ANALISIS KEBIJAKAN...
Transcript of ANALISIS KEBIJAKAN...
ANALISIS KEBIJAKAN PERTANIAN
PROGRAM PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)
SOLUSI PENINGKATAN PRODUKSI PADI
DI MALUKU UTARA
Bram Brahmantiyo Agus Hadiarto Yayat Hidayat
Yopi Saleh Chris Sugihono
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN MALUKU UTARA
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2017
1
I. PENDAHULUAN
emerintah daerah pada era otonomi daerah saat ini telah diberikan
wewenang yang lebih besar untuk mengatur daerahnya dengan membuat
kebijakan-kebijakan, meskipun kebijakan yang dimaksud tidak bertolak
belakang dengan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh
pemerintah pusat.
Kebijakan pertanian di Maluku Utara, yang dipengaruhi oleh sumber daya yang relatif
terbatas dan pasar yang kompetitif, memerlukan adanya inovasi teknologi yang
mampu meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian serta daya saing produk
baik di tingkat nasional maupun pasar dunia. Inovasi yang dimaksud secara spesifik
lokasi mengenai inovasi teknologi tepat guna, penggunaan sarana produksi, jenis
komoditas, harga-harga produk komoditas. Pembangunan tersebut disusun untuk
mendukung pencapaian ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis Maluku
Utara.
Keberhasilan program tersebut akan tercapai dengan baik Keberhasilan
pembangunan tersebut akan tercapai dengan baik jika analisis kebijakan pertanian
telah dilakukan dengan melibatkan Pemerintah provinsi Maluku Utara, peneliti/
penyuluh, pelaksana program (Dinas-dinas terkait), serta para pengguna hasil
penelitian/pengkajian yang terdiri atas masyarakat produsen, pengolah, pemasaran
dan konsumen produk pertanian atau mitra kerja BPTP.
Implementasi suatu kebijakan biasanya menemukan suatu masalah yang perlu
diidentifikasi dan dicarikan solusi alternatif melalui analisis kebijakan. Hasil analisis
kebijakan akhirnya dapat menjadi sebuah masukan bagi pemerintah provinsi dalam
menyusun kebijakan pembangunan pertanian di wilayah Maluku Utara.
BPTP Maluku Utara telah berdiri sejak 12 tahun yang lalu di Maluku Utara
untuk menjadi mitra kerja pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten di Maluku
Utara. Berbagai inovasi teknologi telah dikaji dan diimplementasikan untuk aktivitas
2
pertanian di Maluku Utara. Keberhasilan perakitan teknologi spesifik lokasi tidak
hanya ditentukan oleh kualitas teknologi itu sendiri, melainkan ditentukan juga oleh
kemampuan teknologi tersebut mampu memenuhi kebutuhan petani dan pengguna
lainnya (stakeholders).
Sehubungan dengan hal tersebut, analisis kebijakan untuk menganalisis
program pertanian yang mendukung peningkatan produktivitas padi sawah di Maluku
Utara perlu dilakukan. Selanjutnya hasil kajian ini dapat menjadi alternatif
rekomendasi kebijakan maupun langkah-langkah strategis guna memaksimalkan
kontribusi pada pembangunan pertanian di wilayah Provinsi Maluku Utara.
3
II. definisi
Analisis kebijakan
nalisis kebijakan ialah proses atau kegiatan mensintesa berbagai informasi
guna menghasilkan opsi desain kebijakan publik yang mampu
mempengaruhi dan menghantarkan masyarakat pengguna atau
stakeholder kepada keberhasilan dan kesejahteraan hidup, mengikuti suatu
siklus seperti Gambar 1.
Gambar 1. Proses Analisis Kebijakan
A KINERJA KEBIJAKAN
MONITORING
ISU KEBIJAKAN
USULAN KEBIJAKAN
PERUMUSAN ISU
ANALISIS OPSI
OPSI KEBIJAKAN
KOMUNIKASI
ADVOKASI
EVALUASI
PERKIRAAN
ANALISIS
KEBIJAKAN
TINDAKAN KEBIJAKAN
HASIL KEBIJAKAN MASA DEPAN KEBIJAKAN
4
Proses analisis kebijakan dapat dibagi menjadi delapan tahapan (Simatupang,
2003): (1) Perumusan isu kebijakan, (2) Prakiraan masa depan, (3) Analisis opsi
kebijakan, (4) Komunikasi opsi kebijakan, (5) Advokasi kebijakan, (6) Monitoring
implementasi kebijakan, (7) Evaluasi dampak kebijakan, dan (8) Analisis kelanjutan
kebijakan. Kedelapan tahapan tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat
rangkaian sekuensial.
Siklus proses kebijakan tersebut bersifat dinamis dan melingkar dalam arti
secara reguler dimonitor, dievaluasi dan disempurnakan sehingga kebijakan semakin
efisien dan efektif dalam mencapai tujuannya. Meskipun demikian, kedelapan tahapan
tersebut tidak harus dilaksanakan lengkap secara keseluruhan. Definisi tersebut
menjelaskan bahwa informasi yang digunakan harus berasal dari masyarakat,
sehingga terjadi keselarasan antara hasil analisis dengan keinginan dan kebutuhan
mendasar masyarakat.
Kebijakan pembangunan pertanian adalah keputusan dan tindakan pemerintah
untuk mengarahkan, mendorong dan mengendalikan pembangunan pertanian guna
mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan pertanian. Keragaan di antara sektor-
sektor ekonomi saat ini saling mempengaruhi dan keragaan perekonomian dalam
negeri dipengaruhi oleh kondisi perekonomian internasional (Simatupang, 2003).
Berbagai kebijakan yang dibuat pada sektor non pertanian berpengaruh nyata
terhadap keragaan pembangunan pertanian dan sebaliknya. Sebagai contoh,
kebijakan perkreditan dan kurs mata uang yang merupakan kebijakan moneter, jelas
sangat berpengaruh terhadap keragaan pembangunan sektor pertanian.
Analisis kebijakan (policy analysis) berbeda dengan pembuatan atau
pengembangan kebijakan (policy development). Analisis kebijakan tidak mencakup
pembuatan proposal perumusan kebijakan yang akan datang.
Analisis kebijakan lebih menekankan pada penelaahan kebijakan yang sudah
ada. Sementara itu, pengembangan kebijakan lebih difokuskan pada proses
pembuatan proposal perumusan kebijakan yang baru. Namun demikian, baik analisis
kebijakan maupun pengembangan kebijakan keduanya memfokuskan pada
konsekuensi-konsekuensi kebijakan (Subejo, 2007). Analisis kebijakan mengkaji
5
kebijakan yang sudah berjalan, sedangkan pengembangan kebijakan memberikan
petunjuk bagi pembuatan atau perumusan kebijakan yang baru.
Subejo (2007) memberikan penjelasan mengenai pengertian analisis kebijakan
pembangunan pertanian, yaitu usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian
penjelasan (explanation) dan preskripsi atau rekomendasi (prescription or
recommendation) terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan pembangunan
pertanian yang telah diterapkan.
Penelaahan terhadap kebijakan pembangunan pertanian tersebut didasari oleh
prinsip-prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan sebagai berikut
(Subejo, 2007):
a. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan dari
analisis yang dilakukan.
b. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan
pembangunan pertanian tersebut berdasarkan nilai benar dan salah.
c. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin
keamanan dan stabilitas.
Ketiga alternatif tindakan tersebut kemudian diterapkan untuk menguji atau
menelaah aspek-aspek kebijakan pembangunan pertanian yang meliputi:
a. Pernyataan masalah pembangunan pertanian yang direspon atau ingin
dipecahkan oleh kebijakan pembangunan pertanian.
b. Pernyataan mengenai cara atau metode dengan mana kebijakan pembangunan
pertanian tersebut diimplementasikan atau diterapkan.
c. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibat-
akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan
pembangunan pertanian.
Kinerja pembangunan pertanian merupakan hasil perpaduan antara kebijakan
mikro sektoral Kementerian Pertanian dan kebijakan makro serta tatanan lingkungan
strategis yang mempengaruhi sektor pertanian. Visi pembangunan pertanian adalah
terwujudnya masyarakat yang sejahtera khususnya petani melalui pembangunan
sistem agribisnis dan usaha-usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan,
berkelanjutan dan desentralisasi.
6
Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang
mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian dengan pembangunan sektor
industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri yang mencakup beberapa
subsistem yang harus berkembang secara simultan dan harmonis. Seringkali beberapa
tujuan pembangunan pertanian bukan sesuatu yang komplementer (Arifin, 2000).
Dalam era otonomi daerah saat ini, pemerintah daerah diberi wewenang yang
lebih besar untuk mengatur daerahnya dengan membuat kebijakan-kebijakan, namun
tetap ada kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan dari pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam peraturan-perundangan, perlu penjabaran
lebih lanjut. Implementasi kebijakan dituangkan dalam program dan kegiatan-
kegiatan.
Beberapa kemungkinan bisa terjadi, program dan kegiatan antar sektor bisa
kurang optimal, termasuk sektor pertanian. Kemungkinan lain adalah tidak sinkronnya
antar pendekatan kawasan administrasi (antar daerah otonom) dengan pendekatan
agroekosistem atau kawasan skala ekonomi. Sebagai contoh sistem agribisnis
pendekatannya adalah spesifik wilayah, sosial-ekonomi dan spesifik kebijakan.
Sekarang sering terjadi perubahan lingkungan strategi alam seperti anomali
iklim yang tidak terdeteksi sebelumnya, yang bisa menimbulkan masalah terhadap
kinerja sektor pertanian. Masalah yang timbul tersebut harus segera mendapatkan
solusi pemecahannya, sehingga memerlukan data dan informasi permasalahannya
sendiri serta data dan informasi pendukung untuk pemecahan masalahnya. Dalam
hal data dan informasi pendukung ini, peranan informasi teknologi hasil
penelitian/pengkajian adalah bagian dari solusi pemecahan masalah. Sintesa hasil-
hasil penelitian/pengkajian diperlukan dalam hal ini.
Keberhasilan pembangunan pertanian di Maluku Utara sangat ditentukan oleh
arah dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah. Kesenjangan informasi
antara pemerintah dan masyarakat dalam memproses rencana pembangunan desa
sering kali menimbulkan berbagai kontradiksi di antara program yang dihasilkan
dengan kebutuhan riil masyarakat yang mendesak. Hal ini ditandai oleh rendahnya
kecepatan adopsi teknologi inovatif dan ditolaknya teknologi anjuran pemerintah.
7
Kasus di atas menunjukkan bahwa perlu adanya pendekatan partisipasi
masyarakat dalam proses penentuan kebijakan atau arah pembangunan pertanian di
zona-zona agroekologi. Pemahaman tentang masyarakat marginal bertujuan untuk
mengerti lebih baik kegiatan-kegiatan produktif mereka dalam satu komunitas dan
untuk menentukan pengaruh dari setiap kegiatan tersebut pada kesejahteraan mereka
dan pada sumberdaya alam di zona agroekologi.
Proses partisipasi masyarakat melibatkan identifikasi masalah, hambatan,
kesempatan dan tantangan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya di
zona tersebut, dan pada akhirnya menyarankan perlunya model atau paradigma
pembangunan perekonomian desa yang sesuai dengan agroekosistem setempat
(Lamug dan Catalan, 1995).
Penyusun kebijakan merupakan patner pemerintah daerah dalam memberikan
warna pada putusan-putusan politis, sehingga tercipta langkah-langkah operasional
untuk keberhasilan pembangunan pertanian. Selain itu, dengan input analisis
kebijakan diharapkan dapat menarik partisipasi politik pemerintah daerah untuk
memposisikan masyarakat pedesaan dalam organisasi perekonomian yang tangguh,
sehingga membuka peluang yang lebih baik untuk mengembangkan kedaulatannya di
bidang ekonomi.
Hal di atas sejalan dengan keputusan politik tentang UU No. 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, yang secara ideal memposisikan masyarakat pedesaan
untuk berkembang dan berdaulat secara demokratis. Namun menurut Pranadji (2003),
penerapan Undang-Undang tersebut memerlukan penyesuaian lapangan yang cukup
berat. Oleh karena itu, kajian-kajian tentang bagaimana putusan-putusan politik
(PERDA) diciptakan dan bagiamana pengaruhnya atau dampaknya terhadap
pengembangan kelembagaan pertanian, penciptaan investasi, dan rekruitment PAD
menjadi strategis dalam memperbaiki dan mengejar ketinggalan pembangunan di
sektor ekonomi riil, khusus di bidang pertanian.
