CAPD

28
1 BAB I PENDAHULUAN Terdapat dua cara melakukan dialisis yaitu hemodialisis dan peritoneum dialisis. Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik, menggunakan membran peritonium yang bersifat semipermeabel untuk memfiltrasi darah. Ketika ginjal mengalami kerusakan maka ginjal tidak dapat membersihkan tubuh dari sisa-sisa metabolisme. Sisa- sisa metabolisme dan kelebihan air menumpuk dan lama kelamaan menjadi banyak di dalam darah yang disebut uremia. Gagal ginjal kronik berarti kehilangan fungsi ginjal yang bisa terjadi secara cepat atau lambat dalam beberapa tahun. Keuntungan dialisis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis antara lain, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Saat ini banyak dilakukan dialisis melalui peritoneum. Dimasukan sebuah kateter didalam peritoneum kemudian dialirkan cairan dialisat. Cairan tersebut disimpan

description

CAPD

Transcript of CAPD

1

BAB I

PENDAHULUAN

Terdapat dua cara melakukan dialisis yaitu hemodialisis dan peritoneum

dialisis. Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu

penanganan pasien gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik, menggunakan

membran peritonium yang bersifat semipermeabel untuk memfiltrasi darah.

Ketika ginjal mengalami kerusakan maka ginjal tidak dapat membersihkan tubuh

dari sisa-sisa metabolisme. Sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air menumpuk

dan lama kelamaan menjadi banyak di dalam darah yang disebut uremia. Gagal

ginjal kronik berarti kehilangan fungsi ginjal yang bisa terjadi secara cepat atau

lambat dalam beberapa tahun.

Keuntungan dialisis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis

antara lain, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan

tidak memerlukan fasilitas khusus sehingga dapat dilakukan di setiap rumah

sakit. Saat ini banyak dilakukan dialisis melalui peritoneum. Dimasukan sebuah

kateter didalam peritoneum kemudian dialirkan cairan dialisat. Cairan tersebut

disimpan dalam peritoneum beberapa jam, kemudian dialirkan keluar bersamaan

dengan hasil pembuangan tubuh.

CAPD (continous ambulatory peritoneaal dialysis) adalah salah satu bentuk

dialisis peritoneal kronik untuk pasien dengan gagal ginjal terminal. End Stage

Renal Disease (ESRD) terjadi ketika ginjal mengalami kerusakan tahap akhir,

dimana ginjal tidak dapat bekerja dengan baik untuk menjaga keseimbangan zat-

zat kimia tubuh yang diperlukan untuk hidup. Gagal ginjal terminal merupakan

stadium akhir gagal ginjal kronik saat pasien sudah tidak dapat lagi

2

dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal

replacement therapy). Pada saat ini pasien memerlukan dialisis sebagai terapi

pengganti.

Dalam pemilihan dialisis dengan cara hemodialisis ataupun peritoneum

dialisis, haruslah sesuai dengan kondisi pasien. Penting dipertimbangkan

keuntungan dan kerugian akibat tindakan yang diambil.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Peritoneum

Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus

organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus dan lain-lain. Di dalam rongga

perut ini terdapat banyak sel-sel darah kecil (kapiler) yang berada pada

satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialysis pada sisi yang lain.

Rongga peritoneum berisi ± 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi /

pelicin dari membran peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga

peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan

gangguan.

Membran peritoneum merupakan lapisan tipis bersifat semi

permeable. Luas permukaan ± 1,55m2 yang terdiri dari 2 bagian, yaitu:

a. Bagian yang menutupi / melapisi dinding rongga perut (parietal

peritoneum), ± 20% dari total luas membran peritoneum.

b. Bagian yang menutup organ di dalam perut (vasceral peritoneum), ±

80% dari luas total membran peritoneum.

Total suplai darah pada membran peritoneum dalam keadan basal ± 60 –

100 ml/mnt.

4

Gambar 1. Rongga peritoneum.

