chapter 1 of fractionating biomass

20
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tujuan Percobaan 1. Menjelaskan pengaruh variabel terhadap produk fraksionasi biomassa 2. Menghitung neraca massa pada sistem fraksionasi biomassa 3. Menghitung yield sistem fraksionasi biomassa 4. Menghitung persentase recovery lignin 5. Bekerjasama dalam tim secara profesional 1.2 Pengenalan Biomassa Biomassa merupakan limbah dan residu pertanian, kehutanan yang dapat didegradasi secara biologis dari produk. Biomassa dalam industri merupakan produksi energi yang merujuk pada bahan biologis yang hidup atau baru mati yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar . Energi biomassa menjadi penting bila dibandingkan dengan energi terbarukan karena proses konversi menjadi energi listrik memiliki investasi yang lebih murah bila di bandingkan dengan jenis sumber energi terbarukan lainnya. Hal inilah yang menjadi kelebihan biomassa dibandingkan dengan energi lainnya (Apriyanti,2012).

description

bab i laporan fraksionasi

Transcript of chapter 1 of fractionating biomass

Page 1: chapter 1 of fractionating biomass

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan

1. Menjelaskan pengaruh variabel terhadap produk fraksionasi biomassa

2. Menghitung neraca massa pada sistem fraksionasi biomassa

3. Menghitung yield sistem fraksionasi biomassa

4. Menghitung persentase recovery lignin

5. Bekerjasama dalam tim secara profesional

1.2 Pengenalan Biomassa

Biomassa merupakan limbah dan residu pertanian, kehutanan yang dapat

didegradasi secara biologis dari produk. Biomassa dalam industri merupakan

produksi energi yang merujuk pada bahan biologis yang hidup atau baru mati yang

dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar . Energi biomassa menjadi penting bila

dibandingkan dengan energi terbarukan karena proses konversi menjadi energi listrik

memiliki investasi yang lebih murah bila di bandingkan dengan jenis sumber energi

terbarukan lainnya. Hal inilah yang menjadi kelebihan biomassa dibandingkan

dengan energi lainnya (Apriyanti,2012).

Biomassa dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung. Contoh

penggunaan biomassa secara langsung yaitu menggunakan kayu sebagai kayu bakar,

sedang penggunaan biomassa secara tidak langsung yaitu penggunaan kertas dalam

kehidupan sehari-hari. Kayu terlebih dahulu diproses untuk menjadi kertas. Didalam

biomassa terdiri dari beberapa komponen penyusun, yaitu selulosa, hemiselulosa dan

lignin.Oleh karena itu biomassa sering disebut sebagai bahan berlignoselulosa.

1.3 Rumput Perimping

Rumput Perimping adalah tanaman yang termasuk ke dalam kelompok

tanaman rumput-rumputan. Umumnya rumput Perimping yang digunakan di

Indonesia adalah rumput yang tumbuh secara liar. Namun untuk peternakan yang

Page 2: chapter 1 of fractionating biomass

relatif besar maka rumput yang digunakan adalah rumput yang sengaja ditanaman

atau dipelihara secara khusus. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakan

ternak seperti sapi, kambing dan kuda. Rumput rumputan dipilih karena merupakan

tanaman yang produktifitasnya tinggi dan memiliki sifat yang dapat memperbaiki

kondisi tanah (Gonggo et al., 2005).

Gambar 1.1 Rumput Perimping (www.flickr.com)

Pada saat ini biomassa telah menjadi perhatian utama dalam pengembangan

energi terbarukan. Fokus utama yang menjadi pertimbangan dalam memilih biomassa

adalah bahan tersebut mudah diperbaharui dan energi yang dapat diperoleh. Selain

menggunakan bahan yang merupakan limbah dari industri lain energi terbarukan

dapat berasal dari tanaman yang ditanam sebagai sumber energi (sumber karbon)

(Strezos et al., 2008). Salah satu tanaman yang mempunyai potensi dijadikan sumber

biomassa pada energi terbarukan adalah rumput Perimping (Pennisetum Purpureum

Schum). Menurut Okaraonye dan Ikewuchi (2009) analisis kandungan kimia dari

rumput Perimping ada pada Tabel 1.1.

