mencapai 133.112 ton pertahun. Dengan demikian potensi perikanan tangkap di Kabupaten Bintan masih bisa dikembangkan. Demikian juga dengan perikanan budidaya masih bisa dikembangkan untuk berbagai komoditas seperti ikan, kerapu, gonggong dan lain-lain (Laporan Fasilitasi dan Koordinasi dalam Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat dan Stock Karbon di Kabupaten Bintan, 2014).

Program Budidaya Ikan, Udang dan Kepiting Bakau ini juga seiring dengan Kebijakan Strategis Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2014 yaitu dalam kegiatan pokok Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Kawasan Mangrove dengan kegiatan Pengembangan Perikanan Laut (Silvofishery dan Minapolitan) bagi Masyarakat setempat. Kegiatan ini merupakan strategi dalam mengembangkan model-model pengelolaan ekosistem mangrove. Kegiatan ini memiliki indikator meningkatnya budidaya perikanan laut pada masyarakat setempat.

Page 135: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

119Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

Dalam implementasi program ini dalam skema HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, pengelola HKm mendapatkan fasilitasi berupa pelatihan Silvofishery Masyarakat HKm yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia lewat BPDAS Kepulauan Riau dan International Tropical Timber Organization (ITTO) pada 11-12 Juni 2014 di Aula Kantor Desa Busung Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Dalam pelatihan ini, pengelola HKm diberi materi yaitu Manajemen Usaha Perikanan, Materi Budidaya Ikan di Kawasan Perairan Ekosistem Mangrove dengan Sistem Keramba Jaring Apung (KJA) dan Materi Pengelolaan Kesehatan Ikan (Laporan Pelaksanaan Pelatihan Silvofishery Masyarakat HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan, 2014).

Dalam materi Manajemen Usaha Perikanan capaian yang diharapkan adalah KTH dapat melakukan perhitungan keuangan untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan usaha. Manfaat materi ini adalah:a. Mampu merencanakan kegiatan operasional dalam usaha

mencapai laba tertentu, jadi dapat digunakan sebagai perencanaan laba atau profit planning,

b. Mampu mengendalikan kegiatan yang sedang berjalan yaitu untuk alat pencocokan antara realitas dengan angka-angka dalam perhitungan break even point sebagai alat pengendali,

c. Mampu mengetahui seberapa jauh berkurangnya penjualan, d. Mampu menentukan pertimbangan dalam menentukan harga

jual, e. Mampu mengetahui efek perubahan harga jual, biaya dan

volume penjualan terhadap keuntungan (Laporan Pelaksanaan Pelatihan Silvofishery Masyarakat HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan, 2014).

Materi Budidaya Ikan di Kawasan Perairan Ekosistem Mangrove dengan Sistem Keramba Jaring Apung (KJA) diberikan materi terkait dengan pengetahuan konsentrasi budidaya perikanan yang dipengaruhi

Page 136: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

120 COLLABORATIVE GOVERNANCE

oleh penempatan lokasi budidaya, dan persyaratan kualitas air. Dalam pelatihan ini pengelola HKm diberikan pemahaman bahwa parameter kualitas air budidaya sangat menentukan keberhasilan suatu budidaya perikanan. Kualitas air dapat memberikan pengaruh positif dan negatif dari kegiatan budidaya ikan, dikatakan positif apabila masih dalam kisaran nilai kandungan yang masih dapat diterima oleh tubuh ikan, bilamana dikatakan negatif apabila kualitas air tersebut diluar kisaran ambang batas dari dapat diterima oleh ikan (Laporan Pelaksanaan Pelatihan Silvofishery Masyarakat HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan, 2014).

Selanjutnya dalam Materi Pengelolaan Kesehatan Ikan, pengelola HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang diberikan pemahaman bahwa kesehatan ikan merupakan hal mutlak yang harus dijalankan dalam semua usaha budidaya perikanan. Hal yang menyangkut teknis dari berapa jumlah produksi dari kegiatan perikanan karena apabila ikan yang dibudidayakan terserang penyakit hal ini akan memberikan dampak buruk bagi nelayan budidaya. Hubungan dengan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove melalui penerapan konsep silvofishery dapat meningkatkan produktivitas budidaya perikanan karena adanya dekomposisi serasah pohon mangrove oleh mikroba (bakteri, jamur, fungi) menjadi sumber nutrient bagi organisme peliharaan baik secara tidak langsung maupun secara langsung dan tidak langsung (Laporan Pelaksanaan Pelatihan Silvofishery Masyarakat HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan, 2014).

Berdasarkan hasil wawancara yang dirangkum dalam Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013 menyatakan bahwa Desa Busung memiliki potensi perikanan budidaya di wilayah ekosistem mangrove yang lebih baik dibanding desa lainnya. Hal ini disebabkan KTH Ketapang Putih yang berada di desa tersebut cukup aktif dalam pengembangan perikanan budidaya, khususnya budidaya ikan kerapu. KTH Ketapang Putih ini juga sering diundang untuk mengikuti pelatihan budidaya ikan, baik ikan laut dan ikan tawar yang dilakukan instansi pemerintah selain pelatihan yang telah dijelaskan

Page 137: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

121Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

di atas. Selain pelatihan di tingkat daerah juga pelatihan di tingkat nasional yang diselenggarakan di Jawa. Hal ini yang mendorong masyarakat untuk mengembangkan potensi perikanan budidaya khususnya yang berada di wilayah perairan di sekitar ekosistem mangrove karena telah mengetahui dan memahami manfaat dan fungsi mangrove sebagai sumber pendapatan yang diperoleh dari budidaya ikan di wilayah sekitar ekosistem mangrove (Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, 2013).

Perikanan budidaya di sekitar wilayah ekosistem mangrove dilakukan dengan cara pembuatan keramba. Keramba yang dibuat oleh masyarakat masih berbentuk kotak persegi panjang yang berisi 4 lubang dengan bahan-bahan seperti kayu dan jaring yang diperoleh dengan cara membeli. Ukuran keramba bervariasi namun biasanya berukuran 2,5m x 4m. Menurut masyarakat di Desa Busung, budidaya ikan atau udang membutuhkan modal cukup besar. Modal terbesar digunakan untuk membeli bibit ikan. Bibit ikan berkualitas tinggi mempunyai harga yang jauh lebih mahal dibanding dengan berkualitas rendah. Kualitas bibit ini akan berpengaruh terhadap hasil panen karena terkait dengan kualitas hidup dari setiap bibit yang dikembangkanbiakan. selain itu pakan bagi ikan juga memegang peranan penting dalam budidaya perikanan. Pakan yang dikonsumsi ikan juga harus berkualitas baik karena berpengaruh terhadap kesehatan ikan dan volume hasil panennya. Masyarakat berharap mendapatkan bantuan dan modal dari pembinaan dari pemerintah daerah untuk pengembangan budidaya ini (Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, 2013).

C.4. Pengelolaan Hasil Mangrove

Program selanjutnya dari implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang adalah Pengelolaan Hasil Mangrove. Program ini senada juga dengan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2014 dalam

Page 138: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

122 COLLABORATIVE GOVERNANCE

kegiatan pokok Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Kawasan Mangrove dengan kegiatan Pengembangan Pangan Alternatif Berbahan Baku Mangrove. Indikator keberhasilan program ini yaitu tersedianya teknik pengembangan pangan alternatif berbahan baku mangrove (Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2014).

Berdasarkan Laporan Kajian Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013, sebagian masyarakat di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang juga telah memanfaatkan buah mangrove untuk dijadikan sebagai bahan makanan seperti kue-kue dan roti, serta minuman seperti jus dan sirup. Pembuatan masakan dan minuman ini dilakukan oleh ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok PKK. Menurut mereka, kegiatan pembuatan makanan dan minuman yang berasal dari pohon mangrove ini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat karena dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan menambahkan penghasilan. Namun demikian, produksi makanan dan minuman ini masih terbatas dan belum dilakukan dalam skala besar.

Program Pengelolaan Hasil Mangrove selain untuk pariwisata, budidaya perikanan dan pendidikan lingkungan juga dapat berupa pengelolaan hasil untuk pangan. Berdasarkan data sekunder yaitu dari Kajian Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013 menjelaskan tentang potensi pemanfaatan mangrove untuk pangan. Pada Desa Busung dan Desa Kuala Sempang terdapat mangrove berjenis sama yang mampu dimanfaatkan untuk bahan pangan, yaitu nipah dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan santan, jus, sirup, tepung, dan gula merah. Berembang dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan tepung untuk dodol, sirup dan jus. Perepat sebagai bahan untuk pembuatan sabun, shampoo, dan antiseptik. Boros dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan cat, dodol, warna untuk pakain dan puding. Tumu dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan dodol dan

Page 139: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

123Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

tepung. Desa Busung dan Desa Kuala Sempang melalu Skema HKmnya

telah dapat memanfaatkan buah dan pohon dari ekosistem mangrove lebih banyak dibanding desa lainnya. Kedua desa ini telah beberapa kali mengikuti pelatihan tentang pemanfataan buah pohon mangrove sebagai bahan makanan. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintan. Pelatihan yang diikuti dengan praktik langsung ini dibimbing oleh narasumber dan pembimbing yang kompeten dan berpengalaman yang didatangkan dari luar daerah seperti Surabaya Jawa Timur. Menurut pengakuan masyarakat Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, meraka telah merasakan manfaat yang besar dari adanya pelatihan tersebut. Selain mendapatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman, masyarakat juga mampu mandiri dengan cara menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama pelatihan dan pendampingan. Hal ini menjadi modal utama bagi masyarakat untuk tetap terus meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam pengembangan buah pohon mangrove untuk dijadikan sebagai bahan makanan dan minuman (Kajian Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau, 2013).

D. Hambatan Implementasi dan Strategi Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Dalam Rangka Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

D.1. Hambatan Implementasi Hutan Kemasyarakatan Di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Berdasarkan wawancara, observasi dan beberapa data dokumen yang menjadi rujukan dalam penelitian. Maka diperoleh beberapa

Page 140: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

124 COLLABORATIVE GOVERNANCE

hambatan dalam pengelolaan dan pengembangan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabupaten Bintan yaitu sebagai berikut. 1. Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran tentang HKm Masih

Rendah. Salah satu prinsip dasar dalam pengelolaan mangrove

berbasis masyarakat dalam skema HKm adalah masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pengelolaan mulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan, pemantauan pelaksanaan, hingga evaluasi terhadap hasil-hasil yang dicapai. Tingkat partisipasi terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat terkait dengan ekosistem mangrove dan HKm itu sendiri. Meskipun pengetahuan dan kesadaran ini masyarakat tentang ekosistem mangrove dan HKm berbeda-beda, namun pada prinsipnya relatif masih rendah. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran ini dikarenakan kurangnya informasi dan sosialisasi tentang pentingnya pengelolaan mangrove dengan skema HKm, baik untuk kelestarian lingkungan maupun untuk masyarakat itu sendiri. Pembinaan dan pendampingan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh instansi pemerintah daerah juga masih rendah sehingga mengakibatkan masyarakat belum mendapatkan cukup informasi yang utuh tentang pentingnya pengelolaan mangrove dengan skema HKm bagi masyarakat dan lingkungannya. Hal ini juga mendorong masyarakat menjadi kurang peduli tentang HKm sebagai salah satu alternatif pola pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dan juga masih kurang dipahami oleh masyarakat, khususnya mengenai aturan dan cara pengelolaan hutan mangrove dengan skema HKm ini.

2. Ancaman Kerusakan Ekosistem Mangrove yang Tinggi Berdasarkan Laporan Kondisi Sosial Ekonomi Pengelolaan

Ekosistem Mangrove Berbasis Msasyarakat di Kabupaten

Page 141: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

125Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013, kondisi ekosistem mangrove di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang secara umum mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain konversi menjadi pemukiman, konversi menjadi tambak, konversi menjadi pertambangan baik legal dan ilegal, penebangan pohon mangrove yang ilegal serta masih adanya pemanfaatan kayu mangrove sebagai bahan baku pembuatan arang yang dilakukan secara tidak lestari. Kondisi tersebut yang menyebabkan tingkat kerusakan mangrove semakin lama semakin besar sehingga dampak ditimbulkan dari kerusakan tersebut juga signifikan. Hal tersebut yang menyebabkan program HKm yang terkait pembibitan dan penanaman mangrove, pemanfaatan hasil mangrove akan mendapatkan tantangan dan kesulitan dalam keberlanjutannya.

3. Kebijakan dari Pemerintah Daerah Belum Ada Dalam pembahasan terkait dengan Kebijakan HKm di

Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau yang sudah dijelaskan sebelumnya, tampak bahwa pada tataran pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten belum menyediakan kebijakan yang kuat terhadap pengelolaan HKm di Kabupaten Bintan. HKm di Kabupaten Bintan Hanya diperkuat dengan SK Menteri Kehutanan Republik Indonesia SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan yang menetapkan Desa Busung dan Desa Kuala Sempang sebagai areal kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan. Hubungan HKm dan Pengeloaan Ekosistem Mangrove ini hanya diperkuat secara tidak langsung dengan Peraturan Daerah No.2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031.

Selain itu kelembagaan pengelola HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang hanya diperkuat dengan Keputusan Kepala Desa No.11/DBS/2012. Program-program pengembangan HKm hanya didukung dalam bentuk Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan

Page 142: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

126 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Tahun 2014. Sementara amanat undang-undang sampai kepada peraturan pemerintah harus dilaksanakan oleh pengelola HKm dan stakeholders terkait dalam menyelenggarakan HKm. Kebijakan ini penting sebagai acuan pengelolaan dan pengembangan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm. Jika tidak ada kebijakan di tingkat daerah yang lebih memperkuat maka pengelolaan mangrove dan kelembagaan HKm serta program-programnya tidak memiliki jaminan akan bertahan untuk waktu yang panjang. Hal ini akan berkaitan dengan political will pemerintah daerah dan instansi terkait dalam melakukan pengembangan HKm di Kabupaten Bintan.

4. Koordinasi dan Sinergi di antara Instansi Pemerintah Daerah Belum Optimal

Berdasarkan Laporan Kondisi Sosial Politik Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013 dan juga hasil wawancara baik di BPDAS Kepulauan Riau dan KTH Pengelola HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, terungkap bahwa belum ada sistem koordinasi yang terintegrasi dengan baik di antara instansi pemerintah daerah yang menangani pengelolaan HKm. Kurangnya koordinasi ini disebabkan belum adanya pemahaman yang utuh dan disepakati bersama tentang pentingnya HKm dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Selain itu instansi memiliki program yang berbeda-beda dan belum disinergikan. Hal ini menyebabkan program HKm yang dilakukan masih sebatas sektoral dan belum terintegrasi dengan baik. Tumpang tindih fungsi kawasan juga menjadikan sistem koordinasi dan pengawasan dari pemerintah menjadi kurang optimal. Adanya ketidakpastian tenurial yang terjadi di lapangan antara masyarakat dengan pemerintah daerah menjadi salah satu kurang adanya koordinasi di antara instansi terkait. Hal ini juga berkaitan dengan belum tersedianya kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan HKm di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

Page 143: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

127Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

5. Sistem Informasi yang Belum Tersedia Sistem informasi tentang kondisi HKm serta program-

programnya di Kabupaten Bintan sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan promosi program HKm yang sudah dibangun oleh Pengelola HKm seperti Ekowisata tidak dikenal masyarakat luas karena terbatasnya sistem informasi. Demikian juga dengan program pemanfaatan hasil mangrove yang membutuhkan media penjualan dan penyebaran informasi ke publik, akhirnya tidak dapat dipromosikan dengan baik kepada publik terhasil hasil pemanfaatan mangrove yang kemudian diolah menjadi pangan untuk dijual.

6. Pengembangan Usaha Belum Optimal Penyelenggaraan HKm dengan pengelolaan ekosistem

mangrove seyogyanya mendatangkan banyak manfaat. Melalui program HKm dengan pengelolaan mangrove masyarakat dapat mengembangkan usaha menjadi usaha bahan makanan dan minuman, perikanan budidaya, pariwisata dan pendidikan lingkungan. Namun berdasarkan hasil observasi dan Laporan beberapa data dokumentasi pengembangan usaha yang dilakukan oleh masyarakat belum optimal. Hal ini disebabkan pemahaman masyarakat terkait program HKm dengan pengelolaan ekosistem mangrove masih terbatas. Sosialisasi dan pembinaan dari pemerintah daerah juga masih terbatas dan belum sinergi di antara instansi pemerintah daerah yang berkaitan pengelolaan mangrove dengan skema HKm. Promosi terhadap segala bentuk program HKm dengan pengelolaan mangrove masih belum optimal. Bagi masyarakat yang telah mengembangkan produk yang berasal dari buah mangrove juga masih terbatas keterampilan dan kapasitasnya untuk mengembangkan lebih lanjut. Dukungan dari semua pihak dirasakan masih kurang dalam pengembangan ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Pola kemitraan antara masyarakat dengan para pihak seperti swasta juga belum berjalan dengan optimal.

Page 144: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

128 COLLABORATIVE GOVERNANCE

7. Pembentukan Kelompok Tani Belum Kuat Di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang telah terbentuk

KTH Ketapang Putih dan Medang Kenanga sebagai pengelola HKm di Kabupaten Bintan. Kelompok ini biasanya dibentuk ketika di masyarakat akan ada rencana program atau bantuan dari pihak luar baik swasta maupun pihak pemerintah. Pembentukan kelompok yang tidak didasari oleh kebutuhan dan komitmen yang kuat, akan cenderung tidak berjalan dengan optimal, baik dari aspek manajerial dan kinerjanya. Pembentukan kelompok yang hanya didasari oleh adanya kepentingan adanya bantuan atau proyek dan tidak ada penguatan kelompok maka kelompok tersebut cenderung rapuh dan tidak kuat ikatannya diantara anggota kelompok. Kelompok yang lemah ini akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam mengembangkan program HKm yang djalankan serta berpengaruh terhadap pengembangan kelompok itu sendiri.

8. Program Pemberdayaan Masyarakat Masih Kurang Pembinaan dan bimbingan yang merupakan bagian dari

program pemberdayaan kepada masyarakat terkait dengan penyelenggaraan HKm dengan Pengelolaan Ekosistem Mangrove masih belum optimal. Hal ini menyebabkan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan potensi dan peluang dari pengembangan HKm dengan program pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat masih rendah. Program pemberdayaan masyarakat masih dilakukan sektoral dan belum terintegrasi di antara instansi di pemerintah daerah. Kurangnya koordinasi dan sinergi antar instansi pemerintah ini mengakibatkan program pemberdayaan masyarakat dalam HKm untuk pengelolaan ekosistem berbasis masyarakat menjadi kurang optimal.

Page 145: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

129Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

D.2. Strategi Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Dalam Rangka Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Berdasarkan berbagai macam hambatan yang telah diidentifikasi dan dianalisis di atas, maka dari beberapa data sekunder, dapat dirangkum strategi pengembangan HKm dalam rangka pengelolaan ekosistem berbasis masyarakat di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau adalah sebagai berikut.1. Peningkatan Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran Tentang

Ekosistem Mangrove Adapun strategi pengembangan yang dilakukan untuk

meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan ekosistem mangrove dengan skema HKm dapat dilakukan melalui program yaitu:1. Peningkatan program pelatihan yang secara rutin dilakukan,

baik kepada masyarakat maupun kepada pegawai instansi pemerintah daerah terkait dengan HKm dengan program pengelolaan ekosistem mangrove khususnya pengetahuan pengelolaan HKm pengelolaan mangrove berbasis masyarakat yang berkelanjutan,

2. Peningkatan taraf hidup atau pendapatan masyarakat melalui penciptaan mata pencaharian alternatif,

3. Peningkatan program pembinaan dan bimbingan dari pemerintah daerah kepada masyarakat terkait HKm dengan segala program terkait pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat,

4. Peningkatan kerjasama dengan para pihak (pemerintah daerah, swasta. LSM, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Penelitian) untuk menambah wawasan dan pengalaman tentang HKm dengan berbagai programnya terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat,

Page 146: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

130 COLLABORATIVE GOVERNANCE

2. Perbaikan dan Pemulihan Ekosistem Mangrove Penyelenggaraan HKm di Kabupaten Bintan tidak terlepas

dari pengelolaan mangrove maka salah satu strategi penguatan penyelengaraan HKm di Kabupaten Bintan adalah perbaikan dan pemulihan ekosistem mangrove dengan strategi pengembangan sebagai berikut. 1. Pengembangan program rehabilitasi mangrove, 2. Pengembangan pola pemanfaatan ekosistem mangrove

berbasis masyarakat dengan skema HKm yang ramah lingkungan,

3. Penyusunan buku panduan rehabilitasi ekosistem mangrove, 4. Peningkatan program pelatihan mengenai pengelolaan dan

rehabilitasi ekosistem mangrove, 5. Pengembangan mata pencaharian alternatif atau taraf

hidup masyarakat khususnya yang melakukan kegiatan yang merusak ekosistem,

6. Penyusunan peraturan daerah atau kebijakan tentang pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove dengan skema HKm secara lestari.