II.2 Dialisis

Dialisis adalah tindakan medis yang tugasnya dalam beberapa hal

sama dengan yang dilakukan oleh ginjal yang sehat. Dialisis diperlukan

apabila ginjal tidak dapat lagi bekerja sesuai dengan yang dibutuhkan oleh

tubuh. Dialisis diperlukan apabila sudah sampai pada tahap akhir

kerusakan ginjal atau gagal ginjal terminal (End Stage Renal Disease)

dimana fungsi ginjal anda tidak lagi dapat kembali berfungsi seperti sedia

kala. Biasanya terjadi apabila kerusakan ginjal sudah mencapai 85–90%.

5

Seperti halnya ginjal sehat, tindakan dialisis juga menjaga agar tubuh

berada dalam keseimbangan. Tindakan dialisis dilakukan untuk membuang

sisa – sisa metabolisme, dan kelebihan cairan agar tidak menumpuk di

dalam tubuh, menjaga level yang aman dari unsur – unsur kimiawi dalam

tubuh seperti potasium dan sodium. Selain itu tindakan dialisis juga untuk

membantu mengkontrol tekanan darah.

Terdapat 2 tipe tindakan dialisis yaitu:

a. Hemodialisis

b. Peritoneal dialisis.

II.3 Hemodialisis

Pada hemodialisis, sebuah ginjal buatan (dialyzer) digunakan untuk

menyaring dan membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan maupun

unsur kimiawi lainnya dari dalam darah. Untuk mengalirkan darah penderita

ke dialyzer, diperlukan semacam akses ke pembuluh darah yang dapat

dilakukan dengan cara bedah minor di tangan maupun paha. Biasanya

hemodialisis dilakukan 2 -3 kali seminggu selama masing – masing 4 -5

jam per tindakan. Namun beberapa petimbangan turut berkontribusi

terhadap waktu yang dibutuhkan untuk tindakan hemodialisa yaitu :

a. Berapa baik ginjal penderita bekerja

b. Berapa berat kenaikan tubuh penderita diantara dua tindakan

hemodialisa

c. Berapa banyak racun yang ada dalam tubuh pasien

d. Berapa besar tubuh penderita

6

e. Tipe dialyzer yang digunakan

Gambar 2. Hemodialyzer

7

Gambar 3: Keuntungan dan kerugian dalam menggunakan hemodialisa

II.4 Prinsip Dialisis Peritoneal

Untuk dialisis peritoneal biasa dipakai stylet catheter untuk dipasang

pada abdomen masuk dalam cavum peritoneum sehingga ujung cateter

terletak dalam cavum douglasi. Setiap kali, 2 liter cairan dialisis dimasukkan

dlamcavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum

bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis

dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di

peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan

8

toksin, lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada

gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya

yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan

masuk kedalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh.

Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti

dengan cairan dialisat baru. Proses ini berlangsung 3–4 kali dalam sehari

selama 7 hari dalam seminggu.

Gambar 4. Dialisis peritoneal.

9

a. Difusi

Membran peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke

rongga peritoneum dan sebaliknya melalui difusi.

Difusi adalah proses perpindahan solute dari daerah yang

berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah, dimana

proses ini berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke dalam

rongga peritoneum. Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma

darah, karena cairan plasma banyak mengandung toksin uremik.

Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan CAPD.

Faktor yang mempengaruhi difusi, yaitu: konsentrasi gradient

antara darah dan cairan dialysis (semakin besar gradien, lebih cepat

difusi) dan luas permukaan dan permeabilitas peritoneum membran

(semakin tinggi nilai semakin cepat difusi).

Gambar 5. Difusi zat terlarut pada dialisis peritoneal.

b. Osmosis

Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi

permeabel dari daerah solute yang berkonsentrasi rendah (kadar air

tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi (kadar air rendah).

10

Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan hidrostatik antara

darah dan cairan dialisat. Osmosis pada peritoneum terjadi karena

glukosa pada cairan CAPD menyebabkan tekanan osmotic cairan

CAPD lebih tinggi (hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan

berpindah dari kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi)

Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak.

Cairan melewati membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu

diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik solute.

