Cerita Tentang Papa

8
CERITA TENTANG PAPA Oleh : Ofi Tusiana Papaku memang ganteng. Di usianya yang menginjak 45 tahun, Papa masih terlihat muda. Tubuh Papa tinggi, atletis. Gaya berpakaian Papa keren, walaupun bukan tipe pria-pria metroseksual. Selera humor Papa oke, selera musiknya juga. Pengetahuan Papa luas. Dari soal ilmu gambar dan bangunan (tentu saja, Papaku arsitek), sejarah, politik, hinggagadget dan sepakbola. Pendeknya, Papa keren abis. Tak jarang, kala berbelanja sekeluarga ke mall, aku mendapati mbak-mbak SPG berbisik-bisik sambil melirik ke arah kami. Tepatnya ke arah Papa. Dalam hati aku sebal juga dengan tingkah ganjen mereka. Selain ganteng, Papa juga seru dan pandai bergaul. Temannya banyak. Papa punya komunitas di mana-mana. Bahkan setahun ini beliau menjadi ketua komunitas fotografi di kota kami. Aku tahu, di antara teman-temannya yang banyak itu pasti ada yang naksir Papa. Mbak-mbak SPG di mall aja suka ngeliatin Papa. Ah, aku sebal kalau memikirkan soal satu ini. Sementara Mama keliatan adem-ayem dan santai saja. Tetap tampil apa adanya dan tidak suka dandan. Namun begitu, Mama tetap anggun dan kecantikan terpancar di wajahnya yang teduh. Suatu sore aku, Mama dan Papa jalan ke mall. Biasa, belanja bulanan sambil refreshing. Pas antri di kasir, aku mengamati suasana sekitar. Kulihat di kasir ujung, ada Tante Irma, teman kantor Papa dulu. Dia bersama suaminya. Anehnya, sambil mengantri, pandangan mata Tante Irma tertuju kepada Papa. Ketika menyadari kehadiranku dan Mama, Tante Irma terlihat salah tingkah. Menurutku itu aneh. Kenapa beliau tak

description

Cerpen

Transcript of Cerita Tentang Papa

Page 1: Cerita Tentang Papa

CERITA TENTANG PAPA

Oleh : Ofi Tusiana

Papaku memang ganteng. Di usianya yang menginjak 45 tahun, Papa masih terlihat muda. Tubuh Papa tinggi, atletis. Gaya berpakaian Papa keren, walaupun bukan tipe pria-pria metroseksual. Selera humor Papa oke, selera musiknya juga. Pengetahuan Papa luas. Dari soal ilmu gambar dan bangunan (tentu saja, Papaku arsitek), sejarah, politik, hinggagadget dan sepakbola.

Pendeknya, Papa keren abis. Tak jarang, kala berbelanja sekeluarga ke mall, aku mendapati mbak-mbak SPG berbisik-bisik sambil melirik ke arah kami. Tepatnya ke arah Papa. Dalam hati aku sebal juga dengan tingkah ganjen mereka. 

Selain ganteng, Papa juga seru dan pandai bergaul. Temannya banyak. Papa punya komunitas di mana-mana. Bahkan setahun ini beliau menjadi ketua komunitas fotografi di kota kami.

Aku tahu, di antara teman-temannya yang banyak itu pasti ada yang naksir Papa. Mbak-mbak SPG di mall aja suka ngeliatin Papa. Ah, aku sebal kalau memikirkan soal satu ini. Sementara Mama keliatan adem-ayem dan santai saja. Tetap tampil apa adanya dan tidak suka dandan. Namun begitu, Mama tetap anggun dan kecantikan terpancar di wajahnya yang teduh.

Suatu sore aku, Mama dan Papa jalan ke mall. Biasa, belanja bulanan sambil refreshing. Pas antri di kasir, aku mengamati suasana sekitar. Kulihat di kasir ujung, ada Tante Irma, teman kantor Papa dulu. Dia bersama suaminya. Anehnya, sambil mengantri, pandangan mata Tante Irma tertuju kepada Papa. 

