Chapter II 1

download Chapter II 1

of 66

Transcript of Chapter II 1

  • BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Definisi Cedera Otak

    Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang

    bukan bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan

    mekanis dari luar, yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan

    psikososial. Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan

    disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Valadka, 1996).

    Berdasarkan mekanismenya cedera otak di bagi atas cedera otak tumpul

    dan cedera otak tembus/tajam ( penetrating head injury) (Valadka, 1996).

    Kontusio serebri yang dimaksud dalam penelitian ini didasarkan

    pada penilaian klinis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan CT-scan

    kepala dimana didapati adanya intracerebral hemorrhage yang tidak ada

    indikasi operasi. Cedera kepala kami bagi atas:cedera kepalasedang

    (CKS) dengan GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) dengan GCS 3-

    8.

    2.2 Patofisiologi Cedera Otak

    Patofisiologi cedera otak ditinjau darisaat kejadiannya terdiri atas

    cedera otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma

    dan cedera otak sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan

    otak melalui proses patologis yang berlanjut (Cohadon , 1995).

    12

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.2.1 Cedera Otak Primer

    Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan

    mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek,

    memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk

    kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat

    dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak,

    yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan

    dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka,

    1996).

    Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh

    darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal

    injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan

    epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang

    dapat dilihat Pada CT-scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri,

    perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering

    terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun global (Valadka, 1996).

    Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor

    seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure

    (ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan

    mikrovaskularpada fase lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme

    (Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera

    kepala dapat dibagi menjadi:

    2. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),

    3. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran

    darah (Ingebrigtsen, et al. 1998).

    Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional

    Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti

    iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon terhadap

    bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).

    2.2.2 Kontusio Serebri (memar otak)

    Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering

    terjadi.Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem

    mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et al melaporkan

    bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan

    lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere B,

    1982).Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang

    disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan

    deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan

    perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio

    serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan

    jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan

    atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang

    menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri

    sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural,

    perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan bahwa padadaerah

    kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang

    mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan

    seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini

    sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan

    keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail

    ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di

    pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari

    penurunan mean arterial pressure (MAP) atau peningkatan tekanan

    intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari.

    Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan

    dan kejang di kemudian hari (Davis G, 2009 ).

    Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala (Mesiano, 2010)

    Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala

    yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta

    Universitas Sumatera Utara

  • pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan

    menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak membentang

    batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible

    terhadap lintasan asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak

    tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama blockade

    reversible berlangsung (Liau et al, 1996).

    2.2.3 Diffuse Axonal Injury

    Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini

    bukan merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang

    terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan

    yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI

    merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu

    lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran patologi secara histologi

    dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson

    dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus

    kallosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri(Smith et al,

    1999).

    Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan

    pada pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada

    pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak

    dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari

    pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini

    diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu jaringan

    Universitas Sumatera Utara

  • white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat otak

    mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan

    densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan

    dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang

    menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey

    matter dan white matter(Smith et al, 1999).

    Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada

    cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer

    robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada

    fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan

    pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang

    terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks kalsium.

    Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya calsium-

    mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari

    pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang

    membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak

    dengan ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas,

    penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah vegetative state

    (Blumbergs, 2011).

    2.2.4 Cedera Otak Sekunder

    Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer

    yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh

    neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi

    Universitas Sumatera Utara

  • bakteri.Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular

    meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid.

    Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder

    adalah adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan

    tekanan perfusi otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan

    Tinggi Intrakranial (TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang

    (Cohadon, 1995).

    Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan

    istilah nine deadly Hs adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi

    (hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi

    nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon

    stres), hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan

    hemostasis (Cohadon, 1995).Beratnya cedera primer karena lokasinya

    memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).

    2.3 Penilaian Tingkat Kesadaran Cedera Otak

    Metode yang dipakai dalam mengukur derajat keparahan

    berdasarkan tingkat kesadaran cedera otak adalah beraneka ragam,

    seperti GCS, Glasgow Liege Scale, Glasgow Pittsburg Coma Scoring

    system, Head Injury Watch Sheet, Maryland Coma Scale, dan Leeds

    Coma Scale. Dalam penelitian ini dipakai GCS. GCS cukup konsisten dan

    objektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda. Penilaian GCS cukup

    sederhana, serta dapat berguna sebagai pedoman terapi dan pemberi

    informasi tentang prognosis (Stein, 1996). Kendala GCS adalah jika

    Universitas Sumatera Utara

  • penderita mengalami edema palpebra atau terintubasi, maka akan ada

    variabel yang tidak bisa dinilai (Feldman et al, 1996).

    Penilaian Glasgow Coma Scale (Teasdale dan Jennett, 1974)

    adalah sebagai berikut:

    8. Respon buka mata

    4.1 spontan 4

    4.2 atas perintah 3

    4.3 rangsangan nyeri 2

    4.4 tidak ada 1

    9. Respon motorik

    a. menurut perintah 6

    b. melokalisir nyeri 5

    c. fleksi normal 4

    d. dekortikasi 3

    e. deserebrasi 2

    f. flasid 1

    10. Respon verbal

    a. orientasi baik 5

    b. mengacau/bingung 4

    c. kata-kata tidak teratur 3

    d. tidak jelas 2

    e. tidak ada 1

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.4 Skala Fungsional Barthels Index

    Skala Barthel atau Index Activities of Daily Living (ADL) Barthel

    merupakan skala untuk mengukur kemampuan seseorang dalam

    melakukan aktivitas dasar dan mobilisasi.Semakin tinggi nilai yang

    diperoleh dalam pemeriksaan, semakin tinggi pula kecenderungan atau

    kemampuan seseorang untuk hidup mandiri setelah dipulangkan dari

    rumah sakit.Skala pengukuran ini diperkenalkan pada tahun 1965 oleh

    Mahoney dan Barthel dengan menampilkan rentang penilaian dari 0-100.

    Meskipun versi aslinya telah dipergunakan secara luas, skala ini telah

    mengalami modifikasi oleh Granger dkk pada tahun 1979, dan rentang

    penilaiannya menjadi 0-10 point untuk tiap variabelnya. Perbaikan

    selanjutnya diperkenalkan pada tahun 1989.Barthel index diukur pada

    saat awal terapi dan secara berkala selama terapi sampai diperoleh

    keuntungan yang maksimum (Mahoney and Barthel, 1965).

    2.5 Mini Mental State Examination (MMSE)

    MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri atas tiga

    puluh poin yang dikelompokan menjadi tujuh kategori: orientasi terhadap

    tempat (negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap

    waktu (tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang

    dengan cepat tiga kata), perhatian dan konsentrasi (secara berurutan

    mengurangi tujuh, dimulai dari angka seratus, atau mengeja kata WAHYU

    secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali tiga kata yang

    telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama dua benda,

    Universitas Sumatera Utara

  • mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu

    kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah tiga langkah), dan

    kontruksi visual (menyalin gambar) (Lezak, 2004; Tombaugh, 1992).

    Skor yang makin rendah mengindikasikan performa yang buruk dan

    gangguan kognitif yang makin parah. Skor total berkisar antara 0-30. Skor

    ini memiliki ambang MMSE yang pertama kali direkomendasikan adalah

    23 atau 24, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk

    mendeteksi demensia.Bagaimanapun, beberapa kajian sekarang ini

    menyatakan bahwa skor ini terlalu rendah, terutama terhadap seseorang

    dengan status pendidikan tinggi.Skor 27 ini tidak sensitif untuk mendeteksi

    demensia pada orang dengan status pendidikan tinggi. Tambahan pula

    skor ambang 24 juga tidak spesifik pada orang dengan status pendidikan

    rendah (Tombaugh, 1992, Lezak, 2004)

    Pada tabel 2.1, ditampilkan Interpretasi MMSE yang didasarkan

    pada skor yang diperoleh pada saat pemeriksaan, yaitu:

    1. skor 24-30 yang diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal

    2. skor 17-23 yang berarti probable gangguan kognitif

    3. skor 0-16 yang berarti definite gangguan kognitif pemerikasaan

    (Tombaugh, 1992; Lezak, 2004)

    Universitas Sumatera Utara

  • Tabel 2.1. Interpretasi dari Nilai MMSE (Lezak, 2004).

    2.6 Konsep Neuroproteksi pada Penumbra Traumatik

    Konsep ini dikemukakan oleh Symon yang mendukung gagasan

    bahwa, pada dasarnya ada peluang untuk penyelamatan neuron dan

    memperkecil lesi permanen.Konsep neuroproteksi timbul dari hasil

    penelitian patologi dan patofisiologi cedera otak iskemik. Penghentian

    pemberian oksigen dan glukosa yang tiba-tiba ke jaringan otak akan

    menghasilkan serangkaian reaksi beruntun atau cascade patologis

    (pathological cascades) (Jain, 2011).

    Ada tiga komponen yang aktif pada proses patofisiologis gangguan

    otak, yaitu eksitotoksisitas, kerusakan oksidatif dan apoptosis.Ketiga

    komponen ini selain sebagai denominator juga menunjukkan adanya

    keterkaitan antara faktor dan jalur-jalur penghantaran sinyal yang

    ditempuh melalui reaksi molekuler.Neuroproteksi terhadap terjadinya

    apoptosis dilakukan dengan cara menghambat jalur-jalur apoptotik

    dan/atau merangsang jalur-jalur survival(Jain, 2011).

    Universitas Sumatera Utara

  • Dari sekian banyak jalur yang telah diidentifikasi, jelas bahwa

    keadaan kritis terdapat pada :

    aktivasi yang berlebihan reseptor glutamat,

    akumulasi ion Ca++ didalam sel,

    peran abnormal sel peradangan,

    produksi senyawa radikal bebas yang berlebihan sebagai proses

    hulu,dan terpicunya apoptosis secara patologis sebagai proses hilir.

    (Jain, 2011; Menon, 2003)

    a) Eksitotoksisitas

    Dengan teknik microdialisis diketahui bahwa faktor signifikan yang

    dapat menyebabkan cedera otak sekunder adalah asam amino

    eksitotoksik yang keluar berlebihan, seperti glutamate dan aspartate, dan

    juga neurotoxin lain yang terjadi saat cedera otak primer (Gibbons, 1993).

    Pada trauma, glutamate yang berlebihan dapat berasal dari sel-sel yang

    rusak, bocor, atau karena gangguan reuptake dari Glutamat. Signaling

    dari glutamate adalah vital. Aktivasi yang berlebihan dari reseptor

    glutamate merupakan awal dari kematian sel yang disebut excitotoxicity

    (Hetman dan Kharebava, 2006).

