Clostridium Tetani
-
Upload
hendra-setyawan -
Category
Documents
-
view
32 -
download
0
description
Transcript of Clostridium Tetani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana… dalam udara yang kita
hirup, di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh kita. Bahkan sebenarnya, kita
sepenuhnya hidup ditengah-tengah dunia bakteri yang tidak tampak.Bakteri berasal dari kata
Bakterion (yunani=batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam Divisio
Schizomycetes. Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang
lurus,langsing,berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron.
Bakteri clostridium tetani dapat menyebabkan penyakit tetanus.
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik
dan berat.Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin.
Clostridium tetani bisa menguntungkan dan juga merugikan bagi
manusia.
Dari data dan permasalahan diatas,maka penulis tertarik untuk mengangkat tentang bakteri
clostridium tetani ke dalam sebuah makalah yaitu dengan judul “clostridium tetani”.
Page 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Taksonomi
Adapun klasifikasi pada bakteri ini adalah :
Kingdom : Bacteria
Division : Firmicutes
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Family : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Species : Clostridium tetani
Tetanus yang sungguh sudah dikenal oleh orang-orang yang dimasa
lalu, yang dikenal karena hubungan antara luka-luka dan kekejangan-
kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier mengisolasi toksin
Page 2
tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri lahan
anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884
oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat
mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus
di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik syaraf mereka di pangkal
paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun
yang sama tersebut. Pada tahun 1889, C.tetani terisolasi dari suatu korban
manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa
organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh
binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah
penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard
menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif
di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari
penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh
P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah
tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama perang dunia
ke-II.
B. Epidemiologi
Tetanus sudah sangat jarang dijumpai di negara yang telah maju sperti Amerika Serikat,
dikarenakan imunisasi aktif yang telah dilaksanakan dengan baik, di samping sanitasi lingkungan
yang bersih. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, pemyakit ini masih banyak
dijumpai karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan. Perawatan luka
yang kurang higienis, serta kurangnya kekebalan terhadap tetanus. Penyakit tetanus biasanya
timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan kebersihan dan perawatan
luka yang buruk.
Tetanus terjadi di seluruh dunia dengan insiden yang sangat bervariasi. Bentuk yang
paling sering ialah tetanus neonatorum yang memb unuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi
setiap tahun karena ibu tidak diimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar
sepuluh negara Asia dan Afrika. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan
menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan
Page 3
11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah
sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%
kelompok >10 tahun, dan sisanya bayi <12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%.
Lagipula diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak terimunisasi men inggal setiap tahun
karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi C.tetani pada luka paska partus, paska
abortus, atau bedah. Sekitar 50 kasus tetanus dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat,
kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar jalan dan
kasus neonatus juga terjadi.
Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis, sering
luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas, atau
injeksi tidak steril. Tetanus paska injeksi obat terlarang menjadi kasus yang sering, sementara
keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses, pelubangan cuping telinga, ulkus kulit
kronik, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga
terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atau setelah injeksi intramuskuler
obat-obatan.
C. Morfologi
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing,
berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini
membentuk eksotoksin yang disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di
tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang.
Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora,
mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu
tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan
penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin
(tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175
nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Page 4
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga
biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave
pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit. Juga resisten terhadap
phenol dan agen kimia yang lainnya.
D. Cara penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit
infeksi yang penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya
yang masih tinggi . Tetanus merupakan infeksi berbahaya yang biasa
mendatangkan kematian. Bakteri ini ditemukan di tanah dan feses manusia
dan binatang. Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari. Di dalam
luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium
tetani berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin
yang kuat. Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf
motorik menuju ke bagian anterior spinal cord.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman
Clostridium tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas
Luka baker tingkat 2 dan 3
Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya
Luka-luka di bawah kuku
Ulkus kulit yang iskemik
Luka bekas suntikan narkoba
Bekas irisan umbilicus pada bayi
Endometritis sesudah abortus septic
Abses gigi
Mastoiditis kronis
Ruptur apendiks
Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja
E. Gejala
Page 5
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi
ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi
mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang (karena toksin yang terdapat di kornu anterior)
5. Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan
ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan
ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuaty. Anak tetap sadar. Spasme mjula-mula
intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai
rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urin dapat
terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena
kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan intrakranial.