Pertanian harus dipandang sebagai sektor riil strategis untuk menghadapi
kemelut ekonomi dan ketersediaan atau ketahanan pangan yang tidak menentu di
masa yang akan datang. Kebijakan ketahanan pangan dan agribisnis, selain harus
dapat menjamin kecukupan karbohidrat dan protein masyarakat, juga harus mampu
8
meningkatkan daya beli, sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kekuatan ekonomi petani dan ketahanan pangan sangat dipengaruhi oleh
faktor biofisik (sumberdya alam, iklim dan serangan hama), faktor ekonomi
(perkembangan harga input dan output usahatani), faktor sosial (budaya lokal), dan
kelembagaan sistem usahatani. Sumberdaya alam dan lahan pertanian dengan
komoditas spesifiknya yang belum terurus dengan baik masih luas.
Provinsi Maluku dapat dipandang memiliki sebuah langkah kemajuan apabila
sumberdaya alam dan lahan ditangani secara bijaksana dengan menumbuhkan
investasi publik, terutama prasarana ekonomi dan tatanan kelembagaan. Selain itu,
suatu kajian secara komprehensif dibutuhkan untuk mengakomodasi masalah-masalah
pembangunan pertanian, selanjutnya dapat digunakan sebagai alternatif kebijakan
pembangunan pertanian di daerah.
BPTP Maluku Utara sebagai mitra tani dan mitra aparatur pemerintah daerah
memiliki peran strategis dalam mendukung dan memberikan saran terhadap
pembangunan pertanian di tingkat daerah pada era otonomi daerah. BPTP mampu
mempresentasikan opsi-opsi logis kebijakan publik yang diperlukan untuk solusi-solusi
perbaikkan kelembagan pertanian, pemberdayaan UKM, peningkatan peluang
investasi, perluasan akses pada PAD, dan analisis input produksi terhadap perubahan
sosial ekonomi rumah tangga pertanian.
9
III. PROGRAM PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DI
MALUKU UTARA
PTT padi sawah
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan inovatif
dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan
sistem/pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen
teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi.
Komponen teknologi dasar PTT adalah teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan di
semua lokasi. Komponen teknologi pilihan adalah teknologi pilihan disesuaikan
dengankondisi, kemauan, dan kemampuan.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam PTT adalah: (1) terpadu: PTT merupakan
suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, tanah dan airdapat dikelola dengan
sebaik-baiknya secara terpadu, (2) sinergis: PTT memanfaatkan teknologi pertanian
terbaik, dengan memperhatikanketerkaitan yang saling mendukung antar komponen
teknologi, (3) spesifik lokasi: PTT memperhatikan kesesuaian teknologi dengan
lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat, dan (4)
partisipatif: berarti petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi
yang sesuai dengan kondisi setempatdan kemampuan petani melalui proses
pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan.
PTT diawali dengan cara pemandu lapang bersama petani merumuskan
Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP).
Perumusan ini melahirkan identifikasi masalah peningkatan hasil di wilayah setempat
dan membahas peluang mengatasi masalah tersebut. PMP dan KKP didasarkan pada
cara pengelolaan tanaman, analisis iklim/curah hujan, kesuburan tanah, luas pemilikan
lahan, lingkungan sosial ekonomi.
10
Pemandu lapang bersama petani selanjutnya merakit berbagai komponen
teknologi PTT berdasarkan kesepakatan kelompok untuk diterapkan di lahan
usahataninya yang kemudian disusun dalam rencana usahatani kelompok yang
merupakan hasil dari kesepakatan kelompok. Lalu, dimulailah penerapan PTT. Jikalau
pelaksanaan PTT ini telah berjalan baik, konsep PTT akan disebarkan ke petani atau
wilayah lainnya.
Komponen teknologi unggulan PTT padi terdiri atas komponen teknologi dasar
dan komponen teknologi pilihan. Untuk komponen teknologi dasar terdiri atas (1)
Varietas unggul baru, inbrida (non hibrida), atau hibrida, (2) benih bermutu dan
berlabel, (3) pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke sawah atau
dalam bentuk kompos, (4) pengaturan populasi tanaman secara optimum, (5)
pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, (6) Pengendalian
OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT (pengendalian hama
terpadu).
Komponen teknologi pilihan terdiri atas (1) pengelolaan tanah sesuai musim
dan pola tanam, (2) penggunaan bibit muda (< 21 hari), (3) tanam bibit 1-3 batang
per rumpun, (4) pengairan secara efektif dan efisien, (5) penyiangan dengan landak
atau gasrok, (6) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
Model Pertanian Organik/
System of Rice Intensifications (SRI)
Dua pemahaman tentang pertanian organik yaitu dalam arti sempit dan dalam
arti luas, pertanian organik dalam artian sempit yaitu pertanian yang bebas dari
bahan-bahan kimia. Mulai dari perlakuan untuk mendapatkan benih, penggunaan
pupuk, pengendalian hama dan penyakit sampai perlakuan pascapanen tidak sedikiti
pun melibatkan zat kimia, semua harus bahan hayati atau alami.
Pertanian organik dalam arti yang luas adalah sistem produksi pertanian yang
mengandalkan bahan-bahan alami dan menghindari atau membatasi penggunaan
bahan kimia sintetis (pupuk kimia/pabrik, pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh
dan aditif pakan). Konsep ini bertujuan untuk menyediakan produk-produk pertanian
11
(terutama bahan pangan) yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumen serta
menjaga keseimbangan lingkungan dengan menjaga siklus alaminya. Konsep awal
pertanian organik yang ideal adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari
dalam pertanian organik itu sendiri dan atau meminimalkan input dari luar (FG
Winarno, 2002).
Pertanian organik adalah sistem pertanian yang mendukung dan
mempercepat biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Tujuan yang
hendak dicapai dalam penggunaan sistem pertanian organik menurut IFOAM antara
lain :
(1) mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan
mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman serta
hewan,
(2) memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama
petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk
memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan kerja,
termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan
(3) memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan.
Pertanian organik menurut IFOAM merupakan sistem manajemen produksi
terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil
rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air.
Standar Operasional Prosedur pertanian organik memperhatikan
aspek keamanan produk untuk dikonsumsi dan ramah lingkungan. Standar
Operasional Prosedur yang terus dikembangkan antara lain benih unggul, pupuk
organik, pengendalian hama penyakit secara terpadu dan penggunaan pestisida alami.
Penerapan Standar Operasional Prosedur dinyatakan berhasil jika petani
merasa puas dan bangga dengan keberhasilan panen yang sesuai harapan. Berbagai
hasil kajian SRI memperlihatkan secara nyata tentang keberhasilan penerapan Standar
Operasional Prosedur pertanian (Tabel 1). Pembuktian tersebut menurut Purwono
(2017) akan menambah keyakinan petani untuk mengadopsi konsep SRI.
12
Tabel 1. Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Padi Organik
Proses Perlakuan
Uraian
Benih Untuk varietas padi organik sebaiknya memakai varietas lokal karena: 1. Varietas lokal rasa lebih enak dan gurih serta pulen. 2. Varietas lokal dapat beradaptasi tanpa pupuk kimia bisa
hidup normal. 3. Sebagai ciri khas beras organik. 4. 1.000 m butuh benih untuk sistem SRI (Sistem Rice
Intensifikasi) 1-2 kg dan sistem tegel 5 kg
5. Varietas lokal (pandan wangi, menthik susu, menthi wangi, rojo lele)
Persemaian Benih yang telah direndam air selama 24 jam. Persemaian dilakukan didalam besek bambu.
Penanaman Pertanian organik diusahakan paling ideal adalah blok area atau terpisah dari tanaman padi konvensional ada pembatas dengan perit atau tanggul besar serta irigasi terbebas dari limbah pabrik atau kota. a. Ukuran jarak tanam 22 x 22 cm, 23 x 23 cm. b. Tanam bibit muda 10 sampai 15 hari dan maksimal umur 21
hari. c. Ditanam iwir (1 sampai 3 batang) atau ditanam Sistem SRI
(1 batang untuk 1 lubang tanam) dengan sistem legowo.
Pemeliharaan Masa transisi
Pemeliharaan I : a. Berikan pupuk organik 50 kg sampai 100 kg. Pada umur7
sampai 10 hst. b. Pupuk dasar ZA atau urea dengan jumlah 10 kg pada umur
7 sampai 15 hst. c. Pupuk susulan umur 20 sampai 35 hst, urea 5 kg
danphonska 5 kg. d. Gunakan pupuk organik cair (ppc atau pupuk
perlengkapan cair) e. Pengamatan rutin f. Masa transisi membutuhkan waktu paling cepat 3 musim
tanam
Pemeliharaan II : Dari masa transisi ke organik tiap musim pengurangan jumlah pupuk kimia secara bertahap dan dipantau perkembangan tanaman tiap musim, bila sudah baik pertumbuhannya bisa segera dilepas pupuk kimia serta pengurangan jumlah pupuk organik.
13
Pemeliharaan III : Tanah yang jadi lahan organik atau semi organik. Pupuk organik 25 sampai 50 kg. Pupuk dasar ZA atau urea 5 kg tiap 1.000 m cukup satu kalipada umur 7 sampai 10 hst.
Pemeliharaan IV : Tanah yang jadi lahan organik, selanjutnya pupuk organik 25 sampai 50 kg diberikan pada umur 15 sampai 25 hst. Dan diberikan pula pupuk pelengkap cair (ppc).
Penyiangan I dan II menggunakan matun dan gosrok, sedangkan III dan IV dilakukan seperti petani pada umumnya
Pengendalian OPT Menggunakan Beauvaria bassiana sejenis jamur yang menyerang hama.
Irigasi Air irigasi dari sungai yang mengalir ke sawah sebelum kelahan sawah ideal dibuat bak filterisasi air dengan harapan air yang masuk ke sawah bebas dari bahan kimia sistem irigasi dengan sistem buka tutup dan terkadang kering.
Pemanenan Padi dipanen jangan terlalu tua (remagak: bulir padi telah menguning pucuk sampai
pangkal) dengan maksud : a. Mengurangi gabah yang rontok b. Menghasilkan beras yang gilap dan cerah c. Membuat beras bisa utuh-utuh. d. Panen menggunakan sabit atau pedal treasher
Model Penggunaan Benih Padi Hibrida
Padi hibrida adalah turunan pertama (F1) dari persilangan antara dua galur
murni. Varietas padi hibrida yang akan dikembangkan merupakan generasi F1 hasil
persilangan antara galur mandul jantan (A) dengan restorer (R). (Anonymous, 2008).
Benih padi hibrida adalah generasi filial pertama (F1) dari suatu persilangan dua
varietas yang secara genetis berbeda. Benih padi hibrida diproduksi bila sel telur
dibuahi oleh serbuk sari dari kepala sari yang berasal dari vareitas/galur tanaman padi
yang berbeda. (Deptan, 2014)
Pengertian varietas hibrida pada tanaman padi sama dengan tanaman lainnya,
yaitu turunan pertama (F1) dari hasil persilangan antara dua galur murni. Varietas
padi hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan antara galur mandul jantan (A)
dengan galur Restorer/penyubur (R). Generasi pertama memiliki sifat sangat cepat
14
mengalami perubahan (segregasi) bila ditanam kembali. Oleh sebab itu, untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan setiap kali menanam padi hibrida petani
dianjurkan untuk tidak menggunakan hasil panenan sebagai benih atau ditanam
kembali.
Hasil panen padi hibrida merupakan generasi ke-2 (F2 ) yang secara teori telah
terjadi pemisahan atau segregasi menjadi 25% mandul jantan dan 75% fertil. Oleh
sebab itu, bila benih hasil panen varietas padi hibrida ditanam maka bentuk tanaman
dan gabahnya tidak seragam atau kembali menuju sifat para tetuanya. (Marlina, 2011)
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa padi hibrida adalah
produk persilangan antara dua tetua padi yang berbeda secara genetik. Apabila tetua-
tetua diseleksi secara tepat, maka hibrida turunannya akan memiliki vigor dan daya
hasil yang lebih tinggi dari pada kedua tetua tersebut. Dalam pertanian, yang
dimaksud dengan varietas hibrida adalah tipe kultivar yang berupa keturunan
langsung dari persilangan antara dua atau lebih populasi pemuliaan.
Keunggulan Benih Padi Hibrida, antara lain :
Hasil yang lebih tinggi dari pada hasil padi unggul inbrida;
Vigor lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma;
Keunggulan dari aspek fisiologi, seperti aktivitas perakaran yang lebih luas, area
fotosintesis yang luas, intensitas respirasi yang lebih rendah dan translokasi
asimilat yang lebih tinggi;
Keunggulan pada beberapa karakteristik morfologi seperti sistem perakaran lebih
kuat, anakan lebih banyak, jumlah gabah per malai lebih banyak, dan bobot 1000
butir gabah isi yang lebih tinggi.