    Glutamate sebagai neurotoxin, pertama digambarkan oleh Lucas

    dan Newhouse pada 1957.Excitotoxic cell death yang kemudian dijumpai

    umumnya terjadi pada semua neuron dengan reseptor glutamate (Olney,

    1969). Signal glutamate dihantarkan melalui dua macam reseptor, yaitu

    reseptorionotropic yang kerjanya cepat dan reseptor metabotropic yang

    Universitas Sumatera Utara

  • kerjanya lambat. Reseptor ionotropik yangutama bertanggung jawab

    terhadap excitotoxicity adalah N-methyl-D-aspartate (NMDA). Reseptor

    yang tergabung dengan saluran ion ini akan membuka saluran ionnya

    sehingga permiabilitas dinding sel akan meninggi yang mengakibatkan

    meningginya aliran kalsium (konsentrasi Ca++

    Potasium juga keluar dari sel dan diabsorbsi oleh astrosit.Timbul

    gangguan keseimbangan ion yang berakibat depolarisasi membrane sel

    dan influx cairan yang menyebabkan sel bengkak dan cytotoxic edema

    yang akhirnya dapat menyebabkan kematian sel neuron.Glutamat juga

    toksik terhadap sel-sel glial, termasuk astrosit dan

    oligodendroglia.(Yoshioka, 1995). Astrosit memunyai kapasitas buffer dan

    terlibat dalam clearance glutamat dari ruang ekstrasellular. Berkurangnya

    energi selama iskemia dapat menyebabkan sistem regulasi glutamat rusak

    (Chen dan Swanson, 2003).

    diluar dan didalam sel

    berbanding 10.000:1) dan sodium kedalam sel serta aktivasi dari

    calcineurin dan calmodulin. Ini cenderung menyebabkan destruksi axon

    (Lieberman, 2001 dan Masel, 2004).

    b) Kalsium

    Proses homeostasis kalsium dalam sel sangat penting. Kadar yang

    meninggi setelah cedera kepala merupakan awal dari proses kematian

    sel, dimana Ca++ merupakan suatu second messenger dan

    signaltransducerpencetus reseptor. Jumlah influks Ca++ bergantung dari

    sifat cedera mekanik. Pada cedera kepala yang uniaxial, kadar Ca++

    Universitas Sumatera Utara

  • intrasellular segera meningkat. Namun kadar Ca++ meningkat paling

    banyak pada cedera biaxial. Hal ini disebabkan oleh adanya kanal

    antagonis yang menghambat peningkatan kalsium pada cedera uniaxial

    tetapi tidak pada cedera biaxial. Ini adalah menunjukkan betapa

    pentingnya sifat benturan terhadap respon jaringan (Geddes-Klein, 2006).

    Kumpulan Ca++ yang bersifat toksik maupun non-toksik

    jalurmasuknya melalui NMDAR yaitu suatu Ligand Gated Anion Channel

    atau L-type voltage sensitive channel disebut juga Voltage Gated Anion

    Channel yang terpicu oleh perbedaan potensial pada membran sel berupa

    depolarisasi (Tymianski & Charltonet al. 1993). Ca++ intrasellular yang

    meningkat akan memicu pelepasan lebih lanjut Ca++ dari sumber internal

    seperti retikulum endoplasmic. Kadar kalsium yang tinggi pada sitoplasma

    akan memicu penumpukkan kalsium dalam matriks mitokondria.

    Mitokondria dapat mengisolasi Ca++ melalui mekanisme electrochemical

    gradient generatedpotential dan rantai transportasi elektron dengan akibat

    akan terjadi pengurangan sintesa ATP. Kerusakan rantai transportasi

    elektron cenderung menghasilkan reactive oxygen species (ROS) secara

    berlebihan, sedangkan pada saat yang bersamaan, terdapat peningkatan

    kebutuhan ATP untuk mengeluarkan Ca++ melalui plasma membran

    pump (Schinder, 1996; Robertson, 2004).

    Kalsium dapat mengaktivasi beberapa enzim seperti lipase, kinase,

    phosphatase, dan protease. Calpain adalah enzim protease intrasellular

    yang dapat mengurangi kadar protein neuronal. Aktivasi Calpain yang

    Universitas Sumatera Utara

  • berlebihan sangat berperan dalam kaskade neurodegeneratif pada cedera

    kepala, yaitu memicu kerusakan cytoskeleton dan kematian sel neuronal

    serta merusak fungsi neurobiologis (Kampfl, 1997).

    c) Radikal Bebas

    Meningginya kadar Ca++ sebagai pencetus aktivasi enzim terlibat

    dalam produksi radikal bebas. Pada keadaan normal, oxidative

    mitochondrialmetabolism memproduksi sejumlah kecil radikal bebas.Pada

    trauma, radikal bebas yang timbul berlebihan diproduksioleh enzimnitric

    oxide synthase yang timbul akibat trauma (iNOS) ini dibedakan dengan

    eNOS (endothelial NOS yang sifatnya protektif) dan nNOS (neuronal NOS

    yang sifatnya konstitutif).Phospholipase, dan xanthine oxidase yang aktif

    bersamaan dengan aktivasi jalur Ca++ berpengaruh terhadap kerusakan

    rantai transpor elektron mitokondria.Timbulnya asidosis menyebabkan

    lepasnya ferrum dari transferrin dan ferritin.Radikal bebas menambah

    permiabilitas sel-sel membran melalui peroxidasi lipid yang merusak

    komponen phospholipid membran.Superoxide anion dan hydroksil anion

    membentuk peroksinitrit (yang lebih reaktif) dengan NO yang dibentuk

    iNOS. Penggabungan dengan ion Fe tadi akan membuat proses

    peroksidasi lipid pada membran meluas secara geometris. (White, 2000).

    Kerusakan DNA akibat radikal bebas akan mengaktivasi Poly ADP Ribose

    Polymerase (PARP) suatu enzim untuk perbaikan (repair) kerusakan DNA.

    Aktivasi PARP akan memicu enzim perbaikkan DNA. Aktivitas berlebihan

    dari PARP akan mengurangi cadangan energi sel yaitu cadangan NAD+

    Universitas Sumatera Utara

  • dan ATP. Kerusakan besar pada DNA akan menguras energi atau ATP

    sehingga sel yang dalam proses apoptosis kehabisan energi dan mati

    melalui proses nekrosis yang dalam hal ini disebut nekrosis sekunder

    (Zhang, 2005). Caspase 3 yang menginaktivasi PARP berperan dalam

    proses apoptosis (Isabelle et al, 2010).

    d) Inflamasi

    Cascade yang kompleks dari respon inflamasi sellular pada TBI

    dapat memperbesar kerusakan otak sekunder. Proses inflamasi ini mulai

    beberapa jam sampai dengan beberapa hari bertambah terus menerus

    pada cedera otak sekunder. Respon inflamasi akibat TBI akut tidak hanya

    terbatas pada otak dan sering tampak pada disfungsi organ lain. Molekul

    utama pada otak yang melibatkan cascade ini adalah growth factors,

    catecholamine, neurokinin, sitokinase, danchemokines. (Agha et al. 2004).

    Trauma dapat menyebabkan gangguan BBB yang memisah darah

    dari cairan interstitial dari parenkim dan merusak barrier yang normal. Air

    dan zat yang dapat larut dapat bebas masuk ke otak dan cenderung

    menyebabkan edema vasogenik sedangkan edema sitotoksik, atau sel

    yang bengkak terjadi karena perubahan di sekitarnya atau stress terhadap

    sel. Chemotaxis, diapedesis, dan gangguan BBB dapat membuka jalur

    baru ke dalam otak. Infiltrasi makrofag dari sirkulasi yang berfungsi

    membuang debris setelah cedera, bersama dengan neuron-neuron dan

    sel-sel glial, akan menyekresi sitokin pro dan antiinflamasi. Pada TBI,

    proinflamasi sitokin interleukin IL-1, IL-6 dan TNF- akan meninggi(Hans

    Universitas Sumatera Utara

  • & Kossmann et al, 1999). TNF- sebagai pemicu awal respon inflamasi

    merangsang produksi sitokin lain dan molekul adhesi (ICAM dan VCAM).

    (Lenzlinger, 2001). TNF- dapat memperburuk cedera otak dan

    mengubah sitoskeleton sel endotel sehingga timbul kebocoran, namun

    TNF- perannya dualistik karena dapat juga berperan neuroprotective

    bersamaan dengan IL-1 yang berfungsi untuk menambah expresi Nerve

    Growth Factor (NGF). Peran TNF- penting dalam tingkat akut inflamasi

    dan juga bermanfaat pada regenerasi dan/atau perbaikan. Mirip dengan

    TNF-, IL-1 juga terlibat dalam fase akut dan dapat menambah

    permiabilitas endotel yang mengakibatkan edema (Holmin dan Mathiesen,

    2000).

    IL-1 memunyai hubungan dengan banyaknya edema di sekitar lesi

    dan mortalitas (Elovic , 2003 ; Bruns & Hauser , 2003). IL-6 dan 10 akan

    meninggi pada anak-anak dengan TBI. Meningginya IL-10 yang sifatnya

    anti-inflamasidapat menurunkan angka mortalitas pada TBI (Kraus et al.

    1984 ). Meningginya sitokine (seperti IL-6) TBI merupakan suatu double

    edged sword karena menyebabkan baik neurotoxicity maupun

    neuroproteksi. Inflamasi sitokine dapat menyebabkan neurotoxicity melalui

    dorongan excitotoxicity dan respon inflamasi. Namun, secara bersamaan

    inflamasi sitokin dapat mempermudah mekanisme neurotropic dan induksi

    sel-sel menyekresikan faktor pertumbuhan yang merupakan

    neuroproteksi.

    Trauma otak memberi risiko terhadap berkembangnya penyakit

    neurodegenerative di kemudian hari. Setelah cedera, protein precursor

    Universitas Sumatera Utara

  • amyloid yang terlibat dalam penyakit Alzheimers akan meninggi. Hal ini

    berhubungan dengan suatu respon immune terhadap suatu inflamasi akut

    yang menjadi kronis (Holmin dan Mathiesen, 1999).

    Cedera kepala dapat menyebabkan atropi otak sesuai dengan

    derajat cedera (Yount et al, 2002).Pada cedera kepala sedang sampai

    berat terdapat insiden atropi hippocampus yang tinggi.Ini merupakan

    predisposisi untuk terjadinya penurunan kognitif. Proses inflamasi dan

    immunitas menghasilkan endapan amyloid protein dan amyloid protein-

    like-protein. Kedua jenis protein ini menyebabkan degenerasi striatum dan

    corpus callosum.Degenerasi ini menyebabkan atropi otak progresif dan

    kalsifikasi (Pierce, 1998; Hopkins, 2005).

    Pada reperfusi terjadi reaksi inflamasi akibat produksi berlebihan

    dari radikal bebas yaitu ROS (Reaxtive Oxygen Species). Radikal bebas

    ini akan menyebabkan kerusakan peroksidatif pada membran sel,

    mitokondria, makromolekul protein, dan DNA. Semuanya ini akan

    mengakibatkan kematian neuron. Kejadian ini dikenal sebagai

    Reperfusion Injury yang merupakan komponen penting terhadap

    terjadinya cedera sekunder yang disebut Delayed Neuronal Death (White,

    2000).