Ketika menyadari kehadiranku dan Mama, Tante Irma terlihat salah tingkah. Menurutku  itu aneh. Kenapa beliau tak menyapa kami  saja? Ketika akhirnya kami beranjak dari kasir , hatiku masih menyimpan tanya. Ada perasaan tak nyaman menjalariku.

Besoknya, hari Minggu, aku mulai berlagak seperti detektif. Bangun tidur, ketika Papa masih asik jogging bersama Mama, aku memeriksa Blackberry Papa. Hmm, tak ada hal-hal ‘aneh’ di sana. Siangnya Papa ada acara bersama komunitasnya. Kali ini kesempatan buatku untuk meng-explore laptop Papa.

Deg! Jantungku serasa mau copot ketika aku menemukan file MS-Words di Document tertanggal tiga tahun lalu. Surat yang ditujukan untuk Tante Irma. Isinya semacam surat putus gitu deh. Kayak orang pacaran saja, batinku kesal. Eh, what..? Pacaran..?? Berarti Papa...?

Darahku langsung terasa mendidih. Panas. Kuraih HP.

“Rasti tau Papa udah selingkuh sama Tante Irma.”

Page 2: Cerita Tentang Papa

Sent.

Aku tak peduli reaksi Papa nanti ketika membaca sms-ku itu.

Ketika Papa pulang, aku heran mendapati beliau bersikap biasa saja. Tadinya kukira Papa akan marah, apalagi sms-ku juga tidak dijawabnya.

Malam hari, ketika aku bersiap tidur, pintu kamarku diketuk. Rupanya Papa.

“Semoga Rasti mau mendengar penjelasan Papa,” ujar Papa to the point sambil mengambil tempat di ujung ranjangku. Aku diam saja.

Papa bercerita panjang lebar. Betul, surat itu memang ada, dan akhirnya diberikan kepada Tante Irma. Juga betul, bahwa Papa pernah ‘terpeleset’ dan menjalin hubungan dengan Tante Irma. Walau cuma sebentar. Sebelum akhirnya mereka sadar. Itulah salah satu alasan mengapa Papa memutuskan untuk resign dari kantor dan membuka usaha konsultan di rumah. Menjauhkan diri dari Tante Irma.

“Rasti percaya Papa kan? Papa memang sempat khilaf, tapi cinta Mama dan Rasti terlalu berarti untuk Papa sia-siakan. Maafkan Papa telah pernah salah langkah,” Papa mengakhiri kisahnya.

“Mama tau semua ini Pa?”

“Papa memilih untuk tidak cerita kepada Mama. Tak ingin melukai hati Mama. Yang penting Papa janji dalam hati, untuk menjaga hati Papa dan keluarga kita agar tetap utuh.”

“Janji ya Pa?” tegasku.

Papa mengangguk mantap, sebelum merengkuhku ke dalam dekapan hangatnya.

***

Page 3: Cerita Tentang Papa

RAHASIA GERALD

Oleh : Nikmatus Solikha

Sudah seminggu ini aku menolak bicara dengan Gerald. Telpon dan SMS darinya pun tidak pernah kubalas. Biarin aja dia tau rasa. Emang enak dicuekin? Aku masih sebal karena dia nggak pernah ngaku apalagi minta maaf karena sudah selingkuh dariku. 

Ini bermula saat acara jalan bareng Gerald Minggu lalu. Seperti biasanya, kami nongkrong di kafe langganan, memesan dua cangkir cappucino dan kami akan banyak ngobrol sebelum pesanan datang. Seperti week end sebelumnya, jalan bareng Gerald memang selalu menyenangkan, tapi itu sebelum kejadian menyakitkan itu, saat Gerald mendadak mules dan permisi ke toilet, meninggalkan ponselnya di meja dan aku iseng membaca SMS-nya.