3. Penyusunan dan Penerapan Kebijakan dan Peraturan dari Pemerintah Daerah

Strategi pengembangan untuk membuat peraturan dan kebijakan pemerintah daerah tentang HKm dengan segala programnya terkait pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dapat dilakukan melalui beberapa program yaitu:1. Menyusun kebijakan dan peraturan tentang pengelolaan

ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm dengan melibatkan masyarakat dalam penyusunannya,

2. Menerapkan kebijakan dan peraturan tentang pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm,

3. Melakukan sosialisasi kepada para pihak (masyarakat, instansi pemerintah, swasta, LSM, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga lainnya yang relevan) terhadap

Page 147: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

131Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

penerapan kebijakan dan peraturan tentang pengelolaan mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm,

4. Melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif terhadap kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm.

4. Peningkatan Koordinasi dan Sinergi antara Instansi Pemerintah di Daerah

Strategi pengembangan berkaitan dengan koordinasi dan sinergi di antara instansi pemerintah daerah tentang pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm dapat dilakukan melalui beberapa program yaitu:1. Melakukan koordinasi secara reguler di antara instansi

pemerintah daerah yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm,

2. Melakukan sinergitas terhadap program pemberdayaan masyarakat yang telah disusun oleh instansi pemerintah daerah yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm,

3. Menjalankan penegakan hukum bagi perusak ekosistem mangrove yang melanggar aturan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

4. Membuat jejaring komunikasi yang efektif dan efisien untuk memudahkan koordinadi di antara instansi pemerintah daerah.

5. Tersedianya Sistem Informasi yang Lengkap dan Valid Strategi pengembangan yang berkaitan dengan sistem

informasi tentang pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm dapat dilakukan melalui beberapa program yaitu:1. Pengembangan sistem informasi yang akurat dan up to date

tentang pengelolaan ekosistem mangrove dengan skema HKm di tingkat Kabupaten,

Page 148: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

132 COLLABORATIVE GOVERNANCE

2. Pembuatan data base yang lengkap dan valid, dapat dipertanggungjawabkan serta up to date tentang kondisi ekosistem mangrove dengan segala programnya di tingkat Kabupaten,

3. Pembuatan website yang terbuka dan lengkap tentang pengelolaan mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm dengan segala programnya di tingkat Kabupaten,

4. Sosialisasi kepada para pihak (masyarakat, pemerintah, LSM, swasta, perguruan tinggi dan pihak-pihak yang relevan) tentang penerapan sistem informasi yang telah disusun dan diterapkan.

6. Peningkatan Pengembangan Usaha S trateg i pembangunan yang berka i tan dengan

pengembangan usaha dari pengelolaan ekosistem berbasis masyarakat dengan skema HKm dapat dilakukan melalui beberapa program yaitu:1. Peningatan program pelatihan dan pendampingan tentang

pengelolaan dan pengembangan HKm, 2. Peningkatan program pelatihan tentang kewirausahaan bagi

masyarakat terkait dengan pengelolaan dan pengembangan HKm,

3. Peningkatan program kerjasama atau kemitraan antara masyarakat dengan para pihak (pemerintah dan swasta) dalam rangka pengelolaan dan pengembangan HKm,

4. Peningkatan pelatihan teknis pembuatan bahan makanan dan minuman yang berasal dari mangrove,

5. Peningkatan pelatihan teknis tentang perikanan budidaya di sekitar wilayah HKm,

6. Peningkatan pelat ihan teknis penyusunan dan pengembangan pariwisata dalam program pengelolaan HKm,

7. Peningkatan pelatihan teknis tentang pendidikan lingkungan mangrove,

Page 149: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

133Perubahan Kebijakan, Implementasi, Hambatan Serta Strategi Pengembangan HKm di Kabupaten Bintan

8. Peningkatan promosi kepada para pihak, baik dalam negeri dan juga luar negeri berkaitan dengan HKm dengan segala program pengelolaan dan pengembangan ekosistem berbasis masyarakat dengan skema HKm melalui berbagai media,

9. Peningkatan dukungan dari pihak (pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga lainnya yang relevan) dalam rangka pengelolaan dan pengembangan Hkm.

7. Penguatan Kelompok Strategi pengembangan yang berkaitan dengan penguatan

Kelompok Tani yang mengelola HKm, dapat dilakukan dengan program sebagai berikut. 1. Peningkatan program pelatihan tentang pengorganisasian

dan manajerial HKm, 2. Peningkatan program pelatihan tentang pengelolaan dan

pengembangan Hkm dengan seluruh programnya, 3. Peningkatan program studi banding, 4. Peningkatan program kerjasama dengan para pihak

(pemerintah, swasta, perguruang tinggi, dan lembaga-lembaga lainnya yang relevan),

5. Peningkatan program pemberdayaan kelompok dari para pihak.

8. Peningkatan Program Pemberdayaan Masyarakat Strategi pengembangan yang berkaitan dengan peningkatan

program pemberdayaan masyarakat yang mengelola HKm, dapat dilakukan dengan program yaitu, 1. Peningkatan program pelatihan tentang pengelolaan dan

pengembangan HKm, 2. Peningkatan program pelatihan dan bantuan teknis, 3. Peningkatan program kerjasama dengan para pihak

(pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan lembaga lainnnya yang relevan).

Page 150: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan
Page 151: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

135

BAB VIIKERJA SAMA DAN ANALISIS STAKEHOLDERS DALAM IMPLEMENTASI HUTAN KEMASYARATAN DI KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

A. Hasil Uji SNA

Implementasi HKm di Kabupaten Bintan Provisi Kepulauan Riau, merupakan sebuah program yang dibangun dalam rangka melakukan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Harapannya adalah mampu meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka keterlibatan banyak stakeholders yang terkait sangat diharapkan. Keberlangsungan HKm tidak akan berjalan dengan hanya berpatokan pada institusi yang mengurusi bidang kehutanan sahaja. Oleh karena itu, dalam

Page 152: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

136 COLLABORATIVE GOVERNANCE

penyelenggaraan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau ini terdapat beberapa stakeholders yang telah diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

Tabel 7.1 Stakeholders yang Potensial diidentifikasi Dalam Kaitannnya dengan Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

No Tingkat Kelembagaan

Stakeholders

1 Internasional Internasional Tropical Timber Organization

2 Nasional Kementerian Kehutanan

3 Provinsi 1. Guberbur/Wakil Gubernur 2. DPRD Provinsi Kepulauan Riau 3. Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau 4. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kepulauan Riau

4 Daerah 1. Bupati Kabupaten Bintan 2. DPRD Kabupaten Bintan 3. Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan 4. Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan

5 Kecamatan 1. Pemerintah Kecamatan Seri Kuala Lobam

6 Desa 1. Kepala Desa Busung dan Desa Kuala Sempang 2. Badan Permusyawaratan Desa Busung dan Desa Kuala Sem-

pang 3. Kelompok Tani Hutan Medang Kenanga dan Kelompok Tani

Hutan Ketapang Putih Sumber: Data Olahan, 2017

Berdasarkan data olahan di atas dan merujuk pada hasil

penelitian yang telah terangkum dalam Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2013 menjelaskan bahwa stakeholders yang berhubungan dengan pengelolaan ekosistem mangrove dengan skema HKm dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu stakeholders primer langsung yaitu stakeholders yang menerima manfaat langsung, stakeholders tak langsung yaitu stakeholders yang menerima manfaat secara tidak langsung, stakeholders sekunder yaitu stakeholders yang tidak termasuk ke dalam kelompok stakeholders

Page 153: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

137Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

langsung dan stakeholders tidak langsung. Berikut adalah pemetaan masing-masing stakeholders dengan kepentingan utama dan persepsi kelembagaan terhadap HKm.

Tabel 7.2 Stakeholders dan Kepentingan Utama dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang

Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

No Stakeholders Kepentingan Utama Persepsi Ter-hadap HKm

Stakeholders Primer Langsung

1 Pemerintah Desa 1. Lapangan Kerja 2. Pengentasan kemiskinan melalui

berbagai pengembangan mata pencaharian alternatif

3. Memperoleh pendapatan untuk kas desa

4. Pembangunan berbagai fasilitas

Mendukung

2 BPD 1. Lapangan Kerja 2. Pengentasan Kemiskinan

Mendukung

3 Kelompok Tani Hutan 1. Manfaat sosial dan ekonomi 2. Sumber penghidupan (sosial, ekono-

mi dan kebutuhan pokok)3. Produktivitas dan kreativitas

Mendukung

Stakeholders Primer Tak Langsung

1 1. Bupati 2. DPRD

Pengelolaan wilayah administrasi keber-hasilan memberi dukungan kepemimpi-nan dan dukungan politik

Mendukung

2 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hutan Lindung Kepu-lauan Riau

Pembangunan wilayah dan pember-dayaan masyarakat

Mendukung

3 OPD Kabupaten Bintan Pengelolaan mangrove pada sektornya masing-masing

Mendukung

Sekunder

1 Kementerian Kehutanan Republik Indonesia

Kesinambungan pembangunan kehu-tanan dan stabilitas nasional

Mendukung

2 International Tropical Timber Organization (ITTO)

1. Kontrol Sosial 2. Kerjasama Program

Mendukung

Sumber: Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2013 dan data olahan, 2017

Page 154: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

138 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Untuk melihat hubungan masing-masing stakeholders dan stakeholders yang berperan dalam implementasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau digunakan social network analysis yang diolah dari data primer pada penelitian ini, maka stakeholders dan pengaruhnya dalam HKm di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau dapat digambarkan pada gambar berikut.

Gambar 7.1 Pemetaan Pengaruh Stakeholders dengan Menggunakan Social Network Analysis dalam Implementasi Hutan Kemasyarakatan di

Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Berdasarkan gambar di atas, dijelaskan bahwa International Timber Tropical Organization (ITTO) sebagai lembaga yang paling berpengaruh dalam implementasi HKm di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian diikuti oleh instansi pemerintah daerah dan instansi lainnya seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kepulauan Riau, Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau, Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan, Pemerintah Desa Sebung dan Desa Kuala Sempang,

Page 155: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

139Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

serta Kelompok Tani Hutan Ketapang Putih dan Kelompok Tani Hutan Medang Kenanga.

Pemetaan stakeholders dengan social network analysis di atas, kemudian dapat juga menjadi dasar pemetaan stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm. Pemetaan ini juga pernah dilakukan dan dijelaskan dalam Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Tahun 2013. Namun dalam konteks ini pemetaan tersebut disesuaikan dengan hasil pemetaan yang diperoleh dari social network analisys, maka dapat diperoleh data sebagai berikut.

Tabel 7.3 Peta Stakeholders Berdasarkan Kepentingan dan Pengaruhnya terhadap Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat

Dengan Skema Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

No Stakeholders

Pemetaan Stakeholders

Kepent-ingan Tinggi

Pengaruh Rendah

Kepent-ingan Tinggi

Pengaruh Tinggi

Kepent-ingan

Rendah Pengaruh Rendah

Kepent-ingan

Rendah Pengaruh

Tinggi

1 International Timber Tropical Organization (ITTO)

2 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kepulauan Riau

3 Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau

4 Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan

5 Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan

6 Pemerintah Desa Busung √

7 Pemerintah Desa Kuala Sempang

Page 156: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

140 COLLABORATIVE GOVERNANCE

8 Kelompok Tani Hutan Ketapang Putih

9 Kelompok Tani Hutan Medang Kenanga

Sumber: Data Olahan, 2017

Berdasarkan tabel dan hasil pemetaan dari social network analysis tampak bahwa dalam institusi atau lembaga yang paling berpengaruh dalam penyelenggaraan HKm di Kabupaten Bintan merupakan sebuah organisasi yang secara kepentingan rendah. Namun pengaruh institusi atau lembaga ini sangat tinggi dalam implementasi HKm baik di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang yaitu International Tropical Timber Organization (ITTO). Selain itu berdasarkan hasil penelitian di lapangan tampak tidak semua institusi atau lembaga pemerintah daerah yang konsen dan tanggap akan implementasi HKm ini.

ITTO menjadi lembaga yang paling dipercaya masyarakat di sekitar wilayah HKM dikarenakan Proyek ITTO di Kabupaten Bintan bertujuan untuk mempromosikan aktivitas Hutan Kemasyarakatan yang berbasis manajemen ekosistem mangrove. Tujuan khusus dari adanya proyek ITTO di Bintan adalah untuk mendukung pengurangan kerusakan dan mengawasi ekosistem mangrove. Wilayah Shoreline dan eksosistem mangrove di Bintan merupakan subyek ekspolitasi sumber daya alam dan lingkungan. selain itu proyek ITTO di Bintan untuk mengurangi polusi dimana proyek tersebut berhubungan dekat dengan the REDD program (Reduced Emissions from Deforestation and forest Degradation). Harapan dari lembaga ITTO dengan adanya proyek HKM di Bintan tersebut dapat menyediakan suatu peningkatan kapasitas masyarakat didalam manajemen kehutanan sehingga masyarakat memiliki keahlian untuk melestarikan hutan dan membantu proyek REDD. Output yang diharapkan dari proyek ITTO ini adalah: 1. Strategi pengelolaan dan draft kebijakan ekosistem mangrove

di Kabupaten Bintan; dan

Page 157: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

141Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

2. Peningkatan kapasitas pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat (Hutan Kemasyarakat / HKm) di Kabupaten Bintan. Diharapkan setelah proyek selesai, Kabupaten Bintan memiliki strategi pengelolaan hutan dapat dilembagakan dan diadopsi ke berbagai tingkatan program dalam rangka memperbaiki ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan melalui partisipasi masyarakat sehingga dapat mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Pelaksanaan proyek ITTO di Bintan melalui tahapan pertama yaitu proses rapat koordinasi antar kelompok-kelompok kepentingan yang ikut dalam pengelolaan hutan di Bintan, tahapan kedua melalui proses review terhadap peraturan yang terkait penhgelolaan hutan di Indonesia, tahap ketiga dengan melaksanakan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan mangrove, dan memberikan fasilitas edukasi kepada masyarakat tentang pengetahuan dan teknologi pengelolaan hutan serta bagaimana pengolahan hasil hutan secara menyeluruh. Proyek ITTO di Bintan menelan anggaran US$ 504,317.

Proyek ITTO di Bintan memiliki program peningkatan kapasitas hutan kemasyarakatan melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan hutan berbasis kemasyarakatan (CBFM) keberhasilan program ITTO di Bintan ini dapat dinilai melalui indikator pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Salah satu poin penting dari program ITTO yaitu Masyarakat Bintan yang bergantung pada hutan kemasyarakatan harus memiliki akses terhadap pengetahuan dan keterampilan sehingga masyarakat dapat menerapakan CBFM di Bintan. Program ITTO di Bintan penting karena memberikan manfaat finansial dan mata pencaharian bagi masyarakat yang bergantung pada hutan kemasyarakatan dan dalam jangka panjang mereka dapat mengelola ekosistem hutan berkelanjutan.

Strategi implementasi dari program ITTO di Bintan meliputi Pembuatan formulasi dan draft kebijakan dan manajemen startegi pengelolaan ekosistem mangrove berbasis kemasyarakatan di

Page 158: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

142 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Kabupaten Bintan yaitu 1. menyediakan data dasar ekosistem mangrove di Bintan termasuk

pengambilan data dan memproses potensi mangrove, potensi karbon dan potensi emisi karbon dari mangrove

2. mengambil data menganalisanya menjadi informasi yang bisa dimanfaatkan menjadi sumber informasi sosial ekonomi kemasyarakatan

3. memfasilitasi dan mengkoordinasikan pembuatan hutan kemasyarakatan dengan mendesain manajemen kebijakan ekosistem mangrove yang melibatkan stakeholder terkait di Kabupaten Bintan

4. Mengatur konsultasi dan dialog antar stakeholder serta mengatur diskusi participatory dengan masyarakat, sektor swasta dan stakeholder lainnya yang relevan (pemerintah daerah, LSM, dan lain-lain.) terkait kepedulian dan pentingnya keuntungan dari manajemen ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan.

5. Melaksanakan diskusi yang intensive dengan kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah hutan kemasyarakatan di Kabupaten Bintan.

6. Melaksanakan diskusi yang intensive dengan stakeholder yang berhubungan dengan hutan kemasyarakatan terkait formulasi dari draf kebijakan dan startegi pengelolaan ekosistem mangrove berbasis kemasyarakatan di Kabupaten Bintan, dan memfasilitasi legalitas peraturan-peraturan yang bisa meningkatkan kapasitas pengelolaan ekosistem mangrove berbasis kemasyarakatan (Community Forestry)

7. M e m p e r s i a p k a n b a h a n - b a h a n d i s e m i n a s i u n t u k mengimplementasikan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove berbasis kemasyarakatan (Community Forestry.)

8. Melakukan pelatihan untuk masyarakat 9. Menyediakan infrastruktur untuk memajukan pariwisata

mangrove (Mangrove Information centre, tempat pembibitan mangrove, kapal motor)

Page 159: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

143Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

Tabel 7.4 Realisasi Proyek ITTO di HKM Kabupaten Bintan

DeskripsiOutput/Aktivitas

Realisasi Remarks

Output 1Draft kebijakan dan Strategi pengelolaan ekosistem mangrove berbasis kema-syarakatan (Community Forestry.) di Kabupaten Bintan, formulasi di tingkat kecamatan

Aktivitas 1.1 Menyediakan data dasar ekosistem mangrove di IKabupaten Bintan melalui pengumpulan data danpengolahan potensi mangrove, potensi emisi karbon dari mangrove..

100%

Inventarisasi hambatan pengembangan mangrove , mengukur tingkat potensi mangrovedan potensi karbon di mangrove

100%

Menghimpun masyarakat dan mendis-kusikan serta 100%menganalisis data

100%

Aktivitas 1.1 bmengumpulkan data tentang sosial- eko-nomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan

Aktivitas 1.2Meninjau dan mengevaluasi peraturan yang terkaitkebijakan pengelolaan ekosistem man-grove berbasis kemasyarakatan (Com-munityForestry.) di Kabupaten Bintan

100%

Kumpulkan informasi dan analisis kebi-jakan yang adadan peraturan tentang pengelolaan eko-sistem mangrove berbasis kemasyaraka-tan (CommunityForestry.) di Kabupaten Bintan

100%

Diskusi dan pertemuan 100%

memfasilitasi dan mengkoordinasikan pembuatan hutan kemasyarakatan dengan mendesain manajemen kebijakan ekosistem mangrove yang melibatkan stakeholder terkait di Kabupaten Bintan

100%

Page 160: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

144 COLLABORATIVE GOVERNANCE

DeskripsiOutput/Aktivitas

Realisasi Remarks

Kegiatan 1.4Merumuskan draft Kebijakan dan Strategi untukpengelolaan ekosistem mangrove berbasis kemasyarakatan (Community-Forestry.) di Kabupaten Bintan

100%

output 2Peningkatan Kapasitas masyarakat berbasispengelolaan ekosistem mangrove berbasis kemasyarakatan (Community-Forestry.) di Kabupaten Bintan

100%

Aktivitas 2.1Mempersiapkan bahan-bahan diseminasi untuk mengimplementasikan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan eko-sistem mangrove berbasis kemasyaraka-tan (CommunityForestry.)

100%

Aktivitas 2.2Melaksanakan pemberdayaan masyara-kat dalampengelolaan ekosistem mangrove

100%

sub aktivitas 2.2.1Melakukan bantuan teknis pada pen-gelolaan ekosistem mangrove berbasis kemasyarakatan (CommunityForestry.)

