Case Ika Epilepsi

53
BAB I PENDAHULUAN Status epileptikus (SE) adalah keadaan darurat yang serius dan sering mengancam jiwa serta memerlukan intervensi medis cepat. Kondisi ini dapat merupakan komplikasi penyakit akut seperti ensefalitis dan dapat terjadi sebagai kejang pertama pada 12% anak-anak dengan epilepsi. 1 Antara 10 sampai 20% anak-anak dengan epilepsi akan memiliki setidaknya satu episode Status Epileptikus. 2 Insiden pada masa kanak-kanak diperkirakan 17-23 episode per 100.000 per tahun. 3 Tingkat insiden, penyebab, dan prognosis bervariasi secara substansial dengan usia. Insiden tertinggi adalah pada tahun pertama kehidupan. Status epileptikus akibat demam merupakan etiologi yang paling umum. 4 Berdasarkan jenis serangan, dikenal SE konvulsivus dan non konvulsivus, Diagnosis SE nonkonvulsivus lebih sulit dibanding SE konvulsivus karena serangannya tidak nyata, namun bila dilakukan monitor melalui rekaman electroencephalogram (EEG) maka akan tampak aktifitas abnormal. Absence adalah salah satu kasus kejang nonkonvulsivus. Oleh karena itu EEG sangat penting untuk memonitor kasus status epileptikus. 2 1

Transcript of Case Ika Epilepsi

Page 1: Case Ika Epilepsi

BAB I

PENDAHULUAN

Status epileptikus (SE) adalah keadaan darurat yang serius dan sering

mengancam jiwa serta memerlukan intervensi medis cepat. Kondisi ini dapat

merupakan komplikasi penyakit akut seperti ensefalitis dan dapat terjadi sebagai

kejang pertama pada 12% anak-anak dengan epilepsi.1 Antara 10 sampai 20%

anak-anak dengan epilepsi akan memiliki setidaknya satu episode Status

Epileptikus.2

Insiden pada masa kanak-kanak diperkirakan 17-23 episode per 100.000

per tahun. 3 Tingkat insiden, penyebab, dan prognosis bervariasi secara substansial

dengan usia. Insiden tertinggi adalah pada tahun pertama kehidupan. Status

epileptikus akibat demam merupakan etiologi yang paling umum.4

Berdasarkan jenis serangan, dikenal SE konvulsivus dan non konvulsivus,

Diagnosis SE nonkonvulsivus lebih sulit dibanding SE konvulsivus karena

serangannya tidak nyata, namun bila dilakukan monitor melalui rekaman

electroencephalogram (EEG) maka akan tampak aktifitas abnormal. Absence

adalah salah satu kasus kejang nonkonvulsivus. Oleh karena itu EEG sangat

penting untuk memonitor kasus status epileptikus.2

Dalam praktek sehari-hari, penatalaksanaan SE terutama di tempat-tempat

yang tidak memiliki fasilitas perawatan intensif akan menghadapi kendala teknis

dan nonteknis, sehingga dokter dituntut untuk dapat bekerja professional dan

mempunyai pemahaman tentang status epileptikus dengan penggunaan obat yang

adekuat.2

Adapun tujuan laporan kasus ini adalah untuk memberikan pemahaman

terhadap penanganan status epileptikus sehingga diharapkan penatalaksanaan

terhadap kasus status epileptikus dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

BAB II

1

Page 2: Case Ika Epilepsi

LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI

Nama : An. MT

Umur : 11 tahun

Jenis Kelamin : 26 kg

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Alamat : Dusun IV Desa Aur Duri Kecamatan Rambang Dangku

MRS : 13 April 2012

II. ANAMNESIS

(Alloanamnesis dengan ibu penderita, 14 April 2012)

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Perjalanan Penyakit

± 2 hari SMRS, penderita mendadak kejang, tanpa diawali demam

terlebih dahulu, tetapi setelah kejang badan terasa sedikit panas. Muntah-

muntah (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Penderita kejang tidak lama

setelah bermain. Hingga saat masuk RS penderita telah kejang sebanyak 5

kali dengan lama kejang 5-30 menit tiap kejangnya. Saat kejang, tubuh

penderita bergerak tidak teratur. Di antara kejang, pasien tidak sadarkan diri

dan badan terasa lemas. Penderita tidak diberi obat apapun kemudian dibawa

ke Puskesmas Gunung Megang dan dirujuk ke RSUD Moh. Rabain M.Enim.

Setelah di RS penderita masih kejang. Kejang sebanyak 2 kali lama

kejang 5 menit dan 15 menit. Jarak antara kejang sekitar 30 menit dan

penderita tetap tidak sadar. Penderita diberikan diazepam injeksi 10 mg.

Penderita sadar kira-kira 1 jam setelah kejang berakhir. Lalu penderita

dipindahkan ke bangsal anak.

Riwayat Penyakit Dahulu

2

Page 3: Case Ika Epilepsi

Riwayat kejang dibenarkan ibu penderita.

Kejang pertama kali saat penderita berumur 3 minggu. Saat itu

penderita panas tinggi kemudian diikuti kejang sebanyak 1 kali. Lamanya

kejang sekitar 10 menit, kejang seluruh tubuh. Setelah kejang selesai,

penderita menangis. Penderita tidak dibawa berobat. Kejang sering terjadi

sejak usia 3 minggu sampai 3 bulan, frekuensi kejang minimal 1 x

seminggu dan lamanya kejang bervariasi 5 menit hingga 10 menit. Ibu

penderita tidak membawa penderita berobat. Hingga usia 6 tahun penderita

tidak pernah kejang. Namun usia 7 tahun – 8 tahun, penderita kembali

kejang. Saat itu penderita kejang saat bermain bola dengan teman-

temannya. Hampir tiap bulan penderita kejang dan diawali dengan

kelelahan setelah bermain. Orang tua penderita tetap tidak membawa

penderita ke dokter, karena beranggapan anaknya baik-baik saja walaupun

sering kejang. Sejak usia 8 tahun hingga ± 2 hari SMRS penderita tidak

pernah kejang.

Riwayat trauma sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat kejang dalam keluarga tidak ada

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

GPA : P1A0

Masa kehamilan : aterm

Partus : spontan

Penolong : dukun beranak

Berat badan : tidak diketahui

Panjang badan : tidak diketahui

Keadaan saat lahir : tidak langsung menangis, sianosis (+) akibat lilitan

tali pusat

Riwayat Makanan

3

Page 4: Case Ika Epilepsi

0 bulan – 6 bulan : ASI

6 bulan – 1 tahun : Bubur saring

1 tahun – sekarang : Nasi biasa, 3 x sehari sebanyak 1 piring dengan

tahu, tempe atau ikan

Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan kurang

Riwayat Vaksinasi

Penderita tidak pernah diimunisasi

Riwayat Perkembangan Fisik

Tengkurap : 6 bulan

Duduk : 9 bulan

Berdiri : 1 tahun

Berjalan : 3 tahun

Berbicara : 5 tahun

Kesan : Perkembangan motorik terhambat

Riwayat Pendidikan

Penderita tidak dapat menulis dan membaca.

Penderita pernah bersekolah 1 minggu di kelas 1 SD kemudian berhenti.

Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Adik penderita

masih sekolah SD dan bayi. Ayah penderita bekerja sebagai petani. Ibu

penderita seorang Ibu Rumah Tangga. Secara ekonomi, keluarga penderita

tergolong menengah ke bawah.

III. PEMERIKSAAN FISIK

4

Page 5: Case Ika Epilepsi

Keadaan Umum ( 14 April 2012 )

Kesadaran : Compos mentis

Nadi : 88 kali/ menit, regular, isi dan tegangan cukup

Pernapasan : 28 kali/ menit

Suhu : 37,1 oC

Berat badan : 26 kg

Tinggi badan : 142 cm

Lingkar Kepala : 48 cm, mikrocephali

Anemis : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Turgor : baik

Tonus : eutoni

Edema umum : tidak ada

Keadaan gizi : BB/U = 26/36 x 100% = 72,2 %

TB/U = 142/144 x 100% = 98,6 %

BB/TB = 26/35 x 100% = 76,5 %

Kesan : Gizi Kurang

Keadaan Spesifik

Kulit : sianosis tidak ada

Kepala

Bentuk : normocephali

Ukuran : mikrocephali

Rambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks

cahaya +/+, pupil bulat, isokor, ¢ 3 mm

Hidung : sekret tidak ada, nafas cuping hidung tidak ada, mukosa

hiperemis tidak ada, septum deviasi tidak ada

5

Page 6: Case Ika Epilepsi

Telinga : sekret tidak ada, nyeri tarik aurikula tidak ada, nyeri

tekan mastoid tidak ada

Mulut : sianosis sirkumoral tidak ada, rhagaden tidak ada,

typhoid tounge tidak ada, mukosa mulut dan bibir basah,

karies dentis (-).

Leher : pembesaran KGB tidak ada

Thorax

Paru-paru

Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi tidak ada

Palpasi : strem fremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : pulsasi, iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : iktus cordis dan thrill tidak teraba

Perkusi : batas kanan jantung linea parasternalis sinistra, batas

atas jantung ICS II, batas kiri jantung linea axillaris

anterior sinistra

Auskultasi : HR=88 kali/ menit, irama reguler, bunyi jantung I dan II

normal, murmur dan gallop tidak ada

Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : lemas, hepar lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada.

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Lipat paha dan genitalia

Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

6

Page 7: Case Ika Epilepsi

Ekstremitas

Akral dingin tidak ada, anemis tidak ada, ikterik tidak ada, edema tidak ada,

sianosis tidak ada

Pemeriksaan Neurologis

Fungsi Motorik

PemeriksaanTungkai Lengan

Kanan Kiri Kanan KiriGerakan Luas Luas Terbatas TerbatasKekuatan +5 +3 +5 +3

Tonus Eutoni Eutoni Eutoni EutoniKlonus - -

Refleks fisiologis + N + N + N + NRefleks patologis - - - -

Fungsi sensorik : dalam batas normal

Fungsi nervi kraniales : dalam batas normal

Gejala rangsang meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-), Kernig

sign (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah (14-4-2012)

Hb : 12,7 gr%

LED : 12 mm/jam

Leukosit : 10.800 mm

Trombosit : 279.000 mm

Ht : 42 %

Diff. count : 0/1/3/55/34/5

Kimia Darah (16-4-2012)

SGOT : 16 U/I

SGPT : 15 U/I

7

Page 8: Case Ika Epilepsi

V. DIAGNOSIS BANDING

Status Epileptikus + Gizi Kurang + Mikrocephali + Retardasi Mental

Meningitis + Gizi Kurang + Mikrocephali + Retardasi Mental

Gangguan metabolik + Gizi Kurang + Mikrocephali + Retardasi Mental

VI. DIAGNOSIS KERJA

Status Epileptikus + Gizi Kurang + Mikrocephali + Retardasi Mental

VII.Ringkasan Data Dasar

Seorang anak laki-laki usia 11 tahun, 26 kg dengan keluhan utama

kejang sejak ± 2 hari SMRS, demam (-), muntah (-), BAK dan BAB tidak ada

keluhan. Hingga saat masuk RS penderita telah kejang umum tonik klonik

sebanyak 5 kali dengan lama kejang 5-30 menit tiap kejangnya. Di antara

kejang, pasien tidak sadarkan diri dan badan terasa lemas. Penderita tidak

diberi obat apapun kemudian dibawa ke Puskesmas Gunung Megang dan

dirujuk ke RSUD Moh. Rabain M.Enim.

RPD : Riwayat kejang dibenarkan ibu os. Kejang pertama kali saat os

berumur 3 minggu. Saat itu penderita panas tinggi kemudian diikuti kejang

sebanyak 1 kali. Lamanya kejang sekitar 10 menit, kejang umum tonik klonik

Post iktal, os menangis. Os tidak dibawa berobat. Kejang sering terjadi sejak

usia 3 minggu sampai 3 bulan, frekuensi kejang minimal 1 x seminggu dan

lamanya kejang bervariasi 5 menit hingga 15 menit. Ibu os tidak membawa os

berobat. Hingga usia 6 tahun os tidak pernah kejang. Namun usia 7 tahun – 8

tahun, penderita kembali kejang. Hampir tiap bulan os kejang dan diawali

dengan kelelahan setelah bermain. Orang tua os tetap tidak membawa os ke

dokter, karena beranggapan os baik-baik saja. Sejak usia 8 tahun hingga ± 2

hari SMRS penderita tidak pernah kejang. Riwayat trauma sebelumnya

disangkal

8

Page 9: Case Ika Epilepsi

Keadaan Umum

Kesadaran: compos mentis; nadi: 88 kali/ menit, isi dan tegangan cukup, regular;

pernapasan: 28 kali/ menit; suhu: 37,1 oC; berat badan: 26 kg; tinggi badan: 142

cm Status Gizi: kurang ; lingkar Kepala :48 cm (microcephali)

Status lokalis

Kepala : anemia -/-, ikterus -/-, pupil bulat isokor

Thorax : Simetris, Retraksi (-)

Cor : BJ I II Normal, regular, mumur (-), Gallop (-)

Pulmo : vesikuler (+) N, wheexing (-), ronkhi (-)

Abdomen : Datar, Lemas, BU (+) N, H/L tak teraba

Ekstremitas : Akral Hangat, anemis (-), sianosis (-)

Status neurologis

Fungsi motorik : terhambat

Fungsi sensorik : dalam batas normal

Fungsi nervi kraniales : dalam batas normal

Gejala rangsang meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)

VIII. PENATALAKSANAAN

IVFD KAEN 1B gtt XX makro/menit

Ceftriaxon 1x2gr

Diazepam amp 1x1

Phenytoin 500mg dalam NaCl 100 ml selama ½ jam jika masih kejang

Asam valproat syr 2x5ml

Dexamethason amp 3x1

Piracetam 3x500mg

O2 6 liter sungkup

Edukasi

IX. PROGNOSIS

9

Page 10: Case Ika Epilepsi

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Follow Up

10

Page 11: Case Ika Epilepsi

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi14/4/2012 Keluhan :

Kejang (+) umum tonik klonik Keadaan Umum :

