CDM
-
Upload
papang-parwoto -
Category
Documents
-
view
31 -
download
3
Transcript of CDM
CDM (CLEAN DEVELOPMENT MECHANISMS)
http://elsdwika.wordpress.com/berita-lingkungan/clean-development-mechanism-cdm/
CDM adalah sebuah mekanisme dimana negara-negara yang tergabung di
dalam Annex 1, yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca
sampai angka tertentu per tahun 2012 seperti yang telah diatur dalam Protokol Kyoto,
membantu negara-negara non-Annex 1 untuk melaksananakan proyek-proyek yang
mampu menurunkan atau menyerap emisi setidaknya satu dari enam jenis gas rumah
kaca . Negara-negara non-Annex 1 yang dimaksud adalah yang menandatangani
Protokol Kyoto namun tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya. Satuan
jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang bisa diturunkan dikonversikan menjadi
sebuah kredit yang dikenal dengan istilah Certified Emissions Reduction (CERs) –
satuan reduksi emisi yang telah disertifikasi.
Negara-negara Annex 1 dapat memanfaatkan CER ini untuk membantu mereka
memenuhi target penurunan emisi seperti yang diatur di dalam protokol
(UNFCCC) Clean Development Mechanism (Mekanisme Pengembangan Bersih)
merupakan realisasi protokol Kyoto yang tertuang dalam agenda “Flexible
Mechanism” yang terdiri dari tiga kategori yaitu “Joint Implementation”
(Implementasi Bersama), “Emmission Trading” (Perdagangan Emisi), dan Clean
Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih).
Mekanisme Pembangunan Bersih mencakup tiga kategori implementasi yaitu
“Clean Production” (Produksi Bersih), “Saving Energy” (Penghematan Energi) dan
“Fuel Switching” (Pengalihan Bahan Bakar). Realisasi program CDM adalah
melakukan reduksi emisi gas rumah kaca serta sekuestrasi (penyerapan karbon)
melalui penanaman pohon di lahan produksi yang mengalami eksploitasi
berlebihan.
CDM (Mekanisme Pembangunan bersih) menitikberatkan pengurangan emisi gas
CO2 pada setiap proses di industri dan menyampaikan pencapaian yang diperoleh
ke instansi terkait untuk mendapatkan insentif dari hasil diatas dari negara
negara yang masuk dalam Annex-1. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan beberapa negara yang mengeluarkan emisi gas dari kegiatan
industrinya diatas ambang batas yang dipersyaratkan oleh lembaga dunia yang
dituangkan dalam Kyoto Protocol, dan negara berkembang salah satunya adalah
indonesia akan mendapatkan insentif dari aktifitas pengurangan emisi gas di
industri yang mampu menjalankan CDM.
Dengan banyaknya kegiatan yang telah ada yang dalam konteks ini dikategorikan
dalam kegiatan “business-as-usual” baik di sektor energi maupun sektor kehutanan,
proyek CDM dapat membuka kemungkinan yang luas dalam mengurangi dan
mencegah emisi GRK.
Hasil dari NSS mengindikasikan bahwa potensi CDM sektor energi sekitar 2,1 % dari
total 1200 juta ton CO2 emisi Indonesia per tahun. Dengan demikian potensi CDM
sektor energi sebesar 25,2 juta ton CO2 per tahun dengan harga US $ 1,83 per ton.
Pilihan kegiatan mitigasi yang paling memungkinkan antara lain : energi panas bumi
(geothermal energy), gas flaring, integrated combined cycle, penggantian bahan bakar
(fuel switching), cogeneration dan sistem pemanas (heating systems). Di sektor
kehutanan, hasil NSS menunjukkan bahwa sekitar 5,5 giga ton CO2 dapat diserap
melalui kegiatan aforestasi dan reforestasi pada lahan sekitar 32,5 juta ha.
Diperkirakan 50 % dari luasan tersebut memenuhi syarat untuk dijadikan proyek CDM,
dengan demikian areal yang dapat dijadikan proyek CDM sekitar 16 juta ha, setara
dengan 2,75 giga ton CO2 carbon sinkdengan potensi sekitar 184 juta ton CO2 per
tahun.
Di dalam program prioritas Departemen kehutanan, CDM merupakan mekanisme yang
dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan program kehutanan nasional seperti
rehabilitasi lahan dan kegiatan penanaman hutan terdegradasi yang sangat luas.