Page 3: chapter 1 of fractionating biomass

Tabel 1.1 Analisa Kandungan Kimia Rumput Perimping

Parameter Berat Basah Berat KeringKandungan air 89,0 -Jumlah abu 2,00 18,18Protein Kasar 2,97 27,00Leamk Kasar 1,63 14,82Jumlah Total Karbohidrat 3,40 30,91Serat Kasar 1,00 9,09(Sumber : Okaraonye dan Ikewuchi, 2009)

1.3 Kimiawi Lignoselulosa

1.3.1 Selulosa

Selulosa membentuk komponen pokok dinding sel dan membentuk mikrofibril. Struktur kimia selulosa terdiri dari unsur C, O, dan H

yang membentuk rumus molekul (C6H10O5)n. Karena selulosa merupakan homopolisakarida linier tidak bercabang, terdiri dari 10.000 atau lebih unit D-glukosa yang terhubung oleh ikatan 1 – 4 glikosida, senyawa ini akan kelihatan seperti amilosa dari rantai utama glikogen. Tetapi terdapat perbedaan yang sangat penting pada selulosa, ikatan 1 – 4 berada dalam konfigurasi β , sedangkan pada amilosa, amilopektin, dan glikogen, ikatan 1- 4 nya berbentuk α.

Gambar 1.2 Struktur Selulosa (Muladi, 2013)

Selulosa dapat larut dalam asam pekat (seperti asam sulfat 72%) yang

mengakibatkan terjadinya pemecahan rantai selulosa secara hidrolisis. Pemecahan

rantai selulosa ini dapat terhalang oleh lignin dan hemiselulosa yang ada di sekitar

Page 4: chapter 1 of fractionating biomass

selulosa. Namun laju hidrolisis selulosa akan meningkat seiring kenaikan temperatur

dan tekanan (Fengel dan Wegener, 1985). Selulosa secara alami diikat oleh

hemiselulosa dan dilindungi oleh lignin. Adanya ikatan eter senyawa pengikat lignin

ini menyebabkan bahan-bahan lignoselulosa sulit untuk dihidrolisa.

Selulosa digunakan secara luas dalam industri tekstil, deterjen, pulp dan

kertas. Selulosa juga digunakan dalam pengolahan kopi dan kadang-kadang

digunakan dalam industri farmasi sebagai zat untuk membantu sistem pencernaan.

Selulosa juga dimanfaatkan dalam proses fermentasi dari biomassa menjadi biofuel,

seperti bioetanol. Saat ini, enzim selulosa juga digunakan sebagai pengganti bahan

kimia pada proses pembuatan alkohol dari bahan yang mengandung selulosa.

1.3.2 Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah bagian dari kelompok polisakarida yang memiliki rantai

pendek dan bercabang. Pada tumbuhan, hemiselulosa berfungsi sebagai bahan

pendukung dinding sel. Hemiselulosa juga merupakan senyawa polimer yang terdapat

pada biomassa. Pada berbagai jenis tanaman, jumlah dan jenis monomer penyusun

hemiselulosa berbeda-beda.

Hemiselulosa merupakan polimer amorf yang berasosiasi dengan selulosa dan

lignin. Sifatnya mudah mengalami depolimerisasi, hidrolisis oleh asam, basa, mudah

larut air. Memiliki ikatan dengan lignin lebih kuat dari pada ikatan dengan selulosa

dan mudah mengikat air. Kadar hemiselulosa berbeda pada jenis kayu daun jarum dan

kayu daun lebar (Achmadi, 1990).

Hemiselulosa merupakan polimer karbohidrat amorf yang berasosiasi dengan

selulosa dan lignin. Fraksi hemielulosa pada kayu terdiri dari kumpulan polimer

polisakarida dengan derajat polimerisasi sekitar 100-200. Dalam pembuatan kertas

terutama pada waktu penggilingan bubur kayu, peran hemiselulosa sangat penting

karena sifat gelatinnya memudahkan terbentuknya sifat hidrofilik pulp sehingga

memudahkan terjadinya ikatan antar serat (Stephenson, 1951).

