characteristic of etnografi.pdf

8
263 263 263 263 263 * Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang HUMANIORA VOLUME 18 No. 3 Oktober 2006 Halaman 263 270 PENGANTAR Bahasa adalah bagian integral dari budaya suatu kelompok. Karena itu, unsur-unsur budaya seperti aturan, kebiasaan, dan cara hidup kelompok dapat diekspresikan melalui bahasa. Budaya yang dimiliki oleh masyarakat dicerminkan dalam bahasanya sehingga menimbulkan berbagai macam gaya ber- bahasa yang menjadi ciri penanda masyarakat- nya. Keanekaragaman ini pada hakikatnya dapat mempengaruhi komunikasi, terutama komunikasi antarorang yang berlatar budaya dan bahasa yang berbeda. Pengaruh ini dapat menimbulkan kesulitan dan hambatan dalam kelancaran komunikasi pada umumnya. Komunikasi antaretnik merupakan hubung- an antara individu-individu yang berbeda budaya, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras, dan sosial (Samovar dkk., 1976:25). Komunikasi ini kebanyakan bersifat lisan sehingga ide yang disampaikan lebih langsung dan nyata (lebih memiliki sense of communi- cation). Akibatnya, kerjasama antarpartisipan lebih nyata, interaktif secara langsung, bersifat resiprokal, dan proses komunikasi yang terjadi menjadi lebih bervariasi, terutama yang berkait dengan prinsip kerjasama, kesantunan, solidaritas, dan negoisasi makna. Kelima sifat komunikasi lisan di atas, dapat teramati secara langsung dan nyata, sebagai contoh kerja- sama partisipan tampak dalam nada bicara, gesture, dan tuturan yang tidak lengkap karena kinesik yang menonjol. Dalam komunikasi antaranggota kelompok etnik, terdapat norma-norma atau kaidah- kaidah yang terpelihara dan dipatuhi bersama oleh para anggota masyarakat tutur yang bersangkutan. Norma-norma itu merupakan KOMUNIKASI ANTARETNIK DALAM MASYARAKAT TUTUR DIGLOSIK: Kajian Etnografi Komunikasi Etnik Using Imam Suyitno* ABSTRACT People need communication in their daily activities. The term cross cultural communication is used to refer to communication conducted by people of different culture. This type of communication normally occurs in a diglosic community where two or more ethnic groups live together. In conducting communication, each of the ethnic group will apply and share their language and socio-cultural norms accepted by each other. All participants of communication are tied by rules that live in the speech community. Although they attempt to obey the norms, culturally the characteristic of each ethnic is still observed at the verbal attitude of their speech. In this case, we can observe the characteristic of speech act usage when speaking to other etnics, especially to Javanese and Madurese. Some factors which influencetheetnicgroupstochoosetheverbalattitudeareasocialdistance,power,socialvariable,and culturalvalues. Key words Key words Key words Key words Key words: communication between etnics, speech community, diglosic, speech act

Transcript of characteristic of etnografi.pdf

Page 1: characteristic of etnografi.pdf

263263263263263

Imam Suyitno, Komunikasi Antaretnik dalam Masyarakat Tutor Diglosik

* Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang

HUMANIORAVOLUME 18 No. 3 Oktober 2006 Halaman 263 − 270

PENGANTARBahasa adalah bagian integral dari budaya

suatu kelompok. Karena itu, unsur-unsurbudaya seperti aturan, kebiasaan, dan carahidup kelompok dapat diekspresikan melaluibahasa. Budaya yang dimiliki oleh masyarakatdicerminkan dalam bahasanya sehinggamenimbulkan berbagai macam gaya ber-bahasa yang menjadi ciri penanda masyarakat-nya. Keanekaragaman ini pada hakikatnyadapat mempengaruhi komunikasi, terutamakomunikasi antarorang yang berlatar budayadan bahasa yang berbeda. Pengaruh ini dapatmenimbulkan kesulitan dan hambatan dalamkelancaran komunikasi pada umumnya.

Komunikasi antaretnik merupakan hubung-an antara individu-individu yang berbedabudaya, misalnya antara suku bangsa, etnik,ras, dan sosial (Samovar dkk., 1976:25).

Komunikasi ini kebanyakan bersifat lisansehingga ide yang disampaikan lebih langsungdan nyata (lebih memiliki sense of communi-cation). Akibatnya, kerjasama antarpartisipanlebih nyata, interaktif secara langsung, bersifatresiprokal, dan proses komunikasi yang terjadimenjadi lebih bervariasi, terutama yang berkaitdengan prinsip kerjasama, kesantunan,solidaritas, dan negoisasi makna. Kelima sifatkomunikasi lisan di atas, dapat teramati secaralangsung dan nyata, sebagai contoh kerja-sama partisipan tampak dalam nada bicara,gesture, dan tuturan yang tidak lengkap karenakinesik yang menonjol.

