Buletin April 2016

10
PRESIPITASI BANDUNG, FBM ITB Beker- jasama dengan Rumah Ke- pemimpinan PPSDMS Band- ung, Forum Bidikmisi ITB 2016 menyelenggarakan Leader- ship Talk 2016 pada tanggal 20 Maret 2016. Acara bertajuk “Pemimpin Membangun Negeri” Ini dihadiri oleh ra- tusan mahasiswa ITB angkatan 2014 dan 2015, baik beswan bidikmisi , beswan Rumah Kepemimpinan, dan kalangan umum. Acara yang berlang- sung di Aula Barat ITB ini menghadirkan empat oembi- cara: Ryan Alfiannoor (Alumni RK PPSDMS Bandung angkatan 4, sekarang Direktur teknis Migas Hulu Jawa Barat), M. Reza S. Zaki (Alumni RK PPSDMS Yogyakarta angkatan 5, Ketua Rumah Imperium Sumedang), Agung Wijaya Mitra Alam (Alumni RK PPSDMS Bandung angkatan 4, CEO AWMA Perfection), dan Nurhadi Sukma Waluyo (Alumni RK PPSDMS Bandung angkatan 2, saat ini Researcher di Korea University of Science and Technology dalam bidang Advanced Energy Technology). Keempat berbicara berasal dari back- ground kerja yang berbeda: pendidikan dan penelitian, pengabdian masyarakat, pemer- intahan, dan wirausaha. Selain untuk berbagi pengalaman, seminar ini dapat berperan sebagai sumber inspirasi profesu ketika lulus kuliah. Masing-masing pembicara berbagi pengalaman terkait perjuangan mereka dalam me- nembus zona nyaman mereka hingga dapat menjadi pemimpin yang bertanggungjawan. Reza misalnya, memberdayakan masyarakat dengan Rumah Imperium yang bergerak untuk memajukan daerah Sumedang. Sebagaimana menurut kutipan dari Leiden, “Pemimpin harus rela meninggalkan kenyamanan dan berjuang untuk mewujudkan im- pian mereka”. Setelah sesi talkshow, diumumkan 30 tulisan terbaik dan pengumuman juara sayembara Inspirational Story yang dilaksanakan Forum Bidikmisi ITB pada akir tahun lalu. Volume IV 2016 Buletin Triwulan Lombasiana 2016 Halo BM-ers! Daripada mengeluh tentang uang BM yang turunnya kelamaan, yuk produk- tif. Berikut ini ada beberapa lomba yang dapat teman-teman ikuti. Mangga dilahap :D 1. Lomba Menulis Kementerian Perhubungan 2016 ( http://goo.gl/4iCXq2) 2. Lomba Menulis Bank Indonesia 2016 ( http://goo.gl/aOqFB3) 3. Lomba Blog BRI Syariah 2016 Tabungan Haji (http://goo.gl/A1BdNt) 4. Lomba Menulis Pesona Gerhana Matahari Total Kementerian Pariwisata Indonesia Travel 2016( http://goo.gl/ElZcxd) 5. Lomba Jurnalistik Kemdikbud 2016 http://goo.gl/JTn1OE Reportase: Leadership Talk 2016 BULETIN FORUM BIDIK MISI ITB 2016 Reportase: Leader- ship Talk 2016 Lombasiana 2016 1 Dianita Candra Dewi: Mentoring... 2 Orang-Orang di Seki- tarmu Aset Kesuk- sesanmu 3 Inspiration: To Look For It 4 Secarik Hidayah dari Menara Shalahuddin 5 Pengumuman Pemenang Writing Inspirational ... 7 Cerpen: Langit Kembali Bernyanyi 8 INSPIRASI

description

Dengan mengucap alhamdulilahirabbil'alamin, pada bulan ketiga kepengurusan Forum Bidikmisi 4 ITB Divisi Karya dan Inovasi dapat menerbitkan buletin triwulan edisi pertama. Semoga esensi dari buletin ini dapat menginspirasi untuk berkarya dan berinovasi. #BeraniMimpiBeraniAksi

Transcript of Buletin April 2016

PRESIPITASI

BANDUNG, FBM ITB — Beker-

jasama dengan Rumah Ke-

pemimpinan PPSDMS Band-

ung, Forum Bidikmisi ITB 2016

menyelenggarakan Leader-

ship Talk 2016 pada tanggal

20 Maret 2016. Acara bertajuk

“Pemimpin Membangun

Negeri” Ini dihadiri oleh ra-

tusan mahasiswa ITB angkatan

2014 dan 2015, baik beswan

bidikmisi , beswan Rumah

Kepemimpinan, dan kalangan

umum. Acara yang berlang-

sung di Aula Barat ITB ini

menghadirkan empat oembi-

cara: Ryan Alfiannoor (Alumni RK PPSDMS Bandung angkatan 4, sekarang Direktur teknis

Migas Hulu Jawa Barat), M. Reza S. Zaki (Alumni RK PPSDMS Yogyakarta angkatan 5, Ketua

Rumah Imperium Sumedang), Agung Wijaya Mitra Alam (Alumni RK PPSDMS Bandung

angkatan 4, CEO AWMA Perfection), dan Nurhadi Sukma Waluyo (Alumni RK PPSDMS

Bandung angkatan 2, saat ini Researcher di Korea University of Science and Technology

dalam bidang Advanced Energy Technology). Keempat berbicara berasal dari back-

ground kerja yang berbeda: pendidikan dan penelitian, pengabdian masyarakat, pemer-

intahan, dan wirausaha. Selain untuk berbagi pengalaman, seminar ini dapat berperan

sebagai sumber inspirasi profesu ketika lulus kuliah.

Masing-masing pembicara berbagi pengalaman terkait perjuangan mereka dalam me-

nembus zona nyaman mereka hingga dapat menjadi pemimpin yang bertanggungjawan.

Reza misalnya, memberdayakan masyarakat dengan Rumah Imperium yang bergerak

untuk memajukan daerah Sumedang. Sebagaimana menurut kutipan dari Leiden,

“Pemimpin harus rela meninggalkan kenyamanan dan berjuang untuk mewujudkan im-

pian mereka”. Setelah sesi talkshow, diumumkan 30 tulisan terbaik dan pengumuman

juara sayembara Inspirational Story yang dilaksanakan Forum Bidikmisi ITB pada akir

tahun lalu.