Page 5: chapter 1 of fractionating biomass

Gambar 1.3 Struktur Monomer Pembentuk Hemiselulosa (Isroi, 2008)

Perbedaan Hemiselulosa dengan Selulosa yaitu hemiselulosa mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa adalah sebaliknya. Hemiselulosa bukan merupakan serat-serat panjang seperti selulosa. Hasil hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hasil hidrolisis hemiselulosa menghasilkan D-xilosis dan monosakarida. Kandungan hemiselulosa yang tinggi memberikan kontribusi pada ikatan antara serat, karena hemiselulosa bertindak sebagai perekat dalam setiap serat tunggal.1.3.3Lignin

Lignin merupakan senyawa kompleks yang tersusun dari unit fenilpropana

yang terikat di dalam struktur tiga dimensi dan merupakan material yang paling kuat

di dalam biomassa. Lignin mengandung karbon yang relatif tinggi sehingga resisten

terhadap degradasi. Oleh karena itu, lignin harus dipecah agar hemiselulosa dan

selulosa dapat dihidrolisis.

Page 6: chapter 1 of fractionating biomass

Unit-unit pembentuk lignin terdiri dari p-koumaril alkohol, koniferil alkohol,

dan sinapil alkohol yang merupakan senyawa induk pembentuk makromolekul lignin

dan terikat satu sama lain baik dengan ikatan ester maupun dengan ikatan karbon

seperti yang ditampilkan dalam Gambar 1.3.

Gambar 1.4 Struktur Lignin (Brunow et al.,1995)

Distribusi lignin di dalam dinding sel dan kandungan lignin bagian pohon

yang berbeda tidak sama. Contohnya yaitu kandungan lignin yang tinggi adalah khas

untuk bagian batang yang paling rendah, paling tinggi dan paling dalam untuk cabang

kayu lunak, kulit, dan kayu tekan. Umumnya pada penggunaan kayu, lignin

digunakan sebagai bagian integral kayu. Dalam pembuatan pulp dan pengelantangan,

lignin dilepaskan dari kayu dalam bentuk terdegradasi dan berubah, serta merupakan

sumber karbon lebih dari 35 juta ton tiap tahun di seluruh dunia yang sangat potensial

untuk keperluan kimia dan energi (Fengel dan Wegener, 1995).

Secara fisis lignin berwujud amorf (tidak berbentuk),berwarna kuning cerah

dengan bobot jenis berkisar antara 1,3 – 1,4 bergantungpada sumber ligninnya dan

indeks refraksi sebesar 1,6. Lignin bersifat tidak larut dalam air, larutan asam dan

larutan hidrokarbon. Dikarenakan lignin tidak larut dalam asam sulfat 72%, maka

sifat ini sering digunakan untuk uji kuantitatif lignin. Lignin tidak dapat mencair,

Page 7: chapter 1 of fractionating biomass

tetapi akan melunak dan kemudian menjadi hangus bila dipanaskan. Lignin yang

diperdagangkan larut dalam alkali encer dan dalam beberapa senyawa organik.

Lignin berbentuk non-kristal, mempunyai daya absorpsi yang kuat dan di

alam bersifat thermoplastic, sangat stabil, sulit dipisahkan dan mempunyai bentuk

yang bermacam-macam sehingga struktur lignin pada tanaman bermacam-macam.

Lignin pada tanaman dapat dibagi menjadi 3 tipe:

1. Lignin dari kayu lunak (Gymnospermae).

2. Lignin dari kayu keras (Angiospermae dycotyle).

3. Lignin dari rumput-rumputan, bambu, dan palmae (Angiospermae

monocotyle).

Kadar kandungan lignin pada tumbuhan sangat bervariasi. Pada spesies kayu

kandungan lignin berkisar antara 20-40%. Apabila dipanaskan dengan Ca-bisulfit

dalam NaOH dengan suatu tekanan tinggi, maka lignin ini akan larut dan tertinggal

hanya selulosanya saja. Lignin menyebabkan pulp berwarna gelap. Pada proses

pembuatan pulp, kadar lignin harus rendah. Apabila kadar lignin pada tanaman tinggi,

maka zat pemutih yang ditambahkan pada proses bleaching akan cukup banyak. Pulp

akan mempunyai sifat fisik yang baik apabila mengandung sedikit lignin. Hal ini

dikarenakan lignin bersifat menolak air dan kaku, sehingga menyulitkan dalam proses

penggilingan. Kadar lignin pulp pada bahan baku kayu 20-35%, sedangkan pada

bahan baku non kayu kadarnya lebih kecil lagi.