Secara keseluruhan program prioritas Departemen Kehutanan tersebut meliputi :
pengentasan kemiskinan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan atau dekat hutan,
pemberantasan illegal logging, pelaksanaan pengelolaan hutan lestari melalui
sertifikasi hutan dan sistem lacak balak, membangun hutan tanaman, rehabilitasi dan
konservasi sumberdaya hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, pemberdayaan
ekonomi masyarakat, dan pemantapan kawasan hutan.
CDM yang merupakan mekanisme internasional untuk mengurangi emisi GRK tidak
cukup sederhana untuk dengan mudah diikuti oleh para pihak yang berminat.
Ketentuan yang diatur di tingkat internasional baik teknis maupun non-teknis cukup
banyak dan harus diterjemahkan serta disesuaikan dengan peraturan-perundangan di
tingkat nasional. Proyek CDM juga harus mematuhi prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan di Indonesia. Banyaknya isu teknis dan non-teknis dalam implementasi
CDM merupakan salah satu pertimbangan dibuatnya buku petunjuk ini. Buku ini
dimaksudkan untuk memberikan petunjuk praktis tentang potensi proyek CDM dan
faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam implementasi CDM energi dan non-energi
di Indonesia.
Komunikasi nasional pertama Indonesia untuk UNFCCC meliputi inventarisasi emisi
gas rumah kaca Indonesia tahun 1994 (MOE 1998), sebagai informasi resmi terbaru
mengenai profil emisi gas rumah kaca Indonesia.7 Namun, beberapa pengecualian
dibuat, terutama di sektor kehutanan, dikarenakan tidak tersedianya informasi yang
akurat dan dapat dipercaya.
Inventarisasi gas rumah kaca meliputi CO2, metan (CH4), karbon monoksida (CO),
natrium oksida (N2O), dan nitrogen oksida (NOx). Hanya gas rumah kaca yang relevan
terhadap mekanisme Kyoto, yaitu mencakup semua gas rumah kaca kecuali CO, yang
dibahas dalam bagian ini. Sumber utama emisi CO2 pada tahun 1994 adalah sektor
kehutanan dan energi. Kedua sektor ini menyumbang sekitar 97 persen dari total emisi
CO2. Emisi CO2 dari sektor kehutanan terjadi sebagian besar akibat dari terbakarnya
biomass selama aktivitas konversi padang rumput dan hutan. Sumber utama emisi
CH4 adalah sektor pertanian (51%), dimana sebagian besar emisi dihasilkan dari
sawah. N2O sebagian besar dihasilkan oleh sektor pertanian, meliputi 86 persen dari
total emisi N2O, sementara sumber utama NOx adalah sektor energi (88%).
CDM adalah mekanisme dibawah Kyoto Protocol/UNFCCC(2), yang dimaksudkan
untuk : (a) membantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya
menurunkan emisi GHGs; (b) membantu negara berkembang dalam upaya menuju
pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi
Perubahan Iklim (UNFCCC). Beberapa tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim
(UNFCCC) ditanda-tangani pada tahun 1992, upaya nyata pengurangan emisi gas
rumah kaca (GHGs)(3), sebagai akibat aktifitas manusia belum dapat ditunjukkan. Oleh
karena itu pada Conference of the Parties (COP)-3 tahun 1997 di Kyoto dicetuskanlah
suatu protokol yang menawarkan flexibility mecanism, yang memungkinkan negara-
negara industri memenuhi kewajiban pengurangan emisi GHGs-nya melalui kerjasama
dengan negara lain baik berupa investasi dalam emission reduction
project maupun carbon trading. Dibawah Kyoto Protocol, negara-negara industri
diharuskan menurunkan emisi GHGs minimal 5% dari tingkat emisi tahun 1990,
selama tahun 2008-2012. CDM adalah satu-satunya mekanisme dibawah Kyoto
Protocol, yang menawarkan win-win solution antara negara maju dengan negara
berkembang dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs), dimana negara
maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat
menghasilkan pengurangan emisi GHGs, dengan imbalan CER (Certified Emission
Reductions)
CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-
program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Di sektor
Kehutanan, CDM dapat diarahkan untuk mendukung(5):
1. Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak,
2. Rehabilitasi areal bekas kebakaran,
3. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut,
4. Agroforestry,
5. Penerapan RIL (Reduced Impact Logging),
6. Peningkatan permudaan alam,
7. Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan,
8. Perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan.
Adapun manfaat tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa Technology
transper, capacity building, peningkatan kualitas lingkungan, serta peningkatan daya
saing.
