Cerita tentang Rumah Ciledug

44
ANEKA KISAH TENTANG RUMAH

Transcript of Cerita tentang Rumah Ciledug

Page 1: Cerita tentang Rumah Ciledug

ANEKA KISAHTENTANG

RUMAH

F.X.Soesmoyo

Page 2: Cerita tentang Rumah Ciledug

November, 2009

1

Page 3: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH JATISEENG / RUMAH CILEDUG 1

Akhir-akhir ini di kalangan anak, cucu dan cicit Bapak Doewe

telah bermunculan sejumlah ide atau gagasan yang bernuansakan

nostalgia seputar Bapak Doewe. Salah satu ide diantaranya, yang juga

telah mulai mengkristal adalah ikhwal Rumah Jatiseeng, rumah tempat

Bapak Doewe tinggal sejak tahun 1931-1966. Di kalangan mereka,

Rumah Jatiseeng biasa disebut Rumah Ciledug. Itulah sebabnya, salah

seorang cucu Bapak Doewe yang ingin menampung sejumlah tulisan

kenangan tentang rumah Jatiseeng sesuai kenangannya masing-

masing dalam sebuah blog, menyebut alamat blognya:

doeweciledug.blogspot.com , alih-alih doewejatiseeng.

Saya tidak tahu persis kapan tepatnya ide tersebut lahir. Yang

jelas ide tersebut mencuat ke permukaan terhitung sejak rumah

Jatiseeng terjual pada tanggal 4 Mei 2009. Mungkin tidak banyak

diantara cucu dan cicit Bapak Doewe yang secara pribadi memiliki

kenangan khusus atas rumah Jatiseeng dimaksud, walaupun hanya

sepenggal-sepenggal. Maklum, anak, cucu, cicit Bapak Doewe

umumnya tersebar jauh dari Jatiseeng dan hanya sekali-sekali singgah

ke rumah Jatiseeng.

Foto rumah Jatiseeng sebagaimana tampak depan dalam blog

doeweciledug, bukanlah rumah Jatiseeng yang didirikan tahun 1908.

Itu adalah bagian tambahan yang didirikan tahun 1957, setelah rumah

Cigobang dibongkar. Bagian tersebut semula merupakan pendopo.

Rumah Jatiseeng aslinya terdiri dari tiga bagian, sebagaimana rumah-

rumah jaman baheula umumnya. Bagian pertama disebut pendopo,

berupa ruangan terbuka yang berada di bagian terdepan. Bagian

kedua adalah bagian inti rumah dan bagian ketiga adalah bagian

belakang yang berupa ruangan terbuka, seperti halnya pendopo,

berikut dapur. Kamar mandi dan wc terletak di luar rumah berdekatan

dengan sumur. Di dekat sumur terdapat 2 tempat saluran air. Saluran

2

Page 4: Cerita tentang Rumah Ciledug

satu untuk mengisi bak air kamar mandi sedang saluran kedua untuk

mengisi bak air dapur.

Pendopo rumah biasanya digunakan sebagai ruang tamu

terbuka. Batas pendopo rumah Jatiseeng dimulai dari dua pilar bulat

besar yang berdiri terpisah sekitar 2,5 m dari pintu utama depan

sampai tangga masuk depan rumah. Di pendopo inilah Bapak Doewe

pernah membuka kelas-kelas ”sekolah binaannya” di penghujung

tahun 1949. Cikal bakal Sekolah Santo Thomas.

Sejak tahun 1957, pendopo tersebut diubah menjadi ”rumah

kedua” dengan dua kamar tidur di sisi selatan yaitu satu kamar tidur

ukuran kecil (antara batas bagian inti dengan pilar) dan satu kamar

tidur ukuran besar (dari pilar sampai pintu depan). Di depan kamar

tidur ukuran kecil terdapat ruangan memanjang yang biasa digunakan

sebagai ruang makan, yang disekat tembok dari pilar bulat. Sedang di

depan kamar tidur besar terdapat ruang terbuka sebagai ruang tamu

dan atau ruang serba guna. ”Rumah kedua” tersebut kemudian

ditempati oleh keluarga putri sulung Bapak Doewe ( Kel. F.J.

Moedjihardjo).

Bagian inti rumah terdiri dari dua kamar tidur utama yang

terletak di sisi utara dan sisi selatan berhadap-hadapan. Ruangan

antara kedua kamar tidur utama tersebut digunakan sebagai ruang

keluarga. Pada masa dulu di ruang inilah pada malam hari biasa

digunakan sebagai tempat keluarga sembahyang bersama. Biasanya

dimulai dari rosario, litani Santa Perawan Maria dan ditutup dengan

doa malam. Bersebelahan dengan kamar tidur utama sisi utara

terdapat satu kamar serba guna, semacam gudang dalam rumah. Di

dalam kamar serba guna tersebut terdapat semacam peti besar

berukuran ± 2 x 1m dengan tinggi ± 75cm yang digunakan sebagai

tempat penyimpanan perabot rumah tangga. Orang menyebutnya

“Geledeg”.

3

Page 5: Cerita tentang Rumah Ciledug

Di depan kamar serba guna tersebut, terdapat ruangan terbuka.

Ruangan ini pernah digunakan sebagai ruang makan dan ruang kerja

Bapak Doewe. Pada saat sekarang dalam ruangan ini telah didirikan

kamar mandi. Terdapat dua pintu utama yang membatasi bagian inti

dengan bagian belakang dan bagian inti dengan bagian depan

(pendopo). Pada saat ini ada tambahan pintu yang memisahkan ruang

tidur utama dan kamar serba guna yang terdapat di dalam bagian inti.

Dengan kata lain, di dalam bagian inti terdapat tiga buah pintu utama.

Bagian belakang rumah merupakan ruang terbuka. Dalam

ruangan terbuka tersebut terdapat bale-bale besar yang biasa

digunakan untuk ruang tamu (lesehan) keluarga atau orang yang

sudah dianggap seperti keluarga. Pada saat sekarang di bagian

belakang tersebut terdapat dua kamar, gudang besar dan kamar

mandi yang terletak di depan dapur. Tidak ingat persis sejak kapan

dan mengapa dapur tersebut kemudian ditutup dan digunakan sebagai

gudang.

