clp imun

55
Referat CONSULTATION LIAISON PSYCHIATRIC PADA PENYAKIT IMUN Oleh: Oleh: Lastri Ronauli Sitompul 04054811416086 Byanka Fitria 04054811416083 Retno Susilowati 04054811416088 Djodie Depati Singalaga 04084811416077 Inne Fia Mariety 04054821517005 Pembimbing: dr. H. M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ (K)

description

jiwa referat

Transcript of clp imun

Referat

CONSULTATION LIAISON PSYCHIATRIC PADA PENYAKIT IMUN

Oleh:

Oleh:Lastri Ronauli Sitompul04054811416086Byanka Fitria 04054811416083Retno Susilowati04054811416088Djodie Depati Singalaga04084811416077Inne Fia Mariety04054821517005

Pembimbing:dr. H. M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ (K)

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWARUMAH SAKIT JIWA ERNALDI BAHARFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYAPALEMBANG2015

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah yang berjudul Consultation Liaison Psychiatry pada Penyakit Imun sebagai salah satu tugas yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. M. Zainie Hasan, AR, SpKJ (K) selaku pembimbing yang telah membantu dalam penulisan dan memberi masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tugas ilmiah ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi siapa saja yang membacanya.

Palembang, Mei 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................DAFTAR ISI........................................................................................................................BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi Consultation Liaison Psychiatry.....................................................................2.2 Sejarah Consultation Liaison Psychiatry......................................................................2.3 Tim Consultation Liaison Psychiatry...........................................................................2.4 Konsep Manajemen Kerja Consultation Liaison Psychiatry........................................2.5 Gangguan psikiatrik pada penderita HIV/AIDS2.5.1 Epidemiologi.......................................................................................................2.5.2 Kelainan psikiatrik spesifik pada penderita HIV/AIDS.....................................2.5.3 Farmakoterapi.....................................................................................................2.5.4 Terapi Psikologi..................................................................................................2.6 Rheumatoid arthritis2.6.1 Epidemiologi.......................................................................................................2.6.2 Kelainan psikiatrik spesifik pada Rheumatoid arthritis......................................2.6.3 Terapi..................................................................................................................2.7 Lupus Eritematosus Sistemik dan Gangguan Psikiatrik................................................BAB III KESIMPULAN......................................................................................................DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

iiiii 1

2 6 11 13 15 17 20 22 25 25 25 26 27 29

ii

BAB IPENDAHULUAN

Penyakit imunologi adalah suatu penyakit yang menyerang sistem imun. Penyakit imun dapat berupa penyakit autoimun, seperti Lupus eritematosus sistemik, HIV, dan Rheumatoid arthritis. Salah satu yang dikenal luas oleh masyarakat adalah HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome), yaitu penyakit yang menyebabkan penurunan kekebalan pada sistem imun tubuh (imunodefisiensi). Penyakit lupus juga saat ini sering diperbincangkan. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi lupus paling banyak mengenai wanita (sekitar 90% kasus), khususnya mengenai wanita usia 15-45 tahun. Sedangkan Rheumatoid arthritis (RA) adalah suatu kelainan inflamasi kronik dengan etiologi yang tidak diketahui menyerang sekitar 0,8% populasi, dengan wanita tiga kali lebih sering terkena dibandingkan laki-laki.Tidak sedikit dari pasien dengan penyakit imun mengalami gangguan psikiatrik. Gejala neurologi dan psikiatrik sering muncul karena penyakit ini juga dapat mengenai sistem saraf pusat dan mempengaruhi psikologis pasien. Prevalensi gangguan neuropsikiatrik pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik bervariasi, 14-75%, bergantung pada kriteria diagnostik dan populasi penelitian. Begitu juga dengan HIV/AIDS dan gangguan psikiatrik, mereka mempunyai hubungan yang kompleks. Menjadi terinfeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai konsekuensi psikologis dari infeksi atau karena efek dari virus HIV dalam otak. Gangguan psikiatri juga umum ditemukan pada penderita rematoid artritis. Prevalensi bervariasi secara luas pada berbagai literatur, beberapa sumber menyatakan bahwa seperlima penderita RA memiliki gangguan psikiatri.Gangguan psikiatrik pada penderita penyakit imun haruslah ditangani secara optimal dengan menerapkan konsep biopsikososial yaitu suatu konsep yang melibatkan interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan sosial dalam upaya memahami proses penyakit yang memandang pikiran dan tubuh sebagai satu kesatuan. Pendekatan ini dapat kita lihat padaConsultation-Liaison Psychiatry(CLP), suatu perkembangan lebih lanjut dari psikiatri klinik yang merupakan subspesialisasi dalam psikiatri yang menginkorporasikan pelayanan klinis, pengajaran, dan penelitian pada perbatasan antara psikiatri dengan kedokteran. Keterlibatan CLP pada penangangan dan perawatan pasien diharapkan akan menghasilkan terapi yang maksimal yang memandang pasien secara holistik. Oleh karena itu, referat ini mencoba memaparkan tentang definisi, konsep manajemen kerja CLP, dan peran keterlibatan CLP pada penanganan dan perawatan pasien dengan penyakit imun.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Consultation Liaison PsychiatryDefinisi dari CLP berkembang seturut dengan berkembangnya CLP itu sendiri. Walaupun istilah liaison psychiatry pertama kali muncul dalam literatur psikiatri pada tahun 1939 yang ditulis Billings dengan judul Liaison Psychiatry and Intern Instruction, permulaan pengorganisasian CLP telah ada sejak akhir 1920. Henry, dalam artikelnya pada tahun 1929, Some Modern Aspects of Psychiatry in General Hospital Practice, menjelaskan kebutuhan untuk konsultasi psikiatri pada pasien umum dan bedah di Cornell University Medical College (Pasnau, 1982). Selanjutnya akan dibahas beberapa definisi CLP mulai dari tahun yang paling awal. Sedangkan definisi CLP yang telah muncul dan banyak penganut yang mengikuti antara lain sebagai berikut :

1. Definisi menurut Strain JJ. Grossman (1975).Sebagai kebalikan dari metode konsultasi yang sudah rutin, CLP mencari peningkatan kualitas dari perawatan psikologis untuk penyakit medis dengan antisipasi dan pencegahan berkembangnya gejala psikologis (pencegahan primer); dengan mengobati gejala setelah berkembang (pencegahan sekunder); dan dengan rehabilitasi pasien dengan gejala menetap, dengan tujuan untuk mencegah kekambuhan (pencegahan tersier). Di samping itu, CLP berbeda dari psikiater konsultan, psikiater liaison ikut serta dalam menemukan kasus dari pada menunggu rujukan, mengklarifikasi status antara perawat dan pasien dan memberikan program pendidikan berkelanjutan yang meningkatkan fungsi yang lebih mandiri dari tenaga pengobatan, pembedahan, dan perawatan dengan harapan dapat menangani kebutuhan psikologis pasien mereka.

2. Definisi menurut Robert O. Pasnau (1982).CLP adalah hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, diagnosis, terapi, dan pencegahan dari gangguan psikiatri pada penyakit fisik, faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi fisik, dan hubungan timbal balik antara somatopsikis dan psikosomatis. Cakupannya meliputi konsultasi psikiatrik dengan pasien serta kerjasama dengan dokter nonpsikiater dan tenaga kesehatan lainnya pada semua tipe dari pelayanan medis. Psychiatric consultation merujuk pada diagnosis dan evaluasi psikiatri pada pasien dan keluarganya; psychiatric liaison merujuk pada aktivitas pendidikan yang diberikan oleh psikiater pada tim medis mengenai masalah yang berhubungan dengan aspek psikiatri dari penyakit.CLP mempunyai dua tujuan utama berkaitan dengan sistem pelayanan dan pemeliharaan kesehatan. Pertama, CLP menggunakan model kerjasama dan pendidikan untuk mencoba menggabungkan pendekatan psikosomatis pada pasien, konsultasi psikiatri yang menyeluruh, saran terapi dan tatalaksana yang berdasarkan penelitian psikosomatis, pertimbangan perilaku dan seluruh aspek, dan bila sesuai, psikoterapi yang berorientasi tilikan diri. Dalam pelaksanaannya, CLP mencoba untuk mengajarkan bagian dari kedokteran yang ada dalam pengetahuan psikiatri dan bioperilaku. Kedua, CLP mencoba untuk mengajarkan pada bidang psikiatri apa yang terjadi pada bidang kedokteran. CLP didasarkan pada enam prinsip utama:a. Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan dokter umum. Pada beberapa kasus, hubungan ini menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.b. Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, bahkan sebelum ada gejala psikiatri yang berkembang. Pada beberapa kasus, psikiater dapat dapat terlibat dalam penyaringan pasien yang akan mendapat pembedahan terencana. Sebagai contoh adalah evaluasi pasien pada transplantasi ginjal, hemodialisis, operasi jantung, operasi panggul untuk nyeri panggul, dan operasi tulang belakang untuk nyeri punggung.c. Keterlibatan dalam seluruh tim medis pada terapi pasien. Dengan adanya kegiatan seperti konferensi psikososial, pertemuan tenaga perawatan, dan penyuluhan, CLP dapat terlibat dalam seluruh kegiatan evaluasi informal dari setiap pasien dan terapi pada pasien yang sesuai. Melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan dari pasien dan keluarganya.d. Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dan keluarganya. Konsultasi yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan hubungan dilakukan.e. Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga. Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga. Schwab dan Kuhn dan Wahl telah membahas kurangnya perhatian yang diberikan pada psikoterapi pendek, intensif, berorientasi tilikan diri bagi pasien yang berada di rumah sakit.f. Perhatian terhadap fungsi dari medical ombudsman. Psikiater liaison dapat menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan mutakhir dan sering menolong pasien dari lingkungan yang asing dan terisolasi.