Kelemahan Benih Padi Hibrida, antara lain :
Harga benih yang mahal;
Petani harus membeli benih baru setiap tanam, karena benih hasil panen
sebelumnya tidak dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya;
Tidak setiap galur atau varietas dapat dijadikan sebagai tetua padi hibrida. Untuk
tetua jantannya hanya terbatas pada galur atau varietas yang mempunyai gen Rf
atau yang termasuk restorer saja;
15
Produksi benih rumit;
Memerlukan areal penanaman dengan syarat tumbuh tertentu (Diperta,2014).
Budidaya Padi Hibrida
Budidaya padi hibrida pada prinsipnya mengikuti prinsip Pendekatan Tanaman
Terpadu (PTT) Padi Sawah. Anjuran komponen teknologi produksi padi dengan
pendekatan PTT adalah :
1) Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan atau
bernilai ekonomi tinggi.
2) Penggunaan benih bersertifikat dengan mutu bibit tinggi.
3) Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi.
4) Penggunaan kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan
pembenah tanah.
5) Pengelolaan bibit dan tanaman padi sehat.
a. Pengaturan tanam sistem legowo, tegel, maupun sistem tebar benih langsung,
dengan tetap mempertahankan populasi minimum.
b. Penggunaan bibit dengan daya tumbuh tinggi, cepat dan serempak yang
diperoleh melalui pemisahan benih padi bernas (berisi penuh)
c. Penanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1 – 3
bibit per lubang.
d. Pengaturan pengairan berselang dan pengeringan berselang
e. Pengendalian gulma.
6) Pengendalian hama penyakit dengan pendekatan terpadu.
7) Penggunaan alat perontok gabah mekanis ataupun mesin.
Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam budidaya padi hibrida adalah
sebagai berikut:
a. Bila daun padi hibrida di persemaian sudah mencapai 4 helai, maka tanaman padi
tersebut segera ditanam pindah ke sawah, bila daun padi sudah mencapai 8 helai,
maka segera dilakukan pemupukan, bila daun padi sudah mencapai 12 helai maka
tanaman padi harus dikeringkan dan bila daun padi sudah mencapai 16 helai maka
tanaman memasuki primordial bunga dan segera diberi pupuk susulan.
16
b. Jangan mengairi sawah terlalu banyak dan dalam jangka waktu lama agar tumbuh
banyak anakan.
c. Memupuk untuk memperkuat tanaman, mengairi untuk membentuk bulir
d. Hindari padi hibrida saat berbunga bersamaan dengan musim petir dan hujan
lebat, hal ini dapat dilakukan melalui pengaturan saat tanam.
e. Tanah menghasilkan makanan, sedangkan yang tidak bisa dimakan (jerami dan
sekam) hendaknya dikembalikan ke tanah.
Tehnik Budidaya Padi Hibrida
1) Benih
Benih padi hibrida hanya dapat digunakan untuk satu kali musim pertanaman.
Karena benih dari hasil pertanaman padi hibrida tidak dapat ditanam kembali,
maka setiap kali menanam harus menggunakan benih baru. Untuk 1 hektar areal
pertanaman membutuhkan antara 10 – 20 kg benih. Sebelum disebar, benih
direndam selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam selama 24 jam ditempat
yang aman.
2) Pesemaian
a. Areal untuk lahan pesemaian diusahakan bukan bekas tanaman padi atau bero
untuk menghindari benih tercampur dengan padi varietas lain.
b. Tanah diolah, dicangkul atau dibajak, dibiarkan dalam kondisi macak-macak
selama minimal 7 hari agar gabah yang ada dalam tanah tumbuh sehingga
bisa dibersihkan sebelum benih disebar.
c. Buat bedengan dengan tinggi 5-10 cm, lebar 110 cm dan panjang disesuaikan
dengan ukuran petak dan kebutuhan.
d. Pupuk pesemaian dengan urea, TSP dan KCl masing-masing sebanyak 5
gr/m2.
e. Sebar benih yang telah diperam dengan merata.
3) Persiapan Lahan
Tanah diolah secara sempurna yaitu dibajak I, dibiarkan selama 5-7 hari dalam
keadaan macak-macak kemudian dibajak II dan digaru untuk melumpurkan dan
17
meratakan tanah. Untuk menekan pertumbuhan gulma, lahan yang telah diratakan
disemprot dengan herbisida pratumbuh dan dibiarkan selama 7-10 hari.
4) Penanaman
a. Penanaman dilakukan saat bibit berumur 21 hari.
b. Jarak tanam 20 x 20 cm, satu tanaman per rumpun.
c. Biasanya pada umur 21 hari ada sebagian bibit yang telah mempunyai anakan
karena populasi bibit dipesemaian lebih jarang dari yang biasa dipraktekan
petani. Bibit yang telah mempunyai anakan tidak boleh dipisahkan pada saat
menanam.
5) Pemupukan.
a. Musim kemarau
Takaran pupuk : 300 kg urea, 100 kg SP 36 dan 150 kg KCl/ha.
Waktu pemberian :
(1) Saat tanam : 60 kg urea + 100 kg SP 36 + 100 kg KCl/ha.
(2) 4 MST : 90 kg urea /ha.
(3) 7 MST : 75 kg urea + 50 kg KCl/ha.
(4) 5% berbunga : 75 kg urea/ha.
b. Musim hujan
Takaran pupuk : 250 kg urea, 100 kg SP 36 dan 150 kg KCl/ha.
Waktu pemberian :
Saat tanam : 50 kg urea + 100 kg SP 36 + 100 kg KCl/ha.
4 MST : 75 kg urea /ha.
7 MST : 75 kg urea + 50 kg KCl/ha.
5% berbunga : 50 kg urea/ha.
6) Pemeliharaan Tanaman
a. Penyiangan dilakukan secara intensif paling sedikit 2 kali menjelang
pemupukan 2 dan 3.
b. Padi hibrida peka terhadap penyakit tungro dan hama wereng coklat, oleh
karena itu hindari pengembangan di daerah endemis hama dan penyakit,
terapkan PHP dengan monitoring keberadaan tungro dan populasi wereng
18
coklat. Perhatikan juga serangan hama tikus dan penerbangan ngengat
penggerek batang.
c. Insektisida yang manjur mengendalikan hama wereng coklat dan wereng
punggung putih diantaranya fipronil dan imidakloprid. Insektisida buprofezin
juga dapat digunakan untuk mengendalikan. Untuk mengendalikan penyakit
tungro dapat digunakan insektisida imidakloprid, tiametoksan, etofenproks dan
karbofuran.
7) Panen
a. Saat panen yang tepat adalah pada waktu biji telah masak fisiologis, atau
sekitar 90 % malai telah menguning.
b. Setelah dipanen, gabah harus segera dikeringkan agar diperoleh rendemen
dan mutu beras yang baik.
c. Pada prinsipnya cara panen dan pengolahan hasil padi hibrida tidak berbeda
dengan padi biasa (padi inbrida).
Model Hazton
Standar Operasional Prosedur budidaya Hazton pada tanaman padimerupakan
rekayasa budidaya padi yang diinisiasi oleh Ir. Hazairin MS selaku Kepala Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Barat dan Anton
Komaruddin SP, MSi. Staf pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Provinsi Kalimantan Barat. Berikut merupakan SOP padi Hazton (Tabel 2).
Tabel 2. Standar Operasional Prosedur Pertanian padi sawah Model Hazton
Proses Perlakuan Uraian
Benih 1. Varietas yang digunakan pada sistim Hazton dianjurkan yang mempunyai anakan sedikit, malainya panjang dan lebat, seperti Inpari 6 dan Inpari 23 Bantul.
2. Penggunaan benih bermutu dan bersertifikat. 3. Memilih benih yang baik dapat menggunakan air,larutan
pupuk ammonium sulfat (Za) atau larutan garam.
Pelakuan Benih dan persemaian
Serangan penyakit tular benih (seed born disease) dapat dicegah dengan perlakuan benih menggunakan fungisida berbahan aktif seperti isoprothiolane fipronil atau copper oxide 56%. Perlakuan benih sebagai berikut; benih padi direndam
19
dalam larutan fungisida misalnya yang berbahan aktif copper oxide 56% dosis 1 gram/5 liter air selama 24 jam atau mengikuti petunjuk yang ada pada kemasan. Persemaian juga dapat dibuat dengan modifikasi sistem dapok.
Penanaman 1. Jumlah bibit yang ditanam antara 6-8 bibit per rumpun
2. Bibit ditanam tegak, leher akar masuk ke dalam tanah sekitar 1-3 cm, menggunakan tanam pindah dengan sistem legowo (2:1)
3. Umur bibit 25-30 hari
Pemeliharaan danpemupukan
Pemeliharaan I
1) Penyulaman jarang dilakukan karena jumlah bibitperlubang
tanam banyak.
2) Pengelolaan air dimulai dari pembuatan pintu masukair
atau inlet pada pematang bagian depan dekat saluran
tersier dan pada ujung petakan sawah dibuat “celah pintu”
atau outlet untuk pembuangan kelebihan air.
3) Seminggu pertama setelah tanam dilakukan
penggenangan sedalam 2-5 cm, selanjutnya dibuat macak-
macak, kemudian kondisi basah-kering dengan interval 7-
10.
Pemupukan dasar
Pupuk dasar diberikan pada tanaman berumur 0-5 HST,
berupa pupuk N (Urea), pupuk P (SP36), pupuk K (KCl), atau
pupuk majemuk, sesuai dosis anjuran. Pupuk urea diberikan
dengan dosis sedang (50 kg/ha), pupuk P dan atau K
diberikan seluruhnya.
Pemupukan susulan dilakukan, apabila terjadi gejala kahat
kalium berikan pupuk kalium dengan dosis 20 kg K2O per
hektar.
Penyiangan Pengendalian gulma secara mekanis seperti dengan gasrok
sangat diajurkan, oleh karena cara ini sinergis dengan
pengelolaan lainnya. Menggunakan herbisida yang sesuai
dengan gulma target pada kondisi air macak-macak.
Pengendalian OPT Penggunaan pestisida harus rasional, efektif dan tidak
mencemari lingkungan, bodi air, pekerja lapangan, hasil
panen, tidak membunuh biota berguna, termasuk burung, ikan
dan ternak.
Irigasi Pengelolaan air dimulai dari pembuatan pintu masuk air atau
inlet pada pematang bagian depan dekat saluran tersier dan
20
pada ujung petakan sawah dibuat “celah pintu” atau outlet
untuk pembuangan kelebihan air. Tinggi celah pintu
pembuangan 5 cm dari permukaan tanah/lumpur, bervariasi
tergantung fase pertumbuhan tanaman padi.
Pemanenan 1) Panen ketika 95% bulir menguning.
2) Potong sepertiga bagian atas batang menggunakan sabit
bergerigi atau sabit tajam. Volume tumpukan padi hasil
panen maksimal 20-30 kg dengan alas karung supaya
gabah yang rontok tidak hilang.
3) Padi segera dirontok menggunakan power thresher dengan
alas terpal sebagai penampung gabah.
Pasca panen 1) Gabah dibersihkan dari kotoran menggunakan blower atau penampi
2) Gabah dijemur hingga mencapai kadar air 13-14% (gabah kering simpan/GKS) kemudian disimpan dalam karung.
Penggilingan 1) Perontokan padi menggunakan powerthresher 2) Penggilingan padi menggunakan type engelberg RMU (Rice
Milling Unit) dan penggilingan padi besar (RMP).
Pengayaan atau sortir 1) Pengayakan menggunakan mesin pengayak beras (honkwol), memisahkan beras kepala, beras patah dan meni.
2) Beras dikemas dengan ukuran 5 kg sampai 25 Kg atau dengan kemasan curah.
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian kementrian pertanian (2015)
Model Budidaya padi Sawah Konvensional
Pada pertanian konvensional tidak ada teknik khusus untuk menyeleksi benih.
Benih hanya direndam di dalam air selama 1 hari 1 malam, selanjutnya benih diperam
selama 2 hari 2 malam, dan benih siap untuk disemaikan (Suparyono, 1997). Pada
pertanian konvensional persemaian dilakukan langsung di lahan sawah dengan
kebutuhan benih yang banyak yaitu antara 35-45 kg/ha (Suparyono, 1997).
Pada pertanian konvensional umur bibit yang siap ditanam adalah 18-25 hari
setelah semai. Satu lubang tanam berisi 5-8 bibit tanaman. Bibit ditanam dengan
kedalaman 5 cm (lebih). Selanjutnya lahan digenangi air sampai setinggi 5-7 cm di
atas permukaan tanah secara terus menerus. Serta untuk pemupukannya pertanian
konvensional menggunakan pupuk Urea, TSP, dan KCl. Pada pertanian
21
konvensional hanya bertujuan membuang gulma dan dengan menggunakan herbisida
sedangkan untuk pengendalian hama, dalam teknik budidaya secara konvensional
menggunakan pestisida kimia (Suparyono, 1997).
