CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

37
BAB 1 PENDAHULUAN Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan. 1 Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad– abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone 1

description

asik

Transcript of CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Page 1: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

BAB 1

PENDAHULUAN

Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh

neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme

otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah

begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat

disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian

imunisasi. Pada tetanus derajat berat, angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal

tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus meliputi

pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk

mengontrol spasme, antibiotik untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk

mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan penatalaksanaan

yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat

menjadi lebih optimal sehingga angka kematian dapat diturunkan.1

Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus

the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama berabad–

abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan Rattone

menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci Percobaan. Kitasato (1889)

pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun kemudian bersama dengan

von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik pada serum binatang yang

telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun1926, mulai dikembangkan

toksoid yang dapat merangsang pembentukan imunitas.2

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh

dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan

tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir,

hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai

pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus

yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang

berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang

lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum

1

Page 2: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh

Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di

seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.3

Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan

peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak

memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program

imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk

perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal

imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak—misalnya akibat perang

dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih

berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program

imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi

primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun

seiring berjalannya waktu.4,5

2

Page 3: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)

tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium

tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak

eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion

sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular

junction) dan saraf otonom.6

2.2 Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk

batang dengan sifat :

a. Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti

pemukul genderang.

b. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan

anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela.

c. Menghasilkan eksotoksin yang kuat.

d. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu

tinggi, kekeringan dan desinfektan.6

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia

dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas

dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,

dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu

bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam

lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8

°F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan

agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan

secara fisik dan biologik.3

3

Page 4: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka

mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus

juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus,

abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah,

pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan.

Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang

berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau

sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser

yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang

berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.6

2.3 Epidemiologi

Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat

jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping

sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang

termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan

karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,

perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan

pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.3

Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada tahun

1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai

dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya (1987) ternyata insiden

tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun.1,3

Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai

kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan

20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39

tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka

kejadian lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.3

4

Page 5: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Tabel 1. Data insidens tetanus menurut WHO.

Tabel 2 Jumlah Kasus Tetanus dan Kematian di Beberapa Rumah Sakit Provinsi di

Indonesia (asupan finalisasi: insidens tetanus 5 tahun terakhir 2003-2007 di RSCM,

RSAB Har-Kit, RS Fatmawati, RSHS)

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB = Rumah

Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan

Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)

Tabel 3. Distribusi Kelompok Umur Kasus Tetanus Tahun 2003-2007

5

Page 6: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta; RSAB =

Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah

Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m = meninggal)

2.4 Patogenesis

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran

lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack

rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entree

tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :1,6

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar

yang luas.

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.

3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan

kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan

penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan

terjadinya kasus tetanus neonatorum.

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke

dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi

anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat

tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya

disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C.

tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.

Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.

Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan

pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2)

medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis.

Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per

kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram

pada orang dengan berat badan 70 kg.1

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat

motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang

6

Page 7: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat

pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik,

terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen

C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan

internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan

perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-

esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps

yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan

impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan

kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada

otot yang besar. 1

Dampak toksin antara lain :

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena

eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan

koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida

serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan

menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,

aritmia, heart block, atau takikardia.3

2.5 Manifestasi Klinik

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari

atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak

dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat

(SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa

inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi

kemungkinan terjadinya kematian.1,2,3

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

7

Page 8: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka

bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang

terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari

jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.

Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher,

kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus

terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah

mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan

disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi

dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh

akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga

beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan

sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi

serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak

umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa

minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat

mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar

1% kasus yang menyebabkan kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah

infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik

(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus

umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya

buruk.

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada

negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian

neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi

untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi

8

Page 9: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut

mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.

Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus

dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 2.6.1)3

Tabel 4 Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus

2.6 Diagnosis

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena

pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya

didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan

diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.

Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi

(imunokompeten).1

2.6.1 Anamnesis

9

Page 10: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 6

a. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka

dengan nanah atau gigitan binatang?

b. Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

c. Apakah pernah menderita gigi berlubang?

d. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang

terakhir?

e. Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme

lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :1,6

a. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk

membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut

mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis

untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.

b. Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak

dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan

kebawah.

c. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot

punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat

berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

d. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

e. Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya

terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau

terkena sinar yang kuat. Lambat laun ―masa istirahat spasme makin pendek

sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

f. Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan

cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi

tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan

menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.