Kamar mandi dan wc yang berada di luar rumah pada saat ini

sudah tidak digunakan lagi. Sumur terletak di depan kamar mandi,

sedangkan di depan wc terdapat kolam ikan yang kemudian ditutup

dan dijadikan lumbung padi. Tidak jauh dari kamar mandi dan wc,

arah selatan berhimpit dengan pagar tembok rumah, terdapat

bangunan yang biasa digunakan untuk tempat menumbuk padi. Di

sampingnya kemudian didirikan pula kandang kuda dan ”garasi”

delman. Bangunan tempat menumbuk padi, kandang kuda dan garasi

delman pada saat ini sudah tidak tampak bekasnya lagi.

Konon menurut cerita Bapak Doewe, rumah Jatiseeng tersebut

memang didirikan khusus untuk Bapak Doewe sebagai hadiah ulang

tahunnya yang pertama. Tercatat di tembok sebelah atas pintu utama

belakang (pintu utama sebagai pemisah bagian inti dan bagian

belakang) 28/12/1908 , tanggal saat rumah selesai dibangun. Halaman

rumah dikelilingi pagar tembok setinggi kurang lebih 2 meter.

4

Page 6: Cerita tentang Rumah Ciledug

5

Page 7: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH JATISEENG / RUMAH CILEDUG 2

Foto rumah Jatiseeng sebagaimana tercantum dalam blog

doeweciledug, tampak sangat kumuh dan menyedihkan. Kumuh luar

dalam secara menyeluruh. Maklum lah rumah tersebut sejak tahun

1988 mulai kurang terawat secara berkelanjutan. Semula setelah Ibu

Doewe meninggal tahun 1975, putri sulungnya (Maria Soesilah

Moedjihardjo) masih tinggal di rumah Jatiseeng sampai beberapa saat

setelah Bapak Moedjihardjo meninggal dunia tahun 1984. Kemudian ia

pindah ke Jakarta setelah membeli rumah di kompleks Perumahan

Taman Kedoya Permai hingga akhir hayatnya 4 Maret 2004.

Selanjutnya putra ketiga Bapak Doewe (Yosef Soesanto) sempat

juga tinggal di rumah Jatiseeng beberapa bulan sampai saat meninggal

tahun 1988. Setelah itu rumah hanya ditunggui oleh kerabat Bapak

Doewe dengan perawatan seadanya, tanpa pemeliharaan rutin yang

berarti, sampai saat rumah terjual tahun 2009.

Rumah ini menyimpan banyak ragam kenangan bagi segenap

keturunan Bapak Doewe, mulai dari yang hanya sekedar tahu sampai

mereka yang benar-benar memiliki kenangan yang sangat mendalam

dan sulit mereka lupakan.

Untuk sekedar memperoleh bayangan visual, berikut adalah

foto2 rumah Jatiseeng (tampak dalam) yang diangkat dari foto

kunjungan Mgr P.M. Arntz

OSC dan peringatan HUT ke 1 Senam Yoga Sari Dewi Ciledug.

Mudah-mudahan upaya visualisasi kondisi rumah Jatiseeng

bagian dalam melalui foto-foto tersebut dapat memberi gambaran

kepada mereka yang belum pernah melihat rumah Jatiseeng secara

langsung seutuhnya.

6

Page 8: Cerita tentang Rumah Ciledug

Foto 1

Mgr P.M. Arntz OSC berdiri di antara 2 pilar bulat. Di sebelah kanannya tampak pintu kamar tidur ukuran kecil.

Foto 2

Anak laki-laki tertua Bapak/Ibu Moedjihardjo (A. Soesdihardjo) yang sedang memberi sambutan berdiri di depan pintu kamar tidur ukuran besar.

7

Page 9: Cerita tentang Rumah Ciledug

Foto 3

Ibu-ibu peserta senam yoga yang tengah merayakan HUT ke 1 duduk di depan kamar tidur ukuran besar dan kamar tidur ukuran kecil. Lantainya adalah tegel dari rumah Cigobang. Perhatikan tegel berwarna, dulu di rumah Cigobang tegel tersebut juga terdapat di bagian pendopo rumah.

Foto 4

Ibu-ibu duduk di ruang terbuka (yang biasa digunakan sebagai ruang tamu) di depan kamar tidur ukuran besar.

8

Page 10: Cerita tentang Rumah Ciledug

Foto 5

Ibu-ibu duduk di ruangan terbuka (yang biasa digunakan sebagai ruang makan) di depan kamar tidur ukuran kecil. Dalam foto ini tampak pintu utama bagian inti rumah Jatiseeng dengan pendopo yang telah menjadi “rumah kedua” (di samping kiri Bapak Moedjihardjo) dan pintu penyekat dalam bagian inti rumah.

9

Page 11: Cerita tentang Rumah Ciledug

Foto 6

Sebagian ibu-ibu duduk di ruang terbuka di depan kamar tidur ukuran kecil dan sebagian lagi duduk di ruangan terbuka di depan kamar ukuran besar. Perhatikan 2 pilar bulat utama dan pintu utama pemisah bagian inti dengan bagian pendopo serta pintu pemisah dalam rumah inti. Sekarang bagian pendopo tersebut telah menjadi rumah kedua.

Foto 7

10

Page 12: Cerita tentang Rumah Ciledug

Foto 8

Teras depan rumah. Tampak Ibu Doewe dan putri sulung (Ibu Moedji berikut anak, mantu dan cucu) dan putri bungsu (Ibu Hardjatmo beserta kedua anaknya)

11

Page 13: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH YU SIN

Berdampingan dengan Rumah Jatiseeng / Rumah Ciledug, arah

utara, terdapat rumah milik Ibunda Bapak Doewe yang kemudian

dikenal dengan julukan “Rumah Yu Sin”. Dijuluki demikian karena

menurut kisahnya ada orang Tionghoa bernama Yu Sin dengan anak-

anaknya yang masih kecil-kecil yang terusir oleh sesama orang

Tionghoa lain dari rumah kontrakannya, minta tolong kepada ibunda

Bapak Doewe untuk menyewa rumah tersebut. Iba karena melihat

anak-anaknya yang masih kecil-kecil, ibunda Bapak Doewe

mengizinkannya dengan catatan kelak kalau cucu perempuannya telah

menikah, agar segera pindah dari rumah tersebut. Ibunda Bapak

Doewe berencana akan menghadiahkan rumah tersebut kepada cucu

perempuannya.