Sistem penanaman padi di sawah biasanya didahului oleh pengolahan tanah
secara sempurna seraya petani melakukan persemaian. Mula-mula sawah dibajak,
pembajakan dapat dilakukan dengan mesin, kerbau atau melalui pencangkulan oleh
manusia. Setelah dibajak, tanah dibiarkan selama 2-3 hari. Namun di beberapa
tempat, tanah dapat dibiarkan sampai 15 hari. Selanjutnya tanah dilumpurkan dengan
cara dibajak lagi untuk kedua kalinya atau bahkan ketiga kalinya 3-5 hari menjelang
tanam. Setelah itu bibit hasil semaian ditanam dengan cara pengolahan sawah seperti
di atas (yang sering disebut pengolahan tanah sempurna, intensif atau konvensional)
banyak kelemahan yang timbul penggunaan air di sawah amatlah boros. Padahal
ketersediaan air semakin terbatas. Selain itu pembajakan dan pelumpuran tanah yang
biasa dilakukan oleh petani ternyata menyebabkan banyak butir-butir tanah halus dan
unsur hara terbawa air irigasi. Hal ini kurang baik dari segi konservasi lingkungan
(Sudirman, 2005).
22
IV. Analisis multi kriteria
sebagai alat untuk
pengambilan keputusan
endoza et al.(1999) mendefinisikan bahwa Analisis Multi Kriteria adalah
perangkat pengambilan keputusan yang dikembangkan untuk
masalah-masalah kompleks multikriteria yang mencakup aspek
kualitatif dan atau kuantitatif dalam proses pengambilan keputusan.
Multiple Criteria Decision Making (MCDM) menurut Kusumadewi et al.
(2006) dalam Fuzzy Multi Attribute Decision Making adalah suatu metode pengambilan
keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan
beberapa kriteria tertentu. Di mana kriteria biasanya berupa ukuran-ukuran, aturan-
aturan atau standar yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan Communities and local government (2009), Multi Criteria Analysis
(MCA) dikembangkan tahun 1960-an untuk membantu pengambil keputusan dalam
menghadapi empat masalah (Wuryanti 2012) :
1) Mengidentifikasi alternatif pilihan paling mendekati preferensi (kasus pemilihan)
2) Mengklasifikasikan alternatif pilihan sesuai aspek tertentu (kasus klasifikasi)
3) Meranking alternatif pilihan (kasus ranking)
4) Mengindetifikasi alternatif pilihan sesuai deskripsi penerimaannya (kasus
deskripsi).
Prosedur dalam menggunakan Multi Criteria Analysis (MCA) melalui :
1) Pendeskripsian tujuan yang diharapkan dan siapa pengambil keputusan
2) Identifikasi beberapa opsi solusi
3) Tetapkan tujuan dan kriteria yang dapat direfleksikan pada setiap opsi
4) Deskripsikan nilai performa pada setiap opsi terhadap masing-masing kriteria
5) Lakukan pembobotan setiap kriteria untuk menetapkan tingkat kepentingannya
6) Pilih teknik analisis yang akan digunakan
7) Lakukan analisis untuk memilih opsi solusi
M
23
8) Validasikan hasil perhitungan
Membuat keputusan multi kriteria (multi criteria decision making, MCDM) dapat
diklasifikasi sesuai dengan model analisis, yaitu :
1) Scoring model, yaitu memilih alternatif yang memiliki skor tertinggi (utilitas
maksimum); contoh simple addictive weighting, hierarchical addictive weighting,
dan multiplicative exponential weighting
2) Compromising model, yaitu memilih alternatif yang paling mendekati (closest)
dengan solusi ideal; contoh technique for order preference by similarity to ideal
solution (TOPSIS), LINMAP
3) Concordance model; meranking sesuai preferensi; contoh metoda permutasi,
linear assignment method dan Elimination et Choice Traduisant la Realite
(ELECTRE).
Penggunaan multi kriteria analisis relevan sebagai sarana untuk mendukung
pengambilan keputusan, terutama ketika beberapa stakeholders yang terlibat. Turner
et al. (2000) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa menggabungkan valuasi
ekonomi, pemodelan terpadu, analisis stakeholder, dan evaluasi multi kriteria dapat
memberikan wawasan yang saling melengkapi dalam manajemen dan kebijakan yang
berkelanjutan dan mengoptimalkan kesejahteraan.
Waktu dan Lokasi
Lokasi penelitian kegiatan dalam analisis kebijakan dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan menggunakan metode Singarimbun dan Effendi (1995) yaitu
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penentuan lokasi berdasarkan
pendekatan daerah sentra pengembangan komoditi yang memiliki nilai tambah dalam
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petaniyang ada di kabupaten/kota di
Provinsi Maluku Utara.
Lokasi kegiatan bertempat di sentra pertanaman padi sawah di Maluku Utara,
yaitu di Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Utara, dan Halmahera Selatan.
24
Waktu pelaksanaan kegiatan dilaksanakan selama setahun, yaitu dari Januari sampai
Desember 2017.
Pengkajian dilakukan secara purposive di beberapa kabupaten sentra produksi
padi sawah yang ada di Maluku Utara, dengan pertimbangan bahwa kabupaten yang
dipilih sudah menerapkan program-program pertanian yang di maksud. Kabupaten
Halmahera Timur dan Halmahera Utara dipilih sebagai lokasi pengambilan data karena
merupakan sentra produksi padi sawah di Maluku Utara dan telah mereplikasi program
PTT padi sawah, Hazston, penggunaan benih hibrida, dan SRI dalam upaya
peningkatan produktivitas padi sawahnya. Waktu kegiatan dilaksanakan pada musim
tanam Januari-Desember 2017.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data penelitian yang diperoleh atau dikumpulkan
secara langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang
bersangkutan yang memerlukannya (Hasan 2002).
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan responden di
lokasi penelitian yaitu masyarakat dan key person. Responden dalam kelompok
masyarakat adalah merupakan petani dan kelompok tani/ Gapoktan yang pernah
menerapkan program-program pemerintah dalam peningkatan produktivitas padi
sawahnya. Key person yang akan menjadi responden adalah perwakilan stake holders
(Dinas Pertanian, Dinas pangan, BPP), LSM terkait bidang pertanian, pihak akademisi
(Unkhair), Bank Indonesia dan ASOSIASI Pedagang (Bulog).
Wawancara dengan key person dilakukan dengan in-depth interview.
Wawancara tersebut dilengkapi dengan panduan wawancara untuk masing-masing
responden.
Data primer yang dibutuhkan meliputi data karakteristik responden, luas lahan
responden, kebutuhan sarana produksi padi sawah, tenaga kerja, produksi dan
pendapatan usahatani padi sawah, jumlah penghasilan responden sebelum dan
sesudah terjadinya konversi lahan, penerimaan dan pemanfaatan uang ganti rugi oleh
responden, dampak yang dirasakan responden baik secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan.
25
Data sekunder juga digunakan untuk memperkuat hasil analisis. Menurut
Hasan (2002) data sekunder merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data sekunder
diperoleh dari berbagai hasil-hasil penelitian, jurnal ilmiah, laporan, dan dokumen-
dokumen dari BPS, Dinas Pertanian, Dinas Pangan dan instansi terkait.
Metode pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian dilakukan secara purposive dengan
berbagai pertimbangan tertentu karena responden dianggap sebagai pihak-pihak yang
terkait untuk mencapai tujuan penelitian. Kriteria yang menjadi pertimbangan yaitu
petani pemilik lahan yang pernah menerapkan program-program pemerintah dalam
meningkatkan produktivitas padi sawahnya. Responden merupakan kepala keluarga
sebagai perwakilan dari rumah tangga yang terpilih sebagai sampel dari desa terpilih
yang diambil sebanyak 15 orang.
Prosedur penentuan yang digunakan untuk responden key person adalah non-
probability sampling dengan metode purposive sampling. Metode tersebut
digunakan karena sampel memang sengaja dipilih untuk menjadi seorang key
person dengan kriteria responden yang terkait, memahami dan terlibat dengan
program kegiatan peningkatan produktivitas padi sawah di Maluku Utara. Jumlah
responden untuk key person adalah sebanyak 15 perwakilan stake holders (Dinas
Pertanian, Dinas pangan, BPP), LSM terkait bidang pertanian, pihak akademisi
(Unkhair), Bank Indonesia dan ASOSIASI Pedagang (Bulog).
Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian adalah
sebagai berikut:
1) Deskwork study mengumpulkan semua referensi dan laporan yang relevan yang
ada di BPTP Maluku Utara, Balai Penelitian, Litbang Pertanian, BBP2TP, Dinas
Pertanian Maluku Utara, PT dan lainnya.
2) Partisipatif bersama-sama dalam penentuan prioritas program, sasaran dan
indikator penelitian dan langkah strategis kombinasi antara top down dan bottom
up approach dengan cara pendekatan Focus Group Discussion (FGD).
26
3) Diskusi dan wawancara dengan para pakar dan penentu kebijakan dari
stakeholders/eksternal dari pihak luar yang relevan baik dari dinas terkait,
Universitas dan swasta.
4) Survey.
Alat analisis yang digunakan merupakan kombinasi dari analisis kebijakan
dengan landasan dasar analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat),
yang merupakan analisis dalam penentuan kebijakan akhir yang digunakan dalam
menyusun langkah strategi pelaksanaannya.
Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui survey, observasi dan wawancara dengan
responden sasaran maupun stakeholder lainnya. Data primer tersebut meliputi,
keragaan usahatani, adopsi dan dampak teknologi. Adopsi teknologi dihitung
berdasarkan nilai skor dari masing-masing rakitan teknologi Badan Litbang Pertanian.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rangkaian
waktu (time series), yaitu data dari tahun ke tahun sesuai dengan ketersediaan data
untuk tiap tahun yang diteliti. Data yang dibutuhkan antara lain data produksi
pertanian, luas lahan, konsumsi, harga, jumlah petani, dan lain-lain yang diperoleh
dari BPS, lembaga/instansi di daerah penelitian, kajian pustaka serta sumber lain yang
mendukung.
Jumlah responden masing-masing kabupaten adalah sebanyak 30 petani.
Petani responden dikelompokkan menjadi dua, yaitu petani pengguna teknologi
Badan Litbang Pertanian dan petani non pengguna. Petani pengguna yang dimaksud
dalam hal ini adalah petani yang telah dibina oleh peneliti dan penyuluh Badan
Litbang Pertanian melalui berbagai program yang berkaitan dengan PTT Padi Sawah.
Sebaliknya petani non pengguna adalah petani yang belum dibina oleh peneliti dan
penyuluh BPTP Maluku Utara.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei yang dilakukan bulan Juli
– September 2017. Jumlah petani adopter dihitung dari jumlah petani pengguna
maupun petani non pengguna dikalikan dengan tingkat adopsi teknologi di suatu
wilayah. Sedangkan luas areal adopsi teknologi dihitung dari jumlah petani pengguna
27
dikalikan dengan rata-rata luas garapan usahatani dari komoditas yang bersangkutan.
Sedangkan, dampak teknologi padi sawah dievaluasi dari tingkat penerapan teknologi
anjuran dengan cara membandingkan petani pengguna dengan petani non pengguna
(kontrol).
Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis
kuantitaif. Analisis deskriptif adalah suatu metode untuk meneliti status kelompok
manusia, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara otomatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki. Dalam penelitian, analisis
ditujukan untuk menguji hipotesis-hipotesis dan mengadakan interpretasi yang lebih
dalam tentang hubungan-hubungan. Hasil akhirnya berupa gambaran lengkap
permasalahan yang disajikan dalam bentuk tabel-tabel data dan variabel yang
dianalisis baik secara kualitatif dan kuantitatif (Nazir, 2009).
Analisis kuantittatif data menggunakan analisis regresi berganda untuk
menganalisis faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi
pertanian. Bentuk umum dari model regresi berganda adalah:
Y = bo + b1X1 + b2X2 + ... + bnXn + Ɛ
Dimana:
Y = Peubah respons Xn = Peubah penjelas n = 1, 2, .... (banyaknya data) bo = nilai konstanta bn = koefisien regresi untuk peubah ke-n Ɛ = random error
Untuk mempelajari faktor–faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi sistem
usahatani padi digunakan dengan model logit (Pyndeck dan Rubinfield, 1998).
