Chapter 18

19
BAB 18 Penyakit Imunologi 1 BAB 18 Penyakit Imunologi Jane C. Atkinson, DDS Matin M. Imanguli, DDS Stephen Challacombe, PhD, FDSRCS, FRCPath Prinsip-prinsip Umum Penyakit Imunologi Imunologi, merupakan cabang kecil dari mikrobiologi, yang telah berkembang menjadi bidang utama penelitian biomedis. Setiap bulan, temuan baru yang diterbitkan semakin memperluas pemahaman kita terhadap respon kekebalan tubuh, gen yang mengontrol imunitas, patologi, biologi oral, biokimia, imunopatologi, dan neuroimunologi. Beberapa obat-obatan modern menargetkan jalur imun spesifik, seperti pengenalan antigen atau presentasi antigen. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang imunologi diperlukan untuk mengobati pasien yang menerima agen imunomodulasi untuk memahami mekanisme aksi dan efek samping yang mungkin timbul. Konsep dasar dari respon imun dibahas dalam bab ini. Namun, pembaca harus mempelajari teks-teks yang lebih lengkap untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip imunologi. 1 Imunitas: Perlindungan terhadap Penyakit Sistem kekebalan tubuh atau imun adalah sistem multifaset yang melawan gangguan dari lingkungan dan yang fungsi utamanya adalah perlindungan terhadap infeksi. 1 Imun menetralkan antigen asing atau "nonself" yang diekspresikan oleh berbagai macam agen mikroba dan beberapa tumor. Sistem yang terkoordinir ini harus dapat melihat antigen sebagai benda asing, menghasilkan sinyal aktivasi, menghasilkan berbagai protein efektor yang menetralisir patogen atau mengaktifkan sel lain, dan menurunkan proses inflamasi setelah agen asing dihilangkan. Respon imun pada vertebrata sering diklasifikasikan menjadi dua sistem fungsional: sistem bawaan atau innate dan sistem spesifik atau adaptif. Dua sistem ini sangat terkoordinasi dengan sinyal penghubung. Keuntungan biologis memiliki dua sistem pertahanan adalah bahwa kekebalan bawaan menghilangkan entitas asing secara non-spesifik, sedangkan respon imun adaptif yang sangat spesifik dan target. Namun, respon adaptif membutuhkan waktu beberapa hari untuk berkembang setelah pengenalan antigen, sedangkan respon bawaan adalah segera atau langsung. Imunitas Bawaan (Innate Immunity) Respon kekebalan tubuh bawaan dibagi lagi menjadi barrier fisik, seperti kulit atau mukosa yang memiliki berbagai peptida dan molekul antimikroba, dan sel-sel beredar yang memiliki reseptor untuk mengenali berbagai patogen. Dalam rongga mulut, mukosa mulut ditutupi dengan lapisan mucin yang merupakan barrier fisik. Selain memblokir penetrasi patogen, sel mukosa mulut memproduksi peptida antimikroba yang membunuh atau membatasi banyak organisme. Saliva memainkan peran penting dalam kekebalan bawaan. Beberapa protein saliva memiliki antimikroba, imunomodulator, dan anti-inflamasi, termasuk histatin, beta-defensin, cystatin, cathelicidin, laktoferin, lisozim, dan mucin. 2 Banyak dari protein ini sangat dilestarikan di antara spesies yang jauh, menekankan betapa pentingnya evolusi mereka. 3 Sel-sel utama pada sistem kekebalan tubuh bawaan adalah fagosit (neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan makrofag), natural killer (NK) sel, sel T tertentu seperti sel T gamma-delta dan sel NK T, dan denditric cells (DC). Lebih dari 70

description

mmm

Transcript of Chapter 18

BAB 18 Penyakit Imunologi

13

BAB 18

Penyakit Imunologi

Jane C. Atkinson, DDS

Matin M. Imanguli, DDS

Stephen Challacombe, PhD, FDSRCS, FRCPath

Prinsip-prinsip Umum Penyakit Imunologi

Imunologi, merupakan cabang kecil dari mikrobiologi, yang telah berkembang menjadi bidang utama penelitian biomedis. Setiap bulan, temuan baru yang diterbitkan semakin memperluas pemahaman kita terhadap respon kekebalan tubuh, gen yang mengontrol imunitas, patologi, biologi oral, biokimia, imunopatologi, dan neuroimunologi. Beberapa obat-obatan modern menargetkan jalur imun spesifik, seperti pengenalan antigen atau presentasi antigen. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang imunologi diperlukan untuk mengobati pasien yang menerima agen imunomodulasi untuk memahami mekanisme aksi dan efek samping yang mungkin timbul. Konsep dasar dari respon imun dibahas dalam bab ini. Namun, pembaca harus mempelajari teks-teks yang lebih lengkap untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip imunologi.1

Imunitas: Perlindungan terhadap PenyakitSistem kekebalan tubuh atau imun adalah sistem multifaset yang melawan gangguan dari lingkungan dan yang fungsi utamanya adalah perlindungan terhadap infeksi.1 Imun menetralkan antigen asing atau "nonself" yang diekspresikan oleh berbagai macam agen mikroba dan beberapa tumor. Sistem yang terkoordinir ini harus dapat melihat antigen sebagai benda asing, menghasilkan sinyal aktivasi, menghasilkan berbagai protein efektor yang menetralisir patogen atau mengaktifkan sel lain, dan menurunkan proses inflamasi setelah agen asing dihilangkan.Respon imun pada vertebrata sering diklasifikasikan menjadi dua sistem fungsional: sistem bawaan atau innate dan sistem spesifik atau adaptif. Dua sistem ini sangat terkoordinasi dengan sinyal penghubung. Keuntungan biologis memiliki dua sistem pertahanan adalah bahwa kekebalan bawaan menghilangkan entitas asing secara non-spesifik, sedangkan respon imun adaptif yang sangat spesifik dan target. Namun, respon adaptif membutuhkan waktu beberapa hari untuk berkembang setelah pengenalan antigen, sedangkan respon bawaan adalah segera atau langsung.

Imunitas Bawaan (Innate Immunity)

Respon kekebalan tubuh bawaan dibagi lagi menjadi barrier fisik, seperti kulit atau mukosa yang memiliki berbagai peptida dan molekul antimikroba, dan sel-sel beredar yang memiliki reseptor untuk mengenali berbagai patogen. Dalam rongga mulut, mukosa mulut ditutupi dengan lapisan mucin yang merupakan barrier fisik. Selain memblokir penetrasi patogen, sel mukosa mulut memproduksi peptida antimikroba yang membunuh atau membatasi banyak organisme. Saliva memainkan peran penting dalam kekebalan bawaan. Beberapa protein saliva memiliki antimikroba, imunomodulator, dan anti-inflamasi, termasuk histatin, beta-defensin, cystatin, cathelicidin, laktoferin, lisozim, dan mucin.2 Banyak dari protein ini sangat dilestarikan di antara spesies yang jauh, menekankan betapa pentingnya evolusi mereka.3Sel-sel utama pada sistem kekebalan tubuh bawaan adalah fagosit (neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan makrofag), natural killer (NK) sel, sel T tertentu seperti sel T gamma-delta dan sel NK T, dan denditric cells (DC). Lebih dari 70 jenis leukosit kini telah dikenali dan diidentifikasi dari cluster of differentiation (CD) dengan antigen permukaan. Sel-sel fagositik utama adalah jaringan makrofag dan neutrofil, yang berasal dari prekursor myeloid umum dalam sumsum tulang. Fagosit tersebut menginternalisasi bahan asing dengan menciptakan endosome, dimana patogen potensial terdegradasi pada akhirnya. Proses ini terjadi ketika material tersebut terikat oleh antibodi spesifik dan/atau komplemen, dikenal sebagai proses opsonisasi. Fungsi utama lain dari internalisasi materi asing adalah memproses dan presentasi antigen ke limfosit untuk memulai respon imun adaptif. Hal ini terutama merupakan fungsi DC yang berasal dari prekursor hematopoietik dan bermigrasi ke dalam jaringan, tetapi makrofag dan sel B juga dapat melakukan fungsi ini.1 Makrofag juga mengaktifkan limfosit T melalui sekresi sitokin.Sekitar 75% dari sel-sel darah putih yang beredar merupakan neutrofil. Neutrofil diaktifkan oleh produk bakteri dan sitokin lain yang dihasilkan selama peradangan. Untuk berfungsi dengan tepat, neutrofil juga harus memiliki reseptor yang tepat, memungkinkan mereka untuk meninggalkan sirkulasi dan bermigrasi ke daerah peradangan. Masa hidup neutrofil pendek (rata-rata 24 sampai 48 jam), dan pelepasan neutrofil oleh sumsum tulang meningkat dalam merespon infeksi tertentu. Jumlah sel NK mencapai 10%-15% dari limfosit darah perifer. Sel NK tidak memiliki reseptor sel T atau B dan terkonsentrasi dalam darah perifer, limpa, dan epitel mukosa. Fungsi utama sel NK adalah untuk menginduksi sitolisis pada tumor atau sel yang terinfeksi virus dan mengsekresi sitokin yang mendukung pematangan DC dan mendukung fungsi sel T dan B. Reaksi sitotoksik sel NK tidak tergantung pada presentasi antigen dalam konteks major histocompatibility complex (MHC). Efektor utama lain dari imunitas bawaan adalah komplemen, yang merupakan gabungan dari 30 protein1 dengan beberapa fungsi, termasuk lisis patogen, opsonisasi mikroorganisme untuk fagositosis, kemotaksis dan aktivasi leukosit dan sel mast, pembersihan kompleks imun, dan peningkatan presentasi antigen . Komponen utamanya bertindak dalam urutan tertentu dan berurutan mengaktifkan satu sama lain. Sistem komplemen sangat diatur untuk meminimalkan kerusakan jaringan host akibat inflamasi.

