ck

12
Trauma Kapitis Definisi Trauma Kapitis Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen ( PERDOSSI, 2006 dalam Asrini, 2008 ). Patofisiologi Trauma Kapitis Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan

Transcript of ck

Page 1: ck

Trauma Kapitis

Definisi Trauma Kapitis

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung

ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu

gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (

PERDOSSI, 2006 dalam Asrini, 2008 ).

Patofisiologi Trauma Kapitis

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai

akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung

kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan

kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ).

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan

pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan

pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area

benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya

kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut

dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami

akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma

kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi

rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa

akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan

intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di

antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak

dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak

(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak

lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak

memaksa otak

Page 2: ck

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan

(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan

iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak

otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah

cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon

dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya

kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya

glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan

pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan

tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam

otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam

bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila

suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak

untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia

pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).

Klasifikasi Trauma Kapitis

Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai

aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;

mekanisme,

beratnya cedera, dan morfologi.

1. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul

biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan

benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi

beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua

matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai

Page 3: ck

GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot

ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka

nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8

didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka

penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-

13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-

15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Head Injury

Ringan Kehilangan kesadaran < 30 menit

Amnesia post traumatik < 1 jam

GCS = 13 – 15

Sedang Kehilangan kesadaran > 30 menit

Amnesia post traumatik 1-24 jam

GCS = 9 - 12

Ringan Kehilangan kesadaran > 24 jam

Amnesia post traumatik > 7 hari

GCS < 9

( Sumber : konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal,2006)

3. Morfologi

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat

berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun

tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan

dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-

tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk

melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan

adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena

robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena

Page 4: ck

menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;

1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :

a. Linier

b. Diastase

c. Comminuted

d. Depressed

2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :

a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )

b. Basis cranii ( dasar tengkorak )

3. Keadaan luka, dibedakan atas :

a. Terbuka

b. Tertutup

b. Lesi Intra Kranial

1. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi

yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan

mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak

karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah

trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau

gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini

dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma

otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis

menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

2. Perdarahan Epidural

Page 5: ck

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak

dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering

terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh

robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan

ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri.

Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.

Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk

dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan

lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio

serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi

perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain:

1. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma

Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran,

yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-

masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah

adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.

Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi

• GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat

• GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang

• GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali

Page 6: ck

pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat

kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai

apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.

Page 7: ck

Tabel 2.2 Glasgow Coma Scale

Eye Opening

Spontaneous Opens eyes on own E 4

Speech Opens eyes when

asked to in a loud

voice

3

Pain Opens eyes upon

pressure

2

Pain Does not open eyes 1

Best Motor Response

Commands Follows simple

commands

M 6

Pain Pulls examiner’s

hand away upon

pressure

5

Pain Pulls a part of body away upon pressure

4

Pain Flexes body

inappropriately to

pain (decorticate

posturing)

3

Pain Body becomes rigid

in an extended

position upon

pressure

(decerebrate

posturing)

2

Pain Has no motor

response

1

Page 8: ck

Verbal Response (Talking)

Speech Carries on a

conversation

correctly and tells

examiner where

he/she is, who

he/she is and the

month and year

V 5

Speech Seems confused or

disoriented

4

Speech Talks so examiner

can understand

victim but makes no

sense

3

Speech Makes sounds that 2

examiner cannot

understand

Speech Makes no noise 1

( Sumber : Brain Injury Association of Michigan, 2005 )

2. Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.

Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.

Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf

okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa

merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.

Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua

hasilnya harus dicatat

Page 9: ck

( sumber ; Greaves dan Johnson, 2002 )

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman

leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan

tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri,

pembengkakan, dan memar.

Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974

(Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). Sejak itu GCS

merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera

kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera

terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat

kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup

dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam

menentukan prognosa ( Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat, 2007).

Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS

sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada

beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang

bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi

prediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid )

mempunyai mortalitas 90 %.

Page 10: ck

Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60

tahun merupakan kombinasi yang mematikan (Kelly dkk., 1996 dalam

Sastrodiningrat,

2007).

Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan

apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting

(American Association of Neurological Surgeons, 2000 dalam Sastrodiningrat, 2007).