100%

a. Mengembangkan sebuah. model pengelolaan ekosistem mangrove berbasis kemasyarakatan (Commu-nityForestry.) yang ramah lingkungan (Training on Community capacity building)

100%

b. Pelatihan pengelolaan ekosistem mangrove untuk Hasil Hutan Bukan Kayu (Catatan: termasuk pengadaan alat pengolahan NTFS Mangrove)

100%

Page 161: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

145Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

DeskripsiOutput/Aktivitas

Realisasi Remarks

c. Pelatihan pengelolaan ekosistem mangrove untuk Silvofishery dan Pengadaan keramba ikan kerapu

100% Program pengadaan keramba ikan pro-gram ini sekaligus pemberian bibit ikan kerapu tetapi dibatalkan karena bertepatan dengan musim hujan (No-vember), dimana hal tersebut sangatberbahaya bagi kematian benih ikan,maka dengan pertimbangan akan adanya kerugiannya maka ;program ini dibatalkan

d. Pelatihan pengelolaan ekosistem mangrove untuk aktivitas wisata alam (Catatan: termasuk pengadaan fasilitas ekowisata mangrove)

100%

e. Pelatihan untuk masyarakat tentang pengukuran karbon mangrove

100%

f. membuat desain web untuk web-info dan dokumentasi film

100%

sub aktivitas 2.2.2membangun pusat informasi mangrove

a. Membangun Pusat Informasi Man-grove

100%

b. Peresmian Pusat Informasi Mangrove 100% Sudah dilakukan di hari yang samadengan Exit Strategy meeting

sub aktivitas 2.2.3Studi Banding untuk pejabat Pemerintah Daerah & ketua kelompok Masyarakat

100%

sub aktivitas 2.2.4Kegiatan Penyelesaian Proyek

Page 162: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

146 COLLABORATIVE GOVERNANCE

DeskripsiOutput/Aktivitas

Realisasi Remarks

Workshop 100% Tidak dalam format workshop yang spesifiktentang persamaan audiensiSemua pencapaian proyekdisajikan di awal Exit Strategy Meeting

Exit Strategy Meeting 100% Pelaksanaan loka-karya danExit Strategy Meet-ing denganpertimbangan dari semua stakeholder /peserta. fokus pada aktivitas folow-up dari Exit Strategy Meeting

Sumber: ITTO Project RED PD 064/11 Rev. 2 (F)

Pengelolaan hutan kemasyarakatan secara professional lebih terlihat efektif setelah adanya ITTO di Kabupaten Bintan. Kehadiran ITTO. Keberadaan ITTO membuat masyarakat di Bintan dapat menghargai keberadaan hutan mangrove sebagai hutan yang potensial secara ekonomi melalui program ekowisata dan budidaya ikan. Model proyek ITTO di Kabupaten Bintan lebih banyak dalam pemberdayaan masyarakat dan perancangan tata aturan hutan kemasyarakatan HKM. Lembaga ITTO sangat berperan dalam pengembangan dan pelestarian mangrove di Kabupaten Bintan. Dalam mencari solusi terkait HKM, ITTO menggunakan program diskusi dengan mengundang pihak-pihak terkait dan menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah Kabupaten Bintan. Anggaran dana ITTO untuk pembangunan pusat informasi mangrove dan pengadaan perahu serta pelatihan masyarakat lebih terasa bagi pengembangan mangrove. Masyarakat lebih percaya kepada ITTO karena programnya terealisasi dengan baik sehingga masyarakat bisa merasakan outputnya.

Page 163: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

147Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

Gambar 7.2 Strategi International Tropical Timber Organization (ITTO) Dalam Pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan

Proyek HKM Bintan

Membangun dan

Mengembangkan

SDM

Membangun

Infrastruktur

Membangun

potensi

ekowisata dan

perikanan

Mendesain

Kebijakan Hutan

Kemasyarakat

Sumber: diolah dari ITTO Project RED PD 064/11 Rev. 2 (F)

Selanjutnya masing-masing stakeholders juga diidentifikasi perannya dalam kegiatan yang harusnya dilakukan oleh masing-masing stakeholders yang telah didentifikasi dengan social networks analysis di atas. Peran dan kegiatan ini dalam rangka menunjang kegiatan HKm dalam hal Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat yang dirangkum dalam Laporan Fasilitasi dan Koordinasi Dalam Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat dan Stock Karbon di Kabupaten Bintan Tahun 2014 dan dielaborasi dengan stakeholders yang sudah dipetakan sesuai hasil olahan social network analysis yang dijelaskan sebagai berikut.

Page 164: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

148 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Tabel 7.5 Peran Stakeholders Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Bintan dalam Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis

Masyarakat

No Stakeholders Peran

1 Dinas Kehu-tanan Provinsi Kepulauan Riau

1. Penataan kawasan mangrove secara terpadu untuk pe-ningkatan ekonomi masyarakat secara lestari

2. Penyediaan data dan informasi ekosistem mangrove 3. Penataan batasan kawasan mangrove 4. Pengawasan dan pengendalian pemanfataan ekosistem

mangrove 5. Perlindungan ekosistem mangrove pada kawasan pantai 6. Pengembangan ekosistem mangrove untuk REDD++7. Penyusunan rencana teknis rehabilitasi ekosistem mangro-

ve 8. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove 9. Koordinasi optimalisasi pemanfataan tenaga penyuluh

dalam kegiatan sosialisasi dan penyuluhan ekosistem mangrove

10. Sosialisasi dan penyuluhan ekosistem mangrove 11. Pelatihan penyuluhan bagi kader penyuluh bagi kader

penyuluh masyarakat 12. Pengembangan jejaring pelestarian ekosistem mangrove 13. Pengembangan ekowisata mangrove berbasis masyarakat 14. Pengembangan pangan alternatif berbahan baku mangrove 15. Mengembangkan kemitraan dalam pengelolaan ekosistem

mangrove berbasis masyarakat 16. Pengembangan akses permodalan dan pasar 17. Pendampingan kelompok dan lembaga desa dalam penge-

lolaan HKm18. Pelatihan manajemen HKm bagi kelompok tani 19. Pelatihan teknis dan studi banding pengelolanan ekosistem

mangrove bagi aparatur dan penyuluh20. Pelatihan teknis dan studi banding pengelolaan ekosistem

mangrove bagi kelompok dan lembaga desa21. Peningkatan pengawasan pemanfataan ekosistem mang-

rove bersama masyarakat 22. Pelaksanaan penegakan hukum pelanggaran pemanfaatan

ekosistem mangrove

Page 165: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

149Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

No Stakeholders Peran

2 Balai Pengelo-laan Daerah Aliran Sungai Kepulauan Riau

1. Penataan kawasan mangrove secara terpadu untuk pe-ningkatan ekonomi masyarakat secara lestari

2. Penyediaan data dan informasi ekosistem mangrove 3. Perlindungan ekosistem mangrove pada kawasan pantai 4. Pengembangan ekosistem mangrove untuk REDD++5. Penyusunan rencana teknis rehabilitasi ekosistem mangro-

ve 6. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove 7. Koordinasi optimalisasi pemanfataan tenaga penyuluh

dalam kegiatan sosialisasi dan penyuluhan ekosistem mangrove

8. Sosialisasi dan penyuluhan ekosistem mangrove 9. Pelatihan penyuluhan bagi kader penyuluh bagi kader

penyuluh masyarakat 10. Pengembangan jejaring pelestarian ekosistem mangrove 11. Pengembangan ekowisata mangrove berbasis masyarakat 12. Pengembangan pangan alternatif berbahan baku mangrove 13. Mengembangkan kemitraan dalam pengelolaan ekosistem

mangrove berbasis masyarakat 14. Pengembangan akses permodalan dan pasar 15. Pendampingan kelompok dan lembaga desa dalam penge-

lolaan HKm16. Fasilitasi pengembangan HKm 17. Pelatihan manajemen HKm bagi kelompok tani 18. Pelatihan teknis dan studi banding pengelolanan ekosistem

mangrove bagi aparatur dan penyuluh19. Pelatihan teknis dan studi banding pengelolaan ekosistem

mangrove bagi kelompok dan lembaga desa20. Peningkatan pengawasan pemanfataan ekosistem mang-

rove bersama masyarakat 21. Pelaksanaan penegakan hukum pelanggaran pemanfaatan

ekosistem mangrove

Page 166: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

150 COLLABORATIVE GOVERNANCE

No Stakeholders Peran

3 Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan

1. Penyediaan data dan informasi ekosistem mangrove 2. Pengawasan dan pengendalian pemanfaatan mangrove 3. Perlindungan ekosistem mangrove pada kawasan pantai 4. Pelaksanaan rehabilitasi hutan 5. Sosialisasi dan penyuluhan ekosistem mangrove 6. Koordinasi optimalisasi pemanfaatan tenaga penyuluh

dalam kegiatan sosialisasi dan penyuluhan ekosistem mangrove

7. Pelatihan penyuluhan bagi kader penyuluh swadaya ma-syarakat

8. Pengembangan jejaring pelestarian ekosistem mangrove 9. Pengembangan ekowisata mangrove berbasis masyakakat10. Mengembangkan kemitraan dalam pengelolaan ekosistem

mangrove berbasis masyarakat11. Pendampingan kelompok dan lembaga desa dalam penge-

lolaan HKm12. Pelatihan manajemen HKm bagi kelompok tani 13. Pelatihan teknis dan studi banding pengelolanan ekosistem

mangrove bagi aparatur dan penyuluh14. Pelatihan teknis dan studi banding pengelolaan ekosistem

mangrove bagi kelompok dan lembaga desa15. Peningkatan pengawasan pemanfataan ekosistem mang-

rove bersama masyarakat 16. Pelaksanaan penegakan hukum pelanggaran pemanfaatan

ekosistem mangrove

4 Dinas Kope-rasi dan Usaha Mikro dan Kecil Menengah Ka-bupaten Bintan

1. Penyediaan legalitas koperasi atau usaha mikro dan menengah kelompok tani

2. Pengembangan produk pangan alternatif berbahan baku mangrove

3. Mengembangkan kemitraan dalam pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat khususnya pada bidang industri rumah tangga berbahan baku mangrove

4. Pengembangan akses permodalan dan akses pasar 5. Pendampingan kelompok dan lembaga desa dalam penge-

lolaan HKm6. Fasilitasi pengembangan HKm khususnya dalam tataran

orientasi pemberdayaan ekonomi masyarakat7. Pelatihan teknis dan studi banding pengelolaan ekosistem

mangrove bagi kelompok dan lembaga desa

Page 167: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

151Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

No Stakeholders Peran

5 International Tropical Timber Organization (ITTO)

1. Penataan batas kawasan mangrove 2. Pengembangan jejaring pelestarian ekosistem mangrove 3. Pengembangan ekowisata mangrove berbasis masyarakat 4. Pengembangan perikanan laut (silvofishery dan minapoli-

tan) bagi masyarakat setempat5. Pengembangan pangan alternatif berbahan baku mangrove 6. Mengembangkan kemitraan dalam pengelolaan ekosistem

mangrove berbasis masyarakat 7. Pendampingan kelompok dan lembaga desa dalam penge-

lolaan HKm

6 Pemerintah Desa Busung dan Desa Kuala Sempang

1. Memberikan penguatan kebijakan terhadap kelompok tani pengelola HKm

2. Melakukan pengawasan dan monitoring terhadap semua program dan manajerial HKm

3. Memberikan kepastian anggaran desa untuk pengelolaan HKm

7 Kelompok Tani 1. Menyusun program pada areal kerja HKm2. Pengembangan jejaring pelestarian ekosistem mangrove 3. Pengembangan ekowisata mangrove berbasis masyarakat 4. Pengembangan perikanan laut (silvofishery dan minapoli-

tan) bagi masyarakat setempat5. Pengembangan pangan alternatif berbahan baku mangrove 6. Mengembangkan kemitraan dalam pengelolaan ekosistem

mangrove berbasis masyarakat Sumber: Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2013 dan data olahan, 2017

Tabel di atas, menunjukkan bahwa terdapat persinggungan peran yang ditandai dengan adanya peran yang sama di antara masing-masing stakeholders. Keterkaitan peran tersebut mengharusnya terjadinya koordinasi yang baik di antara beberapa stakeholders. Secara konsep collaborative governance hubungan antar aktor harusnya dapat terjadi secara optimal, jika collaborative governance ini dilakukan sesuai dengan kriteria yang dijelaskan oleh Ansell dan Gash (2008) berikut:1. Forum diinisiasi oleh organisasi publik atau lembaga publik, 2. Partisipasi di dalam forum termasuk aktor non negara, 3. Peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan

tidak hanya dikonsultasikan kepada organisasi publik, 4. Forum dibentuk secara formal dan berkumpul secara bersama,

Page 168: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

152 COLLABORATIVE GOVERNANCE

5. Forum sepakat bertujuan untuk membuat keputusan dengan kesepakatan (meski kesepakatan tidak dapat dicapai dalam praktiknya),

6. Fokus kolaborasi adalah pada kebijakan publik dan manajemen publik.

Namun yang terjadi di lapangan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab V terkait dengan hambatan dalam implementasi HKm yaitu terdapatnya kekurangan koordinasi dan sinergitas antara lembaga atau institusi yang terlibat dalam implementasi dan pengelolaan ekosistem mangrove dengan skema HKm. Harapan yang ingin diciptakan dalam hubungan antara stakeholders adalah sebagaimana disampaikan oleh Kepala Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kepulauan Riau sebagai berikut.

“Dalam Hkm ini tidak bisa lembaga BPDAS dan ITTO saja yang menjalankannya, perlu sinergitas semua stakeholders, kumpul bersama, dan mengetahui peran masing-masing lembaga dalam implementasi HKm ini. Namun persoalannya masih ada lembaga pemerintah yang belum memahami apa itu HKm dan apa manfaat HKm tersebut”. (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Meskipun masing-masing lembaga sebagaimana Tabel 7.5 telah terdapat peran masing-masing namun pada tataran implementasi di lapangan masih adanya lembaga yang perannya tidak maksimal dalam implementasi HKm di Kabupaten Bintan ini.

Dalam konsep collaborative governance, kerjasama antar aktor sudah dianggap terjadinya kolaborasi. Karena sebagaimana menurut Ansell dan Gash (2008), kolaborasi ini harus diinisiasi oleh organisasi publik. Dalam konteks pengembangan HKm di Kabupaten Bintan, aktor organisasi publik yang berperan dalam inisiasi adalah BPDAS Kepulauan Riau. Meskipun insitusi ini bukan merupakan institusi pemerintah daerah, namun setidaknya representasi pemerintah sebagai organisasi publik, BPDAS Kepulauan Riau adalah lembaga yang menjadi harapan untuk pengembangan HKm di Kabupaten

Page 169: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

153Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

Bintan. Collaborative governance dalam konteks ini pun sudah dianggap terjadi karena ada keterlibatan aktor non negara (Ansell dan Gash, 2008). Dalam pengembangan HKm di Kabupaten Bintan aktor non negara adalah ITTO yang dari hasil analisis Social Network Analysis merupakan aktor paling berpengaruh dalam inisiasi HKm di Kabupaten Bintan. jika berkaca dari konsep Ansell dan Gash (2008) maka collaborative governance yang terjadi sudah dianggap memandirikan aktor non negara di dalam sebuah forum kesepakatan tersebut. Karena aktor non negara yang dalam hal ini adalah ITTO sangat terlibat aktif dalam pengambilan keputusan tanpa terus menerus berkonsultasi kepada pemerintah daerah. Akan tetapi selalu berkonsultasi kepada BPDAS Kepulauan Riau sebagai representasi pemerintah. Berkaca juga dari pendapat Ansell dan Gash (2008) bahwa collaborative governance harus memiliki sebuah arah kesepakatan baik dalam kebijakan publik dan juga manajemen publik. Dalam konteks pengembangan HKm di Kabupaten Bintan ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau hanya menjadi mediator dalam konteks kebijakan. Karena kebijakan pengembangan HKm tidak terlepas dari urusan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dan Pemerintah Daerahlah yang menerbitkannya. Sehingga kelembagaan pengelola HKm di Kabupaten Bintan kuat secara legal. Dalam konteks ini ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau telah melakukan inisiasi dengan melakukan analisis kajian kebijakan dalam pengembangan HKm di Kabupaten Bintan. Namun dalam konteks manajemen publik, ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau melakukan berbagai fasilitasi sehingga masyarakat dan kelengkapan benar-benar siap dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan HKm.

Peran masing-masing lembaga sebagaimana dijelaskan pada Tabel 7.5 akan lebih akan efektif jika dijalankan sesuai dengan penjelasan Sink (Dwiyanto, 2011) bahwa dalam collaborative governance akan efektif jika proses organisasi-organisasi yang memiliki suatu kepentingan terhadap suatu masalah tertentu berusaha mencari solusi yang ditentukan secara bersama dalam rangka mencapai tujuan yang dapat mencapainya secara sendiri-sendiri. Penjelasan

Page 170: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

154 COLLABORATIVE GOVERNANCE

ini kemudian disimpulkan oleh Purwanti (Subarsono, 2016) bahwa setiap organisasi atau entitas yang tergabung di dalam kerjasama tersebut masing-masing memiliki kepentingan yang akan diusung di dalam sebuah kebijakan dan masing-masing menawarkan solusi aletrnatif dari sebuah permasalahan namun tetap harus menjunjung kesepakatan bersama.

Hubungan pihak-pihak yang sudah dianalisis dengan social network analysis di atas, sehingga memunculkan beberapa stakeholders yaitu International Timber Tropical Organization (ITTO) sebagai lembaga yang paling berpengaruh dalam implementasi HKm di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian diikuti oleh instansi pemerintah daerah dan instansi lainnya seperti Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kepulauan Riau, Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau, Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan, Pemerintah Desa Sebung dan Desa Kuala Sempang, serta Kelompok Tani Hutan Ketapang Putih dan Kelompok Tani Hutan Medang Kenanga adalah sebagai bentuk Public Private Patnership. Dimana konsep ini dijelaskan oleh Leinhard (Dwiyanto 2011; Purwanti dalam Subarsono; 2016) yaitu memiliki karakteristik dari kemitraan antara lembaga pemerintah dan swasta sebagai berikut:1. Kerjasama melibatkan setidak-tidaknya satu lembaga pemerintah

dan satu lembaga swasta, 2. Kerjasama dilakukan untuk mencapai tujuan bersama atau

secara timbal balik kompatibel dan saling melengkapi, 3. Bersifat kompleks dan membutuhkan koordinasi yang intensif, 4. Kerjasama dilakukan dalam rangka melakukan procurement atau

pelaksanaan tugas tertentu, 5. Memiliki orientasi yang panjang, 6. Penyatuan, pemanfaatan dan sinergi dari sumber daya

pemerintah dan swasta, 7. Berbagi resiko, dan 8. Perolehan dalam efisiensi dan efektivitas.

Page 171: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

155Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

B. Hasil Uji Smart-PLS

Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis hubungan kerjasama antara stakeholders dalam hal Agreemene (X1), Leadership (X2), Planning (X3), Trust (X40), Management Conflict (X5) terhadap Collaboration (Y). Maka dari hasil olahan data primer, maka dihasilkan data sebagai berikut.

Gambar 7.3 Pola Hubungan Antara Variabel

Sumber: Olahan Data dari Hasil Kuesioner Responden Menggunakan Analisis Smart, 2017

Dari gambar di atas, pola hubungan antar variabel di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan yang signifikan yaitu variabel Trust (X4) dengan Management Conflict (X5) dengan nilai koefisien -0,053 (signifikan < 0,05). Sementara varibel Agreement (X1) dengan Management Conflict (X5), Leadership (X2) dengan Management Conflict (X5), Planning (X3) dengan Management Conflict (X5) tidak signifikan, dan hubungan Management Conflict (X5) dengan Collaboration (Y) juga tidak signifikan. Itu artinya hanya variabel Trust yang menjadi variabel berpengaruh dalam menyelesaikan semua konflik dalam rangka mendukung kolaborasi HKm di Kabupaten Bintan. Sementara variabel Agreement, Leadership dan Planning tidak berhasil mengatasi konflik dalam rangka kolaborasi.