Untuk membantu mengeluarkan kelebihan air dalam darah, maka

cairan dialisat menyediakan beberapa jenis konsentrasi yang berbeda :

Baxter : 1,5%, 2,5%, 4,25%, dan Frescenius : 1,3%, 2,3%, 4,25%

c. Ultra-filtrasi

Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan

diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume

cairan intra peritoneal. Peningkatan konsentrasi dekstrosa dalam cairan

dialisis menyebabkan tekanan osmotik untuk ultra-filtrasi. Peningkatan

volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan konsentrasi

glukosa dari cairan dialisat.

d. Konveksi

Molekul yang terlarut bergerak dalam jumlah besar dengan pelarut

(air), yang disebut sebagai konveksi.

e. Jaringan ultra-filtrasi

Jaringan ini yang akan mengatur perbedaan volume cairan yang

dimasukkan ke dalam rongga peritoneum dan yang menguras keluar.

11

f. Penyerapan Limfatik

Sistem limfatik juga akan menyerap sejumlah air dengan zat

terlarut dari proses dialisis tersebut.

Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi :

a. Ukuran & karakteristik larutan

b. Kualitas membran

c. Volume dialisat.

Beberapa agen osmotik selain glukosa juga dapat digunakan, seperti;

agar agar, xylitol, sorbitol, manitol, fruktosa, dextrane, polyanion, asam

amino, gliserol dan glukosa polimer. Proses dialysis pada CAPD terjadi

karena adanya perbedaan antara tekanan osmotik dan konsentrasi zat

terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler.

Dibawah ini komposisi cairan dialisat.

12

Gambar 6. Komposisi cairan dialisis peritoneal.

II.5 Perbedaan Dialisis Peritoneal dan Hemodialisis

Dialisis pada pasien gagal ginjal dapat dilakukan dengan dialisis

peritoneal atau hemodialisis tergantung keadaan atau kondisi pasien dan

fasilitas yang tersedia. Pada saat ini, rumah sakit yang cukup besar

biasanya tersedia hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Pada salah satu

pasien dapat lebih menguntungkan bila dilakukan dialisis peritoneal,

sedang yang lain lebih baikbila dilakukan hemodialisis.

Dialisis peritoneal merupakan tindakan yang lebih sederhana, baik alat

maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat dilakukan di setiap rumah

sakit tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan tanpa persiapan

sebelumnya dan dapat dilakukan dalam beberapa menit setelah dilakukan

keputusan untuk melakukan dialisis. Dialisis peritoneal merupakan pilihan

pada keadaan-keadaan berikut:

a. Bila penggunaan antikoagulan merupakan kontraindikasi.

b. Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang tidak diinginkan

(hemodinamik tidak stabil).

c. Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre-syok.

d. Bayi, anak kecil dan pada usia lanjut yang secara teknis hemodialisa

sukar dilakukan.

e. Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar karena

overhidrasi berat.

f. Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan.

13

g. Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi gagal ginjal akut maupun

tidak.

II.6 CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis)

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah salah satu

bentuk dialisis peritoneal kronik untuk pasien dengan gagal ginjal terminal.

Gagal ginjal terminal merupakan stadium akhir gagal ginjal kronik saat

pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan

memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti

dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. dialisis peritoneal

dapat berupa intermittent peritoneal dialysi, continous cyclicperitoneal

dyalisis dan continous ambulatory peritoneal dyalisis.

a. Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD). IPD dilakukan 3-5 kali per minggu

dan tiap kali dialisis selama 8-14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti

hemodialisis kronik hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih

lama karena efisiensinya jauh dibawah hemodialisis.

b. Continous Cyclic Peritoneal Dyalisis (CCPD) dilakukan setiap hari dan

dilakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis sebanyak 3-4

kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama

12-14 jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum

peritoneum selama 2 ½ - 3 jam.

14

c. Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis (CAPD) dilakukan 3-5 kali per

hari, 7 hari per minggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam kavum

peritoneum (dwell time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-time pada

waktu 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam.

Rongga peritoneal pertama kali telah digunakan untuk dialisi pada

marmut pada 1923 oleh Ganter. Boen mendeskripsikan Intermittent

peritoneal dialisis (IPD) pada 1961, dimana cairan dialisis dimasukkan ke

rongga peritoneal dan kemudian dikeringkan perlahan pada pasien gagal

ginjal. Tenckhoff mengembangkan kateter untuk dialisis dengan

menggunakan alat sirkulasi selama 1960 dan 1970. Sampai pada periode

itu peritoneal dialisis (PD) telah digunakan hanya untuk gagal ginjal akut.