3. Definisi menurut Zbigniew J. Lipowski (1996).CLP adalah subspesialis dari psikiatri yang menggabungkan pelayanan klinik, pengajaran, dan penelitian pada bidang psikiatri dan medis. Pelayanan klinik meliputi ketentuan konsultasi psikiatri kepada dokter nonpsikiatri, seperti hubungan profesional informal yang bertujuan meningkatkan kepedulian mereka terhadap masalah psikososial dan psikiatris pasien yang mereka rawat. Istilah liason merujuk pada hubungan seperti ini. Fungsi kedua dari CLP memberikan pelajaran aspek psikiatri dan psikososial dari perawatan medis kepada mahasiswa kedokteran , residen, dan lanjutannya. Akhirnya, penelitian dalam konteks CLP termasuk masalah reaksi psikososial terhadap penyakit dan kecelakaan fisik, komplikasi psikiatrik dari penyakit, perilaku sakit yang abnormal, gangguan somatoform dan golongannya, prevalensi dari gangguan psikiatri dalam pelayanan medis, dan penilaian efektifitas dari kegiatan klinis dan belajar mengajar dari CLP.Definisi diatas menggaris bawahi lingkup CLP dalam istilah fungsinya, wilayah kerja, populasi pasien, dan kegiatan pendidikan serta penelitian. Sebab CLP adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kedokteran psikosomatis, yang definisinya juga sangat penting. Kedokteran psikosomatis adalah ilmu yang berkaitan dengan 1) penelitian tentang hubungan fenomena psikologis dan sosial dengan fungsi fisiologis -normal atau patologis- dan peran dari faktor biologis dan psikososial dalam perkembangan, perjalanan, dan hasil akhir dari semua penyakit; dan 2) masalah hukum dari pendekatan biopsikososial pada perawatan pasien.

4. Definisi menurut James JS (2000). Consultation-Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan spesialis medis lain, yang mana psikiater C-L berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dalam lingkungan medis yaitu mempertahankan psikiatri sebagai disiplin ilmu untuk membantu komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik dalam lingkungan medis. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Psikiater C-L harus mempunyai banyak pengetahuan dalam hal interaksi antara obat psikotropik, medis serta bedah.5. Definisi menurut Sasanto Wibisono (2001).Berdasarkan arti istilah CLP itu sendiri : Consultation - rujukan klinis untuk pemeriksaan dan saran penanganan. Liaison - penghubung. Liaison Psychiatry - ilmu yang dikembangkan untuk maksud tersebut. Liaison Psychiatrist - psikiater penghubung yang melaksanakan tugas liaison psikiatri. Consultation-Liaison Psychiatry - istilah atas dasar kebutuhan klinis praktis (digabung).Menurut pendapat Wibisono, definisi CLP menurut CTP VII: CLP adalah subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mempelajari, mempraktekkan dan mengajarkan mengenai ko-morbiditas medik & psikiatri (Kaplan dan Sadock, 2000) terlalu sempit dan menyesatkan dengan alasan :a. Cenderung memperkuat dikotomi penyakit medik / psikiatrik. b. Pengertiannya menjadi sempit, seakan CLP hanya diperlukan bila ada ko-morbiditas dengan adanya gangguan psikiatrik, lebih bersifat konsultatif dan mengarah pada rawat bersama.c. Menempatkan psikiatri di luar bidang medik, ini tidak akan membantu dalam mengurangi stigma.Wibisono berdasarkan modifikasi pendapat Pasnau dan Lipowski kemudian mendefinisikan CLP sebagai Subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mendalami aspek psikiatrik dari kondisi medik lain, baik dalam evaluasi, diagnosis, terapi, prevensi, riset maupun pendidikan. Prinsipnya adalah kerjasama/kolaborasi dengan bidang medik terkait, menuju kepentingan bersama. Tujuan utamanya adalah manfaat optimal bagi pasien. CLP merupakan perkembangan lanjut psikiatri dalam hubungan dengan bidang kedokteran umum /bidang terkait lain, menjembatani ilmu kedokteran medik dengan aspek psiko-sosial/ behavioral, dan mengacu pada tujuan akhir terapi yaitu memulihkan kualitas hidup yang baik (bukan sekedar sembuh dari gejala/penyakit). Jadi menurut Wibisono, CLP bukan sekedar konsultasi psikiatrik, tidak dapat di pelajari dalam waktu singkat. Penting memulai dengan pemahaman konsep, persiapan dan pendalaman dari bidang psikiatri. Perlu pemahaman dan kesiapan bidang medik lain serta penggalangan kerjasama..Jadi dapat disimpulkan bahwa Consultation Liaison Psychiatry atau yang biasa disingkat CLP merupakan bentuk pendekatan biopsikososial. Pada CLP, seorang dokter psikiatri berperan sebagai konsultan bagi sejawat dokter lainnya dalam menangani pasien dengan berbagi kondisi medis. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi gangguan mental dan respon psikologis terhadap penyakit fisik pasien, sarana psikologis dan sosial, gaya menghadapi masalah guna menganjurkan intervensi terapeutik yang paling tepat untuk kebutuhan pasien

2.2 Sejarah Consultation Liaison PsychiatryPada tahun 1920, psikiatri mulai menjadi bagian penting dalam tatanan di rumah sakit. Saat inilah konsep hubungan psikosomatis dan peran status emosi serta psikologi mulai berkembang. Dengan demikian, Consultation Liaison Psychiatry menjadi bentuk terapan dari ilmu psikosomatik (Hanna, 2012).Berikut adalah orang-orang yang menjadi pelopor terbentuknya Consultation Liaison Psychiatry sampai menjadi seperti sekarang ini:1. Benjamin Rush (1745-1813), yang dikenal sebagai Father of American Psychiatry, merupakan orang pertama yang dianggap sebagai pencetus utama dari gagasan integrasi psikiatri dengan ilmu kedokteran lainnya. Ia menekankan bahwa penyakit pikiran adalah obyek pasti dari ilmu kedokteran sebagai penyakit yang berasal dari tubuh (Hellemans and Bunch, 1988).2. Adolf Meyer (1866-1959), yang juga merupakan orang penting dalam dunia psikiatri, mengembangkan kosep psikobiologi. Ia mendorong dokter-dokter untuk belajar tentang manusia bukan hanya dalam konteks fisik, namun juga sosial dan peristiwa kehidupan psikologisnya (Snchez et al. 2011).3. Helen Flanders Dunbar (1902-1959), dianggap sebagai salah satu pelopor untuk ilmu kedokteran psikosomatik. Ia bekerja di Rumah Sakit Presbyterian-Colombia sebagai seorang psikiater yang ditugaskan di bagian ilmu penyakit dalam. Tahun 1963 ia menerbitkan kesimpulan dari hasil studinya pada 600 pasien dengan penyakit jantung, diabetes, dan patah tulang. Ternyata faktor psikologis dengan proporsi yang besar tampaknya mempengaruhi baik etiologi maupun perjalanan penyakit dari pasien (McGovern et al. 2000).Pada tahun 1934-1935 Yayasan Rockefeller menghibahkan lima rumah sakit umum untuk mengembangkan departemen psikiatri dan merangsang kerjasama yang lebih erat antara psikiater dan dokter lainnya. Pertengahan 1960-1970 literatur ilmiah tentang subspesialisasi telah dikembangkan. Tahun 1974 pendidikan psikiatri cabang NIHM memutuskan untuk mendukung pengembangan dan perluasan layanan Consultation Liaison Psychiatry di seluruh Amerika Serikat (Saravay et al. 1984). NIHM mendukung secara material 130 program yang berkontribusi pada pelatihan lebih dari 300 psikiater. Consultation Liaison Psychiatry terus bertumbuh selama 1980-an meskipun terjadi pemotongan anggaran federal. Sampai pada tahun 2000an pencapaian terbesar dengan adanya penyetujuan Consultation Liaison Psychiatry sebagai subspesialisasi dari American Board of Medical Specialty (Philbrick et al. 2012).

Ada tiga fase dalam sejarah CLP : 1) fase organisasi, 2) fase pengembangan konsep, dan 3) fase pertumbuhan yang pesat (Lipowski, 1996).1. Fase organisasi : 1935 1960Hal utama yang terlihat pada fase organisasi meliputi pembentukan pelayanan CLP, pengembangan model operasional, evaluasi dari kegiatan CLP, dan perluasan pendidikan (Lipowski, 1996).Edward Billings memperkenalkan konsep CLP di University of Colorado, dengan dukungan awal dari Rockefeller Foundation pada tahun 1935, yang mendirikan unit CLP di sana dan tiga unit di rumah sakit universitas lainnya (Gitlin, 2004). Dengan menggunakan model yang sama, pelayanan CLP di rumah sakit Mount Sinai di kota New York didirikan. Model yang sedikit berbeda dari pelayanan CLP didirikan di rumah sakit pendidikan University of Rochester pada tahun 1946. Unit ini disebut kelompok kedokteran liaison (Lipowski, 1996).Antara tahun 1935-1960, pelayanan CLP didirikan di beberapa rumah sakit pendidikan di Amerika. Pengorganisasian pertama pelayanan ini dilakukan di Kanada tahun 1959. Pada tahun 1960, program CLP diorginisasikan di sebagian besar rumah sakit pendidikan di Amerika, tetapi pelatihan CLP hanya tersedia disedikit pusat pendidikan (Lipowski, 1996).Dalam kurun waktu 1950 sampai 1960, memperlihatkan penyingkiran psikiatri dari kedokteran umum, CLP menjadi menurun (Pasnau, 1982). Selama 1960, gerakan komunitas kesehatan mental sangat dominan, psikiatri sekali lagi dikeluarkan dari kedokteran. Suasana menjadi tidak mendukung untuk CLP, yang membawanya kepada fase kedua yaitu konsolidasi dan pengembangan konsep (Lipowski, 1996).