Page 172: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

156 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Dalam konteks Kepercayaan (Trust) banyak literatur sangat memberikan pesan bahwa proses kolaboratif bukan hanya tentang negosiasi tetapi juga tentang membangun kepercayaan antar pemangku kepentingan (Alexander, Comfort, dan Weiner 1998; Ansell dan Gash 2008; Beierle dan Konisky 2001; Brinkerhoff 1999; Glasbergen dan Driessen 2005; Imperial 2005; Murdock, Wiessner, dan Sexton 2005; Short dan Winter 1999; Tett, Crowther, dan O’Hara 2003; Vangen dan Huxham 2003b;). Ini bukan untuk mengatakan bahwa membangun kepercayaan adalah fase terpisah dari dialog dan negosiasi mengenai hal-hal substantif. Namun, para pemimpin kolaboratif yang baik mengetahui bahwa mereka harus membangun kepercayaan di antara lawan sebelum para pemangku kepentingan akan mengambil risiko manipulasi (Ansell dan Gash, 2008). Kepercayaan (trust) adalah suatu keadaan psikologis berupa keinginan untuk menerima kerentanan berdasarkan pengharapan yang positif terhadap keinginan atau tujuan dari perilaku orang lain (Rousseau, 2007). Trust yang dibentuk dari dalam lingkungan kerjasama antara masyarakat dengan ITTO dimulai dari kepercayaan yang ditanam oleh masyarakat. Sebagai harapan dan keyakinan terhadap reliabilitas ITTO kepada masyarakat. Adapun aspek kepercayaan masyarakat Bintan dengan ITTO terkait HKM meliputi 5 (lima) aspek (disesuaikan dengan teori Johnson dan Johnson 2000), yaitu:1. Keterbukaan (openness) keterbukaan meliputi kesediaan

masyarakat sekitar wilayah mangrove untuk berbagai informasi terkait informasi mangrove, ide dalam pengembangan mangrove, pengalaman terkait keberadaan mangrove.

2. Berbagi (sharing) berbagi kesediaan masyarakat untuk membantu kerjasama pengembangan HKM

3. Penerimaan (acceptance) penerimaan berarti masyarakat melakukan komunikasi dengan lembaga ITTO

4. Dukungan (Support) dukungan meliputi komunikasi yang dilakukan masyarakat dengan lembaga ITTO sehingga pihak lain mengenal kelebihanya dan percaya bahwa pihak lain tersebut mampu mengatur secara produktif kondisi di wilayah mangrove

Page 173: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

157Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

5. Bekerjasama (Cooperative Intentions) bekerja sama meliputi harapan masyarakat untuk bisa bersikap kooperatif terhadap ITTO, dan bahwa pihak lain juga akan bersikap kooperatif untuk mensukseskan program hutan kemasyarakatan

Kepercayaan yang dibentuk meliputi perasaan saling menguntungkan satu sama lain. Menerima bentuk-bentuk pemikiran dari lembaga ITTO walaupun ada beberapa perbedaan antar ide pemikiran ITTO dan masyarakat sehingga program Hutan Kemasyarakatan bisa berjalan dengan baik.

Masyarakat Bintan memiliki kepercayaan lebih terhadap ITTO dibanding pemerintah lokal karena program ITTO terealisasi dengan baik. Masyarakat merasa kehadiran ITTO di Bintan bisa dirasakan manfaatnya. Selama ini pemerintah lokal tidak berperan maksimal terhadap mangrove di sekitar Kabupaten Bintan berbagai permintaan masyarakat banyak yang tidak direspon oleh pemerintah

Dalam implementasi HKm di Kabupaten Bintan memang yang selama ini dijalankan adalah karena masyarakat percaya segala informasi, fasilitasi, dan pendampingan dari BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO, sehingga mampu membangun HKm dengan segala kelembagaan dan program-programnya. Namun kesepakatan antar semua stakeholders memang menjadi masalah dimana, BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO mengalami kesulitan dalam menyatukan pemahaman kepada Pemerintah Daerah dalam rangka penguatan HKm di Kabupaten Bintan. Dalam tataran kepemimpinan terjadi ketidakpahaman kewenangan kelembagaan dalam melakukan pengelolaan HKm di Kabupaten Bintan. Sehingga institusi yang selama ini bekerja hanya BPDAS Kepulauan Riau dengan kewenangan kehutanan yang melekat dan ITTO selaku NGO yang melakukan inisiasi. Sementara pada tataran Pemerintah Daerah masih terdapat keraguan dan kebingungan. Variabel perencanaan pun menjadi masalah, karena dalam proses inisiasi HKm di Kabupaten Bintan tidak semua stakeholders yang terjadi penuh. Hanya BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO yang berperan secara penuh dalam menginisiasi,

Page 174: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

158 COLLABORATIVE GOVERNANCE

menfasilitasi dan melakukan pendampingan.Jika dalam bentuk grafik maka koefisien grafiknya sebagai

berikut:

Gambar 7.4 Grafik Path Coefficient Antar Variabel

Hubungan Leadership dan Management Conflict dan Trust dan Management Conflict terhadap Collaboration minus berwarna merah. Sementara Agreement, Leadership dan Planning, berwarna hijau mempunyai hubungan yang sangat signifikan yaitu (<0.005) dengan masing-masing koefisiennya 0,782, -0.275, 0,599. Untuk lebih jelasnya seperti matrik di bawah ini yaitu koefisien antar variabel.

Gambar 7.5 Matrik Koefisien Antar Variabel

Sumber: Analisis Smart PLS, 2017

Page 175: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

159Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

C. Analisis Peran dan Pengaruh Stakeholders dalam Implementasi Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

C.1. Internasional Tropical Timber Organization (ITTO)

International Tropical Timber Organization atau kemudian disingkat dengan ITTO berdasarkan hasil olahan data primer penelitian ini sebagaimana digambarkan pada Gambar 7.1, merupakan institusi yang paling berpengaruh dalam implementasi HKm di Kabupaten Bintan. ITTO memiliki pengaruh yang sangat tinggi dengan tingkat kepentingan yang rendah. Namun ITTO dinilai berhasil melakukan berbagai peran sehingga HKm di Kabupaten Bintan dapat berjalan. ITTO melakukan pengembangan HKm di Kabupaten Bintan dengan sebuah proyek yang diberi kode ITTO Project RED PD 064/11 Ref. 2 dan dengan judul proyek Promoting Local Community Initiative on the Rehabilitation of Mangrove Ecosystem with Demonstration Activities in Bintan Island To Reduce Futher Deforestation and Forest Degradation. Namun ITTO tidak bekerja sendiri dalam hal inisiasi HKm di Kabupaten Bintan dengan proyek tersebut. Berdasarkan hasil wawacara yang dilakukan kepada perwakilan ITTO di Provinsi Kepulauan Riau menyatakan bahwa ITTO pada saat membuat kesepakatan awal menjalin kerjasama dengan berbagai instansi, namun yang paling intens adalah dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kepulauan Riau. Hal ini tergambarkan pada wawancara berikut,

“ITTO menjalin kerjasama dengan BPDAS, kemudian BPDAS mengajak kami melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat. Segala sesuatu terkait dengan HKm kami (ITTO dan BPDAS) fasilitasi, baik pelatihan dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai laporan kegiatan yang kami kerjakan”(Wawancara-Perwakilan ITTO, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut menyatakan bahwa ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau melakukan inisiasi awal dengan masyarakat untuk membangun HKm di Kabupaten Bintan. Berbagai

Page 176: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

160 COLLABORATIVE GOVERNANCE

hal dilakukan mulai melakukan kajian, pelatihan sampai kepada fasilitasi program HKm. Memang banyak hal yang sudah dilakukan oleh ITTO dalam implementasi HKm di Kabupaten Bintan ini. Tabel berikut memperlihatkan berbagai kegiatan ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau melakukan fasilitasi dan pendampingan dalam implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang.

Tabel 7.6 Daftar Kegiatan Fasilitasi dan Pendampingan Hutan Kemasyarakatan di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang yang

dilaksnakan oleh ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau

No Kegiatan WaktuPelaksanaan

Bentuk Kegiatan Tujuan Kegiatan

1 Fasilitasi dan Koordinasi Dalam Penyu-sunan Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Man-grove Berbasis Masyarakat dan Stock Karbon di Kabupaten Bintan

Januari-Maret 2013

Kegiatan ini-siasi penyusunan strategi pengelo-laan ekosistem mangrove berba-sis masyarakat dengan skema HKm yang meliputi arah kebijakan dan strategi pengelo-laan ekosistem mangrove berba-sis masyarakat di Kabupaten Bintan Tahun 2015-2020

a. Meningkatkan dan mempertahankan manfaat dan fung-si-fungsi ekosistem mangrove bagi sistem penyangga kehidupan

b. Meningkatkan ka-pasistas para pihak dalam pengelolaan ekosistem mang-rove di Kabupaten Bintan

Page 177: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

161Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

No Kegiatan WaktuPelaksanaan

Bentuk Kegiatan Tujuan Kegiatan

2 Review dan Ana-lisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Man-grove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan

Mei-Juni 2013 Kegiatan inisiasi untuk memper-oleh gambaran tentang kebijakan dan strategis pengelolaan eko-sistem man-grove berbasis masyarakat dengan skema HKm dengan dilakukan pen-gumpulan data, kunjungan lapangan, evalu-asi dan analisis serta penyusu-nan laporan.

a. Menyusun kajian kebijakan dan peraturan penge-lolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm

b. Menyusun kajian keberlanjutan pengelolaan dari dimensi ekologi, ekonomi sosial, kelembagaan dan teknologi,

c. Menyusun analisis stakeholders pengelolaan mang-rove dengan skema HKm baik di tingkat pusat maupun daerah

3 Kajian So-sial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Man-grove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Mei-Juli 2013 Kegiatan penyu-sunan data dan informasi tentang pengelolaan ekosistem man-grove berbasis masyarakat melalui pen-gumpulan data dan infor-masi mengenai kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau khususnya Desa Busung dan Desa Kuala Sempang

a. Memperoleh data dan informasi yang lengkap dan valid terkiat deng-an pengelolaan mangrove berbasis masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

b. Sebagai referensi bagi penyusunan draf kebijakan pengelolaan hutan berbasis masya-rakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Page 178: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

162 COLLABORATIVE GOVERNANCE

No Kegiatan WaktuPelaksanaan

Bentuk Kegiatan Tujuan Kegiatan

4 Penyusunan Baseline Data Pengelolaan Eko-sistem Mangrove di Pulau Bintan

November 2013 Pengumpulan data sekunder, data vegetasi, data potensi dan emisi karbon, pertemuan dengan pihak Pejabat Pembuat Komitmen dan pihak penang-gung dana kegia-tan, analisis veg-etasi dan analisis simpanan emisi karbon, penyusu-nan laporan dan ekspose kajian

a. Data yang telah disusun mampu dipergunakan untuk menyusun kebi-jakan pengelolaan mangrove berbasis masyarakat di Kabupaten Bintan

b. Agar pengelolaan ekosistem mang-rove di Kabupaten Bintan dilakukan dengan mengacu pada kebijakan yang disusun deng-an dukungan data yang akurat

5 Pelatihan Pening-katan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat HKm dalam Pengelo-laan Ekosistem Mangrove di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang (Sis-tem Manajeen Lima Jari)

18-20 Maret 2014

Kegiatan Pelatihan dengan materi berupa keahlian dan manajemen dalam pengelo-laan ekosistem mangrove dengan skema HKm

a. Untuk mengeksplo-rasi masalah dan peluang untuk memperkuat pe-ngelolaan pesisir dan ekosistem mangrove berbasis masyarakat,

b. Mengidentifikasi ide-ide inovatif dalam mempro-mosikan kemi-traan masyarakat untuk pengelolaan wilayah pesisir dan ekosistem mangro-ve

c. Peserta mampu membangun kelem-bagaan yang man-diri dan berbasis masyarakat dengan Sistem Manajemen Lima Jari dalam pengembangan konservasi ekosis-tem mangrover

Page 179: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

163Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

No Kegiatan WaktuPelaksanaan

Bentuk Kegiatan Tujuan Kegiatan

6 Pelatihan Silvofishery HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang Kabu-paten Bintan

11-12 Juni 2014 Kegiatan Pelatihan berupa bimbingan teknis pembinaan pelatihan budi-daya ikan air laut, analisa usaha dan penyakit ikan dan melakukan pendampingan, monitoring dan evaluasi

a. Dapat meningkat-kan keterampilan pengelola HKm mengenai teknik budidaya ikan air laut yang diseleras-kan dengan konsep silvofishery untuk menjaga kelestarian hutan mangrove

b. Mampu memicu peningkatan ekono-mi masyarakat

7 Pelatihan Pengelolaan Ekowisata dan Pelatihan Pemanfataan Hasil Bukan Kayu Mangrove untuk Masyarakat Desa Busung dan Desa Kuala Sempang

28-31 Oktober 2014

Kegiatan Pelati-han

a. Memberikan tam-bahan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat HKm Desa Busung dan Desa Kuala Sempang untuk dapat mengelola areal HKm dengan optimal sehingga mampu mem-berikan manfaat ekonomi dan tetap menjaga fungsi ekologi dari kawa-san mangrove

Page 180: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

164 COLLABORATIVE GOVERNANCE

No Kegiatan WaktuPelaksanaan

Bentuk Kegiatan Tujuan Kegiatan

8 Pelatihan Penghitungan Carbon Untuk Masyarakat Desa Busung dan Desa Kuala Sempang

10-11 November 2014

Kegiatan Pelati-han

a. Agar masyarakat mengetahui mema-hami pentingnya menjaga kelestarian hutan mangrove untuk menjaga sumber daya yang terdapat di dalam ekosistem tersebut untuk menjaga keseimbangan alam

b. Memberikan motivasi dan pembekalan berupa pengetahuan serta keterampilan dalam menjaga lingkungan

Sumber: Olahan Data Sekunder, 2017

Dengan kegiatan-kegiatan di atas, tampak bahwa pengaruh ITTO dalam implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang sangat kuat. Dalam hal kesepakatan awal, ITTO menganggap dalam inisiasi dan fasilitasi perlu dilakukan sebuah kerjasama antar instansi yang baik dalam menjalankannya. Tantangan yang dihadapi oleh ITTO berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan adalah “dalam hal membuka pemahaman masyarakat dan pemerintah daerah setempat terkait HKm dan manfaat-manfaatnya, sehingga pada tataran inisiasi perlu diberi pemahaman lebih lanjut termasuk dengan memberikan berbagai kajian dan pelatihan”(Wawancara-Perwakilan ITTO, 2017).

Dalam hal kepemimpinan lembaga dalam implementasi HKm, tantangan kepemimpinan yang dialami oleh ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau adalah “masalah koordinasi dan menyamakan persepsi terhadap HKm khususnya Pemerintah Daerah seperti Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata dan institusi pemerintah daerah lainnya yang terkait. Hal ini diharuskan menjalin kerjasama yang lebih intens antar institusi lainnya” (Wawancara-Perwakilan ITTO, 2017).

Page 181: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

165Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

Adanya HKm dengan segala program kajian dan pelatihan yang dilakukan ITTO berharap ada suatu perubahan organisasi sehingga mampu meningkatkan respon terhadap HKm. Hasil wawancara mengungkapkan harapan perubahan organisasi yang diharapkan oleh ITTO sebagai berikut,

“Perubahan yang diharapkan adalah adanya perubahan paradigma terkait HKm, manfaat HKm, dimana masyarakat harus mampu mandiri dalam mengelola organisasi HKm itu sendiri. Pemerintah daerah harusnya memberikan alokasi anggaran demi kelangsungan HKm kedepannya. BPDAS Kepulauan Riau sebagai penggerak sudah sangat berperan dan harus dibantu untuk mensosialisasikannya. Dinas Parisiwata harus membangun promosi pemanfataannya untuk wisata, Dinas Kehutanan khususnya Provinsi mengembangkan kebijakan terhadap HKm, Dinas Koperasi melembagakan Koperasi HKm dan melakukan pembinaan. (Wawancara-Perwakilan ITTO, 2017).

Dalam inisiasi HKm yang dilakukan ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau tak luput dari miskomunikasi antara lembaga/organisasi, hal ini berbicara pada tataran kepercayaan pada institusi lainnya yang terlibat dalam implementasi HKm. Persoalan yang paling mendasar sebenarnya adalah mindset baik masyarakat dan pemerintah daerah sehingga ITTO dan BPDAS harus menjemput bola untuk menyatukan persepsi terkait HKm. Menyamakan frekuensi agar pelaksanaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang dapat berjalan dengan lancar. Selain pemerintah daerah, proses membuka mindset tersebut juga harus sampai kepada Pemerintah Desa, yang harapannya adalah menyamakan persepsi demi terciptanya pengelolaan HKm yang berkelanjutan. hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara berikut.

“Pernah terjadi miskomunikasi dalam inisiasi HKm. Akhirnya ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau jemput bola untuk menyatukan persepsi terkait HKm ini. Menyamakan frekuensi agar pelaksanaannya kedepan lancar, lalu kami juga ke Pemerintah Desa untuk menyamakan persepsi juga demi terciptanya pengelolaan HKm yang berkelanjutan. (Wawancara-Perwakilan ITTO, 2017).

Page 182: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

166 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Dalam implementasi HKm, kepercayaan dan keyakinan informasi juga perlu diperhitungkan. Sehingga segala bentuk kajian dapat memperoleh data dengan valid, sementara dalam bentuk pelatihan, maka pelatihan dapat berjalan sesuai dengan tujuan, maksud dan sasarannya. Informasi selama inisiasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang selama ini lebih kepada BPDAS Kepulauan Riau. ITTO dalam hal memberikan informasi terkait segala kajian dan pelatihan harus terlebih dahulu melewati BPDAS Kepulauan Riau dan Dinas Kehutanan Provinsi selaku institusi yang mewakili pemerintah. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

“informasi selama ini lewat BPDAS Kepulauan Riau dan Dinas Kehutanan Provinsi, tantangan dalam berbagi informasi adalah karena kami (ITTO), hanya sebuah NGO, instansi pemerintah yang harusnya berkerjasama dalam membangun HKm” (Wawancara-Perwakilan ITTO, 2017).

Dalam konteks perencanaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang terdapat beberapa hal yang dianggap paling sulit. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

“Hal yang paling sulit dari perencanaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang adalah menyamakan persepsi terkait HKm, koordinasi dengan instansi pemerintah daerah lainnya khususnya Kabupaten Bintan, seperti Dinas Pariwisata, Dinas Koperasi dan UMKM, dan selanjutnya banyak masyarakat yang bekerja di profesi lainnya, dan hal yang ITTO lakukan untuk menangani hal sulit tersebut adalah dengan cara jemput bola ke masing-masing instansi terkait, mengadakan pelatihan bagi warga terkait HKm, mengikut sertanya kelompok tani belajar lebih lanjut ke HKm lainnya di Indonesia” (Wawancara-Perwakilan ITTO, 2017).

Dengan penjelasan hasil wawancara tersebut, tampak bahwa persoalan persepsi, koordinasi dan pemahaman terhadap HKm merupakan hal sulit dalam implementasi HKm. Perbedaan persepsi merupakan hal mendasar mengapa kesulitan lainnya terjadi. Persepsi dan ketidakpahaman akan manfaat HKm dan program-program HKm, akan membuat institusi lainnya sulit berkoordinasi.

Page 183: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

167Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

Begitu juga dengan warga, ketidakpahaman dan persepsi yang tidak sampai akan membuat sulitnya HKm untuk diimplementasikan. Karena para implementor memiliki keterbatasan dalam hal tersebut. Sehingga dengan keterbatasan tersebut, terkadang ITTO tidak hanya memberikan fasilitasi dan pendampingan secara lokal bagi kelompok tani dan pemerintah desa, namun juga setiap terdapat pelatihan di tingkat nasional bagi kelompok tani baik Kelompok Tani Hutan Ketapang Putih dan Medang Kenangan diikutkan dalam pelatihan-pelatihan tersebut.

Dengan data-data wawancara di atas, tampak bahwa pada kepentingan yang rendah pun ITTO berhasil memiliki pengaruh yang kuat dalam implementasi HKm, seperti mampu melakukan jemput bola bersama BPDAS Kepulauan Riau kepada masyarakat, pemerintah desa dan juga pemerintah daerah terkait urgensinya HKm sebagai sebuah skema untuk melakukan pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan. Selain itu ITTO bekerjasama dengan BPDAS Kepulauan Riau mampu memberikan pemahaman kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat berdasarkan kajian dan kemudian memfasilitasi berbagai macam pelatihan yang gunanya adalah memperbaiki pola pikir, meningkatkan produktivitas dan kreativitas masyarakat sehingga HKm dapat terkelola dengan baik yang tujuannya adalah pemanfaatan dan kelangsungan ekosistem mangrove dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Berdasarkan hasil wawancara, ITTO juga memberikan saran untuk lebih meningkatkan strategis perencanaan HKm, sebagai hasil wawancara berikut.

