Chapter II(1)

15
24 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys berarti sulit dan pepse berarti pencernaan. Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Gejalanya meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), dan rasa penuh setelah makan. 4-6 Dispepsia fungsional adalah .bagian dari gangguan pencernaan fungsional yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan kelainan organik berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi. Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat pemeriksaaan tidak ditemukannya kelainan organik yang dapat menjelaskan keluhan tersebut (seperti chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal reflux, malignancy). 4-6 2.2. Epidemiologi Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui. Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter. 1,2 . Rerksppaphol mengemukakan pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang 6

Transcript of Chapter II(1)

Page 1: Chapter II(1)

24

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dispepsia

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys berarti sulit dan pepse berarti

pencernaan. Dispesia merupakan nyeri kronis atau berulang atau

ketidaknyamanan berpusat di perut bagian atas. Kumpulan keluhan/gejala

klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang

menetap atau mengalami kekambuhan. Gejalanya meliputi nyeri epigastrium,

perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi

yang normal), dan rasa penuh setelah makan.4-6

Dispepsia fungsional adalah .bagian dari gangguan pencernaan

fungsional yang memiliki gejala umum gastrointestinal dan tidak ditemukan

kelainan organik berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan

endoskopi. Kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat

pemeriksaaan tidak ditemukannya kelainan organik yang dapat menjelaskan

keluhan tersebut (seperti chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal

reflux, malignancy).4-6

2.2. Epidemiologi

Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui.

Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja

mengalami nyeri perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga

dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan

tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter.1,2. Rerksppaphol

mengemukakan pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang

6

Page 2: Chapter II(1)

25

mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya dalam

waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35%

peradangan mukosa. 4

Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat

kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum

yang disebabkan Helicobacter pylori, maka diperkirakan makin banyak

kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak

dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang

terinfeksi H. pylori dengan yang tidak. Pada anak di bawah 4 tahun sebagian

besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya

kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak. 23 – 25

2.3. Patofisiologi 2.3.1. Faktor Genetik Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan

gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin

antiinflamasi (Il-10, TGF-β). Penurunan sitokin antiinflamasi dapat

menyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu polimorfisme

genetik berhubungan dengan protein dari sistem reuptake synaptic serotonin

serta reseptor polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas

dari usus. 5,13

Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional

gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada

kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang

Page 3: Chapter II(1)

26

menarik. Pada pasien gangguan gastrointestinal fungsional terjadi

hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal.5,13

2.3.2. Faktor Psikososial

Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan bahwa stres

adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional. Emosional yang labil

memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi gastrointestinal. Hal ini

akibat dari pengaruh pusat di enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat

mengubah gerakan dan aktivitas sekresi traktus gastrointestinal melalui

mekanisme-neuroendokrin.13,26,27

Pada beberapa literatur menyebutkan bahwa anak-anak dengan

gangguan fungsi gastrointestinal lebih lazim disebabkan oleh karena

kecemasan pada diri mereka dan orang tuanya terutama ibu. Satu studi

menyatakan bahwa pada stres atau kecemasan dapat mengaktifkan reaksi

disfungsi otonomik traktus gastrointestinal yang dapat menyebabkan gejala

sakit perut berulang.26,27

2.3.3. Pengaruh Flora Bakteri Infeksi Helicobacter pylori (Hp) mempengaruhi terjadinya dispepsia

fungsional. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada

pasien dengan dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan

pendapat mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui

bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin

menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat

somatostatin.13,26,27

2.3.4. Gangguan motilitas dari saluran pencernaan

Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada pasien

dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan dengan kontrol

Page 4: Chapter II(1)

27

yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti pada tahun 2000

menunjukkan keterlambatan esensial dari pengosongan lambung pada 40%

pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy ultrasonography dan

barostatic measure menunjukkan terganggunya distribusi makanan didalam

lambung, dimana terjadi akumulasi isi lambung pada perut bagian bawah dan

berkurangnya relaksasi pada daerah antral. Dismolitas duodenum adalah

keadaan patologis yang dapat terjadi pada dispepsia fungsional, dimana

terjadi gangguan aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari

aktivitas gerakan gastrointestinal.13,26,27

2.3.5. Hipersensitivitas viseral Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat

gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan salah satu

hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini berdasarkan

mekanisme perubahan perifer. Sensasi viseral ditransmisikan dari

gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan. Peningkatan

persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal dari usus. 13,26,28

Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan

disfungsi pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut

aferen lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia.