Volume IV 2016

Buletin Triwulan

Lombasiana 2016

Halo BM-ers! Daripada mengeluh tentang uang BM yang turunnya kelamaan, yuk produk-

tif. Berikut ini ada beberapa lomba yang dapat teman-teman ikuti. Mangga dilahap :D

1. Lomba Menulis Kementerian Perhubungan 2016 ( http://goo.gl/4iCXq2)

2. Lomba Menulis Bank Indonesia 2016 ( http://goo.gl/aOqFB3)

3. Lomba Blog BRI Syariah 2016 Tabungan Haji (http://goo.gl/A1BdNt)

4. Lomba Menulis Pesona Gerhana Matahari Total Kementerian Pariwisata Indonesia

Travel 2016( http://goo.gl/ElZcxd)

5. Lomba Jurnalistik Kemdikbud 2016 http://goo.gl/JTn1OE

Reportase: Leadership Talk 2016

B U L E T I N F O R U M B I D I K M I S I I T B 2 0 1 6

Reportase: Leader-

ship Talk 2016

Lombasiana 2016

1

Dianita Candra

Dewi: Mentoring...

2

Orang-Orang di Seki-

tarmu Aset Kesuk-

sesanmu

3

Inspiration: To Look

For It 4

Secarik Hidayah dari

Menara Shalahuddin 5

Pengumuman Pemenang

Writing Inspirational ... 7

Cerpen: Langit Kembali

Bernyanyi 8

INSPIRASI

“Alasan jadi men-

tor? Karena ingin terus

berbagi,” ujar gadis

kelahiran 12 Juli 1995

ini. Mahasiswi jurusan

Farmasi Klinik dan Ko-

munitas (FKK) ITB 2013

ini adalah salah satu

diantara mentor Bidik-

misi yang masih nge-

m e n t o r h i n g g a

sekarang. Dian telah

menjadi mentor bidik-

misi selama dua tahun

untuk SITH Rekayasa

2014 dan FTMD-SAPPK

2015. “Asyik sih, dapat

berbagi dengan adik-

adik. Terlebih lagi adik

-adik banyak mengin-

spirasi Saya dalam ber-

bagai macam hal.” Aku

Dian.

Dinamika menjadi

mentor telah banyak

dilalui Dian. Mulai dari

mentee yang tidak mau

dating. Menanggapi hal

ini, gadis yang ber-

mimpi ingin melanjut-

kan kuliah di Jerman ini

berpesan, “Ajak men-

tee dengan hati, te-

kankan pada mereka

bahwa mentoring—

sesibuk apapun bu-

kanlah sekedar pengisi

waktu luang. Mentoring

adalah tempat kita be-

lajar bersama dan shar-

ing pengalaman agar

semakin dewasa dan

b i j a k s a n a d a l a m

menghadapi apapun.”

Beberapa kiat yang

dapat dilakukan untuk

menciptakan mentoring

yang menginspirasi

adalah menyediakan

sesi curhat, menyelip-

kan semangat dan moti-

vasi, serta lakukan

mentoring tamu agar

wawasan semakin luas.

lannya untuk menga-

jar di Manteos, agar

setiap divisi dapat

merasakan indahnya

pengabdian masyara-

kat dan dapat me-

lepas penat dari tu-

gas kuliah dengan

mengajar anak-anak.

Biasanya kegiatan

mengajar di Manteos

berlangsung di pagi

hari Minggu.

Melalui bulletin ini,

Salah satu program

kerja Divisi Pengab-

dian Masyarakat

(Pengmas) Forum

Bidikmisi (FBM) ITB

adalah Saung Bidik-

misi. Bertempat di

Manteos, gerakan ini

mencakup anak-anak

segala usia. Setiap

minggu, secara ber-

giliran, divisi-divisi

dari FBM ITB men-

girimkan perwaki-

FBM 4 ITB menyam-

paikan salam dari

adik-adik di Manteos.

Tetap doakan se-

moga program ini

tetap sustain dan

menjadi ajang penye-

bar manfaat di kalan-

gan generasi muda.

Page 2

Dianita Candra Dewi: Mentoring dan

Ngementor, Menginspirasi

PRESIPITASI

“Ajak mentee

dengan hati, setelah

itu barulah mereka

dapat bergerak

bersama kita, saling

menginspirasi”

Salam dari

Manteman Kecil di

Saung Bidikmisi

Manteos

Kesulitan ekonomi bukanlah

halangan untuk terus belajar. Apalagi jika

kau memiliki orang-orang yang selalu

mendukungmu. Pernyataan ini sungguh

benar adanya. Aku berani mengatakannya

karena hal itu sudah terjadi padaku.

Aku terlahir dalam keluarga yang

sederhana. Ayah sudah meninggal dunia

saat aku masih kelas 2 SD. Ibu

menghidupi keluarga dengan bekerja

sebagai tukang cuci pakaian. Gaji ibu

t i d a k s e b e r a p a ,

sehingga untuk makan

pun terkadang kami

kesulitan.

Di awal bulan, gaji Ibu

turun. Setengah dari

gaji tersebut digunakan

un tu k me mb a yar

hutang di warung.

Selebihnya digunakan

untuk belanja bahan makanan pokok. Saat

awal bulan itu lah kami bisa makan tiga

kali sehari dengan gizi yang cukup.

Menjelang akhir bulan, bahan makanan

yang tersedia sudah hampir habis, hampir

setiap hari kami makan dengan lauk mie

instan. Bahkan, pernah kami hanya makan

nasi tanpa lauk. Untung saja Ibu cerdas, ia

memasak nasi tersebut dengan santan

sehingga kami masih bisa makan dengan

nikmat.

Di sekolah, aku hampir tidak

pernah jajan. Ibu memang tidak pernah

memberiku uang jajan. Uang jajan selalu

kudapatkan sendiri. Sejak belum

bersekolah, aku sudah terbiasa bekerja

mencuci piring di warung Bibi. Dari situ,

aku mendapatkan upah Rp500 sehari. Jika

rambutan di halaman rumah berbuah, aku

pun selalu menjualnya di pasar. Saat Bibi

sudah tidak lagi membuka warung, aku

sempat tidak bekerja. Namun, tidak

beberapa lama kemudian aku

diperbolehkan bekerja di rumah usaha

kerupuk teman kelasku. Di sana, aku

biasa membantu menyiapkan bahan baku

dan membungkus kerupuk. Saat itu aku

sudah kelas 5 SD, tidak heran jika gajiku

sudah lumayan: Rp15000 seminggu. Saat

kelas 2 SMP, aku kembali kehilangan

pekerjaan. Keluarga temanku ini pindah

ke daerah lain. Jadi lah aku diminta

tetangga yang lain untuk bekerja menyetrika

pakaian. Namun itu juga tidak berlangsung

lama. Akhirnya, saat kelas 3 SMP aku diminta

tetanggaku untuk mengajar membaca anaknya

yang masih TK. Itu adalah pekerjaan terakhirku

sampai saat ini.

