Chapter II Copy

download Chapter II Copy

of 39

Transcript of Chapter II Copy

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip Pengoperasian EAF (Electric Arc Furnace) EAF untuk peleburan baja terdiri dari bejana dilapisi bahan refraktori untuk penampungan cairan besi, tutup yang dilapisi bahan refraktori dengan pendingin air, panel pendingin air dan elektoda grafit. Bahan refraktori adalah material non-metalik yang tahan terhadap temperatur lebih besar dari 538oC dan kekuatan strukturnya tidak berubah. Secara umum konstruksi EAF dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1) Dinding pelindung (shell), terdiri dari dinding samping (sidewall) dan mangkuk bawah (steel bowl) 2) Tungku (hearth), terdiri dari refraktori melingkupi mangkuk bawah 3) Tutup (roof), terdiri dari bahan refraktori dan panel pendingin air

Gambar 2.1 Penampang EAF

7Universitas Sumatera Utara

8

Gambar 2.1 [4] adalah penampang EAF memperlihatkan model fisik EAF dengan 3 buah elektroda grafit yang bisa digerakkan vertikal ke atas dan ke bawah oleh aktuator hidrolik. Pada saat elektroda mengenai besi tua, akan timbul busur listrik dengan panas tinggi yang dapat melebur besi tua. Pengoperasian EAF untuk melebur besi tua akan melalui 3 perioda yang diperlihatkan pada Gambar 2.2 [4] dan Gambar 2.3 [4] yaitu: 1) Perioda mengebor (boring) yaitu proses mengebor besi tua pada permulaan peleburan 2) Perioda melebur (melting) 3) Perioda refining yaitu proses penyesuaian temperatur dan komposisi

Gambar 2.2 EAF yang sedang beroperasi (perioda mengebor dan melebur) Secara umum konstruksi dan pengoperasian EAF adalah sebagai berikut: 1) Panas peleburan diperoleh dari busur listrik antara ketiga elektroda grafit dengan besi tua

Universitas Sumatera Utara

9

2) Elektroda grafit terhubung ke transformator tanur melalui: a. kabel berpendingin air b. busbar tembaga berpendingin air 3) Transformator tanur dilengkapi dengan OLTC (On Load Tap Changer) untuk mengatur tegangan sekunder 4) Arus peleburan pada elektroda grafit mulai puluhan kA hingga ratusan kA 5) Daya yang dikonversikan ke panas disesuaikan dengan tingkatan proses peleburan dengan memilih tegangan sekunder transformator tanur dan jarak di antara elektroda grafit dengan besi tua (panjang busur listrik) 6) Arus peleburan dan jatuh tegangan adalah akibat berbagai faktor yaitu panjang busur listrik, level ionisasi dan interaksi gaya elektromagnetik [2]

Gambar 2.3 EAF yang sedang beroperasi (perioda refining)

Universitas Sumatera Utara

10

2.2 Karakteristik EAF Sumber tegangan rendah berkisar beberapa ratus volt diperoleh dari transformator tanur model OLTC dengan busbar pada sisi sekundernya yang dihubungkan ke elektroda memakai kabel berpendingin air. Gambar 2.4 [3] memperlihatkan tipikal level daya dan tahapan perioda peleburan untuk 1 siklus peleburan. Tampak bahwa setelah perioda mengebor & melebur pada permulaan operasi, tanur akan diisi dengan besi tua berikutnya dan perioda mengebor & melebur diulangi hingga proses refining. Beban EAF dapat berubah dari suatu rangkaian terbuka 3 fasa menjadi rangkaian hubung singkat 3 fasa. Pada kondisi operasi normal, fluktuasi tegangan yang tidak beraturan selalu terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan panjang busur listrik. Fluktuasi tegangan yang berulang pada sistem tenaga perlu diatasi agar tidak memberikan dampak negatif kepada konsumen lain. Perioda mengebor & melebur adalah penyebab utama fluktuasi tegangan dan flicker yang dikarakterisasikan oleh besarnya perubahan daya aktif dan daya reaktif yang disebabkan variasi stokastik pada panjang busur listrik akibat permukaan besi tua yang tidak teratur. Perioda refining dikarakterisasikan oleh arus peleburan yang relatif stabil. Secara praktis, faktor daya peleburan dijaga berkisar 0.7 0.8 untuk mendapatkan kestabilan pengoperasian, dalam arti bahwa daya reaktif berkisar sama dengan daya aktif [2], [5]. Konsumsi daya reaktif ini menyebabkan jatuh tegangan pada PCC selama pengoperasian EAF dan transformator tanur akan bekerja pada tegangan

Universitas Sumatera Utara

11

nominal yang lebih rendah sehingga konversi daya peleburan juga menjadi lebih rendah. Harmonisa pada EAF disebabkan oleh karakteristik tegangan-arus yang sangat non-linear dari busur listrik pada setiap siklus daya, sedangkan fluktuasi tegangan disebabkan oleh perubahan panjang busur listrik selama peleburan [1]. Tabel 2.1 memperlihatkan tipikal harmonisa tegangan pada pengoperasian EAF untuk perioda melebur dan refining [6].