Imunitas Adaptif (Didapat)Presentasi AntigenSebuah respon imun yang sangat spesifik berkembang setelah limfosit spesifik mengenali antigen asing, dirangsang, dan terbagi. Dua hasil dari proses ini adalah terbentuknya populasi sel T yang menarget satu antigen dan produksi antibodi antigen spesifik oleh sel B. Presentasi dan pengenalan antigen adalah pusat dari proses ini. Antigen harus diproses dan terikat dengan molekul MHC kelas I atau II pada permukaan antigen-presenting cell pada sel T untuk mengena linya melalui reseptor sel T. Molekul MHC, diekspresikan oleh kebanyakan sel manusia, memperkenalkan baik self-antigen maupun nonself antigen ke sel T. Sel T mengenali molekul MHC sebagai "self" dan biasanya tidak mengaktifkan jika tidak ada keberadaan nonself-antigen. Selain sinyal primer melalui reseptor spesifik (reseptor sel T pada sel T atau imunoglobulin pada permukaan sel B), sel T dan B harus menerima sinyal costimulatory dari coreceptor dan sitokin untuk mengaktifkan dan berproliferasi.

Cell-Mediated ImmunitySetelah produksi di sumsum tulang, prekusor sel T bermigrasi ke timus, dimana repertoire sel T fungsional dipilih melalui seleksi positif dan penghapusan klonal. Setelah itu, sel-sel T mengisi daerah paracortical kelenjar getah bening dan white pulp pada limpa dan merupakan 70%-80% dari limfosit yang beredar dalam darah perifer. Ketika diaktifkan, sel T menghasilkan beberapa sitokin, yaitu protein pluripotential yang dapat menaikkan dan menurunkan proses inflamasi. Ada dua subset utama sel T, yang menanggung coreceptor CD4 atau CD8 pada permukaannya. Coreceptor CD4 mengikat secara eksklusif pada molekul MHC kelas II dari antigen-presenting cell, dan sel-sel T ini berkembang menjadi sel T helper. Sel T helper kemudian dibagi lagi menjadi sel Th1 atau sel Th2 berdasarkan profil sekresi sitokin mereka. Sel Th1 mensekresikan sitokin seperti interferon- dan interleukin (IL)-2 yang mengaktifkan makrofag dan menyebabkan fagositosis organisme intraseluler, seperti jamur dan mikobakteri tertentu. Organisme ekstraselular, seperti cacing dan parasit, terutama dieliminasi melalui aksi sel Th2, yang menarik dan mengaktifkan eosinofil. Sel Th2 mensekresi IL-4 dan IL-10 di samping sitokin lain dan memberikan sinyal costimulatory yang memungkinkan sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Antigen tertentu (terutama virus dan tumor) diproses dalam sitoplasma oleh proteosome dan dipresentasikan pada molekul kelas I MHC untuk sel T CD8.1 Sel-sel ini kemudian berproliferasi dan menjadi limfosit T sitotoksik, yang akhirnya menimbulkan lisis dari host yang terinfeksi atau berubah selnya. Gerakan leukosit antara darah dan jaringan tergantung pada spektrum dari molekul adhesi sel endotel leukosit yang dikenal sebagai selectin, integrin, dan molekul adhesi interseluler. Aktivitas leukosit dalam jaringan dimodulasi oleh sitokin, termasuk ILs.ANTIBODI (IMUNITAS HUMORAL)

Sel B bermigrasi dari sumsum tulang dan folikel-folikel disekitar germinal center dari limphnode, limpa dan tonsil. Produksi antibodi secara efektif terjadi setelah sel B mengenali antigen melalui ikatan antar immunoglobulin dan reseptor pada permukaaan dan menerima sinyal dari sel T helper. Awalnya respon imun humoral, sel B berdiferensiasi menjadi Ig M yang diproduksi sel plasma. Perkembanagan lebih lanjut dari respon imun humoral meliputi peningkatan afinitas dan diversitas antibodi melalui proses matirasi afinitas dan hipermutasi somatic. Selain itu penyusunan kembali gen, sebagian besar sel B memproduksi satu dari beberapa isotope antibodi (IgA, IgD, IgG, atau IgE). Isotope IgG mempunyai jumlah lebih sedikit daripada IgA, IgM, dan IgE yang ditemukan dalam serum. Saliva terdiri dari IgA dan IgM.

Tiap immunoglobulin mempunyai zat kimia dan biologi yang berbeda. Antibodi IgM adalah makromolekul yang terdiri dari 5 antibodi monomer dan diproduksi selama respon primer terhadap antigen. IgM juga berperan penting terhadap aktivasi komplemen dan pembentukan imun kompleks yang merupakan agregasi dari antibodi, antigen dan komplemen.kebanyakan IgM terdapat di intravaskuler. 75 % dari immunoglobulin yang terdapat dalam serum dan bertanggung jawab terhadap respon antibodi sekunder adalah IgG. IgG juga merupakan immunoglobulin yang melewati plasenta dan melindungi bayi yang baru lahir. IgG merupakan imunpglobulin pada cairan jaringan dan 50% dari IgG terdapat di ekstravaskuler.IgG mempunyai 4 subgroup (IgG1, IgG2, IgG3 dan IgG4), yang mana tiap subgroup mempunyai kandungan biologi yang berbeda. Serum IgA merupakan serum immunoglobulin predominan berikutnya dan kebanyakan dalam bentuk monomer. IgE mengikat sel mast dan basofil untuk menghasilkan histamine selama reaksi alergi seperti anafilaktik, demam dan asma.

Antibodi yang ditemukan pada sekresi saliva dan sekresi bronchial, secara dominan adalah isotope IgA dengan komposisi dari IgM lebih rendah. Molekul penting lain dari sekresi immunoglobulin adalah rantai J (Chain J) yang mengikat terminal dari IgM atau IgA bersama-sama untuk mencegah proteolisis dari molekul immunoglobulin yang disekresi oleh enzim. IgA dalam bentuk dimer berfungsi sebagai perlindungan terhadap virus, netralisasi enzim, agregasi bakteri dan mencegah perlekatan dari patogen ke host.

RESPON PRIMER DAN SEKUNDER

Awal pengenalan antigen dengan zat respon imun adaptif mencapai puncak pada 7-10 hari dengan IgM sebagai antibodi primer yang dihasilkan.1 Setelah respon promer sel B dan sel T menjadi sel memory yang mengenali antigen spesifik. Sehingga respon imun adaptif mengenal lebih cepat ketika antigen yang sama menyerang untuk yang kedua kalinya. Respon sekunder ini mencapai puncak pada 3-5 hari dan ditandai dengan peningkatan titer antibodi IgG.