Sens : CMN : 88 x/mRR : 28 x/mT : 37,1 oC

Keadaan Spesifik :Kepala: konjungtiva anemi (-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil bulat isokor diameter 3 mmThorax: simetris, retraksi (-), BJ I & II N, Murmur (-), Gallop (-), Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)Abdomen: datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N, timpaniEkstrimitas: Capillary Refill Time < 2 detikMotorik:

Tka Tki Lka Lki

Gerakan Luas LuasKekuatan +5 +3 +5 +3Tonus Eutoni EutoniKlonus - -R. Fisio +N +N +N +NR. Pato - - - -GRM (-)

Sensorik: dalam batas normalN. Craniales: wajah simetris, uvula di tengah, refleks menelan (+)

Laboratorium: Hb : 12,7 gr%LED : 12 mm/jamLeukosit : 10.800 mmTrombosit : 279.000 mmHt : 42 %Diff. count : 0/1/3/55/34/5

- Monitoring - IVFD KAEN 1B gtt XX

makro/menit- Ceftriaxon 1x2gr- Diazepam amp 1x1- Phenytoin 500mg dalam

NaCl 100 ml selama ½ jam jika masih kejang

- Asam valproat syr 2x5ml- Dexamethason amp 3x1- Piracetam 3x500mg- Edukasi

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi15/4/2012 Keluhan : - Monitoring di ICU

11

Page 12: Case Ika Epilepsi

Kejang (-) Keadaan Umum :

Sens : CMN : 82 x/mRR : 24 x/mT : 36,5 oC

Keadaan Spesifik :Kepala: konjungtiva anemi (-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil bulat isokor diameter 3 mmThorax: simetris, retraksi (-), BJ I & II N, Murmur (-), Gallop (-), Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)Abdomen: datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N, timpaniEkstrimitas: Capillary Refill Time < 2 detikMotorik:

Tka Tki Lka Lki

Gerakan Luas LuasKekuatan +5 +3 +5 +3Tonus Eutoni EutoniKlonus - -R. Fisio +N +N +N +NR. Pato - - - -GRM (-)

Sensorik: dalam batas normalN. Craniales: wajah simetris, uvula di tengah, refleks menelan (+)

- IVFD - Ceftriaxon 1x2gr- Asam valproat syr 2x5ml- Dexamethason amp 3x1- Piracetam 3x500mg- Edukasi

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi16/4/2012 Keluhan :

Kejang fokal (+) Keadaan Umum :

Sens : CMN : 78 x/mRR : 22 x/mT : 36,1 oC

Keadaan Spesifik :Kepala: konjungtiva anemi (-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil bulat isokor diameter 3 mmThorax: simetris, retraksi (-), BJ I & II

- Monitoring di ICU- IVFD KAEN 1B gtt XX

makro/menit- Ceftriaxon 1x2gr- Phenytoin 2x100 mg- Dexamethason amp 3x1- Piracetam 3x500mg- Edukasi

12

Page 13: Case Ika Epilepsi

N, Murmur (-), Gallop (-), Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)Abdomen: datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N, timpaniEkstrimitas: Capillary Refill Time < 2 detikMotorik:

Tka Tki Lka Lki

Gerakan Luas LuasKekuatan +5 +3 +5 +3Tonus Eutoni EutoniKlonus - -R. Fisio +N +N +N +NR. Pato - - - -GRM (-)

Sensorik: dalam batas normalN. Craniales: wajah simetris, uvula di tengah, refleks menelan (+)

LaboratoriumSGOT : 16 U/ISGPT : 15 U/I

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi17/4/2012 Keluhan :

Kejang fokal (+) Keadaan Umum :

Sens : CMN : 72 x/mRR : 22 x/mT : 36,3 oC

Keadaan Spesifik :Kepala: konjungtiva anemi (-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil bulat isokor diameter 3 mmThorax: simetris, retraksi (-), BJ I & II N, Murmur (-), Gallop (-), Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)Abdomen: datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N, timpaniEkstrimitas: Capillary Refill Time < 2 detikMotorik:

Tka Tki Lka Lki

- Monitoring di ICU- IVFD KAEN 1B gtt XX

makro/menit- Ceftriaxon 1x2gr- Phenytoin 2x100mg- Asam valproat syr 2x5ml- Dexamethason amp 3x1- Piracetam 3x500mg- Edukasi

13

Page 14: Case Ika Epilepsi

Gerakan Luas LuasKekuatan +5 +3 +5 +3Tonus Eutoni EutoniKlonus - -R. Fisio +N +N +N +NR. Pato - - - -GRM (-)

Sensorik: dalam batas normalN. Craniales: wajah simetris, uvula di tengah, refleks menelan (+)

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi18/4/2012 Keluhan :

Kejang (-) Keadaan Umum :

Sens : CMN : 78 x/mRR : 22 x/mT : 36,1 oC

Keadaan Spesifik :Kepala: konjungtiva anemi (-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil bulat isokor diameter 3 mmThorax: simetris, retraksi (-), BJ I & II N, Murmur (-), Gallop (-), Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)Abdomen: datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N, timpaniEkstrimitas: Capillary Refill Time < 2 detikMotorik:

Tka Tki Lka Lki

Gerakan Luas LuasKekuatan +5 +3 +5 +3Tonus Eutoni EutoniKlonus - -R. Fisio +N +N +N +NR. Pato - - - -GRM (-)

Sensorik: dalam batas normalN. Craniales: wajah simetris, uvula di tengah, refleks menelan (+)

- Monitoring di ICU- IVFD KAEN 1B gtt XX

makro/menit- Ceftriaxon 1x2gr- Phenytoin 2x100mg- Asam valproat syr 2x5ml- Dexamethason amp 3x1- Piracetam 3x500mg- Edukasi

14

Page 15: Case Ika Epilepsi

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi19/4/2012 Keluhan :

Kejang (-) Keadaan Umum :

Sens : CMN : 74 x/mRR : 20 x/mT : 36,4 oC

Keadaan Spesifik :Kepala: konjungtiva anemi (-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil bulat isokor diameter 3 mmThorax: simetris, retraksi (-), BJ I & II N, Murmur (-), Gallop (-), Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)Abdomen: datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N, timpaniEkstrimitas: Capillary Refill Time < 2 detikMotorik:

Tka Tki Lka Lki

Gerakan Luas LuasKekuatan +5 +3 +5 +3Tonus Eutoni EutoniKlonus - -R. Fisio +N +N +N +NR. Pato - - - -GRM (-)

Sensorik: dalam batas normalN. Craniales: wajah simetris, uvula di tengah, refleks menelan (+)

Hasil pemeriksaan psikologis (Tes Intelegensi) : Raven ProgressiveIQ : 5 (Mentally Defective) Sangat rendah (retarded)

- Monitoring di ICU- IVFD KAEN 1B gtt XX

makro/menit- Ceftriaxon 1x2gr- Asam valproat syr 2x5ml- Dexamethason amp 3x1- Piracetam 3x500mg- Edukasi

Tanggal Perjalanan Penyakit Terapi20/4/2012 Keluhan : Pasien pulang dengan terapi:

15

Page 16: Case Ika Epilepsi

Kejang (-) Keadaan Umum :