Ada 3 bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:
1. Localited tetanus (tetanus local)
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi persisten, pada daerah tempat dimana luka
terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal ini merupakan tanda dari tetanus local. Kontraksi otot
btersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya
menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi genelarized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama
dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2. Cephalic tetanus ( tetanus sefalik )
Page 6
Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2 hari,
yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan
kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
3. Generalized tetanus (tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal
beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala
utama yang paling sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masetter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicua (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa disuria dan retensi
urine, kompressi fraktur dan perdarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya
sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,
tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Selain itu terdapat juga bentuk lain yang disebut Tetanus Neonatorum. Tetanus Neonatorum
biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus
bentuk ini terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat,
terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung
pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat mengikat dan memotong
umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI,
iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang
terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.6
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium :
1. Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan.
Ablett mengklasifikasikan tetanus sebagai:
1. Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Page 7
2. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai
sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan.
3. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan,
frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
4. Derajat IV (sangat berat) : Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem
kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan
bradikardia, salah satunya dapat menetap.
F. Patogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Biasanya penyakit terjadi setelah luka tusuk yang
dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka tembak,
karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor, luka bakar, dan patah tulang terbuka juga akan megakibatkan keadaan anaerob yang ideal
untuk pertumbuhan C. Tetani ini. Walaupun demikian, luka-luka ringan seperti luka gores, lesi
pada mata, telinga atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan
porte d’entree dari C. Tetani. Juga sering ditemukan telinga dengan otitis media perforata
sebagai tempat masuk C. Tetani. Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah
menjadi bentuk vegetatif bila ada linkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang
rendah. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil
tetanus mensekresi 2 macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Gejala klinis timbul sebagai
dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf otonom.
Pada masa pertumbuhan eksotoksin diproduksi, yang diserap oleh liran darah sistemik dan
serabut saraf perifer. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk
lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu
anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Hipotesis mengenai cara absorbsi
dan bekerjanya toksin :
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu anterior
susunan saraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk
ke dalam susunan saraf pusat. Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat oleh
Page 8
jaringan saraf dan bila dalam keadaan teikat, tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin.
Eksotoksin dari Clostridium tetani dipisahkan menjadi 2 yaitu Tetanolisisn dan
Tetanospasmin. Tetanolisin yang mampu secara local merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi
bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup
lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat
150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000
Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease
jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung
karboksil dari rantai berat terika pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanopasmin yang dilepas akan menyebar pada
jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf
lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian
berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar
dan ditransportasikan dalam axon dan secara retroged ke dalam badan sel batang otak dan saraf
spinal.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmitter inhibitori yaiutu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneron yang
mneghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga
dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah neurotransmitter
dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mnegakibatkan paralisis
flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh
daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuscular. Pusat medulla dan hipotalamus
mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian
hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermitten dan serangan autonomik,
masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuscular dapat berakibat kelemahan
Page 9
diantara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus
sefalik, dan myopati yang tersedia setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus
menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid.
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi
dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi
secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon.
Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek.
Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer tangan kanan dan kaki relatif
jarang terlibat.
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control
otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron ireversibel. Pemulihan membutuhkan tumbuhnya
ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang
terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki
aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak
memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan
bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urusan keterlibatan serabut
saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepid an pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi resinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi
terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai dari tempat masuk kuman atau pada otot masseter
(trimus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekauan yang makin berat,
pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin
mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan.
Tetanospasmin pada sisem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan
pernafasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhidrosis
Page 10
merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan
dikelola dengan teliti.
G. Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan
dengan cara :
a) imunisasi aktif dengan toksoid
b) perawatan luka menurut cara yang tepat
c) penggunaan antitoksi profilaksis
Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid
merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus.
Pencegahan denganpemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak
berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT).
H. Pengobatan
1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30 - 40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan
dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin
yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum
dapat dilakukan.
2. Antitoksin
Page 11
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG
mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan
reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U
dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara
intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang
tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan
secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
Page 12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana, dalam
udara yang kita hirup, di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh
kita. Bahkan sebenarnya, kita sepenuhnya hidup ditengah-tengah dunia
bakteri yang tidak tampak. Bakteri berasal dari kata Bakterion (yunani =
batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam Divisio
Schizomycetes.
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing,
berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri Clostridium
tetani dapat menyebabkan penyakit tetanus.
Page 13
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim,1997, Mikrobiologi Kedokteran, Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UGM,Yogyakarta
2. Fluit, C. 2001. Molekular Detection of Antimicrobial Resistance. Brooks, G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed.
3. Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara.
Page 14