SISTEM IMUN PADA RONGGA MULUT

Homeostasis dalam rongga mulut dipertahankan oleh sistem imun inate dan adaptif dalam hubungannya dengan flora normal mulut dan mukosa mulut. Komponen-komponen yang berkontribusi terhadap pertahanan oral termasuk air liur, kelenjar ludah besar dan kecil, protein saliva antimikroba, cairan sulkus gingiva, transudat protein plasma, sel darah putih, produk keratinosit dari mukosa oral, dan protein dari flora mikroba. Integritas mukosa mencegah penetrasi mikroorganisme dan makromolekul dalam makanan dan lingkungan yang mungkin bersifat antigenik. Sistem yang berbeda melindungi daerah spesifik di mulut. Mahkota gigi dilindungi gigi dari karies oleh sekresi saliva, meskipun sementara jumlah dan neutrofil harus cukup untuk mencegah periodontitis agresif. Kompleksitas sistem pertahanan oral yang terbaik diilustrasikan oleh studi manusia yang kekurangan bagian tertentu dari sistem kekebalan tubuh.IMMUNODEFISIENSI

Immunodefisiensi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan individu yang tidak mampu menunjukkan respon imun normal. Immunodefisiensi mungkin turun-temurun, sekunder infeksi seperti human immunodefisiensi virus (HIV), atau manifestasi sekunder terhadap penyakit utama lainnya, seperti kanker, diabetes, atau alkoholisme. Jumlah pasien immunodeficiencies meningkat secara signifikan. Organ atau sel induk hematopoietik transplantasi atau hematopoetik stem cell transplantation (HSCT), terapi kanker, dan perawatan untuk berbagai macam penyakit autoimun dapat menyebabkan imunosupresi yang mendalam.IMMUNODEFIENSI PRIMER

Meskipun jarang, pasien dengan immunodefisiensi primer dipelajari secara intensif untuk membantu menentukan sistem kekebalan tubuh manusia. Pengamatan infeksi mereka yang seksama dan ditambah dengan studi laboratorium sel imun tubuh mereka, dapat membantu menentukan jalur spesifik yang dapat melawan jenis mikroorganisme yang berbeda. Secara umum, infeksi tipe tertentu ditemukan pada immunodefisiensi yang berbeda (Tabel 1).

Oleh karena itu, ketika mengevaluasi pasien yang dicurigai memiliki keadaan immunodefisiensi, maka seorang operator (immunologist) perlu mencatat agen mikrobiologis dan frekuensi infeksi. Misalnya, pada pasien yang mempunyai recurrent viral infection dan oral candidiasis, dokter akan menduga kalau ini disebabkan karena cacat dari sel T dan bukan karena selektif defisiensi IgG. Contoh kategori immunodefisiensi primer yang berbeda ditinjau kembali pada bab ini. DEFISIENSI IMUNITAS INNATE (BAWAAN): DEFISIENSI FAGOSITAgar dapat berfungsi dengan benar, neutrofil dan monosit harus bermigrasi ke tempat yang terinfeksi, proses ini dikenal sebagai chemotaxis, fagositosis bakteri, dan memiliki kapasitas untuk menelan patogen. Infeksi yang berulang disertai dengan bakteri staphylococci, Pseudomonas, Candida, dan fungi lainnya dapat terjadi jika jumlah neutrofil sangat menurun atau fungsi fagosit yang sangat tidak normal (lihat Tabel 1) .4 Penyakit penurunan jumlah dan fungsi neutrofil dibahas dalam Bab 16, " Penyakit Hematologi. "

Tabel 1. Suseptibitas infeksi dan komplikasi oral pada immunodefisiensi tertentuKEKURANGAN IMUNITAS ADAPTIFGabungan Defisiensi Sel T-Dan B

Severe Combined Immunodeficiency (SCID). Anak yang lahir dengan SCID kebanyakan ditemukan mempunyai immunocompromised. Jika tidak dilakukan perawatan, maka anak itu akan mati karena infeksi sebelum mencapai umur 1 tahun.5 Anak yang memiliki sedikit atau tidak ada sirkulasi dari sel B dan sel T akan rentan terhadap infeksi dari beberapa bakteri, virus, dan jamur. SCID merupakan cacat genetik yang dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori : adenosine deaminase (ADA), mutasi dalam subunit c reseptor sitokin yang menghasilkan X-linked SCID, mutasi pada recombination-activating gene 1 atau 2 (RAG1 atau RAG2), dan mutasi pada rantai CD3 dan CD3. Mutasi gen ini menghambat pematangan sel B dan sel T. HSCT adalah pengobatan standar untuk anak-anak sekarang,6 tetapi banyak anak yang mungkin tidak memiliki HLA (Human Leukocyte Antigen) yang cocok dengan saudaranya. Terapi gen secara ex vivo berhasil digunakan untuk memperbaiki immunodefisiensi pada 20 anak-anak dengan defisiensi ADA. Sayangnya, penyakit pada tiga anak ini kemudian berkembang menjadi T-cell leukemia, tetapi penelitian terbaru mungkin dapat menghasilkan vektor gen yang lebih aman untuk pengobatan bagi pasien.7Tabel 1. Suseptibitas infeksi dan komplikasi oral pada immunodefisiensi tertentu

Kerusakan ImunContoh penyakitSuseptibilitas infeksi yang umumKomplikasi oral

Penurunan jumlah neutrofil yang parah Sindrom Kostmann; neutropeni congenital beratInfeksi bakteri intraoral dan ekstraoral; infeksi fungi Periodontitis agresif; dentition gigi sulung dan permanen; ulserasi oral yang rekuren; penyembuha luka yang lama; kandidiasis oral

Kemotaksis dari neutrofil rusakKekurangan adesi keukositInfeksi bakteri intraoral dan ekstraoral; infeksi fungiPeriodontitis agresif; dentition gigi sulung dan permanen; ulserasi oral yang rekuren; penyembuha luka yang lama; kandidiasis oral

Tidak diketahuiSindrom job Infeksi membran mukosa dan kulit, pada umumnya akibat staphylococcus dan candidaEksfoliasi gigi primer yang tertunda, cacat pada tengah lidah; kandidiasis oral;karakteristik wajah dengan nasal bridge yang luas

Penurunan jumlah sel B dan sel T yang parah Kombinasi immunodefisiensi yang parahSemua tipe infeksiKandidiasis oral; herpes; ulserasi oral rekuren, NUG berat

Penurunan jumlah sel TSindrom DiGeorgeInfeksi virus dan jamur yang rekurenOral kandidiasis; infeksi herpes rekuren

Fungsi sel T abnormalMHC kelas I kekurangan sel T CD8Infeksi virus, jamur dan saluran pernapasanOral kandidiasis; infeksi herpes rekuren

MHC kelas II kekurangan sel T CD4Infeksi virus, jamur dan saluran pernapasanOral kandidiasis; infeksi herpes rekuren

Penurunan jumlah sel B yang parahBrutons linked gammaglobunemiaInfeksi pada sinus dan saluran pernafasan yang rekuren dengan bakteri ekstraselulerSepsis dari infeksi odontogen

Defisiensi immunoglobulin secara tersendiri (soliter)Defisiensi IgA secara selektif

Defisiensi IgG secara selektifBervariasi, mungkin tidak memiliki gejala atau infeksi sinus dan saluran nafas yang rekurenKandidiasis; ulserasi oral; laporan lain menyebutkan tidak ada perubahan oral

Kemungkinan sepsis dari infeksi odontogen

Komplikasi oral yang ditemukan pada anak dengan SCID seperti ulserasi,6,8 kandidiasis,9 dan infeksi virus herpes.10 Ada kemungkinan komplikasi yang dapat ditemukan pada anak-anak yang diobati dengan HSCT terkait dengan transplantasi dan penyakit graft-versus-host (lihat Bab 19, "Transplantasi Medicine ").

Wiskott-Aldrich Syndrome. Wiskott-Aldrich syndrome (WAS) adalah gangguan X-linked langka yang ditandai dengan thrombocytopenia, microcytic platelets, eczema, infeksi berulang, dan peningkatan insiden penyakit autoimun dan keganasan.11 Manifestasi klinis yang terjadi tak lama setelah kelahiran meliputi petechiae, bruising, dan bloody diarrhea. Komplikasi seperti otitis media, pneumonia dari bakteri, dan infeksi kulit adalah masalah yang sering terjadi. Central defect di WAS adalah cacat pada gen WAS, yang terlibat dalam transduksi sinyal dari permukaan sel kekebalan ke actine sitoskeleton. Tingkat keparahan dari defisiensi imun di WAS bervariasi antara keluarga dan tergantung pada lokasi mutasi pada gen ini. Mutasi mempengaruhi baik sel T, sel B, dan trombosit. Anak-anak yang lahir dengan WAS awalnya mungkin memiliki jumlah sel T yang normal, namun jumlah sel T tersebut mungkin akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia anak-anak dan jumlah sel B mungkin dapat menurun atau normal. Meskipun pasien WAS menghasilkan beberapa antibodi, mereka sering memiliki gangguan respon terhadap antigen polisakarida. Peningkatan insiden lymphoma sel B termasuk dalam masalah klinis lainnya.12 Manifestasi oral yang dilaporkan meliputi purpura, candidiasis, dan infeksi virus herpes.