Sens : CMN : 78 x/mRR : 22 x/mT : 36,1 oC

Keadaan Spesifik :Kepala: konjungtiva anemi (-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil bulat isokor diameter 3 mmThorax: simetris, retraksi (-), BJ I & II N, Murmur (-), Gallop (-), Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)Abdomen: datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N, timpaniEkstrimitas: Capillary Refill Time < 2 detikMotorik:

Tka Tki Lka Lki

Gerakan Luas LuasKekuatan +5 +3 +5 +3Tonus Eutoni EutoniKlonus - -R. Fisio +N +N +N +NR. Pato - - - -GRM (-)

Sensorik: dalam batas normalN. Craniales: wajah simetris, uvula di tengah, refleks menelan (+)

- Cefixime 2x1cth- Asam valproat syr 2x5ml- Piracetam

BAB III

16

Page 17: Case Ika Epilepsi

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Berdasarkan organisasi “The International Classification of Epileptic

Seizure”, status epileptikus (SE) adalah kejang yang berlangsung selama 30 menit

atau lebih lama, atau kejang yang berulang dimana diantara kejang anak tidak

sadar.1 Namun terdapat beberapa studi yang menyarankan untuk durasi waktu

lebih singkat yang memiliki manfaat untuk pengobatan, karena menunda

pengobatan berhubungan dengan lambatnya respon pengobatan.5 Satu studi

menemukan bahwa kejang yang berlangsung lebih dari lima menit memiliki risiko

tinggi untuk terjadi status epileptikus.6 Sehingga bila serangan berlangsung 5

menit atau lebih sering diberi istilah “Impending Status Epilepticus”.7

Manifestasi klinis

Kejang pada umumnya dideskripsikan sebagai suatu serangan tonik klonik

(konvulsivus) terutama untuk serangan SE, walaupun sebagian kasus ada juga

bentuk serangan seperti tonik, klonik, atau mioklonik.7

Secara klinis, aktivitas listrik akan terlihat nyata pada rekaman EEG.

Kejang subklinis akan tetap berlangsung walaupun aktivitas klinis yang abnormal

telah dihentikan oleh obat antikonvulsan dan gambaran ini akan terlihat pada

rekaman EEG.8 Pada pasien koma walaupun tidak terlihat aktivitas konvulsivus,

bila dipasang monitor EEG maka muatan iktal tersebut akan terlihat pada

gambaran EEG. Sampai saat ini masih terdapat kontroversi tentang jenis pola

EEG iktal pada pasien tanpa manifestasi klinis. Beberapa ahli berpendapat bahwa

aktivitas epileptiform periodic harus dipertimbangkan sebagai kondisi iktal.

Namun, kebanyakan epileptologist mempertimbangkan aktivitas periodik menjadi

fase interiktal dan tidak akan meningkatkan terapi antikonvulsan.9 Aktivitas

kejang selanjutnnya dapat juga berupa aktivitas kejang halus, seperti deviasi mata

tonik atau ritmis berkedut bagian dari ekstremitas.

Manifestasi klinis ini dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadium

sebagai berikut:

17

Page 18: Case Ika Epilepsi

Prestatus, kondisi sebelum status. Sering ditandai dengan meningkatnya

frekuensi serangan-serangan sebelum menjadi status. Penanganan kejang

yang adekuat di stadium ini dapat mencegah terjadinya status.

Early Status, kondisi dimana serangan konvulsif akan terjadi terus

menerus. Bersamaan dengan kondisi ini akan terjadi perubahan fisiologis

sitemik serius berupa gangguan metabolik.

Established Status, serangan berlangsung lebih dari 30 menit yang dapat

menyebabkan perubahan pada fungsi vital tubuh.

Refractory Status, serangan kejang telah berlangsung lama dan menetap

meskipun telah dilakukan terapi.

Subtle Status, serangan kejang telah berlangsung berjam-jam dimana

aktivitas kejang konvulsivus dengan gerakan motorik berkurang secara

bertahap dapat berupa gerak halus (twitching). Serangan ini sering disertai

dengan koma dalam.

Patofisiologi

Status epileptikus (SE) terjadi karena kegagalan mekanisme normal untuk

menghalangi penyebaran dan mengisolasi kejang.10 Kegagalan terjadi karena

eksitasi yang berlebihan dan/atau inhibisi tidak efektif. Beberapa mekanisme

mungkin terlibat. Glutamat adalah neurotransmiter asam amino utama di otak.

Perannya dalam patogenesis SE dicetuskan oleh zat analog glutamate.11 Pada

kasus kejang lama diduga dikarenakan adanya aktivasi rangsang berlebihan dari

reseptor asam amino. Excitatory neurotransmitters berlebihan lainnya yang

berkontribusi terhadap SE, aspartat dan acetylcholine.17

Sedangkan Gamma-aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmitter

inhibisi utama dalam otak, dan pada kasus serangan SE mempunyai efek

antagonis atau terjadi perubahan metabolisme di substansia nigra.13 Dalam model

tikus, misalnya laju sintesis GABA di substansia nigra menurun secara signifikan

selama diinduksi SE.14 Mekanisme penghambatan lainnya termasuk ion kalsium

dependent kalium dan hambatan N-metil-D-aspartat (NMDA) channel oleh ion

magnesium.2

18

Page 19: Case Ika Epilepsi

Kehilangan neuron diperikirakan terjadi di setiap episode, terutama jika

kejang berlangsung lama. Kehilangan ini dapat terakumulasi dan menyebabkan

penurunan yang berlangsung lama. Kehilangan ini dapat terakumulasi dan

menyebabkan penurunan yang signifikan. Gangguan NMDA channel tampaknya

menjadi mekanisme penting dari cedera saraf dalam SE.12 Ketika neuron

depolarisasi, kalsium memasuki sel melalui NMDA channel dan menyebabkan

cedera atau kematian. Faktor-faktor lain yang mungkin berkontribusi termasuk

kondisi hipoksia, pelepasan asam amino excitatory dan kalsium, peningkatan

berbagai protein, termasuk yang meningkatkan proses apoptosis (kematian sel

terprogram), perubahan reseptor, dan di lobus temporal berkembang sel-sel

granula dentate.15

Neuron spesifik enolase adalah enzim bagian dari jalur glikolisis untuk

konversi glukosa menjadi piruvat dengan tiga bentuk dimer: alfa, beta, dan

gamma. Isoform gamma adalah ekslusif untuk neuron dan disebut neuron spesifik

enolase (NSE). Enzim ini mengubah 2-phosphoglycerate untuk membentuk

phospoenolpyruvate yang dilepaskan ke dalam cairan serebrospinal (CSF) dan

darah setelah terjadinya stroke dan anoksia. NSE berkolerasi dengan tingkat dan

durasi iskemia.16

Klasifikasi

Klasifikasi secara klinis mirip dengan yang digunakan untuk kejang akut

dan mencakup empat jenis utama:

Parsial Sederhana

Parsial Kompleks

Generalized Convulsive, termasuk kejang tonik-klonik, tonik, klonik dan

selalu terkait dengan hilangnya kesadaran

Generalized nonconvulsive seperti absence. DItandai dnegan kesadaran

berubah dan tidak selalu dengan penurunan kesadaran.

