Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

12

Transcript of Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

Page 1: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf
Page 2: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

Sahabat!!! cerita memanglah sebuah cerita, tak lain dari sederet pen-galaman yang terbungkus rapih dalam sebuah kata. Lewat pilihan kata yang tepat, dan disimpan ditempat yang tepat pula, sehingga orang mampu mengimajinasikan dengan sempurna, bahkan bisa ikut lebur dalam sebuah cerita. Namun, kali ini aku tak hendak mengiba pada pembaca semua, atau ingin menarik simpati, melainkan hanya sebatas menuliskan sebuah cerita sebagai cermin atas diri, diriku pribadi. Memang, sudah menjadi kebiasaanku saling membagi cerita dengan sahabat, entah itu cerita suka ataupun duka. Saat ini, aku duduk tepat dihadapan kedua sahabatku; pertama, na-manya Indra Permana, panggil saja Semprul, aku pun sering me-manggilnya demikian. Karena memang kelakuannya semprul dan sembrono. kedua, seorang perempuan cantik, satu-satunya sahabat perempuan yang akrab dengan kami, siapa dia? Nanti aku ceritakan. Dan aku sendiri, Rendi Atmawijaya. Kami sama-sama duduk di juru-san Politik, Universitas Padjadjaran (UNPAD). Kami bertiga sejak semalam sudah merajut janji, selepas kuliah sore tadi hendak pergi ke Gramedia mencari buku yang berkaitan dengan mata kuliah. Selepas dari Gramedia, karena terasa letih dan lelah, sehingga kami memutus-kan untuk istirahat sejenak di Kafe samping Gramedia. Tempatnya tak begitu mewah tapi lumayan memikat, dengan ruangan ukuran persegi panjang kisaran 9x4 meter persegi berwarnakan cat orange, berisi dua belas meja yang masing-masingnya dikepung oleh empat kursi, dinding panjangnya dipasangi tiga lampu hias yang menyemburkan cahaya kuning ke-emasan, dan pada setiap sudut ruangan dihiasi pot bunga—kebetulan pada waktu sekarang ini—sedang bermekaran, sehingga suasananya tampak sederhana tapi elegan. Di tempat inilah kami duduk bersa-ma melepas letih. Seperti biasanya pelayan datang, Indra me-mesan minuman dingin yang bersoda, Fanta yang dituangkan diatas empat butir es batu dalam gelas. Sahabat perempuanku me-mesan minuman hangat—susu coklat. Dan aku sendiri dengan seleranya memesan mi-numan hangat juga—nescafe. Setelah pesan-an ditulis dalam secarik kertas, kemudian pelayan itu pergi kebelakang, ke arah pot bunga disebelah kanan menuju pintu dapur, dan hilang dari pelupuk mata.

***

Syahdan, di kampusku ada seorang perempuan cantik nan ayu, na-manya Sinta Dewi, putri pertamanya sang Dosen dimana aku duduk di kelasnya, kalau aku gambarkan, setelah imajinasiku ditarik dengan kendali yang sedemikian rupa kira-kira seperti ini; seorang Sinta, dengan anugerah-Nya ia memiliki postur tubuh yang menawan, mem-iliki bola mata biru dengan bulu mata yang lentik, bibirnya sangat sensual merah merekah, rambut pirang bergelombang jatuh nan in-dah hingga ke pundak, kulitnya putih-bersih bak pualam, tiap kali Sinta tiba di kampus, dirinya selalu menjadi tempat berteduh mata setiap pria. Kira-kira seperti itu, namun kalau aku membiarkan imajinasiku tanpa kendali, ah aku tak tahu akan seperti apa jadinya seorang Sinta. Dialah sahabat perempuan satu-satunya yang paling dekat, kami me-rasa pria paling beruntung bisa bersahabat dengan Sinta, yang me-mang seorang Sinta adalah sang primadona di kampus. Keluarga Sinta terbilang jajaran keningrat-ningratan. Bagaimana keadaan putri dari sang konglomerat, aku yakin semua sahabat para pembaca yang baik hati dapat membayangkannya. Setidaknya pulang-pergi kampus sela-

lu antar jemput, punya jadwal ke Salon untuk memper-elok diri. Kendatipun demikian, Sinta tak punya kebebasan secara total atas dirinya sendiri, kemanapun ia hendak pergi, apapun yang akan ia lakukan, selalu saja dibawah komando sang ayah. Bahkan tak hanya itu, hatta pasanganpun, ayah yang memilihkan. Tak sempat terbayang, seberapa besar beratnya menjalani hidup ketika kebebasan menen-tukan diri sendiri berada diujung jari sang ayah. Kemana arah telun-juk ayah bergerak, maka ke arah sanalah yang harus Sinta lakukan. Maklum saja, sebagai orang tua mempunyai kekhawatiran yang tinggi terhadap anaknya, apalagi seorang perempuan, namun kekhawatiran itu terbilang over pikirku. Maka, waktu-waktu senggang selama di kampus, ia pergunakan sebaik mungkin untuk memenuhi kehendak diri yang tak bisa di-penuhi dalam istananya, dan waktu senggang itulah yang menjadikan Sinta akrab dengan kami, bahkan pergi ke Gramediapun pada sore ini, yang akan Sinta lakukan harus terperinci dihadapan ayahnya, setelah sang ayah memahami rencana kepergian Sinta ke Gramedia, barulah izin dari sang ayah mengalir lancar dari mulutnya. “kasihan sekali ya cara hidup seorang cewe sepertiku”, ujar Sinta

memulai. “apanya yang kasihan Sin?” Tanya Indra selengean, “kamu hanya butuh sedikit menerima, dan menikmati hidupmu yang cerah itu. Kalau bosan, gantian aja deh biar aku yang jadi anak ayahmu, akan kunikmati tiap detiknya, pergi maen bawa mobil sendiri, indah deeeeeh pokoknya”, Indra melanjutkan. “ah, kamu masih saja suka merepek Dra…!”, timpal Sinta dengan nada sinis. “kalau begitu caranya, aku juga maaauuu jadi anak ayahmu Sin,,, hahaha”, aku ikut-ikutan meledek Sinta. “diiih, kok kamu malah ikut-ikutan sii, Ren.

Sejak kapan ketularan si Semprul?”, jawab Sinta menepis. Pelayanpun datang membawakan pesanan minuman, ditaruhnya di meja satu persatu sambil sedikit membungkukkan badan, pesananku yang terakhir ditaruh. Sejenak Sinta memandangi pelayan, kemudian ia melentikan bibirnya yang menjadi senyum manis, dan; “terimakasih banyak ya pak”, kata Sinta. Pelayan itu hanya membalas dengan senyum juga, dan pandangannya jatuh diatas lantai. Seolah hati pelayan mendapat sedikit keonaran mendengar terimakasih Sin-ta. “minum tuh kopinya!”, sambil didorongnya gelas ke arahku. “gini, aku gak ngerti deh ya, ko kalian pada seneng menginginkan posisi sepertiku, aku justeru malah sebaliknya, pengen menjalani hidup seperti kalian, hati berkehendak apapun tak ada yang melarang, atau kaki mau melangkah ke arah manapun tak ada halang, enak banget tuh”, ku amati pada setiap nada katanya membawa ketidak puasan memang dari Sinta. “tapi kita kan beda Sin”, jawabku lembut. “iya beda banget malah, ini pada titik akhir kehendak ya, mana ada perempuan bisa membebaskan langkahnya layaknya seorang lelaki, satu sisi itu yang mesti kamu insyafi Sin” Indra menambahkan.

