Bulletin 46

33
RETALIASI DALAM KERANGKA PENYELESAIAN SENGKETA WTO Oleh: Freddy Josep Pelawi I. PENDAHULUAN Retaliasi atau tindakan pem- balasan di bidang perdagangan antar Negara dalam kerangka WTO dilakukan oleh suatu Negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu kesepakatan dalam proses pe- nyelesaian sengketa. Pengertian yang terdapat dalam Ketentuan WTO 1 retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan. 2 Dalam praktek di WTO, instrument retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. Salah satu alasan yang mungkin dapat diterima adalah tingginya nuansa politis dalam penerapan retaliasi suatu negara anggota kepada negara anggota lainnya. Sebelum WTO terbentuk pada tahun 1995, di dalam kerangka GATT telah dikenal pula instrumen 1 Retaliation: Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tariffs or other trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations with countries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory measures should approximate the value of trade affected by the precipitating change in import protection. 2 Lihat Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement retaliasi. Di dalam kerangka GATT retaliasi berarti adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu negara dimana ekspor dari negara tersebut terkena imbas kenaikan tarif masuk dan hambatan perdagangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. GATT mengijinkan negara yang merasa dirugikan untuk melakukan tindakan pembalasan secara terbatas kepada negara lain yang menjadi penyebab kerugian perdagangan, namun hal ini dilakukan setelah konsultasi dengan negara-negara anggota lainnya, atau negara-negara yang mengalami nasib yang sama akibat tindakan dari suatu negara tersebut. Dalam teorinya volume perdagangan yang terkena tindakan retaliasi nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi impor yang diberlakukan oleh negara yang mana retaliasi ingin diterapkan. Menurut Pasal 22 DSU Agreement WTO dikemukakan bahwa ganti kerugian dan pe- nangguhan konsesi atau kewajiban lainnya merupakan tindakan se- mentara yang diberikan apabila rekomendasi dan keputusan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar. Bila permintaan ganti kerugian ini tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang tergugat maka pihak penggugat dapat melakukan tindakan retaliasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 22 (3) DSU Agreement. Dalam melakukan retaliasi, suatu negara dapat melakukan pem- berlakuan bea masuk tambahan berkaitan dengan barang yang menjadi objek sengketa. EDISI-46/KPI/2007 1

Transcript of Bulletin 46

Page 1: Bulletin 46

RETALIASI DALAM KERANGKA PENYELESAIAN SENGKETA WTO

Oleh: Freddy Josep Pelawi

I. PENDAHULUAN

Retaliasi atau tindakan pem-balasan di bidang perdagangan antar Negara dalam kerangka WTO dilakukan oleh suatu Negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu kesepakatan dalam proses pe-nyelesaian sengketa. Pengertian yang terdapat dalam Ketentuan WTO1

retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan.2 Dalam praktek di WTO, instrument retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. Salah satu alasan yang mungkin dapat diterima adalah tingginya nuansa politis dalam penerapan retaliasi suatu negara anggota kepada negara anggota lainnya.

Sebelum WTO terbentuk pada tahun 1995, di dalam kerangka GATT telah dikenal pula instrumen

1 Retaliation: Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tariffs or other trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations with countries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory measures should approximate the value of trade affected by the precipitating change in import protection.

2 Lihat Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement

retaliasi. Di dalam kerangka GATT retaliasi berarti adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu negara dimana ekspor dari negara tersebut terkena imbas kenaikan tarif masuk dan hambatan perdagangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. GATT mengijinkan negara yang merasa dirugikan untuk melakukan tindakan pembalasan secara terbatas kepada negara lain yang menjadi penyebab kerugian perdagangan, namun hal ini dilakukan setelah konsultasi dengan negara-negara anggota lainnya, atau negara-negara yang mengalami nasib yang sama akibat tindakan dari suatu negara tersebut. Dalam teorinya volume perdagangan yang terkena tindakan retaliasi nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi impor yang diberlakukan oleh negara yang mana retaliasi ingin diterapkan.

Menurut Pasal 22 DSU Agreement WTO dikemukakan bahwa ganti kerugian dan pe-nangguhan konsesi atau kewajiban lainnya merupakan tindakan se-mentara yang diberikan apabila rekomendasi dan keputusan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar. Bila permintaan ganti kerugian ini tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang tergugat maka pihak penggugat dapat melakukan tindakan retaliasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 22 (3) DSU Agreement. Dalam melakukan retaliasi, suatu negara dapat melakukan pem-berlakuan bea masuk tambahan berkaitan dengan barang yang menjadi objek sengketa.

EDISI-46/KPI/20071

Page 2: Bulletin 46

II. PENGALAMAN NEGARA LAIN DALAM MELAKUKAN RETALIASI

Kasus Banana IKasus Buah Pisang ini dimulai

persengketaannya pada tahun 1995, pada tahun pertama WTO terbentuk, namun kecaman terhadap kebijakan European Union dalam hal per-dagangan pisang telah dimulai jauh sebelum tahun 1995. Uni Eropa memiliki kebijakan impor yang sangat rumit dalam bidang per-dagangan pisang dimana Uni Eropa memberikan kekhususan dalam impor pisang dari negara-negara eks koloni negara yang tergabung dalam Uni Eropa, juga memberikan perlakukan khusus kepada importir pisang dari negara-negara eks koloni tersebut.

Pada bulan September 1995, Amerika Serikat, Guatemala, Meksiko dan Honduras mengajukan permintaan konsultasi kepada Badan Penyelesaian Sengketa WTO (WTO Dispute Settlement Body/DSB). Ekuador kemudian menggabungkan diri dengan ketiga negara tadi untuk mengajukan tuntutan kepada Uni Eropa. Menanggapi permintaan dari negara-negara anggotanya, WTO kemudian membentuk Panel dan mulai bekerja menangani per-masalahan peraturan impor pisang Uni Eropa ini. Panel yang telah dibentuk tersebut kemudian me-ngeluarkan laporan yang isinya secara umum menyatakan bahwa Uni Eropa dengan peraturan impornya telah melanggar beberapa peraturan yang diamanatkan dalam Ketentuan WTO.

Menanggapi laporan dari Panel tersebut Uni Eropa kemudian mengajukan banding ke Appelate Body atas laporan dan kesimpulan yang dihasilkan oleh Panel. Di tingkat banding di Appelate Body, ternyata Appelate Body mendukung keputusan yang telah dihasilkan oleh Panel, dan memperkuat putusan tersebut di dalam Laporan Appelate Body. Appelate Body dalam laporan-nya menyatakan bahwa memang benar EU telah menerapkan ke-bijakan impor yang melanggar beberapa ketentuan dalam WTO. Dengan adanya keputusan tersebut maka Uni Eropa harus membenahi peraturannya untuk dapat selaras dengan ketentuan dalam WTO.

Setelah melalui beberapa tahap perundingan dan sidang Panel serta Appelate Body yang kemudian dilanjutkan ke tahap arbitrase untuk menentukan jangka waktu yang diberikan kepada Uni Eropa untuk menyelaraskan peraturan impornya dalam hal buah pisang. Keputusan Arbitrase WTO memberikan jangka waktu 15 bulan atau bagi Uni Eropa untuk memperbaiki ketentuan impornya atau paling lambat hingga bulan Januari 1999. Uni Eropa berargumentasi bahwa pelaksanaan pengaturan yang akan disesuaikan dengan keputusan DSB baru akan dilaksanakan setelah 15 bulan. Terhadap argumentasi Uni Eropa tersebut DSB menolak penafsiran itu dan meminta Uni Eropa untuk segera melakukan penyesuaian.

Dalam kasus lain Uni Eropa juga memberlakukan kekhususan impor buah pisang dari negara - negara bekas koloni Uni Eropa di Amerika Latin. Hal ini menuai protes dari negara-negara lain termasuk

EDISI-46/KPI/20072

Page 3: Bulletin 46

Amerika Serikat. Amerika Serikat bersama dengan negara-negara pengekspor buah pisang seperti Guatemala, Mexico, dan Honduras mengajukan konsultasi terhadap kebijakan Uni Eropa tersebut ke Dewan Panel Dispute Settlement Body. Dalam putusannya, Dewan Panel memutuskan bahwa yang dilakukan oleh Uni Eropa ber-tentangan dengan prinsip dan ketentuan WTO, khususnya me-ngenai prinsip Most Favoured Nation. Uni Eropa mengajukan banding ke Appelate Body WTO, dan dalam tingkatan banding ini, Appleate Body juga mendukung keputusan Panel dan menyatakan bahwa Uni Eropa harus mengubah kebijakannya dalam impor buah pisang tersebut di atas.

Dalam kasus buah pisang, Uni Eropa kemudian mengendurkan kebijakannya, dan memberikan kesempatan bagi negara lain ter-masuk Amerika Serikat untuk bisa mengekspor buah pisang ke negara - negara anggota Uni Eropa. namun permasalahan tidak selesai sampai disitu. Amerika Serikat beserta negara - negara lain yang menggugat Uni Eropa dalam menerapkan kebijakannya mengajukan per-mintaan kompensasi kepada Uni Eropa berkaitan dengan penerapan kebijakan Uni Eropa dalam melarang impor buah pisang dari negara- negara penfggugat tadi dan hanya membolehkan impor buah pisang dari negara - negara koloninya di Amerika Latin.

Kompensasi yang diminta oleh Amerika Serikat beserta dengan negara - negara penggugat lainnya adalah dalam bentuk imbalan yang jumlahnya sebesar kerugian po-

tensial yang dialami oleh negara- negara penggugat selama Uni Eropa memberlakukan kebijakannya ter-sebut. Besaran imbalan yang diminta oleh Amerika Serikat tersebut di-ajukan setelah melalui serangkaian proses yang diajukan oleh Amerika Serikat kepada Dispute Settlement Body. DSB dalam hal ini melalui keputusan arbitrase menentukan bahwa permintaan Amerika Serikat terhadap Uni Eropa tersebut masuk akal dan selanjutnya Amerika Serikat memberlakukan pengenaan tarif tersebut kepada beberapa produk pilihan yang diimpor dari Uni Eropa.

Amerika Serikat kemudian meminta konsesi dagang kepada Uni Eropa sebesar US$ 520 Juta. Terhadap hal ini Uni Eropa me-nyatakan untuk membawa tuntutan Amerika Serikat tersebut ke forum arbitrase. Dalam forum arbitrase, para arbitrator memutuskan untuk mengabulkan permintaan konsesi yang diajukan oleh Amerika Serikat namun dengan jumlah yang dikoreksi yaitu menjadi sebesar US$ 191,4 juta. Terhadap jumlah tersebut Amerika Serikat pada tanggal 19 April 1999 mengenakan tambahan tarif sebesar 100% untuk beberapa produk impor dari Uni Eropa dalam suatu daftar produk dimana pe-ngenaan tambahan tarif tersebut memiliki total nilai sebesar US$ 191,4 juta.

Daftar produk yang dikenakan tarif tambahan oleh Amerika Serikat ini adalah suatu bentuk retaliasi yang dijalankan oleh Amerika Serikat mengingat sengketa yang dilakukan antara Uni Eropa dan negara mitra dagang lainnya tidak menghasilkan kesepakatan bahwa Uni Eropa akan

EDISI-46/KPI/20073

Page 4: Bulletin 46

merevisi ketentuan impor dagangnya khusus untuk produk buah pisang.