28
dimana :
Zi: bernilai satu bagi petani yang menggunakan teknologi Badan Litbang Pertanian dan nilai noluntuk yang tidak menggunakannya
X1: biaya produksi usahatani selama satu musim meliputi pengeluaran untuk benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja, (dalam ribuan rupiah)
X2 : curahan tenaga kerja yang dikeluarkan dalam satu kali proses produksi yang dinyatakan dalam HKSP (hari orang kerja setara pria)
X3: luas pemilikan lahan usahatani (dalam hektar)
X 4: tingkat pendidikan (dalam tahun)
X 5: lama pengalaman petani dalam usahatani padi (dalam tahun)
X 6: pendapatan atau keuntungan yang diperoleh petani dinyatakan (dalam rupiah)
d1 : jarak tanam cara jajar legowo (nilai satu bagi petani yang menggunakan jarak tanamcara jajar legowo dan nol bagi yang tidak menggunakannya)
d2 : varietas unggul baru (VUB) Badan Litbang Pertanian (nilai satu bagi petani yang menggunakan VUB dan nol bagi yang tidak)
d3 : penggunaan benih sesuai kebutuhan luasan lahan (nilai satu bagi petani yang menggunakan benih sesuai kebutuhan luasan lahan dan nol bagi yang tidak
d4 : penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi (nilai satu bagi petani yang menggunakan pupuk berimbang spesifik lokasi dan nol bagi yang tidak)
e i : faktor sisa
Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskritif yang
selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel-tabel. Adopsi teknologi dianalisis dengan
menggunakan skoring berdasarkan bobot skor dan persentase dari masing-masing
komponen teknologi yang diterapkan petani.
dimana:
P = Persentase petani yang menerapkan komponen teknologi
BS = Bobot skor.
Σ BS = Total bobot skor
29
Selanjutnya data diolah dengan menggunakan statistik. Untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan tingkat adopsi inovasi dalam kegiatan usahatani antara berbagai
spesifik sosiobudaya petani yang diteliti di-gunakan Uji Dua Sampel Bebas Mann-
Whitney, sedangkan untuk mengetahui hubungan antara peubah-peubah yang
diteliti dengan tingkat adopsi inovasi dalam kegiatan usahatani digunakan Korelasi
Kendall Tau-b. Penghitungan Uji Dua Sampel Bebas Mann-Whitney dan
Korelasi Kendall Tau-b dilakukan melalui bantuan komputer dengan program SPSS
17.0.
Alternatif kebijakan untuk menentukan program kegiatan yang dalam
peningkatan produktivitas padi sawah di Maluku Utara dianalisis dengan menggunakan
Multi Criteria Decision Making (MCDM) dengan metode Technique for Order Preference
by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS). Data dalam penelitian ini akan diolah dengan
menggunakan software sanna untuk analisis kebijakan.
Dalam penelitian ini multi criteria decision making (MCDM) digunakansebagai
rekomendasi pengambilan keputusan bagi pemerintah dari alternatif kebijakan untuk
meminimalkan dampak negatif terhadap petani akibat alih fungsi lahan pertanian
menjadi BIJB. Di mana pendekatan multi kriteria ini digunakan terkait banyak aspek
yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang akan dibuat di antaranya aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan.
Masalah dengan berbagai kriteria tersebut dapat diselesaikan dengan
menggunakan metode Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution
(TOPSIS) yaitu memilih alternatif yang paling mendekati dengan solusi ideal
(Kusumadewi, 2006). Perhitungan untuk pengambilan keputusan metode TOPSIS
dilakukan dengan menggunakan Software Sanna dalam proses analisa.
Langkah-langkah yang digunakan dalam menggunakan pendekatan TOPSIS
adalah sebagai berikut (Wang, 2009) :
1) Membangun matriks keputusan
Asumsikan terdapat sejumlah m alternatif 𝐴𝑖(𝑖 = 1,2, …, 𝑚) yang akan dievaluasi
terhadap sejumlah n kriteria 𝐶𝑗(𝑗 = 1,2, …, 𝑛). Matrik MCDM yang digunakan dalam
analisa kebijakan ditampilkan dalam Tabel 3.
30
Tabel 3. Matrik MCDM Model Analisis Keberhasilan Program Peningkatan Produktivitas Padi Sawah di Maluku Utara
ALTERNATIF
KRITERIA
TEKNIS EKONOMI SOSIAL LINGKUNGAN
BLS JB UJB BO ST PU PHT PI C Y P I TK PP PK BD KT KA E
PTT Padi
SRI
Model Hazton
Padi Hibrida
Konvensional
Keterangan :
BLS = Benih VUB berlabel dan bersertifikat JB = Jumlah benih yang digunakan per ha (kg/ha) UJB = Umur dan jumlah bibit per lubang tanam BO = Bahan organik (kg/ha) ST = Sistem dan cara tanam yang digunakan PU = Penggunaan pupuk untuk tanaman per ha (kg/ha) PHT = Cara pengelolaan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman PI = Pengairan yang dilakukan C = Biaya yang dikeluarkan untuk produksi per ha (Rp/ha) Y = Hasil produksi gabah per ha (kg/ha GKG) P = Harga jual gabah (Rp/kg GKG) I = Pendapatan yang dihasilkan dari usahatani padi sawah per ha (Rp/ha) TK = Jumlah tenaga kerja yang diserap dalam kegiatan per musim tanam (orang/ha) PP = Respon petani terhadap teknologi yang diterapkan PK = Respon konsumen (masyarakat) terhadap kualitas gabah atau beras yang dihasilkan BDY = Kesesuaian program kegiatan dengan budaya masyarakat petani KT = Dampak penggunaan bahan-bahan terhadap kondisi tanah KA = Dampak penggunaan bahan-bahan terhadap kondisi air E CH4 = Jumlah emisi yang dihasilkan per ha tanaman (Kg/ha)
Terdapat lima alternatif yang ditawarkan dalam penerapan program peningkatan
produksi padi sawah di Maluku Utara. Adapun alternatif tersebut adalah :
a) Alternatif ke-1 : PTT padi sawah
Pengelolaan tnaman dan sumber daya terpadu (PTT) adalah suatu
pendekatan yang mengelola berbagai komponen teknologi secara sinergis dalam
suatu paket teknologi dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
input dan produktivitas hasil. Komponen dasar terdiri atas pemilihan benih VUB,
berlabel, dan bersertifikat; penggunaan bahan organik, sistem tanam jajar legowo,
pemupukan spesifik lokasi, dan pengendalian hama penyakit secara terpadu.
Komponen pilihan meliputi pengunaan bibit muda (<21 HSS) dan jumlah
bibit per lubang tanam 2-3 bibit serta pengairan intermitten. Hasil penelitian di 22
Povinsi menunjukkan bahwa penerapan model PTT dapat meingkatkan hasil gabah
31
sebesar 18 % atau sekitar 1 ton/ha, sehingga lebih layak dan menguntungkan
dibanding non-PTT.
b) Alternatif ke-2 : SRI (System of Rice Intensifications)
SRI (System of Rice Intensification / Sistem intensifikasi padi) adalah suatu
pendekatan agro-ekologi untuk meningkatkan produktivitas sawah irigasi dengan
mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan nutrisi. Secara signifikan SRI
mengurangi populasi tanaman, memperbaiki kondisi tanah dan metode irigasi
untuk pengembangan akar dan tanaman. Secara praktis langkah-langkah SRI
dijabarkan sebagai berikut :
1) Tanaman padi: Transplantasi bibit sangat muda dengan hati-hati dan cepat,
dan sendiri, dan beri ruang secara luas dalam pola kotak persegi.
2) Tanah: Jaga lembab tapi dikeringkan dengan baik dengan struktur dan bahan
organik yang baik.
3) Kondisi Air: Minimalis air untuk menjaga agar tanah tetap lembab namun
terkuras.
4) Nutrisi: Meningkatkan nutrisi tanah diutamakan dengan kompos.
5) Pengendalian Gulma: Lakukan penyiangan awal dan teratur, dengan
menggunakan kontrol gulma tangan atau mekanis dan memasukkan gulma
ke dalam tanah.
6) Kebutuhan tambahan hara : berdasarkan hasil analisis dari penggunaan alat
Bagan Warna Daun (BWD).
c) Alternatif ke-3 : Model Teknologi Hazton
Teknologi budidaya Hazton pada tanaman padi merupakan teknologi
budidaya padi dengan menggunakan bibit tua 25-30 hari setelah semai dengan
jumlah bibit 20-30 batang/lubang tanam. Komponen yang lain kurang lebih sama
dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi. Inisiasi teknologi ini sebagai
salah satu bentuk partisipasi dalam rangka meningkatkan produktivitas padi di
Indonesia. Hasil ujicoba teknologi Hazton memberikan produktivitas yang
beragam, berkisar antara 4-9 ton/ha, termasuk yang dihasilkan dari ujicoba dalam
rangka verifikasi di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), di Sukamandi.
32
Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa teknologi Hazton ini besifat spesifik
lokasi. Pada daerah endemik keongmas, pada saat tanam drainase sulit, dan
problem keracunan besi maka penerapan teknologi Hazton berpeluang sebagai
salah satu solusi.
d) Alternatif ke-4 : Penggunaan Benih Hibrida
Pengembangan varietas padi hibrida secara komersial setidaknya
didasarkan atas dua hal, yaitu keunggulan varietas hibrida tersebut dan
kemudahan produksi benihnya. Keunggulan varietas padi hibrida didasarkan atas
fenomena heterosis yang diharapkan muncul, terutama potensi hasil, sedangkan
kemudahan produksi benih dapat dilakukan dengan penggunaan galur mandul
jantan dengan karakter pembungaan yang mendukung persilangan alami.
Di lingkungan yang sesuai, varietas-varietas padi Hibrida mampu
menghasilkan gabah 1,0-1,5 t/ha lebih tinggi dibanding varietas inbrida terbaik di
daerah yang bersangkutan. Pada umumnya varietas padi hibrida yang sudah
dilepas termasuk 25 varietas padi hibrida swasta masih mempunyai kelemahan,
antara lain rentan terhadap wereng coklat, hawar daun bakteri, dan atau tungro.
e) Alternatif ke-5 : Konvensional
Eksisting Teknologi adalah kondisi teknologi sederhana yang nyata
diterapkan oleh petani atau dengan kata lain petani belum menerapkan inovasi
teknologi terbaru. Pada penelitian ini, berarti petani belum menerapkan PTT dan
atau SRI.
Adapun kriteria dan sub kriteria yang digunakan dalam analisa kebijakan
yang akan diterapkan untuk menganalisis program peningkatan produktivitas padi
sawah ditampilkan dalam Tabel 4.
Penilaian subjektif dihasilkan dari para pembuat kebijakan (decision maker)
dalam penentuan vektor bobot 𝑊= (𝑤1, 𝑤2, …, 𝑤𝑗). Bobot vektor (W)
merepresentasikan kepentingan relatif dari n kriteria 𝐶𝑗 (𝑗 =1,2, …, 𝑛) dalam
penentuan keputusan. Matriks keputusan dapat ditampilkan dalam sajian berikut:
33
𝐷 =
𝐴1
𝐴2
𝐴3
⋮𝐴𝑚 [
𝑋11
𝑋21
𝑋31
⋮𝑋𝑚1
𝑋12
𝑋22
𝑋32
⋮𝑋𝑚2
𝑋13
𝑋23
𝑋33
⋮𝑋𝑚3
𝑋1𝑛
𝑋2𝑛
𝑋3𝑛
⋮𝑋𝑚𝑛]
Tabel 4 Kriteria dan sub kriteria alternatif kebijakan peningkatan produktivias padi sawah di Maluku Utara
Kriteria Sub kriteria Keterangan Satuan
Teknis Benih VUB berlabel
dan bersertifikat (BLS)
Penggunaan benih VUB dalam
kegiatan yang dilaksanakan
Skala
likert
Jumlah benih (JB) Penggunaan jumlah bibit yang ditanam
pada kegiatan yang dilaksanakan per ha
Kg/ha
Umur dan jumlah
bibit/ lubang tanam (UJB)
Umur bibit dipesemaian dan berapa
jumlah bibit yang digunakan per lubang tanam
Bibit/
lubang tanam
Bahan organik (BO) Jumlah bahan organik yang digunakan
untuk kegiatan.