2. Fase Pengembangan Konsep : 1960-1975.Pada tahun 1970, dilakukan keputusan untuk memasukkan kembali psikiatri ke dalam kedokteran, sebagai bagian dari didapatnya keuntungan asuransi kesehatan untuk pasien dengan gangguan psikiatri, dan sebagai bagian dari keputusan National Institute of Mental Health pada tahun 1974 yang mendukung pelatihan CLP. Peristiwa ini menandai pentingnya CLP sebagai bagian dari bidang psikiatri (Pasnau, 1982). Seturut dengan bertumbuhnya pelayanan CLP, terjadi peningkatan perhatian terhadap metode operasional CLP, khususnya strategi dan prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan spesifik. Proses dan pengaturan dari CLP pada pelayanan medis menjadi fokus utama. Lima model untuk consultation yang diajukan dijabarkan pada Tabel 1-1 (Lipowski, 1996).Bentuk lain dari fase ini adalah fokus pada masalah spesifik yang ditemukan oleh konsultan diberbagai bidang pelayanan lain, seperti perawatan intensif, onkologi, hemodialisis, rehabilitasi jantung, dan unit pediatrik. Beberapa CLP berkembang dengan minat khusus di dalamnya dan proyek penelitian awal pada masalah psikiatri dan psikososial dilakukan di bidang pelayanan kesehatan (Lipowski, 1996).Bentuk lain yang penting pada fase perkembangan konseptual ini adalah bertumbuhnya literatur yang berhubungan. Sebelum pertengahan 1960, tidak ada penerbitan buku atau peninjauan menyeluruh pada CLP . Pada fase kedua ini, literatur diperkaya dengan tiga buku (Pasnau 1975; Schwab 1968; Strain dan Grossman 1975) dan dua tinjauan (Lipowski 1967, 1974). Juga jurnal-jurnal di dalam Psychiatry in Medicine yang mulai dipublikasikan pada tahun 1970 (Lipowski, 1996).Devisi-devisi baru dari CLP berkembang di departemen psikiatri sekolah-sekolah kedokteran dan rumah sakit umum. CLP mulai menggantikan bentuk lama dari kedokteran psikosomatis (Pasnau, 1982). CLP mulai diterima sebagai subspesialis dari psikiatri, yang membutuhkan pelatihan lebih lanjut untuk psikiater.

Model untuk consultation

1. Patient-oriented consultation meliputi tidak hanya wawancara diagnostik dan penilaian tetapi juga evaluasi psikodinamik dari kepribadian pasien dan reaksi terhadap penyakit.

2. Chrisis-oriented, therapeutic consultation meliputi penilaian segera dari masalah pasien dan tipe koping, diikuti intervensi terapetik yang tepat oleh konsultan; model ini terinspirasi dari teori krisis Lindemanns.

3. Consultee-oriented consultation memfokuskan pada masalah konsultasi yang diberikan kepada pasien.

4. Situation-oriented consultation berkaitan dengan interaksi antara pasien dan tim klinis.

5. Expand psychiatric consultation melibatkan pasien sebagai sentral figur dalam kelompok operasional yang meliputi pasien, staff klinis, pasien lain, dan keluarga pasien.

3. Fase Pertumbuhan Cepat : 1975-1980. Pada tahun 1974, Psychiatry Education Branch of National Institute of Mental Health (NIMH) memutuskan untuk mendukung perkembangan dan perluasan dari CLP di Amerika Serikat. Keputusan ini berdasarkan asumsi bahwa pelayanan perawatan kesehatan seharusnya terpusat pada perawatan primer; sudah jelas bahwa masalah psikososial dan psikiatrik adalah aspek penting dari praktek primer. Hal ini berarti bahwa dokter unit perawatan primer harus mendapatkan pelatihan yang cukup untuk secara efektif menangani masalah ini, CLP adalah pelajaran yang paling sesuai. Tahun 1975, NIMH menyediakan jaminan untuk 31 program CLP. Tahun 1979-1980, NIMH mendukung130 program dan memberikan 60 beasiswa. Beasiswa bertujuan memantapkan hubungan di dalam CLP.Banyak psikiater-psikiater muda mendalami bidang CLP, penelitian meningkat dengan pesat, jumlah literatur serta buku yang diterbitkan bertambah dengan pesat termasuk jurnal yang membahas topik CLP yaitu General Hospital Psychiatry. Kedokteran psikosomatis dan kedokteran perilaku tumbuh selama periode ini, sebagai hasilnya, psychiatry dan kedokteran menjadi lebih dipersatukan (Lipowski, 1996).

4. Fase Setelah Tahun 80-an.Di Amerika. Pada tahun 1982 prospek CLP menjadi tidak jelas dibandingkan dekade sebelumnya. Tidak hanya karena NIMH menghentikan semua jaminan pelatihan CLP, tetapi muncul berbagai konflik lain di bidang pendidikan, politik, dan pembiayaan. Meskipun CLP telah diterima secara luas oleh berbagai bidang spesialisasi lain, disiplin ilmu ini terlalu lambat memberikan keuntungan melalui aktivitasnya, saat kebutuhan dana kurang mencukupi dalam pelayanan rumah sakit, CLP sering merupakan yang pertama di keluarkan dari anggaran biaya yang dibutuhkan. Masalah politik meliputi pentingnya kedokteran perilaku sebagai bagian yang jelas dari sistem pelayanan kesehatan, perkembangan rumah sakit umum psikiatri, pentingnya kedokteran holistik, persaingan yang timbul antara consultation model dan liaison model. Akhirnya, kurang jelasnya teori dan konsep berkaitan kedokteran psikosomatik, pendekatan psikosomatik, dan gangguan psikosomatik (Pasnau, 1982).Menyadari kebutuhan akan penelitian lebih mendalam dalam menghadapi penyakit medis, NIMH melakukan suatu serial Research Development Workshops untuk psikiater dibidang CLP pada tahun 1985. Pada tahun 1991, telah ada 55 kelompok CLP yang terdaftar dalam Academy of Psychosomatic Medicine. Pada tahun 1992, dengan dukungan American Psychiatric Association (APA), Academy of Psychosomatic Medicine mengajukan ke American Board of Psychiatry dan Neurology (APBN) agar CLP dapat berstatus sebagai subspesialis. Pada saat itu APBN memberikan perhatian lebih kepada nama dan cakupan dari subspesialis yang diajukan. Pada tahun 2002, American Board of Psychiatry and Neurology, American Psychiatric Association, Residency Review Committee of Accreditation Committee for Graduate Medical Education, dan The Academy of Psychosomatic Medicine mengajukan CLP sebagai subspesialis dari Psikiatri kepada American Board of Medical Specialties. Pada tahun 2003, CLP secara resmi menjadi subspesialis Psikiatri di Amerika. Di tingkat internasional, telah dibentuk organisasi CLP yaitu International Organization for Consultation-Liaison Psychiatry pada tahun 1999 dan pada tahun 2000 berdiri European Association for Consultation-Liaison Psychiatry and Psychosomatics (Gitlin, Levenson, dan Lyketsos, 2004).Tahun 2003 di Amerika Serikat adalah merupakan awal permulaan yang menggembirakan bagi perkembangan secara formal dari bidang Consultation Liaison Psychiatry. The American Board of Psychiatry and Neurology (ABPN) mengesahkan Consultation Liaison Psychiatry sebagai subspesialisasi ketujuh dan diberi nama Psychosomatic Medicine. Selanjutnya American Board of Medical Specialty (ABMS) juga mengesahkan hal ini pada Maret 2003. Populasi pasien yang menjadi perhatian layanan kedokteran psikosomatik adalah pasien medis yang kompleks. The Academy of Psychosomatic Medicine (APM) yang merupakan organisasi para Consultation Liaison Psychiatry mendorong terbentuknya suatu dewan yang secara formal menyelenggarakan suatu pendidikan lanjutan subspesialisasi Psychosomatic Medicine dan ujian kompetensi bagi para peserta pendidikan tersebut. Di dalam klausal yang diajukan ke ABPN, psikiater yang telah mendapatkan pendidikan kedokteran psikosomatik (Psychosomatic Medicine) adalah psikiater yang mempunyai kompetensi khusus dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan psikiatri atau gejala psikiatri pada pasien dengan kondisi medis yang kompleks. Ujian board yang diselenggarakan oleh The Academy of Psychosomatic Medicine untuk meluluskan psikiater subspesialisasi kedokteran psikosomatik pertama kali dilakukan pada tahun 2005 (Lobo et al. 2007; Sharpe et al. 1997; McIntyre, 2002).Istilah Psychosomatic Medicine sebagai subspesialisasi yang sebelum tahun 2003 disebut sebagai Consultation Liaison Psychiatry hanya digunakan di Amerika Serikat. Walaupun pada kenyataan di lapangan terutama di Amerika Serikat, penggunaan istilah Consultation Liaison Psychiatry dan Psychosomatic Medicine seringkali dipakai secara berkebalikan dan bergantian dengan makna yang sama. Namun secara formal, semua buku teks yang sebelumnya berjudul Consultation Liaison Psychiatry telah diubah namanya menjadi Psychosomatic Medicine. Negara Eropa sampai saat ini menggunakan istilah Liaison Psychiatry untuk merujuk kepada Consultation Liaison Psychiatry sebagai suatu bidang subspesialisasi dari psikiatri. Bahkan di Jerman dan Jepang, Psychosomatic Medicine adalah suatu bidang spesialisasi yang terpisah dari psikiatri dan mempunyai pendidikan formal spesialisasi sendiri (Lobo et al. 2007; Sharpe et al. 1997; McIntyre, 2002).

