Cerita tentang Rumah Ciledug
-
Upload
sashamsyah -
Category
Documents
-
view
507 -
download
4
Transcript of Cerita tentang Rumah Ciledug
ANEKA KISAHTENTANG
RUMAH
F.X.Soesmoyo
November, 2009
1
RUMAH JATISEENG / RUMAH CILEDUG 1
Akhir-akhir ini di kalangan anak, cucu dan cicit Bapak Doewe
telah bermunculan sejumlah ide atau gagasan yang bernuansakan
nostalgia seputar Bapak Doewe. Salah satu ide diantaranya, yang juga
telah mulai mengkristal adalah ikhwal Rumah Jatiseeng, rumah tempat
Bapak Doewe tinggal sejak tahun 1931-1966. Di kalangan mereka,
Rumah Jatiseeng biasa disebut Rumah Ciledug. Itulah sebabnya, salah
seorang cucu Bapak Doewe yang ingin menampung sejumlah tulisan
kenangan tentang rumah Jatiseeng sesuai kenangannya masing-
masing dalam sebuah blog, menyebut alamat blognya:
doeweciledug.blogspot.com , alih-alih doewejatiseeng.
Saya tidak tahu persis kapan tepatnya ide tersebut lahir. Yang
jelas ide tersebut mencuat ke permukaan terhitung sejak rumah
Jatiseeng terjual pada tanggal 4 Mei 2009. Mungkin tidak banyak
diantara cucu dan cicit Bapak Doewe yang secara pribadi memiliki
kenangan khusus atas rumah Jatiseeng dimaksud, walaupun hanya
sepenggal-sepenggal. Maklum, anak, cucu, cicit Bapak Doewe
umumnya tersebar jauh dari Jatiseeng dan hanya sekali-sekali singgah
ke rumah Jatiseeng.
Foto rumah Jatiseeng sebagaimana tampak depan dalam blog
doeweciledug, bukanlah rumah Jatiseeng yang didirikan tahun 1908.
Itu adalah bagian tambahan yang didirikan tahun 1957, setelah rumah
Cigobang dibongkar. Bagian tersebut semula merupakan pendopo.
Rumah Jatiseeng aslinya terdiri dari tiga bagian, sebagaimana rumah-
rumah jaman baheula umumnya. Bagian pertama disebut pendopo,
berupa ruangan terbuka yang berada di bagian terdepan. Bagian
kedua adalah bagian inti rumah dan bagian ketiga adalah bagian
belakang yang berupa ruangan terbuka, seperti halnya pendopo,
berikut dapur. Kamar mandi dan wc terletak di luar rumah berdekatan
dengan sumur. Di dekat sumur terdapat 2 tempat saluran air. Saluran
2
satu untuk mengisi bak air kamar mandi sedang saluran kedua untuk
mengisi bak air dapur.
Pendopo rumah biasanya digunakan sebagai ruang tamu
terbuka. Batas pendopo rumah Jatiseeng dimulai dari dua pilar bulat
besar yang berdiri terpisah sekitar 2,5 m dari pintu utama depan
sampai tangga masuk depan rumah. Di pendopo inilah Bapak Doewe
pernah membuka kelas-kelas ”sekolah binaannya” di penghujung
tahun 1949. Cikal bakal Sekolah Santo Thomas.
Sejak tahun 1957, pendopo tersebut diubah menjadi ”rumah
kedua” dengan dua kamar tidur di sisi selatan yaitu satu kamar tidur
ukuran kecil (antara batas bagian inti dengan pilar) dan satu kamar
tidur ukuran besar (dari pilar sampai pintu depan). Di depan kamar
tidur ukuran kecil terdapat ruangan memanjang yang biasa digunakan
sebagai ruang makan, yang disekat tembok dari pilar bulat. Sedang di
depan kamar tidur besar terdapat ruang terbuka sebagai ruang tamu
dan atau ruang serba guna. ”Rumah kedua” tersebut kemudian
ditempati oleh keluarga putri sulung Bapak Doewe ( Kel. F.J.
Moedjihardjo).
Bagian inti rumah terdiri dari dua kamar tidur utama yang
terletak di sisi utara dan sisi selatan berhadap-hadapan. Ruangan
antara kedua kamar tidur utama tersebut digunakan sebagai ruang
keluarga. Pada masa dulu di ruang inilah pada malam hari biasa
digunakan sebagai tempat keluarga sembahyang bersama. Biasanya
dimulai dari rosario, litani Santa Perawan Maria dan ditutup dengan
doa malam. Bersebelahan dengan kamar tidur utama sisi utara
terdapat satu kamar serba guna, semacam gudang dalam rumah. Di
dalam kamar serba guna tersebut terdapat semacam peti besar
berukuran ± 2 x 1m dengan tinggi ± 75cm yang digunakan sebagai
tempat penyimpanan perabot rumah tangga. Orang menyebutnya
“Geledeg”.
3
Di depan kamar serba guna tersebut, terdapat ruangan terbuka.
Ruangan ini pernah digunakan sebagai ruang makan dan ruang kerja
Bapak Doewe. Pada saat sekarang dalam ruangan ini telah didirikan
kamar mandi. Terdapat dua pintu utama yang membatasi bagian inti
dengan bagian belakang dan bagian inti dengan bagian depan
(pendopo). Pada saat ini ada tambahan pintu yang memisahkan ruang
tidur utama dan kamar serba guna yang terdapat di dalam bagian inti.
Dengan kata lain, di dalam bagian inti terdapat tiga buah pintu utama.
Bagian belakang rumah merupakan ruang terbuka. Dalam
ruangan terbuka tersebut terdapat bale-bale besar yang biasa
digunakan untuk ruang tamu (lesehan) keluarga atau orang yang
sudah dianggap seperti keluarga. Pada saat sekarang di bagian
belakang tersebut terdapat dua kamar, gudang besar dan kamar
mandi yang terletak di depan dapur. Tidak ingat persis sejak kapan
dan mengapa dapur tersebut kemudian ditutup dan digunakan sebagai
gudang.