Gambar 2.4 Tipikal level daya dan tahapan perioda untuk 1 siklus peleburan Tabel 2.1 Tipikal tegangan harmonik pada perioda melebur dan refining Harmonik ke: 2 3 4 5 6 7 8 9 11 13 Perioda Melebur Perioda Refining 5.0% 2.0% 20.0% 10.0% 3.0% 2.0% 10.0% 10.0% 1.5% 1.5% 6.0% 6.0% 1.0% 1.0% 3.0% 3.0% 2.0% 2.0% 1.0% 1.0%

Universitas Sumatera Utara

12

Analisa harmonisa dan flicker EAF pada sistem tenaga [1], [7] merumuskan karakteristik tegangan-arus melalui persamaan:V a = V at (l ) + C D + Ia

(2.1)

di mana:

Va = Ia =l =

tegangan busur listrik arus busur listrik panjang busur listrik

Vat (l) = nilai ambang di mana tegangan mulai berubah bila arus meningkatC, D =konstanta yang nilainya menyatakan perbedaan di antara bagian peningkatan dan penurunan arus pada karakteristik tegangan-arus Dengan referensi panjang busur listrik yang memberikan Vat (l ) = 200V , nilai konstanta C dan D adalah:dI a > 0, C = 190 KW , D = 5 KA dt dI a < 0, C = 39 KW , D = 5 KA dt

Gambar 2.5 [1] memperlihatkan karakteristik tegangan-arus dari EAF yang diperoleh dari model persamaan (2.1) mempergunakan program TACS (Transient Analysis Control System) yang merupakan bagian dari program EMTP (Electromagnetic Transient Program) dengan nilai konstanta C dan D yang diberikan. Pada kondisi panjang busur listrik l tidak berubah terhadap waktu (l = l0 ) ,

Universitas Sumatera Utara

13

karakteristik tegangan-arus tidak tergantung kepada waktu dan pengoperasian EAF tidak akan menimbulkan flicker, tetapi hanya akan menimbulkan harmonisa karena sifat non-linear pada karakteristik tegangan-arus.

Gambar 2.5 Karakteristik teganganarus (V-I) dari EAF

Perubahan panjang busur listrik l sebagai penyebab flicker diberikan oleh persamaan:

Va (I a ) = KVa0 (I a )

(2.2)

di mana Va0 adalah tegangan busur listrik dengan referensi panjang busur listrik (pada contoh ini referensi panjang busur listrik adalah l0 = 39.5cm ). Persamaan (2.1) dapat dituliskan menjadi persamaan lainnya yaitu:

Va0 ( I a ) = Vat (l0 ) +

C D + Ia

(2.3)

Universitas Sumatera Utara

14

Hubungan antara tegangan ambang Vat dengan panjang busur listrik l adalah:

Vat (l) = A + Bldi mana:

(2.4)

A 40V adalah konstanta yang memperhitungkan penjumlahan jatuh tegangananoda dan katoda

B 10V / cm adalah jatuh tegangan per unit panjang busur listrikl adalah panjang busur listrik dalam cm, bervariasi pada rentang yang lebar tergantung kepada nilai tegangan ambang transformator tanur sebesar 600V, (untuk tegangan sekunder ambang V at adalah

tegangan

40 V V at 240 V [7])

Parameter K pada persamaan (2.2) dapat dievaluasi melalui rasio antara tegangan ambang pada panjang busur aktual Vat (l ) terhadap tegangan ambang pada panjang busur referensi Vat (l0 ) yaitu:

K=

Vat (l ) A + Bl = Vat (l0 ) A + Bl0

(2.5)

Perubahan arus EAF yang cepat pada proses peleburan erat kaitannya dengan variasi panjang busur listrik yang tergantung kepada komposisi besi tua, pemakaian oksigen, gaya elektrodinamis dan posisi dari elektroda grafit. Panjang busur listrik dengan variasi waktu diberikan oleh persamaan:

l(t) = l0 r(t)

(2.6)

Universitas Sumatera Utara

15

di mana:

l 0 adalah referensi panjang busur listrik (39.5cm)r (t ) adalah sinyal derau putih (white noise signal) pada rentang frekuensi 5 20Hz dimana fluktuasi tegangan menghasilkan flicker dengan amplitudo bervariasi hingga maksimum deviasi panjang busur listrik (30.1cm) dari referensi panjang (39.5cm). Resistansi busur listrik variasi waktu (time varying resistance) R f (t ) dapat dihitung dari pembagian tegangan busur listrik yang dievaluasi Va (t ) dengan arus busur listrik I a (t ) yang dituliskan oleh persamaan:R f (t ) = V a (t ) I a (t )

(2.7)

di mana:

Va = tegangan busur listrik Ia = arus busur listrikGambar 2.6 [8] adalah aktual karakteristik dan model linear tegangan-arus dari EAF di mana tegangan busur pengapian vig dan tegangan busur pemadaman vex ditentukan oleh panjang busur listrik selama pengoperasian EAF yaitu: 1) Perioda pertama, jalur OA, tegangan busur listrik mulai menyala dari tegangan pemadaman -vex dan mencapai tegangan nyala vig . Saat tegangan busur listrik mencapai tegangan nyala vig , rangkaian ekivalen bertindak

Universitas Sumatera Utara

16

sebagai rangkaian terbuka dan arus busur listrik naik dari 0 menuju i1 . 2) Perioda kedua, jalur AB, adalah permulaan proses peleburan di mana busur listrik terjadi dan tegangan jatuh secara eksponensial dari vig ke vex yang menaikkan konduktivitas dari busur listrik. Arus busur mengalami peningkatan dari i1 menjadi i 2 . 3) Perioda ketiga, jalur BO, tegangan busur listrik mulai jatuh dan busur listrik mulai padam.

