Chapter II_3-1

download Chapter II_3-1

of 21

description

fdhdf

Transcript of Chapter II_3-1

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Diabetes Mellitus (DM)

    2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

    Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit

    metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja

    insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan

    dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai

    organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah

    Diabetes Mellitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan

    hiperglikemia karena defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya

    hormon insulin dalam tubuh yang dikeluarkan dari sel B pankreas mempengaruhi

    metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak menyebabkan gangguan signifikan.

    Kadar glukosa darah erat diatur oleh insulin sebagai regulator utama perantara

    metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam transport glukosa yang menyimpan

    glukosa sebagai glikogen dan kemudian dirilis ke jaringan perifer ketika

    dibutuhkan (Animesh, 2006).

    (ADA, 2012).

    World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa

    DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang

    jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan

    problema anatomi dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat

    defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari,

    2009).

    2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus

    Diabetes Mellitus telah dikategorikan sebagai penyakit global oleh

    Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Jumlah

    penderita DM ini meningkat di setiap negara. Berdasarkan data dari WHO (2006),

    diperkirakan terdapat 171 juta orang di dunia menderita diabetes pada tahun 2000

    dan diprediksi akan meningkat menjadi 366 juta penderita pada tahun 2030.

  • Sekitar 4,8 juta orang di dunia telah meninggal akibat DM. Setengah dari

    penderita DM ini tidak terdiagnosis.

    Sepuluh besar negara dengan prevalensi DM tertinggi di dunia pada tahun

    2000 adalah India, Cina, Amerika, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil,

    Italia, dan Bangladesh. Pada tahun 2030 India, Cina, dan Amerika diprediksikan

    tetap menduduki posisi tiga teratas negara dengan prevalensi DM tertinggi.

    Sementara, Indonesia diprediksikan akan tetap berada dalam sepuluh besar negara

    dengan prevalensi DM tertinggi pada tahun 2030 (Wild, Roglic, Green, et al,

    2004).

    Indonesia menduduki posisi keempat dunia setelah India, Cina, dan

    Amerika dalam prevalensi DM. Pada tahun 2000 masyarakat Indonesia yang

    menderita DM adalah sebesar 8,4 juta jiwa dan diprediksi akan meningkat pada

    tahun 2030 menjadi 21,3 juta jiwa. Data ini menunjukkan bahwa angka kejadian

    DM tidak hanya tinggi di negara maju tetapi juga di negara berkembang, seperti

    Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun

    2007 menunjukkan bahwa secara nasional, prevalensi DM berdasarkan diagnosis

    oleh tenaga kesehatan dan adanya gejala adalah sebesar 1,1%. Sedangkan

    prevalensi berdasarkan hasil pengukuran kadar gula darah pada penduduk umur

    lebih dari lima belas tahun di daerah perkotaan adalah sebesar 5,7% (Depkes,

    2008).

    2.1.3. Klasifikasi Diabetes Mellitus

    1.

    Menurut American Diabetes Association (ADA,2013), klasifikasi diabetes

    meliputi empat kelas klinis :

    Diabetes Mellitus tipe 1

    2.

    Hasil dari kehancuran sel pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi

    insulin yang absolut.

    Diabetes Mellitus tipe 2

    Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar

    belakang terjadinya resistensi insulin.

  • 3. Diabetes tipe spesifik lain

    4.

    Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel , gangguan genetik pada

    kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan

    yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan

    HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

    Gestational Diabetes Mellitus

    Pada beberapa pasien tidak dapat dengan jelas diklasifikasikan sebagai

    diabetes tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan perkembangan penyakit bervariasi

    jauh dari kedua jenis diabetes. Kadang-kadang, pasien yang dinyatakan memilki

    diabetes tipe 2 dapat hadir dengan ketoasidosis. Demikian pula, pasien dengan

    tipe 1 diabetes mungkin memiliki onset terlambat dan memperlambat

    perkembangan penyakit walaupun memilki fitur penyakit autoimun. Kesulitan

    seperti itu pada diagnosis mungkin terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa.