2

Sepenggal Cerita

Mawar Dalam Kaca

Oleh: Abdul Ghani

Dok. Google

Page 3: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

3

Sepenggal Cerita

“yaaa,,,, tapi kan gimana coba, mmmhhh,,, aku pengen bebas aja gak ada kekangan”. Keluh Sinta dengan wajah murung, dan tatapannya tepat mendarat diatas air susu coklatnya yang ia pesan tadi. Kalau sudah begini, suasana yang membingungkan memang, mau bagaimanapun aku dan Indra harus pandai memilih kata yang tepat, kalau tidak, ditakutkan malah merusak suasana Sinta. Yang kami tahu, Sinta adalah perempuan yang lembut, lembut sejak pedalaman dan luaran, didikan sang Ibu memang berhasil menjelma menjadi pribadi Sinta yang sekarang. Cuma satu mungkin yang kurang dari Sinta, kare-na memang ia banyak dikekang dan senantiasa berdiam diri di rumah, sehingga ia kurang lihai memahami peradaban luar, serta kurang lihai dalam mengimbanginya, begitu pikirku. “ingat Sin, kamu tak boleh begitu, mau bagaimanapun keadaannya itu merupakan sebuah anugerah untukmu, dan tidak untuk orang lain. Ini yang mesti kamu ingat terus dengan penuh rasa syukur”. Sejenak sua-sana menjadi hening, tak ada yang bicara, hanya sayup angin kecil yang dihembuskan dari kipas angin yang terdengar. Lalu aku melanjutkan dengan penuh hati-hati, “jangan mengeluhkan sebuah keadaan barang sedikitpun Sin, karena tatkala kamu menge-luh, kamu akan lupa bersyukur”. “yaaa,,, memang begitu keadaannya, Dra, Ren! Sinta memekik, sambil melemparkan pandangan ke arah Indra dan aku, kemudian mengem-balikan lagi tatapannya ke arah permukaan gelas yang digenggamnya. Lalu menatap tajam ke arahku. “terus bagaimana caranya, Ren? Seolah aku tak pernah lekang setiap waktunya kecuali untuk mengeluhi keadaan?” tanya Sinta dengan wajah merindukan sebuah kalimat yang bisa membuat ia tenang. “Sin, kata orang; kemenangan terbesar adalah tatkala kita mampu menguasai diri kita sendiri, itu artinya kamu suka mengeluh karena kehilangan kendali diri, dan bahkan tak menguasai dirimu sendiri. Memanglah, keadaanmu mungkin tak sesuai dengan kehendak dan rencanamu sendiri. Namun selama itu sesuai dengan rencana Tuhan lewat perantara kedua orang tuamu, sebenarnya hidupmu sudah ter-encana dengan baik, begitu pikirku Sin”. “sebenarnya aku juga bingung Sin”, timpal Indra, “sebenarnya kebeba-san itu ada atau enggak? Dan kalau ada kebebasan macam apa ben-tuknya, kalau kita pikir secara ilmiah, kebebasan itu adalah sebuah hal yang fatamorgana, kerena memang setiap sisinya senantiasa terus dikawal oleh norma dan etika”. Indra melanjutkan. “aku akui memang, terkadang diriku suka dilabilkan dengan keadaan, maka aku sangat merasa senang ketika kumpul bareng kalian, aku sangat memerlukan masukan dan nasihat kalian, setidaknya dengan mendengarkanpun, hati dan jiwaku merasa puas”. Tutur Sinta. “tenanglah, kita akan selalu ada untukmu Sin, begitu kan Ren?”, tang-gap Indra sambil menengok ke arahku. Kemudian aku iyakan dengan menebar senyum pada kedua sahabatku.

***

Hari sudah semakin gelap, tepat jam 17.24, kami berpisah dari Kafe dan hendak kembali ke tempat kediaman masing-masing. Aku dan Indra mengantarkan Sinta hingga depan rumah orang tuanya, tampak jelas, seorang bapak-bapak berperawakan tinggi berdiri tegak dibalik gerbang besi, ia adalah ayah sinta, kita sempat silaturahmi dengan menyalami ayah Sinta, karena selama ini tak hanya akrab dengan sinta saja, namun lebih dari itu, bahkan sama kedua orang tuanya kita akrab. *Penulis adalah Ketua LDNU Mesir

|PUISI

Sang Perwira Oleh : Jihan Divie Rampuginantaka

Ini jelas bukan tentang R.A Kartini Yang menurut legenda

Seorang pelopor emansipasi wanita

Ini memang bukan tentang Khadijah Radiyallaahu Anha

Wanita, yang namanya dilangitkan jagad raya

Ini juga bukan tentang ratu Victoria

The mother of Europe dengan jabatan paling lama

Ini tentang Sang perwira

Yang lekat aku panggil, Ibu

Tak peduli semana pendengaran mereka

bosan Rentetan cintanya takkan habis tertuang lisan

Tak jadi soal setinggi apa peran ibu mereka letakan

Bagiku ia Mahakarya Tuhan

yang tiada sanggup dimaknai makna Cukup

karenanya, Hidup melebihi hidup

Sang perwira itu Ibu ..

Manusia pantang ucap keluh

Selagi bahu mampu menopang

sungguh Manusia jauh dari hati mengeruh

Selama dengan Tuhan kita bersimpuh

Sang perwira itu Ibu ..

Yang selalu menggaungkan kalam dari Tuhan

"Cintai Rabb-mu, Nak ..

Karena dengan itu,

Kau tak perlu takut adidaya dunia kuasai hati

"Dahulukan Rabb-mu, Nak ..

Jika memang pintamu juga ingin didahului.

"Libatkan Rabb-mu, Nak ..

Atas perkara dunia yang tiada berkesudah

Karena dengan melibatkanNya

Urusan-mu juga akan jadi urusanNya

Sang perwira itu Ibu..

Karena padanya akan kutemukan syurga itu

Page 4: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

4

Gerakan-gerakan pada tari Zapin melayu Riau yang pertama adalah gerak dasar atau langkah biasa. Untuk memulai tari Zapin di awali dengan alif atau yang disebut dengan alif sembah, yaitu sembah tiga kali secara berturut-turut sambil menunduk. Setelah alif sembah dibawakan maka si penari baru memulai lagi gerak berikutnya, yaitu bunga Zapin. Dalam Zapin itu sendiri sebenarnya memiliki beberapa jenis bunga, diantaranya yang sering dipakai adalah sud depan, yaitu dua langkah ke depan dengan injit-injit kaki tiga titik terus balik ke kanan dan berjalan lagi dengan gerak dasar, boleh di buat dua kali, kemudian di lanjutkan dengan bunga berikutnya ya itu “pusing tengah” ini jenis bunga yang ke dua dengan variasi selangkah ke depan lalu berputar membentuk seperti bunga rose bertangkai, itulah bunga yang sering di pakai, masih ada gerakan bunga lain, seperti: siku keluang berbalas, bunga Zapin menyambar, bunga Zapin mata angin, seperti: gerak hormat pembukaan, gerak sembah, gerak alif biasa, gerak bunga alif, gerak pusing, gerak siku keluang, gerak sud mundur, gerak pecah delapan, gerak sud mundur, gerak pecah delapan, gerak geliat, gerak pusing jadi, gerak tongkah, gerak ayam patah (anak ayam patah kaki), gerak seribut, gerak minta tahtoh, dan gerak-sembah. Setelah si penari membawakan beberapa bunga Zapin, dia akan mengakhiri tarinya dengan gerakan meminta tahtoh. Gerakan meminta tahtoh ini merupakan isyarat agar si pemain musik mem-berikannya lagu dan rentak tahtoh. Tahtoh adalah lagu sembah pe-nutup bunga. Setelah itu baru melakukan gerakan tahtoh, dengan tiga langkah ke depan dan duduk sambil memberi salam pada penonton seperti salam ucapan lebaran. Tahtoh juga bisa disebut tahtim, ya itu dalam bahasa Arab artinya penutup. Dalam menari Zapin ini, bunga-bunga Zapin dibawakan pada saat menghadap penonton sewaktu naik. Sedangkan sewaktu mundur ke belakang itu membawakan langkah dasar biasa, dan begitu pula se-terusnya. Sedangkan antara bunga Zapin dan tahtoh atau tahtim, penari bisa membawakan beberapa jenis tari Zapin yang terbagi dalam pecahan-pecahan. Misalnya pecah satu, pecah dua, pecah tiga hingga pecah dua puluh satu bahkan lebih. Ada juga pecahan lain, yaitu dari satu sampai lima belas pecah. Namun ini berbeda dengan pecahan di atas, karena lain guru lain jenis gerak pecahannya. Masing-masing pecah itu ber-beda rentak dan langkahnya, dan bermacam pula variasinya.