Dalam komunikasi antaranggota kelompoketnik, terdapat norma-norma atau kaidah-kaidah yang terpelihara dan dipatuhi bersamaoleh para anggota masyarakat tutur yangbersangkutan. Norma-norma itu merupakan

KOMUNIKASI ANTARETNIK DALAM MASYARAKATTUTUR DIGLOSIK:

Kajian Etnografi Komunikasi Etnik UsingImam Suyitno*

ABSTRACTPeople need communication in their daily activities. The term cross cultural communication is used

to refer to communication conducted by people of different culture. This type of communication normallyoccurs in a diglosic community where two or more ethnic groups live together. In conductingcommunication, each of the ethnic group will apply and share their language and socio-cultural normsaccepted by each other. All participants of communication are tied by rules that live in the speechcommunity. Although they attempt to obey the norms, culturally the characteristic of each ethnic is stillobserved at the verbal attitude of their speech. In this case, we can observe the characteristic of speechact usage when speaking to other etnics, especially to Javanese and Madurese. Some factors whichinfluence the etnic groups to choose the verbal attitude are a social distance, power, social variable, andcultural values.

Key wordsKey wordsKey wordsKey wordsKey words: communication between etnics, speech community, diglosic, speech act

Page 2: characteristic of etnografi.pdf

264264264264264

Humaniora, Vol. 18, No. 3 Oktober 2006: 263−270

ikatan yang dihormati bersama sehingga setiapanggota masyarakat merasa terikat oleh normaitu dalam membina kebersamaan dalam hidupbermasyarakat. Setiap anggota masyarakatdalam berperilaku akan selalu memperhatikandan berpedoman pada norma-norma itu.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwaantara masyarakat dan bahasa tidak mungkindipisahkan. Keduanya memiliki hubungantimbal balik (Nababan, 1984:72). Dalam kondisitertentu, bahasa mempengaruhi dan mem-bentuk perilaku atau sikap masyarakat,terutama dalam hal pola pikir, persepsi, dancara bergaul yang umumnya dikenal denganpandangan deterministik terhadap bahasa;demikian juga sebaliknya, dalam hal ataukondisi tertentu, justru masyarakat (pola pikir,persepsi, dan cara bergaulnya) mempengaruhidan menentukan bahasa, yang umumnyadikenal dengan pandangan instrumentalistikterhadap bahasa (Wahab, 1998:37-38). Darisinilah, lalu timbul pendapat bahwa bahasamencerminkan masyarakat dan masyarakattercermin dalam bahasa (Kartomihardjo,1987:229). Secara tegas, bahkan Chaika (1982)menyatakan bahwa bahasa merupakan cerminsosial. Norma dan nilai yang terdapat di dalammasyarakat terwujudkan dalam bahasa melaluipilihan kosakata, ungkapan, ujaran, dansebagainya (Kartomihardjo, 1990:17).

Sejalan dengan pembahasan tentangketerkaitan antara bahasa dan budaya,komunikasi antaretnik dalam masyarakat tuturdiglosik merupakan fenomena yang menarik.Dalam masyarakat tutur diglosik itu, berkumpulberagam etnik dengan berbagai ragambudayanya, menyatu dalam satu wadahmasyarakat diglosik yang diikat oleh aturanbahasa dan budaya yang disepakati bersama.Dalam kondisi masyarakat demikian, terdapatberagam bahasa dan beragam budaya yangdibawa oleh setiap etnik. Keberagaman bahasadan budaya itu akan berpengaruh pada bentukverbal dan sikap tutur ketika anggota etnikmelakukan aktivitas komunikasi dengan etnikyang lainnya.

Sejalan dengan fenomena di atas, penelitianini berupaya untuk memerikan komunikasiantaretnik pada masyarakat tutur diglosik,khususnya kajian etnografi komunikasi masya-rakat tutur Using. Secara khusus, penelitian inibertujuan untuk memerikan (1) sikap verbalmasyarakat tutur Using dalam komunikasiantaretnik pada masyarakat tutur diglosik dan (2)faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sikapverbal kelompok etnik dalam komunikasi antaretnik dalam masyarakat tutur diglosik.

