Cedera Kepala

29
BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif, sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar, rujukan yang terlambat. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.

Transcript of Cedera Kepala

Page 1: Cedera Kepala

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia

produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas

yang tinggi di kalangan usia produktif, sedangkan kesadaran untuk menjaga

keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum

benar, rujukan yang terlambat. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik

bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.

Page 2: Cedera Kepala

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kepala

2.1.1 Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP, yaitu: skin atau kulit,

connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea

aponeurotika, loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar, dan

pericranium1,2. Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah yang sukar

mengadakan vasokonstriksi sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit

kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan

anak-anak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari

kulit kepala sampai dalam tengkorak (intrakranial)2.

Page 3: Cedera Kepala

Gambar 2.1 Lapisan Kulit Kepala

2.1.2 Tulang Tengkorak

Terdiri dari kalvaria (atap tengkorak) dan basis kranii (dasar tengkorak).

Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang, yaitu frontal, parietal, temporal,

dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun dilapisi

oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai

bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa, yaitu: fosa anterior adalah tempat lobus

frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior ruang

bagi bagian bawah batang otak dan serebelum1,2.

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan

oleh trauma. Fraktur kalvaria dapat berbentuk garis/ linier atau bintang/ stelata,

terbuka atau tertutup, dan dapat pula impresi atau non impresi (tidak masuk/

menekan kedalam). Tulang tengkorak terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan

tulang berongga (diploe), dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (tabula

interna) yang mengandung alur-alur arteri meningea anterior, media dan

posterior1,3.

Gambar 2.2 Lapisan Tulang Tengkorak

Page 4: Cedera Kepala

2.1.3 Lapisan Pelindung Otak/ Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,

yaitu:

1. Durameter merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa

yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Adanya fraktur dari

tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri meningea, yang

terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural),

dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera

adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa

media)2,3.

2. Arakhnoidmater adalah membran tipis dan tembus pandang, tidak menempel

pada duramater. Karena tidak melekat pada selaput dura di atasnya, maka

terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater

dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera

otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju

sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat

mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis

superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.

Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Vena-

vena otak yang melewati subdural mempunyai sedikit jaringan penyokong

sehingga mudah cedera dan robek pada trauma kepala2,3.

3. Piamater adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah

halus dan melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater masuk

kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain

hanya menjembatani sulkus. Diantara arakhnoid dan piamater terdapat ruang

Page 5: Cedera Kepala

subarakhnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu,

merupakan tempat bersikulasi cairan serebrospinal2,3.

Gambar 2.3 Meningen

Bagan 2.1 Skema Anatomi Kepala

2.1.4 Otak

Otak manusia terdiri dari sereberum, serebelum, dan batang otak. Serebrum

terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu

lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri

kiri terdapat pusat bicara yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada >85%

orang kidal. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai

hemisfer dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik

dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik).

Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus

Page 6: Cedera Kepala

temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab

dalam proses penglihatan1,2.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons, dan medulla

oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang

berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat

pusat kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di

bawahnya2,3. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan

defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam koordinasi dan

keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula

spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri3.

Gambar 2.4 Otak

2.1.5 Tentorium Serebeli

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial

(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial

(berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri

dengan batang otak (pons dan medula oblongata) dan berjalan melalui celah lebar

tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus okulomotorius (n. III)

berjalan di sepanjang tepi tentorium dan saraf ini dapat tertekan bila terjadi

herniasi lobus temporal yang umumnya diakibatkan oleh adanya massa

Page 7: Cedera Kepala

supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi

melakukan konstriksi pupil mata berjalan pada sepanjang permukaan nervus

okulomotorius. Paralisis serabut-serabut ini yang disebabkan oleh penekanan n.III

akan mengakibatkan dilatasi pupil oleh karena tidak adanya hambatan aktivitas

serabut simpatik2.

Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah

sisi medial lobus temporal yang disebut unkus. Herniasi unkus juga menyebabkan

penekanan traktus kortikospinal (piramidalis) yang berjalan pada otak tengah.

Traktus piramidalis atau traktus motorik menyilang garis tengah menuju sisi

berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini

menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral

disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi unkus.

Kadang-kadang lesi massa yang terjadi akan menekan dan mendorong otak tengah

ke sisi berlawanan pada tepi tentorium serebeli dan mengakibatkan hemiplegia

dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan hematoma intrakranialnya

(sindroma lekukan Kernohan)2.

Gambar 2.5 Tentorium Serebeli

Page 8: Cedera Kepala

Gambar 2.6 Herniasi Tentorial

2.1.6 Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua a.carotis interna dan dua a.vertebralis. Keempat arteri

ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus

Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang

sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan

bermuara ke dalam sinus venosus cranialis1,3.

Gambar 2.7 Perdarahan Otak

2.2 Fisiologi

Page 9: Cedera Kepala

2.2.1 Cairan Serebrospinalis (CSS)

CSS dihasilkan oleh plexus khoroideus (terletak di atap ventrikel) dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju

ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio

arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior2.

Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga

mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial

(hidrosefalus komunikans pasca trauma)2. Angka rata-rata pada kelompok

populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS

per hari4.

Gambar 2.8 Aliran CSS

2.2.2 Tekanan Intra Kranial (TIK)

TIK adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah intrakranial, dan

CSS di dalam tengkorak pada 1 satuan waktu. Berbagai proses patologis yang

mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan TIK. Kenaikan TIK dapat

menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK

normal pada keadaan istirahat sebesar 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg,

terutama bila menetap berhubungan langsung dengan hasil akhir yang buruk2.

Page 10: Cedera Kepala

2.2.3 Doktrin Monro-Kellie

Merupakan suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian

dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu

konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastis2.

Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume

komponen-komponennya, yaitu volume jaringan otak (Vbr) sebesar 1400 gr,

volume cairan serebrospinal (Vcsf) sebesar 75 ml, dan volume darah (Vbl)

sebesar 75 ml4.

Sehingga, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini akan menyebabkan

peningkatan TIK. Peningkatan TIK yang cukup tinggi dapat menyebabkan

herniasi batang otak yang berakibat kematian2.

2.3 Definisi

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital

ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/ benturan fisik dari luar,

yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan

kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik5.

2.4 Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3

deskripsi klasifikasi, yaitu2:

2.4.1 Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul

biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan

benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2.4.2 Beratnya Cedera

Vic = Vbr + Vcsf + Vbl

Page 11: Cedera Kepala

Glasglow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi

beratnya penderita cedera otak. Komponen yang dinilai pada GCS meliputi eye

opening (E), motor response (M), dan verbal response (V).

1. Cedera kepala ringan (CKR)

Jika GCS antara 14-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30

menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti

fraktur tengkorak, kontusio atau hematom (sekitar 55% ).

2. Cedera kepala kepala sedang (CKS)

Jika GCS antara 9-13, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam,

dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung).

3. Cedera kepala berat (CKB)

Jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi kontusio

serebral, laserasi atau adanya hematoma atau edema.

Gambar 2.9 Komponen Mata

Page 12: Cedera Kepala

Gambar 2.10 Komponen Motorik

Gambar 2.11 Komponen Verbal

2.4.3 Morfologi

1. Fraktur Kranium

Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu

menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekuatan yang

ditransmisikan ke dalam jaringan otak. Fraktur tengkorak dapat terjadi pada

kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau

tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed. Fraktur basis kranii

sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya memerlukan CT scan

dengan teknik bone-window untuk memperjelas garis fraktur. Tanda-tanda

klinis fraktur basis kranii, yaitu ekimosis periorbital (Racoon eyes sign),

Page 13: Cedera Kepala

ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran CSS (rinorea, otorea), paresis

nervus fasialis, dan kehilangan pendengaran yang dapat timbul segera atau

beberapa hari setelah trauma2.

Fraktura kalvaria terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara

laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya duramater.

Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko perdarahan intrakranial sebesar

400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar2.

2. Lesi Intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua

jenis lesi ini sering terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal, yaitu

perdarahn epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan perdarahan

intraserebral2.

a. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai

kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan

kesadaran dalam waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai

beberapa menit dan mungkin mengalami amnesia retro/ antegrad2.

Cedera otak difus yang berat biasanya akibat hipoksia, iskemi dari otak

karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera

setelah trauma2.

Cedera aksonal difus (CAD) adalah trauma otak berat dengan prognosis

buruk. Pada CT scan menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan

multipel di seluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih

dengan abu-abu2.

b. Epidural hematom (EDH)

Adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna

dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau

temporoparietal dan sering akibat robeknya a.meningea media akibat

fraktur tulang tengkorak. Perdarahan biasanya dianggap berasal arteria,

namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.

Kadang-kadang, EDH mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama

Page 14: Cedera Kepala

diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walaupun EDH relatif tidak

terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera

kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak

segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak

disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada

status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar

0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada

pasien koma dalam. Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa

cembung.

c. Subdural hematom (SDH)

Adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoidmater.

SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%

penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat

robeknya vena bridging di permukaan korteks serebri. Selain itu,

kerusakan otak yang mendasari SDH biasanya lebih berat dan

prognosisnya lebih buruk dari EDH. Mortalitas umumnya 60%, dapat

diperkecil oleh tindakan operasi yang segera dan pengelolaan medis yang

agresif.

d. Kontusio dan perdarahan intraserebral (PIS)

Kontusio serebri sering terjadi (20% – 30% dari cedera otak berat) dan

sebagian besar terjadi di lobus frontal dan temporal, walaupun dapat juga

terjadi pada setiap tempat. Kontusio serebri dapat dalam waktu beberapa

jam atau hari berubah menjadi PIS yang membutuhkan tindakan operasi.

Hal ini timbul pada ±20% penderita dan cara mendeteksi terbaik adalah

dengan mengulang CT scan dalam 12 – 24 jam setelah CT scan pertama.

PIS adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.

Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang

menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan

otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan

temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau

pada sisi lainnya (countrecoup).

