City Lite: Take Me for Granted · The Proposal “Kamu mau jadi istriku? ... “Lho, El? Kamu...

12

Transcript of City Lite: Take Me for Granted · The Proposal “Kamu mau jadi istriku? ... “Lho, El? Kamu...

Take Me for Granted

Sanksi Pelanggaran Pasal 113Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i un-tuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta se bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, hur-uf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta ru-piah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta seba gaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, hur-uf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana den-gan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Take Me for Granted

Nureesh Vhalega

PENERBIT PT ELEX MEDIA KOMPUTINDO

Take Me for GrantedCopyright © 2018 Nureesh Vhalega

Editor: Pradita Seti Rahayu

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-UndangDiterbitkan pertama kali pada tahun 2018 oleh

Penerbit PT Elex Media KomputindoKelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

718030539ISBN: 978-602-04-5789-5

978-602-04-5786-4 (Digital)

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, JakartaIsi di luar tanggung jawab Percetakan

1

1

The Proposal

“Kamu mau jadi istriku?”Pertanyaan itu membuat tawaku terhenti seketika.

Ta nganku yang memegang sendok membeku di udara. Aku tidak bisa bernapas.

“A … a … apa?” gumamku terbata.Kedua mataku terbelalak. Kemudian, aku menatap pria

berkaus oblong putih yang duduk di sisiku. Pria itu balas menatapku dengan mata cokelatnya yang dalam, tanpa ke-raguan. Alisnya yang lebat tertutup rambut, efek dari kesi-bukan yang memaksanya absen dari tempat pangkas rambut selama satu bulan ini. Sepasang bibirnya yang penuh me-nyunggingkan senyum, sama sekali tidak terpengaruh de-ngan reaksiku.

Satu menit yang lalu kami sedang tertawa menonton aca-ra komedi di salah satu stasiun televisi. Aku duduk dengan es krim berukuran besar di pangkuanku, sementara dia duduk dengan sebelah tangan memainkan rambutku. Tubuh kami saling menyandar, menikmati kehadiran satu sama lain. Membiarkan waktu bergulir dengan kenyamanan yang me-lingkupi.

2

Bagaimana bisa rutinitas santai yang kami lakukan setiap akhir pekan mendatangkan pertanyaan itu?

“Kamu nggak dengar?” tanyanya, masih dengan senyum teduhnya. “Aku nanya, kamu mau jadi istriku?”

Kali ini sendok di tanganku terlepas dari genggaman tanpa sempat kucegah. Meluncur tanpa hambatan ke lantai apartemennya yang berwarna putih sempurna. Suara den-tingnya membuatku tersadar bahwa hal yang sedang terjadi ini adalah kenyataan.

Fathan melamarku.“Ellya?” panggil Fathan. Aku tidak merespons.“El?” Kali ini dia menyentuh lenganku, berhasil membu-

atku keluar dari zona syok yang mengurungku.Kami bertatapan. Fathan dengan ekspresi penuh harap,

sementara aku … masih mencoba untuk bernapas dengan benar. Aku membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar.

Apa yang terjadi?Ah, benar. Aku bingung. Aku baru saja dilamar. Segala

macam perasaan membanjiriku. Aku tidak bisa bersuara ka-rena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan dari pria yang su-dah menjadi kekasihku selama tujuh tahun.

“Ellya?” Fathan bergerak ke hadapanku, lalu berlutut. Dia mengambil kotak es krim di pangkuanku, memin-

dahkannya entah ke mana. Kedua tangannya kembali me-nyentuh tanganku. Menggenggamnya. Ekspresi penuh ha-rapnya kini bersanding dengan ekspresi lain. Campuran an-tara bingung dan cemas.

3

“Aku tahu cara melamarku ini nggak romantis,” ucap Fathan lembut. “Tapi … aku serius. Aku mau nikah sama kamu. Punya keluarga dan hidup bahagia bareng kamu. Waktu tujuh tahun sudah cukup buatku. Aku yakin cuma kamu satu-satunya perempuan yang pantas jadi ibu dari anak-anakku. Aku yakin … cuma kamu satu-satunya perem-puan yang aku cintai sekarang, juga selamanya.”

Jantungku berdegup begitu cepat. Membuatku menge-palkan tangan lebih erat. Tidak ada keraguan dalam setiap kalimat Fathan. Aku memercayainya.

Lalu … mengapa aku tidak bisa menjawabnya?“Ellya?”Aku menarik napas. Kedua mataku terpejam. Ketika

akhirnya aku membuka mata, aku menyuarakan satu-satu-nya jawaban yang terpikirkan olehku.

“Aku … nggak bisa jawab sekarang, Than,” bisikku lirih.Mata Fathan menunjukkan rasa terkejut. Meski begitu,

bibirnya mengukirkan senyum. Dia menegakkan tubuhnya, lalu mengecup keningku.

“Kamu bisa pikirin dulu, El,” balasnya. Kedua tangannya menangkup wajahku, sementara matanya menatapku lem-but. “Aku tetap di sini.”

Setelah itu Fathan menarikku ke dalam dekapannya dan aku menghela napas. Masih dengan beragam emosi meme-nuhi hatiku.

Dan, bingung tetap menjadi yang paling utama.

***

4

Aku melangkah masuk ke dalam rumah dan disambut de-ngan harum masakan Mama yang khas. Nasi goreng. Berarti adik laki-lakiku yang manja tidak pergi malam Minggu ini, karena kami makan malam dengan menu kesukaannya.