Gambar 2.6 Aktual karakteristik dan model linear tegangan-arus dari EAF untuk 1 siklus daya Pada Gambar 2.6 jalur OA adalah perioda di mana arus lebih rendah mengalir pada siklus peleburan. Jalur AB adalah perioda di mana bagian aktif dari siklus peleburan dengan lebih banyak arus melalui elektroda grafit dan panjang busur listrik berubah sehingga menimbulkan flicker yang lebih banyak. Model dinamis EAF diperlukan untuk menganalisa flicker yang ditimbulkan oleh pengoperasian EAF.

Universitas Sumatera Utara

17

Untuk itu kemiringan dari kurva tegangan-arus pada Gambar 2.6 dirubah ke fungsi sinusoidal dan resistansi busur listrik variasi waktu diberikan oleh persamaan:

R f (t ) = R f (l + m sin( f t ))di mana:

(2.8)

Rf adalah tahanan konstan dari EAF saat busur padam dan EAF dalam kondisisebagai rangkaian terbuka

f adalah frekuensi flickerm adalah koefisien modulasi Dengan demikian model beban dinamis dikaitkan terhadap efek tegangan ambang

Vat (l) = A + Bl dapat dipertimbangkan sebagai:Vat (t ) = Vat (1 + m sin( f t ))(2.9)

Busur listrik direpresentasikan sebagai sebuah variabel resistor pada rangkaian ekivalen satu fasa EAF dengan sistem sumbernya seperti pada Gambar 2.7 [3]. Walaupun model ini adalah penyederhanaan dari EAF sebenarnya dan menyatakan pengoperasian EAF dalam beban seimbang, perhitungan pengoperasian EAF cukup akurat dengan rata-rata kuantitas seperti diperlihatkan pada hasil pengukuran. Titik 1 pada Gambar 2.7 adalah terminal primer transformator tanur dan merupakan titik untuk melakukan pengukuran. Reaktansi X = X 1 + X 2 adalah meliputi reaktansi hubung singkat dari jaringan sumber ditambah reaktansi transformator tanur, busbar tembaga, kabel fleksibel berpendingin air dan elektroda grafit.

Universitas Sumatera Utara

18

Gambar 2.7 Rangkaian ekivalen satu fasa EAF untuk memperkirakan karakteristik EAF Pengaturan pada rangkaian Gambar 2.7 adalah: 1) Pergerakan vertikal elektroda grafit untuk mengatur panjang busur listrik 2) Pengaturan tegangan dengan merubah perubah tap transformator tanur untuk mengatur tegangan U0 Daya yang diberikan kepada beban sebagaimana Rf bervariasi, dibatasi oleh nilai maksimum satu fasa yaitu:

Pmax1 ph =

E2 2X

(2.10)

Nilai Rf pada kondisi daya maksimum adalah:

RP max = XArus pada kondisi daya maksimum adalah:

(2.11)

I P max =

E 2X

(2.12)

Universitas Sumatera Utara

19

Tegangan busur listrik adalah sama dengan jatuh tegangan pada X, keduanya adalah sama dengan

E 2

(2.13)

Pengukuran pada titik 1 di lapangan diperlukan untuk mendapatkan nilai reaktansiX 1 , X 2 dan SCVD (Short Circuit Voltage Depression). SCVD adalah rasio depresi

tegangan hubung singkat yang menyatakan pengaruh flicker yang ditimbulkan pada pengoperasian EAF di mana nilai 0.02 0.025 berada dalam acceptable zone, 0.03 0.035 berada dalam borderline zone, dan di atas 0.035 adalah objectionable [9]. Perumusan SCVD diberikan oleh persamaan (2.14) dan Gambar 2.8 [9], [10] adalah grafik SCVD sebagai fungsi dari daya MWmax nominal EAF. SCVD =

2 xMWMaxRatingEAF MVAFaultPCC

(2.14)

Gambar 2.8 SCVD sebagai fungsi dari daya MWmax nominal EAF

Universitas Sumatera Utara

20

Bila ketiga buah elektroda dicelup ke dalam cairan besi, beban akan menjadi 3 fasa hubung singkat yang ekivalen dengan menjadikan R f = 0 seperti pada Gambar 2.7. Pada kondisi ini tegangan dan arus tiga fasa diukur pada titik 1. Pengujian hubung singkat ini adalah sangat diperlukan untuk memperkirakan karakteristik pengoperasian EAF dan akan diperoleh: 1) Reaktansi hubung singkat dari jaringan sumber adalah:

X1 =

U 0 U cc I cc

(2.15)