Kamar mandi dan wc yang berada di luar rumah pada saat ini
sudah tidak digunakan lagi. Sumur terletak di depan kamar mandi,
sedangkan di depan wc terdapat kolam ikan yang kemudian ditutup
dan dijadikan lumbung padi. Tidak jauh dari kamar mandi dan wc,
arah selatan berhimpit dengan pagar tembok rumah, terdapat
bangunan yang biasa digunakan untuk tempat menumbuk padi. Di
sampingnya kemudian didirikan pula kandang kuda dan ”garasi”
delman. Bangunan tempat menumbuk padi, kandang kuda dan garasi
delman pada saat ini sudah tidak tampak bekasnya lagi.
Konon menurut cerita Bapak Doewe, rumah Jatiseeng tersebut
memang didirikan khusus untuk Bapak Doewe sebagai hadiah ulang
tahunnya yang pertama. Tercatat di tembok sebelah atas pintu utama
belakang (pintu utama sebagai pemisah bagian inti dan bagian
belakang) 28/12/1908 , tanggal saat rumah selesai dibangun. Halaman
rumah dikelilingi pagar tembok setinggi kurang lebih 2 meter.
4
5
RUMAH JATISEENG / RUMAH CILEDUG 2
Foto rumah Jatiseeng sebagaimana tercantum dalam blog
doeweciledug, tampak sangat kumuh dan menyedihkan. Kumuh luar
dalam secara menyeluruh. Maklum lah rumah tersebut sejak tahun
1988 mulai kurang terawat secara berkelanjutan. Semula setelah Ibu
Doewe meninggal tahun 1975, putri sulungnya (Maria Soesilah
Moedjihardjo) masih tinggal di rumah Jatiseeng sampai beberapa saat
setelah Bapak Moedjihardjo meninggal dunia tahun 1984. Kemudian ia
pindah ke Jakarta setelah membeli rumah di kompleks Perumahan
Taman Kedoya Permai hingga akhir hayatnya 4 Maret 2004.
Selanjutnya putra ketiga Bapak Doewe (Yosef Soesanto) sempat
juga tinggal di rumah Jatiseeng beberapa bulan sampai saat meninggal
tahun 1988. Setelah itu rumah hanya ditunggui oleh kerabat Bapak
Doewe dengan perawatan seadanya, tanpa pemeliharaan rutin yang
berarti, sampai saat rumah terjual tahun 2009.
Rumah ini menyimpan banyak ragam kenangan bagi segenap
keturunan Bapak Doewe, mulai dari yang hanya sekedar tahu sampai
mereka yang benar-benar memiliki kenangan yang sangat mendalam
dan sulit mereka lupakan.
Untuk sekedar memperoleh bayangan visual, berikut adalah
foto2 rumah Jatiseeng (tampak dalam) yang diangkat dari foto
kunjungan Mgr P.M. Arntz
OSC dan peringatan HUT ke 1 Senam Yoga Sari Dewi Ciledug.
Mudah-mudahan upaya visualisasi kondisi rumah Jatiseeng
bagian dalam melalui foto-foto tersebut dapat memberi gambaran
kepada mereka yang belum pernah melihat rumah Jatiseeng secara
langsung seutuhnya.
6
Foto 1
Mgr P.M. Arntz OSC berdiri di antara 2 pilar bulat. Di sebelah kanannya tampak pintu kamar tidur ukuran kecil.
Foto 2
Anak laki-laki tertua Bapak/Ibu Moedjihardjo (A. Soesdihardjo) yang sedang memberi sambutan berdiri di depan pintu kamar tidur ukuran besar.
7
Foto 3
Ibu-ibu peserta senam yoga yang tengah merayakan HUT ke 1 duduk di depan kamar tidur ukuran besar dan kamar tidur ukuran kecil. Lantainya adalah tegel dari rumah Cigobang. Perhatikan tegel berwarna, dulu di rumah Cigobang tegel tersebut juga terdapat di bagian pendopo rumah.
Foto 4
Ibu-ibu duduk di ruang terbuka (yang biasa digunakan sebagai ruang tamu) di depan kamar tidur ukuran besar.
8
Foto 5
Ibu-ibu duduk di ruangan terbuka (yang biasa digunakan sebagai ruang makan) di depan kamar tidur ukuran kecil. Dalam foto ini tampak pintu utama bagian inti rumah Jatiseeng dengan pendopo yang telah menjadi “rumah kedua” (di samping kiri Bapak Moedjihardjo) dan pintu penyekat dalam bagian inti rumah.
9
Foto 6
Sebagian ibu-ibu duduk di ruang terbuka di depan kamar tidur ukuran kecil dan sebagian lagi duduk di ruangan terbuka di depan kamar ukuran besar. Perhatikan 2 pilar bulat utama dan pintu utama pemisah bagian inti dengan bagian pendopo serta pintu pemisah dalam rumah inti. Sekarang bagian pendopo tersebut telah menjadi rumah kedua.
Foto 7
10
Foto 8
Teras depan rumah. Tampak Ibu Doewe dan putri sulung (Ibu Moedji berikut anak, mantu dan cucu) dan putri bungsu (Ibu Hardjatmo beserta kedua anaknya)
11
RUMAH YU SIN
Berdampingan dengan Rumah Jatiseeng / Rumah Ciledug, arah
utara, terdapat rumah milik Ibunda Bapak Doewe yang kemudian
dikenal dengan julukan “Rumah Yu Sin”. Dijuluki demikian karena
menurut kisahnya ada orang Tionghoa bernama Yu Sin dengan anak-
anaknya yang masih kecil-kecil yang terusir oleh sesama orang
Tionghoa lain dari rumah kontrakannya, minta tolong kepada ibunda
Bapak Doewe untuk menyewa rumah tersebut. Iba karena melihat
anak-anaknya yang masih kecil-kecil, ibunda Bapak Doewe
mengizinkannya dengan catatan kelak kalau cucu perempuannya telah
menikah, agar segera pindah dari rumah tersebut. Ibunda Bapak
Doewe berencana akan menghadiahkan rumah tersebut kepada cucu
perempuannya.