Dalam berkomunikasi, selain terikat olehkaidah lingual, setiap anggota masyarakat tuturterikat pula oleh norma budaya masyarakatnya.Karena itu, dalam menjalankan aktivitas bertutur,setiap anggota masyarakat tutur harus selalumenghargai dan menghormati norma-normabudaya masyarakat, yang kemudian direfleksi-kan dalam wujud tuturannya. Karena itu,aktivitas bertutur dapat dikatakan sebagaipraktik budaya, sedangkan wujud tindak tuturdapat dikatakan sebagai praktik budaya.Suparno (2000:2) menegaskan bahwakomunikasi merupakan aktivitas sosial yangdilakukan oleh anggota masyarakat tutur dalamberinteraksi dengan sesama sebagai produkbudaya. Budaya komunikasi itu dapat dikenalidari tuturan yang terungkap.

Efektivitas komunikasi lisan dapat dikaitkandengan sejumlah variabel atau komponenkomunikasi, yaitu ideologi interpersonal, situasi,hubungan penutur dan mitra tutur, latar tutur,tujuan tutur, dan tingkat keamanan mukapenutur atau pun mitra tutur (Hymes, 1979;Brown & Levinson, 1987). Oleh karena itu,variabel memiliki kaitan erat dengan pemilihanbahasa yang dilakukan di dalam komunikasiantaretnik. Pemilihan bahasa ini bersifat mu-tual, dalam arti bahwa siapa pun yang diajakbicara, pilihan bahasanya menjadi suatutuntutan berdasarkan kaidah sosial, psikologis,dan kultural.

Penggunaan bahasa dalam komunikasiantaretnik cenderung memanfaatkan pola-polatertentu, yaitu cenderung langsung (straight-forward), dan sangat mempertimbangkan

Page 3: characteristic of etnografi.pdf

265265265265265

Imam Suyitno, Komunikasi Antaretnik dalam Masyarakat Tutor Diglosik

konteks. Konteks sosial yang dimaksudkanadalah siapa mitra tutur (partisipan), di manapenutur berbicara, bagaimana perasaan penutur,bagaimana latar sosial yang ada, dan bagai-mana fungsi interaksi pada saat komunikasiantara penutur dan mitratutur, kesantunan yangmereka gunakan, dan berbagai kaitan sosialyang muncul pada saat komunikasi ber-langsung. Selanjutnya, dapat ditambahkanbahwa kegiatan berbahasa ini diikuti dengangesture/kinesik hasil interaksi dua budaya(Samovar dkk., 1976:37).

Komunikasi antaretnik terjadi dalammasyarakat tutur diglosik. Pengertian diglosikdalam hal ini mengacu pada suatu kondisitentang penggunaan bahasa yang stabil.Kestabilan ini ditandai dengan penggunaanbahasa standar untuk suatu etnik yang bersifatregional di suatu daerah. Dalam konteks itu,ada suatu ragam berlapis yang amat berbedadan banyak dikodifikasikan. Pengkodean ini,dalam suatu masyarakat tutur tertentu, seringlebih rumit secara gramatikal karena sebuahkode digunakan dalam situasi tertentu,sedangkan kode yang lain digunakan di dalamsituasi yang lain.

Holmes (2001:27) mengidentifikasi tigasituasi penggunaan bahasa yang menjadikarak-teristik umum fenomena diglosik, yakni(1) dua variasi bahasa yang berbeda diguna-kan di dalam suatu masyarakat, satu variasitinggi (T) dan yang lain adalah variasi rendah(R), (2) setiap variasi yang digunakanmempunyai fungsi yang berbeda sehinggavariasi T dan variasi R saling menggantikan,dan (3) tidak ada variasi T di dalam percakapansehari-hari.

Performansi penutur dalam melakukantindak tutur memperhitungkan berbagai faktorsosial yang bersifat lokal. Pemahaman ter-hadap faktor sosial dalam tindak komunikasiini merupakan strategi yang dilakukan penuturagar tuturannya lebih effektif. Pernyataan inididukung oleh Leech (1989:10), yang mengemu-kakan bahwa faktor sosial berhubungan denganpower, jarak sosial, tingkat keamanan muka

penutur dan mitra tutur di dalam suatu tindaktutur.

