Catatan Dan Rekomendasi LKPJ Jatim 2011-Madekhan

14
CATATAN DAN REKOMENDASI LKPJ GUBERNUR JAWA TIMUR TAHUN 2011 BIDANG KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (KESRA) Di dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Pembangunan Provinsi Jawa Timur, setidaknya terdapat tiga indikator yang bisa dikaji dalam kerangka kebijakan b kesejahteraan masyarakat. Ketiga indikator tersebut adalah; Tingkat penganggu Terbuka, Angka Kemiskinan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam kerangka analisis atas capaian kinerja ketiga IKU tersebut, berikut d sejumlah catatan dan rekomendasi berdasarkan kajian atas LKPJ Gubernur Jawa Timur tahun 2011. I. KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN Dilaporkan dalam LKPJ Gubenur Jawa Timur 2011, bahwa angka TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) di Jawa Timur tahun 2011 mencapai 4,16 persen, atau mengalami penurunan sebesar 0,09 point persen dibanding nilai TPT tahun 2010 yaitu sebesar 4,25 persen. Sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1 berikut ini, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja ( TPAK ) di periode yang sama mengalam kenaikan 0,41 point persen dibanding TPAK Tahun 2010 yang mencapai 6 persen menjadi 69,49 persen. Tabel 1 1

Transcript of Catatan Dan Rekomendasi LKPJ Jatim 2011-Madekhan

CATATAN DAN REKOMENDASI LKPJ GUBERNUR JAWA TIMUR TAHUN 2011 BIDANG KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (KESRA)

Di dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Pembangunan Provinsi Jawa Timur, setidaknya terdapat tiga indikator yang bisa dikaji dalam kerangka kebijakan bidang kesejahteraan masyarakat. Ketiga indikator tersebut adalah; Tingkat pengangguran Terbuka, Angka Kemiskinan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam kerangka analisis atas capaian kinerja ketiga IKU tersebut, berikut dipaparkan sejumlah catatan dan rekomendasi berdasarkan kajian atas LKPJ Gubernur Jawa Timur tahun 2011.

I.

KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN Dilaporkan dalam LKPJ Gubenur Jawa Timur 2011, bahwa angka TPT

(Tingkat Pengangguran Terbuka) di Jawa Timur tahun 2011 mencapai 4,16 persen, atau mengalami penurunan sebesar 0,09 point persen dibanding nilai TPT tahun 2010 yaitu sebesar 4,25 persen. Sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1 berikut ini, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja ( TPAK ) di periode yang sama mengalami kenaikan 0,41 point persen dibanding TPAK Tahun 2010 yang mencapai 69,08 persen menjadi 69,49 persen. Tabel 1

1

Dari data tersebut di atas, memang memberi gambaran adanya peningkatan partisipasi angkatan kerja yang diiringi dengan menurunnya tingkat pengangguran. Hal ini berarti situasi ketenagakerjaan di Jawa Timur relatif membaik dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya. Namun bila ditelaah lebih jauh, utamanya pada realitas lapangan, maka patut dicatat beberapa kondisi ketenagakerjaan di Jawa Timur sebagai dasar rekomendasi peningkatan kinerja kebijakan Pemprov. Jawa Timur di tahun yang akan datang; Catatan Jumlah pengangguran di Jawa Timur sejak tiga tahun terakhir memang menunjukkan tren menurun dengan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap pada lapangan kerja utama. Namun harus diakui bahwa kecenderungan peningkatan penyerapan tenaga kerja tersebut lebih ditunjukkan oleh dominannya penyerapan tenaga kerja di sektor primer pertanian.

2

Di lain sisi, kita mengatahui bahwa pekerja di sektor pertanian masih dalam kategori jenis pekerja informal, dimana relatif tidak membutuhkan keahlian khusus sehingga bisa dimasuki oleh siapa saja yang sudah masuk usia kerja. Realitasnya, selain pertumbuhan produktivitas sektor pertanian ini lebih kecil dibanding sektor lainnya, pertumbuhan

produktivitasnya dari tahun ke tahun tidak mampu memberi surplus atau insentif kesejahteraan bagi tenaga kerja di sektor ini. Akibatnya sektor pertanian tidak mampu mencegah tenaga kerjanya untuk berpindah ke sektor lainnya. Rekomendasi: Dengan kondisi tingkat kesejahteraan pekerja di sektor pertanian yang masih sangat rentan oleh fluktuasi ekonomi, maka diperlukan kebijakan sektor pertanian yang mampu; 1. Meningkatkan asupan investasi teknologi dan permodalan sektor

pertanian dengan semakin tegas mendorong dunia Perbankan agar tidak selalu berlindung dengan alasan tingginya NPL (Non Performance Loan) dan besarnya resiko kredit di sektor pertanian. 2. Meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian berbasis kelompok tani untuk meningkatkan adopsi inovasi (terutama bibit unggul), penguasaan sumberdaya teknologi serta pendidikan petani. Dan;3. Menjaga kestabilan harga produksi pertanian sebagai upaya menjaga

tingkat surplus yang bisa berdampak pada kesejahteraan pekerja tani.