Kesepakatan antara Yu Sin dengan ibunda Bapak Doewe tanpa
disertai dokumen tertulis apapun. Demikianlah, saat cucu
perempuannya menikah awal tahun 1948, Yu Sin dan keluarganya
bersikukuh tidak mau pindah sebagaimana kesepakatannya beberapa
tahun silam. Kondisi ini cukup mengguncang batin ibunda Bapak
Doewe. Beliau sulit untuk memahami mengapa ada manusia seperti
Yu Sin yang tidak tahu berterima kasih dan atau berbudi baik.
Mengingkari semua kebaikan ibunda Bapak Doewe saat beliau
menolongnya beberapa tahun silam, yang karena berbelas kasih dan
iba hati atas ratapannya sambil berlindung di belakang anak-anaknya
yang masih kecil-kecil. Yah inilah seperti peribahasa : “Air susu dibalas
dengan air tuba.”
Saya tidak ingat persis upaya hukum apa yang ditempuh Bapak
Doewe sehingga Yu Sin dan segenap keluarganya mau meninggalkan
rumah tersebut dengan sejumlah pesangon. Itulah sekelumit kisah
tentang Rumah Yu Sin yang saya ketahui.
12
Rumah tersebut kemudian dijadikan sebagai rumah pertemuan
sosial untuk beberapa saat. Kemudian beralih fungsi menjadi semacam
“gudang” serba guna.
Dalam perjalanan selanjutnya, setelah Bapak/Ibu Doewe
meninggal, kondisi rumah semakin menyedihkan tanpa perawatan.
Namun demikian Rumah Yu Sin tersebut disertifikatkan terpisah dari
sertifikat Rumah Jatiseeng/ Rumah Ciledug berikut Rumah Walet. Saya
kurang tahu persis mengapa demikian. Barangkali riwayat asal usul
rumah tersebut memang berbeda dengan riwayat asal usul Rumah
Jatiseeng/ Rumah Ciledug dan Rumah Walet. Walahualam.
13
RUMAH TRANSIT / RUMAH PRIHATIN
Yang dimaksud dengan Rumah Transit/ Rumah Prihatin di sini
adalah sebuah rumah kecil yang terletak di sisi kiri kedua (arah utara)
dari Rumah Jatiseeng/Rumah Ciledug. Tepatnya di sebelah kiri depan
Rumah Yu Sin atau antara Rumah Yu Sin dan Rumah Walet. Saya tidak
ingat persis untuk apa peruntukannya semula. Tetapi yang jelas bahwa
rumah tersebut merupakan bangunan yang seluruh materialnya
berasal dari sebagian material rumah Cigobang yang dibongkar sekitar
tahun 1957, setelah ibunda Bapak Doewe meninggal dunia pada tahun
1956.
Kalau saja rumah tersebut “bisa ngomong, pasti tidak akan
bohong” untuk bercerita bahwa mereka yang pernah menghuninya
memiliki segudang dongeng suka dan duka. Namun mereka barangkali
lebih senang menyebutnya sebagai dongeng duka dan suka, karena
konon katanya lebih banyak dukanya daripada sukanya. Walahualam…
!
Mereka yang pernah menghuni rumah tersebut niatnya semula
memang untuk tinggal sementara atau hanya untuk sekedar transit.
Tinggal sementara memang dapat diartikan sebagai sekedar transit.
Mereka yang dalam posisi transit, pastinya dibayangi nuansa
keprihatinan dengan kadarnya masing-masing yang berbeda. Itulah
barangkali mengapa diantara mereka yang pernah menempati rumah
tersebut ada yang menyebutnya sebagai Rumah Transit, tapi ada pula
yang menyebutnya sebagai Rumah Prihatin. Apa pun istilah atau
sebutannya, yang pasti nuansanya tidak jauh berbeda.
Anak kedua Bapak Doewe (Yohanes Soeseno) pernah tinggal
cukup lama (transit yang agak lama) di rumah tersebut, setelah
perkawinannya dengan seorang bidan asal Yogyakarta (Maria
Imaculata Moerdjiah). Ia bekerja di pabrik gula Karangsuwung, seusai
kepindahannya dari pabrik gula Pagotan. Anak yang pertama (Ani) dan
14
yang ke dua (Lia) barangkali masih memiliki cerita kenangan tersendiri
ikhwal Rumah Transit/Rumah Prihatin tersebut.
Putri bungsu Bapak Doewe (Theresia Soestiati) juga pernah
tinggal beberapa lama, sementara suaminya (Alfons Hardjatmo) yang
bertugas di Jakarta mengurus kepindahan tugas barunya. Mereka
lebih memilih sebutan Rumah Prihatin, karena katanya selama tinggal
di rumah tersebut penuh dengan segala keprihatinan dan bukan hanya
sekedar transit.
Anak ketiga Bapak Doewe (Yosef Soesanto) setelah
menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan
sekalipun tidak menempati rumah tersebut, namun selalu “nimbrung”
di rumah itu ketika masih jobless (1967-1968). Saat itu yang
menempati rumah tersebut adalah putri bungsu Bapak Doewe. Karena
Bapak Doewe sudah meninggal, Ibu Doewe sering menyambangi putri
bungsunya ketimbang tinggal sendirian di Rumah Jatiseeng. Di sini lah
anak ketiganya yang masih jobless dan masih bujangan turut serta
bergabung.
Bapak Saswidoyo (Kepsek SMP Santo Thomas periode
1958/1959-1962/1963) saat pertama kali kedatangannya di Jatiseeng
Ciledug juga pernah tinggal beberapa lama di rumah tersebut, karena
rumah yang sedianya untuk para guru masih digunakan sebagai ruang
kelas.
Dalam perjalanan selanjutnya, ada pula ibu-ibu guru SD dan SMP
Santo Thomas yang untuk sementara tinggal di rumah tersebut.
Kalau saja rumah tersebut bisa ngomong…….!