2) Reaktansi transformator tanur, busbar tembaga, kabel fleksibel berpendingin air dan elektroda grafit adalah:X2 = U cc I cc

(2.16)

3) Kapasitas hubung singkat steelwork busbar pada tegangan nominal UL adalah:

S sc =

2 UL MVA X1

(2.17)

4) Kapasitas hubung singkat EAF adalah:

S scf = S sc

U 0 U cc U0

MVA

(2.18)

Dengan parameter yang diperoleh dan berdasarkan rangkaian ekivalen satu fasa EAF pada Gambar 2.7, dapat digambarkan karakteristik pengoperasian EAF yaitu daya aktif & faktor daya sebagai fungsi dari daya kompleks. Gambar 2.9 adalah plot

Universitas Sumatera Utara

21

hasil perhitungan teoritis karakteristik EAF kapasitas 8Ton, 2.5MW yang diperoleh dari persamaan (2.10) s/d (2.18) dan dibandingkan dengan hasil pengukuran lapangan pada Gambar 2.10 [3] .

Gambar 2.9 Karakteristik pengoperasian EAF kapasitas 8Ton, 2.5MW

Gambar 2.10 Karakteristik pengoperasian EAF kapasitas 8Ton, 2.5MW secara teoritis dan hasil pengukuran di lapangan

Universitas Sumatera Utara

22

2.3 Fluktuasi Tegangan dan Flicker Flicker adalah fluktuasi tegangan dengan perubahan amplitudo tegangan lebih dari 0.5% pada rentang frekuensi 3 10Hz, menyebabkan ketidaknyamanan penglihatan dan memberikan efek psikologis pada manusia [11]. Fenomena flicker merupakan sensasi (perasaan) yang dialami oleh penglihatan manusia terhadap perubahan yang cepat dari intensitas cahaya lampu pijar, menyebabkan sakit kepala dan lelah, dan akan dapat menimbulkan keluhan pelanggan listrik lain yang merasakannya. Gambar 2.11 [12] memperlihatkan flicker dengan frekuensi 9Hz bermodulasi pada frekuensi fundamental.

Gambar 2.11 Flicker dengan frekuensi 9Hz bermodulasi pada frekuensi fundamental Gambar 2.12 memperlihatkan maksimum jumlah fluktuasi tegangan persatuan waktu yang diizinkan standar IEEE 519-1992 [13]. Standar IEC 61000-4-15 [14]

Universitas Sumatera Utara

23

mendefenisikan metodologi dan spesifikasi dari instrumen untuk mengukur flicker, di mana hasil ukur tegangan sebuah bola lampu 60W, 230V ditapis dan diusahakan untuk menyamai fungsi transfer mata / otak manusia. Nilai flicker meter Pst=1 menyebabkan 50% dari sekumpulan orang terganggu oleh flicker [5]. Maksimum sensitivitas untuk fluktuasi pencahayaan adalah pada 8.8Hz. Fluktuasi tegangan yang lebih lambat tidak terlalu mengganggu dan fluktuasi tegangan yang lebih cepat akan dihaluskan oleh otak manusia.

Gambar 2.12 Maksimum fluktuasi tegangan yang diizinkan [IEEE 519-1992] Kriteria untuk mengevaluasi flicker [10] adalah: %Flicker =V x100% Vbase

(2.10)

Universitas Sumatera Utara

24

Pada pengoperasian EAF, flicker berubah dari satu siklus ke siklus lainnya dan cukup tinggi selama perioda melebur, akan berkurang pada perioda refining tergantung kepada beberapa parameter seperti misalnya kualitas dan jumlah besi tua, referensi operasi, jumlah oksigen yang diinjeksi, longsor besi tua dan lainnya [6].

Gambar 2.13 Hasil pengukuran flicker Pst selama satu minggu pada steelwork busbar EAF 8Ton, 2.5MW Gambar 2.13 [3], [15] memperlihatkan contoh hasil pengukuran flicker Pst selama satu minggu pada steelwork busbar EAF 8Ton, 2.5MW dan statistik hasil pengukuran flickernya diperlihatkan pada Tabel 2.2. Batas emisi flicker diperlihatkan pada Tabel 2.3 menuruti standar ENRE 99/97 [16]. Gambar 2.14 [17] memperlihatkan besarnya perubahan daya reaktif yang mengakibatkan besarnya persentase fluktuasi tegangan yang ditimbulkan. Tabel 2.2 Statistik hasil pengukuran flicker dari Gambar 2.13 Total Pengamatan selama 10 menit Pst95% Pengamatan dengan Pst > 1 Persentase pengamatan dengan Pst > 1 1008 2.21 288 28.6%

Universitas Sumatera Utara

25

Tabel 2.3 Batas emisi flicker [ENRE 99/97] MV and HV users Individual Emission Limits (Pst) ( 1KV < U 220KV ) K2=SL/Ssc 0.37 K 2 0.005 0.46 0.005 < K 2 0.01 0.58 0.01 < K 2 0.02 0.67 0.02 < K 2 0.03 0.74 0.03 < K 2 0.04 0.79 0.04 < K 2 SL=MVA dari EAF SSC=Kapasitas hubung singkat pada titik pengamatan