Ataksia-telangiectasia. Ataksia-telangiectasia (AT) adalah suatu kelainan yang turun temurun, autosomal recessive, kelainan degeneratif yang ditandai oleh cerebellar degeneration. Bentuk klasik AT merupakan hasil dari mutasi gen ATM, yang secara luas terlibat dalam respon seluler untuk pemotongan unit ganda asam deoksiribonukleat (DNA).13 Hal ini diperkirakan terjadi pada 1:40,000 untuk 1:300,000 kelahiran, laki-laki dan perempuan mempunyai pengaruh yang sama.13,14 Tanda klinis awal termasuk kerusakan gait antara 1 dan 4 tahun, dengan ataksia lanjutan. Tanda-tanda lain adalah ocular telangiectases, facial telangiectases dan immunodefisiensi yang bervariasi, termasuk sinopulmonary infections.14,15 Telangiectases pada kulit dan mata menjadi jelas setelah bayi lahir. Meskipun tidak semua pasien dengan AT memiliki immunodeficiency, 75% pasien AT dapat dibuktikan mempunyai kekurangan sel T,14 dengan 60% memiliki penurunan serum IgA, IgG2, dan IgG4.14,15 Pengurangan pelepasan sel T oleh thymus dianggap sebagai mekanisme immunodefisiensi pada penyakit ini. Pasien dengan infeksi berulang diperlakukan dengan intravena pooled imunoglobulin. Sekitar 10 sampai 15% dari pasien dengan AT berkembang menjadi kanker yang berasal dari limfoid pada masa anak-anak.13 Banyak infeksi oportunistik yang berhubungan dengan defisiensi sel T, termasuk kutil, herpes simplex, molluscum contagiosum, candidal esophagitis, dan herpes zoster.15

DEFISIENSI SEL T

Penurunan Jumlah Sel T

DiGeorge Syndrome (Velocardiofacial Syndrome). Setelah diproduksi di sumsum tulang, sel progenitor dari limfosit T bermigrasi ke thymus untuk diseleksi lebih lanjut dan berdiferensiasi.1 Sebelum memasuki thymus, limfosit T tidak mengekspresikan reseptor sel T, atau CD4 atau CD8 markers. Sel T yang ada di thymus memperoleh molekul CD4 atau CD8, dan sel T autoreaktif akan dihapus melalui proses seleksi negatif. Anak-anak dengan DiGeorge Syndrome memiliki kegagalan dalam pengembangan thymus sekunder secara sempurna untuk penghapusan hemizigot dari 22q11.2.17 Akibatnya, ada perkembangan abnormal dari jaringan facial dan jaringan neural crest, yang akhirnya mengarah pada penyimpangan / kelainan perkembangan dari thymus, kelenjar paratiroid, pembuluh besar jantung, dan kraniofasial yang kompleks. Mungkin ada aplasia sebagian atau seluruh dari thymus. Sekitar 90 sampai 95% dari anak-anak dijumpai adanya cacat jantung, hypocalcemia, dan penurunan peredaran sel T.

DiGeorge syndrome adalah gangguan klasik prototipikal sel T. Tidak adanya jumlah sel T yang memadai (CD4 dan CD8) akan menyebabkan immunodefisiensi yang ditandai dengan kerentanan terhadap infeksi virus dan jamur. Tingkat keparahan defisiensi dari sel T tergantung pada tingkat hipoplasia dari thymus. Meskipun ada anak yang mungkin dijumpai dengan adanya florid candidiasis (Gambar 1), dan beberapa pasien yang memiliki peluang infeksi oportunistik yang sangat kecil.17 Pasien yang tidak mempunyai thymus dapat dirawat dengan cara transplantasi thymus.18 Konsekuensi jangka panjang dari thymus hypoplasia meliputi peningkatan penyakit autoimun, termasuk trombositopenia idiopatik, dan kecenderungan untuk mengalami keganasan.17 Tanda dari DiGeorge syndrome pada daerah Craniofacial termasuk cleft palate (hingga 11%), bifid uvula, oral candidiasis, short palpebral fissures, mulut kecil, dahi yang menonjol, enamel hypoplasia, dan anterior glottic webs.17,19 Skizofrenia terjadi disertai dengan peningkatan frekuensi pada pasien tersebut.17

Gambar 3. Kandidiasis kronis pada pasien Digeorge sindrom dengan lesi di kaki.

(Jos, 2010)

Defek Kualitatif sel T

Defek pada MHC.

Jika gen penting pengkode protein MHC bermutasi, dapat terjadi penurunan dari kedua respon cell-mediated dan humoral. Immunodefisiensi terkait dengan defek MHC pada awalnya disebut "Bare Lymphocyte Syndrome." Penelitian lebih lanjut menetapkan bahwa Sindrom ini meliputi beberapa penyakit yang dimediasi oleh defek dalam ekspresi molekul MHC. Pasien tidak mampu untuk mengekspresikan antigen MHC kelas I dengan benar serta presentasi antigen peptida ke CD8 sel T yang kurang memadai. Hal ini mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik. Defek Ekspresi di MHC kelas II akhirnya mengakibatkan penurunan CD4 sel T yang membutuhkan molekul-molekul ini untuk pematangan. Meskipun jumlah sel B normal pada pasien dengan defek MHC, tingkat imunoglobulin serum yang menurun sebagai akibat kegagalan sel T untuk mempresentasikan antigen sel-sel B. Candida albicans, virus herpes simpleks, dan patogen oportunistik lainnya dapat menginfeksi rongga mulut pasien, yang memungkinkan pasien mati di usia muda tanpa HSCT.20

DEFISIENSI SEL B

Jumlah sel B yang inadekuat atau fungsi secara klinis dalam tingkat sirkulasi antibodi yang tidak memadai disebut hypogammaglobulinemia.1 bakteri Ekstraseluler sering menyebabkan infeksi pernapasan dan infeksi sinus pada pasien dengan defek (kerusakan) sel B, menunjukkan pentingnya antibodi untuk pertahanan jaringan-jaringan. Penurunan resistensi terhadap infeksi bakteri adalah tanda utama dari pasien dengan defisiensi sel B, sehingga pasien ini dapat mengalami sepsis dari infeksi odontogenik.21 juga adanya peningkatan kerentanan terhadap ulserasi oral.Penurunan Jumlah Sel B

Bruton X-Linked Agammaglobulinemia dan Non-Brutons Agammaglobulinemia. Pematangan sel B dan produksi antibodi adalah serangkaian peristiwa yang kompleks dengan beberapa langkah. Awalnya, prekursor diproduksi di tulang sumsum, di mana ia berkembang menjadi sel pro-B. Sel pro-B harus berhasil transisi melalui pre-BI dan pre-B-II sebelum meninggalkan sumsum tulang. Dua immunidefisiensi genetik utama disebabkan oleh mutasi pada gen yang terlibat dengan proses ini adalah brutons X-linked agammaglobulinemia dan non-Brutons agammaglobulinemia.

Brutons X-linked agammaglobulinemia adalah gangguan yang sangat langka (diperkirakan terjadi pada 1 dari 200.000 kelahiran) ditandai dengan Penurunan jumlah dari sirkulasi sel B dan sedikit bahkan tidak ada sirkulasi immunoglobulin.22 Bayi dengan immunodefisiensi dilindungi dari infeksi oleh antibodi ibu, sehingga diagnosis mungkin tertunda selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. Tanda klinisnya adalah anak laki-laki dengan infeksi paru berulang dan infeksi sinus. Pasien memiliki insiden pneumonia, artritis, dan meningitis yang tinggi dan mungkin disertai dengan dengan diare serta otitis media. Organisme yang sering terlibat dalam infeksi termasuk streptococci, staphylococci, Pseudomonas, dan Haemophilus influenza.22,23 cacat atau kerusakan utama pada Brutons X-linked agammaglobulinemia adalah mutasi gen Btk yang dikodekan dalam 19 ekson pada Xq22.22 dan dinyatakan dalam semua tahapan pematangan sel B kecuali untuk tahap plasma sel. Lebih dari 174 mutasi yang unik di Btk telah diidentifikasi dari 199 keluarga sampai saat ini, tetapi sulit untuk menghubungkan antara mutasi dengan fenotipe klinik secara spesifik. Dengan pengobatan antibiotik yang agresif dan transfusi intravenous pooled imunoglobulin, pasien dengan Brutons X-linked agammaglobulinemia ini bertahan hidup hingga usia pertengahan. Banyak pasien telah mempunyai sel T dan fungsi fagosit yang adekuat, yang memberikan perlindungan dari infeksi virus dan jamur serta imunitas sel T berkembang. HSCT belum berhasil memulihkan jumlah limfosit B atau level serum immunoglobulin yang memadai.22Non-Brutons Agammaglobulinemia adalah istilah umum untuk kelompok immunodefisiensi yang memiliki gejala klinis sama dengan tanda klinis pada Brutons Agammaglobulinemia. Pasien-pasien ini mungkin laki-laki atau perempuan dan sering memiliki mutasi resesif homozigot di salah satu dari sejumlah gen yang terlibat dengan pematangan sel pro-B menjadi sel pra-B.1,21 Mereka tidak memiliki mutasi yang melibatkan gen Btk. Karena non-Brutons dan Brutons agammaglobulinemia memiliki perjalanan klinis dan kerentanan menular yang sama, sehingga kelainan tersebut ditangani dengan cara yang sama.