Pejabat perdagangan Amerika Serikat dalam memilih daftar produk yang akan dikenakan tambahan tarif retaliasi dengan cara menentukan daftar produk yang berasal dari Uni Eropa dimana produk-produk ter-sebut adalah produk yang berkaitan dengan masalah perdagangan buah pisang. Pengenaan tarif yang tinggi yang dilakukan oleh Amerika Serikat akan menyebakan gangguan dalam total ongkos produksi dan dengan demikian akan menyebabkan kerugian di pihak eksportir Amerika Serikat. Negara Uni Eropa yang paling terkena dampak dari pengenaan tarif retaliasi ini adalah Inggris dan Perancis.

Carousel RetaliationMekanisme dalam melakukan re-

taliasi oleh Amerika Serikat dimana pejabat perdagangan memilih dan menentukan produk yang akan diretaliasi dari negara pengekspor dikenal sebagai carousel retaliation. Dengan carousel retaliation ini, maka Aerika Serikat telah memiliki peraturan nasional untuk menjalan-kan hak untuk melakukan tindakan retaliasi di bidang perdagangan internasional yang diatur dalam pasal 22 DSU Agreement khususnya pasal 22 ayat 3.

Kasus Hormon BeefAmerika Serikat dalam

melakukan retaliasi dengan Uni Eropa dalam kasus Hormon Beef, dimana kasus ini berkaitan dengan Agreement Sanitary dan Phito-sanitary Agreement. Dalam kasus tersebut, Amerika Serikat komplain

terhadap Uni Eropa yang selama beberapa tahun melakukan proteksi terhadap produk daging sapi yang berasal dari Amerika Serikat. Produk daging sapi dari Amerika Serikat tidak diperbolehkan masuk ke dalam pasaran Uni Eropa berkaitan dengan ketentuan hukum Uni Eropa dalam bidang Sanitary dan Phitosanytary. Berdasar pada ketentuan tersebut, Uni Eropa menilai bahwa produk sapi asal Amerika Serikat tidak sesuai dengan kualifikasi atau standar yang diberlakukan dalam hukum uni eropa khususnya berkenaan dengan tingkat kesehatan yang diatur dalam agreement sanitary dan phitosanitary. Uni Eropa mengemukakan bahwa produk sapi asal amerika serikat yang disuntik dengan hormon pertumbuhan berbahaya bagi kesehatan manusia, dengan alasan tersebut, maka Uni Eropa menutup impor produk sapi asal Amerika Serikat

Pada bulan Januari 1996, Amerika Serikat mengajukan konsultasi dengan Uni Eropa terkait dengan kebijakan penggunaan hor-mon dalam bidang peternakan. Uni Eropa dalam kebijakannya melarang penggunaan hormon dalam bidang perternakan menyebabkan daging sapi yang dijual ke Uni Eropa yang berasal dari ternak yang telah diberikan hormon dilarang untuk masuk. Terhadap kebijakan ini Amerika Serikat mengajukan ke-beratan dan menggugat Uni Eropa ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO dengan mengajukan permohonan pembentukan Panel.

Dalam kasus ini Kanada juga menggugat Uni Eropa atas kebijakan yang sama. Dalam laporan Panel, dikemukakan bahwa Uni Eropa telah

EDISI-46/KPI/20074

Page 5: Bulletin 46

menjalankan kebijakan yang tidak sejalan dengan Ketentuan WTO dalam Agreement on Sanitary and Phytosanitary. Terhadap laporan Panel tersebut Uni Eropa meng-ajukan keberatan dan melakukan tindakan banding ke Appelate Body. Di tingkat Banding, Appelate Body sependapat dengan beberapa ke-putusan yang ada dalam laporan Panel namun tidak setuju dengan beberapa hal yang lain dalam laporan tersebut. Badan Penyelesaian Sengketa di dalam laporan ke-putusannya mengadopsi keputusan yang dihasilkan di tingkat Appelate Body dan mengadopsi keputusan Panel yang telah dimodifikasi.

Untuk melaksanakan hasil keputusan panel tersebut maka ditunjuk badan arbitrase untuk memutuskan jangka waktu yang pantas untuk mengimplementasikan keputusan panel tersebut oleh Uni Eropa. Badan arbitrase memutuskan bahwa Uni Eropa harus menjalankan keputusan Badan Penyelesaian Sengketa dalam jangka waktu 15 (lima belas) bulan atau hingga bulan Mei 1999. Satu bulan sebelum jangka waktu itu berakhir, Uni Eropa mengatakan bahwa pihak Uni Eropa mungkin tidak dapat memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh DSB dan ingin menawarkan untuk mengajukan kompensasi pada saat deadline berakhir.

Amerika Serikat meminta ke-wenangan untuk melakukan pe-nundaan konsesi sebesar US$202 Juta. Terhadap permintaan Amerika Serikat ini, Uni Eropa mengajukan keberatan dan meminta kepada Badan Penyelesaian Sengketa untuk menetapkan besaran konsesi yang adil. Badan Penyelesaian Sengketa

memberikan kewenangan kepada arbitrase untuk menentukan besaran konsesi tersebut dan badan arbitrase memutuskan besaran senilai US$ 116,8 juta, selanjutnya Badan Penyelesaian Sengketa mengabulkan penundaan konsesi dengan jumlah tersebut kepada Amerika Serikat. Pada tanggal 27 Juli 1999 US Trade Relation mengumumkan bahwa Amerika Serikat menerapkan ke-naikan tariff impor sejalan dengan hasil keputusan DSB.

Jarak antara kasus Banana dan kasus Hormon Beef ini sekitar tiga setengah tahun.

III.Indonesia dan Retaliasi

Indonesia dalam menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa di WTO juga pernah menjadi peng-gugat utama dalam kasus dengan Korea Selatan (Korea) berkenaan dengan penerapan bea masuk anti dumping oleh Korea terhadap produk certain paper asal Indonesia yang diimpor oleh importir Korea. Melalui proses konsultasi yang dimulai pada tanggal 7 Juli 2004, Indonesia meminta Korea dalam hal ini Korean Trade Commission (KTC) untuk mencabut bea tambahan anti dumping karena Indonesia me-mandang tindakan tersebut tidak sesuai dengan aturan anti dumping yang berlaku sesuai dengan ke-tentuan WTO.

Proses konsultasi yang terjadi secara bilateral Indonesia – Korea tidak ternyata tidak berhasil men-capai kesepakatan. Indonesia ke-mudian mengajukan sengketa ini kepada DSB – WTO dan meminta dibentuknya Panel untuk meneliti

EDISI-46/KPI/20075

Page 6: Bulletin 46

kasus anti dumping tersebut. Pada tanggal 28 Oktober 2005, Tim Panel memutuskan bahwa penerapan bea anti dumping oleh Korea terhadap produk certain paper asal Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan – ketentuan yang ada dalam AD Agreement WTO3. Korea disarankan oleh Panel untuk merevisi aturannya dan melakukan perhitungan kembali bea masuk anti dumping yang dikenakan ke perusahaan kertas asal Indonesia. Hal ini menunjukkan kemenangan Indonesia dalam kasus ini.

Kasus ini belum selesai, dan Indonesia tetap terus berusaha di forum WTO untuk memaksa Korea melaksanakan rekomendasi Panel WTO. Dalam ketentuan DSB Korea diberikan waktu untuk melaksanakan rekonmendasi panel dan dalam hal ini Korea telah melewati batas waktu yang ditentukan dalam menjalankan rekomendasi Panel.

Pada tanggal 22 Oktober 2007 Sidang DSB WTO telah mengesah-kan Laporan Panel yang kedua (Pelaksanaan Artikel 21.5 Dispute Settlement Understanding) yang isinya a.l. menegaskan kembali bahwa Korea telah melakukan penyimpangan terhadap Perjanjian Anti Dumping WTO dalam me-netapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk kertas asal Indonesia. Dalam Sidang tersebut, Indonesia menyatakan bahwa apabila Korea tidak melaksanakan hasil Panel (menghentikan pengenaan BMADnya), maka Indonesia akan menggunakan hak untuk melakukan tindakan retaliasi terhadap Korea.

3 Lihat dokumen WT/DS312 di http://docsonline.wto.org/

Korea tampaknya masih tidak mau melaksanakan hasil Panel tersebut diatas. Hal ini terbukti dengan adanya KTC’s Imple-mentation Panel Report (draft) yang disampaikan secara bersamaan kepada Sinar Mas Group (SMG) dan pemerintah Indonesia (Atase Per-dagangan Seoul) dengan surat tertanggal 5 Nopember 2007. KTC minta agar pihak SMG menanggapi draft tersebut selambat-lambatnya tanggal 12 Desember 2007.

IV. Penutup

Indonesia sepanjang 12 tahun keikutsertaannya dalam WTO belum pernah menggunakan instrumen retaliasi guna membela ke-pentingannya dalam lingkup per-dagangan internasional.

Dalam kasus Indonesia – Korea, juga telah terlihat perkembangan kasus yang menunjukkan Korea belum mau melaksanakan re-komendasi Panel WTO sesuai dengan harapan Indonesia. Hal ini memungkinkan Indonesia untuk melakukan tindakan pembalasan. Namun hal ini perlu pengkajian lebih lanjut dan juga persiapan matang dari pihak Indonesia.

Retaliasi dalam praktek pe-laksanaannya sangat rumit dan baru beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa saja yang sudah berhasil melaksanakan-nya. Indonesia sebagai negara berkembang dan ingin memajukan perekonomiannya, khususnya dalam hal ini di bidang perdagangan harus memiliki sikap tegas dalam per-gaulan internasional. Dimana posisi

EDISI-46/KPI/20076

Page 7: Bulletin 46

Indonesia yang telah menunjukkan posisi yang kuat dalam sengketa perdagangan internasional dengan Korea dan juga dengan negara lain di dunia harus secara obyektif dimanfaatkan. Meskipun unsur politis sangat kuat mewarnai tiap kebijakan dari negara berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia, namun di lain sisi keberhasilan Indonesia dalam proses ini akan memberikan stigma positif terhadap posisi Indonesia dalam dunia perdagangan internasional, khusus-nya dalam lingkup WTO.

Persiapan yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi keadaan di masa datang dimana retaliasi mungkin akan dilakukan adalah persiapan dalam bentuk instrumen perundang-undangan khususnya di bidang bea dan cukai yang harus jelas dan tegas serta peraturan pelaksanaan dan me-kanisme penanganan permasalahan retaliasi. Dengan instrumen per-undang-undangan yang lengkap dan penegakan hukum yang jelas akan membuat posisi Indonesia menjadi siap dalam menghadapi mekanisme penyelesian sengketa WTO dan khususnya bila hal retaliasi menjadipilihan untuk dilakukan guna membela kepentingan bangsa di dunia perdagangan internasional.

EDISI-46/KPI/20077

Page 8: Bulletin 46

APEC - IAP PEER REVIEWOleh : Werdi Ariyani

I. Latar Belakang Pertemuan pemimpin anggota

Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) pada tahun 1995 di Osaka, Jepang telah menghasilkan suatu Declaration for Action yang salah satu isinya mengenai Rencana Aksi (Action Plan). Rencana aksi tersebut merupakan prinsip-prinsip funda-mental untuk menuntun anggota ekonomi APEC menuju pencapaian liberalisasi dan fasilitasi yaitu comprehensiveness; WTO consis-tency; comparability; non -discrimination; transparency; stand-still’ simultaneous start; continuous process, and differentiated time tables; fleksibility; dan cooperation.