Dalam aktivitas bertutur, terdapat berbagaifaktor yang mempengaruhi pemilihan bentukdan ragam tindak tutur. Faktor-faktor tersebutdi antaranya adalah latar, partisipan, tujuan, dankonteks tutur. Latar tutur dapat berupa tempat,keadaan psikologis partisipan atau semua halyang melatari terjadinya peristiwa tutur/komuni-kasi (Saville-Troike, 1986:75). Partisipan tuturadalah semua pihak yang mungkin terlibatdalam peristiwa tutur/komunikasi. Konseppartisipan mencakup penutur, mitra tutur, danpihak ketiga yang biasa muncul dengan tiba-tiba. Sementara itu, tujuan tutur adalah maksudyang dikehendaki oleh penutur melaluituturannya. Adapun, konteks tutur menurutHalliday dan Hasan (1976) adalah teks yangmenyertai teks lain. Sesuatu yang menyertaiteks lain bukan hanya yang dilisankan ataudituliskan tetapi termasuk peristiwa-peristiwanonverbal atau keseluruhan lingkungan teksitu.

Konteks bersifat dinamis karena kontekssangat berbeda antara konteks bahasa yangsatu dengan bahasa yang lain. Hal ini tampakdalam suatu kasus, misalnya, suatu instruksiyang sama dan disajikan dalam dua atau lebihbahasa yang berbeda, maka ada perbedaanpengekspresian, baik dalam pemilihan diksiatau panjangnya pesan (Quasthoff dalam Mey,1996:157). Dalam penggunaan bahasa,konteks dapat dibedakan menjadi empatmacam, yaitu (1) konteks fisik yang meliputitempat kejadian penggunaan bahasa dalamsuatu komunikasi, (2) konteks epistemis yangmerupakan latar belakang pengetahuan yangsama-sama diketahui oleh partisipan, (3) kontekslinguistik yang terdiri atas kalimat atau ujaran-ujaran yang mendahului dan mengikuti ujarantertentu dalam suatu peristiwa komunikasi ataudisebut juga sebagai koteks, dan (4) kontekssosial yang merupakan relasi sosial dan lataryang melengkapi hubungan antara penutur danmitra tutur (Mey, 1996:157).

Sesuai dengan tujuan penelitian dankarakteristik permasalahan yang digarap,

Page 4: characteristic of etnografi.pdf

266266266266266

Humaniora, Vol. 18, No. 3 Oktober 2006: 263−270

pendekatan yang digunakan dalam penelitianini adalah pendekatan kualitatif. Untuk memahamimakna gejala dalam pengembangan danpenyusunan teori tentang komunikasi antaretnik,penelitian ini menggunakan landasan teori yangbiasa digunakan dalam kajian etnografi dankajian pragmatik. Peneliti bertindak sebagaiinstrumen kunci sekaligus pengumpul data.Dalam pengumpulan data, peneliti melakukanpengamatan secara mendalam dan melaku-kan pencatatan lapangan secara cermattentang konteks percakapan dan tuturan yangdipandang sebagai fenomena tindak tuturantaretnik. Di samping itu, peneliti juga melaku-kan pencatatan hasil wawancara terbukadengan anggota kelompok etnik dan para pakaruntuk memperoleh penjelasan tentang normadan nilai-nilai sosial budaya.

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telahditetapkan, lokasi penelitian ini adalahmasyarakat tutur yang di dalamnya terdapatetnik Using yang hidup berdampingan denganetnik lainnya, yakni etnik Jawa dan EtnikMadura. Untuk itu, dipilih lokasi penelitian didaerah Gambiran, Kecamatan Jajag, KabupatenBanyuwangi. Masyarakat Gambiran adalahmasyarakat yang heterogen, baik dikaji dari sisietnik maupun dari sisi bahasa yang digunakan-nya. Karena itu, masyarakat Gambirantermasuk masyarakat tutur diglosik.

Subjek penelitian ini ialah masyarakat tuturetnik Using yang tinggal di wilayah Gambirankecamatan Jajag kabupaten Banyuwangi dansedang berkomunikasi dengan etnik lain, yaknietnik Jawa dan etnik Madura. Sejalan dengansubjek penelitian, sumber data penelitian iniialah wacana tutur (baik lisan maupun tulisan)antaretnik yang tercipta dalam peristiwa-peristiwa tutur yang berbentuk tindak-tindaktutur antaretnik. Data penelitian ini adalahwacana komunikasi lisan antaretnik. Dalamwacana itu, terdapat perwujudan tindak tuturmeminta, tindak tutur memerintah, tindak tuturmemuji, tindak tutur mengeluh, tindak tuturmelarang, dan memberi saran.