Dari sisi kepentingan nasional, CDM tidak menguntungkan apabila negara industri
menggunakan dana ODA (Official Development Assistane). Sesuai dengan Agenda 21
UNCED (Komisi Ekonomi dan Pembangunan PBB), sumber dana kemitraan global
menuju ‘sustainable development‘ adalah diluar ODA/Official Development
Assistance (new & additional terhadap ODA funding). Tetapi dalam kenyataannya
jumlah pemberian dana ODA semakin menurun sejak awal tahun 1990-an, yang
kemungkinan dialihkan untuk membiayai komitmen lainnya, misal ke Global
Environment Facility (GEF) untuk membiayai komitmen dibawah CCC (Konvensi
Perubahan Iklim), CBD (Konvensi Keanekaragaman Hayati), CCD (Konvensi
Penanggulangan Desertifikasi). Pengalihan dan ODA ke GEF untuk membiayai
komitmen negara industri dibawah konvensi-konvensi diatas sebenarnya sudah
menyalahi komitmen yang telah dibuat negara-negara industri sebelumnya yang
dipertegas pada UNCED tahun 1992 tentang alokasi 0,7% dari GNP-nya untuk ‘ODA
funding‘. Sedangkanpenggunaan ‘ODA funding‘ untuk membiayai CDM oleh
negara maju merupakan pengalihan beban yang seharusnya tidak dipikul oleh
negara berkembang.
CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM (CDM) SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDANAAN
ALTERNATIF BAGI PEMBANGUNAN KEHUTANAN DAN PERKEBUNANhttp://www.dephut.go.id/index.php/news/details/655
A. Pengantar
Selama sepuluh tahun terakhir, laju deforestasi diperkirakan mencapai 1,6 juta ha dan luas lahan/hutan rusak yang perlu direhabilitasi meliputi lebih dari 30 juta ha(1). Kurang memadainya kondisi keuangan negara saat ini, memerlukan penggalangan sumber pendanaan alternatif guna mendukung pembangunan kehutanan dan perkebunan, dimana rehabilitasi dan konservasi merupakan program prioritas. Clean Development Mechanism(CDM) adalah salah satu sumber pendanaan luar negeri yang dapat diarahkan untuk mendukung program diatas.
B. Apa itu CDM
CDM adalah mekanisme dibawah Kyoto Protocol/UNFCCC(2), yang dimaksudkan untuk : (a) membantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya menurunkan emisi GHGs; (b) membantu negara berkembang dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). Beberapa tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) ditanda-tangani pada tahun 1992, upaya nyata pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs)(3), sebagai
akibat aktifitas manusia belum dapat ditunjukkan. Oleh karena itu pada Conference of the Parties (COP)-3 tahun 1997 di Kyoto dicetuskanlah suatu protokol yang menawarkan flexibility mecanism, yang memungkinkan negara-negara industri memenuhi kewajiban pengurangan emisi GHGs-nya melalui kerjasama dengan negara lain baik berupa investasi dalam emission reduction project maupun carbon trading. Dibawah Kyoto Protocol, negara-negara industri diharuskan menurunkan emisi GHGs minimal 5% dari tingkat emisi tahun 1990, selama tahun 2008-2012. CDM adalah satu-satunya mekanisme dibawah Kyoto Protocol, yang menawarkanwin-win solution antara negara maju dengan negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs), dimana negara maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi GHGs, dengan imbalan CER (Certified Emission Reductions)(4).
C. Apa manfaat CDM bagi Indonesia
CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Di sektor Kehutanan, CDM dapat diarahkan untuk mendukung(5):
1. Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak,2. Rehabilitasi areal bekas kebakaran,3. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut,4. Agroforestry,5. Penerapan RIL (Reduced Impact Logging),6. Peningkatan permudaan alam,7. Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan,8. Perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan.
Adapun manfaat tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa Technology transper, capacity building, peningkatan kualitas lingkungan, serta peningkatan daya saing.