2.3 Tim Consultation Liaison PsychiatryTim CLP yang bekerja di rumah sakit umum tidak berbeda dari tim psikiatri komunitas yang juga beroperasi dalam cara yang multidisiplin. Seperti halnya tim multidisiplin lainnya, penekanan harus pada keberagaman keterampilan dibandingkan latar belakang profesional. Keterampilan diperlukan dalam wawancara dan penilaian serta dalam memberikan terapi psikologis seperti pemecahan masalah, terapi interpersonal dan terapi perilaku kognitif. Idealnya tim psikiatri liaison terdiri dari konsultan dengan pelatihan khusus dalam psikiatri liaison, psikiater junior, perawat psikiatri liaison, terapis okupasi, psikolog klinis, pekerja sosial, ahli fisioterapi dan staf administrasi/sekretaris. Secara umum perawat psikiatri liaison harus memiliki pengetahuan khusus dan mampu mengelola kasus yang lebih kompleks serta telah mengikuti pelatihan tambahan, misalnya dalam terapi perilaku kognitif. Jenis keterampilan yang sangat berharga dalam tim psikiatri liaison. Selain perawat senior, juga dibutuhkan perawat junior yang dapat memberikan pemantauan dan dukungan. Psikolog dapat memberikan penilaian yang terampil dan spesialis psikoterapi serta neuropsychologists berperan dalam penilaian dan pengelolaan pasien dengan gangguan neuropsikiatri. Selain itu, tim psikiatri liaison dapat akan lebih baik lagi jika memiliki terapis yang mampu memberikan pendekatan rehabilitasi seperti terapis okupasi dan fisioterapi. Anggota tim ini berperan dalam memberikan terapi perilaku untuk pasien dengan gangguan somatoform.Tim Consultation Liaison Psychiatry sebagai tim psikiater yang menjadi penghubung antara psikiatri dan spesialisasi yang lain akan mengembangkan satu set ketrampilan yang unik. Tim ini akan bekerja dalam hal-hal yang bersangkutan dengan manifestasi, penilaian, dan penanganan dari kondisi-kondisi resiko tinggi dan memiliki pengetahuan tentang bidang si perujuk. Ini adalah kesempatan untuk mendukung tim di luar psikiatri dan memperluas pemahaman mereka terhadap gangguan mental dan respon emosional individu menyangkut penyakitnya. Hal ini akan memungkinkan tim Consultation Liaison Psychiatry untuk membangun hubungan yang kooperatif dengan tim-tim yang lain, memperoleh rasa hormat dari mereka, dan mempersilahkan mereka untuk menawarkan penilaian dan intervensi pada tahap awal. Pendekatan ini sangat penting untuk penanganan penyakit gangguan somatofom (Jorsh, 2006).Dalam pelaksanaan tugasnya, ada keterampilan dasar yang dibutuhkan Consultation Liaison Psychiatry. Pada umumnya mereka perlu melakukan suatu penilaian kompleks di bangsal medis atau bedah, memahami bagaimana merespon rujukan meskipun tidak ada kelainan psikiatri yang muncul pada saat itu, meningkatkan keterampilan wawancara khusus, menilai depresi pada pasien yang sakit secara fisik, mendeteksi gangguan psikologi yang muncul dengan gejala somatik, dan menilai perilaku penyakit. Mereka juga perlu untuk mengasimilasi semua fakta relevan ke dalam suatu perumusan kasus yang meliputi aspek fisik maupun psikologis (Guthrie and Creed, 1996).Untuk jelasnya mari melihat ruang lingkup dari Consultation Liaison Psychiatry itu sendiri:1. Memahami dampak dari penyakit medis dan sistem di mana penyakit di perlakukan dan bagaimana ini mempengaruhi presentasi, pengalaman, dan dampak morbiditas psikiatri dan psikososial2. Melakukan penilaian biopsikososialkultural, membuat formulasi, dan menerapkan perawatan yang tepat dalam konteks rumah sakit umum termasuk komunikasi efektif dengan seluruh tim yang melakukan pengobatan3. Menilai reaksi terhadap penyakit, dan membedakan presentasi dari depresi dan kecemasan dalam kondisi medis umum4. Memahami gabungan dari penyakit dan masalah perkembangan dari orang dengan masalah kesehatan jiwa dan penyakit mental5. Kemampuan untuk menilai dan mengobati gangguan somatisasi dan somatoform.6. Kemampuan untuk menilai dan menangani gangguan neuropsikiatri, dengan penekanan khusus pada delirium7. Memahami kebutuhan khusus dari populasi tertentu dengan morbiditas psikiatri dan psikososial dalam pengaturan medis, termasuk orang muda, orang tua, penduduk asli, dan orang-orang dengan cacat intelektual8. Menilai dan mengelola presentasi akut dan darurat dari morbiditas psikiatri dalam kondisi medis umum.Seorang Consultation Liaison Psychiatry maupun tim adalah dokter yang memiliki kualifikasi secara medis, yang mampu mendiagnosis dan melakukan pengobatan pada:1. Penyakit kejiwaan yang secara medis sakit2. Penyakit kejiwaan dan faktor psikologi lainnya yang mengganggu pemulihan dari penyakit medis3. Gejala-gejala fisik yang timbul, yang secara medis tidak bisa dijelaskan dengan penyakit fisik yang mendasari4. Penggunaan obat-obat psikiatri dan terapi psikilogis dalam konteks penyakit fisik.Layanan Consultation Liaison Psychiatry berbasis di rumah sakit umum, namun semakin besar kerjasamanya dengan perawatan primer dalam pengelolaan penyakit medis dan kejiwaan.

2.4 Konsep Manajemen Kerja Consultation Liaison PsychiatryKonsep kerja Consultation Liaison Psychiatry tidak berbeda dengan manajemen umum, sebaliknya lebih meningkatkan kualitas dan spesifitasnya dalam upaya pelayanan kesehatan dengan tujuan pokok meningkatkan kualitas hidup pasien sehubungan dengan kondisi sebelumnya dengan secara terpadu. Langkah tersebut dapat diuraikan dengan kegiatan sebagai berikut :1. Pencegahan primer, sekunder, dan tersierDengan menggunakan model pencegahan Caplan yaitu mengantisipasi dan mencegah berkembangnya gejala psikiatri atau psikologi (pencegahan primer), mengobati gejala saat ditemukan (pencegahan sekunder), dan mencegah kekambuhan gejala (pencegahan tersier), Consultation Liaison Psychiatry meningkatkan kualitas perawatan psikiatri dan kedokteran saat prinsip liaison diterapkan (Kornfeld, 1964).Pencegahan primer berusaha untuk mencegah gejala psikiatri sebelum terjadi melalui tindakan dini. Sebagai contoh dari pencegahan primer adalah mengatur wawancara psikiatri pada semua pasien sebelum pembedahan jantung. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya delirium. Pada pencegahan sekunder, dokter menggunakan strategi untukberusaha mengurangi faktor-biologis, psikologis, dan sosial yang mencetuskan penyakit; berusaha untuk menekan penyakit; dan menangani gejala akut seperti kecemasan, depresi, dan sifat karakter yang berlebihan yang dapat memperburuk stress dan menghalangi pemulihan. Pada pencegahan tersier, liaison psychiatry berusaha untukmenghambat kekambuhan psikologis yang dapat mengikuti suatu episode akut (sebagai contoh, konflik psikologis yang menghasilkan gangguan mood, kecemasan, dan penghambatan dan fobia tentang kembali bekerja atau melakukan aktivitas seksual meskipun secara psikologis mampu melakukannya). Tindakan tersier psikiatri membantu pasien beradaptasi dengan keterbatasan psikologis mereka, sehingga mengurangi kemungkinan kekambuhan penyakit. Mencegah kekambuhan penyakit sering membutuhkan follow-up pasien rawat jalan setelah pulang dari RS untuk efektivitas yang maksimal.2. Deteksi dan DiagnosisDeteksi kasus dalam pelayanan kesehatan adalah keahlian yang dimiliki oleh psikiater CLP yang akan dihubungi oleh rekan sejawat. Konsultan psikiater secara khusus mempunyai kesulitan dalam mendeteksi gangguan psikososial dan dapat menjadi resisten terhadap tindakan psikiatri. Pada kenyataannya, karena konsultasi psikiatri bergantung pada rujukan dari rekan yang motivasinya rendah dan informasinya kurang, akhirnya menjadi tindakan pencegahan sekunder.Archinard menjelaskan, psikiater liaison mendidik rekan di masa mendatang untukmendapatkan dan menganalisa data, yang meningkatkan kewaspadaan, deteksi, diagnosis, dan/atau rujukan morbiditas psikiatri, berbeda dengan konsultan psikiater, yang menunggu rekan untuk mencarinya. Gangguan mental yang diakibatkan oleh penyakit medis dan gangguan mental yang disebabkan penggunaan zat adalah contoh model dari gangguan psikofisiologis yang sering muncul, tetapi sering tidak terdeteksi pada pelayanan medis atau bedah. Strategi dan rencana untuk deteksi kasus dan merujuk penting dalam pelayanan medis-bedah dan menjadi dasar dari liaison psikiatri: tindakan skrining diagnosis untuk gangguan fungsi kognitif, depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan obat untuk saat ini telah tersedia jika struktur diubah dari model konsultasi kepada sesuatu yang menggabungkan metodologi rujukan.3. Penilaian dari Penyedia Layanan KesehatanModel kerjasama dari liaison psikiatri menunjukkan bahwa tanggung jawab untuk perawatan psikiatri dari penyakit medis tidakdapat dilimpahkan secara tunggal kepada psikiater. Tanggung jawab menjadi milik bersama dari gabungan para dokter, perawat, dan pekerja sosial, anggota keluarga yang penting, dan lainnya yang memberikan pengaruh psikoligis di bangsal. Fungsi penting dari Consultation Liaison Psychiatry adalah untuk menilai tingkat stress yang disebabkan pasien terhadap penyedia layanan medis dan anggota keluarga, dan kemampuan dari staf RS dan anggota keluarga untukberadaptasi terhadap pasien dan penyakitnya (dan melakukan tindakan terhadap perawatan psikologis), dan di atas semuanya itu, kemampuan dari staf dan keluarga untuk melakukan perawatan psikiatris atau psikologis.4. Memberikan kewenangan pada staf nonpsikiatriBoutin (2003) menjelaskan beberapa kewenangan dari pengetahuan dan keahlian kesehatan yang digunakan sebagai skema untuk mengajar dan mengambil keputusan. Ini mengijinkan pendidik dan penilai untukmenetapkan tujuan bagi program pelatihan mereka atau untuk disiplin khusus: psikiatri, perawatan primer, psikologi, pekerja sosial, perawat klinik, konseling pastoral, rencana pemulangan, masalah hukum pasien, dan bahkan perawat kesehatan desa pada negara berkembang.5. Perubahan stuktural dalam pelayanan kesehatanConsultation Liaison Psychiatry berusaha untuk memberikan perubahan struktural pada departemen psikiatri dan departemen lainnya melalui RS (sebagai contoh, unit pengobatan psikiatri, klinik nyeri, dan unit penilaian postpartum) yang akan bertahan melalui tantangan yang diberikan.

