ck
-
Upload
rosa-lita-yu -
Category
Documents
-
view
32 -
download
7
Transcript of ck
Trauma Kapitis
Definisi Trauma Kapitis
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (
PERDOSSI, 2006 dalam Asrini, 2008 ).
Patofisiologi Trauma Kapitis
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung
kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan
kepala ( Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami
akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma
kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah
cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon
dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan
tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam
otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam
bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila
suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak
untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia
pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).
Klasifikasi Trauma Kapitis
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai
GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka
nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka
penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-
15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injury yaitu :
Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Head Injury
Ringan Kehilangan kesadaran < 30 menit
Amnesia post traumatik < 1 jam
GCS = 13 – 15
Sedang Kehilangan kesadaran > 30 menit
Amnesia post traumatik 1-24 jam
GCS = 9 - 12
Ringan Kehilangan kesadaran > 24 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS < 9
( Sumber : konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal,2006)
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan
dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena
menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b. Lesi Intra Kranial
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi
yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan
mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini
dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma
otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak
dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan
ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.
Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain:
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran,
yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-
masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah
adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi
• GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
• GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang
• GCS > 13 : cedera kepala ringan
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai
apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
Tabel 2.2 Glasgow Coma Scale
Eye Opening
Spontaneous Opens eyes on own E 4
Speech Opens eyes when
asked to in a loud
voice
3
Pain Opens eyes upon
pressure
2
Pain Does not open eyes 1
Best Motor Response
Commands Follows simple
commands
M 6
Pain Pulls examiner’s
hand away upon
pressure
5
Pain Pulls a part of body away upon pressure
4
Pain Flexes body
inappropriately to
pain (decorticate
posturing)
3
Pain Body becomes rigid
in an extended
position upon
pressure
(decerebrate
posturing)
2
Pain Has no motor
response
1
Verbal Response (Talking)
Speech Carries on a
conversation
correctly and tells
examiner where
he/she is, who
he/she is and the
month and year
V 5
Speech Seems confused or
disoriented
4
Speech Talks so examiner
can understand
victim but makes no
sense
3
Speech Makes sounds that 2
examiner cannot
understand
Speech Makes no noise 1
( Sumber : Brain Injury Association of Michigan, 2005 )
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa
merupakan akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.
Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua
hasilnya harus dicatat
( sumber ; Greaves dan Johnson, 2002 )
4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman
leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan
tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri,
pembengkakan, dan memar.
Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974
(Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). Sejak itu GCS
merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera
kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera
terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat
kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup
dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam
menentukan prognosa ( Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS
sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada
beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang
bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi
prediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid )
mempunyai mortalitas 90 %.
Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60
tahun merupakan kombinasi yang mematikan (Kelly dkk., 1996 dalam
Sastrodiningrat,
2007).
Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan
apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting
(American Association of Neurological Surgeons, 2000 dalam Sastrodiningrat, 2007).