“Saran ITTO adalah pemerintah bekerjasama dengan BPDAS Kepulauan Riau, Dinas Kehutanan yang berwenang untuk sama-sama membangun dan mengembangkan HKm, warga harusnya memahami manfaat HKm dan desa, dan bagi ekonomi penduduk, BPDAS Kepulauan Riau dan instansi lainnya harus terus melakukan fasilitasi, pendampingan dan pembinaan, dan yang paling penting selalu diperkuat dengan regulasi-regulasi terkait” (Wawancara-Perwakilan ITTO, 2017).

Page 184: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

168 COLLABORATIVE GOVERNANCE

ITTO yakin jika terjadi kerjasama yang baik dari semua pihak yang terlibat, maka HKm akan terjaga keberlanjutannya. Political will dari pemerintah daerah serta jajarannya sangat menentukan keberlanjutan HKm, meski sumber daya manusianya baik, namun jika tidak didukung oleh kebijakan yang berpihak maka sebuah program juga akan terancam tak dapat diimplementasikan dan berkelanjutan.

C.2. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kepulauan Riau

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kepulauan Riau yang diselanjutnya disingkat BPDAS Kepulauan Riau dinilai merupakan institusi yang berpengaruh selanjutnya setelah ITTO. Karena BPDAS Kepulauan Riau merupakan sebuah institusi yang mewakili pemerintah yang dipercaya mampu bekerjasama dengan ITTO. BPDAS Kepulauan Riau merupakan sebuah insitusi dengan kepentingan yang tinggi dan pengaruh yang tinggi. Kepentingan yang tinggi tersebut tidak terlepas dari bagian kewenangan yang terikat kepada institusi ini mewakili Kementerian Kehutanan Republik Indonesia untuk menjalankan berbagai kebijakan terkait Hutan Kemasyarakatan. Dengan kepentingan tersebut, maka BPDAS Kepulauan Riau memiliki pengaruh yang tinggi juga. Hampir semua kajian dan pelatihan yang telah dijelaskan di atas, juga memiliki keterlibatan BPDAS Kepulauan Riau di dalamnya. BPDAS Kepulauan Riau juga yang melakukan inisiasi, pendampingan dan fasilitasi bersama ITTO untuk meyakinkan masyarakat dan pemerintah daerah serta desa hingga terbitlah Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan Seluas 295 Hektar Di Dalam Kawasan Hutan Lindung. HKm yang ditetapkan berdasarkan SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan menetapkan dua daerah HKm yaitu HKm di Desa Busung dan HKm Desa Kuala Sempang. Selain itu BPDAS Kepulauan Riau sampai saat ini masih dipercaya oleh Kelompok Tani Hutan sebagai lembaga yang banyak berperan dalam implementasi HKm hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan Ketua Kelompok

Page 185: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

169Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

Tani Hutan Ketapang Putih berikut,

“Saat ini kondisi HKm masih dalam kondisi yang tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, yang bertahan hanya program pembibitan mangrove, bibit mangrove biasanya diberikan dan dibina pemanfaatannya oleh BPDAS Kepulauan Riau, BPDAS Kepulauan Riau yang selalu melakukan monitoring terhadap kelompok tani dan HKm”. (Wawancara-Ketua Kelompok Tani Hutan Ketapang Putih, 2017).

BPDAS Kepulauan Riau meyakini, untuk mendirikan sebuah kelembagaan HKm secara legal dan berkesinambungan perlu adanya kerjasama, khususnya pada tataran membuat kesepakatan awal dalam implementasi HKm. Sebagaimana hasil wawancara dengan Kepala Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) BPDAS Kepulauan Riau berikut.

“Kerjasama dengan lembaga lain baik NGO, pemerintah daerah dan masyarakat sangat diperlukan, karena tanpa kerjasama yang baik dengan semua pihak akan sulit mencapai sasaran dan tujuan, Hal ini berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan akses dalam mengelola hutan dalam kegiatan HKm” (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Proses kerjasama yang dilakukan oleh BPDAS Kepulauan Riau terhadap instansi pemerintah daerah termasuk kepada pemerintah desa dan masyarakat dilakukan dengan cara melihat potensi yang ada di Desa Busung dan juga Desa Kuala Sempang. Analisis potensi dilakukan dengan cara membuat kajian bekerjasama dengan ITTO sebagaimana telah dijelaskan pada penjelaskan sebelumnya pada peran ITTO. Kajian-kajian ini adalah untuk lebih meyakinkan pemerintah daerah, pemerintah desa, masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam HKm bahwa Desa Busung dan Desa Kuala Sempang layak untuk dilakukan pemberdayaan dalam skema HKm dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau sebagai berikut,

Page 186: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

170 COLLABORATIVE GOVERNANCE

“Awalnya kami pihak BPDAS yang menginisiasi, dengan melihat potensi yang ada pada suatu lokasi, selanjutnya dikembalikan kepada SKPD dengan bekerjasama dengan NGO untuk maksud melakukan pemberdayaan tersebut. Dengan melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan HKm. BPDAS sebagai fasilitator dan mediator, sesuai dengan tujuan akan target yang akan dicapai yaitu terbentuknya program HKm”. (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Sama seperti yang dihadapi oleh ITTO dalam membuat kesepakatan awal, terdapat tantangan atau masalah umum yang terjadi. BPDAS Kepulauan Riau menganggap dan menyimpulkan suatu problematika yang sama dihadapi oleh ITTO yaitu persoalan pemahaman instansi-instasi terkait dalam implementasi HKm di Kabupaten Bintan. Pemahaman itu terkait tujuan dan manfaat yang diperoleh dengan adanya HKm pada suatu manajemen pengelolaan hutan. Hal ini sebagaimana wawancara berikut.

“Tantangan karena setiap instansi pemerintah daerah dan masyarakat belum memahami mengenai HKm itu sendiri, atau capaian tujuan dari para pihak yang beragam, masalah ini terjadi karena adanya masalah dari para pihak yang belum memahami pengelolaan HKm itu sendiri sehingga perlu pendekatan dan sosialisasi yang intens”. (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Selain persoalan yang terjadi pada tataran kesepakatan awal, tantangan juga terjadi dalam hal kepemimpinan. Tantangan dalam konteks ini lebih kepada kewenangan instansi yang akan membangun HKm di Kabupaten Bintan, karena BPDAS Kepulauan Riau jika dilihat regulasi-regulasi yang terkait dengan penerbitan IUPHKm maka hanya sebagai lembaga fasilitator dan pendampingan, bukan sebagai instansi yang memberikan rekomendasi untuk diterbitkannya izin di tataran kementerian. Seharusnya IUPHKm dalam tahun 2014 masih diajukan oleh Bupati setempat kepada Kementerian Kehutanan untuk diterbitkan izin. Selain itu perlu juga penguatan regulasi di daerah untuk penguatan keberadaan HKm disertai dengan pengelola dan programnya. Namun hal yang terjadi di lapangan dalam konteks

Page 187: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

171Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

tantangan kepemimpinan yang dihadapi oleh BPDAS Kepulauan Riau adalah sebagaimana hasil wawancara berikut.

“Tantangan karena dalam pengambilan keputusan final bukan menjadi kewenangan BPDAS Kepulauan Riau, ide dan inisiasi awal mungkin berasal dari BPDAS Kepulauan Riau yang pada kesempatan ini dibantu oleh ITTO, namun hal ini perlu dibicarakan lebih lanjut. Tantangan ini terjadi karena belum ada kesepakatan dan belum memiliki pemahaman yang sama atau belum satu kata. Sehingga dalam hal ini BPDAS Kepulauan Riau melakukan diskusi-diskusi dan melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah, pemerintah desa dan juga kepada masyarakat”. (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Selain tantangan dalam hal kepemimpinan, dalam tataran kepercayaan, BPDAS Kepulauan Riau mengakui pernah terjadi miskomunikasi namun dapat diselesaikan dengan baik. Karena niatan yang baik untuk mengembangkan HKm serta melakukan pemberdayaan kepada masyarakat. Hal ini sebagaimana diungkapkan pada hasil wawancara berikut,

“Selama pelaksanaan, BPDAS Kepulauan Riau meyakini pasti terjadi miskomunikasi dengan instansi lainnya, namun hal ini diselesaikan dengan cara dibahas bersama sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku dalam pelaksanaan HKm sehingga jelas akuntabilitasnya” (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Untuk menciptakan suatu kepercayaan pada masing-masing organisasi, maka terkait dengan informasi didistribusikan lewat surat menyurat, lewat pembicaraan media telefon, sosialisasi dan lewat milis kelompok HKm, instansi pemerintah daerah dan NGO’s.

Dalam konteks perencanaan hal yang paling sulit dihadapi oleh BPDAS Kepulauan Riau adalah membuka pola pikir dan pemahaman masyarakat dan instansi pemerintah daerah dan desa. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut,

“Kondisi yang paling tersulit adalah bagaimana mengenalkan program HKm ini kepada masyarakat atau kelompok tani. Penyebabnya adalah karena ketidakpahaman tentang HKm itu

Page 188: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

172 COLLABORATIVE GOVERNANCE

sendiri, bagaimana masyarakat bisa melaksanakannya dengan SDM yang terbatas, sehingga oleh karena itu BPDAS Kepulauan Riau dengan cara pendekatan dari aspek sosial dan ekologi dengan berdasarkan aturan-aturan yang ada, baik itu sosialisasi maupun pendekatan personal” (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Hal yang paling menjadi catatan oleh BPDAS Kepulauan Riau dalam implementasi HKm dan keberlanjutannya kedepan adalah pada tataran integrasi peran, sinersitas program kerja dan pemahaman yang tinggi terhadap HKm, hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

“Dalam pelaksanaan HKm kedepan, sangat perlu integrasi pelaksanaan khususnya pada wilayah-wilayah yang sudah ditetapkan sebagai HKm antara pengelola, pemerintah desa dan bagi Pemerintah Daerah, sehingga pemberdayaan masyarakat bisa terbangun dan capaian sasaran bisa tercapat sesuai rencana yang dibuat. Selanjutnya harus adanya sinergitas dari semua pihak guna keberlanjutan HKm di masyarakat yang secara sosial ekonomi dan ekologi mampu terbangun”. (Wawancara-Kepala Seksi RHL BPDAS Kepulauan Riau, 2017).

Berdasarkan semua hasil wawancara yang ditemukan di lapangan, jelas bahwa peran BPDAS Kepulauan Riau sangatlah berat dalam tataran inisasi, fasilitasi dan pendampingan. Sehingga langkah bekerjasama dengan ITTO sebagai NGO yang memiliki kapasitas organisasi dan materil merupakan sebuah langkah yang baik dalam rangka mencapai niatan dan tujuan BPDAS Kepulauan Riau dalam rangka melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dengan mendirikan HKm sebagai sebuah skema untuk pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat. Dengan niat dan tujuan ini, harapannya pemerintah daerah dan pemerintah desa dapat bersinergis dan bekerja sama saling memberikan dukungan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dan peraturan lainnya yang berlaku agar HKm tidak hanya dapat didirikan namun juga mampu bertahan secara berkelanjutan. Sebagaimana hasil data dari social network analysis di atas dan paparan wawancara lainnya menunjukkan Peran inisiasi, fasilitasi dan pendampingan BPDAS Kepulauan Riau bekerjasama dengan ITTO

Page 189: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

173Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

pada HKm di Kabupaten Bintan menunjukkan bahwa peran kedua lembaga ini sangat kuat pengaruhnya terhadap keberadaan HKm di Kabupaten Bintan.

C.3. Kelompok Tani Hutan

Kelompok Tani Hutan yang selanjutnya disingkat dengan KTH pada implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang terdiri dari dua KTH, yaitu KTH Ketapang Putih untuk Desa Busung dan KTH Medang Kenanga untuk Desa Kuala Sempang. Kedua KTH ini sebelum HKm didirikan merupakan komunitas tani yang sudah terlebih dahulu ada yang kemudian dilegalkan dengan Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan Ketua KTH Ketapang Putih berikut,

“Awalnya kami sebelum adanya HKm sudah ada komunitas-komunitas tani, yang kemudian dilembagakan oleh desa dengan keputusan Kepala Desa, kami membentuk kelompok tani dan mengadakan pertemuan dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat desa” (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih, 2017).

Tujuan dibentuknya KTH ini oleh Pemerintah Desa dalam rangka pengelolaan mangrove berbasis masyarakat yang tujuannya adalah untuk menjaga ekosistem lingkungan, meningkatkan produktivitas masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setelah itu dilakukanlah insiasi, fasilitasi dan pendampingan oleh BPDAS Kepulauan Riau yang bekerjasama dengan ITTO kemudian KTH yang membuat KTH semakin bertekad ingin melakukan pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm. Pada tahapan kesepakatan awal inisiasi HKm ini KTH difasilitasi oleh BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO dalam rangka melakukan berbagai persiapan terkait pengelolaan mangrove dengan skema HKm. Hal ini sebagaimana hasil wawancara kepada kedua Ketua KTH di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang.

“Mengenai HKm ini, BPDAS Kepulauan Riau yang selalu membantu, memberikan pengarahan, memberikan bibit lalu terus bekerjasama dengan kelompok tani untuk terus mengembangkan HKm, ada juga

Page 190: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

174 COLLABORATIVE GOVERNANCE

dibantu oleh NGO dan Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau”. (Rangkuman Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih dan Ketua KTH Medang Kenanga, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut tampak bahwa ada peran yang siginifikan dari BPDAS Kepulauan Riau dan NGO yang dalam konteks ini adalah ITTO selain itu ada juga peran Dinas Kuhutanan Provinsi Kepulauan Riau dalam melakukan inisiasi, fasilitasi dan pendampingan HKm. Dari hasil wawancara di atas juga telah membuktikan bahwa peran BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO cukup kuat sebagaimana pemetaan social network analysis. Dengan inisiasi, fasilitasi dan pendampingan dari BPDAS Kepulauan Riau yang bekerjasama dengan ITTO, maka sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.88/Menhut-II/2014 maka harus diterbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKM). dalam konteks ini BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO yang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau mengajukan pengusulan kepada Bupati Kabupaten Bintan untuk diberikan rekomendasi diterbitkannya IUPHKM di kedua desa tersebut. Maka akhirnya legalitas HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini dilegalkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan yang ditetapkan seluas 295 Hektar pada Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Dengan regulasi ini peta wilayah HKm di Kabupaten Bintan ditetapkan yaitu di dua desa yaitu Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Dengan regulasi ini wilayah HKm Desa Busung ditetapkan seluas 100 hektar dan Desa Kuala Sempang seluas 195 hektar. Dengan regulasi ini Bupati Kabupaten Bintan memiliki kewajiban memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat calon penerima IUPHKm sesuai dengan peraturan perundangan. Peran yang dilakukan selama ini oleh KTH adalah melakukan pengelolaan HKm dengan melakukan pengelolaan mangrove seperti menyusun program ekowisata mangrove, pembibitan mangrove, pembibitan ikan, dan pemanfaatan hasil mangrove untuk pangan. Dalam memperkuat perannya KTH telah beberapa kali diberikan dan mengikuti pelatihan

Page 191: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

175Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

yang difasilitasi oleh ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau. Tantangan awal yang dihadapi oleh KTH adalah persoalan

wilayah desa dan pemahaman terhadap HKm itu sendiri. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

“Awalnya ada dua Desa yaitu Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, sehingga harus menyatukan persepsi kedua Desa tersebut. Syukurnya kelompok tani sudah ada sejak awal, kemudian BPDAS Kepulauan Riau menyatukan kelompok tani tersebut sebagai pengelolan HKm. Namun tantangan awal yang dirasakan adalah pemahaman dan pola pikir masyarakat desa yang belum paham mengelola HKm”. (Rangkuman Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih dan KTH Medang Kenanga, 2017).

Setelah HKm secara legal berdiri dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia dan IUPHKm telah diperoleh, KTH juga masih mendapatkan tantangan dalam hal kepemimpinan. Khususnya ada isu baru yang mengancam keberlangsungkan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Selain itu persoalan kepemimpinan yang dirasakan oleh KTH adalah kurangnya peran dan koordinasi dengan pemerintah daerah. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan Ketua KTH Ketapang Putih berikut,

“Tantangan itu sekarang yang kami hadapi yaitu adanya isu peng-DAM-an di lokasi HKm, informasi yang selalu simpang siur dalam pengelolaan HKm, dinas pemerintah daerah seperti Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan masih setengah hati dalam mengembangkan potensi wisata, dan hanya BPDAS Kepulauan Riau yang perhatian dan langsung bekerjsa”. (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih, 2017).

Dari hasil wawancara di atas, diperoleh suatu informasi baru bahwa di wilayah HKm akan dilakukan peng-DAM-an oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi, hal ini yang menjadi suatu tantangan terkait keberlanjutan HKm di kemudian hari. Selain itu, dari hasil wawancara di atas, juga tampak bahwa adanya kekurangan peran dari Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan dalam mengembangkan dan mempromosikan aset dan potensi wisata yang

Page 192: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

176 COLLABORATIVE GOVERNANCE

sudah dibangun dengan skema HKm ini. Namun Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan tidak menanggapinya dengan maksimal. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dengan detail pada Bab VI dalam hal pengembangan program ekowisata di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Dengan hasil wawancara di atas, tampak bahwa BPDAS Kepulauan Riau mendapatkan penghargaan yang baik dari KTH karena dianggap hanya satu-satunya lembaga yang paling perhatian dalam mengembangkan HKm ini. Selain itu, terdapat juga pendapat tambahan terkait dengan tantangan dalam hal kepemimpinan dalam pengelolaan HKm, hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Ketua KTH Medang Kenanga sebagai berikut,

“Tantangannya berupa koordinasi dengan Kepala Desa yang masih dirasakan bermasalah, pihak pemerintah desa memang mendukung akan tetapi tidak membantu secara nyata, kemudian dalam tataran menghadapi masyarakat yang juga memiliki kesibukan lainnya sehingga optimalisasi HKm sedikit mengalami masalah, hal ini terjadi pada lingkungan sosial masyarakat yang belum memahami HKm”. (Wawancara-Ketua KTH Medang Kenanga, 2017).

Dari hasil wawancara ini, tampak bahwa adanya kekurangan peran dari Pemerintah Desa dalam pengembangan HKm. Pemerintah desa memang mendukung akan tetapi membantu secara nyata masih dirasakan belum optimal. Kemudian, masih dalam masalah yang sama, yaitu pada tataran pemahaman masyarakat terhadap HKm. Masyarakat yang merasa HKm tidak mampu mendatangkan keuntungan kepada mereka, sehingga mereka lebih menyibukkan diri dengan profesi lainnya seperti menangkap ikan ke laut. Karena HKm dan wilayah Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini merupakan wilayah pesisir yang juga dekat dengan lautan, sehingga terkadang menjadi nelayan adalah profesi alternatif sebagai mengelola HKm. Perubahan yang diharapkan pada tataran kepemimpinan dalam pengelolaan HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini adalah terkait dengan perlu penguatan peran dari Pemerintah Daerah. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan Ketua KTH Ketapang Putih dan KTH Medang Kenanga berikut.

Page 193: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

177Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

“Perubahan yang diharapkan adalah perubahan kesadaran pada Pemerintah Daerah, harapannya dapat bekerjasama membantu warga untuk membangun HKm, SDM di Desa sudah banyak namun karena sebagian organisasi pemerintah daerah tidak kuat sehingga potensi desa dan SDM-nya tidak dapat dioptimalkan dalam pengelolaan HKm. Perubahan yang diharapkan juga adalah kesadaran Pemerintah Daerah dalam hal pemanfataan mangrove pada arah pengembangan potensi wisata seperti membangun dermaga sebagai salah satu contoh”. (Rangkuman Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih dan Ketua KTH Medang Kenanga, 2017).