    Diagnosis yang benar dapat menjadi lebih jelas dari waktu ke waktu.

    Klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan etiologi (ADA, 2012) :

    1. Diabetes Mellitus tipe 1 (Kehancuran sel , biasanya menyebabkan

    defisiensi insulin yang absolut).

    a. Melalui proses imunologik

    b. Idiopatik

    2. Diabetes Mellitus tipe 2 (Resistensi insulin terutama dengan kekurangan

    insulin relatif yang didominasi gangguan sekresi insulin dengan resistensi

    insulin).

    3. Tipe spesifik lainnya

    a. Gangguan genetik fungsi sel

    1. Kromosom 12, HNF-1 (MODY3)

    2. Kromosaom 7, glukokinase (MODY2)

    3. Kromosom 20, HNF-4 (MODY1)

    4. Kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY4)

    5. Kromosom 17, HNF-1 (MODY5)

    6. Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6)

  • 7. DNA mitokondria

    8. Lainnya

    b. Gangguan genetik dalam kerja/aksi insulin

    1. Insulin resisten tipe A

    2. Leprechaunism

    3. Sindrom Rabson-Mendenhall

    4. Diabetes Lipoatrophic

    5. Lainnya

    c. Penyakit eksokrin pankreas

    1. Pankreatitis

    2. Trauma/Pankreatektomi

    3. Neoplasia

    4. Fibro kistik

    5. Hemochromatosis

    6. Pancreatopathy fibrocalculosus

    d. Endokrinopati

    1. Akromegali

    2. Sindroma Cushing

    3. Glukagonoma

    4. Pheochromasitoma

    5. Hiperthiroidism

    6. Somatostatinoma

    7. Aldosteronoma

    8. Lainnya

    e. Induksi obat atau bahan kimia

    1. Vacor

    2. Pentamidin

    3. Asam Nikotinat

    4. Glukokortikoid

    5. Hormon tiroid

    6. Diazoxide

  • 7. Agonist -adrenergik

    8. Thiazides

    9. Dilantin

    10. G-interferon

    11. Lainnya

    f. Infeksi

    1. Rubella kongenital

    2. Cytomegalovirus

    3. Lainnya

    g. Bentuk jarang dari diabetes yang diperantarai imun

    1. Stiff-man sindrom

    2. Antibodi anti reseptor insulin

    3. Lainnya

    h. Sindroma genetik lainnya yang kadang dihubungkan dengan diabetes

    1. Sindroma Down

    2. Sindroma Klinefelter

    3. Sindroma Turner

    4. Sindroma Wolframs

    5. Friedreich ataksia

    6. Huntington chorea

    7. Sindroma Laurence-Moon-Biedl

    8. Distrofi miotonik

    9. Porfiria

    10. Sindroma Prader-Willi

    11. Lainnya

    4. Gestational Diabetes Mellitus

    2.1.4. Faktor Risiko Diabetes Mellitus

    Faktor risiko DM tipe 2 antara lain adalah (Powers, 2010):

    Riwayat keluarga menderita diabetes (contoh: orang tua atau saudara

    kandung dengan DM tipe 2)

  • Obesitas (Indeks Massa Tubuh 25 kg/m2

    Aktivitas fisik

    )

    Ras/etnis

    Gangguan Toleransi Glukosa

    Riwayat Diabetes Gestational atau melahirkan bayi dengan berat lahir

    > 4 kg

    Hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg)

    Kadar kolesterol HDL 35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau kadar

    trigliserida 250 mg/dL (2,82 mmol/L)

    Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigricans

    Riwayat kelainan darah

    2.1.5. Patogenesis Diabetes Mellitus

    1. Diabetes Mellitus Tipe 1

    DM tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor

    imunologi yang pada akhirnya mengarah pada kerusakan sel pankreas dan

    defisiensi insulin. DM tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan

    faktor imunologi yang pada akhirnya mengarah terhadap kerusakan sel pankreas

    dan insulin defisiensi. Massa sel kemudian menurun dan sekresi insulin menjadi

    semakin terganggu, meskipun toleransi glukosa normal dipertahankan (Powers,

    2010).