Page 15: Cedera Kepala

e. Perdarahan subarakhnoid

Perdarahan yang terjadi pada ruang arachnoid yakni antara lapisan

arachnoidmater dengan piamater. Seringkali terjadi karena adanya vena

yang ada di daerah tersebut terluka, bersifat kronik

2.5 Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam 2 tahap, yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala

sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan

langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-

deselarasi gerakan kepala.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan countrecoup.

Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan

daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat

benturan akan terjadi lesi yang disebut countrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi

karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi

trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak

(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan

intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur

permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan

(countrecoup).

Gambar 2.12

Mekanisme Coup dan Countercoup

Page 16: Cedera Kepala

Trauma kepala

cedera jaringan cedera menyeluruh

otak setempat

kerusakan setempat kekuatan diserap sepanjang jaringan otak

sawar darah otak rusak

vasodilator pembuluh darah & CO2 meningkat

edema (ketidakseimbangan CES & CIS) pH menurun

peningkatan TIK hipoksia

iskemia jaringan otak

nekrosis jaringan otak peningkatan perfusi jaringan otak

defisit neurologik penurunan tingkat kesadaran

gangguan n.vagal gangguan fungsi gangguan pemenuhan

medula oblongata kebutuhan ADL

penurunan fungsi gangguan fungsi otot kerusakan persepsi & kognitif

kontraksi otot respirasi

polos lambung

penurunan kemampuan perubahan frekuensi RR risti cedera sekunder

absorbsi makanan

Page 17: Cedera Kepala

risti pola nafas tidak efektif

nausea makanan tidak tercerna

vomitus risiko nutrisi kurang dari kebutuhan

risiko defisit cairan

2.5 Manifestasi Klinis

1. Nyeri yang menetap atau setempat.

2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur atap kranial.

3. Fraktur dasar tengkorak: hemoragi dari hidung, faring atau telinga dan darah

terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (Battle’s sign), otorea

serebrospinal (cairan serebrospinal keluar dari telinga), rinorea (cairan

serebrospinal keluar dari hidung)

4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.

5. Penurunan kesadaran.

6. Pusing/ berkunang-kunang. Absorbsi cepat lesi dan penurunan volume

intravaskuler

7. Peningkatan TIK

8. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralisis ekstremitas

9. Peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi nadi, peningkatan

pernafasan)

2.6 Penatalaksanaan

Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka

mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda

asing dan meminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.

Pedoman Resusitasi dan Penilaian Awal

1. Menilai jalan nafas

Page 18: Cedera Kepala

Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,

pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang cervical

collar, pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu

jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.

2. Menilai pernafasan

Tentukan apakah pasien bernafas spontan/ tidak. Jika tidak, beri O2 melalui

masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada berat

seperti tension pneumothorax, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk

menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindung

bahkan terancan/ memperoleh O2 yg adekuat (PaO2 >95% dan PaCO2 <40%

mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta

diventilasi oleh ahli anestesi.

3. Menilai sirkulasi

Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan

dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intra abdomen/ dada.Ukur

dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang EKG. Pasang jalur

intravena yang besar. Berikan larutan koloid, sedangkan larutan kristaloid

menimbulkan eksaserbasi edema.

4. Obati kejang

Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati mula-

mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi 2x

jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin 15mg/kgBB

5. Menilai tingkat keparahan: CKR,CKS,CKB

6. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto

tulang belakang servikal (proyeksi AP, lateral, dan odontoid ), cervical collar baru

dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh servikal C1-C7 normal

7. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat:

- Pasang infus dgn larutan NaCl 0,9% atau RL. Cairan isotonis lebih efektif

mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak

menambah edema serebri

- Lakukan pemeriksaan. Ht, darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah

Page 19: Cedera Kepala

- Lakukan CT scan. Pasien dengan CKR, CKS, CKB harus dievaluasi adanya: 1.

hematoma epidural, 2. darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel, 3. kontusio

dan perdarahan jaringan otak, 4. edema serebri, 5. midline shift, 6. fraktur

cranium

- Pada pasien yang koma (GCS <8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi

lakukan: - elevasi kepala 30° - hiperventilasi - Berikan manitol 20% 1gr/kgBB

intravena dlm 20-30 menit.Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian

yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam I - Pasang

kateter foley - Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom

epidural besar,hematom sub dural,cedera kepala terbuka,fraktur impresi >1

diplo)

DAFTAR PUSTAKA

1. Drake RL., Vogl W., Mitchell AW. 2007. Gray’s Anatomy for Students.

Elsevier p.769, 782, 785

2. American College of Surgeon Committee on Trauma. 2004. Cedera Kepala.

Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah

Indonesia, penerjemah. Edisi 7. hlm.168 – 193

Page 20: Cedera Kepala

3. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,

(penerjemah). Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:

EGC: 2006. hlm. 740-59

4. Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.

Elsevier Saunders. 685-97.

5. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. disitasi dari

http://www.biausa.org/about-brain-injury.htm pada tanggal 27 November

2010. Perbaharuan terakhir:

6. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning

System LLC;2003