Klasifikasi berdasarkan etiologi serangan terbagi menjadi 6 kelompok yaitu:

Remote Symptomatic (kejang tanpa provokasi), kasus yang banyak

dijumpai yaitu epilepsy (33%)

19

Page 20: Case Ika Epilepsi

Acute Symptomatic (SE yang terjadi selama penyakit akut), kasus yang

dijumpai yaitu meningitis dan ensefalitis (26%)

Febrile (SE terjadi akibat demam), berupa kejang demam (22%)

Progressive Encephalopathy (SE terjadi akibat ensefalopati progresif),

seperti gangguan mitokondria

Remote Symptomatic with an Acute Precipitant (SE akibat ensefalopati

kronik) seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia (1-3%)

Cryptogenic (idiopathic) (15%)

Faktor risiko

Faktor risiko SE telah terdeteksi pada beberapa kasus seperti di bahwa ini:

Pada kasus epilepsi ternyata 10-20% anak-anak dengan epilepsi akan

memiliki setidaknya satu episode SE.17 Status epileptikus terjadi sebagai

kejang pertama dalam 12% anak-anak dengan epilepsi.18

Faktor risiko lain untuk SE pada anak dengan gejala epilepsi meliputi:19

Latar belakang dengan kelainan fokal EEG, kejang parsial dengan

generalisasi sekunder.

Terjadinya SE saat kejang pertama kali terjadi, abnormalitas gambaran

neuroimaging.

Faktor risiko lainnya adalah20: riwayat serangan SE sebelumnya, usia saat onset

pertama kali < 1 tahun, simptomatik epilepsi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan kejang:

1. Anamnesis

Kejang pada umumnya dideskripsikan sebagai suatu kejang tonik klonik

(konvulsivus) terutama untuk serangan SE, walaupun sebagian kasus ada juga

bentuk serangan seperti mioklonik. Sebelum melakukan tindakan, yakinkan

terlebih dahulu apakah serangan tersebut suatu kejang atau suatu serangan

menyerupai kejang seperti sinkop, pseudoseizure. Bila suatu kejang maka

harus dianalisa berapa lama kejadiannya dan bagaimana bentuk serangan

tersebut, apakah berupa SE konvulsivus atau non konvulsivus.7 Perlu

20

Page 21: Case Ika Epilepsi

dideskripsikan kesadaran saat kejang, kesadaran pasca kejang, dan

kelumpuhan pasca kejang.21

Lama kejang harus diperhatikan, karena menentukan tindakan yang akan

dilakukan, Sebagian besar kejang hanya berlangsung kurang dari 2 menit,

namun bila serangan sudah berlangsung 5 menit atau lebih, terlebih serangan

bersifat umum tonik klonik, maka pertanda akan ada ancaman terjadi status

epileptikus sehingga sering disebut sebagai “Impending Status Epilepticus”.

Frekuensi kejang, kondisi saat kejang, diantara kejang dan setelah kejang juga

harus diperhatikan. Untuk status epileptikus konvulsivus, manifestasi klinis

dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadiumnya.2

2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencari etiologi kejang.7 Pada

kejang demam dan pasien epilepsi biasanya tidak memerlukan banyak

pemeriksaan tambahan, pemeriksaan penunjang diperlukan bila didapatkan

gejala dan tanda klinis adanya infeksi, tanda rangsang meningeal, defisit

neurologi fokal dan intoksikasi.2

Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada status epileptikus adalah

pemeriksaan Electroencephalography (EEG), dimana selain digunakan sebagai

alat bantu diagnostik juga berfungsi sebagai alat kontrol keberhasilan terapi.

Idealnya EEG diulang setelah 24 jam episode kejang untuk monitor kejang

berulang yang masih mungkin timbul. Oleh karena itu ruang Intensive Care

Unit (ICU) harus dilengkapi alat EEG.22

Neuroimaging seperti Computed Tomography Scan (CT-Scan) kepala atau

Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala diindikasikan bila dicurigai ada

riwayat trauma, tanda tekanan intracranial (TIK) meningkat, gejala neurologis

fokal, penurunan kesadaran atau curiga terjadi herniasi.23

Pungsi lumbal dilakukan bila dicurigai adanya meningitis, namun harus

ditunda sampai kejang berhenti dan tanda vital telah kembali stabil. Begitu

juga bila secara klinis atau radiologi terdapat tanda TIK meningkat.2

Pemeriksaan darah tepi, analisis gas darah, elektrolit, gula darah, fungsi

ginjal, fungsi hati, harus dilakukan bila etiologi masih belum jelas.24

21

Page 22: Case Ika Epilepsi

Penatalaksanaan

Tatalaksana kejang akut dan status epileptikus tidak ada perbedaan,

Tindakan sedini mungkin merupakan hal penting oleh karena kerusakan/adanya

gejala sisa berhubungan dengan lamanya episode kejang dan efektivitas

pengobatan dalam mengontrol status epileptikus itu sendiri. Protokol

penatalaksanaan status epileptikus diberbagai senter sangat bervariasi, namun

dalam pengelolaannya selalu ditahapkan dalam hitungan menit. Tidak ada

protokol yang paling unggul diantara protokol-protokol yang telah disusun oleh

para penulis yang berbeda, Tujuan pengobatan adalah terhentinya bangkitan

secara klinis maupun elektris.

Langkah penanganan dilakukan tanpa memandang jenis dan etiologi dari

kejang itu sendiri, Adapun langkah penanganan sebagai berikut:25

1. Manajemen jalan napas dan pernapasan

2. Stabilisasi hemodinamik

3. Terminasi kejang

4. Penghentian bangkitan yang berulang

Tahap 1 sampai dengan tahap 2 merupakan penatalaksanaan awal. Intervensi

terapi pada tahap ini sangat penting, oleh karena dapat menghindari terjadinya

status epileptikus. Bila anak datang dalam keadaan kejang, maka pertama kali

yang perlu diperhatikan adalah memastikan jalan napas yang baik dan oksigenasi

yang cukup. Pasien diletakkan dalam posisi miring, sehingga tidak terjadi aspirasi

bila muntah. Lendir dihisap, diberikan oksigen 100%. Jangan memasukkan benda

keras diantara gigi yang sudah terkatup. Tanyakan beberapa hal penting sambil

memeriksa fungsi vital dengan cepat agar tidak membuang waktu. Lakukan

resusitasi bila diperlukan dan atasi kejang dengan obat antikonvulsan. Salah satu

penyebab kegagalan pengobatan adalah kesulitan mendapatkan akses vena. Oleh

karena itu pemasangan jalur parenteral wajib dilakukan, dan pemeriksaan

penunjang seperti elektrolit darah, glukosa, serta darah rutin segera dijalankan bila

telah memasuki masa prestatus. Namun bila akses vena belum dapat diberikan

maka dapat kita berikan perektal (diazepam, lorazepam), sublingual (midazolam),

intramuskuler (midazolam). Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan

22

Page 23: Case Ika Epilepsi

penggunaan diazepam gel yang dapat diabsorbsi cepat bila dibeirkan perectal dan

telah dibuat dalam kemasan yang mudah digunakan oleh anggota keluarga atau

perawat di rumah.26 Pada stadium prodormal, tahap akan memasuki masa

prestatus yang sering terjadi di rumah, lorazepam lebih dianjurkan, karena masa

kerjanya lebih lama, kadar terapeutik dalam darah lebih cepat tercapai dan efek

depresi pernapasan lebih sedikit dibanding diazepam. Namun sampai saat ini

kemasan perectal belum banyak tersedia sehingga lebih dianjurkan penggunaan

diazepam. Keunggulan diazepam dibanding lorazepam, bahwa penggunaan

perektal tidak perlu dilarutkan, sedangkan lorazepam, penyimpanan haris

dipendingin dan harus dilarutkan terlebih dahulu sebelum digunakan. Pemberian

diazepam dapat diulang 2 kali dengan selang waktu 5-10 menit. (Tabel 1.)