    DM tipe 1 disebut juga diabetes yang diperantarai imun. Diabetes yang

    tipe ini hanya 5-10% dari penderita diabetes. Tanda dari penghancuran imun sel

    termasuk autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi untuk

    GAD (GAD65), dan autoantibodi terhadap tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2b. DM

    tipe 1 ini, tingkat kehancuran sel cukup bervariasi, menjadi cepat pada beberapa

    individu (terutama bayi dan anak-anak) dan lambat pada orang lain (terutama

    dewasa). Beberapa pasien, terutama anak-anak dan remaja, dapat hadir dengan

    ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit. Namun orang lain, terutama

    orang dewasa, dapat mempertahankan fungsi sel sisa yang cukup untuk

    mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun, orang tersebut akhirnya menjadi

  • tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan beresiko untuk ketoasidosis.

    Pada tahap selanjutnya dari penyakit, ada sedikit atau tidak ada sekresi insulin

    sebagai manifestasi dari rendah atau tidak terdeteksi C-peptida di dalam plasma.

    DM tipe 1 umumnya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi bisa terjadi

    pada usia berapapun, bahkan dalam dekade 8 dan 9 kehidupan. Kehancuran

    autoimun sel memiliki beberapa kecenderungan genetik dan juga terkait dengan

    faktor lingkungan yang masih buruk. Walaupun pasien jarang obesitas ketika

    mereka hadir dengan diabetes tipe ini, kehadiran obesitas tidak bertentangan

    dengan diagnosis. Pasien-pasien ini juga rentan terhadap gangguan autoimun

    lainnya seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, vitiligo,

    celiac sprue, hepatitis autoimun, myasthenia gravis, dan anemia pernisiosa (ADA,

    2012).

    Beberapa bentuk DM tipe 1 tidak memiliki etiologi yang dikenal, disebut

    dengan idiopatik diabetes. Beberapa pasien dengan diabetes ini memiliki

    insulinopenia dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti

    autoimun (ADA, 2012).

    2. Diabetes Mellitus Tipe 2

    DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin,

    produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan abnormal metabolisme lemak.

    Obesitas, khususnya visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio

    pinggul/pinggang), sangat umum di DM tipe 2. Pada tahap awal gangguan,

    toleransi glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin, karena sel-

    sel pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.

    Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia, pankreas pada individu

    tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. IGT, ditandai

    dengan peningkatan glukosa postprandial, kemudian berkembang. Lebih lanjut,

    penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik

    menyebabkan diabetes dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel

    mungkin terjadi (Powers, 2010).

  • A. Gangguan metabolisme otot dan lemak

    Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak efektif

    pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), adalah fitur yang menonjol

    dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik dan obesitas.

    Resistensi insulin adalah relatif, tingkat supernormal insulin yang beredar akan

    menormalkan glukosa plasma. Kurva insulin dosis-respon menunjukkan

    pergeseran ke kanan, menunjukkan sensitivitas berkurang, menunjukkan

    penurunan secara keseluruhan dalam penggunaan glukosa maksimum (30-60%

    lebih rendah dibandingkan orang normal). Resistensi insulin menyebabkan

    kegagalan penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin dan

    output glukosa hepatik meningkat, kedua efek ini berkontribusi untuk

    hiperglikemia. Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang

    peningkatan tingkat FPG, sedangkan hasil penggunaan glukosa perifer menurun

    menyebabkan postprandial hiperglikemia. Dalam otot rangka, ada yang lebih

    besar penurunan dalam penggunaan glukosa non-oxidatif (pembentukan glikogen)