10

Page 11: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

g. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat

spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat

menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom

menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan

pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau

berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi

retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan

kompresi tulang belakang.

h. Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan

menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika

terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif

berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of

Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji

spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan

sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang

positif).

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1

a. Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.

Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak

mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.

Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain

mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.

Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat

diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.

b. Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

c. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

d. Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai

imunisasi dan bukan tetanus.

e. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

11

Page 12: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

f. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan

pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati

setelah potensial aksi.

g. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.

Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut : 6

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak

dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan

terdapat kelainan likuor serebrospinal.

2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme

karpopedal.

3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).

4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada

anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.

5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media

supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :1,2,3

1. Penanganan spasme.

Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun

kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat

mengancam repirasi karena menyebabkan larngospasme atau konstraksi secara

terus menerus otot-otot pernafasan. Regimen yang ideal adalah regimen yang

dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan

hipoventilasi. Harus hindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya

adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepam. Benzodiazepam memperkuat

agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABA.

Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan

12

Page 13: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam)

dapat terakumulai dan berakibat koma berkepanjangan. Telah dilaporkan

enggunaan dosis setinggi 100 mg/jam. Pilihan yang lain adalah lorazepam dengan

durasi aksi lebih lama dan nidazoloam dengan waktu paruh yang lebih singkat.

Nidazolam telah diakai dengan akumulasi lebih ringan. Sebagai sedasi tambahan

dapat diberikan anti konvulsan, terutama fenobarbital yang lebih jauh memperkuat

aktifitas GABAergik dan fenothiazin, biasanya klorpromazin. Berbiturat dan

klorpromazin ini merupakan obat lini kedua. Propozol telah dipergunakan sebagai

sedasi dengan pemulihan yang cepat setelah infus distop.

Apabila sedasi saja tidak adekuat, paralisis teraputik dengan agen

pemblokade neuromuskuler dan ventilasi mekanik tekanan positif intermitten

mungkin dibutuhkan untuk jangka panjang. Namun demikian dapat terjadi

paralisis berkepanjangan setelah obat dihentikan dan kebutuhan pasien akan

paralisis berkesinambungan dan terjadi komplikasi hendaknya dinilai terus-

menerus tiap hari. Secara tradisional, agen kerja panjang, pankuronium

menghambat pengambilan kembali ketokolamin dan dapat memperberat

instabilitas otonomik pada tetanus berat. Terdapat laporan terbatas tentang

bertambah parahnya hipertensi dan takikardia yang berkaitan dengan

penggunaannya. Tetapi Dance melaporkan tidak terdapat perbedaan dalam hal

komplikasi pada mereka yang diterapi. Dengan pankuronium apabila

dibandingkan dengan obat penghambat neuromuskular yang lain. Vekuronium

bebas dari efek samping kardiovaskular dan pelepasan histamin tetapi secara

relatif bersifat kerja singkat. Telah dilaporkan penggunaan infus atrakurium pada

tetanus selama 71 hari. Pada pasien ini, dengan fungsi ginjal dan liver yang

normal, tidak terdapat akumulasi laudanosin, metabolit epileptogenik dari

atrakurium. Obat-obatan kerja panjang dipilih karena penggunaannya mungkin

dengan cara bolus intermiten dari pada pemberian infus. Penggunaan jangka

panjang obat pemblokade neuromuskular aminosteroid (vekuronium,

pankuronium, rekuronium) terutama melalui infus berkaitan dengan neuropati dan

myopati kondisi kritis, tetapi hal ini belum dilaporkan terjadi pada pasien tetanus.3

13

Page 14: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Penggunaan dantrolen untuk mengontrol spasme yang refrakter telah dilaporkan

pada satu kasus. Obat-obat menghambat neuromuskular tidak diperlukan setelah

pemberian dantrolen, spasme paroksismal berhenti dan kondisi pasien membaik.

2. Pencegahan komplikasi gangguan napas

Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin

dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau

laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,

gangguan kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus

diantisipasi dan diterapkan secara dini.

3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan

dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis

tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin

tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.

Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar

dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.

4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman,

untuk memusnahkan ―pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum

eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan

5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.

6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena

biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme

berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus

yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari

kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,

mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga seperti

karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian

antibiotik dan serum anti tetanus.

Tatalaksana Umum 1,6

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

14

Page 15: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian

obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya

dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda

dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian

khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.

2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.

3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).