Dispepsia fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah

rangsangan kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan

penurunan motilitas duodenum. 13,26,28

Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan mekanisme

sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik menunjukkan bagian otak

yang terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek emosional terhadap rasa sakit

yang berhubungan dengan pusat sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa

perubahan periperal pada gastrointestinal dimodulasi oleh mekanisme

Page 5: Chapter II(1)

28

sentral. Bagian kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam

persepsi stimuli periperal. 13,26,28

Gambar 2.1. Mekanisme dispesia akibat stres13

Page 6: Chapter II(1)

29

2.4. Klasifikasi Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kategori berdasarkan gejala atau

keluhan: a. Postprandial Distress Syndrome 8,11

- Rasa kembung setelah makan, terjadi setelah mengkonsumsi

makanan porsi biasa paling sedikit beberapa kali selama seminggu.

- Cepat terasa penuh perut sehingga tidak dapat mernghabiskan

makanan dengan porsi biasa paling tidak beberapa kali selama

seminggu.

b. Epigastric Pain Syndrome 8,11

- Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium dengan tingkat

keparahan sedang yang dialami minimal sekali seminggu.

- Nyeri interimiten.

- Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus.

- Tidak memenuhi kriteria kelainan kandung empedu.

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta

dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian

akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tak

nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan

suara usus yang keras (borborigmi)29,30

Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri,

sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala

lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi

(perut kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa

minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai

Page 7: Chapter II(1)

30

penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa seperti adanya

alarm symtoms, maka penderita harus menjalani pemeriksaan .29,30

Tabel 2.1. Alarm symptoms sakit perut berulang disebabkan kelainan organik31.

Nyeri terlokalisir,jauh dari umbilikus

- Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)

- Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari

- Nyeri timbul tiba-tiba

- Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan

- Disertai gangguan motilitas(diare, obstipasi, inkontinensia)

- Disertai perdarahan saluran cerna

- Terdapat disuria

- Berhubungan dengan menstruasi

- Terdapat gangguan tumbuh kembang

- Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun

- Terjadi pada usia < 4 tahun

- Terdapat organomegali

- Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi

- Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

2.5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan

organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian 31

1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah

yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika

Page 8: Chapter II(1)

31

ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak

cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja

kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga

menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman

lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker

seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan

karsinoma pankreas).

2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang

mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan

atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita

makan.

3. Endoskopi bisa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari

lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di

bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi

Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,

selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.

4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi

H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.

2.6. Penatalaksanaan

2.6.1. Non farmakologis

Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu,

diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil

Page 9: Chapter II(1)

32

rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga yang

merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama

di malam hari dan membagi asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa

makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi

relaksasi dan terapi perilaku.2,9,13

2.6.2. Farmakologis

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa obat, yaitu 6,7,13

1. Antasida

Golongan ini mudah didapat dan murah. Antasida akan menetralisir

sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium

bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian

antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat

simtomatis untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan

adsorben nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan

diare karena terbentuk senyawa MgCl2.

2. Antikolinergik

3. Kerja obat ini tidak sepsifik, Obat yang agak selektif adalah pirenzepin

yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan

sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%. Pirenzepin juga

memiliki efek sitoprotektif.

4. Antagonis resptor H2

Page 10: Chapter II(1)

33

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia

organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk

golongan ini adalah simetidin, ranitidin, dan famotidin.

5. Proton pump inhibitor (PPI )

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir

dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan

PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

6. Sitoprotektif

Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2)

selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh

sel parietal.

Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang

selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus

dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk

lapisan protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein

sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas.

7. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan

metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia

fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan

memperbaiki asam lambung.

8. Golongan anti depresi

Page 11: Chapter II(1)

34

Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti

depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena

tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor

kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari obat ini adalah

golongan trisiclic antidepressants (TCA) seperti amitriptilin.

Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa

pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan

Helicobacter pylori, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum

didukung bukti : antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,

antagonis reseptor H2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-

reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.6,7,13

2.7. Amitriptilin

Amitriptilin merupakan obat golongan TCA dan derivat dari

dibenzocycloheptadiene dengan berat molekul 313.87, dan umum dipakai

sebagai anti depresi selain itu juga berguna dalam pengobatan nyeri

neuropatik kronis.32 – 34

Gambar 2.2. Rumus bangun Amitriptilin

Page 12: Chapter II(1)

35

Amitriptilin bekerja dengan mempengaruhi aktivitas neurotransmiter

monoamin, termasuk norepinefrin dan serotonin. Amitriptilin bekerja dengan

cara menghambat reuptake neurotransmiter norepinefrin dan serotonin dari

celah sinaps. Kerja TCA lebih luas dibandingkan SSRI, karena SSRI hanya

mempengaruhi serotonin dan tidak norepinefrin. Amitriptilin juga berefek

menekan anti muskarinik. 32,35

Obat golongan TCA seperti amitriptilin, nortriptilin dan desipramin luas

dipakai pada anak. Obat ini diabsorbsi baik per oral, dengan kadar maksimum

dalam serum tercapai dalam 2 hingga 8 jam dengan waktu paruh rata-rata 20

jam. Tempat biotransformasi utama di hati. Diekskresi ke dalam urin dalam

bentuk metabolit.32,35

Amitriptilin tidak boleh diberikan bersamaan dengan monoamine

oxidase inhibitors. Hiperpiretik, kejang dan kematian pernah dilaporkan

setelah pemberian kedua obat ini. Pemberian bersamaan cisapride

berpotensi terjadi pemanjangan interval QT dan risiko aritmia. Obat ini juga

menghambat kerja anti hipertensi guanethidine, meningkatkan respon

terhadap alkohol, barbiturate dan obat anti depresi lainnya. Delirium pernah

dilaporkan setelah pemberian amitriptilin dan disulfiram.32,35

Efek samping amitriptilin berupa mengantuk, peningkatan berat badan,

gejala antikolinergik seperti mulut kering, mata kering, lightheadedness,

konstipasi, aritmia jantung.32,35

Page 13: Chapter II(1)

36

2.8. Amitriptilin sebagai terapi dispepsia fungsional Patofisiologi dispepsia fungsional sangat heterogen. Saat ini belum ada terapi

yang memuaskan dalam pengobatan dispepsia fungsional. Faktor

biopsikososial merupakan salah satu faktor yang berperan sehingga timbul

gejala dispepsia fungsional. Faktor biopsikososial adalah faktor biologis dan

faktor lingkungan berinteraksi untuk menghasilkan sindrom klinis dan

penyakit.14,36

Elemen kunci untuk memahami patofisiologi gangguan gastrointestinal

fungsional adalah berkaitan dengan disfungsi dari sistem sumbu otak-usus

yang melibatkan sistem komunikasi pusat dan saraf enterik. Efek dari

interaksi ini berdampak pada gejala perilaku sakit, dan kemanjuran

pengobatan. Dengan demikian terjadi perubahan motilitas, hipersensitivitas

dan inflamasi mukosa usus. Dalam hal ini, obat-obatan psikoaktif dapat

digunakan, terutama untuk pasien dengan gejala berat. 21,22

Salah satu terapi alternatif adalah golongan TCA seperti amitriptilin.

Amitriptilin secara teoritis menguntungkan karena efek menyeluruh mereka

pada sumbu otak-usus, baik di pusat dan di usus. Amitriptilin juga sering

digunakan pada sindrom nyeri kronis somatik seperti migrain dan

fibromyalgia, dan penggunaannya dalam pengobatan gangguan

gastrointestinal fungsional telah meningkat.33,34

Amitriptilin bekerja pada berbagai daerah di saluran pencernaan dan

otak. Amitriptilin menurunkan hipersensitivitas viseral dengan menurunkan

rangsangan saraf sensorik askending dari perifer atau dengan meniadakan

efek peningkatan mediator inflamasi lainnya melalui reseptor 5HT. Amitriptilin

dapat memfasilitasi atau meningkatkan efek dari inhibisi desending modulasi

nyeri sentral, opioid, serotonergik, atau noradrenergik. Amitriptilin bekerja

pada area yang memproses nyeri pada otak sehingga menurunkan nyeri

viseral dan kemungkinan juga persepsi nyeri. Karena efek-efek terhadap

Page 14: Chapter II(1)