3

Catatan

Pada 2011, dilaporkan bahwa angka Penempatan Antar Kerja

Lokal (AKL) meningkat sampai 105,38%. Salah satu yang menjadi pemicu peningkatan AKL 2011 atau selama tiga tahun terakhir adalah mobilisasi tenaga kerja antar daerah di Jawa Timur akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Meski tidak terlaporkan secara khusus, mobilisasi tenaga kerja dari kota pusat industri ke kota asal jelas dominan diakibatkan PHK yang dilakukan perusahaan yang berhenti usaha. Kembalinya tenaga kerja ke kota asal ini malah sering menimbulkan problem sosial dan ekonomi tersendiri di kota asalnya.

Sebagian besar pekerja dalam kategori AKL ini beralih

pekerjaan ke sektor-sektor informal yang masih rentan kemiskinan, seperti Pedagang Kaki Lima ataupun pedagang asongan. Sementara AKL di pedesaan banyak beralih ke buruh tani dan seringkali semakin meningkatkan angka pengangguran terselubung, sekaligus angka ketergantungan di desa. Oleh karena itu, peningkatan AKL yang begitu tinggi tahun 2011, harus diwaspadai pula sebagai hijrahnya pengangguran dari kota ke desa.

Rekomendasi:

Terkait dengan kondisi di atas Pemprov Jawa Timur hendaknya skema pelaksanaan program pembangunan pedesaan dan

memiliki

pengentasan kemiskinan yang mampu menyerap mantan tenaga kerja di sektor industri perkotaan ini, dalam skema program yang ada. Dengan kata lain, seharusnya program pemberdayaan masyarakat pedesaan bukan4

sekedar dirancang untuk orang miskin, melainkan juga untuk mencegah para usia kerja (korban PHK) yang di ambang garis kemiskinan (near poor) agar tidak terjerumus menjadi miskin total (destitute).

Memberikan insentif kebijakan daerah (fiskal maupun non fiskal)

bagi kelompok industri yang berbasis bahan baku lokal, berwatak padat karya dan berada di pedesaan. Hal ini untuk meningkatkan daya serap tenaga kerja di sektor sekunder (industri dan konstruksi) untuk mendorong Propinsi Jawa Timur sebagai daerah yang memiliki keunggulan komparatif. Provinsi yang lebih mampu menjadi daerah produsen daripada daerah konsumen. Provinsi yang tidak sekedar menjadi pasar bagi produk daerah atau negara lain yang mampu memanfaatkan peluang CAFTA dan era perdagangan bebas.

II.

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Selama kurun waktu 7 tahun terakhir, perkembangan angka kemiskinan di Provinsi Jawa Timur menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2006. Angka kemiskinan pada tahun 2011 sebesar 13,85 persen dan angka ini sudah mencapai angka yang ditargetkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur (15,0-15,5 persen). Pada tahun sebelumnya (2010) penduduk miskin berjumlah 5,53 juta atau sebesar 15,26 persen dari total penduduk di Jawa Timur. Selama kurun waktu setahun, persentase penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 1,03 persen poin. Sebagaimana tergambar dalam Grafik berikut;

5

Grafik 1

Salah satu strategi pembangunan Jawa Timur yaitu PRO POOR dimana terutama dilaksanakan dalam 3 Program Prioritas yaitu Bosda, Jamkesda dan Jalinkesra. Dari ketiga program prioritas tersebut, bisa dicatat sejumlah temuan; a. BOSDA

Terkait dengan pelaksanaan BOSDA yang salah satunya diperuntukkan untuk lembaga Madin (Madrasah Diniyah), persoalan mendasar dari program ini adalah masalah pencairan anggaran dari Pemerintah Propinsi yang sering dinilai tidak tepat waktu. Pada Tahun 2011, sampai memasuki triwulan

terakhir, pencairan anggaran bantuan Pemprov. Jawa Timur belum masuk ke rekening Madin. Rekomendasi Bosda:6

Persoalan keterlambatan realisasi anggaran bantuan Pemprov kepada lembaga Madin, hendaknya tidak hanya dipandang sebagai persoalan administratif keuangan daerah semata. Problem yang hampir setiap tahun terjadi khususnya dalam belanja bantuan hibah dan bantuan sosial, tentu terkait dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan aparatur SKPD pelaksana kegiatan pengguliran anggaran bantuan dan hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Selain rekomendasi di atas, Pemprov. Jatim hendaknya juga semakin memperjelas pola pelaksanaan Nota kesepahaman (MoU) antara Pemprop dan Pemerintah Kabupaten/kota di dalam merealisasikan program bantuan biaya pendidikan sehingga dicapai persepsi pelaksanaan dan komitmen sharing anggaran yang memadai.

b.

