Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok...

33
Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 2014 GAMBARAN KASUS RABIES DAN GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DI WILAYAH KERJA BALAI VETERINER BUKITTINGGI TAHUN 2013 Rina Hartini, Martdeliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman ABSTRAK Rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh Virus rabies yang mematikan. Kejadian rabies dapat diketahui denga pemeriksaan laboratorium. Dari hasil pemeriksaan sampel otak di BPPV regional II Bukittinggi lebih dari 50% positif rabies dengan HPR yang paling sering adalah anjing. Sedangkan dari data yang dikumpulkan di Seksi Informasi Veteriner dengan Program Infolab dan pengolahan data dilakukan dengan dilakukan dengan Program excell. Hasilnya menunjukkan bahwa korban gigitan anjing rabies tinggi adalah kelompok umur 0-9 tahun dan sitergigit terbanyak berjenis kelamin laki-laki. Lokasi gigitan pada daerah kaki atau tubuh bagian bawahmerupakan lokasi gigitan yang paling banyak terjadi. Risiko manusia untuk kontak atau tergigit anjing akan meningkat sejalan dengan seberapa sering kontak atau interaksi dengan anjing. Dan diperlukan komitmen pemerintah dalam pengendalian dan pemberantasan rabies dan kewaspadaan masyarakat terhadap gigitan anjing rabies. Kata Kunci : Rabies, Sitergigit, Regional II Bukittinggi PENDAHULUAN Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus Rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Virus Rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan misalnya oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila. Sumber penularan penyakit rabies kepada manusia adalah anjing, dan hewan penular lainnya seperti kucing dan kera dapat tertular dari anjing. Hewan yang menderita rabies akan menjadi ganas, cenderung menyerang obyek yang bergerak yang dijumpainya atau bahkan akan menyerang manusia. Penularan penyakit rabies yang paling umum adalah melalui air liur dan 1

Transcript of Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok...

Page 1: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 2014

GAMBARAN KASUS RABIES DAN GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR)

DI WILAYAH KERJA BALAI VETERINER BUKITTINGGI TAHUN 2013

Rina Hartini, Martdeliza, Daniel Faizal, Erdi, Zurian Deby, Azfirman

ABSTRAK

Rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh Virus rabies yang mematikan. Kejadian rabies dapat diketahui denga pemeriksaan laboratorium. Dari hasil pemeriksaan sampel otak di BPPV regional II Bukittinggi lebih dari 50% positif rabies dengan HPR yang paling sering adalah anjing. Sedangkan dari data yang dikumpulkan di Seksi Informasi Veteriner dengan Program Infolab dan pengolahan data dilakukan dengan dilakukan dengan Program excell. Hasilnya menunjukkan bahwa korban gigitan anjing rabies tinggi adalah kelompok umur 0-9 tahun dan sitergigit terbanyak berjenis kelamin laki-laki. Lokasi gigitan pada daerah kaki atau tubuh bagian bawahmerupakan lokasi gigitan yang paling banyak terjadi. Risiko manusia untuk kontak atau tergigit anjing akan meningkat sejalan dengan seberapa sering kontak atau interaksi dengan anjing. Dan diperlukan komitmen pemerintah dalam pengendalian dan pemberantasan rabies dan kewaspadaan masyarakat terhadap gigitan anjing rabies.

Kata Kunci : Rabies, Sitergigit, Regional II Bukittinggi

PENDAHULUAN

Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus Rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Virus Rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan misalnya oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga penyakit anjing gila.

Sumber penularan penyakit rabies kepada manusia adalah anjing, dan hewan penular lainnya seperti kucing dan kera dapat tertular dari anjing. Hewan yang menderita rabies akan menjadi ganas, cenderung menyerang obyek yang bergerak yang dijumpainya atau bahkan akan menyerang manusia.

Penularan penyakit rabies yang paling umum adalah melalui air liur dan ditularkan melalui gigitan hewan yang

terserang. Namun penyakit rabiespun bisa dutularkan lewat non gigitan seperti

goresan selaput lendir atau luka terbuka yang telah terkontaminasi air lir yang mengandung virus rabies. Setelah terinfeksi, masa inkubasi terjadi bisa bervariasi sampai gejala timbul.

Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi penyakit Rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari-14 hari sedangkan pada manusia antara 2 Minggu sampai 1 tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi lamanya inkubasi antara

1

Page 2: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 2014

lain tergantung dari dalamnya gigitan, lokasi gigitan, jumlah luka gigitan dan jumlah virus yang masuk melalui gigitan.

Bila disebabkan oleh gigitan anjing, luka yang memiliki risiko tinggi meliputi infeksi pada mukosa, luka di atas daerah bahu (kepala, muka, leher), luka pada jari tangan atau kaki, luka pada kelamin, luka yang lebar atau dalam, dan luka yang banyak. Sedangkan luka dengan risiko rendah meliputi jilatan pada kulit yang luka, garukan atau lecet, serta luka kecil di sekitar tangan, badan, dan kaki.

Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi. Sampai sekarang Gold Standand pemeriksaan laboratorium terhadap adanya virus rabies adalah dengan uji antibodi fluoresensi langsung (Fluorescent Antibody Test/dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi.

Hewan ataupun manusia yang terserang umumnya mengalami kematian dengan gejala-gejala yang sangat mengerikan. Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu penyakit strategis di Indonesia yang harus mendapatkan prioritas dalam pengendalian dan pemberantasannya (Anonimus, 1988).

Wilayah Kerja BPPV Regional II khususnya Propinsi Sumatera Barat merupakan propinsi dengan tingkat kejadian Rabies termasuk tinggi di

Indonesia, dimana sebagian besar para penduduk memiliki anjing yang dipelihara dengan harapan anjing yang dipelihara sejak kecil itu bisa digunakan untuk keperluan berburu.

Tulisan berikut akan menggambarkan kejadian rabies di Wilayah Kerja BPPV Regional II Bukittinggi dan korban gigitan anjing rabies berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan lokasi gigitan.

MATERI DAN METODE

Materi

Analisa menggunakan sumber data sekunder dari Seksi Informasi Veteriner BPPV Regional II Bukittinggi yang didasarkan atas pengumpulan data penerimaan sampel rabies dan hasil pemeriksaan sampel rabies dilakukan di Laboratorium Virologi tahun 2012

Metode

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data Penerimaan spesimen di Seksi Informasi Veteriner dengan Program Infolab dan pengolahan data dilakukan dengan Program excell. Sedangkan untuk pemeriksaan sampel otak di laboratorium virologi dengan metode FAT rabies.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tabel 1. Jumlah sampel rabies tahun 2012

NoJenis Hasil FAT Rabies

Hewan Jumlah (+) (-)1 Anjing 146 119 272 Kera 4 0 43 Kucing 28 16 124 Monyet 1 0 1

2

Page 3: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 2014

5 Sapi 2 2 06 Tikus 1 0 17 Tupai 1 0 1

Jumlah 183 137 46

Tabel 2. Jumlah HPR positif rabies tahun 2012

No Hewan Jumlah1 Anjing 1182 Kucing 173 Sapi 2

Jumlah 137

Gambar 2.Persentase HPR positif rabies

tahun 2012

Tabel 3. Sitergigit HPR berdasarkan kelompok umur

No Umur Jumlah1 0-9 th 462 10-19 th 283 20-39 th 264 40-59 th 245 > 60 th 76 TD 6

