Civic

11

Click here to load reader

Transcript of Civic

Page 1: Civic

CE Indonesia adalah yayasan non-profit yang bergerak dalam bidang pendidikan kewarganegaraan. Yayasan ini bertujuan untuk mendorong berkembangnya kehidupan berwarga negara yang berwawasan, memiliki rasa turut berpartisipasi yang bertanggung jawab, yang dilakukan oleh tiap-tiap warganegara. Pada tahun 2002 CCEI berdiri sebagai kantor perwakilan dari Center for Civic Education (CCE) Calabasas, Amerika Serikat. Kemudian pada bulan Desember 2007, CCEI berubah menjadi yayasan yang bernama Yayasan Pusat Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia (YPPKI) atau Center for Civic Education Indonesia (CCEI).

Hingga saat ini, CCEI telah mengadakan program pelatihan, program pertukaran, dan program-program pendidikan lainnya. Lebih dari 5000 guru dan pendidik telah mengikuti program-program pelatihan bidang Kewarganegaraan yang diadakan CCEI. CCEI juga telah memiliki lebih dari 250 alumni program-program pertukaran yang telah dilaksakan sejak tahun 2002.

PROGRAM-PROGRAM

I. Pelatihan Kewarganegaraan

1. Kami Bangsa Indonesia (KBI)

Model pembelajaran kewarga-negaraan dalam pelatihan Kami Bangsa Indonesia atau dalam dunia internasional disebut Project Citizen sangat sederhana dan terbukti telah berhasil di banyak provinsi di Indonesia. CCEI yang berkedudukan di Jakarta dibantu oleh tim trainer di berbagai propinsi.

Guru PKn mendapatkan pelatihan secara intensif selama tiga hari untuk mempelajari model pembelajaran yang berusaha menyelesaikan masalah di masyarakat. Metode pembelajaran dalam program ini terpusat pada siswa; guru berperan sebagai pembimbing atau pengarah dan siswa memegang peran yang lebih aktif. Dalam program ini para siswa terlibat dalam proses pembuatan kebijakan public, mengidentifikasi masalah kebijakan publik yang berpengaruh terhadap diri mereka dan masyarakat, kemudian bekerja secara bertahap dan berkelompok agar dapat mengusulkan kebijakan publik baru.

2. Dasar-Dasar Demokrasi

Dasar–Dasar Demokrasi adalah suatu strategi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang inovatif untuk siswa-siswa Sekolah Dasar dengan menge-tengahkan konsep-konsep dasar mengenai hubungan siswa dan keluarganya dengan pemerin-tah. Dalam Dasar-Dasar Demokrasi, CCEI menggunakan tiga metode: Wewenang, Tanggung Jawab dan Keadilan, yang sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Wewenang, Tanggung Jawab dan Keadilan adalah materi-materi pembelajaran yang menyenangkan untuk anak-anak dimana mereka diajak untuk ikutserta aktif dalam pembelajaran.

 3. Delegasi Indonesia dalam International Project Citizen Showcase

Lebih dari 250 siswa dari 31 negara berkumpul di ibukota Amerika Serikat pada tanggal 15 – 17 Juli 2007 untuk mempresentasikan proyek dari negara mereka masing-

Page 2: Civic

masing dalam ajang Internasional Project Citizen Showcase (IPCS) (KBI di dunia internasional disebut Project Citizen). Acara ini merupakan kegiatan internasional pertama yang diadakan untuk merayakan suksesnya penerapan program Project Citizen di banyak negara di dunia. Delegasi Indonesia diwakili oleh delapan orang siswa terbaik dan seorang guru PKn dari SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta. Setelah sukses menampilkan proyek mereka, delegasi Indonesia meraih “Superior Achievement Award”.

II. Program Pertukaran

1. Indonesia Youth Leadership Program (IYLP)

Progam IYLP memberi kesempatan siswa dari berbagai penjuru Indonesia untuk melakukan kunjungan sebulan di Amerika, bertemu dengan orang-orang Amerika, berbagi kebudayaan Indonesia, dan belajar kepemimpinan, serta Pendidikan Kewarganegaraan. Siswa-siswi terpilih mewakili keanekaragaman latar belakang etnis, suku, dan agama di Indonesia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengertian dan persahabatn antar Indonesia dan Amerika. Program ini diselenggarakan bekerjasama dengan Legacy International sejak 2004 dan disponsori oleh Biro Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Amerika serta Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Program ini masih berjalan hingga saat ini.