PENURUNAN IMMUNOGLOBULIN KELAS TERTENTU

Common Variable Immunodeficiency.

Common variable immunodeficiency (CVID) adalah jenis penyakit yang ditandai oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan jumlah yang cukup dari semua kelas antibodi, terutama IgG dan IgA.24 Timbulnya gejala klinis bervariasi, bermanifestasi pada laki-laki dan perempuan, kadang-kadang pada anak usia dini hingga pada dekade kedua atau ketiga kehidupan. Pasien memiliki tingkat kerentanan terkena infeksi yang sama dengan orang-orang penderita Brutons agammaglobulinemia dan banyak penyakit autoimun lainnya.

Mutasi genetik pada beberapa immune pathways dapat menyebabkan fenotip klinis CVID. Beberapa gen ini mengatur ekspresi permukaan sel ligan yang diperlukan untuk interaksi T-sel-B-sel.24 Tanpa interaksi ini, sel B tidak dirangsang untuk membuat antibodi. Dua contoh tersebut adalah mutasi dari gen inducible T-cell costimulator gene (ICOS) (ICOS) dan mutasi dari TNFRSF13B, yang mengkode transmembrane activator dan calcium modulator dan cyclophilin ligand interactor (TACI). Diharapkan studi genetika di masa akan datang akan dapat mengidentifikasi mutasi baru dan defisiensi fungsional dalam pada kebanyakan penderita.

Selective Immunoglobulin Deficiencies.

Selective immunoglobulin deficiencies ditandai oleh ketidakmampuan untuk menghasilkan satu kelas dari antibodi.1 Penyakit ini sangat bervariasi dalam gambaran klinis. Banyak pasien memiliki sistem kekebalan tubuh yang berfungsi penuh, dan defisiensi immunoglobulin disebabkan oleh masalah lain. Pasien biasanya sehat karena immunoglobulin dari kelas lain memberikan pertahanan humoral yang memadai. pada pasien lain hadir dengan infeksi pernapasan berulang, yang mengarah ke diagnosis. Immunoglobulin isotypes, seperti subkelas IgG, harus dipertimbangkan untuk membuat diagnosis.

Imunodefisiensi yang paling umum adalah defisiensi IgA selektif,terjadi pada 1 : 400 hingga 1: 2.000 orang.21,25 Beberapa orang tidak mengalami keluhan, beberapa mengalami infeksi kronis pada pernafasaan atau pencernaan.21,25 Penyakit autoimun seperti lupus erythematosus sistemik (LES), rheumatoid arthritis (RA) dan anemia pernisiosa sering terjadi akibat defisiensi ini.25,26 Dalam perkembangannya, maturasi B-cell pad defisiensi IgA mengalami gangguan. Pada beberapa penelitian, 8% dari penderita defisiensi IgA akan mengalami penurunan IgG2 dan sebanyak 27% pada IgG4.25 IgA adalah immunoglobulin utama yang disekresi pada saliva, kesehatan mulut dari penderita ini telah dipelajari. Namun tidak ada bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa pasien dengan imunodefisiensi selektif memiliki peningkatan karies gigi atau penyakit periodontal.21,27 Dalam suatu studi, anti-streptococcus mutans salivary IgM lebih tinggi pada pasien tanpa IgA saliva, menunjukkan peran IgM yang mengkompensasi hilangnya IgA pada populasi ini.28

JOBS SYNDROME

Hyperimmunoglobinemia E Syndrome/Jobs Syndrome.

Sindrom ini, juga dikenal sebagai sindrom Buckley, yaitu gangguan sistemik dengan adanya manifestasi pada oral. Pasien memiliki defisiensi imun yang tidak diketahui, perubahan pada tulang, dan manifestasi kraniofasial lainnya.29 Mutasi genetik yang terkait dengan jobs syndrome masih belum diketahui. Salah satu yang sering ditemukan pada pemeriksaan laboratorium adalah peningkatan serum IgE, 29 tetapi tidak semua pasien menunjukkan kelainan tersebut. Secara klinis, pasien menderita eczema, abses staphylococcal, pneumonia, dan kandidiasis. Manifestasi oral meliputi kandisiasis oral ( hingga 83%), kelainan pada garis tengah lidah, dan delayed resorption dan exfoliation of the primary teeth.30 Jobs syndrome biasanya ditandai dengan broad nasal bridge, dahi menonjol, dan tekstur kulit kasar. Masalah pada skeletal meliputi patah tulang yang rekuren, sendi hyperextensible, dan skoliosis. 29

Gambar 4 Foto panoramik dari penderita Jobs Syndrome berumur 14 tahun menunjukan adanya kelainan dari resorbsi akar gigi sulung (O'Connell AC,2000)IMUNODEFISIENSI SEKUNDERBanyak gangguan sekunder terkait dengan penurunan jumlah atau fungsi dari berbagai komponen dari sistem imun tubuh, yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi. Sama halnya seperti imunodefisiensi primer, jenis infeksi yang diderita oleh pasien dengan imunodefisiensi sekunder bergantung pada komponen dari sistem imun tubuh mana yang terganggu, meskipun, seringkali defek multipel yang muncul. Imunodefisiensi sekunder berasal dari produksi yang menurun maupun peningkatan penghancuran dari sel imun atau kehilangan komponen imun humoral.

SISTEM KEKEBALAN BAWAAN

Seluler ( Neutrofil Primer )

Neutropenia dapat terjadi dalam beberapa kondisi, termasuk keganasan hematologi, terutama ketika keganasan menekan pertumbuhan myeloid precursors. Penurunan jumlah neutrofil sering terjadi selama kemoterapi kanker, transplantasi stem cell, anemia aplastik, dan neutropenia autoimun (lihat chapter 16, penyakit hematologi). Secara progresif terdapat peningkatan resiko infeksi pada pasien dengan jumlah neutrofil yang rendah, mulai pada absolute neutrophil count (ANC) dari 1.000 sel/mm3. Namun, sebagian besar infeksi terjadi dengan jumlah di bawah 500 sel/mm3 dan khususnya di bawah 100 sel/mm3. Meskipun tidak ada bukti yang dilaporkan tentang adanya efektifitas penggunaan antibiotik profilaksis sebelum tindakan invasif perawatan dental pada pasien neutropenia, banyak ahli merekomendasikan penggunaannya pada pasien dengan ANC dibawah 1.000 sel / mm3. Setiap kali digunakan, prinsip-prinsip dasar profilaksis antibiotik harus diikuti, antibiotik harus diberikan dalam dosis tunggal sebelum prosedur dimulai. Protokol yang direkomendasikan oleh American Heart Association (AHA) yang dirancang untuk mencegah bakteremia dari rongga mulut ini terbilang yang paling efektif. 31-34Komplemen

Defisiensi yang diperoleh dalam komponen komplemen telah diamati pada penyakit liver lanjut dan dihubungkan dengan peningkatan insidensi infeksi bakteri pada pasien ini. Selain itu, disfungsi dari jalur komplemen telah dibuktikan dalam beberapa keganasan, seperti chronic lymphocytic leukemia (CLL). Kontribusi dari penemuan ini untuk meningkatkan insidensi infeksi pada pasien masih belum jelas.35,36

Sistem Imun Adaptif

Beberapa kondisi menurunkan jumlah T-cell (HIV) dan atauq fungsi (chronic graft-versus-host disease, terapi dengan inhibitor calcineurin, terapi dengan anti-tumor necrosis factor [TNF]- agents). Secara klinis, pada pasien sering timbul infeksi oportunistik. Infeksi bakteri intraseluler dan jamur (Pneumocystis carinii), virus (seperti family virus herpes dan papillomaviruses), dan parasit (Toxoplasma dan Cryptosporidium) adalah tanda yang khas dari keadaan defisiensi T cell. Kandidiasis oral seringkali merupakan tanda pertama dari infeksi HIV lanjut. Herpes zoster adalah sering ditemukan pada pasien CLL. 37

Humoral (Antibodi)

Secondary humoral Immunodeficiency dapat diamati dalam kondisi yang berhubungan dengan peningkatan loss (sindrom nefrotik) atau penurunan produksi dari imunoglobulin (multiple myeloma, CLL). Antibodi sangat penting untuk memerangi infeksi bakteri ekstraseluler primer dan pada derajat yang lebih rendah seperti, sebelum infeksi virus masuk ke dalam sel. Pasien dengan konsentrasi antibodi darah yang menurun sangat rentan terhadap infeksi sistemik dengan encapsulated bacteria seperti Streptococcus pneumoniae, Klebsiella, dan H. influenzae. 38