“Aku nggak heran sih, kalau Gerald sampai punya yang lain,” celetuk Salmah, seperti memprofokasi. Heran, sebenarnya Salmah itu sohibku bukan, sih?

“Kok gitu?”

“Secara ya, Gerald itu ganteng, kaya, ketua OSIS dan jago basket. Pasti banyak yang ngejar dia meski udah tau Gerald nggak jomlo.”

Napasku tertahan di perut. Bener juga kata Salmah, Gerald memang sangat berkilau. Mendadak aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Akankah ini jadi akhir hubunganku dengan Gerald yang sudah setahun berjalan?

“Mungkin Gerald udah bosen sama kamu,” celetuk Salmah. Dan saat itu aku sudah hampir meledakkan tangis, tapi urung saat kudengar sebuah ketukan pintu di pintu kelas. Aku melihat bayang Gerald dari jendela kelas.

Tanpa kusangka-sangka, pagi ini Gerald nekat masuk kelasku meski pelajaran masih berlangsung.

“Permisi, Pak.” Gerald sudah di ambang pintu. “Saya ada perlu sama Nikita.”Di luar dugaan, Pak Gunawan yang terkenal killer itu mengijinkan. Sial. Aku sebal setengah mati melihat Gerald melangkah ke arah bangkuku dengan senyum berlesung kebangaannya itu.

“Kita perlu bicara.”

Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengikutinya keluar kelas. Kami berakhir di kantin yang begitu sepi. Gerald membawakan eskrim cup rasa strowberry kesukaanku, kalau tidak sedang kesal, aku pasti langsung melahapnya dengan suka cita. Tapi kali ini, eskrim tidak akan melelehkan hatiku yang terlanjur beku.

“Dimakan dong, Nik.”

Page 4: Cerita Tentang Papa

“Kamu salah kalau berpikir eskrim ini bisa bikin aku maafin kamu,” ketusku, sama sekali tak memandang ke larah Gerald. 

“Emangnya aku salah apa, sih?” Gerald masih saja berlagak bodoh. Dasar buaya. Sudah ketangkap basah, masih saja mengelak. 

Kali ini pandanganku terarah pada Gerald. “Kamu sudah selingkuh di belakangku, kan?” kunaikkan nada suaraku sampai ibu kantin pun ikut terlonjak kaget. 

“Selingkuh? Gosip dari mana itu?” kesal Gerald. Ia terdengar berdecak beberapa kali.

“Itu bukan gosip. Aku tau sendiri.”

Gerald terlihat heran. “Aku masih nggak ngerti sama tuduhanmu.”

“Aku baca SMS-mu. Dan aku sudah nggak butuh penjelasan lagi.” Aku bangkit dan nyaris meninggalkan kantin kalau saja Gerald tidak menahan lengan kananku.

“SMS yang mana? Kebetulan aku belum menghapus daftar pesanku.” Gerald merogoh saku celananya dengan sebelah tangan dan menyerahkan ponselnya padaku. Aku menerimanya dengan berat hati, masih jelas dalam ingatan tiap kata-kata mesra di kotak masuk SMS Gerald, itu cukup membuatku terluka.

Dan sekarang aku harus membukanya lagi. Aku membuka inbox dari Fairy dan mambacanya lantang, “Selamat pagi Matahariku. Sudah sampai sekolah? Tetap jaga kesehatan ya, Sayang. Jangan jajan sembarangan.” 

Aku bisa melihat Gerald menelan ludah. Huh, gimana rasanya ketahuan hidung belang? Aku lanjutkan membaca SMS selanjutnya. “Sayang, jangan tidur kemaleman. Nanti migrennya kambuh.”

Aku berdecih. Cih, sok perhatian banget. Aku baru akan membaca SMS mesra lainnya, namun Gerald sudah berteriak,   “STOP! Please, jangan keras-keras bacanya. Ntar ketahuan kalau aku anak Mami. Image-ku bisa hancur.”