Hal tersebut sejalan dengan cita-cita APEC dimana pada pertemuan pemimpin APEC di Blake Island (1993) dengan membentuk visi komunitas APEC dan pada per-temuan Bogor (1994) menghasilkan maksud dan tujuan spesifik yang hendak dicapai APEC yaitu: per-dagangan dan investasi bebas dan terbuka pada tahun 2010 bagi ekonomi maju dan tahun 2020 bagi ekonomi berkembang; perluasan dan percepatan program fasilitasi per-dagangan dan investasi; serta intensif pengembangan kerjasama untuk per-tumbuhan yang berkelanjutan, pem-bangunan seimbang dan stabilitas nasional. Untuk mewujudkan visi dan cita-cita APEC tersebut maka diadopsi Osaka Action Agenda (OAA) yang merupakan hasil per-temuan APEC Economic Leaders di Osaka, Jepang, yang telah sepakat

menggunakan strategic roadmap yaitu yang dikenal dengan Osaka Action Agenda (OAA) atau Agenda Aksi Osaka.

Osaka Action Agenda tersebut sebagai pengejawantahan kemauan politik bersama untuk mewujudkan komitmen APEC terhadap tujuan-tujuan Bogor. Osaka Action Agenda ini sebagai template atau format untuk kerja APEC di masa-masa mendatang sejalan dengan tujuan daripada APEC itu sendiri yang mencakup tiga pilar yaitu liberalisasi investasi dan perdagangan; fasilitasi; dan kerjasama teknik dan ekonomi. Untuk mencapai pembangunan eko-nomi yang berkelanjutan di kawasan APEC tersebut tergantung pada aksi-aksi yang dilakukan oleh masing-masing anggota. Untuk itu meng-ingat karakter APEC yang sangat bermacam - macam dan luasnya cakupan kegiatan APEC, dan untuk mencapai tujuan jangka panjang investasi dan perdagangan bebas dan terbuka melalui berbagai cara, maka APEC sepakat untuk : mendorong liberalisasi di kawasan; melakukan rencana-rencana kolektif untuk mempercepat fasilitasi dan liberali-sasi; dan menstimulasi serta ber-kontribusi pada liberalisasi global. untuk itu anggota APEC sepakat melakukan rencana-rencana aksi (Action Plans) yang dimulai pada Januari 1997 dan rencana aksi tersebut direview setiap tahun yang disebut dengan Peer Review.

II. Individual Action Plan Atau Rencana Aksi Individu

Dalam memenuhi tujuan-tujuan Bogor atau yang biasa disebut dengan Bogor Goals untuk mencapai investasi dan perdagangan yang

EDISI-46/KPI/20078

Page 9: Bulletin 46

bebas dan terbuka di kawasan Asia-Pasifik, anggota ekonomi APEC dapat melaporkan kemajuan dalam mencapai tujuan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka melalui Individual Action Plans (IAPs) atau rencana aksi individu.

Individual Action Plan adalah suatu laporan tahunan yang memuat langkah-langkah unilateral menuju tercapainya Bogor Goals yaitu per-dagangan yang bebas dan terbuka pada tahun 2010 untuk ekonomi maju dan 2020 untuk ekonomi ber-kembang. Aksi-aksi yang dilakukan ekonomi adalah untuk liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi di kawasan untuk 15 bidang aksi kebijakan sesuai dengan Osaka Action Agenda. Kelima belas bidang aksi kebijakan tersebut meliputi sektor: tariff, non-tariff measures, services, investment, standards and conformance, customs procedures, intellectual property, competition policy, government procurement, deregulation/regulatory review, WTO obligations (termasuk rules of origin), dispute mediation, mobility of business people dan information gathering analysis.

III. Tujuan Individual Action Plan (IAP)

Tujuan dari penyusunan IAP adalah untuk :1. Meningkatkan transparansi eko-

nomi APEC untuk investasi dan perdagangan, tersedianya infor-masi untuk kalangan bisnis dan fasilitasi investasi dan per-dagangan intra-APEC;

2. Berkaitan dengan laporan tahun-an dan proses peer review, IAP mendorong ekonomi APEC untuk memfokuskan pada isu-isu

kebijakan yang perlu disampai-kan untuk mencapai Bogor Goals;

3. IAP menggambarkan usaha investasi dan perdagangan APEC untuk mendorong liberalisasi ekonomi non-APEC khususnya dalam proses WTO.

4. IAP juga memberi kesempatan kepada ekonomi APEC untuk mempelajari pengalaman fasili-tasi dan liberalisasi lainnya untuk membantu proses pembuatan ke-bijakan.

Dalam proses penyusunan IAP informasi yang disampaikan dan tujuan yang hendak dicapai harus jelas, spesifik dan komprehensif selama periode laporan aksinya dan aksi-aksi yang akan dilakukan di masa-masa mendatang. Untuk men-capai standar-standar yang diingin-kan tersebut dapat mengikuti pe-tunjuk-petunjuk berikut :

1. Positive language and tone, memfokuskan pada “perkem-bangan” dan “permintaan” dari pada “komitmen” dan “hambat-an”;

2. Transparency, termasuk infor-masi yang relevan untuk kalangan bisnis seperti aturan operasional;

3. Specificity, laporan yang spesifik dan aksi-aksinya nyata.

4. Comprehensiveness, laporan me-muat semua bidang baik yang sudah berlaku maupun sifatnya emergency. Aksi-aksi yang di-ambil dalam fora bilateral, regional dan multilateral harus dilaporkan.

5. Conciseness, menyediakan gam-baran detil mengenai aksi yang diambil.

EDISI-46/KPI/20079

Page 10: Bulletin 46

6. Consistency, kategori laporan yang digunakan dalam laporan tahunan dan dasar informasi harus sama.

7. Standardised approach, kategori ini bukan merupakan bench-marks dan hal tersebut tidak menggambarkan bahwa setiap ekonomi akan diposisikan untuk melaporkan seluruh kategori setiap tahun.

IV. Chapter IAPChapter IAP dipersiapkan

dengan menggunakan standard laporan yang telah disetujui bersama yaitu dikembangkan dalam kaitan dengan sub-fora Committee on Trade and Investment (CTI) dan hanya dapat divariasikan oleh pejabat Senior APEC berdasarkan rekomen-dasi CTI. Topik-topik yang tercakup dalam chapter tersebut merefleksi-kan bidang-bidang aksi yang di-identifikasikan dalam Osaka Action Agenda tahun 1995. Pejabat senior APEC menyetujui aksi-aksi yang ter-cakup dalam IAP. Setiap chapter setidaknya memuat tiga bagian yaitu:1. Overview atau Summary State-

ment, 2. Laporan Tahunan, dan3. Kemajuan yang dicapai sejak

tahun 1996

V. Jadwal laporan IAPIAP memuat aksi-aksi yang

diambil selama periode laporan tahunan dan perlu dilengkapi dengan presentasi pada pertemuan tingkat menteri APEC dan pertemuan para pemimpin APEC pada bagian akhir setiap pertemuan tahunan APEC (biasanya setelah pertemuan SOM ketiga setiap tahunnya).

IAP yang lengkap disampaikan pada Sekretariat APEC untuk dipublikasi-kan dalam e-IAP Homepage tidak lebih dari satu bulan sebelum per-temuan tingkat menteri APEC.

VI. IAP Peer Review Sesuai dengan konsensus ber-

sama anggota APEC, Peer Review IAP dimaksudkan untuk me-wujudkan prinsip transparansi dan mengupayakan agar setiap kebijakan perekonomian/perdagangan dilaku-kan sejalan dengan ketentuan-ketentuan perdagangan multilateral (WTO) dan tujuan APEC itu sendiri yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi perdagangan dan kerjasama ekonomi dan teknik. Proses IAP Peer Review hampir sama dengan pelaksanaan TPRM WTO. Peer Review ini juga dapat dimanfaatkan oleh ekonomi yang akan di-review untuk mem-promosikan kebijakan perdagangan dan ekonomi yang sedang dan telah dilakukan dalam mencapai liberali-sasi perdagangan dan investasi.

VII.Tujuan IAP Peer Review Tujuan dari IAP Peer Review

adalah untuk menilai kemajuan yang dicapai dari suatu ekonomi dalam upayanya mencapai tujuan Bogor. Diantaranya adalah pelaksanaan komitmen ekonomi di WTO sejak ekonomi anggota APEC menjadi anggota WTO dinilai merupakan salah satu dorongan utama bagi kemajuan suatu ekonomi dalam upaya mencapai tujuan Bogor di bidang liberalisasi perdagangan dan investasi.

Liberalisasi perdagangan dan investasi di sejumlah sektor, seperti

EDISI-46/KPI/200710

Page 11: Bulletin 46

penurunan hambatan (barriers) untuk perdagangan dan jasa, per-baikan dalam struktur tariff, peng-hapusan kuota impor dan penerbitan peraturan yang disesuaikan dengan peraturan WTO mengenai penegakan standar perdagangan. Sementara itu, beberapa upaya dinilai masih perlu dilakukan

khususnya yang berkaitan de-ngan liberalisasi perdagangan di bidang jasa, perbaikan iklim Inves-tasi yang lebih transparan, stabil dan predictable serta pemberantasan pe-langgaran intellectual property rights (IPR).

Kemajuan ekonomi yang im-presif dalam rangka mencapai tujuan Bogor, khususnya di bidang de-regulasi dan regulasi review, perbaikan iklim investasi, kebijakan mengenai persaingan usaha, standards dan conformance dan prosedur kepabeanan.

Pada kesempatan IAP Peer Review, beberapa isu penting yang diangkat oleh sejumlah ekonomi anggota APEC diantaranya ke-bijakan mengenai liberalisasi per-dagangan di bidang jasa yang dinilai masih kurang seimbang, kebijakan MFN di bidang tariff maupun kuota tariff serta sektor pertanian yang dinilai masih mendapatkan per-lindungan tinggi.

Mengangkat kebijakan di bidang tariff dan non-tarif measures yang dinilai mendekati capian untuk mencapai tujuan Bogor, per-lindungan dan liberalisasi bidang investasi, prosedur pengkajian standart and conformance asing, prosedur kepabeanan dan fasilitasi perdagangan yang dinilai sangat maju, bidang kompetisi dan persaingan usaha serta perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI).

VIII.Jadwal IAP Peer Review Ekonomi APEC diminta untuk

menyampaikan full IAPs selama tiga tahun periode review dengan menyampaikan update-nya setiap tahunnya. IAPs update merupakan laporan yang memuat informasi berguna bagi kalangan bisnis dan stakeholder lainnya dengan kemajuan yang dicapai untuk bidang-bidang isu IAPs.

Periode IAP Peer Review biasanya dimulai pada pertemuan SOM-1 dan sekitar tujuh (7) ekonomi akan direview setiap tahunnya.

Berikut adalah salah satu contoh jadwal ekonomi yang akan direview tiap tahun periode pertemuan APEC :

Tahun SOM I SOM Ⅲ

2007 Australia; Hong Kong, China; Japan; Chinese Taipei

China; Korea; New Zealand

2008 Canada; United Status Chile; Mexico; Peru; Singapore

2009 Brunei Darussalam; Indonesia; Malaysia; Thailand

Philippines; Papua New Guinea; Russia; Viet Nam

EDISI-46/KPI/200711

Page 12: Bulletin 46
Page 13: Bulletin 46

Seluruh sesi IAP Peer Review diadakan pada saat pertemuan SOM I dan SOM III dengan jadwal sebagai berikut :

• Ekonomi yang direview pada SOM I: IAPs dan tim review disampaikan pada saat pertemuan Menteri Perdagangan APEC.

• Ekonomi yang direview pada SOM III: IAPs dan tim review disampaikan pada pertemuan tingkat Menteri APEC.