Jumlah 137

Gambar 3. Persentase sitergigit HPR berdasarkan

kelompok umurTabel 4. Sitergigit berdasarkan jenis

kelamin No Kelamin Jumlah1 Pria 812 Wanita 473 TD 9

Jumlah 137

Gambar 4. Persentase Sitergigit berdasarkan

jenis kelamin

Tabel 5. Distribusi sebaran kasus gigitan berdasarkan letak luka

No BagianTergigit Jumlah1 Badan 112 Kaki 753 Tangan 464 Wajah 8

3

Page 4: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 2014

5 TD 7Jumlah 147

Gambar 5. Persentase distribusi sebaran

kasus gigitan berdasarkan letak lukaPembahasan

Berdasarkan jumlah sampel yang diterima BPPV Regional II Bukittinggi tahun 2012 terdapat sebanyak 183 sampel otak yang diperiksakan rabies, diperoleh hasil bahwa sebanyak 137 sampel positif rabies (75%). Sebagian besar asal sampel ini berasal dari Kab/Kota yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan BPPV. Diketahui bahwa tidak semua Hewan Penular Rabies (HPR) yang menggigit diperiksakan ke laboratorium. Salah satu faktor penyebabnya adalah akses dari rumah korban gigitan anjing ke laboratorium yang cukup jauh. lokasi wilayah kerja BPPV yang paling jauh bisa ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 12 jam.

Dari data penerimaan sampel rabies yang dikumpulkan oleh bagian Seksi Informasi Veteriner selama tahun 2012 dapat digambarkan bahwa jumlah HPR positif rabies sebanyak 137 HPR, HPR yang paling sering adalah anjing sebanyak 86%, kucing 12% dan sapi 2%.

Variabel yang selalu diperhatikan dalam epidemiologi adalah umur. Angka kesakitan maupun kematian hampir semua menunjukkan hubungan epidemiologi (Notoatmojo, 2007). Sitergigit rabies yang dikelompokkan

berdasarkan umur berdasarkan data dapat diketahui bahwa kasus rabies berdasarkan kelompok umur sitergigit kelompok umur 0-9 tahun 34%, kelompok umur 10-19 tahun 20%, kelompok umur 20-39 tahun 19%, kelompok umur 40-59 tahun 18%, kelompok umur > 60 tahun 5% dan Tidak ada data 4%. Dari data yang diperoleh bahwa sebagian besar kasus gigitan anjing rabies terjadi pada kelompok umur 0-9 tahun. Hal ini berarti bahwa kelompok umur 0-9 tahun memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena gigitan anjing rabies dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.

Berdasarkan data dari WHO 2005, menyebutkan bahwa anak-anak memiliki resiko yang tinggi pada rabies. 60-70% korban rabies adalah anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh anak-anak lebih sering menghabiskan waktu diluar rumah, kecendrungan anak bermain diluar rumah menjadi salah satu faktor risiko terjadinya gigitan anjing. Selain itu usia 0-9 tahun merupakan usia dimana anak mulai mengalami perkembangan aktif untuk bergerak. Anak-anak lebih cenderung lebih senang untuk bermain dan berintekrasi dengan hewan peliharaan seperti anjing sehingga sangat rentan untuk mendapat gigitan anjing baik anjing peliharaan maupun anjing liar.

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh febrianty dkk tahun 2011 di Kabupaten Tana Toraja yang menyebutkan bahwa kasus tertinggi gigitan anjing rabies pada kelompok umur 0-9 tahun. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Iffandi dkk, 2011 menggambarkan bahwa korban gigitan hewan pembawa rabies (anjing) yang paling banyak berumur 41-50 tahun. Umur 81-90 tahun merupakan umur yang paling sedikit tergigit oleh hewan pembawa rabies (anjing).

4

Page 5: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 2014

Sitergigit berdasarkan jenis kelamin diperoleh hasil bahwa laki-laki yang tergigit oleh Hewan penular rabies sebanyak 59%, wanita 35 % dan tidak ada data 7 %. Hal ini bebarti bahwa laki-laki memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena gigitan anjing rabies dibandingkan dengan wanita. Hal ini mungkin disebabkan oleh laki-laki lebih sering mengurus anjing dari pada wanita. Risiko manusia untuk kontak atau tergigit anjing akan meningkat sejalan dengan seberapa sering kontak atau interaksi dengan anjing.

Masa inkubasi virus rabies akan sangat tegantung dengan lokasi gigitan dan jarak lokasi gigitan atau luka dengan sistem syaraf pusat. Semakin dekat letak gigitan maka semakin singkat masa inkubasinya. Dari data lokasi gigitan dari sitergigit yang positif rabies di wilayah kerja BPPV diperoleh hasil bahwa persentase lokasi gigitan adalah : daerah kaki 51%, tangan 31%, badan 8%, wajah 5% dan tidak ada data 5%.

Dari data ini diperoleh hasil bahwa lokasi luka akibat gigitan anjing rabies yang paling sering terjadi ada pada daerah kaki atau angoota tubuh bagian bawah. Daerah kaki atau anggota tubuh yang bagian bawah merupakan daerah yang paling mudah dijangjau oleh anjing dari pada anggota tubuh lainnya. Depkes RI (2008) juga menunjukkan bahwa 78% kasus gigitan terjadi pada daerah kaki. Secara garis besar sifat liar dapat berakibat pada serangan yang dilakukan oleh anjing sehingga letak gigitan atau luka pada daerah wajah dapat terjadi.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Sampel otak yang diperiksakan rabies di BPPV regional II Bukittinggi lebih dari 50% positif dengan HPR yang

paling sering adalah anjing. Korban gigitan anjing rabies tinggi adalah kelompok umur 0-9 tahun dan sitergigit terbanyak berjenis kelamin laki-laki. Lokasi gigitan pada daerah kaki atau tubuh bagian bawahmerupakan lokasi gigitan yang paling banyak terjadi. Risiko manusia untuk kontak atau tergigit anjing akan meningkat sejalan dengan seberapa sering kontak atau interaksi dengan anjing.

Saran

Perlu komitmen pmerintah dalam pemberantasan dan pengendalian rabies dalam rangka menekan kejadian kasus rabies. Kewaspadaan dalam pencegahan rabies perlu digerakkan dalam rangka mengurangi kasus gigitan, terutama gigitan yang terjadi pada kelompok umur anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMOUS, 1988. Pedoman teknis pelaksanaan pembebasan rabies terpadu di Indonesia. Tim Koordinasi Pemberantasan Rabies Tingkat Pusat, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

BPPV Bukittinggi. Peta Penyakit Hewan Regional II Propinsi Sumaterta Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau Tahun 2012 No.409/2012, BPPV Regional II Bukittinggi. 2012.

Departemen Kesehatan R.I. 2008. Petunjuk Pemberantasan Rabies di Indonesia. Dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan.

5

Page 6: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 16 No. 88 2014

Notoatmodjo,S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta. Rieneka Cipta.

Pebrianty, dkk. 2011. Pemetaan Korban Gigitan Anjing Rabies di Kabupaten Tana Toraja Tahun 2009-2011. Maksasar. 2011.