Ton/ ha
Sistem tanam (ST) Sistem dan cara tanam dalam
pelaksanaan kegiatan
Skala
likert
Pemupukan spesifik lokasi (PUP)
Jumlah pupuk yang digunakan Kg/ha
Pengendalian hama
terpadu (PHT)
Cara dalam pengendalian hama dan
penyakit tanaman yang dilakukan
Skala
likert
Pengairan (PI) Cara dan pola pengairan yang biasa dilakukan dalam pertanaman
Skala likert
Ekonomi Cost (C) Jumlah biaya yang dikeluarkan dalam
produksi padi per ha Rp/ha
Yield (Y) Jumlah produksi gabah kering giling
(GKG) yang dihasilkan Ton/ha
Price (P) Harga jual gabah kering giling (GKG) Rp/kg
Income (I) Jumlah pendapatan yang diterima dari
usahatani padi per ha Rp/ha
Sosial Tenaga kerja (TK) Jumlah tenaga kerja yang diserap
selama satu musim tanam
Orang/ha
Persepsi petani (PP) Respon petani terhadap teknologi yang diterapkan
Skala likert
K1 K2 K3 .... Kn
W1 W2 W3 ... Wn Bobot
Kriteria
Alternatif
34
Persepsi konsumen (PK)
Respon konsumen (masyarakat) terhadap kualitas gabah atau beras
yang dihasilkan
Skala likert
Budaya (BDY) Kesesuaian program kegiatan dengan budaya masyarakat petani
Skala likert
Lingkungan Kondisi tanah (KT) Dampak penggunaan bahan-bahan terhadap kondisi tanah
Skala likert
Kondisi air (KA) Dampak penggunaan bahan-bahan
terhadap kondisi air
Skala
likert
Emisi CH4 (E CH4) Jumlah emisi CH4 yang dihasilkan per ha tanaman
Kg/ha
2) Menghitung matriks keputusan ternormalisasi
Nilai proyeksi dari masing-masing kriteria dapat dihasilkan dari perhitungan
matriks keputusan yang telah dinormaliasasi. Persamaan yang digunakan dalam
menghitung matriks keputusan ternormalisasi adalah sebagai berikut;
𝑛𝑖𝑗 =𝑋𝑖𝑗
√∑ 𝑋𝑖𝑗2𝑚
𝑖
; 𝑖 = 1, . . , 𝑚; 𝑗 = 1, . . , 𝑛
3) Menghitungmatriks keputusan normal terbobot
Perhitungan matriks keputusan normal terbobot (𝑉𝑖𝑗 ) menggunakan
persamaan sebagai berikut;
𝑉𝑖𝑗 = 𝑊𝑗𝑛𝑖𝑗; 𝑖 = 1, . . , 𝑚; 𝑗 = 1, . . , 𝑛
di mana 𝑤𝑗 adalah bobot dari kriteria ke-j dan jumlah dari bobot keseluruhan
adalah 1
(∑ 𝑊𝑗 = 1𝑛
𝑗=1)
4) Penentuan solusi ideal positif (𝑨+) dan solusi ideal negatif (𝑨−)
Perhitungan jarak solusi ideal positif (𝐴+) dan solusi ideal negatif (𝐴−)
menggunakan persamaan sebagai berikut :
𝐴+ = {𝑉1+, . . , 𝑉𝑛
+} = {(𝑚𝑎𝑥𝑗𝑉𝑖𝑗, 𝑖 𝜖 𝐼)|(𝑚𝑖𝑛𝑗𝑉𝑖𝑗, 𝑖 𝜖 𝐽)}
𝐴− = {𝑉1−, . . , 𝑉𝑛
−} = {(𝑚𝑖𝑛𝑗𝑉𝑖𝑗, 𝑖 𝜖 𝐽)|(𝑚𝑎𝑥𝑗𝑉𝑖𝑗, 𝑖 𝜖 𝐼)} ......... (5)
................... (1)
...................... (2)
...................................... (3)
......... (4)
35
di mana 𝑉𝑖+menandakan nilai maksimum dari Vij dan 𝑉𝑖
− merupakan nilai minimum
dari Vij. I adalah terkait dengan kriteria manfaat dan J diasosiasikan dengan
kriteria biaya.
5) Penentuan jarak solusi ideal positif dan solusi ideal negatif
Perhitungan yang digunakan untuk mendapatkan solusi ideal positif dengan
persamaan sebagai berikut :
𝑑𝑖+ = {∑ (𝑉𝑖𝑗 − 𝑉𝑗
+)2𝑛
𝑗=1}
1
2
, 𝑖 = 1, . . , 𝑚
Serupa dengan solusi positif, pemisahan dari solusi ideal negatif dituliskan dalam
persamaan berikut :
𝑑𝑖− = {∑ (𝑉𝑖𝑗 − 𝑉𝑗
−)2𝑛
𝑗=1}
1
2
, 𝑖 = 1, . . , 𝑚
6) Penentuan koefisien terdekat (closeness coeficient)(𝐶𝑖).
Perhitungan koefisien terdekat merupakan langkah yang dipakai untuk
merangking tiap-tiap alternaltif. Perhitungan 𝐶𝑖 dituliskan dalam persamaan
berikut;
𝐶𝑖 = 𝑑𝑖
−
(𝑑𝑖+ + 𝑑𝑖
−); 𝑖 = 1, . . , 𝑚
Di mana 𝐶𝑖 merupakan nilai akhir dari sebuah alternatif dalam perhitungan
dengan menggunakan pendekatan TOPSIS.
7) Penentuan urutan
Urutan terhadap nilai ditujukan untuk mendapatkan solusi terbaik dari
alternatif kebijakan program peningkatan produktivitas padi sawah di Maluku
Utara. Alternatif dengan nilai koefisien terdekat (𝐶𝑖) tertinggi merupakan pilihan
yang terbaik.
.................. (6)
.................. (7)
............................... (8)
36
V. Alternatif terbaik program
peningkatan produktivitas padi
sawah di maluku utara
erbagai program peningkatan produksi padi telah dilakukan sejak 1966
seperti BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRAINSUS, dan P2BN. Selain itu
Balitbangtan juga telah mengkaji terap program SLPTT dan SRI. Semua
program tersebut telah mendukung upaya peningkatan produktivitas padi
nasional.
Peningkatan produktivitas padi telah dicanangkan oleh pemerintah untuk
peningkatan produksi dengan target capaian tertentu. Program ini harus
ditindaklanjuti oleh segala pihak termasuk pemerintah daerah dan stake holders yang
ada di daerah. Kondisi nyata yang terjadi di lapang saat ini, peningkatan produksi
seolah telah mendekati kemampuan maksimum tanaman.
Di Maluku Utara, program peningkatan produktivitas padi sawah juga dilakukan
dalam upaya pencapaian target produksi. Berdasarkan kondisi tersebut, BPTP Maluku
Utara, Dinas Pertanian dan stake holders telah banyak melakukan upaya yang
dilakukan dalam meningkatkan produktivitas tersebut.
Untuk itu, diperlukan manipulasi teknik budidaya padi sawah dalam rangka
mendongkrak produksi dalam jangka panjang. Beberapa teknik budidaya padi telah
dikenal dan diterapkan oleh petani di Maluku Utara, antara lain teknologi PTT, SRI,
Hazton maupun penggunaan benih padi hibrida.
Adanyaprogram-program pemerintah terutama dari kementerian pertanian yang
dikenal dan telah dicoba oleh petani di Maluku Utara diharapkan dapat berdampak
pada peningkatan produktivitas padi sawah dan meningkatnya pendapatan petani.
Dalam hal ini, BPTP Maluku Utara melakukan kajian terhadap program-program
tersebut. Untuk itu, perlu adanya suatu kebijakan yang memperhitungkan berbagai
B
37
aspek seperti ekonomi, sosial dan lingkungan untuk menilai tingkat keberhasilan dari
program-program yang telah dilakukan tersebut sebagai bahan evaluasi.
Penelitian ini menampilkan analisis kebijakan dengan Multi Criteria Decision
Making (MCDM) sebagai rekomendasi pengambilan keputusan bagi pemerintah
terutama stake holders terkait dari alternatif kebijakan peningatan produktivitas padi
sawah di Maluku Utara. Analisis dilakukan sebagai bahan evaluasi terhadap program
kegiatan yang telah dilaksanakan dengan memperhitungkan berbagai macam kriteria.
Penjelasan mengenai kriteria dan sub kriteria yang digunakan dalam penelitian
ini dapat dilihat dalam Tabel 4. Proses pemilihan keputusan untuk menentukan
alternatif terbaik yang telah memperhitungkan kriteria ekonomi, sosial, dan lingkungan
didapatkan melalui langkah sebagai berikut;
1) Matriks keputusan
Dalam matriks keputusan ini, ditampilkan sebuah matriks yang telah disusun
dengan enam sub kriteria (𝐶𝑗 (𝑗= 1,2, … ,6)) yang merupakan komponen dari tiga
kriteria utama serta terdapat 3 alternaltif (𝐴𝑖(𝑖= 1,2,3)) yang akan ditentukan nilainya.
Penilaian oleh para pemangku kebijakan (stake holder) ditampilkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Penilaian pemangku kebijakan dalam penentuan bobot
Sub Kriteria
Bobot
Rata-rata
BPTP Dinas
Pertanian Dinas
Pangan Balit
bangda Unkhair
BI PPL Petani
Benih VUB berlabel dan bersertifikat (BLS)
8 9,33 7,67 8 4 8 7,40 8,50 0,05702
Jumlah benih (JB) 6 8,00 6,33 8 4 8 7,60 7,50 0,05190
Umur dan jumlah bibit/ lubang tanam (UJB)
6 6,33 5,67 7 4 9 7,20 7,00 0,04887
Bahan organik (BO)
8 6,33 6,67 9 4 9 7,20 6,33 0,05293
Sistem tanam (ST) 6 5,67 7,67 8 4 8 7,80 7,50 0,05115
Pemupukan spesifik lokasi (PUP)
8 7,33 8,00 7 3 8 8,00 8,33 0,05399
Pengendalian hama terpadu (PHT)
8 7,67 8,33 8 3 9 9,00 8,17 0,05727
Pengairan (PI) 7 8,33 6,33 8 4 7 8,80 8,83 0,05458
38
Cost (C) 9 9,00 9,00 7 9 7 8,40 8,50 0,06263
Yield (Y) 8 7,33 9,00 8 9 8 9,20 9,00 0,06323
Price (P) 7 6,67 8,00 7 6 8 6,60 7,00 0,05268
Income (I) 9 8,67 8,67 7 9 8 9,00 9,17 0,06413
Tenaga kerja (TK) 8 7,33 6,33 7 5 8 7,00 8,00 0,05305
Persepsi petani (PP)
5 8,00 6,00 8 3 9 7,40 6,83 0,04984
Persepsi konsumen (PK)
5 6,67 6,33 8 1 8 6,80 7,33 0,04600
Budaya (BDY) 5 7,00 6,00 7 3 7 7,20 7,50 0,04653
Kondisi tanah (KT) 7 7,00 6,67 8 3 3 7,00 8,00 0,04650
Kondisi air (KA) 7 6,67 6,00 7 3 2 8,80 8,33 0,04569
Emisi CH4 (E CH4) 7 6,00 6,00 7 2 2 7,20 7,67 0,04201
Sumber : Data primer (diolah) 2017
Pemangku kebijakan terdiri atas sektor pemerintah yang diwakili Dinas BPTP,
Pertanian, Dinas Pangan, Balitbangda, (BP4K) dan Dinas Pertanian, akademisi
(Faperta Unkhair), Bank Indonesia (BI), dan tokoh masyarakat (PPL dan Petani).
Masing-masing dari pemangku kebijakan memberikan penilaian bobot terhadap
masing-masing sub kriteria. Nilai yang diberikan dari stake holder diambil dari rata-
rata dengan mengikuti panduan yang telah disediakan. Nilai bobot rata-rata dari
seluruh pemangku kebijakan yang akan dijadikan acuan dalam perhitungan TOPSIS.
Analisis pembobotan dalam Tabel 4 menunjukkan kriteria pendapatan
mempunyai bobot paling tinggi di antara kriteria lainnya. Ketika isu lingkungan
menjadi penting, ternyata dalam kriteria penilaian dari pemangku kebijakan yang
meliputi pendapatan, produksi, dan biaya masih tetap menjadi prioritas dan lebih
penting sekitar 2 kali dibandingkan dengan kriteria lingkungan. Hal ini menjadi
gambaran bahwa isu untuk lebih peduli pada lingkungan masih sulit diwujudkan.
Tampilan matriks keputusan dari pemilihan alternatif terbaik disajikan dalam Tabel 5.
2) Menghitung matriks keputusan ternormalisasi
Agar mendapatkan skala yang sama dilakukan transformasi nilai menggunakan
persamaan 1. Perhitungan untuk matriks keputusan yang telah dinormalisasi
menggunakan Software Sanna dalam proses analisa. Terlihat perubahan pada
nominal-nominal angka yang terdapat dalam kolom dari setiap kriteria yang
digunakan. Hasil yang didapatkan tersebut disajikan dalam Tabel 6.
39
3) Matriks keputusan normal terbobot
Bobot yang telah ditentukan dari hasil wawancara dengan para keyperson
mengalami perubahan menjadi nilai yang ideal berdasarkan hasil perhitungan sesuai
persamaan 2 dan 3. Nilai-nilai yang terdapat dalam kolom pada tabel tersebut
memperlihatkan nilai yang sudah ternormalisasi di antara masing-masing kriteria. Hasil
perhitungan untuk matriks normal terbobot ditampilkan dalam Tabel 7.