D. Apakah kemungkinan kerugiannya
Dari sisi kepentingan nasional, CDM tidak menguntungkan apabila negara industri menggunakan dana ODA (Official Development Assistane). Sesuai dengan Agenda 21 UNCED (Komisi Ekonomi dan Pembangunan PBB), sumber dana kemitraan global menuju 'sustainable development' adalah diluar ODA/Official Development Assistance (new & additional terhadap ODA funding). Tetapi dalam kenyataannya jumlah pemberian dana ODA semakin menurun sejak awal tahun 1990-an, yang kemungkinan dialihkan untuk membiayai komitmen lainnya, misal ke Global Environment Facility (GEF) untuk membiayai komitmen dibawah CCC (Konvensi Perubahan Iklim), CBD (Konvensi Keanekaragaman Hayati), CCD (Konvensi Penanggulangan Desertifikasi). Pengalihan dan ODA ke GEF untuk membiayai komitmen negara industri dibawah konvensi-konvensi diatas sebenarnya sudah menyalahi komitmen yang telah dibuat negara-negara industri sebelumnya yang dipertegas pada UNCED tahun 1992 tentang alokasi 0,7% dari GNP-nya untuk 'ODA funding'. Sedangkanpenggunaan 'ODA funding' untuk membiayai CDM oleh negara maju merupakan pengalihan beban yang seharusnya tidak dipikul oleh negara berkembang.
E. Apakah Indonesia wajib mengikuti CDM
CDM adalah peluang investasi modal asing, jadi tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti. Kewajiban Indonesia dalam hal ini bukan dalam konteks CDM tetapi kewajiban sebagai peratifikasi UNFCCC(6) : berkewajiban memberikan laporan nasional secara periodik(7) tentang hasil inventarisasi gas rumah kaca (sektor energi dan non-energi), serta upaya yang telah dilakukan dalam rangka menekan dampak negatif perubahan iklim. Sedangkan sebagai negara non-annex I (negara berkembang), Indonesia belum diwajibkan untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya, dan berhak untuk mendapatkan bantuan dana (misal melalui GEF dll) untuk capacity building dan technology transfer dalam rangka menekan dampak negatif perubahan iklim.
F. Apa persyaratan CDM
1. Atas dasar suka rela (antar Pemerintah, antar swasta, dan antara Pemerintah dengan swasta).
2. Disetujui oleh Pemerintah masing-masing.3. Memenuhi kriteria additionality, real, measurable, long-term benefit, dengan
penjelasan seperti berikut : Pengertian additional dapat diterangkan dengan membandingkan terhadap baseline (keadaan tanpa proyek CDM). Additionality dapat ditinjau dari aspek pengurangan emisi GHGs(8), investasi(9), sumber dana(10), teknologi(11), dan regulasi(12). Proyek CDM dapat diberikan CER bila pengurangan emisi : (a) real (emisi GHGs proyek CDM < baseline), (b) measurable (tingkat emisi GHGs proyek CDM danbaseline dapat ditentukan dengan tingkat akurasi tertentu). Long-term benefit(pengurangan emisi GHGs berlangsung terus menerus sepanjang jangka waktu proyek, dan memberikan kontribusi terhadap sustainable development di negara berkembang).
G. Bagaimana mekanisme pendanaan CDM
1. Bilateral : antar Pemerintah, antar swasta (dengan persetujuan Pemerintah), dan antara Pemerintah dengan swasta.
2. Multilateral : pool dana dari negara industri (Pemerintah atau swasta) pada 'Lembaga Independen'(13) dan lembaga ini menyalurkan dana untuk proyek CDM.
3. Unilateral : host country melaksanakan proyek pengurangan emisi GHGs dengan biaya sendiri, yang dapat dipasarkan melalui pasa bebas(14).
H. Penutup
CDM merupakan peluang investasi, dan sektor kehutanan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk ikut serta dalam CDM. Namun perlu diingat bahwa hukum Kyoto Protocol masih belum mengikat negara industri untuk melaksanakan komitmennya dibawah protokol tersebut, karena jumlah negara yang meratifikasi belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Masalah ini masih perlu dibahas lebih lanjut dalam pertemuan negara para pihak Konvensi Perubahan Iklim (Parties to the UNFCCC) pada pertemuan di Den Haag bulan Nopember 2000 (COP-6/Six Conference of the Parties). Demikian juga masalah metodologi, aturan, dan prosedur CDM. Dan untuk sektor kehutanan, sampai saat ini masih menjadi perdebatan tentang masuk/tidaknya sink dalam CDM. Dalam menyongsong
era carbon trading melalui CDM, koordinasi antar pihak terkait sangat diperlukan, misal antara Dephutbun dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, para pakar, instansi dan departemen terkait lainnya. Hal ini diperlukan baik dalam rangka penyiapan posisi Indonesia pada pertemuan-pertemuan negara para pihak (Conference of the Parties) mendatang; penyiapan institusi CDm di tingkat nasional(15); dan untuk keperluan sharing data dan informasi. Dan seiring dengan berlakunya desentralisasi, untuk keperluan implementasinya diperlukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan stakeholders lain di daerah.