| | Tarian indah dengan kekayaan ragam gerak ini awalnya lahir dari bentuk permainan menggunakan kaki, yang di mainkan laki-laki bangsa Arab dan Persia. Dalam bahasa Arab, Zapin di sebut sebagai al-raqs wal zafn. Tari Zapin berkembang di nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Islam yang dibawa pedagang Arab dari hadramaut. Selain dari bumi bertuah lancang kuning atau Riau, Zapin serumpun juga terdapat di Flores, Nusa Tenggara Timur, Ternate, Ambon, Kali-mantan, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan. Namun di Jakarta dan Sulawesi, biasa disebut dengan tari zepeng atau jippeng. Sedangkan di Jawa di sebut zafin. Zapin mampu mengembali-kan akar serumpun yang tumbuh menjadi satu kesenian dan ke-budayaan, yang menggaung di seluruh nusantara. Budaya nan elok untuk mengelokkan jati diri. Karena Zapin penuh dengan syarat yang terus memberikan nilai-nilai positif, lewat kandungannya yang selalu menarik perhatian dunia untuk dikaji dan dibahas. Zapin tak luntur dek hujan tak lekang dek panas, khususnya di provinsi Riau, yang terletak di tengah-tengah pulau Sumatra dan berdekatan dengan Malaka. Di sana Zapin terus berkembang pesat

dari Zapin tradisional menjadi Zapin modern. Dahulu kala, Zapin han-ya di mainkan dengan gambus dan marwas juga alat gendang melayu bebano, ketawak dan sebagainya. Tapi beriring waktu terus berjalan, Zapin pun terus melenggang-lenggok dengan gubahan dan rentak yang baru. Dengan ragam variasi dan kreasinya, Zapin kelihatan lebih apik dengan alat-alat musik modern yang mendukung. Zapin sudah di gadang-gadangkan sejak dahulu kala, tapi dalam perkembangannya pernah mengalami surut dan tenggelam dari masyarakat Riau, hingga dalam beberapa dekade. Melihat kondisi sedemikian rupa, anak-anak melayu kembali bangkit, dan didirikan-lah LAMR (Lembaga Adat Melayu Riau), AKMR (Akademi Kesenian Melayu riau). Disana berkumpul para seniman, sastrawan dan buday-awan Riau untuk duduk bersama memikirkan kembali nasib Zapin di nusantara. Tak ada kata putus asa bagi anak melayu, dan harapan itu akan tetap ada. Dan digunakanlah pepatah melayu, “mengangkat ba-tang hari terendam”, dalam hal ini adalah batang yang sakat akibat surutnya perhatian terhadap nilai sebuah karya anak bangsa. Meski tertatih perih, pada akhirnya Zapin kembali naik pasang dan berkibar dengan semangat merah putih baju teluk belanganya, serta songkok hitam yang selalu jadi pasangan dalam rentak dan tingkah tari mela-yu. Juga songket menghiasi wanita berbaju kurung cekak musang labuh, serta sanggul dan bros yang menyinari penonton. “Amboi pan-dai betul engkau menari”. Alhamdulillah, apa yang ditanam itulah yang dituai, apa yang disemai itulah yang tumbuh, Zapin pun terus tumbuh meregenerasi bak gayung bersambut. Dan kini kembali menjadi perhatian rakyat nusan-tara, tanpa memandang ras, suku, agama dan bangsa. Zapin mampu menyatukan kemajemukan, menjadi kebersamaan yang tak mampu untuk dinilai harganya bagi nusantara. Bayangkan seorang gadis Cina juga mampu menari, walaupun dalam tari itu penuh dengan nilai dan sisipan nilai agama yang lahir dari bocah-bocah muslim dan rahim Islam. Tapi tidak pernah menolak agama lain untuk memainkannya. Begitulah arifnya Zapin, bisa dipakai oleh siapa saja dan kapan saja.

| | Di Mesir, pada tahun 2012, Zapin Riau ikut berpatisipasi sebagai utusan Indonesia untuk lomba seni pelajar asing di Mesir. Agenda ini diadakan oleh kementerian pendidikan Mesir bidang pendidikan un-tuk mahasiswa asing. Acara yang berlangsung di Nadi Wafidin Ramses itu berakhir dengan menggondol piala dan menyabet juara satu men-galahkan tari Nepal dan tari Maroko. Adanya Zapin Melayu di Mesir dimulai pada acara Forum Sumatra tahun 2005 di gedung Sholah Kamil, namun sayang Zapin ini jauh dari perhatian. Selain tidak mem-iliki alat musik sendiri, KBRI pun tidak menyediakan pakaian Zapin seperti baju teluk belanga, baju cekak musang, songket, dan kopiah hitam. Namun tetap kami syukuri karena tiap kali penampilan, baju selalu ada berkat pinjaman dari sahabat-sahabat Riau yang ada di Mesir. Hanya saja pakaiannya berwarna warni tidak seragam, namun tetap tampil walau seadanya dengan iringan musik Zapin Laksmana Raja di Laut yang dinyanyikan Iyeth Bustami. Kami pun membuat sanggar melayu Raja Ali Haji, yang kami lantik pada tahun 2012 di KSMR. Amanah dari nama kelompok studi inilah, kami ingin belajar berkelompok-kelompok, dan mulai memperhatikan bakat anak-anak bangsa yang lama sakit karena tidak memiliki obat. Berangkat dari keprihatinan, kami pun belajar. Dari Zapin, pantun, syair, gurindam, teater, silat, dan lain-lain. Sehingga mampu ditampilkan dalam acara Kelompok Studi Mahasiswa Riau pada “Malam Keakraban”.