 2. Linking Individuals, Knowledge and Cultures (LINC)

LINC adalah sebuah program pertukaran, yang disponsori oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Biro Pendidikan dan Kebudayaan. Para remaja Indonesia dan Amerika dapat bertemu dan belajar lebih banyak satu sama lain mengenai bangsa dan kebudayaan. LINC mengupayakan saling pengertian antara masyarakat Indonesia dan Amerika Serikat. Program-program kegiatan para siswa Indonesia dan Amerika dibuat untuk memperkenalkan prinsip-prinsip masyarakat madani dan kepemimpinan bagi remaja yang mereka terapkan di kedua Negara. Dalam program ini CCEI bekerjasama dengan Legacy International.

 3. Religion and Society: A Dialogue (RSD)

RSD adalah sebuah program yang dijalankan selama dua tahun, yaitu program pertukaran antara cendikiawan muslim, alim ulama, dan tokoh masyarakat di Indonesia dan Amerika.  Empat belas orang dari Indonesia dan enam orang dari Amerika akan berpergian setiap tahunnya, mengunjungi beberapa wilayah yang berbeda-beda di kedua negara, yang akan dipandu oleh universitas bergengsi dari masing-masing negara tersebut. Pertukaran ini mengundang partisipasi dari para profesional untuk lebih mendalami topik yang diberikan mengenai negara masing-masing; menciptakan suatu dialog tentang pendidikan dan praktek keagamaan di kedua negara; mengkaji kesesuaian antara ajaran agama dengan nilai-nilai demokrasi sosial dan politik.

 4. Community Leader Program (CLP)

Heartland International bekerjasama dengan Center for Civic Education Indonesia (CCEI) mengadakan program pelatihan pendidikan bernamaCommunity Leaders Program (CLP) selama tiga minggu yang berfokus pada usaha untuk memperkokoh

Page 3: Civic

Pendidikan Tingkat Menengah Swasta dan Negeri di Indonesia. Program yang didanai oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat ini melengkapi program-program serupa untuk memperbaiki kualitas belajar mengajar di sekolah menengah pertama dan atas, serta mengikutsertakan masyarakat secara lebih luas.

III. Program Camp

1. Youth Theater Camp

Youth Theater Camp 2009 “Menciptakan Toleransi dan Dialog melalui Seni Teater Interaktif di Daerah Timur Indonesia” telah sukses diselenggarakan tanggal 22 Juni – 23 Juli 2009 di Batu, Malang, Jawa Timur. Program ini telah sukses menyatukan 100 orang remaja dari Program ini telah sukses membawa anak-anak dari Pasuruan, Poso, Ambon dan Lombok untuk mempelajari teater sebagai sarana untuk membangun sikap toleransi dan dialog. Peserta berasal dari daerah-daerah konflik yang sebagian besar adalah korban-korban konflik. Selama kegiatan kamp 14 hari, mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menggunakan metode teater untuk menciptakan toleransi dan dialog. Mereka belajar untuk menempatkan diri mereka dalam posisi orang lain di dalam suatu konflik, untuk menemukan penyebab-penyebab konflik, untuk mencari solusi terbaik.

2. English Camp

CCE Indonesia mengadakan sebuah camp yang fokus pada pendidikan Bahasa Inggris dan Kepemimpinan untuk 42 orang siswa berasal dari daerah-daerah yang tersebar di kepulauan Indonesia. Acara ini diselenggarakan tanggal 11-18 September 2007, disponsori oleh Kedutaan Amerika di Jakarta.

Salah satu tujuan English Camp adalah mengumpulkan siswa-siswa yang berasal dari berbagai daerah yang mencerminkan keberagaman etnis, agama, budaya dan bahasa di Indonesia. Daerah-daerah tersebut adalah: Aceh, Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Dalam program ini, siswa-siswa tidak akan hanya duduk diam. Mereka terlibat dalam kegiatan yang interaktif dan mendorong mereka untuk berbahasa Inggris secara aktif.

Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan

bangsa dan negara Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya

manusia yang berkualitas yang diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang

yang porak poranda akibat perang. Perhatian besar Jepang terutama difokuskan

pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang dalam perang,

menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.

Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social

studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada

Page 4: Civic

pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga negara berkaitan dengan

upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam tulisan ini, kajian pendidikan

kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian

tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan

kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.

Konteks Kelahiran

Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri,

terutama setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian

pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai menunjukkan peningkatan.

Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana direncanakan

sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode

setelah kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi

 pendidikan di Jepang. Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang

bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Demikian pula

perubahan dirasakan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, mata pelajaran ini

telah bergeser penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan

pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk

membangun bangsa Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua

warganegara (Ikeno, 2005:93).

Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat

digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama,

periode tahun 1947-1955, berorientasi pada pengalaman. Kedua, periode tahun

1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode tahun 1985-

sekarang, berorientasi pada kemampuan”.

Periode pertama, Pendidikan Kewarganegaraan sebagian besar diterapkan

secara integratif ke dalam studi sosial. Studi sosial mengadopsi metoda-metoda

pemecahan masalah, seperti penelitian dan diskusi, dan mengajarkan

kehidupan sosial dan masyarakat secara umum. Di dalam kelas, para guru dan

anak-anak mempertimbangkan permasalahan kehidupan sosial dan masyarakat

melalui pengalaman sosial yang diperoleh dengan pemecahan masalah. Mereka

belajar tentang “masyarakat mereka sendiri” dan mengembangkan “sikap dan

keterampilan-keterampilan untuk berpartisipasi secara positif untuk

membangun masyarakat yang demokratis”.

Pelaksanaan pembelajaran studi sosial pada periode ini adalah melalui “yubin-

gokko (playing the post)” dan “yamabiko-gakko (echo school)”. Dalam praktek

ini, guru mengorganisir suatu struktur yang berhubungan dengan kegiatan pos

Page 5: Civic

sebagai satu aktivitas untuk anak-anak. Di yamabiko-gakko, guru mengorganisir

aktivitas penyelidikan sehingga anak-anak bisa membuat pertanyaan-

pertanyaan melalui komposisi dan jawaban bebas mereka.

Dalam situasi demikian, anak-anak itu melaksanakan aktivitas, sementara para

guru tidak mengambil peran yang besar untuk memimpin dalam proses

pembelajaran tersebut. Banyak orang mengkritik praktek pembelajaran ini,

mereka berpendapat bahwa dalam praktek pembelajaran tersebut, anak-anak

hanya memperoleh pengetahuan biasa yang dipelajari tanpa sengaja, dan

mereka menuntut para guru studi sosial untuk mengajar ilmu sosial secara

sistematis.

Pada periode yang kedua, Pendidikan Kewarganegaraan didasarkan atas prinsip

intelektualisme yang berkembang dalam disiplin akademis. Kementerian

Pendidikan Jepang memisahkan Pendidikan Moral (dotoku) dari studi sosial.

Studi sosial dipecah menjadi Geografi, Sejarah, dan

politik/ekonomy/kemasyarakatan.

Masing-masing disipilin di atas terdiri atas seperangkat pengetahuan dan

keterampilan. Hal tersebut dipersiapkan agar para siswa memiliki pengetahuan

inti tentang budaya Jepang secara umum. Pendidikan Kewarganegaraan periode

kedua ini diarahkan agar para siswa memperoleh pengetahuan yang dianggap

penting bagi bangsa Jepang.

Sasaran pengajaran Pendidikan Kewarganegara pada periode kedua ini terdiri

atas empat unsur (Ikeno, 2005:94), yaitu untuk mengembangkan:

1. pengetahuan dan pemahaman

2. keterampilan berpikir dan ketetapan

3. keterampilan dan kemampuan, dan

4. kemauan, minat, dan sikap warganegara

Pada periode ketiga, Pendidikan Jepang ditekankan pada pengembangan prinsip

hubungan timbal balik. Dalam hal ini, pendidikan sekolah difokuskan untuk

mengembangkan “kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan siswa”, dalam

arti siswa mampu menemukan suatu masalah sendiri, belajar tentang

permasalahan itu, memikirkannya, menilai dengan bebas, menggunakan

metode yang tepat, memecahkan masalah secara tepat, kreatif, dan

memperdalam pemahamannya tentang hidup. Sasaran ini dicapai melalui

integrasi dari setiap disiplin ilmu. Karena itu, periode ini disebut sebagai

“periode studi yang terintegrasi”.