15
RUMAH WALET
Dikenal dengan sebutan Rumah Walet karena rumah tersebut
kemudian digunakan seluruhnya untuk pengelolaan burung walet,
yang konon sarangnya banyak khasiatnya. Karena dipercaya banyak
khasiatnya, maka harga jual sarangnya sangat mahal. Biasanya naik
turun harganya sebanding dengan naik turun harga emas.
Cerita awalnya adalah saat anaknya Bapak Doewe yang ke
empat (Franciscus Xaverius Soesmoyo yang sejak bayi tinggal
bersama neneknya di Cigobang) disuruh bersekolah di Maria School
Cirebon bersama kedua kakaknya pada tahun 1946, ibunda Bapak
Doewe kemudian pindah ke Jatiseeng dan tinggal di Rumah Walet.
Rumah tersebut semula milik Bapak Maskat (kakek Bapak Doewe dari
jalur ibundanya). Sepeninggal Bapak Maskat, terjadi pembagian waris.
Saya tidak tahu tepatnya bagaimana proses dan atau tata tertib aturan
pembagian waris tersebut. Yang saya ketahui hanya sebatas bahwa
rumah tersebut kemudian menjadi milik ibunda Bapak Doewe.
Keabsahan pembagian waris didokumentasikan dalam foto bersama
dengan tulisan di papan tulis bahwa pembagian waris telah sah
adanya dan disaksikan oleh saksi-saksi. Dipercaya pula bahwa
keturunan dari ketiga anak-anak Bapak Maskat (Bapak Soemasetra,
Ibu Sarpit/ibunda Bapak Doewe dan Ibu Detri) masih menyimpan foto
dokumentasi tersebut sampai sekarang.
Beberapa saat setelah ibunda Bapak Doewe tinggal di rumah
peninggalan/warisan Bapak Maskat tersebut, ada beberapa ekor
burung sriti (sejenis burung walet tetapi sarangnya dari daun cemara,
sedang burung walet sarangnya dibuat dari air liurnya), yang
memasuki rumah dan bersarang. Di Ciledug sudah ada beberapa
rumah yang telah dijadikan rumah walet diantaranya rumah orang tua
Bapak Liem Hong Bouw. Hasilnya sangat memuaskan. Tetapi menurut
cerita, burung walet adalah burung yang biasa disebut memiliki
16
kekhususan yang sulit ditangkap nalar. Burung tersebut tidak bisa
dipelihara sesuai kemauan manusia secara umum. Ada orang yang
dengan sengaja membuat rumah burung walet tetapi waletnya tidak
kunjung datang walaupun rumah tersebut berdampingan dengan
rumah walet yang telah ada. Di sisi lain, ada orang yang tiba-tiba
rumahnya diserbu oleh burung walet. Hoki kata mereka.
Dalam hal ibunda Bapak Doewe, naluri bisnisnya mulai jalan
melihat ada burung sriti bersarang di rumahnya. Bagian pendopo
rumah segera dikosongkan, ditutup dan dibuatkan papan-papan untuk
tempat burung membuat sarang. Beliau bergeser pindah ke bagian
belakang dengan menyertakan dua kamar dari bagian inti rumah.
Beliau menempati kamar di sisi utara sedang kamar di sisi selatan
untuk cucunya (FX Soesmoyo) saat pulang libur sekolah.
Ibunda Bapak Doewe berjuang mulai dari menetaskan telur demi
telur burung walet pada sarang burung sriti dengan harapan kelak
setelah menetas dan besar mereka mau tinggal di rumah tersebut.
Betapa tekunnya beliau. Menggunakan tangga untuk memanjat,
menukar telur burung sriti dengan telur burung walet sarang demi
sarang. Hal tersebut dilakukan dari tahun ke tahun sampai akhirnya
keberuntungan dan berkat Tuhan menyertainya. Jadilah beliau seorang
pengelola sarang burung walet yang hasilnya aduhai...!
Selama beliau tinggal di Jatiseeng, rumah Cigobang
dipercayakan kepada anak saudara sepupu suaminya. Beliau terus
menekuni bisnis sarang burung walet bersama Bapak Doewe sampai
akhir hayatnya tahun 1956.
Bapak Doewe tinggal meneruskan warisan usaha sarang burung
walet ini sampai beliau meninggal tahun 1966. Diteruskan oleh Ibu
Doewe sampai 1975. Diwariskan kepada anak-anak Bapak Doewe dan
mereka mempercayakannya kepada adik bungsunya.
Rumah Walet, walaupun sejak Ibu Doewe meninggal, sudah tidak
terurus lagi sebagaimana layaknya, tetapi burung waletnya masih
17
tetap setia menghuni dan menghasilkan. Hambatan utamanya adalah
pencurian sarang burung walet.
Sampai saat rumah Jatiseeng terjual, pada hakekatnya Rumah
Walet tersebut masih menghasilkan walaupun tidak seberapa. Maklum
tanpa perawatan yang memadai disamping bersaing dengan para
pencuri.
Dalam hal Rumah Walet barangkali anak Bapak Doewe no 4
yang paling banyak memiliki kenangan atas rumah tersebut. Hal ini
mengingat sejak sekolah di Cirebon, SMP Kanisius di Salatiga dan SMA
de Britto Yogyakarta, saat liburan sekolah tinggal di rumah tersebut
bersama neneknya. Walahualam...
18
RUMAH CIGOBANG 1
BANGUNAN RUMAH
Cigobang adalah desa tempat dimana Bapak Sakim
Sastrabangsa (ayahanda Bapak Doewe) pernah menjabat sebagai
Kuwu. Letaknya arah selatan dari Jatiseeng sekitar 5-6 km dari desa
Jatiseeng. Atau mungkin juga lebih atau bahkan kurang. Saya belum
pernah mengukurnya secara pasti. Dulu sewaktu saya masih kecil
(umur 6-7 tahun) sering jalan kaki bersama nenek dari rumah nenek di
Cigobang ke Jatiseeng. Menurut cerita dulu, katanya jaraknya hanya
sekitar 4 km saja. Entahlah…
Yang dimaksud dengan rumah Cigobang adalah rumah keluarga
Bapak Sakim Sastrabangsa, rumah tempat Bapak Doewe dibesarkan.