Pengumpulan data dilakukan denganmenggunakan empat macam teknik yanglazim dipakai dalam penelitian sosiolinguistikdan etnografi komunikasi, yakni (1) teknik parti-sipasi atau peran serta, (2) teknik observasiatau pengamatan, (3) teknik wawancara, dan(4) teknik rekonstruksi data intuitif dan intro-speksi. Penganalisisan data penelitian meng-gunakan langkah-langkah (1) penelaahan danpenyeleksian data, (2) pengidentifikasian danpengunitan data, (3) pengategorisasian ataupenggolongan data, dan (4) penafsiran danpenjelasan makna data.

Temuan penelitian ini mencakup dua hal,yakni (1) sikap verbal tuturan etnik Using dalamkomunikasi antaretnik, yang meliputi sikap ver-bal dalam (a) tindak meminta, (b) tindakmemerintah, (c) tindak memuji, (d) tindakmengeluh, (e) tindak melarang, dan (f) tindakmemberi saran; dan (2) faktor-faktor yangmempengaruhi sikap verbal tersebut.

SIKAP VERBAL TUTURAN ETNIK USINGDALAM KOMUNIKASI ANTARETNIK

Penutur etnik Using bersikap merendahketika menjalankan tindak meminta. Untukmerealisasikan tindak itu, penutur melakukanberbagai strategi agar mitra tutur bersediamelakukan tindakan sebagaimana yangdikehendaki oleh penutur. Strategi yangdimaksud meliputi tindak meminta yangdiekspresikan dengan strategi (a) langsungdengan kesantunan, (b) langsung tanpakesantunan, dan (c) tidak langsung. Peng-gunaan strategi itu dimaksudkan untukmengurangi resiko dalam tindak komunikasi.Berbagai strategi itu dapat dilihat pada contohtuturan berikut ini.

(1) PJ : Carane nganggo iki piye,ngene ta?“Caranya memakai inibagaimana, beginikah?”

PU : Coba mreneo …Yuk!“Coba ke sini .... Kak!”

Page 5: characteristic of etnografi.pdf

267267267267267

Imam Suyitno, Komunikasi Antaretnik dalam Masyarakat Tutor Diglosik

Tuturan (1) merupakan contoh peng-gunanan strategi langsung dengan kesantunan.Penggunaan kata kerja mreneo ‘ke sinilah’merupakan permintaan. Bentuk tuturan per-mintaan itu diperhalus dengan kata coba dansapaan Yuk. Jika kata coba dan Yuk dihilang-kan, tuturan itu menjadi bentuk permintaantanpa kesantunan. Sementara itu, bentukpermintaan dengan strategi tidak langsungdapat dilihat pada contoh berikut.

(2) PU : Njenengan mbeto picis,sewu mawon yuk?“Kamu membawa uangseribu saja Mbak?”

PJ : Niki, ngga!“Ini silakan!”

Tuturan (2) merupakan tindak permintaandengan strategi tidak langsung. Untukmengatakan “Saya minta uangnya seribuMbak”, diungkapkan dengan cara bertanya“Apakah mitra tuturnya itu membawa uangseribu”. Mitra tutur dapat memahami bahwapenutur minta uang seribu untuk kepentingan-nya. Pemahaman mitra tutur itu dibangun olehadanya praduga yang sama dengan penutur.

Dalam komunikasi antaretnik, partisipantutur tidak semuanya memiliki legitimasi yangsama untuk menggunakan tindak memerintahkarena dalam tindak ini terdapat retriksi yangtinggi. Kadar retriksi dalam tindak memerintahterkait dengan karakteristik struktur dan unsur-unsur yang membangun penggunaan tindak itu.Untuk memperkecil resiko atau kadar retriksiini, partisipan tutur menggunakan penandakesantunan baik dalam tindak memerintahsecara langsung maupun tindak memerintahtidak langsung. Berikut ini contoh sikap verbaldalam tindak memerintah yang dimaksudkanini.

(3) PU : Tulung mundur, ojo kariparek mesin!“Tolong mundur, janganterlalu dekat mesin!”

Dalam tuturan (3), penutur menggunakanstrategi langsung, yakni meminta partisipan

tutur itu mundur. Namun, untuk memperkecilkadar retriksi atau resiko, penutur dalammelakukan tindak memerintah menggunakanpenanda kesantunan tulung ‘tolong’. Penggunaankata tulung itu mengurangi ketersinggungan mitratutur, atau dengan kata lain penutur berusahamenyelamatkan muka mitra tutur. Sementaraitu, tindak memerintah dengan strategi tidaklangsung dapat dilihat pada contoh berikut.

(4) PU : Isun seneng nawi ana hangnyangkingaken tas.“Saya seneng jika ada yangmembawakan tas.”

