BUNCH Desember 2014 Vol: 9

20

description

"The Urban Life" - Bagaimana psikologi melihat beberapa fenomena yang terjadi di kehidupan perkotaan? Ketahui lebih lanjut di BUNCH edisi 9 ini!

Transcript of BUNCH Desember 2014 Vol: 9

Page 1: BUNCH Desember 2014 Vol: 9
Page 2: BUNCH Desember 2014 Vol: 9
Page 3: BUNCH Desember 2014 Vol: 9
Page 4: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

04 | BUNCH 6TH DECEMBER 2013

nadia agniaty

PRIBADI

Dewasa ini banyak kafe bertebaran di berbagai pelosok kota. Meskipun banyak kafe yang dapat merogoh kocek yang tidak sedikit namun tetap saja ada yang tetap bersikukuh untuk pergi kesana, kira-kira mengapa demikian?

Page 5: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

biro media bem ikm f.psi ui 2013 | 05

PRIBADI

Dewasa ini banyak kafe bertebaran di berbagai pelosok kota. Meskipun banyak kafe yang dapat merogoh kocek yang tidak sedikit namun tetap saja ada yang tetap bersikukuh untuk pergi kesana, kira-kira mengapa demikian?

Pernahkah anda mendengar istilah ‘Studentpreneur’? Ini merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menyebut mereka yang menjalankan bisnis sembari

mengenyam pendidikan. Meski bukan profesi yang mudah, para studentpreneur ini semakin menjamur. Salah satu yang pernah disebut sebagai studentpreneur ialah Figure of the Issue kita kali ini.

Arry Rahmawan Mungkin belum banyak yang mengenal namanya, namun sepertinya merupakan suatu kewajiban bagi yang tertarik menjadi studentpreneur untuk mengenalnya. Penulis buku Studentpreneur Guide ini telah merintis bisnis sejak ia masih tercatat sebagai mahasiswa S-1 Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Prestasi Kak Arry tidak hanya pada keaktifannya di organisasi serta kemampuannya berbisnis, melainkan juga akademisnya. Ia berhasil lulus S1 dengan IPK 3,97 serta S2 Teknik UI dengan IPK 4,00. Sekarang ia mengajar di Teknik Industri tentang kewirausahaan sambil terus memantau perkembangan bisnisnya.

Dari 0 Hingga 100 Kak Arry mulai berbisnis dari titik nol. Awalnya, ia mencoba berwirausaha menjual stiker, baju, serta kuliner, namun ketiganya gagal lantaran hanya ‘ikut-ikutan’ tren masa kini. Belajar dari pengalaman tersebut, pada tahun 2011 Kak Arry pun mendirikan sebuah bisnis yang sesuai dengan passion-nya, bidang Training. Setelah melakukan riset, ia menemukan bahwa bidang ini memiliki banyak peminat namun sedikit pemain. Berdasarkan hal tersebut, ia memutuskan untuk terlibat dan lahirlah CerdasMulia Training.

Masalah lain muncul ketika kak Arry salah mempercayai rekan, yang berujung pada kerugian. Tak berniat

untuk berhenti, Kak Arry mencari rekan lain. Hingga akhirnya setelah proses belajar ia mampu menemukan tim yang tepat dan solid. Tiga tahun sejak bisnis ini didirikan, Kak Arry berhasil mengembangkannya menjadi CerdasMulia Group yang telah terdiri dari empat unit usaha: CerdasMulia Training, Young Trainer Academy, Lingkar Trainer Muda, dan Al Kindi Daycare.

Antara Pendidikan Dengan Bisnis Hal yang menjadi tantangan untuk memasuki dunia studentpreneur ialah kemampuan menyeimbangkan pendidikan dengan bisnis. Walaupun begitu, hal tersebut seharusnya tidak membuat calon studentpreneur menyerah. Semua risiko yang akan muncul harus diambil sebagai proses pembelajaran. Buktinya saja, meski sambil melakoni bisnis, Kak Arry tetap berhasil lulus dengan IPK cum laude. Kak Arry mengatakan bahwa nilai yang ia dapat bukan karena ia menguasai teori, melainkan karena ia melakukan apa yang diajarkan dosen di lapangan. Ia juga menambahkan, “Orang-orang hebat muncul karena dia terbiasa berada dalam zona kendala yg menuntut dia untuk hidup lebih keras dan cerdas.”

Untuk Semua (Calon) Entrepreneur “Pilih bidang yang benar-benar sesuai dengan passion Anda. Sadari bahwa studentpreneur adalah jalan untuk para pekerja keras dan tidak cocok untuk mereka yang malas atau biasa saja. Jika bisnis Anda sudah ada hasilnya, putar kembali untuk memperbesar bisnis. Jangan digunakan untuk hal-hal yang konsumtif dan boros. Entrepeneurship menurut saya lebih ke arah bagaimana kita menghasilkan dampak positif ke masyarakat, dibandingkan untuk menumpuk kekayaan secara pribadi. Jangan lupa untuk terus melakukan networking. Berteman dengan orang-orang baru, untuk menemukan peluang-peluang baru.”