Kata orang, sejak bayi, saya anak Bapak Doewe no 4, sudah tinggal di
Cigobang. Bersekolah di Sekolah Desa Cigobang sampai kelas 2.
Setelah itu pindah sekolah ke Maria School Cirebon. Jadi, kira-kira 7
tahun lebih saya tinggal di Rumah Cigobang. Walaupun demikian, saat
ini saya (yang sudah berumur 71 tahun lebih) masih mampu
membayangkan bagaimana garis besar denah dan isi Rumah
Cigobang. Hanya masalah berapa luas sebenarnya tanah Rumah
Cigobang, saya tidak tahu. Tapi yang jelas sekian ribu meter persegi
lah.
Tipe rumah sama seperti tipe rumah jaman dulu, yaitu terbagi
dalam tiga bagian. Bagian Pendopo terletak di bagian depan. Bagian
tengah yang merupakan Bagian Inti, dan Bagian Belakang sebagai
ruang serba guna berikut dapur. Kamar mandi dan WC berada di luar
rumah.
Pendopo Rumah Cigobang sudah merupakan ruangan tertutup,
lebih mirip sebagai ruang tamu modern daripada sebuah pendopo.
Terisi dengan tiga perangkat kursi tamu dengan meja marmer bundar,
sepasang kursi malas panjang juga turut mengisi pendopo yang sudah
19
mirip sebagai ruang tamu. Di kiri kanan pintu utama (pintu dengan
ketinggian sekitar 3 m), yang menghubungkan Pendopo dengan
Bagian Inti rumah terdapat pajangan kepala menjangan (dari kayu)
berikut tanduknya yang asli. Di ujung pendopo ada pagar antik terbuat
dari kayu mengelilingi pendopo (kiri, kanan dan depan). Seingat saya,
selama itu ruang pendopo hampir tidak pernah digunakan. Tiap hari
hanya dibersihkan terus. Demikianlah, pendopo Rumah Cigobang ini
sudah tidak sepenuhnya seperti pendopo tradisional baik menurut
bentuknya atau berdasarkan fungsinya. Keluar dari pendopo, ada
’halaman kecil’ dengan jalan ditaburi batu-batu kecil sampai halaman
luar depan sebelum pagar tembok rumah bagian depan. Jarak halaman
luar ke tembok rumah ada sekitar 8 m. Di tengah-tengahnya ada
pohon mangga arum manis yang sangat rindang.
Bagian Inti rumah terdiri dari dua kamar tidur utama berhadap-
hadapan dan satu kamar serbaguna yang digunakan sebagai gudang
dalam rumah, tempat menyimpan perabot rumah tangga. Di depan
kamar serbaguna tersebut hanya berupa ruangan terbuka. Jarak
antara kamar utama dengan kamar utama yang berhadap-hadapan
tersebut sekitar 3 m. Di dalam tiap kamar tidur utama, terdapat satu
tempat tidur besi besar lengkap dengan kelambunya, satu lemari
pakaian berukir ukuran besar dan sebuah meja kecil serbaguna.
Lemari pakaian yang ada di kamar nenek merupakan lemari besar
dengan satu daun pintu yang hampir seluruhnya tertutup kaca rias
persegi. Di sisi kiri dan kanan lemari ada ukiran beberapa ekor kera
kecil yang sedang bergantungan pada ranting-ranting pohon. Bagian
bawah lemari terdiri dari dua ukiran anjing yang sedang tengkurap
dengan kepala tegak. Dengan kata lain tampak bahwa bagian depan
lemari ditopang oleh dua ekor anjing.
Di bagian belakang Bagian Inti, terdapat pintu utama (tinggi
pintu sekitar 3 m) yang menjadi pembatas antara Bagian Inti dengan
Bagian Belakang. Panjang Bagian Inti, dari pintu utama depan sampai
20
pintu utama belakang, sekitar 12 m. Di jalur tersebut berhimpit ke
dinding tembok, terdapat meja marmer ukuran kecil tempat beragam
keperluan sehari-hari diantaranya botol arak berikut slokinya (rupanya
nenek sesekali suka minum arak pada sebelum makan seperti orang-
orang Tionghoa tempo dulu. Katanya untuk penambah napsu makan).
Bagian Belakang juga sudah merupakan bagian tertutup dengan
dua pintu keluar (selain pintu utama penghubung Bagian Inti dengan
Bagian Belakang). Satu pintu untuk keluar ke arah halaman samping
kiri rumah sebelah belakang dan satu pintu lagi dekat dapur untuk
keluar ke kamar mandi, sumur dan halaman samping kanan rumah.
Berbeda dengan pintu utama yang menghubungkan Bagian Inti rumah
dengan Bagian Belakang yang terdiri dari dua daun pintu yang
membuka ke kiri dan ke kanan (dengan tinggi daun pintu sekitar 3 m),
pintu keluar di bagian belakang yang juga terdiri dari dua daun pintu,
tetapi terbagi atas daun pintu bagian atas dan daun pintu bagian
bawah (total tinggi kedua daun pintu itu sekitar 2 m). Dengan kata
lain, pintu dapat dibuka bagian atasnya saja sedang bagian bawahnya
tetap tertutup.