JAMKESDA

Keberhasilan pencapaian tujuan program Jamkesda setidaknya tergantung dari pola koordinasi/kerjasama yang baik antara Pemprov. Jatim dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sayangnya, sejauh ini masih muncul persoalan dimana pasien miskin tidak mendapatkan pelayanan Jamkesda akibat tidak masuk database penerima dan kekurangan anggaran Jamkesda di RSUD Provinsi. Sampai Tahun 2011, jumlah peserta program Jamkesda di Jatim tercatat sebanyak 1.411.742 jiwa. Sementara yang mendapatkan kartu Jamkesda baru 1.256.811 jiwa, atau masih ada sekitar 200 ribu orang yang belum terdaftar.

7

Rekomendasi Jamkesda Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar kewenangan penyelenggaraan urusan kesehatan telah didesentralisasikan kepada Kabupaten/kota. Untuk itu Pemprov. Jawa Timur harus mampu;o

Memastikan bahwa penerima/pemanfaat Kartu Jamkesda dan Surat Pernyataan Miskin (SPM) benar-benar tervalidasi di tingkat

Kabupaten/kota. Hal ini utamanya untuk mengurangi kecenderungan kekurangan pembiayaan jamkesda Provinsi akibat adanya

kabupaten/kota yang menerbitkan SPM dengan mudah. Tanpa pengendalian terhadap pemanfaatan SPM oleh pihak pemerintah Kabupaten/Kota, maka anggaran Jamkesda pada APBD Provinsi Jatim akan sangat rentan penyimpangan oleh pihak Pemerintah

Kabupaten/kota.o

Memastikan adanya alokasi anggaran kesehatan dalam APBD Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten/kota sesuai pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 171 ayat (2) dinyatakan bahwa Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Terutama, hal ini untuk memastikan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan anggaran yang memadai untuk

mendukung pelaksanaan Jamkesda di tingkat Kabupaten/Kota. o Memastikan bahwa MOU (Perjanjian Kerjasama) antara Gubernur dengan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan Jamkesda secara efektif

8

dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Utamanya bagaimana Kab/kota mematuhi jumlah dana sharing yang seharusnya dipenuhi.

c.

JALINKESRA

Program Jalin Kesra dirancang khusus sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Rumah Tangga Sangat Miskin melalui bantuan cash transfer berupa barang/natura produktif serta bantuan uang dan pangan. Ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dimana Program Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan terdiri dari : Pertama, Kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin; Kedua, Kelompok program

penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan Ketiga, yang didasarkan pada prinsip-prinsip

pemberdayaan

masyarakat;

Kelompok

program

penanggulangan

kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Sejak dilaksanakan Jalan Lain menuju Kesejahteraan Masyarakat

(Jalinkesra), dilaporkan bahwa Jalinkesra telah menjangkau sejumlah 162.340 RTSM. Selama tiga tahun pelaksanaannya, dengan dilaksanakan oleh 7 SKPD/Biro telah teralokasikan anggaran sejumlah Rp.655.216.352.372,-.

9

Sebagai kebijakan pro poor yang cukup menjadi andalan Pemprov. Jatim maka beberapa catatan atas pelaksanaan Jalinkesra adalah;

Kapasitas

tenaga

pendamping masyarakat

masih perlu ditingkatkan.

Utamanya adalah dari sisi kemampuan mengidentifikasi/memahami akar masalah ketidakberdayaan RTSM dan kemampuan komunikasi masyarakat. Selain akibat pola rekrutmen tenaga pendamping yang belum berbasis pada pertimbangan kemampuan intervensi kesejahteraan sosial, banyak kalangan tenaga pendamping yang tidak mampu membangun koordinasi yang baik dengan Pemerintah Kabupaten/kota. Sekaligus Pemkab/Pemkot khususnya pihak kecamatan yang masih sering mengabaikan keberadaan dan peran Tenaga Pendamping.

Masih terdapat RTSM yang merasa tidak memerlukan materi bantuan yang diberikan oleh Pemprov. Jatim. Hal ini terutama pada kasus RTSM yang dari sisi sumberdaya manusianya tidak mampu memanfaatkan material bantuan untuk usaha dalam meningkatkan taraf pendapatan keluarga, dan hanya menginginkan dalam bentuk bantuan berupa uang. Sehingga segera setelah pelaksanaan akad penerimaan bantuan, RTSM yang tidak memiliki kemauan dan kemampuan memanfaatkan material bantuan sering menjual material bantuan yang diterima ke pihak lain.