Sejak SD hingga SMA, perjalanan

akademikku tidak pernah tersandung kesulitan

ekonomi. SD-ku (SDN 008 Ujung Tanjung) dan

SMP-ku (MTsN Ujung Tanjung) memiliki

kebijakan untuk menggratiskan SPP untuk

siswa/i yang sudah tidak

memiliki ayah. SMA-ku

(MAN Insan Cendekia

Serpong) memberikan

beasiswa 100% gratis

kepada seluruh siswa/i

yang bersekolah di sana.

Meski begitu, saat akan

kuliah di ITB aku

mendapatkan sedikit

cobaan. Kalau dipikir-pikir, mungkin cobaan itu

datang untuk menguji apakah aku serius ingin

melanjutkan studi atau tidak.

Sehari sebelum berangkat ke Bandung

untuk daftar ulang mahasiswa baru ITB, aku

dipanggil oleh Paman dan Bibiku. Mereka

merisaukan keadaan ekonomi keluargaku dan

keinginanku kuliah di ITB. Mereka menyuruhku

untuk mempertimbangkan lagi keinginanku itu.

Ibuku sudah tua, keluarga kami bukan orang

punya. Bagaimana nanti jika aku hanya dapat

kuliah setengah jalan karena kesulitan ekonomi?

Mereka takut aku akan menjadi stress,

kemudian gila. Aku sudah menjelaskan pada

mereka bahwa aku menerima beasiswa

BIDIKMISI, tidak hanya uang kuliah saja yang

gratis tetapi aku juga akan mendapatkan living

cost per bulan. Mereka mengkhawatirkan

beasiswa tersebut akan putus di tengah jalan

atau tidak turun sehingga tetap memintaku

untuk kuliah di dekat rumah saja.

Saat itu aku benar-benar hampir putus

asa, tidak tahu entah bagaimana lagi agar bisa

meyakinkan Paman dan Bibi. Bahkan Ibu,

kakakku, dan adikku pun hanya bisa terdiam.

Aku tahu mereka mendukungku. Tetapi apa

yang dikatakan oleh Paman dan Bibi memang

benar adanya. Bahkan, biaya untuk perjalananku

ke Bandung pun belum ada saat itu. Akhirnya

aku pun menangis. Sambil terus berdoa agar ada

jalan keluar, aku menelepon guru BP SMA-ku,

Bu Rini. Saat itu sudah pukul 9 malam. Bu Rini

Page 3

Orang-Orang di Sekitarmu Aset

Kesuksesanmu (Kasmawati, TK ITB2013)

PRESIPITASI

“Meski begitu, saat

akan kuliah di ITB

aku mendapatkan

sedikit cobaan. Kalau

dipikir-pikir,

mungkin cobaan itu

datang untuk menguji

apakah aku serius

ingin melanjutkan

studi atau tidak.”

kaget karena aku menelepon

beliau malam-malam sambil

menangis. Aku pun

menceritakan semua

permasalahanku pada beliau.

Beliau menenangkanku dan

berkata akan berusaha

mencarikan jalan keluar.

Setelah itu, aku menjadi agak

tenang. Dan keesokan harinya,

Bu Rini meneleponku bahwa

para guru SMA-ku sudah

mengumpulkan dana bantuan

untuk biaya perjalanan ke

Bandung. Alhamdulillah,

dengan nekad akhirnya aku bisa

berangkat ke Bandung juga hari

itu.

Hingga hari ini aku

selalu bersyukur jika mengingat

hal itu. Aku berterima kasih

kepada Tuhan, keluarga, guru-

guru, dan semua yang selalu

mendukungku. Tanpa mereka,

mungkin saat ini aku hanya akan

dapat menangis, meratapi nasib

mengapa tidak dapat kuliah di ITB.

Alhamdulillah, Engkau memberiku

orang-orang yang baik, Tuhan.

Mengingat apa yang sudah

kuterima hingga saat ini,

membuatku ingin melakukan hal

yang berguna. Tidak hanya untuk

aku dan keluargaku, namun juga

untuk orang-orang yang bahkan

tidak kukenal. Aku ingin menjadi

seorang technopreneur.

Mengaplikasikan ilmu yang sudah

kudapat, menjadikannya bisnis yang

bermanfaat bagi orang banyak.

Menyediakan lapangan kerja,

menyumbang untuk kemajuan

ekonomi negara.

Cita-citaku ini lagi-lagi didukung

oleh orang-orang sekitarku, meski

mereka tidak menyadarinya. Saat ini

d i h i mp u n a n k u , H I M A T E K

(Himpunan Mahasiswa Teknik

K i m i a ) , s u d a h d i b e n t u k

Technopreneur Club. Klub ini baru

dibentuk tahun ini. Entah kebetulan

atau tidak, aku merasa inilah jalan

yang ditunjukkan oleh-Nya. Sekali

lagi aku bersyukur. Semoga memang

inilah jalanku. Semoga apa yang

kulakukan benar-benar berguna dan

bermanfaat, karena aku tahu bahwa

sebaik-baik manusia adalah manusia

yang bermanfaat.

Redaksiana Inspiration: To Look For It

sesuatu yang mengalir

keras di dalam darah

dan berdegup kencang

d i d a d a s e t i a p

mahasiswa. Aroma

persaingan sangat

kental: semasa TPB,

p e r s a i n g a n

mendapatkan jurusan

berlangsung sangat

ketat. Ketika di jurusan,

persaingan mendaftar

kelas di ol.akademik tak

ubahnya seperti The

Hunger Games. Dalam

mengerjakan tugas

kelompok, semua tak mau

kalah.

Persaingan, walau

bagaimanapun bukanlah

h a l y a n g n y a m a n .

Kadangkala begitu kalah,

kita langsung menyerah.

Begitu keluar dari zona

nyaman, kita langsung

merengek.

Lantas, bagaimana cara

mendatangkan inspirasi?

Rajin-rajinlah datang

seminar/ workshop /talkshow,

p e m b i n a a n y a n g

mengundang pembicara

inspiratif, mentoring, atau

membaca kisah-kisah para

p e l i n t a s b a t a s , a t a u

bermainlah bersama anak

kecil. Ketulusan berbagi

adalah salah satu sumber

inspirasi yang kuat.