2.5 Gangguan psikiatrik pada penderita HIV/AIDS2.5.1 EpidemiologiInfeksi HIV dan AIDS adalah suatu pandemi di seluruh dunia. Jumlah kasus infeksi HIV pada orang dewasa pada 2000 lebih kurang 34 juta jiwa, dan dua per tiganya berada di Afrika Sub Sahara. Sebagai tambahan, diperkirakan 1,3 juta anak-anak di bawah 15 tahun hidup dengan HIV/AIDS. MenurutUnited Nations Programme on HIV/AIDS(UNAIDS), pada 1999 saja terdapat 5,4 juta kasus infeksi baru di seluruh dunia, yang berarti 15.000 kasus baru setiap harinya. Sebanyak 2,8 juta jiwa yang meninggal karena AIDS membuat penyakit ini menjadi pembunuh nomor 4 di seluruh dunia. Data sampai Desember 2001 menunjukkan adanya 1978 kasus HIV positif dan 671 kasus AIDS di Indonesia. Diperkirakan jumlah ini akan meningkat hingga mencapai 80.000--120.000 pada 2010. Berbeda dengan anggapan awam, ternyata cara penularan terbanyak di Indonesia adalah hubungan seks heteroseksual (56%), disusul pemakaian narkotika injeksi (18,5%), kemudian hubungan homoseksual (6,6%). Sisanya melalui transfusi darah/produk darah, transmisi perinatal, dan tidak diketahui.Psikiatri memegang peranan penting pada pasien HIV/AIDS karena: Sekitar 75--90% pasien AIDS mengalami patologi otak dengan berbagai sindrom neuropsikiatri. Pada 10% pasien dengan infeksi HIV, komplikasi neuropsikiatri merupakan gejala pertama. Pada pasien dengan infeksi HIV dan AIDS dapat ditemukan kelainan-kelainan psikiatri klasik seperti depresi, ansietas, psikosis, dan lain-lain. Terdapat berbagai dampak psikososial yang dapat ditemukan pada pasien HIV/AIDS.

Manifestasi neuropsikiatri dari penyakit ini meliputi dua bidang, yaitu neurobiologik dan psikobiologik. Manifestasi neurobiologik terdiri dari komplikasi primer berupa invasi langsung dari HIV ke Susunan Saraf Pusat (SSP) sepertiAIDS Dementia Complex (ADC)dan komplikasi sekunder seperti delirium yang dicetuskan oleh berbagai keadaan seperti infeksi oportunistik, neoplasma, gangguan metabolik, dan efek samping medikasi. Manifestasi psikobiologik merupakan refleksi berbagai usaha psikologis sebagaicoping strategies(mekanisme pertahanan diri) yang biasanya muncul padatransition points(saat-saat transisi). Misalnya, pada saat penentuan hasil serokonversi positif, adaptasi pada status HIV positif asimtomatik, respons terhadap gejala-gejala medis yang mulai muncul, sampai keadaan dimana dia didiagnosis sebagai AIDS.Ketika seseorang diberitahukan bahwa hasil tes HIV-nya positif, mereka dikonfrontasikan pada kenyataan bahwa mereka berhadapan dengan suatu keadaan terminal. Kenyataan ini akan memunculkan perasaan syok, penyangkalan, tidak percaya, depresi, kesepian, rasa tak berpengharapan, duka, marah, dan takut.Hal ini dapat menimbulkan kecemasan dan depresi. Selama tahun-tahun awal di mana belum muncul gejala, stres akan berkurang. Tetapi, dengan berjalannya waktu di mana fungsi imun semakin menurun dan mulai ada tanda-tanda berhubungan dengan HIV seperti ruam-ruam kulit, penurunan berat badan, sesak napas, dan sebagainya, kecemasan serta depresi dapat timbul lagi. Mungkin disertai pula gagasan bunuh diri, gangguan tidur, dan sebagainya. Selain itu, latar belakang pasien dan adanya riwayat psikiatrik pramorbid yang tinggi pada individu risiko tinggi tertular penyakit HIV/AIDS juga menambah risiko timbulnya gejala psikobiologik ini.Dengan adanya interaksi fenomena neurobiologik dan psikobiologik, psikiater CL harus mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya pada aspek medis penyakit HIV/AIDS dengan tidak melupakan pentingnya model biopsikososial. Jika hal ini dilakukan, CLP dapat berperan penting dalam mendiagnosis gejala neuropsikiatri dan membantu tim spesialistik multidisipliner untuk mengantisipasi gangguan-gangguan emosional serta perilaku yang dapat muncul. Dengan demikian, pasien HIV/AIDS dapat menerima kualitas hidup terbaik yang mungkin dapat dicapainya.

2.5.2 Kelainan psikiatrik spesifik pada penderita HIV/AIDS1) Gangguan organik dan neuropsikiatrik pada pasien HIVGangguan organik dan neuropsikiatrik pada pasien HIV biasa ditemukan. Hal tersebut merupakan efek langsung dari HIV, infeksi oportunistik, efek dari neoplasma, gangguan metabolik, intervensi iatrogenik, dan lain-lain.

2) Hubungan HIV dan demensiaPrevalensi demensia pada pasien HIV dibeberapa tempat berkisar 13%, menurut Kilbourne dkk, walaupun jumlah pasti pasien HIV dengan demensia sulit dipastikan. Menurut Sactor, sejak ditemukan regimen HAART, insiden demensia pada pasien HIV berangsur-angsur menurun sampai 50%. Perubahan kognitif mungkin disebabkan karena efek langsung dari infeksi HIV sendiri, gangguan sekunder dari infeksi oportunistik, penatalaksanaan HIV, atau morbiditas psikologi yang telah ada sebelumnya. Gejala dan tanda demensia yang didapat pada pasien HIV dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi etiologi utama yang muncul, misal menggunakan agen antiretroviral yang tepat atau obat kombinasi untuk infeksi oportunistik, dan untuk mengontrol gejala yang timbul dengan menggunakan obat antianxietas dan neuroleptik yang cocok. Menurut McArthur dkk, sebelum ditemukannya terapi antiretroviral kombinasi, penderita demensia pada pasien HIV memiliki prognosis yang buruk, yaitu sekitar 6 bulan setelah onset. Menurut penelitian McArthur dkk, pada tahun 1993, prediktor penting untuk pasien HIV dengan demensia, meliputi Hemoglobin yang rendah dan BMI rendah 1-6 bulan sebelum menderita AIDS, gejala-gejala yang muncul 7-12 bulan sebelum onset AIDS, dan usia tua. Faktor risiko lain yang teridentifikasi, pada penelitian Farinour dkk, meliputi peningkatan usia, penggunaan obat intravena, dan IQ yang rendah.

3) HIV dan psikosisMenurut Sewell pada tahun 1996, penderita skizofrenia pada penderita HIV berkisar antara 0,2-15%. Gangguan psikotik mungkin terjadi pada individu yang terinfeksi HIV sebagai bagian dari penyakit yang muncul atau sebagai gangguan sekunder dari konsekuensi HIV sendiri, termasuk terapi antiretroviral yang diberikan. Gejala psikotik tidak selalu sebuah proses dari schizophreniform. Pada individu dengna penyakit psikososial yang telah ada sebelumnya, penatalaksanaan yang hati-hati dengan obat neuroleptik dan intervensi psikososial mungkin efektif.