    dibandingkan metabolisme glukosa oksidatif melalui glikolisis. Mekanisme

    molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada DM tipe 2 belum

    dijelaskan. Tingkat insulin reseptor dan aktivitas tirosin kinase di otot berkurang,

    tetapi perubahan ini kemungkinan sekunder untuk hiperinsulinemia. Kemudian,

    gangguan postreseptor pada regulasi insulin fosforilasi/defosforilasi dapat menjadi

    peran dominan dalam resistensi insulin. Misalnya, gangguan PI-3-kinase dapat

    mengurangi translokasi GLUT 4 ke membran plasma. Ketidaknormalan lainnya

    termasuk akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapt merusak fosforilasi

    oksidatif mitokondria dan mengurangi stimulasi insulin mitokondria

    memproduksi ATP. Gangguan oksidasi lemak dan akumulasi lipid dalam miosit

    dapat menghasilkan oksigen reaktif seperti lipid peroksida (Powers, 2010).

    Obesitas menyertai DM tipe 2, dianggap bagian dari proses patogenik.

    Peningkatan massa adiposit mengarah ke peningkatan tingkat sirkulasi asam

    lemak bebas dan lemak lainnya. Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan

    pengeluaran energi, adipokines juga memodulasi sensitivitas insulin dan

    menyebabkan resistensi insulin pada otot rangka dan juga hati. Adiposit dan

  • adipokin juga memproduksi keadaan inflamasi dan mungkin menjelaskan

    mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-reaktif sering meningkat

    pada DM tipe 2 (Powers, 2010).

    B. Gangguan Sekresi Insulin

    Sekresi insulin dan sensitivitas insulin adalah saling terkait. Pada DM tipe

    2, sekresi insulin meningkat pada awalnya mengkompensasi resistensi insulin

    untuk menjaga toleransi glukosa normal. Awalnya, sekresi insulin mengalami

    defek ringan dan selektif melibatkan stimulasi glukosa untuk sekresi insulin.

    Menanggapi sekretagogues non-glukosa lain, seperti arginin masih dipertahankan.

    Akhirnya defek sekresi insulin berkembang menjadi keadaan sekresi insulin

    sangat tidak memadai. Alasan untuk penurunan kapasitas sekresi insulin di DM

    tipe 2 tidak jelas. Asumsinya adalah defek genetik pada resistensi insulin

    menyebabkan kegagalan sel . Terbentuk amiloid polipeptida pada pulau

    langerhans, sehingga berdampak negatif terhadap fungsi pulau langerhans.

    Tingginya kadar asam lemak bebas dan lemak makanan juga dapat memperburuk

    fungsi sel (Powers, 2010).

    C. Peningkatan Produksi Glukosa Hepar

    Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hepar merefleksikan kegagalan

    hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menyebabkan kondisi

    hiperglikemia dan penurunan simpanan glikogen oleh hepar pada masa

    pascaprandial. Peningkatan produksi glukosa oleh hepar terjadi pada masa-masa

    awal diabetes, meskipun sepertinya setelah onset gangguan sekresi insulin dan

    resistensi insulin pada otot rangka. Sebagai hasil dari resistensi insulin pada

    jaringan adiposa dan obesitas, asam lemak bebas dari adiposit meningkat, yang

    menyebabkan peningkatan sintesis lemak (VLDL dan trigliserida) dalam

    penyimpanan hepatosit lemak. Steatosis dalam hati dapat menyebabkan penyakit

    lemak hati non alkohol dan tes fungsi hati yang abnormal. Hal ini juga

    bertanggung jawab untuk dislipidemia yang ditemukan dalam DM tipe 2 (Powers,

    2010).

  • Jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh.

    Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan

    produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan

    glikogenolisis di jaringan hepar. Dalam hal ini, insulin barperan melalui efek

    inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara

    berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan

    inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin

    tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar (Manaf, 2009).