    2.7 Kematian Neuron

    Kematian sel secara garis besar dibedakan atas dua mekanisme,

    yaitu kematian yang tidak terprogram (nekrosis) dan kematian sel

    terprogram, yaitu tipe I (apoptosis) dan tipe II (autofagi). Apoptosis,

    Universitas Sumatera Utara

  • autofagi, dan nekrosis merupakan mekanisme yang berbeda, tetapi timbul

    oleh rangsangan yang sama, yaitu influks Ca++ ke dalam sitoplasma sel

    melalui saluran-saluran ion dengan reseptor ryanodine (RYRs) dan

    reseptor inositol-1,4,5 triphosphate (Ins(1,4,5)P3) (Lee et al, 1998).

    Iskemia otak akan berlanjut menjadi nekrosis dan apoptosis dengan

    ditentukan oleh beberapa faktor berikut:

    beratnya iskemia

    tingkat maturitas neuronal (sangat penting dalam menentukan

    mekanisme kematian sel)

    mudah dicapainya support trophic

    kalsium intrasel

    level sitokin

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 2. Perbedaan Nekrosis dan Apoptosis (Kumar et al, 2008)

    Ada perbedaan nekrosis dan apoptosis seperti yang ditampilkan

    pada gambar 2. Pada nekrosis, tahapan proses kematian dimulai dari

    pembengkakkan retikulum endoplasma dan mitokondria. Kemudian, timbul

    bleb pada permukaan sel dan diakhiri dengan pecahnya membran

    plasma, organela, dan isi sel. Sebaliknya, pada apoptosis, proses

    kematian sel dimulai dari kondensasi kromatin (sel mengecil),

    terbentuknya bleb membran, dan diakhiri dengan fragmentasi dari sel

    dimana masing-masing fragmen berisi organelle dan terbungkus oleh

    membrane yang utuh dan akan difagositosis oleh sel sekitarnya atau

    macrophage (Kumar et al, 2008).

    Saraf simpatis yang masih muda sangat bergantung pada trophic

    support dibandingkan dengan saraf simpatis dewasa.Trophic support yang

    optimal dicapai apabila kadar kalsium intrasellular rendah.

    Kalsium homeostasis memunyai sistem modulasi yang kuat :

    bila kadar kalsium intrasellular meninggi, neuron memunyai

    risiko apoptosis dan sangat bergantung pada trophic support;

    apabila kadar kalsium intrasellular intermediate maka kondisi sel

    untuk bertahan hidup menjadi optimal dan kebutuhan sel untuk

    trophic support menjadi minimal;

    apabila kadar kalsium intrasellular rendah maka neuron

    mempunyai resiko terjadi sitotoksisitas dan nekrosis.

    Universitas Sumatera Utara

  • Efek neuroproteksi dapat terjadi apabila voltage dependent anion

    channels dihambat, sehingga tidak terjadi penumpukan kalsium

    intrasellular (Gibbsons, 1993).

    Gambar 3. Beberapa Cara Kematian Sel (Fink & Cookson, 2005)

    Apoptosis juga berhubungan dengan kadar kalium di dalam sel.

    Pada awal proses apoptosis terjadi peningkatan effluks kalium dari dalam

    sel. Apabila kadar ion potassium dalam sel lebih rendah dari kadar

    fisiologis, maka akan terjadi aktivasi caspase-3 yang akan menyebabkan

    apoptosis dimana intensitas transformasi ini bergantung dari pada kadar

    kalium (Lee, 1998).

    Ekspresi yang berlebihan dari Bcl-2 mencegah apoptosis dan

    nekrosis yang berhubungan dengan proses perbaikan akibat kerusakan

    tanpa memperhatikan mekanisme kerusakannya (Gibbsons, 1993).

    Jaras antiapoptosis diaktivasi oleh:

    Universitas Sumatera Utara

  • - faktor neurotropik,

    - beberapa sitokines, dan

    - beberapa faktor stress.

    Jaras proteksi ini antara lain adalah:

    aktivasi faktor transkripsi (seperti NF-) yang menyebabkan

    ekspresi stress protein, enzim antioksidan , inhibitor of apoptosis

    proteins (IAPs)

    aktivasi ekstrasellular signal-regulated kinase (ERK)

    modulasi phosphorylation dari kanal-kanal ion dan transporter

    membran

    perubahan sitoskeletal melalui modulasi kalsium

    modulasi protein yang menstabilasi fungsi mitochondria

    (seperti.Bcl-2).

    Telah diketahui bahwa sel dapat berkomunikasi satu dengan yang

    lain secara transmisi sinyal melalui molekul sinyal (signaling molecule),

    yaitu kelompok neurotransmitter dan neuropeptida yang mentransduksi

    sinyal ke dalam sel melalui reseptor-reseptor pada membran sel. Jalur

    melalui sinyal yang berakhir dengan apoptosis dikenal sebagai Death

    Pathways (Sugawara, 2004).

    Manusia juga memiliki mekanisme untuk menjaga kelangsungan

    hidup sel yang disebut mekanisme pertahanan endogen (endogenous

    defense mechanisms). Mekanisme ini merupakan survival pathways untuk

    mempertahankan kelangsungan hidup neuron ataupun sel-sel pada organ

    lain (Sugawara, 2004).

    Universitas Sumatera Utara

  • Rangkaian proses biokimiawi patologis terdiri atas:

    yang terpicu serentak (simultaneously),

    yang berurutan (sequential),

    yang saling berkaitan atau memengaruhi (cross-talk antar

    sel/jalur),

    yang saling memperkuat dan membentuk positive feed back

    loop.

    Semua proses ini walaupun berjalan secara individual,

    tetapmasing-masing dapat berakibat fatal pada neuron (Blaine et al.

    2000).

    Meningkatnya growth factor diperkirakan dapat mengaktifkan

    mekanisme pertahanan endogen yang disertai dengan meningkatnya

    jumlah makrofag untuk menfagositosis sel debris atau apoptotic bodies

    yang dihasilkan dari proses apoptosis. Kematian sel akibat apoptosis tidak

    disertai dengan lisisnya sel membran dan keluarnya isi sel sehingga tidak

    terjadi proses inflamasi. Jadi, hal ini berbeda dengan kematian sel karena

    proses nekrosis (Gibbsons, 1993).

    Dengan menggunakan metode terminal deoxynucleotidyl

    transferase - mediated biotinylated deoxyuridine triphosphate nick end

    labeling (TUNEL), berbagai sel dengan fragmentasi DNA yang luas

    terdeteksi pada daerah yang berbeda di dalam otak (Katja et al, 2001).

    Ditemukan 2 tipe TUNEL-positif sel yang tampak pada mikroskop electron,

    yaitu

    Universitas Sumatera Utara

  • tipe I yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi dari necrotic cell

    death

    tipe II yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi apoptotic cell

    death yang klasik.

    TUNEL-positif sel terdeteksi dalam 72 jam setelah cedera awal. Gel

    electrophoresis dari ekstrak DNA pada daerah yang mengalami cedera

    berisi tipe I dan tipe II. Gel tersebut dapat memperlihatkan fragmen

    internucleosomal dengan interval 180-200 base pair,yaitu suatu ciri khas

    dari apoptotic cell death yang sering disebut DNA laddering. Hal ini

    memberi kesan bahwa apoptosis dengan necrotic cell death terjadi

    setelah cedera kepala, dan fragmentasi internucleosomal DNA juga dapat

    berhubungan dengan beberapa tipe necrotic cell death (Blaine, 2000).

    Rendahnya pH saat induksi apoptosis cenderung menyebabkan

    berkurangnya kematian sel akibat apoptosis.Neuron-neuron diproteksi

    pada pH 6.0-6.8.Terrlalu rendahnya pH (pH < 6,0) berhubungan dengan

    kejadian hipoksia sehingga kematian sel yang seharusnya diakibatkan

    oleh apoptosis berubah menjadi nekrosis.Sebaliknya, pH intermediate

    sekitar 6.8 cenderung mengakibatkan berkurangnya apoptosis tanpa

    disertai nekrosis. Proapoptotik protein seperti Bax meningkat pada

    gangguan transpor elektron, mitochondrial permeability transitions (MPT),

    dan lepasnya sitokrom c dari mitokondria. Anti apoptotik protein Bcl-2

    berperan mencegah kematian sel dengan cara melindungi fungsi dan

    struktur mitokondria. Sementara itu, pemberian inhibitor kaspase tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • memberikan efek perlindungan jangka panjang pada sel parenkim

    parenkim otak akibat cedera kepala (Blaine, 2000).

    2.8 Apoptosis

    Istilah apoptosis diperkenalkan oleh ilmuwan inggris Kerr, Wyllie,

    dan Currie pada tahun 1972. Apoptosis berasal dari bahasa Greek yang

    artinya falling off,seperti gugurnya daun, yaitu kematian sel yang terjadi

    melalui fragmentasi menjadi apoptotic bodies yang kemudian difagositose

    oleh sel phagocyte yang berdekatan. Pada tahun1964, Lokshin dan

    William mempelajari proses kematian sel dan mengusulkan istilah

    programmed cell death (PCD) (Alberts, 2002).

    Pada tahun 1966, programmed cell death dinyatakan memerlukan

    sintesa protein dari sel itu sendiri untuk proses kematiannya. Proses

    kematian sel akibat apoptosis memunyai ciri khas berupa perubahan

    morfologi sel. Perubahan ini termasuk sel yang mengisut, kondensasi

    kromatin, dan membran sel yang membentuk tonjolan-tonjolan. Kemudian,

    sel tersebut akan mengalami fragmentasi yang membentuk pecahan-

    pecahan sel atau apoptotic bodies yang berada di sekitar sel tersebut.

    Fragmen-fragmen sel tersebut akan cepat difagositosis oleh makrofag

    sebelum sel pecah dan menyebabkan kerusakan pada jaringan (Alberts,

    2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • Fragmen sel terbungkus oleh membran sel dan berisi organela

    yang masih utuh. Sel akan kehilangan kontak interseluler yang normal.

    Jadi sel tidak mengalami proses inflamasi karena tidak adanya bahan-

    bahan sitosolik yang dilepas ke ruang interseluler. Proses ini memerlukan

    energi dalam bentuk ATP (Hetts, 1997).

    Sel apoptotik yang berlawanan dengan sel nekrosis tidak dijumpai

    berdekatan satu dengan yang lain, tetapi tersendiri atau membuat satu

    kelompok-kelompok sel yang kecil dan tersebar di seluruh jaringan yang

    terkena.

    Karena apoptosis membutuhkan energi, maka bila dijumpai defisit

    energi prosesnya akan beralih menjadi nekrosis (secondary necrosis). Sel-

    sel yang mati dibuang dari jaringan melalui fagositosis yang terjadi pada

    jam jam pertama setelah kematian. Jika kapasitas fagositosis terbatas

    sehingga sel apoptosis masih terdapat dalam jaringan selama satu atau

    dua hari, maka membrannya akan mengalami disintegrasi dan terjadi

    nekrosis sekunder (Yakolev, 2004).