Kesepakatan antara Yu Sin dengan ibunda Bapak Doewe tanpa

disertai dokumen tertulis apapun. Demikianlah, saat cucu

perempuannya menikah awal tahun 1948, Yu Sin dan keluarganya

bersikukuh tidak mau pindah sebagaimana kesepakatannya beberapa

tahun silam. Kondisi ini cukup mengguncang batin ibunda Bapak

Doewe. Beliau sulit untuk memahami mengapa ada manusia seperti

Yu Sin yang tidak tahu berterima kasih dan atau berbudi baik.

Mengingkari semua kebaikan ibunda Bapak Doewe saat beliau

menolongnya beberapa tahun silam, yang karena berbelas kasih dan

iba hati atas ratapannya sambil berlindung di belakang anak-anaknya

yang masih kecil-kecil. Yah inilah seperti peribahasa : “Air susu dibalas

dengan air tuba.”

Saya tidak ingat persis upaya hukum apa yang ditempuh Bapak

Doewe sehingga Yu Sin dan segenap keluarganya mau meninggalkan

rumah tersebut dengan sejumlah pesangon. Itulah sekelumit kisah

tentang Rumah Yu Sin yang saya ketahui.

12

Page 14: Cerita tentang Rumah Ciledug

Rumah tersebut kemudian dijadikan sebagai rumah pertemuan

sosial untuk beberapa saat. Kemudian beralih fungsi menjadi semacam

“gudang” serba guna.

Dalam perjalanan selanjutnya, setelah Bapak/Ibu Doewe

meninggal, kondisi rumah semakin menyedihkan tanpa perawatan.

Namun demikian Rumah Yu Sin tersebut disertifikatkan terpisah dari

sertifikat Rumah Jatiseeng/ Rumah Ciledug berikut Rumah Walet. Saya

kurang tahu persis mengapa demikian. Barangkali riwayat asal usul

rumah tersebut memang berbeda dengan riwayat asal usul Rumah

Jatiseeng/ Rumah Ciledug dan Rumah Walet. Walahualam.

13

Page 15: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH TRANSIT / RUMAH PRIHATIN

Yang dimaksud dengan Rumah Transit/ Rumah Prihatin di sini

adalah sebuah rumah kecil yang terletak di sisi kiri kedua (arah utara)

dari Rumah Jatiseeng/Rumah Ciledug. Tepatnya di sebelah kiri depan

Rumah Yu Sin atau antara Rumah Yu Sin dan Rumah Walet. Saya tidak

ingat persis untuk apa peruntukannya semula. Tetapi yang jelas bahwa

rumah tersebut merupakan bangunan yang seluruh materialnya

berasal dari sebagian material rumah Cigobang yang dibongkar sekitar

tahun 1957, setelah ibunda Bapak Doewe meninggal dunia pada tahun

1956.

Kalau saja rumah tersebut “bisa ngomong, pasti tidak akan

bohong” untuk bercerita bahwa mereka yang pernah menghuninya

memiliki segudang dongeng suka dan duka. Namun mereka barangkali

lebih senang menyebutnya sebagai dongeng duka dan suka, karena

konon katanya lebih banyak dukanya daripada sukanya. Walahualam…

!

Mereka yang pernah menghuni rumah tersebut niatnya semula

memang untuk tinggal sementara atau hanya untuk sekedar transit.

Tinggal sementara memang dapat diartikan sebagai sekedar transit.

Mereka yang dalam posisi transit, pastinya dibayangi nuansa

keprihatinan dengan kadarnya masing-masing yang berbeda. Itulah

barangkali mengapa diantara mereka yang pernah menempati rumah

tersebut ada yang menyebutnya sebagai Rumah Transit, tapi ada pula

yang menyebutnya sebagai Rumah Prihatin. Apa pun istilah atau

sebutannya, yang pasti nuansanya tidak jauh berbeda.

Anak kedua Bapak Doewe (Yohanes Soeseno) pernah tinggal

cukup lama (transit yang agak lama) di rumah tersebut, setelah

perkawinannya dengan seorang bidan asal Yogyakarta (Maria

Imaculata Moerdjiah). Ia bekerja di pabrik gula Karangsuwung, seusai

kepindahannya dari pabrik gula Pagotan. Anak yang pertama (Ani) dan

14

Page 16: Cerita tentang Rumah Ciledug

yang ke dua (Lia) barangkali masih memiliki cerita kenangan tersendiri

ikhwal Rumah Transit/Rumah Prihatin tersebut.

Putri bungsu Bapak Doewe (Theresia Soestiati) juga pernah

tinggal beberapa lama, sementara suaminya (Alfons Hardjatmo) yang

bertugas di Jakarta mengurus kepindahan tugas barunya. Mereka

lebih memilih sebutan Rumah Prihatin, karena katanya selama tinggal

di rumah tersebut penuh dengan segala keprihatinan dan bukan hanya

sekedar transit.

Anak ketiga Bapak Doewe (Yosef Soesanto) setelah

menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan

sekalipun tidak menempati rumah tersebut, namun selalu “nimbrung”

di rumah itu ketika masih jobless (1967-1968). Saat itu yang

menempati rumah tersebut adalah putri bungsu Bapak Doewe. Karena

Bapak Doewe sudah meninggal, Ibu Doewe sering menyambangi putri

bungsunya ketimbang tinggal sendirian di Rumah Jatiseeng. Di sini lah

anak ketiganya yang masih jobless dan masih bujangan turut serta

bergabung.

Bapak Saswidoyo (Kepsek SMP Santo Thomas periode

1958/1959-1962/1963) saat pertama kali kedatangannya di Jatiseeng

Ciledug juga pernah tinggal beberapa lama di rumah tersebut, karena

rumah yang sedianya untuk para guru masih digunakan sebagai ruang

kelas.

Dalam perjalanan selanjutnya, ada pula ibu-ibu guru SD dan SMP

Santo Thomas yang untuk sementara tinggal di rumah tersebut.

Kalau saja rumah tersebut bisa ngomong…….!

15

Page 17: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH WALET

Dikenal dengan sebutan Rumah Walet karena rumah tersebut

kemudian digunakan seluruhnya untuk pengelolaan burung walet,

yang konon sarangnya banyak khasiatnya. Karena dipercaya banyak

khasiatnya, maka harga jual sarangnya sangat mahal. Biasanya naik

turun harganya sebanding dengan naik turun harga emas.

Cerita awalnya adalah saat anaknya Bapak Doewe yang ke

empat (Franciscus Xaverius Soesmoyo yang sejak bayi tinggal

bersama neneknya di Cigobang) disuruh bersekolah di Maria School

Cirebon bersama kedua kakaknya pada tahun 1946, ibunda Bapak

Doewe kemudian pindah ke Jatiseeng dan tinggal di Rumah Walet.

Rumah tersebut semula milik Bapak Maskat (kakek Bapak Doewe dari

jalur ibundanya). Sepeninggal Bapak Maskat, terjadi pembagian waris.

Saya tidak tahu tepatnya bagaimana proses dan atau tata tertib aturan

pembagian waris tersebut. Yang saya ketahui hanya sebatas bahwa

rumah tersebut kemudian menjadi milik ibunda Bapak Doewe.

Keabsahan pembagian waris didokumentasikan dalam foto bersama

dengan tulisan di papan tulis bahwa pembagian waris telah sah

adanya dan disaksikan oleh saksi-saksi. Dipercaya pula bahwa

keturunan dari ketiga anak-anak Bapak Maskat (Bapak Soemasetra,

Ibu Sarpit/ibunda Bapak Doewe dan Ibu Detri) masih menyimpan foto

dokumentasi tersebut sampai sekarang.

Beberapa saat setelah ibunda Bapak Doewe tinggal di rumah

peninggalan/warisan Bapak Maskat tersebut, ada beberapa ekor

burung sriti (sejenis burung walet tetapi sarangnya dari daun cemara,

sedang burung walet sarangnya dibuat dari air liurnya), yang

memasuki rumah dan bersarang. Di Ciledug sudah ada beberapa

rumah yang telah dijadikan rumah walet diantaranya rumah orang tua

Bapak Liem Hong Bouw. Hasilnya sangat memuaskan. Tetapi menurut

cerita, burung walet adalah burung yang biasa disebut memiliki

16

Page 18: Cerita tentang Rumah Ciledug

kekhususan yang sulit ditangkap nalar. Burung tersebut tidak bisa

dipelihara sesuai kemauan manusia secara umum. Ada orang yang

dengan sengaja membuat rumah burung walet tetapi waletnya tidak

kunjung datang walaupun rumah tersebut berdampingan dengan

rumah walet yang telah ada. Di sisi lain, ada orang yang tiba-tiba

rumahnya diserbu oleh burung walet. Hoki kata mereka.

Dalam hal ibunda Bapak Doewe, naluri bisnisnya mulai jalan

melihat ada burung sriti bersarang di rumahnya. Bagian pendopo

rumah segera dikosongkan, ditutup dan dibuatkan papan-papan untuk

tempat burung membuat sarang. Beliau bergeser pindah ke bagian

belakang dengan menyertakan dua kamar dari bagian inti rumah.

Beliau menempati kamar di sisi utara sedang kamar di sisi selatan

untuk cucunya (FX Soesmoyo) saat pulang libur sekolah.

Ibunda Bapak Doewe berjuang mulai dari menetaskan telur demi

telur burung walet pada sarang burung sriti dengan harapan kelak

setelah menetas dan besar mereka mau tinggal di rumah tersebut.

Betapa tekunnya beliau. Menggunakan tangga untuk memanjat,

menukar telur burung sriti dengan telur burung walet sarang demi

sarang. Hal tersebut dilakukan dari tahun ke tahun sampai akhirnya

keberuntungan dan berkat Tuhan menyertainya. Jadilah beliau seorang

pengelola sarang burung walet yang hasilnya aduhai...!

Selama beliau tinggal di Jatiseeng, rumah Cigobang

dipercayakan kepada anak saudara sepupu suaminya. Beliau terus

menekuni bisnis sarang burung walet bersama Bapak Doewe sampai

akhir hayatnya tahun 1956.

Bapak Doewe tinggal meneruskan warisan usaha sarang burung

walet ini sampai beliau meninggal tahun 1966. Diteruskan oleh Ibu

Doewe sampai 1975. Diwariskan kepada anak-anak Bapak Doewe dan

mereka mempercayakannya kepada adik bungsunya.

Rumah Walet, walaupun sejak Ibu Doewe meninggal, sudah tidak

terurus lagi sebagaimana layaknya, tetapi burung waletnya masih

17

Page 19: Cerita tentang Rumah Ciledug

tetap setia menghuni dan menghasilkan. Hambatan utamanya adalah

pencurian sarang burung walet.

Sampai saat rumah Jatiseeng terjual, pada hakekatnya Rumah

Walet tersebut masih menghasilkan walaupun tidak seberapa. Maklum

tanpa perawatan yang memadai disamping bersaing dengan para

pencuri.

Dalam hal Rumah Walet barangkali anak Bapak Doewe no 4

yang paling banyak memiliki kenangan atas rumah tersebut. Hal ini

mengingat sejak sekolah di Cirebon, SMP Kanisius di Salatiga dan SMA

de Britto Yogyakarta, saat liburan sekolah tinggal di rumah tersebut

bersama neneknya. Walahualam...

18

Page 20: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH CIGOBANG 1

BANGUNAN RUMAH

Cigobang adalah desa tempat dimana Bapak Sakim

Sastrabangsa (ayahanda Bapak Doewe) pernah menjabat sebagai

Kuwu. Letaknya arah selatan dari Jatiseeng sekitar 5-6 km dari desa

Jatiseeng. Atau mungkin juga lebih atau bahkan kurang. Saya belum

pernah mengukurnya secara pasti. Dulu sewaktu saya masih kecil

(umur 6-7 tahun) sering jalan kaki bersama nenek dari rumah nenek di

Cigobang ke Jatiseeng. Menurut cerita dulu, katanya jaraknya hanya

sekitar 4 km saja. Entahlah…

Yang dimaksud dengan rumah Cigobang adalah rumah keluarga

Bapak Sakim Sastrabangsa, rumah tempat Bapak Doewe dibesarkan.