Tabel 1. Obat untuk menghentikan kejang akut dan mencegah kejang berikutnya 27

Obat Cara Pemberian

Dosis Ulangan Kecepatan Pemberian

Diazepam IV, IO 0,3 mg/kgBB, maks 10 mg

5 menit < 2 mg/menit

Diazepam Rektal 0,5 mg/kgBB, maks 10 mg

Tiap 5-10 menit

Lorazepam IV, SL, IO 0,1 mg/kgBB maks 4 mg

2x tiap 10 menit

< 2 mg/menit

Midazolam IM 0,2 mg/kgBB maks 10 mg

2x tiap 5-10 menit

Fenitoin IV, IO 20 mg/kgBB maks 1000 mg (30 mg/ kgBB)

Tambahkan 5 mg/kg IV bila masih kejang

1 mg/kgBB/ menit

Fenobarbital IV 20 mg/kgBB, maks 600 mg (30 mg/ kgBB)

1 mg/kgBB/ menit

Bila telah dengan fenitoin dan fenobarbital dapat diberikan lagi

5mg/kgBB. Dosis berikutnya berdasarkan kadar antikonvulsan dalam

darah

IV= intravena, IM= intramuskuler, Sl= sublingual, PR= per rektum, IO=

intraoseus

23

Page 24: Case Ika Epilepsi

Tahap ke 4 merupakan tahap penatalaksanaan lanjutan untuk mencegah

kembalinya kejang atau menghentikan serangan kejang berulang. Pada tahap ini

pemberian obat antikonvulsan harus diberikan intravena agar efektif. Pada

penatalaksanaan kejang apapun penyebab kejang obat pilihan utama untuk

mengatasi kejang adalah golongan benzodiazepin yaitu diazepam dan lorazepam

yang memiliki efektivitas 80-90%. Ventilasi bag valve mask sebaiknya tersedia

mengingat efek obat ini menimbulkan depresi pernapasan. Pilihan obat lain yang

efektif adalah fenitoin, obat ini merupakan antikonvulsan berspektrum luas

dengan efek sedatif yang minimal, tetapi sering terjadi hipotensi, iritasi pembuluh

darah dan aritmia. Dosis awal yang dianjurkan 20 mg/kgBB dengan kecepatan 1

mg/kgBB/menit dan sering diberikan dalam larutan normal salin secara intravena

(IV). Saat ini telah tersedia obat baru turunan dari fenitoin dengan efek samping

yang minimal yaitu fosfofenitoin, Bila setelah pemberian loading dose kejang

masih berlangsung, maka dapat diberikan fenobarbital 20 mg/kgBB dan dapat

ditambah 5 mg/kgBB bila kejang masih juga berlangsung.27 Fenobarbital

merupakan obat pilihan pada anak dengan serangan status epileptikus yang

berhubungan dengan demam.2

Sebagian besar pasien memberikan respon yang baik terhadap

penatalaksanaan awal. Jika penatalaksanaan awal gagal maka pasien segera

dirujuk ke perawatan intensif. Indikasi masuk ke unit intensif adalah gagal terapi,

kegagalan serebral dan sistemik. Pada pasien yang telah masuk dalam status

epileptikus refrakter, pemberian obat dilakukan secara terus menerus melalui infus

sampai kejang teratasi. Beberapa senter pengobatan menggunakan midazolam

infus, atau Pentobarbital, atau propofol.28 (Bagan-1)

Pentobarbital diberikan loading dose 2-5 mg/kgBB IV, rentang pemberian

jangan melebihi 50 mg/menit. Infus rumatan 1-2 mg/kgBB/jam di dalam infuse

NaCL 0,9%. Pemberian ini dilanjutkan sampai minimal 12 jam bebas kejang, baru

kemudian pelan-pelan dihentikan.29

Propofol merupakan salah satu obat pilihan pada status epileptikus

refrakter, dapat diberikan dosis inisial 1-2mg/kgBB bolus, dapat diulangi setiap

kejang. Sebagai dosis lanjutan dalam infus NaCl 0,9% dengan dosis 1-15

24

Page 25: Case Ika Epilepsi

mg/kgBB perjam. Dosis diturunkan secara perlahan setelah 12 jam bebas kejang.

Penurunannya memakai aturan 5% pengurangan tetesan tiap jam.23

25

Page 26: Case Ika Epilepsi

Komplikasi sistemik

Perubahan sistemik sering terjadi pada kejang lama.12 Komplikasi ini

berkontribusi pada morbiditas dan dapat mengancam nyawa. Hipoksemia terjadi

dari gangguan ventilasi, konsumsi oksigen meningkat, produk air liur dan secret

trakeobronkial meningkat. Kejang yang berhubungan dengan hipoksemia

menyebabkan gangguan metabolisme lebih lanjut, termasuk berkurangnya kadar

glukosa otak, asidosis laktat, dan penurunan ATP otak. Hipoksemia berat dan

asidosis dapat menyebabkan gangguan fungsi miokard, curah jantung berkurang,

26

Page 27: Case Ika Epilepsi

dan hipotensi. Asidemia – asidosis laktat dan asidosis pernapasan sering

menyertai SE, sehingga pH kurang dari 7,0.25

Perubahan konsentrasi-konsentrasi glukosa darah meningkat di awal

kejang karena pelepasan katekolamin dan kerja syaraf simpatik. Namun, kejang

yang berlangsung lama sering mengakibatkan hipoglikemia karena kebutuhan

untuk proses metabolic yang meningkat pada saat kejang.2

Gangguan tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral

meningkat pada awal SE. Kenaikan ini disertai dnegan peningkatan aliran darah

serebral (200-700 % pada primata) untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan

metabolisme otak.25 Namun, bila kejang terus berlanjut maka tekanan darah akan

menurun mengakibatkan hipotensi. Aliran darah serebral juga menurun meskipun

tetap berada dalam batas normal.2

Peningkatan tekanan intrakranial dapat meningkat selama SE. Peningkatan

lebih lanjut dapat menganggu pasokan oksigen mengakibatkan edema serebral.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan tekanan intrakranial