    Fragmentasi DNA terjadi sebagai hasil dari calcium-magnesium-

    dependent endonuclease action. Endonuclease menyebabkan DNA

    terbelah menjadi fragmen-fragmen dengan panjang rantai dari 50 sampai

    dengan 300 bp. (Yakolev, 2004).

    Teknik yang baik untuk menegaskan adanya apoptosis adalah

    histochemical technique. Teknik ini tidak hanya mendata fragmentasi

    DNA, tetapi juga mengidentifikasikan apoptosis bodies(Yakolev, 2004).

    Universitas Sumatera Utara

  • Apoptosis dapat terjadi tanpa sintesa protein. Pada cedera kepala

    terdapat dua perbedaan tipe sel, yaitu:

    Sel-sel tipe 1 memperlihatkan susunan klasik nekrosis ( ini

    terjadi pada cedera otak primer) ,dan

    Sel-sel tipe 2 memperlihatkan apoptosis klasik. (Rink A et al.

    1995; Clark RS et al. 2000).

    Mekanisme apoptosis terjadi melalui dua jalur, yaitu caspase-

    dependent dan caspase-independent. Caspase-dependent pathway dapat

    melalui jalur intrinsik yang dipicu oleh kegagalan metabolik mitokondria

    atau jalur ekstrinsik yang dipicu oleh reseptor kematian, yaitu kelompok

    TNF reseptor. Caspase-independent pathway dipicu oleh protein

    mitokondria seperti Apoptosis Inducing Factor (AIF) yang keluar dari

    membran mitokondria akibat depolarisasi membran luar mitokondria (Van

    Cruchten, 2002).

    Sepertiga kematian sel berhubungan dengan caspase dependent

    apoptosis, sepertiga yang lain caspase independen, dan sepertiga sisanya

    berhubungan dengan nekrosis. Famili Bcl-2 mengatur kematian sel atau

    survival melalui pengaturan permiabilitas membran luar mitokondria dan

    pembentukan membran permeability transition protein (PTP). Sinyal

    apoptotik ditransduksi oleh reseptor-reseptor ke dalam sel dan berjalan

    melalui jalur yang mengarah kepada proses kematian sel yang disebut

    jalur kematian (death pathway). Di samping itu, ada jalur yang berfungsi

    untuk mempertahankan hidup sel yang disebut survival pathway (Van

    Cruchten, 2002).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.8.1 Caspase-Dependent Apoptosis

    Capase-Dependent apoptosis ini berjalan melalui jaras intrinsik dan

    ekstrinsik.

    a) Jalur Intrinsik

    Pemicu apoptosis melalui jalur intrinsik adalah cell-stress yang

    merusak fungsi mitokondria dan retikulum endoplasmik. Membran

    mitokondria mengalami depolarisasi dan sitokrom c suatu enzim yang

    terletak di antara membran dalam dan luar mitokondria akan keluar ke

    sitoplasma melalui suatu pori yang disebut Mitochondrial Permeability

    Transition Pore (MPTP) (Dumas, 2001).

    Selain cell stres, glucocorticoid, radiasi, kekurangan makanan,

    infeksi virus, dan hypoxia juga menjadi faktor pencetus. Pada sel yang

    sehat dijumpai ekspresi protein Bcl-2 pada permukaan membran luar

    mitochondria. Bcl-2 mengelilingi/berbatasan dengan protein Apoptotic

    Protease Activating Factor-1 (APAF-1). Kerusakan dalam sel

    menyebabkan Bcl-2 melepaskan Apaf-1 dan selanjutnya membuka MPTP

    yang melepaskan sitokrom c ke dalam cytosol. Sitokrom c dan Apaf-1

    Universitas Sumatera Utara

  • akan mengikat molekul caspase-9. Hasil kompleks sitokrom c, Apaf-1,

    caspase-9, dan ATP disebut apoptosome (Liu et al. 1996).

    Gambar 4. Aktivasi Apoptosis dari Dalam Sel (Intrinsic Pathway) (Hillet al.

    2003)

    Apoptosome mengaktifkan caspase 3. Rangkaian aktivasi dari

    caspase ini akan membuat protein dalam sitoplasma dan DNA kromosom

    mengalami degradasi (Fiskum, 2000; Kluck, 1997; Yang, 1997).

    b) Extrinsic Pathway

    Jalur ini dipicu oleh ikatan dengan Death Receptor, yaitu reseptor

    yang tergolong TNF-receptor family, seperti Fas receptor.

    Universitas Sumatera Utara

  • Ligand yang dapat memicu adalah FasL atau Apo-1/CD 95 dan

    TRAIL. Reseptor tersebut memunyai bagian yang disebut:

    Fas Associated Death Domain (FADD),

    TNF-receptor Associated Death Domain (TRADD) atau

    Caspase and RIP-adaptor with Death Domain (CRADD)

    Receptor Interacting Protein (RIP).

    Saat diaktivasi, reseptor akan merekrut protein adaptor yang

    kemudian merekrut pro-caspase 8 (precursor caspase 8) dan

    menjadikannya caspase 8 yang aktif. Caspase 8 akan mengaktifkan

    caspase 3 untuk mengeksekusi proses selanjutnya. Caspase 8 dan 9

    disebut initiator caspases atau upstream caspases dan caspase 3, 6, dan

    7 disebut executioner caspases atau down stream caspases (Katja, 2001).

    Reseptor Fas berikatan dengan Fas ligand (FasL), yaitu suatu

    protein transmembran. Interaksi antara reseptor Fas dan FasL membentuk

    death-inducing signaling complex (DISC) yang berisi FADD, caspase-8,

    dan caspase-10. Dalam interaksi tersebut terdapat dua tipe aktivasi

    kaskade caspase, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I yaitu dengan pengaktifan

    caspase-8 maka akan terjadi aktivasi anggota lain dari caspase family

    yang berperan sebagai pencetus apoptosis. Tipe II, yaitu ikatan Fas-DISC

    akan membentuk feedback loop untuk menambah lepasnya faktor pro-

    apoptosis dari mitochondria dan memperkuat aktivasi caspase-8. Fas

    diketahui memunyai dua jaras apoptosis.Daxx adalah suatu Fas yang

    mampu menghambat Bcl-2. Jaras Fas yang lain adalah melalui ikatan

    FADD, yang tidak menghambat Bcl-2 (Yang, 1997).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 5. Aktivasi Apoptosis dari Luar Sel (Extrinsic Pathway) (Demedtset al, 2006).

    Gambar 5 menunjukkan bahwa sinyal faktor ekstrasellular seperti

    hormon, growth factor, nitric oxide, atau sitokin mengaktivasi apoptosis

    melalui jaras ekstrinsik. Sinyal ini bisa menambah atau menghambat

    proses apoptosis. (Mohamadet al, 2005). TNF adalah suatu sitokin utama

    yang diproduksi oleh makrofag aktif dan merupakan mediator ekstrinsik

    Universitas Sumatera Utara

  • utama dari apoptosis.Kebanyakan sel-sel dalam tubuh manusia memunyai

    dua reseptor untuk TNF, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2.Ikatan terhadap

    reseptor TNF-R1 secara tidak langsung dapat mengaktivasi faktor

    transkripsi yang terlibat dengan cell survival.

    Gambar 6. Jaras Apoptosis Intrinsik dan Ekstrinsik (Crighton et al, 2004).

    Gambar 6 menjelaskan mengenai hubungan jalur intrinsik dengan

    jalur ekstrinsik. Homodimer pro-apoptotic Bax yang dibentuk pada

    membran luar mitokondria diperlukan untuk membentuk saluran yang

    meningkatkan permeabilitas membran mitochondria dan melepaskan

    aktivator caspase, seperti cytochroma c dan SMAC (Secondary

    Mitochondrial Activator of Caspase).

    Universitas Sumatera Utara

  • c) Cross-talk

    Antara jalur intrinsik dan ekstrinsik bisa timbul kerjasama, misalnya

    caspase 8 dapat membelah anggota famili Bcl-2 protein yang pro-

    apoptotik, yaitu Bid. Bid yang terbelah ini (truncated Bid) bertranslokasi ke

    mitokondria dan menyebabkan pelepasan sitokrom c dari mitokondria

    serta menimbulkan perobahan konformasi pada Bax dan Bak

    (menyebabkan homo atau heterodimerisasi) yang hasilnya juga dapat

    membocorkan sitokrom c. (Desagher et al, 1999).

    Demikian juga caspase 3 yang aktif dapat mengaktifkan caspase

    lain seperti caspase 2,6,8, dan 10 dan dapat membelah procaspase 9

    menjadi caspase 9 yang aktif serta menciptakan amplifikasi dari jalur

    apoptotik melalui suatu positive feed-back loop.

    2.8.2 Caspase-Independent Apoptosis

    Jalur ini tidak membutuhkan perantara caspase. Jalur ini

    mempunyai mekanisme tersendiri menuju kematian sel. Yang berperan di

    sini adalah molekul protein mitokondria, yaitu apoptosis inducing factor

    (AIF) dan Endonuclease G.

    Mitokondria masih memiliki beberapa jenis protein lainnya untuk

    mencetuskan apoptosis antara lain HtrA2/Omi dan second mitochondrial

    activator of caspases (Smac). Mitokondria juga memunyai senjata untuk

    mendukung pengaruh faktor survival yang berfungsi menghentikan proses

    Universitas Sumatera Utara

  • apoptotik, yaitu inhibitors of Apoptosis Protein (IAP seperti celluar IAP-

    1,cIAP-2, X-chromosome-linked IAP (XIAP) (Ulrich et al, 1999). HtrA2/Omi

    dan Smac menghentikan aktifitas IAP dan mendukung terjadinya

    apoptosis. Bcl-2 dan Bcl-xL adalah oncoprotein yang bersifat

    antiapoptotik. Bcl-2 mampu memblokir mobilisasi AIF melalui membran

    mitokondria dan juga berperan besar pada jalur-jalur ekstrinsik dan

    intrinsik. Smac dan Htr2A/Omi memblokir kerja IAP menghambat kerja

    XIAP sehingga mendukung terjadinya apoptosis. Hal ini menunjukkan

    bahwa mitokondria merupakan salah satu pusat penentu hidup sel.

    Gambar 7. Jaras Caspase Independent Apoptosis (Hoh et al, 2010)

    Universitas Sumatera Utara

  • Pada gambar 7, ditunjukkan jalur apoptosis yang caspase

    independen. Bila sel mendapat rangsangan apoptotik (inhibisi

    proteinkinase, ekspresi berlebihan oncoprotein yang pro-apoptotik atau

    obat sitostatika pada kemoterapi), AIF bertranslokasi dari mitokondria ke

    nukleus dan mengakibatkan fragmentasi nuclear DNA (Polster et al,

    2005).

    Bcl-2 menghambat permiabilitas membran mitokondria. Apabila

    Bcl-2 diinhibisi maka, pori membran mitokoondria akan terbuka dan AIF

    bisa keluar ke cytosol. (Van Cruchten, 2002).