Dari hasil wawancara di atas, tampak bahwa KTH menganggap peran pemerintah daerah masih belum optimal. Sebagaimana temuan sebelumnya hanya peran BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO yang lebih dominan dalam melakukan inisiasi, fasilitasi dan pengembangan HKm. Padahal Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan sudah memiliki kebijakan dan strategi pengelolan mangrove berbasis masyarakat yang tertuang dalam Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat Kabupaten Bintan Tahun 2014, namun dalam pengelolaan ekosistem mangrove dalam berbagai bentuk program secara nyata dengan skema HKm masih dirasakan belum optimal.

Pada persoalan kepercayaan terkait informasi dan komunikasi. Dalam implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang juga sering terjadi miskomunikasi. Bahkan miskomunikasi inilah yang mengakibatkan keberlanjutan HKm menjadi agak lamban dan seakan tidak berkembang. Miskomunikasi terjadi antara ITTO-Pemerintah Daerah dan terkadang KTH-Pemerintah Daerah yang dirasakan masih sering terjadi. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan KTH Ketapang Putih dan KTH Medang Kenanga berikut.

“Miskomunikasi terjadi antara ITTO dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa. ITTO dianggap langsung membangun lalu Pemerintah Daerah dan Desa mempertanyakan bagaimana dengan keberlanjutan dalam hal perawatan seperti infrastruktur salah satunya selain itu miskomuniasi ini terjadi antara KTH dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan salah satunya Dinas

Page 194: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

178 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Pariwisata, karena keberadaan HKm dengan pengelolaan mangrove ini harusnya mampu menjadi potensi wisata namun dermaga pokcai salah satunya tidak ada dan kurangnya promosi dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan”. (Rangkuman Wawancara- Ketua KTH Ketapang Putih dan Ketua KTH Medang Kenanga, 2017).

Persoalan pertama terjadi adalah dalam tataran siapa membangun dan siapa yang melanjutkan. ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau memang telah melakukan inisasi, fasilitasi dan pendampingan sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya di atas, namun Pemerintah Daerah mempertanyakan, siapa yang seharusnya kemudian yang menjaga keberlanjutan HKm disertai dengan programnya. Hal ini yang sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, yang menyebabkan peruntukan anggaran untuk keberlanjutan HKm tidak diperjuangkan oleh Pemerintan Daerah. Pemerintah daerah menganggap bukan kewenangannya dalam membangun HKm, terlebih lagi kewenangan kehutanan berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah berada pada kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan Provinsi. Miskomunikasi atas kewenangan inilah salah satu penyebab keberlanjutan dari HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang menjadi sedikit mengalami hambatan. Selain itu wawancara ini juga menyatakan bahwa juga terdapat kekurangan peran Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan dalam mengembangkan HKm, sebagaimana sudah dijelaskan pada Bab VI. Salah satu langkah untuk memperbaiki komunikasi tersebut adalah dengan cara mengatur proses komunikasi antara KTH sebagai pengelola HKm dan ITTO sebagai NGO yaitu melalui BPDAS Kepulauan Riau sebagai lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi serta kepentingan secara langsung terhadap HKm.

Dalam proses perencanaan KTH juga menghadapi berbagai macam kesulitan, seperti kewilayahan, pemahaman dan komitmen dari KTH yang telah ada dalam mengelola HKm. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

Page 195: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

179Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

“Dalam perencanaan yang paling sulit adalah wilayah yang terdiri dari dua desa, dan harus terjadi kekompakan dan pemahaman dan pengetahuan terkait HKm. Masyarakat desa masih awam tentang masa depan HKm dan keuntungannya. Namun tidak menjadi penghalang karena sudah dibantu dan didampingi oleh BPDAS Kepulauan Riau”. (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih dan Ketua KTH Medang Kenanga, 2017).

Berdasarkan wawancara di atas, tampak bahwa persoalan pemahaman terhadap HKm masih menjadi persoalan yang mendasar dalam pengembangan HKm. Karena bagi Ketua KTH akan sia-sia saja program yang sudah dibangun tanpa pemahaman yang kuat dari masyarakat terhadap keuntungan dan manfaat HKm itu sendiri. Namun KTH tidak mengalami kekhawatiran yang mendalam karena BPDAS Kepulauan Riau yang bekerjasama dengan ITTO memperkuat pemahaman masyarakat terkait HKm dan program-programnya. Tampak bahwa peran BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO sangat signifikan dalam membuka pemahaman masyarakat terhadap HKm sehingga persoalan perencanaan akan mampu diselesaikan. Terdapat beberapa hal yang disarankan oleh KTH dalam hal pengelolaan HKm kedepan, hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

“Pesan kami kedepan untuk HKm harus ada tujuan yang lebih jelas untuk HKm, semua pihak baik pemerintah daerah harus bekerjasama demi mencapai tujuan bersama, khususnya dalam pengembangan dan promosi pariwisata, sehingga program HKm ini juga ikut andil dalam pengembangan pariwisata, diharapkan dapat dibantu pengembangan dan promosi sehingga mampu dikembangkan”. (Rangkuman Wawancara Ketua KTH Ketapang Putih dan Ketua KTH Medang Kenanga, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara di atas, pesan dan harapan dari KTH jika disimpulkan adalah terkait dengan koordinasi semua lembaga yang terlibat, harusnya terjadi sinergitas dan koordinasi yang baik. Karena tujuan HKm ini bukan saja pemberdayaan masyarakat secara ekonomi dan sosial namun juga mampu menyelamatkan ekosistem mangrove dari kerusakan. Selain itu potensi terbesar dari HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini adalah pariwisata, sehingga

Page 196: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

180 COLLABORATIVE GOVERNANCE

harapan KTH, HKm ini mampu menjadi suatu program pengembangan dan promosi pariwisata, sehingga desa mendapatkan manfaat yang juga berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri.

C.4. Pemerintah Desa

Pemerintah Desa merupakan stakeholders yang juga memiliki andil dalam implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.SK.114/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan yang ditetapkan seluas 295 Hektar pada Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Dengan regulasi ini peta wilayah HKm di Kabupaten Bintan ditetapkan yaitu di dua desa yaitu Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Dengan regulasi ini wilayah HKm Desa Busung ditetapkan seluas 100 hektar dan Desa Kuala Sempang seluas 195 hektar. Atas dasar peraturan tersebut, maka sebagai pemimpin wilayah maka Pemerintah Desa Busung dan Pemerintah Desa Kuala Sempang adalah sebagai institusi yang ikut bertanggung jawab atas implementasi HKm di wilayahnya. Namun dari beberapa hasil wawancara dan data sekunder, tak banyak peran Pemerintah Desa yang diperoleh oleh KTH selama mengelola HKm dari awal. Namun Pemerintah Desa pernah menjalankan peran yang sangat signifikan dalam rangka melakukan inisiasi awal HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Hal ini terbukti bahwa dengan ditetapkannya Surat Keputusan Kepala Desa Busung No.11/DBS/2012 tentang Pembentukan Kelompok Tani Ketapang Putih Desa Busung Kecamatan Seri Kuala Lobam Kabupaten Bintan. Surat keputusan yang walaupun hanya ditetapkan oleh salah satu Pemerintah Desa sudah cukup meyakinkan pihak BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO untuk melanjutkan langkah untuk menginisiasi, mendampingi dan memfasilitasi sampai terbitnya IUPHKm dari Menteri Kehutanan. Dengan modal surat keputusan ini, adalah merupakan langkah awal dalam menyatukan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove dengan skema HKm. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh salah Ketua KTH Ketapang Putih terkait peranan Pemerintah Desa dalam inisiasi

Page 197: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

181Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

awal HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang dalam wawancara berikut.

“Kami masyarakat sebenarnya sebelum diberlakukannya HKm, Pemerintah Desa (kedua desa) baik Desa Busung dan Desa Kuala Sempang membakukan kami (kelompok tani) dalam sebuah surat keputusan, sehingga masyarakat sudah dapat kami kelola dan kami urus kekompakannya. Selanjutnya BPDAS Kepulauan Riau yang melakukan pendampingan untuk mendirikan HKm”. (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih, 2017).

Dari hasil wawancara tersebut tampak bahwa peran Pemerintah Desa telah nampak di awal inisiasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Meski hanya memberikan surat keputusan, namun ini dianggap langkah awal yang cerdas dalam rangka memulai untuk diajukannya HKm di kedua wilayah desa tersebut. berdasarkan telaah yang dilakukan dalam Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan (2013) mengidentifikasi persepsi Pemerintah Desa terhadap HKm adalah dengan persepsi mendukung. Selanjutnya berdasarkan laporan yang sama menyatakan bahwa kepentingan Pemerintah Desa dalam HKm adalah lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan melalui berbagai pengembangan mata pencaharian alternatif, memperoleh pendapatan untuk kas desa dan pembangunan berbagai fasilitas. Hal-hal yang tertuang dalam Laporan Kegiatan Review dan Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan (2013) tersebut senada dengan hasil wawancara pada kedua Pemerintah Desa terkait dengan kesepakatan awal dalam konteks urgensi kerjasama instansi dengan intansi lainnya berikut,

“Pemerintah Desa sangat membutuhkan kerjasama, agar dapat saling mendukung dalam pengembangan HKm. Selain itu baik di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, keberadaan HKm tidak hanya menguntungkan masyarakat yang menjadi pengelola saja, tapi juga sangat menguntungkan desa, dalam hal ini kami dapat memberdayakan masyarakat sehingga lebih mandiri. Menunjang hal tersebut kami dari aparatur desa sangat membutuhkan

Page 198: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

182 COLLABORATIVE GOVERNANCE

kerjasama setiap lapisan baik pemerintah, maupun swasta dan masyarakat sehingga dapat berjalan sescara kesinambungan kearah lebih baik dalam pembangunan desa” (Rangkuman Wawancara-Kepala Desa Busung dan Kepala Desa Kuala Sempang, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, tampak bahwa Pemerintah Desa sebenarnya sudah memberikan dukungan terhadap adanya HKm sebagai salah satu skema pemberdayaan masyarakat yang juga mendatangkan keuntungan bagi desa. Namun Pemerintah Desa mengakui bahwa dalam hal memulai kerjasama terkait dengan HKm bukanlah peran Pemerintah Desa yang menginisiasi, hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut,

“Inisasi HKm kami terima dari BPDAS Kepulauan Riau, yang dimulai dari kelompok petani di kedua desa, sejauh ini yang pemerintah desa ketahui yang menginisiasi kerjasama HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang yaitu BPDAS Kepulauan Riau, dan hal ini disambut baik oleh masyarakat kami, yang selanjutnya diusulkan permohonan penetapan kawasan tersebut sebagai HKm”. (Rangkuman Wawancara-Kepala Desa Busung dan Kepala Desa Kuala Sempang, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, Pemerintah Desa menyadari bahwa peran BPDAS Kepulauan Riau yang lebih dominan dalam melakukan inisiasi HKm. Hal ini senada terkait peran dan kegiatan yang telah dilakukan oleh BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Pemerintah Desa dalam konteks ini tidak signifikan berperan.

Pemerintah Desa selanjutnya menjelaskan sebuah kesulitan dan masalah umum yang terjadi di awal kolaborasi dalam rangka menginisiasi adanya HKm ini. Namun masalah yang dihadapi oleh Pemerintah Desa hanya sebatas koordinasi dua desa yang berbeda namun dapat diselesaikan dengan baik dengan mediasi yang dilakukan oleh BPDAS Kepulauan Riau. Hal ini juga menunjukkan bahwa peran BPDAS Kepulauan Riau juga diakui sebagai lembaga yang mampu memediasi komunikasi antar Pemerintah Desa. Meski Pemerintah

Page 199: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

183Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

Desa mengakui bahwa peran BPDAS Kepulauan Riau memiliki peran yang lebih besar terhadap HKm, namun Pemerintah Desa tak luput dari tantangan kepimpinan, hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

“Tantangan dalam hal kepemimpinan yang dialami oleh Pemerintah Desa adalah terkait dengan koordinasi dengan instansi lain yang sulit, sulit untuk mencapai kesepakatan awal, sehingga tidak tahu siapa yang sebenarnya berwenang mengelola HKm itu. Selain itu, tantangan yang dihadapi adalah kurangnya perhatian dari instansi terkait yang dapat mendukung potensi dari HKm, kurangnya keahlian serta keterampilan dari SDM atau masyarakat pengelola HKm, desa tidak bisa langsung turun tangan membantu karena HKm, bukan program dari Desa”. (Rangkuman Wawancara-Kepala Desa Busung dan Kepala Desa Kuala Sempang, 2017).

Sama halnya pembahasan sebelumnya, bahwa masalah koordinasi masih menjadi salah satu masalah yang sering terjadi dalam pengelolaan HKm. Persoalan ini terjadi berdasarkan analisis dapat terjadi akibat dikarenakan program HKm ini bukan merupakan program dasar dari Pemerintah Desa maupun Pemerintah Kabupaten. Sehingga ketidakpahaman dan kebingungan terhadap kewenangan menyebabkan masalah koordinasi selalu terjadi. Selain itu interpretasi dan pemahaman terhadap amanat dari Peraturan Pemerintah No.73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove juga masih berbeda-beda dan belum tersistem. Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah termasuk masyarakat masih belum sepenuhnya memahami antara HKm dan pengelolaan mangrove, meski catatan dari Laporan Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau (2013) menyatakan bahwa masyarakat sepakat dengan HKm sebagai skema dalam pengelolaan dan pengembangan ekosistem mangrove. Namun sesungguhnya dari beberapa hasil wawancara dan data dokumentasi dalam penelitian ini masih saja ditemui kekurangan kepahaman stakeholders terkait manfaat dan tujuan HKm bagi masyarakat. Persoalan kewenangan

Page 200: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

184 COLLABORATIVE GOVERNANCE

dalam pengelolaan HKm juga menjadi suatu catatan dalam hal kepemimpinan masing-masing stakeholders.

Dengan diimplementasikannya HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, sebenarnya juga memberikan suatu motivasi perubahan yang ingin dilakukan oleh Pemerintah Desa. Perubahan itu terkait dengan kemandirian HKm itu sendiri dalam pengelolaannya dan juga perubahan pemahaman masyarakat. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut,

“Pertama sekali yang akan Pemerintah Desa lakukan perubahan yaitu dengan mengambil alih pengelolaan HKm oleh desa sendiri, sehingga dapat mengimplementasikan tujuan dari HKm dan dapat lebih leluasa mengelola HKm dengan memasukkannya dalam anggaran desa dan hasil yang diperoleh juga menjadi pendapatan bagi desa. Kedua harapan perubahan itu perlu adanya kesadaran pemerintah daerah terkait HKm agar lebih peduli kepada HKm”. (Rangkuman Wawancara-Kepala Desa Busung dan Kepala Desa Kuala Sempang, 2017).

Berdasarkan wawancara di atas, ada sebuah niat oleh Pemerintah Desa untuk melakukan sebuah perubahan jika kewenangan HKm telah banyak dipegang oleh Pemerintah Desa, salah satu harapannya agar program dalam HKm dapat juga menjadi bagian dari alokasi anggaran desa, dengan demikian pengelolaan lebih mandiri dan jika terdapat keuntungan dari HKm juga menjadi pendapatan bagi desa itu sendiri. Senada dengan itu, HKm sudah menjadi bagian alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDEs) mulai tahun 2017. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan Ketua KTH Ketapang Putih berikut,

“HKm telah masuk kedalam APBDes di tahun 2017 ini. Kami telah mengajukannya melalui Musyawarah Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Semoga Pemerintah Desa bisa komitmen dalam membangun HKm ini bersama-sama”. (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih, 2017).

Hal ini dapat disumpulkan bahwa Pemerintah Desa sudah ingin memperbesar perannya dalam implementasi HKm di Desa Busung

Page 201: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

185Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

dan Desa Kuala Sempang, yang ada awalnya hanya memberikan legalitas, namun saat ini telah memberikan andil dengan membuka alokasi APBDes untuk pengelolan HKm. Selain itu Pemerintah Desa juga menyatakan bahwa perubahan juga harusnya terjadi pada Pemerintah Daerah dengan melakukan hal yang sama yaitu mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pengelolaan HKm.

Persoalan komunikasi pun pernah menjadi suatu masalah dalam implementasi HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Hal yang menjadi persoalan adalah terkait dengan koordinasi dalam kewenangan pengelolaan HKm. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut ini.

“Di dalam pelaksanaan HKm, terjadi miskomunikasi dikarenakan program HKm ini hanya berada di desa kami tetapi bukan kami yang mengelola, untuk menyelesaikan kami akan selalu berkoordinasi sehingga terjadi hubungan yang baik, selain itu juga pernah terjadi miskomunikasi dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan, yang sampai saat ini perannya juga belum tampak dalam mempromosikan dan memfasilitasi HKm”. (Rangkuman Wawancara-Kepala Desa Busung dan Kepala Desa Kuala Sempang, 2017).

Dari hasil wawancara di atas, dapat diketahui bahwa persoalan kewenangan pengelolaan HKm ini juga menjadi masalah. HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini memang bukan inisiasi dari Pemerintah Desa, melainkan diinisiasi oleh BPDAS Kepulauan Riau yang bekerjasama dengan ITTO. Sampai ditetapkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia untuk HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini, desa hanya baru menerbitkan Keputusan terkait dengan pembentukan KTH. Namun peran yang lebih besar sebagaimana pembahasan sebelumnya memang ada pada BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO. Namun hal ini dikemudian hari menjadi masalah karena Pemerintah Desa sendiri mengalami kebingungan apa peran dan fungsi Pemerintah Desa dalam hal ini. Jangkauan kewenangan Pemerintah Desa sampai pada bagian yang mana. Hal ini yang cenderung menyebabkan miskomunikasi. Selain

Page 202: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

186 COLLABORATIVE GOVERNANCE

itu, miskomunikasi juga terjadi antara Pemerintah Desa dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan, terkait dengan pengelolan Ekowisata, Pemerintah Desa dan KTH berpendapatan bahwa Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan masih setengah hati dalam membantu mengembangkan potensi wisata di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang. Namun persoalan informasi akhirnya, Pemerintah Desa sepakat bahwa informasi selama ini hanya diperoleh dari BPDAS Kepulauan Riau sebagai instansi fasilitator dan mediator dalam implementasi HKm.

Dalam tahapan perencanaan, Pemerintah Desa juga mengakui bahwa peran BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO lebih dominan dibanding peran Pemerintah Desa sendiri. Pemerintah Desa juga mengakui bahwa terdapat beberapa kesulitan mendasar pada proses perencanaan. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

“Pada proses perencanaan, hal yang juga kami rasakan sulit adalah berkoordinasi antara desa, mulai dari pembagian pengelompokan dan sampai pada pengetahuan yang betul-betul harus disosialisasikan, kemudian kami juga berhadapan dengan SDM yang tidak mendukung dan masih tergantung pada profesi awal misalnya nelayan, sehingga kekurangan SDM yang handal untuk HKm, yang Pemerintah Desa lakukan adalah dengan cara menyatukan pemikiran dari masyarakat dan merubah pola pikirnya dan hal ini sangat terbantukan oleh hadirnya ITTO dan BPDAS Kepulauan Riau yang telah membantu serta memfasilitasi segala kebutuhan terkait HKm”. (Rangkuman Wawancara-Kepala Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara di atas, tampak bahwa kesulitan koordinasi antara desa menjadi suatu problematika pada perencanaan HKm, karena boleh dikatakan HKm ini merupakan hal baru yang diketahui oleh Pemerintah Desa dan juga masyarakat. Selain itu dalam menghadapi segala tantangan HKm, Pemerintah Desa menyadari bahwa SDM yang handal dalam mengelola HKm ini masih minim. Namun Pemerintah Desa mengakui bahwa semua tantangan, hambatan dan kesulitan tersebut menjadi mudah dan terselesaikan akibat adanya peran yang dominan dari BPDAS Kepulauan Riau dan

Page 203: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

187Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

ITTO dalam melakukan inisiasi, fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat dan juga Pemerintah Desa. Dengan adanya berbagai macam kajian dan pelatihan kepada masyarakat sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pengelolaan HKm ini dapat dijalankan dengan baik.

