CEDERA TULANG BELAKANG

29
MALANG LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA TULANG BELAKANG Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Pendahuluan Profesi Ners di Ruang 19 RSSA Malang Oleh: HERLINDA DWI NINGRUM 105070204111004 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

description

CTB

Transcript of CEDERA TULANG BELAKANG

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA TULANG BELAKANG

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Pendahuluan Profesi Ners

di Ruang 19 RSSA Malang

(MALANG)

Oleh:

HERLINDA DWI NINGRUM

105070204111004

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

I. DEFINISI

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).

II. ETIOLOGI

Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut:

1) Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras.

2) Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.

3) Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.

4) Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan Body Mekanik yang salah seperti mengangkat benda berat.

5) Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)

6) Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra

7) Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.(Harsono, 2000).

III. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai berikut :

1) Lesi C1-C4

Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada gerakan (baik secara fisik maupun fungsional0 di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh.

Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan, mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator mekanis tetapi mengkn dapat dilepaskan dari ventilator secara. intermiten. pasien biasnya tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan sendiri dengan alat khsus.

2) Lesi C5

Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan pada otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja penghambat levator skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasi ada pada daerah leher dan triagular anterior dari daerah lengan atas.

3) Lesi C6

Pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari deltoid, bisep dan otot brakhioradialis.

4) Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas mengambil posis yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika kerja refleks kembali.

Menurut Price, (2002 )menyampaikan manifestasi klinik pada fraktur adalah sebagai berikut:

a. Nyeri

Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.

b. Bengkak/edama

Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.

c. Memar/ekimosis

Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.

d. Spasme otot

Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.

e. Penurunan sensasi

Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.

f. Gangguan fungsi

Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.

g. Mobilitas abnormal

Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.

h. Krepitasi

Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.

i. Deformitas

Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

j. Shock hipovolemik

Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

IV. KLASIFIKASI

a. Berdasarkan Lokasi Cidera

Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :

1. Cedera Cervikal

Lesi C1-C4

Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.

Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.

Lesi C5

Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik.

Lesi C6

Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.

Lesi C7

Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.

Lesi C8

Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri.

2. Cedera Torakal

Lesi T1-T5

Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.

Lesi T6-T12

Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.

Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:

- T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas

- T3 Aksilla

- T5 Putting susu

- T6 Prosesus xifoid

- T7, T8 Margin kostal bawah

- T10 Umbilikus

- T12 Lipat paha

3. Cedera Lumbal

Lesi L1-L5

Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:

- L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang dari bokong.

- L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha

- L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.

- L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.

- L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel.

4. Cedera Sakral

Lesi S1-S6

Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

b. Berdasarkan Tingkat Keparahan

Klasifikasi Frankel :

Grade A : motoris (-), sensoris (-)

Grade B : motoris (-), sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)

Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)

Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)

Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral

Grade B : hanya sensoris (+)

Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3

Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3

Grade E : motoris dan sensoris normal

V. PATOFISIOLOGI

VI. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor, osteomielitis.

2. Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.

3. Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.

4. Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya darah.

5. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.

6. CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus intervetebralis.

7. MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.

8. Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan penyempitan dari ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.

Pemeriksaan penunjang khusus

1. Pemeriksaan radiologi.

Sebagai penunjang,pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar Rongent (Sinar-X). Untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, kita memerlukan dua proyeksi, yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) jika ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan sinar-X harus atas dasar indikasi kegunaan.

Selain foto polos sinar- X (plane X-ray) mungkin diperlukan teknik khusus, seperti hal hal berikut:

Tomografi, menggambarkan tidak hanya satu struktur saja, tetapi jugastruktur tertutup yang sulit divisualisasikan. Pada kasus ini ditemukankerusakan struktur yang kompleks, tidak hanya pada satu struktur saja,tetapi pada struktur lain yang juga mengalami kerusakan.

Mielografi, menggambarkan cabang cabang saraf spinal danpembuluh darah di ruang tulang vertebra yang mengalami kerusakanakibnat trauma.

Artrografi, menggambarkan jaringan ikat yang rusak karena rudapaksa.

Computed Tomography Scanning, menggambarkan potongan secara tranversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak. pemeriksaan ini sifatnya membuat gambar vertebra menjadi 2 dimensi. Pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat irisan-irisan yangdihasilkan CT scan.

Pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi hal - hal sebagai berikut:

Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.\

Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH - 5),aspartat amino transferase (AST), dan meningkat pada tahappenyembuhan tulang.

Pemeriksaan Lain - lain.

Pada pemeriksaan kultur mikroorganisme dan tes sensitivitas didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

Biopsi tulang dan otot: pada intinya, pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.

Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.

Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karenatrauma yang berlebihan.

Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi padatulang.

MRI: menggambarakan semua kerusakan akibat fraktur. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang frekuensi radio untuk memberikaninformasi detail mengenai jaringan lunak di aerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MR Isering digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament dan diskus intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis.

VII. PENATALAKSANAAN MEDIS

Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder. untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana pun yang beralas keras. selalu harus diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi. bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan.

Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit. perawatan ditujukan pada pencegahan :

1) Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.

2) Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur.

3) Traktus urinarius : menjamin pengeluaran air kemih.

4) Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab.

5) Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.

Perawatan:1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh..

2. Fraktur dengan kelainan neorologis.

Fase Akut (0-6 minggu)

a. Live saving dan kontrol vital sign

b. Perawatan trauma penyerta

1) Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.

2) Perawatan trauma lainnya.

c. Fraktur/Lesi pada vertebra

1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)

Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple kompressi.

2) Operatif

Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:

1. Laminektomi merupakan mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks.

2. fiksasi interna dengan kawat atau plate

3. anterior fusion atau post spinal fusion

3) Perawatan status urologi

Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat kembali.

Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:

a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)

b) Manuver crede

c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha

d) Gravitasi/ mengubah posisi

4) Perawatan dekubitus

Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.

5) Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis

Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena wishplash Injury yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability

Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:

1) Dislokasi feset >50%

2) Loss of paralelisine dan feset.

3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.

4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)

5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP

Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan atau tanpa anastesi. Sebaiknya tanpa anastesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.

Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis

Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.

VIII. ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian :

Aktivitas dan istirahat

Tanda :

Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada bawah lesi.

Kelemahan umum atau kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).

Sirkulasi

Gejala : berdebar-debar , pusing saat melakukan perubahan posisi.

Tanda :

Hipotensi , hipotensi postural , ektremitas dingin dan pucat.

Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.

Eliminasi

Tanda :

Inkontinensia defekasi dan berkemih .

Retensi urine.

Distensi berhubungan dengan omen , peristaltic usus hilang.

Melena , emesis berwarna seperti kopi, tanah (hematemesis).

Inegritas ego

Gejala : menyangkal , tidak percaya , sedih , marah.

Tanda : takut , cemas , gelisah , menarik diri.

Makanan dan cairan

Tanda :

Mengalami distensi yang berhubungan dengan omentum.

Peristaltic usus hilang ( ileus paralitik )

Hygiene

Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (bervariasi).

Neurosensorik

Gejala :

Kebas , kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki.

Paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi , bergantung pada area spinal yang sakit.

Tanda :

Kelumpuhan , kesemutan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal ).

Kehilangan tonus otot atau vasomotor.

Kehilangan atau asimetris termasuk tendon dalam.

Perubahan reaksi pupil , ptosis , hilangnya keringat dari berbagai tubuh yang terkena karena pengaruh spinal.

Nyeri /kenyamanan

Gejala :

Nyeri atau nyeri tekan otot.

Hiperestesia tepat di daerah trauma.

Tanda :

Mengalami deformitas.

Postur dan nyeri tekan vertebral.

Pernapasan

Gejala : napas pendek , kekurangan oksigen , sulit bernapas.

Tanda : pernapasan dangkal atau labored , periode apnea , penurunan bunyi napas, ronkhi , pucat, sianosis.

Keamanan

Gejala : suhu yang berluktuasi ( suhu tubuh di ambil dalam suhu kamar ).

Seksualitas

Gejala : keinginan untuk kembali berfungsi normal

Tanda : ereksi tidak terkendali (pripisme) , menstruasi tidak teratur.

Penyuluan / pembelajaran

Rencana pemulangan :

Pasien akan memerlukan bantuan dalam transportasi , berbelanja , menyiapkan makanan , perawatan diri, keuangan , pengobatan atau terapi , atau tugas sehari-hari di rumah.

Pasien akan membutuhkan perubahan susunan rumah , penempatan alat di tempat rehabilitasi.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan tulang punggung ,disfungsi neurovascular, kerusakan system muskuloskletal , ditandai dengan :

DS : pasien mengatakan sulit bernapas , sesak napas.

DO : penurunan tekanan alat inspirasi dan respirasi , penurunan menit ventilasi, pemakaian otot pernapasan, pernapasan cuping hidung, dispnea, orthopnea, pernapasan lewat mulut, frekuensi dan kedalaman pernapasan abnormal, penurunan kapasitas vital paru.

2. Resiko penurunan curah jantung b.d kerusakan jaringan otak , ditandai dengan :

DS : Pasien / keluarga mengatakan pasien mengalami kebingungan .

DO : Penurunan tingkat kesadaran (bingung ,letargi, stupor, koma), perubahan tanda vital, mungkin terdapat perdarahan pada otak , papiledema, nyeri kepala yang hebat.

3. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular , ditandai dengan

DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan bergerak.

DO : Kelemahan , Parestesia, Paralisis, Tidak mampu , Kerusakan koordinasi , Keterbatasan rentang otak , Penurunan kekuatan otot.

4. Kurang perawatan diri (mandi,gigi, berpakaian) yang berhubungan dengan:

DS : Klien bedres

DO : Perubahan tanda vital, Penurunn tingkat kesadaran,gangguan anggota gerak.

5. Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral,

Di tandai dengan:

DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan berkomunikasi .

DO : Disartria, Afasia ,Kata-kata, tidak di mengerti, tidak mampu memahami bahasa lisan

6. Ketidaseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan sekunder terhadap paralisis, di tandai dengan:

DS : Pasien / keluarga mengatakan adanya kesulitan menelan makanan .

DO : Klien menunjukkan ketidakadekuatan nutrisi, terjadi penurunan BB 20 % atau lebih dari berat badan ideal, Konjungtiva anemis, Hb abnormal, sulit membuka mulut, sulit menelan, lidah sulit di gerakkan.

7. Resiko aspirasi yang berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menelan, di tandai dengan:

DS : Klien mengatakan sulit menelan.

DO : Batuk saat menelan , Dispnea, Bingung, Penurunan PaCO2.

8. Risiko cedera atau trauma yang berhubungan dengan paralisis, di tandai dengan:

DS : Klien atau keluarga mengatakan kelumpuhan anggota gerak.

DO : Hemiplegia , Klien dengan bantuan atau alat bantu, Berjalan lamban.

Perencanaan keperawatan

Perencanaan keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 adalah sebagai berikut :

a. Diagnosa keperawatan I

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.

Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol

Kriteria hasil :

1. Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol

2. Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan

3. Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.

Rencana tindakan :

1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 10.

Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.

2) Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10 - 30 atau pada posisi lateral.

Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan intervertebralis.

3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan

Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena.

4) Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau atau diraih klien.

Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih

5). Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi

Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.

6). Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang tepat.

Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.

7) Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien

Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam keadaan sakit dan dirawat.

8) Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.

Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan spasme.

9) Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)

Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri

b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.

Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi

Kriteria hasil :

1. Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individu.

2. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin

3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi.

Rencana tindakan :

1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.

Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas yang kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.

2) Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan dengan klien.

Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping dengan batasan tersebut.

3) Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif

Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.

4) Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut

Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena yang statis dan kemungkinan terbentuknya trombus.

5) Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif

Rasionkretria Hasil : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.

c. Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.

Tujuan : Adaptasi klien efektif

Kriteria hasil :

1. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.

2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping

3. Mendemonstrasikan pemecahan masalah

Rencana tindakan :

1) Kaji tingkat anxietas pasien.

Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang

2) Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur

Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas pengetahuan.

3) Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya

Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi

4) Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.

Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk meningkatkan penyembuhan.

5) Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.

Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk mempertahankan sesuatu yang dapat klien lakukan.

6) Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan sebagainya.

Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan memberikan sumber sumber untuk mengatasi masalah.

d. Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan

Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi

Kriteria hasil :

1. Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi

2. Mempertahankan posisi fungsional

3. Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.

4. Menunjukan teknik aktivitas

Rencana tindakan :

1) Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.

Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri tentang keterbatasan fungsi actual, memerlukan informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.

2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi

Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian dan membantu menurunkan isolasi sosial.

3) Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.

Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot.

4) Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau menggerakan tungkai, dan mempertahankan masa otot.

Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu kekuatan otot

5). Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi special

Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kehilangan sensori dan mobilitas permanen.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi.

Kriteria hasil :

1. Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.

2. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi

Rencana tindakan :

1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.

Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat traksi/ gibs.

2) Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.

3) Ubah posisi dengan sering

4) Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur udara sesuai indikasi.

f. Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra

Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.

Kritria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.

Rencana tindakan :

1) Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih

Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu diperlukan.

2) Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih

Rasional : Menandakan adanya retensi urine

3) Tingkat pemberian cairan

Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal

4) Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air hangat diarea suprapubis.

g. Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsional teratasi.

Kriteria Hasil : Mengungkapkan penerimaan efek penggunaan obat pada fungsi seksual.

Rencana Tindakan :

1). Kaji informasi pasien tentang saat ini dan biarka pasien menggambarkan masalah dengan bahasanya sendiri.

Rasional : Menentukan tingkat pengetahuan pasien yang menjadi kebutuhan

2). Diskusikan prognosis untuk disfungsi seksual misalnya impotent atau hasrat seksual rendah.

Rasional : Impoten diatasi dengan pantangan dari obat, pada kira-kira 25% yang kembali berfungsi normal adalah lambat, 5 % tetap impotent.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta : EGC

Potter, & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Vol. 1. Jakarta :EGC Firmallah, Intan. 2011. Asuhan Keperawatan dengan Fraktur Vertebra. Mansjoer,Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2 .Jakarta: Media Aesculapius

McCloskey&Bulechek. 2004. Nursing Intervention Classification : FourthEdition . Mosby : USA

Moorhead, Johnson, L.Maas, & Swanson. 2008. Nursing Outcomes Classification: Fourth Edition . Mosby : USA

NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis : definitions and Classification .Philadephia : USA

Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC

Priharjo, Robert. 2006. Pengkajian Fisik Keperawatan Edisi 2. Jakarta : EGC