4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat

kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali

dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan

untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg

setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg

per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB ≥10 kg,

atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme

berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan

keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan

dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus

tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan

bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis

maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai

spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak

dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai

namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya

dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat

dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi

antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang

diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis

dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari).

Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai

15

Page 16: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi

pernapasan.

5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan

konsultasi dengan dokter gigi/THT.

Tatalaksana Khusus 1,2,3,4,5,6

1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) 10,11,21 Dosis

ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv.

Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak,

pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak

pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-

6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya

adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara

infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus

yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG)

mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia.

Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin

atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau

keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara

IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif.

Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :

1. HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari

4-30%).

2. Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.

3. Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.

4. Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui

infus iv.

5. Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi

yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan

labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.

Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat

diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin

16

Page 17: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta

menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu

spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit

yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur terapeutik harus

dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat

berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien

mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat

kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan

toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi

tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu

tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi

gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. Selanjutnya pasien

diberikan imunisasi tetanus.

2. Antibiotika 1,3,5,6

a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi

pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan

secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari

dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk

mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat

diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika

terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50

mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh

bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral

dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari

direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan

bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan

menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang

sesuai. Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di

tempat luka yang dapat memproduksi toksin.

17

Page 18: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

2.9 Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau

sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada

koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti

pneumonia berkaitan dengan ventilator.3

2.10 Prognosa

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka

mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan

yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus.

Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status

imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin

buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka

dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis.

Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis.1,2,3,6 Tetanus neonatorum dan tetanus

sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.

Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin

profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi

tetanus.1,2,3,6 Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan

prognosis tabel 7. tetanus menurut sistem skoring Bleck:1

18

Page 19: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut

ini:

Tabel 8. Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis1

2.11 Pencegahan

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan

ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus

bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak

terbentuknya kekebalan pada penderita setelah ianya sembuh dikarenakan toksin

yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan

antitoksin ( karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat,

19

Page 20: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam

konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).2,4,5

Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini

diketahui sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme

yang berada didalam lumen usus melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini

diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada serum seseorang dalam riwayatnya

belum pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya peninggian titer antibodi dalam

serum yang karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada

beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama

kali.Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan

mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada

beberapa negara dimana pemberian imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana

dengan baik.2,3,5

Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan

satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan

pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara

pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).3,6 Pencegahan sangat penting,

mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu

dilakukan: 2,3,5

1. Imunisasi aktif

Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang

sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali

diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas pada

militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –

adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus

tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri

sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT.

Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat

diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis

imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.1

20

Page 21: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan

pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap

WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan

status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum

mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan

jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak

dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil,

dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat

diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan

berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat

diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan

atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima

oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat

imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak,

cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi

perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan1,4

Tabel 9 Jadwal imunisasi

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan

bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang

lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang ditemukan kasus

tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun

setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup

atau pada sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10

21

Page 22: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan

setiap 10 tahun. Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah

penting. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus

hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang tua menolak

memberikan vaksinasi. Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan

proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata

antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap

bayinya.1,4

2. Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka

kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka

dilakukan guna pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta

perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting

diperhatikan hal-hal berikut ini :Jangan membungkus punting tali

pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat -

Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak

dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.1,6

3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan

harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU.

HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun :

4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis

tunggal.1,3,5

22

Page 23: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

BAB 3

KESIMPULAN

Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh

neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme

otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia, insidens tetanus cukup rendah

begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat

disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian

imunisasi.

Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid

merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan

dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan,

dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).

23

Page 24: CARA MENANAM KORENG DALAM KOMPOR

DAFTAR PUSTAKA

1. Penatalaksanaan tetanus pada anak. Departemen Kesehatan RI Subdirektoraat

Surveilans Epidemiologi Diunduh dari http://buk.depkes.go.id/index.php?

option=com_docman&taks=doc_download&gid=275&itemid=142. tanggal 10

oktober 2014.

2. Tetanus. Diunduh dari : http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf. pada tanggal 19 oktober 2014.

3. Ismanoe, G.:buku ajar llmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi V, Pusat Penerbitan

Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, 2010, 2911-23.

4. World Health Organization. Vaccine-preventable disease:monitoring system.

Geneva 2001.18-19

5. Behreman RE, kliegman RM, Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2.

Jakarta. EGC, 200. 1004-1007.

6. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan

pediatri Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2010.

24