IX. Cakupan yang direview

Cakupan yang akan direview terbatas hanya pada chapter-chapter IAP. Namun demikian dapat di-perluas pada isu-isu yang berguna untuk menunjukan kemajuan yang dicapai dalam Bogor Goals, sesuai dengan kesepakatan ekonomi yang direview dengan tim review.

X. Anggota Tim Review Setiap Tim Review beranggota-

kan dua Ekspert, satu Moderator dan Staf Profesional Sekretariat APEC. Biasanya, Tim Review terdiri dari berbagai anggota ekonomi APEC, dimungkinkan juga dari ekonomi yang akan direview.

XI. Penutup Dalam penyusunan IAP, bagi

Indonesia merupakan kesempatan yang baik untuk mempromosikan dan memberikan gambaran kepada dunia khususnya di kawasan Asia Pasifik mengenai kebijakan dan aturan-aturan yang sedang, akan dan telah dilakukan oleh Indonesia untuk mencapai Bogor Goals yaitu liberali-sasi perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka.

Sampai dengan saat ini Indonesia sudah direview sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2000 di Brunei Darussalam dan 2005 di Korea. Untuk selanjutnya, Indonesia akan mendapat giliran di-review pada tahun 2009 di Singapura. Menghadapi IAP Peer Review Indonesia, diperlukan koordinasi antar instansi terkait guna mem-persiapkan IAP Indonesia yang telah sesuai dengan kebijakan dan aturan perdagangan dan ekonomi yang di-berlakukan untuk kepentingan pe-merintah sendiri, kalangan pebisnis dan stakeholder lainnya. Sehingga pada saat direview, Indonesia sudah siap dengan pertanyaan, komen-tar/tanggapan dari anggota ekonomi APEC lainnya dan dapat menanggapi dan menjawab pertanyaan-pertanya-an secara komprehensif dan transparan.sumber : laporan hasil pertemuan APEC dan dari berbagai sumber www.apec.org.

12 EDISI-46/KPI/2007

Page 14: Bulletin 46
Page 15: Bulletin 46

ASPEK HUKUM HAKI (HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL) DALAM KERANGKA TRIPS

(TRADE RELATED ASPECT OF INTELLECTUAL PROPERTY

RIGHTS) DAN IMPLEMENTASI PENGGUNAAN INTERNET DI

INDONESIA

Bagian ke 2oleh:

Siti Tri Joelyartini

3) Jangka Waktu Perlindungan MerekMerek terdaftar mendapat per-

lindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek yang bersangkut-an (Pasal7). Jangka waktu per-lindungan merek dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu yang sama, atas permintaan pemilik me-rek. Permintaan tersebut ditujukan ke Kantor Merek dan diajukan secara tertulis oleh pemilik atau kuasanya dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 6 bulan dan tidak lebih dari 12 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek yang terdaftar tersebut (Pasal 36).

a. Permasalahan Implementasi HAKI di Indonesia

HAKI menjadi sangat penting untuk menggairahkan laju per-ekonomian dunia yang pada akhirnya membawa kesejahteraan umat ma-nusia. Namun dalam implemetasinya menghadapi berbagai permasalahan baik dalam hal Hak Cipta, Hak Paten dan Hak Merek. Beberapa per-

masalahan HAKI antara lain ber-kaitan dengan penggunaan internet.

Internet secara de facto sudah menjadi landasan untuk melakukan bisnis. Ada dua makna atau arti dari “Internet”, yaitu teknologinya dan jaringannya. Teknologi Internet adalah teknologi komunikasi yang berbasis kepada protokol TCP/IP. Saat ini juga teknologi Internet mencakup penggunaan web browser sebagai user interface. Sementara itu pengertian Internet sebagai jaringan adalah Internet sebagai salah satu jaringan komputer yang terbesar di dunia. (Ada jaringan komputer lain yang bukan Internet, seperti mi-salnya jaringan privat dari beberapa perusahaan yang besar.) Jaringan Internet sendiri pada mulanya hanya dapat digunakan untuk keperluan akademis (penelitian dan pen-didikan). Namun sejak tahun 1995 Internet sudah boleh dipergunakan untuk keperluan bisnis. Sejak saat itulah Internet mulai menjadi media komunikasi data yang populer. Beberapa hal yang menyebabkan jaringan dan teknologi Internet populer sebagai media komunikasi data adalah: cakupannya yang luas (seluruh dunia), implementasinya re-latif lebih murah dibandingkan dengan menggunakan jaringan atau fasilitas lainnya, misalnya meng-gunakan Value Added Network (VAN) sendiri. Untuk menjadi ba-gian dari Internet kita cukup dengan hanya menghubungkan sistem ke koneksi Internet terdekat, misalnyamelalui Internet Service Provider (ISP).4

4 Rahardjo, Budi – Aspek Teknologi dan Keamanan Internet Banking – version 1.1, 2001.

13 EDISI-46/KPI/2007

Page 16: Bulletin 46

Permasalahan internet dalam era digital diantaranya berkaitan dengan masalah domain name, masalah tanggung jawab ISP (Internet Service Provider). Selain itu, beberapa hal teknis dalam pembuatan situs yang berpotensi untuk melanggar hak cipta, yakni deep linking, framing, dan inlining.

ISP berisiko digugat.5 ISP bi-asanya menyediakan layanan web hosting. Karena itu, ISP memiliki resiko untuk digugat oleh pemilik hak cipta yang merasa dilanggar haknya. Pasalnya, ada customer yang mem-posting material yang me-langgar hak cipta dalam situs yang di-hosting di server milik ISP. Sebagai ilustrasi, ada pihak yang mem-posting sebuah buku digital (digital book) dalam format PDF, yang jika dibeli dalam versi cetaknya mungkin saja seharga US$200. Jika kemudian buku ini didownload oleh dua puluh ribu pengunjung situs tersebut, jelas bahwa betapa besar kerugian pencipta atau pengarang buku. Pengarang mungkin saja me-nuntut ISP karena buku karangannya telah diubah ke format digital. Na-mun, ISP mungkin saja telah me-miliki perjanjian dengan customer-nya yang melarang pihak customer untuk memposting material yang melanggar hak cipta. Dan ISP tidak bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi. Disclaimer semacam ini mungkin tidak cukup karena pihak pengarang tetap dapat menuntut pihak ISP. Misalnya dengan dalih, ISP telah memberikan suatu kon-tribusi tertentu bagi pelanggaran hak cipta atas karyanya.

5 Ifransah, Mukhlis. "Perlindungan Hukum HKI di Era Digital". ICT Watch dan peneliti hukum., 12 Juni 2001. Hal 1.

Alasan pertama, karena pe-ngarang kesulitan untuk menemukan orang yang memposting karya cipta-nya tersebut. Apalagi sifat server ISP yang dapat diakses dari berbagai belahan dunia serta sifat anonimitas dari internet sendiri. Belum lagi, kewajiban bagi ISP untuk merahasia-kan nama customernya. Alasan ke-dua bagi pengarang untuk menuntut adalah masalah ekonomis semata. Pihak yang memposting tersebut belum tentu memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk mem-bayar ganti rugi yang dimintakan. Sedangkan ISP sebagai entitas bis-nis, dianggap dapat memberikan ganti rugi yang dimintakan.

Melanggar Hak Cipta. Dalam hal ini ISP dianggap melanggar hak cipta, padahal tentunya tidak ada kesengajaan dari pihak ISP untuk melakukan pelanggaran hak cipta. Namun jika memang ada semacam penolakan (disclaimer) dengan cos-tumernya, jelas pihak ISP telah memperkirakan kemungkinan ada-nya content situs yang di-hosting di server-nya yang melanggar hak cipta. Screening atas isi kandungan (content) secara teknis memang dapat dilakukan. Namun seiring dengan perkembangan bisnis yang semakin besar, tentunya biaya dan sumber daya yang dibutuhkan akan semakin besar. Selain itu, juga waktu yang cukup lama dan secara bisnis justru akan memberatkan.

14 EDISI-46/KPI/2007

Page 17: Bulletin 46

Dalam Pasal 7 TRIPS, per-lindungan dan penegakan hukum HAKI ditujukan untuk memacu penemuan baru di bidang teknologi dan untuk memperlancar alih serta penyebaran teknologi, dengan tetap memperhatikan kepentingan pro-dusen dan pengguna pengetahuan tentang teknologi dan dilakukan dengan cara yang menunjang ke-sejahteraan sosial dan ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan ke-wajiban. Dalam kasus ISP (Internet Service Provider) yang memberikan layanan web hosting, disatu sisi dengan kemudahan yang disediakan dalam mengakses segala macam informasi melalui jaringan internet akan banyak memberikan informasi kepada konsumen sehingga dapat memacu kreasi mereka dalam menciptakan penemuan baru yang pada akhirnya dapat diproduksi dan dipasarkan. Namun disisi lain de-ngan kemudahan mengakses pula memungkinkan pihak produsen da-lam hal ini pencipta buku dirugikan karena adanya hasil penemuan baru seperti scanning buku dalam PDF kemudian diposting dapat diper-banyak orang lain dengan hanya mencetak sendiri. Hal ini me-munculkan dilema bagaimana dapat memberikan perlindungan Hak Cipta kepada produsen dan hak pengguna dalam rangka merangsang pen-ciptaan pengetahuan tentang tek-nologi sebagai akibat canggihnya hasil penemuan baru. Untuk itu perlu dibuat peraturan secara mendetail sehingga UU HAKI dapat meng-akomodasi dua kepentingan tersebut secara seimbang, dan tentu hal ini tidak mudah.

Sementara dalam Pasal 10 TRIPS mengenai Hak Cipta dan Hak-hak

terkait lainnya berkaitan dengan Program Komputer dan Kompilasi Data, sangat jelas memberikan per-lindungan bagi kompilasi data atau materi lain, baik yang dapat dibaca dengan mesin atau dalam bentuk lain. Artinya dalam kasus ISP benar adanya dugaan dalam pelanggaran hak cipta yaitu dengan tidak mem-berikan perlindungan terhadap pro-duk yang seharusnya dilindungi atas karya intelektualnya.

Kerjasama dengan pemilik karya cipta yang sangat umum dibajak mungkin salah satu alternatif yang bagus. Contohnya saja Microsoft, yang memiliki sistem tersendiri untuk melakukan scanning atas ma-terial/content di internet yang me-langgar hak cipta atas software bua-tannya. Jika ditemukan pelanggaran hak cipta, biasanya Microsoft akan meminta pihak di mana software bajakan di-posting untuk melakukan tindakan pemutusan atas service tersebut dan menghapus material tersebut dari server. Tiap harinya, konon Microsoft menemukan ribuan situs yang memuat software bajakan milik perusahaannya.

Contoh lainnya adalah lagu-lagu atau musik dengan format MP3 yang dengan mudah dapat diakses secara gratis di internet dimana dapat ditemukan beberapa broken link saat men-download lagu tersebut. Hal ini menandakan pihak web hosting telah menghapus lagu tersebut setelah adanya screening ataupun complain dari pemilik hak cipta atas lagu. Jika berhasil men-download, biasanya extension dari file MP3 harus diubah kembali ke MP3. Pengubahan extension file ini biasanya untuk mengecoh screening yang dilakukan oleh ISP ataupun jasa web hosting

15 EDISI-46/KPI/2007

Page 18: Bulletin 46

atas content situs-situs di server milik mereka.