Putri Bayu

istimewa

Page 6: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

Berbagai fenomena terjadi di kehidupan perkotaan. Fenom-ena tersebut kerap menjadi hal yang menarik untuk kita amati. Apa saja fenomena yang banyak terjadi di perko-

taan? Mari simak wawancara tim redaksi BUNCH dengan Mbak Rizka Halida, dosen Psikologi Perkotaan di Fakultas Psikologi UI berikut.

Mbak, sebagai dosen perkotaan sekaligus urbanist, fenomena apa yang sedang happening di kota akhir-akhir ini? Menurutku, media sosial. Yang sangat terlihat sedang marak dari kaum urbanist yaitu media sosial yang dijadikan sa-rana bullying. Media sosial yang menimbulkan perpecahan dua kaum, yaitu agamis dan sekuler. Media sosial seringkali menjadi sumber yang membuat heboh.

Contohnya, Mbak? Banyak yang bisa kita lihat, mulai dari awal pemilu hingga yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, yaitu mengenai kasus menteri kelautan dan perikanan Ibu Susi Pu-jiastuti. Para kaum agamis menunjukkan respon kontra dan memberikan berbagai macam hujatan karena sosoknya yang ternyata seorang perokok dan memiliki tattoo pada tubuhnya. Di sisi lain, kaum sekular sangat pro terhadap Ibu Susi. Mereka langsung membeberkan keunggulan-keunggulan Ibu Susi se-bagai entrepreneur di bidang perikanan tersebut.

Kira-kira mengapa bisa demikian ya, Mbak? Masyarakat kota merasa tersekat-sekat, sehingga membuat mereka tidak bebas berekspresi. Di kota, banyak aturan yang mengontrol tingkah laku masyarakatnya. Oleh ka-rena itu banyak dari mereka yang mengekspresikannya di sosial media. Beberapa waktu lalu Mas Robby melakukan penelitian

bersama lembaga Bivrokat mengenai status pada media sosial orang-orang yang berasal dari kota. Hasil analisis data tersebut menyatakan bahwa apa yang orang-orang kota tulis di status media sosialnya benar-benar merepre-sentasikan diri mereka, bukan yang mereka ingin orang lain persepsikan tentang mereka. Orang kota menjadikan media sosial sebagai alat berekspresi yang bebas.

Perbedaan apa yang paling signifikan terlihat antara masyarakat urban dan masyarakat nonurban, Mbak? Menurutku hal yang paling signifikan yaitu pace, atau ritme wakunya. Masyarakat nonurban cenderung lebih lambat dibanding dengan masyarakat urban. Mereka mempersepsikan 24 jam itu lebih lama. Bisa dilihat dari banyak hal, seperti cara berjalan, cara berbicara, dan saat mengerjakan suatu hal. Masyarakat nonurban juga masih sangat terikat dengan kesetaraan atau hierarki. Mereka yang memiliki jabatan seperti Ketua RT, RW, dan Camat diperlakukan lebih baik dibanding masyarakat biasa. Se-mentara itu di mayarakat urban hal tersebut sudah tidak terasa lagi.

Terakhir Mbak, apa saja keuntungan menjadi kaum urban? Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali keuntungan menjadi kaum urban. Misalnya, sudah terse-dianya fasilitas yang memadai sehingga kita tidak perlu khawatir tentang listrik. Begitu pula dengan pendidikan di perkotaan yang sudah memiliki kualitas bagus. Perkem-bangan teknologi di kota pun juga lebih maju, misalnya akses intenet yang sekarang mudah ditemui sehingga sumber pengetahuan terasa lebih dekat dan mudah.

What’s Happening with

Urbanist?bersama

Rizka Halida, S.Psi., M.Si.

06 | BUNCH 9TH Edition / Desember / 2014

made cynthia a. p.

fadhillah eryananda

“Urbanism is the most advanced, concrete fulf illment of a nightmare. Littre def ines nightmare as ‘a state that ends when one awakens with a start after extreme anxiety.’ But a start against whom? Who has stuffed us to the point of somno-lence?” - Tom McDonough, The Situationists and the City: A Reader

Page 7: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

Familiar dengan kata-kata “The city that never sleeps”? Kata-kata tersebut awalnya merupakan julukan untuk kota New York, kota yang jalanan dan tempat umumnya

dikabarkan selalu ramai selama 24 jam. Seiring berjalannya waktu, sebutan itu menjadi sebutan untuk kota-kota besar di negara lain yang mengalami fenomena serupa. Apa yang membuat sistem kota yang aktif 24/7 ini ada di sebagian dae-rah dan tidak di daerah lain?

Lingkungan 24/7, menurut Tan dan Klaasen (2007), adalah lingkungan dengan orientasi waktu yang demokratis, di mana sarana tersedia selama 24 jam sehari, 7 hari sem-inggu. Pengguna sarana dapat melakukan berbagai macam aktivitas yang biasanya hanya dapat mereka lakukan di jam kerja (working hours), tanpa terbatas oleh waktu.

