Chapter II(1)
-
Upload
taufik-tias -
Category
Documents
-
view
9 -
download
4
Transcript of Chapter II(1)
24
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys berarti sulit dan pepse berarti
pencernaan. Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau
ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala
klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang
menetap atau mengalami kekambuhan. Gejalanya meliputi nyeri epigastrium,
perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi
yang normal), dan rasa penuh setelah makan.4-6
Dispepsia fungsional adalah .bagian dari gangguan pencernaan
fungsional yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan
kelainan organik berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan
endoskopi. Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat
pemeriksaaan tidak ditemukannya kelainan organik yang dapat menjelaskan
keluhan tersebut (seperti chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal
reflux, malignancy).4-6
2.2. Epidemiologi
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja
mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga
dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan
tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter.1,2. Rerksppaphol
mengemukakan pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang
6
25
mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya dalam
waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35%
peradangan mukosa. 4
Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat
kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum
yang disebabkan Helicobacter pylori, maka diperkirakan makin banyak
kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak
dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang
terinfeksi H. pylori dengan yang tidak. Pada anak di bawah 4 tahun sebagian
besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya
kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak. 23 – 25
2.3. Patofisiologi 2.3.1. Faktor Genetik Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin
antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat
menyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme
genetik berhubungan dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin
serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas
dari usus. 5,13
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional
gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada
kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang
26
menarik. Pada pasien gangguan gastrointestinal fungsional terjadi
hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal.5,13
2.3.2. Faktor Psikososial
Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres
adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosional yang labil
memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini
akibat dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat
mengubah gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui
mekanisme-neuroendokrin.13,26,27
Pada beberapa literatur menyebutkan bahwa anak-anak dengan
gangguan fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan oleh karena
kecemasan pada diri mereka dan orang tuanya terutama ibu. Satu studi
menyatakan bahwa pada stres atau kecemasan dapat mengaktifkan reaksi
disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang dapat menyebabkan gejala
sakit perut berulang.26,27
2.3.3. Pengaruh Flora Bakteri Infeksi Helicobacter pylori (Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia
fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada
pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan
pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui
bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin
menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat
somatostatin.13,26,27
2.3.4. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan
Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien
dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol
27
yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti pada tahun 2000
menunjukkan keterlambatan esensial dari pengosongan lambung pada 40%
pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan
barostatic measure menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam
lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan
berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas duodenum adalah
keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia fungsional, dimana
terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari
aktivitas gerakan gastrointestinal.13,26,27
2.3.5. Hipersensitivitas viseral Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat
gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu
hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan
mekanisme perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari
gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan
persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus. 13,26,28
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan
disfungsi pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut
aferen lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia.
Dispepsia fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah
rangsangan kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan
penurunan motilitas duodenum. 13,26,28
Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme
sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak
yang terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit
yang berhubungan dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa
perubahan periperal pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme
28
sentral. Bagian kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam
persepsi stimuli periperal. 13,26,28
Gambar 2.1. Mekanisme dispesia akibat stres13
29
2.4. Klasifikasi Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kategori berdasarkan gejala atau
keluhan: a. Postprandial Distress Syndrome 8,11
- Rasa kembung setelah makan, terjadi setelah mengkonsumsi
makanan porsi biasa paling sedikit beberapa kali selama seminggu.
- Cepat terasa penuh perut sehingga tidak dapat mernghabiskan
makanan dengan porsi biasa paling tidak beberapa kali selama
seminggu.
b. Epigastric Pain Syndrome 8,11
- Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium dengan tingkat
keparahan sedang yang dialami minimal sekali seminggu.
- Nyeri interimiten.
- Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus.
- Tidak memenuhi kriteria kelainan kandung empedu.
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta
dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian
akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tak
nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan
suara usus yang keras (borborigmi)29,30
Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri,
sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala
lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi
(perut kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa
minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai
30
penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa seperti adanya
alarm symtoms, maka penderita harus menjalani pemeriksaan .29,30
Tabel 2.1. Alarm symptoms sakit perut berulang disebabkan kelainan organik31.
Nyeri terlokalisir,jauh dari umbilikus
- Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
- Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
- Nyeri timbul tiba-tiba
- Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
- Disertai gangguan motilitas(diare, obstipasi, inkontinensia)
- Disertai perdarahan saluran cerna
- Terdapat disuria
- Berhubungan dengan menstruasi
- Terdapat gangguan tumbuh kembang
- Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
- Terjadi pada usia < 4 tahun
- Terdapat organomegali
- Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
- Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan
organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian 31
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah
yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika
31
ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak
cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja
kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga
menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman
lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker
seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan
karsinoma pankreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan
atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita
makan.
3. Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di
bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi
Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,
selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi
H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Non farmakologis
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu,
diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil
32
rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang
merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama
di malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa
makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi
relaksasi dan terapi perilaku.2,9,13
2.6.2. Farmakologis
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu 6,7,13
1. Antasida
Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium
bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian
antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat
simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan
adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan
diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
3. Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin
yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan
sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga
memiliki efek sitoprotektif.
4. Antagonis resptor H2
33
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan ini adalah simetidin, ranitidin, dan famotidin.
5. Proton pump inhibitor (PPI )
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
6. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2)
selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh
sel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus
dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein
sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.
7. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki asam lambung.
8. Golongan anti depresi
34
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti
depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena
tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor
kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari obat ini adalah
golongan trisiclic antidepressants (TCA) seperti amitriptilin.
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa
pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan
Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum
didukung bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,
antagonis reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-
reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.6,7,13
2.7. Amitriptilin
Amitriptilin merupakan obat golongan TCA dan derivat dari
dibenzocycloheptadiene dengan berat molekul 313.87, dan umum dipakai
sebagai anti depresi selain itu juga berguna dalam pengobatan nyeri
neuropatik kronis.32 – 34
Gambar 2.2. Rumus bangun Amitriptilin
35
Amitriptilin bekerja dengan mempengaruhi aktivitas neurotransmiter
monoamin, termasuk norepinefrin dan serotonin. Amitriptilin bekerja dengan
cara menghambat reuptake neurotransmiter norepinefrin dan serotonin dari
celah sinaps. Kerja TCA lebih luas dibandingkan SSRI, karena SSRI hanya
mempengaruhi serotonin dan tidak norepinefrin. Amitriptilin juga berefek
menekan anti muskarinik. 32,35
Obat golongan TCA seperti amitriptilin, nortriptilin dan desipramin luas
dipakai pada anak. Obat ini diabsorbsi baik per oral, dengan kadar maksimum
dalam serum tercapai dalam 2 hingga 8 jam dengan waktu paruh rata-rata 20
jam. Tempat biotransformasi utama di hati. Diekskresi ke dalam urin dalam
bentuk metabolit.32,35
Amitriptilin tidak boleh diberikan bersamaan dengan monoamine
oxidase inhibitors. Hiperpiretik, kejang dan kematian pernah dilaporkan
setelah pemberian kedua obat ini. Pemberian bersamaan cisapride
berpotensi terjadi pemanjangan interval QT dan risiko aritmia. Obat ini juga
menghambat kerja anti hipertensi guanethidine, meningkatkan respon
terhadap alkohol, barbiturate dan obat anti depresi lainnya. Delirium pernah
dilaporkan setelah pemberian amitriptilin dan disulfiram.32,35
Efek samping amitriptilin berupa mengantuk, peningkatan berat badan,
gejala antikolinergik seperti mulut kering, mata kering, lightheadedness,
konstipasi, aritmia jantung.32,35
36
2.8. Amitriptilin sebagai terapi dispepsia fungsional Patofisiologi dispepsia fungsional sangat heterogen. Saat ini belum ada terapi
yang memuaskan dalam pengobatan dispepsia fungsional. Faktor
biopsikososial merupakan salah satu faktor yang berperan sehingga timbul
gejala dispepsia fungsional. Faktor biopsikososial adalah faktor biologis dan
faktor lingkungan berinteraksi untuk menghasilkan sindrom klinis dan
penyakit.14,36
Elemen kunci untuk memahami patofisiologi gangguan gastrointestinal
fungsional adalah berkaitan dengan disfungsi dari sistem sumbu otak-usus
yang melibatkan sistem komunikasi pusat dan saraf enterik. Efek dari
interaksi ini berdampak pada gejala perilaku sakit, dan kemanjuran
pengobatan. Dengan demikian terjadi perubahan motilitas, hipersensitivitas
dan inflamasi mukosa usus. Dalam hal ini, obat-obatan psikoaktif dapat
digunakan, terutama untuk pasien dengan gejala berat. 21,22
Salah satu terapi alternatif adalah golongan TCA seperti amitriptilin.