Pada tahun 1976, Continuous ambulatory peritoneal Dialisis (CAPD)

diperkenalkan oleh Popovich et al.

Saat ini, lebih dari 130.000 pasien CAPD di seluruh dunia, yang terdiri

dari 15% dari total dialisis penduduk. Ini adalah bentuk dialisis paling

popular di Kanada, Inggris, Hong Kong dan Meksiko, termasuk di

Indonesia.

CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai

hemodialisis 15 jam per minggu, namun dengan klirens solut dengan berat

molekul antara 1.000-5.000 Dalton (middle molecule) 4-8x lebih besar dari

hemodialisis. Middle molecule dianggap sebagai bahan toksin uremik yang

diduga bertanggung jawab terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat

mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik, namun

penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia tidak cepat, sehingga

15

CAPD sebaiknya dimulai setelah dicapai pengendalian adekuat intoksikasi

metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien.

Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk dialisis yang sudah

mantap dan merupakan dialisis pilihan bagi pasien yang amat muda, usia

lanjut dan penyandang diabetes melitus. Sisanya pemilihan antara CAPD

dan hemodialisa tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan

pasien. Kesederhanaan, keamanan hidup tanpa mesin, perasaan nyaman,

keadaan klinis yang baik, kebebasan pasien merupakan daya tarik CAPD

bagi dokter maupun pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih

memerlukan perhatian adalah komplikasi peritonitis, meskipun saat ini

dengan kemajuan teknologi angka kejadian peritonitis sekecil mungkin.

II.7 Prosedur CAPD

CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah

sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan 7 hari per minggu tidak

adekuat untuk mempertahankan pasien dengan GGK stadium akhir.

Kebanyakan pasien memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat

pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi pasien

dengan sarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena dalam waktu

4 jam baru akan terjadi keseimbangan kadar ureum antara plasma darah

dan cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk mengeluarkan cairan dari

badan dan dapat dicapai dengan cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi

sebanyak 2.000 mL dapat dicapai dengan 2 kali pergantian dengan cairan

16

dialisat 4,25%. Bila ultrafiltrasi dilakukan terlalu cepat dapat terjadi kram,

mual, muntah dan hipotensi ortostatik.

Proses pergantian cairan dialisis ini tidak menimbulkan rasa sakit dan

hanya membutuhkan waktu singkat (± 30 menit). Terdiri dari 3 langkah:

a. Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air

akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis

yang baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

b. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. Proses ini

hanya berlangsung selama 10 menit.

c. Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut

selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.

Gambar 7. Pertukaran cairan pada prosedur CAPD

II.8 Keuntungan, Kerugian dan Kontraindikasi Dialisis Peritoneum

17

Tabel dibawah ini kelemahan dan kerugian dalam menggunakan

Continuous ambulatory peritoneal Dialisis :

Gambar 8. Keunggulan dan kelemahan CAPD

Kontraindikasi CAPD :

1. Hilangnya fungsi membran peritoneum

2. Operasi berulang pada abdomen, kolostomi,

18

3. Ukuran tubuh yang besar (kemungkinan dengan PD yang adekuat tidak

tercapai)

4. Identifikasi problem yang potensial timbul sebelum CAPD dimulai

a.Apakah pasien perlu seorang asisten (keterbatasan fisik / mental)

b.Adakah hernia

c.Penglihatan kurang

5. Malnutrisi yang berat

II.9 Komplikasi Peritoneal Dialisis

Komplikasi yang dapat terjadi pada peritoneal dialisis antara lain

infeksi, perdarahan, herniasi, refluks gastrointestinal, dan aritmia.

Komplikasi infeksi yang sering terjadi termasuk peritonitis.

a. Peritonitis.