Kepadatan aktivitas Dibandingkan dengan lingkungan pedesaan, pen-duduk di lingkungan kota lebih terpapar efek era globalisasi yang menambah kemungkinan persaingan dan kerjasama antarnegara (Hunter, White, & Godbey, 2006). Persaingan ini membuat mereka perlu menyamakan diri mereka dengan standar global agar dapat bersaing dengan kompetitor-kompetitor global dalam meraiah kesuksesan pribadi atau kesuksesan organisasi, daerah, atau negara (Institute of Medi-cine and National Research Council, 2005). Masyarakat kota juga dapat dibandingkan dengan masyarakat desa dalam hal fokus dan motif dalam bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari. Milgram (1974) menyebutkan bahwa dalam ke-hidupan di kota yang padat, ada fenomena overload yang terjadi para penduduknya. Fenomena ini terjadi saat sese-

orang tidak mampu memproses suatu informasi karena ter-lalu banyak informasi hadir pada saat bersamaan. Menurut Milgram, kita beradaptasi dengan fenomena ini salah satun-ya dengan mengalokasikan waktu yang singkat untuk berba-gai interaksi dan membentuk tempo penduduk yang cepat dan hectic.

Urban RhythmSelain lebih mempertimbangkan perkembangan global, penduduk di kota-kota besar juga berorientasi pada penye-diaan jasa, bukan pada industri dan produksi barang (Rodi-onova & Sholudko, 2008). Tidak seperti produksi barang yang memiliki angka target dan jam kerja tetap, penyediaan jasa sangat tergantung pada permintaan dan ketersediaan kon-sumen. Untuk memfasilitasi jangkauan konsumen yang luas, penyedia jasa harus menyediakan pemenuhan kebutuhan (transportasi, rekreasi, dll) di luar jam kerja target konsumen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kepadatan aktivitas mengharuskan penyedia jasa untuk siap sedia dalam waktu-waktu yang lebih. Dengan demikian, ritme urban 24/7 yang terkesan non-stop dalam sebuah kota dapat dimiliki karena adanya interaksi dari individu/kelompok pekerjaan yang ber-beda, dengan ritme temporal yang berbeda (Tan & Klaasen, 2007).

Pengaruh Konteks Sosial-BudayaBerkembangnya suatu sistem di suatu lingkungan bergan-tung pada partisipasi dan antusiasme masyarakat di lingkun-gan tersebut. Oleh karena itu, salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar pada berkembangnya sistem 24/7 adalah konteks sosial-budaya dari lingkungan. Dalam masyarakat yang cenderung memiliki tingkat partisipasi impulsif yang

The 24/7City

“I want to wake upin a city that never sleepsAnd f ind I’m a number one, top of the listKing of the hillA number one” – Frank SInatra

Biro Media / BEM Fakultas Psikologi UI / 2014 | 07

ALBERTUS CHRISTIAN

dHIA rAHMI p.

Page 8: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

tinggi, suatu sistem akan lebih mudah dipertahankan dan dikembangkan (de Boer, 1990, dalam Tan & Klaasen, 2007). Contoh lainnya, menurut Peper dan Dulk (2003), daerah yang menjunjung tinggi kebersamaan dengan orang terdekat dan daerah yang memiliki budaya yang mengutamakan pencapaian dan karir, tentu akan me-nanggapi kesempatan-kesempatan yang disediakan sis-tem 24/7 secara berbeda (dalam Tan & Klaasen, 2007).

Kelebihan & Kekurangan 24/7 City Seperti yang telah dibahas sebelumnya, salah satu alasan sistem 24/7 dijalani penduduk kota besar ada-lah padatnya aktivitas yang berorientasi pada perkem-bangan kompetensi global. Jika dilaksanakan dengan sesuai, sistem 24/7 yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan selama 24 jam dapat memfasilitasi penduduk dalam aktivitas pengembangan kompetensi tersebut dan memfasilitasi mekanisme adaptasi terhadap overload yang dilakukan penduduk kota tersebut. Hal tersebut da-pat meningkatkan kemungkinan peningkatan daya saing penduduk kota tersebut. Selain dampak positif, sistem 24/7 juga tentu memiliki dampak negatif bagi lingkungan yang menga-dopsinya. Dengan penambahan jam kerja ataupun pem-berian jam kerja dalam waktu yang ‘tidak biasa’, akan se-makin sedikit kesempatan yang dimiliki seorang pekerja untuk memenuhi perannya sebagai anggota keluarga. Dalam penelitian Amstad et al. (2011), terdapat korelasi yang signifikan antara jam kerja dengan konflik antara peran di tempat kerja dan peran dalam keluarga (work-family conflict). Menurut beberapa referensi, jam kerja yang tidak normal juga dapat mengubah circadian rhythm,

yang berdampak negatif pada kesehatan fisik, kesehatan mental, kepuasan kerja, kelainan tidur, dan kehidupan sosial (Aamodt, 2010), yang merupakan salah satu faktor penentu well-being seorang individu. Fenomena over-load yang dinyatakan oleh Milgram (1974) juga dapat mengurangi kualitas interaksi dalam kehidupan di kota.

Dari hal-hal yang telah dibahas di atas, apakah kotamu termasuk 24/7 city? Sudah siapkah kotamu untuk menggunakan sistem lingkungan 24/7?