Pemerintah Desa berdasarkan hasil temuan di lapangan sebenarnya punya harapan besar terhadap HKm ini. Agar kepentingan Pemerintah Desa seperti penciptaan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, mendatangkan pendapatan bagi desa dan pembangunan berbagai fasilitas desa dapat tercapai. Beberapa saran Pemerintah Desa untuk meningkatkan strategi perencanaan HKm sebagaimana hasil wawancara berikut,

“Saran Pemerintah Desa yaitu HKm diserahkan pengelolaannya kepada Desa, kepedulian Pemerintah Desa khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan, Pelatihan bagi anggota HKm agar dapat menambah wawasan serta rasa memiliki HKm, dan paling penting adalah koordinasi dengan semua pihak yang terlibat harus diperbaiki”. (Rangkuman Wawancara-Kepala Desa Busung dan Kepala Desa Kuala Sempang, 2017).

Besar harapan Pemerintah Desa bahwa HKm menjadi suatu program yang benar-benar menjadi program pemberdayaan masyarakat yang menghasilkan masyarakat yang mandiri dan sejahtera dan Pemerintah Desa sangat berharap agar kedepan pengelolaannya menjadi bagian dari kewenangan Pemerintah Desa. Selain itu Pemerintah Desa sadar bahwa HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, maka salah satu potensi yang dikembangkan adalah pariwisata, sehingga butuh kerjasama yang solid dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan. Pemerintah Desa juga berharap kepada BPDAS Kepulauan Riau terus melakukan pembinaan berupa pelatihan kepada masyarakat pengelola HKm.

C.5. Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau

Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau sebagaimana Tabel 7.5 memiliki peran yang sangat banyak dalam implementasi HKm. Namun

Page 204: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

188 COLLABORATIVE GOVERNANCE

hasil observasi, wawancara dan juga data sekunder, menunjukkan peran yang kurang signifikan dari Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau baik dalam inisiasi, fasilitasi dan pendampingan. Di awal perencanaan HKm di Kabupaten Bintan memang terdapat peran yang menyatakan bahwa Dinas Kehutanan Provinsi membantu BPDAS Kepulauan Riau dan juga ITTO dalam inisiasi HKm. Hal ini sebagaimana hasil wawancara kepada kedua Ketua KTH di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang.

“Mengenai HKm ini, BPDAS Kepulauan Riau yang selalu membantu, memberikan pengarahan, memberikan bibit lalu terus bekerjasama dengan kelompok tani untuk terus mengembangkan HKm, ada juga dibantu oleh NGO dan Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau”. (Rangkuman Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih dan Ketua KTH Medang Kenanga, 2017).

Dari hasil wawancara ini, dapat diketahui bahwa Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau juga memiliki peran meski tidak banyak dinyatakan oleh KTH. Wawancara di atas juga menunjukkan peran Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau dalam kolaborasi pada kesepakatan awal hanya berkolaborasi dengan BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut.

“Memulai kerjasama dalam HKm dilakukan dengan cara saling berkolaborasi, pada Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau tidak melakukan inisiasi, namun sikap saling membantu baik itu dari kementerian dan juga Pemerintah Daerah Provinsi”. (Wawancara-Staf Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau, 2017).

Hasil wawancara tersebut jelas menunjukkan bahwa peran inisiasi, fasilitasi dan pendampingan lebih besar kepada instansi lain dan bukan Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau. Secara nyata sudah kita ketahui bahwa peranan terbesar yaitu pada BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO. Dengan bantuan BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO jelas Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau tidak akan mengalami kesulitan yang berarti. Sehingga berdasarkan hasil wawancara “Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau tidak menghadapi masalah terkait dengan kolaborasi di antara instansi

Page 205: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

189Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

pusat dan provinsi, yang terjadi hanya pola pikir masyarakat di Kepulauan Riau yang sebagian besar adalah berbasis laut jadi sektor kehutanan bukan dianggap penting”. (Wawancara-Staf Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau).

Dalam tataran kepemimpinan Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau juga menghadapi masalah yang sama dengan instansi lain dalam melakukan pengembangan HKm. Yaitu pada persoalan pola pikir masyarakat. Hal ini terungkap sebagaimana wawancara berikut.

“Tantangan kepemimpinan dalam HKm yang kami rasakan adalah pola pikir masayarakat yang berbasis kelautan, lebih tertarik untuk mengolah laut daripada hutan, maka kami Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau melakukan organisir untuk diberi pemahaman. Oleh karena itu harapan perubahan yang kami harapkan jika kami yang memimpin HKm yaitu adanya perubahan paradigma pada masyarakat supaya lebih berorientasi untuk memajukan HKm yang telah diinisiasi dan mengembangkan ekonomi HKm tersebut”. (Wawancara-Staf Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau, 2017).

Tantangan kepemimpinan ini juga menjadi bagian yang sama dengan hal yang dirasakan paling sulit dalam perencanaan HKm, yaitu membuka pola pikir masyarakat yang bahari untuk mengelola Hutan. Sehingga terkadang miskomunikasi sering terjadi pada masyarakat, harapan dari HKm itu tidak tersampaikan karena pola pikir masyarakat yang bahari. Persoalan komunikasi lebih banyak dilakukan oleh BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO. Sejatinya persoalan masyarakat bahari atau maritim ini adalah persoalan bagaimana kontruksi program yang dihasilkan dari HKm, lagi pula hutan dalam konteks ini adalah hutan pesisir yang terdiri dari mangrove yang sangat erat kaitannya dengan masyarakat maritim. Namun BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO yang kemudian telah mendampingi masyarakat menyusun program kerja telah berhasil membawa HKm di Kabupaten Bintan berbasis maritim dengan program seperti ekowisata dengan format wisata bahari, budidaya ikan, dan pemanfaatan hasil mangrove. Dengan hal ini, kesulitan dan tantangan yang dirasakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau mampu terselesaikan. Dinas Kehutanan Provinsi

Page 206: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

190 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Kepulauan Riau memiliki saran kepada Pemerintah Daerah agar untuk HKm ini juga diberikan alokasi anggaran agar terjaga kesinambungan dan keberlanjutannya.

C.6. Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil Menengah Kabupaten Bintan

Stakeholders selanjutnya yang berperan dalam implementasi HKm adalah Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil Menengah (UMKM) Kabupaten Bintan. Keberadaan instansi ini adalah berkaitan dengan sarana pengembangan ekonomi dari HKm. Dimana dalam HKm di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang ini salah satu programnya adalah melakukan pemanfaatan hasil mangrove. Buah mangrove dijadikan sebagai bahan makanan seperti kue-kue, dan roti serta minuman seperti jus dan sirup. Pembuatan makanan dan minuman ini dilakukan oleh ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok PKK. Kegiatan pembuatan makanan dan minuman yang berasal dari pohon mangrove ini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat karena dapat menciptakan lapangan kerja dan menambah penghasilan. Namun demikian, produksi makanan dan minuman ini masih terbatas dan belim dilakukan skala besar (Laporan Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013).

Berdasarkan hal tersebut, perlu kira sebuah kelembagaan ekonomi yang berbadan hukum seperti koperasi. Koperasi sendiri dapat digolongkan kedalam sarana perekonomian di desa. Perkembangan koperasi di desa-desa Kabupaten Bintan dapat pada tabel berikut ini.

Page 207: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

191Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

Tabel 7.7 Data Sarana Perekonomian di Desa-Desa di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

No Nama Desa Bank KUD Koper-asi Non

KUD

Mini Market

Toko/Warung

Warung/Makan

Restoran/Rumah Makan

1 Busung - 1 - - 19 12

2 Kuala Sempang - - 1 - 15 3

3 Penaga - - 1 - 21 2 1

4 Pengujan - - - - 19 - 2

5 Bintan Buyu - - 3 - 15 3 -

6 Tembeling - 1 1 - 12 - -

7 Mantang Baru - 1 - - 4 - -

8 Sebong Lagoi 1 - 1 1 27 3 6

Sumber: (Laporan Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013).

Berdasarkan data di atas, jika difokuskan pada Desa Busung dan Desa Kuala Sempang maka dapat diketahui bahwa di Desa Busung memiliki satu Koperasi dengan jenis KUD. Sementara Desa Kuala Sempang memiliki Koperasi Non KUD. Sebagian besar desa-desa memang sudah memiliki Koperasi, namun menurut masyarakat dalam mengembangkan usahanya khususnya terkait HKm, Koperasi seringkali menghadapi kendala utama yang bersifat internal yaitu kelemahan dalam permodalan. Modal usaha merupakan alat pendorong sumberdaya ekonomi lainnya dalam kegiatan usaha. Oleh karena itu pengembangan permodalan bagi Koperasi harus diprioritaskan baik bersumber dari dalam dalam maupun dari luar Koperasi. Koperasi juga bisa dijadikan salah satu alternatif bentuk kelembagaan yang dapat didorong untuk menjadi penggerak dalam pengelolaan dan pengembangan berbasis masyarakat (Laporan Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013).

Dengan adanya gejala persoalan permodalan tersebut, tampak bahwa peranan Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan belum sepenuhnya optimal. KTH dalam HKm baik KTH Ketapang Putih dan KTH Medang Kenanga pun menjelaskan bahwa koperasi yang ada

Page 208: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

192 COLLABORATIVE GOVERNANCE

di Desa Busung dan Desa Kuala Sempang hanyalah bentukan sesuai dengan Keputusan Kepala Desa. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara ini.

“Koperasi kami sudah ada, namun hal tersebut baru hanya sekedar surat keputusan dari Kepala Desa, itupun seiring dengan pembakuan kelompok tani dalam mempersiapkan HKm.” (Wawancara-Ketua KTH Ketapang Putih, 2017).

Berdasarkan Tabel 7.7 dapat diketahui bahwa di Desa Busung terdapat 1 buah Koperasi Unit Desa, dan Desa Kuala Sempang memiliki 1 buah Koperasi Non KUD. Keberlanjutan Koperasi di wilayah HKm ini juga tergantung koordinasi yang baik dengan Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan. Berdasarkan hasil wawancara yang kemudian penulis simpulkan bahwa Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan mengakui bahwa perlu adanya kerjasama dalam pengembangan Koperasi HKm. Dinas Koperasi dan UMKM berharap dengan sudah adanya KTH pada masing-masing wilayah HKm hendaknya KTH mengajukan kepada Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan.

Tantangan baik pada awal kolaborasi, kepemimpinan dan hal yang paling dirasakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan adalah terkait dengan pemahaman warga dalam pengembangan Koperasi yang benar-benar sesuai dengan tujuan HKm. Sebagaimana masalah yang ditemukan pada penjelasan sebelumnya, bahwa masalah pemahaman warga terhadap HKm juga berpengaruh kepada hal lainnya termasuk Koperasi sebagai sarana ekonomi. Pemahaman ini sebagaimana hasil wawancara yang kemudian penulis rangkum adalah bukan saja pada tataran pemahaman akan HKm, itu sendiri, namun juga perlu pemahaman terkait dengan peningkatan kapasitas ekonomi, dan bagaimana memonitoringnya. Namun dengan kuatnya peran BPDAS Kepulauan Riau dan ITTO, persoalan pemahaman masyarakat lama-kelamaan dapat diberikan pemahaman. Namun peran Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan masih dianggap pengelola HKm masih belum signifikan, sehingga jika Koperasi sudah terbangun namun persoalan permodalan yang selanjutnya menjadi

Page 209: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

193Kerja Sama dan Analisis Stakeholders dalam Implementasi

Hutan Kemasyaratan di Kabupaten Bintan ...

masalah, dan disinilah seharusnya peran yang signifikan dari Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Bintan.

C.7. Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan

Instansi terakhir yang memiliki andil dalam implementasi HKm adalah Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan. Peranan inti Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan adalah terkait pengembangan ekowisata mangrove pada HKm. Namun Peran Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan banyak dinilai kurang baik oleh KTH. Sebagaimana pembahasan pada Bab VI terkait pengembangan ekowisata pada Desa Busung dan Desa Kuala Sempang, banyak hal yang menunjukkan kelemahan peran dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan. Khususnya dalam tataran promosi dan pengembangan sarana dan prasarana ekowisata di wilayah HKm. Pada persoalan ekowisata, program ini hanya bertahan selama 8 bulan berdasarkan pengakuan Ketua KTH Medan Kenanga. Program Ekowisata dengan berkeliling mangrove menggunakan pokcai atau lebih dikenal dengan program tour de mangrove, sampai saat ini keberlanjutannya masih sangat mengkhawatirkan. Selain itu pengakuan Ketua KTH Ketapang Putih dan KTH Medang Kenanga pada pembahasan Bab VI bahwa Dinas Pariwisata belum memberikan bimbingan dan pendampingan khususnya dalam promosi dan pembangunan dermaga pokcai juga tidak dilakukan pembangunan.

Dari Laporan Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013 juga menunjukkan suatu data bahwa peran Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan belum optimal dalam mengembangkan potensi pariwisata. Dimana di dalam laporan ini dinyatakan bahwa terhadap potensi pengembangan pariwisata mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm ini belum ada sosialisasi, bimbingan dan pembinaan yang intensif, masyarakat masih belum bisa mengembangkan potensi yang ada tersebut secara mandiri. Perhatian utama Pemerintah Daerah selama ini masih lebih kepada pengembangan pariwisata yang berorientasi pada investor besar. Masyarakat merasa kurang diperhatikan Pemerintah Daerah terutama

Page 210: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

194 COLLABORATIVE GOVERNANCE

dalam hal pembinaan dan pemberdayaan terhadap masyarakat dalam mengelola mangrove untuk tujuan wisata. Masyarakat berharap agar pihak-pihak yang terkait dengan pariwisata dapat membantu, membimbing dan memberdayakan masyarakat khususnya untuk pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat dengan skema HKm untuk tujuan pariwisata.

Selanjutnya berdasarkan Laporan Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013 juga menjelaskan pandangan masyarakat terkait peran Pemerintah Daerah dalam hal pariwisata. Menurut masyarakat ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan pariwisata mangrove, diantaranya adalah legalitas atau perizinan, fasilitas yang tersedia seperti dermaga yang pada kenyataannya hari ini tidak dapat difasilitasi oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan, selanjutnya perahu atau kapal atau pokcai, warung makan (restoran), promosi yang gencar dan pengelolaan yang profesional. Untuk keselamatan dan kesehatan para wisatawan, alat transportasi sungai dan laut yang digunakan harus dilengkapi dengan alat pelindung diri seperti pelampung (life jacket) dan obat-obatan untuk pertolongan pertama. Hal ini penting untuk diperhatikan karena pihak pengelola harus mengantisipasi pada hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan.

Gejala persoalan dan harapan yang diinginkan masyarakat di atas, menunjukkan bahwa peran Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan sebagai institusi Pemerintah Daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang pariwisata sudah saatnya melakukan pendekatan dan perhatian yang lebih mendalam lagi terhadap implementasi HKm dengan program ekowisatanya. Tidak lagi hanya berkonsentrasi pada sektor pariwisata kapitalis besar seperti investor, namun juga memberikan perhatian lebih kepada sektor pariwisata sektor kemasyarakatan yang bertujuan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 211: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

195

KESIMPULAN

Pengelolaan sumber daya hutan (SDH) menjadi masalah krusial di Indonesia, khususnya pengelolaan hutan yang berubah dari state-center ke community-center. Perubahan paradigm ini dilakukan dengan beberapa alasan seperti, kegagalan Negara mengelola SDH secara adil dan berkelanjutan. Kedua, pengelolaan SDH yang lebih mendorong industri besar tetapi meminggirkan masyarakat. Ketiga, tatakelola SDH yang ternyata belum mampu mengurangi pembalakan liar, perdagangan kayu illegal dan alih fungsi lahan hutan secara massif. Keempat, konflik anatar pihak dalam memanfaatkan SDH sudah pada tahap mengkawatirkan dan menimbulkan korban jiwa. Kelima, luas tutupan hutan yang semakin berkurang secara drastis dan membahayakan lingkungan serta daya dukung SDH. Hal ini mendorong munculnya gagasan serta kebijakan community based-forest management (CBFM) atau hutan kemasyarakatan (HKm).

Ide serta kebijakan CBFM mendorong beberapa hal. Pertama, secara global ide serta gagasan hutan untuk rakyat atau forest for people muncul sebagai sebuah jawaban untuk mendukung tata kelola SDH lebih baik. Kedua, meningkatnya ide pengelolaan SDH yang mendukung partisipasi serta inisiatif lokal. Masyarakat sekitar hutan didorong untuk mengelola hutan dengan cara lebih baik serta lestari. Ketiga, meminimalkan peran industi besar dalam pemanfaatan

Page 212: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

196 COLLABORATIVE GOVERNANCE

SDH. Industi yang sudah memiliki hak serta pemanfaatan didorong menyerahkan haknya kepada Negara dan Negara kemudian mendistribusikan kembali ke komunitas.

Pendekatan ini dilihat pemerintah sebagai bentuk “pemberdayaan” bagi masyarakat setempat. Kebijakan HKm telah berubah hampir enam kali sejak diperkenalkan pertama tahun 1995 dampai sekarang. Pada saat pertama dimunculkan, kebijakan HKm di Indonesia dikembangkan dengan tujuan utamanya adalah untuk merehabilitasi lahan hutan yang terdegradasi (rusak) dan memberi peluang masyarakat perubahan untuk mendapatkan akses ke hutan negara. Langkah pertama, pemerintah hanya memberikan hak masyarakat untuk menggunakan lahan tersebut dalam jangka waktu terbatas.

Jumlah lahan yang rusak pada hutan Negara begitu massif dan pemerintah tidak bisa mengatasi situas ini. Pada tahun 1995, Menteri Kehutanan menetapkan Keputusan no 622/1995 dan memberi kesempatan kepada masyarakat setempat menanam pohon dan tanaman di kawasan hutan negara yang terdegradasi. Namun, kebijakan itu pun berubah berkali-kali. Dimana perubahan dilakukan oleh pemerintah pusat dari SK Menteri Kehutanan No 622/1995 menjadi 677/1998, 31/2001, 37/2007 dan 18/2009 dan terakhir permenhut 10/2016. Gagasan untuk memanfaatkan hutan Negara dan memberdayakan masyarakat menajdi sebuah persoalan tersendiri.

Pada sisi yang lain, kebijakan nasional ini jelas akan menjadi menarik ketika harus menghadapi perbedaan konteks serta kondisi geografis di Indoensia yang sangat beragam. Kebijakan yang dilakukan di daerah pesisir, dan kepulauan tentu berbeda yang dilakukan di daerah bukan pesisir dan di pulau besar seperti Jawa. Maka menjadi hal menarik ketika membandingkan implementasi HKm pada dua lokasi yang memiliki karakteristik berbeda. Kemudian, memakai pendekatan Cross-Sector Collaboration atau pendekatan kerjasama antar pihak dengan melihat bagaimana mereka melakukan kerjasama, berbagi (sharing) informasi, pengetahuan, sumber daya (resources) dan kemampuan para pihak dari segala sektor mapun level untuk mendapatkan tujuan bersama. Maka buku ini telah mencoba melakukan analisa pada poal hubungan para

Page 213: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

197Kesimpulan

pihak dalam melakukan atau mengembangkan HKm di dua lokasi terpilih yaitu Riau Kepulauan dan Yogyakarta.

Berdasarkan analisa data yang lakukan menunjukkan beberapa temuan menarik dari dua lokasi tersebut. Pelaksanaan HKm mencatat beberapa hal; Pertama, inisiasi petani atau warga sekitar hutan Negara dalam mengelola hutan negaraa yang sudah rusak sudah dimulai sejak 1985 terutama pada lahan yang gundul serta terlembaga atau berijin sejak 1985. Kedua, berdasarkan uji PLS maka menunjukkan jika perencanan yang baik merupakan faktor utama dalam penciptaan HKM yang lestari atau sustainable. Kemudian, faktor yang masih merupakan kelemahan dalam pemanfaatan HKm di Gunungkidul adalah kepercayaan atau trust. Kepercayaan para pihak terutama petani, kelompok tani dan NGOs pada Negara amat rendah. Ini terjadi karena Negara atau pemerintah sangat minim dukungan dalam program ini dan pemerintah amat sering melakukan perubahan kebijakan.