*Penulis adalah Koordinator Sanggar Melayu Raja Ali Haji KSMR

Bingkai Nusantara

Zapin Nusantara: Tari Tradisi Melayu Riau

Oleh: Hermi Faisal

Page 5: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

5

Opini

Pencurian lempeng emas di Museum Gajah yang diduga dicuri oleh petugas museum menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelitik. Apa keistimewaan cagar budaya? Atau lebih simpel-nya, apa pentingnya budaya untuk umat manusia? Memang mencuri bisa terjadi di mana saja. Dan tujuan tentu uang. Tapi bukan soal kerugian harta yang menyebabkan pemerintah harus mengusut kasus ini secara serius, tetapi juga kalau nilai suci kebudayaan kita telah dinodai. Harga diri ini yang patut menjadi landasan pemerintah untuk mengoreksi kembali pengurusan cagar budaya. Bahwa ternyata masyarakat kita tuli akan pentingnya sebuah cagar budaya, bagaimana bisa menghar-gai dan menjaganya? Padahal kalau menilik makna budaya secara umum, maka budaya hakikatnya bukan sekedar hasil/cipta yang lahir dari tangan manusia. Akan tetapi juga perkembangan manusia itu sendiri. Dzat manusia dan segala interaksinya yang terus berkembang menjadikan budaya bukan lagi makna statis tetapi dinamis. Bukan lagi kata benda tetapi kata kerja. Apalagi jika ditanya apa kedudukan budaya bagi sebuah bangsa? Ah, tentu jawabannya sangat serius dan melelahkan. Tidak mungkin terbentuk sebuah bangsa tanpa didahului suatu budaya, -dalam arti luas. Maka tugas setiap manusia agar mengetahui budaya lingkungan sekitar sekaligus menghargai hasil ciptaannya. Karena budaya lahir dari sebuah interaksi manusia dengan yang lainnya. Ini makna budaya secara umum, namun jika yang dimaksud makna khusus maka perlu pengetahuan lebih untuk memahami cagar budaya atau hasil karya yang biasa disebut kebudayaan. Yang sekilas dipelajari di sekolah-sekolah, ada ilmu sosiologi dan an-tropologi. Dua bidang ilmu itu yang secara intens membahas bu-daya dan kebudayaan. Walaupun tentunya untuk sekedar menghargai dan mengapresiasi tidak perlu dua ilmu tersebut, cukup menggunakan landasan etika moral yang berlaku di suatu tempat. Kebiasaan pemerintah kita yang ‘malas’ mengelola sesuatu yang tak berduit membuat nasib cagar budaya kita semakin sengsara. Direktorat Jendral Kebudayaan, sebuah lembaga yang diberi ke-percayaan untuk mengelola museum, pernah dilempar kesana-kemari. Pertama di bawah naungan Kementrian Pariwisata lalu dilempar ke Kementrian Pendidikan. Sesuatu yang ternyata san-gat remeh di mata pemerintah bak bola pimpong. Jadi wajar ka-lau cagar budaya kita mudah dicuri oleh negara tetangga. Ba-rangkali di sana cagar budaya lebih dihormati dan dihargai. Eh ternyata tidak, orang Indonesia marah-marah, minta dikembali-kan hak miliknya. Segala mau ngajak ribut pula. Ah. Sekilas Pemahaman Budaya Sebelum beranjak kepada hasil dari kebudayaan yaitu cagar bu-daya, -kasus yang sempat disinggung di atas. Alangkah sejuknya jika kita mengawalinya dengan pemahaman budaya secara seki-las dan umum. Bahwa budaya yang kita pahami sekarang telah banyak diperdebatkan para pakar sejak dulu. Karena ruang ling-kupnya yang sangat komplek, abstrak dan rumit maka hasil definisi yang dilahirkan pun sangat berbeda-beda. Masalah ke-budayaan/budaya memang tidak pernah lepas dari masalah manusia dan kemanusiaan, sementara masalah manusia selalu

berkembang mengikuti arus zaman. Tapi ada satu titik dimana paham kebudayaan akan tetap jernih mengahadi tantangan za-man. Yaitu budaya sebagai dogma paling dasar yang menuntun manusia untuk selalu meningkatkan kualitas hidupnya. Tentu kualitas di sini bukan sekedar makna jasmani. Makna metafisik yang mengarahkan naluri manusia untuk tidak menyembah uru-san duniawi yang semakin hari semakin menggiurkan. Alat canggih untuk membentenginya itu, salah satunya dengan ber-pegang teguh pada falsafah kebudayaan. Sistem kebudayaan yang saya maksud menjadi tuntunan adalah sistem yang lahir dari perangkat agama. Sebab kebudayaan me-mang lahir dari banyak elemen: sistem politik, adat-istiadat, dan budaya wilayah/bangunan. Doktrin dan ajaran agama seha-rusnya mampu membimbing penganutnya untuk menjadi manu-sia yang baik bukan manusia yang jahat. Sebab agama manapun akan mengajarkan kebaikan kepada penganutnya. Jadi jika ajaran agama dipahami secara mendalam, manusia secara tidak lang-sung telah berada di salah satu jalur kebudayaan yang akan membawanya pada kebaikan hidup. Saat manusia lahir ke muka bumi. Dia akan bertanya tentang dirinya sendiri dalam dimensi metafisik bukan fisik. Jika dokter bisa menjelaskan kelahirannya dengan kacamata ilmiah maka agama menjelaskannya dengan kacamata nurani metafisik. Saat dia bertanya tentang hakikat dirinya, di situ dia sedang ber-budaya atau melakukan pekerjaan budaya. Lahirlah pemahaman bahwa kita lahir tidak dengan sendirinya melainkan ada satu misteri yang tak bisa kita capai yang telah menciptakan kita, yai-tu Tuhan yang Maha Esa. Di sini agama berhasil menjawab per-tanyaan nurani itu, maka agama memang telah berjalan di atas relnya sebagai bagian dari sistem budaya. Selanjutnya ajaran-ajaran agama yang luhur sepatutnya harus terimplementasi da-lam setiap laku keseharian. Penulis sedikit menyimpulkan bahwa pemahaman budaya seb-etulnya telah melekat ke pada setiap diri manusia dari generasi ke generasi. Memahami bagaimana menjadi manusia yang ‘’manusiawi’’ itulah makna budaya dalam sub- gagasan/ide. Se-dangkan dalam ajaran kesehariannya manusia harus berpegang teguh pada sub-normatif yang meliputi etika moral, adat, hukum dan aturan-aturan khusus. Sekali lagi baik sub-gagasan atau nor-matif bisa diambil dari sistem agama yang dianut. Dan ini men-jadi paling dominan. Cagar Budaya dan Menghargainya Dalam berbudaya sejatinya orang sedang melakukan suatu pros-es yang pasti akan menghasilkan sesuatu. Sesuatu yang dihasilkan itu yang disebut sebagai Wujud budaya. Terdiri dari tiga wujud: Gagasan (wujud ideal), Aktifitas (tindakan) dan Arte-fak (karya). Adapun yang ketiga itu yang dimaksud sebagai cagar budaya yang kongkrit dan kelihatan. Sesuatu yang kelihatan seharusnya lebih mudah dihargai (diapresiasi) daripada yang tidak kelihatan. Tapi kenapa sampai saat ini pencurian cagar bu-daya di Indonesia masih terus berlanjut? Apa karena tingkat kemsikinan yang terus meningkat? Itu urusan lain! Kemiskinan tidak boleh jadi alasan untuk menodai kebudaayan suatu bangsa. Justru pertanyaan yang paling patut keluar adalah: seberapa be-sar penghargaan kita terhadap cagar budaya?

Potret Sekilas Problematika Budaya

Oleh: Abdul Wahid Satunggal

Page 6: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

6

|PUISI

Nenekku Pahlawan Hidupku

Oleh: Rifatul Mahmudah

Entah mengapa hati ini merindu

Ya merindukan sosokmu yang ku rindukan sepanjang masa

Kau seorang wanita yang amat sangat berjasa untuk jiwaku

Bukan ibu tapi kau melebihi dari seorang ibu..

Ya dialah nenekku pahlawan tanpa tanda jasa..

kupersembahkan ini untuk dia yang selalu menjagaku

Dia yang amat berjasa untukku

Dia yang selalu menyayangiku

Dia yang mempunyai jiwa yang sangat besar

Dia yang selalu aku rindukan

Hingga waktu itu tiba masa di mana kau harus pergi

Meninggalkanku sendiri

Pada saat itu hatiku hancur berkeping-keping

Hidupku hambar tanpa arah tujuan

Tubuhku lemah kosong tanpa isi

Entah ke mana aku harus pergi

Aku tak tahu arah

Ini seperti mimpi bagiku

Mimpi indahkah atau mimpi burukkah?

Aku tak tahu itu..

Kuingat masa kecilku bersamanya

Pergi bersamanya bermain dengannya

Dia yang dengan setia bersamaku

Dia yang setia menemani hari-hariku

Dan banyak lagi kenanganku bersamanya

Ya.. Tapi itu semua hanya kenangan..

Ya kenangan yang tidak pernah aku lupakan..

Khusus untukmu yang di sana ..

Ku titipkan cium perpisahan panjang

Ku titipkan sejuta rindu

Ku titipkan pelukanku lewat Sang pencipta Alam..