(1)Sumber : Dephutbun (1999).(2)United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Perubahan Iklim).(3)Jenis GHGs yang dikontrol oleh Kyoto Protocol : CO2, CH4, N2O.HFCs, PFCs, SF6.(4)Manfaat bagi negara maju : memenuhi sebagian komitmennya untuk menurunkan GHGs dengan biaya jauh lebih murah bila dilakukan di negara sendiri. Negara berkembang (pada periode komitmen I : 2008-2012) belum diwajibkan menurunkan emisi GHGs.(5)Melalui carbon sequestration project.(6)CDM adalah mekanisme yang diatur dalam Kyoto Protocol (protocol to the UNFCCC).(7)Untuk non-Annex I tidak ditentukan periodisitasnya dan untuk penyusunannya berhak memperoleh bantuan dari Annex I (Indonesia baru melaporkan kali, 1999).(8)Additional bila emisi GHGs setelah ada proyek CDM lebih kecil dari sebelum ada proyek CDM.(9)Additional bila investasi di lokasi proyek tidak terjadi tanpa proyek CDM.(10)Additional bila sumber dana bukan ODA.(11)Additional bila proyek CDA membawa teknologi baru/peningkatan teknologi yang ada.(12)Additional bila proyek CDM dilakukan pada daerah/negara dimana penegakan hukum/peraturan tentang lingkungan tidak efektif.(13)Baru akan diputuskan paling cepat pada COP-6, sedangkan CDM sudah dapat dimulai tahun 2000.(14)Masih dalam perdebatan dapat/tidaknya negara berkembang menggunakan mekanisme tersebut.(15)Karena step-step CDM (mulai dari design proyek sampai dengan sertifikasi) memerlukan keterlibatan berbagai institusi.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi :
Bidang Kajian Kebijakan Kehutanan dan Perkebunan
Dr. Silver HutabaratTelp. 021-5730319e-mail : [email protected]
Dr. Nur MasripatinTelp. 021-5720216e-mail : [email protected]
Sumber :Pusat Rencana, Badan Planologi Kehutanan dan PerkebunanDepartemen KehutananGedung Manggala Wanabakti Blok VII Lt.5Jl. Gatot Subroto, Jakarta
CDM SEBAGAI ALTERNATIF CARA PENGURANGAN EMISI KARBON DI DUNIA
http://www.kamase.org/?p=932
Akhir-akhir ini berlangsung suatu konferensi yang membahas tentang perubahan iklim, terutama yang jadi
masalah utama ialah masalah produksi emisi karbon oleh negara-negara maju di dunia. Setelah Protokol Kyoto
dan konferensi tingkat tinggi (KTT) Bali, KTT Kopenhagen juga mengingatkan kita betapa banyak efek yang
ditimbulkan akibat perubahan iklim tersebut. Semenjak dimulainya era revolusi industri pada tahun 1796 di
perancis keadaan iklim global berangsur-angsur semakin memburuk. Laju pelepasan gas-gas berbahaya di
atmostfer terutama gas CO2 diperparah dengan laju pertumbuhan Ekonomi yang berkorelasi positif terhadap
laju pertumbuhan industri. Hal ini menyebabkan suhu rata-rata dipermukaan bumi naik sebesar 1oC dalam
beberapa tahun belakangan ini.
Meningkatnya tingkat emisi karbon di dunia menyebakan kadar CO2 diatmosfer tidak stabil. Oleh karena itu,
negera-negara maju yang tergabung dalam Annex1berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 sehingga
tercetuslah protocol Kyoto pada tahun 1997. Dengan adanya protocol Kyoto tersebut diharapkan mampu
mengurangi efek dari Gas Rumah Kaca (GRK) di dunia. Selain itu protocol Kyoto diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran negara-negara di dunia terutama negara maju untuk mengurangi emisi karbon di
dunia.
Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu dari tiga mekanisme fleksibel dalam Protokol Kyoto
yang dirancang untuk membantu negara industri/Annex1 untuk memenuhi komitmennya mengurangi efek GRK
dan membantu negara berkembang dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. CDM adalah satu-satunya
mekanisme fleksibel yang melibatkan negara berkembang. Berdasarkan Protokol Kyoto, negara berkembang
tidak memiliki kewajiban membatasi emisi GRKnya, akan tetapi dapat secara sukarela berkontribusi dalam
pengurangan emisi global dengan menjadi tempat pelaksanaan proyek CDM.
Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU No. 6 tahun 1994. Ratifikasi Protokol Kyoto
disetujui oleh DPR tanggal 28 Juni 2004 dan melalui UU No. 17 tahun 2004 Indonesia meratifikasi Protokol
Kyoto, dan disampaikan ke Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim tanggal 3 Desember 2004 melalui
Departemen Luar Negeri. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto berarti membuka peluang bagi Indonesia untuk
menarik lebih banyak investasi untuk sebagaian besar merupakan negara industri. Mengembangkan proyek
CDM, yang akan bermanfaat dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya,
akan memerlukan persiapan di berbagai aspek mulai dari kebijakan dan regulasi, keuangan dan aspek teknis
dalam implementasi CDM.
CDM adalah sebuah mekanisme dimana negara-negara yang tergabung di dalam Annex1, yang memiliki
kewajiban untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca sampai angka tertentu per tahun 2012 seperti yang
telah diatur dalam Protokol Kyoto, membantu negara-negara non-Annex1 untuk melaksananakan proyek-
proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca.
Negara-negara non-Annex1 yang dimaksud adalah yang menandatangani Protokol Kyoto namun tidak memiliki
kewajiban untuk menurunkan emisinya. Satuan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang bisa diturunkan
dikonversikan menjadi sebuah kredit yang dikenal dengan istilah Certified Emissions Reduction (CERs) –
satuan reduksi emisi yang telah disertifikasi. Negara-negara Annex1 dapat memanfaatkan CER ini untuk
membantu mereka memenuhi target penurunan emisi seperti yang diatur di dalam protokol (UNFCCC).
Setelah Badan Eksekutif Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) menerima permohonan untuk penerbitan
CERs, Badan Eksekutif menerbitkan CERs yang dimohon dalam waktu 15 hari kecuali ada permintaan review
dari pengembang proyek atau setidaknya 3 anggota Badan Eksekutif. Jumlah CERs, setelah dikurangi share of
proceeds untuk adaptasi dan biaya administrasi ditempatkan pada account yang sesuai pada CDM registry di
bawah pengawasan Badan Eksekutif. Proses untuk adaptation sebesar 2 % dari CERs yang diterbitkan
(UNFCCC 2001b paragraf 15, 23), sedangkan persentase untuk biaya administrasi ditentukan $0,20 per CER,
jika disetujui oleh Conference of the Parties (COP/MOP) pada sesi pertama awal bulan Desember 2005
(UNFCCC CDM EB 2005e, 1-2). Proyek A/R CDM dikecualikan dari share of proceeds untuk adaptasi
(UNFCCC 2004,(d), 26). 18.
Berdasarkan laporan National Strategy Study (NSS) Total volume CDM di Indonesia diperkirakan sekitar 36
juta ton CO2 per tahun (KLH 2002). Kontribusi sektor kehutanan terhadap total volume jauh lebih tinggi dari
sektor energi karena rendahnya harga carbon yang dihasilkan dari proyek CDM berbasis kehutanan (A/R CDM
atau CDM aforestasi dan reforestasi). Secara keseluruhan Indonesia memiliki potensi yang signifikan untuk
proyek CDM dalam ketersediaan lahan yang layak menurut Protokol Kyoto.
Di bidang energi, Sumber utama emisi CO2 di sektor energi adalah pembakaran bahan bakar minyak dalam
proses produksi dan prosesing sumber energi primer terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan
proses pembakaran di industri-industri lainnya. Umumnya sektor ini masih banyak menggunakan teknologi
yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah.