Page 6: Civic

Pendidikan Kewarganegaraan dalam periode ketiga bertujuan mempersiapkan

setiap individu untuk dapat terlibat dalam secara aktif dalam masyarakat, dan

menggunakan budaya umum dalam setiap hal. Penekanan Pendidikan

Kewarganegaraan telah diubah dari mengutamakan pengetahuan umum

tentang bangsa Jepang kepada kemampuan itu untuk membangun masyarakat.

Pada periode ketiga ini, pendidikan Kewarganegaraan Jepang sebagian besar

diterapkan sebagai “kewarganegaraan (civics)” dalam sekolah tingkat atas, dan

sebagai “studi sosial” dalam sekolah tingkat menengah (Otsu, 1998:51).

 

Landasan Pengembangan

Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepangtidak dapat

dilepaskan dari konsep warganegara (komin, citizen) dan kewarganegaraan

(citizenship). Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana konsep-konsep

tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan

antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai

berikut: “Related to the definition of ‘citizen’, ‘citizenship’ has a much wider

meaning and can be used differently in different contexts”. Berdasarkan kutipan

tersebut diketahui bahwa definisi antara citizen dan citizenship dapat memiliki

arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan dalam konteks yang

berbeda.

Lebih lanjut Otsu (1998:53) mengemukakan bahwa pada saat “studi sosial

(social studies)” dimulai sebagai mata pelajaran inti pada tahun 1948,

Kementerian Pendididikan menjelaskan bahwa ‘studi sosial tidak hanya

membantu penduduk mengikuti kebijakan pemerintah, tetapi setiap penduduk

secara intens belajar tentang masyarakat mereka dan untuk mengembangkan

sikap dan keterampilan mereka untuk berpartisipasi secara positif dalam

masyarakat mereka untuk membangun masyarakat yang demokratis.

Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran

pada sekolah menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan

menggambarkan tujuan inti Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:

1. to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the

principle of sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman

tentang Jepang sebagai sebuah negara dan prinsip kedaulatan)

Page 7: Civic

2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the

individual can contribute to the work of the community and the state (Untuk

mengembangkan suatu konsep tentang masyarakat lokal dan negara serta cara

bagaimana setiap individu dapat berkontribusi dalam satu pekerjaan di

masyarakat dan negara)

3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the

community and wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta

tugas dari individu dalam suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas)

4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk

mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan

antara hak dan kewajiban)

 

Kerangka Sistemik

Kerangka sistemik yang dimaksud adalah “istilah teknis yang digunakan,

pendekatan yang dikembangkan, dan jumlah jam perminggu, baik untuk

pendidikan dasar maupun pendidikan menengah” (Kerr, 1999; Winataputra,

2007). Pada tabel berikut ini disajikan pengorganisasian Civic Education di

Jepang pada pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan pertama dan tingkat

atas.

Tabel 1. Organisation of Citizenship Education in Primary Phase

Country Terminology Approach

Hours per week

Japan

Social studies, living experiences and moral education

Statutory core separate and integrated

175 x 45 minutes per year

Kerr, (1999:18)

Tabel di atas dapat menggambarkan kerangka sistemik pendidikan

kewarganegaraan pada tingkat pendidikan dasar. Terminologi yang digunakan

untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah “Social studies,

living experiences and moral education”. Kedudukan dalam program pendidikan

bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara

berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah 175 x 45 menit per tahun.