Referensi:Aamodt, M. G. (2010). Industrial/organizational psychology: An applied approach (6th Ed.). U.S.A.: Wadsworth.Amstad, F. T., Meier, L. L., Fasel, U., Elfering, A., & Semmer, N. K. (2011). A meta-analysis of work-family conflict and various outcomes with a special emphasis on cross-domain ver sus matching-domain relations. Journal of Occupational Health Psychology, 16(2), 151-169. DOI: 10.1037/a0022170Hunter, B., White, G. P., & Godbey, G. C. (2006). What does it mean to be globally competent?. Journal of Studies in International Education, 10(3), 267-285. DOI: 10.1177/1028315306286930Institute of Medicine and National Research Council. (2005). Growing up global: The changing transi tions to adulthood in developing countries. Washington, DC: The National Academies PressRodionova, I. A., & Sholudko, A. N. (2008). The transformation of labour and employment in post- industrial society. Bulletin of Geography: Socio-Economic Series, No. 9. DO: 10.2478/v10089-008-0002-xTan, W., & Klaasen, I. (2007). Exploring 24/7 environments. The Town Planning Review, 78(6), 699-723. Milgram, S. (1974). The experience of living in cities. Crowding and behavior,167, 41.

08 | BUNCH 9TH Edition / Desember / 2014

ALBERTUS CHRISTIAN

Page 9: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

Biro Media / BEM Fakultas Psikologi UI / 2014 | 09

aNINDITA K.A.

dHIA rAHMI p.

Page 10: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

cANIA MUTIA

Workout With Partner

“Take care of your body, it’s the only place you have to live.”- Jim Rohn

Gaya hidup masyarakat menciptakan arah perkembangan suatu kota, perkembangan kota pun mempengaruhi gaya hidup orang yang berada didalamnya. Dampak dari

gaya hidup dan kota adalah masalah kesehatan, kebugaran, kesenggangan, dan interaksi-sosialisasi, sehingga muncul pusat kebugaran yang dapat mewadahi seluruh unsur yang dibutuhkan oleh masyarakat urban (Wijayanti, 2009).

Manfaat Olahraga Secara Umum Sebuah penelitian mengenai olahraga pada partisipan yang berjumlah 5.555 orang, membandingkan orang yang teratur berolahraga dan orang yang tidak rutin melakukan olahraga. Hasilnya menunjukkan bahwa 2.708 partisipan yang berolahraga secara teratur cenderung lebih muda (Mail, Fallah, Searle, Mitnitski, & Rockwood, 2008).

Buku ‘Rahasia Hidup Sehat 30 Orang Tertua di Dunia’ yang ditulis oleh Zaenuddin (2014) memaparkantips-tips hidup sehat 30 orang tertua di dunia. Orang-orang tersebut berusia antara 113-165 tahun, atau setara dengan dua sampai tiga kali usia kebanyakan orang Indonesia. Mereka mengatakan kunci umur panjang mereka adalah penerapan pola hidup sehat.

Manfaat Olahraga Bersama Studi tentang wanita menemukan bahwa wanita yang berolahraga bersama partner, membakar lebih banyak kaloridaripada wanita yang olahraga sendiri, yaitu sekitar 236 kaloribila olahraga bersama, dan 195 kalori bila olahraga sendiri (Cody Blog, 2014).

Studi lain oleh Society of Behavioral Medicine dilakukan untuk melihat efek olahraga bersama partner terhadap kerja jantung. Mereka menemukan bahwa melakukan latihan aerobik dengan partner dapat meningkatkan hasil yang diharapkan. Olahraga dengan partner dapat mendorong tubuh anda melakukan usaha lebih dari biasanya (Irwin, Sconiaenchi, Kerr, Eisenmann, & Felts, 2012).

Seorang psikoterapis pernikahan dan penulis asal New York, Dr. Jane Greer (dalam Dunham, 2012) juga mengatakan: “Ketika pasangan berolahraga bersama, hal tersebutdapat mengurangi stres dalam hubungan dan juga membangun komunikasi yang lebih baik untuk mencapai tujuan bersama.”

MANFAAT OLAHRAGASECARA UMUM

MANFAAT OLAHRAGABERSAMA

2.708 partisipan yang berolahraga secara teratur cenderung

lebih muda

Kunci umur panjang: penerapan pola

hidup sehat113-165 TAHUN

Wanita yang berolahraga bersama partner membakar

lebih banyak kalori (236 kalori)daripada wanita yang

olahraga sendiri (195 kalori)

Olahraga dengan partner dapat mendorong tubuh anda melakukan usaha

lebih dari biasanya

10 | BUNCH 9TH Edition / Desember / 2014

sYADZWINA HASYYATI

Referensi:Cody Blog. (2014). Workout partner success statistics & exercise. Diunduh dari http://blog.codyapp. com/workout-partner-motivation-exercises/Dunham, D. (2012). Could exercise be your key to happily ever after?. You beauty: 11 May 2012.Irwin, C. B., Scorniaenchi, J., Kerr, N. L., Eisenmann, J., & Feltz, D. L. (2012). Aerobic exercise is promoted when individual performance affects the group: A test of the Kohler motivation gain effect. Diunduh dari http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs12160-012-9367-4Mail, R. E. H., Fallah, N., Searle, S. D., Mitnitski, A., & Rockwood, K.(2008). Impact of exercise in community-dwelling older adults. Diunduh dari http://www.plosone.org/article/ info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0006174Wijayanti, K. (2009). Fenomena pusat kebugaran dalam perkembangan kota. Depok: Universitas Indonesia.Zaenuddin, H. M. (2014). Rahasia hidup sehat 30 orang tertua di dunia. Jakarta: Pustaka Inspira.