Pada industri pulp dan kertas, lignin dipisahkan dari selulosa untuk

menghasilkan pulp. Lignin memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap pulp,

yaitu warna maupun sifat fisik pulp, lamanya waktu penggilingan pulp berbanding

terbalik dengan jumlah lignin yang dikandung oleh pulp. Apabila pulp mengandung

kadar lignin tinggi akan sukar digiling dan menghasilkan lembaran dengan kekuatan

rendah (Rahmawati, 1999).

Pada proses pembuatan pulp akan terjadi delignifikasi (penyisihan lignin).

Reaksi ini terjadi dengan cara mengubah polimer lignin menjadi monomer-monomer

penyusunannya dan melarutkannya ke dalam larutan pemasak, Selain terjadi reaksi

Page 8: chapter 1 of fractionating biomass

pemutusan polimer, dalam pembuatan pulp juga terjadi reaksi repolimerisasi lignin

yang telah larut.

1.4 Fraksionasi Biomassa

Fraksionasi biomassa adalah pemisahan biomassa menjadi penyusun-

penyusun utamanya, yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin tanpa banyak merusak

atau mengubah ketiga komponen tersebut menjadi senyawa lain. Selanjutnya hasil

pemisahan dapat diolah dengan berbagai proses menjadi senyawa yang dapat

dipasarkan. Proses fraksionasi biomassa dilakukan berdasarkan perbedaan sifat kimia

dan sifat fisika dari komponen pembentuk biomassa.

Fraksionasi dengan menggunakan pelarut organik banyak dikembangkan

karena lebih ramah lingkungan dan pelarutnya mudah di recovery serta cocok untuk

proses pilot scale. Pelarut yang telah banyak digunakan adalah alkohol, ester, amina,

fenol, keton dan asam-asam organik. Penggunaan pelarut asam asetat lebih ramah

lingkungan. Pada proses fraksionasi biomassa dengan pelarut organik, proses

penyisihan lignin (delignifikasi) dan proses hidrolisis polisakarida (terutama pada

hemisellulosa) bisa terjadi secara serempak dalam suatu tahap proses.

Page 9: chapter 1 of fractionating biomass

Gambar 1.5 Pohon Industri Fraksionasi Biomassa (Tanskanen, 2007)

Glikol

Furfural

Hidroksimetil Furfural

Dehidrasi

Hidrogenolisis

Hidrogenasi

Fermentasi

Gula Hemiselulosa

Hemiselulosa

Silitol

Pirolisis atau Hidrogenolisis

Oksidasi

Sulfonasi Dispersan

Fenol

Vanilin

Fenol

Bahan Bakar

Polimer

Bahan Peledak

Film

Serat

Bahan Kimia selulosa

Kertas

Etanol

Aseton

Gliserol

Ragi Torula

Sorbitol

Selulosa

Lignin

Biomassa (lignoselulosa)

Page 10: chapter 1 of fractionating biomass

1.5 Proses Organosolv

Proses organosolv merupakan proses fraksionasi yang menggunakan pelarut

organik. Pelarut organik yang sering digunakan adalah asam formiat [Jahan dkk.,

2005, Zhang dkk., 2008]. Proses Organosolv Pulping adalah proses pemisahan serat

dengan menggunakan bahan kimia organik seperti misalnya methanol, etanol, aseton,

asam asetat, asam formiat, dan lain-lain. Proses ini telah terbukti memberikan

dampak yang baik bagi lingkungan. Dengan menggunakan proses ini diharapkan

permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh industri pulp dan kertas dapat diatasi.

Hal ini disebabkan karena Proses Organosolv memiliki beberapa keuntungan di

antaranya yaitu, yield pulp yang dihasilkan tinggi, daur ulang black liquor dapat

dilakukan dengan mudah dan tidak menggunakan unsur sulfur, sehingga lebih aman

terhadap lingkungan, dan dapat menghasilkan by-product (hasil samping) berupa

lignin dan hemiselulosa dengan tingkat kemurnian yang tinggi.