Dalam tuturan (4), penutur secara implisitmeminta tolong yang sekaligus juga memerintahmitra tutur untuk membawakan tas. Penuturmemiliki praduga bahwa mitra tuturnya maumembawakan tasnya itu. Untuk menyelamat-kan muka, penutur memerintah mitra tuturdengan menggunakan tindak memerintahsecara tidak langsung.

Tindak memuji merupakan tindak tutur yangisinya menyanjung atau memuji orang lain ataskelebihan atau prestasi yang dimilikinya. Dalamkomunikasi antaretnik dalam masyarakat tuturdiglosik, tindak menyanjung ini dapat dilakukandengan berbagai cara, yakni bergantung padafaktor kedekatan hubungan antarpenuturdengan mitra tuturnya. Berikut ini merupakancontoh bentuk tindak memuji ini.

(5) PU : Weh, anyar yo Di?“Wah, baru ya Di?”

PJ : Heleh, jik utang kok.“Ah, masih hutang kok.”

Tuturan (5) merupakan sanjungan yangdisampaikan oleh penutur kepada mitra tuturyang memiliki hubungan akrab dengan usiasetara. Karena itu, bahasa yang digunakanoleh penutur untuk menyanjung mitra tuturdengan menggunakan strategi bercanda dankeheranan, yakni kata weh. Strategi menyanjungini akan berbeda jika penutur dan mitra tuturtidak memiliki hubungan akrab dan tidak seusia.

Page 6: characteristic of etnografi.pdf

268268268268268

Humaniora, Vol. 18, No. 3 Oktober 2006: 263−270

Hal ini dapat dilihat pada tuturan berikut ini.

(6) PU : Njenengan kok taksih sehat,lan lincah sanget.“Anda masih sehat danlincah sekali.”Resepe nopo Pak? ““Resepnya apa Pak?”

Penggunaan bahasa Jawa Krama dalamtuturan (6) menandakan bahwa sanjungandisampaikan oleh orang muda kepada orangyang lebih tua. Selain itu, sanjungan itudisampaikan dengan strategi pernyataan yangdiikuti pertanyaan dengan menggunakanpilihan bahasa yang lebih sopan.

Tindak mengeluh digunakan oleh penuturetnik Using untuk menyampaikan rasa kesal,su-sah, atau sejenisnya baik kepada orang lainmaupun kepada diri sendiri. Mengeluh yangdisampaikan kepada orang lain berupa keluhanatau pengaduan, sedangkan mengeluh kepadadiri sendiri sering dikenal dengan istilahekacakap (soliloqui). Dalam kegiatan komuni-kasi antaretnik, mengeluh itu berwujudpernyataan yang disampaikan secara langsungdan pernyataan tidak langsung. Hal ini dapatdilihat pada contoh tuturan berikut ini.

(7) PU : Kate menyang, gak nanapicis. Pasaran kari sepi.“Akan pergi tidak punyauang. Pasarnya sangatsepi.”

Tuturan (78) merupakan bentuk tuturandalam tindak mengeluh. Tindak itu merupakanwujud tindak soliloqui atau mengeluh padadirinya sendiri. Strategi yang digunakan olehpenutur adalah strategi langsung, yakni secaralangsung mengeluhkan kondisi pasar yangmerugikan dirinya. Hal ini berbeda dengantindak mengeluh yang dilakukan kepada oranglain berikut ini.

(8) PU : Kesel …rek, mulai wingi singleren blas.

“Capek sekali, sejak kemarintidak beristirahat samasekali.”

Sebutan rek pada tuturan (8) itu menanda-kan bahwa penutur menyampaikan kondisi atauhal yang tidak menyenangkan kepada oranglain. Penutur bermaksud agar ia mendapatkantanggapan dari mitra tuturnya tentang hal yangdikeluhkan itu.

Tindak melarang pada dasarnya berisiperintah, tetapi perintah yang bersifat negatif,yakni agar mitra tutur tidak melakukan sesuatuyang tidak dikehendaki oleh penuturnya. Tindakmelarang ini cenderung mempunyai kadarretriksi yang tinggi sehingga power yangdirepresentasikan cenderung bersifat dominatif.Kadar retriksi tindak melarang terkait denganlangsung dan tidak langsungnya bentuklarangan dan modalitas yang digunakan.Tindak melarang yang digunakan oleh etnikUsing dalam komunikasi antar etnik dapatdilihat pada tuturan berikut ini.

(9) PU : Ojo rame-rame wis bengi!“Jangan gaduh sudahmalam!”Ono wong hang semelumutawake.“Ada orang yang sedangsakit demam.”