Gambar 2.14 Perubahan daya reaktif dan fluktuasi tegangan yang ditimbulkan Menurut standar Eropa CENELEC EN 50160 [18], flicker yang ditimbulkan oleh pengoperasian EAF dapat diestimasi dengan memakai formula empiris [3], [15] yaitu:

Pst 95% K st xdi mana:

S scf S sc

(2.20)

Universitas Sumatera Utara

26

K st adalah koefisien keparahan flicker tanur busur, berkisar antara 40 hingga 70 Kst = 40 menyatakan kondisi tanur yang panas dengan campuran besi tua ataupunbesi sponge dan besi panas

Kst = 70 menyatakan kondisi terburuk yaitu tanur beroperasi pada kondisi dingindengan 100% besi tua

Sscf adalah kapasitas hubung singkat EAF yang biasanya adalah dengan faktoratau 2 kali lebih besar dari daya nominal transformator tanur [19]S sc adalah kapasitas hubung singkat pada titik pengamatan

2

Menurut standar IEC 61000-4-15 [14], rancangan flicker meter adalah berdasarkan pengaruh fluktuasi tegangan dari cahaya sebuah bola lampu pijar 60W pada tegangan 230VAC. Keluaran dari flicker meter mengandung dua nilai dasar yaitu: 1) Pst (keparahan flicker jangka pendek) yang diperoleh setiap rentang 10 menit. Dengan demikian dalam satu hari terdapat 144 buah nilai sampel Pst. Nilai pu dari Pst menyatakan keparahan flicker yang mendekati sama dengan flicker yang tampak pada cahaya bola lampu pijar 60W, 230V. 2) Plt (keparahan flicker jangka panjang) yang dihitung dari 12 buah nilai Pst (setara dengan 2 jam) berturut-turut dengan memakai formula:Plt = 3 1 12 Pst 3j 12 j =1

(2.21)

Universitas Sumatera Utara

27

2.4 Prinsip Kerja DSTATCOM DSTATCOM terhubung ke sistem distribusi melalui kopling reaktansi. Bila tegangan konverter yang dibangkitkan lebih besar dari tegangan sistem, maka akan mengalir arus kapasitif dari DSTATCOM ke sistem dan menghasilkan daya reaktif kapasitif (disebut pembangkit daya reaktif). Sebaliknya bila tegangan konverter lebih rendah dari tegangan sistem, maka akan mengalir arus induktif dari sistem ke DSTATCOM dan menghasilkan daya reaktif induktif (disebut penyerap daya reaktif).

Gambar 2.15 Tipikal karakteristik V-I dan V-Q dari DSTATCOM DSTATCOM mempunyai karakteristik V-I dan V-Q seperti diperlihatkan pada Gambar 2.15 [20], [21] dan disimpulkan sebagi berikut: 1) DSTATCOM dapat beroperasi dengan arus beban penuh pada keluarannya walaupun tegangan sistem turun ke level yang sangat rendah. Dengan kata lain, arus keluaran dapat dijaga tanpa ada ketergantungan terhadap tegangan sistem.

Universitas Sumatera Utara

28

2) VAR maksimum yang dibangkitkan ataupun yang diserap berubah secara linear dengan tegangan sistem. 3) Ketidaktergantungan keluaran DSTATCOM dari ekivalen impedansi sistem memberikan arti bahwa regulator pengatur keluaran tegangan DSTATCOM dapat dirancang untuk respons yang lebih cepat dan dapat memberikan regulasi yang stabil pada kondisi sistem mengalami kontigensi. Diagram satu garis DSTATCOM untuk suplai daya reaktif ke sistem distribusi diperlihatkan pada Gambar 2.16 [20] di mana U adalah tegangan pada steelwork busbar dan Ec adalah tegangan keluaran konverter yang dapat diatur. Pertukaran daya aktif dan daya reaktif pada jaringan [20], [21] adalah (Lampiran B):PDSTATCOM = U .E c sin( ) X

(2.22)

QDSTATCOM =

U (U E c cos( )) X

(2.23)

di mana:

adalah beda sudut fasa antara U dan Ec

Gambar 2.16 Diagram satu garis DSTATCOM untuk pembangkitan daya reaktif

Universitas Sumatera Utara

29

Bila amplitudo Ec dari phasor tegangan keluaran ( E c ) dinaikkan lebih besar dari amplitudo U dari tegangan sistem AC (U ) , maka phasor arus mendahului phasor tegangan dan arus mengalir dari konverter ke sistem AC. Pada kondisi ini konverter membangkitkan daya reaktif (kapasitif). Sebaliknya bila amplitudo Ec dari phasor tegangan keluaran ( E c ) diturunkan sehingga lebih kecil dari amplitudo U dari tegangan sistem AC (U ) , maka phasor tegangan mendahului phasor arus dan arus mengalir dari sistem AC ke konverter. Pada kondisi ini konverter menyerap daya reaktif (induktif) dari sistem. Operasi ini diillustrasikan pada Gambar 2.17 [20].