Semoga kau tenang di sisiNya

Dan semoga surga yang mempertemukan aku dengamu

Hingga menjadi kita sepasang cucu dan nenek

yang saling menyayangi

Opini

Di Indonesia jumlah cagar budaya tak terhitung. Banyak berdiri museum-museum hampir di setiap daerah. Dalam satu pulau ten-tu banyak daerah. Sedangkan Indonesia negeri yang paling ban-yak pulau. Namun pencurian cagar budaya dalam setiap tahunnya terus meningkat, tahun 2006 terjadi 2 kasus pencurian dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 10 kasus. Akhir-akhir ini pun ter-jadi beberapa pencurian artefak di beberapa museum salah satunya di Museum Gajah Jawa Barat. Pemerintah memang lang-sung mengusut kasus itu dan yakin bahwa pencurinya akan sege-ra tertangkap. Tapi apakah tindakan represif itu pantas disebut sebagai penghargaan kepada cagar budaya? Justru itu semakin menunjukan bahwa pemerintah lemah dalam mengelola cagar budaya. Seharusnya yang dilakukan adalah tindakan preventif, sehingga tidak muncul istilah geger karena kemalingan. Namun pembahasan cagar budaya tidak hanya terbatas pada pengelolaan museum saja. Pemerintah punya tanggung jawab yang lebih besar, sebab cagar budaya masih banyak yang belum dimuseumkan.Tentu caranya bukan dengan mengumpulkan dana lalu mendirikan museum lagi, tapi bagaimana pemerintah mampu memahamkan falsafah cagar budaya kepada masyarakat luas. Betapa berharganya sebuah karya manusia!. Mungkin bagi mere-ka orang yang berpendidikan dan ‘’tahu’’ tidak perlu lagi imbauan semacma itu. Tapi berhubung masyarakat Indonesia mayoritas tak berpendidikan dan tak tahu maka pemerintah harus sadar sepenuhnya sadar, bahwa kepedulian masyarakat terhadap cagar budaya belum tumbuh. Bagaimana bisa menghargai lalu men-gapresiasi, kalau eksistensi cagar budaya saja dihiraukan! Pemerintah punya tanggung jawab besar dalam hal ini. Agar tidak lagi terjadi kebutaan terhadap fungsi cagar budaya bagi sebuah masyarakat (bangsa). Bahkan tidak terbatas sampai situ, pemerintah yang baikpun mampu menghidupkan gairah masyarakat untuk terus mengapresiasi cagar budaya. Mengajak masyarakat untuk ikut langsung menjadi agen budaya yang pedu-li pada cagar budaya. Sehingga kalau rasa cinta dan kepedulian kepada cagar budaya sudah tumbuh, tidak mungkin akan terjadi pencurian semacam itu. Dengan program-program di bawah Ke-mentrian Pendidikan yang komunikatif dan menyatu bersama denyut nadi masyarakat, bukan sekedar seremonial belaka. Maka tanpa harus khawatir pemerintah tentang museum-museum dan cagar budaya lain yang belum termuseumkan. Mungkin untuk mengantisipasi masyarkat yang masih awam akan kesucian artefak budaya, konkritnya kita bisa menggunakan me-dia (khususnya televisi) untuk menayangkan acara-acara yang bertema kebudayaan. Negara kita paling banyak memiliki cagar budaya, tapi paling sering tidak berbudaya dengan cara mene-lantarkan nasib cagar budaya. Agar televisi juga tidak cuma diisi dengan acara-acara yang justru memerosotkan wibawa budaya. Televisi yang cuma jadi lahan para tikus kapitalis. Semoga pemerintah kita benar-benar memanfaatkan alat satu ini. Dan pencerahan soal cagar budaya segera mengendap pada pikiran masyarakat luas. Semoga! *Penulis adalah Koordinator Divisi Budaya LSBNU Mesir

Page 7: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

7

Safari Budaya

Sakakini Palace: Istana yang Terbengkalai

Oleh: Nadya Khanna Syarifah

Dalam sastra dikatakan, rumah adalah cermin dari Sang pem-iliknya. Tak ayal jika seorang Sultan atau penguasa besar mempu-nyai peninggalan yang bernilai, sebanding dengan kekuasaannya pada masa itu. Dicontohkan Sultan Nasher Hasan bin Muhammad bin Qolawun mempunyai madrasah besar nan megah yang berada di maidan Sholahuddin kawasan Qol’ah. Seperti halnya Habib Sa-kakini, seorang kontraktor sukses pada akhir abad 19 pun mem-bangun Istana, sebagai lambang kebesaran “prestasi”nya pada masa itu. Berada di tempat tersembunyi yang bernama Al-Zaher, Abbasiyah. Habib Sakakini Palace ini masih berdiri dengan megahnya. Sanggup membuat mata yang memandang membuat khayal ter-lempar ke Eropa. Dinamakan Habib Sakakini Palace, dinisbahkan kepada pemilik sekaligus pendirinya, Habib Sakakini. Habib Sa-kakini lahir pada tahun 1841 dan meninggal tahun 1923. Nama Sakakini diambil dari bahasa Arab yang berarti pisau. Dikisahkan sebelum menjadi kontraktor, dia berprofesi sebagai pengrajin dan penjual pisau. Dia seorang imigran yang berasal dari Damaskus, Syiria berpindah ke Mesir pada usia 16 tahun. Habib Sakakini memfokuskan bisnisnya di daerah Fagalla, yang lambat-laun menjadi kediamann-ya. Cerita hidupnya rumit, tak ada sumber yang mengetahuinya secara pasti. Ada yang menga-takan kakeknya adalah seorang pedagang senjata. Dan habib lahir di Mesir, kemudian pindah ke Suez untuk menggembangkan bisnisnya. Sampai akhrinya men-jadi kontraktor besar dan kaya raya yang menjadi kontraktor uta-ma dalam pembangunan terusan suez di Laut Merah. Dalam perjalanan karirnya, Habib Sakakini berhasil diberikan ke-percayaan oleh Khediv Ismail un-tuk menjadi kontraktor utama dalam pembangunan Terusan Suez yang diprakarsai seorang in-sinyur berkebangsaan Prancis Ferdinand Vicomte de Lesseps, be-gitu pula dalam pembangunan Opera House dibawah arsitek Italia Pietro Avoscani. Pembangunan selesai pada waktunya. Atas ke-percayaan Khediv Ismail kepada Habib, bisnisnya pun tumbuh pesat. Berkat kedekatan hubungan mereka , diberikanlah Habib sebuah hadiah berupa tanah yang kemudian dibangun menjadi Istananya berdiri megah sampai sekarang. Satu waktu dia bepergian ke Italia dan kemudian jatuh cinta pada arsitektur-arsitektur bergaya klasik yang saat itu sudah menjamur Eropa, namun masih jarang di Mesir. Dengan arsitektur bergaya Rococo yang artistik nan antik, hasil adaptasi dari Italia. Terlihat dari gaya bangunan dengan kubah berbentuk kerucut dan gar-goyle abad pertengahan, dengan patung-patung yang menghiasi taman dan sekeliling bangunan istana. Di depan pintu masuk uta-ma terdapat inisial HB yang berarti habib sakakini pemilik vila

megah ini,dengan cat hijau ala rumah sakit yang tentunya bukan warna cat asli bangunan ini, dalam hal ini terdapat suatu kegan-jilan dimana pengelolaan istana megah ini sebagian dipegang oleh departemen kesehatan, diakarenakan salah satu ahli waris dari habib sakakini adalah dokter dan menurut dia inilah salah satu bukti pengabdiannya kepada profesinya tersebut. Dia menjadikan istana tersebut sebagai museum medis yang mengakibatkan peru-bahan warna bangunan di beberapa bagian. Sejak tahun 80an pengadilan atas kepemilikan bangunan ini su-dah ramai dibincangkan dikalangan pegiat arstektur kuno, dan kemudian setelah proses yang panjang serta persetujuan keluar-ga, kepemilikan istana tersebut resmi menjadi cagar budaya na-sional yang dikelola langsung oleh lembaga terkait. Sejak saat itu pemugaran dilakukan oleh tim ahli dari pemerinta-han untuk mempertahankan kemegahan bangunan tersebut, sisa sisa “pendudukan” oleh para ahli medis menunjukkan bahwa