WHO. (2005). Who Expert Consultation On Rabies. Switzerland. Geneva

6

Page 7: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

PERBANDINGAN SEROPREVALENSI Neospora caninum PADA SAPI PERAH DAN PEDAGING

DI TIGA PROPINSI WILAYAH REGIONAL II BUKITTINGGI

Budi Santosa, Azfirman

ABSTRAK

Sebanyak 286 sampel serum yang berasal dari Sapi Perah dan Pedaging di Tiga Propinsi Wilayah Regional II Bukittinggi diperiksakan Neospora caninum dengan metode ELISA pada tahun 2012. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kasus Neosporasis pada sapi perah (14,48%) dan sapi potong (2,84%). Persentase sampel yang positif Neospora caninum pada masing-masing jenis sapi adalah : FH (10,24%) ; Brahman cross (8%) ; Simental (0%) ; Bali (0%) ; Sapi Lokal (0%) ; Kerbau Rawa (50%). Anjing sebagai hospes definifnya masih sangat tinggi populasinya dan dengan mudahnya mengakses ke kandang sapi atau pakan sapi.

Kata Kunci : Neospora caninum, Sapi Perah dan Pedaging, Regional II

PENDAHULUAN

Neospora caninum adalah parasit golongan protozoa yang sangat mirip dengan Toxoplasma gondii. Neospora caninum merupakan parasit coccidia pada anjing. Neospora telah ditemukan di seluruh belahan dunia dan sering merupakan penyebab kasus keguguran pada ternak sapi di banyak tempat. Organisme ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1988 sebagai penyebab keguguran pada anjing. Tak lama setelahnya, organisme mirip Neospora digambarkan sebagai faktor penyebab yang mempengaruhi aborsi pada sapi perah.

Sebelum Dubey et al. menggambarkan Neospora caninum pada tahun 1988, banyak peneliti telah menduga bahwa sesuatu yang baru, yang merupakan genus protozoa yang berbeda telah menyebabkan keguguran pada sapi. Pada tahun 1987, O’Toole dan Jeffrey menerangkan adanya penyakit yang diasosiasikan sebagai sporozoa pada kasus kelahiran lemah di Inggris, yang telah diuji terhadap penyakit Toxoplasmosis dan Sarcocystis menggunakan immunoperoxidase tes dan

hasilnya negatif. Penyebab dari penyakit tersebut kemudian dinyatakan sebagai Neospora caninum.

Karakteristik oocyst dari Neospora caninum hampir sama dengan oocyst dari Hammondia heydorni dari feses anjing, dan dari Toxoplasma gondii dan Hammondia hammondi dari feses kucing. Selain dari itu, agen tachyzoit dan bradyzoit nampak sama di bawah mikroskop cahaya, tetapi dapat dibedakan di bawah mikroskop elektron dengan melihat jumlah, penampilan dan lokasi rhoptriesnya. Dan hal itu yang menjadi acuan bahwa agen tersebut adalah merupakan jenis protozoa yang berbeda.

Ada beberapa tes yang digunakan untuk mendeteksi Neosporosis pada hewan, diantaranya Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), Indirect Fluorescent Abtibody Tests (IFAT) dan isolasi organisme. ELISA telah digunakan secara luas untuk mendeteksi Neospora caninum melalui tes serologi pada sapi. Hasil positif pada tes ini menunjukkan adanya paparan/infeksi

7

Page 8: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

Neospora caninum yang telah memicu pembentukan antibodi.

Laporan maupun penelitian terhadap Neospora caninum masih sangat minim di Indonesia. Dan sebelumnya, belum pernah dilakukan penelitian terhadap adanya infeksi atau paparan Neospora caninum pada sapi perah maupun sapi pedaging di wilayah Regional II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seroprevalensi Neospora caninum pada sapi perah dan sapi/kerbau pedaging di wilayah Regional II.

MATERI DAN METODE

Materi

Sampel serum diperoleh melalui kegiatan surveillan, monitoring dan

diagnosa penyakit gangguan reproduksi yang dilakukan oleh Balai Veteriner Bukittinggi. Serum terdiri dari 145 sampel yang diambil dari sapi perah dan 141 sampel dari sapi pedaging/kerbau. Sampel diambil secara acak dari beberapa kabupaten di tiga propinsi, yaitu Propinsi Sumatera Barat (Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang dan Kota Sawahlunto); Propinsi Riau (Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Pelelawan dan Kabupaten Siak); Propinsi Jambi (Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Muaro Tebo).

Metode

Semua sampel dites dengan metode ELISA menggunakan Neospora caninum Antibody Test Kit, IDEXX®

Laboratories, versi 06-40839-00.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tabel 1. Seroprevalensi Neosporasis pada Sapi Perah dan Sapi Potong/Kerbau.

NO PROPINSI KAB/KOTA JENIS TERNAKJML

SAMPELSERO

(+)SERO

(-) %

1 Sumbar Kab. Agam Sapi perah 24 1 23 4,17Kota Bukittinggi Sapi perah 40 4 36 10,00

Sapi potong/kerbau 6 0 6 0,00Kota Sawahlunto Sapi perah 12 1 11 8,33Kota Padang Panjang Sapi perah 69 15 54 21,74

Sapi potong/kerbau 7 0 7 0,002 Riau Kota Dumai Sapi potong/kerbau 20 1 19 5,00

Kab. Rokan Hulu Sapi potong/kerbau 36 0 36 0,00Kab. Rokan Hilir Sapi potong/kerbau 6 1 5 16,67Kab. Pelelawan Sapi potong/kerbau 7 2 5 28,57Kab. Siak Sapi potong/kerbau 14 0 14 0,00

3 Jambi Kab. Sarolangun Sapi potong/kerbau 20 0 20 0,00Kab. Muaro Tebo Sapi potong/kerbau 25 0 25 0,00

145 21 499 14,48141 4 962 2,84286 25 261 8,74JUMLAH

Jumlah Sapi PerahJumlah Sapi Potong

Pembahasan

8

Page 9: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

Seroprevalensi dari infeksi Neospora caninum pada sapi perah dan sapi potong dapat dilihat pada tabel 1 di atas. Pengambilan sampel ternak perah dilakukan di kabupaten/kota di propinsi Sumatera Barat karena di wilayah Regional II pemeliharaan sapi perah hanya ada di wilayah propinsi Sumatera Barat. Untuk pemeriksaan sampel penyakit Neosporasis dari ternak perah diambil sampel dari Kabupaten Agam sebanyak 24 sampel, Kota Bukittinggi sebanyak 40 sampel, Kota Sawahlunto sebanyak 12 sampel dan Kota Padang Panjang sebanyak 69 sampel. Setelah dilakukan pemeriksaan menggunakan metode ELISA diperoleh hasil positif masing-masing adalah Kabupaten Agam sebanyak 1 sampel (4,17%), Kota Bukittinggi sebanyak 4 sampel (10%), Kota Sawahlunto sebanyak 1 sampel (8,33%) dan Kota Padang Panjang sebanyak 15 sampel (21,74%). Dan secara keseluruhan hasil positif infeksi Neospora caninum ini sebanyak 21 sampel dari 145 sampel yang diperiksa (14,48%).

Dari data tersebut diketahui bahwa kasus Neosporasis pada ternak perah tertinggi ada di kota Padang Panjang, yaitu sebanyak 21,74%. Kota Padang Panjang merupakan Kota yang paling awal dilakukan pemeliharaan sapi perah di Propinsi Sumatera Barat khususnya, dan di wilayah Regional II pada umumnya. Angka 21,74% merupakan angka yang cukup tinggi untuk infeksi Neosporasis.

Dan hasil secara keseluruhan adanya positif Neospora caninum sebanyak 14,48%. Angka inipun masih merupakan angka yang cukup tinggi. Sampel untuk pengujian Neospora caninum pada ternak pedaging/kerbau diperoleh dari wilayah yang tersebar di tiga propinsi. Hal ini mengingat pemeliharaan ternak potong lebih mudah dan tidak memerlukan kondisi tertentu seperti halnya pada pemeliharaan ternak perah. Dengan demikian semua wilayah di regional II merupakan wilayah yang memadai untuk dilakukan pemeliharaan ternak potong.