Gambar 2.17 Sifat kapasitif dan induktif dari DSTATCOM Persamaan pendekatan untuk memperkirakan daya nominal DSTATCOM pada EAF [20] adalah:

QDSTATCOM = 0.54 x ( FI ) x S rated EAFdi mana:

(2.24)

Universitas Sumatera Utara

30

FI

adalah rasio perbaikan flicker (Flicker Improvement ratio), merupakan rasio antara flicker yang terjadi dengan batas nilai flicker yang diizinkan

SratedEAF = (0.55 s / d 0.65) x Sscf , adalah daya nominal EAF Sscf adalah kapasitas hubung singkat dari EAF

2.5 Komponen DSTATCOM

Gambar 2.18 Rangkaian dasar VSC (Voltage Source Converter) Gambar 2.18 [21] adalah rangkaian dasar DSTATCOM yang merupakan suatu VSC yang terdiri dari satu atau lebih unit konverter, kapasitor dc, reaktor, transformator, ac filter, kontrol modul, monitoring, proteksi dan peralatan pendukung lainnya.

2.6 VSC 6 Pulsa Konfigurasi dasar VSC 6 pulsa terhubung ke sumber tegangan ac melalui transformator kopling diperlihatkan pada Gambar 2.19 [21] di mana saklar GTO

Universitas Sumatera Utara

31

diganti dengan transistor IGBT. Saklar transistor IGBT berfungsi sebagai inverter dan dioda antiparalel diperlukan sebagai jalur transfer energi dari sisi ac ke dc untuk mengisi kapasitor. Ada perioda penyearah dan inversi pada setiap perioda. Proses penyaklaran yang tepat pada inverter akan menghasilkan gelombang tegangan ac 3 fasa pada terminal tegangan keluaran konverter. Penyaklaran inverter dapat dilakukan pada konduksi 120o atau 180o. Untuk konduksi 180o ada tiga buah saklar yang nyala pada setiap waktu, memiliki utilisasi saklar yang lebih baik dan lebih disukai dibandingkan dengan metode konduksi 120o. Pada konduksi 180o ada 6 mode operasi dalam satu siklus dengan durasi setiap mode adalah 60o dan saklar dinomori dengan urutan penyaklarannya yaitu 123, 234, 345, 456, 561 dan 612 [22]. Pada peralihan cepat di mana saat saklar bekerja, praktisnya tegangan dc pada kapasitor harus dijaga konstan. Gambar 2.20 [22] dan Gambar 2.21 [22] memperlihatkan metode konduksi 180o pada inverter 6 pulsa dan bentuk gelombang tegangan keluarannya.

Gambar 2.19 Rangkaian VSC 6 pulsa

Universitas Sumatera Utara

32

Gambar 2.20 Inverter 6 pulsa konduksi 180o

Gambar 2.21 Bentuk gelombang tegangan fasa keluaran inverter 6 pulsa konduksi 180o

Universitas Sumatera Utara

33

2.7 Teknik Modulasi Lebar Pulsa (PWM) Pengaturan tegangan keluaran yang sangat fleksibel dari VSC adalah memanfaatkan penyaklaran frekuensi tinggi dengan teknik modulasi lebar pulsa (PWM) pada sumber tegangan dc konstan, kemudian diambil rata-rata dari bentuk gelombang tegangan keluaran untuk mendapatkan komponen fundamental tegangan yang dapat diatur magnitudonya. Teknik PWM memberikan keuntungan di mana harmonisa orde rendah berkurang sehingga akan mengurangi jumlah harmonisa dan filter harmonik. Semakin tinggi rasio frekuensi penyaklaran terhadap frekuensi fundamental maka semakin sedikit harmonisa orde rendah yang muncul. Tetapi hal ini juga menyebabkan rugi-rugi penyaklaran bertambah. Beberapa teknik PWM adalah sebagai berikut [22]: 1) Single-pulse-width modulation 2) Multiple-pulse-width modulation 3) Sinusoidal-pulse-width modulation (SPWM) 4) Modified SPWM 5) Phase-displacement control

2.7.1 Single-pulse-width modulation Untuk metode single-pulse-width modulation hanya ada satu pulsa diberikan pada setiap setengah siklus dan lebar pulsa divariasi untuk mengatur tegangan keluaran inverter. Sinyal gating dibangkitkan dengan membandingkan sinyal referensi segi-

Universitas Sumatera Utara

34

empat (rectangular) beramplitudo Ar terhadap sinyal segi-tiga pembawa (triangular carrier) beramplitudo Ac. Frekuensi sinyal referensi menentukan frekuensi fundamental tegangan keluaran Vo. Rasio Ar terhadap Ac adalah merupakan variabel pengaturan dan disebut indeks modulasi M, menentukan tegangan keluaran Vo.M = Ar Ac

(2.30)

Dengan merubah nilai Ar dari nol hingga Ac, lebar pulsa dapat berubah dari 0o hingga 180o dan tegangan rms keluaran Vo bervariasi dari nol hingga Vs yaitu: 2 Vo = 2 ( ) / 2 V d (t ) ( + ) / 2 2 s 1/ 2

= Vs

(2.31)

Gambar 2.22 [22] adalah inverter satu fasa jembatan penuh yang terdiri dari 4 buah transistor dengan sumber tegangan Vs, dan Gambar 2.23 [22] adalah sinyal gating dan tegangan keluaran Vo. Urutan penyaklaran transistor adalah 12, 23, 34 dan 41. Harmonina yang dominan muncul pada tegangan keluaran adalah harmonisa ketiga.