Page 11: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

Biro Media / BEM Fakultas Psikologi UI / 2014 | 11

Masyarakat yang Dinamis,StresMasyarakat yang

Salah satu masalah yang khas ditemukan pada perkotaan, khususnya Jakarta, adalah kemacetan. Meskipun de-mikian, sejak bulan Juni tahun 2013 lalu, masyarakat Jakarta dan terutama kota-kota penyangga di sekitarnya (bodetabek) merasakan sedikit kenyamanan baru. Kenyamanan tersebut adalah berlakunya sistem e-ticketing

pada KRL Commuter Line (CL). Dengan perubahan ini, sistem transportasi CL menjadi lebih teratur dan nyaman. Akh-irnya, banyak masyarakat yang tinggal di sekitar Jakarta, seperti Depok, Tangerang, Bogor, dan Bekasi beralih meng-gunakan angkutan ini untuk pergi ke suatu tempat, terutama ke tempat kerja. Pergerakan dinamis mereka menuntut sistem tranportasi yang cepat dan teratur. Ada sekitar 600.000 orang yang menggunakan CL setiap hari. Bertambah banyaknya penumpang tentunya menimbulkan dampak pada penumpang yang menggunakan CL sebagai transportasi sehari-hari. Salah satu yang terkena dampak adalah sisi psikologis dan fisik.

STRES Stres adalah salah satu efek psikologis besar yang ditimbulkan dari penggunaan CL. Menurut Cassidy (1992), pengguna jasa transportasi publik, khu-susnya seperti CL, mempunyai tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan den-gan pengemudi mobil pribadi. Dalam penelitian Evans dan Wener (2006), ditemu-kan hasil yang serupa, yaitu pengguna commuter rail di US juga memiliki tingkat stres yang tinggi. Stres yang dialami ini ternyata juga dapat mempengaruhi aspek kesehatan mereka.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Ada beberapa hal yang mempengaruhi stres pada pengguna CL. Pertama adalah waktu bepergian. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan CL, se-makin tinggi tingkat stres yang dialami. Kedua adalah kece-patan CL yang dinaiki. Semakin lambat, maka semakin lama waktu yang diperlukan sehingga tingkat stres juga semakin tinggi. Faktor lainnya adalah kepadatan penumpang dan kebisingan yang dirasakan penumpang (Evans, dalam Evans & Wener, 2006).

Mengatasi Stres pada Penumpang Commuter Line Dua cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres pada orang-orang yang menggunakan CL sebagai alat transportasi sehari-hari adalah mengevaluasi dan memperbaiki sistem yang ada, serta mengurangi jumlah penumpang (Cassidy, 1992). Contohnya adalah menambah rangkaian kereta yang beroperasi pada jam-jam sibuk untuk mengurangi kepadatan penumpang. Perbaikan sistem pada trans-portasi lain mungkin juga dapat mengurangi orang yang menggunakan CL sebagai alat transportasi sehari-hari.

“You can’t understand a city without using its public transportation system.” – Erol Ozan

Referensi: Cassidy, T. (1992). Commuting-related stress: Consequences and implications. Employee Counselling Today, 4, 15. Proquest Document Id: 198451185Evans, G. W., & Wesner, R. E. (2006). Rail commuting duration and passenger stress. Health Psychology, 25, 408-412. doi: 10.1037/0278-6133.25.3.408

ANINDITA K. A.

DESCHA ANNISA

Page 12: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

10 | BUNCH 6TH DECEMBER 2013

Lost in Translation“I just feel so alone, even when I’m

surrounded by other people.”–Charlotte

LOST IN TRANSLATION: SUMMARY

Lost in Translation, sebuah film yang mengambil setting kota megapolitan Tokyo, menceritakan dua orang yang mulanya tidak saling mengenal. Cerita bermula dari

kedatangan Bob, seorang aktor veteran, yang berada di Tokyo untuk membintangi iklan wiski. Walaupun disambut oleh kru yang sangat antusias, Bob merasa kebingungan dan tak nyaman karena tidak memahami budaya dan bahasa yang digunakan oleh kru produksinya (IMDB, 2013).

Lelah berurusan dengan pekerjaannya, setiap malam ia beranjak ke bar hotel. Disana ia kerap bertemu dengan Charlotte yang merupakan istri seorang fotografer. Suatu malam di bar tersebut, Bob dan Charlotte akhirnya bercakap-cakap dan mulai saling mengenal. Ternyata Bob dan Charlotte sebenarnya memiliki masalah yang sama. Mereka sama-sama merasa kesepian di Tokyo yang ribut dan sibuk. Berdua, mereka membangun hubungan yang ganjil antara pria paruh baya dengan wanita muda.