Pengambilan sampel untuk pengujian Elisa Neospora caninum dari ternak pedaging pun diperoleh di Propinsi Sumatera Barat, yaitu dari Kota Bukittinggi dan Kota Padang Panjang masing masing sebanyak 6 dan 7 sampel, yang semuanya negatif (0%). Sedangkan dari propinsi Riau sampel diambil dari Kota Dumai sebanyak 20 sampel, Kabupaten Rokan Hulu sebanyak 36 sampel, Kabupaten Rokan Hilir 6 sampel, Kabupaten Pelelawan 3 sampel sapi Bali dan 4 sampel kerbau rawa, dan Kabupaten Siak 14 sampel. Dari sampel yang diuji tersebut diperoleh hasil positif masing-masing sebagai berikut; Kota dumai 1 sampel (0,5%), Kabupaten Rokan Hulu 0 sampel (0%), Rokan Hilir 1 sampel (16,67%), Kabupaten Pelelawan 2 dari 4 sampel kerbau yang diperiksa positif, sehingaa secara keseluruhan (28,57%), dan Kabupaten Siak 0 sampel (0%). Dan sampel dari propinsi Jambi diambil dari Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Muara Tebo masing-masing sebanyak 20 dan 25 sampel yang semuanya negatif (0%). Sedangkan secara keseluruhan kasus positif Neosporasis pada ternak pedaging adalah 4 dari 141 sampel yang diuji (2,84%).

Adapun bila dilihat dari jenis ternak yang diambil dapat digambarkan sebagai berikut : dari kelompok sapi perah hanya ada satu jenis yaitu FH. Sampel yang diperiksa dari sapi FH ini sebanyak 205 sampel. Dari 205 sampel yang diperiksa ini ada 21 sampel yang positif (10,24%). Sedangkan dari kelompok ternak pedaging terdiri dari jenis Brahman cross sebanyak 25 sampel, ada 2 yang positif (8%); Simental 5 sampel, semuanya negatif (0%), Lokal 2 sampel, semuanya negatif (0%), Bali 37 sampel, semuanya negatif (0%) dan Kerbau rawa 4 sampel, 2 positif (50%).

9

Page 10: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

Seroprevalensi infeksi Neospora caninum pada sapi perah di Regional II yang diperoleh dari pemeriksaan sampel yang diambil dari tiga provinsi secara keseluruhan adalah 14,48%. Sedangkan untuk ternak potong adalah 2,84%. Dari hasil yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa di regional II kasus Neosporasis sebenarnya sudah ada dan cukup tinggi. Sebagai perbandingan di negara lain, misalnya Malaysia, kasus Neosporasis untuk lima negara bagian (Johor, Melaka, Perak, Sabah, Trengganu) dari 116 sampel yang di uji 4 sampel positif (3,44 %). Sedangkan Seroprevalensi Neosporasis pada sapi perah di Kanada adalah 5,6%-7% di Kanada Barat ; Quebec dan Ontario 7,5% dan 8,2%; dan 10,4% sampai 25,5% di Kanada Atlantik.

Hasil uji Elisa Neospora caninum di Regional II sapi Potong diperoleh hasil 2,84% positif. Hasilnya lebih rendah bila dibanding pada sapi perah. Kenyataan seperti ini juga terjadi di Kanada yaitu di Alberta Utara sapi potong yang positif 6,5 %. Secara keseluruhan kasus positif pada sapi potong lebih rendah dibanding pada sapi perah.

Keadaan ini ditengarai terkait dengan masalah ekologi, sebagai contoh adanya akses yang lebih intens dengan anjing domestik maupun anjing liar. Dan faktor lainnya adalah masalah manajemen, yaitu masalah pengandangan dan kepadatan sapi dalam kandang.

Untuk kasus di wilayah regional II, pemeliharaan sapi perah dilakukan di daerah yang populasi anjingnya tertinggi. Daerah Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang dan Kabupaten Sawahlunto merupakan daerah dengan populasi anjing yang tinggi, terkait dengan kultur masyarakatnya yang senang memelihara anjing untuk berburu. Sedangkan sebagian besar sampel dari sapi potong diperoleh dari daerah dengan populasi anjing yang rendah. Dan perbedaan cara pemeliharaan sapi potong adalah dengan cara diumbar atau masuk kandang pada malam hari menyebabkan kecilnya penularan secara horizontal.

KESIMPULAN

Di wilayah Regional II telah ditemukan kasus Neosporasis pada sapi perah (14,48%) dan sapi potong (2,84%). Persentase sampel yang positif Neospora caninum pada masing-masing jenis sapi adalah : FH (10,24%) ; Brahman cross (8%) ; Simental (0%) ; Bali (0%) ; Sapi Lokal (0%) ; Kerbau Rawa (50%). Anjing sebagai hospes definifnya masih sangat tinggi populasinya dan dengan mudahnya mengakses ke kandang sapi atau pakan sapi.

DAFTAR PUSTAKA

W.A. Rahaman, 2011, Comparative Seroprevalences of Bovine Toxoplasmosis and Neosporosis in Five States in Malaysia, School of Biologiccal Science, University Sains, Penang, 11800, Malaysia.

Dubey et.al., 2002, Redescription of Neospora caninum and its differention from related coccidian, International Journal of Parasitologi. 32:929-946.

Paulo A.J. et al. 2005, Veterinary Journal 46: 230-243.Schares.G.M. et. Al. 1998, The efficiency of vertical transmission of Neospora caninum in

dairy cattle analyes, by serological techniques. Veterinary Parasitologi.3:87-98.

10

Page 11: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

EFEKTIFITAS VAKSINASI RABIES PADA ANJING DI KABUPATEN 50 KOTA DAN KABUPATEN TANAH DATAR

PROPINSI SUMATERA BARAT

Martdeliza, Yulfitria, Niko Febrianto, Rahmi EP, Azfirman

ABSTRAK

Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia dan apabila tidak sempat atau terlambat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala klinis yang mengharukan. Pemberantasan rabies di Indonesia pada dasarnya dilakukan sesuai dengan rekomendasi WHO, yaitu vaksinasi anjing dengan cakupan 70% dan eliminasi 30%. Dari 31 serum pascavaksinasi dari Kabupaten Tanah datar yang di uji secara serologi tidak ada yang protektif. Sedang 31 serum dari Kabupaten 50 Kota setelah 2 kali vaksinasi hanya 52 % yang protektif. keberhasilan suatu vaksinasi ditentukan juga oleh kualitas vaksin, teknik aplikasi dan ketepatan waktu pelaksanaan vaksinasi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas suatu vaksin di antaranya waktu kedaluarsa, penanganan rantai dingin vaksin mulai dari produsen sampai konsumen, faktor stabilitas dan penyimpanan yang tidak sesuai dengan rekomendasi produsen.

Kata kunci : Rabies, Vaksinasi, 50 Kota dan Tanah Datar

PENDAHULUAN

Rabies adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini menginfeksi hewan domestik dan liar, dan menyebar ke manusia dari air liur yang terinfeksi, melalui gigitan atau cakaran. Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia dan apabila tidak sempat atau terlambat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala klinis yang mengharukan. Menurut World Health Organization (WHO, 2013), rabies terjadi di lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia. Lebih dari 55.000 orang meninggal karena rabies setiap tahunnya dan 95 % dari kematian tersebut terjadi di Asia dan Afrika.