termasuk asidosis metabolik, hipoksemia, kadar karbon dioksida dengan retensi

vasodilatasi serebral dan peningkatan kompensasi aliran darah serebral.25

Prognosis

Status epileptikus bisa berakibat fatal dan berhubungan dengan morbiditas

jangka panjang, termasuk kekambuhan kejang serta masalah neurologis. Berat

ringannya dampak dari SE tergantung pada penyebab yang mendasarinya, durasi

kejang, dan usia anak.3

Etiologi yang mendasari adalah prediktor utama kematian. Gejala sisa

neurologis akibat SE berupa defisit fokal motorik, keterbelakangan mental,

gangguan perilaku, dan epilepsi kronis. Gejala sisa neurologis biasanya

disebabkan oleh kondisi yang mendasari saat kejang terjadi.22 SE berulang terjadi

terutama pada anak-anak dengan status neurologis yang abnormal.23

Kesimpulan

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua dan menjadi

suatu kedaruratan medik yang membutuhkan intervensi cepat. Kejang yang

27

Page 28: Case Ika Epilepsi

berlangsung 5 menit sering berlanjut menjadi SE. Tindakan yang cepat dan tepat

dibutuhkan untuk mengatasi SE sehingga komplikasi maupun gejala sisa yang

menyebabkan kerusakan otak permanen dapat dicegah. Lamanya kejang dan

efektivitas pengobatan menentukan prognosis. Evaluasi riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang merupakan hal penting untuk mencari

penyebab yang mendasari status epileptikus.2

BAB IV

ANALISIS KASUS

Dari anamnesis diperoleh seorang anak laki-laki, berusia 11 tahun, berat

badan 26 kg dengan keluhan utama kejang. Kejang sejak ± 2 hari SMRS, demam

tidak ada, muntah (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Hingga saat masuk RS os

telah kejang umum tonik klonik sebanyak 5 kali dengan lama kejang 5-30 menit

tiap kejangnya. Di antara kejang, pasien tidak sadarkan diri dan badan terasa

28

Page 29: Case Ika Epilepsi

lemas. Penderita kemudian dibawa ke Puskesmas Gunung Megang dan dirujuk ke

RSUD Moh. Rabain M.Enim.

Pada kasus ini diketahui os kejang berulang kali dalam waktu 2 hari, di

antara kejang yang satu dengan kejang yang lain ada jeda waktu tenang, dimana

dalam jeda waktu tersebut anak menjadi tidak sadarkan diri. Sehingga dapat

diklasifikasikan ke dalam status epileptikus.

Status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua

atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang

atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana

dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang

yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan

sebagai status epileptikus.

Dari riwayat penyakit dahulu diketahui terdapat riwayat kejang

sebelumnya . Kejang pertama kali saat os berumur 3 minggu. Saat itu os panas

tinggi kemudian diikuti kejang sebanyak 1 kali. Lamanya kejang sekitar 10 menit,

kejang umum tonik klonik Post iktal, os menangis. Os tidak dibawa berobat.

Kejang sering terjadi sejak usia 3 minggu sampai 3 bulan, frekuensi kejang

minimal 1 x seminggu dan lamanya kejang bervariasi 5 hingga 10 menit. Ibu os

tidak membawa os berobat. Hingga usia 6 tahun os tidak pernah kejang. Namun

usia 7 tahun – 8 tahun, penderita kembali kejang. Hampir tiap bulan os kejang dan

diawali akibat kelelahan setelah bermain. Orang tua os tetap tidak membawa os ke

dokter, karena beranggapan os baik-baik saja. Sejak usia 8 tahun hingga ± 2 hari

SMRS penderita tidak pernah kejang. Riwayat trauma sebelumnya disangkal

Diketahui dari riwayat tersebut os memiliki riwayat kejang. Terjadi kejang

pertama kali pada usia 3 minggu yang disertai demam. Faktor risiko yang

menimbulkan kejang pertama pada os antara lain: asfiksia, usia, dan demam.

Riwayat kelahiran dengan asfiksia, os tidak langsung menangis. Asfiksia

menyebabkan hipoksia dan iskemia jaringan otak. Hipoksia menyebabkan

rusaknya faktor inhibisi atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi sehingga

mudah timbul kejang jika ada rangsangan yang memadai. Kejang pada usia 3

minggu ini diakibatkan pada keadaan otak yang belum matang reseptor as.

29

Page 30: Case Ika Epilepsi

glutamate sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA

sebagai inhibitor kurang aktif sehingga otak belum matang, eksitasi lebih dominan

disbanding inhibisi. Sehingga pada masa otak belum matang (dalam tahap

perkembangan) yaitu kurang dari 2 tahun, eksitabilitas neural lebih tinggi

dibanding otak yang sudah matang disebut masa developmental window (masa

perkembangan otak) dan rentan terhadap bangkitan kejang. Demam yang

mengawali kejang pertama kali menyebabkan perubahan potensial membrane dan

menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai ambang kejang lalu

timbulah bangkitan kejang.

Dari riwayat perkembangan diketahui terdapat perkembangan yang

terlambat yaitu telat bicara dan berjalan. Sedangkan status gizi kurang.

Berikut merupakan alur riwayat perjalanan penyakit pada pasien

berikut analisisnya:

30

Di RS os kejang seluruh tubuh, tonik klonik, frekuensinya 2 kali, lamanya 5 menit dan 15 menit, post iktal sadar.

± 2 hari SMRS os kejang 5 kali, lama 5-30 menit, demam (-)

Status EpileptikusGangguan metabolikMeningitis

Page 31: Case Ika Epilepsi

Dari pemeriksaan fisik tidak diperoleh adanya gejala rangsang meningeal

berupa kaku kuduk maupun refleks patologis, trismus, kekakuan anggota tubuh

lainnya, dan gangguan pernapasan. Dari pemeriksaan fungsi motorik didapatkan

kekuatan lengan dan tungkai kiri +3.

Berdasarkan hasil anamnesis pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan status

epileptikus yaitu kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih lama, atau

kejang yang berulang dimana diantara kejang anak tidak sadar. Dari hasil

anamnesis dan pemeriksaan dapat mengeksklusi diagnosa meningitis karena tidak

adanya gejala rangsang meningeal. Pemeriksaan elektrolit tidak dilakukan namun

31

Status Epileptikus kejang yang berlangsung selama 30 menit atau

lebih lama, atau kejang yang berulang dimana diantara kejang anak tidak sadar.

Riwayat Trauma (-) Riwayat penyakit

dengan gejala yang sama (+)

Riwayat Epilepsi Dalam Keluarga (-)

Riwayat muntah-muntah (-)

Riwayat diare (-)

Kesadaran : compos mentis Nadi : 88 kali/ menit, isi dan

tegangan cukup, reguler Pernapasan : 28 kali/ menit Suhu : 37,1 oC Lingkar Kepala : 48 cm mikrocephali Status gizi : Kurang GRM (-) IQ : 5 (retarded)

Status epileptikus + Gizi kurang + Mikrocephali +

Retardasi mental

Page 32: Case Ika Epilepsi

dari anamnesis tidak terdapat riwayat muntah-muntah dan diare yang dapat

menyingkirkan diagnosa kejang akibat gangguan elektrolit (metabolik).

Tatalaksana meliputi terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi

farmakologis. Dalam penanganan status epileptikus biasanya dilakukan 3 tahap

tindakan yaitu stabilisasi penderita, menghentikan kejang, menegakkan diagnosis.