    2.9 Bcl-2 Family Protein

    Bcl-2 family protein memiliki Bcl-2 homology (BH) domain. Pada

    struktur protein ini anggotanya ada yang anti-apoptotik, yaitu Bcl-2, Bcl-

    xL, Bcl-W, Mcl-1, dan A1 (memiliki domain BH1, BH2, BH3, dan BH4) dan

    yang pro-apoptotik, yaitu Bax, Bak, dan Bok (memiliki domain BH1, BH2,

    dan BH3) ; serta Bad, Bid, Bim, dan Bik (hanya memiliki BH3 domain saja)

    yang disebut : BH3-only proteins. Kompleks dari domain BH3 seperti Bax,

    Bid (tBid), dan Bad menfasilitasi pelepasan sitokrom c melalui kapasitas

    pembentukan pori oleh BH3-only proteins yang berdimerisasi. Protein-

    protein pro-survival seperti Bcl-2, Bcl-xl, dan mcl-1 mampu mencegah

    keluarnya protein mitokondria, seperti sitokrom c, endonuclease G, dan

    AIF melalui pori tersebut (Zhang et al, 2005).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 8. Famili Bcl-2 yang Anti-apoptotik dan Pro-apoptotik

    Sebagai contoh, bila tidak ada faktor survival, maka BH3-only

    protein akan mengikat dan menggeser Bcl-2 dan/atau Bcl-xl pada

    membran luar mitokondria. Dengan adanya faktor survival maka terjadi

    aktivasi seri kinase. Kemudian BAD mengalami phosphorilasi dan

    memisahkan diri dari Bcl-2 dan/atau Bcl-xl yang memberikan survival (Van

    Cruchtenet al, 2002; Zha et al, 1996). Heterodimerisasi dari kelompok

    protein BH3 (Chittenden et al, 1995) tidak diperlukan untuk pro-survival,

    Universitas Sumatera Utara

  • tetapi diperlukan untuk pro apoptosis. Domain transmembran (Tm) dari

    protein Bcl-2 family terlibat dalam survival dan kematian sel yang

    diperantarai mitochondria (Graham et al, 2000). Semua anggota Bcl-2

    family memunyai domain Tm kecuali Bid.

    Aktivasi famili Bcl-2 protein terjadi melalui carboxy terminal

    hydrophobic domain yang melekat pada membran luar mitochondria. Dari

    membran luar ke dalam, terdapat lobang Permiabilitas Transisi (PT).

    Lobang PT memunyai mega channels dengan diameter

  • Melalui gambar 9 ditampilkan jalur apoptosis melalui mitokondria

    dengan pelepasan sitokrom C yang melalui serangkaian reaksi

    membentuk apoptosome yang akan mengaktifkan caspase 3.

    Posisi normal kromosom Bcl-2 adalah pada 18q21 (Tsujimoto,

    1984). Bcl-2 di encode oleh suatu gen 230kb yang menghasilkan protein

    22-26 kDa. Bcl-2 memunyai sekitar 239 asam amino. Gen Bcl-2

    memunyai tiga exon dimana yang pertama tidak ditranslasikan. Gen Bcl-2

    mempunyai 2 regio promotor yang potensial yaitu P1 yang kaya GC

    dengan SP1 multipel (suatu sekuensi spesifik dengan protein pengikat

    DNA yang penting pada fase transkripsi) dan lebih dominan digunakan.

    Sedangkan P2 yang memiliki TATA dan CAAT-box yang klasik dan motif

    SV40 decamer/Ig octamer yang penggunaan ini lebih minimal.Bcl-2 family

    memunyai struktur umum yang terdiri atas suatu hydrophobic helix yang

    dikelilingi oleh tujuh amphipathic helices (Duan et al, 2005).

    Gambar 10. Struktur Bcl-2 (Riley, 2009)

    Pada gambar 10 ditunjukkan gambaran 3 dimensi Bcl-2.Bad

    diaktifkan oleh Calcineurin yang terpicu oleh konsentrasi Ca++

    intraseluler yang meningkat (kaitan dengan eksitotoksisitas). Bad akan

    Universitas Sumatera Utara

  • berikatan dengan Bcl-2 dan Bcl-xL dan menyebabkan inhibisi terhadap

    efek anti-apoptosis IAP, dua protein proapoptotik lainnya yaitu Bax dan

    Bak dapat aktif dan menyebabkan pelepasan sitokrom c dari mitokondria.

    Melalui mekanisme inilah Bad dapat memicu terjadinya apoptosis yaitu

    dengan menghambat efek perlindungan dari Bcl-2 dan Bcl-cL. Bad yang

    bebas dapat dinonaktifkan melalui proses fosforilasi. Bad yang telah

    difosforilasi akan diikat oleh chaperone protein dimana salah satunya

    adalah protein 14-3-3 (Desagher et al, 2000).

    Konsentrasi Bcl-2 (U/mL) telah dianalisis pada cedera otak. Dengan

    pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) diperoleh

    bahwa puncak konsentrasi Bcl-2 adalah pada hari ke-3 dan ke-4 setelah

    trauma (Lee et al, 2004; Xiong et al, 2001).

    Konsentrasi Bcl-2 lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki karena

    pengaruh estrogen (Soustiel et al, 2005; Wise et al, 2000 ; Zhang et al,

    2004) dan Bcl-2 lebih berperan sebagai neuroprotektor pada wanita.

    Estrogen juga terdapat pada laki-laki sebagai testosteron yang dirubah

    menjadi estradiol pada otak. Estrogen memunyai efek neuroproteksi

    dengan cara mempertahankan CBF, memiliki sifat antioxidant,

    menghalangi cedera excitotoxic, dan mempromosikan produksi growth

    factor (Soustiel et al, 2005; Wise et al, 2000).

    2.10 Polimorfisme Gen Bcl-2

    Berdasarkan penelitian dari Hoh dan kawan-kawan (2010), yang

    memeriksa hubungan antara variasi genetik pada gen Bcl-2 dengan hasil

    Universitas Sumatera Utara

  • akhir cedera kepala, ternyata terdapat hubungan antara genotip Bcl-2dan

    fungsi global setelah cedera kepala. Penggunaan tagging single

    nucleotide polymorphisms (tSNP) untuk Bcl-2menunjukan karakteristik

    seluruh variasi genetik di dalam dan sekeliling gen serta kumpulan

    polimorfisme di dalam gen secara efisien. Berdasarkan data Hapmap

    dijumpai 20 tSNP untuk gen Bcl-2dengan minor allele frequency (MAF)

    30% dan r2 0,8 yaitu rs1026825, rs12454712, rs12968517, rs1381548,

    rs1481031, rs17756073, rs17759659, rs1801018, rs1944419, rs3810027,

    rs4456611, rs4941185, rs7230970, rs7236090, rs8083946, rs899968,

    rs949037, rs7231914, rs8089538, dan rs2850762 (gambar 23).

    Gambar 11. Gen Bcl-2dengan tSNP pada Kromosom 18q21(Hoh et al,

    2010).

    Berdasarkan analisis multivariat diperoleh bahwa ada empat tSNP

    yang signifikan berpengaruh pada hasil akhir klinis setelah cedera kepala,

    yaitu rs17759659, rs1801018, rs7236090 dan rs949037.Pada penelitian

    Universitas Sumatera Utara

  • ini dicari hubungan antara polimorfism gen Bcl-2(rs17759659, rs1801018,

    rs7236090 dan rs949037) dengan Glasgow Outcomes Scale (GOS) dan

    Disability Rating Scale (DRS). Kematian dan Neurobehavioral Rating

    Scale-Revised (NRS-R) pada cedera kepala berat yang dianalisis pada

    bulan ke 3, 6, 12 dan 24 (Hoh et al, 2010).Dari hasil penelitian diperoleh

    bahwa alell variant untuk rs17759659 dan rs1801018 berhungan dengan

    hasil yang lebih jelek (GOS dan DRS), tingkat kematian yang lebih tinggi,

    dan NRS-R yang jelek. Sebaliknya, homozigot alell wild-type untuk

    rs7236090 dan varian homozigot dari rs949037 berhubungan dengan

    hasil yang lebih baik (GOS dan DRS). Hasil data ini mendukung

    kemungkinan bahwa polimorfisme genetik pada gen Bcl-2memengaruhi

    hasil akhir setelah cedera kepala berat (Hoh et al, 2010).

    2.11 Polimorfisme Genetik

    Pada manusia gen BDNF terletak pada kromosom 11. Allel

    Val66Met (rs6265) adalah suatu single polymorphism nucleotide dalam

    gen yang menyebabkan adenine dan guanine allel. Hasil dalam variasi

    antara valine dan methionine ada pada codon 66 (Bath et al,2006).

    Polimorfisme genetik adalah perbedaan dalam urutan DNA di

    antara individu, kelompok, dan populasi. Akibat dari Single Nucleotide

    Polymorphisms (SNPs), pengulangan urutan, insersi, delesi, dan

    rekombinasi. Polimorfisme genetik dapat disebabkan oleh faktor kebetulan

    (mutasi) atau faktor eksternal (seperti virus atau radiasi) (Purohit, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • Dalam Mendels Principles of Heredity karangan William Bateson

    (1902), digunakan istilah allelomorph untuk menggambarkan adanya

    alelleyang terbentuk akibat variasi pada urutan basa nitrogen. Variasi

    tersebut merupakan akibat peristiwa mutasi yang diikuti oleh aksi evolusi,

    seperti seleksi alam atau drift yang akan menyebarkan alelle mutan ke

    dalam populasi. Lokus telah dideskripsikan menjadi polimorfik dan

    monomorfik dengan memperhatikan adanya variasi alelle dalam suatu

    populasi. Sebuah definisi yang praktis dan berguna menyebutkan bahwa

    lokus polimorfik adalah suatu keadaan ketika ada dua atau lebih alelle

    yang membentuk populasi yang sama dan alelle yang paling umum

    memiliki frekuensi kesamaan sekitar 99% atau kurang (Harris, 1980).

    Individu dengan alelle yang sama pada suatu lokus akan disebut

    genotipe homozigot, yang berbeda disebut genotipe heterozigot. Fenotipe

    yang diekspresikan menimbulkan perbedaan klinis antar-individu dalam

    suatu populasi. Alelle dengan frekuensi yang kurang dari 1% disebut

    sebagai varian langka dan alelle yang memiliki frekuensi varian yang lebih

    tinggi disebut polimorfik. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 2% dari

    populasi akan menjadi heterozigot pada lokus polimorfik (Harris, 1980;

    Fisher, 1930).

    Selain itu, telah diketahui bahwa kurang dari 5% dari genom

    manusia merupakan coding DNA dan sebagian besar polimorfisme

    genetik terjadi pada area non-coding DNA yang merupakan area yang

    relatif tidak memiliki kemaknaan klinis (Fisher, 1930).

    Universitas Sumatera Utara

  • 2.12 Autofagositosis

    Istilah autofagi yang berasal dari bahasa Yunani, yang berarti to eat

    oneself merupakan proses self-cannibalization melalui jaras degradasi

    lysosomal. Konsep ini telah dievaluasi dengan menggunakan sel-sel dan

    organisme yang defisiensi gen autofagi, dimana hasilnya menunjukkan

    bahwa sel-sel dengan apoptotic machinery dan mekanisme autofagi yang

    intak lebih mampu bertahan hidup (Todde, 2009).