    2.1.6. Biosintesis, Sekresi, dan Kerja Insulin

    A. Biosintesis Insulin

    Insulin diproduksi di sel pankreas da berfungsi dalam proses masuknya

    glukosa dari darah ke dalam sel. Hal ini awalnya disintesis sebagai rantai tunggal

    86-prekursor asam amino polipeptida, preproinsulin. Kemudian pemrosesan

    proteolitik menghilangkan amino-terminal sinyal peptida, sehingga menimbulkan

    proinsulin.

    Proinsulin adalah struktural yang berhubungan dengan faktor pertumbuhan

    seperti insulin I dan II, yang mengikat lemah dengan reseptor insulin. Pembelahan

    dari sebuah fragmen 31-residu internal dari proinsulin menghasilkan peptida C

    dan A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) rantai insulin, yang dihubungkan

    oleh disulfida bonds. Molekul insulin yang matang dan peptida C disimpan

    bersama-sama dalam sel . Karena peptida C dibersihkan lebih lambat dari

    insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi insulin dan memungkinkan

    diskriminasi endogen dan eksogen sumber insulin dalam evaluasi hipoglikemi

    (Powers, 2010).

    B. Sekresi Insulin

    Glukosa adalah kunci pengatur sekresi insulin oleh sel pankreas,

    meskipun asam amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastrointestinal, dan

    neurotransmiter juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L

    (70 mg/dL) meransang sintesis insulin, terutama dengan meningkatkan translasi

  • protein dan pengolahan. Glukosa menstimulasi sekresi insulin dimulai dengan

    transportasi ke dalam sel oleh GLUT 2 (Gambar 2.1). Glukosa difosforilasi oleh

    glikokinase adalah langkah untuk membatasi sekresi insulin. Metabolisme lebih

    lanjut glukosa 6-fosfat melalui glikolisis menghasilkan ATP, yang menghambat

    aktivitas dari kanal K+ . Kanal sensitif ATP terdiri dari dua protein yang terpisah.

    Penghambatan kanal K+

    Pankreas manusia menyekresikan 40-50 unit insulin per hari yang

    mewakili sekitar 15-20% hormon yang disimpan di dalam kelenjar. Sekresi

    insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan melibatkan sistem

    mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel pada pulau Langerhans. Faktor yang

    mempengaruhi sekresi insulin antara lain peningkatan kadar glukosa darah,

    hormon, dan preparat farmakologik (Granner, 2003).

    ini menginduksi depolarisasi membran sel ., yang

    membuka saluran kanal kalsium (menyebabkan masuknya kalsium) dan

    meransang sekresi insulin (Powers, 2010).

    Gambar 2.1. Sekresi Insulin

    C. Kerja Insulin

    Setelah insulin disekresi ke dalam sistem vena portal, 50% didegradasi

    oleh hati. Insulin tanpa diekstraksi memasuki sirkulasi sistemik dimana insulin

    mengikat reseptor di lokasi target. Insulin mengikat reseptor yang meransang

    aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang mengarah ke reseptor autofosforilasi dan

    merekrut sinyal molekul intraseluler, seperti Insulin Reseptor Substrates (IRSs)

  • (Gambar 2.2). IRS dan protein lainnya menginisiasi kaskade kompleks fosforilasi

    dan reaksi defosforilasi, sehingga menghasilkan metabolisme luas dan efek

    mitogenik dari insulin. Sebagai contoh, aktivasi dari phosphatidylinositol-3-kinase

    (PI-3-kinase) meransang translokasi transporter glukosa (misalnya, GLUT 4) ke

    permukaan sel, suatu peristiwa yang sangat penting untuk ambilan glukosa oleh

    otot rangka dan lemak. Aktivasi jalur sinyal reseptor insulin lainnya menginduksi

    sintesis glikogen, sintesis protein, lipogenesis, dan pengaturan berbagai gen dalam

    sel respon insulin.

    Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi

    glukosa di hati dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatanya. Insulin

    adalah regulator yang paling penting dari keseimbangan metabolik ini, tetapi input

    saraf, sinyal metabolik, dan hormon lainnya (misalnya, glukagon) mengakibatkan

    integrasi kontrol dari pasokan glukosa dan pemanfaatannya. Dalam keadaan

    puasa, level insulin yang rendah meningkatkan produksi glukosa hepatik dengan

    mengaktifkan glukoneogenesis dan glikogenolisis dan mengurangi penyerapan

    glukosa dalam jaringan sensitif terhadap insulin (otot rangka dan lemak), sehingga

    menyebabkan mobilisasi prekursor disimpan seperti asam amino dan asam lemak

    bebas (lipolisis). Glukagon disekresikan oleh sel pankreas ketika glukosa darah

    atau kadar insulin rendah, meransang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh

    hati dan medulla ginjal. Setelah makan, beban glukosa memunculkan kenaikan

    insulin dan glukagon rendah, menyebabkan kebalikan dari proses ini. Insulin,

    hormon anabolik, meningkatkan penyimpanan karbohidrat dan lemak dan sintesis

    protein (Powers, 2010).

    Insulin umumnya mempunyai efek anabolik terhadap metabolisme protein,

    yaitu meransang sintesis protein dan memperlambat penguraian protein. Insulin

    menstimulasi ambilan asam amino netral oleh otot, yaitu suatu efek yang tidak

    berkaitan dengan ambilan glukosa atau dengan penyatuan selanjutnya asam amino

    ke dalam protein. Efek insulin terhadap sintesis protein yang umum di dalam otot

    rangka serta jantung dan hati diperkirakan terjadi pada tingkat translasi mRNA

    (Granner, 2003).

  • Gambar 2.2. Kerja Insulin

    2.1.7. Gejala Klinis Diabetes Mellitus

    Manifestasi utama penyakit DM adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat

    (1) berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; (2) berkurangnya

    penggunaan glukosa oleh berbagai jaringan; dan (3) peningkatan produksi glukosa

    (glukoneogenesis) oleh hati.

    Poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalori

    memadai, merupakan gejala utama defisiensi insulin. Kadar glukosa plasma

    jarang melampaui 120 mg/dL pada manusia normal, kadar yang jauh lebih tinggi

    selalu dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu glukosa

    plasma dicapai (pada manusia pada umumnya >80 mg/dL), taraf maksimal

    reabsorpsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan

    diekskresikan ke dalam urine (glukosuria). Volume urine meningkat akibat

    terjadinya diuresis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat

    yang bersamaan (poliuria) : kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi

    (hiperosmolaritas), bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum

    (polidipsia). Glukosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4,1

    kkal untuk setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar); kehilangan ini,

    jika ditambah lagi dengan hilangnya jaringan otot dan adiposa, akan

  • mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat meskipun terdapat peningkatan

    selera makan (polifagia) dan asupan kalori yang normal atau meningkat (Granner,

    2003).

    2.1.8. Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus

    Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan

    tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi

    mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji

    diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya

    positif untuk memastikan diagnosis definitif.

    Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar

    glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti

    dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).

    Tabel 2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan

    Penyaring dan Diagnosis DM

    Bukan

    DM

    Belum

    pasti DM

    DM

    Kadar Glukosa Darah

    Sewaktu (mg/dL)

    Plasma vena

  • Gejala diabetes disertai kadar glukosa darah ad random 11,1

    mmol/L (200 mg/dL), atau

    Kadar glukosa darah puasa 7,0 mmol/L (126 mg/dL), atau

    Kadar glukosa darah dua jam pascaprandial 11,1 mmol/L (200

    mg/dL) selama tes toleransi glukosa oral (Powers, 2010)

    2.1.9. Komplikasi Diabetes Mellitus

    Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik.

    1. Komplikasi Akut

    Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)

    adalah komplikasi akut diabetes (Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik

    (KAD), kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra

    regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada

    jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan

    produksi badan keton dan asam lemak secara berlebihan. Akumulasi produksi

    badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik. Badan

    keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta-hidroksibutirat

    (3HB). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih

    banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Soewondo,

    2009).