Gambar 5 Lesi Herpes Simplex yang rekuren pada mukosa akibat dari kemoterapi leukimia (Sol Silverman Jr,2007)

Gambar 6 Condyloma acuminata yang disebabkan oleh human pappiloma virus (Anonim, 2012)

PENYAKIT AUTOIMUN

Penyakit autoimun menunjukkan gangguan respon imun terhadap dirinya sendiri. Saat ini, terdapat bukti substansial bahwa autoimunitas merupakan pusat dari proses patologis pada lebih dari 80 penyakit.1 Penyakit autoimun utamanya terjadi akibat antibodi atau sel imun, tetapi karakteristik umumnya adalah adanya infiltrasi limfosit pada organ target. Contohnya termasuk diabetes mellitus tipe 1, autoimun tiroiditis, Sjgrens syndrome, SLE, dan multiple sclerosis. Antibodi yang beredar sering dapat dideteksi secara in vitro, dengan pengikatan sesuai substrat jaringan manusia. Dalam banyak kasus, ada bukti jelas bahwa autoantibodi terlibat dalam patofisiologi penyakit (misalnya, pemphigus), namun disisi lain, autoantibodi memiliki peran tak terdefinisi, dan kehadirannya digunakan terutama untuk diagnosis. Selain itu, autoantibodi sangat jarang spesifik untuk suatu penyakit autoimun. Mekanisme yang diyakini sebagai pusat untuk semua penyakit autoimun adalah kegagalan sistem toleransi perifer yang biasanya mengontrol autoreactive T-cell clones.Alergi dan reaksi hipersensitivitas

Dokter gigi yang modern menggunakan berbagai macam obat untuk mengobati pasien, termasuk antibiotik, hipnotik, dan anestesi. Semua praktisi yang menggunakan obat-obat ini harus tahu bagaimana mengelola reaksi merugikan yang dipicu oleh agen ini. Seorang ahli gigi juga menggunakan berbagai bahan, seperti bahan impressi, adesif, lateks, restorasif dan bahan endodontik yang mengandung alergen potensial. Ini juga termasuk pengawet, zat pewarna, fiksatif, binding agen, perasa, dan lateks.

Reaksi hipersensitivitas

Reaksi imunologis terdiri dari beberapa jenis: Tipe 1 IgE mediated (anafilaktik), tipe 2 antibodi mediated, tipe 3 (kompleks imun mediated), dan tipe 4 (Cell-mediated atau delayed hipersensitify). Reaksi tipe 1 adalah reaksi yang akut (misalnya, penisilin, lateks, atau alergi kacang) dan memerlukan tindakan segera. Tipe 2 biasanya tidak tejadi akibat adanya respon terhadap bahan gigi atau obat-obatan tetapi dapat ditemukan dalam kondisi autoimun yang mempengaruhi rongga mulut,seperti pemfigus. Kondisi seperti dibahas dalam bab "Lesi ulseratif, vesikular, dan bulosa." 3. Reaksi Tipe 3 dapat dilihat sebagai respon terhadap bahan gigi tetapi lebih banyak ditemukan dalam infeksi virus, seperti herpes labialis recurrent, sehingga menimbulkan eritema multiformis atau stevens-Johnson syndrome (manifestasi klinis yang didiskusikan dalam bab 4). Reaksi delayed-hipersensitivitas (cell-mediated atau kontak sensitivitas) terhadap bahan gigi sangat umum dan biasanya terlihat di rongga mulut dimana amalgam atau restorasi emas berada dalam kontak langsung dengan mukosa bukal atau lingual. Stomatitis yang berhubungan dengan alergi dibahas dalam Bab 4. Pada bagian ini, membahas reaksi alergi akut dan manajemennya.

Reaksi alergi akut disebabkan oleh tipe reaksi hipersensitivitas immediate yang dimediasi oleh IgE dan alergi yang paling serius. Reaksi dapat terjadi dengan cepat, reaksi anafilaksis dapat terjadi dan dihubungkan dengan pembengkakan lokal dan sistemik. Reaksi tipe 1 membutuhkan kehadiran dari sel mast dengan IgE. Pasien sebelumnya terekspos obat atau antigen lainnya yang memiliki antibodi (terutama IgE) tetap ke sel mast. Ketika antigen (dalam bentuk makanan, obat, atau zat udara) diperkenalkan kembali ke dalam tubuh, itu akan bereaksi dan membentuk cross-link antibodi sel terikat. Ini menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler dan pelepasan preformed mediator, termasuk histamin, protease, dan mediator derivat lipid yang baru disintesa seperti leukotrienes dan prostaglandin. Sitokin juga dirilis, yang menarik eosinofil dan meningkatkan respon inflamasi. Zat ini menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan kapiler permeabilitas, menyebabkan akumulasi cairan dan leukosit dalam jaringan dan pembentukan edema. Penyempitan dari otot halus bronchial terjadi ketika hasil IgE terikat dalam daerah paru. Reaksi anafilaktik mungkin lokal, memproduksi urtikaria dan angioedema, atau dapat mengakibatkan reaksi yang general, menyebabkan syok anafilaktik (Gambar 17).

Gambar 16. Urtikaria kronik karena pemakaian obat NSAID.

Anafilaksis lokal

Reaksi anafilaksis lokal melibatkan pembuluh darah superfisial yang menghasilkan urtikaria (gatal-gatal). Urticaria dimulai dengan pruritus di daerah di mana histamin dan zat aktif lainnya dilepaskan. Wheals (bekas) kemudian muncul dikulit sebagai daerah edema lokal pada basis eritematosa. Lesi dapat terjadi di mana saja pada kulit atau mukosa membran.Tampaknya ada sedikit keraguan bahwa oral mukosa ini juga terdapat mast sel dan reaksi tipe 1 dapat terjadi dalam rongga mulut. Urticaria pada bibir dan mukosa oral terjadi paling sering setelah konsumsi makanan oleh individu yang mempunyai alergi. Alergen makanan biasanya adalah coklat, kacang, kerang, dan tomat. Obat-obatan seperti penisilin dan aspirin juga dapat menyebabkan urtikaria, dan dingin, panas, atau bahkan tekanan dapat menyebabkan reaksi pada individu yang rentan. Impression material, bahan pewarna bahan pengawet, dan bahan-bahan dari obat kumur juga dapat menyebabkan local anafilaksis.

Angioedema edema (dalam literatur sebelumnya salah disebut sebagai angioneurotic) ditandai dengan cepatnya perkembangan bengkak edematous, terutama kepala dan leher, kadang-kadang disertai dengan ruam urtikaria. Ini terjadi ketika pembuluh darah yang berada di dalam jaringan subkutan terpengaruh, menyebabkan area difus yang lebar dari daerah pembengkakan subkutan di bawah kulit normal di atasnya. Reaksi ini dapat disebabkan oleh kontak dengan alergen, tetapi sejumlah besar kasus adalah idiopatik. Banyak pasien dalam waktu singkat mengalami pembengkakan wajah, tetapi jika edema terdapat di leher dan meluas ke laring, dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang fatal.

Angioedema paling sering terjadi pada bibir dan lidah dan di sekitar mata (gambar 18). Ini bersifat sementara, tetapi tidak serius kecuali bagian posterior lidah atau laring. Pasien yang berada dalam gangguan pernapasan harus segera diobati dengan 0,5 ml epinefrin (1:1.000) subkutan atau, sebaiknya, intra-muskular. Hal ini dapat diulang setiap 10 menit sampai proses pemulihan dimulai. Pasien harus diberikan oksigen, ditempatkan diposisi telentang dengan kaki tinggi kecuali ada gangguan sesak napas atau muntah, diberikan cairan intravena, dan segera dibawa ke rumah sakit. Pasien mungkin perlu intubasi untuk mempertahankan napas.124,125 Bila gangguan telah mereda, 50 mg hidroklorida diphenhydramine (Benadryl, Pfizer, Parsippany, NJ) harus diberikan empat kali sehari sampai pembengkakan berkurang.