    Secara umum, terdapat hubungan antara autofagi dengan

    apoptosis secara tidak langsung. Autofagi merupakan regulasi

    homeostasis, yaitu proses dinamik intrasel yang mendaur ulang protein

    dan organella yang tua (Todde, 2009; Singh et al, 2009).

    Rangsangan klasik autofagi adalah kelaparan atau kekurangan

    nutrisi. Protein-protein yang meregulasi dan menginduksi autofagi antara

    lain adalah autophagyassociated protein 4 (Atg4), Beclin-1 (Atg6), Atg7,

    microtubule-associated protein light chain-3 (MAP-LC3/Atg 8), Atg12, dan

    Atg5 (Klionky, 2008).

    Laporan pertama kali yang disampaikan oleh Diskin et al pada

    tahun 2005 menyatakan bahwa cedera otak mungkin menstimulasi

    autofagi. Protein-protein yang terlibat pada cedera otak adalah Beclin-

    1(Atg6) yang melalui domain BH-3nya berinteraksi dengan Bcl-2 dan

    kemudian dapat menyebabkan lebih banyak Beclin-1 bebas yang

    menstimulasi terjadinya autofagi. Pada keadaan homeostasis interaksi

    Beclin-1(Atg6) dan Bcl-2 berguna untuk memperbaiki sel dan mengurangi

    komponen dalam sel yang mengalami kerusakan (Diskin et al,

    Universitas Sumatera Utara

  • 2005).Selain Beclin-1, protein MAP-LC3(Atg 8) dan LC3 lipidation/LC3

    shift juga terlibat pada cedera otak (Kuono et al, 2005).

    Pada apoptosis klasik terjadi pengerutan elemen sitoskeletal

    dimulai dari awal periode, sedangkan organella tetap baik sampai proses

    akhir. Sebaliknya, pada autophagi terdapat degradasi organel pada awal

    proses, elemen sitoskeletal tetap baik sampai akhir periode. Baik

    apoptosis maupun autofagi adalah proses kematian sel yang tidak disertai

    reaksi inflamasi (Schweichel, 1973)

    Gambar 12 : Perbedaan Kematian Sel Apoptosis dan Autofagi (Levine,

    2005).

    Seperti pada gambar 12, autofagi dan apoptosis memiliki morfologi

    yang berbeda dalam proses kematian. Mekanisme penghambatan

    kematian sel melaui autofagi yaitu dengan aktivasi RNA interference. RNA

    interference (RNAi) yang aktif akan menghambat 3 gen autofagi yaitu

    atg5, atg7, dan becline 1 (Mills et al, 2004).

    Satu pertanyaan yang tidak terjawab adalah apakah kejadian

    autofagi setelah cedera otak menguntungkan atau merugikan?

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 13: Peranan Autofagi setelah TBI (Mills et al, 2004)

    Seperti yang ditunjuk pada gambar 13, terdapat peranan autofagi

    dalam kontusio serebri, yaitu proses degradasi protein oleh proteosom.

    Antara autofagi dan apoptosis terdapat cross-talkmelalui ekstrinsik

    apoptosis pathway dan Tumor necrosis factor Related Apoptosis-Inducing

    Ligand (TRAIL) (Jia et al, 1997; Mills et al, 2004; Thorburn et al, 2005;

    Prins, 1998).

    2.13 Nekrosis

    Nekrosis berasal dari bahasa Yunani yang artinya mati.Pengertian

    nekrosis dalam hal ini adalah kematian sel yang dini akibat dari faktor

    eksternal, seperti trauma, toxin, atau infeksi. Proses apoptosis yang terjadi

    mempunyai manfaat terhadap organisme. Sebaliknya, proses nekrosis

    merusak struktur (membran sel pecah dan isi sel tumpah) dan fungsi

    suatu jaringan (Van Cruchten, 2002).

    Nekrosis terjadi dalam kondisi akut akibat lesi non-fisiologik,

    misalnya di daerah inti-nekrotik, daerah yang mengalami toksisitas, akibat

    Universitas Sumatera Utara

  • gangguan metabolisme seluler sehingga sel tidak dapat mempertahankan

    homeostatik ion-nya. Sel-sel nekrotik akan mengalami pembengkakan sel

    yang kemudian lisis dan melepaskan isi sitoplasma ke dalam ruang

    interseluler dan selanjutnya merangsang terjadinya proses inflamasi.

    Nekrosis tidak terlihat pada perkembangan sel normal, tetapi sebagai

    respon terhadap trauma atau toksin.Proses nekrosis tidak membutuhkan

    energi dalam bentuk ATP (Van Cruchten, 2002).

    Nekrosis hanya bisa dicegah dengan menyingkirkan faktor

    patogenik. Nekrosis didahului oleh gangguan homeostasis ion seperti a.l

    Ca++

    ,Na+dan K+, dimana defisit energi menyebabkan gagalnya ion

    exchanger dan ion pumps, Na+ masuk kedalam sel dan K+ keluar dari sel,

    terjadi depolarisasi membrane sel dan aktifasi Voltage Dependent Anion

    Channels (VDAC), Ca++ masuk dalam jumlah besar, air akan ikut Na+

    Influx Ca

    masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan akhirnya pecah.

    Adanya defisit energi dan gangguan autolisis akan menyebabkan

    pecahnya membran sel. Isi sel yang berisi enzim dan organela akan

    masuk ke ruang ekstraseluler dan menimbulkan reaksi inflamasi.

    ++ yang besar akan memicu enzim lipase, protease dan

    endonuclease dan menimbulkan peroksidasi lipid pada dinding sel dan

    kerusakan membrane. NO yang dibentuk iNOS (inducible Nitic Oxide

    Synyhase) bereaksi dengan radikal bebas yang dilepas Mitochondria dan

    Endoplasmic Reticulum akibat terpicu influx Ca++ akan membentuk

    peroxynitrit, radikal bebas yang daya rusaknya sangat besar, bila

    peroxynitrit bertemu dengan ion Fe dari ferritin, peroksidasi akan berlipat

    Universitas Sumatera Utara

  • ganda (White, 2000) Endonuclease G akan menimbulkan kerusakan DNA

    pada inti sel dan memicu apoptosis. Walaupun prosesnya sama-sama

    dipicu kalsium, proses nekrosis terjadi dalam beberapa menit, sedangkan

    apoptosis baru terjadi setelah beberapa jam dan bisa

    berlangsungberharihari hingga beberapa minggu (Haque, 2004; White,

    2000; Ulrich, 1999).

    2.14 Struktur BDNF

    BDNF merupakan suatu protein dasar yang berukuran 27 kDa yang

    berikatan secara nonkovalen terhadap subunit yang berukuran 13,5 kDa,

    yang berikatan dengan nerve growth factor. BDNF dihasilkan oleh sel glia

    pada susunan saraf pusat (Robinson et al, 1999).

    BDNF merupakan neurotropin yang terbanyak pada otak dan

    sangat penting dalam kelangsungan hidup neuron selama perkembangan

    dan integrasi neuron pada otak orang dewasa.BDNF juga terlibat dalam

    plastisitas sinaps, diferensiasi neuron dan daya tahan neuron.BDNF juga

    diekspresikan pada hati, otot skeletal, dan berperan pada perkembangan

    sistem kardiovaskular.BDNF dalam darah terutama disimpan dalam

    trombosit dan hanya fraksi kecil saja yang tersimpan di dalam plasma.

    Kadar BDNF dalam serum dapat ditentukan dengan menggunakan ELISA

    (Klein, 2011).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 14. Struktur Brain-derived Neurotrophic factor (Robinson et al,

    1999)

    Observasi dari penurunan kadar BDNF pada pasien dengan

    gangguan neuropsikiatri telah menjadikan BDNF sebagai suatu biomarker

    yang potensial. Namun, sejauh ini belum ada studi langsung yang

    membandingkan kadar BDNF dalam serum dengan kadar BDNF pada

    otak (Klein, 2011).

    BDNF merupakan anggota dari neurotrophin family dari growth

    factor, yang berhubungan dengan NGF. Dalam otak, BDNF aktif pada

    hippocampus, cortex, dan basal forebrain yaitu daerah vital untuk memori,

    belajar serta untuk berpikir lebih tinggi. BDNF sendiri penting untuk

    penyimpanan ingatan jangka panjang (Bekinschtein et al, 2008). BDNF

    sebenarnya terdapat dalam berbagai jaringan dan sel, yaitu pada retina,

    CNS, neuron motor, ginjal, dan prostat, serta saliva manusia. Konsentrasi

    BDNF paling tinggi pada hippocampus dankorteks serebral (Mandel,

    2009).

    BDNF merupakan faktor neurotropik spesifik kedua setelah NGF.

    Walaupun mayoritas utama dari neuron otak mammalian dibentuk

    Universitas Sumatera Utara

  • prenatal, tetapi sebagian otak dewasa menyimpan kemampuan untuk

    menumbuhkan neuron baru dari stem cells neural dimana proses ini

    dikenal sebagai neurogenesis. Neurotrophin merupakan senyawa kimia

    yang merangsang dan mengontrol neurogenesis. BDNF merupakan salah

    satu dari neurotrophin yang aktif. Tikus yang baru lahir tanpa kemampuan

    membentuk BDNF akan menderita defek perkembangan otak dan sistem

    sel saraf sensori. Biasanya tikus tersebut akan mati segera setelah lahir.

    Gambar 15. Proses Signaling dalam Persarafan (Choi-Lundberg et al,

    1997)

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 15 menunjukkan perkembangan dalam otak.Faktor

    neurotrophik dilepas oleh neuron atau sel pendukung, seperti astrosit dan

    berikatan dengan reseptor neuron yang di dekatnya.Ikatan ini

    menghasilkan sinyal yang dikirim ke nukleus dari neuron yang

    menerimanya.Hasilnya yaitu terjadi peningkatan sintesa protein yang

    berhubungan dengan survival dan fungsi neuron. (Choi-Lundberg et al,

    1997).

    BDNF berikatan dengan dua reseptor yang terletak pada

    permukaan sel. TrkB (Tyrosine kinase B) dan p75 yang merupakan Low-

    affinity nerve growth factor receptor (LNGFR) untuk BDNF.BDNF juga

    dapat memodulasi aktivitas dari berbagai reseptor neurotransmitter,

    termasuk alpha-7 nicotine receptor. TrkB adalah suatu reseptor tyrosine

    kinase yang dapat memfosforilasi tyrosine dalam sel dan mengaktifkan

    sinyalintra-sellular. Faktor neurotropik lain yang berhubungan dengan

    BDNF, adalah NGF, NT-3 (neurotrophin-3), dan NT-4 (neurotrophin-4).

    TrkB memediasi efek BDNF dan NT-4, TrkA mengikat NGF, dan TrkC

    mengikat NT-3. NT-3 dapat berikatan dengan TrkA dan TrkB, walaupun

    afinitasnya rendah (Patapoutian, 2001).