Pemerintah telah melakukan banyak hal dalam rangka pemberantasan dan pencegahan penularan penyakit rabies. Kunci utama dalam menangani rabies

adalah mencegah pada sumbernya yaitu hewan.Pemberantasan rabies di Indonesia pada dasarnya dilakukan sesuai dengan rekomendasi WHO, yaitu vaksinasi anjing dengan cakupan 70% dan eliminasi 30%. Namun pelaksanaannya dapat diubah/diatur sesuai dengan kondisi daerah dan situasi sosial budaya setempat. Vaksinasi diarahkan kepada anjing-anjing peliharaan, sedangkan sasaran eliminasi adalah anjing anjing liar atau anjing-anjing yang diliarkan yang tidak jelas pemiliknya.

Untuk menanggulangi penyakit ini berbagai peraturan pemerintah dikeluarkan baik oleh Kementerian Pertanian dan kementerian lainnya secara bersama-sama, namun sampai saat ini permasalahan rabies belum juga teratasi. Pola perilaku masyarakat yang senang berburu babi menggunakan anjing, memelihara anjing secara liar (tidak diikat), enggan untuk melakukan vaksinasi rabies pada hewannya,

11

Page 12: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

ketersediaan vaksin dan mutu vaksin serta sumber daya manusia merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan rabies di Indonesia.

Untuk mengetahui keberhasilan program vaksinasi yang telah dilaksanakan, perlu dilakukan evaluasi dengan monitoring antibodi pasca vaksinasi. Deteksi antibodi rabies sangat penting dilakukan untuk mengetahui efektivitas vaksin rabies. Jenis vaksin tampaknya menghasilkan respon imun yang berbeda. Hasil penelitian Minke et al. (2009) menunjukkan bahwa vaksin Rabisin menginduksi respon kebal tertinggi pada hari 14 setelah vaksinasi yaitu 87%. Vaksin yang lain, yaitu Nobivac, disebutkan menginduksi kekebalan yang lebih seragam yang mencapai 100% (Minke et al. 2009). Penelitian yang dilakukan di Nigeria (Ohore et al. 2007) menunjukkan bahwa titer antibodi tertinggi dicapai antara 3 sampai 6 bulan pasca vaksinasi (PV) dan terendah antara 9 sampai 12 bulan PV.

Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan efektivitas vaksinasi rabies yang dilakukan di Kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Tanah Datar.

MATERI DAN METODE

Materi

Data berupa hasil serologi serum anjing PV. Sampel, serum anjing yang yang diambil dari Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar dan anjing yang divaksin sendiri di BVet Bukittinggi. Dimana pada Kabupaten 50 Kota diambil serum anjing yang divaksin dua kali dengan vaksin Rabivet Supra 92 dan di Kabupaten Tanah Datar serum anjing yang di vaksin satu kali dengan vaksin Rabivet Supra 92. Sampel dari BPPV di vaksin dua kali dengan vaksin Rabisin R. Pada anjing yang di vaksin di BPPV selain diambil serum PV, diambil juga

serum sebelum vaksinasi. Metode uji serogi yang dilakukan adalah metode ELISA dengan menggunakan KIT Platelia II dari Biorad.

Metode

Prosedur uji ELISA KIT Platelia II KIT Rabies Bio-Rad

Mikroplate dikeluarkan dari kemasan, kemudian serum sampel, serum kontrol positif (R4a 0,5EU) dan kontrol negatif (R3) diencerkan dengan perbandingan 1:100 dalam larutan pengencer (R6). Sedangkan serum kontrol positif standar (R4b), diencerkan 1:100 (sebagai S6 dengan titer 4EU) dalam larutan pengencer (R6), selanjutnya dari S6 tersebut diencerkan secara serial dua kali (500μl S6 ditambah 500μl R6) menjadi S5 (2EU), demikian seterusnya dengan cara yang sama menjadi S4(1EU), S3(0,5EU), S2(0,25EU) dan S1 (0,125EU). Kemudian masing-masing serum sampel dan serum kontrol, dimasukkan 100 μl ke dalam lubang mikroplate. Mikroplate ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 1 jam. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl conjugate yang telah diencerkan pada semua lubang. Tutup mikroplate dan diinkubasikan 1 jam pada suhu 37°C. Mikroplate dicuci sebanyak

5 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl substrat pada semua lubang, dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit dalam kondisi gelap. Kemudian ditambahkan 100 μl stop solution pada semua lubang. Setelah 30 menit, dilakukan pembacaan optical density pada panjang gelombang 450 nm sampai 620 nm. Penghitungan dilakukan ke dalam EU dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer 0,5 EU atau lebih dianggap protektif.

12

Page 13: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 31 sampel serum anjing yang berasal dari Kabupaten 50 Kota yang sudah diuji, 12 serum diambil satu bulan setelah vaksinasi ke 2, 4 sampel diambil 3 bulan setelah vaksinasi ke 2, 15 serum diambil setelah 4 bulan vaksinasi ke 2. Karena hasil vaksinasi yang kurang memuaskan pada tahun-tahun sebelumnya maka pada tahun ini Kabupaten 50 Kota mempunyai kebijakan melakukan dua kali vaksinasi

dengan selang waktu sebulan antara vaksinasi pertama dengan vaksinasi kedua. Vaksin yang digunakan vaksin Rabivet Supra 92 (tabel 1 ). Sedangkan dari 31 serum anjing yang berasal dari Kabupaten Tanah Datar yang sudah diuji secara serologi, 2 serum anjing diambil 1 bulan PV 1, 15 serum diambil 2 bulan PV 1 dan 14 serum diambil 5 bulan PV 1. Kabuapten Tanah datar melakukan satu kali vaksinasi dengan Vaksin Rabivet Supra 92 (tabel 1).

Tabel 1. Jumlah dan waktu pengambilan sampel di Kab. 50 Kota dan Tanah Datar

Kabupaten Bulan PV Jumlah 1 bulan

PV2 bulan

PV3 bulan

PV4 bulan

PV5 bulan

PV50 Kota 31 12 - 4 15 -Tanah Datar 31 2 15 - - 14

Pada tabel 2 dapat dilihat 5 sampel dari BPPV terdiri dari 2 sampel serum yang diambil dari anjing, sebelum vaksinasi, 2 sampel diambil 14 hari

setelah vaksinasi pertama, 1 sampel diambil setelah 20 hari vaksinasi ke dua. Serum diambil dari anjing yang divaksin oleh staff BPPV dengan vaksin Rabisin.

Tabel 2. Jumlah dan waktu pengambilan sampel di BVet Bukittinggi

Kabupaten PV II Jumlah Sebelum Vaksinasi 14 hari PV I 20 hari

BPPV Reg. II bukittinggi 5 2 2 1

Hasil pengujian antibodi pada kelompok anjing yang divaksin dengan Rabivet Supra 92 dengan ulangan vaksinasi 2 kali, dimana dari 31 sampel 52 % protektif (16 sampel) sedangkan dari 31 sampel yang berasal dari anjing satu kali vaksinasi tidak ada sampel yang menunjukkan hasil yang protektif semuanya tidak protektif (tabel 3). Walaupun ada peningkatan prosentase protektif pada sampel serum anjing yang di vaksin dua kali di banding dengan sampel serum anjing yang di vaksin satu kali tapi tetap belum memuaskan. Untuk

menghilangkan atau mencegah wabah rabies diperlukan setidaknya 70 persen populasi anjing harus mendapatkan kekebalan

Rendahnya protektifitas vaksinasi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain mungkin handling vaksin yang tidak baik misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi karena sarana penyimpanan vaksin dibanyak daerah sangat minim, atau jika sudah ada sarana penyimpan vaksin yang memenuhi syarat tapi kenyataannya di daerah sering terjadi pemadaman aliran listrik dan daerah tidak

13

Page 14: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

punya genset sehingga akan dapat mempengaruhi potensi vaksin yang digunakan, kemungkinan aplikasi vaksin yang tidak tepat, dan anjing dalam masa inkubasi. Selain itu keberhasilan suatu vaksinasi ditentukan juga oleh kualitas vaksin. Teknik aplikasi dan ketepatan waktu pelaksanaan vaksinasi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi potensi atau kualitas suatu vaksin di antaranya waktu kedaluarsa, penanganan rantai dingin vaksin mulai dari produsen sampai konsumen, faktor stabilitas dan

penyimpanan yang tidak sesuai dengan rekomendasi produsen.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, apakah hal ini disebabkan oleh rantai dingin yang tidak terpenuhi dalam penanganan vaksin di lapangan, ataukah adanya kesalahan dalam aplikasi, waktu vaksinasi yang kurang tepat, atau mungkin data vaksinasi yang kurang akurat, misalnya anjing yang sebenarnya belum divaksin tetapi dilaporkan sudah divaksinasi.

Tabel 3. Pengaruh ulangan vaksinasi terhadap titer antibodi (vaksin Rabivet)

Ulangan Vaksinasi Jumlah Protektif Tidak Protektif

2 kali 31 16 (52%) 15 (48%)1 kali 31 0 (0%) 31 (100%)

Tabel 4. Pengaruh ulangan vaksinasi terhadap titer antibodi (vaksin Rabisin)

Ulangan Vaksinasi Jumlah Protektif Tidak Protektif2 kali 1 1 (100%) 0 (0%)1 kali 2 2 (100%) 0 (0%)

Sebelum Vaksinasi 2 0 (0%) 2 (100%)

Anjing yang di vaksin di BPPV, pada vaksinasi pertama menunjukkan hasil 100 % protektif demikian juga pada vaksinasi ke dua. Untuk kontrol serum yang diambil sebelum anjing di vaksinasi menunjukkan hasil yang tidak protektif 100 % (tabel 4). Hasil vaksinasi bagus tetapi karena jumlah sampelnya hanya 2

dan vaksin yang dipakai berbeda (vaksin Rabisin) perlu dilakukan peneltian lebih lanjut dengan menambah jumlah sampel, dan selain menggunakan vaksin rabisin perlu juga dicoba menggunakan vaksin yang sama dengan yang digunakan dilapangan.

Tabel 5. Persentase antibodi protektif pada serum anjing yang divaksinasi Rabisin dan Rabivet

Ulangan VaksinasiJenis Vaksin

Rabisin RabivetSebelum Vaksinasi 0% -

1 kali 100% 0%2 kali 100% 52%

14

Page 15: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa persentase kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin rabisin (100%) lebih tinggi dari persentase kekebalan yang dihasilkan oleh vaksin rabivet. (52%). Karena jumlah sampel yang jauh berbeda, sehingga perlu kajian lebih lanjut dalam hal ini.

Dalam upaya memberantas dan mencegah penyebaran rabies perlu di upayakan untuk meningkatkan protektifitas vaksin, namun pemberantasan rabies tidak hanya tergantung pada masalah anjing, tetapi juga menyangkut masalah manusia. Pada dasarnya keberhasilan pengendalian dan pemberantasan rabies bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat. Perlu ada perubahan perilaku yang membuat masyarakat dapat menerima dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku. Kewajiban yang dimaksud antara lain mengandangkan atau mengikat anjing yang dimiliki, merawat dan menjaga kesehatannya, serta memvaksinnya secara rutin. Hal ini akan membantu petugas pengendali rabies menjadi lebih mudah mengatasi keadaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari 31 sampel pasca vaksinasi 1 yang diperiksa, tidak ada satupun yang protektif, sedang dari 31 sampel pasca vaksinasi ke 2, sebanyak 16 sampel (52%) protektif.

Dalam upaya peningkatan efektifitas vaksinasi mungkin perlu dilihat lagi masalah handling vaksin, mulai dari produsen sampai konsumen dan peningkatan sumber daya pelaksana vaksinasi tersebut.

Mungkin disatu kabupaten bisa di coba melakukan vaksinasi dengan 2 vaksin yang berbeda, misalnya satu kecamatan di vaksin dengan rabivet supra 92 dan kecamatan lainnya dengan vaksin rabisin atau vaksin lainnya sesuai dengan

kemampuan kabupaten, hasilnya di periksa di laboratorium, jika dengan perlakuan rantai dingin yang sama kalau hasilnya berbeda akan bisa diketahui masalahnya, dari vaksin Atau dari rantai dingin.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten 50 Kota dan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tanah Datar atas kerjasamanya dalam pengambilan sampel serum anjing di Kab. 50 Kota dan Kab. Tanah Datar.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Kesehatan Hewan. 2006. Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan.

Minke.J.M., J.Bauvet, F.Cliquet, M.Wasniewski, A.L.Gulot, L.Lemaiter, C.Cariou, V.Cozette, L.Vergne dan P.M.Guigal. 2009. Comparison of Antibody Responses After vaccination with two inactivated rabies vaccines. Short communication. Vet.Microbiology. 133 (2009) : 283-286.

Ohore.O.G., B.O.Emikpe., O.O.Oke, and D.O.Oluwayelu. 2007. The seroprofile of rabies antibodies in companion urban dogs in Ibalan Nigeria. Journal of animal and veterinary advance 6 (1). 53-56. Medwell online

OIE Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals http://www.oie.int/international-standard-setting/terrestrial-manual/access-online/

WHO. 2013. RABIES. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs099/en/: 2010. Diakses Agustusl 2013.

15

Page 16: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

GAMBARAN SEROLOGIS PENYAKIT IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis)

di Regional II Bukittinggi Tahun 2008-2013

Yulfitria, Rina Hartini, Lilian D, Martdeliza, Erina O, Rahmi EP, Wilna S, Azfirman

ABSTRAKTelah dilakukan pengujian pada serum yang berada di wilayah regional II

Bukittinggi selama kurun waktu 6 tahun (2008-2013), sebanyak 5.724 serum sapi. Sampel yang diuji merupakan serum kiriman dan pengambilan secara acak pada sampel surveillans. Serum diuji dengan metode ELISA deteksi antibodi IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis). Sebanyak 2.012 serum terdeteksi seropositif antibodi IBR atau sebanyak 35,15%. Ada beberapa sapi dari BPTU Padang Mengatas ex Australia yang divaksinasi dari Negara impor. Sedang yang lainnya tidak dilakukan vaksinasi. Hal ini menggambarkan telah terjadi infeksi secara alami dari virus BHV-1 pada ternak yang berada di wilayah regional II Bukittinggi.