Hal yang lain muncul sebagai catatan ketiga adalah tingkat kerjasama antar pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil uji SNA menggabarkan jika tingkat kerjasama amat tinggi dengan nilai 0,722 (nilai terendah 0 dan tertinggi 1). Dengan kata lain, kerjasama antar pihak dalam HKm di Gunungkiudl sangat tinggi srta intens. Keempat yang kemudian dilihat adalah siapa aktor yang paling kuat atau dominan dalam isu serta kebijakan HKM ini? Berdasarkan data menunjukkan jika KTH atau kelompok Tani Hutan merupakan aktor terpenting dan disusul oleh NGOs atau lembaga Swadaya masyarakat seperti Shorea dan JAVLEC. KTH mampu jadi aktor pentimg sebab mereka memiliki nilai dan daya juang terhadapa perubahan alam yang dihadapai. Ini juga didukung dengan keterbukaan masyarakat untuk menciptakan KTH yang terbuka serta mampu beradaptasi secara cepat pada perubahan.

Hal yang terakhir muncul di Gunungkidul adalah tentang pemanfaatan lahan. KTH masih melihat hutan sebagai ladang serta kayu. Sehinga belum adanya kegiatan di luar kegiatan non kayu dan memanfaatkan nilai tambah hutan misal ekowisata. KTH kemudian masih berharap mendapatkan ijin tebang serta jual tanaman keras dari lahan yang sudah mereka kelaola sejak berijin 1995.

Page 214: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

198 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Berikutnya kondisi menarik yang muncul dalam pengembangan HKm di Kepulauan Riau dalam hal ini di Bintan. Pertama, inisiasi dari pemanfaatan HKm di Kepulauan Riau dilakukan di lahan hutan lindung serta hutan mangrove. Ini amat berbeda pada lokasi di Gunungkidul yang dilakukan di daerah Hutan Negara tetapi hutan produksi. Kedua, managemen atau tata kelola dari HKm di Kepulauan Riau menempati posisi tertinggi sebagai faktor pendukung pelaksanan HKm (0,914) dengan faktor penghambat adalah minimnya kepemimpinan dalam kebijakan ini (-0,275). Pada kawasan Kepulauan Riau ternyata tidak ada kepemimpinan yang kuat dari para pihak untuk melakukan pengembangan HKm yang berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan catatan ketiga tentang aktor yang paling berpengaruh yaitu ITTO (International Timber Tropical Organization) atau LSM. Padahal LSM merupakn aktor yang memiliki interest atau ketertarikan paling rendah dari kebijakan ini.

Hal menarik yang muncul pada lokasi di Kepulauan Riau adalah adanya gagasan serta kegiatan non kehutanan secara langsung atau pemanfaatan hutan non-kayu. Kegiatan yang didorong dari lokasi di Kepulauan Riau adalah budidaya kelautan dan perikanan, dikembangkan wisata alam mangrove secara terbatas sebagai pengembangan ekowisata. Jika ide serta gagasan ini dikembangkan, maka keberlanjutan SDH akan meningkat dan KTH bukan hanya konsen pada isu tanaman keras.

Jadi kesimpulannya menunjukkan jika karakteristik wilayah amat mempengaruhi jenis serta macam pemanfaatan HKm. Konteks yang bebeda juga amat sangat mempengaruhi jenis kegiatan yang dikembangkan sebagai usaha utama. Ini juga menciptakan aktor yang dominan relatif berbeda. Hanya perlu digaris bawahi jika kebijakan ini akan didukung serta lestari maka pemerintah harus mampu menjamin kestabilan kebijakan dan memastikan leading aktor adalah yang memiliki ketertarikan tertinggi, dalam hal ini KTH. Semoga kebijakan ini mampu menjadi salah satu solusi mismanagemen dan misdistibusi SDH di Indonesia.

Page 215: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

199

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, A. (2001). “Common property institutions and sustainable governance of resources.” World Development 29(10): 1649-1672.

Anklam, P. 2014. Network Analysis in Two Parts. Columbia IKNS Unit 3, 15-25.

Ansell, C. & Gash, A. Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Research and Theory: J-PART, Vol. 18, No. 4 (Oct., 2008), pp. 543-571

Awang, S. A. (2004). Etnologi Hutan Rakyat. Yogyakarta, Indonesia, Debut Press.

Becker, C. D., A. Agreda, et al. (2005). “Community-based monitoring of fog capture and biodiversity at Loma Alta, Ecuador enhance social capital and institutional cooperation.” Biodiversity and Conservation 14(11): 2695-2707.

Behera, B. and S. Engel (2006). “Institutional analysis of evolution of joint forest management in India: A new institutional economics approach.” Forest Policy and Economics 8(4): 350-362.

Page 216: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

200 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Bischoff, I. (2007). “Institutional choice versus communication in social dilemmas - An experimental approach.” Journal of Economic Behavior & Organization 62(1): 20-36.

BPS (2016). Gungkidul Dalam Angka 2016. S. Agency. Yogyakarta, BPS Gunungkidul.

Bryson, J. M., B. C. Crosby and M. M. Stone (2006). “The design and implementation of Cross-Sector collaborations: Propositions from the literature.” Public administration review 66(s1): 44-55.

Bryson, J. M., B. C. Crosby, M. M. Stone and E. Saunoi-Sandgren (2012). Dynamics of cross-sector collaboration: Minnesota’s urban partnership agreement from start to finish.

Bryson, J.M., Crosby, B.C. & Bloombrg, L.2015. Public Value and Public Administration Georgetown University Press

Cott, K., D. Cobb, et al. (2005). “A community-based approach to environmental effects monitoring in the Beaufort Sea.” Offshore Oil and Gas Environmental Effects Monitoring: Approaches and Technologies: 55-69.

Denzin, N. K. a. L., Yvonna S (2000). Handbook of Qualitative Research. California, Thousand Oaks.

Dewi, S., B. Belcher, et al. (2005). “Village economic opportunity, forest dependence, and rural livelihoods in East Kalimantan, Indonesia.” World Development 33(9): 1419-1434.

Dietz, J., D. Holscher, et al. (2007). “Forest structure as influenced by different types of community forestry in a lower montane rainforest of Central Sulawesi, Indonesia.” Stability of Tropical Rainforest Margins: Linking Ecological, Economic and Social Constraints of Land Use and Conservation: 133-148.

Emerson, K. Nabatchi, T. Balogh, S. An Integrative Framework for Collaborative Governance. The Journal of Public

Page 217: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

201Daftar Pustaka

Administration Resarch and Theory May 2, 2011.

Everton, S. 2012., Tracking, Destabilizing and Disrupting Dark Network With Social Network Analysis. New York: Cambridge University Press.

Everton, S. F. (2016). “Social networks and religious violence.” Review of Religious Research 58(2): 191-217.

Firman and Aquina. (2011). “Cuma 43 Juta Ha Hutan Indonesia yang Perawan.” Retrieved 9 Maret 2012, from http://us.teknologi.vivanews.com/news/read/267601-cuma-43-juta-ha-hutan- indonesia-yang-perawan.

Fleming, B. and D. Henkel (2001). “Community-based ecological monitoring - A rapid appraisal approach.” Journal of the American Planning Association 67(4): 456-465.

Forestry, M. (1995). Tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Indonesia

Forestry, M. (1998). Tentang Hutan Kemasyarakatan. Indonesia.

Forestry, M. (2002). Hutan Kemasyarakatan. Indonesia.

Futemma, C., F. De Castro, et al. (2002). “The emergence and outcomes of collective action: An institutional and ecosystem approach.” Society & Natural Resources 15(6): 503-522.

HNW.org. (2010). “Indonesia: Kerugian Akibat Korupsi Sektor Perkayuan.” Retrieved 25 February, 2010, from http://www.hrw.org/en/news/2009/11/30/indonesia-kerugian-akibat-korupsi- sektor-perkayuan.

Mc Guire, M. Collaborative Public Management: Assessing What We Know and How We Know it. Public Aministration Review, Vol. 66, Special Issue: Collaborative Public Management (Dec., 2006). Pp. 33-34

Moeliono, M. M. M., E. Wollenberg, et al. (2009). The decentralization of forest governance : politics, economics and the fight for

Page 218: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

202 COLLABORATIVE GOVERNANCE

control of forests in Indonesian Borneo. London ; Sterling, VA, Earthscan.

Mucko, T. 2014., Business Dictionary (Online) Avaeilable: http://www.businessdictionary.com/definitin/exogenous-variable.html#ixzz2tKEpCLUD [Acessed 14 February 2014].

Nevins, J. and N. L. Peluso (2008). Taking Southeast Asia to market : commodities, nature, and people in the neoliberal age. Ithaca, Cornell University Press.

North, D.C 1990. Institutions, Institutional Change, and economic performance, Cambridge; New York, Cambridge University Press.

North, D. C. (1991). “Institutions.” Journal of Economic Perspectives 5(1): 97-112.

O’Flynn, J. & Wanna, J. 2008. Collaborative Government: Meanings, Dimensions, Drivers, and Outcomes. ANU Press.

O’Leary, R. & Vij, N. Collaborative Public Management: Where Have We Been and Where Are We Going. The American Review of Public Administration 42 (5) 507-522

Ostrom. E, 1990. Governing the Comons; The Evolution of Institution for Collective Action, Cambridge, Cambridge University Press.

Ostrom. E, 2005. Understanding Institutional Diversity, Princeton, Princeton University Press.

Ostrom (2008). Tragedy of the Ecological Commons. Encyclopedia of Ecology: 3573-3576. Ostrom, E., W. Wirth, et al. A method of institutional analysis. 1986.

Pouliot, D., R. Latifovic, et al. (2009). “Evaluation of annual forest disturbance monitoring using a static decision tree approach and 250 m MODIS data.” Remote Sensing of Environment 113(8): 1749-1759.

Page 219: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

203Daftar Pustaka

Provan, K. G., M. A. Veazie, L. K. Staten and N. I. Teufel-Shone (2005). “The use of network analysis to strengthen community partnerships.” Public Administration Review 65(5): 603-613.

Purnomo, E. P. (2011). The Development of Local Institutions for Community-Based Forest: A Case Study in Indonesia. VDM Verlag Dr. Müller.

Purnomo, E.P. 2014. Strengthening local Institution in The Context of shifting policies. Doctoral University of Bradford.

Purnomo, H., G. A. Mendoza, et al. (2005). “Developing multi-stakeholder forest management scenarios: a multi-agent system simulation approach applied in Indonesia.” Forest Policy and Economics 7(4): 475-491.

Quinn, C. H., M. Huby, et al. (2007). “Design principles and common pool resource management: An institutional approach to evaluating community management in semi-arid Tanzania.” Journal of Environmental Management 84 (1): 100-113.

Ranaivo A. Rasolofoson, Paul J. Ferraro, Giovanni Ruta, Maminiaina S. Rasamoelina, Patrick L. Randriankolona, Helle O. Larsen, & Julia P. G. Jones. Impacts of Community Forest Management on Human Economic Well-Being across Madagascar. Conservation Letters; A Journal of the Society and for Conservation Biology. Ma 2017, 10 (3), 346-353

Reed, M. S. (2005). Participatory rangeland monitoring and management in the Kalahari, Botswana. School of Earth & Environment. Leeds,, University of Leeds: xvi, 247 leaves.

Ramdani, R. (2016). PENDELEGASIAN KEWENANGAN DALAM PENGELOLAAN HUTAN: Studi Kasus Kelompok Tani Hutan (KTH) Kmasyarakatan Sedyo Makmur Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. PUBLISIA (Jurnal Ilmu Administrasi Publik), 1(2).

Page 220: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

204 COLLABORATIVE GOVERNANCE

Safitri, M. A. (2010). Forest Tenure in Indonesia; the social-legal challenges of securing the communities’ rights Leiden, Leiden University.

Smajgl, A. and S. Larson (2007). Sustainable resource use : institutional dynamics and economics. London ; Sterling, VA, Earthscan.

Smelser, N. J. & Swedberg, R. 2010. The Handbook Of Economic Sosiology, Princenton University Press.

Spradley, J. P. (1980). Participant observation, Holt, Rinehart and Winston.

Suwarno, A., A. A. Nawir, et al. (2009). “Participatory modelling to improve partnership schemes for future Community-Based Forest Management in Sumbawa District, Indonesia.” Environmental Modelling & Software 24(12): 1402-1410.

Thomson, A. M. & Perry, J. L. Collaboration Processes: Inside the Black Box. Public Administration Review, Vol. 66, Special Issue Collaborative Public Management (Dec., 2006), pp. 20-30.

Yasmi, Y., J. Guernier, et al. (2009). “Positive and negative aspects of forestry conflict: lessons from a decentralized forest management in Indonesia.” International Forestry Review 11(1): 98- 110.

Page 221: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

205

DAFTAR INDEX

BBintan v, vi, viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, xvi, 1, 2, 5, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71,

72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 96, 97, 98, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 146, 147, 148, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 166, 167, 170, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 180, 181, 183, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 198

CCollaborative Governance i, iii, iv, v, vii, 13, 14, 16, 17, 18, 151, 152, 153,

199, 200

DDaratan v, vii, 1, 2, 21, 70, 71Desa viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, xvi, 22, 24, 25, 26, 29, 39, 41, 57, 58, 69, 70,

71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 91, 92, 94, 95, 97, 99, 102, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 128, 129, 136, 137, 138, 139, 140, 148, 149, 150, 151, 154, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 190, 191, 192, 193

Page 222: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

206 COLLABORATIVE GOVERNANCE

GGunungkidul v, vi, vii, viii, xi, xiii, 1, 2, 5, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 37, 40, 41,

42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 55, 61, 64, 197, 198, 200, 203

HHKm v, vi, vii, viii, ix, xi, xii, xiii, xiv, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 13, 21, 22, 23, 26,

27, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 97, 99, 101, 102, 104, 105, 106, 107, 108, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 118, 119, 120, 121, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 143, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198

Hutan i, iii, iv, v, vi, viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 44, 45, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 57, 59, 60, 61, 62, 65, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 111, 116, 117, 120, 123, 124, 125, 129, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 154, 157, 159, 160, 161, 163, 164, 167, 168, 169, 170, 173, 174, 180, 189, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 203

IImplementasi v, vi, vii, viii, ix, x, xi, xiv, 1, 2, 5, 7, 21, 29, 32, 39, 41, 43, 47,

48, 49, 50, 55, 56, 61, 65, 87, 90, 96, 107, 112, 114, 118, 119, 121, 123, 135, 138, 140, 141, 152, 154, 157, 159, 160, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 172, 173, 177, 180, 185, 186, 188, 190, 193, 194, 196

JJati vi, 2, 26, 39, 42, 53

KKabupaten v, vi, vii, viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, xvi, 1, 5, 8, 21, 22, 23, 24, 25,

30, 31, 32, 35, 36, 37, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52,

Page 223: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

207Biobilography

55, 56, 57, 58, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 98, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 132, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 146, 147, 148, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 166, 167, 170, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 180, 181, 183, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 203

Kebijakan v, vi, vii, viii, xi, xii, xiii, xiv, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 13, 14, 15, 21, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 39, 40, 43, 45, 47, 48, 49, 50, 53, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 68, 69, 75, 76, 80, 82, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 98, 99, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 113, 115, 116, 118, 121, 122, 125, 126, 130, 131, 136, 137, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 147, 148, 151, 152, 153, 154, 160, 161, 162, 165, 168, 177, 181, 195, 196, 197, 198

Kecamatan viii, ix, x, xi, xii, xiii, xvi, 22, 23, 24, 25, 37, 38, 44, 52, 57, 58, 66, 67, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 81, 82, 106, 107, 111, 116, 119, 123, 129, 136, 137, 143, 180, 203

Kelembagaan v, vii, viii, xiii, xiv, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 30, 38, 40, 41, 44, 47, 50, 69, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 88, 92, 103, 106, 107, 113, 116, 125, 126, 136, 137, 153, 157, 161, 162, 169, 190, 191

Kepulauan v, vi, viii, ix, x, xi, xii, xiii, xiv, 1, 2, 65, 66, 67, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 81, 82, 87, 88, 91, 93, 97, 105, 106, 107, 108, 110, 111, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 125, 126, 127, 129, 135, 136, 137, 138, 139, 148, 149, 152, 153, 154, 157, 159, 160, 161, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 196, 197, 209

Kerjasama v, viii, 1, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 45, 55, 56, 57, 61, 62, 129, 132, 133, 134, 137, 152, 154, 155, 156, 159, 164, 168, 169, 181, 182, 187, 188, 192, 196, 197, 209

KTH vi, vii, xi, 2, 7, 8, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 33, 34, 37, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 71, 102, 106, 107, 112, 113, 116, 117, 119, 120, 126, 128, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 184, 185, 186, 188, 191, 192, 193, 197, 198, 203

LLembaga iii, iv, 8, 19, 27, 34, 36, 40, 56, 57, 72, 73, 81, 87, 88, 96, 106,

113, 116, 129, 130, 133, 134, 138, 140, 146, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 156, 157, 164, 165, 168, 169, 170, 173, 176, 178, 179, 182, 197, 209

Page 224: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

208 COLLABORATIVE GOVERNANCE

MMangrove vi, ix, x, xii, xiii, xiv, 2, 67, 68, 69, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83,

84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 96, 97, 98, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 137, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 167, 169, 172, 173, 174, 177, 178, 179, 180, 181, 183, 189, 190, 191, 193, 194, 198

Masyarakat i, iii, iv, v, vi, ix, x, xii, xiv, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 12, 13, 14, 21, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 46, 49, 51, 53, 56, 57, 59, 62, 63, 64, 68, 71, 72, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 137, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 153, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 186, 187, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197

NNGOs v, vi, 2, 13, 14, 21, 58, 60, 62, 63, 64, 197

PPemerintah v, vi, ix, x, 2, 4, 5, 8, 10, 12, 13, 14, 15, 18, 21, 29, 31, 32, 33,

34, 35, 36, 37, 38, 41, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 56, 57, 58, 59, 60, 62, 64, 68, 69, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 84, 85, 87, 88, 89, 90, 92, 94, 95, 96, 97, 100, 101, 102, 104, 105, 106, 107, 112, 113, 117, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136, 137, 138, 139, 140, 142, 145, 146, 151, 152, 153, 154, 157, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 190, 193, 194, 196, 197, 198

Page 225: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

209

EKO PRIYO PURNOMO, MRes., PhD (EPP) merupakan kepala Lembaga Kerjasama (LKS) dan dosen jurusan Ilmu Pemerintahan UMY. Menyelesaikan sarjana di Universitas Gadjah Mada, Master of Research dari University Leeds, the United Kingdom (UK) dan Ph.D dalam bidang Poilitik Lingkungan dari Bradford Centre for International Development, Bradford University, UK. Mengikuti program Post. Doctoral di Korea University. Dalam aktivitas organisasi, EPP juga merupakan sekretaris bidang kajian dan penelitian Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP. Muhammadiyah.

Rijal Ramdani, S.IP, MPA merupakan alumni dari Ilmu Pemerintahan UMY dan Magister Administrasi Publik (MAP) UGM. Saat ini bekerja sebagai tenaga pengajar di Ilmu Pemerintahan UMY. Selain itu juga menjadi asisten peneliti di JKSG, Pusat Studi Kemuhammadiyahan LP3M UMY, dan aktif di Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP. Muhammadiyah. Berasal dari Cisompet, Garut Selatan, Jawa Barat.

BIOGRAPI PENULIS

Page 226: COLLABORATIVE GOVERNANCE - mip.umy.ac.idmip.umy.ac.id/.../uploads/...Tata-Kelola-Hutan-Berbasis-Masyarakat.pdf · Bagian ketiga mendiskusikan mengenai Implementasi HKm di Bintan Kepulauan

210 COLLABORATIVE GOVERNANCE

RENDRA SETYADIHARJA, S.Sos., M.I.P, Lahir di Tanjungpinang tanggal 20 Maret 1986, merupakan dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji Tanjungpinang Kepulauan Riau. Menyelesaikan pendidikan S1 di STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang pada Program Studi Ilmu Pemerintahan (lulus tahun 2010), kemudian menyelesaikan pendidikan S2 di Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyarakarta (lulus tahun 2014) dengan predikat Cumlaude dan Terbaik.

ADY MUZWARDI. S.IP., M.A., M.H.I., Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji, ia menyelesaikan studi S-1 di Fakultas Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Magister Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Magister Ilmu Pemerintahan juga di UMY serta berbagai pendidikan informal lainya di bidang perpajakan, perbankan, dan resolusi konflik. Pernah bekerja di perusahaan kontraktor PT Lautan Perkasa di Jakarta sebagai finance officer, pekerjaan di dunia akademis dimulai ketika menjadi pengajar Jurusan Bisnis Administrasi di LP3I Kepri.