4) Penentuan solusi dan jarak solusi ideal positif, serta solusi ideal negatif
Dalam MCDM, Solusi ideal positif memaksimalkan kriteria manfaat dan
meminimalkan kriteria biaya, sedangkan solusi ideal negatif memaksimalkan kriteria
biaya dan meminimalkan kriteria manfaat. Hasil perhitungan untuk menentukan solusi
dan jarak solusi dengan menggunakan program Sanna ditampilkan dalam Tabel 8.
Tabel 8 memperlihatkan nilai solusi positif untuk Model PTT 0,057 dan solusi ideal
negatif sebesar 0,077. Nilai tersebut mencerminkan angka-angka Model PTT dalam
alternatif mendekati solusi ideal jika dibandingkan dengan Model Hazton, SRI, Padi
Hibrida, dan konvensional. Selain itu, model PTT memiliki jarak terjauh dari solusi
ideal negatif dibandingkan alternatif yang lainnya.
40
Tabel 5 Matrik Keputusan
Alternatif
Kriteria
Teknis Ekonomi Sosial Lingkungan
BLS JB BO ST PUP PHT UJB PI C Y P I TK PP PK BDY KT Air E CH4
PTT 3 3 3 2 4 340,4 3 4 9200 5,2 4900 1000 105 2 3 3 1 1 78,3
SRI 2 2 2 2 3 135,3 2 3 8300 2,9 4900 100 88 1 2 2 2 1 60,8
Model Hazton 2 1 1 1 3 335,5 2 2 8700 3,5 4900 1200 75 1 2 2 1 1 80,3
Padi Hibrida 3 2 2 1 3 276,8 2 2 9000 4,2 4900 800 75 1 2 2 1 1 90,6
Konvensional 1 1 1 1 3 253,2 2 1 7600 3,2 4900 600 78 2 2 2 2 1 282,9
Bobot (W) 0,0570 0,0519 0,0489 0,0529 0,0512 0,0540 0,0573 0,0546 0,0626 0,0632 0,0527 0,0641 0,0531 0,0498 0,0460 0,0465 0,0465 0,0457 0,0420
Sumber : Data primer (diolah) 2017
41
Tabel 6 Matriks keputusan ternormalisasi
MAX MAX MAX MAX MIN MAX MAX MAX MIN MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MIN MIN MIN
Alternatif BLS JB UJB BO ST PUP PHT PI C Y P I TK PP PK BDY KT KA E CH4
Model PTT 3 3 3 2 4 340,4 3 4 9200 5,2 4900 1000 105 2 3 3 1 1 78,3
Model SRI 2 2 2 2 3 135,3 2 3 8300 2,9 4900 100 88 1 2 2 2 1 60,8
Model Hazston 2 1 1 1 3 335,5 2 2 8700 3,5 4900 1200 75 1 2 2 1 1 80,3
Padi Hibrida 3 2 2 1 3 276,8 2 2 9000 4,2 4900 800 75 1 2 2 1 1 90,6
Konvensional 1 1 1 1 3 253,2 2 1 7600 3,2 4900 600 78 2 2 2 2 1 282,9
Bobot 0,057 0,051 0,047 0,048 0,051 0,055 0,058 0,057 0,061 0,062 0,05 0,063 0,051 0,049 0,047 0,048 0,049 0,051 0,046
Sumber : Data primer (diolah) 2017
42
Tabel 7 Matrik keputusan normal terbobot
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
Alternatif BLS JB UJB BO ST PUP PHT PI C Y P I TK PP PK BDY KT KA E CH4
Model PTT 0,57735 0,68825 0,68825 0,60302 0,00000 0,54686 0,60000 0,68599 0,00000 0,59814 0,44721 0,53838 0,55261 0,60302 0,60000 0,60000 0,57735 0,00000 0,49738
Model SRI 0,38490 0,45883 0,45883 0,60302 0,50000 0,21736 0,40000 0,51450 0,47044 0,33358 0,44721 0,05384 0,46314 0,30151 0,40000 0,40000 0,00000 0,00000 0,53992
Model Hazston 0,38490 0,22942 0,22942 0,30151 0,50000 0,53898 0,40000 0,34300 0,26135 0,40259 0,44721 0,64606 0,39472 0,30151 0,40000 0,40000 0,57735 0,00000 0,49251
Padi Hibrida 0,57735 0,45883 0,45883 0,30151 0,50000 0,44468 0,40000 0,34300 0,10454 0,48311 0,44721 0,43071 0,39472 0,30151 0,40000 0,40000 0,57735 0,00000 0,46748
Konvensional 0,19245 0,22942 0,22942 0,30151 0,50000 0,40677 0,40000 0,17150 0,83633 0,36805 0,44721 0,32303 0,41051 0,60302 0,40000 0,40000 0,00000 0,00000 0,00000
Bobot 0,05653 0,05146 0,04739 0,04841 0,05078 0,05484 0,05755 0,05653 0,06060 0,06161 0,04976 0,06263 0,05145 0,04909 0,04706 0,04807 0,04909 0,05112 0,04604
Sumber : Data primer (diolah) 2017
43
Tabel 8 Jarak solusi ideal positif dan ideal negatif
MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX
Alternatif BLS JB UJB BO ST PUP PHT PI C Y P I TK PP PK BDY KT KA E CH4 di+ di- ci
Model PTT 0,03264 0,03541 0,03262 0,02919 0,00000 0,02999 0,03453 0,03878 0,00000 0,03685 0,02225 0,03372 0,02843 0,02960 0,02823 0,02884 0,02834 0,00000 0,02290 0,05712 0,07747 0,57562
Model SRI 0,02176 0,02361 0,02175 0,02919 0,02539 0,01192 0,02302 0,02909 0,02851 0,02055 0,02225 0,00337 0,02383 0,01480 0,01882 0,01923 0,00000 0,00000 0,02486 0,06547 0,05525 0,45767
Model Hazston 0,02176 0,01180 0,01087 0,01460 0,02539 0,02956 0,02302 0,01939 0,01584 0,02480 0,02225 0,04046 0,02031 0,01480 0,01882 0,01923 0,02834 0,00000 0,02268 0,06083 0,06426 0,51373
Padi Hibrida 0,03264 0,02361 0,02175 0,01460 0,02539 0,02439 0,02302 0,01939 0,00633 0,02977 0,02225 0,02697 0,02031 0,01480 0,01882 0,01923 0,02834 0,00000 0,02152 0,06071 0,05978 0,49612
Konvensional 0,01088 0,01180 0,01087 0,01460 0,02539 0,02231 0,02302 0,00970 0,05068 0,02268 0,02225 0,02023 0,02112 0,02960 0,01882 0,01923 0,00000 0,00000 0,00000 0,07085 0,06188 0,46621
Bobot 0,05653 0,05146 0,04740 0,04841 0,05078 0,05484 0,05755 0,05653 0,06060 0,06161 0,04976 0,06263 0,05145 0,04909 0,04706 0,04807 0,04909 0,05112 0,04604
Ideal 0,03264 0,03541 0,03262 0,02919 0,02539 0,02999 0,03453 0,03878 0,05068 0,03685 0,02225 0,04046 0,02843 0,02960 0,02823 0,02884 0,02834 0,00000 0,02486
Basal 0,01088 0,01180 0,02087 0,01460 0,00000 0,01192 0,02302 0,00970 0,00000 0,02055 0,02225 0,00337 0,02031 0,01480 0,01882 0,01923 0,00000 0,00000 0,00000
Sumber : Data primer (diolah) 2017
44
5) Koefisien terdekat dan penentuan urutan
Koefisien terdekat dihitung berdasarkan nilai preferensi pada
suatu alternatif yang merupakan perbandingan antara jarak
terhadap solusi ideal positif dan jarak terhadap solusi ideal negatif,
nilai preferensi alternatif di hitung dengan persamaan 8. Koefisien
ini merupakan nilai akhir yang menjadi patokan dalam
menentukan peringkat pada semua alternatif dengan menentukan
urutan terbaik dari alternatif yang tersedia. Hasil perhitungan
koefisien dari model yang dinilai untuk masing-masing alternatif
disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Nilai koefisien dari masing-masing alternatif
Ranking Alternative R.U.V
1 Model PTT 0,57562
2 Model Hazston 0,51373
3 Penggunaan Benih Padi Hibrida 0,49612
4 Konvensional 0,46621
5 Model SRI 0,45767
Sumber : Data primer (diolah) 2017
Alternatif terbaik adalah salah satu yang berjarak terpendek
terhadap solusi ideal positif dan berjarak terjauh dengan solusi
ideal negatif. Berdasarkan Tabel 9 nilai koefisien terdekat dari
45
Model PTT memiliki nilai tertinggi yaitu 0,576. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa Model PTT adalah alternatif yang terpilih
menjadi alternatif terbaik dari program produktivitas padi sawah di
Maluku Utara. Selanjutnya secara berurutan nilai koefisien hasil
analisis metode TOPSIS dari program peningkatan produktivitas
padi sawah di Maluku Utara adalah Model PTT, Model Hazton,
Benih padi hibrida, Konvesional, dan SRI.
Model PTT merupakan alternatif yang paling ideal untuk
meningkatkan produktivitas padi sawah di Maluku Utara. Hal
tersebut sesuai dengan prinsip pengelolaan tanaman dan sumber
daya terpadu (PTT) yang sangat relevan, karena pengelolaan
tanaman mempertimbangkan karakteristik lokasi. Pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) mengutamakan sinergisme
berbagai komponen teknologi dalam suatu paket teknologi agar
mampu meningkatkan efisiensi penggunaan input dan sekaligus
hasil panen.
Pendekatan PTT juga memperhitungkan keterpaduan
antara tanaman di satu pihak dan sumber daya yang ada di pihak
lain (Las et al. 1999). Hasil kajian BPTP Maluku Utara
menunjukkan bahwa penerapan model PTT dapat meningkatkan
produktivitas padi 0,54-2,46 t/ha dan meningkatkan pendapatan
petani Rp 1-3 juta/ha dibandingkan dengan teknologi kovensional
(Hidayat et al, 2012).
Model teknologi Hazton yang berarti hasil berton-ton
merupakan alternatif kedua yang bisa diterapkan oleh petani d
46
Maluku Utara dalam upaya meningkatkan produktivitas padi
sawahnya. Teknologi budidaya Hazton pada tanaman padi
merupakan teknologi budidaya padi dengan menggunakan bibit
tua 25-30 hari setelah semai dengan jumlah bibit 20-30
batang/lubang tanam.
Komponen yang lain kurang lebih sama dengan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi yang direkomendasikan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, sehingga
model ini mudah di adopsi oleh petani di Maluku Utara.
Hasil survei ke petani kooperator di lokasi sentra padi
sawah di Maluku Utara, penerapan model Hazton mampu
meningkatkan produktivitas padi sawah. Namun, peningkatan
produktivitas di lokasi uji terap Model Hazton tersebut cukup
bervariasi dan masih di bawah penerapan model PTT.
Hasil verifikasi di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB
Padi) di Sukamandi, ujicoba teknologi Hazton memberikan
produktivitas yang beragam, berkisar antara 4-9 ton/ha.
Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa teknologi Hazton ini
besifat spesifik lokasi. Pada daerah endemik keong mas, pada saat
tanam drainase sulit, dan problem keracunan besi maka
penerapan teknologi Hazton berpeluang sebagai salah satu solusi.
Alternatif program peningkatan produktivitas padi sawah
berikutnya adalah penggunaan benih padi hibrida. Menurut Ashari
dan Rusastra (2014), dalam konteks Indonesia, padi hibrida masih
menjadi komoditas yang relatif baru (inovasi), maka dalam
47
pengembangan memerlukan tahapan-tahapan yang terencana dan
proses sosialisasi yang matang. Massalisasi padi hibrida melalui
programdan hanya berorientasi pada target realisasi menyebabkan
ketidakefektifan baik dari sisi capaian output maupun anggaran.
Kondisi agroekosistem serta karakteristik petani baik aspek sosial,
ekonomi dan budaya menjadi faktor kunci bagi keberhasilan
pengembangan padi hibrida ke depan.
Pengembangan padi hibrida di Maluku Utara dalam
meningkatkan produktivitas padi juga masih belum maksimal. Hal
tersebut dikarenakan harga benih yang mahal; petani harus
membeli benih baru setiap tanam, karena benih hasil panen
sebelumnya tidak dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya;
tidak setiap galur atau varietas dapat dijadikan sebagai tetua padi
hibrida. Untuk tetua jantannya hanya terbatas pada galur atau
varietas yang mempunyai gen Rf atau yang termasuk restorer
saja; produksi benih rumit; dan Memerlukan areal penanaman
dengan syarat tumbuh tertentu.
