Catatan CSR Indonesia

10
Catatan CSR di Indonesia Corporate Social Resposibilty (CSR) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Tanggungjawab Sosial Perusahaan telah menjadi sebuah istilah populer dalam beberapa tahun terakhir. Berkat peran media-baik cetak maupun elektronik-yang rajin mempromosikan aktivitas CSR berbagai perusahaan terkemuka-tentunya dengan ongkos tayang yang tidak murah-masyarakat Indonesia mengenal CSR sebagai aksi-aksi kebaikan yang dilakukan perusahaan di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan dan usaha kecil menengah. Citra pelaksanaan CSR yang dipromosikan media memang membangun perspektif bahwa aktivitas tersebut adalah baik adanya dan perlu diapresiasi demi kemaslahatan masyarakat luas. Semenjak kemunculannya di Indonesia awal tahun 2000-an, pelan namun pasti, tren kajian, forum diskusi, pelaksanaan, dan penghargaan-penghargaan CSR meningkat dengan signifikan setiap tahunnya. Seorang ahli dari lembaga Lingkar Studi CSR, yakni Jalal, melihat ada delapan faktor yang mendorong berkembangnya CSR di

description

catatan csr indonesia

Transcript of Catatan CSR Indonesia

6

Catatan CSR di Indonesia

Corporate Social Resposibilty (CSR) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Tanggungjawab Sosial Perusahaan telah menjadi sebuah istilah populer dalam beberapa tahun terakhir. Berkat peran media-baik cetak maupun elektronik-yang rajin mempromosikan aktivitas CSR berbagai perusahaan terkemuka-tentunya dengan ongkos tayang yang tidak murah-masyarakat Indonesia mengenal CSR sebagai aksi-aksi kebaikan yang dilakukan perusahaan di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan dan usaha kecil menengah. Citra pelaksanaan CSR yang dipromosikan media memang membangun perspektif bahwa aktivitas tersebut adalah baik adanya dan perlu diapresiasi demi kemaslahatan masyarakat luas. Semenjak kemunculannya di Indonesia awal tahun 2000-an, pelan namun pasti, tren kajian, forum diskusi, pelaksanaan, dan penghargaan-penghargaan CSR meningkat dengan signifikan setiap tahunnya. Seorang ahli dari lembaga Lingkar Studi CSR, yakni Jalal, melihat ada delapan faktor yang mendorong berkembangnya CSR di Indonesia. Pertama, meningkatnya perkembangan minat akademik seputar CSR. Kedua, masih terkait dengan minat akademik, adalah semakin terbukanya pertukaran informasi mengenai CSR, terutama di kawasan Asia. Ketiga, munculnya ISO 26000 Guidance on Social Responsibility mendorong peningkatan pelaksanaan CSR di Indonesia. Keempat, semakin bertumbuh perusahaan-perusahaan model yang bisa menerapkan CSR dengan baik. Kelima, beberapa LSM telah melakukan constructive engagement dengan perusahaan untuk mendukung pelaksanaan CSR. Keenam, pemerintah telah membuat regulasi mengenai lingkungan yang lebih komprehensif untuk mendorong pelaksanaan CSR. Ketujuh, perkembangan tren pelaporan keberlanjutan perusahaan dan adanya penghargaan dan sanksi atas pencapaian keberlanjutan. Kedelapan, perkembangan gagasan social business di Indonesia (Jalal 2010).Seperti yang dikatakan Jalal, isu CSR sendiri saat ini telah menjadi ranah kajian basah bagi kalangan ilmuan, terutama bagi ilmuan dari bidang sosial dan ekonomi. Maraknya pelaksanaan CSR tentunya menuntut seperangkat pengetahuan yang komprehensif untuk mengelolanya dengan baik. Ahli-ahli ilmu yang melihat peluang tersebut mulai mengembangkan berbagai kajian tentang CSR, banyak yang berpera sebagai pendukung, tidak sedikit pula yang mengkaji dari sudut pandang kritik. Bagi para pendukung, banyak yang kemudian bekerjasama dan membentuk lembaga kajian dan konsultasi, sebut saja lembaga seperti Lingkar Studi CSR, A+CSR Indonesia, Indonesian