Kata orang, sejak bayi, saya anak Bapak Doewe no 4, sudah tinggal di

Cigobang. Bersekolah di Sekolah Desa Cigobang sampai kelas 2.

Setelah itu pindah sekolah ke Maria School Cirebon. Jadi, kira-kira 7

tahun lebih saya tinggal di Rumah Cigobang. Walaupun demikian, saat

ini saya (yang sudah berumur 71 tahun lebih) masih mampu

membayangkan bagaimana garis besar denah dan isi Rumah

Cigobang. Hanya masalah berapa luas sebenarnya tanah Rumah

Cigobang, saya tidak tahu. Tapi yang jelas sekian ribu meter persegi

lah.

Tipe rumah sama seperti tipe rumah jaman dulu, yaitu terbagi

dalam tiga bagian. Bagian Pendopo terletak di bagian depan. Bagian

tengah yang merupakan Bagian Inti, dan Bagian Belakang sebagai

ruang serba guna berikut dapur. Kamar mandi dan WC berada di luar

rumah.

Pendopo Rumah Cigobang sudah merupakan ruangan tertutup,

lebih mirip sebagai ruang tamu modern daripada sebuah pendopo.

Terisi dengan tiga perangkat kursi tamu dengan meja marmer bundar,

sepasang kursi malas panjang juga turut mengisi pendopo yang sudah

19

Page 21: Cerita tentang Rumah Ciledug

mirip sebagai ruang tamu. Di kiri kanan pintu utama (pintu dengan

ketinggian sekitar 3 m), yang menghubungkan Pendopo dengan

Bagian Inti rumah terdapat pajangan kepala menjangan (dari kayu)

berikut tanduknya yang asli. Di ujung pendopo ada pagar antik terbuat

dari kayu mengelilingi pendopo (kiri, kanan dan depan). Seingat saya,

selama itu ruang pendopo hampir tidak pernah digunakan. Tiap hari

hanya dibersihkan terus. Demikianlah, pendopo Rumah Cigobang ini

sudah tidak sepenuhnya seperti pendopo tradisional baik menurut

bentuknya atau berdasarkan fungsinya. Keluar dari pendopo, ada

’halaman kecil’ dengan jalan ditaburi batu-batu kecil sampai halaman

luar depan sebelum pagar tembok rumah bagian depan. Jarak halaman

luar ke tembok rumah ada sekitar 8 m. Di tengah-tengahnya ada

pohon mangga arum manis yang sangat rindang.

Bagian Inti rumah terdiri dari dua kamar tidur utama berhadap-

hadapan dan satu kamar serbaguna yang digunakan sebagai gudang

dalam rumah, tempat menyimpan perabot rumah tangga. Di depan

kamar serbaguna tersebut hanya berupa ruangan terbuka. Jarak

antara kamar utama dengan kamar utama yang berhadap-hadapan

tersebut sekitar 3 m. Di dalam tiap kamar tidur utama, terdapat satu

tempat tidur besi besar lengkap dengan kelambunya, satu lemari

pakaian berukir ukuran besar dan sebuah meja kecil serbaguna.

Lemari pakaian yang ada di kamar nenek merupakan lemari besar

dengan satu daun pintu yang hampir seluruhnya tertutup kaca rias

persegi. Di sisi kiri dan kanan lemari ada ukiran beberapa ekor kera

kecil yang sedang bergantungan pada ranting-ranting pohon. Bagian

bawah lemari terdiri dari dua ukiran anjing yang sedang tengkurap

dengan kepala tegak. Dengan kata lain tampak bahwa bagian depan

lemari ditopang oleh dua ekor anjing.

Di bagian belakang Bagian Inti, terdapat pintu utama (tinggi

pintu sekitar 3 m) yang menjadi pembatas antara Bagian Inti dengan

Bagian Belakang. Panjang Bagian Inti, dari pintu utama depan sampai

20

Page 22: Cerita tentang Rumah Ciledug

pintu utama belakang, sekitar 12 m. Di jalur tersebut berhimpit ke

dinding tembok, terdapat meja marmer ukuran kecil tempat beragam

keperluan sehari-hari diantaranya botol arak berikut slokinya (rupanya

nenek sesekali suka minum arak pada sebelum makan seperti orang-

orang Tionghoa tempo dulu. Katanya untuk penambah napsu makan).

Bagian Belakang juga sudah merupakan bagian tertutup dengan

dua pintu keluar (selain pintu utama penghubung Bagian Inti dengan

Bagian Belakang). Satu pintu untuk keluar ke arah halaman samping

kiri rumah sebelah belakang dan satu pintu lagi dekat dapur untuk

keluar ke kamar mandi, sumur dan halaman samping kanan rumah.

Berbeda dengan pintu utama yang menghubungkan Bagian Inti rumah

dengan Bagian Belakang yang terdiri dari dua daun pintu yang

membuka ke kiri dan ke kanan (dengan tinggi daun pintu sekitar 3 m),

pintu keluar di bagian belakang yang juga terdiri dari dua daun pintu,

tetapi terbagi atas daun pintu bagian atas dan daun pintu bagian

bawah (total tinggi kedua daun pintu itu sekitar 2 m). Dengan kata

lain, pintu dapat dibuka bagian atasnya saja sedang bagian bawahnya

tetap tertutup.

