Buletin Kinasih #5

22
Edisi V | 22 Halaman

description

Download: http://teaterkinasih.org/buletin/download-pdf

Transcript of Buletin Kinasih #5

Edisi V | 22 Halaman

Pendidikan Tak Sebatas Benar dan Salah

Salam Budaya!Menginjak bulan mei, kita diingatkan akan sebuah hari penting, yaitu Hari Pendidikan Nasional. Yang mana setiap tanggal 2 mei , bangsa Indonesia diharapkan sadar akan pentingnya pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun juga kita harus telaah lebih lanjut, apakah sistem pendidikan di Negara kita sudah mengacu pada tujuan untuk mencerdaskan bangsa, atau hanya bentuk lain penjajahan para kapitalis untuk mempengaruhi pola pikir rakyat Indonesia demi keuntungan mereka?

Dengan maksud berpartisipasi demi mencerdaskan bangsa, di bulan pendidikan ini marilah kita melihat dan mengkaji bagaimana pendidikan di Indonesia di jalankan, lalu setelah itu menyimpulkan culture pendidikan seperti apa yang tengah melanda bangsa, bagaimana apresiasi kita terhadap pendidikan seni dan budaya? Lalu lebih lanjutnya, mengajak untuk mengambil tindakan atas apa yang buruk ,marilah kita perbaiki dan apa yang baik harus tetap dipertahankan, bahkan ditingkatkan kualitasnya.

Mari jadikan pola pikir kita terbuka akan segala kemungkinan, terbuka dan menerima segala ilmu pengetahuan, sehingga jauh dari fanatisme berlebihan atau merasa benar sendiri. Jangan takut menuangkan ide dan pertanyaan pada sebuah parade kritis, karena generasi muda harus cerdas, banyak bertanya dan lugas. Seniman harus penuh ide cemerlang yang out of the box dengan tujuan mulia, bukan sekedar berkesenian untuk mencari makan.

Ahir kata, Pendidikan bukan tentang apa yang benar dan apa yang salah, namun lebih kepada mengetahui segala sesuatu untuk disikapi secara bijak. Dan kami dengan terbuka menerima kritikan ataupun masukan, dan bersedia berbagi ilmu dengan siapa saja para pembaca, mahasiswa, seniman, pendidik, bahkan dengan jiwa-jiwa yang gelisah, Selamat berkarya! (BuKin/EK)

Pemimpin Umum/Penanggung Jawab:

Nurcahyo Triatmojo

Pemimpin Redaksi:Eka Kartika

Editor:Maria Natasha, Ridwan

Sobar, Dian Ihsan Siregar

Staf Redaksi:Sherly Febrina, Ayudia

Putri, Egy AS, Addis Nadira, Muhammad Guntur, Nanda Fitri

Fotografer:Alika Khanza

Tata Letak:Bayu Adji P

Alamat Redaksi:Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan

E-mail:buletin.kinasih@yahoo.

com

Blog:bulletinkinasih.blogspot.

com

LENSA KINASIH

Pemimpin Umum/Penanggung Jawab:

Nurcahyo Triatmojo

Pemimpin Redaksi:Eka Kartika

Editor:Maria Natasha, Ridwan

Sobar, Dian Ihsan Siregar

Staf Redaksi:Sherly Febrina, Ayudia

Putri, Egy AS, Addis Nadira, Muhammad Guntur, Nanda Fitri

Fotografer:Alika Khanza

Tata Letak:Bayu Adji P

Alamat Redaksi:Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan

E-mail:buletin.kinasih@yahoo.

com

Blog:bulletinkinasih.blogspot.

com

Jika pendidikan identik dengan kata mahal, itu wajar. Tapi jika itu menjadi alasan seseorang untuk tidak mencari ilmu, berarti orang itu malas dan bodoh. Seperti kata pepatah , “dimana ada keinginan disitu ada jalan”, yakinlah bahwa dengan usaha yang keras, maka keinginan akan terpenuhi. Sesungguhnya untuk menjadi cerdas itu mudah asal kita mau berusaha.

Pendidikan murah, apalagi gratis, pada awalnya terdengar seperti isapan jempol belaka, namun jika kita rajin bertanya dan berusaha mencari tahu, pendidikan bisa didapat dengan biaya murah bahkan cuma-cuma. Tidak semua

Cerdas Itu Mudah

KLIMAKS

orang pelit ilmu, tidak semua lembaga pendidikan punya tujuan komersil. Diluar sana pasti terdapat sekelompok orang yang rela berbagi ilmu dan meng-gratiskan pendidikan untuk tujuan mulia, kita hanya tinggal mencari dan menemukannya.

Menimba ilmu seni dan budaya di sebuah institute atau lembaga kursus memang cukup menguras biaya, tapi ada beberapa lembaga seni budaya yang menyediakan pelatihan murah bahkan gratis. Pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Budaya, menyediakan wadah bagi pegiat seni juga masyarakat umum yang punya keinginan untuk menyalurkan bakatnya melalui Balai Latihan Kesenian (BLK) yang tersebar di seluruh Jakarta, mereka mengadakan workshop dan latihan regular yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, kegiatan tersebut meliputi seni tari, musik, teater , artistik, dan lain-lain.

Selain pemerintah, ada juga lembaga kesenian lain seperti Bentara Budaya Jakarta (BBJ) yang kini telah menjadi lembaga seni budaya nasional, jika tertarik dengan seni tari namun terhambat dengan biaya kursus yang mahal, tidak ada salahnya untuk pergi ke BBJ setiap selasa sore, hanya membayar iuran Rp 40.000/ bulan kita akan mendapatkan pelatihan tari sekali dalam seminggu. Bahkan untuk pelatihan musik gamelan/kenongan, sinden dan dalang mereka tidak memungut biaya apapun.

Selain lembaga-lembaga kesenian, kita juga dapat menimba ilmu dari beberapa pegiat seni yang ikhlas memberikan ilmunya tanpa dibayar sepeserpun. “Buat apa pelit ilmu, toh kalo dibawa mati juga ga guna, tapi disini saya ga ngasih, kita sama-sama belajar”, ujar Samuel seorang dalang Wayang Beber yang di temui di museum Wayang Kota tua Jakarta 24/4. Ada juga pelatih keaktoran dari Dewan Kesenian Jakarta, Kang Nur berkata, “Saya bersedia melatih 10 peserta workshop terbaik secara cuma-cuma asal kalian mau dan giat belajar, lalu mengajarkannya lagi untuk orang lain”, ujarnya pada peserta Pelatihan Teater tingkat Dasar di BLK Jaksel.

Jadi untuk menjadi cerdas dan turut serta mencerdaskan bangsa tidak perlu memiliki uang banyak, cukup punya kemauan keras, rajin, ulet dan jujur, ilmu pengetahuan bisa kita dapatkan. Dan jangan lupa untuk berbagi ilmu namun tetap rendah hati, karena ilmu yang tersimpan tidak akan berguna apabila dibawa mati, dan padi yang berisi akan semakin merunduk. Selamat hari pendidikan Nasional (BuKin/EK)

KLIMAKS

Saur Marlina Manurung: Terang Untuk Semua

Butet Manurung yang terkenal dengan kegigihannya untuk mendidik suku terpencil ,dilahirkan di Jakarta tanggal 21 Februari 1972, dengan nama Saur Marlina Manurung. Kedua orang tuanya, Victor Manurung dan Anar Tiur Samosir sangat menyayangi dan memanjakan Butet yang merupakan anak tunggal ini. Masa kecilnya dihabiskan di negeri Belanda dan dibesarkan di Jakarta dengan segala hiruk pikuk dan modernisasi kota besar. Sejak kecil ia diajarkan untuk mencintai alam dan peduli kepada sesama.

“Habis gelap Terbitlah terang” seperti yang dituliskan Kartini, ternyata menginspirasi bagi Saur Marlina Manurung untuk memberikan terang bagi sesamanya, dengan ilmu pengetahuan. Dia mendirikan sekolah dan juga mendidik Suku Anak Dalam (Orang Rimba yang hidup di hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi).

Lulus dari sekolah menengah atas, ia kemudian kuliah di UNPAD, Bandung. Dua bidang studi, yaitu Sastra Indonesia dan Antroplogi, ditempuhnya bersamaan. Ia menjalani kuliah sambil kerja sambilan mengajar organ dan matematika. Diam-diam dari hasil kerja sambilannya ia menabung, agar setiap bulan ia bisa naik ke gunung.

SOSOK

Suatu saat perjalanan alam membawanya bertemu dengan suku Rimba di pedalaman rimba Jambi. Konon orang Kubu (sebutan untuk suku Rimba) dikenal sebagai suku yang bodoh, miskin dan primitif. Banyak kasus penipuan yang memang terjadi di sana, perampokan hasil alam seringkali terjadi tanpa disadari oleh penduduk. Mereka sering ditipu dan dibodohi oleh orang kota, orang yang mungkin duduk di atas kursi empuk dengan jas dan dasi melekat di tubuhnya. Seketika itu Butet terdiam dan merenung, ia harus melakukan sesuatu! Itulah awal niatannya membuat sekolah alam, dan mengajarkan mereka banyak hal.

Sejak tahun 1999 ia mendirikan Sokola Rimba dan mengajarkan anak-anak ini membaca, menulis dan juga berhitung. Ia menginginkan agar Suku Kubu tidak lagi mudah dibodohi dan tertipu oleh orang-orang asing yang berusaha mengambil sumber daya alamnya. Mereka ini sebelumnya dikenal dengan orang bodoh, terbelakang dan primitif.

Bukan tanpa hambatan mengajar anak-anak rimba ini, mereka mempunyai peradaban sendiri, yang sangat anti pada kemapanan dunia luar, mempertahankan tradisi adalah sebuah keharusan. Pada awalnya orang tua anak-anak rimba ini sangat menolak pendidikan, karena kuatir kalau anak mereka menjadi pintar, terpengaruh dunia luar dan melupakan adat istiadat mereka serta tidak hormat kepada orang tua. Berkat kegigighan butet melakukan pendekatan yang menyesuaikan kehidupan mereka akhirnya Butet diterima baik di masyarakat ini.Pola pendidikan yang dicoba diterapkan Butet kepada anak-anak di pedalaman Suku Anak Dalam, tentulah sangat berbeda dengan guru kebanyakan di tanah air. Ia menerapkan pola belajar yang mengikuti mood murid.

Selain menjadi guru, sewaktu-waktu Butet juga bisa menjadi murid. Banyak pelajaran yang ternyata bisa diperoleh dari mereka, seperti bagaimana mengenali jejak sampai mengobati secara tradisional. Hal-hal itulah yang tidak pernah didapatnya ketika masih sekolah maupun di perguruan tinggi.Banyak sekali penghargaan yang telah ia terima seperti Man and Biosfer Award 2001, Woman Of The Year bidang pendidikan AnTv 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005, Ashoka Award 2005, Ashoka Fellow 2006 dan Young Global Leader Honorees 2009. (BuKin/SFI)

SOSOK

Month of Art IIKampus sebagai lembaga formal untuk menimba ilmu juga banyak berperan serta dalam menciptakan karya seni yang spektakuler dan ciamik, Teater Kampus memang tidak bisa dipungkiri keberadaannya sebagai wadah berkumpulnya pegiat seni yang mengusung intelektualitas. Salah satu Teater Kampus yaitu Teater Delapan Universitas Sahid Jakarta belum lama ini menampilkan “Sentaperwhere”, yaitu Seni Tari dan Peran Everywhere. Acara dibuka dengan tari kontemporer yang dibawakan oleh dua perempuan calon anggota tetap Teater Delapan. Para penari selalu bergerak bersamaan membawa payung, melemparnya lalu penari yang satunya berdiri di belakang penari lainnya. Tarian tersebut melambangkan cermin yang memiliki satu titik fokus di tengah panggung. Selain melambangkan cermin, tarian yang diiringi musik ala Timur Tengah tersebut juga melambangkan bayangan yang selalu mengikuti semua benda di alam semesta. Acara terus dilanjutkan oleh tari kontemporer oleh ketua Teater Delapan. Tarian ini mengangkat kegelisahan yang diekspresikan dalam tari semi balet.

Acara puncak diisi oleh para calon anggota tetap, sebuah lakon teater tentang lukisan. Pertunjukan ini dimainkan oleh dua orang pemain yang berperan sebagai orang awam dan seorang pelukis. Si orang awam telihat kebingungan dalam membedakan lukisan yang bagus dan yang buruk ketika baru memasuki ruang pameran lukisan. Seorang pelukis lantas masuk dan menjelaskan makna lukisan tersebut satu per satu. Si orang awam itu terus memperhatikan apa yang sedang dijelaskan oleh pelukis perempuan tersebut, hingga akhirnya mengerti dengan lukisan yang ada di dalam ruang pameran lukisan itu. Pertunjukan ini menjelaskan tentang mahzab dalam lukisan-lukisan yang ada di atas panggung. Menurut Bli, sutradara pementasan tersebut, pementasan ini bertujuan untuk menerangkan aliran-aliran lukisan kepada masyarakat awam.

Acara dilanjutkan dengan diskusi pegiat teater kampus. Komunitas teater kampus yang hadir sebagai undangan dalam diskusi ini antara lain, Teater Neraca dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Teater Kodok dari STMT Trisakti, dan Teater Kinasih dari IISIP Jakarta. Kegiatan diskusi ini, diharapkan tercipta jalinan kerjasama antar teater kampus dan sebagai wadah untuk saling bertukar ilmu dalam dunia seni, khususnya pada seni teater. (BuKin/BAP)

PANGGUNG

Sejak kehadiran mobil mewah yang menerobos lampu merah itu dalam kehidupanku, aku tidak bisa hidup tenang. Aku tidak ada gairah hidup. Aku tidak ada nafsu makan, tidak ada nafsu minum bahkan tidurpun tak bernafsu. Keterlaluan! Benar-benar keterlaluan mobil mewah yang menerobos lampu merah itu, Tapi kenapa semua orang bungkan bahkan polsi-polsi lalu lintas di pos polisi lampu merah itu tidak berkutik dibuatnya. Kenapa? Apa alasannya? Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus bertindak!

Mobil mewah yang menerobos lampu merah itu datang dalam mimpiku. Ia menghantuiku. Seluruh kehidupanku dikorupsi habis olehnya. Aku jadi banyak melamun tentangnya. Kadang-kadang aku melamun di kelas, melamun di perpustakaan, melamun di dalam mimpi, melamun di kantin bahkan kadang-kadang aku melamun di toilet. Dan tahukah apa yang sering aku bilang ketika hendak membuang hajat? Aku sering bilang begini, ”Pergilah kau mobil mewah penerobos lampu merah bersama tinjaku yang busuk ini !”

Dilarang melarang! Kutumpahkan kekesalanku pada mobil mewah yang menerobos lampu merah itu dengan kekesalan yang meluap-luap. Ini tak bisa dibiarkan lagi. Akan kutuntaskan semuanya. Mobil mewah yang menerobos lampu merah itu harus membayar mahal atas penderitaanku selama ini. Dan malam ini aku memutar otak untuk berpikir apa yang akan kulakukan besok. Tenagaku benar-benar terkuras habis malam ini. Karena besok aku akan menghadap ke kantor polisi untuk memrotes mobil mewah penerobos lampu merah itu dan bila perlu polisi-polisi lampu merah itu dipecat saja sekalian karena lalai. Darahku benar-benar mendidih malam ini. Aku tidak bisa tidur malam ini.

Dilarang melarang! Hari sudah pagi. Aku sudah di jalan raya. Aku menunggu bajaj yang biasa kutumpangi. Lama-lama timbul juga kekesalanku karena sopir bajaj itu belum datang-datang juga dengan bajaj bututnya. Aku mengomel-ngomel, “Dasar bajaj butut. Sok jual mahal lagi. Emang aku gak bayar apa !” Keterlaluan juga bajaj butut itu bentakku.

Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapanku. Seorang pemuda dalam mobil itu menyilakanku untuk naik. Tanpa pikir panjang lagi akupun segera naik. Nikmat juga kurasakan sepanjang perjalanan selama berada dalam mobil mewah ini. Aku terus mengomel tentang mobil mewah penerobos lampu merah itu. Sehingga, ketika kusadari bahwa diriku telah berada di kantor polisi sekarang. Aku benar-benar terkejut dibuatnya. Mobil mewah ini benar-benar

DILARANG

NASKAH

MELARANG

telah menolongku. Menolong untuk menumpas ketidakadilan.

Ketika berhadapan dengan kepala polisi itu, aku mengumpulkan kekuatan dan berkata dengan penuh percaya diri.

“Pak,tolong berlaku adil. Tolong pecat anak buah bapak yang bertugas di pos polisi lampu merah itu.” “Apa alasannya?” tanya kepala polisi itu “Anak buah bapak membiarkan mobil mewah menerobos lampu merah.”“Benar begitu?”“Benar,Pak.”

Akhirnya, kepala polisi itu memanggil seseorang dari dalam. Tak lama kemudian muncul seseorang yang tak asing bagiku, seorang pemuda yang memberikan tumpanan gratisnya padaku tadi. Lagi-lagi aku terkejut dibuatnya. Lalu kamipun bergegas ke tempat parkir untuk segera menuju pos polisi di lampu merah itu untuk memaki polisi-polisi lalu lintas yang loyo. Bila perlu dipecat saja sekalian karena lalai membiarkan mobil mewah menerobos lampu merah itu. Dan mobil mewah penerobos lampu merah itu harus diberi sanksi dan ditindak pidana.

Tapi ketika mendekati tempat parkir. Aku tak dapat meneruskan langkah. Kakiku seakan berat mengayun. Bibirku bergetar. Mataku seakan mencuat keluar. Darahku mendidih seketika itu. Seperti ada yang menjalar. Kurasakan ada yang aneh. Aku seperti dihantam gelombang dahsyat.

“Tunggu!” kataku spontan membuat kepala polisi dan pemuda itu terkejut.

Aku memerhatikan mobil yang terparkir di hadapanku dengan mata terbelalak lebar. Waduh gawat! Aku bergumam. Ya Tuhan… gawat! Mobil mewah penerobos lampu merah itu ada di hadapanku sekarang. Ia hadir lagi. Ia terus membuntutiku. Ia benar-benar menantangku. Lihat saja, dia tetap berdiri dengan kepongahannya. Ini tak bisa dibiarkan lagi. Aku akan segera bertindak. Ini kesempatan emas buatku. Ia harus membayar semuanya hari ini. Tapi dimanakah pemiliknya. Mataku sibuk mencari-cari pemiliknya. Tak tertahankan lagi aku bertanya.

“Pak, siapakah pemilik mobil ini?”

“Anak saya.” jawab kepala polisi itu.

“Dimanakah anak Bapak sekarang?”

“Ini anak saya.” jawab kepala polisi itu sambil menunjuk pemuda yang sejak tadi bersama kami dengan matanya.

Dilarang melarang! Masya Allah, bukankah mobil mewah ini yang membawaku kemari. Subhanallah, bukankah pemuda ini yang memberikan tumpangan gratis padaku. Astagfirullah, bukankah mobil mewah ini yang menerobos lampu merah itu. Tiba-tiba aku menjerit.

“Tidaaaaakkkkkk……….!!!!!! DILARANG MELARANG!”. (BuKin/MG)

NASKAH

Teater Tradisi/ tradisional Teater adalah bentuk pertunjukan yang pesertanya dari daerah setempat karena terkondisi dengan adat istiadat, sosial masyarakat dan struktur geografis masing-masing daerah. Jenis-jenis Teater Tradisional Indonesia diantaranya adalah: Ketoprak dari Yogyakarta, Ludruk dari Surabaya, Wayang Orang dari Jawa Tengah/Yogyakarta, Lenong dan Topeng Blantik dari Betawi, Mamanda dan Wayang Gong dari Kalimantan Selatan, Mak Yong dan Mendu dari Riau, Masres dari Indramayu, Randai dari Sumatera Barat, Dulmulk dari Sumatera Selatan, Bangsawan dari Sumatera Utara, Anak Ari dari Nusa Tenggara, Arya Barong Kecak dari Bali.

Jakarta sebagai ibukota memiliki teater tradisi yang dikenal dengan nama Lenong. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.

Lenong Betawi Sebagai Teater Tradisi

NUSANTARA

Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.

Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh. Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.

Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen. Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam. Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.

Lenong sebagai seni budaya betawi diusahakan untuk dilestarikan oleh pemerintah, terutama pemerintah Jakarta, usaha untuk mendidik dan melatih generasi muda untuk mencintai budayanya ini di salurkan lewat Balai Latihan Kesenian (BLK) yang berada di setiap wilayah Jakarta, di Selatan, Barat, Utara, maupun Timur. Jadi bagi siapa saja yang ingin berlatih dan menimba ilmu dari tari, musik hingga teater tradisi betawi, silahkan dating ke BLK terdekat. (BuKin/EK)

NUSANTARA

Parade KritisTeater Kinasih

HALAMAN FOTO

Parade Kritis adalah ajang untuk para anggota Teater Kinasih dalam mengekspresikan segala kegelisahannya dalam bentuk kegiatan seni. Kegiatan ini juga bertujuan untuk mengeritisi segala hal yang terjadi di dalam masyarakat, lingkungan kampus secara khusus. Setiap anggota Teater Kinasih wajib mnuangkan buah pikirannya dalam bentuk karya seni. Parade Kritis ini juga untuk melatih keberanian para anggota untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum.

Salah seorang anggota Teater Kinasih membacakan puisi tentang betapa kerasnya hidup seorang buruh.

Wajah gembira para anggota Teater Kinasih menutup acara Parade Kritis seakan telah menunaikan tugasnya sebagai insan seni yang turut berperan dalam masalah-masalah sosial.

HALAMAN FOTO

Puisi tentang seorang gadis keponakan dari perempuan buruh dibawakan dengan sangat baik.

TENTANG RUPA

Miniatur berbagai jenis kendaraan akan menyapa mata kala melintas di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan. Kendaraan-kendaraan mini tersebut adalah produksi dari usaha yang ditekuni Marsa’ad atau lebih dikenal sebagai Umar (70) berlabel “UD Senang Anak”. Usaha ini sudah ditekuninya sejak 1977, setelah bangkrut dari usaha stempel.. “Awalnya saya usaha pembuatan stempel pada 1972. Namun, karena bangkrut, akhirnya saya mencoba membuat kerajinan. Awalnya coba-coba, mungkin ini yang dimaksud orang-orang, saya bakat,” kenang Umar.

Awalnya, Umar iseng-iseng membuat kincir angin dengan hiasan orang-orangan. Lambat laun pesanan mulai berdatangan. “Dulu modalnya hanya Rp 800, dan yang saya buat, baru kincir angin. Dari modal segitu, Rp200-nya saya belikan triplek bekas, dapat satu becak penuh triplek,” katanya seraya tertawa.

Benda Mungil Bernilai Besar

Semakin hari, model yang dibuatnya semakin bertambah. Kreasinya berkembang menjadi miniatur truk, kereta api, bajaj, mobil, bis Trans Jakarta dan becak. “Yang paling laku bentuk truk ini. Harganya ada yang sampai Rp100 ribu-an,” jelasnya.

Lelaki asal Serang ini menuturkan, penjualannya saat ini memang tidak selaris sebelum krisis moneter melanda Indonesia 1998 silam. Saat itu, penjualannnya per hari bisa mencapai 40-100 buah per hari. Tidak heran jika omzetnya waktu itu bisa menembus angka hingga Rp40 juta per bulannya. “ Kalau dulu perbulan bisa 400-an yang terjual. Tapi beda dengan sekarang, kadang hanya laku lima buah,” tuturnya.

Lebih jauh dirinya menjelaskan, selain pengrajin semakin sedikit, saat ini modal juga tidak mudah didapat. “Waktu itu mau meminjam ke BRI, tapi tidak jadi karena saya tidak punya jaminan, “ kata Umar.

Harga yang ditawarkan per buah memang tidak bisa terbilang murah. Semua lantaran miniatur yang dihasilkan benar-benar buatan tangannya. “Kisaran harganya paling murah Rp40 ribu sampai Rp300 ribu,” akunya.

Kincir angin buatan Umar tak hanya digemari masyarakat sekitar namun juga oleh negara-negara lain. Tak jarang pesanan datang dari Australia, bahkan ada pesanan langsung dari Jerman dan Belanda.

“Dari Belanda ada yang minta 300 buah perbulan. Tapi saya belum sanggup karena semua dikerjakan sendiri dan hanya dibantu beberapa orang. Jadi, 300 buah baru siap dalam beberapa bulan. Biasanya orang Belanda itu datang langsung untuk mengambil pesanannya,” tutur Umar. Di Belanda, kerajinan buatanUmar harganya bisa melambung menjadi Rp600 ribu hingga Rp700 ribu per buahnya.

Meski begitu, Umar menyesalkan minat generasi muda yang menyepelekan kerajinan miniatur ini. Bahkan, kelima anaknya pun enggan meneruskan usahanya meskipun menjanjikan. Padahal, bahan baku pembuatan miniatur ini tidak susah didapat, hanya berasal dari kayu, triplek, paku kecil, dan beberapa jenis plastik.

“Bahan baku tidak sulit dicari. Yang sulit itu orang yang membuatnya. Waktu membuat satu miniatur memang tidak tentu. Ada yang sampai satu bulan baru selesai, dan ada yang satu hari bisa dibuat dua jenis miniatur,” jelasnya. (BuKin/EAS)

TENTANG RUPA

NASKAH

Pahlawan PendidikanJika dunia kami yang dulu kosong tak pernah kau isi Mungkin hanya ada warna hampa, gelap tak bisa apa-apa, tak bisa kemana-mana Tapi kini dunia kami penuh warna Dengan goresan garis-garis, juga kata Yang dulu hanya jadi mimpi Kini mulai terlihat bukan lagi mimpi Itu karena kau yang mengajarkan Tentang mana warna yang indah Tentang garis yang harus dilukis Juga tentang kata yang harus dibaca Terimakasih guruku dari hatiku Untuk semua pejuang pendidikan Dengan pendidikanlah kita bisa memperbaiki bangsa Dengan pendidikanlah nasib kita bisa dirubah Apa yang tak mungkin kau jadikan mungkin Hanya ucapan terakhir dari mulutku Di hari pendidikan nasional ini Gempitakanlah selalu jiwamu wahai pejuang pendidikan Indonesia

Bahasa SMS ‘4l4y’ versus EYDGAYA HIDUP

Pastinya Kawan BuKin sudah tidak asing dengan model tulisan yang mengkolaborasikan angka dan huruf yang sering ditemui pada SMS (Short Message Service) atau status di Facebook. Apalagi ditambah dengan singkatan-singkatan ajaib atau kata-kata yang niatnya ingin menunjukkan kalau orang yang menulis pesan itu adalah orang imut. Padahal kenyataannya tidak, bahwa tulisan semacam itu memberikan kesan kalau orang yang menulis itu adalah orang kampungan, norak, dan tidak berpendidikan. Ironisnya, kebanyakan orang yang menggunakan model tulisan seperti yang disebutkan di atas malah berasal dari kalangan pelajar tingkat SMP dan SMA.

Sebenarnya apa ya, motivasi dari para pelajar yang senang menggunakan model tulisan yang sering membuat pembacanya memberikan penilaian negatif kepada penulisnya? “Supaya keren. Soalnya temen-temen aku juga seperti itu dalam membuat tulisannya. Jadi yah biar gaul, gitu.” kata Della, siswi dari salah satu SMA swasta di Jakarta. Ryan, siswa salah satu SMP Negeri di Jakarta mengatakan, kalau tulisan seperti itu menunjukkan kreativitas dan tingkat ke-gaul-an dari si pengirim SMS atau pembuat status Facebook. Sementara Imah berpendapat lain. “Gue nggak sekreatif itu buat bikin tulisan yang banyak variasinya. Gue lebih sering menyingkatnya karena gue pake provider handphone yang tarif smsnya dihitung per karakter.”

Tidak jarang, model tulisan ‘kreatif’ ala pelajar masa kini tersebut membuat gusar penerima SMS atau orang yang kebetulan membaca status Facebook karena menciptakan kebingungan, miss understanding, dan sebagainya. Yanti, ibu rumah tangga, mengatakan kalau model tulisan ‘kreatif’ menyulitkannya dalam mengerti isi SMS yang dikirimkan oleh anaknya. Sementara Felasia, mahasiswi jurusan sejarah Universitas Padjadjaran, memilih untuk tidak membaca SMS yang menggunakan model tulisan ‘kreatif’. “Biarin, deh, kalopun itu emang SMS penting. Tapi ga gue baca, males, daripada gue mabok abis baca SMS kayak gitu.” katanya.

GAYA HIDUP

Sekarang ini di tengah kemajuan teknologi komunikasi yang berkembang dengan pesat, seharusnya bisa diimbangi dengan kemajuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Model tulisan yang oleh masyarakat kebanyakan sering disebut sebagai tulisan alay sudah pasti tidak sesuai dengan aturan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Tulisan SMS atau status Facebook merupakan lambang yang digunakan penulis untuk menyampaikan isi pernyataannya kepada orang yang membaca tulisannya, seharusnya jangan penulis saja yang dapat memahami tetapi pembacanya pun harus mengerti dan memahami tulisan tersebut.

Namun belakangan ini terjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Penggunaan tulisan alay dapat menciptakan miss understanding bahkan miss communication antara penulis dan pembaca SMS atau status Facebook karena ‘kreativitas’ si penulis yang berlebihan. Tulisan alay tersebut intinya membuat kesulitan untuk memahami isi pernyataan dari si pembuat SMS atau status. Padahal dengan adanya kemajuan teknologi di bidang komunikasi, manusia dapat dipermudah dalam hal penyampaian isi pernyataan. Tapi akibat munculnya trend penggunaan tulisan alay di kalangan pelajar sekarang ini, teknologi komunikasi akibatnya sangat melenceng dari tujuan awal dikembangkannya.

Sesungguhnya pemahaman para pelajar terhadap Bahasa Indonesia yang baik dan EYD dapat mengurangi maraknya penggunaan tulisan alay. Pemahaman itu juga harus didukung oleh kurikulum yang juga memfokuskan pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Supaya pelajar sadar akan kekeliruan yang dilakukan dalam menulis SMS atau status di Facebook mereka. Jadi gk 4k4n ad tvlsn sPt !n! k3 dpnNya*.(BuKin/SFI) *gak akan ada tulisan seperti ini ke depannya.

ANGKRINGAN

Hai! Namaku Poppy Widiastuti. Tapi kalian cukup memanggilku Popskii saja. Dari Playgroup sampai sekarang sudah kuliah, aku tinggal di Jakarta. Kadang-kadang suka pulang ke Purwokerto kalau lagi galau tingkat tinggi. Oh ya, aku cucunya Mbah Jarwo lho!

Minggu lalu aku menjalani UTS (Ujian Tengah Semester). Seminggu sebelum UTS dimulai, aku sudah belajar sampai mati-matian. Semua media pemberi kegembiraan seperti Twitter, Facebook, Youtube, untuk sementara aku tinggalkan semua. Bahkan aku menjadi kupu-kupu, karena selesai kuliah aku langsung pulang ke rumah (KuPu = Kuliah Pulang), dan tidak nongkrong dan menghabiskan waktu dulu di warkop (warung kopi) samping kampus seperti yang ku lakukan setiap harinya. Maka dari itu pikiran hanya aku pusatkan untuk menghadapi UTS semata.

Pada saat masuk ruang ujian, aku cari bangku yang masih kosong. Karena aku datang agak terlambat, bangku yang masih kosong hanya berada di bagian belakang. Ya sudah, aku duduk manis di deretan bangku kedua dari belakang dan kedua dari pojok kiri.

Ketika sedang asik mengerjakan soal ujian, terdengar suara bisikan dari telinga kanan ku. Tentunya bisikan tersebut bukan berasal dari gebetanku apalagi bisikan setan. Bisikan tersebut dilontarkan dari muIut salah satu teman sekelasku yang duduk di sampingku persis. Dia meminta jawaban soal ujian nomor 4. “Duh, soal nomor 3 aja belum nyampe, ini malah minta jawaban soal nomor 4.” batinku. Karena konsentrasi ku masih full hanya untuk menjawab

Dicontekin? Kasih Nggak Yaaa???

ANGKRINGANsoal UTS, jadi aku katakan padanya akan memberikan jawabannya nanti. Memang dasar pelupa, selesai mengerjakan 4 soal UTS, aku langsung saja berjalan cepat kedepan kelas untuk mengumpulkan kertas ujian, setelah itu aku lalu keluar dari kelas.

Ketika keluar dari kelas hatiku bertanya,bukankah tadi aku berjanji akan memberikan jawaban nomor 4 pada temanku, setelah selesai mengerjakan semua soal ujian? Pada saat aku di kantin, teman ujian yang di sampingku tadi langsung menghampiriku pada saat aku sedang makan. Dia bilang aku pelit karena tidak mau memberikan jawaban. Dan aku menjawab, “Loh? Kan aku lupa”!

Pulang ke rumah aku cerita sama Mbah ku yang kebetulan sedang di Jakarta karena sedang ada keperluan. Aku bingung, dan aku merasa galau. Apakah aku harus memberikan jawabanku ke teman yang mau nyontek atau enggak. “Kasih aja nduk, hitung-hitung beramal toh”, ujar mbahku. “Tapi ya kalau kamu belum selesai ngerjain soalnya, mbok jangan dikasih dulu, nanti ujianmu malah yang jadi berantakan.” begitu tambah Mbah Jarwo. Lain lagi kata Mas Suman yang aku ajak ngobrol waktu aku naik angkotnya untuk ke rumah Kak Sal. “Ya jangan kamu kasih, lah! Namanya juga ujian, ndak boleh nyontek toh? tapi kalo nyocokin jawaban sama temen atau buku ya boleh aja.” Eh lho? Standar ganda dong! Nyocokin jawaban saat ujian kan sama aja nyontek. Hah! Aku makin galau!

Sampai di rumah Kak Sal, akhirnya aku mendapat pencerahan dari kegalauanku. “Ya tidak boleh dong. Kalau kamu kasih temanmu untuk nyontek jawabanmu, itu sama aja kamu bikin dia malas. Lagi pula, apa kamu rela ngasih begitu aja hasil yang kamu pelajari selama seminggu sampai kamu harus meninggalkan semua hal yang kamu sukai untuk berkonsentrasi menghadapi UTS? Kalau soal nanti dimusuhi atau dikatain pelit sama teman yang gag kamu kasih contekan, ya biarkan saja. Teman kamu gag cuma dia aja, kan?” begitu kata Kak Sal.

Wah iya juga ya. Temanku kan tidak hanya cuma satu. Masa dari sekian banyak mahasiswa dan mahasiswi di jurusanku, aku tidak punya teman lain selain yang minta contekan? Baiklah, mulai sekarang kalau ada yang minta contekan saat ujian, tidak akan aku kasih contekannya. Enak banget dong, aku rela mengorbankan segala yang aku senangi untuk berkonsentrasi menghadapi ujian, eeh, temanku enak saja dengan cara praktisnya menyalin semua jawaban yang sudah kupikirkan dan pelajari selama satu minggu lamanya.

Ya sudah lah dari pada memikirkan yang tidak penting, lebih baik aku mengerjakan tugas di warkop dulu. (BuKin/SFI)

RESENSI

Di tengah kesibukan dalam belajar untuk menjadi seorang guru, Nunus, seorang pemuda yang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Guru atau SPG tetap memiliki sisi-sisi manusiawi yang perlu dimengerti.

Nunus memulai perjalanan cinta dan hidupnya dari Sekolah Pendidikan Guru tersebut. Hingga pada akhirnya, SPG tersebut telah ditutup lantaran jumlah guru yang melimpah dan syarat untuk menjadi guru diperlukan gelar sarjana.

Novel karya Khairul Jasmi yang berlatar belakang pada medio 1980-an ini mengangkat sisi lain dari para calon pendidik generasi penerus bangsa. Dalam novel ini diceritakan perjalanan seorang pemuda dalam mengejar cinta yang tumbuh di tempatnya menuntut ilmu di sekolah guru. Khairul Jasmi menampilkan sisi manusiawi dari seorang calon pendidik.

Dalam novel ini juga dijelasikan ketidakmerataan pembangunan di Sumatra Barat pada dekade 1960-an. Ketidakmerataan ini menyebabkan anak-anak di Minang harus berusaha lebih giat dala, mencari ilmu. Perjuangan anak-anak Minang dalam menapaki zaman “generasi intelektual” yang gagal dicapai orang tua mereka juga tak luput dari pemikiran Khairul Jasmi.

Khairul Jasmi memberikan pesan secara tersirat dalam novel ini bahwa guru adalah manusia biasa yang memerlukan rasa cinta. (BuKin/BAP)

Lonceng Cinta di Sekolah Guru