Angioedema herediter lain adalah kondisi lain yang mengancam jiwa namun tidak berhubungan dengan alergen.126 Ini adalah penyakit genetik dengan pola dominan autosomal dari keturunan. Pengaruh yang harus diperhatikan adalah kegagalan untuk menghasilkan level adekuat dari inhibitor esterase C1, yang secara normal bertindak sebagai inhibitor dari komponen pertama komplemen dan kallikrein. Inhibitor ini mengontrol derajat aktivasi komplemen. Aktivasi kinin seperti menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler secara mendadak. C4 dikonsumsi dan kadar plasmanya menurun, namun tingkat c3 tetap normal. bentuk yang diperoleh dari angioedema di mana antibodi terbentuk berlawanan dengan C1 esterase inhibitor juga telah dijelaskan. Prosedur dental dapat memicu serangan angioedema herediter.Serangan ini tidak merespon dengan baik terhadap epinefrin, dan pasien yang terdiagnosis biasanya diobati dengan androgen danazol, yang meningkatkan C1 tingkat inhibitor plasma esterase. Plasma beku yang fresh dapat diberikan kepada pasien sebelum dental prosedur sampai rekombinan esterase C1 inhibitor tersedia untuk digunakan secara klinis.

Anafilaksis General

Anafilaksis general adalah alergi yang darurat. Mekanisme umum anafilaksis adalah reaksi IgE antibodi terhadap penyebab alergi menyebabkan pelepasan histamin, bradikinin, dan reaktif lambat substansi anafilaksis/ slow reactive substance of anaphylaxis (SRS-a) dari sel mast dan kemudian chemotactic eosinophil factor (ECF). Mediator kimia ini menyebabkan kontraksi otot-otot halus saluran pernapasan dan usus, serta meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Dalam kedokteran gigi, penisilin merupakan penyebab yang sering ditemui, tapi otot relaksan, sefalosporin, sulfonamida, vankomisin, media kontras radiografi, dan vaksin juga dapat menyebabkan anafilaksis.

Faktor-faktor berikut meningkatkan risiko pasien dari anafilaksis: (1) riwayat alergi terhadap obat lain atau makanan, (2) ariwayat asma, (3) riwayat keluarga alergi (atopi), dan (4) pemberian obat parental. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dalam hitungan detik dari pemberian obat ataudapat terjadi 30 sampai 40 menit kemudian. Gejala anafilaksis general harus diketahui sehingga diagnosis dan pengobatan yang tepat dapat segera dilakukan. Penting untuk dapat membedakan anafilaksis dari sinkup atau peristiwa hipoglikemik. Reaksi anafilatik general mungkin melibatkan kulit, sistem kardiovaskular, saluran pencernaan, dan sistem pernapasan. Yang pertama tanda-tanda sering terjadi pada kulit dan mirip dengan yang terlihat pada anafilaksis lokal (misalnya, kemerahan pada wajah, gatal-gatal, paresthesia,atau dingin perifer). Gejala paru termasuk dyspnea, mengi, dan asma. penyakit saluran cerna, seperti sakit perut dan muntah, sering mengikuti gejala pada kulit. Gejala hipotensi (kehilangan kesadaran, pucat, dan kulit teraba dingin) muncul sebagai hasil dari kehilangan cairan intravaskular. Denyut nadi menjadi cepat, lemah,dan pingsan. Jika tidak diobati, ini dapat mengarah ke syok. Pasien dengan reaksi anafilaksis meneyeluruh mungkin meninggal karena kegagalan pernapasan, shock hipotensi, atau edema laring.

Terapi yang paling penting bagi reaksi anafilaksis general adalah pemberian epinefrin. Dokter harus memiliki ampul epinefrin (pada pengenceran 1:1,000) dan jarum suntik steril mudah diakses. Untuk orang dewasa, 0,5 ml epinefrin harus diberikan intramuskular atau subkutan, dosis yang lebih kecil 0,1-0,3 ml harus digunakan untuk anak, tergantung pada ukuran mereka. Jika alergen terdapat di ekstremitas, turniket harus ditempatkan di atas tempat suntikan untuk meminimalkan penyerapan lebih lanjut ke darah. Penyerapan dapat lebih dikurangi dengan menyuntikkan 0,3 ml epinefrin (1:1.000) langsung di tempat injeksi. Tourniquet harus dihilangkan setiap 10 menit. Epinefrin biasanya akan membalikkan semua tanda-tanda anafilaksis general. Jika perbaikan tidak diamati dalam 10 menit, berikan lagi epineprin. Jika pasien terus memburuk, beberapa langkah dapat diambil, tergantung pada apakah pasien mengalami bronkospasme atau edema. Untuk bronkospasme, perlahan-lahan menyuntikkan 250 mg aminofilin intravena, selama 10 menit. Pemberian terlalu cepat dapat menyebabkan aritmia jantung yang fatal. Jangan memberikan aminofilin jika terjadi syok hipotensi. Inhalasi simpatomimetik juga dapat digunakan untuk mengobati bronkospasme, dan oksigen harus diberikan untuk mencegah atau mengelola hipoksia. Untuk pasien dengan edema laring mempertahankan jalan napas. intubasi endotrakeal mungkin dibutuhkan, dalam beberapa kasus, krikotiroidotomi yang mungkin diperlukan. Pasien yang memiliki serangan anafilaksis harus di injeksi epinefrin.125

Alergi lateks

Telah tercatat meningkatnya frekuensi alergi lateks beberapa tahun terakhir. Peningkatan penggunaan sarung tangan pelindung menyebabkan iritasi kulit yang tidak diinginkan dan reaksi mukosa. Dental staff dan mahasiswa tampaknya beresiko tinggi terkena sensitisasi lateks, yang terjadi pada awal tahun kedua penggunaan sarung tangan. Prevalensi keseluruhan peningkatan kepekaan kulit di dokter gigi dalam sejumlah studi adalah sekitar 10% dibandingkan dengan16% dalam anestesi, 5 sampai 8% pada staf rumah sakit umum, dan 9% pada perawat, meskipun hal ini mungkin 30% mempunyai gejala asma. Sebagian sensitisasi tampaknya terjadi karena terhirupnya serbuk dari sarung tangan.127

Gejala alergi lateks biasanya termasuk hipersensitivitas tipe 1, namun kontak dermatitis terhadap bahan kimia karet juga digambarkan dengan baik. Protein alergenik telah diidentifikasikan, namun pengujiannya belum rutin. Cross-reacting antigen yang ditemukan dalam pisang, buah kiwi, alpukat, dan chest-nuts. Konsep penting dari alergi lateks dapat menginduksi gejala klinis terhadap makanan tertentu (alergi makanan) diperkuat dengan demonstrasi urutan asam amino homologi antara antigen lateks dan protein dalam buah kiwi, alpukat, tomat, dan kentang. Cross-reacting antibody IgE untuk 33 dan 37 kDa antigen antara pisang dan lateks telah dijelaskan 128

Pengujian

Baru-baru ini, tes skinprick reagen yang berisi sebagian besar allergen yang dikenal secara klinis untuk diagnosis alergi latex tipe 1 sudah distandarisasi. Kandungan protein yang terdapat pada sarung tangan berkorelasi dengan immunoreaktifitas, dan rasio respon IgE ke IgG berkorelasi positif dengan tingkat keparahan gejala. Dalam kebanyakan studi, riwayat atopi merupakan faktor signifikan dalam alergi lateks. Terlihat seperti korelasi yang layak antara tes in vitro igE dan tes skinprick in vivo.

Pengelolaan

Pasien dengan alergi lateks juga dapat menunjukkan reaksi positif yang tinggi terhadap makanan tertentu, sehingga riwayat medis yang baik penting. Awalnya, urtikaria, rhinitis, dan edema kelopak mata diidentifikasi sebagai manifestasi langsung pada alergi lateks. Reaksi sistemik yang parah (seperti asma dan anafilaksis), yang dapat mengakibatkan cacat permanen atau bahkan kematian dapat diketahui sekarang. Dalam pengaturan perawatan kesehatan dua strategi utama manajemen adalah perawatan yang aman dari alergi lateks dan pencegahan dan pengobatan alergi lateks pada karyawan. Dalam mengelola pasien dengan sensitivitas lateks ,127perbedaan antara immediate reaksi hipersensitivitas lateks dan alergi kontak dermatitis karena iritasi lainnya harus ditetapkan. Pada awal evaluasi, riwayat status alergi lateks harus dibentuk dan didokumentasikan dengan jelas pada riwayat pasien. Beberapa sejarah tentang reaksi immediate hipersensitivitas pada latex mengharuskan lingkungan yang bebas latex. Operator termasuk produk nonlatex, sarung tangan "hypoallergenic" atau yang mengandung produk latex seperti manset tekanan darah dan torniket sekali pakai tidak boleh digunakan dalam sekitar orang-orang yang alergi terhadap lateks. Premedikasi dengan antihistamin, steroid, dan H2 histamin blocking agen kadang-kadang digunakan di kamar operasi, namun reaksi anafilatik terjadi meskipun telah dilakukkan pre-treatment. Pekerja yang teriritasi oleh sarung tangan harus mengganti jenis sarung tangan yang dikenakan atau mengganti jenis sabun digunakan untuk scrubbing. Selain itu, penggunaan cotton liners dan emolien mungkin bersifat efektif mencegah reaksi sensitivitas. Dalam kasus orang yang benar-benar alergi latex, menghindari semua produk lateks merupakan satu-satunya cara yang dapat mencegah reaksi alergi yang serius. Semua orang dengan hipersensitivitas lateks harus selalu membawa epinefrin auto injecttion kit dan memakai identifikasi Medic Alert. Reaksi sistemik akut terhadap lateks harus diobati dengan cara yang sama seperti reaksi anafilaksis lainnya (yaitu, saluran udara dan sirkulasi, pemberian oksigen, dan pemberian epinefrin dan steroid yang diperlukan). Dalam resusitasi, semua kontak lateks harus dihindari.129Oral Allergy Syndrome