Bagian Belakang rumah Cigobang ini cukup besar dan

difungsikan sebagai ruang tamu sekaligus sebagai ruang keluarga. Di

sisi kiri rapat dengan tembok rumah dekat pintu keluar ke arah

halaman samping kiri belakang terdapat bale-bale besar. Bapak Doewe

atau tamu keluarga yang berkunjung ke nenek diterima di bale-bale ini

(lesehan). Di sebelah belakang bale-bale ada gambang (nenek sering

bermain gambang). Di sebelah belakangnya lagi ada beragam

pajangan dinding dan lemari kaca besar serbaguna. Ada pula sepasang

kursi malas panjang yang menyerupai dipan, dan sepasang kursi malas

ukuran lebih pendek. Selain itu, ada pula peti kecil yang berisi wayang

kulit yang biasa dipakai oleh pada dalang profesional, dan wayang

buatan nenek untuk cucunya yang gemar nonton wayang kulit dan

yang sok berlagak sebagai dalang. Berhadapan dengan bale-bale tadi,

21

Page 23: Cerita tentang Rumah Ciledug

terdapat pula bale-bale besar lagi yang berhimpit dengan tembok

pembatas dapur. Di bale-bale ini biasa digunakan untuk tidur-tiduran

(leyeh-leyeh). Di sebelahnya ada lemari makan besar dan meja makan

besar. Tidak jauh dari bale bale yang kedua tadi, ada jarak sekitar 2

meter dengan tembok pembatas yang memisahkan bagian Inti dan

bagian Belakang, yang digunakan sebagai jalan lurus dari pintu

belakang kiri ke pintu belakang kanan. Rapat dengan tembok

pembatas Bagian Inti dengan bagian belakang terdapat sepasang kursi

malas besar yang mengapit pintu utama masuk dari Bagian Belakang

ke Bagian Inti.

Ruangan dapur cukup besar. Ada dua buah tungku besar, bak

air, meja panjang seperti dipan untuk masak-memasak, rak piring dan

ada kamar untuk pembantu.

22

Page 24: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH CIGOBANG 2

HALAMAN SAMPING KIRI

Keluar dari pintu pada ’Bagian Belakang’ samping kiri ada dua

buah anak tangga beton. Jadi lantai rumah lebih tinggi dari halaman

luar. Tepat di depan pintu keluar tersebut (agak serong kiri) ada

pohon jambu biji (jambu klutuk), yang tinggi pohonnya hampir setinggi

rumah. Sesudah pohon jambu, ada sepasang kandang burung yang

relatif besar tertanam di tanah. Entah semula dimaksud untuk kandang

burung apa. Selama saya di sana, kandang tersebut tetap kosong. Di

samping pohon jambu dan kandang burung tadi (arah ke depan

rumah) terdapat taman buah yang didominasi oleh pohon jeruk siam.

Diantara pohon-pohon jeruk terdapat beberapa kandang burung puter

yang selalu berbunyi setiap saat, utamanya setiap pagi… kuk geruk…

kuk geruk… Ada pula kandang burung tuwou yang juga selalu berbunyi

tiap saat… culik culik tuwou…!! Di bagian agak ujung depan taman

terdapat pohon Duwet yang tidak pernah absent dihinggapi segala

jenis burung seperti Ketilang, Tekukur, Bondol, Srigunting, Emprit dan

lain-lain. Di depan taman terdapat gardu untuk penjaga. Antara gardu

dan tembok pagar rumah bagian sebelah depan, di samping pintu

gerbang pagar tembok, terdapat beberapa pohon kelapa. Sedang di

dekat gardu terdapat pohon mangga arum manis yang sangat rindang

seolah-olah memayungi gardu tersebut.

Jarak antara taman buah yang dipagari oleh pagar bambu

dengan tembok kiri Rumah Cigobang ada sekitar 3,5 m. Ini merupakan

jalan vital serba guna dari pintu gerbang pagar depan ke pintu bagian

belakang. Penghuni dan tamu keluar masuk melalui jalan ini. Pendopo

praktis tidak difungsikan dalam kehidupan sehari-hari. Pintu belakang

samping kiri inilah akhirnya seolah-olah menjadi pintu masuk utama.

Di sebelah kiri taman buah terdapat halaman terbuka kira-kira

seluas lapangan basket lebih. Halaman ini diperuntukkan bagi

23

Page 25: Cerita tentang Rumah Ciledug

menjemur padi, atau kacang tanah, kacang kedelai, daun tembakau

dan lain sebagainya (bisnisnya nenek). Sebelah kiri halaman terbuka

tersebut terdapat sederet bangunan sejenis rumah-rumah petak. Ada

tempat untuk menumbuk padi, ada ‘garasi’ delman, ada kandang

kuda. Nenek punya dua buah delman, yaitu delman biasa dan delman

terbuka tanpa atap untuk duduk dua orang. Barangkali persamaannya

dengan mobil adalah tipe mobil sport tanpa atap dua pintu. Memang di

sebelah belakangnya ada semacam bagasi terbuka, biasanya untuk

pembantu (kalau mau membawa pembantu yang diperlukan untuk

’memarkir’ delman, kali..). Orang bilang delman tersebut ’Per Purutul’

(yang artinya delman protol tanpa atap).

Di sebelah garasi delman tersebut arah belakang terdapat pula

ruangan untuk peralatan perlengkapan kuda dan berbagai pernak-

pernik lain. Tempat menumbuk padi terletak di sebelah ’garasi’ delman

arah ke depan. Di sebelahnya lagi ada ruangan terbuka untuk

mempersiapkan makanan kuda.

Kuda milik nenek adalah kuda betina yang diberi nama Kecrit (si

Kecrit). Ada tukang khusus yang mengurus si Kecrit. Sesudah kandang

kuda ke arah pagar tembok bagian depan kiri rumah di pojokan pagar

tembok, terdapat tempat pembuangan dan pembakaran sampah.

Yang digambarkan di atas adalah baru halaman samping kiri dari

batas pohon jambu klutuk ke arah depan. Sekarang kita lihat isi

halaman samping kiri dari batas pohon jambu klutuk ke arah belakang.

Ada sedikit halaman terbuka sebelum ’rumah panggung’ lumbung

padi. Saya sebut rumah panggung karena ada kolong rumah. Di

sebelah kiri rumah panggung ada wc. Setelah wc ke arah belakang ada

kandang domba yang saat itu terisi tidak kurang dari 40 ekor domba.

Tiap pagi dikeluarkan oleh petugas (cah angon) untuk diangon. Sore

hari kembali ke kandang.

Ujung depan rumah panggung berada sejajar dengan ujung

tembok bagian belakang rumah. Jadi posisi rumah panggung tersebut

24

Page 26: Cerita tentang Rumah Ciledug

menjorok ke halaman belakang. Jarak antara ujung tembok bagian

depan rumah panggung dengan ujung tembok rumah bagian belakang

kurang lebih 1 m dan terdapat pintu yang hanya dapat dibuka dari

halaman belakang rumah. Pintu tersebut berfungsi sebagai pintu

penghubung dari halaman belakang ke halaman samping kiri.