4) HIV dan gangguan afektifDepresi dilaporkan terjadi setidaknya sebesar 15-20% pada pasien dengan HIV positif pada tahun 1997 oleh Rabkin dkk. kebanyakan dari pasien-pasien dengan depresi dan HIV tidak didiagnosis dan ditatalaksana dengan tepat. Oleh karena itu, sangat penting menilai dan memonitor gejala-gejala depresi pada populasi terinfeksi dan mengobati gejala dengan pengobatan medis, baik secara farmakologi, psikologi, maupun sosial.Gangguan mania ditemukan dan mungkin merupakan sebuah eksaserbasi dari gangguan bipolar yang telah ada sebelum terinfeksi HIV atau gangguan sekunder dari kelainan organik atau pengobatan. Walaupun prevalensi pasti dari gangguan mania pada individu terinfeksi HIV belum diketahui secara pasti, sebuah penelitian oleh Ellen dkk pada tahun 1999, menunjukkan prevalensi dari secondary mania (manik yang tidak ditemukan pada riwayat gangguan mood baik pada pasien maupun keluarga pasien) menunnjukka sangat rendah, yaitu berkisar 1,2% pada individu terinfeksi HIV dan 4,3% pada pasien dengan AIDS. Obat neuroleptik memberikan outcome yang baik pada individu-individu yang terinfeksi HIV.

5) HIV dan gangguan kecemasanTidak mengherankan, gangguan kecemasan sangat umum ditemukan pada orang-orang yang terinfeksi HIV. Pada sebuah penelitian oleh Cohen dkk pada tahun 2002, ditemukan 70,3% pasien dengan gangguan kecemasan dari 101 pasien terinfeksi HIV. Penelitian tersebut juga menunjukkan kecenderungan pasien dengan viral loads tinggi menjadi depresi dan cemas serta lebih sedikit kecenderungan pasien dengan jumlah CD4 diatas 500 mm3 menderita depresi.

6) HIV dan gangguan kepribadianDilaporkan sekitar 19% dan 33% pasien terinfeksi HIV mengalami gangguan kepribadian. Menurut Compton dkk, pada tahun 1995, gangguan kepribadian antisosial berhubungan dengan peningkatan risiko paparan terhadap HIV, khususnya dalam konteks pengobatan. Gangguan kepribadian berhubungan dengan kebiasaan seksual yang impulsif. Para klinisi sebaiknya mampu mendiagnosis gangguan kepribadian yang mungkin ditemukan pada pasien dan mempertimbangkan kemungkinan yang dihadapi pasien pada berbagai masalah yang dihadapi berhubungan dengan infeksi HIV. Penatalaksanaan individu dengan HIV positif sangat kompleks., walaupun pengobatan secara umum tidak sesuai dengan pengobatan primer dari gangguan kepribadian yang dimiliki oleh pasien, pengobatan yang berhubungan dengan depresi dan kecemasan mungkin akan membantu dalam penatalaksaannya.

7) HIV dan bunuh diriWalaupun masih sebuah kontrofersi dan tidak diketahui secara pasti apakah infeksi HIV memicu terjadinya bunuh diri, bunuh diri dan infeksi HIV memiliki hubungan. Perilaku bunuh diri mungkin dipengaruhi oleh berbagai variabel, seperti HIV positif, penyalahgunaan obat, riwayat psikiatrik sebelumnya, seperti gangguan depresi. Penilaian keinginan bunuh diri merupakan bagian dari penilaian psikiatrik dan pada beberapa kasus mungkin dibutuhkan selama perawatan untuk menentukan pengobatan dan psychiatric liaison input yang sesuai.

2.5.3 FarmakoterapiJika dimungkinkan, intervensi langsung harus bertujuan untuk mengobati penyebab gangguan psikiatri pada pasien terinfeksi HIV. Terapi utama HIV/AIDS adalah dengan 3 kelas obat antiviral, nucleoside reverse transcriptase inhibitors, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors dan protease inhibitors. Sejumlah antiviral lain dapat digunakan untuk infeksi spesifik sebagai tambahan pada agen anti infeksi lain. Beberapa agen tersebut dapat menginduksi gangguan mood atau bahkan kondisi psikosis sehingga dibutuhkan pengawasan ketat.Umumnya, terapi gangguan psikiatri pada individu dengan HIV serupa dengan individu non-infeksi. Meskipun kebanyakan agen psikofarmakologik pada beberapa penggunaan dapat aman digunakan pada penderita HIV namun dapat lebih mudah menyebabkan efek samping, dosis yang lebih tinggi, efek samping dan interaksi obat.

Agen spesifik sebagai psikofarmaka untuk pasien HIV Antidepressan TrisiklikMeski imipramine telah tampak efektif dalam mengobati pasien HIV positif dengan depresi, efek sampingnya dapat menyebabkan kerugian berat yang dapat membatasi ketaatan dan mempengaruhi kebutuhan akan obat ini.

Monoamine oxidase inhibitorsAgen ini belum digunakan secara luas dalam pengobatan depresi pada individu dengan HIV, dan beberapa literatur sedikit melaporkan tentang penggunaannya. Agen ini mungkin berinteraksi berbahaya engan zidovudine dan sulphonamides, dan penggunaannya tidak direkomendasikan

SSRIsAgen ini adalah terapi lini pertama untuk depresi pada pasien HIV. Sejumlah SSRI telah tampak digunakan dalam populasi yang terkena, termasuk fluoxetine, sertraline, dan paroxetine. Fluoxetine bersama dengan terapi grup pendukung telah dilaporkan lebih baik daripada plasebo. Meskipun SSRI memiliki beberapa efek samping, agen ini dapat memiliki interaksi signifikan dengan obat psikotropik lain yang dapat membatasi kegunaannya pada beberapa individu. Efek sampingnya (termasuk gangguan fungsi seksual) dapat menurunkan efikasinya.

Agen lain-lainSejumlah agen lain telah disarankan dapat berguna dalam terapi depresi terkait HIV, termasuk nefazodone, mirtazapine, venlafaxine, psychostimulants, dan testosterone. Prekursor testosterone seperti DHEA dan L-acetylcarnitine, suatu agen serupa asetilkolin telah diperiksa. Sebagai tambaha, telah dilaporkan bahwa rokok kanabis dapat berguna untuk mereka yang positif HIV, meskipun masih kontroversial. Bupropion telah diperiksa tetapi belum ditemukan sebagai terapi yang efektif.

AntipsikotikSeluruh jenis antipsikotik digunakan untuk terapi penyakit psikotik pada penderita HIV. Obat ini juga berguna dalam menterapi berbagai kondisi seperti mual dan delirium. Terdapat peningkatan resiko efek ekstrapiramidal dan neuroleptic malignant syndrome pada pasien psikotik dengan ensefalopati HIV dibandingkan dengan psikotik non-AIDS. Penggunaan clozapine pada pasien HIV masih kontroversial dan tidak direkomendasikan pada populasi ini. Antipsikotik atipikal direkomendasikan sebagai lini pertama, dan terdapat bukti bahwa agen seperti risperidone dan haloperidol adalah agen yang berguna untuk terapi psikotik pasien HIV. Olanzapine dapat pula berguna, bagaimanapun, terdapat bukti inadekuat untuk digunakan secara luas.

Mood stabilizer dan antikonvulsanTelah dilaporkan bahwa agen ini kurang dapat ditoleransi oleh pasien HIV yang imunosupresif sehingga penggunaan obat ini harus hati-hati. Litium telah ditemukan mempunyai banyak keuntungan dalam HIV dan AIDS, dan mempunyai fungsi neuroprotektif tambahan dalam memberikan efek stabilisasi mood.

AnxiolitikBenzodiazepine dan agen hipnotik secara luas digunakan dalam psikiatri dan dapat berguna pada penderita HIV dengan ansietas atau insomnia. Penggunaan jangka panjang dari agen ini tidak direkomendasikan, dan perhatian harus diberikan dalam mengobati penyebab ansietas dengan metode non-farmakologi. Sedasi berlebih dapat terjadi ketika benzodiazepine atau zopuclone diberikan dengan ritonavir

2.5.4 Terapi psikologisSejumlah pendekatan psikologis telah digunakan, baik itu sebagai intervensi terapeutik utama maupun sebagai tambahan dalam terapi psikofarmakologik. Hal ini termasuk didalamnya yaitu konseling, dukungan, dan pendekatan psikoedukasi, termasuk psikoterapi (psikodinamik dan interpersonal) dan CBT (cognitive-behavioural therapy).

KonselingKonselng telah tampak menjadi suatu intervensi penting dan berguna pada berbagai stadium perjalanan penyakit HIV, termasuk pre-test dan post-test. Strategi psikoedukasi bertujuan mempertahankan kesehatan dan pemenuhan dengan obat-obat dapat pula efektif.

PsikoterapiKeduanya baik itu psikodinamik maupun terapi interpersonal telah tampak membantu. Sebagai contoh, terapi psikodinamik grup dan individual telah tampak efektif pada pria homoseksual dengan HIV.Terapi interpersonal (IT) adalah terapi mingguan singkat (12-16 minggu) yang fokus pada mengembangkan fungsi interpersonal. Individu dengan HIV telah menunjukkan efektivitas dalam asosiasi dengan antidepresan sebaik bila dipakai sendiri, dan suatu RCT yang membandingkan 4 intervensi psikoterapi yang berbeda pada pasien HIV positif dengan depresi (IT, CBT, supportive therapi (ST) dan ST dengan imipramine) menduga bahwa terapi interpersonal menghasilkan perkembangan yang secara signifikan lebih baik pada depresi daripada CBT atau ST saja. Studi ini juga menunjukkan bahwa ST dengan imipramine efikasinya sebanding dengan IT

Cognitive-behavioural therapy (CBT)CBT telah tampak berguna dalam mengobati ansietas dan gejala mood dan juga telah berguna sebagai terapi tambahan antidepressan. Selain itu, pendekatan berdasarkan CBT dapat pula berguna dalam mengurangi perilaku beresiko HIV.