37

motilitas dan sekresi, amitriptilin dapat mengurangi gejala gangguan saluran

cerna.21,22

Amitriptilin bila digunakan pada dosis penuh dapat mengobati

gangguan kejiwaan, dan karena itu dapat mengobati gangguan kejiwaan

bersamaan pada pasien dengan dispepsia fungsional dan dapat mengobati

stres yang berhubungan dengan eksaserbasi gejala dispepsia fungsional

yang berhubungan dengan kecemasan sekunder dengan efek ansiolitik. 21,22

Amitriptilin dosis rendah telah diusulkan sebagai pengobatan alternatif

untuk pasien dengan dispepsia fungsional karena amitriptilin mengurangi

sensitivitas dari saraf perifer, meningkatkan ambang dan toleransi nyeri, dan

bersifat antikolinegik. Amitriptilin memiliki sifat antinociceptive, efek analgesik

perifer pada tingkat mekanoreseptor viseral dan serat saraf aferen. Amitriptilin

juga dapat mempengaruhi motilitas gastrointestinal dan sekresi berdasarkan

efek serotonergik, noradrenergik, atau antikolinergik.21,22

Amitriptilin memiliki potensi untuk mengurangi gejala dispepsia

fungsional karena meningkatkan ketersediaan 5-HT (pro-motilitas) tidak

hanya di tingkat sistem saraf pusat, tetapi juga di tingkat enterik.34 Reseptor

kappa-opioid agonis berguna untuk dispepsia fungsional karena efek

antinociceptive, efek antikolinergik, perlambatan transit gastrointestinal,

relaksasi fundus, efek sedasi dan analgesik.12,29

Amitriptilin biasanya diberikan pada malam hari karena mengambil

efek sedasi, dimana dosis yang diberikan antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb/hari.

Manfaat amitriptilin untuk pengobatan dispepsia fungsional mulai terlihat

setelah 2 minggu terapi. Pada penelitian selama 12 minggu usia 7 - 18

tahun, 84% dari pasien mengalami penurunan nyeri, depresi, gelisah, dan

gangguan somatik lain.35,37

Page 15: Chapter II(1)

38

2.9. Kerangka Konseptual

: variabel yang diteliti

Psikososial/Stres Genetik Psikososial/Stres

Gangguan motilitas saluran

Hipersensitivitas Viseral

Pengaruh flora bakteri

Peripheral Hyperalgesia

Central Hyperalgesia

Peningkatan sensitivitas

mekanoreseptor dan

kemoreseptor

Penurunan inhibisi efferent

mengurangi persepsi nyeri

Dispepsia fungsional (rome III)

Frekuensi dan durasi sakit perut

Pengobatan (Amitriptilin)

Genetik Psikososial/Stres

Gangguan motilitas saluran

Hipersensitivitas Viseral

Pengaruh flora bakteri

Genetik Psikososial/Stres

Peripheral Hyperalgesia

Central Hyperalgesia

Gangguan motilitas saluran

Hipersensitivitas Viseral

Pengaruh flora bakteri

Genetik Psikososial/Stres

Peningkatan sensitivitas

mekanoreseptor dan

kemoreseptor

Penurunan inhibisi efferent

mengurangi persepsi nyeri

Dispepsia fungsional (rome III)

Pengobatan (Amitriptilin)

Peripheral Hyperalgesia

Central Hyperalgesia

Gangguan motilitas saluran

Hipersensitivitas Viseral

Pengaruh flora bakteri

Genetik Psikososial/Stres

Peningkatan sensitivitas

mekanoreseptor dan

kemoreseptor

Penurunan inhibisi efferent

mengurangi persepsi nyeri

Dispepsia fungsional (rome III)

Pengobatan (Amitriptilin)

Peripheral Hyperalgesia

Central Hyperalgesia

Gangguan motilitas saluran

Hipersensitivitas Viseral

Pengaruh flora bakteri

Genetik Psikososial/Stres

Frekuensi dan durasi sakit perut

Peningkatan sensitivitas

mekanoreseptor dan

kemoreseptor

Penurunan inhibisi efferent

mengurangi persepsi nyeri

Dispepsia fungsional (rome III)

Pengobatan (Amitriptilin)

Peripheral Hyperalgesia

Central Hyperalgesia

Gangguan motilitas saluran

Hipersensitivitas Viseral

Pengaruh flora bakteri

Genetik Psikososial/Stres

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual