cedera kepala
-
Upload
meredith-perkins -
Category
Documents
-
view
113 -
download
8
description
Transcript of cedera kepala
1. Interpretasi hasil CT SCAN Pada Cedera
Peranan CT scan sebagai modalitas pilihan dalam diagnosa trauma kepala
karena memiliki keunggulan:
" Pemeriksaan yang cepat dan mudah.
" Tidak invasif.
" Dapat mengidentifikasikan dan melokalisir adanya fraktur dan
fragmentnya pada tulang kepala. Bahkan pada spiral atau multislice CT dapat
direkonstruksi gambar 3D.nya
" Dapat menunjukkan adanya perdarahan extrakranial dan mengihitung
volumenya.
" Dapat menunjukkan kelainan intrakranial
o Infark acute, oedema cerebri, cerebral contusion
o Perdarahan intracranial : Subdural, Epidural, SAH
Radiographer berperan penting dalam mengoperasikan CT scan pada kasus
trauma kepala mulain persiapan pasien, prosedur , positioning, protokol , post
processing, dan mencetakan ke film.
Prosedur pemeriksaan CT Scan pada trauma kepala
Untuk pemeriksaan CT scan kepala tidak memerlukan persiapan khusus. Hal-
hal yang perlu diperhatikan radiografer adalah:
" Pastikan di ruangan ada saluran / tabung oksigen dan suction, dan bila
perlu peralatan resusitasi.
" Sebelum pasien masuk, isilah data pasien terlebih dahulu di data konsul.
" Gunakan sarung tangan / unsteril glove dalam memindah dan pengatur
posisi pasien pada kasus trauma dengan luka terbuka. (universal precaution)
" Pastikan tidak benda-benda metalik pada penderita di area kepala (kalung,
jepit rambut, anting, kabel-kabel monitor ) yang dapat menimbulkan artefak
pada gambar.
" Jangan pernah melepas alat fiksasi leher collar bila telah dipasang
" Bila perlu, anggota satu keluarga ada yang mendampingi sewaktu
pemeriksaan pada kasus trauma .(misal pasien anak-anak). Berikan apron.
" Fiksasi kepala pasien pada cradle, dengan perlatan fiksasi.
Protokol CT Kepala
" Orientasi pasien : head first, supine
" Orbita Meatal pararel terhadap scan plane.
" Scout / Topogram : lateral dari base skull ke vertex
" Axial base line diambil dari garis inferoorbital floor ke EAM. Angle
disesuaikan.
" Pada scan konvensional : Irisan 5mm dan jarak antar irisan 5mm dari base
skull ke infra tentorium, 10m dan jarak irisan 10mm dari circullum willis ke
vertex. Bila diperlukan irisan tambahan, set additional scan 1 slice 5mm.
" Pada spiral: 5mm/ 5mm pitch 1 atau 7mm/7mm, recon interval 5mm
Gambaran CT kepala dan post processig
Gambaran CT scan dapat menunjukkan patologis pada pasien trauma kepala
(Andrew,1997).
Berikut adalah tanda-tanda dan apa yang perlu diperhatikan radiographer dan
apa yang harus dilakukan radiographer dalam post processing :
" Focal hyper/hypodens; area hyperdens nilai 50-70HU dengan ROI menu,
ukurlah area itu dengan automatic volume dapat dihitung perkiraan kasar
pada area tersebut dengan cara mengukur panjang x lebar x tebal irisan
(nomor meja awal-akhir tampaknya lesi) dibagi 2.
" Mild line shfit, tanda adanya mass effect (Bila dijumpai ukurlah bila ada
dengan membuat garis membagi 2 hemispher ceberum dan garis shift pada
ujung anterior septum pellucidum)
" Asymetry dari struktur dalam cranial.
" Bone distruction / erosi (pakai algoritma dan bone window); bila
menggunakan spiral, buat 3-D.
" Udara di calvarium (kemungkinan adanya fraktur)
" Oedem (batas sulci /gyri cortical tidak jelas)
" Pada processing image: gunakan algoritma image (filter/kernel) soft tissue
dan bone dan atur Window With dan Window Levelnya.
o Bone: W=±3000, L=±800
o Brain: W=±90, L=±40
o Subdural or intermediate: W=±200, L=±50
" Bila positioning tidak memungkinkan pasien mempertahankan posisi
kepalanya, bila gambar kabur karena pergerakan, perlu diulang. Jika hanya
rotasi saja, tidak perlu diulang dan gunakan fasilitas rotational image
" Print dengan scout / scannogran dan gambar aksialnya 15-20 dalam 1
lembar, bila perlu ditambah 1 lembar kondisi tulang.
BEBERAPA GAMBARAN CT SCAN PADA TRAUMA KEPALA
INTRAKRANIAL
1. FRAKTUR
Fraktur pada trauma kepala jenisnya bisa :
o Linier non displacement
o Depressed ( adanya displacement dari fragment)
o Diastatic fractures (fraktur yang melibatkan sutura)
2. EPIDURAL HEMATOMA
Epidural hematoma adalah kumpulan massa darah akibat robeknya middle
meningeal arteri antara skull dan dura di regio temporal , yang sangat kuat
hubungannya dengan fraktur linear. Kadang juga terjadi akibat robeknya vena
dan tipikalnya terjadi di region posterior fosa atau dekat daerah occipital
lobe.
Gambaran Epidural pada CT tampak sebagai bentuk bi convex dan adanya
pemisahan jaringan otak dengan skull. Pendarahan akut tampak hyperdens,
subakut tampak isodense, kronis tampak hypodens
3. SUB DURAL HEMATOMA
Subdural hematoma adalah kumpulan perdarahan vena yang berlokasi antara
dura mater dan arachnoid membrane (subdural space). Biasanya terjadi akibat
kepala berbenturan dengan benda tak bergerak menyebabkan robeknya vena
antara cerebral cortex dan vena dura.
Gambaran subdural pada CT tampak sebagai bentuk bulan sabit mengikuti
kontur dari kranium bagian dalam. Pendarahan akut tampak hyperdens,
subakut tampak isodense, kronis tampak hypodens
4. SUB ARACHNOID HEMMORAGE
Subarachnoid hemmorage (SAH) terjadi karena keluarnya darah ke
subarachnoid space, umumnya basal cistens dan jalur cerebral spinal fluid.
Penyebab utama SAH ialah trauma, selain itu bisa juga dikarenakan rupturnya
saccular (berry) aneurysm dan arteriovenous malformation (AVM)
Gambaran pada CT menunjukkan gambaran hyperdens/perdarahan akut yang
ada di subarachnoid space.
2. Fraktur Basis Cranii
A. Pengertian.
Fraktur basis crania adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
durameter. Fraktur basis crania sering terjadi pada 2 lokasi anatomi
tertentu yaitu regio temporal dan region occipital condylar.
Fraktur basis crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis
fraktur fossa anterior dan fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania
merupakan yang paling serius terjadi karena melibatkan tulang-tulang
dasar tengkorak dengan komplikasi otorrhea cairan serebrospinal
( cerebrospinal fluid) dan rhinorrhea.
B. Anatomi.
Bagian cranium yang membungkus otak , menutupi otak, labirin dan
telinga tengah. Tabula interna dan tabula eksterna dihubungkan oleh
tulang kanselosa dan celah tulang rawan. Tulang-tulang yang membentuk
cranium ( calvaria ) pada remaja dan orang dewasa terhubung oleh sutura
dan kartilago dengan kaku. Sutura coronaria memanjang
melintasi sepertiga frontal atap cranium . sutura sagitalis berada pada
garis tengah yang memanjang ke belakang dari sutura coronoria dan
bercabang di occipital untuk membentuk sutura lambdoidea. Daerah
perhubungan os. Frontal, parietal, temporal dan sphenoidal disebut
pterion, di bawah pterion terdapat percabangan arteri meningeal
media. Bagian dalam basis crania membentuk lantai cavitas crania, yang
dibagi menjadi fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior.
C. Patofisiologi.
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengorak yang
diklasifikasikan menjadi:
· Fraktur sederhana : suatu fraktur linear pada tulang tengkorak.
· Fraktur depresi apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih
dalam dari tulang tengkorak.
· Fraktur campuran bila terdapat hubungan langsung dengan
lingkungan luar. Ini disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu
frakturbasis crania yang biasanya melalui sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis
crania. Biasanya disertai robekan durameter dan terjadi pada daerah –
daerah tertentu dari basis crania.
Fraktur basilar adalah fraktur linear meliputi dasar pertengahan pada
tulang tengkorak. Fraktur ini biasanya berhubungan dengan dural.
Sebagian besar fraktur basilar berlangsung pada 2 lokasi spesifik seperti
regio temporal dan regio kondilar oksipital.
Fraktur temporal dapat dibagi dalam 3 subtipe yaitu longitudinal,
transversal, dan campuran. Fraktur longitudinal adalah adalah subtipe
yang paling umum (70-90%) dan meliputi bagian skuamous pada tulang
temporal, inding superior pada canalis auditory eksterna dan tegmen
timpani. Fraktur dapat terjadi pada anterior atau posterior ke koklea dan
kapsul labirin, berakhir pada fossa cranial media dekat foramen spinosum
atau pada sel udara mastoid. Fraktur transversal (5-30%) berasal dari
foramen magnum dan keluar mengelilingi koklea dan labirin berakhir
pada fossa cranial media. Dinamakan fraktur campuran jika memiliki
kedua komponen fraktur longitudinal dan fraktur transversal.
Fraktur condylar oksipital biasanya diakibatkan oleh trauma tumpul
dengan kekuatan yang tinggi yang menekan axial, bagian sudut lateral,
atau berputar ke jaringan ikat kontinyu. Fraktur ini dapat dibagi dalam
tiga tipe dasar berdasarkan morfologi dan mekanisme trauma atau secara
alternatif dalam kestabilan dan displace fraktur tergantung dari ada
tidaknya kerusakan ligamen. Fraktur tipe I adalah trauma kompresi axial
yang menghasilkan fraktur comuniti pada oksipital condilar. Fraktur ini
bersifat stabil. Fraktur tipe II disebabkan oleh pukulan langsung dan
meluas pada daerah basioccipital, hl ini berhubungan dengan trauma
yang menetap karena melindungi ligamen alar dan membran tectorial.
Fraktur tipe III secara potensial tidak stabil dan berhubungan dengan
suatu luka avulsion sesuai dengan putaran dan sudut lateral.
D. Gambaran klinis.
Gambaran klinis dari fraktur basis crania yaitu :
a. Hemotimpanum.
b. Ekimosis Periorbita.
c. Ekimosis Retroauricular
d. Kebocoran Cairan Serebrospinal dari telinga dan hidung
e. Parese nervus cranialis ( nervus I, II, III, IV, VII, dan VIII ) dapat
terjadi.
f. Hematoma, hemoragi.
E. Pemeriksaan Penunjang.
a. Pemeriksaan Labolatorium : sebagai tambahan pada suatu
pemeriksaan neurologis lengkap, pemariksaan darah rutin, dan pemberian
tetanus toxoid.
b. Pemeriksaan Radiologi.
· Foto Rontgen.
· CT scan.
· MRI ( magnetic resonance angiography).
F. Penanganan.
(1). Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah
batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
(2). Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
(3). Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring
keposisi yang sehat (Umar Kasan : 2000).
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan
struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien
dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala.
Sementara itu, Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan
pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis.
Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya
ditatalaksana secara conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal
juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membrane timpani
biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada
neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan
fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi
dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan
terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif
dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii
Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii
dengan pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan
menyebabkan mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung
dan telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih
menjadi controversial. Pemberian antibiotic profilaksis berkontribusi
terhadap terjadinya peningkatan resistensi antibiotic dan akan
menyebabkan infeksi yang serius.
Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan 1989,
menemukan 848 kasus dari fraktur basis cranii (519 mendapatkan
antibiotic profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan kesimpulannya
adalah antibiotic tidak mencegah terjadinya meningitis pada fraktur basis
cranii14. Studi lain juga menunjukkan dengan menggunakan uji statistik,
dari total 1241 pasien dengan fraktur basis cranii, 719 pasien diantaranya
mendapat antibiotic profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat antibiotic
profilaksis. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan antibiotic
profilaksis tidak mencegah terjadinya meningitis pada pasien fraktur basis
cranii. (odds ratio (OR) = 1.15; 95% confidence interval (CI) = 0.68-1.94
P = .678)14.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-
anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah.
Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika
segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone.
Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang
kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami
kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty
dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah
fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan
arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar16.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan
kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis
longitudinal pada os temporal. Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika
kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jika membrane
timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara
tepat lokasi kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.
G. Komplikasi.
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien fraktur basis crania adalah
paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang – tulang pendengaran apabila
farktur basis crania disertai dengan rhinorrhea.
H. Prognosis.
Walaupun fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk
cedera nervus cranialis, pembuluh darah dan cedera langsung pada otak,
sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak – anak
dan tidak disertai dengan hematom epidural.
3. Penatalaksanaan Cedera Kepala
A. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14 – 15 )
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang
dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah
pengaruh obat-obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa
ringan
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun
indikasi adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign
Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk
diagnostik / medikolagel
Therapy :
a.Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit
B. CEDERA KEPALA SEDANG ( GCS = 9 13 )
Pada 10 % kasus :
Masih mampu menuruti perintah sederhana
Tampak bingung atau mengantuk
Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
Pada 10 – 20 % kasus :
Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
Tindakan di UGD :
Anamnese singkat
Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan
neulorogis
Pemeriksaan CT. scan
Penderita harus dirawat untuk diobservasi
Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
Status neulologis membaik
CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang
memerlukan pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK.
Berat.
Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya
C. CEDERA KEPALA BERAT ( GCS 3 – 8 )
Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun
status kardiopulmonernya telah distabilkan
CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus
dilakukan secepatnya.
a. Primary survey dan resusitasi
Di UGD ditemukan :
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai
mortalitas 2 kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
12 % Anemia ( Ht < 30 % )
1. Airway dan breathing
Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian
karena terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan
penderita cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk
mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK pada
penderita dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg
2. Sirkulasi
Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup
berat pada kasus multiple truama, trauma medula spinalis,
contusio jantung / tamponade jantung dan tension
pneumothorax.
Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan
untuk mengganti cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan
adanya akut abdomen
b. Secondary survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.
c. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil,
pemeriksaan terdiri dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum
penderita dilakukan sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh
respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai
repon motorik yang terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan
penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau
perburukan pasien
D. TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera
sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera
1. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita
agar tetap normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan
hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan
diobati secara agresig
2. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat
menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi
otak menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
3. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal,
kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena
akan memperberat hypovolemia
4. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan
akan meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV
5. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
6. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi,
karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
7. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk
mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga
minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam
E. PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
1. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka
dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak
adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok,
perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi
atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS
pada luka menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli
bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
2. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan
tulang di dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya
perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio
3. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat
mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan
secara cepat dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy
yang diberikan
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol
4. Indikasi operatif
Operasi Cedera Kepala
Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran
garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol
pendarahan dan mencegah perdarahan ulang.
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
- Status neurologis
- Status radiologis
- Pengukuran tekanan intrakranial
- Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
- Massa hematoma kira-kira 40 cc
- Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
- EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang.
- Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.
- Pasien – pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya
- tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.
lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat :
• Dilatasi pupil ipsilateral
• Hemiparese kontralateral
• Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba
Indikasi operasi pada fraktur depres :
- Lebih dari satu tabula
- Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya
- LCS leakage
- Fraktur depres terbuka
- Preventif growing fracture pada anak.
Dari traumatik koma data bank ditemukan pada studi 275 pasien dengan
hematoma tutorial didapat : 58% SDH, 26% ICH dan 16% EDH.
Indifikasi Operasi
Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis
tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol
pendarahan dan mencegah pendarahan ulang.
Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
- Status neurologis
- Status radiologis
- Pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
- Massa hematoma kira-kira 40 cc
- Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
- IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah dengan
GCS 8 atau kurang.
- Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
- Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya
- tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.
Indikasi BWT hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat :
- Dilatasi pupil ipsilateral
- Hemiparese kontralateral
- Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.
Indikasi operasi pada faktur depres :
- Lebih dari satu tabula
- Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya
- LCS leakage
- Fraktur depres terbuka
- Preventif growing fracture pada anak.
Preparasi Pra Operasi
- Inform concernt
- Cegah hipotensi, hipoksia
- Periksa foto turaks dan cervikal
- Dua infus line
- Periksa AGD, elektrolit dan darah rutin serta cross match
- Pasang kateter
- Profilaksis antibiotik sebelum operasi dimulai.
- ETT yang adekuat
- indungi kedua mata dari cairan dan tekanan.
TEKNIK OPERASI
1. Burr hole explorasi
* Tentukan areanya : disisi pupil yang dilatasi, kontra lateral hemiparese.