Gambar 2.22 Inverter 1 fasa jembatan penuh

Universitas Sumatera Utara

35

Gambar 2.23 Sinyal gating dan tegangan keluaran inverter single-pulse-width modulation 1 fasa

2.7.2 Multiple-pulse-width modulation Kandungan harmonisa dapat dikurangi dengan memberikan beberapa pulsa pada setiap setengah siklus. Gambar 2.24 [22] memperlihatkan bahwa sinyal gating dibangkitkan dengan membandingkan sinyal referensi segi-empat beramplitudo Ar terhadap sinyal segi-tiga pembawa beramplitudo Ac. Frekuensi dari sinyal referensi menentukan frekuensi keluaran fo, dan frekuensi pembawa fc menentukan jumlah pulsa p untuk setiap setengah siklus. Rasio Ar terhadap Ac merupakan variabel pengaturan dan disebut indeks modulasi M, menentukan tegangan keluaran Vo. Tipe modulasi ini juga disebut uniform-PWM (UPWM). Jumlah pulsa p untuk setiap siklus adalah:

Universitas Sumatera Utara

36

p=

mf fc = 2 fo 2

(2.32)

di mana m f =

fc adalah rasio frekuensi modulasi. fo

Gambar 2.24 Sinyal gating dan tegangan keluaran inverter multiple-pulse-width modulation (UPWM) 1 fasa

Universitas Sumatera Utara

37

Bila adalah lebar dari setiap pulsa maka tegangan rms keluaran Vo adalah: 2 p ( / p + ) / 2 2 Vo = Vs d (t ) ( / p ) / 2 2 1/ 2

= Vs

p

(2.33)

2.7.3 Sinusoidal PWM (SPWM) Berbeda dengan teknik UPWM, pada SPWM lebar pulsa sinyal gating dibangkitkan dengan membandingkan sinyal referensi sinusoidal terhadap sinyal segitiga pembawa berfrekuensi fc yang diperlihatkan pada Gambar 2.25 [22]. Teknik SPWM sangat umum dipergunakan pada aplikasi industri. Frekuensi sinyal referensi fr menentukan frekuensi keluaran inverter fo, dan amplitudo sinyal referensi Ar menentukan indeks modulasi M yang mempengaruhi tegangan rms keluaran Vo. Jumlah pulsa untuk setiap setengah siklus tergantung pada frekuensi pembawa. Gambar 2.25d memperlihatkan sinyal gating yang dibangkitkan memanfaatkan gelombang segi-tiga pembawa yang unidirectional. Harmonisa pada tegangan keluaran PWM berada di sekitar frekuensi penyaklaran inverter dan kelipatannya. Tegangan rms keluaran Vo dapat divariasi mengan merubah indeks modulasi M. Bila

m adalah lebar dari pulsa ke m, maka persamaan (2.33) dapat dikembangkan untukmendapatkan tegangan rms keluaran Vo yaitu: 2p Vo = V s m m =1 1/ 2

(2.34)

Universitas Sumatera Utara

38

Gambar 2.25 Sinyal gating dan tegangan keluaran inverter SPWM 1 fasa

Universitas Sumatera Utara

39

2.7.4 Modified SPWM (MSPWM) Pada SPWM Gambar 2.25c, lebar pulsa pada puncak gelombang sinus tidak merubah variasi indeks modulasi secara signifikan karena karakteristik gelombang sinus. Teknik SPWM dimodifikasi sehingga sinyal pembawa hanya diberikan pada 0o-60o dan 120o-180o untuk setiap setengah siklus menyebabkan komponen

fundamental bertambah dan kandungan harmonisa menurun. Jumlah penyaklaran berkurang sehingga rugi-rugi penyaklaran juga berkurang. Sinyal gating MSPWM diperlihatkan pada Gambar 2.26 [22].

Gambar 2.26 Sinyal gating inverter MSPWM 1 fasa

Universitas Sumatera Utara

40

2.8 Inverter SPWM 3 Fasa Inverter 3 fasa dapat dipertimbangkan sebagai gabungan 3 buah inverter 1 fasa di mana tegangan keluaran masing-masing inverter 1 fasa tersebut digeser 120o. Pembangkitan sinyal gating inverter SPWM 3 fasa diperlihatkan pada Gambar 2.27 [22]. Ada 3 sinyal referensi sinusoidal (vra, vrb, vrc) yang berbeda 120o. Sinyal pembawa dibandingkan dengan sinyal referensi terkait untuk menghasilkan sinyal gating pada fasa tersebut. Sinyal pembawa vcr dibandingkan dengan sinyal referensi fasa vra, vrb dan vrc menghasilkan sinyal gating berturutan g1, g3 dan g5. Tegangan rms fasa-fasa keluaran inverter adalah fungsi dari tegangan dc bus dan indeks modulasi (M) yang diberikan oleh persamaan:

V abrms =

M x 2

3 xV s = Mx 0 . 612 xV s 2

(2.35)

Gambar 2.27 Sinyal gating dan tegangan keluaran inverter SPWM 3 fasa

Universitas Sumatera Utara

41

2.9 Diagram Satu Garis Sistem Tenaga EAF & DSTATCOM Gambar 2.28 [20] memperlihatkan suatu sistem tenaga dengan impedansi Zs = RS + jXS terhubung ke PCC dengan sumber tegangan E s 0 . Tegangan pada steelwork busbar adalah U dan beban EAF adalah P f + jQf

yang bervariasi terhadap

waktu. Fluktuasi tegangan karena kebutuhan daya reaktif diatasi dengan kompensasi daya reaktif secara penuh oleh DSTATCOM.