FEELING LONELY IN LARGE CROWDS? Menurut sosiolog Georg Simmel (1903, dalam Wilsey, 2010), masyarakat kota mengadopsi beberapa tingkah laku tertentu yang berbeda dengan tingkah laku masyarakat pedalaman. Kota Tokyo sebagai sebuah kota megapolitan juga tak terlepas dari teori ini. Pembeda utama antara masyarakat kota dengan pedalaman adalah intensnya stimuli yang diterima masyarakat kota, misalnya stimuli visual, hiduan, dan suara. Bombardir stimuli ini menyebabkan tempo di kota lebih cepat ketimbang di pedalaman (Simmel, 1903, dalam Wilsey, 2010). Stimuli berlebih ini tidak dapat diterima mentah-mentah karena akan menyebabkan overload, yakni keadaan dimana paparan stimuli yang diberikan terlalu banyak untuk diterima sehingga tidak dapat diproses lagi oleh energi mental. Masyarakat kota harus beradaptasi terhadap hal tersebut dengan cara mengatur prioritas dan memilih stimuli mana yang akan diproses lebih

lanjut (Milgram, 1970).Overload yang terus-menerus memicu munculnya blasé attitude, yakni satu sikap yang di antaranya ditandai dengan tingkah laku diam dan menjaga jarak, apati serta ketidakterikatan (Simmel, dalam Weinstein, 1950). Blasé attitude unik terjadi di masyarakat kota dan tidak ditemukan di masyarakat lain (Simmel, 1903, dalam Wilsey, 2010). Ini dapat dikaitkan dengan keadaan Bob dan Charlotte sebelum mereka menjalin hubungan. Awalnya, sikap mereka netral terhadap kota Tokyo, namun bombardir stimuli yang diberikan Tokyo dan masyarakatnya menyebabkan Bob dan Charlotte sama-sama mengalami overload. Oleh karenanya, mereka mengadopsi blasé attitude. Mereka menjadi apatis dengan lingkungan maupun masyarakat Tokyo.

Lebih lanjut, Simmel (1903, dalam Weinstein, 1950) menjelaskan ada dua fungsi penting dari blasé attitude. Pertama, sebagai bentuk perlindungan psikologis masyarakat kota dari bombardir stimuli. Kedua, untuk menjaga rasa individualisme dan kebebasan masyarakat kota. Rasa individualisme dan kebebasan ini diwujudkan masyarakat kota dengan melakukan sesuatu yang berbeda dari rutinitas mereka. Oleh karena itulah di Tokyo, Charlotte dan Bob melarikan diri dari kebosanan mereka dengan menjelajahi sudut-sudut kota Tokyo. Mereka berkunjung ke berbagai tempat hiburan yang tidak lazim serta berinteraksi dengan orang-orang baru. Dari sana, Bob dan Charlotte menemukan kebebasan mereka kembali.

Referensi:IMDB. (2013). Lost in Translation. Diperoleh dari http://www.imdb.com/title/tt0335266/synopsis?ref_=tt_stry_plMilgram, S. (1970). The experience of living in cities. Science, 167 (3924), 1461-1468. doi: 10.1126/science.167.3924.1461Weisntein, D. (1950). The sociology of Georg Simmel. New York: Free Press. Diperoleh dari condor.depaul.edu/dweinste/theory/M&ML.htmWilsey, M. (2010). The metropolis and mental life. Diperoleh dari http://modernism.research.yale.edu/wiki/index.php/The_Metropolis_and_Mental_Life

dariatus sadiah

istimewa

12 | BUNCH 9TH Edition / Desember / 2014

Page 13: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

biro media bem ikm f.psi ui 2013 | 11

Bangun pagi, mandi, berangkat dengan terburu-buru, melawan dingin pagi untuk mengejar kereta ke kampus atau pun tempat kerja. Kadang sarapan, seringnya

tidak. Melakukan aktivitas dengan cepat dan berharap segalanya cepat berakhir agar bisa segera kembali ke rumah. Setibanya di rumah, sudah terlalu lelah untuk bertegur sapa dan mengutuk betapa sedikitnya waktu yang kita miliki.

Lalu, apa yang sebenarnya kita lakukan? Apa yang kita kejar hingga hari-hari hanya sebatas rentetan peristiwa tanpa makna hingga kita lupa ini tanggal berapa dan betapa cepatnya waktu berlalu?

Inilah yang kita lihat sehari-hari atau mungkin yang kita alami di Jakarta. Orang-orang dengan langkah cepat dan tak lupa earphone yang selalu terpasang di telinga mereka tiap hari. Berusaha mengejar waktu untuk sampai di tujuan, namun pada akhirnya waktu lah yang mengejar kita. Mengikat kita dalam rutinitas hingga kita merasa stres terhadap apa yang kita hadapi.