Stabilisasi meliputi usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital

yang mungkin terganggu; membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta

memberikan oksigen. Menghentikan kejang harus dilakukan segera sesudah tahap

stabilisasi selesai. Penghentian kejang yaitu dengan pemberian Obat Anti

Epilepsi (OAE) , antibiotik serta pemberian agen nootropik yaitu piracetam dan

pemberian dexamethasone. Pemberian piracetam untuk meningkatkan efektivitas

dari fungsi telenceophalon (fungsi kognitif) melalui peningkatan fungsi

neurotransmitter kolinergik dengan menstimulasi glikosis oksidatif, meningkatkan

konsumsi oksigen pada otak serta mempengaruhi pengaturan cerebrovaskular dan

juga mempunyai efek antitrombotik. Pemberian dexametason dimaksudkan untuk

mencegah terjadinya edema otak.

Selain itu, hal yang paling penting adalah memberikan edukasi kepada

orang tua mengenai obat rumatan. Os diberikan obat rumatan berupa antibiotik

cefixime, obat anti epilepsi yaitu asam valproat, dan piracetam sebagai agen

nootropik. Dan pemberian edukasi agar tidak panik jika os kembali kejang dan

menjelaskan apa yang perlu dilakukan oleh orang tua jika os kembali kejang.

Prognosis pada os adalah quo ad vitam bonam dan quo ad functionam dubia

ad malam, karena terdapatnya beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan

kemungkinan berulangnya status epileptikus pada pasien ini antara lain riwayat

serangan SE sebelumnya, usia saat onset pertama kali < 1 tahun, simptomatik

epilepsi sehingga kemungkinan nilai ambang batas kejang pada pasien yang sudah

sangat rendah, sehingga jika ada rangsangan yang memadai dapat menyebabkan

berulangnya kejang pada pasien ini. Terdapat kelainan fungsi motorik pada

anggota gerak sebelah kiri, yaitu lengan kiri dan tungkai kiri dengan kekuatan +3.

Sehingga aktivitas menggunakan tangan dan kaki kiri menjadi terbatas. Penelitian

menunjukkan bahwa hemiparese dapat terjadi pada kejang lama (>30 menit) baik

32

Page 33: Case Ika Epilepsi

umum atau fokal, dimana kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal, mula-mula

flaksid lalu setelah 2 minggu spastic.

Selain itu pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan intelegensi

didapatkan nilai 5 sangat rendah (retardasi mental) sehingga akibat yang

ditimbulkan dari kejang berulang itu sendiri telah merusak telencephalon yang

berfungsi dalam mengatur fungsi kognitif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. From the Commission on Classification and Terminology of the International League Againts Epilepsy. Epilepsia 1981: 22: 489

2. Masayu RD. Status Epileptikus. Naskah Lengkap Tatalaksana Kasus-Kasus Kegawatan Pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas KEdokteran Universitas Sriwijaya RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang. 2012: 112-125

3. Chin RF, Neville BG, Peckham C, et al. Incidence, cause, and short term outcome of convulsive status epilepticus in childhoos: prospective population based study. Lancet 2006: 368: 222

4. Singh RK, Stephens S, Berl MM, et al. Prospective study of new onset seizures presenting as status epilepticus in childhood. Neurology 2010: 74: 636

5. Eriksson K, Metsaranta P, Huhtala H, et al. Treatment delay and the risk of prolonged status epilepticus. Neurology 2005; 65 : 1316

33

Page 34: Case Ika Epilepsi

6. Shinnar S, Berg AT, Mohse SL, Shinnar R. How long do new onset seizures in children last? Ann Neurol 2001; 49 ; 469

7. Rivello JJ. Et al. Diagnosis assessment of the child with status epilepticus (an evidene based review). Report of the Quality Standards Subcommitee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology Society. AAN 2006; 67 : 1542-50

8. Tay SK, Hirsch U, Leary L. et al. Nonconvulsic=ve status epilepticus in children: clinical and EEG characteristics. EPilepsia 2006; 47 : 1504

9. Treiman DM. Electronical features of status epilepticus. J CLin Neurophysial 1995; 12 : 343

10. Wasterlain CG, Chen JW. Definition and Classification of Status Epilepticus. Dalam: Wasterlain CG, Treiman DM. Status epilepticus mechanism and management. Cambridge: MIT press books 2. 006. H. 11-6

11. Manford M. Status Epilepticus in Practical Guide to Epilepsy. Burlington. Butterworth Heinemann 2003; 243-62

12. Coulter DA. Chronic epileptogenic cellular alterations in the limbic system after status epilepticus. Epilepsia 1999; 40. Suppl 1: S23

13. Wasterlain CG, Fujikawa DG, Penix L, Sankar R. Pathopysiological mechanisms of brain damage from status epilepticus. Epilepsia 1993; 34 Suppl 1:S37

14. Wasterlain, Baxter CF, Baldwin RA. GABA metabolism in the substantia nigra, cortex, and hippocampus during status epilepticus. Neurochem Res 1993; 18: S27

15. Coulter DA. Chronic epileptogenic cellular alterations in the limbic system after status epilepticus. Epilepsia 1999; 40 Suppl 1: S23

16. DeGiorgio et al. Neuron specific enolase, a marker of acute neuronal injury, is increased in complex partial status epilepticus. Epilepsia 1996; 37: 606

17. Shinnar S, et al. In whom does status epilepticus occur: age related differences in children. Epilepsia 1997; 38: 907

18. Haut SR, Shinnar S, et al. The association between seizure clustering and convulsive status epilepticus in patients with intractable complex partial seizures. Epilepsia 1999; 40: 1832

19. Novak G. Risk factors for status epilepticus in children with symptomatic epilepsy. Neurology 1997; 49: 533

20. Berg AT, et al. Status epilepticus adter the initial diagnosis in children. Neurology 2004; 63:1027

21. Antonius HP, Badriul H, Setyo H, dkk. Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 310-15.

22. Maytal J, SHinnar S. Low morbidity and mortality od status epilepticus in children 1989; 83:323

23. Shinnar S, Maytal J. Recurrent status epilepticus in children. Ann Neurol 1992; 31:598

24. Walker MC. Serial Seizure and Status Epilepticus. Neurology 2003: 31-825. Delorenzo RJ. Incidence and causes od status epilepticus. Dalam: Wasterlain CG.

Status epilepticus mechanisms and management. Cambridge: MIT press books 206. h. 17-29

26. Guerrini R. Epilepsy in Children, The Lancet 2006: 367:499-52427. Shorvon S. Handbook of Epilepsy treatment. Oxford: Blackwell science Ltd.

2000. h. 181-94

34

Page 35: Case Ika Epilepsi

28. Evrard P. Management Status epilepticus in Infant and Children. Cambridge MIT press books 2006. h. 515-21

29. Widodo DP. Algoritme Penatalaksanaan Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Bayi dan Anak. Dalam: Pusponegoro HD,. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. Naskah lenhkap pendidikan kedokteran berkelanjutan ilmu kesehatan anaka XLIX, Jakarta: Badan penerbit IDAI 2006. h. 63-9

35