Tindak melarang dalam tuturan (9) ituditandai dengan penanda leksikal ojo ‘jangan’.Penanda leksikal ini mengisyaratkan kepadamitra tutur agar mitra tutur tidak mengerjakanpekerjaan yang tidak diinginkan oleh penutur.Untuk mengurangi kadar retriksi pada mitratutur, tuturan itu diikuti dengan tuturan penjelasdan alternatif kegiatan lain (seperti yang tampakpada tuturan kedua). Hal ini dimaksudkan untukmenyelamatkan muka mitra tutur agar tidakmerasa sakit hati karena perbuatannyadilarang.

Representasi tindak memberi saran ini, didalam komunikasi antarietnik, dilakukan oleh

Page 7: characteristic of etnografi.pdf

269269269269269

Imam Suyitno, Komunikasi Antaretnik dalam Masyarakat Tutor Diglosik

atasan kepada bawahan atau oleh penuturyang mempunyai pengalaman lebih dibanding-kan mitra tutur. Tindak itu berupa usulan tentangperubahan sikap, gagasan, atau ide. Kadarretriksi tindak memberi saran ini rendah karenasifatnya tidak memaksa. Contoh tindakmemberi saran ini dapat dilihat pada tuturanberikut.

(10) PJ : Budhe, kula ajeng wangsul.“Bude, saya mau pulang.”

PU : Nawi mlaku ojo kari seru.Hang ati-ati nang dalan.“Kalau jalan jangan cepat-cepat. Hati-hatidi jalan.”

Dalam tuturan (10) itu , penutur berharapagar sarannya diterima dan dilaksanakan olehmitra tuturnya. Tuturan ini memiliki kadarretriksi rendah karena penutur tidak memaksa-kan kehendaknya. Bukti tidak adanya pemaksa-an ini tampak pada penggunaan bentuk direktifberpagar, yakni kata nawi ‘kalau’, yakni bentuktuturan bersyarat. Dengan adanya kata nawi,munculnya kata ojo ‘jangan’ sebagai larangantidak dipandang sebagai pembatasan tindakan,tetapi dipandang sebagai saran.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHIPEMILIHAN SIKAP VERBAL TINDAKTUTUR

Faktor-faktor yang mempengaruhi etnikUsing untuk memilih sikap verbal sebagaimanatelah dipaparkan di atas adalah (1) jarak sosial,(2) power, (3) tingkat pembebanan terhadapmuka mitra tutur, (4) variabel sosial, dan (5)nilai budaya. Dalam komunikasi antaretnik,setiap individu partisipan tutur ditempatkanpada peran sosial yang berbeda karenakarakteristik individu, bobot keterlibatan individuitu di dalam proses komunikasi, status, peransosial tertentu, dan peran institusional yangmelekat di dalam dirinya. Jarak sosial dalamkomunikasi antaretnik berkaitan dengan peranpartisipan di dalam suatu komunitas yangberbeda budaya.

Power dalam komunikasi antaretnik dalammasyarakat tutur diglosik bersifat netral.

Artinya, hubungan power menyebar padasemua level eksistensi sosial sehingga dapatditemukan penggunaannya pada setiap situskehidupan sosial. Di samping itu, power tidakhanya negatif dan represif, tetapi juga bisapositif dan produktif. Hal ini terlihat di dalampenggunaan beragamnya kata sapaan yangdapat menentukan besar dan kecilnya powerseorang penutur dan beragamnya caramenyapa menunjukkan besar kecilnya poweryang dapat dimanfaatkan penutur Using untukmenggunakan tindak tutur sebagai saranamempengaruhi bahkan mendominasi pikiran,perasaan atau perilaku mitra tutur.

Perbedaan power, jarak sosial, dan variabelsituasi di antara partisipan menyebabkanpembebanan terhadap muka ditentukan olehkealamiahan ancaman muka, baik yangbersifat umum atau berlaku di dalam budayayang khusus. Tingkat pembebanan terhadapmuka ditentukan oleh distribusi power dan jaraksosial antara penutur dan mitra tutur. Semakintinggi nilai parameter power, semakin tinggiharga tindakan kepada mitra tutur. Hal yangsama terjadi pada nilai jarak sosial. Semakintinggi nilai parameter jarak sosial, semakintinggi tingkat pembebanan terhadap muka.