25

Page 27: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH CIGOBANG 3

HALAMAN SAMPING KANAN

Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, bahwa Bagian

Belakang memiliki 2 pintu keluar, di sisi kiri dan di sisi kanan. Pintu di

sisi kiri untuk keluar ke halaman samping kiri rumah sebelah belakang,

dan satu pintu lagi berada dekat dapur untuk keluar ke kamar mandi,

sumur dan halaman samping kanan.

Keluar dari pintu belakang samping kanan juga terdapat 2 anak

tangga ke arah kiri dan tanpa anak tangga ke arah kanan. Yang arah

kanan langsung menuju kamar mandi sedang yang arah kiri langsung

ke halaman samping kanan. Dengan kata lain, ketinggian lantai kamar

mandi sama dengan ketinggian lantai rumah. Atau lebih tinggi dari

halaman rumah. Lurus ke belakang sesudah kamar mandi ada sumur

dan saluran air untuk mengisi air kamar mandi dan saluran untuk

mengisi air bak air dapur. Di sebelah sumur, ada tempat untuk cuci

pakaian. Agak jauh dari sumur sekitar 8 m, terdapat resapan air dari

kamar mandi dan tempat cuci.

Sebagaimana tersebut di atas, kalau keluar ke arah kanan, kita

langsung menuju kamar mandi, sedang jika ke arah kiri, kita menuju

ke halaman samping kanan. Sejajar dengan kamar mandi (sebelah kiri)

ada bangunan rumah panggung kecil yang berdiri di atas kolam ikan.

Tinggi rumah panggung tersebut sama tingginya dengan tinggi rumah

inti. Biasanya rumah panggung tersebut digunakan untuk bersantai

lesehan. Di dekat rumah panggung terdapat kebun melati dan 3 pohon

rambutan serta pohon mangga gedong, dan pohon belimbing.

Halaman samping kanan dibatasi sampai ujung depan pendopo

rumah yang ditandai dengan pagar tembok melintang. Di luar itu

sudah termasuk halaman depan samping kanan.

26

Page 28: Cerita tentang Rumah Ciledug

Berada di halaman samping kanan ini, kita benar-benar merasa

berada dalam suatu halaman pribadi atau halaman keluarga,

sebagaimana layaknya suatu ruang keluarga.

Pola pagar pembatas tidak berbeda dengan pola pagar

pembatas samping kiri. Perbedaannya terletak pada posisi pintu

penghubung. Pada halaman samping kiri, pintu penghubung terdapat

di ujung Bagian Belakang sebelah kiri, yang berfungsi menghubungkan

halaman belakang dengan halaman samping kiri. Sedang pada

halaman samping kanan, pintu penghubung terdapat di ujung Pendopo

sebelah kanan yang berfungsi menghubungkan halaman depan

dengan halaman samping kanan. Sebagaimana pintu penghubung

halaman samping kiri yang hanya dapat dibuka dari halaman

belakang, pintu penghubung samping kanan pun hanya dapat dibuka

dari halaman samping kanan saja.

27

Page 29: Cerita tentang Rumah Ciledug

RUMAH CIGOBANG 4

HALAMAN BELAKANG DAN HALAMAN DEPAN

Halaman belakang rumah Cigobang banyak didominasi oleh

tanaman melati, mangga arum manis, nangka, sawo dan nanas. Pohon

nanas ini ditanam di tepi pagar tembok. Hampir seluruh keliling pagar

tembok ditanami pohon nanas. Di belakang lumbung padi di halaman

belakang terdapat kandang ayam. Jumlah ayam tidak banyak.

Biasanya hanya sekedar dipelihara untuk dikonsumsi. Selain ayam,

ada beberapa ekor angsa putih yang selalu ribut jika ada orang masuk

ke halaman belakang. Keberadaan angsa putih tersebut terkesan

dijadikan penjaga halaman belakang. Angsa-angsa tersebut tidak

pernah melewati wilayah sumur untuk masuk ke halaman samping

kanan.

Halaman belakang nyambung langsung dengan halaman kanan

samping sampai tembok pembatas di ujung pendopo. Karenanya,

untuk ke halaman belakang, pintu masuk yang paling banyak

digunakan adalah pintu rumah Bagian Belakang samping kanan.

Sedang pintu penghubung yang berfungsi sebagai penghubung

halaman belakang ke halaman samping kiri pada hakekatnya hanya

digunakan dari halaman belakang ke halaman samping kiri. Dengan

demikian, kamar mandi, sumur, terkesan berada di halaman belakang.

Demikianlah adanya, karena memang walaupun posisinya berada di

halaman samping kanan, tetapi terletak di ujung bagian belakang

rumah yang menyatu dengan halaman belakang.

Halaman depan pada sisi kanan tidak banyak berperan dalam

kehidupan sehari-hari. Hal ini karena adanya tembok pembatas di

ujung Pendopo yang memisahkan halaman samping kanan sampai

halaman belakang. Selain itu, barangkali karena Pendopo rumah yang

praktis tidak difungsikan sebagaimana mestinya.

28

Page 30: Cerita tentang Rumah Ciledug

Hal tersebut berbeda dengan halaman depan pada sisi kiri.

Halaman depan kiri tidak memiliki pembatas dengan halaman samping

kiri sampai kandang domba. Banyak sekali kegiatan sehari-hari yang

berlangsung di halaman samping kiri, seperti misalnya kegiatan rutin

pemeliharaan kuda, menumbuk padi, urusan jemur-menjemur (bisnis

nenek), perawatan burung-burung di taman tanaman jeruk siam, jalan

keluar masuk domba-domba termasuk jalan lalu lintas sehari-hari

penghuni dan pengunjung dan lain sebagainya.

Gardu penjaga yang berada di ujung taman buah jeruk siam

sebagaimana telah disebutkan terdahulu, yang dinaungi pohon

mangga arum manis yang rindang, turut meramaikan kehidupan

sehari-hari halaman samping kiri. Gardu tersebut sering digunakan

sebagai tempat tidur penjaga gardu.