Inspirasi, menurut

kbbi berarti ilham.

Ilham adalah sebuah

pemikiran yang

m e m b u a t k i t a

t e r g e r a k u n t u k

melakukan sesuatu,

b a i k m e n c i p t a

maupun bertindak.

Seringkali tanpa

inspirasi pikiran

menjadi buntu dan

p r o d u k t i v i t a s

menjadi turun. Ibarat

kata Tuk Dalang saat

mencari ayamnya,

Rembo, dibantu si

kembar lucu Upin-

Ipin, “Makan tak

habis, tidur tak lena,

mandi tak basah”.

Semua hal menjadi

serbasalah.

“ S e m a n g a t

b e r t a r u n g ” d i

kampus ITB adalah

Volume IV 2016 Page 4

“Ketulusan berbagi

adalah salah satu

sumber inspirasi

yang kuat”

Langkah kakiku mulai

terasa berat setelah mena-

paki kurang lebih 400

anak tangga. Aku berhenti

sejenak dan menarik na-

pas dalam-dalam. Tern-

yata aku salah, udara dis-

ini begitu lembab se-

hingga berhenti melang-

kah malah menambah

sesak dadaku. Lagipula,

baterai senter kecil yang

kugenggam sekarang bisa

habis dan aku tentunya

tidak mau terjebak dalam

kegelapan. Akupun men-

garahkan senter kedepan

lalu keatas, menghitung

berapa banyak anak

tangga yang masih tersisa.

“Dua puluh lagi,

sial !” aku mengumpat

sambil meninju pegangan

tangga yang ada di sisi

kiriku.

Tangga pun ber-

getar cukup keras. Struk-

tur alumuniumnya yang

ringan tidak mampu mere-

dam pukulanku secara

sempurna. Aku kembali

menapaki anak tangga

yang tersisa. Dari balik

jendela besar ruangan

gelap ini, bulan tampak

bersinar. Seakan memberi

semangat padaku agar

segera sampai di puncak

tangga.

Tatkala mencapai

anak tangga terakhir, aku

merasakan ada sesuatu

yang mengalir keluar dari

hidung. Akupun menyeka

hidung dengan kerah

baju.

K u r a n g a j a r ,

padahal sudah lebih dari

setengah jam tapi darah

dari hidungku belum se-

penuhnya berhenti ke-

luar ! Bentakku dalam hati.

Setelah setengah

menit membersihkan

hidung dengan kerah

baju, darahku akhirnya

berhenti keluar. Aku

membuka pintu kayu yang

ada di hadapanku.

Wuss… semilir angin langsung

membekap tubuhku yang ringkih.

Baju koko tipis yang kukenakan

j e l a s t i d a k a k a n s a n g g u p

melindungiku dari dingin yang

menerpa. Lebam-lebam di wajahku

terasa seperti dikompres dengan es

batu.

Sejujurnya, menapaki 400

lebih anak tangga dalam keadaan ge-

lap gulita

d e n g a n

h i d u n g

ber darah

dan wajah

m e m a r

adalah hal

yang cu-

kup konyol

b a g i

m a n u s i a

n o r m a l .

Satu cata-

tan lagi; hal tersebut dilakukan oleh

seorang bocah yang baru berumur 10

tahun. Freud pun tentu akan bingung

mengidentifikasi tindakanku menurut

kacamata psikologi. Kenyataannya,

menjadi normal bukan berarti mengi-

kuti arus. Kadang arus dapat memati-

kan lalu menghanyutkan.

Langit di atas layaknya lautan

pasir pantai dengan bintang-bintang

sebagai mutiara yang menghiasinya.

Entah mengapa, malam ini aku tidak

merasakan keindahan tersebut. Bin-

tang-bintang itu malah seakan menge-

jek dan menghina diriku dengan ke-

milau mereka.

“Aku takkan tunduk den-

ganmu, Mulut Besar !” teriakku den-

gan suara tercekat. Tiupan angin

seakan melenyapkan suaraku.

Aku menghela napas sejenak

untuk mengembalikan suaraku yang

seakan hilang.Namun, tiba-tiba aku

melihat bintang-bintang mendekatiku,

menuju wajahku. Dekat, semakin

dekat, dan…

Bruk, aku tumbang dan tak sadar-

kan diri.

****

Aku tidak langsung membuka

mata, yang jelas tempat ini bukan

kamar panti. Aku berani menduga,

sebab aroma disini amat aneh bahkan

aku belum pernah menghirupnya.

Seperti bau obat mungkin, pikirku.

Tanpa dikehendaki, kedua mataku

secara refleks berkedip.

“Ibuuu…Ucil sudah sadar”

seorang anak perempuan berteriak

gembira tak jauh dari tempatku ber-

baring.

“Ibu, Ibu, Ibu ! Ucil sudah

sadar” anak itu kembali berteriak.

Tidak salah lagi, aku men-

genal suara itu. Suara putri sulung

pemilik panti asuhan Al-Maghfirah;

Airin.

Tak lama, Ibu Husna dengan

langkah tergesa-gesa membuka pintu

kamar tempatku kini terbaring. Tatap

matanya jelas menggambarkan ke-

gembiraan yang mendalam. Airin

langsung menghambur dan meme-

luknya. Aku hanya tersenyum melihat

mereka berpelukan. Usai berpelukan

dengan putrinya, diapun duduk di

kursi yang ada di sebelah ranjangku.

“ Y u z r i l , a l h a m d u l i l l a h

akhirnya kamu siuman juga” ujar Ibu

Husna dengan mata berkaca-kaca.

“Apa yang terjadi dengan

saya, Bu? Saya kok tiba-tiba ada disini,

di rumah sakit”

Aku jelas bingung mengapa

bisa berada disini. Adakah seseorang

yang membawaku kesini ?

“Kamu pingsan di atas

menara masjid, Ucil. Pak Dargo yang

menemukan kamu terbaring disana”

Airin menjelaskan dengan sedikit ge-

mas. Dialah satu-satunya orang di

dunia ini yang memanggilku dengan

sebutan ‘Ucil’. Mungkin karena tubu-

hku yang kurus dan kecil, jadi dia me-

manggilku demikian.

“Kamu sudah membuat aku

dan semua orang di panti khawatir,

Cil. Arrgghh” kali ini Airin meremas-

remas kepalaku. Ibu Husna pun

menarik tangan putrinya.