mereka bukan ahlinya dalam hal merawat bangunan bersejarah ini, dengan debu di setiap ujung lantai juga retakan di banyak sudut ru-angan menandakan bahwa pemu-garan adalah keharusan untuk men-jaga setiap inci bangunan ini dari kerapuhan. Pintu barat menjadi salah satu kunci utama dalam mengetahui usia bangunan ini, disana terdapat pa-hatan yang menunjukkan bahwa istana ini dibangun pada tahun 1897, dan berarti sudah melewati satu abad, oleh karena itu sesuai dengan UU178 tahun 1961 yang menetapkan bahwa semua bangunan , villa atau monumen nilai arsitektur atau jarang ditemui menjadi barang antik setelah melewati seratus tahun dan Sa-kakini Palace ditakdirkan, untuk menjalani perawatan professional oleh tim ahli. Berlokasi di sisi jalan utama yang

strategis, istana ini terlihat aneh karena berpola melingkar dihiasi dengan kubah dan menara. dengan struktur abad pertengahan berhias patung patung di setiap sudut dan juga taman diseke-lilingnya menambah keelokan istana ini. Nampak dari luar bahwa bangunan ini tidak seluas apa yang didalamnya, kesan itu muncul karena didalamnya terdapat 50 kamar dan ruangan dengan 400 jendela dan luas 2.698 meter persegi. Dan tentunya patung patung menghiasi setiap sudut bangunan dan satu patung pemilik rumah ini, yaitu habib sakakini yang terletak di atas pintu utama. Interior bangunan ini menunjukkan betapa sang pemilik adalah pecinta seni, dengan pola keramik yang rumit dan langit langit yang indah dan terlihat beberapa cermin, tidak ketinggalan pula ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur. Gempa bumi yang terjadi pada tahun 1991 mengharuskan renovasi total pada beberapa bagian demi keamanan dan lestarinya istana megah itu.

*Penulis adalah

Page 8: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

Kritik Sastra

Sebuah karya sastra mampu menjelma menjadi cermin yang mere-fleksikan kepribadian pembaca. Tidak sedikit pembaca sebuah novel misalkan, yang akan mencari dan memirip-miripkan kelebihan be-berapa faktor yang terdapat pada suatu tokoh dalam buku, dengan dirinya sendiri. Entah kemiripan karakter, umur, postur, lingkungan kehidupan, kisah, pengalaman, dan sebagainya. Bahkan tanpa perlu sengaja dicari pun, seringkali pembaca bakal menemukan sebuah titik perubahan menohok yang bakal memaksanya melihat dunia dari perspektif tokoh dalam buku. Maka sangatlah wajar, jika pembacaan karakter akan mudah ditemukan dalam pelbagai literatur sastra. Seorang penulis yang tidak berkaca pada sosiologi sekitar, entah dia seorang asosial, atau memiliki masalah komunikasi akut, akan menciptakan karakter-karakter fantasi yang ideal dan seringkali terlalu sempurna dalam tatanan masyarakat normal. Bacaan yang dihasilkan pun bakal dinilai bagus, tapi tentu, subjektif. Karenanya, metodologi psikologi sastra menurut Albertine Minderop, Psikologi Sastra, hadir untuk memandang suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang memuat beragam peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada di dalamnya atau mungkin juga diperankan oleh tokoh-tokoh faktual. Sayyid Quthub dalam bukunya An-Naqdul al-Adabiyyu: Ushuluhu wa Manahijuhu, juga menyatakan bahwa pen-dekatan psikologi terhadap sastra adalah suatu pendekatan yang menggambarkan perasaan dan emosi pengarangnya. Dan sebuah karya yang sangat kaya atas penggambaran karakter yang cukup berhasil, sepertinya tidak etis jika meluputkan satu na-ma. Ahmad Tohari. Terutama dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya. Entah terpengaruh atas karya Barat seperti Mourning Becomes Elektra-nya Eugene O’Neil atau dipengaruhi bacaan lain seperti The Scarlet Letter milik Nathaniel Hawthorne dan buku-buku Freud, To-hari menghadirkan seorang karakter unik yang memiliki gejala Oedi-pus Complex bernama Rasus. Mirip dengan hubungan antara Orin dengan ibunya Christine, seperti Brant sebagai pamannya juga jatuh cinta kepada Christine atas alasan serupa. Meski, tentu, kisah Rasus dalam trilogi RDP tidak diulas segamblang Mourning Becomes El-ektra, karena Srintil bukanlah ibu kandung Rasus, hanya buah dari manifestasi khayal sang lelaki. Oedipus dan Electra Complex: Tren Populer Menggambarkan Watak Sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa telaah karya-karya sastra yang mencerminkan konsep-konsep psikologi, disajikan dengan dua cara. Pertama, menyuguhkan ringkasan cerita tiap-tiap karya sastra yang ditelaah. Kedua, diberikan telaah perwatakan para tokoh yang rele-van dengan tujuan analisis ini. Kedua metode ini sengaja digunakan untuk mengetahui secara komprehensif latar belakang timbulnya permasalahan psikologis dari seorang tokoh/karakter. Tentunya, metode ini membutuhkan biaya kata yang sangat banyak. Sehingga sudut yang sekiranya menarik dibahas adalah Oedipus dan Electra Complek sebagai penyakit jiwa dalam permasalahan psikolo-gi populer karya-karya sastra. Kembali ke Mourning Becomes Elektra. Novel berupa naskah drama dan diadaptasikan ke pelbagai pentas teatrikal dan diangkat ke layar lebar ini, ditulis oleh Eugene O’Neill ini bercerita tenang keluarga Jendral Ezra Manno yang kaya dan terhormat, tapi dengan segudang rahasia keluarga yang terkubur. Dia memiliki seorang istri bernama Christine dan dua orang anak, Lavinia putri sulung dan Orin, anak lelaki bungsu.

Pada mulanya tidak ada kesan aneh dalam keluarga tersebut. Konflik dimulai ketika Christine terlalu mencurahkan cintany kepada anak-nya terlalu berlebihan dan Orin membalasnya kembali dua kali lipat. Lavinia juga begitu. Benci karena merasa ibunya tidak menyayan-ginya, perhatian dan cinta sang gadis pun tercurah penuh kepada sang ayah. Sayang, karena ayahnya adalah seorang jendral, seringkali lebih menganggap medan perang sebagai rumah, cinta sang gadis pun jatuh kepada adik si jendral yang berpenampilan mirip dengan kakaknya, Adam Brant. Konflik pun terjadi. Cinta segitiga yang wajar terjadi, berubah lahan menumpahkan darah dan belulang. Mungkin pembaca bisa menebak, bagaimana cerita berakhir. Koleksi dari Oedipus dan Electra complex yang tergabung dalam satu buku. Bukan hanya dalam Mourning Becomes Elektra saja. Rasus dalam Ronggeng Dukuh Paruk milik Tohari juga membayangkan Srintil se-bagai penjelmaan ibunya. Sedari kecil, pemuda Dukuh Paruk itu ingin sekali mengetahui rupa ibunya. Tapi kabar yang bersliweran dari warga kampong membuatnya muak. Lantas dia pun mencari-cari dan memimpikan soso seorang ibu, dengan kriteria dan kebaikan, kasih sayang serta cinta yang rupanya ia peroleh dari diri Srintil semata. “Ah, sebaiknya kukhayalkan Emak sudah mati. Ketika hidup dia se-cantik Srintil. Bila sedang tidur, tampillah Emak sebagai citra per-empuan sejati. Ayu, teduh, dan menjadi sumber segala kesalehan, seperti Srintil yang saat itu masih telap memeluk keris kecil yang kuletakkan di sampingnya.” Banyak lagi paragraf lain dalam novel pertama trilogy RDP yang mendeskripsikan hal serupa. Terlepas dari motif Tohari memuncul-kan Oedipus complex dalam sosok Rasus di sini, satu kesimpulan asyik yang bisa ditarik: Kebanyakan lelaki yang memiliki penyakit seperti itu, dimulai dari konflik traumatis semenjak masa kecil dan berlanjut hingga mereka remaja. Begitu Freud menyimpulkan. Dari Oedipus dan Electra Complex ini akan berlanjut ke banyak kom-plikasi lain, jika para penderita sama sekali tidak menemui titik un-tuk beralih dari ketimpangan afeksi tersebut. Dalam kasus Mourning Becomes Elektra misalkan, Orin, Lavinia dan Christine merasakan pahitnya konsekuensi yang mereka tanggung, berakibat ke naluri kematian. Berbeda dengan RDP, ketika Rasus mulai belajar mengenal dunia luar, mengenal banyak orang, banyak watak, dan mampu menghadapi dirinya sendiri. Naluri Kematian Unsur populer kedua yang sering digambarkan berkaitan dengan Oedipus Complex, ataupun permasalahan psikologi lain dan masuk dalam objek pembahasan Psikologi Sastra adalah Naluri Kematian. Bisa dibilang, konflik paling dramatis yang sering dimunculkan oleh seorang penulis adalah naluri ini. Sifat dasar manusia yang men-dasari tindakan agresif dan destruktif. Nantinya naluri ini berkembang menjadi dua hal, entah untuk pen-grusakan diri maupun memunculkan keagresifan terhadap orang lain. Poin pertama muncul terhadap orang-orang yang tidak mampu men-gutarakan ekspresinya terhadap orang lain. Mengucilkan diri, be-rapatis terhadap segala sesuatu, memendam seluruh penderitaan tanpa dilepas (contoh melepas, yakni dengan tangis) yang kesemuan-ya merupakan gejala dari Thanatos alias naluri kematian ini. Freud sendiri mendefinisikan naluri sebagai representasi psikologis bawaan dari ekstasi akibat munculnya kebutuhan tubuh atas sesua-tu. Jika pada suati titik dia mengalam penderitaan hebat dan tidak mampu menyalurkannya dari luar dirinya (self) maka naluri pun