Pembengkakan pada lidah, bibir dan langit-langit, dan tenggorokan, bersama dengan pruritis oral dan iritasi, kadang-kadang dikaitkan dengan tanda klinis alergi lain, termasuk rhinoconjunctivitis, anafilaksis urtikaria, dan bahkan anafilaksis, telah disebut dengan oral allergy syndrome 128

Hal ini tampaknya dipicu oleh makanan segar termasuk apel, pada orang yang peka terhadap reaksi silang alergen di serbuk sari, khususnya birch.130

Serum Sickness

Serum sickness adalah kondisi yang terjadi setelah masuknya serum asing, yang diberikan untuk pengobatan penyakit infeksi sebelum munculnya antibiotik. Ini adalah penyakit tipe 3 kompleks imun mediated. Reaksi ini sekarang jarang tetapi masih terjadi sebagai akibat dari pasien yang rentan terhadap pemberian antitoksin tetanus, antiserum rabies, atau obat-obatan yang dikombinasikan dengan protein tubuh untuk membentuk alergen. Patogenesis penyakit serum berbeda dari anafilaksis. Antibodi membentuk immunokompleks pada pembuluh darah dengan antigen yang diberikan. Komplemen kompleks, yang merusak pembuluh dan menyebabkan terakumulasinya leukosit pada area tersebut, memperbesar cedera jaringan. Serum sickness dan vaskulitis biasanya mulai 7 sampai 10 hari setelah terkena alergen, tapi periode ini dapat bervariasi dari 3 hari selama 1 bulan. Tidak seperti penyakit alergi lainnya, serum sickness mungkin terjadi selama awal pemberian pengobatan.

Gejala utamanya meliputi demam, bengkak, lymphadenopathy, nyeri sendi dan otot, dan ruam. manifestasi yang tidak biasa termasuk neuritis perifer, penyakit ginjal, dan iskemia miokard. serum sickness biasanya dapat sembuh sendiri, dengan pemulihan spontan dalam 1 sampai 3 minggu. Pengobatan simptomatis, aspirin diberikan untuk arthralgia, dan antihistamin yang diberikan untuk ruam kulit. Kasus yang parah harus diobati dengan kortikosteroid sistemik, yang dapat memperpendek perjalanan penyakit. Meskipun reaksi ini jarang, dokter gigi yang meresepkan penisilin harus menyadari kemungkinan serum sickness yang terjadi minggu-minggu setelah penggunaan obat. Diperkirakan bahwa penisilin mengikat protein host untuk membentuk antigen yang dapat dikenal, dan pembentukan antibodi, mereka bertemu di dinding pembuluh dan menyebabkan vaskulitis lokal.KESIMPULAN

Pertimbangan oral dalam transplantation population itu sangat luas. Dokter gigi membutuhkan pengetahuan dasar yang sangat kuat dalam pengobatan untuk meminimalkan efek sekunder yang tidak diinginkan terhadap penyediaan perawatan kesehatan mulut. Sebagai populasi yang unik, begitu pula kebutuhan untuk praktisi gigi yang berkualitas. sekarangpenting bagi dokter gigi membiasakan dirinya dengan kebutuhan khusus pasien. Kesehatan gigi mereka adalahpenting, karena itu, pasien yang telah memiliki transplantasi organ perlu memiliki pemeriksaan gigi rutin. Sekarang kewajiban bagi praktisi gigi untuk mendiagnosa expedientlydan mengobati infeksi oral apapun.Kesehatan gingiva pada populasi ini sangat penting dan harus dimonitor secara teratur,terutama karena dapat menyebabkan pertumbuhan berlebih CSA gingiva,yang menghalangi perawatan di rumah yang adekuat dan mendorong kerusakan periodontal lebih lanjut.

Bisa dibilang, pasien yang menjalani HCT alogenik harus dievaluasi lebih sering daripada populasi umum terhadap penurunan aliran saliva, yang mungkin berhubungan dengan peningkatan tingkat karies. Pertimbangan harus diberikan kepada pasien dengan tambahan aplikasi fluoride topikal.Pasien-pasien ini juga mungkin memiliki ulserasi oral dari GVHD. Ulser ini dapat berfungsi sebagai portal of entry untuk setiap oral patogen untuk menginfeksi host yang immunocompromised.Riwayat medis pasien harus diperbarui dengan setiap dental appointment. Koordinasi yang erat dengan dokter ahli transplantasi diperlukan karena kondisi medis pasien dapat berubah dengan cepat.

Seperti halnya dengan semua pasien gigi, kebersihan mulut sulit untuk dicapai hanya dengan layanan profesional klinisi. Sangat penting untuk memberikan instruksi kebersihan mulut dan untuk mendiskusikan dengan pasien kebutuhan kebersihan yang sesuai untuk mencegah infeksi oral. Pasien-pasien ini dapat menjadi risiko tinggi komplikasi yang serius, bahkan jika awalnya merupakan infeksi gigi yang minimal. Pasien juga harus diajarkan untuk melakukan pemeriksaan oral dan didorong untuk sering melakukan itu s di rumah. Prosedur ini memungkinkan pasien untuk terus memonitor kondisi mulut sendiri dan untuk membantu doker gigi dalam mendiagnosis dini keadaan patologis.BACAAN PILIHAN

Caillard S , D harnidharka V , A godoa L , et al. P osttransplant lymphoproliferative disorders after renal transplantation in the U nited States in era of modern immunosuppression. T ransplantation 2005;80:123343.

Casiglia J , W oo S B. O ral hairy leukoplakia as an early indicator of Epstein-Barr virus-associated post-transplant lymphoproliferative disorder. J Oral Maxillofac Surg 2002;60:94850.

Comenzo RL . H ematopoietic cell transplantation for primary systemic amyloidosis: what have we learned? L euk L ymphoma

2000;37:24558.

Crespo M , D elmonic F , S aidman S , et al. A cute humoral rejection in kidney transplantation. G raft 2000;3:127.

Dykewicz CA, J affe HW , Kaplan JE , et al. G uidelines for preventing opportunistic infections among hematopoietic stem cell transplant recipients: recommendations of CDC, the I nfectious D isease S ociety of A merica, and the A merican S ociety of Blood and M arrow Transplantation. MMWR M orb M ortal W kly R ep 2000;49:1128.

Garrigue V , Canet S , D ereure O , et al. O ral ulcerations in a renal transplant recipient: a mycophenolate mofetil induced complication? Transplantation 2001;72:9689.

Ghobrial IM , H abermann TM , M acon WR , et al. D ifferences between early and late posttransplant lymphoproliferative disorders in solid organ transplant patients: are they two different diseases? Transplantation 2005;79:2447.

Innocenti M , M oscatelli G , L opez S . E fficacy of G elclair in reducing pain in palliative care patients with oral lesions: preliminary findings from an open pilot study. J P ain S ymptom M anagement 2002;24:4567.

Kotloff RM , A hya VN , Crawford SW . P ulmonary complications of solid organ and hematopoietic stem cell transplantation. A m J Respir Crit Care Med 2004;170:2248.

Stadtmauer EA , O Neill A , G oldstein LJ , et al. Conventional-dose chemotherapy compared with high-dose chemotherapy plus autologous hematopoietic stem-cell transplantation for metastatic breast cancer. P hiladelphia Bone M arrow T ransplant G roup. N E ngl J M ed 2000;342:106976.

Uberfuhr P , F rey AW , R eichart B. V agal reinnervation in the long term after orthotopic heart transplantation. J H eart L ung T ransplant 2000;19:94650.

Vincenti F , L arsen C, D urrbach A , et al. Costimulation blockade with belatacept in renal transplantation. N E ngl J M ed

2005;353:770-81.

Worthington HV , Clarkson JE , E den O B. I nterventions for preventing oral mucositis for patients with cancer receiving treatment. Cochrane Database of Systematic Reviews 2006;(2):CD000978.