* Burr hole I : di temporal walaupun frakturya di lokasi yang berbeda. Bila
positif lanjutkan dengan craniotomy. Bila negatif lakukan langkah burr hole
selanjutnya.
* Burr hole II : di frontal
* Burr hole III : di parietal, bila negatif dilakukan disisi sebaiknya.
* Ada yang menambahkan burr hole IV di fossa posterior
* Incisi linier dan bila perlu dilanjutkan dengan question mark.
* Bila duramater tampak tegang dan kebiruan tapi clothing belum ditemukan
sebaiknya dilakukan lebih dahulu burr hole bilateral baru dilakukan mengintip
duramater karena sering subdural tersebut hanya tipis Baja.
2. Epidural hematom :
* lokasi : 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di occipital, fossa
posterior dan parietal
* bila ada mix lessi (hipodens clan hiperdens )curigai adanya gangguan
pembekuan darah
teknik :
a. Incisi bentuk question mark atau tapal kuda
b. Burr hole I di daerah yang paling banyak clothing biasanya di lobus
temporal, bila perlu dilanjutkan dulu kraniektomi kecil dan evakuasi clothing
untuk mengurangi tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk mengevakuasi
massa.
c. Bila duramater tegang kebiruan lakukan intip dura dengan incisi kecil
d. Kemudian duramater dijahit clan dilakukan gantung dura
3. Subdural hematom :
* lokasi paling sering di temporal dan parietal
* incisi bentuk tapal kuda atau question mark
* Kraniotomi seekspos mungkin dan bila ada clothing kecil dan tidak jelas
terlihat sebaiknya ditinggalkan.
* duramater dibuka dan dievakuasi clothingnya.
* duramater dijahit waterproof, bila swelling tidak dapat dikontrol, biarkan
terbuka dan tulang tidak dipasang dan langsung diflap.
4. Intracerebral hematom :
* lokasi : 80% -90% di temporal dan frontal
* kraniotomi secara prinsip sarna dengan perdarahan intrakranial lainnya
* perdarahan dirawat dengan bipolar, surgicel
* durameter dijahit waterproof
5. Hematoma fossa posterior
* 80% -100% pasien EDH fossa posterior disertai fraktur os occipitalis
* bila ada EDH supra dan infra tentorial, 30% disertai hidrocefalus
* incisi kulit linier/stick golf di para median atau midline
* konservatif bila simptom minimal dan stabil terutama bila ada fraktur di atas
sinus
Hasil
1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10%
2. SDH:
Serlig et al :
* operasi dalam 4 jam pertama mortality 30%
* operasi setelah 4 jam mortality 90%
Hasselberger et al :
* pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47%
* pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%
3. ICH: mortality 27% -50%
5. Transport pasien trauma kepala
Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera kepala
sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan medis
yang cepat, tepat dan aman. Karena keterlambatan sampai di rumah sakit, 10 %
dari total penderita cedera kepala di Amerika Serikat meninggal.
Pada penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan pernafasan,
syok hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan
intrakranial meninggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler, karena itu
perlu penanganan yang cepat. Tindakan gawat darurat yang perlu dilakukan
untuk menyelamatkan penderita yaitu; menjaga kelancaran jalan nafas (air
way), oksigenasi yang adekuat, resusitasi cairan, melindungi vertebra servikalis
dan torakolumbal, identifikasi dan stabilisasi perdarahan ekstrakranial, dan
menilai tingkat kesadaran penderita.
Dalam penganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat penting,
karena berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera kepala sekunder
yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah hipoksia dan hipotensi.
Waktu tunggu penderita dirumah sakit untuk penanganan penderita cedera
kepala untuk cedera kepala berat. Pada penderita cedera kepala berat dengan
perdarahan subdural sebaiknya interval waktu kejadian trauma dan tindakan
yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan interval
waktu lebih dari 12 jam prognosis buruk.
Seelig et al telah melakukan penelitian tentang pentingnya penanganan dan
transportasi yang cepat pada penderita dengan cedera kepala berat tertutup dan
perdarahan subdural akut. Penderita dengan hematoma yang dievakuasi lebih
kurang 4 jam, angka kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik.
Sedangkan penderita yang dioperasi diatas 4 jam, angka kematiannya 90% dan
kurang dari 10 % dengan keluaran baik.
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera kepala yaitu;
terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak
adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya delakukan
tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang lain.