    Reseptor BDNF yang lain, yaitu p75 memiliki peranyang kini masih

    kurang jelas. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa p75NTR

    berfungsi sebagai suatu sink untuk neurotrophin. Sel-sel yang

    mengekspresi p75NTR dan reseptor Trk memunyai aktivitas yang lebih

    besar karena memunyai microkonsentrasi neuroptrophin yang lebih besar.

    P75NTR dapat memicu apoptosis apabila sel tersebut tidak memiliki

    Universitas Sumatera Utara

  • reseptor Trk. BDNF diproduksi di endoplasmic reticulum dan

    diekspresikan melalui dense-core vesicle setelah berikatan dengan

    reseptor carboxypeptidase E (CPE). Kerusakan ikatan ini dapat

    menyebabkan hilangnya kemampuan sel untuk mengekspresikan BDNF

    melalui dense-core vesicle (Fernandes, 2008).

    2.15 Polimorfisme Gen BDNF

    BDNF memiliki peranan penting pada kognisi, terutama harapan

    hidup neural dan plastisitas. Terdapat beberapa polimorfisme SNPs di-

    dalam gen BDNF yaitu rs1519480, rs7124442, rs6265, rs7934165,

    rs11030121, rs12273363 dan rs908867. Salah satunya SNPs yaitu rs6265

    yang berhubungan dengan kognisi setelah cedera kepala. Berdasarkan

    penelitian, rs6265 memperlambat proses perbaikkan kognitif. Selain

    rs6265 terdapat juga polimorfisme lain yang berkontribusi dalam fungsi

    memori setelah cedera kepala. Terdapat 2 SNP yaitu rs1519480 dan rs

    7124442yang secara signifikan berhubungan dengan perbaikan fungsi

    kongnitif setelah cedera kepala yaitu menginduksi plastisitas (Rostami et

    al, 2011).

    2.16 Plastisitas Otak

    Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak untuk

    melakukan reorganisasi dalam bentuk interkoneksi baru pada saraf.

    Plastisitas merupakan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi

    terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk proses

    Universitas Sumatera Utara

  • neurogenesis angiogenesis, gliagenesis and synaptogenesis, dan

    melibatkan perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf

    (neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak.

    Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan

    sistem saraf (Ganong, 2002).

    Plastisitas otak berlangsung seumur hidup dengan kecepatan

    maksimal pada beberapa tahun pertama kehidupan. Plastisitas ini juga

    lebih tinggi pada beberapa bagian otak dibandingkan dengan bagian otak

    yang lain. Hal ini menjelaskan bahwa anak mampu pulih dari cedera

    kepala jauh lebih cepat dan lebih baik.Plastisitas otak tidak terbatas pada

    keadaan yang tidak direncanakan, seperti kecelakaan, trauma otak, dan

    kasus penting lain yang memerlukan rewiring untuk membangun kembali

    hubungan fungsional (Ganong, 2002).

    2.17 Neuroproteksi

    Secara historis konsep neuroproteksi sudah dikenal dan dipakai

    oleh praktisi kedokteran Yunani kuno dengan menggunakan pendinginan

    untuk mengobati cedera otak dan stroke. Hipotermia kembali berperan

    seiring dengan kemajuan pada bidang bedah saraf sejak tahun 1960.

    Penelitian tahun 1990 menunjukkan hasil percobaan preklinis yang

    mengesankan dimana kerusakan jaringan otak dapat dikurangi secara

    bermakna.

    Neuroproteksi bertujuan menyelamatkan sebanyak mungkin

    neuron akibat cedera kepala, meminimalkan defisit neurologis dan

    Universitas Sumatera Utara

  • tentunya selain menyelamatkan nyawa pasien juga memaksimalkan

    kwalitas hidupnya pasca cedera.

    Konsep neuroproteksi terutama didukung dan lahir dari penelitian

    patologi dan patofisiologi cedera otak iskemi (Cheng, 2004), yaitu bila

    terjadi penghentian pasokan oksigen dan glukosa yang tiba-tiba ke

    jaringan otak, maka akan terjadi serangkaian reaksi beruntun atau

    cascade patologis. Jenis neuroproteksi yang digunakan berdasarkan

    mekanisme kerja obat tersebut dalam mencegah infark otak.

    Neuroproteksi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu neuroproteksi primer

    dan neuroproteksi sekunder (White, 2000).

    Neuroproteksi primer bertujuan untuk mencegah kematian sel

    nekrotik pada awal kejadian cedera kepala sehingga pemberian

    neuroproteksi primer harus pada tiga jam pertama setelah kejadian cedera

    kepala. Beberapa senyawa yang berperan dalam neuroproteksi primer

    adalah potential-dependent calcium-channel antagonists, inhibitors of

    synthesis and presynaptic release of Glutamate, GABA antagonists, dan

    golongan glycine serta glutamate receptor antagonists seperti NMDA

    receptor antagonist non-competitive, NMDA receptor antagonist selective,

    dan Polyamines.

    Neuroproteksi sekunder bertujuan menghambat pro-inflammatory

    cytokines, adhesi sel, pro-oxidant enzymes, menambah trophic support,

    dan mencegah apoptosis, dimana ini mulai diberikan dalam 3-6 jam

    pertama dan dilanjutkan selama 7 hari. Senyawa-senyawa yang

    merupakan neuroproteksi sekunder adalah free radical scavenger, NO-

    Universitas Sumatera Utara

  • synthese blockers, inhibitors of local inflammation, statin, estrogens,

    neurotrophic factors, neuropeptide: ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    ., regulators

    of receptors structure (Gusev &Skvortsova, 2003).

    2.17.1. Neuropeptida

    Neuromodulator yang telah digunakan secara klinis dengan efek

    neuroprotektif yang terdokumentasi adalah senyawa ACTH4-10Pro8-Gly9-

    Pro10. Setelah pemberian intranasal, 60-70% ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    ACTH

    akan diabsorpsi secara cepat melalui membran mukosa nasofaring dan

    masuk ke dalam sistem sirkulasi dalam waktu 1-5 menit. Konsentrasi

    puncaknya dicapai setelah 60 menit pemberian. Biotransformasi dilakukan

    oleh aminopeptidase dan angiotensin converting enzyme. Waktu paruh

    obat ini dalam tubuh manusia hanya beberapa menit, tetapi efek terapi

    dapat bertahan selama 20-24 jam. Hal ini disebabkan oleh senyawa yang

    terbentuk setelah degradasi MEHFPGP, yaitu EHFPGP (Glu-His-Phe-Pro-

    Gly-Pro) dan HFPGP (His-Phe-Pro-Gly-Pro), juga merupakan

    neuropeptida yang stabil yang dapat memodulasi neurotransmitter

    cholinergic dan membentuk NO secara independen. Senyawa ini

    diekskresikan melalui ginjal dan dibuang melalui urin (Gusev dan

    Skvortsova,2003; Husada, 2006; Bashkatova, 2001)

    4-10Pro8-Gly9-Pro10 dapat melindungi sel-sel neuron dengan

    menghambat apoptosis melalui mekanisme penghambatan produksi NO

    yang berlebihan oleh iNOSdan pembentukan SOD yang berfungsi

    mencegah efek merusak dari ROS (Reactive Oxygen Species) yaitu

    Universitas Sumatera Utara

  • radikal bebas oksigen, menghambat runtun reaksi kaspase dengan

    meningkatkan protein ant-apoptotik Bcl-2 dan meningkatkan kadar NGF

    dan BDNF di serum maupun CSF. ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 ini telah

    terbukti mampu memicu secara cepat produksi mRNA growth factors yang

    bersifat melindungi sel otak, antara lain Nerve Growth Factor (NGF) dan

    BDNF (Shadrina M, 2000).ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    Pada sel-sel yang mengalami iskemia ataupun nekrosis, HMGBI

    akan terekspresi dan merangsang ekskresi IL-1, IL-1, IL-6, IL-8, TNF-

    atau lipopolisakarida (LPS). Sitokin-sitokin tersebut dapat merangsang

    kembali produksi HMGBI. ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 memunyai kerja

    multipotensial dan bekerja melalui reseptor melanocortin (MC4) untuk

    menjalankan fungsi modulatorisnya (Fink, 2007; Jung BK, 2006).

    juga dapat

    menurunkan High Mobility Group Box-1 (HMGB-1) (Fink, 2007).

    ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 ini dapat meregulasi aktivasi dan inhibisi

    reseptor NMDA (glutamat, aspartat, glisin dan taurin) yang ada pada

    sistem saraf sentral dan saraf perifer. Senyawa ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    ditemukan juga memiliki potensi untuk memelihara keseimbangan dinamis

    antara kadar serotonin dan dopamin pada satu sisi dan kadar dopamin

    dan asetilkolin pada sisi yang lain, sehingga dapat memperbaiki kondisi

    gangguan psikis, emosional, kognitif, dan gangguan vegetatif. Substansi

    ini juga dapat meregulasi kardiak output dan laju respirasi serta dapat

    mempercepat proses adaptasi yang dapat meningkatkan daya tahan

    tubuh. ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 dapat menurunkan sitokin proinflamasi,

    seperti IL-8, IL1, dan apoptosis (Fink, 2007; Jung BK, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • Uji klinis double blind, placebo-controlledterhadap 160 pasien

    dengan stroke iskemia carotid akut denganACTH4-10Pro8-Gly9-

    Pro10menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 76,6% pada cedera

    kepala sedang dan ringan serta 77,3% pada cedera kepala berat. Setelah

    pemberian ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 terjadi peningkatan Bcl-2 sebanyak

    dua puluh kali lipat dalam CSF pada hari ketiga dan serum pada hari

    ketujuh. Pada hari ketiga TGF-1 meningkat sebesar 30%, NGF naik

    18,2%, dan BDNF naik 50%. Kadar SOD (Superoxide Dismutase) naik

    100% dan IL-10 (antiinflamasi) meningkat 60% yang diikuti dengan

    penurunan IL-8 dan IL-1 (proinflamasi) masing-masing sebesar 62% dan

    25%. Dari data-data di atas tampak bahwa ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    Di samping itu, ACTH

    bekerja melalui modulasi positif mekanisme Survival Pathways dan

    modulasi negatifDeath Pathways secara serentak (Gusev dan Skvortsova,

    2003; Husada, 2006).

    4-10Pro8-Gly9-Pro10

    ACTH

    secara nyata dapat

    menurunkan produksi S100, Myelin Basic Protein (MBP) dan aktivitas

    leukocytic elastase (LE) di serumpenderita stroke iskemia yang diberikan

    dosis 12-18 mgr per hari selama 3 hari. Ini menggambarkan adanya

    pengurangan respon peradangan dan penurunan reaksi autoimmune,

    sehingga terjadi perbaikan kondisi sawar darah otak (BBB) dan penurunan

    volume infark. S100 juga merupakan suatu marker untuk trauma otak

    (Gusev dan Skvortsova, 2003).