Kata kunci: IBR (Infectious Bovine Rhinotracheitis), ELISA, Sapi, BHV-1

PENDAHULUAN

Infectious Bovine Rhinotracheitis merupakan penyakit virus yang disebabkan oleh Bovine Herpes virus tipe 1 (BHV-1) yang termasuk dalam keluarga Herpetoviridae yang memiliki double stranded DNA. Gejala yang ditimbulkan adalah gejala respiratorik konjungtival, ensefalik (syaraf), genital dan neonatal. (Subronto, 1995). Dapat menyerang sapi padasemua umur, breed, kelamin dan musim. Hewan lain yang dapat terserang adalah babi, rusa, kambing, kerbau, antelope,dan wilde beest. Virus telah dapat diisolasi dari berbagai tempat di dunia. Di Indonesia telah dilaporkan adanya reactor pada sapi dan kerbau di Sumatera Utara, Jawa, Lombok, Sumbawa dan Timor (Sarosa, 1985).

Antibodi dalam kolostrum dapat melindungi pedet sampai umur 6-8 bulan. Virus IBR dapat menyerang pedet yang tidak diberi kolostrum atau apabila imunita kelompok sapi tidak baik. Virus disebarkan melalui kontak langsung, kontak kelamin, inseminasi buatan dan aerosol. Pada penderita IBR leleran

hidung, air mata dan plasenta mengandung virus. Pada suatu peternakan tanda-tanda IBR biasanya muncul 7-15 hari setelah pemasukan hewan baru.Infeksi laten dapat terjadi baik karena infeksi alami atau vaksinasi. Virus dalam keadaan infeksi laten tinggal dalam syaraf. Di Amerika Serikat angka morbiditas penyakit ini berkisar 30-90% sedangkan mortalitas kurang dari 3%.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara serologis penyakit IBR di wilayah regional II Bukittinggi sehingga memberikan dapat menjadi pertimbangan untuk mebuat kebijakan yang jelas untuk pemasukan sapi impor yang telah mengandung antibody serta membuat kebijakan baru karena penyakit ini sudah sangat menyebar di seluruh Indonesia.

Pada saat alamiah, virus masuk ke dalam alat pernafasan dan melakukan penetrasi ke dalam sel-sel epithel serta bereplikasi dalm nucleus kemudian masuk kedalam darah (Jensen and Donald, 1979) Membrana mukosa mengalami pembengkakan, berwarna

16

Page 17: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

kemerahan adanya infeksi sekunder oleh bakteri akan menghasilkan eksudat yang berakumulasi pada saluran pernafasan dan dapat menyebabkan penyumbatan saluran pernafasan. Eksudat mukopurulent juga dapat terbentuk dan sering menyebabkan dyspnoe, natuk, serta berakibat timbulnya bronchitis. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan broncopneumionia. Kasus Meningoencephalitis biasanya terjadi pada pedet 3-4 bulan. Abortus pada sapi bunting merupakan infeksi virus langsung pada placenta, karena disebabkan infeksi kontak kelamin. Pada traktus genitalis virus menyebabkan inflamasi pada pustular dan vagina, yang dikenal dengan IPV (Infectious Pustular Vulvovaginitis), sedangkan pada sapi jantan mengakibatkan Balanopostitis .

Dari penemuan diatas BPPV Regional II Bukittinggi memulai melakukan pemeriksaan terhadap beberapa sampel yang diambil pada saat pengambilan sampel untuk monitoring penyakit Brucellosis, tidak merata hanya acak dari beberapa daerah. Pada tahun 2007 yang dilakukan adalah di daerah 50 Kota dan payakumbuh sekitarnya dan Jambi.

Menurut Subronto, 1995, Sapi yang pernah mengalami infeksi akan menjadi pengidap virus (carrier). Disebabkan stress, virus mungkin akan memperbanyak diri. Dalam keadaan demikian mungkin gejala klinis belum dapat diamati. Virus tersebut siap untuk ditularkan kepada hewan-hewan yang berada disekitarnya. Tiap sapi yang menunjukkan titer antibody dengan tanpa vaksinasi harus dipandang sebagai pengidap. Penderita sedapat mungkin harus diisolasi dari ternak lain. Preparat kortikosteroid dapat menyebabkan aktifitas virus meningkat. Penggunaan vaksinasi dipermasalahkan pada daerah wabah dipertanyakan, Pengalaman

pemberian vaksin secara intranasal dapat dilakukan dengan memberikan hasil IgA yang meningkat jumlahnya. Interferon yang terbentuk diharapkan dapat menghambat replikasi virus berlanjut. Pedet yang divaksin harus berumur 1 minggu, karena pedet dibawah umur seminggu tidak tahan terhadap vaksinasi.

Tulisan ini lanjutan perkembangan dari tulisan Sodirun, 2003 tentang Pemeriksaan antibodi IBR pada Bull ex Australia dengan metode ELISA sebagai pengawasan dini terhadap kemungkinan adanya penyakit dan penyebarannya pada Buletin informasi Kesehatan Hewan vol 5 no.67 tahun 2003, telah ditemukan adanya antibody terhadap penyakit IBR. Dari 23 sera Bull ex Australia yang diperiksa ada 2 sera dari Sumatera Barat yang positif dan satu sera Jambi positif antibody IBR. Tulisan tersebut juga diawali dengan penelitian dari BBalitvet tahun 2001 telah menemukan secara Virus Netralisasi sebanyak 1 ekor dari Sumatera Barat dan 1 ekor dari Riau. Setelah itu, Khanifah tahun 2007, memberikan gambaran selanjutnya di wilayah II Bukittinggi. Pada tahun 2007, daerah Sumatera Barat dari 521 sampel yang diambil 57,2% sampel atau 298 sampel seropositif IBR. Tetapi daerah Sarolangun, Jambi yang diambil 100 sampel tidak ada yang mengandung reactor IBR.

MATERI DAN METODE

Materi

Materi yang diperiksa adalah serum sapi yang dikirim oleh dinas, BPTU Padang mengatas, BIB Limbukan dan kiriman yang lain serta pengambilan secara acak dari sampel untuk pemeriksaan penyakit Gangguan Reproduksi di wilayah kerja Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional II Bukittinggi pada tahun 2008-2013.

17

Page 18: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

Metode

Pengujian serum dilakukan dengan metode ELISA antibodi IBR menggunakan CHEKIT-Trachitest Serum Screening ELISA untuk mendeteksi antibodi Bovine Herpes Virus 1 (BHV-1). Sampel dapat berupa serum atau plasma individual atau dipool untuk 10 sampel sapi. Plat ditempel dengan virus inaktif BHV-1. Apabila ada antibody BHV-1 akan berikatan dengan antigen yang dilapisi di plat, apabila tidak akan

lepas pada saat pencucian plat. Kemudian conjugat anti ruminant IgG yang dilabel peroksidase akan berikatan dengan ikatan antigen dan anti bodi.Conjugat yang tidak berikatan akan dibawa oleh pencucian setelah itu. Penambahan Substrat TMB akan memberikan warna pada ikatan tersebut, yang dibaca (Optical Density) pada panjang gelombang 450 nm. Hasil OD serum yang terbaca dibandingkan dengan OD kontrol positif yang dihasilkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pemeriksaan antibodi IBR dengan metode ELISA yang dilakukan pada tahun 2008–2013 dapat dilihat pada tabel berikut :

Diagram 1.Data Serologis IBR di Propinsi Riau tahun 2008-1013

Diagram 2.

18

Page 19: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 2013

Data serologis IBR di Propinsi Jambi tahun 2008-2013Dari data yang ditampilkan tampak ada kecenderungan seropositif meningkat pada

tahun 2013 di Propinsi Riau, tapi untuk Propinsi Jambi tidak terlihat peningkatan seropositif IBR kecenderungan sama dari tahun sebelumnya.