Mungkin pengaturan dalam Digital Millenium Copyright Act (DMCA) milik Amerika Serikat dapat dijadikan pelajaran yang baik. DMCA memberikan pembatasan masalah tanggung jawab ISP, dan penentuan kapan ISP bertanggung jawab atas materil yang di-hosting di server-nya atau sebaliknya, bilamana ia tidak bertanggung jawab.

Aspek hukum linking. Per-masalahan hukum timbul karena content halaman web merupakan suatu karya cipta manusia yang mengandung beberapa komponen ciptaan, baik itu program komputer, lagu, seni rupa dalam segala ben-tuknya, fotografi dan sebagainya. Berbagai ciptaan ini menurut ke-tentuan pasal 11 (1) UU No 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta merupakan ciptaan yang dilindungi. Sebagai suatu ciptaan yang dilin-dungi, pengumuman ataupun per-banyakan ciptaan tersebut tentunya haruslah seizin pencipta atau pe-megang hak ciptanya.

Pembuatan linking saja tidaklah melanggar hak cipta. Namun jika kemudian halaman web yang dituju oleh link tersebut berisi content yang melanggar hak cipta, tentunya lin-king semacam ini memberikan kon-tribusi tersendiri bagi pelanggaran hak cipta. Contoh yang menarik adalah berbagai situs penyedia file-file lagu dengan format MP3 yang halaman web-nya yang memberikan link-link ke situs penyedia file lagu-lagu ataupun musik dalam format MP3. Situs-situs ini seharusnya patut diduga melanggar hak cipta.

Permasalahan lainnya dengan linking adalah kemungkinan pelang-garan merek dagang menimbulkan suatu dilusi. Akibatnya, nilai suatu merek dagang, khususnya famous and wellknown marks, akan me-nurun. Teknologi web telah me-mungkinkan seorang webmaster de-ngan mudah menampilkan suatu merek dagang di halaman web-nya baik berupa plain text, gambar, maupun karakter, serta kombinasi warna yang merupakan simbol merek dagang suatu produk ataupun jasa yang ada.

Pelanggaran merek dagang dan dilusinya terjadi karena besar ke-mungkinan pencantuman merek da-gang ini akan menimbulkan persepsi bahwa suatu situs memiliki hu-bungan atau afiliasi dengan pemilik merek dagang yang ditampilkan. Padahal sesuai ketentuan pasal 3 UU No 19 Tahun 1992, negara mem-berikan hak kepada pemilik merek untuk menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin ke-pada pihak lain untuk mengguna-kannya.

Selain persepsi yang timbul tersebut karena adanya penggunaan meta tagging dalam pembuatan situs, ada pula kemungkinan penjelajah internet tertipu karena dibawa ke halaman web yang justru tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan merek dagang yang di-gunakan dalam meta tagging.

Deep linking dan inlining . Per-kembangan linking lebih lanjut berupa deep linking. Pengguna inter-net dapat mengunjungi suatu halaman dalam suatu situs tanpa me-lewati halaman depan (homepage). Hal ini telah menimbulkan berbagai

16 EDISI-46/KPI/2007

Page 19: Bulletin 46

permasalahan tersendiri bagi kala-ngan e-business. Pasalnya, home-page by-passing seperti ini telah mengakibatkan hit rate situs me-nurun karena memang sering per-hitungannya didasarkan atas jumlah pengunjung yang membuka halaman depan situs.

Penurunan hit rate pada suatu situs sama dengan penurunan nilai situs. Hal ini akan mengakibatkan pihak sponsor tidak tertarik untuk memasang banner produknya di atau homepage yang sering di-bypass. Selain itu, sama dengan penggunaan merek sebagai link, ada kemung-kinan pengunjung situs menganggap situs yang memberikan link tersebut memiliki hubungan tertentu dengan situs yang dituju.

Bentuk linking non konvensional lainnya adalah inlining. Bentuk ini memungkinkan webmasters secara otomatis menampilkan suatu graphic file, baik berupa foto, kartun ataupun gambar lain dalam bentuk digital dalam webpage-nya yang berasal dari situs lain tanpa perlu me-muatnya dalam situs yang dibuatnya. Permasalahan pada inlining ini adalah gambar (graphic file) yang berasal dari situs lain tersebut dapat di-customized sedemikian rupa, sehingga tampilan yang diperoleh bisa saja berbeda dengan tampilan gambar pada situs asalnya.

Bila hal ini terjadi, maka jelas ada suatu modifikasi pada suatu karya cipta, yang tentunya me-langgar hak si pencipta, baik itu hak atas pencipta atas karya turunan dari karya aslinya maupun hak moralnya atas karya cipta tersebut.

Aspek hukum framing . Teknik pembuatan situs lainnya adalah

framing, di mana dengan peng-gunaan suatu frame, memungkinkan webmaster dapat menampilkan isi suatu situs lainnya tanpa me-ninggalkan situs yang memberikan frame tersebut. Jadi seperti halnya frame pada foto-foto kita, frame tersebut akan selalu kita lihat saat memandang foto yang ada di da-lamnya. Contoh lainnya mungkin mirip dengan fasilitas "picture in picture" pada beberapa merek televisi yang dapat menampilkan channel lainnya (dalam bentuk gambar yang lebih kecil) tanpa meninggalkan saluran TV yang sedang kita tonton. Contoh nyata situs yang sering menggunakan frame adalah web penyedia MP3. Pengunjung dapat melihat isi situs penyedia file MP3, sementara itu bagian dari situs tersebut tetap ada.

Mendompleng nama. Dalam be-berapa kasus yang timbul berkaitan dengan framing ini, gugatan di-dasarkan pada beberapa hal. Per-tama, framing dapat mengakibatkan perubahan penampilan suatu situs daripada yang seharusnya terlihat jika pengunjung langsung me-ngetikkan URL yang dituju. Dengan adanya framing memang harus diakui, alokasi tampilan di monitor komputer atas suatu situs berkurang karena adanya frame tersebut. Hal kedua yang menjadi dasar gugatan yakni pelanggaran merek dagang dengan menampilkan suatu merek tanpa adanya hak untuk itu.

Dasar gugatan selanjutnya adalah situs yang memberikan frame dianggap telah mendompleng nama dan keberhasilan situs lain serta mengambil manfaat ekonomi, berupa hit rate, dari situs yang di-frame. Dasar keempat dari gugatan adalah

17 EDISI-46/KPI/2007

Page 20: Bulletin 46

berkurangnya nilai ekonomis situs yang di-frame karena framing mengakibatkan banner ataupun iklan sponsor yang seharusnya tampak jika situs dilihat secara langsung, justru tertimpa/tertutup oleh situs yang memberi frame.

Dasar gugatan selanjutnya adalah seringkali framing menyebabkan pengunjung situs tidak tahu nama situs yang sedang ditampilkan isinya tersebut. Akibatnya, pengunjung tidak dapat mem-bookmark-nya atau bahkan mengira situs yang di-frame justru merupakan bagian dari situs yang memberi frame.

Selain itu, dari sisi hak cipta sendiri, perlu dikaji ulang apakah maksud dari pengumuman dan per-banyakan sesuai dengan ketentuan pasal 1 UU No 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta serta keterkaitan-nya dengan pemberian izin untuk kedua hal tersebut dalam konteks media internet. Kajian ulang atas beberapa pengertian dalam hak cipta harus dilakukan dengan mem-perhatikan beberapa proses dan teknik di mana web itu sendiri berjalan. Misalnya apakah framing dapat dianggap merupakan kegiatan memperbanyak atau menambah jumlah suatu ciptaan.

Permasalahan lainnya, apakah suatu media yang melakukan fiksasi atas karya cipta itu mempengaruhi pengertian perbanyakan. Hal ini patut dipertanyakan karena, saat melakukan surfing di internet, ha-laman web yang ditampilkan se-benarnya telah di-copy ke dalam memori komputer. Posting suatu web page dapat dianggap suatu tindakan yang sesuai dengan pe-ngertian pengumuman atas hak cipta

sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 4 UU No 12 Tahun 1997.

Pasal ini menyatakan bahwa pengumuman meliputi pembacaan, penyuaraan, penyiaran atau penye-baran suatu ciptaan, dengan meng-gunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain. Dengan kata lain, pengumuman akan menyebab-kan suatu ciptaan dapat diterima oleh indera manusia. Dalam konteks web, hal itu dapat berupa gambar, teks dan suara.

Lalu apakah proses framing sendiri merupakan suatu bentuk perbanyakan? Dalam prosesnya, situs yang menggunakan framing tidaklah melakukan perbanyakan suatu ciptaan, dalam hal ini isi web page yang di-frame. Hal ini di-karenakan, saat pengunjung situs mengklik link situs target, server di mana situs target di-hosting akan mengcopy web page yang diminta. Setelah itu, mengirimkannya ke terminal/komputer pengunjung yang kemudian menampilkan web page yang dikirim tersebut. Berarti, perbanyakan justru terjadi antara server situs yang di-link dengan komputer pengunjung situs.

Ada pendapat yang mengemuka-kan, karena situs yang mem-frame tidak melakukan proses transfer ini, maka situs ini tidaklah melakukan perbanyakan. Akibatnya, tidak ada pelanggaran hak cipta yang terjadi secara langsung. Pendapat ini diperkuat oleh argumen lainnya yang mengemukakan bahwa saat se-seorang membuat suatu halaman dan mem-posting-nya di internet, si pemilik halaman web tersebut secara

18 EDISI-46/KPI/2007

Page 21: Bulletin 46

tidak langsung telah memberikan izin perbanyakan hak ciptanya itu. Tujuannya, untuk keperluan me-nampilkannya di dalam internet browser seperti Netscape ataupun Internet Explorer.

a. Penegakan Hukum (Law Enforcement).

Salah satu pokok persoalan, dan yang menjadi sorotan berbagai pihak dalam masalah HAKI adalah lemah-nya penegakan hukum. Persoalan ini sangat penting sebab perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegang karya intelektual, tidak ada artinya tanpa penegakan hukum.

Beberapa pengaturan dalam berbagai undang-undang baru (UU Desain Industri, UU Paten dan UU Merek, yang selanjutnya disebut “UU Baru”) baik yang langsung maupun tidak langsung, berkaitan dengan upaya penegakan hukum. Dalam UU Baru dimasukkan ketentuan tentang penetapan se-mentara oleh pengadilan, yang sebenarnya sudah ada dalam per-setujuan TRIPS. Selain itu tindak pidana diklasifikasikan sebagai delik aduan, bukan delik biasa, sementara fokus pemidanaan lebih ditekankan pada pidana denda. Ditetapkan pula penggunaan badan peradilan khusus untuk penyelesaian sengketa perdata serta kemungkinan besar pihak untuk dapat menggunakan lembaga pe-nyelesaian di luar pengadilan formal.

Mengenai penetapan sementara oleh pengadilan, dalam UU Baru setiap pihak yang menduga adanya pelanggaran terhadap HAKI, dapat meminta kepada hakim untuk melarang peredaran dan penjualan produk termaksud. Tentu saja si

pelapor harus mempunyai alasan yang cukup kuat mengenai dugaan pelanggaran tersebut, sebab kalau tidak dia akan dapat digugat balik. Yang penting adalah bahwa ke-tentuan ini merupakan tambahan bagi perlindungan hak bagi pe-megang HKI. Bahkan dari sudut hukum Indonesia ketentuan ini merupakan terobosan karena hal semacam ini sebelumnya tidak dikenal. 6

Sanksi pidana: pendekatan ekonomi. Sebelum adanya UU Baru, semua pelanggaran tindak pidana HKI (hak cipta, paten dan merek), untuk yang paling berat, dalam semua undang-undang di bidang HKI tersebut diancam maksimal 7 tahun pidana badan dan/atau denda Rp. 100.000.000. Ancaman pidana badan tersebut dinilai terlalu tinggi, dan dalam praktik hakim paling sering menjatuhkan hukuman per-cobaan, kecuali satu keputusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun lalu yang menghukum 4 tahun penjara. Ditambah dengan kajian pada undang-undang yang berlaku di negara lain (bahkan ada yang tanpa pidana badan), Pemerintah ber-pendapat bahwa ancaman pidana badan yang terlalu lama tidak punya dampak apa-apa bagi rehabilitasi kerugian korban. Mengingat HAKI menopang dunia usaha, ancaman hukuman yang terlalu lama bagi

6 Purba, A. Zen Umar. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta. Disampaikan pada acara Orientasi Kepailitan bagi para Hakim Agung, diselenggarakan oleh Pusdiklat Mahkamah Agung RI anggal 29 Januari 2002.

19 EDISI-46/KPI/2007

Page 22: Bulletin 46

pihak yang bersangkutan menjadi alasan untuk tidak dapat melakukan kegiatan usahanya sehingga ter-hadang pula kewajiban membayar denda. Sebagai gantinya menurut Pemerintah akan lebih baik jika pelaku delik tersebut dikenakan pidana denda yang jauh lebih berat. Itulah sebabnya pidana denda (dan pidana badan) untuk masing-masing bidang dalam UU Baru adalah sebagai berikut: pelanggaran Paten didenda sebesar Rp. 500 juta (dan/ atau 4 tahun), pelanggaran Merek sebesar Rp. 1 milyar (dan/atau 5 tahun), dan pelanggaran Desain Industri sebesar Rp. 300 juta (dan/atau 4 tahun).

f. K e s i m p u l a n

• Aspek hukum HAKI di Indonesia sebagai konsekuensi dari per-setujuan TRIPS telah dilakukan penyempurnaan yang mencakup Hak Cipta yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1997), Hak Paten diatur dalam UU No. 13 Tahun 1997) dan Hak Merek diatur dalam UU UU No. 14 Tahun 1997).

• Untuk mengakomodasi ke-pentingan Indonesia sesuai dengan tujuan pembentukan WTO khususnya dalam mem-perluas produksi dan perdagang-an ada peluang untuk melakukan amandemen terhadap persetujuan TRIPS yang dapat dilakukan hingga akhir Juli 2007.

• Internet sebagai bagian dari era digital telah memberikan tan-tangan bagi HAKI karena karya cipta manusia dapat dialih-rupakan dalam bentuk digital

yang kemudian perbanyakannya sangat mudah dilakukan.

• Terobosan baru dalam penegakan hukum implementasi HAKI dalam bentuk sanksi ekonomi diharapkan dapat membuat jera pelanggar.

Daftar PustakaHeroepoetri, Arimbi. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan Masyarakat Adat.

Prospek, Peluang dan Tantangan. WALHI. Jakarta, 1998.

Ifransah, Mukhlis. "Perlindungan Hukum HKI di Era Digital". ICT Watch dan peneliti hukum., 12 Juni 2001.

International Trade Centre. Business Guide to the World Trading System. Second Edition. Commonwealth Secretariat. 2003. Hal.38.

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights. Annex 1 C

Purba, A. Zen Umar. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI. Jakarta. Disampaikan pada acara Orientasi Kepailitan bagi para Hakim Agung, diselenggarakan oleh Pusdiklat Mahkamah Agung RI anggal 29 Januari 2002.

Manalu, Paingot Rambe. Pengaruh Globalisasi Ekonomi terhadap Hukum Nasional khususnya Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. 1999. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia. Hal 18.

Rahardjo, Budi – Aspek Teknologi dan Keamanan Internet Banking – version 1.1, 2001.

Syukri, Agus Fanar. HAKI: The Basis of National Science and Technology Development ISTECS Chapter Japan Researcher.

20 EDISI-46/KPI/2007

Page 23: Bulletin 46

SERBA-SERBI PERTEMUAN APEC SYDNEY – AUSTRALIA 2007

Oleh : Drs. Suhodo, MM

I. PendahuluanAustralia selama tahun 2007

sebagai tuan rumah pertemuan APEC, yang sebelumnya tahun 2006 adalah Vietnam dan pada tahun 2008 Peru akan sebagai tuan rumah per-temuan APEC. Mengambil tempat di salah satu kota utama di Australia, Sydney, para Pemimpin Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dari 21 Ekonomi telah mengadakan per-temuan tahunannya yang ke-15 pada tanggal 8-9 September 2007, dengan tema “Strengthening Our Commu-nity, Building a Sustainable Future” -- Memperkuat Masyarakat APEC untuk Membangun Masa Depan Berkelanjutan”

Tiga isu utama yang dibahas para pemimpin, yakni perubahan iklim global, perundingan di WTO atau dikenal dengan Putaran Doha, dan ide menciptakan kawasan per-dagangan bebas Asia Pasifik.

Pertemuan para Pemimpin Eko-nomi APEC didahului oleh Per-temuan tingkat Menteri APEC pada tanggal 5-6 September 2007, Hasil-hasil dari pertemuan di tingkat menteri ini disampaikan kepada para Pemimpin APEC, antara lain dukungan politis terhadap perun-dingan Doha Development Agenda,

laporan Pejabat Senior mengenai penguatan integrasi ekonomi di kawasan, Trade Facilitation Action Plan II, sebuah model Code of Conduct for Business dan Code of Conduct Principles for the Public and Private Sectors, penerapan APEC General and Area-Specific Transparency Standards, kajian Enhancing Investment Liberalization and Facilitation in the Asia-Pacific Region: Reducing Behind-the-Border Barriers to Investment, prakarsa kerjasama HKI, serta kegiatan Economic and Technical Coopera-tion (ECOTECH).

Kehadiran Presiden Amerika Serikat George W. Bush untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (KTT APEC) di Sydney, Australia, diwarnai demonstrasi. Pengunjuk rasa berkumpul di jalan utama kota tersebut, tepatnya dekat stasiun kereta. Mereka menyerukan ketidaksukaan atas kunjungan pe-mimpin Negeri Adidaya tersebut. Massa mendesak Bush menarik ten-taranya dari Irak. Bush juga didesak menandatangani Protokol Kyoto.

Pertemuan APEC di Sydney Australia membuat kota terpaksa dibatasi ruang geraknya demi alasan keamanan para kepala ekonomi, semakin dekat ke arah Sydney opera house yang menjadi tempat per-temuan kemanan semakin ketat. Beton-beton pembatas dan pagar kawat tinggi yang dipasang diseluruh bagian pusat kota, membuat Sydney kehilangan kecantikan bahkan nyaris seperti kota hantu, sepi sirna semua keceriaan, romantika, dan hingar-bingar kehidupan malam.

21 EDISI-46/KPI/2007

Page 24: Bulletin 46

Masyarakat tadinya mengharap-kan jutaan dollar AS akan datang ke Sydney seiring dengan kehadiran ribuan tamu APEC, tetapi yang ter-jadi sebaliknya. Para pemilik toko, kafe dan bar mengaku penerimaan mereka merosot 50% dalam be-berapa pekan terakhir berkaitan dengan KTT APEC.

II. Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi APEC

Dalam retreat hari pertama ke-21 pemimpin APEC yang antara lain membahas perubahan iklim global, Presiden SBY mengemukakan bah-wa Indonesia diberi kesempatan ber-bicara pertama, karena diminta me-maparkan kesiapan sebagai tuan rumah sidang UN Framework Convention on Climate Change di Bali pada Desember mendatang.

Pada kesempatan itu dipaparkan mengenai berbagai inisiatif Indo-nesia untuk pertemuan itu seperti Coralreef Triangle Initiative, yakni menjalin kerja sama ekonomi dengan negara-negara penghasil terumbu karang terbesar, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, PNG, Timor Leste hingga Kepulauan Salomon, untuk menyelamatkan terumbu ka-rang sebagai kekayaan laut.

“Keragaman hayati di laut itu harus diselamatkan, mengingat di bawahnya banyak tersimpan deposit karbon,” demikian Presiden, dan inisiatif ini didukung oleh para pe-mimpin APEC lainnya.

Indonesia juga mengemukakan inisiatif pertemuan delapan ekonomi pemilik hutan tropis dunia atau Forum 8, seperti Indonesia, Malaysia, Brasil, Kamerun, me-ngenai upaya penyelamatan hutan

tropis dan persiapan pertemuan di New York pada akhir September ini membahas masalah itu, di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB.

Menurut Presiden, pertemuan UNFCCC di Bali mendatang ke-mungkinan tidak akan sibuk berkutat mengenai pro-kontra Protokol Kyoto. “Daripada ribut bertengkar soal itu, lebih baik kita membahas sebuah kerangka kerja yang baru yang lebih bisa diterapkan,” te-gasnya.

III.Putaran DohaMengenai perundingan per-

dagangan global yang dikenal de-ngan Putaran Doha, dalam kerangka WTO, Presiden mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara ekonomi berkembang tetap meminta ada per-lakuan fair dari negara - negara ekonomi maju.

“Kita bukannya cengeng, tetapi berikanlah perlakuan yang fair, jangan dihambat dengan tarif atau-pun hambatan nontarif,” katanya. “Harus ada take and give supaya Putaran Doha tidak macet,” tegas-nya. Dalam Putaran Doha ini Indonesia dipercaya menjadi koor-dinator kelompok Negara G-33. “Jadi, saya tugaskan menteri per-dagangan dan timnya yang me-nangani masalah ini bekerja lebih keras,” tegas Presiden.

IV. Perdagangan Bebas Asia PasifikKeinginan APEC membentuk

wilayah perdagangan bebas me-rupakan tujuan besar, tetapi cara pencapaian harus dilakukan ber-tahap, untuk itu, anggota ekonomi bersepakat untuk mendorong di-lanjutkannya pembicaraan mengenai

22 EDISI-46/KPI/2007

Page 25: Bulletin 46

Putaran Doha dan diupayakan agar berhasil menciptakan pasar yang le-bih bebas, terbuka, efisien dan trans-paran.

Seperti diberitakan sebelumnya, para pejabat senior APEC bersepakat untuk membahas FTA Asia-Pasifik (FTAAP). Indonesia berpandangan bahwa, kesepakatan tersebut hanya pengkajian yang bersifat jangka pan-jang. Dalam rancangan pernyataan bersama pertemuan tingkat menteri APEC. Para menteri antara lain akan mendukung kesepakatan serta sistem perdagangan multilateral yang di-hasilkan WTO karena dinilai dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Agenda pokok dalam pertemuan tersebut untuk mengantisipasi ke-buntuan negosiasi antara ekonomi maju dan ekonomi berkembang. Pernya-taan bersama yang juga di-sampaikan para menteri APEC adalah meningkatkan integrasi ekonomi regional, mencari for-mulasi baru free trade agreement (FTA) yang telah dilakukan masing-masing pemerintah, serta mengimplementasikan pelayanan satu atap (single window) antar ekonomi APEC.

V. APEC Mengalami Disorientasi.Memasuki usianya yang ke-18

tahun ini, justru timbul keraguan bahwa forum ini tidak dapat mem-perjuangkan tujuan bersama. APEC yang merupakan produk berakhirnya Perang Dingin ketika perang ideologi bergeser kepada kecenderungan eko-nomisme sudah mulai kehilangan arah. Lebih fokus ke ranah politik. Padahal, forum ini dibentuk dalam suasana yang sangat optimis tentang masa depan ekonomi kawasan Asia

Pasifik. Ekonomi-ekonomi negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), semangatnya mulai kendur terhadap forum ini. ”Ketika terjadi krisis di Asia, AS kelihatan menjadi kurang bersemangat dibanding sebelumnya. APEC juga tidak berbuat apa-apa untuk membantu ekonomi negara -negara Asia Timur dalam meng-atasi krisis Asia.

Jadi sebenarnya, APEC meng-alami semacam disorientasi. Ter-nyata tidak mudah menjembatani jarak yang begitu lebar antara ekonomi-ekonomi maju dan eko-nomi-ekonomi berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, isu pem-bahasan APEC sudah mulai keluar ”mandat” awal pendiriannya. APEC mulai kehilangan fokus, karena sifat ”basa-basi diplomatik” yang banyak diperagakan ekonomi maju, terutama AS, yang tidak diimbangi realitas. Sebuah fakta, AS sekarang lebih banyak menggunakan Forum APEC untuk tujuan keamanan, misalnya untuk ”sosialisasi” isu terorisme global.

Para pengkritik umumnya me-mandang APEC tidak efektif dan kurang responsif. Bahkan mem-pertanyakan relevansi APEC dalam memajukan kesejahteraan mas-yarakat. Ini bisa dipahami karena beberapa perkembangan di dalam APEC itu sendiri seperti trade facilitation dan capacity building sulit diukur manfaatnya. Selain itu, meskipun pembentukan APEC lebih berdasarkan pada globalisasi dan liberalisasi ekonomi, sejak 2001 APEC mulai memasukkan isu-isu yang tidak terkait dengan ekonomi seperti isu keamanan dan sosial dan lain-lain.

23 EDISI-46/KPI/2007

Page 26: Bulletin 46

Forum APEC perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing pro-duk dan daerah Indonesia. Akhirnya, kita harus mengubah pandangan tentang think globally but act locally menjadi think and act globally and regionally dalam forum seperti APEC. Semoga kita tidak hanya jadi penonton, tapi mampu menjadi ”pemain” yang diperhitungkan da-lam era liberalisasi perdagangan dan investasi.

APEC yang kini beranjak dewasa sudah cukup ideal untuk mulai me-milih ”jalan hidup” yang akan di-tempuh. Oleh karena itu, pertemuan APEC kali ini diharapkan meng-hasilkan satu putusan yang mampu memperjuangkan kepentingan para anggota, dan tentunya mewujudkan cita-cita awal pembentukan forum ini pada 1989 silam, yakni liberalisasi investasi dan perdagangan.

Sementara untuk isu liberalisasi perdagangan, misalnya terkait tarif subsidi, ekonomi maju seperti AS tidak memberikan tawaran baru, sehingga negosiasi terus buntu. ”Dalam KTT September ini agenda yang diusung juga tidak jelas arah-nya. Australia ingin mengangkat isu pemanasan global (climate change). Tapi banyak pihak termasuk Malay-sia keberatan. Karena Australia dan AS adalah penentang Protokol Kyoto,”. Dewasa ini APEC memang mulai kehilangan pengaruhnya da-lam menggerakkan kerja sama ekonomi antar ekonomi anggota. Keberadaan APEC dalam men-dorong kerja sama dan pertumbuhan ekonomi yang lebih seimbang tidak lagi sepenting di masa-masa awal pembentukannya.

Komitmen para anggota APEC pun berkurang, sehingga kesepakatan yang telah diambil miskin imple-mentasi dan berjalan lambat. Hal ini menyebabkan timbulnya suatu ke-raguan akan pencapaian cita-cita awal tersebut. Dalam perkem-bangannya, APEC juga kerap ber-usaha mengangkat berbagai isu yang dinilai relevan, meskipun keluar dari ide dasar pembentukan APEC sendiri. Perubahan iklim merupakan contoh bagaimana APEC dengan cepat meluas ke permasalahan lain, bukan hanya tentang perdagangan, melainkan sudah masuk ranah isu lingkungan hidup.

VI. Pertemuan APEC Diwarnai Demonstrasi Anti-Bush

Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (KTT APEC) di Sydney, Australia, Rabu (5/9), diwarnai unjuk rasa anti-Presiden Amerika Serikat George Walker Bush. Massa mendesak Bush menarik tentaranya dari Irak. Bush juga didesak menandatangani Pro-tokol Kyoto.

Dalam jumpa pers yang di-lakukan pemimpin Australia dan AS sehubungan dengan dengan kebijak-an Negeri Adidaya mengenai Irak, Bush tetap pada pendiriannya. Dia tidak akan menarik tentara mereka dari Negeri Seribu Satu Malam itu hingga situasi di ekonomi itu benar-benar aman.

Sikap dan keputusan yang di-ambil Gedung Putih tersebut men-dapat dukungan dari Perdana Menteri Australia John Howard. Dia akan tetap mempertahankan tentara untuk tetap Irak. Sedangkan me-ngenai Protokol Kyoto, Bush me-

24 EDISI-46/KPI/2007

Page 27: Bulletin 46

ngatakan hal itu dapat menghalangi pertumbuhan ekonominya.

Pengunjuk rasa berkumpul di jalan utama kota tersebut, tepatnya dekat stasiun kereta. Mereka me-nyerukan ketidaksukaan atas kun-jungan pemimpin Negeri Adidaya tersebut. Kendati Presiden Bush di-jadwalkan datang Selasa malam waktu setempat, unjuk rasa tetap digelar. Para demonstran itu tetap akan menyampaikan pesan dini untuk menolak kunjungan Bush. Mereka juga menentang kebijakan pemerintah Washington atas perang di Irak dan pemanasan global. Tak hanya itu, demonstran sekaligus mengkritik pemerintahan John Howard yang mendukung Amerika dengan mengirim tentara Australia ke Irak.

Untuk itu, pengunjuk rasa me-ngerahkan sekitar 10 ribu orang. Mereka menggelar aksi pada saat berlangsungnya pertemuan puncak para kepala ekonomi anggota APEC.

Sementara di pusat Kota Sydney, pemandangan yang sama berulang setiap harinya. Puncaknya adalah bertepatan dengan saat Presiden AS George Walker Bush meninggalkan kota itu. Sejumlah pengunjuk rasa meneriakkan nada protes karena me-rasa tidak nyaman sejak KTT APEC dibuka. Seluruh kota seperti dikunci dan ditutup aksesnya demi ke-amanan. Bahkan, warga justru di-minta untuk pergi keluar kota.

Polisi Sydney memang tidak main-main dengan para demonstran. Sejak forum APEC dibuka, tak kurang dari sembilan demonstran sudah ditahan. Hal ini menjadi warna lain dari KTT APEC, termasuk te-kanan politik dari dalam negeri

Australia yang semakin meragukan karier politik Perdana Menteri John Howard.

VII.Indonesia Tidak Ingin Didikte Sementara itu, pemerintah

Indonesia tidak berkeberatan atas usulan Australia yang ingin me-masukkan klausul perubahan iklim menjadi sebuah pernyataan bersama para pemimpin ekonomi-ekonomi APEC. Namun, pemerintah tidak menginginkan pernyataan tersebut menjadi kesepakatan yang mengikat. pemerintah tidak ingin didikte oleh ekonomi asing menyangkut ke-bijakan lingkungannya.

Sikap pemerintah dalam hal ini meminta agar klausul mengenai perubahan iklim tersebut bersifat umum. Persoalannya, APEC me-rupakan kumpulan 21 ekonomi yang berada di kawasan Asia-Pasifik. Australia memaksakan agar forum APEC kali ini memasukkan isu pe-rubahan iklim sebagai salah satu agenda. Dalam usulannya, mereka meminta agar para anggota APEC meningkatkan luas hutan sekurang-nya sebesar 20 juta hektare pada 2020.

Kemudian, mereka juga meminta pengurangan intensitas pemakaian energi hingga 25% pada 2030. Usulan Australia tersebut men-dapatkan tentangan dari sejumlah anggota APEC. Malaysia, melalui Menteri Perdagangan Rafidah Aziz, menyatakan penolakannya atas usulan tersebut. Alasannya, APEC merupakan forum ekonomi sehingga seharusnya tetap berfokus pada ma-salah ekonomi. Penolakan serupa disuarakan China. Di dalam negeri Australia, isu perubahan iklim ini

25 EDISI-46/KPI/2007

Page 28: Bulletin 46

merupakan isu sensitif yang menjadi perdebatan politik.

Dengan demikian, isu lingkungan hidup menjadi sebuah isu politik da-lam negeri Australia yang dibawa ke dalam forum APEC. Bahkan, selain Australia, Amerika Serikat (AS) pun berkepentingan dengan isu tersebut mengingat AS juga sedang meng-hadapi pemilu. Bagi Indonesia, Sebetulnya latar belakang politik Australia tersebut tidak jadi masalah selama tidak ada ketentuan yang sifatnya mengikat.

VIII.Bush Diprotes, Putin DipujaLain Bush, yang lebih berbau

politis, lain pula Putin. Kunjungan pemimpin negara bekas lomunis ini memiliki arti yang yang sangat penting bagi Australia. Maklum saja, kunjungan Putin ini merupakan per-tama kali oleh seorang kepala negara Rusia walaupun kedua negara telah membina hubungan diplomatik sejak 65 tahun lalu.

Penandatangan kerjasama per-dagangan uranium untuk mendukung pembangkit tenaga nuklir Rusia oleh putin dan Howard makin meng-indikasikan bahwa Australia mulai lebih melirik negara tersebut sebagai salah satu mitra energy terbesarnya sekaligus untuk mendorong per-dagangan kepala negara.

IX. APEC Tolak Keanggotaan IndiaSejak tahun 1997 APEC sudah

menutup pintu bagi keanggotaan baru, dengan demikian pintu tertutup bagi India untuk menjadi anggota setidaknya hingga tahun 2010, hal serupa juga terjadi untuk Kolombia, Ekuador, Mongolia, Pakistan, Panama, sri Lanka, Kamboja, Laos dan Myanmar.

Pada pertemuan para menteri tak satupun yang bersedia tunjuk tangan untuk membahas keanggotaan baru APEC, mereka lebih memilih agar APEC fokus pada konsolidasi internal.

26 EDISI-46/KPI/2007

Page 29: Bulletin 46

HONG KONG SEBAGAI PUSAT PERDAGANGAN STRATEGIS DI

KAWASAN ASIA TIMUROleh: Riswulan

1. UmumEkonomi Hong Kong menganut

sistim ekonomi pasar dalam arti campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi diupayakan seminimal mungkin atau dengan kata lain menganut sistim ekonomi liberal yang paling bebas, sehingga peranan swasta dalam kegiatan ekonomi menjadi amat luas. Hong Kong dinyatakan sebagai pelabuhan bebas, arus masuk keluar barang bebas dan tidak dikenakan bea masuk impor. Sistim perpajakan amat sederhana dan tariff pajakpun relatif rendah, sementara cukai hanya diberlakukan terhadap 4 kelompok barang, yaitu produk tembakau, methyl alcohol, minyak bahan bakar dan minuman keras baik dari impor maupun dari hasil produksi manufaktur dalam negeri.

Wilayah Hong Kong hanya sedikit memiliki sumber daya alam, oleh karena itu seluruh kebutuhan penduduknya bergantung pada impor, yaitu mulai dari bahan makanan, bahan baku, barang modal, barang konsumsi dan bahan bakar serta bahan air minumpun diimpor. Sehingga kondisi tersebut apalagi di-perkuat oleh pendapatan perkapita yang tinggi, maka daya serap pasar domestik barang imporpun menjadi besar.

Sebagai bekas koloni Inggris, sistim hukum yang berlaku didasarkan pada hukum Inggris. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari sebagian dari gaya hidup Baratpun diserap oleh penduduk, termasuk mengenai hal mutu dan harga barang sangat diperhatikan/amat cermat.

Dengan jumlah penduduk berj-umlah 9,9 juta jiwa, GDP percapita tahun 2005 (US$ 25,576) dan meningkat untuk tahun 2006 (US$ 27,527) dan diperkirakan tahun 2007 GDP per kapita akan men-capai US$ 28.400 – US$ 28.700. Gross Dome-tic Product/GDP Hong Kong da-lam tahun-tahun terakhir mengalami per-ubahan yang cukup signifikan, tahun 2005 (US$ 177,27 milyar), tahun 2006 (US$ 188,76 milyar) dengan tingkat per-tumbuhan riil sebesar 6,5%. Diperkirakan pada tahun 2007, pertumbuhan riil GDP akan mencapai 4,5%-5,5%.

Tahun 2006, pertumbuhan ekonomi Hong Kong telah mencapai 2006 men-capai 6,8%, yang didorong oleh faktor-faktor pertumbuhan perdagangan eks-ternal yang meningkat secara mantap, meningkatnya kunjungan wisatawan dari berbagai negara.

2. Persaingan PasarHambatan perdagangan, baik tariff

maupun non tariff dalam standard umum boleh dikatakan tidak ada. Sistim tersebut telah mendorong terciptanya suatu bentuk pasar yang dalam banyak hal mendekati bentuk persaingan sempurna. Sehingga setiap orang termasuk orang asing, dapat dengan mudah memasuki pasar dengan mendirikan perusahaan atau perwakilan dagang. Oleh sebab itu, perusahaan ter-masuk importir Hong Kong hanya dapat bertahan dan berkembang apabila mampu menyediakan barang yang berdaya saing kuat.

27 EDISI-46/KPI/2007

Page 30: Bulletin 46

Sebagai pengaruh dari tingkat per-saingan yang demikian kuat, maka perusahaan-perusahaan Hong Kong terus memperkuat diri dengan memperluas jaringan perdagangannya di pasar inter-nasional baik untuk keperluan impor maupun re-ekspor. Jumlah perusahaan perwakilan asing di Hong Kong sebanyak 3.845 perusahaan asing yang beroperasi di Hong Kong, selain China, perusahaan dari Uni Eropa, AS dan Jepang.

Hong Kong juga merupakan pusat keuangan dan perbankan terpenting di kawasan Asia Pasifik. Hong Kong me-rupakan foreign-exchange market terbesar ke-3 di Asia dan ke-6 di dunia. Distribusi barang relative pendek dan sederhana, yaitu melalui importer/ grosir, agen, industri/ manufaktur dan pedagang eceran.

Faktor alam yang miskin sumber alam mendorong para importer Hong Kong untuk senantiasa saling bersaing atau dapat dikatakan keberhasilan suatu produk memasuki pasar Hong Kong akan ditentukan oleh daya saing produk itu sendiri.

1. Peluang PasarSebagaimana dikemukakan di atas,

Hong Kong tetap mantap sebagai pusat perekonomian terpenting di kawasan Asia Pasifik, ditambah dengan sangat tingginya ketergantungan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan penduduk serta pendapatan per kapita yang cukup tinggi, maka daya serap pasar domestik ter-hadap barang-barang impor pun menjadi sangat besar.

Hong Kong merupakan pusat keuangan dan perbankan terpenting di kawasan Asia Pasifik, serta tempat yang paling popular dan strategis sebagai pusat perdagangan. Data statistik me-nunjukkan bahwa 26,58% dari total

impor Hong Kong (tahun 2006) senilai US$ 87,24 milyar merupakan impor yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri/retained import.

Berdasarkan angka-angka ter-sebut dan disandingkan dengan potensi ekspor andalan Indonesia, maka peluang pe-masaran produk ekspor Indonesia di pasar Hong Kong masih cukup terbuka dengan upaya peningkatan daya saing ekspor, terutama produk ekspor yang berbasis sumber daya alam yang selama ini sudah cukup memiliki paar yang baik di Hong Kong, karena dalam hal produk ekspor industri manufaktur teknologi tinggi agak berat untuk ditandingi dengan negara Singapura, Thailand dan Malaysia. Hal ini dimungkinkan, karena Hong Kong selain fungsinya sebagai perantara (tingginya nilai re-ekspor ke dunia hamper mencapai 80% per-tahun) juga didukung oleh sangat besarnya tingkat keter-gantungan impor Hong Kong dalam hampir seluruh kebutuhan dalam negerinya.

Dengan stabilitas ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang kondusif dan di dukung oleh infrastruktur sangat unggul baik transportasi, keamanan, perhotelan dan komunikasi, maka Hong Kong merupakan tempat paling favorit untuk pameran dan konferensi penting, tidak kurang setiap tahun lebih dari 300 pameran dagang dan konferensi inter-nasional (kelas Dunia maupun Asia) diselenggarakan di Hong Kong.

2. Fora Perdagangan Utama Hong KongSebagai Negara yang menerap-kan

prinsip perdagangan bebas, Hong Kong melakukan kerjasama dengan Negara-negara tujuan ekspor dengan tujuan untuk memenuhi ketentuan yang di-berlakukan Negara tujuan ekspor ter-

28 EDISI-46/KPI/2007

Page 31: Bulletin 46

besar tersebut se-hingga hambatan tariff dan non tariff akan dapat diminimalisasi-kan.

Beberapa kerjasama yang dilakukan, antara lain :

a. Sebagai salah satu anggota pendiri WTO, Hong Kong sangat aktif berperan dalam organisasi dunia ini dan salah satu bentuk-nya adalah sebagai tuan rumah KTM VI WTO Desember 2005.

b. Hong Kong menjadi anggota penuh APEC dan separate member PECC (Pacific Economy Cooperation Council). Hong Kong bergabung dengan APEC sejak tahun 1991.

c. Tekstil merupakan salah satu komoditi utama ekspor Hong Kong, utamanya ke pasar Uni Eropa, AS dan Canada. Dalam upaya me-nanggulangi illegal transshipment teksil, Hong Kong dan AS telah menandatangani MOU e-CERT, yaitu kerjasama Joint Factory Observasion Visit antara perwakilan Customs US di Hong Kong dan Customs Hong Kong.

3. Perdagangan Hong Kong dengan IndonesiaPada tahun 2006, perkembangan

perdagangan Hong Kong – Indonesia mengalami pertumbuhan positif di-bandingkan tahun 2005. Tetapi dengan terjadinya peningkatan dasi sisi ekspor Hong Kong ke Indonesia dan penurunan impor dari Indonesia maka surplus perdagangan untuk Indonesia mengalami penurunan sebesar 56,49% dibandingkan surplus yang diperoleh pada tahun 2005 US$ 657,35 juta menjadi US$ 493,92 juta, ini disebabkan karena turunnya permintaan pasar Hong Kong dari dunia. Sehingga surplus perdagangan Indonesia

dengan Hong Kong mengalami penyusutan yang cukup signifikan

Dalam lima tahun terakhir, nilai ekspor Hong Kong ke Indonesia terus mengalami peningkatan dengan komoditi utama antara lain :- Benang tenun, kain tekstil dan

hasilnya;- Peralatan telekomunikasi dan

rekaman;- Mesin listrik dan peralatannya;- Tas dan perlengkapannya; - Hasil manufaktur lainnya.

a. Komoditi utama dari 4 pesaing Indonesia di ASEAN yang cukup kuat di pasar Hong Kong relatif sama, yaitu electrical machinery; office machine & automatic data processing machine; telecom-munication & sound recording; dan plastic in primary form. Komoditi lainnya yang cukup tinggi permintaannya di pasar Hong Kong dari masing-masing Negara adalah power generating machinery dan general industrial machinery (Singapura); petroleum, its product & related materials (Malaysia); non-metallic mineral manufacturers (Thailand); dan articles of apparel & clothing accessories dan miscellaneous manufactured articles (Philipina).

Sedangkan laju pertumbuhan impor Hong Kong dari Indonesia bergerak lebih lambat disbanding-kan ekspor Hong Kong ke Indonesia, ini disebabkan karena kinerja beberapa komoditi andalan yang relatif mengalami penurunan permintaan.

b. Peluang Kerjasama

29 EDISI-46/KPI/2007

Page 32: Bulletin 46

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia aktif mengikuti ber-bagai kegiatan pameran per-dagangan yang diadakan di Hong Kong. Pada tahun 2005, Indonesia mengikuti 3 (tiga) pameran di bidang tekstil, makanan dan industri lainnya. Diharapkan kerjasama kedua pihak dapat terus ditingkatkan, utamanya di bidang promosi perdagangan.

4. Hambatan Perdagangan dan Permasalahan Yang Dihadapia. Pasar Hongkong sangat

terbuka bagi produk apapun, kecuali terkait dengan keselamatan, keamanan dan kesehatan, namun faktor yang diperkirakan menjadi hambatan antara lain menyangkut daya saing kualitas produk, labelisasi produk makanan dan kontinuitas ekspor. Mulai bulan Juli 2007 Hongkong akan memberlakukan labelisasi pada kemasan produk makanan.

b. Produsen dan eksporti Indonesia belum siap sepenuhnya untuk meningkatkan kinerja ekspor ke Hongkong untuk itu perlu di-laksanakan berbagai upaya seperti penyediaan brosur, leaflet, company profile, direk-tori perusahaan yang terkini serta sample produk.

c. Pertanyaan mengenai bonafiditas perusahaan Indonesia yang menjadi calon mitra dagang mereka sering ditanyakan karena importir Hong Kong umumnya sangat hati-hati.

5. InvestasiPada tahun 2005, Investasi Hong

Kong di Indonesia tercatat sebanyak 17 proyek dengan nilai US$ 125,4 juta atau 0,9 % dari total nilai PMA. Dengan demikian terjadi kenaikan investasi yang cukup tajam di-bandingkan dengan investasi Hong Kong pada tahun sebelumnya, yaitu sebesar 12 proyek dengan nilai US$ 20,1 juta pada tahun 2004.

Sedangkan investasi s/d Juli 2006 menduduki peringkat ke-7 dengan nilai US$ 283,7 juta dengan jumlah 10 proyek. Investasi Hong Kong antara lain di sektor industri tekstil dan garment, mainan anak-anak, elektronik, alat-alat listrik, jam, per-hotelan, jasa keuangan, plastik, kimia dan produk kimia, per-minyakan dan perikanan. Dengan demikian, sangat diharapkan pe-ningkatan investasi dari Hong Kong.

6. Kerjasama RegionalCEPA (Closer Economic Partnership Arrangement)

• Hong Kong memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan China yang mencakup perdagangan bebas barang dan jasa.

• Dalam kerangka CEPA, dilakukan liberalisasi berupa penurunan tarif bagi 273 produk dan liberalisasi 18 sektor jasa.

• Indonesia mengharapkan Hong Kong dapat berbagi pengalaman (sharing information) dalam hubungan perdagangan bebas dengan China (CEPA), meng-ingat Indonesia yang tergabung

30 EDISI-46/KPI/2007

Page 33: Bulletin 46

dalam ASEAN saat ini telah sampai pada tahap negosiasi untuk mengadakan ASEAN – China FTA, yang juga mencakup perdagangan bebas barang dan jasa.

31 EDISI-46/KPI/2007