Aku melongo menatapnya. “Maksudnya dia bukan...”

Muka Gerald memerah. Si ketua OSIS yang jago basket dan tae kwon do itu ternyata... punya rahasia. 

***

Page 5: Cerita Tentang Papa

Cerpen dan Kertas Buram

Oleh : Nikmatus Solikha

Sweet moment? Ah, terlalu banyak hal manis dalam hidup ini sebenarnya. Tinggal bagaimana kita menikmatinya saja.

Tapi, di antara yang manis pasti ada yang paling manis. Tentu saja. Aku merasakannya belum lama ini.

Oke, aku akan menceritakan detail episode sweet moment dalam hidupku.

Ini terjadi di sela kesibukanku sebagai pedagang sayur –eit, jangan tertawa! Bagaimana pun juga aku bangga dengan pekerjaanku— lepas shubuh, sudah bergelut dengan waktu, terburu menuju tempat dagang dan mulai rutinitas monoton; berdebat kusir dengan puluhan ibu-ibu yang memiliki bakat alami dalam menawar harga sayuran. Itu berlangsung hingga pukul setengah tujuh pagi. Saat jam menunjuk waktu itu, berarti akufree! Tinggal menunggu jemputan.

Biasanya jemputan datang sektar pukul tujuh pagi. Di sela waktu menunggu jemputan itulah aku duduk beralaskan karung beras sambil termenung. Melamun mengamati orang-orang berlalu lalang. Bertumpu dagu dengan pikiran menerawang. Beberapa orang lewat meledekku dengan senyum genit, ada juga yang sambil bersahut, “Ciee... cieee... ngelamunin siapa?”

Mungkin berpikir aku tengah melamunkan si doi. Salah besar mereka! Sebenarnya saat itu, aku tengah menggali ide. Seperti ada yang berkelebat dalam otak, menuntut hak untuk segera dituang. Hanya saja, saat itu aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku tidak membawa laptop.

Hingga solusi itu muncul! Seperti ada bola lampu kasat mata yang berbinar di atas kepala. Semangatku kontan menyala saat kuamati tumpukan kertas buram yang biasanya kugunakan untuk membungkus cabe. Aku meraihnya, mempertemukannya dengan pasangan layaknya; pulpen yang memang selalu terselip di tas. Ah, aku tidak lebay jika mengatakan bahwa ide yang berkelebat di kepala itu rasanya seperti membuatnya hampir meledak. Untung aku menuangkannya lebih dulu. Satu lembar poin-poin penting untuk membuat cerpen selesai beberapa menit kemudian.

Saat sampai di rumah, tak sabar lagi rasanya bertemu dengan belahan jiwaku; laptop. Segera saja kutulis apa yang mengganjal pikiran saat itu.

Dan, dengan bantuan kertas buram –bungkus cabe— tersebut, rasanya ringan sekali menuangkan semua ide dalam pikiran. Jari-jari bergerak luwes selama satu jam setengah dan, selesai satu cerpen!

Page 6: Cerita Tentang Papa

Kepuasan hati karena aku mendapatkan ide tersebut di tempat dagang dan sarana yang membantuku adalah kertas buram bungkus cabe! Hal yang benar-benar sepele!

Dan puncak dari sweet moment itu sendiri adalah ketika dua minggu kemudian, kuketahui bahwa cerpen tersebut nampang di salah satu majalah remaja. Astaga, aku girang tingkat dewa! Rasanya aku ingin semua orang tahu betapa senang hatiku saat itu. Ya, itu memang kulakukan dengan update status berisi kabar bahwa cerpenku dimuat. Hahaha... narsis ya? Biarin! Yang penting senang.

Ya, sampai saat ini yang kuanggap merajai sweet moment dalam hidupku adalah saat mengingat cerpenku. Hingga saat ini, ada rasa senang jika melihat kertas buram. Rasanya aku bernafsu ingin mencoret-coret saja jika melihatnya tergeletak tanpa guna.

***