Page 8: Civic

Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat pendidikan lanjutan

pertama dan tingkat atas dapat dilihat dalam tabel berikut:

 

Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, bahan kajian atau mata

pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digunakan istilah “Social studies, living

experiences and moral education”. Kedudukan dalam program pendidikan

bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara

berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah: tingkat lanjutan pertama: 175 x

45 menit per tahun untuk tingkat 7 dan 8, dan 140 x 50 menit per tahun untuk

tingkat 9. Sedangkan untuk tingkat atas adalah 140 x 50 menit per tahun.

 

Kurikulum dan Bahan Belajar

Page 9: Civic

Dalam uraian Otsu (1998:) Pendidikan Kewarganegaraan dalam sekolah dasar

diimplementasikan sebagai “life and environmental studies” pada tingkat 1-2,

dan “social studies” pada tingkat 3-6 untuk tiga jam pelajaran (1 jam pelajaran

= 45 menit) per minggu. Di sekolah menengah, studi sosial terdiri atas tiga

mata pelajaran, Geografi (4 jam per minggu pada tingkat 1 dan 2, 1 jam = 50

menit), Sejarah (dengan proporsi yang sama dengan geografi),

dan Kewarganegaraan (2-3 jam per minggu pada tingkat 3).

Isi (kurikulum) Kewarganegaraan pada sekolah menengah terdiri atas:

1. contemporary social life (Kehidupan sosial kontemporer)

2. Improvement of national life and economy (Perbaikan kehidupan nasional dan

ekonomi)

3. democratic government and international community (Pemerintahan

demokratis dan masyarakat internasional)

(Otsu, 1998:54)

Pada sekolah menengah, para siswa belajar Kewarganegaraan pada tahun

terakhir, pelajaran Kewarganegaraan tingkat tiga cenderung diarahkan sebagai

pusat pengetahuan dan ditekankan terhadap hapalan (memorization), karena

banyak siswa dan guru berkonsentrasi untuk ujian masuk ke tingkat sekolah

menengah atas.

Kurikulum sekolah menengah atas terdiri atas bidang mata pelajaran dan sub

mata pelajaran yang spesifik. Para siswa diharuskan mengambil empat kredit

dari mata pelajaran Kewarganegaraan yang terdiri atas: masyarakat

kontemporer (4 jam, 1 jam = 50 menit), etika (2 jam), dan politik/ekonomi (2

jam).

Isi dari kajian tentang masyarakat kontemporer adalah sebagai berikut:

1. the individual and culture in contemporary society (individu dan budaya

dalam masyarakat kontemporer)

2. environment and human life (lingkungan dan kehidupan manusia)

3. contemporary politics and economy and the individual (politik dan ekonomi

kontemporer dan individual)

4. international community and global issues (organisasi internasional dan isu-

isu global)

(Otsu, 1998:54)

Dalam kajian tentang masyarakat kontemporer, berbagai inovasi pembelajaran

telah dihasilkan. Untuk mengembangkan keterampilan dan sikap pembelajar

seperti pengetahuan, beberapa guru menciptakan inovasi pembelajaran dengan

Page 10: Civic

mengambil isu-isu kontemporer dengan menggunakan pendekatan yang

komprehensif dan aktifitas yang bervariasi, seperti diskusi, games dan simulasi.

Meskipun studi sosial dalam sekolah menengah atas dicitrakan sebagai

pelajaran hapalan dalam waktu yang lama, namun studi tentang masyarakat

kontemporer telah mengubah citra (image) studi sosial sampai taraf tertentu.

Pembelajaran kreatif pada masyarakat kontemporer dipublikasikan dan memiliki

pengaruh yang mendukung guru-guru lintas bangsa.

Kajian tentang etika dan politik/ekonomi merupakan kajian penting untuk

Pendidikan Kewarganegaraan. Tetapi mata pelajaran ini cenderung berfokus

pada pengajaran tentang struktur dan metode setiap disiplin ilmu-ilmu sosial.

Sejak kajian masyarakat kontemporer diubah dari pelajaran wajib menjadi satu

pilihan, Pendidikan Kewarganegaraan secara umum telah mengakhiri

kehilangan statusnya. Hal ini berarti, pada saat yang sama Pendidikan

Kewaranegaraan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas

menjadi hal penting bagi setiap siswa yang akan menjadi pemilih dan bekerja

dalam masyarakat segera setelah kelulusan mereka.