Pola konvesional merupakan alternatif keempat hasil analisis
metode TOPSIS dalam meningkatkan produktivitas padi sawah di
Maluku Utara. Berdasarkan hasil survei petani masih suka
menerapkan pola konvesional. Hal tersebut disebabkan karena
usahatani padi sawah konvensional layak dan menguntungkan
untuk dilaksanakan secara ekonomi dan sesuai dengan kondisi
sosial budaya yang telah turun temurun dikembangkan oleh petani
di Maluku Utara.
48
Model system rice of intensifications (SRI) menjadi
alternatif terakhir untuk dikembangkan di Maluku Utara. Hal
tersebut didasarkan hasil survei terkait pengembangan usahatani
padi SRI di daerah sentra padi di Maluku Utara sampai saat ini
masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Hal ini
disebabkan oleh berbagaikendala yang antara lain meliputi
kerterbatasan modal petani, lambannya adopsi teknologi budidaya
padi sawah oleh petani, dan berbagai kendala sosial lainnya.
4.1. Tingkat Adopsi Teknologi PTT
Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) terdiri atas
2 komponen penting yang menjadi ciri khasnya, yaitu komponen
wajib dan komponen pilihan. Komponen wajib terdiri atas (1)
penggunaan benih dari varietas unggul baru Badan Litbang
Pertanian, (2) penggunaan benih bermutu dan berlabel, (3)
pemberian bahan organik pada tanah, (3) penanaman dengan
cara jajar legowo, (4) pemupukan secara spesifik lokasi
berdasarkan kebutuhan lahan, dan (5) pengendalian hama
penyakit secara terpadu (PHT).
Komponen pilihan terdiri atas (1) pengolahan tanah sesuai
rekomendari Kalender Tanam (Katam) dari Badan Litbang
Pertanian, (2) penggunaan bibit muda untuk penanaman (usia
kurang dari 21 HSS), (3) penanaman bibit per lubang sebanyak 1
– 3 batang, (4) manajemen pengairan secara intermitten, (5)
49
penyiangan secara mekanis, dan (6) panen dilakukan saat bulir
padi sudah masuk pada fase masak secara fisiologis.
Gambar 2. Komponen dan Tingkat Adopsi Teknologi PTT
Pengambilan data dari seluruh petani melalui Gapoktan/
Poktan di Maluku Utara menunjukkan tingkat adopsi pada
komponen PTT baik yang wajib maupun pilihan (Gambar 2).
Secara umumnya tingkat adopsi pada penggunaan metode PTT
tergolong berhasil, kecuali pada 3 komponen yang bukan wajib
(komponen pilihan), yaitu pada komponen, (1) penggunaan bibit
muda (<21 HSS), (2) penggunaan 1-3 bibit per rumpun, dan (3)
penyiangan mekanis.
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Varietas Unggul Baru
Benih bermutu/label
Bahan Organik
Jajar Legowo
Pemupukan
PHT
Olah Tanah
Bibit Muda
1-3 bibit per lubang
Pengairan Intermitten
Penyiangan mekanis
Panen tepat waktu
50
Tiga komponen wajib yang tertinggi diadopsi oleh petani
berturut-turut : pemupukan secara spesifik lokasi (90,6%),
penanaman dengan menggunakan teknik jajar legowo (88,3%),
dan penggunaan benih yang bermutu dan berlabel (77,6%).
Sedangkan, tiga komponen pilihan tertinggi diadopsi oleh petani
berturut-turut : panen tepat waktu pada fase masak fisiologis
(98,3%), pengolahan lahan sesuai kalender tanam (92,7%), dan
manajemen pengairan secara intermitten (79,8%).
Tiga komponen pilihan yang masih perlu diperhatikan
untuk ditingkatkan adalah penggunaan bibit muda untuk ditanam
(41,5%), penanaman sejumlah 1-3 bibit per lubang (28,6%), dan
penyiangan secara mekanis (33,7%). Tiga komponen tersebut
memang bukanlah yang wajib dilakukan dalam konsep PTT.
Petani memiliki alasan khusus untuk tidak menerapkan
ketiga komponen di atas. Petani menghindari penanaman bibit
muda (kurang dari 21 HSS) dan 1-3 bibit per lubang dengan
alasan untuk mengantisipasi kerugian akibat bibit banyak yang
mati atau tidak tumbuh sebagai akibat dari serangan hama seperti
penggerek batang, hama keong, atau hama lainnya.
Komponen penyiangan rumput secara mekanis kurang
diadopsi dengan kata lain petani lebih memilih pengendalian
gulma dengan penyemprotan secara kimiawi. Petani beralasan
bahwa penyiangan secara mekanis memerlukan waktu dan tenaga
kerja yang banyak, padahal tenaga kerja di wilayah ini susah
didapat.
51
VI. REKOMENDASI
KEBIJAKAN
erdasarkan analisis kebijakan yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa alternatif terbaik dalam peningkatan
produktivitas padi sawah di Maluku Utara adalah Model
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Secara berurutan
program terbaik terdiri atas Model PTT, Model Hazston, dan
Penggunaan padi hibrida, sehingga program tersebut dapat
direkomendasikan di Maluku Utara dalam upaya peningkatan
produksi padi sawah.
Program PTT perlu diterapkan seluas mungkin
dibandingkan dengan model lainnya. Pemerintah provinsi dan
kabupaten perlu mendukung petani dalam penerapan model PTT
pada padi sawah dengan berbagai kebijakan seperti bantuan,
insentif, dan pendampingan. Selain itu, stakeholder yang terkait
perlu berkoordinasi satu sama lainnya untuk pencapaian
peningkatan produksi padi sawah melalui model PTT.
Tingkat adopsi petani terhadap program PTT semakin
memperkuat hasil analisis kebijakan ini. Tingkat adopsi PTT yang
B
52
sudah tinggi (berhasil) pada sistem tanam jajar legowo,
pemupukan, pengairan intermitten, pengolahan tanah, serta
panen tepat waktu dan pascapanen yang cepat.
Secara umum model PTT dapat diterima dan diadopsi
petani, namun kegiatan penyuluhan perlu ditingkatkan, khususnya
pada komponen yang tingkat adopsi yang masih rendah. Tingkat
adopsi PTT yang masih rendah dan masih perlu perhatian adalah
pada komponen penggunaan 1-3 bibit per rumpun, penggunaan
bibit muda (<21 HSS), dan penyiangan mekanis.
53
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2004. Strategi peningkatan produksi kedelai sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mengurangi impor. Orasi Pengukuhan APU. Badan Litbang Pertanian. 50 hlm.
Ancok, D., 1997. Teknik Penyusunan skala pengukur. Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Azwar, S., 2000. Sikap manusia Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar
Yogyakarta. Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku Utara. 2011. Maluku Utara Dalam Angka
2011. [http://www.malukuutara.go.id,] BPS Maluku Utara. 2011. Maluku Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik.
Ternate. BPTP Maluku Utara. 2009. Laporan Tahunan BPTP Maluku Utara 2009. Maluku
Utara. Brahmantiyo, B., A. Hadiarto, Y. Hidayat, F. Lala, Y. Saleh, M. Assagaf, C.
Sugihono, H.B. Aji, H.P. Wardono. 2017. Laporan Tahunan Analisis Kebijakan Pertanian: Responsif dan Antisipatif terhadap Isu-isu yang Berkembang di Maluku Utara Tahun 2017. BPTP Maluku Utara. Maluku Utara.
Hardinsyah, Dodik Briawan, Retnaningsih, Tin Herawati dan Retno Wijaya, 2002.
Modul Ketahanan Pangan 03. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Pusat
Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Institut Pertanian Bogor dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanain.
Hasanuddin, T. 2005. Adopsi Inovasi Dalam Kegiatan Usahatani Pada Beberapa
Spesifik Sosiobudaya Petani Di Propinsi Lampung Jurnal Agrijati 1 (1), 22- 29.
Hutabarat, B. 2003. Prospect of feed Crop to Support The Livestock Revolution in
South Asia. Framework of study project. Dalam Prosiding Workshop di CGPRT feed Crops Supply /Demand and Potential /Constraints for their
Expansion in South Asia. CGPRT Bogor, Indonesia, 3-4 September. Kasryno, F. 2002. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
54
Lamug, C.B. and Z.B. Catalan. 1995. Participatory Rural Apparaisal of A Coastal Community: The process in Natipuan, Batangas, Philippines. ERMP Report No. 20. Univ. of the Philippines at Los Banos.
Mardikanto, 1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University
Press, Surakarta Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta. Nakajima, C. 1970. Subsistence and Comercial Family Farms : Theoretical Models
of Subjective Equilibrium, dalam Wharton Jr, C.R (ed) : Subsistence Agriculture and Economic Development. Aldine P.C. Chicago.
Nazir, M. 2009. Metode Penelitian. Cetakan Ketujuh. Ghalia Indonesia. Bogor. Pranadji, T. 2003. Otonomi daerah dan daya saing agribisnis: Pelajaran dari
Provinsi Lampung. Jurnal Analisis Kebijkan Pertanian, 1 (2): 152 – 166. Pyndeck, Rubert S. and Daniel L. Rubenield. 1998. Econometric Models and
EconometricForecasts. Mc Graw-Hill Book Company.National Book Store Philippines. p307-317;p319-323.
Santoso, P., A. Muhariyanto, B. Irianto. 2005. Kajian Adopsi Dan Dampak
Teknologi Sistem Usaha PertanianPadi-Udang Windu Di Lahan Sawah Tambak Kabupaten Lamongan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8 (2): 207-217.
Santoso, P., A. Suryadi, H. Subagiyo, Yuniarti. 2003. Kajian Adopsi Paket
Teknologi Sistem Usaha PertanianKedelai Di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 6 (1) : 50-63.
Saragih, F. H. 2012. Analisis Daya Saing Ekspor Minyak Sawit (CPO) Sumatera Utara Di Indonesia. Tesis. Program Studi Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sawit, M.H. 1994. Analisa Permintaan Pangan. Bukti Empiris Teori Rumah Tangga
Pertanian. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian BTPDAS Surakarta. Vol.XLII No.1: 99 -120
Sayaka, B. et al. 2005. Analisis pengembangan agroindustri berbasis pangan lokal
dalam meningkatkan keanekaragaman pangan dan pengembangan ekonomi pedesaan. Laporan Akhir. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor Sharma, A.N. dan V.K. Sharma. 1981. Element of Farm Management. Prentice
Hall of India Private. New Delhi - India.
55
Simatupang, P. 2003. Analisis kebijakan : Konsep dasar dan prosedur
pelaksanaan. Analisis Kebijakan Pertanian (Agricultural Policy Analysis), Vol. 1 (1) : 14 – 35.
Simatupang, P. Marwoto, dan D.K.S. Swastika. 2005. Pengembangan Kedelai dan
Kebijakan Penelitian di Indonesia. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan kedelai di Lahan Suboptimal, Balitkabi, Malang, 26 Juli 2005.
Singarimbun, Masri dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. PT. Pustaka
LP3ES Indonesia. Jakarta. Soekartawi. 2001. Agribisnis (Teori dan Aplikasinya).PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. Suryana, A. 2005. Kendala, Tantangan Dan Kebijakan Dalam Upaya Mewujudkan
Pemantapan Ketahanan Dan Kemandirian Pangan Nasional Ke Depan. Makalah Semiloka Nasional Bidang IPTEK, 12 Maret 2005: 131-154.
Suryana. 2009. Pengembangan Usaha ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis
dengan Pola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28 (1). Swastika, D.K.S. 2011. Membangun Kemandirian dan Kedaulatan Pangan untuk
Mengentaskan Petani dari Kemiskinan. Pengembangan Inovasi Pertanian. 4 (2):103-117.
Swastika, D.K.S. 2012. Teknologi Panen dan Pascapanen Padi : Kendala Adopsi
dan Kebijakan Strategi Pengembangan. Analisis Kebijakan Pertanian, 10 (4) : 331-346.
Swastika, D.K.S., M.O.A. Manikmas, B. Sayaka, dan k. Kariyasa. 2005. The Status and Prospect of feed Crops in Indonesia. CAPSAWorking Paper No. 81. UN ESCAP, Bogor, Indonesia.
Wahyunindyawati, F. Kasijadi F dan Heriyanto. 2003. Tingkat Adopsi Teknologi
Usahatani Padi Lahan Sawah Di Jawa Timur : Suatu Kajian Model Pengembangan “Cooperative Farming”. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 6 (1) : 40-49.
Wiriatmaja S. 1975. Pokok pokok Penyuluhan Pertanian. Yasaguna, Jakarta.