“Jangan, Rin. Yuzril belum

benar-benar pulih” ujarnya kepada

Airin sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, seorang

perawat masuk sambil membawakan

beberapa hidangan. Airin tampak

heran melihatnya, lalu berbisik pada

Ibu Husna.

“Bu, bukankah sekarang bu-

lan puasa?”

Perawat itu tampaknya men-

getahui apa yang dikatakan oleh Airin

dan tersenyum.

“Iya, tapi makanan itu bukan

untuk kamu Rin tapi untuk Yuzril”

Secarik Hidayah dari Menara

Shalahuddin– Ahmad Muliansyah (MT 13)

Volume IV 2016 Page 5

“Hmm…Aku juga ingin makan seperti Ucil, Bu”

Lucu sekali bila melihat Airin merajuk.

“Ayo, ingat lagi janji Ayah kalo kamu bisa puasa penuh sebulan” Ibu Husna memandangi putri

sulungnya dengan penuh kasih sayang.

“Iya deh, Bu. Airin sudah niat mau punya sepeda baru dari Ayah”

Heh, puasa macam apa dapat hadiah sepeda baru ! Ujarku dalam hati sambil tersenyum menik-

mati apel yang dibawakan oleh perawat tadi.

****

Enam hari kemudian, aku dinyatakan telah benar-benar pulih dan sudah boleh meninggalkan rumah

sakit. Kondisi wajahku pun juga sudah lebih baik dibandingkan enam hari yang lalu walaupun memar

masih menyisakan bekas. Dokter mengatakan bahwa penyebab aku pingsan adalah pendarahan yang

berlebihan melalui hidung. Tapi kini, kondisi darahku dinyatakan telah normal kembali.

Sebenarnya, aku agak heran melihat kenyataan bahwa tidak ada satupun teman di panti yang

datang menjengukku selama masa opname. Yang membesuk ialah keluarga pemilik dan pendiri Panti

Asuhan Al-Maghfirah; keluarga Zakaria dimana Bapak Zakaria, Ibu Husna, Airin, dan Hadi termasuk di

dalamnya. Selain itu, ada Ustadz Mas’ud guru Nahwu-Sharaf sekaligus pembina kami; Ustadz Ubay pem-

bimbing materi Tilawah, Fiqih, dan Tarikh;Kang Apep pengajar ilmu dan keterampilan komputer; terakhir

Ustadz Hilman dan Ustadz Faruqi yang membantu Ustadz Mas’ud dalam membina kami sehari-hari di

panti.

Namun, yang membuatku begitu heran sekaligus geram adalah : Si Mulut Besar itu belum

meminta maaf padaku. Telah jelas bahwa dialah yang membuatku seperti ini. Wajah memar, hidung

berdarah hingga pingsan karena pendarahan yang berlebihan sepertinya sudah cukup untuk membuat

dia mengakui kesalahan. Entahlah, menurutku keluarga Zakaria juga tidak mengetahui fakta bahwa mon-

ster itu yang telah membuatku remuk seperti ini.

Kita lihat saja nanti, kawan. Umpatku dalam hati.

****

Binsar, Si Mulut Besar, menghampiriku seusai shalat maghrib. Sulit untuk kupercaya, dia men-

gaku bersalah atas kejadian seminggu yang lalu dan secara lapang dada meminta maaf padaku.

Aku tidak langsung menjabat tangannya ketika dia menyodorkan tangan terlebih dulu. Aku ma-

sih meragukan sikapnya yang benar-benar aneh ini. Namun, dari tatap wajahnya aku bisa melihat

bahwa dia benar-benar ingin meminta maaf. Akhirnya, akupun membalas jabat tangannya dan untuk se-

mentara waktu memaafkaannya.

Tepat seminggu yang lalu, aku dan Binsar berkelahi di kebun belakang masjid Shalahuddin. Masjid itu

berdempetan dengan panti kami. Sebenarnya, tidak ada orang lain yang mengetahui perkelahian itu.

Namun, sebagian besar teman kami mengetahui bahwa aku melakukan sebuah kesalahan fatal. Aku

menolak untuk menuruti kemauan Si Mulut Besar itu: menulis ringkasan ceramah tarawih yang ditugaskan

oleh Ustadz Mas’ud. Konsekuensinya jelas, dia menantangku untuk berkelahi di kebun belakang.

“Satu lawan satu. Dan ingat, tidak ada yang boleh terlibat selain kita berdua. Mengerti !” ujar Binsar

sambil menatapku dalam-dalam dan menarik kerah baju koko tipis pemberian Ibuku.

“Oke “ jawabku dengan tegas dan melepas cengkeraman tangannya di kerah bajuku.

Alasanku memenuhi tantangannya bukan karena aku gemar berkelahi, namun disebabkan oleh tinda-

kannya yang membuatku naik pitam. Menarik kerah bajuku benar-benar merendahkanku. Sebab, baju ini

adalah pemberian Ibuku yang ada di desa sebelum aku berangkat ke Jakarta empat bulan lalu. Aku tidak

bisa menerimanya.

Perkelahian yang benar-benar tidak berimbang pun berlangsung. Wajahku habis jadi bancakannya.

Hidungku berdarah dan wajahku lebam-lebam. Namun, kala perkelahian atau lebih tepatnya gladiator itu

berlangsung, ancaman lain yang lebih mencekam datang. Pak Dargo, petugas kebersihan masjid Shala-

huddin, tengah berjalan menuju kebun. Kami bisa melihatnya sedang membawa senter dan tengah men-

garahkan berkas sinar ke arah kebun. Kami pun panik, sebab bila ketahuan akan menyebabkan perma-

salahan yang lebih panjang atau bahkan dikeluarkan dari panti. (bersambung…)

Visit:

Forumbidikmisi.itb.ac.id

Setelah melalui proses seleksi yang ketat, pemenang lomba Cerita Inspiratif Forum Bidikmisi

ITB 2016 adalah berikut:

Juara I : Orang-Orang di Sekitarmu Aset Kesuksesanmu, karya Kasmawati

Juara II : Anak Saweran Jadi Fashion Designer, karya Holipah

Juara III : Cahaya Harapan dari Gubuk Bambu, karya Rofikul Umam

27 karya terbaik lainnya adalah:

1. Terimakasih Tuhan, Dunia Lebih Indah dengan Titipanmu, karya Ariestyo Wahyu Tri

Wibowo

2. Bermimpilah dengan Aksi dan Doa, karya Muhammad Aziz Ali Mutia

3. MENDEWASA DALAM PERBEDAAN, karya Mega Liani Putri

4. Membangun Ibu Pertiwi dari Sukabumi, karya Endang Rahmat

5. The Power of Believe in Your Dreams, karya Fauza Karomatul Masyhuroh

6. Mesin Bubut Negeriku, karya Ahmad Muliansyah

7. Arti Sebuah Perjuangan, karya Muhammad Faisal Fath

8. Mutiara di Ladang Tetangga, karya Fitriawati

9. Integritas Sang Pemandu Impian, karya Dhea Rineka

10. Hanya Ingin Menjadi Seperti Abi, karya Muti’ah Nurul Jihadah

11. Bocah Itu Aku (Mimpi Si Anak Petani), karya Novitasari

12. Sebuah Impian yang Akan Menjadi Kenyataan, karya Jajat Sudrajat Iskadir

13. Perjuangan Sang Pemuda Pesisir Meraih Cita, karya Dian Aris Sandi

14. Keterbatasan Bukan Alasan Untuk Menggapai Impian, karya Yulis Amanah

15. Senja di Kaki Mercusuar, karya Fenni Asista

16. Sepucuk Kertas Kehidupanku, karya Dwi Astuti

17. Seberkas Cahaya Dalam Kekelaman, karya Nanda Setyana

18. Percaya Bahwa Mimpiku Bukan Sekadar Mimpi, karya Millatul Khasanah

19. Sejuta Aksi Menghapus Air Mata Ibu Pertiwi, karya David Wijaya

20. Langit Mimpi Tak Pernah Ada Batasnya, karya Nurina Maretha Rianti

21. Pendidikan Tinggi Tanpa Batasan, karya Ni Putu Sekar T.L.

22. Peran Mikrobiolog dalam Mengatasi Permasalahan Lingkungan dengan Teknologi

Berbasis Bio, karya Muhamad Syukron

23. Surat untuk Adik adikku, karya Karyadi

24. Dreamericious, karya Risa Suadiani

25. (Mencoba) Beraksi!, karya Angga Fauzan

26. Malaikat Kecil Ibu Pertiwi, karya Ati Devara

27. Menjadi Partner Orang Korea, karya Nurul Walidah Oktaviani.

Pemenang Writing Inspirational Story Competition FBM ITB

“Langit kembali bernyanyi. Memanggil burung mengusir sunyi. Galau gundah hatiku

ini. Melihat damai sentosa bumi pertiwi”.

Sejenak teringat masa SMA ketika aku

masih dalam pencarian jati diri. Dari situlah aku

menemukan arti dari persahabatan, cinta dan

juga kenangan. Dimulai saat aku pertama kali

bertemu dengannya. Sebut saja dia Farhah.

Awalnya aku tak menyangka bahwa dia satu ko-

san denganku. Dan kamipun ditakdirkan menun-

tut ilmu dikelas yang sama. Walaupun satu ko-

san, kamar wanita berada dibagian dalam

rumah utama, sedangkan kamar pria berada

lantai 2. Pintu masukpun dibuat berbeda. Ya

mungkin agar tidak terjadi hal-hal yang ‘tidak

diinginkan’. Bicara soal Farhah, sebenarnya tidak ada hal yang spesial dalam dirinya. Dia

seperti orang pada umumnya. Periang, namun agak cuek dan mungkin bisa dibilang ‘baper’.

Tapi itu bukan sebuah masalah. Awal pertemuan yang benar-benar menjadi kenangan ketika

awal masuk SMA. Sejarah terindah yang bisa dibilang lebih indah dari kemerdekaan, hahaha.

Tapi itu hanya ungkapan pribadi semata. Hampir setiap hari kami bertemu sapa, namamya

juga sekosan, ditambah lagi sekelas. Awalnya hal itu tidak menjadi masalah. Namun, yang na-

manya manusia pasti akan mengalaminya, terutama saat SMA, ujian tentang ‘cinta’.

Cinta memng indah, ada yang bilang cinta semanis madu. Namun, yang kudapat disini

hanya sebuah empedu. Bak seorang Sinbad yang berlayar sendirian mengarungi 7 samudra.

Ya, tapi aku bukan Sinbad yang siap menghadapi segala macam permasalahan dalam hidup.

Seorang manusia yang baru mendapati dirinya sedang dalam masa perubahan. Menjadi seo-

rang yang dewasa, mengerti apa itu ‘cinta’. Atas ‘perbuatanku’, aku kehilangan hal yang ber-

harga, bukan seorang teman, tapi seorang sahabat, atau mungkin lebih. Ya, walau hanya 3 bu-

lan kenal dengannya, tapi aku tahu kalau didalam diriku timbul perasaan ‘aneh’. Awalnya aku

diamkan saja hal ‘itu’. Kupikir ‘itu’ akan berlalu begitu saja, ibarat air yang selalu mengalir,

yang hanya terhenti karena dibendung. Ya, hal ‘itu’ yang kupikir bisa berlalu, tapi nyatanya

malah terbendung. Mungkin ini karena hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Walau

hanya sekadar berucap, “Far, berangkat bareng yok”. Lama kelamaan aku sadar. ‘Bendungan’

yang ada sudah tidak sanggup untuk menahan derasnya rasa ini. Sampai suatu aku putuskan

mencobanya.

Malam itu malam minggu. Aku mengajaknya keluar jalan. Ya awalnya hanya pengin

ngajak nyari makan, tapi malah kebablasan ngobrol sampai larut malam. Sekitar pukul 11.00

malam. Aku ingat sekali waktu itu. Aku dan dia sama-sama sedang memandangi langit malam.

Dari kejauhan tampak berbagai macam bintang bertaburan, berkelap-kelip seumpama …… eh

malah jadi nyanyi. Biar agak romantis lah. Hahaha. Dalam keheningan malam, terdengar sayup

suara. “Dik”, panggilnya. Sontak ku menjawab. “Ada apa Far?”. Dia tak meneruskan kata-kata.