    4-10Pro8-Gly9-Pro10 juga memunyai efek menurunkan Glial

    Fibrillary Acidic Protein (GFAP) yang meningkat pada pasien-pasien

    Universitas Sumatera Utara

  • trauma otak. ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10dapat memperbaiki kerusakan saraf

    mata (optik nerve) dan memperbaiki lapangan pandang dan visus pada

    pasien-pasien dengan gangguan penglihatan oleh karena cedera ataupun

    iskemia pada mata seperti pada tekanan intra-okuler akibat glaucoma.

    ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    Beberapa penelitian membuktikan bahwa ACTH

    dapat meningkatkan kapasitas kognitif seperti

    memori, proses berpikir, dan meningkatkan aktivitas bekerja dengan cara

    modulasi aktivitas Acetylcholine esterase. Obat ini juga memberi hasil

    positif pada kasus depresi dan anxietas dengan cara

    melancarkantransmisi serotonergik dan noradrenergic di otak (Gusev dan

    Skvortsova, 2003).

    4-10Pro8-Gly9-Pro10

    juga memunyai efek analgetik. Dengan memberikan dosis sebesar 0.5

    mg/kgBB pada hewan coba, ternyata ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10dapat

    mengurangi nyeri. Selain itu, ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 juga berfungsi

    sebagai senyawa antihipoksik, antipiretik dan antihemmorhagik.

    ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    ACTH

    juga berperan dalam mencegah stress ulcer

    dengan dosis sebesar 50mg/kgBB yang diberikan intraperitoneal selama 5

    hari (Umarova et al, 2003)

    4-10Pro8-Gly9-Pro10 dapat mencegah serebral iskemia dan

    hipoksia dengan cara meningkatkan protein antioksidan (SOD) dan

    meningkatkan resistensi mitokondria terhadap gangguan oksidatif dan

    imbalans ion kalsium (peningkatan ekspresi Bcl-2), serta toksisitas

    glutamate yang sering terjadi pada kondisi iskemia ataupun trauma

    (Storozhevykh et al, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • Profil keamanan ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    Dosis ACTH

    cukup tinggi, tidak dijumpai

    efek samping yang berarti pada pemberian dosis yang tinggi,.Tidak

    dijumpai interaksi dengan obat-obat yang lain ataupun reaksi alergi. Akan

    tetapi dapat dijumpai mukosa hidung yang pucat sebanyak 10 % dan

    kadar gula darah yang meningkat 7,4% pada penderita diabetes melitus

    (Gusev dan Skvortsova,2003; Ashmarin, 1989; Cherkasova, 2001)

    4-10Pro8-Gly9-Pro10

    yang diberikan pada hewan

    percobaan bervariasi bergantung pada efek yang diinginkan antara lain

    efek antioksidatif, antihipoksia, angioprotektif dan pencegahandampak

    iskemia dimana rentangnya antara 3-30 g/kgBB. Pada hewan

    percobaan, ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 dapat berfungsi sebagai

    antioksidan, antihipoksik, dan angioprotektif dengan rentang dosis antara

    150-300 g/kgBB, sedangkan pada manusia dosis yang diberikan berkisar

    antara 3 -18 mg/kgBB.

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 16. Skema Pemberian Obat Secara Intranasal ke CNS/Blood

    Brain Barrier (Chiaretti et al, 2008).

    Gambar 16 menunjukkan proses pemberian obat secara intranasal

    hingga mencapai otak. setelah pemberian melalui tetesan kerongga

    hidung,obat berdiffusi melalui rongga perineural traktus olfaktorius dan

    cabang nervus trigeminus, retrograde axonal transport, mikrosirkulasi

    kapiler hidung, hingga mencapai CNS. Dalam waktu 1-4 menit, pemberian

    ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10

    Kadar ACTH

    intranasal sudah dapat mencapai sawar darah

    otak dan cairan CSF, serta efeknya dapat bertahan hingga 20-24 jam

    walaupun senyawa sudah dielimasi oleh tubuh.(Qiu, 2008; Utgaard et al,

    1998; Chiaretti et al, 2008; Heinrich et al, 2003; Gopcevic et al, 2007)

    4-10Pro8-Gly9-Pro10

    di jaringan otak dengan pemberian

    intranasal mencapai 3-4 kali lipat dibandingkan dengan pemberian

    intravena. Hal ini dapat terjadi karena pemberian nasal diuntungkan

    dengan adanya proses fisik difusi melalui CSF dalam rongga perineural

    langsung ke CSF dalam otak menempuh jarak yang pendekdan juga

    memanfaatkan retrograde axonal transport serta tidak melaluiFirst pass

    metabolism di hepar. Waktu pemberian dianjurkan sedini mungkin setelah

    terjadinya cederayang berakibat iskemia agar mendapatkan hasil yang

    maksimal, karena perinsip penanganan iskemia otak adalah time is brain

    (Born et al, 1992; Stephanie et al, 2006; Janson, 2004; Jadhay, 2007;

    Talegaonkar et al, 2004; Gozes 2001).

    2.17.2 Statin

    Universitas Sumatera Utara

  • Statin telah lama digunakan sebagai inhibitor yang poten terhadap

    biosintesis kolesterol. Statin dapat menurunkan kadar low-density

    lipoprotein (LDL) dan risiko kejadian kardiovaskular (Golsteinet al, 1990).

    Perkembangan penelitian menyebutkan bahwa statin memunyai

    kegunaan tambahan sebagai neuroprotektor (Cucchiara et al, 2001;

    Rikitake et al, 2005).

    Gambar 17. Struktur Kimia Simvastatin (Wikipedia, 2010)

    Jenis-jenis statin adalah lovastatin, pravastatin, dan simvastatin

    yang berasal dari jamur; atorvastatin, rosuvastatin, fluvastatin, pravastatin

    yang sintetis (Schachter, 2005).Atorvastatin dan simvastatin meskipun

    farmakokinetiknya berbeda, tidak banyak menunjukkan perbedaan dalam

    penanganan cedera otak. Efek terapi statin pada cedera otak dibagi

    berdasarkan mekanisme akut sampai kronis (Wang et al, 2007).

    Statin sebagai inhibitor 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzim A

    (Inhibitor HMG CoAreduktase) dapat menghambat perubahan dari HMG

    CoA menjadi mevalonate (Wang et al, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 18. Skematik Mekanisme Kerja Statin dalam Signaling Seluler

    dan Neuroproteksi ( Van der Most et al, 2009).

    Pada gambar 18, ditunjukkan mekanisme kerja statin. Selain

    digunakan untuk pengobatan dislipidemia, statin juga berfungsi

    meningkatkan fungsi endothelial, mengurangi agregisasi platelet, dan

    mengurangi proses inflamasi dengan cara menghambat produksi C

    reactive protein (CRP) (Wang et al, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 19. Beberapa Mekanisme Brose Perpindahan Molekul melalui

    Membran Sel (Brunton, 2006)

    Simvastatin yang diberikan secara oral akan diserap oleh usus

    antara 30% hingga 85%. Simvastatin diserap dalam bentuk laktone inaktif

    sehingga perlu ditransformasi di hati menjadi bentuk aktif, yaitu -hydroxy

    acid dan asam simvastatin. Hampir seluruh Simvastatin yang diserap

    akan mengalami first pass metabolism di hati. Mekanisme simvastatin

    masuk ke dalam hati melalui difusi sederhana karena sifat simvastatin

    yang lipofilik, seperti yang ditunjukkan pada gambar 19. Akibat first pass

    metabolism, bioavabilitas sistemik simvastatin dan metabolitnya bervariasi

    antara 5% hingga 30% dari dosis yang diberikan (Brunton, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • Gambar 20. Farmakokinetik Statin (McDonagh et al, 2011)

    Farmakokinetik statin ditunjukkan pada gambar 19. Di dalam

    plasma, lebih dari 95% simvastatin dan metabolitnya akan berikatan

    dengan protein. Setelah pemberian oral, konsentrasi simvastatin dalam

    plasma akan mencapai puncak dalam waktu 1 hingga 4 jam. Begitu juga

    dengan waktu paruh dari simvastatin, yaitu 1 hingga 4 jam. Simvastatin

    dan metabolitnya diekskresikan melalui feses sebanyak 70% dan sisanya

    Universitas Sumatera Utara

  • melaui urin.Efek samping Simvastatin yang paling sering dijumpai adalah

    hepatotoksisitas dan miopati (Brunton, 2006; Lennernas, 1997)

    Statin telah terbukti memunyai efek perlindungan yang baik

    terhadap neuron primer kortikal dan sel neuroblastoma. Simvastatin

    dengan pemberian yang lama mampu mencegah kematian neuron

    dengan cara menstimuli gen kelangsungan hidup sel, yaitu gen Bcl-2.

    Simvastatin melindungi produksi Bcl-2 dari penghambatan pada tingkat

    post-transkripsi, sehingga terjadi peningkatan jumlah mRNA Bcl-2 dan

    protein. Selain meningkatkan Bcl-2, simvastatin juga memengaruhi

    ekspresi dari c-fos, c-myc dan hexokinase 1 yang semua ini berperan

    dalam kematian dan keselamatan sel. Hubungan antara Bcl-2 dengan

    neuroproteksi telah dibahas sebelumnya ( Johnson-Anuna, 2007)

    Gambar 21. Efek Statin dalam Cedera Kepala (Butterick et al, 2010)

    Universitas Sumatera Utara

  • Pada gambar 21 tampak beberapa mekanisme statin sebagai

    neuroprotektor pada cedera kepala, yaitu (Butterick et al, 2010; Van der

    Most et al, 2009)

    1. Meningkatkan aliran darah, yaitu dengan menurunkan

    mikrotrombosis, menurunkan aktivitas thrombin, menurunkan vWF,

    meningkatkan integritas endotelial, dan meningkatkan eNOS.

    2. Mengurangi proses neuroinflamasi, yaitu menurunkan sitokin

    inflamasi, meningkatkan integritas sawar darah otak, menurunkan

    edema serebral, menurunkan aktivasi mikroglial, dan menurunkan

    stress oksidatif.

    3. Mengurangi cedera neuronal, yaitu menurunkan kematian akibat

    excitotoksik

    4. Mengurangi apoptosis, yaitu menurunkan Bax dan caspase 3.

    5. Meningkatkan neurogenesis dan plastisitas, yaitu meningkatkan

    BDNF dan VEGF, meningkatkan PI3K, dan meningkatkan

    synaptophysin.

    6. Meningkatkan angiogenesis melalui peningkatan VEGF, VEGFR2,

    akt/PKB dan eNOS.

    2.18 Harapan Ke Depan

    Penelitian dan penatalaksanaan cedera otak secara biologi

    molekuler, baik biokimia maupun immunologi semakin maju. Peningkatan

    jumlah penelitian neuroproteksi yang memasuki fase III memberikan

    harapan dalam pengobatan cedera kepala.Namun, Semua inimemerlukan

    Universitas Sumatera Utara

  • pemahaman dan penilaian yang akurat tentang keabsahan dan faedahnya

    terhadap penatalaksanaan cedera otak (Bath, 2006).

    2.19 Kerangka Teori Penelitian

    Keterangan: H: inhibitor HMG CoA Reduktase A: ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro

    10

    Universitas Sumatera Utara