Salah satu penyumbang CO2 dalam bidang industry non energi terbesar adalah industri semen. Industri
semen menyumbang ±5% dari keseluruhan emisi CO2 di dunia. Oleh karena itu, terdapat banyak peluang
untuk mereduksi emisi CO2 sehingga penambahan volume CDM oleh industri semen juga bisa lebih
ditingkatkan. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa industri semen besar yang menerapkan proyek CDM
sebagai usaha untuk mengurangi efek GRK.Pengurangan emisi GRK di sektor industri umumnya didasarkan
pada prinsip-prinsip berikut :
1. Mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis carbon dengan bahan bakar non-carbon atau kandungan
carbon rendah
2. Meningkatkan efisiensi pembakaran
3. Meminimalkan kebocoran methane dan dekarbonisasi
Referensi
Rainer Walz, “The Economic of Climate Change Policy,” Springer, German, 2009
Richard W Asplun,”Profitng from Clean Energy,” John wiley & Sons,USA, 2008
“Panduan Kegiatan MPB di Indonesia,” Kementrian Lingkungan Hidup Jepang,2005.
KIPRAH CDM DI JAWA TIMUR
http://www.best.or.id/modules/news/article.php?storyid=70
200 kg sampah organik bisa menghasilkan gas metan sampai dengan volume 8 m2"
Clean Development Mekanisme (CDM) merupakan sebuah mekanisme dunia dalam memperlambat perubahan iklim di mana salah satunya melalui sektor pengelolaan sampah. Dalam usaha memperlambat pemanasan global Kiprah CDM menerapkan teknologi pengomposan aerobik dengan menggunakan tools berupa bamboo aerator atau windrow untuk composting sampah organik.
Kiprah sendiri merupakan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat di tingkat kawasan yang dikembangkan olehBORDA NGO Network (BNN) dan IDRC (International Development Research Centre). BNN tersebut terdiri dari Bina Ekonomi Sosial Terpadu (BEST), Lembaga Pengembangan Masyarakat Pedesaan (LPTP), dan Balifokus.
Pada dasarnya setiap timbulan sampah berpotensi menghasilkan gas rumah kaca (GRK) berupa karbondioksida dan metan. Kandungan gas karbondioksida yang dihasilkan oleh proses pembusukan sampah terbilang cukup besar kurang lebih 40-60%. Karbondioksida dan metan itu sendiri merupakan produk dari pembusukan sampah anaerobik. Pada akhirnya gas tersebut akan mencari jalan keluar dari timbulan sampah untuk selanjutnya terlepas ke atmosfer.
Sampai di atmosfer gas tersebut akan berkumpul bersama GRK yang sudah ada di atmosfer. Proses ini tentu akan menambah jumlah konsentrasi GRK yang ada di atmosfer. Apabila jumlah konsentrasi GRK yang ada di atmosfer terus bertambah akan membuat selimut bumi menjadi semakin tebal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemanasan global.
Guna mengurangi jumlah GRK yang terlepas ke atmosfer, pada tahun 2010 Jawa Timur telah dibangun dua lokasi Material Recovery Facility (MRF) yang akan menerapkan pola pengelolaan CDM yaitu di desa Ngaban Kecamatan Tanggulangin–Sidoarjo dan desa Prasung Kecamatan Buduran–Sidoarjo. Pembangunan MRF ini juga dimaksudkan sebagai kantung-kantung pemilahan sampah di skala kawasan sehingga volume sampah hanya menyisakan sekitar 25-30% yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Pembangunan MRF ini dilaksanakan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementrian Pekerjaan Umum. BEST Surabaya dalam hal ini berperan untuk menyiapkan masyarakat setempat guna terlaksananya program CDM. Selain itu BEST Surabaya juga berperan mendampingi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang mengelola MRF dengan menerapkan pola CDM.
Dengan menerapkan pola CDM sampah organik yang berpotensi menghasilkan GRK akan diolah menjadi kompos dengan metode bamboo aerator atau windrow. Pengomposan sampah organik dengan metode bamboo aerator/windrow dapat mengurangi potensi produksi GRK yang dihasilkan melalui proses pembusukan sampah anaerob. Dengan begitu jumlah emisi gas karbondioksida atau pun metan yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah organik dapat dikurangi.
Saat ini MRF telah siap untuk dioperasionalkan. Kedua lokasi MRF ini direncanakan akan menggunakan pola CDM mulai bulan Juni 2011. Untuk lokasi MRF Ngaban dikelola oleh KSM Kenongo Asri. Sedangkan untuk lokasi MRF Prasung dikelola oleh KSM Prasung Berseri. Pada tahap operasional ini BEST Surabaya bertugas sebagai pendamping bagi KSM yang menerapkan pola CDM dalam mengelola sampah di MRF.c--