Amitriptilin secara teoritis menguntungkan karena efek menyeluruh mereka
pada sumbu otak-usus, baik di pusat dan di usus. Amitriptilin juga sering
digunakan pada sindrom nyeri kronis somatik seperti migrain dan
fibromyalgia, dan penggunaannya dalam pengobatan gangguan
gastrointestinal fungsional telah meningkat.33,34
Amitriptilin bekerja pada berbagai daerah di saluran pencernaan dan
otak. Amitriptilin menurunkan hipersensitivitas viseral dengan menurunkan
rangsangan saraf sensorik askending dari perifer atau dengan meniadakan
efek peningkatan mediator inflamasi lainnya melalui reseptor 5HT. Amitriptilin
dapat memfasilitasi atau meningkatkan efek dari inhibisi desending modulasi
nyeri sentral, opioid, serotonergik, atau noradrenergik. Amitriptilin bekerja
pada area yang memproses nyeri pada otak sehingga menurunkan nyeri
viseral dan kemungkinan juga persepsi nyeri. Karena efek-efek terhadap
37
motilitas dan sekresi, amitriptilin dapat mengurangi gejala gangguan saluran
cerna.21,22
Amitriptilin bila digunakan pada dosis penuh dapat mengobati
gangguan kejiwaan, dan karena itu dapat mengobati gangguan kejiwaan
bersamaan pada pasien dengan dispepsia fungsional dan dapat mengobati
stres yang berhubungan dengan eksaserbasi gejala dispepsia fungsional
yang berhubungan dengan kecemasan sekunder dengan efek ansiolitik. 21,22
Amitriptilin dosis rendah telah diusulkan sebagai pengobatan alternatif
untuk pasien dengan dispepsia fungsional karena amitriptilin mengurangi
sensitivitas dari saraf perifer, meningkatkan ambang dan toleransi nyeri, dan
bersifat antikolinegik. Amitriptilin memiliki sifat antinociceptive, efek analgesik
perifer pada tingkat mekanoreseptor viseral dan serat saraf aferen. Amitriptilin
juga dapat mempengaruhi motilitas gastrointestinal dan sekresi berdasarkan
efek serotonergik, noradrenergik, atau antikolinergik.21,22
Amitriptilin memiliki potensi untuk mengurangi gejala dispepsia
fungsional karena meningkatkan ketersediaan 5-HT (pro-motilitas) tidak
hanya di tingkat sistem saraf pusat, tetapi juga di tingkat enterik.34 Reseptor
kappa-opioid agonis berguna untuk dispepsia fungsional karena efek
antinociceptive, efek antikolinergik, perlambatan transit gastrointestinal,
relaksasi fundus, efek sedasi dan analgesik.12,29
Amitriptilin biasanya diberikan pada malam hari karena mengambil
efek sedasi, dimana dosis yang diberikan antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb/hari.
Manfaat amitriptilin untuk pengobatan dispepsia fungsional mulai terlihat
setelah 2 minggu terapi. Pada penelitian selama 12 minggu usia 7 - 18
tahun, 84% dari pasien mengalami penurunan nyeri, depresi, gelisah, dan
gangguan somatik lain.35,37
38
2.9. Kerangka Konseptual
: variabel yang diteliti
Psikososial/Stres Genetik Psikososial/Stres
Gangguan motilitas saluran
Hipersensitivitas Viseral
Pengaruh flora bakteri
Peripheral Hyperalgesia
Central Hyperalgesia
Peningkatan sensitivitas
mekanoreseptor dan
kemoreseptor
Penurunan inhibisi efferent
mengurangi persepsi nyeri
Dispepsia fungsional (rome III)
Frekuensi dan durasi sakit perut
Pengobatan (Amitriptilin)
Genetik Psikososial/Stres
Gangguan motilitas saluran
Hipersensitivitas Viseral
Pengaruh flora bakteri
Genetik Psikososial/Stres
Peripheral Hyperalgesia
Central Hyperalgesia
Gangguan motilitas saluran
Hipersensitivitas Viseral
Pengaruh flora bakteri
Genetik Psikososial/Stres
Peningkatan sensitivitas
mekanoreseptor dan
kemoreseptor
Penurunan inhibisi efferent
mengurangi persepsi nyeri
Dispepsia fungsional (rome III)
Pengobatan (Amitriptilin)
Peripheral Hyperalgesia
Central Hyperalgesia
Gangguan motilitas saluran
Hipersensitivitas Viseral
Pengaruh flora bakteri
Genetik Psikososial/Stres
Peningkatan sensitivitas
mekanoreseptor dan
kemoreseptor
Penurunan inhibisi efferent
mengurangi persepsi nyeri
Dispepsia fungsional (rome III)
Pengobatan (Amitriptilin)
Peripheral Hyperalgesia
Central Hyperalgesia
Gangguan motilitas saluran
Hipersensitivitas Viseral
Pengaruh flora bakteri
Genetik Psikososial/Stres
Frekuensi dan durasi sakit perut
Peningkatan sensitivitas
mekanoreseptor dan
kemoreseptor
Penurunan inhibisi efferent
mengurangi persepsi nyeri
Dispepsia fungsional (rome III)
Pengobatan (Amitriptilin)
Peripheral Hyperalgesia
Central Hyperalgesia
Gangguan motilitas saluran
Hipersensitivitas Viseral
Pengaruh flora bakteri
Genetik Psikososial/Stres
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual