BULETIN - Kementerian...
Transcript of BULETIN - Kementerian...
BULETIN Pengkajian Pertanian
Vol. 8, No. 1, 2019
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian
BULETIN PENGKAJIAN PERTANIAN
@ 2019, BPTP MALUKU UTARA
Volume 8, No. 1, 2019.
Penanggung Jawab :
Bram Brahmantiyo
Chris Sugihono
Mitra bestari :
Suryati Tjokrodiningrat
Dewan Redaksi :
M. Assagaf, Fredy Lala, Wawan Sulistiono, Slamet Hartanto
Redaksi Pelaksana :
Hermawati Cahyaningrum
Himawan Bayu Aji
Abubakar Ibrahim
Tri Setiyowati
Penerbit :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara,
Komplek Pertanian Kusu No. 1 Oba Utara Kota, Tidore Kepulauan
PO BOX 91030 Ternate Telepon : 0921-3317980
email : [email protected]
PRAKATA
Buletin Vol. 8, No. 1, 2019. merupakan buletin hasil pengkajian yang
diterbitkan oleh BPTP Maluku Utara, yang memuat makalah review dan hasil
pengkajian/penelitian primer yang dilakukan tahun 2018. Makalah tersebut telah
diseleksi dan dikoreksi oleh tim redaksi baik dari segi bahasa maupun bentuk
penyajiannya.
Penerbitan buletin Vol. 8, No. 1, 2019. ini diterbitkan dengan memuat artikel
yang tidak harus berasal dari penyajian dalam suatu seminar, tetapi lebih ditentukan
oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak peneliti dan penyuluh, tim
redaktur, aparat penunjang lainnya yang telah membantu memperlancar proses
penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari
pembaca selalu kami nantikan.
Redaksi
Tulisan yang dimuat adalah yang telah diseleksi dan disunting oleh tim redaksi dan belum pernah
dipublikasikan pada media cetak manapun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan
atau menolak penerbitan suatu makalah.
Tanaman Jagung Di Bawah Tegakan Kelapa Sebagai Sumber Pendapatan Petani Kelapa (Abubakar Ibrahim, Kisey Bina Habeahan, Yulistiawati Andi Jasil)
1
TANAMAN JAGUNG DI BAWAH TEGAKAN KELAPA SEBAGAI
SUMBER PENDAPATAN PETANI KELAPA
Abubakar Ibrahim, Kisey Bina Habeahan, Yulistiawati Andi Jasil
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Jl. Trans Halmahera Kompleks Pertanian Kusu No.1
Sofifi, Kota Tidore Kepulauan
email: [email protected]
ABSTRAK
Tanaman Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang
memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan tanaman pangan yang cukup
banyak dibudidayakan di Indonesia khusunya di Maluku Utara. Budidaya
tanaman jagung pada umumnya dilakukan secara monokultur dengan tingkat
pencahayaan 100 %. Petani di Maluku Utara didominasi oleh petani
perkebunan. Saat ini petani di Maluku Utara kebanyakan adalah petani
perkebunan kelapa sehingga lahan di bawah tegakan kelapa menjadi salah
satu alternatif untuk dibudidayakan tanaman sela yaitu jagung. Hasil
budidaya jagung secara monokultur masih lebih tinggi bila dibanding dengan
hasil budidaya jagung di bawa tegakan atau tanaman sela, namun dengan
adanya tanaman sela jagung di bawah tegakan kelapa ini dapat menambah
pendapatan petani kelapa. Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari aspek
teknis dan ekonomi terhadap penanaman jagung di bawah tegakan kelapa
dan mampu memahami kendala di lapangan.
Kata Kunci : Di bawah tegakan, pendapatan, tanaman sela.
PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dari
jenis serealia yang strategis dan memiliki nilai ekonomis, serta berpeluang
untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber karbohidrat dan
protein setelah beras. Kebutuhan pangan akan meningkat seiring
bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang tinggi akan
meningkatkan jumlah konsumsi pangan. Permintaan bahan pangan yang
tinggi tidak dapat dipenuhi jika hanya bergantung pada satu komoditi saja
sehingga jagung menjadi salah satu alternatif sebagai substitusi padi atau
beras (Rohman, 2017).
Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 24 juta
ton/ha. Angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya sekitar
1
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
2
19 juta ton/ha, namun hal ini berbanding terbalik dengan produksi jagung di
Maluku Utara yang mengalami penurunan dari 25.543 ton/tahun pada tahun
2012 menjadi 9.702 ton/tahun pada tahun 2016 (Ditjen Tanaman Pangan,
2016). Penurunan produksi jagung di Maluku Utara ini sejalan dengan
penurunan luas tanaman jagung pada lima tahun terakhir. Luas tanaman
jagung pada tahun 2011 seluas 12.733 ha turun menjadi 3.892 ha pada tahun
2015. Hal ini diakibatkan karena turunnya luas panen dari 11.074 ha pada
tahun 2012 menjadi 3.308 ha pada tahun 2016 (Ditjen Tanaman Pangan,
2016).Turunnya produktivitas tanaman jagung juga disebabkan oleh
beberapa faktor seperti cuaca ekstrem, lemahnya permodalan petani, belum
adanya jaminan harga, dan terbatasnya benih hibrida di tingkat petani
(Purwanto, 2007) serta konversi atau pengalihan fungsi lahan.
Hasil produksi yang rendah dan luas lahan tanaman jagung secara
monokultur yang semakin sempit membuat produksi jagung di Maluku Utara
semakin menurun. Saat ini petani di Maluku Utara kebanyakan adalah petani
perkebunan kelapa sehingga lahan di bawah tegakan kelapa menjadi salah
satu alternatif untuk meningkatkan produksi jagung di Maluku Utara.Selain
itu, dengan adanya hasil tanaman jagung di bawah tegakan kelapa dapat
menambah pendapatanpetani atau masyarakat di sekitar perkebunan kelapa.
Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari aspek teknis dan ekonomi
terhadap penanaman jagung di bawah tegakan kelapa dan mampu
memahami kendala di lapangan sehingga dapat memberikan solusi dalam
kegiatan budidaya jagung di bawah tegakan kelapa. Manfaat tulisan ini
adalah untuk memformulasikan permasalahan teknis di lapangan dan
ekonomi terhadap penanaman jagung di bawah tegakan kelapa untuk dapat
diantisipasi dalam usaha peningkatan produktivitas tanaman jagung di
bawah tegakan kelapa.
JAGUNG DAN BERBAGAI PEMANFAATANNYA
Jagung adalah sumber pangan karbohidrat kedua setelah padi
karena memiliki persentase jumlah kandungan karbohidrat terbanyak
setelah padi.Perbandingan kandungan karbohidrat pada beberapa
tanaman pangan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.Kandungan karbohidrat pada komoditas tanaman pangan Bahan Karbohidrat (g)
Ubi Jalar 27,9
Beras 78,9
Ubi Kayu 34,7
Jagung 72,4
Sumber: Harmowo et al. (1994)
2
Tanaman Jagung Di Bawah Tegakan Kelapa Sebagai Sumber Pendapatan Petani Kelapa (Abubakar Ibrahim, Kisey Bina Habeahan, Yulistiawati Andi Jasil)
1
Data tersebut menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat
terbanyak adalah padi yaitu sebanyak 78,9 g dan jagung berada pada
posisi kedua dengan kandungan karbohidrat sebanyak 72,4 g. Oleh
karena itu, jagung memiliki potensi dalam diversifikasi konsumsi
pangan pokok selain padi. Namun, saat ini masyarakat masih sangat
bergantung pada beras sebagai makanan pokok untuk memenuhi
kebutuhan pangannya. Suryastiri (2008) menyatakan bahwa
kebutuhan pangan berupa beras semakin meningkat, sehingga
pengaturan pola konsumsi nasi dapat berperan mengurangi
ketergantungan terhadap beras.
Jagung tumbuh di berbagai tempat di Indonesia, termasuk
Maluku Utara dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam
olahanseperti tepung, mi, makanan ringan, dan bahan setengah jadi.
Menurut Ariani dan Pasandaran (2005) jagung dapat diolah menjadi
berbagai aneka makanan seperti lauk, makanan ringan, dan bahan
setengah jadi. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Suarni dan Yasin (2011) yang menyatakan bahwa
jagung dapat dimanfaatkan sebagai tepung untuk pembuatan mi, roti,
dan bahan kue. Kedua penelitian mengenai pemanfaatan jagung
tersebut memberikan peluang pasar yang cukup baik dalam budidaya
tanaman jagung.
Permasalahan yang dihadapi petani dalam pengembangan
tanaman jagung adalah lahan untuk tanaman jagung yang semakin
sempit karena adanya perubahan peruntukan lahan tanaman jagung
untuk kegunaan lain, lemahnya permodalan petani untuk penyediaan
sarana produksi pertanian, produksi jagung yang sebagian besar
dihasilkan pada musim hujan namun ketersediaan alat pengering yang
kurang memadai, belum adanya jaminan harga pada saat panen raya,
lemahnya kelembagaan petani sehingga harga ditentukan oleh
konsumen dan masih terbatasnya benih hibrida di tingkat petani
(Purwanto, 2007).
JAGUNG SEBAGAI TANAMAN SELA DI BAWAH TEGAKAN
KELAPA
Budidaya tanaman jagung di bawah tegakan kelapa dapat
meningkatkan produksi tanaman kelapa karena tanaman sela dapat
meningkatkan kesuburan tanah karena lahan di sektiar pohon kelapa
menjadi lebih bersih dari gulma dan lebih terawat (Pranowo et al.,
3
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
2
1999). Hal ini selaras dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Tjahjana (2000) bahwa tanaman sela dapat meningkatkan produksi
kelapa karena memberikan pengaruh terhadap peningkatan jumlah
bunga betina dan kelapa buah jadi masing-masing sebesar 30% dan
20%.
Tanaman sela juga dapat meningkatkan pendapatan petani
kelapa. Menurut Listiyati dan Pranowo (2002, sistem usaha tani
jagung di bawah tegakan kelapa dapat meningkatkan pendapatan
petani sebesar Rp 2.655.000,- per ha dan lahan di bawah tegakan
kelapa dapat termanfaatkan dengan baik.Pemanfaatan lahan di bawah
tegakan untukbudi daya jagungdapatmeningkatkan produksi di
Maluku Utara.Namun, budidaya tanaman jagung di bawah tegakan
kelapa memiliki beberapa kelemahan yaitu produktivitas jagung di
bawah tegakan kelapa masih rendah.
Produksi jagung di lahan di bawah tegakan kelapa relatif masih
rendah disebabkan karena kurangnya ketersediaan cahaya matahari
untuk proses penyerbukan dan proses metabolisme pada tanaman
jagung. Lahan di bawah tegakan kelapa pada umumnya adalah lahan
kering dan kurang terawat, sehingga diperlukan teknologi pertanian
yang spesifik lokasi untuk mengatasi kendala tersebut.Menurut
Sopandi dan Trikoesoemaningtiyas (2013) upaya dalam meningkatkan
produksi tanaman sela di bawah tegakan kelapa dapat dilakukan
dengan penggunaan tanaman tahan cekaman dan tanaman yang tahan
terhadap naungan.Selain faktor internal dari tanaman yang
dibudidayakan dibawah tegakan kelapa, faktor eksternal juga perlu
diperhatikan. Hal ini telah dijelaskan oleh Barus (2003) yang
menyatakan bahwakondisi lahan dan iklim setempat memiliki
pengaruh positif terhadap jenis tanaman sela yang diusahakan.
ANALISIS USAHA TANI JAGUNG DI BAWAH TEGAKAN
KELAPA
Budidaya jagung di bawah tegakan kelapa belum
dikembangkan secara luas di masyarakat dan belum dilakukan oleh
petani secara mandiri khususnya di Maluku Utara, pada hal jika lahan
di bawah tegakan dimanfaatkan dengan baik maka pendapatan petani
kelapa dapat meningkat secara nyata. Oleh karena itu, perlu dilakukan
kajian sistem budidaya tanaman jagung di bawah tegakan kelapa.dan
kemudian didiseminasikan kepada masyarakat.
4
Tanaman Jagung Di Bawah Tegakan Kelapa Sebagai Sumber Pendapatan Petani Kelapa (Abubakar Ibrahim, Kisey Bina Habeahan, Yulistiawati Andi Jasil)
1
Berdasarkan hasil penelitian Ruskandi (2003) di wilayah
Sukabumi, usaha budi daya jagung di bawah tegakan kelapa cukup
layak.Tingkat kelayakan diukur dengan keuntungan yang didapatkan
tidak jauh berbeda dengan hasil budidaya secara monokultur.Selain
itu, Barus (2013) menyatakan bahwa 80% lahan di bawah tegakan
kelapa dapat dimanfaatkan untuk tanaman sela.Jenis tanaman sela
yang diusahakan tergantung pada kondisi lahan dan iklim setempat.
Usaha tanaman jagung di bawah tegakan kelapa berdampak
pada peningkatan pendapatan petani, karena selain hasil produksi
kelapa petani juga mendapatkan hasil produksi dari jagung. Menurut
analisis hasil usaha tani jagung di bawah tegakan kelapa dan jagung di
lahan terbuka yang dilakukan oleh Ruskandi (2003) menyebutkan
bahwa keuntungan dari kedua tempat usaha tersebut tidak memiliki
perbedaan yang cukup signifikan sehingga peluang untuk usaha tani
jagung di bawah tegakan kelapa dapat menambah pendapatan petani
kelapa itu sendiri (tabel 2).
Tabel 2. Analisis usaha tani di bawah tegakan kelapa dan monokultur
Uraian
Di tempat terbuka
luas lahan 1 ha (Rp)
Di antara tegakan kelapa
80% dari luas 1 ha (Rp)
I. Biaya produksi
Upah tenaga kerja lepas dan
borongan
Pengolahan tanah 300.000 240.000
Penyulaman 115.000 92.000
Penyiangan, pengguludan, dan
pupuk lanjutan 35.000 28.000
Pengendalian hama penyakit
Panen 225.000 180.000
Pengangkutan 40.000 32.000
Pascapanen 108.000 86.400
kupas jagung 50.000 40.000
Pipil
Jemur 50.000 40.000
jumlah upah (biaya I) 200.000 160.000
5
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
2
II. Bahan 132.000 106.000
Benih jagung 25 kg 1.225.000. 1,.04.400
Pupuk buatan
Urea 312.000 249.000
SP-36
KCL 315.000 252.000
Obat-obatan 166.500 133.200
Furadan Drusban 193.500 154.800
Bahan pembantu lain (tali rafia,
tambang dan ember) 62.500 50.000
jumlah bahan (Biaya II) 1.275.000 1.819.600
III. Biaya lain – lain
Honor pengamat/ pengawas 250.000 200.000
Biaya penjualan 50.000 40.000
Jumlah biaya lain - lain (biaya
III) 300.000 240.000
Jumlah biaya (I+II+III) 2.830.500 2.264.000
Penerimaan kotor
Hasil jagung (kg) 2.085 1.668
Penerimaan kotor 3.336.000 2.668.000
Keuntungan 505.500 404.400
Sumber: (Ruskandi (2003) )
FAKTOR PENTING PADA USAHA JAGUNG DI BAWAH
TEGAKAN KELAPA
Perkembangan penelitian mengenai jagung di bawah tegakan
kelapa sudah dilakukan oleh Ruskan, (2003) dan Barus, (2013) namun
semuanya memiliki kelemahan yaitu tingkat produksi jagung masih
rendah bila dibanding tanaman monokultur walaupun sistem
penanaman seperti ini dapat meningkatkan produksi tanaman utama
kelapa. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk meningkatkan
produksi tanaman jagung yang dibudidayakan di bawah tegakan
kelapa.
6
Tanaman Jagung Di Bawah Tegakan Kelapa Sebagai Sumber Pendapatan Petani Kelapa (Abubakar Ibrahim, Kisey Bina Habeahan, Yulistiawati Andi Jasil)
1
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan pemahaman bahwa
untuk meningkatkan produksi tanaman jagung di bawah tegakan
kelapa maka perlu diperhatikan kondisi lahan dan iklim di suatu
tempat tersebut sehingga perbaikan yang dilakukan mampu
meningkatkan produksi tanaman jagung. Menurut Syarifudin (2011)
usaha pertanian yang dilakukan memerlukan adanya suatu modifikasi
sistem dalam pertanaman agar dapat meningkatkan pendapatan dan
pemanfaatan lahan yang lebih optimal.
Selain itu, penggunaan benih bermutu tinggi dan varietas yang
tahan terhadap naungan perlu diperhatikan karena dapat
mempengaruhi tingkat produksi dari tanaman tersebut.Menurut Habib
(2013) penggunaan benih bermutu tinggi memiliki pengaruh positif
dalam produksi jagung. Selain itu, perlakuan benih sebelum benih
ditanam juga dapat mempengaruhi produksi tanaman jagung (Ilyas,
2006).
Petani kelapa di Maluku Utara pada umumnya belum
melakukan kegiatan budi daya jagung di bawah tegakan kelapa. Lahan
di bawah tegakan kelapa belum dimanfaatkan dengan baik. Hal ini
karena masyarakat beranggapan bahwa tanaman jagung hanya bisa
dibudidayakan di lahan yang terbuka. Selain itu, pemahaman tentang
manfaat dan keuntungan jagung yang ditanam di bawah tegakan
kelapa masih kurang sehingga mereka enggan untuk menanam
tanaman sela di bawah tegakan kelapa.
Strategi untuk meningkatkan produksi tanaman jagung di
bawah tegakan kelapa adalah dengan perbaikan mutu benih dan
penggunaan varietas unggul baru yang tahan terhadap naungan serta
teknik perawatan yang baik. Selain itu, juga peran pemerintah dalam
mengembangkan kegiatan usaha tani jagung di bawah tegakan kelapa.
Hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah memfasilitasi petani
kelapa dengan menyediakan sarana produksi dan sarana dan prasarana
distribusi untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat rawan
pangan sehingga dapat memberikan implikasi terhadap pengembangan
diversifikasi usaha di pedesaan (Aldillah, 2017)
KESIMPULAN
Ada beberapa aspek yang perlu di perhatikan yaitu aspek teknis di
lapangan berupa pemanfaatan teknologi pertanian seperti perlakuan
7
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
2
benih sebelum ditanam, penggunaan varietas unggul baru yang tahan
naungan dan benih yang bersertifikat sehingga mampu meningkatkan
produksi. Kemudian aspek sosial ekonomi yaitu hasil dari teknologi
yang digunakan dapat memberikan dampak positif bagi pendapatan
petani kelapa. Kegiatan tindak lanjut dalam pemanfaatan lahan
marjinal termasuk di bawah tegakan kelapa dengan tanaman sela
jagung ini adalah dengan melakukan penelitian dan pengkajian sistem
usaha budi daya jagung di bawah tegakan kelapa dengan mengunakan
jagung varietas unggul baru yang tahan naungan serta penggunaan
benih yang bersertifikat.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M., dan Effendi P. 2005. Pola Konsumsi Dan Permintaan
Jagung Untuk Pangan. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan
Penelitian Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departeman Pertanian. Hal 211-227.
Aldillah, R. 2017. Strategi Pengembangan Agribisnis Jagung di
Indonesia. J. Analisis Kebijakan Pertanian 15 (1): 43-66.
Barus, J. 2013. Pemanfaatan Lahan di Bawah Tegakan Kelapa di
Lampung. Jurnal Lahan Suboptimal 2 (1):68-74.
BPS Maluku Utara. 2018. Maluku Utara dalam Angka 2018. Badan
Pusat Statistik Maluku Utara. Ternate.
Habib, A. 2013. Analisis faktor – faktor yang mempengaruhi produksi
jagung. Jurnal Agrium 18 (1): 79-87.
Harnowo, D., S.S. Antarlina, dan H. Mahagyosuko. 1994. Pengolahan
ubi jalar guna mendukung diversifikasi pangan dan
agroindustri. Dalam Winarto, A., Y. Widodo, S.S.Antarlina, H.
Pudjosantosa, dan Sumarno (Eds.). Risalah Seminar
Penerapan Teknologi Produksi dan Pascapanen Ubi Jalar
Mendukung Agroindustri. Balittan Malang. Hal 145-157.
8
Tanaman Jagung Di Bawah Tegakan Kelapa Sebagai Sumber Pendapatan Petani Kelapa (Abubakar Ibrahim, Kisey Bina Habeahan, Yulistiawati Andi Jasil)
1
Ilyas. 2006. Review: Seed treatments using matriconditioning to
improve vegetable seed quality. Buletin Agronomi 34 (2): 124-
132.
Listiyati, D. Pranowo. 2002. Analisis Usaha Tani Jagung di antara
kelapa. Jurnal Habitat 12 (2) : 55-59.
Purwanto, S. 2007. Perkembangan Produksi dan Kebijakan Dalam
Peningkatan Produksi Jagung: Teknik Produksi dan
Pengembangan. Direktorat Budi Daya Serealia. Direktorat
Tanaman Pangan.
Rohman, A dan Maharani, DA. 2017. Proyeksi kebutuhan konsumsi
pangan beras di daerah istimewa Yogyakarta. Journal of
Sustainable Agriculture 32 (1): 29-34.
Ruskandi. 2003. Prospek Usaha Tani Jagung Sebagai Tanaman Sela Di
Antara Tegakan Kelapa. Buletin Teknik Pertanian 8 (2): 55-59.
Subandi, M. Dahlan, dan A. Rifin. 1998. Hasil Dan Strategi Penelitian
Jagung, Sorgum, dan Terigu Dalam Pencapaian dan
Pelestarian Swasembada Pangan, Dalam: Inovasi Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta. Hal 347 – 357.
Suryastiri, N.M. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis
Potensi Lokal Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Pedesaan Di Kecamatan Semin Kab. Gunung Kidul.
Jurnal Ekonomi Pembangunan 13 (1): 51-60.
Sopandi dan Trikoesoemaningtiyas. 2011. Pengembangan Tanaman
Sela di Bawah Tegakan Tanaman Tahunan. Iptek Tanaman
Pangan 6 (2) : 168-182.
Syarifudin. 2011. Modifikasi Sistem Pertanaman Jagung dan
Pengolahan Berangkasan Untuk Meningkatan Pendapatan
Petani Di Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian 30 (1): 16-
22.
9
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
2
Suarni dan Yasin M. 2011. Jagung Sebagai Sumber Pangan
Fungsional. Iptek Tanaman Pangan
Tjahjana, B.E., Rusli, M. Herman, D. Listiyati, G. Indriati, H.
Tampake, D.D. Tariganas, dan A. Mahfuth. 2000. Manipulasi
Jarak Dan Sistem Tanam Kelapa Untuk Pola Tanam. Laporan
Hasil Penelitian Bagian Proyek Penelitian Pola tanam
Kelapa. Loka Penelitian Pola Tanam Kelapa, Pakuwon.
10
Pengaruh Konsentrasi Gula Invert dan Sari Buah Pala (Myristica fragrans Houtt)Terhadap Sifat SensorisPermen Keras (Hard Candy) Rasa Pala (Muhammad Assagaf, Maryani A. Marsaoli, Suhdan
Kasuba)
11
PENGARUH KOSENTRASI GULA INVERT DAN SARI BUAH
PALA (Myristica fragrans Houtt) TERHADAP SIFAT SENSORIS
PERMEN KERAS (HARD CANDY) RASA PALA
1)Muhammad Assagaf, 2)Maryani A. Marsaoli, dan 3)Suhdan Kasuba
1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Jl. Trans Halmahera, Komplek Pertanian Kusu No 1,
Sofifi, Kota Tidore Kepulauan 2)Program Studi Agribisnis Sekolah Tinggi Pertanian Halmahera Selatan
Labuha, Halmahera Selatan
Email:[email protected]
ABSTRAK
Permen keras (hard candy) merupakan salah satu permen non
kristalin yang memiliki tekstur keras, penampakan mengkilat dan bening.
Bahan utama dalam pembuatan permen jenis ini adalah sukrosa, air dan gula
invert. Sedangkan bahan tambahannya adalah flavor. pewarna, dan zat
pengasam. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan
penambahan konsentrasi gula invert dan sari buah pala terhadap sifat sensoris
permen pala yang disukai oleh responden. Permen keras rasa pala ini dibuat
dengan kombinasi perlakuan penambahan gula invert dan sari buah pala pada
konsentrasi yang berbeda yang dianalisis secara deskriptif untuk membahas
sifat sensoris warna, aroma, tekstur dan rasa dari permen keras rasa pala yang
disukai oleh responden. Perlakuan konsentrasi penambahan gula invert secara
parsial memberikan nilai terbaik pada sifat sensoris aroma, warna, rasa dan
tekstur permen keras rasa pala, perlakuan konsentrasi penambahan sari buah
pala secara parsial memberikan nilai terbaik pada sifat sensoris aroma, warna,
rasa dan tekstur permen keras rasa pala, sedangkan kombinasi perlakuan
konsentrasi penambahan gula invert dan konsentrasi penambahan sari buah
pala memberikan nilai terbaik pada sifat sensoris Tekstur dan rasa permen
keras rasa pala. Produk terbaik menurut responden berdasarkan sifat sensoris
Rasa dan tekstur adalah permen keras rasa pala yang dibuat dari kombinasi
perlakuan penambahan konsentrasi gula invert 65 gram (A2) dan konsentrasi
sari buah pala 75 gram (B2)
Kata Kunci: Permen Keras, Gula Invert, Sari Buah Pala, Sifat Sensoris
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
12
PENDAHULUAN
Permen pada umumnya dibagi menjadi dua kelas, yaitu permen
kristalin (krim) dan permen non kristalin (amorphous). Permen kristalin
biasanya mempunyai rasa yang khas dan apabila dimakan terdapat rasa krim
yang mencolok. Contoh dari permen ini adalah fondants, fudge, penuche dan
divinity. Sedangkan Permen non kristalin (amorphous) terkenal dengan
sebutan whithout form. Setelah dimasak permen akan menjadi kasar tanpa
pembentukan kristal dan susah untuk dibentuk lebih lanjut, kecuali dengan
menggunakan alat atau mesin. Pada pembuatan permen ini harus dihindari
terjadinya pembentukan kristal. Contoh permen jenis ini adalah caramels,
butterscoth, hard candy, lollypop, marsmallow dan gum drops (Indriaty,F dan
Sjarif S.R. 2016).
Hard candy merupakan salah satu permen non kristalin yang memiliki
tekstur keras, penampakan mengkilat dan bening. Bahan utama dalam
pembuatan permen jenis ini adalah sukrosa, air dan gula invert. Sedangkan
bahan tambahannya adalah flavor. pewarna, dan zat pengasam. Hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan sukrosa sebagai bahan utama pembuatan
permen adalah kelarutannya. Permen yang menggunakan sukrosa murni
mudah mengalami kristalisasi. Pada suhu 20 OC hanya 66.7% sukrosa murni
yang dapat larut. Bila larutan sukrosa 80% dimasak hingga 109.6 OC dan
kemudian didinginkan hingga 20 oC, 66.7% sukrosa akan terlarut dan 13.3%
terdispersi. Bagian sukrosa yang terdispersi ini akan menyebabkan kristalisasi
pada produk akhir. Oleh karena itu perlu digunakan bahan lain untuk
meningkatkan kelarutan dan menghambat kristalisasi, misalnya glukosa dan
gula invert. Karena mahalnya harga bahan baku permen terutama glukosa,
maka beberapa industri permen mencoba mengganti bahan ini dengan bahan
baku yang harganya lebih murah tetapi menghasilkan permen dengan mutu
yang sama Herschdoerfer (1972).
Dalam pembuatan permen hard candy peran glukosa dapat digantikan
oleh gula invert. Bahan ini dapat dibuat dari sukrosa yang dihidrolisis
menggunakan asam. Gula invert ini memiliki fungsi yang sama dengan
glukosa yaitu untuk mencegah kristalisasi pada permen. Penambahan sari
buah pala diharapkan dapat menggantikan bahan tambahan pangan untuk
Flavor pada permen keras dengan memberikan nilai tambah terhadap buah
pala. Parameter yang berperan terhadap mutu permen yaitu kadar air, kadar
sukrosa, kadar gula reduksi, kadar vitamin C, kadar abu dan penilaian
organoleptic/sensoris. Menurut SNI 3547.1:2008 persyaratan produk
kembang gula keras adalah kadar air maksimal 3,5%, sukrosa minimal
35%,gula reduksi maksimal 24%dan abu maksimal 2,0%(BSN,2008 ).
Pengaruh Konsentrasi Gula Invert dan Sari Buah Pala (Myristica fragrans Houtt)Terhadap Sifat SensorisPermen Keras (Hard Candy) Rasa Pala (Muhammad Assagaf, Maryani A. Marsaoli, Suhdan
Kasuba)
13
Pentingnya pengetahuan tentang perbandingan glukosa/gula invert
dan sari buah terhadap mutu dari dari permen hard candy rasa pala merupakan
salah satu alasan penelitian ini perlu dilakukan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh dari perbandingan konsentrasi gula invert
dan sari buah pala (Myristica fragrans Houtt) terhadap sifat sensoris permen
keras (hard candy) rasa pala.
BAHAN DAN METODE
Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan permen adalah buah
pala tua yang diambil sarinya, gula invert, gula pasir, asam sitrat, serta bahan-
bahan kimia lainnya. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah,
cetakan permen, sendok kayu, pisau, blender/juicer extractor (multi function
food processor), kain saring, talenan, wajan, kompor, panci, loyang plastik,
timbangan, gelas ukur, dan Termometer.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu:
Pembuatan ekstrak sari buah Pala
Buah disortasi dan dicuci dengan air bersih. Kemudian kulit buah
dikupas, buah dipotong-potong dan dihancurkan menggunakan blender/juicer
extractor. Kemudian bubur buah disaring dengan menggunakan kain saring,
setelah itu diuapkan selama 15 menit untuk mendapatkan sari buahnya.
Pembuatan Gula Invert
Pembuatan gula invert dilakukan dengan penggunakan gula tebu
(sukrosa) yang ditambahkan asam (perasan jeruk nipis) dan air kemudian
dipanaskan sampai kental, diangkat dan didinginkan siap untuk digunakan.
Pembuatan permen
Pembuatan permen dilakukan menggunakan metode percobaan
formulasi perbandingan Gula invert dan saribuah pala pada pembuatan
permen keras rasa pala, masing- masing factor pada 3 taraf yaitu faktor A:
Kosentrasi gula invert yang terdiri dari A1= Volume gula invert 60 gram, A2
= Volume gula invert 65 gram, dan A3 = Volume gula invert 70 gram, untuk
faktor B: kosentrasi Sari Buah pala yaitu B1 = Volume sari buah pala 70 gram,
B2 = Volume sari buah pala 75 gram, B3 = Volume sari buah pala 80 gram
yang lakukan melalui dengan 3 kali ulangan. Sehingga di peroleh 27 unit
sampel.
Permen dibuat melalaui pemanasan campuran sukrosa, gula invert,
dan sari buah pala,kemuadian dimasak menggunakan suhu 150°C selama 10
menit. Setelah itu dituang dalam cetakan permen dan didinginkan setelah
mengeras kemudian dilepaskan dari cetakan dan dikemas.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
14
Pengujian Mutu Permen secara Sensoris
Uji sensoris digunakan sebagai uji kesukaan dari permen kerasa rasa
pala menggunakan Uji organoleptik (skala hedonik) yaitu skala 1-5 dimana 5
(sangat suka), 4 (suka), 3 (agak suka), 2 (tidak suka), 1 (sangat tidak suka).
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk
membahas kesukaan panelis terhadap sifat sensoris dari permen keras rasa
pala
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Sifat Sensoris (Organoleptik ) Permen Keras (Hard Candy)
Rasa Pala
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui penilaian terhadap
produk yang dihasilkan. Jenis pengujian yang dilakukan dalam uji
organoleptik ini adalah metode tingkat kesukaan panelis terhadap warna,
aroma, tekstur dan rasa yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan. Uji
sensoris pada penelitian ini dilakukan dengan pengujian tingkat kesukaan
panelis dengan metode skoring yang melibatkan 20 orang panelis tidak
terlatih. meliputi tingkat kesukaan terhadap warna,aroma, rasa, dan tekstur
Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat
kesukaan panelis terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa permen pala
berkisar antara 3,67-4,67 (cukup suka-suka). Hasil pengujian secara
keseluruhan untuk melihat konsentrasi penambahan Gula invert dan
konsentrasi sari buah pala terhadap sifat sensoris sari buah pala disajikan pada
Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pengujian Uji Sensoris Permen Keras (Hard Candy) Rasa Pala
Perlakuan Parameter Sifat Sensoris
Aroma Warna Rasa Tekstur
A1B1 3,67a 4,00a 4,67a 3,67a
A1B2 3,67a 4,33a 4,00b 3,67a
A1B3 3,67a 4,00a 4,00b 2,67b
A2B1 3,67a 4,33a 3,33b 4,33c
A2B2 4,33b 4,00a 4,33a 5,00c
A2B3 3,67a 4,00a 4,00b 4,00a
A3B1 4,00ab 4,00a 4,33a 4,00a
A3B2 3,67a 4,67b 3,67a 3,67a
zA3B3 4,00ab 4,67b 4,33a 3,00b Ket: A = Konsentrasi gula invert; B = Konsentrasi sari buah pala
Pengaruh Konsentrasi Gula Invert dan Sari Buah Pala (Myristica fragrans Houtt)Terhadap Sifat SensorisPermen Keras (Hard Candy) Rasa Pala (Muhammad Assagaf, Maryani A. Marsaoli, Suhdan
Kasuba)
15
Perlakuan Konsentrasi Penambahan Gula Invert dan Konsentrasi Sari
Buah Pala Terhadap Sifat Sensoris Aroma Permen Keras (Hard Candy)
Rasa Pala
Uji sensoris pada penelitian ini dilakukan melihat respon tingkat
kesukaan panelis terhadap sifat sensoris aroma dari permen keras rasa pala
yang dibuat dengan konsentrasi penambahan gula invert dari ketiga taraf
konsentrasi.Penerimaan sensoris terhadap aroma permen keras rasa pala
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Penerimaan sensoris aroma permen keras rasa pala yang
dibuat dengan tingkat penambahan konsentrasi gula invert yang berbeda
Pada penambahan gula invert dalam pembuatan permen memberikan
nilai aroma permen rasa pala yang berbeda, hal ini dapat dilihat bahwa
meningkatnya penambahan gula invert sebesar 70 gr dapat menaikan
penerimaan responden terhadap sifat sensoris permen keras rasa pala
mencapai 3,89. Akan tetapi dengan meningkatkan penambahan konsentrasi
gula invert sampai dengan 80 gr memberikan perubahan negatif terhadap
penerimaan sifat sensorif aroma permen keras rasa pala yang menurun ke nilai
3,78. Gambar Grafik 2. Perlakuan penambahan konsentrasi Sari Buah Pala
dalam konsentrasi yang tinggi memberikan nilai penerimaan sifat sensoris
aroma permen keras rasa pala yang rendah. Aroma suatu produk sangat
berpengaruh terhadap selera konsumen yang berkaitan dengan indera
penciuman sehingga menimbulkan keinginan untuk mengkonsumsi. Aroma
yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma yang tidak enak akan
menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut (Ward
dan Courts, 1977).
3,67
3,89 3,89
3,5
3,6
3,7
3,8
3,9
4
A1B A2B A3B
Nil
ai
Sen
sori
s A
rom
a
Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Gula Invert
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
16
Gambar 2. Grafik respon sifat sensoris aroma permen keras rasa pala
terhadap perlakuan penambahan konsentrasi Sari Buah Pala
Penambahan gula invert dan sari buah pala dalam pembuatan permen
memberikan perbedaan nilai aroma permen rasa pala, hal ini dapat dilihat
bahwa meningkatnya penambahan gula invert sebesar 65 gr dan sari buah pala
sebanyak 75 gr dapat menaikan penerimaan responden terhadap sifat sensoris
aroma permen keras rasa pala sebesar 4,33 (Gambar 3). Menurut Wahyuni
H.D. (1988), aroma merupakan parameter penting dalam industri makanan
karena dengan cepat dapat memberikan hasil penilaian diterima atau tidaknya
suatu produk.
Gambar 3. Grafik pengaruh kombinasi perlakuan penambahan konsentrasi
gula invert dan sari buah pala terhadap penerimaan sifat sensori aroma
permen keras rasa pala
3,72
3,74
3,76
3,78
3,8
3,82
3,84
3,86
3,88
3,9
AB1 AB2 AB3
Nil
ai
Sen
sori
s A
rom
a
Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Sari Buah Pala
3,20
3,40
3,60
3,80
4,00
4,20
4,40
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3Nil
ai
Sen
sori
s A
rom
a
Kombinasi Perlakuan Konsentrasi Gula Invert x Sari buah
pala
Pengaruh Konsentrasi Gula Invert dan Sari Buah Pala (Myristica fragrans Houtt)Terhadap Sifat SensorisPermen Keras (Hard Candy) Rasa Pala (Muhammad Assagaf, Maryani A. Marsaoli, Suhdan
Kasuba)
17
Perlakuan Konsentrasi Penambahan Gula Invert dan Konsentrasi Sari
Buah Pala Terhadap Sifat Sensoris Warna Permen Keras (Hard Candy)
Rasa Pala
Penambahan gula invert dalam pembuatan permen memberikan
pengaruh terhadap warna permen keras rasa pala, hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya penambahan gula invert sebesar 70 gr dapat menaikan
penerimaan responden terhadap sifat sensoris warna permen keras rasa pala
mencapai 4,44 dibandingkan dengan penambahan gula invert sebesar masing-
masing 60 dan 65 gr. Tingginya penambahan gula invert menyebabkan
terjadinya karamelisasi yang mengakibatkan warna permen menjadi
kecoklatan, warna permen yang agak kecoklatan ternyata disukai oleh
responden hal ini dutunjukkan dengan tingginya nilai sifat sensoris warna.
Menurut Winarno,2008 Reaksi karamelisasi yang terjadi merupakan non-
enzimatis yaitu reaksi karamelisasi yang menyebabkan permen menjadi gelap.
Proses tersebut adalah setiap molekul sukrosa dipecah menjadi glukosa dan
fruktosa, dimana suhu tinggi mampu mengeluarkan molekul air dari molekul
gula, sehingga terbentuk glukosan dan fruktosan (dehidrasi). Setelah proses
pemecahan dan dehidrasi adalah reaksi polimerisasi yaitu
terbentuknya komponen polimer yang berwarna, menyebabkan larutan
berwarna gelap. Gambar grafik perbedaan penambahan konsentrasi Gula
Invert terhadap sifat sensoris permen keras Rasa Pala disajikan pada Gambar
4 berikut ini.
Gambar 4. Grafik perlakuan penambahan konsentrasi gula invert terhadap
Penerimaan sifat sensoris warna permen keras rasa pala
Pengaruh penambahan Sari buah pala pada pembuatan permen keras
rasa pala memperlihatkan perbedaan warna dari permen, penambahan sari
buah pala sebesar 75 gr memperlihatkan warna permen lebih baik
4,11 4,11
4,44
3,90
4,00
4,10
4,20
4,30
4,40
4,50
A1B A2B A3B
Nil
ai
Sen
sori
s W
arn
a
Perlakuan Konsentrasi Gula Invert
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
dibandingkan dengan pemberian sari buah pala sebanyak 70 dan 80 gr.
Penerimaan yang tinggi pada penambahan sari buah pala pada permen keras
rasa pala diperlihatkan dengan tingginya angka kesukaan mencapai 4,33.
Gambar 5 memperlihatkan sifat sensoris warna yang disukai responden pada
penambahan sari buah pala 75 gr. Menurut Nurwati. (2011) Gula dengan
tingkat kemurnian tinggi dan rendah kadar abunya akan menghasilkan permen
dengan warna yang kejernihannya baik atau penampakan mirip air.
Gambar 5. Grafik Perlakuan penambahan konsentrasi Sari buah pala
terhadap Penerimaan sifat sensoris warna permen keras rasa pala
Kombinasi perlakuan konsentrasi gula invert dengan sari buah pala
yang diberikan pada permen keras rasa pala, memperlihatkan bahwa
kombinasi perlakuan yang terbaik adalah untuk perbandingan gula invert
dengan sari buah pala 70 :75 (A3B2) dan 70:80 gr (A3B3), pada kedua
kombinasi perlakuan ini memberikan warna permen keras dengan sifat
sensoris warna yang mendekati sangat disukai yaitu 4,67. Hal ini dapat
dilaihat pada Gambar 6 berikut ini.
4,11
4,33
4,22
4,00
4,05
4,10
4,15
4,20
4,25
4,30
4,35
AB1 AB2 AB3
Nil
ai
Sen
sori
s W
arn
a
Pengaruh Perlakuan Sari Buah Pala
18
Pengaruh Konsentrasi Gula Invert dan Sari Buah Pala (Myristica fragrans Houtt)Terhadap Sifat SensorisPermen Keras (Hard Candy) Rasa Pala (Muhammad Assagaf, Maryani A. Marsaoli, Suhdan
Kasuba)
19
Gambar 6. Grafik Kombinasi Perlakuan penambahan konsentrasi Gula invert
dan Sari Buah Pala terhadap Penerimaan sifat sensoris Warna permen keras
rasa pala
Perlakuan Konsentrasi Penambahan Gula Invert dan Konsentrasi Sari
Buah Pala Terhadap Sifat Sensoris RasPermen Keras (Hard Candy)
Rasa Pala
Penambahan gula invert dalam pembuatan permen memberikan
pengaruh terhadap sifat sensoris dari rasa permen keras rasa pala, hal ini dapat
dilihat bahwa semakin meningkatnya penambahan gula invert dapat
menurunkan penerimaan responden terhadap sifat sensoris rasa permen keras
rasa pala mencapai 3,89 dibandingkan dengan penambahan gula invert
sebesar 60 gr.
Gambar 7. Grafik perlakuan penambahan konsentrasi gula invert terhadap
penerimaan sifat sensoris rasa permen keras rasa pala
4,00
4,33
4,00
4,33
4,00 4,00 4,00
4,67 4,67
3,60
3,80
4,00
4,20
4,40
4,60
4,80
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Nil
ai
Sen
sori
s W
arn
a
Kombinasi Perlakuan Konsentrasi Gula Invert x Sari Buah
Pala
4,22
3,89
4,11
3,7
3,8
3,9
4
4,1
4,2
4,3
A1B A2B A3B
Nil
ai
Sen
sori
s R
asa
Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Gula Invert
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
20
Penambahan sari buah pala dalam pembuatan permen tidak
memberikan pengaruh terhadap sifat sensoris dari rasa permen keras rasa pala,
hal ini dapat dilihat bahwa semakin meningkatnya penambahan sari buah pala
dapat meningkatkan penerimaan responden terhadap sifat sensoris rasa
permen keras rasa pala yang mencapai 4,11 dibandingkan dengan
penambahan sari bauh pala sebesar 75 gr dengan sifat sensoris rasa dengan
nilai 4. Grafik Pengaruh Perlakuan penambahan konsentrasi Sari Buah Pala
terhadap Penerimaan sifat sensoris Rasa permen keras rasa pala pada Gambar
8 berikut ini
Gambar 8. Grafik perlakuan penambahan konsentrasi sari buah pala terhadap
penerimaan sifat sensoris rasa permen keras rasa pala
Kombinasi perlakuan konsentrasi gula invert x sari buah pala yang
diberikan pada permen keras rasa pala, memperlihatkan bahwa kombinasi
perlakuan yang terbaik adalah untuk perbandingan gula invert dengan sari
buah pala 60 :70 gr dengan nilai sensoris 4,67 atau mendekati sangat disukai,
sedangkan pada kombinasi perlakuan lain sebagian besar memberikan rasa
yang disukai oleh responden kecuali untuk kombinasi perlakuan A2B1 dan
A3B2 dengan niali rasa dibawah 4 atau masing-masing 3,33 dan 3,67. Hal ini
dapat dilaihat pada Gambar 9 berikut ini.
4,11
4
4,11
3,94
3,96
3,98
4
4,02
4,04
4,06
4,08
4,1
4,12
AB1 AB2 AB3
Nil
ai
Sen
sori
s R
asa
Pengaruh Perlakuan Konsentrasi Sari Buah Pala
Pengaruh Konsentrasi Gula Invert dan Sari Buah Pala (Myristica fragrans Houtt)Terhadap Sifat SensorisPermen Keras (Hard Candy) Rasa Pala (Muhammad Assagaf, Maryani A. Marsaoli, Suhdan
Kasuba)
21
Gambar 9. Grafik Kombinasi perlakuan penambahan konsentrasi gula invert
dan sari buah pala terhadap penerimaan sifat sensoris rasa permen keras rasa
pala
Perlakuan Konsentrasi Penambahan Gula Invert dan Konsentrasi Sari
Buah Pala Terhadap Sifat Sensoris Tekstur Permen Keras (Hard Candy)
Rasa Pala
Penambahan gula invert dalam pembuatan permen memberikan
perbedaan sifat sensoris dari tekstur permen keras rasa pala, hal ini dapat
dilihat penambahan gula invert yang optimum adalah 65 gr dengan nilai
sensoris tekstur sebesar 4,44 sedangkan dengan meningkatnya penambahan
konsentrasi gula invert tidak memperbaiki sifat sensoris tekstur dari permen
keras rasa pala. Menurut Sjarif S.R., (2018), campuran gula invert dalam
jumlah yg banyak dalam permen dapat membuat tekstur yang dihasilkan lebih
liat dan kekerasannya cenderung menurun. Hal inilah yang menyebabkan
permen akan lebih sulit saat dicetak sesuai bentuk yang diinginkan, sehingga
konsumen tidak menyukainya Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10 berikut
ini.
4,67
4,00 4,00
3,33
4,334,00
4,33
3,67
4,33
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Nil
ai
Sen
sori
s R
asa
Kombinasi Perlakuan Konsentrasi Gula Invert x Sari Buah
Pala
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
22
Gambar 10. Grafik perlakuan penambahan konsentrasi gula invert terhadap
penerimaan sifat sensoris tekstur permen keras rasa pala
Penambahan sari buah pala dalam pembuatan permen memberikan
perbedaan nilai sensoris tekstur, pada penambahan sari buah pala sebanyak 75
gr memberikan nilai penerimaan atau kesukaan dari responden terhadap
tekstur permen sebesar 4,33, sedangkan bila ditingkatkan konsentrasi
penambahan sari buah pala menjadi 80 gr memberikan nilai sensoris tekstur
yang menurun manjadi hanya 3,00. Perubahan nilai sesnsoris tekstur pada
penambahan konsentrasi sari buah pala dalam pembuatan permen disajikan
pada Gambar 11 berikut ini.
Gambar 11. Grafik perlakuan penambahan konsentrasi sari buah pala
terhadap penerimaan sifat sensoris tekstur permen keras rasa pala
Kombinasi perlakuan konsentrasi gula invert dan sari buah pala
memberikan perbedaan nilai sensoris permen keras rasa pala, pada kombinasi
perlakuan 65 gr gula invert dan 75 gr sari buah pala (A2B2) memberikan nilai
sensoris tekstur permen yang sangat disukai responden dengan nilai rata-rata
4,004,33
3,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
AB1 AB2 AB3
Nil
ai
Sen
sori
s T
ekst
ur
Konsentrasi Sari Buah Pala
3,56
4,44
3,33
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
A1B A2B A3BNil
ai
Sen
sori
s T
ekst
ur
Konsentrasi Gula invert
Pengaruh Konsentrasi Gula Invert dan Sari Buah Pala (Myristica fragrans Houtt)Terhadap Sifat SensorisPermen Keras (Hard Candy) Rasa Pala (Muhammad Assagaf, Maryani A. Marsaoli, Suhdan
Kasuba)
23
5, sedangkan pada kombinasi perlakuan 70 gr gula invert dan 80 gr sari buah
pala (A3B3) memberikan nilai sensoris yang terendah yaitu 2,33 demikian
juga dengan kombinasi perlakuan 60 gr gula invert dan 80 gr sari buh pala
(A1B3) memberikan nilai sensoris tekstur sebesar 2,67 atau sama-sama tidak
disukai oleh responden.
Gambar 12. Grafik kombinasi perlakuan penambahan konsentrasi gula
invert dan sari buah pala terhadap penerimaan sifat sensoris rasa permen
keras rasa pala
KESIMPULAN
1. Perlakuan konsentrasi penambahan gula invert secara parsial
memberikan perbedaan sifat sensoris aroma, warna, rasa dan tekstur
permen keras rasa pala
2. Perlakuan konsentrasi penambahan sari buah pala secara parsial
memberikan perbedaan sifat sensoris aroma, warna, rasa dan tekstur
permen keras rasa pala
3. Kombinasi perlakuan konsentrasi penambahan gula invert dan
konsentrasi penambahan sari buah pala memberikan perbedaan sifat
sensoris Aroma, Tekstur dan rasa permen keras rasa pala
4. Kombinasi perlakuan penambahan gula invert 65 gram (A2) dan
konsentrasi sari buah pala 75 gram (B2) memberikan nilai sensoris rasa
dan tekstur permen keras rasa pala yang terbaik
3,674,33
2,67
4,335,00
4,00 4,00 3,67
2,33
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Nil
ai
Sen
sori
s T
ekst
ur
Kombinasi Perlakuan Konsentrasi Gula Invert x Sari Buah
Pala
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
24
SARAN
Dari hasil kajian ini dapat disarankan bahwa perlu dilakukan kajian
lanjut terhadap penambahan glukosa untuk menghasilkan permen dengan
tekstur yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional. 2008. Kembang gula keras. SNI 3541.1 –
2008
Herschdoerfer. 1972. Quality Control In Food Industry 3. Academic Press:
London and New York
Indriaty,F dan Sjarif S.R. 2016. Jurnal Penelitian Teknologi Industri 8 (2) :
129 – 140.
Nurwati. 2011. Formulasi hard candy dengan penambahan ekstrak buah
pedada (Sonneratia caseolaris) sebagai flavor. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sjarif, S.R. 2018. Pengaruh Kosentrasi Sari Buah Mangga Kuwini Terhadap
Kualitas Permen Keras. Jurnal Penelitian Teknologi Industri 10 (2)
59 – 68
Wahyuni HD. 1998. Mempelajari pembuatan hard candy dari gula invert
sebagai alternatif pengganti sirup glukosa. Skripsi. Fateta, IPB.
Ward and Courts. 1977. The Science of Technology of Gelatin. Academic
Press: London.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.
.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
25
KINERJA KITOSAN SEBAGAI AGEN PENGIMBAS KETAHANAN
TANAMAN TERHADAP VIRUS PATOGEN 1)Emerensiana Uge dan 2)Hermawati Cahyaningrum
1Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi
Jl. Raya Kendalpayak No. 66, Segaran, Kendalpayak, Malang, Jawa Timur 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Jl. Trans Halmahera, Kompleks Pertanian Kusu No.1
Sofifi, Kota Tidore Kepulauan;
Email: [email protected]; herma,[email protected]
ABSTRAK
Virus patogen tanaman merupakan salah satu organisme pengganggu yang
sulit untuk dikendalikan. Cara pengendalian yang umum dilakukan adalah
menghilangkan sumber inokulum di lahan dan pengendalian vektor virus
dengan pestisida kimia. Produk alam untuk menghambat infeksi patogen dan
menginduksi ketahanan tanaman (inducer) sangat perlu untuk
dimanfaatkan.Salah satu inducer yang dapat digunakan adalah kitosan.
Kitosan merupakan salah satu biopolymer alam yang diekstrak dari berbagai
cangkang kulit hewan berkulit keras, seperti udang dan kepiting. Kemampuan
penghambatan infeksi virus oleh kitosan dikendalikan oleh berbagai senyawa
kimia yang terbentuk setelah tanaman terinduksi. Penghambatan secara
langsung dapat terjadi karena kitosan bersifat antiviral. Salah satu mekanisme
kerja antiviral kitosan adalah dengan mengikat dan merusak struktur partikel
virus setelah berada dalam sel tanaman. Secara tidak langsung, mekanisme
ini menghambat terbentuknya jutaan replikasi partikel virus baru. Kitosan
juga dapat penghambat penyebaran virus antar tanaman, dengan cara
melumpuhkan penular/vektor virus. Manfaat lain yang penting adalah
senyawa ini dapat memacu pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman tetap
tumbuh sehat dan berproduksi baik, serta menghasilkan tingkat keparahan
penyakit lebih rendah dibandingkan tanpa aplikasi. Berdasarkan manfaatnya,
maka kitosan dapat dikembangkan sebagai produk ramah lingkungan dalam
pengendalian penyakit tanaman yang disebabkan virus.
Kata kunci: antiviral, kitosan, virus tanaman
PENDAHULUAN
Virus merupakan salah satu patogen tanaman yang sangat sulit
dikendalikan karena menginfeksi secara sistemik, tidak tersedianya tanaman
Kinerja Kitosan Sebagai Agen Pengimbas Ketahanan Tanaman Terhadap Virus Patogen (Emerensiana
Uge dan Hermawati Cahyaningrum)
26
tahan virus, mempunyai kisaran tanaman inang yang sangat luas, dan
penularan yang dapat dilakukan oleh berbagai jenis kutu daun secara
nonpersisten. Sifat virus dan metabolisme tanaman sebagain inang memiliki
kaitan yang erat, sehingga sampai saat ini belum diketahui zat kimia dengan
kerja spesifik, dapat menghambat perkembangan virus tanpa mengganggu
metabolisme tanaman. Pengendalian virus yang dilakukan saat ini adalah
dengan menggunakan pestisida kimia. Namun, karena efek berbahaya yang
disebabkan oleh bahan kimia tersebut memberikan kesadaran akan pentingnya
pengendalian penyakit yang baru dan tidak berbahaya (Edreva, 2004). Sifat
non persisten vektor dan kemampuan penyebaran yang cepat menyebabkan
cara pengendalian kimiawi ini kurang efektif. Hal ini memicu pengembangan
teknik pengendalian baru yang efektif dan ramah lingkungan menggunakan
substansi organik yang mudah terurai, tidak beracun, dapat menekan infeksi
virus serta mampu mengimbas ketahahan tanaman, bersifat antiviral dan
penghambatan vektor.
Ketahanan tanaman dapat diaktifkan dengan memacu gen ketahanan
yang ada di dalam tanaman. Kitosan merupakan salah satu bahan yang dapat
digunakan untuk menginduksi ketahanan tanaman (Vasyukova et al.,
2001). Kitosan merupakan hasil ektrak cangkang hewan Crustaceae salah
satunya udang (Muzzarelli, 1985). Produk kitosan termasuk produk yang
murah, selain itu
memiliki keunggulan biologis seperti biodegradable, biocompatible, tidak
beracun, dan anti patogen tanaman, baik terhadap patogen tular tanah dan
patogen tular udara serta menginduksi pembentukan bintil akar (Malerba dan
Raffaella, 2016).
Fragmen kitin dan kitosan dikenal memiliki aktifitas yang
menginduksi berbagai respon pertahanan di dalam tanaman terhadap infeksi
mikroba. Fragmen tersebut juga berfungsi sebagai antiviral yang dapat
mempengaruhi perkembangan virus ketika masuk ke dalam sel tanaman, dan
memiliki kemampuan dalam menghambat gangguan serangga serta beberapa
vektor virus. Manfaat kitosan yang sangat penting bagi tanaman menjadi
perhatian utama dalam penulisan naskah ini, terutama membahas perannya
dalam pengendalian virus patogen.
KITOSAN DAN PERANANNYA DALAM MENGENDALIKAN VIRUS
TANAMAN
Kitosan merupakan modifikasi polimer karbohidrat alami yang
diproses melalui N-deasetilasi parsial kitin (Gambar 1), pada umumnya
sebagai komponen struktur tulang belakang hewan crustacea dan serangga,
juga pada dinding sel jamur (Xing et al., 2014). Polimer kitin memiliki unit
utama yaitu 2-deoksi-2-(asetilamino) glukosa. Unit tersebut diikat oleh ikatan
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
27
-(1,4) glikosida yang membentuk polimer linier rantai panjang. Walaupun
kitin tidak larut dalam sebagian besar pelarut, kitosan larut dalam sebagian
besar larutan asam organik pada pH kurang dari 6,5 termasuk asam format,
asetat, tartrat, dan sitrat (Tiyaboonchai, 2003).
Gambar 1. Struktur molekul kimia kitin dan khitosan (Xing et al., 2015).
Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam bidang perlindungan
tanaman baik dalam mengendalikan patogen di lapang maupun pasca panen
dan serangga vektor (Tabel 1). Kitosan telah dilaporkan mengendalikan
beberapa virus patogen tanaman diantaranya virus kentang X, mosaik
tembakau dan virus nekrosis, virus mosaik alfalfa, virus kerdil kacang, dan
virus mosaik mentimun (Pospieszny et al., 1991).
Tabel 1. Hasil penelitian pengendalian virus patogen menggunakan kitosan
Virus patogen Tanaman Inang Metode Aplikasi Hasil
Bean common
mosaic virus
(BCMV)
Kacang panjang
(Vigna
unguiculata L.)
Perlakuan benih,
perlakuan sebelum dan
sesudah tanaman
terinfeksi
Memperpanjang waktu
inkubasi, menurunkan
tingkat keparahan
penyakit, titer virus dan
aktivitas peroksidase.
Tobacco
mosaic virus
(TMV)
Tembakau
(Nicotiana
tabacum L.)
Aplikasi pada daun
bersamaan dengan
inokulasi TMV
Menurunkan
perkembangan infeksi,
meningkatkan aktifitas
hidrolisis (Protease,
RNAase) pada daun dan
mengakibatkan
Kinerja Kitosan Sebagai Agen Pengimbas Ketahanan Tanaman Terhadap Virus Patogen (Emerensiana
Uge dan Hermawati Cahyaningrum)
28
abnormalitas bentuk
partikel virion.
Tobaco mosaic
virus (TMV)
Arabidopsis sp Aplikasi pada daun 50
mg/l 1 hari sebelum
infeksi
COS(Chitosan
oligossacharide)
menginduksi ketahanan
melalui aktivasi jalur
asam salisilat.
Squash mosaic
virus
Mentimun
(Cucumis sativus
L)
Perlakuan kitosan +
PGPR pada benih
sebelum tanam,
disemprotkan pada
daun, dan tanah selama
pertumbuhan tanaman
meningkatkan
pertumbuhan tanaman
dan menghambat
perkembangan gejala.
Cucumber
mosaic virus
(CMV)
Lada (Piper
nigrum L.)
Penyemprotan pada
tajuk tanaman (pelarut
etanol)
Menurunkan insidensi
dan intensitas penyakit,
serta memacu
pertumbuhan tanaman.
Tomato leaf
curl virus
(ToLCV)
Tomat (Solanum
lycopersicom L.)
Perlakuan kitosan dan
Pseudomonas sp.
Menurunkan keparahan
penyakit sampai 90 %
Sumber: Damayanti et al., 2013; Nagorskaya et al., 2014; Mishra et al., 2014; Jia
X. et al., 2016; Firmansyah et al., 2017; Uge et al., 2018
Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian di atas telah diketahui
bahwa pengaruh aplikasi kitosan secara visual dapat terlihat dengan
peningkatan pertumbuhan dan pengurangan keparahan penyakit dibandingkan
tanpa aplikasi kitosan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai senyawa kimia yang
dihasilkan tanaman dan mekanisme yang terjadi di dalamnya, setelah
terinduksi oleh kitosan. Aplikasi kitosan sebaiknya dilakukan sebagai
tindakan preventif sehingga dapat memacu ketahanan lebih dini, sehingga
tanaman lebih siap untuk menghambat mikroba asing yang masuk.
INDUKSI KETAHANAN TANAMAN MENGGUNAKAN KITOSAN
Induksi ketahanan adalah peningkatan mekanisme ketahanan alami
tanaman terhadap patogen yang dipengaruhi oleh faktor eksternal (Edreva,
2004). Ketahanan tanaman dapat berupa ketahanan pasif, yang diekspresikan
secara konstitutif, dan ketahanan aktif, yang terbentuk setelah tanaman
terinfeksi, dan dapat terjadi secara lokal maupun sistemik (Walters et al.,
2007). Induksi ketahanan sistemik (systemic acquired resistance) dapat
dijadikan sebagai alternatif untuk mendapatkan keragaman genetik khususnya
untuk karakter ketahanan terhadap penyakit. Induksi ketahanan sistemik
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
29
merupakan proses stimulasi resistensi tanaman inang tanpa introduksi gen–
gen baru. Tanaman memiliki mekanisme ketahanan yang mampu mengenali
mikroba asing yang masuk, mekanisme ini terjadi melalui transmembran
pattern recognition receptors (PRRS) yang dapat berinteraksi dengan
pathogen/microbe-associated molecular patterns PAMPs/MAMPs (Dang et
al., 2001). PAMPs/MAMPs dapat masing-masing disekresikan oleh patogen
atau dilepaskan dari dinding sel inang ketika terjadi infeksi di daerah
penetrasi.
Kitosan dan derivatnya diketahui bertindak sebagai inducer atau
pengimbas ketahanan, meningkatkan respon ketahanan tanaman baik secara
lokal di sekitar daerah terinfeksi, maupun sistemik untuk memberi signal pada
bagian tanaman yang sehat. Mekanisme ini terjadi dengan pelibatan sinyal
awal, akumulasi metabolit dan protein yang berhubungan dengan mekanisme
pertahanan seperti fitoaleksin dan PR-protein (Wang et al., 2008). Kitosan
dikenali oleh PRRS (pattern recognition receptors) tanaman dan mampu
memicu respon pertahanan tanaman. Iriti dan Faoro (2007) melaporkan bahwa
kitosan berperilaku seperti PAMPs/MAMPs (Pathogen/Microbe-associated
molecular patterns) atau elisitor umum. Polisakarida dinding sel seperti
glukan dan kitosan telah dilaporkan dapat bertindak sebagai PAMPs/
MAMPs, yang dikenali oleh sistem PRRS tanaman dan memicu respon
pertahanan, dengan cara menginduksi resistensi tanaman bukan inang dan
terutama memacu ketahanan sistemik. Respon pertahanan yang ditingkatkan
setelah aplikasi kitosan meliputi peningkatan H+ dan Ca2+ untuk masuknya ke
dalam sitosol, aktivasi MAP-kinase, aposisi kalus, ledakan oksidatif, respon
hipersensitif, sintesis asam absisik, jasmonat, fitoaleksin, dan PR-protein
(Benhamou et al., 1999).
Aplikasi kitosan dapat meningkatkan induksi ketahanan tanaman,
seperti akumulasi fitoaleksin, PR (pathogenesis related) protein (glukanase,
proteinase, peroksidase, ribonuclease likeprotein) dan proteinase inhibitor,
sintesa lignin dan pembentukan kalus (Hadrami et al., 2010). Mekanisme
penghambatan dengan terjadinya penggumpalan bagian disekitar sisi
penetrasi, yakni berpengaruh menghalangi bagian yang terinfeksi dari bagian
tanaman yang sehat sehingga mencegah penyebaran ke bagian yang sehat.
Kitosan mampu mengikat berbagai bahan dan mempercepat proses
penyembuhan luka (Hirano, 1999), menginduksi kematian sel (programmed-
cell death) dan tanggapan hipersensitif pada tanaman (Vasil’ev et al., 2009).
Choi et al.,(2001) dan Iriti et al.,(2006) mempelajari aktivitas antivirus yang
disebabkan oleh kitosan pada tembakau, hasil penelitian juga menunjukkan
aplikasi kitosan 1% secara signifikan mampu mengurangi penyebaran virus
nekrosis dan menginduksi penimbunan kalus, micro-oxidative burst dan
tanggapan mikro hipersensitif.
Kinerja Kitosan Sebagai Agen Pengimbas Ketahanan Tanaman Terhadap Virus Patogen (Emerensiana
Uge dan Hermawati Cahyaningrum)
Kontrol Kitosan
(0,5%)
Kitosan
(0,75%)
Kitosan (1 %)
97,866
40,048 39,154 37,628
Intensitas Penyakit (%)
30
Sejumlah mekanisme yang terjadi setelah tanaman terinduksi oleh
kitosan dapat membantu tanaman lebih tahan terhadap infeksi. Kemampuan
kitosan untuk menginduksi tanggapan hipersensitif tanaman dapat membantu
menghambat perkembangan gejala dan penyebaran virus dari sel ke sel. Hal
ini mengingat bahwa virus merupakan mikroba yang dapat hidup pada sel
tanaman yang hidup, sehingga inisiasi kematian sel disekitar luka infeksi
secara tidak langsung dapat membatasi perkembangan dan penyebarannya.
Uge et al., (2018) membuktikan pengaruh bibit tanaman lada yang
diaplikasi kitosan dan tanpa aplikasi kitosan menunjukkan nilai intensitas
penyakit yang berbeda selama 3 minggu pengamatan (Gambar 2). Dari data
intensitas di bawah ini menunjukkan pengaruh nyata intensitas penyakit pada
tanaman terinfeksi yang diberi perlakuan kitosan dan tanpa perlakuan kitosan.
Aplikasi kitosan diketahui memiliki menurunkan keparahan penyakit lebih
rendah dibandingkan tanaman kontrol tanpa aplikasi kitosan. Berdasarkan hal
ini, maka dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kerja sistem
metabolisme tanaman setelah terinduksi oleh kitosan.
Gambar 2. Intensitas penyakit kerdil pada bibit lada tanpa aplikasi dan
dengan aplikasi kitosan pada beberapa taraf konsentrasi (Uge et al., 2018)
MEKANISME KITOSAN SEBAGAI ANTIVIRAL
Kitosan menunjukkan mekanisme antivirus, antibakteri, antijamur
dan telah dieksplorasi untuk banyak kepentingan pertanian. Kitosan telah
digunakan untuk mengendalikan penyakit, mengurangi penyebaran penyakit,
menggabungkan nutrisi dan mineral, mencegah patogen masuk, dan
meningkatkan sistem ketahanan tanaman (Hadrami et al., 2010). Kitosan
mengimbas ketahanan tanaman terhadap penyakit karena virus dan
menghambat penyebaran virus dan viroid secara sistemik sehingga tanaman
yang diberi perlakuan kitosan tidak menampakkan gejala (Xing et al., 2015).
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
31
Mekanisme antiviral kitosan yakni menginaktivasi replikasi, yang
mengarah pada penghentian replikasi dan penyebaran. Mekanisme ini
kemudian dikaitkan dengan fakta bahwa setelah penetrasi ke jaringan
tanaman, nano partikel kitosan mengikat erat asam nukleat dan menyebabkan
berbagai kerusakan pada virus dan hambatan selektif. Penghambatan selektif
yang diberikan dapat menonaktifkan sintesis mRNA yang dikodekan oleh gen
untuk metabolik dan infeksi dari virus atau viroid (Kulikov et al., 2006).
Karakter mekanisme ini telah banyak dieksplorasi dalam penerapan terapi gen
dan pembungkaman gen (Rabea et al., 2003). Mekanisme antiviral kitosan
lainnya yakni sebagai elisitor yang sangat kuat dibandingkan sebagai agen
antimikroba atau senyawa toksik langsung. Efek penghambatan langsung
oleh kitosan terhadap virus berupa membuat virus tidak aktif. Hasil observasi
menggunakan mikroskop elektron menunjukkan bahwa kitosan merubah dan
merusak struktur partikel virus. Pada hasil observasi mikroskop elektron
terhadap suspensi TMV diketahui bahwa jumlah partikel virus menurun,
terpelintir dan terikat dengan sesamanya (Xing et al., 2015).
Mekanisme antiviral ini merupakan mekanisme langsung yang
terjadi karena sifat kitosan yang mampu mengikat senyawa tertentu.
Kemampuan pengikatan secara langsung pada partikel virul dalam jaringan
tanaman, sangat berpengaruh terhadap proses infeksi dan perkembangan
penyakit. Ketika partikel virus yang masuk ke dalam sel dapat dihambat, maka
proses replikasi, invasi dan infeksi dalam jaringan sel akan terhambat. Oleh
karena itu aplikasi kitosan sebelum infeksi memiliki peran yang sangat
penting untuk mencegah infeksi oleh virus patogen. Manfaat lainnya adalah
pengaruh secara tidak langsung dari mekanisme induksi, dimana terbentuknya
hormon pertumbuhan yang dapat memacu pertumbuhan tanaman sehingga
tanaman lebih sehat.
KITOSAN MENGHAMBAT PERKEMBANGAN VEKTOR
Kitosan memiliki efek insektisida yang mematikan Aphis nerii pada
tanaman Oleander dan Spodoptera littoralis pada tanaman kapas di Mesir
(Badawy dan El-Aswad, 2012) serta mampu mematikan Plutella xylostella
dan Helicoverpa armigera, karena memiliki efek penghambat makan dan
aktifitas insektisida (Zhang et al., 2003). Kitosan telah diuji dapat menekan
perkembangan gejala dan intensitas penyakit dari virus, hal ini dilakukan
melalui aplikasi pada benih dan penyemprotan pada daun sebelum serta
sesudah inokulasi mekanis BCMV (Bean Common Mosaic Virus) (Damayanti
et al., 2013). Aplikasi kitosan juga diuji pada A. craccivora vektor BCMV dan
membuktikan bahwa kitosan dapat mengganggu pengambilan makanan (food
intake), mengganggu perkembangan larva serangga karena disfungsi food
intake, peningkatan mortalitas, dan mengganggu proses ganti kulit karena
Kinerja Kitosan Sebagai Agen Pengimbas Ketahanan Tanaman Terhadap Virus Patogen (Emerensiana
Uge dan Hermawati Cahyaningrum)
32
penghambatan kitinase (Saguez et al., 2008). Efek insektisida kitosan
berasosiasi dengan peningkatan respon ketahanan tanaman, seperti dengan
sintesa kalus (callose) dan lignin sehingga mempunyai efek antixenosis dan
antibiosis, mengurangi periode pra-reproduksi, fekunditas harian dan lama
hidup kutu daun (Saguez et al., 2005).
Kitosan memiliki efek antixenosis sehingga secara nyata
mempengaruhi preferensi makan Aphis craccivora. Kitosan menstimulasi
tanaman untuk memproduksi antibodi sistemik dengan menghasilkan efek
repelen yang menghalangi serangga untuk makan (Zeng et al., 2012). Selain
memiliki efek penghambat makan (anti-feedant), aplikasi kitosan yang
berulang pada tanaman mampu menunjukkan aktifitas insektisida (Aphisidal)
terhadap A. nerii (Badawy dan El-Aswad, 2012) dan beberapa kutu daun
lainnya (Zhang et al., 2003).
Kitosan memiliki banyak manfat dalam mengendalikan hama pada
tanaman. Selain menghambat serangan hama juga menghambat penularan
virus oleh serangga sebagai vektornya. Pada dasarnya bahwa peran serangga
dalam menularkan vector antar tanaman terjadi melalui mekanisme makan.
Hal ini akan berbeda jika, ketika serangga hinggap pada tanaman dan menjadi
tidak mampu untuk bertahan pada tanaman atau mengambil makanan pada
tanaman tersebut. Pada kasus ini, serangga tidak dapat menularkan virus
melalui stilet karena terdapat senyawa yang tidak disukai serangga, atau dalam
kasus lain terjadi penebalan dinding sel jaringan tanaman, sehingga stilet
serangga tidak mampu menusuk ke dalam jaringan. Beberapa serangga
memiliki kemampuan untuk mempertahankan virus dalam stiletnya atau
saluran pencernaanya kurang dari 1 jam atau disebut dengan serangga non
persisten dan semi persisten. Terhambatnya proses makan, menyebabkan
virus tidak bertahan dan memnguntungkan bagi tanaman.
PENGARUH KITOSAN TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN
Kitosan memiliki kemampuan untuk memacu terbentuknya
hormon-hormon pertumbuhan tanaman. Uthairatanakij et al, (2007)
mengemukakan bahwa kitosan dapat menyebabkan signal untuk mensintesis
hormon tanaman seperti giberelin dan beberapa jalur signal yang berkaitan
dengan biosintesis auksin. Iriti dan Faoro, (2007) melaporkan jika aplikasi
kitosan menginduksi aposisi kalus dan akumulasi hormon pertumbuhan asam
absisat dalam jaringan daun, pada 12 dan 24 jam setelah aplikasi dan
menginduksi perlawanan Tomato necrosis Virus (TNV).
Aplikasi penyemprotan kitosan untuk mengendalikan Tomato
yellow leaf curl virus (TYLCV) menunjukan bahwa kitosan mampu
memberikan pengaruh yang baik terhadap penghambatan infeksi dan
pertumbuhan tanaman. Kitosan selain diketahui dapat mengurangi akumulasi
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
33
TYLCV, juga dapat meningkatkan daya kecambah benih dan tinggi tanaman
tomat Sridathip 3 (Noiket et al., 2014). Pada aplikasi benih padi dapat
meningkatkan toleransi dari kondisi stres dan meningkatkan perkecambahan
dan perkembangan benih (Ruan dan Xue, 2002). Hal ini juga didukung oleh
hasil pengujian Uge et al. (2018) tentang pengaruh aplikasi kitosan terhadap
insidensi dan pertumbuhan bibit lada (Piper nigrum L). Tanaman yang
terinfeksi virus umumnya menunjukkan kekerdilan dan penyempitan ukuran
daun, aplikasi kitosan berpengaruh terhadap respon pertumbuhan tanaman
sehingga tanaman yang terinfeksi masih dapat bertumbuh baik dan lebar daun
normal, walaupun masih ditemukan adanya gejala mosaik pada daun.
Tanaman pada dasarnya memiliki sistem ketahanannya sendiri, selain
itu juga memiliki hormon pertumbuhan dan senyawa pemacu pertumbuhan
lainnya. Mekanisme induksi ketahanan tanaman dengan kitosan, diketahui
mampu memacu peningkatan produksi senyawa-senyawa tersebut. Proses
terbentuknya senyawa-senyawa ini terjadi dalam suatu rangkaian proses.
Peningkatan pertumbuhan tanaman secara tidak langsung meningkatkan
kesehatan tanaman. Pemanfaatan kitosan sebagai suatu senyawa penginduksi
hormone pertumbuhan juga dapat dimanfaatkan. Keuntungan lainnya adalah
tanaman yang diaplikasikan dengan kitosan selain memiliki pertumbuhan
yang baik, tentunya akan memiliki sistem pertahanan yang kuat terhadap
infeksi.
KESIMPULAN
Kitosan sebagai pengimbas ketahanan bekerja melalui mekanisme
induce resistance, antiviral, penghambat perkembangan vektor, dan memacu
pertumbuhan tanaman. Kemampuan penghambatan infeksi virus oleh kitosan
dikendalikan oleh berbagai senyawa kimia yang terbentuk setelah terinduksi.
Mekanisme lainnya yakni penghambatan secara langsung dengan mengikat
dan merusak struktur partikel virus itu sendiri. Mekanisme ini sangat efektif,
karena dengan menonaktifkan satu partikel yang aktif, maka secara tidak
langsung menghambat terbentuknya dan perkembangan jutaan replikasi
partikel virus baru. Kemampuan kitosan sebagai penghambat infeksi virus
juga terlihat dari kemampuannya melumpuhkan penular/vektor virus antar
tanaman. Manfaat lain yang penting adalah senyawa ini dapat memacu
pertumbuhan tanaman, sehingga tetap berproduksi baik walau terinfeksi virus
patogen, dan menekan perkembangan penyakit lebih rendah dibandingkan
tanpa aplikasi. Keuntungan lain adalah sifat kitosan yang adalah bahan
organik ramah lingkungan, dan memiliki banyak manfaat bagi kesehatan
tanaman, meyakinkan produk ini dapat dianjurkan untuk digunakan dalam
pengendalian penyakit tanaman. Manfaat lainnya yang diperoleh dengan
Kinerja Kitosan Sebagai Agen Pengimbas Ketahanan Tanaman Terhadap Virus Patogen (Emerensiana
Uge dan Hermawati Cahyaningrum)
34
penggunaan kitosan adalah pengelolaan limbah cangkang hewan Crustacea
seperti udang dan kepiting menjadi produk bermanfaat dan bernilai ekonomis
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Fiveth edition. Academic Press, San
Diego.
Badawy MEI, El-Aswad A. 2012. Insecticidal activity of chitosans of different
molecular weights and chitosan-metal complexes against cotton
leafworm Spodoptera littoralis and oleander aphid Aphis nerii.
Plant Protection Science 48:131–141.
Benhamou, N.; Nicole, M. 1999. Cell biology of plant immunization against
microbial infection: the potential of induced resistance in
controlling plant diseases. Plant Physiol. Biochem. 37,703–719.
Choi, BK, Kim K.Y.; Yoo Y.J.; Oh, S.J.; Choi, J.H.; Kim, C.Y. 2001. In vitro
antimicrobial activity of a chitooligosaccharide mixture against
Actinobacillus actinomycetemcomitans and Streptococcus
mutans. Int. J. Antimicrob. Agents.18, 553–557.
Damayanti, TA., Haryanto, Wiyono, S. 2013. Pemanfaatan Kitosan untuk
Pengendalian Bean Common Mosaic Virus (Bcmv) pada Kacang
Panjang. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. ISSN
1411-7525. Vol. 13. 2: 110 – 116
Dang, JL.; Jones, J.D.G. 2001. Plant pathogens and integrated defence
responses to infection. Nature .411, 826–833.
Edreva, A. 2004. A novel strategy for plant protection: Induced resistance.
Journal of Cell and Molecular Biology 3: 61 – 69
Firmansyah D, Widodo, Hidayat SH. 2017. Chitosan and Plant Growth
Promoting Rhizobacteria Application to Control Squash mosaic
virus on Cucumber Plants. Asian J. Plant Pathol., 11: 148-155.
Hadrami AE, Adam LR, Hadrami EI, & Daayf F. 2010. Chitosan in plant
protection. Marine Drugs, 5: 968-987
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
35
Hirano, S.; Nakahira, T.; Nakagawa, M.; Kim, S.K. 1999. The preparation and
applications of functional fibres from crab shell chitin. J.
Biotechnol. 70, 373–377.
Iriti M, Sironi M, Gomarasca S, Casazza AP, Soave C, & Faoro F. 2006. Cell
death mediated antiviral effect of chitosan in tobacco. Plant
Physiol Biochem, 44: 893-900.
Iriti M dan F. Faoro. 2007. Callose synthesis as a tool to screen chitosan
efficacy in inducing plant resistance to
pathogens. Caryologia. 60:121–124.
Jia X, Meng Q , Zeng H , Wang W.X, Yin H. 2016. Chitosan oligosaccharide
induces resistance to Tobacco mosaic virus in Arabidopsis via the
salicylic acid-mediated signalling pathway. Scientific report
6:26144: 1-16
Kulikov SN, Chirkov SN, Il’ina AV, Lopatin SA, & Varlamov VP. 2006.
Effect of the molecular weight of chitosan on its antiviral activity
in plants. App. Biochem. Microbiol 42(2): 200–203.
Malerba, M. dan Raffaella Cerana. 2016. Chitosan Effect on Plant Systems.
Int. J. Mol. Sci 17: 1 – 15
Mishra, S., Kavi S. J., Palliath U. P., Sagar P. 2014. Biocontrol of tomato leaf
curl virus (ToLCV) in tomato with chitosan formulations of
Pseudomonas sp. under field conditions. AJCS 8 (3): 347 – 355
Muzzarelli, RAA.. 1985.Chitin in the Polysaccharides., Aspinall (ed)
Academic press Inc., Orlando, San Diego. 3: 147
Nagorskaya V, Reunov A, Lapshina L,Davydova V, Yermak I. 2014. Effect
of chitosan on tobacco mosaic virus (TMV) accumulation,
hydrolase activity, and morphological abnormalities of the viral
particles in leaves of N. tabacum L. cv. Samsun. Virologica Sinica,
29 (4): 250-256
Noiket N, Boonthip T, Riangwong K. 2014. Evaluation of potential for
chitosan to control TYLCV disease and promote the growth of
Sridathip 3 tomato. The 26 th annual meeting of the thai society of
biotechnology and international conference.
Kinerja Kitosan Sebagai Agen Pengimbas Ketahanan Tanaman Terhadap Virus Patogen (Emerensiana
Uge dan Hermawati Cahyaningrum)
36
Pospieszny H, Chirkov S, Atabekov J. 1991. Introduction of antiviral
resistance in plants by chitosan. Plant Science 79:63–68. doi:
http://dx.doi.org/10.1016/0168-9452(91)90070-O.
Rabea, EI. Badawy, MT, Stevens, CV, Smagghe, G, Steurbaut, W.2003.
Chitosan as antimicrobial agent: Applications and mode of action.
Biomacromolecules.4, 1457–1465.
Ruan, SL. Xue, QZ. 2002. Effects of chitosan coating on seed germination and
salt-tolerance of seedlings in hybrid rice (Oryza sativa L.). Acta
Agron. Sinica. 28, 803–808.
Saguez J, Hainez R, Cherqui A, Van WO, Jeanpierre H, Lebon G, Noiraud N,
Beaujean A, Jouanin L, Laberche J, Vincent C. 2005. Unexpected
effect of chitinases on the peach-potato aphid (Myzus persicae
Sulzer) when delivered via transgenic potato plants (Solanum
tuberosum Linne) and in vitro. Transgenic Research 14:57–67.
doi: http://dx.doi.org/10.1007/s11248-004-3100-4.
Saguez J, Vincent C, Giordanengo P. 2008. Chitinase inhibitor and chitin
mimetics for crop protection. Pest Technology 2:81–86.
Tiyaboonchai, W. 2003. Chitosan nanoparticles: A promising system for drug
delivery. Naresuan University Journal 11 (3): 51–66
Uge E, Sulandari S, Hartono S. 2018. The Effect of Chitosan Application
against Plant Growth and Intensity of Stunting Disease on Black
Pepper (Piper nigrum L.) Seedlings. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia 22 (2):224–232
Uthairatanakij A, da Silva JAT, Obsuwan K. 2007. Chitosan for Improving
Orchid Production and Quality. Orchid Science and
Biotechnology, 1(1): 1-5
Vasil’ev, LA, Dzyubinskaya, EV, Zinovkin, RA, Kiselevsky, DB, Lobysheva,
NV, Samuilov, VD. 2009. Chitosan-induced programmed cell
death in plants. Biochem.-Moscow.74, 1035–1043.
Vasyukova NI, Zinov’eva SV, Il'inskaya, LI, Perekhod EA, Chalenko GI,
Gerasimova NG, Il'ina AV, Varlamov VP, Ozeretskovskaya
OL.2001. Modulation of Plant Resistance to Diseases by Water-
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
37
Soluble Chitosan. Applied Biochemistry and
Microbiology 37(1):103-109
Walter, D., Adrian N., Gary L. 2007. Induced Resistance for Plant Defence:
A Sustainable Approach to Crop Protection. Blackwell Publishing
Ltd, UK. pp. 258
Wang, X, El Hadrami, A, Adam, LR, Daayf, F. 2008. Differential activation
and suppression of potato defence responses by Phytophthora
infestans isolates representing US-1 and US-8 genotypes. Plant
Pathol. 57, 1026–1037.
Xing, Ke., Xiao Zhu, Xue Peng, Sheng Qin. 2015. Chitosan antimicrobial and
eliciting properties for pest control in agricultura: a review.
Agronomy for Sustainable Development 35 (2): 569 – 588
Zeng D, Luo X, Tu R. 2012. Application of bioactive coatings based on
chitosan for soybean seed protection. International Journal of
Carbohydrate Chemistry 2012:1–5. doi:
http://dx.doi.org/10.1155/2012/104565
Zhang MI, Tan T, Yuan H, Rui C. 2003. Insecticidal and fungisidal activities
of chitosan and oligo-chitosan. Journal of Bioactive Compatible
Polymers 18:391–400. doi:
http://dx.doi.org/10.1177/0883911503039019
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
38
EVALUASI KARAKTERISTIK TELUR ENTOK LOKAL
(Cairinamoschata) YANG GAGAL MENETAS
PADA PENETASAN ARTIFISIAL
1)Jonathan A. Lase, 2)Dian Lestari, 1)Slamet Hartanto
1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Jl. Trans Halmahera, Komplek Pertanian Kusu No. 1,
Sofifi, Kota Tidore Kepulauan 2)Universitas Muhammadiyah Kotabumi
Jl. Hasan Kepala Ratu No. 1052 Sindangsari Kotabumi Lampung Utara
ABSTRAK
Entok banyak dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani. Peningkatan
jumlah populasi entok dapat dilakukan dengan penggunaan metode
penetasan artifisial. Informasi dan acuan mengenai kondisi optimal
penetasan telur entok sangat diperlukan untuk mencapai daya tetas yang
tinggi. Di dalam negeri penerapan penetasan telur entok secara artifisial
masih memiliki resiko kegagalan yang sangat tinggi. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan karakteristik telur tetas entok (Chairina
moschata) yang gagal menetas pada penetasan secara artifisial di umur
penetasan ke 32 hari. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif.
Telur tetas yang digunakan sebanyak 100 butir telur fertil. Karakteristik telur
tetas entok yang gagal menetas dapat diukur melalui indeks bentuk telur,
susut bobot telur, dan suhu kerabang. Hasil penelitian ini bahwa indeks
bentuk telur yang gagal menetas sebesar 75.5%, penyusutan bobot telur
sebesar 8.98%, serta penurunan suhu kerabang sebesar 36ºC. Kesimpulan
dari penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik perubahan telur yang
gagal menetas memiliki indeks bentuk telur yang rendah, terjadi percepatan
penurunan suhu kerabang, dan rendahnya tingkat penguapan dari dalam telur
(susut bobot).
Kata kunci :Entok, Indek stelur, susut bobot, suhu kerabang
PENDAHULUAN
Entok (Cairina moschata) merupakan salah satu jenis ternak unggas
yang sering digunakan sebagai sumber protein hewani. Entok dapat
dimanfaatkan sebagai penghasil daging karena entok memiliki bobot badan
Evaluasi Karakteristik Telur Entok Lokal (Cairinamoschata) yang Gagal Menetas pada Penetasan Artifisial (Jonathan A. Lase, Dian Lestari, Slamet Hartanto)
39
yang tinggi dibandingkan ayam dan bebek (Harun dkk, 1998), serta
berpotensi sebagai penghasil telur (Holderread, 2011). Produksi daging dan
telur entok dalam negeri sebesar 6.000 ton dan 33.500 ton (Dirjen PKH,
2018). Penyebaran ternak entok di Indonesia mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Dirjen PKH (2018) mencatat populasi entok pada tahun 2018
sebanyak 8.772.000 ekor.
Peningkatan jumlah populasi entok menjadi parameter peningkatan
minat masyarakat terhadap komoditi entok. Peningkatan minat tersebut
memunculkan banyak inovasi baru, salah satunya dengan penggunaan
metode penetasan artifisial. Penetasan artifisial memberikan peningkatan
populasi yang signifikan pada ayam kampung karena tingkat
keberhasilannya mencapai 72.02% (Iriyanti dkk, 2016). Keberhasilan
penetasan artifisial ditentukan oleh faktor karakteristik telur dan kualitas
internal telur tetas. Penelitian Weis dkk, (2011) menunjukan bahwa pada
bobot telur yang berbeda walaupun dalam kondisi lingkungan yang sama
akan memberikan respon yang berbeda pada hasil daya tetas telur.
Rodenburg dkk, (2005) melaporkan bahwa perbedaan bobot telur terjadi
karena pengaruh dari lingkungan, genetik, pakan periode bertelur, umur dan
bobot badan induk. Penerapan penetasan telur entok menggunakan metode
penetasan artifisial pada tingkat peternak masih sangat rendah. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya pengetahuan terhadap karakteristik telur entok
yang baik untuk ditetaskan dan belum adanya penelitian tentang perubahan
karakteristik telur entok yang berhasil dan gagal ditetaskan pada proses
penetasan artifisial. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan untuk
mengidentifikasi karakteristik telur entok yang gagal menetas dalam proses
penetasan artifisial. Hasil karakteristik telur yang gagal menetas diharapkan
dapat menjadi acuan untuk penetapan daya tetas telur dan konsumsi pada
ternak entok.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian di lakukan dengan metode deskriptif. Sampel telur tetas
dikoleksi dari laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB. Kriteria telur
yang digunakan adalah telur tetas fertil dengan rataan bobot 57.8 g dan
penampilan bentuk telur secara umum berbentuk lonjong. Total telur tetas
yang digunakan sebanyak 100 butir. Telur tetas akan ditandai dan diberi
perlakuan pencucian dengan menggunakan hipoklorit 0,25% (Harikrishnan
2013). Mesin tetas yang digunakan adalah mesin tetas tanpa kipas angin
(still air). Alat yang digunakan untuk mengukur parameter penelitian ini:
timbangan digital (AJ 3000, Osuka Jepang) ketelitian 0,01 g, jangka sorong
digital (Krisbow, Indonesia) dan termometer inframerah (IRT 4520,
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
40
Thermoscan Braun, Germany). Telur tetas yang digunakan pada penetasan
ini merupakan telur yang dikoleksi selama 7 hari (Alsoyabel dkk, 2013).
Proses penetasan telur tetas entok berlangsung selama 35 hari penetasan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan mesin tetas atau penetasan
artifisial dengan suhu 37.5oC dan kelembaban (Rh) 70%. Selama proses
penetasan dilakukan pengumpulan data pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28 dan 32
untuk mengukur parameter indeks bentuk telur, susut bobot telur, dan suhu
kerabang telur.
Indeks bentuk telur diukur dengan cara menghitung lebar telur
berbanding panjang telur dikali 100% (Narushim dan Romanov 2002).
Pengamatan persentase penyusutan bobot telur dilakukan dengan mengacu
pada Pool dkk (2013) yaitu mengurangi bobot awal telur sebelum disimpan
(g) dengan bobot telurhari ke 32 (g), kemudian dibagi bobot awal telur (g)
dan dikalikan 100%. Pengukuran suhu kerabang dilakukan pada bagian
tengah telur pada sisi atas dan bawah telur tetas dengan menggunakan
termometer inframerah. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif.
Data hasilyang diperoleh disajikan dalam bentuk nilai rata-rata ditambah
standard deviasi, nilai maksimum, dan nilai minimum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Indeks bentuk telur entok yang gagal menetas pada hari ke 32
penetasan
Pada penelitian ini indeks bentuk telur entok yang gagal menetas
disajikan pada Tabel 1. Pada penelitian ini telur entok yang gagal menetas
memiliki indeks sebesar 75.5 % dengan lebar telur sebesar 43.15%,
sedangkan rataan panjang telur yang gagal menetas sebesar 57.23%.
Narushim dan Romanov (2002) melaporkan bahwa indeks bentuk telur
unggas ayam yang normal adalah 79%. Nilai indeks bentuk telur normal
memberikan hasil daya tetas yang tinggi. Telur dengan bentuk indeks normal
dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan embrio selama perkembangannya
di masa penetasan. Hal ini didukung oleh Alasahan (2016) yang melaporkan
bahwa indeks bentuk telur merupakan karakteristik yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan embrio, kematian embrio dini, serta daya tetas telur.
Tabel 1. Indeks bentuk telur entok yang gagal menetas
Variabel Indeks telur
Rataan (%) Min Max
Lebar Telur 43.15±1.1 41.24 45.44
Panjang Telur 57.23±1.4 51.87 62.15
Indeks Telur 75.59±1.7 69.44 82.76
Evaluasi Karakteristik Telur Entok Lokal (Cairinamoschata) yang Gagal Menetas pada Penetasan Artifisial (Jonathan A. Lase, Dian Lestari, Slamet Hartanto)
41
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks telur yang gagal menetas
memiliki rataan sebesar 75.59%. Rataan indeks bentuk telur pada penelitian
ini lebih kecil dibandingkan dengan telur unggas air yaitu itik mandalung
yang dilaporkan oleh Dharma (2001) bahwa indeks bentuk telur itik
mandalung yang berhasil menetas memiliki rataan sebesar 79.80%.
Pada penelitian ini telur gagal menetas diduga karena terjadi
percepatan penurunan suhu pada telur yang disebabkan oleh rendahnya
indeks telur sehingga telur tidak dapat menetas. Indeks bentuk telur yang
terlalu besar atau terlalu kecil dapat mempengaruhi daya tetas. Telur yang
terlalu kecil memiliki pori kerabang lebih besar sehingga mempercepat
penurunan suhu telur sebaliknya pada telur yang terlalu besar memiliki pori
yang kecil sehingga pelepasan panas dari dalam telur akan lebih lambat
(Kurtini dan Riyanti 2003).
2. Suhu kerabang yang gagal menetas pada hari ke 32 penetasan
Hasil pengamatan suhu kerabang telur yang gagal menetas disajikan
pada Tabel 2. Hasil pengamatan pada telur yang gagal menetas diketahui
bahwa suhu kerabang telur tidak mengalami peningkatan seiring
bertambahnya umur penetasan. Pada hari ke 7 sampai dengan hari ke 28,
suhu kerabang telur berada pada rataan 37ºC, namun pada hari ke 32 suhu
kerabang mengalami penurunan, tercatat rataan suhu sebesar 36ºC.
Penurunan suhu kerabang ini diduga karena embrio entok mati sehingga
tidak dapat memproduksi panas. Harun dkk (2001) melaporkan bahwa suhu
embrio yang sedang berkembang dapat diukur melalui kerabang telur.
Selama proses metabolisme embrio, terjadi pelepasan panas dalam bentuk
penguapan air melalui kerabang telur (Prasetyo dan Susanti, 2000).
Tabel 2. Suhu kerabang telur entok yang gagal menetas
Suhu
keraban
g (ºC)
Hari ke-
0 7 14 21 28 32
Atas 31.00±1.
16
38.15±0.5
6
37.87±0.5
7
37.98±0.3
1
37.57±0.
21
37.21±0.4
6
Bawah
Rata-
rata
30.36±0.
84
30.68±0.
85
37.71±0.6
1
37.93±0.5
7
37.59±0.5
7
37.73±0.5
4
37.74±0.3
4
37.86±0.3
0
36.99±0.
36
37.28±0.
25
36.66±0.4
9
36.94±0.4
2
Selain itu, pada penetasan hari ke 32 diprediksi tidak terjadi
perkembangan embrio sehingga tidak terjadi produksi panas dari dalam telur
akibat metabolisme embrio. Penurunan suhu kerabang telur menunjukkan
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
42
tidak adanya indikasi pelepasan dan produksi panas dari dalam telur diduga
karena pada periode ini embrio tidak berkembang sehingga tidak dapat
pipping dan menetas. Suhu kerabang telur mengalami kenaikan karena
adanya produksi panas akibat aktivitas metabolisme embrio, sehingga panas
tersebut dilepaskan melalui penguapan dari permukaan kerabang telur
(Sotherland dkk, 1987). Tazawa dan Nakazawa (1998) melaporkan bahwa
kegagalan telur menetas pada masa pipping (hari ke 32) disebabkan oleh
lemahnya embrio untuk bertahan pada kondisi suhu kerabang yang tidak
optimal.
3. Susut bobot telur yang gagal menetas pada hari ke 32 penetasan
Hasil pengamatan penyusutan bobot telur entok yang gagal menetas
pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan
kecenderungan penyusutan bobot telur yang gagal menetas sebesar 2% pada
hari ke 7, 14 sampai hari ke 21, namun pada hari ke 28 sampai hari ke 32
penyusutan bobot telur tetas tergolong rendah yaitu sebesar 8.98%.
Persentase penyusutan bobot telur yang rendah mengindikasikan bahwa pada
hari ke 32 penetasan (pipping) embrio tidak berkembang sehingga
metabolisme dan produksi panas dari dalam telur tidak terjadi.
Tabel 3. Susut bobot telur entok yang gagal menetas
Variabel Hari ke-
0 7 14 21 28 32
Bobot telur (g) 60.43±
7.0
58.94±
6.9
57.78±
6.8
56.84±
7.1
55.62±
7.0
55.06±
7.0
Susut
bobot (%)
2.47±
0.6
4.41±
1.0
6.02±
1.5
8.04±
1.7
8.98±
2.0
Tullet dan Burton (1982) menyatakan bahwa penyusutan bobot terjadi
karena proses penguapan hasil metabolisme embrio. Proses metabolisme
embrio dan sisa hasil metabolisme berupa air akan dibuang melalui
penguapan dari kerabang telur (Prasetyo dan Susanti, 2000). Pelepasan uap
air melalui kerabang telur terjadi akibat panas yang dihasilkan oleh embrio
(Rahn, 1974). Pelepasan uap air dapat meningkat seiring meningkatnya suhu
kerabang telur (Ipek dkk, 2014).
Pada penelitian juga ini dilakukan pencucian dengan menggunakan
hipoklorit 0.25% untuk menekan jumlah bakteri dan menipiskan lapisan
kutikula pada kerabang telur sehingga proses penguapan dan perataan panas
dari mesin tetas berlangsung optimal. Menurut Mulyantini (2010) suhu yang
terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan embrio sehingga telur tidak
dapat menetas dan pada suhu tinggi akan mengakibatkan kematian embrio.
Evaluasi Karakteristik Telur Entok Lokal (Cairinamoschata) yang Gagal Menetas pada Penetasan Artifisial (Jonathan A. Lase, Dian Lestari, Slamet Hartanto)
43
KESIMPULAN
Penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam penetasan artifisial dengan
mengidentifikasi karakteristik perubahan telur yang gagal menetas. Telur
yang gagal menetas memiliki karakteristik indeks telur yang rendah, terjadi
percepatan penurunan suhu kerabang, dan rendahnya tingkat penguapan dari
dalam telur (susut bobot).
SARAN
Karakteristik telur tetas yang baik memiliki indeks bentuk telur yang
normal (tidak terlalu besar atau terlaku kecil), dan dilakukan pencucian
untuk menekan terjadinya kontaminasi pada telur tetas. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dengan menggunakan telur dengan indeks bentuk telur
yang normal (tidak terlalu besar atau terlaku kecil) dan mengidentifikasi
efek dari pencucian hipoklorit terhadap viabilitas DOD.
DAFTAR PUSTAKA
Alasahan, S, dan Copur A.G.. 2016. Hatching charecteristics and growth
performance of eggs with different egg shapes. Brazilian Journal
Poultry Science 18 (1): 001 - 008.
Alsoyabel, A.A, Almarshade MA, Albadry MA. 2013. Effect of breed, age
and storage period on egg weight, egg weight loss and shick weight of
commercial broiler breeders raised in saudi arabia. Journal Saudi
Society Agriultural Sciences. 12: 53 - 57.
Dharma, Rukmiasih dan Hardjosworo. 2001. Ciri-Ciri Fisik telur tetas itik
mandalung dan rasio jantan dengan Betina yang dihasilkan.
Lokakarya Nasional Unggas Air. IPB, Bogor.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH). 2018.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (Livestock And Animal
Health Statistics) 2018. Jakarta. Kementerian Pertanian RI.
Harikrishnan S, Narayanankutty K, Chacko B, Anitha P, dan Jalaludeen A.
2013. Comparative assesment of egg sanitizing agents on the
hatchability of kuttanad duck eggs. International Journal of Current
Research 5 (12): 987 - 988.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
44
Harun MS, Veeneklaas RJ, Visser GH, Kampen MV. 1998. Breeding
biology of muscovy duck cairina moschata in natural incubation, the
effect of nesting behavior on hatchability. Poultry Science 77: 1280 -
1286.
Holderread, DM. 2011. Storey’s Guide to Raising Ducks. Storey Publishing
:North Adams (US).
Ipek A, Sahan U, Baycan S, dan Sozcu A. 2014. The effects of different
eggshell temperatures on embryonic development, hatchability, chick
quality, and first-week broiler performance. Poultry Science 93 (2):
464 - 472.
Iriyanti N, Zuprizal, Yuwanta T, dan Keman S. 2007. Penggunaan Vitamin
E dalam Pakan terhadap Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas Telur
Ayam Kampung. Jurnal Produksi Ternak 9 (1).
Kurtini, R. 2003. Teknologi Penetasan. Universitas Lampung. Lampung
Mulyantini, NGA. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. UGM Press:
Yogyakarta
Narushim VG dan Romanov MN. 2002. Egg physical characteristics and
hatchability. International Journal Poultry Science 39: 854 - 860.
Pool CW, Van Roovert-Reijrink, Maatjens CM, Van den Brand M, dan
Molenaar R. 2013. Effect of relative humidity during incubation at a
set eggshell temperature and brooding temperature posthatch on
embryonic mortality and chick quality. PoultryScience 92 : 2145 -
2155.
Prasetyo LH, dan Susanti T. 2000. Persilangan timbal balik antara itik
alabio dan mojosari periode awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak
danVeteriner 5 (4) : 210 - 213.
Rahn H. 1974. The Avian Egg: Incubation Time And Water Loss. The
Condor 76: 147 - 152.
Sotherland PR, Spotila JR, Paganelli CV.1987. Avian eggs: barriers to the
exchange of heat and mass. Journal of Experimental Zoology 1: 81–
86.
Evaluasi Karakteristik Telur Entok Lokal (Cairinamoschata) yang Gagal Menetas pada Penetasan Artifisial (Jonathan A. Lase, Dian Lestari, Slamet Hartanto)
45
Tazawa H, dan Nakazawa S. 1985. Response of egg temperature, heart rate
and blood pressure in the chick embryo to hypothermal stress. Journal
of Comparative Physiology 155: 195 – 200.
Tullet SG, dan Burton FG. 1982. Factor affecting the weight and water
status of chick and hatcsh. British Poultry Science 32: 361 - 369.
Weis J, Hincar C, Pal G, Baranska B, Bujko J, Malikova L. 2011. Effect of
the egg size on egg loses and hatchability of the muscovy duck. Anim
Sci Biotec 44 (1): 354 - 356.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
46
ANALISIS KINERJA KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI
(KRPL) DI KOTA TERNATE
Himawan Bayu Aji, Mardianah dan Hermawati Cahyaningrum
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Jl. Trans Halmahera, Kompleks Pertanian Kusu No. 1,
Sofifi, Kota Tidore Kepulauan
Email: [email protected]
ABSTRAK
Program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kota Ternate,
Maluku Utara sudah dimulai sejak tahun 2012. Diperlukan suatu evaluasi
menyeluruh ntuk menilai sejauh mana keberhasilan dari program tersebut
dijalankan. Kajian ini dimaksudkan untuk menganalisis kinerja Program
KRPL dalam kaitannya dengan keberlanjutan dan perbaikan program ke
depan. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kota Ternate dari bulan Januari-
Desember 2018. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
survei yaitu dengan menggunakan kuesioner, proses wawancara,
pengumpulan data primer/sekunder, serta kajian literatur. Keberhasilan
kinerja program KRPL didukung oleh kemampuan kerja yang dipengaruhi
oleh kondisi umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan
pekarangan, dan jenis sayuran yang diusahakan. Pemanfaatan lahan
pekarangan untuk budidaya tanaman sayuran berkorelasi positif terhadap
pengurangan pengeluaran belanja sayuran sebesar 75%-250% setiap
bulannya. Skoring PPH di mana dasarnya adalah beberapa responden yang
diambil secara acak dari setiap kelompok menunjukkan bahwa nilai PPH di
Kota Ternate cukup tinggi yaitu 92.2.
Katakunci: KRPL, Kota Ternate, evaluasi
PENDAHULUAN
Maluku Utara merupakan salah satu provinsi hasil pemekaran di
wilayah timur Indonesia yang masih membutuhkan dukungan untuk menuju
kondisi kedaulatan pangan. Mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta
ketahanan pangan merupakan hal mendasar yang sangat besar arti dan
manfaatnya untuk mendukung pelaksanaan kebijakan terkait
penyelenggaraan pangan (Susanto dan Aji, 2015). Ketergantungan yang
cukup tinggi terhadap daerah/wilayah lain baik dari dalam maupun luar
Analisis Kinerja Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Kota Ternate (HImawan Bayu Aji, Mardianah, Hermawati Cahyaningrum)
47
provinsi menyebabkan rentannya ketahanan pangan yang dapat berdampak
terhadap instabilitas daerah maupun nasional.
Pengembangan kawasan pangan lestari berbasis potensi dan kearifan
lokal dapat dimulai dari tingkatan paling kecil yaitu rumah tangga.
Pemanfaatan lahan pekarangan di sekitar rumah sangat mendukung dalam
pemenuhan pangan dan gizi keluarga karena sampai saat ini lahan
pekarangan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Selain itu lahan
pekarangan mempunyai potensi dalam meningkatkan pendapatan keluarga
terutama untuk masyarakat ekonomi kurang mampu. Menurut Saptana et al.
(2004), integrasi kelembagaan dalam agribisnis sayuran perlu dilakukan agar
target pemenuhan gizi masyarakat sekaligus peningkatan pendapatan dapat
tercapai.
Melalui pemanfaatan lahan pekarangan yang ada di sekitar rumah
dengan komoditas pangan lokal seperti umbi-umbian, sayuran & buah, serta
tanaman obat diharapkan mampu meningkatkan ketahanan pangan sampai
tingkat rumah tangga. Sayaka et al. (2005), menyatakan pengembangan
pangan lokal juga mesti dibarengi dengan penumbuhan agroindustri di
subsistem hilir agar tercipta permintaan dan pasokan secara berkelanjutan.
Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan salah satu
program Kementerian Pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan
ditingkat rumah tangga. Kawasan Rumah Pangan Lestari menganut beberapa
prinsip yaitu; 1) pemanfaatan lahan pekarangan sesuai dengan kondisi lahan
setiap rumah tangga; 2) pemanfaatan potensi kawasan yang belum digarap,
namun secara teknis menguntungkan; 3) mengintroduksikan teknologi baru
untuk mengatasi beberapa keterbatasan tertentu yang ada pada rumah
tangga, selain diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi
keluarga (Kementan, 2011).
Melalui pelaksanaan kegiatan KRPL ini diharapkan mampu
meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan masyarakat untuk
membentuk pola konsumsi pangan yang lebih baik. Kegiatan KRPL juga
dilaksanakan dalam rangka mendukung program pemerintah untuk
menurunkan angka kemiskinan melalui kegiatan padat karya, penanganan
daerah stunting, serta daerah rentan rawan pangan.
Kajian ini dimaksudkan sebagai salah satu rujukan untuk
menganalisis kinerja programKRPL khususnya di Kota Ternate yang sudah
dilaksanakan sejak tahun 2012 silam dalam kaitannya dengan keberlanjutan
dan perbaikan program ke depannya.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
48
METODOLOGI
Kegiatan penelitian dilaksanakan secara sengaja di enam kelurahan
sekaligus mewakili enam kecamatan di Kota Ternate. Ke enam desa tersebut
yaitu: (1) Kelurahan Tafure, (2) Kelurahan Takome, (3) Kelurahan
Foramadiahi, (4) Kelurahan Marikurubu, (5) Kelurahan Makassar Barat, dan
(6) Kelurahan Fitu. Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung selama tiga
bulan dimulai pada bulan September dan berakhir pada November 2018.
Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode survei
yaitu dengan menggunakan kuesioner, proses wawancara, pengumpulan
data, serta kajian literatur. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari data primer dan data sekunder. Di mana data primer diperoleh secara
langsung dari objek penelitian (Denzin and Lincoln, 2009), sementara data
sekunder bersumber dari penelitian sejenis dan dokumen-dokumen
pendukung. Populasi yang diamati dalam penelitian adalah Petani Kota
Ternate penerima program KRPL Dana APBN sebanyak 31 orang dan
diambil dengan metode simple random sampling. Penelitian ini terdiri atas
dua tahapan, yaitu tahap pengambilan data atau inventarisasi dengan
menggunakan kuesioner dan wawancara secara langsung, serta tahap
evaluasi berbagai aspek di dalamnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Secara astronomis, Kota Ternate terletak di antara 0025’41,82” –
1021’21,78” Lintang Utara dan antara 12607’32,14” - 27026’23,12” Bujur
Timur. Kota Ternate merupakan kota kepulauan yang terdiri dari 3 pulau
besar dan 5 pulau kecil. Ibukota Kota Ternate adalah Ternate Tengah dengan
wilayah administrasi terdiri atas 8 kecamatan dan 77 kelurahan. Jumlah
penduduk hingga tahun 2018 mencapai 228.105 jiwa di mana jumlah laki-
laki sebanyak 115.891 jiwa dan perempuan 112.214 jiwa dengan rasio
103,28 (BPS Kota Ternate, 2019).
Ternate memiliki iklim tropis yang sangat dipengaruhi oleh iklim
laut dan memiliki dua musim yang sering kali diselingi dengan dua kali
masa pancaroba di setiap tahunnya. Temperatur rata-rata tahunan yang
diukur dari stasiun Ternate adalah 280C dengan curah hujan rata-rata tahunan
sebesar 187 mm3 (BPS Kota Ternate, 2017). Berdasarkan klasifikasi iklim
Schimdt dan Ferguson (1951), Kota Ternate masuk ke dalam kategori tipe
iklim B, dengan rata-rata curah hujan per tahun 2.241 mm3.
Analisis Kinerja Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Kota Ternate (HImawan Bayu Aji, Mardianah, Hermawati Cahyaningrum)
49
Karakteristik Responden dan Sosial Ekonomi
Karakteristik responden merupakan bagian dari karakteristik yang
berpengaruh terhadap sosial ekonomi. Karakteristik responden meliputi jenis
kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan. Sementara menurut Hartanto
(1984), karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, luas lahan,
pendapatan petani, dan pengalaman. Umur petani akan mempengaruhi
kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usaha
taninya. Kartasapoetra (1991) menyatakan bahwa petani yang berusia lanjut
akan sulit untuk menerima pemahaman yang dapat merubah paradigma
berfikir, bekerja, dan cara hidup. Umur petani akan berpengaruh terhadap
kemampuan fisik dan respon terhadap berbagai inovasi baru dalam
menjalankan usaha taninya.
Tabel 1. Karakteristik responden menurut umur No Kriteria Jumlah
(orang)
Presentase
(%) 1. Umur belum produktif (0-14th) 0 0
2. Umur produktif (15-54 th) 31 100
3. Umur tidak produktif (> 54 th) 0 0
Jumlah 19 100
Sumber : Data primer (diolah), 2018
Program KRPL akan berhasil apabila didukung oleh kemampuan
kerja petaninya. Kemampuan kerja sangat dipengaruhi oleh kondisi umur,
apabila masuk dalam usia produktif maka besar kemungkinan sorang petani
tersebut dapat bekerja dengan baik dan optimal. Sejalan dengan itu umur
yang masih muda cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan.
Semakin muda umur maka semakin tinggi semangat keingintahuannya
terhadap hal baru. Pada umur muda semakin mudah menerima inovasi, dan
mengadopsi teknologi baru meskipun masih jarang yang berpengalaman
terkait adopsi teknologi tersebut. Sesuai dengan pendapat Soekartawi dalam
Sugitarina, et al. (2016) bahwa makin muda petani biasanya akan lebih cepat
melakukan adopsi inovasi.
Menurut Simanjuntak dalam Yasin (2003), penduduk yang berumur
pada rentang 15-54 tahun termasuk ke dalam golongan umur produktif,
sementara umur 0-14 tahun dan >54 tahun termasuk kedalam golongan umur
tidak produktif. Data menunjukkan bahwa masyarakat pelaku program
KRPL di Kota Ternate 100% berusia produktif, sehingga besar kemungkinan
akan mendukung keberhasilan dan keberlanjutan program KRPL.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
50
Tabel 2. Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan formal
No Pendidikan Jumlah
(orang)
Presentase (%)
1.
Tidak sekolah
3
9.70
2. Sekolah Dasar (SD) 5 16.12
3. Sekolah Menengah Pertama
(SMP)
9 29.03
4. Sekolah Menengah Atas (SMA) 9 29.03
5. Perguruan Tinggi 5 16.12
Jumlah 31 100.00
Sumber : Data primer(diolah), 2018
Tingkat pendidikan formal merupakan faktor penting untuk
mengetahui tingkat sumberdaya manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan
formal petani peserta program KRPL akan semakin rasional pola
berfikirnya, dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk
meningkatkan pengetahuan, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian
sikap dan mempengaruhi kemampuan petani peserta program KRPL untuk
dapat bertindak yang lebih rasional sehingga semakin tinggi penerimaannya
terhadap suatu inovasi (Siregar G. at al., 2016).
Pemahaman dan keterampilan petani dalam melaksanakan suatu
pekerjaan tertentu akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya.
Tingkat pendidikan mencerminkan kualitas dan kreatifitas berpikir,
mengambil keputusan, dan bertindak. Semakin tinggi pendidikan formal
yang dimiliki menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan yang lebih
luas untuk menerapkan informasi yang diperoleh dalam membantu
meningkatkan pendapatan petani dan rumah tangga petani itu sendiri.
Geriawan dalam Sugitarina, et al. (2016) menyatakan bahwa keadaan
pendidikan sangat menentukan kemampuan dalam pengambilan keputusan,
sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu.
Rendahnya pendidikan seseorang akan berimplikasi pada
kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam secara bertanggung jawab
dan berkelanjutan. Petani dalam kegiatan KRPL di Kota Ternate rata-rata
berpendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di
mana masing-masing sebanyak 29.03%. Sekolah Dasar serta Perguruan
Tinggi masing-masing 16.12% sementara yang menyatakan tidak pernah
mengenyam bangku pendidikan hanya sebanyak 9.70%. Berdasarkan
komposisi data tersebut di mana hanya sebagian kecil yang tidak
berpendidikan sementara sebagian besar berpendidikan menengah pertama
hingga Perguruan Tinggi mengindikasikan bahwa faktor pendidikan cukup
berpotensi dalam mendukung keberhasilan dan keberlanjutan program.
Analisis Kinerja Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Kota Ternate (HImawan Bayu Aji, Mardianah, Hermawati Cahyaningrum)
51
Tabel 3. Karakteristik responden menurut jumlah anggota keluarga
No Jumlah Anggota Keluarga Jumlah (orang) Presentase (%)
1. 0 – 2 3 9.70
2. 3 – 4 14 45.16
3. 5 – 6 13 41.93
4. >6 1 3.22
Jumlah 19 100.00
Sumber : Data primer(diolah), 2018
Jumlah tanggungan petani sangat berpengaruh terhadap pengeluaran
hariannya. Semakin banyak jumlah tanggungan, maka semakin banyak pula
jumlah pengeluaran yang ditanggung oleh petani tersebut. Dengan demikian
petani peserta program KRPL membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhan harian, sehingga petani akan memanfaatkan perkarangan mereka
dengan lebih intensif untuk menambah pendapatan (Siregar G. et al., 2016).
Selain itu jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi keputusan
petani dalam berusahatani. Kondisi ini disebabkan karena adanya tuntutan
pemenuhan kebutuhan dan juga kecukupan tenaga kerja dalam
melaksanakan kegiatan usaha taninya. Rerata jumlah anggota keluarga
dalam KRPL Kota Ternate adalah 3-6 orang. Diduga hal inilah yang
berpengaruh terhadap keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan KRPL di
Kota Ternate.
Tabel 4. Karakteristik responden menurut luas lahan pekarangan yang
dimanfaatkan
No Luas Lahan (m2) Jumlah (orang) Presentase (%)
1. 0 – 100 31 100.00
2. 100 – 300 0 0.00
3. >300 0 0.00
Jumlah 31 100,00
Sumber : Data primer (diolah), 2018
Berdasar penelitian Siregar et al., 2016 diketahui bahwa rerata luas
perkarangan yang dimiliki petani peserta program KRPL relatif kecil dan
ditanami berbagai jenis tanaman. Dengan menanam berbagai macam
tanaman dalam satu areal, berkonsekuensi terhadap produktivitas berbagai
jenis tanaman tersebut tidak akan maksimal, namun disisi lain dapat
mengurangi kegagalan usaha. Luas lahan pekarangan untuk kegiatan
KRPLyang relatif sempit memudahkan dalam setiap tahapan pekerjaan
budidaya yang dilakukan, dan memudahkan dalam melakukan pengawasan
terhadap pemanfaatan faktor produksi sehingga lebih efisien dan tepat guna.
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
52
Implementasi KRPL dikelompokkan berdasar strata luas lahan, yaitu
strata 1 untuk lahan sempit, strata 2 untuk lahan sedang, dan strata 3 untuk
lahan luas. KRPL di Kota Ternate termasuk dalam kategori lahan sempit
strata satu dengan rerata luas pekarangan 26,88 m2.
Komoditas yang umum dikembangkan dalam kegiatan KRPL di
Kota Ternate adalah tanaman hortikultura sayuran. Metode penanaman
menyesuaikan dengan ketersediaan lahan yang ada. Untuk lahan sempit
menggunakan model vertikultur di mana tanaman dibudidayakan di dalam
polibag atau memanfaatkan wadah bekas air minum mineral. Model
vertikultur akan lebih efisien karena tidak membutuhkan areal tanam yang
luas. Sementara untuk lahan yang cukup luas akan lebih variatif dan
fleksibel dalam pemanfaatan lahannya karena dapat menggunakan model
vertikultur maupun dengan membuat bedengan untuk menanam di
pekarangan.
Tabel 5. Karakteristik responden menurut jenis sayuran yang diusahakan
No Komoditas yang ditanam Jumlah (orang) Presentase (%)
1. Seledri 2 0.62
2. Bayam 7 2.17
3. Kangkung 9 2.79
4. Sawi 3 0.93
5. Cabai 11 3.41
6. Bawang merah 1 0.31
7. Caisin 7 2.17
8. Tomat 6 1.86
9. Selada 5 1.55
10. Kubis 2 0.62
11. Terung 9 2.79
12. Bayam merah 2 0.62
13. Brokoli 1 0.31
14. Pare 1 0.31
Sumber : Data primer(diolah), 2018
Komoditas sayuran yang ditanam di masing-masing KRPL
umumnya beragam tanaman sayuran. Sayuran yang banyak dipilih oleh
sebagian besar KRPL di Kota Ternate umumnya mudah dipasarkan,
memiliki nilai ekonomis tinggi, berumur pendek, dan mudah dibudidayakan.
Sayuran tersebut antara lain seledri, bawang merah, daun bawang, tomat,
cabai, terong, kacang panjang, mentimun, selada, bayam merah, sawi, kol,
bunga kol, dan pare. Jenis tanaman sayuran yang dibudidayakan hendaknya
dipilih tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan harian, mudah ditanam,
Analisis Kinerja Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Kota Ternate (HImawan Bayu Aji, Mardianah, Hermawati Cahyaningrum)
53
cepat menghasilkan, hasil tinggi dan sesuai dengan iklim di daerah tersebut
(Sunaryono, 1990). Pemilihan jenis tanaman/komoditas yang akan
dibudidayakan harus mengacu pada syarat tumbuh tanaman dan disesuaikan
dengan kondisi agroekologi setempat. Pemenuhan syarat tumbuh akan
memperbesar tingkat keberhasilan dalam usaha budidaya yang akan
dilakukan, sehingga memperkecil resiko kegagalan.
Peningkatan Pemanfaat Lahan Terhadap Pengurangan pengeluaran
Rumah Tangga
Menurut (Purwantini, T.B. et al., 2012), meskipun dari dulu hingga
kini, produksi pangan dari lahan pekarangan hanya bersifat menambah
kekurangan kebutuhan pangan keluarga, namun peningkatan kebutuhan
pangan akibat peningkatan jumlah penduduk dan kompetisinya dengan feed
dan biofuel, maka pemanfaatan lahan pekarangan akan membantu
memecahkan masalah rawan pangan dan kemiskinan.
Salah satu komponen dari KRPL adalah pemanfaatan lahan
pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Dalam
mendukung ketahanan pangan, pekarangan menjadi faktor yang vital karena
merupakan lahan terdekat dengan rumah tangga. Pemanfaatan pekarangan
untuk pangan seperti sayuran, umbi, buah, dan tanaman obat dapat menjadi
basis ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Dalam memberdayakan
pekarangan diperlukan strategi khusus mengingat tidak semua masyarakat
mengerti arti pentingnya pemanfaatan pekarangan.
Sumber : Data primer (diolah), 2018
Gambar 1. Luas pemanfaatan pekarangan KRPL di Kota Ternate
0%
20%
40%
60%
80%
100%
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Luas Pemanfaatan Pekarangan Kelompok KRPL Ternate
Pekarangan yang dimanfaatkan (m²) untuk tanaman sayuran
Luas Pekarangan (m²)
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
54
Berdasarkan survai data base yang sudah dilakukan terhadap
responden setiap kelompok KRPL di Kota Ternate menunjukkan ada tren
positif dalam pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman
sayuran. Hampir semua responden menyatakan bahwa pemanfaatan
Pekarangan sebagai lahan budidaya tanaman sayuran rata-rata
mencapai 40% dari keseluruhan lahan pekarangan yang tersedia.
Pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya tanaman sayuran berkorelasi
positif terhadap pengurangan pengeluaran belanja sayuran setiap bulannya.
Hasil olah data menunjukkan bahwa terdapat pengurangan
pengeluaran belanja antara 75% sampai dengan 250% setiap bulannya.
Artinya bahwa secara prinsip kegiatan KRPL bukan hanya sekedar
mengurangi pengeluaran rumah tangga tetapi bahkan mampu meningkatkan
pendapatan rumah tangga. Sejalan dengan hasil kajian Sugitarina et al.
(2016) yang mengemukakan bahwa program KRPL dapat meningkatkan
ketrampilan dan pengetahuan KW dalam optimalisasi pemanfaatan
pekarangan rumah sehingga dapat mengurangi pengeluaran untuk konsumsi
dan meningkatkan peluang usaha industri rumah tangga.
Sumber : Data primer (diolah), 2018
Gambar 2. Margin pengeluaran untuk sayuran/bln terhadap penghasilan dari
sayuran lahan pekarangan/bln
Skoring PPH dan Pemenuhan Gizi
Dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH), keadaan
perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat
memenuhi tidak hanya kecukupan gizi, tetapi sekaligus juga
mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya
guna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli
0%
50%
100%
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Margin Pengeluaran untuk Sayuran Terhadap Penghasilan
dari Sayuran Lahan Pekarangan /Bln
Pengeluaran per bln untuk sayuran (Rp/bln)
Penghasilan per bln dari sayuran lahan perkarangan (Rp/bln)
Analisis Kinerja Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Kota Ternate (HImawan Bayu Aji, Mardianah, Hermawati Cahyaningrum)
55
(Darmawan, 2013). Skoring terhadap nilai PPH menjadi salah satu referensi
penilaian bahwa kegiatan tersebut mampu meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat melalui perbaikan konsumsi pangan dan gizi.
Dasar skoring PPH beberapa responden yang diambil secara acak
dari setiap kelompok menunjukkan bahwa nilai PPH di Kota Ternate cukup
tinggi yaitu 92.2. Tingginya nilai PPH di Kota Ternate disebabkan oleh
konsumsi beberapa variabel pangan mempunyai nilai cukup tinggi di
antaranya padi-padian di mana skornya mencapai 23.8 (maksimal 25.0),
pangan hewani 24.0 (maksimal 24.0), dan sayur serta buah 28.4 (maksimal
30.0). (Harper et al.,1986), mengemukakan bahwa konsumsi pangan
merupakan jumlah pangan secara tunggal maupun beragam, yang
dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Konsumsi
pangan dapat dipakai sebagai pendekatan untuk mengetahui asupan pangan
suatu masyarakat.
Tabel 6. Perhitungan skor Pola Pangan Harapan (PPH)
No Kelompok
Pangan
Gram
/
Kap/
Hari
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan
(PPH) Kal
ori %
%
AK
E*)
Bo
bot
Sko
r
Akt
ual
Sk
or
A
KE
Sk
or
Ma
ks
Sk
or
PP
H 1 Padi-
padian 239,0 950,
9
19,
1 47,5 0,5 9,5 23,
8
25,
0
23,
8 2 Umbi-
umbian
1105,
4
162
2,3
32,
5 81,1 0,5 16,3 40,
6 2,5 2,5
3 Pangan
Hewani 860,7 111
8,9
22,
4 55,9 2,0 44,9 11
1,9
24,
0
24,
0 4 Minyak
dan Lemak 73,8 631,
1
12,
7 31,6 0,5 6,3 15,
8 5,0 5,0
5 Buah/Biji
Berminyak 39,6 222,
2 4,5 11,1 0,5 2,2 5,6 1,0 1,0
6 Kacang-
kacangan 14,9 49,6 1,0 2,5 2,0 2,0 5,0 10,
0 5,0
7 Gula 92,6 152,
7 3,1 7,6 0,5 1,5 3,8 2,5 2,5
8 Sayur dan
Buah 306,5 113,
8 2,3 5,7 5,0 11,4 28,
4
30,
0
28,
4 9 Lain-lain 85,5 124,
8 2,5 6,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Total 4.98
6
10
0,0
249,
3
94,2 23
4,8
100
,0
92,
2 Sumber : Data primer (diolah), 2018
KESIMPULAN
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa program
KRPL di Kota Ternate dinilai cukup berhasil. Keberhasilan program KRPL
didukung kemampuan kerja yang dipengaruhi oleh kondisi umur, tingkat
pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas lahan pekarangan, dan jenis
sayuran yang diusahakan. Dari segi pendapatan ekonomi keluarga
menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya
tanaman sayuran mampu mengurangi pengeluaran belanja sayuran sebesar
Buletin Pengkajian Pertanian BPTP Maluku Utara Vol. 8, No. 1, 2019
56
75%-250% setiap bulannya. Skoring PPH sebagai dasar penilaian konsumsi
pangan juga menunjukkan bahwa nilai PPH di Kota Ternate cukup tinggi
yaitu 92.2.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kota Ternate. 2019. Kota Ternate dalam Angka 2019. Badan Pusat
Statistik Kota Ternate. Ternate.
Darmawan. D.P. 2011. Ketahanan Pangan Rumah Tangga dalam Konteks
Pertanian Berkelanjutan. Udayana University Press: Denpasar.
Denzin, Norman K., Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative
Research, Cetakan Pertama, Terjemahan. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Kartasapoetra A G. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara:
Jakarta.
Harper LJ., Deaton BJ., Driskel JA.1986. Pangan, Gizi dan Pertanian.
Soehardjo Penerjemah. UI Press: Jakarta.
Kementan. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Purwantini, T.B., Saptana, dan Suharyono, S. 2012. Program Kawasan
Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten Pacitan : Analisis
Dampak dan Antisipasi ke Depan. Jurnal Analisis Kebijakan
Pertanian 10 (3): 239 - 256
Saptana, Saktyanu, KD. Wahyuni, S. Ariningsih, dan E. Darwis, V. 2004.
Integrasi kelembagaan forum KASS dan program agropolitan dalam
rangka pengembangan agribisnis sayuran sumatera. Analisis
Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan 2 (3): 257 -
276.
Sayaka, B. et al. 2005. Analisis pengembangan agroindustri berbasis pangan
lokal dalam meningkatkan keanekaragaman pangan dan
pengembangan ekonomi pedesaan. Laporan Akhir. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Analisis Kinerja Kawasan Rumah Pangan Lestari Di Kota Ternate (HImawan Bayu Aji, Mardianah, Hermawati Cahyaningrum)
57
Schmidt, F. H. and J. H. A. Ferguson. 1951. Rainfall Types based on Wet
and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea.
Djawatan Meteorologi dan Geofisika: Jakarta.
Siregar G., Mardiyah A., AnuzulM. 2016. Analisis Perubahan Perilaku
Peserta Program MKRPL Terhadap Pendapatan Keluarga. Jurnal
Agrium 20 (1): 328 - 336
Sugitarina I.G.A.D., Darmawan D.P., Astiti N.W.S. 2016. Keberhasilan
Program kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) pada Kelompok
petani di kabupaten Gianyar. Jurnal Manajemen Agribisnis. 4 (2):
139 - 143.
Sunaryono, H. 1990. Kunci Bercocok Tanam Sayur-Sayuran Penting di
Indonesia. Sinar Biru: Bandung.
Susanto, A.N. dan Aji H.B. 2015. Data Base Kemandirian Pangan Provinsi
Maluku Utara.
Yasin A.Z.F. 2003. Masa Depan Agribisnis Riau. Unri Press: Pekanbaru.
PEDOMAN BAGI PENULIS BULETIN BPTP MALUKU UTARA Naskah hasil pengkajian maupun yang berupa review ditulis dalam bahasa Indonesia atau
Inggris dengan urutan pembagian bab sebagai berikut :
JUDUL & NAMA PENULIS ditulis dengan huruf besar pada awal setiap kata dan disertai
catatan kaki yang ditulis lengkap (tidak disingkat) tentang profesi/jabatan dan nama instansi
tempat penulis bekerja. Judul hendaknya singkat (tidak lebih dari 14 kata) dan mampu
menggambarkan isi pokok tulisan.
Contoh : ANALISIS USAHATANI PALA DI KOTA TIDORE KEPULAUAN
ABSTRAK ditulis dalam bahasa Indonesia, sebanyak-banyaknya 150 kata yang dituangkan
pada satu alinea dengan susunan : Judul, nama (-nama) penulis dan ringkasan isi. ABSTRAK
merupakan inti seluruh tulisan dan harus mampu memberikan uraian yang tepat, jelas tapi
singkat tentang latar belakang, tujuan yang ingin dicapai, metodologi yang digunakan dalam
pencapaian tujuan, hasil penelitian yang terpenting dan kesimpulan (apabila memungkinkan).
Contoh : ABSTRAK <Judul> <Nama -[nama] penulis> < Abstrak isi>.
KATA KUNCI terdiri dari beberapa kata atau gugus kata yang menggambarkan isi naskah.
Demi keseragaman format dan kemudahan dalam pen-database-an, dianjurkan untuk diawali
dengan <nama komoditas> (apabila jenis komoditasnya tidak terlalu banyak).
Contoh : Padi, Benih unggul, Sekolah lapang.
ABSTRACT & KEY WORDS ditulis dengan bahasa Inggris dengan ketentuan seperti pada
ABSTRAK & KATA KUNCI. Pada naskah berbahasa Inggris, bab ini mendahului
ABSTRAK & KATA KUNCI.
PENDAHULUAN (nama bab tidak ditulis), mencakup latar belakang masalah, alasan
pentingnya penelitian itu dilakukan, temuan terdahulu yang akan disanggah atau
dikembangkan (termasuk di dalamnya telusuran pustaka terkait), pendekatan umum dan
tujuan penulisan. Nama jasad hidup yang menjadi topik penelitian harus disertai nama
ilmiahnya.
Contoh : Kedelai (Glycine max L. [Merrill]).
BAHAN & METODE berisi penjelasan ringkas tentang waktu dan tempat penelitian, bahan
dan teknik yang digunakan, rancangan percobaan dan analisis data. Teknik yang dirujuk tidak
perlu diuraikan (kecuali apabila dimodifikasi), tetapi cukup disebut nama sumbernya dan
tahun atau metodenya. Nama piranti lunak komputer yang digunakan untuk menganalisis
data seyogyanya disebutkan.
HASIL & PEMBAHASAN merupakan kupasan penulis tentang hasil, menerangkan arti
hasil penelitian, persamaan dan perbedaan hasil penelitian ini dibandingkan dengan
penelitian terdahulu (baik dari dalam maupun luar negeri), peran hasil penelitian terhadap
pemecahan masalah yang disebutkan di bab pendahuluan, hubungan antara parameter yang
satu dengan yang lain, dan kemungkinan pengembangannya.
KESIMPULAN (apabila memungkinkan) merupakan hasil kongkrit atau keputusan yang
diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran. Informasi yang bersifat
faktual (e.g. umur tanaman, dll) bukanlah kesimpulan, sehingga tidak perlu dimasukkan ke
dalam bab kesimpulan.
UCAPAN TERIMA KASIH (apabila dianggap perlu) berisi penghargaan singkat kepada
pihak-pihak yang telah berjasa selama penelitian (3-5 kalimat ringkas).
PUSTAKA disusun menurut abjad. Secara umum, setiap pustaka hendaknya terdiri atas
nama penulis, tahun, judul, halaman dan penerbit. Pustaka seyogyanya dipilih yang masih
mempunyai kaitan dengan topik penelitian dan ditulis sebagai berikut :
Untuk Artikel di dalam Buku : Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel,
halaman, nama penyunting, judul publikasi atau buku, nama dan tempat penerbit. Contoh :
Nugraha, U.S., Subandi, dan A. Hasanuddin. 2003. Perkembangan Teknologi Budidaya dan
Industri Benih Jagung. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian: 37-72. Jakarta.
Untuk Terbitan Berkala : Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul artikel, nama
terbitan (disingkat, apabila dianjurkan), volume dan nomor, dan nomor halaman (dianjurkan).
Contoh :
Bachrein, S. 2005. Keragaan dan Pengembangan Sistem Tanam Legowo 2:1 pada Padi
Sawah di Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut, Jawa Barat. JPPTP Valome 8 Nomor 1,
Maret 2005. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Untuk Buku : Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul buku, edisi dan tahun revisi,
nama dan tempat penerbit, dan jumlah halaman. Contoh :
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia (UI-PRESS). Jakarta.
110 hlm.
PERSIAPAN TULISAN
Persiapan Tulisan. Naskah diketik 1 spasi pada kertas ukuran A4, satu muka, tipe huruf
baku Times New Roman ukuran 11 cpi dan tidak lebih dari 15 halaman (termasuk tabel,
gambar dan pustaka). Badan naskah dicetak dengan ketentuan batas pinggir kertas 3 cm dari
atas, bawah, dan kanan, dan 4 cm dari kiri.
Tabel ‘masuk’ ke dalam teks, tidak dikumpulkan di bagian akhir makalah sebagaimana
halnya lampiran.
Judul tabel terletak di atas tabel yang bersangkutan dan hendaknya berupa satu kalimat yang
singkat dan jelas (termasuk keterangan tempat dan waktu).
Angka desimal ditandai dengan koma (bahasa Indonesia) atau titik (bahasa Inggris).
Besaran ditulis menurut standar internasional, bukan besaran lokal (e.g. kuintal, are) dan
mengikuti kaidah Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (misalnya g, l, kg, bukan gr,
ltr, atau Kg).
Catatan kaki pada tabel ditandai dengan huruf atau angka dengan posisi agak naik
(superscript).
Gambar & Grafis hendaknya dibuat dengan piranti lunak komputer berikut ini : Excel,
SPSS, Corel Draw, dll. Foto hendaknya kontras, tajam dan jelas.
Penyerahan softcopy Penulis yang makalahnya akan segera diterbitkan agar menyerahkan
softcopy file teks dan gambar (format seperti tertera sebelumnya) dengan flashdisk yang
diserahkan ke Sdr. Hermawati Cahyaningrum di Ruang Editor Buletin Pengkajian BPTP
Maluku Utara, Komplek Pertanian Kusu No. 1 Oba Utara Kota Tidore Kepulauan, atau via
email melalui: [email protected]
DAFTAR ISI
TANAMAN JAGUNG DI BAWAH TEGAKAN KELAPA
SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN PETANI KELAPA
(Abubakar Ibrahim, Kisey Bina Habeahan, Yulistiawati Andi
Jasil)…...………………
1 - 10
PENGARUH KONSENTRASI GULA INVERT DAN SARI
BUAH PALA (Myristica Fragrans Houtt) TERHADAP SIFAT
SENSORIS PERMEN KERAS (HARD CANDY) RASA PALA (Muhammad Assagaf, Maryani A. Marsaoli, Suhdan Kasuba)...................................
11 - 24
KINERJA KITOSAN SEBAGAI AGEN PENGIMBAS
KETAHANAN TANAMAN TERHADAP VIRUS PATOGEN (Emerensiana Uge dan Hermawati Cahyaningrum) …………………................................
25 - 37
EVALUASI KARAKTERISTIK TELUR ENTOK LOKAL
(Cairinamoschata) YANG GAGAL MENETAS PADA
PENETASAN ARTIFISIAL (Jonathan A. Lase, Dian Lestari, Slamet Hartanto) .....................................................
38 - 45
ANALISIS KINERJA KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI
(KRPL) DI KOTA TERNATE (Himawan Bayu Aji, Mardianah, Hermawati Cahyaningrum)............................................
46 - 57