Rekomendasi Jalinkesra; 1. Meningkatkan kapasitas kerja intervensi kesejahteraan masyarakat terhadap 318 pendamping, sekaligus peran Crisis Center Pendampingan di 29 Kabupaten di Jawa Timur. Peningkatan kapasitas terutama harus dilakukan melalui intensitas monitoring, evaluasi dan supervisi di setiap10

daerah dengan mengoptimalkan kinerja 7 SKPD/biro pelaksana di tingkat Pemprov. Jatim bersama Pemkab/Pemkot.2. Meningkatkan akurasi data RTSM potensial penerima bantuan yang

mampu secara konsisten mengelola material bantuan sesuai Menu Permintaan masing-masing (Peternakan, Pertanian, Perikanan, Pengrajin, Perdagangan, Perkebunan dan Menu Permintaan Non Produktif). Pelajaran berharga dari pelaksanaan agenda penaggulangan kemiskinan di Jawa Timur yaitu bahwa upaya memberantas kemiskinan tidaklah mungkin dapat berhasil jika dilakukan secara sepotong-sepotong, temporer, tidak kontekstual, dan apalagi jika semuanya dilakukan dengan tidak konsisten. Untuk itu pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu menyusun strategi, kebijakan, dan program

penanggulangan kemiskinan daerah sesuai dengan karakteristik dan sumber daya masing-masing. Di Jawa Timur sendiri, peran strategis Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Provinsi Jatim tentu harus semakin dioptimalkan.

III.

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator keberhasilan

upaya membangun kualitas hidup manusia, dan juga untuk melihat seberapa jauh pertumbuhan ekonomi berdampak pada pembangunan manusia. Dengan

mengevaluasi angka IPM, keterbandingan/posisi pembangunan manusia antar kabupaten/kota di Jawa Timur dapat diketahui baik dari angka IPMnya sendiri maupun dari tiga komponen pembentuknya (indikator kesehatan, indikator pendidikan dan indikator daya beli).

11

Selama periode 2007-2011 angka IPM di Jawa Timur secara umum menunjukkan kenaikan. Pada tahun 2007 nilainya 69,78, dan selanjutnya meningkat terus menjadi 70,38 (2008); 71,06 (2009); 71,62 (2010) dan pada tahun 2011 mencapai 72,15. Tabel 2

Catatan IPM:

Secara kapasitas fiskal daerah, dibanding Jawa Tengah dan Jawa Barat, APBD Jawa Timur relatif lebih besar. Oleh karena itu dengan rangking IPM Jawa Timur sebesar 72,15 atau di posisi 18 di bawah kedua Provinsi tersebut, tentu harus menjadi perhatian serius, utamanya dalam kebijakan fiskal daerah di masa mendatang.

Dari hasil penghitungan IPM tahun 2011, diperoleh gambaran bahwa 19 Kabupaten/Kota mempunyai IPM lebih tinggi daripada IPM Jawa Timur, sedangkan 19 kabupaten lainnya memiliki nilai IPM lebih rendah12

daripada angka IPM Jawa Timur. Nilai IPM tertinggi dicapai oleh Kota Blitar sebesar 77,89 sedangkan urutan kedua ditempati Kota Surabaya dengan angka IPM 77,87 dan urutan ketiga adalah Kota Malang sebesar 77,83. Urutan terendah IPM adalah Kabupaten Sampang dengan nilai 60,49, namun angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang hanya sebesar 59,70.

Rekomendasi IPM:

Masih adanya 19 kabupaten/kota yang angka IPMnya di bawah ratarata IPM Provinsi oleh karena itu diperlukan kebijakan desentralisasi fiskal Provinsi kepada Kabupaten/Kota menurut kondisi capaian IPM. Dengan memperhatikan perkembangan IPM dan kapasitas fiskal masing-masing Kabupaten yang berada di bawah rata-rata IPM Jawa Timur, beberapa skenario kebijakan berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan bagi kabupaten tersebut antara lain.o

Pertama, bagi kabupaten dengan kenaikan IPM rendah, kapasitas fiskal tinggi dan nilai IPM rendah, intervensi kebijakan yang diperlukan adalah upaya memperkuat kapasitas

pemerintah daerah melalui pembenahan tata pemerintahan.o

Kedua, bagi kabupaten dengan kenaikan IPM rendah, kapasitas fiskal rendah dan nilai IPM rendah intervensi kebijakan yang diperlukan adalah upaya memperkuat kapasitas fiskal melalui

13

prioritasi

pengalokasian

dana

bantuan

provinsi

dan

pembenahan tata pemerintahan secara bersamaan.

14