Intervensi sosialHIV dan AIDS menyerang individu, keluarga, teman, dan komunitasi yang lebih luas secara umum. Karenanya memasukkan dukungan sosial adalah tambahan penting dalam mensukseskan terapi setiap mortalitas psikiatri terkait HIV. Intervensi yang dapat berguna termasuk strategi edukasi yang tepat, perhatian terhadap keuangan, tempat tinggal, dukungan sosial, dan isu kebutuhan umum. Kurangnya kemandirian dapat menyebabkan distress yang hebat dan harus ditangani segera. Sejumlah individu dengan HIV mengalami isolasi sosial dan stigmatisasi yng dapat tertolong dengan berbagai organisasi penyokong HIV/AIDS.

Perhatian Khusus untuk Psikoterapi pada Pasien HIV/AIDSAda sedikit perbedaan penekanan fokus pada pasien HIV, yaitu lebih ditekankan pada pola hidup sehat, tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain termasuk hubungan monogami, praktik hubungan seks yang aman, dan kontrol teratur. Di pihak lain, pada pasein AIDS lebih ditekankan pada persiapan menghadapi kemungkinan stadium terminal penyakitnya.Meskipun pada tiap masing-masing manifestasi gejala-gejala psikiatrik di atas telah dicantumkan berbagai teknik dan cara psikoterapi, mungkin perlu diperhatikan berberapa hal yang khusus bagi hubungan antara psikiater C-L/terapis dengan pasien HIV/AIDS yang membedakan hubungannya dengan pasien psikiatrik lainnya.Ada beberapa respons dari terapis yang umum dilakukan jika berhadapan dengan pasien HIV/AIDS:1. Ada tendensi terapis untuk menciptakan jarak dengan pasien karena merasa tidak nyaman berhadapan dengan orang yang sedang sakit berat atau sedang menghadapi kematian.2. Terapis menghadapi kesulitan mengemukakan secara langsung hal-hal yang berkaitan dengan kematian pasien.3. Terapis tidak mampu menghadapi deteriorasi fisik pasien HIV/AIDS.4. Terapis mungkin tidak setuju terhadap pilihan cara hidup pasien misalnya pasien adalah homoseksual atau misalnya pasien tetap melakukan sex dengan cara yang tidak aman.5. Terapis mungkin memiliki ketakutan yang tak disadarinya mengenai terpapar atau tertular oleh pasien HIV/AIDS.

Terapis perlu sadar akan perasaan dan responsnya yang dapat mempengaruhi perawatan pasien dan membahayakanrapport. Dengan berbicara mengenai ketakutannya pada kolega yang terpercaya, terapis sering dapat menangani stres psikologisnya. Yang terpenting ialah seorang terapis harus memiliki pengetahuan, keluwesan, dan kejujuran untuk mengkronfrontasikan ketakutan, emosi, serta perasaan frustasinya dalam melakukan pekerjaan ini.Pasien HIV/AIDS memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang perlu dipertimbangkan dengan menetapkan tujuan terapi sebagai berikut:1. Membantu pasien mempertahankan kontrol akan hidupnya dan membantu mereka menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap yang selalu positif dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres dalam perjalanan penyakitnya.2. Membantu pasien menghadapi perasaan bersalah, penyangkalan, panik, dan putus asa.3. Bekerja bersama pasien menciptakan perasaanself-respect(menghormati diri sendiri) dan menyelesaikan konflik mereka jika ada (misalnya homoseksualitas, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya).4. Membantu mereka berkomunikasi dengan keluarga, pasangan hidup dan teman-teman mengenai penyakit mereka dan rasa takut akan penolakan serta ditinggalkan. Juga membantu mereka membina hubungan interpersonal yang memuaskan.5. Membantu mereka membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis nyata yang mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi, dan hal-hal dalam kehidupan lainnya.

Bekerja bersama pasien HIV membutuhkan keahlian profesional yang tinggi, empati, dan uniknya, pengertian akan diri sendiri. Selain memiliki pengetahuan medis yang luas mengenai kondisi klinis yang mempunyai rentang yang luas, juga kemauan untuk menghadapi masalah-masalah psikodinamis yang sudah berlalu dan perhatian medis serta sosial yang realistik saat ini dan yang akan datang.Pendekatan yang penting dan tidak boleh dilupakan pada pasien penyakit terminal seperti HIV/AIDS ini adalah pendekatan agama. Setiap manusia, baik religius maupun sekuler, pada prinsipnya memiliki kebutuhan dasar spiritual. Yang perlu digarisbawahi, pendekatan ini tidak berarti mengubah kepercayaan masing-masing pasien melainkan meningkatkan kekuatan spiritual mereka dalam menghadapi penyakitnya. Tujuan pendekatan ini adalah membuat pasien dapat menerima kenyataan sepenuhnya dan dapat melewati fase-fase terakhir dalam hidupnya dengan damai dan tenang, membuat dia merasa kembali pada Tuhan, seperti manusia lainnya di mana tidak ada seorang pun yang dapat mencegah datangnya kematian.Agama, budaya, dan tradisi memegang peranan penting dalam proses pelaksanaan strategi pengobatan yang menyeluruh serta bukan hanya tanggung jawab dari bidang psikiatri. Psikiater yang memahami CLP tentunya harus mengetahui dan memahami peran berbagai faktor di atas dengan melibatkan serta bekerjasama dengan berbagai bidang/pakar lain. Dengan demikian, tercipta hubungan trans-sektoral dan interdisplin yang menunjang keberhasilan proses pengobatan.

2.6 Rheumatoid arthritisRheumatoid arthritis (RA) adalah suatu kelainan inflamasi kronik dengan etiologi yang tidak diketahui menyerang sekitar 0,8% populasi, dengan wanita tiga kali lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Yang terberat dari penyakit ini adalah jaringan sendi dan sekitar sendi, mengakibatkan artropati inflamasi simetris perifer. Destruksi dari jaringan kartilago dan erosi tulang dapat terjadi, yang pada akhirnya menyebabkan destruksi sendi. Beberapa derajat manifestasi di luar sendi (ekstra-artikular) ditemukan paling menyebabkan penderitaan. Manifestasi ekstra-artikular ini bervariasi secara luas antar penderita tetapi mungkin termasuk gejala sistemik (anoreksia, penurunan berat badan, myalgia), abnormalitas lokal seperti nodul rematoid, atau manifestasi sistem kardiovaskular (vaskulitis, perikarditis), sistem respirasi (efusi pleura, fibrosis pulmonal), atau SSP (kompreasi medulla spinalis, neuropati perifer).Onset, paling umum pada dekade ketiga dan keempat, tersembunyi pada mayoritas kasus. Perjalanan penyakit khasnya memanjang dan bercirikan relaps dan remisi.

2.6.1 Epidemiologi Gangguan psikiatri umum ditemukan pada penderita rematoid artritis. Prevalensi bervariasi secara luas pada berbagai literatur, beberapa sumber menyatakan bahwa seperlima penderita RA memiliki gangguan psikiatri. 19% dari populasi penderita RA menunjukkan gejala psikiatri. Prevalensi depresi pada penderita RA sebanding antara pria dan wanita. Hal ini berbeda dengan prevalensi depresi pada penyakit kronik lain yang lebih banyak diderita oleh wanita dibandingkan pria.

2.6.2 Kelainan Psikiatrik Spesifik pada Rheumatoid Arthritis Nyeri dan depresiDepresi dapat muncul, sebagian, sebagai suatu reaksi terhadap pengalaman nyeri kronik. Suatu studi cross-sectional menunjukkan bahwa depresi memburuk pada penderita nyeri hebat, meski tidak jelas apakah depresi adalah reaksi terhadap nyeri, atau apakah depresi berperan dalam persepsi nyeri. Disabilitas dan depresiDepresi dapat akibat peningkatan disabilitas. Depresi terjadi setelah keunduran fungsional tubuh, sebagian menganggap aktivitas yang dilakukan bersama menjadi penting, seperti mengunjungi keluarga, berpergian liburan. Penurunan 10% kemampuan melakukan aktivitas yang bermakna diikuti dengan meningkatakn 7 kali lipat depresi.Mekanisme bagaimana nyeri dan disabilitas menyebabkan depresi tidak diketahui dengan jelas. Meski nyeri dan disabilitas adalah stressor potensial dan dapat meningkatkan depresi, terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa nyeri dan disabilitas RS tidak cukup untuk menyebabkan depresi. Faktor-faktor seperti stres sosial dan isolasi sosial dapat menyebabkan depresi yang berkembang pada RA yang tidak terlalu berat.

Dampak gangguan psikiatri pada RA Depresi dan persepsi/pelaporan gejalaDepresi dapat mempengaruhi cara pasien merasakan atau melaporkan gejala RA. Depresi telah menunjukkan hubungannya dengan deskripsi verbal terhadap jenis nyeri meski tidak disertai dengan seringnya keluhan nyeri. Depresi juga dapat menyebabkan disabilitas yang lebih berat, dan lebih sering menyebabkan pasien RA dirawat inap.