Bagian Belakang rumah Cigobang ini cukup besar dan
difungsikan sebagai ruang tamu sekaligus sebagai ruang keluarga. Di
sisi kiri rapat dengan tembok rumah dekat pintu keluar ke arah
halaman samping kiri belakang terdapat bale-bale besar. Bapak Doewe
atau tamu keluarga yang berkunjung ke nenek diterima di bale-bale ini
(lesehan). Di sebelah belakang bale-bale ada gambang (nenek sering
bermain gambang). Di sebelah belakangnya lagi ada beragam
pajangan dinding dan lemari kaca besar serbaguna. Ada pula sepasang
kursi malas panjang yang menyerupai dipan, dan sepasang kursi malas
ukuran lebih pendek. Selain itu, ada pula peti kecil yang berisi wayang
kulit yang biasa dipakai oleh pada dalang profesional, dan wayang
buatan nenek untuk cucunya yang gemar nonton wayang kulit dan
yang sok berlagak sebagai dalang. Berhadapan dengan bale-bale tadi,
21
terdapat pula bale-bale besar lagi yang berhimpit dengan tembok
pembatas dapur. Di bale-bale ini biasa digunakan untuk tidur-tiduran
(leyeh-leyeh). Di sebelahnya ada lemari makan besar dan meja makan
besar. Tidak jauh dari bale bale yang kedua tadi, ada jarak sekitar 2
meter dengan tembok pembatas yang memisahkan bagian Inti dan
bagian Belakang, yang digunakan sebagai jalan lurus dari pintu
belakang kiri ke pintu belakang kanan. Rapat dengan tembok
pembatas Bagian Inti dengan bagian belakang terdapat sepasang kursi
malas besar yang mengapit pintu utama masuk dari Bagian Belakang
ke Bagian Inti.
Ruangan dapur cukup besar. Ada dua buah tungku besar, bak
air, meja panjang seperti dipan untuk masak-memasak, rak piring dan
ada kamar untuk pembantu.
22
RUMAH CIGOBANG 2
HALAMAN SAMPING KIRI
Keluar dari pintu pada ’Bagian Belakang’ samping kiri ada dua
buah anak tangga beton. Jadi lantai rumah lebih tinggi dari halaman
luar. Tepat di depan pintu keluar tersebut (agak serong kiri) ada
pohon jambu biji (jambu klutuk), yang tinggi pohonnya hampir setinggi
rumah. Sesudah pohon jambu, ada sepasang kandang burung yang
relatif besar tertanam di tanah. Entah semula dimaksud untuk kandang
burung apa. Selama saya di sana, kandang tersebut tetap kosong. Di
samping pohon jambu dan kandang burung tadi (arah ke depan
rumah) terdapat taman buah yang didominasi oleh pohon jeruk siam.
Diantara pohon-pohon jeruk terdapat beberapa kandang burung puter
yang selalu berbunyi setiap saat, utamanya setiap pagi… kuk geruk…
kuk geruk… Ada pula kandang burung tuwou yang juga selalu berbunyi
tiap saat… culik culik tuwou…!! Di bagian agak ujung depan taman
terdapat pohon Duwet yang tidak pernah absent dihinggapi segala
jenis burung seperti Ketilang, Tekukur, Bondol, Srigunting, Emprit dan
lain-lain. Di depan taman terdapat gardu untuk penjaga. Antara gardu
dan tembok pagar rumah bagian sebelah depan, di samping pintu
gerbang pagar tembok, terdapat beberapa pohon kelapa. Sedang di
dekat gardu terdapat pohon mangga arum manis yang sangat rindang
seolah-olah memayungi gardu tersebut.
Jarak antara taman buah yang dipagari oleh pagar bambu
dengan tembok kiri Rumah Cigobang ada sekitar 3,5 m. Ini merupakan
jalan vital serba guna dari pintu gerbang pagar depan ke pintu bagian
belakang. Penghuni dan tamu keluar masuk melalui jalan ini. Pendopo
praktis tidak difungsikan dalam kehidupan sehari-hari. Pintu belakang
samping kiri inilah akhirnya seolah-olah menjadi pintu masuk utama.
Di sebelah kiri taman buah terdapat halaman terbuka kira-kira
seluas lapangan basket lebih. Halaman ini diperuntukkan bagi
23
menjemur padi, atau kacang tanah, kacang kedelai, daun tembakau
dan lain sebagainya (bisnisnya nenek). Sebelah kiri halaman terbuka
tersebut terdapat sederet bangunan sejenis rumah-rumah petak. Ada
tempat untuk menumbuk padi, ada ‘garasi’ delman, ada kandang
kuda. Nenek punya dua buah delman, yaitu delman biasa dan delman
terbuka tanpa atap untuk duduk dua orang. Barangkali persamaannya
dengan mobil adalah tipe mobil sport tanpa atap dua pintu. Memang di
sebelah belakangnya ada semacam bagasi terbuka, biasanya untuk
pembantu (kalau mau membawa pembantu yang diperlukan untuk
’memarkir’ delman, kali..). Orang bilang delman tersebut ’Per Purutul’
(yang artinya delman protol tanpa atap).
Di sebelah garasi delman tersebut arah belakang terdapat pula
ruangan untuk peralatan perlengkapan kuda dan berbagai pernak-
pernik lain. Tempat menumbuk padi terletak di sebelah ’garasi’ delman
arah ke depan. Di sebelahnya lagi ada ruangan terbuka untuk
mempersiapkan makanan kuda.
Kuda milik nenek adalah kuda betina yang diberi nama Kecrit (si
Kecrit). Ada tukang khusus yang mengurus si Kecrit. Sesudah kandang
kuda ke arah pagar tembok bagian depan kiri rumah di pojokan pagar
tembok, terdapat tempat pembuangan dan pembakaran sampah.
Yang digambarkan di atas adalah baru halaman samping kiri dari
batas pohon jambu klutuk ke arah depan. Sekarang kita lihat isi
halaman samping kiri dari batas pohon jambu klutuk ke arah belakang.
Ada sedikit halaman terbuka sebelum ’rumah panggung’ lumbung
padi. Saya sebut rumah panggung karena ada kolong rumah. Di
sebelah kiri rumah panggung ada wc. Setelah wc ke arah belakang ada
kandang domba yang saat itu terisi tidak kurang dari 40 ekor domba.
Tiap pagi dikeluarkan oleh petugas (cah angon) untuk diangon. Sore
hari kembali ke kandang.
Ujung depan rumah panggung berada sejajar dengan ujung
tembok bagian belakang rumah. Jadi posisi rumah panggung tersebut
24
menjorok ke halaman belakang. Jarak antara ujung tembok bagian
depan rumah panggung dengan ujung tembok rumah bagian belakang
kurang lebih 1 m dan terdapat pintu yang hanya dapat dibuka dari
halaman belakang rumah. Pintu tersebut berfungsi sebagai pintu
penghubung dari halaman belakang ke halaman samping kiri.
25
RUMAH CIGOBANG 3
HALAMAN SAMPING KANAN
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, bahwa Bagian
Belakang memiliki 2 pintu keluar, di sisi kiri dan di sisi kanan. Pintu di
sisi kiri untuk keluar ke halaman samping kiri rumah sebelah belakang,
dan satu pintu lagi berada dekat dapur untuk keluar ke kamar mandi,
sumur dan halaman samping kanan.
Keluar dari pintu belakang samping kanan juga terdapat 2 anak
tangga ke arah kiri dan tanpa anak tangga ke arah kanan. Yang arah
kanan langsung menuju kamar mandi sedang yang arah kiri langsung
ke halaman samping kanan. Dengan kata lain, ketinggian lantai kamar
mandi sama dengan ketinggian lantai rumah. Atau lebih tinggi dari
halaman rumah. Lurus ke belakang sesudah kamar mandi ada sumur
dan saluran air untuk mengisi air kamar mandi dan saluran untuk
mengisi air bak air dapur. Di sebelah sumur, ada tempat untuk cuci
pakaian. Agak jauh dari sumur sekitar 8 m, terdapat resapan air dari
kamar mandi dan tempat cuci.
Sebagaimana tersebut di atas, kalau keluar ke arah kanan, kita
langsung menuju kamar mandi, sedang jika ke arah kiri, kita menuju
ke halaman samping kanan. Sejajar dengan kamar mandi (sebelah kiri)
ada bangunan rumah panggung kecil yang berdiri di atas kolam ikan.
Tinggi rumah panggung tersebut sama tingginya dengan tinggi rumah
inti. Biasanya rumah panggung tersebut digunakan untuk bersantai
lesehan. Di dekat rumah panggung terdapat kebun melati dan 3 pohon
rambutan serta pohon mangga gedong, dan pohon belimbing.
Halaman samping kanan dibatasi sampai ujung depan pendopo
rumah yang ditandai dengan pagar tembok melintang. Di luar itu
sudah termasuk halaman depan samping kanan.
26
Berada di halaman samping kanan ini, kita benar-benar merasa
berada dalam suatu halaman pribadi atau halaman keluarga,
sebagaimana layaknya suatu ruang keluarga.
Pola pagar pembatas tidak berbeda dengan pola pagar
pembatas samping kiri. Perbedaannya terletak pada posisi pintu
penghubung. Pada halaman samping kiri, pintu penghubung terdapat
di ujung Bagian Belakang sebelah kiri, yang berfungsi menghubungkan
halaman belakang dengan halaman samping kiri. Sedang pada
halaman samping kanan, pintu penghubung terdapat di ujung Pendopo
sebelah kanan yang berfungsi menghubungkan halaman depan
dengan halaman samping kanan. Sebagaimana pintu penghubung
halaman samping kiri yang hanya dapat dibuka dari halaman
belakang, pintu penghubung samping kanan pun hanya dapat dibuka
dari halaman samping kanan saja.
27
RUMAH CIGOBANG 4
HALAMAN BELAKANG DAN HALAMAN DEPAN
Halaman belakang rumah Cigobang banyak didominasi oleh
tanaman melati, mangga arum manis, nangka, sawo dan nanas. Pohon
nanas ini ditanam di tepi pagar tembok. Hampir seluruh keliling pagar
tembok ditanami pohon nanas. Di belakang lumbung padi di halaman
belakang terdapat kandang ayam. Jumlah ayam tidak banyak.
Biasanya hanya sekedar dipelihara untuk dikonsumsi. Selain ayam,
ada beberapa ekor angsa putih yang selalu ribut jika ada orang masuk
ke halaman belakang. Keberadaan angsa putih tersebut terkesan
dijadikan penjaga halaman belakang. Angsa-angsa tersebut tidak
pernah melewati wilayah sumur untuk masuk ke halaman samping
kanan.
Halaman belakang nyambung langsung dengan halaman kanan
samping sampai tembok pembatas di ujung pendopo. Karenanya,
untuk ke halaman belakang, pintu masuk yang paling banyak
digunakan adalah pintu rumah Bagian Belakang samping kanan.
Sedang pintu penghubung yang berfungsi sebagai penghubung
halaman belakang ke halaman samping kiri pada hakekatnya hanya
digunakan dari halaman belakang ke halaman samping kiri. Dengan
demikian, kamar mandi, sumur, terkesan berada di halaman belakang.
Demikianlah adanya, karena memang walaupun posisinya berada di
halaman samping kanan, tetapi terletak di ujung bagian belakang
rumah yang menyatu dengan halaman belakang.
Halaman depan pada sisi kanan tidak banyak berperan dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini karena adanya tembok pembatas di
ujung Pendopo yang memisahkan halaman samping kanan sampai
halaman belakang. Selain itu, barangkali karena Pendopo rumah yang
praktis tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
28
Hal tersebut berbeda dengan halaman depan pada sisi kiri.
Halaman depan kiri tidak memiliki pembatas dengan halaman samping
kiri sampai kandang domba. Banyak sekali kegiatan sehari-hari yang
berlangsung di halaman samping kiri, seperti misalnya kegiatan rutin
pemeliharaan kuda, menumbuk padi, urusan jemur-menjemur (bisnis
nenek), perawatan burung-burung di taman tanaman jeruk siam, jalan
keluar masuk domba-domba termasuk jalan lalu lintas sehari-hari
penghuni dan pengunjung dan lain sebagainya.
Gardu penjaga yang berada di ujung taman buah jeruk siam
sebagaimana telah disebutkan terdahulu, yang dinaungi pohon
mangga arum manis yang rindang, turut meramaikan kehidupan
sehari-hari halaman samping kiri. Gardu tersebut sering digunakan
sebagai tempat tidur penjaga gardu.