Hal ini ternyata dibuktikan oleh data yang menunjukkan bahwa 14% warga Jakarta mengalami stres (Koran Jakarta, 2009), bahkan 385.700 warga Jakarta mengalami gangguan jiwa, yang membuat Kota Jakarta berada di urutan pertama di Indonesia sebagai kota yang terdapat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) terbanyak (Kusuma, 2014).

Kemudian kita bertanya, kenapa Jakarta bisa berada di urutan pertama kota dengan ODGJ terbanyak padahal Jakarta memiliki fasilitas kesehatan jiwa yang lebih memadai daripada kota lainnya? Bella, Direktur RSJ Soeharto Heerdjan Grogol, mengatakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi (Kusuma, 2014). Pertama, tekanan hidup akibat pekerjaan dan adanya perubahan

cepat memaksa warga Jakarta untuk cepat berubah. Penyebab kedua dan penyebab yang menjawab pertanyaan kita dengan baik adalah kurangnya kesadaran warga Jakarta tentang kesehatan jiwa itu sendiri.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Pada zaman serba cepat seperti saat ini, apakah kita harus meninggalkan segala kemudahan yang kita dapatkan? Jawabannya tidak. Siapa yang tidak bersyukur dengan adanya commuter-line yang membuat kita dapat sampai dengan cepat di tujuan? Namun di balik segala kemudahan dan kecepatan yang kita miliki, kita seharusnya tetap peduli dengan kesehatan jiwa kita.

Tidak perlu ke psikolog tiap minggu untuk mendapatkan kesehatan jiwa yang baik. Cukup dengan menyempatkan waktu untuk berbincang dengan keluarga tentang hal sehari-hari dan saling mendukung satu sama lain. Cukup dengan memperlambat sejenak rutinitas kita dan melihat betapa beruntungnya kita dibandingkan orang-orang di sekitar kita. Cukup dengan meningkatkan kepedulian terhadap diri, terhadap kesehatan jiwa kita, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kita yang selama ini terabaikan.Lalu, marilah kita memperlambat langkah kita sejenak dan melihat apakah jiwa kita sudah cukup sehat? Tingkatkan kesehatan jiwa kita karena ia yang bahagia adalah ia yang sehat jiwa.

Referensi:Koran Jakarta. (2 Oktober 2009). Kesemrawutan picu satu juta orang stress. Koran Jakarta, pp.6. Kusuma, H. (2014, April 11). Penderita gangguan jiwa di Jakarta meningkat. Berita Jakarta. Diperoleh dari http://beritajakarta.com/read/1373/Penderita_Gangguan_Jiwa_di_Jakarta Meningkat#.VE9XMGeSyip

Berhenti Sejenak“When you accelerate things that should not be accelerated, when you forgot how to slow down, there is a price to pay.”

Carl Honoré (In Praise of Slowness - 2005)

Departemen Kajian Strategis BEM FPsi UI 2014

amindari fitriyanti

Biro Media / BEM Fakultas Psikologi UI / 2014 | 13

Page 14: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

10 | BUNCH 6TH DECEMBER 2013

Menilik Komunitas Seni di Perkotaan

Terdapat beragam kelompok atau komunitas yang menghiasi kehidupan masyarakat perkotaan. Mereka bergerak dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial,

politik, kesehatan, lingkungan, dan masih banyak lagi. Tak terkecuali bidang seni. Kelompok atau komunitas seni yang sudah tak terhitung jumlahnya ini memberikan banyak kontribusi dalam menciptakan heterogenitas perkotaan.

Salah satunya adalah Komunitas Pensil Kertas di Kota Bandung. Komunitas ini dibentuk oleh sekumpulan siswa jurusan seni di sebuah sekolah kejuruan di Kota Bandung, yang memiliki hobi menggambar dan komunitas ini diresmikan pada Februari 2009. Melalui komunitas ini, warga Bandung diajak untuk ikut menuangkan impian dan merancang masa depan Kota Bandung dengan menggambar sketsa (Budi, 2012). Setiap hari Minggu, bertepatan dengan kegiatan car free day yang diadakan secara rutin, komunitas ini berkumpul dan bersama-sama menggambar sketsa, karikatur, ilustrasi, maupun komik di sepanjang trotoar Jalan Dago. Selain berkegiatan setiap hari Minggu, para anggota komunitas ini juga berkumpul setiap hari Sabtu untuk berdiskusi dan mempelajari berbagai teori tentang ilmu seni rupa (Budi, 2012).

Selain Komunitas Pensil Kertas, terdapat sebuah komunitas seni yang tak kalah unik di Jakarta, yaitu Komunitas Seni Taman Suropati (biasa disebut sebagai “Kota Seni Suropati”). Komunitas yang berdiri sejak Februari 2008 ini menjadi wadah bagi banyak orang yang tertarik pada dunia seni, baik seni sastra, seni rupa, maupun seni musik. Para anggotanya biasa beraktivitas setiap akhir pekan di Taman Suropati, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Kegiatan yang dilakukan antara lain menggelar diskusi sastra, membuat konsep teater, latihan musik bersama, hingga menggelar kegiatan besar setiap tiga bulan sekali berupa pertunjukan konser musik, pameran seni rupa, musikalisasi

puisi, dan pertunjukan teater yang semuanya digelar di Taman Suropati (Utami & Rachmawati, 2014). Teman-teman yang ingin mengenal dua komunitas seni ini lebih jauh lagi dapat mengakses akun Twitter mereka di @PensilKertas dan @kotaseni1.