    2. Komplikasi Kronik

    Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan

    terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun

    makroangiopati (Waspadji, 2009). Komplikasi kronik DM bisa berefek pada

    banyak sistem organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian,

    yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi

    menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan nefropati) dan

    makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit

    serebrovaskular). Sedangkan komplikasi non-vaskular dari DM yaitu

    gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2010).

  • 2.2 Anemia

    2.2.1. Definisi Anemia

    Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa

    eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

    membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia

    ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit.

    Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.

    Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala

    berbagai penyakit macam penyakit dasar (Bakta, 2009).

    Definisi anemia, menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) :

    a) Laki-laki dewasa

    kadar hemoglobin darah

  • 2.2.3. Etiologi dan Klasifikasi Anemia

    Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam

    penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

    1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang

    2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)

    3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya

    (hemolisis) (Bakta, 2009).

    Tabel 2.2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Etiologi

    Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis

    A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

    1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

    Anemia defisiensi besi

    Anemia defisiensi asam folat

    Anemia defisiensi vitamin B12

    2. Gangguan pengguanaan (utilisasi) besi

    Anemia akibat penyakit kronik

    Anemia sideroblastik

    3. Kerusakan Sumsum tulang

    Anemia aplasti

    Anemia mieloplastik

    Anemia pada keganasan hematologi

    Anemia diseritropoietik

    Anemia pada sindrom mielodisplastik

    Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik

    B. Anemia akibat hemoragi

    1. Anemia pasca perdarahan akut

    2. Anemia pasca perdarahan kronik

    C. Anemia hemolitik

  • 1. Anemia hemoliti intracorpuskular

    Gangguan membran eritrosit (membranopati)

    Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi

    G6PD

    Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati): thalassemia,

    hemoglobinopati struktural (Hb S, Hb E, dll)

    2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular

    Anemia hemolitik autoimun

    Anemia hemolitik mikroangiopatik

    Lain-lain

    D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang

    kompleks

    (Bakta, 2009)

    Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran

    morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam

    klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3 golongan:

    1. Anemia hipokromik mikrositer ( MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg)

    Anemia defisiensi besi

    Thalassemia major

    Anemia akibat penyakit kronik

    Anemia sideroblastik

    2. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 fl)

    Anemia pasca perdarahan akut

    Anemia aplastik

    Anemia hemolitik didapat

    Anemia akibat penyakit kronik

    Anemia pada gagal ginjal kronik

    Anemia pada sindrom mielodisplastik

    Anemia pada keganasan hematologik

  • 3. Anemia makrositer (MCV > 95 fl)

    Bentuk megaloplastik (defisiensi asam folat, defisiensi vitamin

    B12)

    Bentuk non-megaloblastik (pada penyakit hati kronik,

    hipotiroidime, sindrom mielodisplastik) (Bakta, 2009).

    2.2.4. Gambaran Klinis Anemia

    Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskular

    (dengan peningkatan volume sekuncup dan takikardia) dan pada kurva disosiasi

    O2

    hemoglobin. Pada beberapa penderita anemia yang cukup berat, mungkin tidak

    terdapat gejala atau tanda, sedangkan pasien lain yang menderita anemia ringan

    mungkin mengalami kelemahan berat. Ada atau tidaknya gambaran klinis dapat

    dipertimbangkan menurut empat kriteria utama :

    1. Kecepatan awitan

    Anemia yang memburuk dengan cepat menimbulkan lebih banyak gejala

    dibandingkan anemia awitan lambat, karena lebih sedikit waktu untuk adaptasi

    dalam sistem kardiovaskular dan kurva disosiasi O22. Keparahan

    hemoglobin.