29
Cileduk atau Ciledug..?(Rumah Cileduk atau Rumah Ciledug..?)
Saya baru sadar bahwa selama ini saya tidak pernah memperhatikan ikhwal
penulisan Cileduk atau Ciledug. Saya juga tidak tahu kapan saya menuliskan Cileduk
atau Ciledug sampai ada yang nanya : yang benar Cileduk atau Ciledug ?
Saat ini orang selalu menuliskan Ciledug. Demikian pula.pada prasasti di depan
gedung gereja St. Theresia ( pemberkatan 3 – 10 – 1971 ) tertulis Tjiledug.(ejaan lama)
Pada prasasti (renovasi 1997) juga tertulis Ciledug (sesuai ejaan baru). Jadi semuanya
menggunakan huruf g bukan huruf k. Kata rekan rekan yang tinggal di Jatiseeng dan
Ciledug, baik Kantor Kecamatan maupun Kantor Pos telah menuliskan Ciledug bukan
Cileduk. Jika demikian halnya, maka tentunya pembenaran harus merujuk setidaknya
kepada kedua instansi resmi pemerintah tersebut. Dengan lain perkataan, pada saat ini
penulisan yang seyogyanya dibenarkan adalah Ciledug bukan Cileduk.
Saya memang jarang sekali berurusan dengan penulisan Ciledug, karena sudah
sekian lama tidak tinggal di Ciledug. Namun, saat saya harus menulis tentang Bapak
Doewe, ayah saya, kata Ciledug tidak mungkin ditinggalkan. Ciledug atau Cileduk..?
Rumah Cileduk atau Rumah Ciledug...?
Seingat saya, selama ini saya sering menuliskan Cileduk alih alih Ciledug. Dalam
surat surat pribadi tahun 50- an paling banyak tertulis Tjileduk. Namun, pada foto
keluarga Doewe yang baru baru ini ditemukan, di sebelah belakangnya ada tulisan saya :
Tjiledug, Des 1959. Jadi, saya sendiri pada tahun 50-an ternyata telah menuliskan
Tjileduk dan Tjiledug secara bergantian tanpa disadari.
Di sisi lain, timbul pertanyaan: sepenting itukah harus tahu mengapa Ciledug atau
Cileduk ? Masalahnya bukan penting atau tidak penting. Ini hanya untuk bahan penulisan
tulisan ini semata, lain tidak.. ! Penasaran...?
Merasa penasaran saya coba membongkar lebih jauh beberapa arsip surat surat/
dokumen lama yang masih dapat saya temukan. Dalam surat/dokumen lama ( sebelum
1942 ) yang saya temukan, semuanya tertulis Tjiledoek (.dengan huruf k )
Berikut ini adalah beberapa contoh:
30
1. Cap sekolah dari Excelsior School (1934 – 1937 ) tertulis Tjiledoek
31
2. Amplop surat untuk Bapak Doewe dari Pekalongan..tertulis Tjiledoek (surat
dikirim tanggal 6 – 8 – 1937 ). Perhatikan juga cap kantor pos Tjiledoek saat surat
diterima dimana tertulis Tjiledoek 7 – 8- 37.
32
33
3. Surat (kartupos) untuk keluarga Bapak Doewe dari Magelang tertulis Tjiledoek
(surat dikirim tanggal 17 Oct 1937. Diterima di kantor pos Tjiledoek 18-10-37 )
Dari dokumen tahun 1943 dan sesudahnya
1 Dalam surat Bapak Doewe tahun 1943 tertulis Tjiledoeg
34
2 Beberapa dokumen pribadi tahun 1951 – 1954 ada yang tertulis
Tjiledoeg,walaupun ada juga yang tertulis Tjiledoek
( Contoh tidak tersertakan )
3 Surat untuk Bapak Doewe (dari London Des 1965) tertulis Tjiledug
Saya menduga – duga bahwa perubahan penulisan Cileduk (dengan k) menjadi Ciledug
(dengan g) terjadi pada masa pejajahan Jepang (1942 - 1945).
Ini baru dugaan atau perkiraan saya saja lho..!
Teringat akan huruf Korea di mana huruf g dan huruf k adalah sama, saya coba
tanyakan kepada keponakan saya yang lulusan sastra Jepang, Dinna Horsting (anak
Bapak Joseph Soesanto yang nomer 4, yang saat ini bermukin di negara Belanda), apakah
ada perbedaan huruf g dan huruf k, dalam tulisan Jepang. Menurut dia, dalam huruf
Kanna (Jepang) huruf k dan huruf g adalah sama, tapi bunyi bisa berbeda. Nah, lho..kalau
begitu,kira kira ada benarnya dong perkiraan saya tadi. Dalam hal ini,misalnya, saat
orang Jepang menuliskan Cileduk dengan k, bisa dibaca juga sebagai Ciledug, atau
setidaknya dapat terdengar bunyi g. (kalau salah bacanya ). Dalam perkembangannya,
35
patut diyakini bahwa masyarakat setempat merasa lebih nyaman melafalkan Ciledug
daripada Cileduk. Demikian pula menurut salah seorang teman yang tinggal di Jatiseeng,
katanya lebih enak mengucapkan Ciledug ,ketimbang Cileduk. Masuk akal juga, dan
boleh jadi juga.
Boleh jadi juga dengan alasannya,barangkali karena orang setempat lebih merasa
nyaman bila melafalkan kata Ciledug daripada Cileduk. Demikian pula halnya
barangkali orang merasa lebih nyaman jika melafalkan kata Godeg daripada Godek, atau
Gebleg daripada Geblek, Badeg (bau) daripada Badek. Soal benar
tidaknya, ....walahualam.!
Di sekitar Jakarta/Tanggerang ada juga wilayah yang bernama Ciledug dan orang
orang setempat tampaknya lebih senang melafalkannya dengan g (Ciledug) daripada
dengan k (Cileduk).
36