Interdisiplin Psikologi dengan Sastra

Oleh: Umar Vrathdar

8

Page 9: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

Kritik Sastra

memaksa diri untuk merusak. Dalam kasus Mourning Becomes Electra, ketika Christine menyadari bahwa Brat, kekasih gelapnya, telah dibunuh dengan gelap mata oleh anaknya sendiri, ia pun sangat terkejut, tidak terima, dan menembak kepalanya sendiri dengan pistol suaminya. Menyusul selanjutnya Orin, dengan alasan yang sama, karena ibunya telah tiada. Begitu juga dalam RDP. Ketika Srintil menyadari kehidupan sebagai ronggeng menuntutnya untuk tidak mampu memiliki anak, nafsu makannya berkurang. Kulitnya menyusut. Dia pun sama sekali tidak menerima tawaran meronggeng, sehinga Nyai Kartareja hampir-hampir emosinya memuncak sudah, jikasaja tidak ditengahi oleh suaminya. Sedikit berbeda dengan poin kedua. Pada titik ini, naluri kematian mereka tidak memaksa untuk merusak diri, tetapi hasrat tersebut justru dilampiaskan kepada benda atau orang-orang di sekitar mere-ka dengan sikap paling agresif. Tidak heran jika pertumpahan darah pun terjadi. Sedikit banyak, hal ini dialami oleh pria. Masih dalam novelnya O’Neill, kecemburuan hebat Orin terhadap pamannya, Brant, dibantu dengan Leviana karena merasa Brant berkhianat ter-hadap dirinya, terpupuk sejak lama dan membuncah hingga kakak-beradik itu pun tega menghabisi pamannya. Psikologi Sastra: Pisau Wajib para Kritikus Sebenarnya banyak permasalah yang mampu dibedah Psikologi Sas-tra. Dua hal di atas, Oedipus Complex dan Thanatos (death wish alias naluri kematian) hanyalah sebagian kecil dari objek telaah perwa-takan. Karya sastra di zaman modern ini, apapun bentuknya, sarat dengan unsur-unsur psikologis sebagai manifestasi: kej3iwaan pengarang, para tokoh fiksional dalam kisahan dan pembaca. Tetapi perlu diingat. Banyaknya karya fiksi bernuansa psikologi yang beredar di pelbagai emperan toko buku yang menyajikan beragam kasus psikologi dari yang kecil sampai tingkatan akut, bukan berarti harus dipecahkan atau diberi solusi oleh psikologi sastra. Psikologi Sastra hadir sebagai intrumen untuk memhami aspek-aspek keji-waan yang terkandung dalam suatu karya, mulai dari tokoh, faktor lingkungan, iklim, alam, sahabat, penyimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat serta elemen-elemen lain yang terkait dengan psike (jiwa). Nantinya bisa disimpulkan, sekiranya ada tiga fungsi pendekatan antara psikologi dengan sastra menurut Nyoman Khuta Ratna dalam bukunya Teori, Metode dan Penelitian Psikologi Sastra, yaitu:

1. Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis (Tuhan suatu karya)

2. Memahami unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya sastra

3. Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca Lantas psikologi sastra, sekali lagi, mempelajarinya sama halnya mempelajari manusia dari dalam. Meskipun hemat ini sedikit subjek-tif, tapi tanpa kehadiran psikologi sastra dengan berbagai acuan keji-waan, kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Kecerdasan para sastrawan di luar sana seringkali melampaui batas kewajaran. Bisa jadi kepribadian pengarang sendiri adalah seorang antisosial, tetapi dengan kekayaan imajinasi dan kecerdasan nalarnya, dia mampu menjelma menjadi sociopath yang sanggup menciptakan manusia-manusia dengan karakter unik yang beragam dalam dunia khayalnya yang serba luas. Imajinasi mendahului ilmu pengetahuan, bukan? *Penulis adalah Ketua SAMAS (Sajak Masisir) Rumah budaya AKAR

9

|PUISI, Oleh: Yunita Indriani

Mengenangmu adalah Keheningan

gerimis ini mengusik keheningan

membiarkan telaga menjelma di mata

sedang malam hanya bisa terdiam saja

seikat kenangan merambati hati

bersua dengan sunyi

tak peduli luka ini makin menganga

terhimpit dalam luka dan tawa

mengenangmu adalah hening

seperti senyap tanpa denting

yang membuatku seketika tenggelam

dalam takut akan kelam

(30 November 2011)

Sepulang Itu

Sepulang itu

Rincik rindu berantakan dalam basah

Alimku sirna dalam resah

Mengintip-ngintip kalender dalam gelisah

Ah, barangkali ada rindumu menyusup pada jantung itu

Sepulang itu

Kerap angan ini menjelma kaki

yang tak pernah letih mengayun

kerap juga menjelma pena

yang tak pernah letih menggores kata

Sepulang itu

Aku belajar memahami ketiadaanmu

(Rancaekek, 14 Februari 2012)

Keluarga Besar HIROGLIF LSBNU Mesir

Mengucapkan:

Selamat Tahun Baru Hijriah 1435

Dan

Selamat Hari Pahlawan

Page 10: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

Kolom Budaya

“Cita-cita ideal tradisi, kebudayaan dan peradaban

dimulai dari bagaimana kita membina keseharian kita.”

Se-simpel itu, dan kita tahu bahwa di tahun-tahun ini apa yang men-jadi “penanda” hidupnya sebuah tradisi bukan lagi kualitas manu-sia—kemampuannya dalam mengatasi apa yang di “luar” dirinya. Dan suatu hari pernah kita dikenalkan seorang Nyai yang acapkali disebut-sebut oleh Minke itu, Nyai Ontosoroh—sengaja saya mengenalkannya pada kalian, tentu karena ia memiliki seorang ga-dis cantik, Annelis namanya. Dan Ontosoroh itu, kurang rendah apa, serta betapa asor-nya: bersuamikan Belanda yang terhormat, se-mentara ia priboemi –berapa pula harga diri seorang priboemi pada masa itu?. Akan tetapi, berkat kejelian dan gigihnya membina “keseharian”, ia mampu menghargai dirinya sendiri: pada usia yang kian menua, justru kian ia menguati potensi, wawasan, dan profe-sionalismenya—potensi yang tersimpan dalam diri siapa saja! Tak peduli priboemi ataupun kaum penjajah!