“El, sudah pulang? Mana Fathan? Kalian nggak makan malam bareng?” tanya Mama begitu aku masuk ke dapur.

Aku meletakkan tasku di lantai begitu saja, lalu bering-sut memeluk Mama. Karena kami berdua bekerja, kami ja-rang menghabiskan waktu bersama. Paling hanya saat makan malam, juga sarapan. Itu pun tidak lama. Aku merindukan Mama.

“Lho, El? Kamu ngapain? Mama lagi masak ini,” ucap Mama seraya berusaha melepas kurungan tanganku di tubuh kurusnya. “Ellyana Nadira, umur kamu sudah seperempat abad! Kenapa tiba-tiba manja lagi?”

“Kak Ellya habis diputusin kali, Ma.”Kalimat itu membuatku melepas Mama dan berbalik de-

ngan cepat. Seringai jail adikku yang baru saja lulus kuliah itu langsung menyambut. Dia berjalan ke arahku, lalu mena-rik kedua pipiku. Dengan kesal, kuinjak kakinya.

“Aduh! Ma, Kak Ellya nakal tuh!” Arya mengadu dengan wajah memelas.

“Berisik! Lebay banget sih,” omelku. “Kamu ngapain ma-lam Minggu di rumah? Pergi sana.”

Arya mencibir. “Yeee, sensi banget yang baru diputus-in—”

“Berisik!”“Hush!” Mama memelototi kami berdua. “Sudah tua

masih kayak anak-anak, kerjanya berantem terus. Sana per-gi. Jangan ganggu, Mama lagi masak. Nanti Mama kasih te-

5

tangga nih nasi gorengnya.”Arya langsung melesat pergi mendengar ancaman itu, se-

mentara aku mengambil botol air dari lemari es dan memi-numnya.

“Fathan ke mana, El?” tanya Mama.“Pulang ke apartemennya habis nganter aku tadi,” jawab-

ku.Mama mengerutkan kening. “Kok tumben nggak ikut

makan di sini?” Hening sesaat, lalu mulut Mama terbuka le-bar. “Kalian putus?!”

Aku mendesah dengan suara keras.“Arya itu kan suka asbun, Ma. Jangan didengerin. Kita

baik-baik aja kok. Aku capek, Fathan juga masih banyak ker-jaan, jadi mending aku pulang,” jelasku.

Tidak sepenuhnya benar, namun aku juga tidak berbo-hong. Aku hanya tidak mengatakan satu bagian yang menja-di alasan kelelahanku yang tiba-tiba ini.

Fathan melamarku.“Oh, gitu,” gumam Mama. “Ya sudah, kamu mandi sana.

Nanti turun, makan. Mau diceplokin telur juga kayak Arya? Atau mau didadar?”

Perlahan, aku menggeleng. “Masih kenyang, Ma. Aku langsung tidur aja.”

Sebelum Mama sempat menjawab, aku pergi dari dapur. Menaiki tangga, lalu berbelok ke kanan dan membuka pin-tu yang berada di ujung lorong. Tanganku meraba dinding hingga menemukan sakelar lampu. Begitu lampu menyala, pemandangan kamarku yang sangat berantakan dengan din-ding berwarna merah muda menyambut.

6

Aku melempar tasku ke atas tempat tidur, sebelum tu-buhku yang menyusul. Aku menghela napas panjang, mem-biarkan mataku menatap langit-langit kamar dengan nya-lang.

Tanpa bisa kucegah benakku berlari pada Fathan. Pada pertanyaannya yang masih tidak terjawab. Pada sorot penuh harapannya saat aku turun dari mobil. Juga … pada senyum-nya yang selalu kurindukan.

Mataku terpejam. Kubiarkan pikiranku terus berlari. Hingga sebuah memori hadir. Dari sebuah senja, tujuh ta-hun yang lalu….

***

Tujuh tahun lalu“Dis, lo yakin kakak lo bakal jemput?” tanyaku untuk entah yang keberapa kali dalam sepuluh menit terakhir.

Disha—teman sekelasku yang selalu bersedia meminjam-kan laptopnya untukku—memutar mata. Tubuhnya yang langsing terbalut blus berwarna merah dengan rok hitam bermotif mawar sebatas lutut. Rambutnya yang dicat cokelat tergerai sempurna. Membuatku penasaran bagaimana cara-nya Disha tetap tampil cantik meski sudah satu hari penuh beraktivitas dan bermandi keringat.

Sedangkan aku … yah, aku sama seperti gadis kebanyak-an. Tampilan dasarku adalah celana jins dan kaus. Atau ke-meja, pada hari tertentu ketika dosen yang mengajar mewa-jibkannya. Rambutku lurus, seringnya kuikat menjadi satu ke belakang, dan tidak pernah kuwarnai.

207

Tentang Penulis

Nureesh Vhalega adalah nama pena dari seorang gadis seder-hana yang tinggal di ibukota negara Indonesia. Lahir lebih dari dua dekade lalu, penggemar berat Cassandra Clare dan Colleen Hoover, juga selalu bercita-cita menjadi penulis best seller. Memiliki motto hidup, your bloodline doesn't define you.

Buat yang mau kepo lebih jauh bisa add Nureesh di

Facebook : Nureesh VhalegaInstagram : nureesh_vhalega Wattpad : Nureesh