Organosolv ekstraksi diakui sebagai metode alternatif yang efektif untuk

delignifikasi. Sebagai proses yang murah dan mudah tersedia pelarut organik, asam

formiat menunjukkan potensi sebagai agen kimia untuk fraksionasi biomassa. Selama

terjadi proses pembentukan pulp dengan pelarut asam formiat, lignin larut ke dalam

black liquor, sementara hemiselulosa terdegradasi menjadi monosakarida dan

oligosakarida, meninggalkan padatan selulosa dalam residu. Ketika air ditambahkan

ke cairan, lignin mengendap dan memisahkan dari cairan hitam. Setelah

menghasilkan pulp, asam formiat dapat di-recycle dengan proses distilasi untuk

digunakan kembali. Dalam sebuah proses organosolv, penghilangan lignin dari

matriks padat dapat dicapai dengan menggantikan senyawa sulfur oleh pelarut

organik. Senyawa organik ini menghasilkan delignifikasi dari bahan baku yang lebih

baik dari pada proses kraft. Dengan kata lain, organosolv proses dapat dirancang

sebagai metode fraksionasi lebih dari metode pulping. Artinya, proses fraksionasi ini

dapat dioperasikan pada hampir semua bahan baku untuk menghasilkan komponen

Page 11: chapter 1 of fractionating biomass

utama dari jaringan tumbuhan (selulosa, hemiselulosa dan lignin) dalam bentuk yang

lebih baik.

A. Proses Acetosolv

Penggunaan asam asetat sebagai pelarut organik disebut dengan proses

acetosolv. Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana,

setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah,

artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat

merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Konsentrasi asam

asetat yang digunakan berkisar antara 50%- 95% dengan ataupun tanpa katalis.

Kelebihan utama asam asetat sebagai pelarut organik dalam proses organosolv

adalah proses pemasakan dapat dilangsungkan pada suhu dan tekanan rendah maupun

tinggi, harganya murah, serta dapat diselenggarakan dengan ataupun tanpa bantuan

katalis [Sarkanen 1990, Shukry et al. 1991, Parajo et al. 1993]. Media asam asetat

dengan ataupun tanpa katalis dapat memisahkan dengan selektif selulosa,

hemiselulosa dan lignin dari berbagai biomasaa, baik kayu maupun non-kayu [Shukry

et al. 1991, Vazquez et al. 1995, Zulfansyah et al. 2002, Sahin dan Young 2008].

Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pulp pada proses acetosolv adalah

konsentrasi asam asetat, jenis dan konsentrasi katalis, suhu, nisbah cairan terhadap

padatan dan waktu pemasakan.

B. Ester Pulping

Kayu dimasak pada suhu tinggi (sampai dengan 200 oC) dengan pelarut

berupa air, ethyl acetate, dan asam asetat dengan komposisi yang sama. Ester pulping

ini dianggap memiliki keunggulan dalam recovery bahan kimianya. Tetapi sampai

saat ini proses ester pulping ini belum dikernbangkan lebih lanjut.

C. Proses Milox

Proses milox merupakan proses pemasakan tiga tahap yang terdiri dari

pemasakan dengan asam formiat - asam performiat - asam formiat. Proses ini

Page 12: chapter 1 of fractionating biomass

menghasilkan pulp dengan bilangan kappa sangat rendah, yaitu 7 - 11 yang

memungkinkan proses pemutihan pulp hanya dengan proksida dan atau ozon.

D. Proses Formacell

Proses formacell merupakan proses pulp yang dihasilkan oleh campuran asam

formiat dan air dengan suhu tertentu. Asam formiat merupakan salah satu pelarut

organik yang sering digunakan sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp.

Fraksionasi dengan asam formiat dapat dilakukan dengan konsentrasi 60-90%, dan

suhu 80-120oC, tekanan 1-1,7 atm. Pada temperatur 80oC asam formiat kurang reaktif

terhadap lignin dan hidrolisis hemiselulosa, sedangkan pada temperatur 107-110oC

asam formiat sangat reaktif terhadap lignin sehingga proses delignifikasi berjalan

dengan cepat, akan tetapi hidrolisis terhadap polisakarida juga terjadi terutama

terhadap hemiselulosa dan selulosa.