Variabel situasi mempunyai peran pentingdalam representasi tindak tutur dalamkomunikasi antaretnik karena variabel itumempengaruhi perbedaan power, jarak sosialantara penutur dan mitra tutur, dan mem-pengaruhi tingkat pembebanan terhadap mukamitra tutur. Variabel situasi membatasi konteksdan menentukan nilai parameter sosial denganlandasan representasi kesantunan pada ragamtindak tutur yang dirumuskan untuk menghormatipenyelamatan muka secara khusus. Padakonsep ini, representasi tindak tutur yangdiekspresikan secara santun dengan beragammodus kesantunan memperhatikan siapamenyampaikan apa, siapa penyampaipenyelamat muka, serta kepada siapa danpada situasi apa. Dalam pandangan ini,penyebaran power, jarak sosial dan tingkatpembebanan muka mitra tutur merupakansubjek untuk situasi tertentu dan bersama-

Page 8: characteristic of etnografi.pdf

270270270270270

Humaniora, Vol. 18, No. 3 Oktober 2006: 263−270

sama dengan hal itu menentukan bobotpenyelamat muka dan bentuk landasanpemilihan tindak tutur yang diekspresikandengan keberagaman tingkat kesantunan.

Nilai budaya mempunyai kaitan yang nyatadalam mengarahkan seseorang berperilakuse-cara verbal di dalam interaksi sosial. Secaratidak langsung faktor sosial dan budayaberkaitan dengan pengekspresian tindak tuturdengan beragam modus. Sementara itu,ekspresi tindak tutur merupakan hubungan hasilperpaduan antara kompetensi kebahasaan yangdimiliki penutur, mitra tutur, latar, dan statussosial. Apabila berbicara tentang penutur danmitra tutur dan keterkaitan mereka dengan nilai-nilai etika dan keyakinan budaya yang dianut-nya, nilai budaya itu sebenarnya berakar padakebutuhan dasar manusia dan keyakinanadalah dasar yang utama sebagai acuan untukmengekspresikan tindak tutur. Sementara itu,bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkankarena kebanyakan hal di dalam kehidupanseseorang dapat dipahami melalui bahasa.Begitupun di dalam wacana multietnik, peng-gunaan bahasa yang berbeda menghasilkanpemahaman yang berbeda terhadap dunia.Bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan.Keyakinan ini dikuatkan oleh suatu pengamatanterhadap fakta bahwa seorang penutur Usingapabila berbahasa dengan bahasa mitra tuturberarti ia mempedulikan keberadaan danmenghormati keyakinan mitra tutur.

SIMPULANBertolak dari temuan penelitian ini, dapat

disimpulkan bahwa dalam melakukan tindaktutur, etnik Using memiliki karakteristik yangberbeda dengan etnik-etnik yang lain. Kekhas-an karakteristik itu tampak dalam sikap verbal

tuturan etnik ketika berkomunikasi denganindividu anggota masyarakat etnik lainnya.Perbedaan sikap verbal itu dipengaruhi, antaralain, oleh faktor (1) jarak sosial, (2) power, (3)tingkat pembebanan terhadap muka mitra tutur,(4) variabel sosial, dan (5) nilai budaya.

DAFTAR RUJUKAN

Brown, P. & Levinson, L.C. 1987. Politness. New York:Cambridge University Press.

Chaika, Elaine. 1982. Language: The Social Mirror. Rowley:Mass. Newbury House.

Halliday, M.A.K. dan Hasan, Riqaiya. 1976. Cohesion inEnglish. London: Longman.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics.London: Longman.

Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics AnEthnographic Approach. Philadelphia: PennsylvaniaPress.

_ _ _ _ _ _ _ _. 1979. “On Communication Competence”dalam J.B.Pride & Jenet Holmes (Eds.). Socio-linguistics. New York: Penguin Books.

Kartomihardjo, Soeseno. 1987. Sosiolinguistik. Malang:IKIP Malang

————. 1990. Bentuk Bahasa Penolakan. Malang:Lembaga Penelitian.

Leech, Geofrey. 1989. Principles of Pragmatics. London:Longman.

Mey, Jacob L. 1996. Pragmatics: An Introduction. Oxford:Blackwell.

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: PTGramedia.

Samovar, Larry dan Porter, Richard E. 1976.Communication between Cultures. Belmont C.A.:Wadsworth.

Saville-Troike, Muriel. 1986. The Etnography ofCommunication. Oxford: Basil Blackwell.

Suparno. 2000. Budaya Komunikasi yang Terungkap dalamWacana Bahasa Indonesia. Malang: Uni-versitasNegeri Malang.

Wahab, Abdul. 1998. Isue Linguistik: Pengajaran Bahasadan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.