Baik Komunitas Pensil Kertas maupun Komunitas Seni Taman Suropati memiliki anggota yang tak sedikit jumlahnya. Lantas, apa alasan para anggota bergabung dengan kelompok atau komunitas tersebut? Dalam hierarchy of human needs milik Abraham Maslow, Maslow mengidentifikasi kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki sebagai sesuatu yang menjadi dasar kebahagiaan manusia (Maslow dalam Plotnik & Kouyoumdjian, 2013). Kebutuhan sosial untuk memiliki inilah yang mengarahkan individu untuk bergabung dengan kelompok. Sebagian alasan lain yang mendasari bergabungnya individu ke dalam kelompok adalah karena adanya kebutuhan untuk identifikasi, kedekatan secara fisik, dan kesamaan minat atau tujuan (Aamodt, 2010).

Tak dipungkiri lagi, komunitas seni di perkotaan telah menjadi salah satu wadah bagi para pecinta seni untuk berkumpul, beraktivitas, dan belajar bersama. Melalui keanggotaannya dalam komunitas tersebut, individu jadi terpenuhi kebutuhan sosialnya, mendapatkan identitas, serta tentunya dapat mengenal banyak teman baru yang dapat diajak menggapai mimpi dan cita-cita bersama.

ReferensiAamodt, M. G. (2010). Industrial/organizational psychology: An applied approach (6th ed.). USA: Wadsworth.Budi. (22 Oktober 2012). Komunitas pensil kertas. Paris Van Java. Diperoleh dari http://parisvanjava.web.id/2012/10/komunitas-pensil-kertas/Plotnik, R., & Kouyoumdjian, H. (2013). Discovery series: Introduction to psychology. USA: Wadsworth.Utami, E., & Rachmawati, D. (18 Juli 2014). Mengasah kreativitas di “Kota Seni Suropati”. suara.com. Diperoleh dari http://www.suara.com/lifestyle/2014/07/18/135542/mengasah-kreatifitas-

di-kota-seni-suropati/

Departemen Kresenbud BEM FPsi UI 2014

amindari fitriyanti

14 | BUNCH 9TH Edition / Desember / 2014

Page 15: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

biro media bem ikm f.psi ui 2013 | 11

Did You Know?

Indonesia menduduki posisi ke-16 sebagai Negara dengan tingkat ekonomi tertinggi di dunia (2012)

Di Jakarta, ada sekitar 11.9% jumlah pengangguran sejak 2008 dan akan selalu bertambah

Sejak tahun 2002, Jakarta merupakan kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar di Indonesia (6.7% per tahun)

Sekitar 10% dari total populasi Indonesia hidup dalam garis kemiskinan

#16

OLEH: sarah gracia

amindari fitriyanti

Referensi:Qianqian, L. (2012). Urbanization and Urban Poverty in Southeast Asia. The International Poverty Reduction Center in China. Diakses pada 10 November, 2014. Oberman, R. (2012). The archipelago economy unleashing Indonesia’s potential. Washington, D.C.: McKinsey Global Institute.

Biro Media / BEM Fakultas Psikologi UI / 2014 | 15

sYADZWINA HASYYATI

NADIA AGNIATY

“Car Free Day”

Page 16: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

16 | BUNCH 9TH Edition / Desember / 2014

Page 17: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

Biro Media / BEM Fakultas Psikologi UI / 2014 | 17

Page 18: BUNCH Desember 2014 Vol: 9

Menurun

1. Kota di Indonesia dengan ODGJ terbanyak adalah …………...

2. …………. Pensil Kertas adalah sebuah perkumpulan orang di Bandung yang senang merancang sketsa

5. Kota yang berusaha memenuhi kebutuhan pengun-jung atau turis adalah ………… city

7. Overload yang terus-menerus dapat memunculkan blasé ................

Mendatar3. Tipe penduduk yang memanfaatkan sistem 24/7 untuk bersosialisasi dan berekreasi …………

4. Salah satu faktor yang membuat industri di perko-taan memperpanjang jam operasionalnya adalah karena mereka mengutamakan …………..

6. Jam kerja yang tidak normal dapat mempengaruhi ………… rhythm

8. Salah satu tokoh yang meneliti fenomena overload pada masyarakat kota adalah ……….

9. Overload terjadi karena terlalu banyak ……….

10. Salah satu efek psikologis yang ditimbulkan dari penggunaan Commuter Line setiap hari adalah.......

Jawaban

Mendatar3. Hedonist 4. Konsumen 6. Circadian 8. Milgram 9. Stimulus 10. Stress

Menurun1.Jakarta 2. Komunitas 5. Tourist 7. Attitude

18 | BUNCH 9TH Edition / Desember / 2014

Page 19: BUNCH Desember 2014 Vol: 9
Page 20: BUNCH Desember 2014 Vol: 9