Hampir lima menit kami berdua terdiam hanya memandang langit malam. “Ngomong, nggak,

ngomong, nggak, ngomong, nggak….”. Entah berapa kali aku berhitung dalam hati. Akhirnya

kuberanikan diriku. Tak ada sama sekali terlintas bahwa itu akan menjadi kesempatan tera-

khirku untuk bisa bersamanya. Tenang dia belum mati kok. “Far”, ucapku lirih. “Kita udah

berapa bulan kenal ya?”. “Eumnt….kan kita dulu pernah ketemu pas SMP. Tapi mungkin kamu

nggak ingat siapa aku. Mungkin udah 4 bulanan lah. Emang kenapa?”, balasnya. “oh iya kita

Sang Malaikat Mimpi– Guruh Diki (MG ‘14)

pernah ketemu? Hahaha aku memang sering lupa, apalagi SMP. Eumnt, gimana ya, bingung juga aku”, jawabku

singkat. Akhirnya. Aku putuskan untuk memberanikan diriku. “Far, aku sebenarnya bingung. Entah apa yang

sekarang aku rasakan. Ketika aku bercanda dengan yang lain aku merasa ada sesuatu yang kurang. Sesuatu

yang aku sendiri tidak bisa aku temui dimanapun. Namun akhirnya aku sadar”. “Aku gapaham maksudmu dik?”,

balasnya. “Mungkin ini pertama kalinya aku merasakan ini. Dan pertama kalinya juga aku jujur sama diriku. Far,

aku cinta kamu”.

DIAM…. HENING…. Dan tanpa sepatah kata apapun dia pergi. Meninggalkan keheningan malam. Aku

tak sanggup untuk menghentikannya. Aku sendiri bingung kenapa aku harus berkata seperti itu padanya. Pada-

hal aku tahu kalau dia sedang berusaha melupakan ‘seseorang’ yang telah menyakitinya, tapi malah aku

menambah beban penderitaannya. Malam itu aku tidak bisa tidur. Jam sudah menunjukan pukul 03.00 pagi. Tapi

aku masih saja menyesali keputusan bodohku. Bingung. Argh, andai saja waktu bisa ku ulang. Namun akhirnya

kuputuskan untuk tetap tidur dan melupakan semua yang terjadi malam itu.

Paginya aku bangun agak telat. Hari itu aku bangun dan benar-benar melupakan apa yang telah terjadi

kemarin. Mungkin itu hanya sebuah mimpi. Dan ya, biarlah itu menjadi kenangan. Jam sudah menunjukan pukul

08.00 pagi. Aku tersontak melihat kos-kosanku sepi. Biasanya Farhah rutin olahraga senam kecil didepan. Na-

mun kali ini yang kulihat hanya bapak kos yang sibuk merawat tanaman. “Koe arep lunga ngendi? (kamu mau

kemana?)”, tanyanya. “Badhe nggene kancane mbah (mau ketempat temen mbah)”, jawabku singkat. ‘Kae si

Farhah kenang apa yah, ora biasane nang njero kamar. Mangan ya ora gelem. (Itu si Farhah kenapa ya, tidak

biasanya dia dikamar saja. Makan juga tidak mau)”. Fikirku apa karena semalam aku berkata seperti itu

padanya, atau dia memang sedang sakit. Akhirnya aku putuskan membeli bubur ayam kesukaannya. Tiap pagi

dia tidak pernah absen sarapan itu. Toh siapa tahu dia jadi semangat lagi. Sekitar pukul 09.00 pagi, aku berani-

kan diri mengetuk pintu kamarnya. “Far, makan dulu geh, ini aku tadi beli bubur ayam dari Nabilla. Dia nitip

sama aku. Far, aku tinggalin di depan ya. Jangan lupa dimakan mumpung masih hangat. Maaf Far, tentang ke-

marin malem”. Hanya itu yang aku ucap. Bodohkan aku. Udah berbohong, malah nambah runyam masalah. Tapi

ya sudahlah, aku masih ada tugas yang harus aku selesaikan bersama kelompokku. Akhirnya aku pergi dengan

perasaan sesal meninggalkannya sendiri.

Sore hari sekitar pukul 16.00 aku pulang. Kala itu kosanku benar-benar sepi sekali. Aku lupa kalau ba-

pak dan ibu kos mau pergi ketempat anaknya di Jakarta selama seminggu. Dan hari ini mereka berangkat. Aku

bergegas menuju kamarnya. Masih utuh bubur ayam yang tadi pagi. Apa Farhah tahu kalau bubur itu bukan dari

Nabil, atau dia masih marah gara-gara kemarin malam jadi dia males makan. Yang aku inginkan hanyalah meli-

hat senyuman keluar dari wajahnya. Aku tidak ada niatan sama sekali untuk membuatnya seperti itu. Mungkin

dia perlu waktu. Pikirku saat itu.

Esoknya aku bangun lebih pagi, sekitar pukul 04.00. Pikiranku masih tentang Farhah. Apa yang dia laku-

kan semalam, sudah makan belum, apa dia masih marah. Aku mencoba berfikiran positif. Aku yakin Farhah bisa

melewati semua dan kembali tersenyum. Kuputuskan untuk menunggunya didepan kos. Namun waktu menunju-

kan pukul 06.45. Aku sudah menunggu dari jam 06.00 dan dia belum juga keluar dari rumah. Sampai pukul 07.00

dia tetap tidak muncul. Sekolahku memang cukup disiplin menetapkan aturan datang pagi. Padahal aku siswa

baru tapi sudah berani-beraninya telat, hahaha. Tapi itu bukan sesuatu yang pantas ditiru ya. Hari ini benar-

benar membosankan. Ya tahu sendirilah kenapa. Percuma kalau badan saja yang hadir, tapi pikiran entah ke-

mana. Ya, satu-satunya yang aku pikirkan adalah Farhah. Kalau dia masuk sih ngapain kupikirin, toh aku bisa

melihatnya, tapi hari ini tumben dia absen. Aku masih merasa bersalah mengenai kejadian malam minggu ke-

marin. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Seperti apapun rasa bubur itu, ketika kita memakannya dengan ikhlas

pasti akan terasa enaknya. 1 hal yang aku agak khawatirkan Farhah punya penyakit maagh. Telat makan 1 kali

saja maaghnya bisa kambuh. Itu yang jadi beban pikiranku sekarang. Semoga Allah memberinya kekuatan.