29

Page 31: Cerita tentang Rumah Ciledug

Cileduk atau Ciledug..?(Rumah Cileduk atau Rumah Ciledug..?)

Saya baru sadar bahwa selama ini saya tidak pernah memperhatikan ikhwal

penulisan Cileduk atau Ciledug. Saya juga tidak tahu kapan saya menuliskan Cileduk

atau Ciledug sampai ada yang nanya : yang benar Cileduk atau Ciledug ?

Saat ini orang selalu menuliskan Ciledug. Demikian pula.pada prasasti di depan

gedung gereja St. Theresia ( pemberkatan 3 – 10 – 1971 ) tertulis Tjiledug.(ejaan lama)

Pada prasasti (renovasi 1997) juga tertulis Ciledug (sesuai ejaan baru). Jadi semuanya

menggunakan huruf g bukan huruf k. Kata rekan rekan yang tinggal di Jatiseeng dan

Ciledug, baik Kantor Kecamatan maupun Kantor Pos telah menuliskan Ciledug bukan

Cileduk. Jika demikian halnya, maka tentunya pembenaran harus merujuk setidaknya

kepada kedua instansi resmi pemerintah tersebut. Dengan lain perkataan, pada saat ini

penulisan yang seyogyanya dibenarkan adalah Ciledug bukan Cileduk.

Saya memang jarang sekali berurusan dengan penulisan Ciledug, karena sudah

sekian lama tidak tinggal di Ciledug. Namun, saat saya harus menulis tentang Bapak

Doewe, ayah saya, kata Ciledug tidak mungkin ditinggalkan. Ciledug atau Cileduk..?

Rumah Cileduk atau Rumah Ciledug...?

Seingat saya, selama ini saya sering menuliskan Cileduk alih alih Ciledug. Dalam

surat surat pribadi tahun 50- an paling banyak tertulis Tjileduk. Namun, pada foto

keluarga Doewe yang baru baru ini ditemukan, di sebelah belakangnya ada tulisan saya :

Tjiledug, Des 1959. Jadi, saya sendiri pada tahun 50-an ternyata telah menuliskan

Tjileduk dan Tjiledug secara bergantian tanpa disadari.

Di sisi lain, timbul pertanyaan: sepenting itukah harus tahu mengapa Ciledug atau

Cileduk ? Masalahnya bukan penting atau tidak penting. Ini hanya untuk bahan penulisan

tulisan ini semata, lain tidak.. ! Penasaran...?

Merasa penasaran saya coba membongkar lebih jauh beberapa arsip surat surat/

dokumen lama yang masih dapat saya temukan. Dalam surat/dokumen lama ( sebelum

1942 ) yang saya temukan, semuanya tertulis Tjiledoek (.dengan huruf k )

Berikut ini adalah beberapa contoh:

30

Page 32: Cerita tentang Rumah Ciledug

1. Cap sekolah dari Excelsior School (1934 – 1937 ) tertulis Tjiledoek

31

Page 33: Cerita tentang Rumah Ciledug

2. Amplop surat untuk Bapak Doewe dari Pekalongan..tertulis Tjiledoek (surat

dikirim tanggal 6 – 8 – 1937 ). Perhatikan juga cap kantor pos Tjiledoek saat surat

diterima dimana tertulis Tjiledoek 7 – 8- 37.

32

Page 34: Cerita tentang Rumah Ciledug

33

Page 35: Cerita tentang Rumah Ciledug

3. Surat (kartupos) untuk keluarga Bapak Doewe dari Magelang tertulis Tjiledoek

(surat dikirim tanggal 17 Oct 1937. Diterima di kantor pos Tjiledoek 18-10-37 )

Dari dokumen tahun 1943 dan sesudahnya

1 Dalam surat Bapak Doewe tahun 1943 tertulis Tjiledoeg

34

Page 36: Cerita tentang Rumah Ciledug

2 Beberapa dokumen pribadi tahun 1951 – 1954 ada yang tertulis

Tjiledoeg,walaupun ada juga yang tertulis Tjiledoek

( Contoh tidak tersertakan )

3 Surat untuk Bapak Doewe (dari London Des 1965) tertulis Tjiledug

Saya menduga – duga bahwa perubahan penulisan Cileduk (dengan k) menjadi Ciledug

(dengan g) terjadi pada masa pejajahan Jepang (1942 - 1945).

Ini baru dugaan atau perkiraan saya saja lho..!

Teringat akan huruf Korea di mana huruf g dan huruf k adalah sama, saya coba

tanyakan kepada keponakan saya yang lulusan sastra Jepang, Dinna Horsting (anak

Bapak Joseph Soesanto yang nomer 4, yang saat ini bermukin di negara Belanda), apakah

ada perbedaan huruf g dan huruf k, dalam tulisan Jepang. Menurut dia, dalam huruf

Kanna (Jepang) huruf k dan huruf g adalah sama, tapi bunyi bisa berbeda. Nah, lho..kalau

begitu,kira kira ada benarnya dong perkiraan saya tadi. Dalam hal ini,misalnya, saat

orang Jepang menuliskan Cileduk dengan k, bisa dibaca juga sebagai Ciledug, atau

setidaknya dapat terdengar bunyi g. (kalau salah bacanya ). Dalam perkembangannya,

35

Page 37: Cerita tentang Rumah Ciledug

patut diyakini bahwa masyarakat setempat merasa lebih nyaman melafalkan Ciledug

daripada Cileduk. Demikian pula menurut salah seorang teman yang tinggal di Jatiseeng,

katanya lebih enak mengucapkan Ciledug ,ketimbang Cileduk. Masuk akal juga, dan

boleh jadi juga.

Boleh jadi juga dengan alasannya,barangkali karena orang setempat lebih merasa

nyaman bila melafalkan kata Ciledug daripada Cileduk. Demikian pula halnya

barangkali orang merasa lebih nyaman jika melafalkan kata Godeg daripada Godek, atau

Gebleg daripada Geblek, Badeg (bau) daripada Badek. Soal benar

tidaknya, ....walahualam.!

Di sekitar Jakarta/Tanggerang ada juga wilayah yang bernama Ciledug dan orang

orang setempat tampaknya lebih senang melafalkannya dengan g (Ciledug) daripada

dengan k (Cileduk).

36