Depresi dan gangguan kognisiFaktor kognitif dapat menjadi penting dalam memediasi pengaruh depresi terhadap tanda dan gejala fisik pada pasien RA. Depresi dikaitkan dengan peningkatan kecemasan tentang penyakit dan kepastian akan keparahan penyakitnya. Pasien RA dengan depresi beranggapan bahwa penyakitnya menjadi lebih serius dan merasa putus asa akan kesembuhan dibandingkan dengan pasien RA tanpa depreasi.

Depresi dan gangguan perilakuDepresi telah menunjukkan suatu dampak pada perilaku mencari kesehatan dan keterikatan dengan perawatan pada pasien dengan RA. Pasien RA dengan depresi lebih sering melaporkan gejala fisiknya secara berlebihan.

2.6.3 TerapiBeberapa studi telah menunjukkan bahwa terapi psikologis, terutama kognitif dan perilaku, efektif dalam mengurangi distress psikologis. Selain itu, beberapa terapi dapat mengurangi nyeri dan memperbaiki fungsi, meski tidak jelas apakah efek tersebut dimediasi oleh perubahan ke status inflamasi atau perbaikan dalam meniru.Intervensi psikologis sebaiknya selalu dipertimbangkan pada pasien dengan RA yang memiliki masalah psikiatri. Kurangnya ketersediaan terapi segera sering menunjukkan bahwa terapi psikologis disediakan untuk kasus yang lebih kompleks. Prinsip perilaku kognitif dapat digunakan oleh non-psikologis untuk mengoptimalkan perawatan pasien. Pasien yang baru didiagnosa harus diedukasi tentang penyakitnya dan perjalanan penyakitnya, yang mungkin dapat memfasilitasi kepatuhan pasien.Terdapat pilihan antidepressan yang luas yang kini tersedia untuk klinisi, meski mayoritas obat-obat ini belum memiliki penilaian efikasi pada penderitaan pasien dari sakit klinisnya. Bukti terkini dari studi pada populasi psikiatri dan nyeri kronik lainnya mengindikasikan bahwa variasi antidepressan ketika diberikan pada dosis psikoterapetik yang tepat memiliki efikasi yang kira-kira seimbang pada tatalaksana depresi. Obat tersebut juga dibandingkan dengan efek analgetiknya, toleransi dan interaksi obat tersebut. Antidepresan trisiklik seperti amitriptyline, memiliki efek analgetik paling baik meski dalam dosis rendah dan tidak bergantung apakah depresinya ada atau tidak. Pada dosis lebih tinggi toleransi dan keamanannya lebih buruk, terutama pada pasien usia tua.Obat-obat baru memiliki efek antidepresan sebanding, meski efek analgetiknya belum ditetapkan dan obat ini lebih mahal. Secara umum, SSRIs, sepert fluoxetine atau citalopram, pada dosis maksimal yang direkomendasikan sebaiknya dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk depresi pada RA. Selanjutnya, TCA, seperti amitriptyline atau dosulepin sebaiknya diberikan pada dosis rendah untuk penghilang nyeri. Kombinasi TCA dan SSRI meningkatkan resiko efek samping dan sebaiknya dihindari kecuali dibawah pengawasan ahli. Interaksi obat dapat terjadi meski ini bukan masalah dengan sebagai terapi lini pertama atau kedua untuk RA.

2.7 Lupus Eritematosus Sistemik dan Gangguan PsikiatrikLupus eritematosus sistemik merupakan penyakit inflamasi korinik dan penyakit autoimun yang dapat mengenai berbagai organ dan sistem dalam tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi lupus paling banyak mengenai wanita (sekitar 90% kasus), khususnya mengenai wanita usia 15-45 tahun. Gejala neurologi dan psikiatrik sering muncul karena penyakit ini juga dapat mengenai sistem saraf pusat. Prevalensi gangguan neuropsikiatrik pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik bervariasi, 14-75%, bergantung pada kriteria diagnostik dan populasi penelitian. Stres psikologi dianggap sebagai pemicu penting kekambuhan penyakit ini. The American College of Rheumatology (ACR) mengklasifikasi sindrom neuropsikiatri yang berhubungan dengan lupus, seperti psikosis, gangguan mood, gangguan cemas, dan acute confusional state. Gejala psikiatrik didapatkan pada 50% pasien yang ditatalaksana dengan steroid.Pada pemeriksaan didapatkan hasil pemeriksaan laboratorik ANA positif, tes lupus eritematosus sistemik positif, anemia, trombositopenia, efusi pleural pada pemeriksaan rontgen, serta pericarditis juga dapat ditemukan pada pasien yang menderita lupus. Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit autoimun yang menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Penyakit ini paling sering menyerang wanita. Gejala psikiatrik didapatkan pada 50% pasien yang ditatalaksana dengan steroid. Gejala yang dialami dapat berupa gangguan depresi, paranoid, psikosis, dan gangguan mood.

BAB IIIKESIMPULAN

Gangguan psikiatri pada penderita penyakit imun meliputi dua bidang, yaitu neurobiologik dan psikobiologik, yang keduanya berkaitan erat dengan penyakit imun itu sendiri. Ilmu psikiatri memainkan peran penting dalam mengatasi gejala psikotik maupun non-psikotik yang dialami oleh individu dengan penyakit imun serta mencegah dampak psikososial yang dapat ditemukan pada pasien tersebut. CLP sebagai salah satu subspesialisasi cabang ilmu psikiatri yang mempelajari, mempraktekkan, dan mengajarkan mengenai komorbiditas medik dan psikiatri, memiliki peranan penting dalam menangani pasien dengan penyakit imun karena pendekatannya dalam bentuk pendekatan biopsikososial.Terkhusus untuk pasien dengan penyakit imun dan manifestasi psikiatri, bukan hanya terapi psikofarmakologis tetapi juga terapi non-farmakologis menunjukkan hasil yang baik dalam meningkatkan kualitas hidup individu dengan penyakit imun dan gejala psikiatri. Terapi psikologis mulai dari konseling, psikoterapi, CBT, hingga intervensi sosial harus diterapkan secara optimal dalam pengobatan pasien dengan gangguan psikiatri. Dan dalam penerapannya perlu perhatian khusus untuk pasien karena terdapat kondisi-kondisi spesifik yang berpengaruh terhadap kesembuhan dan keberhasilan terapi psikologis untuk pasien. Dengan optimalnya penerapan ilmu dan konsep kerja dari CLP diharapkan didapatkan pula pengobatan yang optimal bagi pasien dengan gejala psikiatri.

DAFTAR PUSTAKA

Archinard Marc, Dumont Patricia, De Tonnac Nicolas, : Guidelines and Evaluation : Improve the Quality of Consultation-Liaison Psychiatry. Psychosomatic 46:425-430, 2005. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d Maret 2008. Available from : http://www.aids-ina.org/files/datakasus/jun2008.pdf Goldenberg D, Boyle BA. HIV dan Psikiatri. Available from: http//www.spiritia.or.id/cst/php?=10418Guthrie E, Creed F . Seminars in liaison psychiatry. London. Gaskel/Royal College of Psychiatrists; 1996Hamburg BA. CONSULTATION/LIAISON PSYCHIATRY. Bull. N.Y. Acad. Med.1987;63(4):376-85Jorsh MS. Somatoform disorders: The role of consultation liaison psychiatry. International Review of Psychiatry. Feb 2006;18(1):61-65Kornfeld Donald S, : Consultation-Liaison Psychiatry : Contributions to Medical Practice. American Journal of Psychiatry 159:1964-1972, 2002.Kornfeld DS. Consultation-Liaison Psychiatry: Contributions to Medical Practice. Am J Psychiatry.2002;159(-):1964-72Lloyd, M. and Bor, R. (2004). Communication Skills for Medicine, 2nd edn. Edinburgh: Churchill Livingstone.Lobo A, Lozano M, Diefenbacher A. Psychosomatic Psychiatry: a European View. The European Journal of Psychiatry.Jun 2007;21(2)Meadows GN, Harvey CA, Joubert L, Barton D, Bedi G. The Consultation-Liaison in Primary-Care Psychiatry Program: A Structured Approach to Long-Term Collaboration. PSYCHIATRIC SERVICES.Aug 2007;58(8):10361038Philbrick KL, Rundell JR, Netzel PJ, Levenson JL. Clinical Manual of Psychosomatic Medicine - A guide to Consultation Liaison Psychiatry. 2nd ed. Arlington, VA. American Psychiatric Publishing; 2012Sharpe M, Gath D. Recent Developments Consultation Liaison Psychiatry -- A view from Oxford. Hong Kong Journal of Psychiatry.1997;7(1):9-13Shaw RJ., Wamboldt M, et al.2006, Practice Patterns in Pediatric Consultation-Liaison Psychiatry, A National Survey ,Psychosomatics ; 47:43-49.Smith G. 2006. Effectiveness of integrated care: terminology and approach School of Psychology, Psychiatry and Psychological Medicine Monash University Melbourne, Australia, EACLPP.Sllner W. 2006. Psychotherapy is the basic treatment Dept. of Psychosomatic Medicine and Psychotherapy General Hospital Nuremberg, EACLPP.Tandiono E, Wibisono S, Darmabrata W. Peran Consultation ? Liaison Psychiatry Pada Penatalaksanaan Pasien Dengan HIV/AIDS. Available from: http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/hor1.htmWise TN., Ramchandani D, 2004, The Changing Content of Psychosomatics: Reflection of theGrowth of Consultation-Liaison Psychiatry?.Psychosomatics 2004; 45:1-6.

31