Proses pembuatan pulp secara formacell memiliki keunggulan yaitu rendemen

pulp tinggi, pendauran lindi hitam dapat dilakukan dengan mudah, juga diperoleh

hasil samping (by product) berupa lignin dan furfural dengan kemurnian yang relatif

tinggi.

Page 13: chapter 1 of fractionating biomass

DAFTAR PUSTAKA

Ari D. I. A., Helwani Z., Zulfansyah, Rionaldo H., Hidrolisis hemiselulosa batang jagung dengan proses organosolv menggunakan pelarut asam formiat, Universitas Riau, Pekanbaru.

Beguin, P. and Aubert, J. P. 1994. The biological degradation of cellulose. FEMS Microbiology Reviews, 13, 25-58.

Fengel, D dan Wegener, G. 1985. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi, Translated from the English by H. Sastrohamidjojo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Friska, J, Indrawati, R. 2005. Pembuatan Pulp dari Bahan Baku Non Kayu Dengn Proses Organosolv, Universitas Riau, Pekanbaru.

Gonggo, B. M., Hermawan, B., and Anggraeni, D. (2005). Pengaruh jenis tanaman penutup dan pengolakan tanah terhadap sifat fisika tanah pada lahan alangalang (44-45). Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia. 7.

Handoko T, Suhandjaja G, Mulyana H. 2012. Hidrolisis serat selulosa dalam buah bintaro sebagai sumber bahan baku .Jurnal teknik Kimia Indonesia, 11:26-33.

Hu, G. 2008. Feedstock Pretreatment Strategies for Producing Ethanol from Wood, Bark, And Forest Residu. Bioresources 3(1): 270-294.

Muladi, Sipon.(2013). Diktat Kuliah Teknologi Kimia Kayu Lanjutan.Universitas Mulawarman, Samarinda.

Okaraonye, C. C., and Ikewuchi, J. C. (2009). Nutritional and antinutritional components of Pennisetum purpureum Schumach. Pakistan journal of nutritional 8(1): 32-34.

Pamilia C, Novalina S, Putri IK. 2010. Pengaruh konsentrasi larutan etanol, temperature dan waktu pemasakan pada pembuatan pulp eceng gondok melalui proses organosolv. Universitas Sriwijaya, Palembang.

Parajo, J. C., J. L. Alonzo, D. Vazquez. (1993) “On The Behavior of Lignin and Hemicellulose During Acetosolv Processing.” Bioresource Technology 46: 233-240.

Sahin, H.T and R.A Young, (2008) “Auto-catalyzed acetic acid pulping of jute”, Industrial Crops and Products 28, 1: 24-28

Sarkanen, K. S. (1990) “Chemistry of Solvent Pulping.” Tappi Journal, 215 – 219.Shukry, N., S. A. El-Meadawy, M. A. Nassar. (1992) “Pulping with Organic Acid: 3

Acetic Acid Pulping of Bagasse.” J. Chem. Tech. Biotech 54: 125 – 143 Stephenson, J. 1951. Pulp and Paper Manufacture; Preparation of stack for making

paper. Mc Grow Hill Book Companny, Inc. NewYork.Tanskanen, J., 2007, Paper, Bioenergy and Green Chemicals from Nonwood

Residues by A Novel Biorefinery, PEGRES Project, University of Oulu.Vazquez, G., G. Antorrena, J. Gonzales. (1995) “Acetosolv Pulping of Eucalyptus

globulus Wood by Acetic Acid.” Holzforschung 49: 69 – 75.

Page 14: chapter 1 of fractionating biomass

Zhang, M., Qi, W., Liu, R., Su, R., Wu, S., dan He, Z., 2008, Fractionating lignocellulose by formic acid: Characterization of major components. Article biomass and bioenergy 34 (2010) 525 –532. China.

Zulfansyah, S. Z. Amraini, Fauzi. (2002) “Fraksionasi Limbah Kayu dalam Media Asam Asetat.” Jurnal Natur Indonesia 4, no.2: 145 – 155.