Infeksi yang sering terjadi yaitu peritonitis yang dapat terjadi dalam

12-24 bulan. Penyebab tersering peritonitis terjadi akibat kontaminasi

kateter langsung, bisa juga berasal dari intra-abdominal seperti

diverkulitis, namun hal ini jarang terjadi. Tanda-tanda klinis dan gejala

peradangan peritoneal, yaitu sakit dan ketidaknyamanan pada perut,

perih, demam, mual / muntah dan diare atau sembelit. Cairan yang

keluar dari tempat penampungan berwarna seperti awan. Diagnosis

peritonistis harus terdapat 2 tanda dari kriteria dibawah ini, yaitu

1. Cairan dialisat yang berwarna cloudy.

2. Gejala dari peritonitis

3. Kultur positif atau terdapat stain gram pada cairan

peritoneum.

19

Saat ini tingkat infeksi telah menurun dengan peningkatan teknik

pemasangan, pendidikan pasien dan pemberian antibiotik. Untuk

menanggulangi kemungkianan terjadinya peritonitis dapat diberikan

antibiotik yang ditambahkan ke larutan dialisis. Aturan dosis yang

digunakan berbeda tergantung pada sisa urin output dan frekuensi

pemberian dosis. Biasanya dosis antibiotik diinfuskan intra-peritoneal

dalam satu liter kantong larutan dan volume aliran masuk

dikurangi menjadi satu liter untuk beberapa hari. Pemeliharaan dosis

dilanjutkan untuk pasien reguler CAPD atau CCPD.

Infeksi yang sering terjadi selain peritonitis terjadi ditempat penusukan

kateter berupa pus atau kemerahan, rasa sakit, pembengkakan, dan

indurasi. Infeksi tersebut dapat diobati dengan pemberian antibiotik lokal

atau sistemik.

b. Perforasi

c. Perdarahan

d. Herniasi

e. Wasir disebabkan oleh peningkatan tekanan intra-abdomen oleh cairan

dialisat.

f. Refluks gastrointestinal, seperti mual, muntah, nafsu makan buruk dan

perasaan kenyang. Gejala tersebut terjadi karena peningkatan tekanan

perut untuk dialisis solusi dalam rongga peritoneum.

g. Disfungsi ventrikel kiri, LVH dan jantung aritmia.

h. Hemoperitonitis

II.10 Pasien dengan CAPD

20

Keuntungan yang paling utama pasien GGK stadium akhir dengan

CAPD adalah hidup tanpa mesin yang memberikan kebebasan yang lebih

dari pada terapi lain. Kesederhanaan, keamanan, hidup tanpa mesin,

perasaan yang nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan, biaya yang

relatif murah, merupakan daya tarik CAPD baik bagi dokter maupun bagi

pasien.

Rehabilitasi pasien dengan CAPD ternyata sama saja dengan pasien

teknik lain. Telah dilaporkan beberapa perubahan fisis ke arah perbaikan

antara lain menstruasi dapat teratur, nafsu seks kembali, gatal-gatal

menghilang, tumbuhnya rambut di ketiak dan dada, perubahan warna dan

kekeringan kulit dan sebagainya. Pada pasien dengan usia dibawah usia 50

tahun, CAPD tidak mengganggu dan mengurangi kepuasan hubungan

kelamin, sedangkan di atas 50 tahun terjadi penurunan aktivitas seks

mungkin karena penyakit kroniknya.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Ed 2. Jakarta. EGC.

2005: 803-804.

2. Sedoyo AW, Setiyohadi B, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Ed 5.

Jakarta. Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2009. 1053-1057.

3. Iqbal et al. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly

Patients with Diabetes: Early Experience from Bangladesh. Advances in

Peritoneal Dialysis 2005;21:85-9.

4. Wilcox, M H. Burden, R P. Morgan, A G. Peritonitis complicating

countinuous ambulatory dialysis in Nottingham 1983-1988. J Med Microbiol.

Vol 34: 1991, 137-141.

5. Schuetz, C E. Training a continuous ambulatory paritoneal dialysis patient

with one functional arm. Advances in peritoneal dialysis, vo 21,2005.

6. Investigation of continuous ambulatory peritoneal dialysis fluid. Standar unit

departement for evaluation standards and training. No 5.1, 2009.

7. Munib, S. Continuous ambolatory peritoneal dialysis. Gomal Journal of

medical sciences. Vol 4, No 2, Jul-Dec 2006.