Bussiness Link, dan lebih banyak lagi.Terkait dengan ranah basah dari CSR, pada tahun 2012-2013, HIVOS (LSM pembangunan dari Belanda), bersama IBCSD (Indonesia Business Council for Sustainable Development) dan Yayasan Penabulu, melakukan kajian terbatas terkait sinergi dan kolaborasi antara dunia usaha dengan LSM. Riset tersebut melibatkan 57 perusahaan BUMN dan Swasta di Indonesia. Riset itu mengungkapkan pemetaan potensi anggaran CSR di Indonesia. Dengan asumsi tiap perusahaan mengalokasikan dana CSR antara 15 persen dari keuntungan, maka dari tahun 2009-2011, dana CSR dari 57 perusahaan responden saja mengalami kecenderungam peningkatan dengan mencapai jumlah antara 1679 triliun. Kecenderungan peningkatan itu menggambarkan potensi sesungguhnya pendanaan CSR di Indonesia (Komara 2013:6).Besarnya potensi dana CSR memang bukan main. Dari 57 perusahaan saja sudah mencapai puluhan triliun, dan tentunya masih sangat banyak lagi dari perusahaan-perusahaan lain yang juga melakukan CSR. Potensi ini menggiurkan bagi banyak pihak, pemerintah adalah salah satunya. Melihat peluang ini, pemerintah membangun regulasi untuk mendapat kewenangan dalam pengelolaan CSR. UU no 14 adalah salah senjata utama yang dimainkan pemerintah. Sebagian pihak melihat regulasi ini menyalahi makna sebenarnya dari CSR-yang seharusnya tindakan sukarela dari perusahaan di luar pajak. Namun pihak pemerintah beralasan adanya regulasi tersebut untuk memfasilitasi pelaksanaan CSR yang sinergis dengan agenda pembangunan nasional. Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program CSR diarahkan untuk agenda perbaikan lingkungan. Sehingga tren program CSR sepanjang 2005-2014 cenderung pada kegiatan pelestarian alam dan lingkungan. Dalam kerja sama itu, pemerintah menurunkan teknis pengelolaan CSR di tingkat provinsi pada pemerintah daerah, di bawah naungan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sehingga muncul institusi baru seperti Forum CSR Jabar, Forum CSR Jakarta, dan Forum CSR di provinsi lainnya. Hal itu membuat peluang munculnya kebijakan pelayanan publik yang didanai oleh CSR. Beberapa contoh populer adalah seperti upaya Wakil Gubernur DKI Jakarta pada masa itu, Ahok, yang akan membangun Mega Proyek Kampung Impian dan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta dengan menggunakan dana CSR dari perusahaan di Jakarta (lihat Vivanews.com, 10 Mei 2014). Kemudian sepak terjang Wali Kota Bandung, Kang Emil, yang telah membangun berbagai ruang terbuka hijau, ruang kreativitas dan berencana membangun Kota Pintar Bandung Teknopolis di daerah Bandung Timur dengan mengggunakan dana CSR. Kepiawaian beliau mencari sponsor bahkan mendatangkan bantuan CSR dari luar negeri yang tidak ada aktivitas bisnisnya di Bandung (lihat Vivanews.com, 4 Juli 2014). Penggunaan dana CSR dalam program pelayanan publik yang dijalankan pemerintah tentunya memicu polemik. Banyak pihak yang mencibir bahwa hal itu membuat pemerintah keenakan dan bahkan bisa menjadi peluang terjadinya korupsi. Ada juga yang mempersoalkan masalah hukum dari pelaksanaan tersebut. Program-program yang dijalankan Ahok dan Kang Emil banyak mendapat sorotan seperti itu. Diskusi intens di media tentang isu tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat semakin terkenalnya istilah CSR dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Puncaknya di akhir tahun 2014, CSR berhasil menjadi headline yang tak terlepas dari hiruk-pikuk isu-isu kontroversial tentang kebijakan presiden baru, yakni program Kartu Sakti Presiden Jokowi[footnoteRef:1]. [1: Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pinta (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)]