Lalu, apa yang menandai tradisi dan budaya yang tengah kita jalani sekarang ini?

Tak perlu saya menyebutkannya satu-persatu apa-apa yang telah menandai itu, juga tak perihal yang samasekali paradigmatik menurut carapandang kebudayaan. Namun, saya akan katakan beta-pa “keseharian” ialah perkara yang sangat agung. Karena “keseharian” ialah hadirnya kesadaran utuh setiap dari kita, atas diri dan interaksinya dengan yang di “luar” diri. Jadi, “keseharian” ber-gantung erat dengan kecerdasan batiniah manusia—baik itu akal, jiwa, atau rasa—dalam “menyikapi” hidup.

Barangkali perlu saya sebut satu-dua “keseharian” itu—dan sekali lagi, ia bukan hal yang istimewa secara ilmiah atau intelektual sekalipun, yakni apa yang dilakukan dalam sehari-hari: makan, misalnya. Betapa makan menjadi hal yang sangat istimewa tatkala ia dilibatkan dengan: selera, waktu, tempat, kebutuhan akan gizi. Mari kita buktikan betapa persoalan makan –yang secara sederhana han-yalah aktifitas mengisi lambung itu: tiba-tiba menjadi persoalan yang sangat rumit dan membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang kadangkali tak sederhana, ribet! Barulah diperhubungkan dengan empat hal yang tercetak miring di atas, kita sudah diper-hadapkan dengan: restauran-restauran, pelbagai jenis makanan dan bentuk penyajian, dokter-dokter kesehatan, bahkan sesekali-dua kali menekan tombol handphone untuk menyampaikan pada Bos perusahaan—misalnya,

“Maaf, Pak, saya sedang makan. Barangkali 15 menit lagi saya baru bisa menemui bapak.”—betapa satu aktifitas sederhana memiliki konsekuensi-konsekuensi yang bahkan bersifat sistemis, karena ada hubungannya dengan waktu yang estimatif sifatnya.

||

Dan setiap dari kita lahir tak hanya untuk meneriakkan tangis: se-tiap dari kita lahir mengemban tugas guna menyingkap “keterlupaan”—serta-merta menggunakan istilah ‘keterlupaan’, sebagai lawan dari kesadaran. Jadi, kian berhasil kita menajami kesadaran, maka kian tersingkaplah ketaksadaran itu, “keterlupaan” itu. Semakin jauh menenggelamkan diri dalam kehidupan, semakin gelaplah jalan dan tujunya—dan setiap dari kita bertugas untuk menyingkapnya. Dan harus kita, harus manusia!—Bukankah manu-sia yang dibekali akal, ruh, jiwa, serta wahyu Tuhan?

Jadi, jangan pernah menganggap apa yang nampak sekarang ini se-

bagai yang “terberi”—apa yang selayaknya kita gunakan untuk memudahkan hidup semata: fasilitas-fasilitas hidup, alat-alat, ke-megahan-kemegahan, dan segalanya. Akan tetapi, sesekali perlu untuk kita bertanya: siapa yang mencipta semua ini, bagaimana prosesnya, apa titik tuju dan “resiko” ketika kita menggunakannya?

Saya juga tak banyak tahu, entah sejak kapan perkara-perkara yang melibatkan pikiran—kemudian melibatkannya dengan sedikit intim, sekali itu pula “dianggap” tengah ber-filsafat(?). Sekalipun persoalan bagaimana melibatkan pikiran –yang dari hal ini kita bisa melakukan kategorisasi ber-filsafat atau sekedar ber-fikir ala awam-, tak pernah diambil peduli. Filsafat menjadi sebuah ironi yang tak jelas penisbatannya: “ia kafir!”, kata banyak orang, tak urus sebab-musababnya.

Tapi ini persoalan “keseharian”: adakah cara terbaik tuk membina dan mendidiknya, selain jujur terhadap diri sendiri yang—diakui ataupun tidak—sudah banyak melewatinya, melewati hari-hairi itu? Berapa hari yang telah kita lewati, di sementara nominal umur su-dah menunjuk angka 21 tahun?

“…dan dari 21 itu, kita bisa menghitung mundur: kapan “kesadaran diri” kita secara perlahan mengutuh—dengan kian dipercaya oleh orang tua, misalnya, dalam banyak hal; menentukan tempat sekolah, mengolah uang saku, mengerjakan PR, menjalankan ibadah tanpa pengawasan, mengatur kamar, rekreasi tanpa diiringi, atau bahkan dipercaya oleh orang lain, dipercaya oleh pacar sekalipun. Dari 21 itu, kita bisa menentukan pada umur berapa kita—dalam istilah Jawa—“mentas”: mendapat kepercayaan utuh dari orang tua/ keluarga un-tuk menentukan jalan hidup, dan cara menjalaninya. Mentas ialah persoalah “hak”: hak untuk masing-masing dari anak mempelajari kehidupan dan menyikapinya.”

||

Dan mari sejenak menepi: memutus ikatan-batin masing-masing dari kita dari lingkungan, kebudayaan, dan peradaban. Ya, seperti dukun bayi yang dulu memutus tali-pusat kita dengan rahim ibu. Akan tetapi ikatan yang satu ini berlipat-lipat lebih kuat: lingkungan itu yang seolah merasuk, lalu menjadi bagian dari kita, dan kita menjadi bagian darinya. Ia merasuk melalu pori, lalu menuju pem-buluh darah, men-daging, lalu hadir dalam pikiran yang kita nya-takan dalam “keseharian”. Dan lingkungan itu ialah lembaga-lembaga pendidikan, surau-surau, buku-buku pelajaran, diktat-diktat kampus, agama, ideologi, media-media informasi, dll. Lihatlah, dunia t’lah menjadi bagian dari kita, dan kita bagian dari dunia: ba-gian yang diam!

“…Kita berbicara atasnama apa yang kita baca, berlaku atasnama dedawuh kiai atau orang tua, melatah atasnama segala yang tengah ‘booming’ dalam tradisi, dll: bahwa pengetahuan –yang mendasari sikap dan laku kita pada hidup, ialah apa yang kita dapatkan, bukan apa yang kita CETUSKAN! Kita bangga menjadi ‘penyambung lidah’ pengetahuan, tapi tak pernah berupaya menghasilkannya!”

Memutus ikatan-batin dengan lingkungan, ya, untuk kemudian men-ciptakan. Tanpa itu,

Betapa kita tengah menjadi “penyambung lidah” pengetahuan!—menerima informasi, mengingat-ingat dengan baik, lalu menyam-paikan di kelas-kelas pada tempo lain. Itu saja, dan dengan menjadi penyambung tersebut berharap-harap alam akan menghargai kita sebagai yang ber-ilmu. Tidak, kita tidak hadir tuk menjadi yang sedemikian rupa! Kita tak melata di bumi manusia ini hanya untuk menjadi “pelacur” ilmu![]

*Penulis adalah Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir

Tradisi

Oleh: Khozien Dipo

10

Page 11: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf

Lembaga Seni dan Budaya

Nahdlatul Ulama Mesir

Periode 2012-2014

11

HIROGLIF

Buletin Seni dan Budaya

Edisi Agustus 2013

Diterbitkan Oleh:

LSBNU Mesir

Ketua:

Iqbal Fathoni

Pemimpin Redaksi:

Hasan Hanung

Anggota Redaksi:

Naylu Tsuroyya

Layali Hilwa

Abdul Wahid Satunggal

Layouter:

A. Subakri

Kritik dan Saran:

http://facebook.com/lsbnu.mesir

Galeri LSBNU Safari Budaya | Bab el-Futh, 19 Juli 2013

Page 12: Buletin HIROGLIF Edisi November 2013.pdf