    Anemia ringan sering kali tidak menimbulkan gejala atau tanda, tetapi gejala

    biasanya muncul jika hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Bahkan anemia berat

    (hemoglobin serendah 6,0 g/dL) dapat menimbulkan gejala yang sangat sedikit

    jika awitansangat lambat pada subyek muda yang sehat.

    3. Usia

    Orang tua menoleransi anemia dengan kurang baik dibandingkan orang muda

    karena adanya efek kekurangan oksigen pada organ jika terjadi gangguan

    kompensasi kardiovaskular normal (peningkatan curah jantung akibat

    peningkatan volume sekuncup dan takikardia).

    4. Kurva disosiasi hemoglobin O

    Anemia umumnya disertai peningkatan 2,3-DPG dalam eritrosit dan

    pergeseran kurva disosiasi O

    2

    2 ke kanan sehingga O2 lebih mudah dilepaskan ke

  • jarinagn. Adaptasi ini sangat jelas pada beberapa macam anemia yang

    mengenai metabolisme eritrosit secara langsung, misalnya pada anemia akibat

    defisiensi piruvat kinase (yang menyebabkan peningkatan konsentrasi 2,3-DPG

    dalam eritrosit), atau yang disertai dengan hemoglobin berafinitas rendah,

    misal HbS (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).

    2.2.5. Gejala dan Tanda Anemia

    Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,

    khususnya pada saat berolahraga, kelemahan, letargi, palpitasi, dan sakit kepala.

    Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejal gagal jantung, angina pektoris,

    klaudikasio intermiten, atau kebingungan (konfusi). Gangguan penglihatan akibat

    perdarahan retina dapat mempersulit anemia yang sangat berat khususnya yang

    awitannya cepat.

    Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus. Tanda

    umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul bila kadar hemoglobin

    kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit bukan tanda yang dapat

    diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat menunjukkan takikardia, nadi kuat,

    kardiomegali, dan bising jantung aliran sistolik khususnya pada apeks. Gambaran

    gagal jantung kongestif mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua.

    Perdarahan retina jarang ditemukan. Tanda yang spesifik dikaitkan dengan jenis

    anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus dengan

    anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan anemia sel sabit dan

    anemia hemolitik lain, deformitas tulang dengan talasemia mayor dan anemia

    hemolitik kongenital lain yang berat.

    Gejala-gejala anemia yang disertai infeksi berlebihan atau memar spontan

    menunjukkan adanya kemungkinan netropenia atau trombositopenia akibat

    kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand, Pettit, Moss, 2005).

    2.3. Anemia pada Diabetes Mellitus

    Keadaan anemia sering ditemukan pada pasien DM. Anemia merupakan

    komplikasi umum dan lebih sering terjadi pada orang dengan diabetes

  • dibandingkan orang tanpa diabetes. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh

    Rani, Raman, Rachepalli, et al. (2010), prevalensi anemia pada penderita DM tipe

    2 adalah sebesar 12,3%. Untuk pasien DM yang berusia 40-49 tahun, prevalensi

    anemia lebih tinggi pada wanita (26,4%) dibandingkan dengan pria (10,3%).

    Hampir 1 dari 4 (23%) pasien dengan DM tipe 1 dan DM tipe 2 mengalami

    anemia.

    Anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya sintesis serta

    pelepasan eritropoietin dari ginjal, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan

    juga adanya faktor iatrogenik, seperti penggunaan Angiotensin Converting

    Enzyme inhibitor (ACE-I). Terjadiya anemia pada penyakit ginjal kronik

    berhubungan dengan penurunan Glomerulus Filtrarion Rate (GFR) dan keadaan

    ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada gangguan di sistem

    kardiovaskular (Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011).

    Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa kadar Hb (Hemoglobin)

    yang rendah pada pasien DM dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit ginjal

    serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Dalam uji klinis terkontrol,

    pengobatan anemia dengan Erythropoietin Stimulating Agents (ESA)

    menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup, tetapi belum menunjukkan hasil

    yang lebih baik (Mehdi dan Toto, 2009).