3 hari berlalu tanpa adanya kabar dari Farhah, dan dia masih absen. Akhirnya aku beranikan telefon

nomor HP bapaknya. Singkat cerita, pernah suatu ketika aku ngobrol panjang lebar dengan beliau, saat dia se-

dang menunggu Farhah pulang sekolah. Dia cerita singkat tentang Farhah, dan yang menarik adalah Farhah

sangat menginginkan memiliki seorang suami yang bekerja di pertambangan. Akhirnya aku bertukar nomor HP

dengan ayahnya Farhah, siapa tahu dibutuhkan suatu saat nanti. Tut tut tut, dan 1,2,3. Diangkat. “Halo Assala-

mu’alaikum”. “Wa’alaikum salam. Maaf pak, saya Diki teman kelas Farhah. Boleh bicara dengan Farhah

sekarang?”, balasku singkat. “Oh, nak Diki yang teman kosnya Farhah?”, balas suara itu. “Maaf ya nak, Farhah

lagi tidak bisa bicara dengan kamu sekarang”. “Memang Farhah kenapa pak?”. Beliau terdiam sejenak. “Dia

sekarang sedang dirawat inap di Bumiayu. Barusan diperiksa katanya maagh-nya kambuh dan ada masalah

sama sum-sum tulang belakanya, makanya 2 hari yang lalu dia minta dijemput pulang. Nak mohon doanya ya,

insyaallah hari ini dia akan operasi”. Tanpa sadar airmataku menetes. Aku tidak sanggup berkata apa-apa. Aku

gagal sebagai seorang teman. Aku diam. Hampir 5 menit aku diam. Aku benar-benar terpukul mendengar hal

itu. “Halo nak diki? Kenapa diam?”, lanjutnya. “maaf pak, saya kaget mendengarnya. Saya pikir selama ini dia

hanya punya maagh. Iya pak nanti saya kabari teman-teman mengenai kondisi Farhah”, balasku. “Iya nak, teri-

makasih. Ya sudah nak saya mau menemani dia operasi dulu. Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikum salam”. Terhen-

tilah pembicaraanku dengan ayahnya Farhah. Namun air mata ini tak kunjung berhenti, malah semakin deras.

Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah berdoa. Apapun yang bisa aku lakukan aku siap asalkan aku bisa mem-

buat Farhah kembali terseyum dan berkumpul bersama lagi. Tidak peduli seperti apa hubunganku dengannya,

aku sangat senang ketika dia bisa berkumpul bersama sembari tersenyum.

1 minggu berlalu semenjak Farhah mengalami operasi. Farhah belum masuk juga. Sedang apa dia

sekarang ya?. Tapi angan-angan hanyalah dalam bayangan. Yang harus dihadapi adalah kenyataan. Semua kon-

sekuensi dari segala macam perbuatan, kelak akan dipertanggung jawabkan, termasuk perkataanku padanya.

Usai kelas aku pulang ke kosan. Namun sesampainya aku dikosan, aku lihat ada sebuah motor terparkir di hala-

man depan kos. Dan aku kenal motor siapakah ini. Yap, motornya milik ayahnya Farhah. Kemungkinan Farhah

sudah balik ke kosan. Namun, aku tidak mau langsung masuk. Tapi tak sengaja ayah Farhah melihatku. Dan aku

disuruh masuk. Disitu aku benar-benar kaget, wajah Farhah benar-benar pucat. Tiba-tiba Farhah meminta ayah-

nya keluar sebentar, meninggalkan aku dan dia saja. “Dik, maaf ya. Aku sudah membuat kamu cemas. Aku tidak

ada maksud untuk meninggalkan kamu malam itu. Aku hanya kaget kamu bisa berkata seperti itu, sementara

kita baru kenal beberapa bulan saja. TIDAK, itu jawabku Aku tidak bisa menerima kamu. Aku hanya ingin fokus

untuk sekolah saja untuk saat ini. Aku juga tidak ingin kamu menjadi terganggu dengan adanya diriku. Jikalau

kamu serius mengenai ucapanmu itu, lakukanlah dengan cara yang benar. Ambilah diriku dari tangan waliku.

Untuk saat ini jalani saja seperti teman biasa. Maaf dik hanya itu yang bisa aku katakan. Aku mau istirahat dulu”.

Aku pergi tanpa berucap apaun. Aku hanya menyapa ayahnya Farhah sebentar. Setelah itu aku langsung

kekamar.

Semenjak kejadian itu, tekadku hanya 1. Sukses dan membuat impianku menjadi nyata. Suatu saat nanti

aku akan mengambil Farhah dari tangan walinya. Namun sebelum itu aku harus bisa mewujudkan impian

Farhah, punya suami yang bekerja di dunia pertambangan. Padahal aku tergolong anak desa yang TIDAK PER-

NAH PERGI KEMANA-MANA. Aku nekat mendaftar ke ITB. Padahal tahu sendirilah letaknya di Bandung. Dan

alhamdulilah juga ada Bidikmisi. Ya walaupun aku seorang yang pas-pasan nilainya, tapi alhamdulilah bisa juga

menembus dinding SNMPTN yang katanya seperti bermain ’judi’. Hahaha. Yang jadi alasan aku memilih pergu-

ruan tinggi saat itu hanyalah Farhah. Kuniatkan masuk FTTM (Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan)

sedari kelas 10 SMA. Ya walaupun bukan masuk di Teknik Pertambangan, tapi Teknik Metalurgi miriplah den-

gan Teknik Pertambangan. Hahaha. Hanya karena seorang wanita aku bisa sampai sejauh ini, tapi setelah jauh

darinya apakah aku bisa bertahan mengingat aku tidak bisa melihat senyumannya. Sampai saat ini aku tidak

bisa melupakan Farhah, dan ya alasan utama aku kuliah karena Farhah. Selanjutnya akulah yang menentukan

kemana aku akan melangkah. Kesempatan hanya ada 1, dan sekali kau membuang itu, bisa jadi yang keluar

adalah airmata penyesalan. Sejujurnya aku juga sedikit menyesal mengingat yang aku jalani bukan karena

keinginan dari hatiku sendiri. Dalam hati ini sebenarnya aku tidak menginginkan untuk lanjut kuliah, mengingat

keterbatasan orang tua. Namun berkat Bidikmisi aku punya sedikit harapan. Terimakasih Bidikmisi J. Walau

diselingi rasa penyesalan, aku tetap menikmati dunia perkuliahan ku ini walalu jurusan yang aku minati bukan

disini. Jangan karena ketidaksesuaian dengan hati malah membuat kita benci. Kesuksesan datang bukan karena

cobaan, namun karena perjuangan. Aku percaya suatu saat nanti aku akan bisa menemuinya lagi, bukan untuk

reuni atau hanya sekadar bersapa kangen, tapi untuk mengambil dia dari walinya. Aku akan mewujudkannya

ditahun 2023 kelak. Teruntuk Farhah Inayah Turohmah, sang malaikat mimpi.