Gambar 2.28 Diagram satu garis DSTATCOM dan EAF

2.10 Model Matlab/Simulink PSB Untuk Sistem Distribusi Utiliti dan EAF Model simulasi digital jaringan distribusi dilakukan dengan mempergunakan Matlab/Simulink PSB. Gambar 2.29 [20] memperlihatkan suatu model sistem distribusi untuk studi mengurangi fluktuasi tegangan pada pengoperasian EAF.

Universitas Sumatera Utara

42

Gambar 2.29 Model Matlab/Simulink PSB sistem distribusi untuk utiliti, EAF dan DSTATCOM Kompensasi daya reaktif pada VSC membutuhkan kapasitor dc sebagai sumber tegangan. Untuk mengatur tegangan pada kapasitor dc, perlu adanya aliran daya aktif secukupnya dari sumber menuju inverter untuk mengisi kapasitor dc. Tanpa adanya aliran daya aktif ini, tegangan kapasitor dc akan turun karena rugi-rugi penyaklaran dan rugi-rugi daya aktif pada reaktansi kopling. Penyaklaran dapat dilakukan pada komponen elektronika daya seperti GTO (Gate Turn Off thyristor), IGBT (Insulated Gate Bipolar Transistor), IGCT (Integrated Gate Commutated Thyristor) dan lainnya. Ada dua strategi pengaturan tegangan ac keluaran inverter yaitu: 1) Tegangan kapasitor dc dijaga konstan pada nilai tertentu dengan mengatur aliran daya aktif ke inverter. Tegangan ac keluaran inverter diatur dengan merubah indeks modulasi penyaklaran sehingga memberikan waktu respons yang sangat cepat dan dinamis.

Universitas Sumatera Utara

43

2) Tegangan kapasitor dc divariasi dan indeks modulasi penyaklaran dijaga konstan. Perubahan aliran daya aktif antara inverter dengan sistem ac menyebabkan tegangan kapasitor naik ataupun turun sehingga akan merubah tegangan ac keluaran inverter. Respons waktu pada strategi ini agak lambat sebab dipengaruhi oleh nilai reaktansi kopling dan kapasitansi kapasitor dc. Di dalam blok DSTATCOM pada gambar 2.29 terdapat blok pengatur DSTATCOM yang terdiri dari beberapa fungsional blok seperti diperlihatkan pada Gambar 2.30 [23] dengan fungsi masing-masing blok yaitu: 1) PLL (Phase Locked Loop) Diperlukan untuk menyinkronisasikan komponen fundamental tegangan 3 fasa V1 pada perpotongan nol (zero crossing). Sudut = t hasil

perhitungan PLL dipergunakan sebagai referensi untuk transformasi abc_ dq0. 2) Sistem pengukuran (ac voltage measurement dan ac current measurement) Blok pengukuran tegangan dan arus 3 fasa untuk menghitung komponen d (poros langsung) dan komponen q (kuadratur) memanfaatkan transformasi abc_ dq0. 3) Regulator tegangan ac (ac voltage regulator) Keluaran regulator tegangan ac adalah arus referensi Iqref untuk regulator arus Iq yaitu arus yang kuadratur terhadap tegangan untuk mengatur aliran daya reaktif.

Universitas Sumatera Utara

44

4) Regulator tegangan dc (dc voltage regulator) Keluaran dari regulator tegangan dc adalah arus referensi Idref untuk regulator arus Id yaitu arus yang sefasa dengan tegangan untuk mengatur aliran daya aktif 5) Regulator arus (current regulator) Sinyal error dari Id dan Idref melalui pengatur PI menghasilkan tegangan Vd. Sinyal error dari Iq dan Iqref melalui pengatur PI menghasilkan tegangan Vq. Regulator arus mengatur magnitudo dan fasa dari tegangan Vd dan Vq. 6) PWM modulator Indeks modulasi (M) dan sudut fasa tegangan (phi) yang diperlukan oleh inverter untuk menghasilkan tegangan 3 fasa Vabc(t) diperoleh dari transformasi rectangular ke polar dari komponen tegangan Vd dan Vq. Tegangan rms fasafasa keluaran inverter adalah fungsi dari tegangan dc bus dan indeks modulasi (M) pada rangkaian inverter yang diberikan oleh persamaan (2.35).

Universitas Sumatera Utara

45

Gambar 2.30 Blok diagram pengatur DSTATCOM

Universitas Sumatera Utara