Meski pada akhirnya pihak pemerintah mengklarifikasi bahwa Program Kartu Sakti sepenuhnya akan ditanggung oleh APBN, namun pernyataan-pernyataan Presiden Jokowi yang awalnya ingin memasukkan unsur dana CSR dari BUMN untuk membantu program tersebut telah memicu respons kritis dari publik. Salah satu kritik yang akhirnya membuat pemerintah merubah pernyataan, datang dari pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra. Beliau menegaskan bahwa Presiden Jokowi tidak bisa menyebut Program Kartu Sakti sebagai program pemerintahannya jika menggunakan dana CSR. Sebab, menurut dia, kekayaan BUMN merupakan kekayaan yang sudah dipisahkan dari keuangan negara, meskipun tetap menjadi obyek pemeriksaan BPK dan BPKP. Karena itu, jika pemerintah ingin menggunakan dana CSR BUMN, status dana tersebut haruslah jelas. Apakah dipinjam negara atau diambil oleh negara (lihat Vivanews.com, 7 Oktober 2014).Akan tetapi, meski menerima banyak kritikan, pemerintah tampaknya tidak berniat untuk mengurangi peran strategis mereka dalam pengelolaan dana CSR, sebaliknya malah semakin agresif. Asisten Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk MDGs Diah Saminarsih mengungkapkan, pemerintahan era SBY mewariskan kemitraan CSR yang mendukung program-program MDGs.Menurut Asisten Deputi Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian BUMN, Seger Budiarjo ada 119 perusahaan BUMN yang menjadi mitra pemerintah dengan dana yang terhimpun mencapai hampir Rp 20 triliun. Seger Budiarjo menyarankan pemerintahan baru segera merumuskan formula agar potensi dana yang begitu besar bisa terdata dengan baik agar mencapai sasaran yang diinginkan. Apalagi, pada tahun depan (2015), bersamaan dengan pemerintahan yang baru, Indonesia juga akan melewati tenggat Millennium Development Goals (MDGs) dan segera memasuki era Sustainable Development Goals (SDGs) yang menuntut Indonesia menjalankan program-program berkelanjutan (Republik.co.id, 8 Oktober 2014). Fenomena yang terjadi di Indonesia sejalan dengan analisis Wayne Visser (?) dalam tulisannya, CSR in Developing Country. Visser mengungkapkan pelaksanaan CSR di negara berkembang, termasuk indonesia, sangat terikat dengan beberapa isu berikut. (1) Tradisi budaya : mengembangkan program-program yang berakar dari kebudayaan setempat. (2) Reformasi politik : pelaksanaan CSR mendukung proses sosial politik yang demokratis. Pilihan program CSR juga dipengaruhi kondisi politik setempat. (3) Prioritas sosial ekonomi : program CSR ditujukan untuk menunjang prioritas pembangunan di bidang sosial ekonomi, seperti pengurangan kemiskinan, peningkatan kesehatan dan pendidikan, serta pembangunan infrastuktur. (4) Gap pemerintahan : CSR mengisi gap antara pemerintah yang lemah dengan masyarakat untuk masalah pelayanan sosial. (5) Merespon krisis : CSR merespon krisis yang diakibatkan oleh bencana alam, sosial, ekonomi dan politik.(6) Mengakses pasar ; CSR bisa membantu mendekatkan perusahaan dengan masyarakat negara berkembang yang bisa menjadi pasar potensial. (7) Standarisasi internasional : CSR mendorong proses penerapan standar-standar internasional seperti ISO dll di rantai pasok dan pemasaran. (8) Insentif investasi : CSR membantu meningkatkan sentimen positif pasar terhadap saham perusahaan. (9) Aktivisme stakeholder : CSR mendorong munculnya stakeholder yang aktif mengatasi persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan yang abai diperhatikan oleh pemerintahan yang lemah. (10) Rantai pasok : CSR membantu mewujudkan keberlanjutan pasokan dengan penerapan manajemen rantai pasok.