Diagram 3.Gambaran serologis IBR di Sumatera Barat tahun 2008-2013

Dari gambaran data diatas, terlihat seropositif di Sumatera Barat mengalami penurunan dibanding kejadian tahun-tahun sebelumnya. Belum dapat dijelaskan sebab hal ini terjadi, karena sampel yang diambil kecenderungan adalam sampel aktif atau kiriman dari BPTU dan Dinas terkait, untuk surveillans Balai Veteriner Bukittinggi hanya mengambil acak dari data sebelumnya. Dan kemungkinan yang terjadi karena data untuk tahun 2013 masih sampai Juni 2013. Pada data di Propinsi Kepulauan Riau terlihat kecenderungan naik dari tahun sebelumnya, untuk sampel yang diambil juga belum mewakili dari keseluruhan populasi yang ada di Kepulauan Riau.

Menurut OIE 2012, pengujian serologis bertujuan untuk :

1. Untuk mendiagnosa kejadian infeksi akut, dengan cara membandingkan hasil pengujian pada 2 kejadian pengambilan sampel yang berbeda tapi pada ternak yang sama, sehingga dengan melihat perbedaan titer

antibodi dapat disimpulkan ada kejadian infeksi yang akut.

2. Untuk mendeteksi keberadaan infeksi dengan cepat untuk kepentingan perdagangan internasional.

3. Untuk mengukur prevalensi infeksi pada studi sero epidemiologi.

4. Untuk mendukung program program eradikasi dan surveilans

5. Untuk tujuan penelitian sebagai evaluasi respon antibodi pasca vaksinasi dan uji tantang terhadap infeksi.

Dalam hal ini bertujuan untuk melihat prevalensi infeksi dan perkembangan penyakit IBR di regional II Bukittinggi. Kejadian serological positif berarti telah terjadi infeksi secara alami dengan tidak melupakan riwayat vaksinasi pada ternak yang diambil. Pada umumnya ternak yang diambil tidak pernah mengalami vaksinasi kecuali sapi ex impor Australia yang beradadi BPTU Padang Mengatas. Jadi yang seropositif antibodi mempunyai bahaya laten untuk menyebarkan penyakit pada ternak yang lain.

19

Page 20: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

Diagram 4.Gambaran serologis IBR di Kep Riau tahun 2008-2013

Dari Tabel 1. Data seropositif IBR tahun 2008-2013 di wilayah Regional II Bukittinggi menjelaskan 2.012 sampel dari 5.724 sampel, 35,15% serum yang diuji positif antibodi IBR. Pada saat gejala klinis tidak tampak, virus beradadalam posisi latent bersembunyi di Ganglia Sacralis. DNA virus berada dalam neuron ganglia.

Kejadian stress seperti transportasi perjalanan dan partus akan menyebabkan reaktivasi virus dari infeksi laten, selain itu pemberian preparat corticosteroid akan membantu kejadian ini. Kemudian virus akan shedding secara terus menerus ke lingkungan sekitar nya (OIE, 2012). Menurut OIE, vaksinasi membantu terhadap menurunkan gejala klinis, mengurangi shedding virus, tapi tidak banyak membantu rehadap serangan infeksi virus. Dalam hal menjaga kondisi ini disarankan agar disaat pemasukkan ternak dari luar harus dikarantina selama 4 minggu dan yang harus diloloskan masuk adalah ternak dengan seronegatif IBR.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Angka seropositif antibodi IBR sudah sangat merata berada di wilayah

regional II Bukittinggi, hal ini kemungkinan sudah merupakan infeksi alami dari sapi-sapi yang telah terinfeksi virus IBR.

Saran1. Perlu adanya kebijakan yang ketat dan

benar-benar dilakukan di wilayah ini tentang kebijakan sapi impor seropositif IBR untuk ditolak dengan masa karantina 4 minggu.

2. Perlu ditingkatkan metode uji Virus Netralisasi dan Isolasi Virus dan karakterisasi virus IBR yang berada di Balai Veteriner Bukittinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. OIE Terrestrial Manual. Chapter 2.4.13 pg 1-13

Subronto, 1995. Ilmu Penyakit Ternak I. GadjahMada University Press, hal 241

Sudarisman.2007. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada sapi dan kerbau di Indonesia. Jurnal BBalitvet Wartazoa. hal 29-35

Sutrisno, A 1985. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis Infectious Pustular Vulvovaginitis pada sapi, skripsi IPB, hal 1-55

Page 21: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th

DATA SEROPOSITIF IBR DI REGIONAL II BUKITTINGGI Tahun 2008-2013Propinsi/Kab/kota Sero(+) Sero(-) Sero(+) Sero(-) Sero(+) Sero(-) Sero(+) Sero(-) Sero(+) Sero(-) Sero(+) Sero(-)

I Riau1 Kab Kampar 2 42 0 14 8 252 Kab Bengkalis 36 25 15 33 Dumai 35 354 Pekanbaru 29 15 Kab Rokan Hilir 1 11 12 76 Kab Siak 3 27 5 137 Kab. Indragiri hulu 5 8 2 68 Kab. Pelalawan 5 15 20 149 Kab. Rokan Hulu 22 54

Jumlah I 38 67 35 35 29 1 4 38 32 91 62 68II Jambi1 Kab. Merangin 10 35 2 39 1 252 Kab.Kerinci 7 34 6 31 0 63 Kab.Bungo 0 17 4 9 7 84 Kab. Batanghari 10 15 9 4 0 285 Kab.Tjg Jab Barat 1 246 Kab. Tebo 3 317 Kab Sarolangun 0 24 1 22 5 228 Kab Muaro Jambi 8 32 0 25

Jumlah II 17 86 11 39 9 4 8 122 14 88 15 92III Sum. Barat1 Kab.50 Kota 98 131 281 245 51 254 54 164 285 338 201 1842 Kab.Agam 51 229 1 2 4 7 11 10 37 113 Kab.Pesisir Sel 20 8 11 7 9 41 20 154 Kab.Dharmasraya 54 28 2 185 Padang 60 77 5 0 0 25 1 86 Kab.Pasaman 109 51 2 32 9 167 Kab. Pasaman Barat 0 24 26 328 Payakumbuh 25 55 4 21 1 23 2 78 14 529 Solok 10 40 2 11 19 8110 Kab Tanah Datar 9 41 19 1111 Kab. Solok Selatan 0 4 16 3112 Bukittinggi 0 6 1 23 8 1313 Pariaman 5 28 5 114 Sawahlunto 8 25 6 2415 Padang Panjang 6 1016 Kab Pdg Pariaman 6 3317 Kab Sijunjung 0 10

Jumlah III 417 579 310 349 63 288 77 400 435 739 266 223IV Kep Riau1 Tanjung Pinang 129 121 1 432 Kab. Karimun 25 1133 Kep. Anambas 1 11 3 114 Kab Lingga 0 12 1 275 Kab. Natuna 2 346 Batam 7 29

Jumlah IV 0 0 154 234 0 0 3 57 4 54 8 56472 732 510 657 101 293 92 617 485 972 351 439

2013

Persentase sero positif 35,2Catt : Data sampai Juni 2013

39,20 43,70 25,63 12,98 33,29 44,43

No

TotalPersentase

2008 2009 2010 2011 2012

Page 22: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th
Page 23: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th
Page 24: Buletin Informasi Kesehatan Hewan Vol. 15 No. 86 · Web viewSitergigit HPR berdasarkan kelompok umur No Umur Jumlah 1 0-9 th 46 2 10-19 th 28 3 20-39 th 26 4 40-59 th 24 5 > 60 th